perbandingan penetrasi modal di tangerang dan implikasinya antara tahun 1684-1942 dan tahun...
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN PENETRASI MODAL DI TANGERANG DAN IMPLIKASINYA
ANTARA TAHUN 1684-1942 DAN TAHUN 1966 -1998
Skripsi diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai gelar kesarjanaan
.
NAMA : IGN. TAAT UJIANTO NPM : 20051550012
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI 2009
ii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
Nama : IGN. TAAT UJIANTO
NPM : 20051550012
Fakultas : Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Judul Skripsi : Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang
dan Implikasinya antara Tahun 1684 -1942 dan
Tahun 1966-1998.
Telah diperiksa dan disetujui untuk disajikan
Pada tanggal 14 Agustus 2009
Pembimbing Materi Pembimbing Teknik
(Drs. Subiyarto, M.Hum ) (Dr. H. Sumaryoto )
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah diajukan pada hari Rabu tanggal 16 September 2009
PANITIA UJIAN
Ketua Sekretaris
( P rof. Dr. H. Sumaryoto) (Drs. Heru Sriyono, MM)
Anggota I Anggota II
( Dra. Hj. Sartini, MM ) ( Drs. Supardi U.S, MM )
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini adalah karya
saya sendiri. Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh/sebagian isi skripsi
ini bukan hasil karya saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai
dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab VI pasal 25 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Jakarta,………………….2009
Ign. Taat Ujianto
v
MOTTO
Io Saro Con Voi
Aku selalu menyertaimu selalu (Matius)
Setiap entitas di dunia ini, memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak
terkecuali manusia. Bila manusia hanyalah bagian kecil dari benda -benda
dunia, maka tidak otentik lagi mengatakan manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta? (Alfred North Whitehead)
Skripsi ini kupersembahkan untuk Ibundaku tercinta dan istriku tersayang
Terima kasih
atas semua dukungannya
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua
rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya . Skripsi yang bejudul
"Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan Implikasinya antara
Tahun 1684- 1942 dan Tahun 1966- 1998”, ditulis untuk memenuhi salah
satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Indraprasta
PGRI.
Pada kesempatan ini, izinkan penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan
bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama
kepada :
1. Bapak Dr. H. Sumaryoto, selaku Rektor Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
dan selaku Dosen Pembimbing Teknis.
2. Bapak Drs. Heru Sriyono, MM, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan dan
Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta PGRI.
3. Ibu Dra. Hj. Sartini, MM, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta.
4. Bapak Drs. Subiyarto, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Materi.
5. Para Dosen beserta staf Tata Usaha Universitas Indraprasta PGRI.
6. Rekan dan sahabat yang telah memberikan saran dan semangat kepada
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
vii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik
bentuk, isi, maupun teknik penyajiannya. Oleh sebab itu, kritik yang bersifat
membangun dari berbagai pihak, penulis terima dengan tangan terbuka serta
sangat diharapkan. Semoga kehadiran skripsi ini, dapat menjadi pedoman bagi
mahasiswa lain dan memenuhi sasarannya.
Jakarta, ……………..2009
Penulis
Ign. Taat Ujianto
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI........................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii
MOTTO ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI............................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL....................................................................................................... xi
DAFTAR SKE MA...................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xiii
ABSTRAK.................................................................................................................. xiv
B A B I P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah....................................................................... 3
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................4
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................... 5
E. Sistematika Penulisan..................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori............................................................................... 9
B. Kerangka Berpikir ..........................................................................17
ix
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian............................................................................22
B. Sumber Sejarah................................................................................23
C. Metodologi ......................................................................................26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Tangerang
1. Asal Mula Nama Daerah Tangerang ...................................... 28
2. Kondisi Geografis ................................................................... 30
3. Kependudukan..........................................................................32
4. Potensi Wilayah Tangerang .....................................................35
B. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Kolonial (684-
1942)
1. Merebut Tangerang dari Kekuasaan Kasultanan
Banten.....................................................................................45
2. Melanjutkan Sistem Feodal .............................................48
3. Tangerang menjadi Daerah Partikelir, Segregasi Rasial
Dijalankan ...............................................................................52
4. Memperkuat Struktur Pemerintahan .......................................56
5. Pembangunan Infrastruktur dan Peningkatan Produksi
untuk Mempercepat Akumulasi Modal ...................................61
C. Anti Cina: Reaksi Masyarakat Tangerang terhadap Kebijakan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
D. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Orde Baru
(1966-1998)
x
1. Membuka Keran bagi Modal Asing dan Nasional .....81
2. Tangerang Menjadi Penyangga Ibu Kota Jakarta ...................86
3. Pembangunan Infrastruktur Industri.........................................88
4. Pembangunan Kawasan Pabrik: Pengambilalihan Lahan
Warga dan Penataan Ulang Penduduk untuk Melancarkan
Akumulasi Modal.....................................................................89
E. Implikasi Penetrasi Modal di Tangerang Era Orde Baru
1. Perencanaan Tata Ruang Kota Cenderung
Dikooptasi oleh Kepentingan Akumulasi Modal .......93
2. Ledakan Warga Pendatang Baru dan Konflik antara
Mereka dengan Warga Yang Telah Menghuni Sebelumnya ..99
3. Pergeseran Budaya Agraris Menjadi Budaya Industri
(Modern) ................................................................................105
4. Pergeseran Konsep Keluarga dan Peran Perempuan..............112
5. Konflik Perburuhan: Buruh Melawan Koalisi Majikan dan
Rezim .....................................................................................113
6. Pencemaran dan Kerusakan Biosfer ......................................115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................. 125
B. Saran............................................................................................. 126
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 128
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990.............. 32
Tabel 2: Penduduk Afdeling Tangerang Tahun 1930...................................... 34
Tabel 3: Tabel Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2000-2005.................................................... 35
Tabel 4: Tanah Partikelir Tangerang Tahun 1900-1901.................................. 56
Tabel 5: Ekspor Topi dari Tangerang ............................................................. 68
Tabel 6: Target-Target Pelita I-V.................................................................... 82
Tabel 7: Perbandingan Penerimaan dari Pusat, Dati I, dan Penerimaan
Sumber PAD Tahun 1993-1998........................................................ 85
Tabel 8: Struktur Ekonomi Jawa Barat Tahun 1973-1990 ............................. 85
Tabel 9: PMA di Indonesia Tahun 1967-1990................................................ 86
Tabel 10: Daerah Pemukiman Kotamadya Tangerang Tahun 1990................. 87
Tabel 11: Penguasaan Lahan Pada Kawasan Industri Tahun 1996................... 91
Tabel 12: Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990.............. 98
Tabel 13: Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah dengan Kesesuaian Rencana
Tata Ruang........................................................................................ 98
Tabel 14: Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Tahun 2000-2005.............................................................................. 100
Tabel 15: Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk 2002-2017.................................. 100
Tabel 16: Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja menurut
Jenis Pekerjaan Utama per Kabupateb/Kota di Propinsi Banten
Tahun 2004....................................................................................... 101
xii
Tabel 17: Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas menurut Jenjang
Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan di Banten Tahun 2005....... 101
Tabel 18: Mata Pencaharian Tahun 1987-1991.................................................102
Tabel 19: Kepemilikan Tanah Perusahaan dan Perseorangan di Desa Cibogo..108
xiii
DAFTAR SKEMA
Skema 1: Skema Motivasi Penjualan Tanah di Desa Cibogo ..........................109
Skema 2: Alur Mata Pencaharia n Generasi Cibogo setelah Era Industri......... 111
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I: PETA TANGERANG MASA KASULTANAN BANTEN
LAMPIRAN 2: PETA TANGERANG MASA KOMPENI
LAMPIRAN 3: PETA TANGERANG MASA HINDIA BELANDA
LAMPIRAN 4: PETA WILAYAH KABUPATEN TANGERANG
LAMPIRAN 5: FOTO PENGRAJIN TOPI BAMBU TANGERANG
LAMPIRAN 6: CUPLIKAN TRANSKRIPSI WAWANCARA SEJARAH
PERBURUHAN
xv
ABSTRAK
A. Ign Taat Ujianto, NPM: 20031250162
B. Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan Implikasinya antara Tahun 1684-1942 dan Tahun 1966-1998 . Skripsi: Jakarta, Fakulta s Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Indraprasta Persatuan Guru Republik Indonesia, Agustus, 2009.
C. xii + 5 bab + 120 halaman
D. Kata Kunci: Penetrasi Modal dan Industrialisasi di Tangerang serta Implikasinya
E. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola proses penetrasi modal pada era kolonial (1684-1942) dan pada masa orde baru (1966-1998) serta implikasi yang ditimbulkan sehingga dapat menjadi bahan referensi pembangunan kota Tangerang di masa mendatang.
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis pola proses penetrasi modal di Tangerang dan implikasinya adalah dengan menggunakan metode sejarah yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan atau historiografi. Sedangkan untuk menganalisa data berlandaskan pada kajian pustaka.
Setelah penulis menganalisis pola proses penetrasi modal di Tangerang melalui metode sejarah, akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pola penetrasi modal di Tangerang pada masa Kolonial meliputi: merebut Tangerang dari kekuasaan Kasultanan Banten, melanjutkan sistem feodal, Tangerang dijadikan tanah partikelir dan pelaksanaan segregasi rasial, memperkuat sistem pemerintahan untuk mengontrol penduduk, dan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan produksi. Kebijakan yang paling menonjol dari pelaksanaan penetrasi modal Kolonial adalah diskriminasi rasial antara orang Cina dan Pribumi yang implikasinya melahirkan perasaan anti Cina, konflik rasial, dan pembrontakan berbau anti Cina. Sedangkan pola penetrasi modal pada zaman orde baru meliputi: membuka keran penanaman modal asing, Tangerang dijadikan penyangga Ibu Kota Jakarta, pembangunan infrastruktur industri, pembangunan kawasan pabrik melalui pengambilalihan lahan warga dan penataan ulang penduduk untuk melancarkan akumulasi modal. Kemudian implikasi yang ditimbulkan adalah: tata ruang kota yang dikooptasi kepentingan modal, ledakan pendudukan dan konflik antara pendatang dan warga pribumi, pergeseran budaya agraris ke modern, pergeseran konsep keluarga, tingginya tingkat konflik buruh dan majikan, dan biosfer yang terancam mengalami kerusakan.
F. Daftar Pustaka: 1. 33 buku 2. 2 transkripsi wawancara
3. 4 jurnal, 6 kliping berita dan artikel internet
G. Pembimbing Materi: Drs. Subiyarto, M.Hum Pembimbing Teknik: Dr. H. Sumaryoto
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nama daerah Tangerang yang terletak di Provinsi Banten, sepertinya sudah
tak asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya kaum urban di sekitar
Jakarta. Seperangkat regulasi dan restu aparat negara di awal tahun 1970-an, telah
mengundang para pengembang dan investor membentuk kota itu sedemikian rupa
sehingga menjadi kawasan industri.
Tangerang sesungguhnya sudah dikenal baik jaman Kasultanan Banten
maupun jaman kolonial Hindia Belanda. Kala itu lebih dikenal dengan sebutan
Tangeran atau daerah Beteng. Di masa awal kolonial menancapkan cakar
kekuasaannya di Nusantara, Tangeran menjadi daerah perbatasan antara
kekuasaan Banten dan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia.
Setelah dikuasai VOC tahun 1684, daerah Tangeran kemudian lebih banyak
menjadi tanah partikelir yang dikuasai orang-orang Tionghoa dan Belanda (Eropa)
yang memanfaatkan lahan partikelir Tangerang untuk lahan pertanian seperti padi,
kedelai, kopi, dan lain-lain
Sejak awal, pelaksanaan kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara
dilatarbelakangi oleh motif ekonomi (merkantilis). Motif tersebut menjadi alasan
utama kolonialisme setelah meletus revolusi industri abad ke -18. Era setelah
revolusi industri lazim digolongkan sebagai era imperialisme modern yang di
antaranya ditandai dengan penguasaan negeri lain, upaya membangun industri
2
besar-besaran (industrialisasi) sehingga membutuhkan banyak bahan mentah dan
pasar yang luas (kapitalisasi). Bangsa penjelajah dunia (imperialis) mencari dan
menjadikan daerah baru (koloni) sebagai sumber eksploitasi bahan mentah dan
pasar bagi hasil-hasil industri. Di kemudian hari, juga sebagai tempat penanaman
modal baru untuk dapat melipatgandakan keuntungan (akumulasi modal).
Dalam memperlakukan Tangerang sebagai daerah pendudukan, pemerintah
Belanda pun tak lepas dari motif ekonomi tersebut. Setelah dijadikan daerah
partikelir tahun 1684, Belanda berusaha keras agar daerah tersebut ikut
menyumbang pendapatan pemerintah kolonial. Sistem akumulasi modal
dijalankan. Sistem tersebut terus berlangsung hingga tahun 1942. Pelaksanaan
sistem akumulasi modal di Tangerang ternyata berdampak mendalam terhadap
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Tangerang. Dampak tersebut bahkan tetap
berlanjut walaupun Belanda hengkang dari Nusantara setelah terusir Jepang
(1942) dan disusul kemerdekaan Indonesia (1945). Pada masa orde baru (1966-
1998), penetrasi modal di wilayah Tangerang berlangsung secara masif. Hal ini
terbukti dengan berubahnya wilayah Tangerang menjadi kota industri.
Proses pergeseran dari daerah agraris menjadi daerah industri hingga kini
menjadi salah satu objek menarik untuk diteliti. Berbagai peneliti telah mencoba
mengabadikannya dalam bentuk pengamatan melalui kacamata sosiologis dan
atropologis, misalnya dari segi perubahan budaya masyarakat agraris ke industri,
relasi antara pendatang dan warga asli, pergeseran pola kepemilikan tanah, hingga
dampak industri terhadap lingkungan. Sementara itu, penelitian dari perspektif
sejarah terkait industri di Tangerang ternyata masih menjadi barang langka.
3
Faktor inilah yang menjadi salah satu yang mendorong penulis untuk mencoba
melakukan kajian.
Dengan mengurai persoalan di atas melalui kaca mata sejarah, diharapkan
dapat memberikan gambaran lebih mendalam tentang sejarah terbentuknya sebuah
kota industri bernama Tangerang. Sekaligus, mengurai pula dampak-dampak yang
ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat Tangerang seperti konflik antara buruh
dan majikan, konflik warga pendatang dan warga asli, konflik tuan tanah dan
pekerjanya , dan lain-lain. Konon, di tahun 1924, terjadi konflik berbau rasis (anti
Cina) antara buruh petani pribumi dan tuan tanah yang beretnis Cina (Ekadjati,
2004: 129-137). Namun, peristiwa tersebut terjadi juga sekaligus akibat sistem
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang selama ratusan tahun mengeluarkan
kebijakan segregasi rasial dimana menempatkan kaum pribumi lebih rendah
dibanding kaum Thionghoa. Pemberontakan sejumlah petani tersebut dikabarkan
merembet dari kawasan Teluk Naga hingga Tanah Tinggi. Di masa setelah
kemerdekaan, konflik serupa juga masih sering terjadi, misalnya kerusuhan 13-15
Mei 1998 yang berbau rasis (anti Cina), juga konflik -konflik seperti penolakan
warga atas penggusuran lahan yang ia miliki untuk didirikan pabrik.
B. Identifikasi Masalah
1. Daerah Tangeran sebelum pendudukan pemerintah kolonial Hindia
Belanda tahun 1684
2. Tangeran di bawah pendudukan VOC tahun 1684 – 1799
3. Tangerang di bawah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-
1942).
4
4. Proses penetrasi modal yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda.
5. Reaksi masyarakat Tangerang terhadap kebijakan pemerintah kolonial.
6. Keadaan Tangerang pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945.
7. Keadaan Tangerang pada masa kemerdekaan hingga masa Orde lama
tahun 1945-1966
8. Tangerang berubah menjadi kota industri di masa Orde baru (1966-
1998)
9. Kondisi kehidupan masyarakat Tangerang pasca industrialisasi
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi fokus permasalahan pada
diskripsi yang berkaitan dengan pokok pembahasan yaitu pada
”Perbandingan Penetrasi Modal di Tangerang dan
Implikasinya antara Tahun 1684-1942 dan Tahun 1966 -
1998”.
2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dan potensi wilayah Tangerang
sehingga menjadi ajang penetrasi modal?
2. Bagaimanakah pola penetrasi modal di bawah pendudukan
pemerintah Kolonial Belanda?
3. Bagaimana reaksi masyarakat Tangerang terhadap kebijakan
Pemerintah Kolonial Belanda?
5
4. Bagaimanakah pola penetrasi modal di Tangerang pada masa Orde
Baru?
5. Bagaimanakah dampak penetrasi modal di Tangerang pada masa
Orde Baru?
D. Tujuan dan Kegunaan Pe nelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui gambaran umum dan potensi yang terdapat wilayah
Tangerang.
b. Untuk menganalisis pola dan proses penetrasi modal di Tangerang pada
masa pendudukan kolonial tahun 1684-1942
c. Untuk menganalisis reaksi masyarakat Tangerang terhadap penetrasi
modal yang dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ditinjau dari
bidang sosial-ekonomi.
d. Untuk mengetahui bagaimana pola terbentuknya sebuah kota industri.
e. Untuk mengetahui bagaimana dampak penetrasi modal yang ditimbulkan
ditinjau dari bidang sosial-ekonomi sehingga dapat digunakan sebagai
masukan bagi penataan kota Tangerang di masa mendatang.
2. Kegunaan Penelitian
a. Agar dapat diketahui secara lebih mendalam tentang kondisi dan potensi
yang terdapat di wilayah Tangerang.
b. Agar dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai sejarah
terbentuknya kota Tangerang dilihat dari perspektif gerak akumulasi
modal dan dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi.
6
c. Agar dapat diketahui dan dipetakan bagaimana latar belakang, potensi,
ancaman, dan kekuatan yang terdapat dalam kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat Tangerang.
d. Agar dapat diguna kan sebagai bahan-bahan pertimbangan para
pengambil kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Tangerang dalam
menentukan arah pembangunan kota Tangerang di masa mendatang.
e. Diharapkan menjadi bahan perbandingan bagi peneliti sejarah kota
sehingga di masa mendatang dapat dilakukan penelitian secara lebih
kritis dan mendalam.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman, skripsi akan dibagi dalam lima bab
utama dan beberapa sub bab penjelas, yaitu: bab pertama Pandahuluan,
kedua Landasan Teori dan Kerangka Berpikir, ketiga Metodologi Penelitian,
keempat Hasil Temuan Penelitian, dan kelima Penutup.
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini mengemukakan latar belakang
penelitian dan alasan penulis memilih judul. Secara garis besar, penelitian
dan penulisan skripsi ini dilatarbelakangi fenomena perkembangan daerah
Tangerang yang sangat pesat ke arah kota industri. Di balik perkembangan
tersebut, ternyata menyimpan beberapa pokok persoalan dan masalah sosial
yang penulis coba rangkum dalam lima pertanyaan besar seperti telah
diuraikan dalam sub bab perumusan masalah di atas. Perlu diungkapkan pula
bahwa penulis sengaja memilih judul ini mengingat bisa dikatakan bahwa
penelitian mengenai sejarah akumulasi modal di Tangerang relatif sedikit
7
menjadi perhatian para peneliti. Dengan demikian, penulis memilih judul
penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti bagi
pembangunan Tangerang di masa mendatang.
Bab kedua adalah mengenai landasan teori dan kerangka berpikir. Dalam
penelitian sejarah, diperlukan pemahaman yang cukup tentang teori maupun
konsep-konsep yang diperlukan dalam penelitian. Pada bab ini penulis
menggunakan beberapa pendekatan konsep. Seperti lazimnya dalam
penelitian sejarah, pendekatan konsep dapat menggunakan pendekatan ilmu
pengetahuan lainnya sebagai ilmu bantu. Salah satu di antaranya mengenai
konsep penetrasi modal yang penulis pinjam dari sejumlah ahli sosiologi dan
ekonomi. Dijelaskan pula bagaimana konsep-konsep tersebut digunakan
melalui kajian pustaka. Sedangkan bagian kerangka berpikir mengemukakan
tentang bagaimana penentuan judul, metode penelitian untuk mendapatkan
fakta sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan hingga metodologi
penelitiannya.
Selanjutnya, pada ba b ketiga mengemukakan tentang metodologi
penelitian sejarah yang akan mengemukakan metode penelitian yang
digunakan, bagaimana metodologi penelitiannya, dan bagaimana
menentukan sumber-sumber sejarah. Metode penelitian sejarah meliputi:
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Sedangkan metodologi
yang digunakan adalah metodologi strukturalis dimana penelitian akan
menekankan pada aspek perubahan struktur sosial berdasarkan kajian
8
terhadap sumber-sumber pustaka dan dokumen yang telah penulis
kumpulkan.
Bab keempat mengungkapkan hasil temuan penelitian atas lima masalah
pokok yang telah disinggung pada bab pendahuluan. Secara garis besar,
penulis mencoba mensistematiskan temuan dengan memaparkan perubahan
sosial dan pola penetrasi modal pada era kolonial (1684-1942) dan era orde
baru (1966-1998).
Dan akhirnya sebagai penutup, penulis menggarisbawahi paparan pada
bagian sebelumnya dengan kesimpulan-kesimpulan atas lima pokok masalah
yang ingin diungkapkan. Dari lima kesimpulan tersebut, penulis kemudian
menyusun sumbang saran yang diharapkan dapat berguna bagi
pembangunan Tangerang di masa mendatang.
9
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Definisi Konsep
a. Pengertian Penetrasi Modal
Dalam ilmu ekonomi, istilah modal atau capital mempunyai
pengertian yang berbeda-beda, tergantung dari konteks
penggunaannya dan aliran pemikiran yang dianut. Dalam buku The
Wealth of Nation (1776) karya Adam Smith, terdapat banyak
istilah capital dan circulating capital. Menurutnya, sirkulasi modal
berarti apabila seseorang menggunakan modal yang dimiliki
selama jangka waktu tertentu untuk menghasilkan suatu
keuntungan. Adam Smith (1998: 364) menyebutkan:
His capital is continually going from him in one shape, and returning to him in another, and it is only by means of such circulation, or successive exchanges, that it can yield him any profit.
Sedangkan Mubyarto (1973: 94)memberikan definisi sedikit
berbeda. M odal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor
produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru.
Modal dapat diartikan sebagai kekayaan yang dimiliki seseorang
yang tidak segera dikonsumsi melainkan disimpan (saving adalah
poten tial capital), atau dipakai untuk menghasilkan barang atau
jasa baru (investasi). Dengan demikian, modal dapat berwujud
10
barang dan uang. Tetapi, tidak setiap jumlah uang dapat disebut
modal. Sejumlah uang itu menjadi modal kalau ia ditanam atau
diinvestasikan untuk mendapatkan pengembalian yang lebih besar.
Berbeda lagi dengan pendapat Karl Marx. Ia menggunakan
istilah capital untuk mengacu kepada konsep yang sama sekali
lain. Modal bukanlah barang, melainkan hubungan produksi sosial
yang menampakkan diri sebagai barang. Hubungan tersebut
terbentuk tatkala modal mengalami proses sedemikian rupa untuk
melahirkan hasil yang lebih besar (akumulasi modal). Selama
proses tersebut, berlangsunglah hubungan sosial antara pemilik
dengan pihak bukan pemilik dimana hubungan tersebut diikat
sedemikian rupa agar saling bergantung dan terus terlestarikan.
Nilai menjadi nilai dalam proses, uang dalam proses, dan sebagai itu, menjadi kapital. Ia keluar dari peredaran, kembali masuk ke dalamnya, melestarikan, dan memperbanyak diri di dalam peredaran, muncul darinya dengan suatu ukuran yang meningkat, dan memulai perputaran yang sama berulang-ulang kali (Marx, 2004: 140).
Dalam pemikiran Karl Marx, proses akumulasi modal atau
akumulasi capital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang
dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan hingga
menjualnya, melalui satu fase. Sejumlah uang digunakan dalam
proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus
dasarnya adalah: M (Money) – C (Commodity) – M (Money).
Namun, perlu digarisbawahi bahwa bukan soal investasi uang yang
penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting,
11
karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara
keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja
yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa -apa.
Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Dengan demikian,
modal adalah suatu konsep abstrak yang manifestasinya dapat
berupa barang, jasa tenaga kerja, tenaga kerja, tanah, mesin, atau
uang.
Berdasarkan pemikiran di atas, dalam penelitian ini, istilah
“penetrasi modal dan implikasinya” penulis artikan sebagai suatu
proses penekanan, meresapkan, penyebaran tentang gerak sistem
akumulasi modal sehingga mempengaruhi dan memberikan
dampak baik secara positif maupun negatif dalam kehidupan
masyarakat Tangerang. Selanjutnya, proses tersebut dilihat melalui
perspektif ilmu sejarah.
b. Pengertian Tangerang
Istilah Tangerang mengandung dua pengertian. Pertama,
menunjuk pengertian umum yaitu sebagai wilayah yang kini telah
berkembang menjadi sebuah kota industri. Hal ini ditandai dengan
penggunaan tanah untuk non pertanian, seperti: pabrik, perkantoran,
ruko, mall, pemukiman, pasar, dan lain-lain. Dengan demikian,
intensitas penggunaan ruang untuk non pertanian makin meningkat
secara tajam atau makin mendominasi. Daerah tersebut terletak
antara 1060 20' dengan 1060 43' Bujur Timur dan antara 6° 00' -6°
12
20' Lintang Selatan. Bagian terbesar daerah ini merupakan dataran
rendah dengan ketinggian antara 0-50 meter di atas permukaan
air laut. Daerah Tangerang termasuk beriklim panas karena berada
di daerah dekat dengan garis katulistiwa. Temperatur rata -rata
sekitar 230-330 C. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun 2.043
mm. Sedangkan Luas daerah Tangerang (daerah Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang) adalah 128.281 hektar atau sekitar
1.283 kilometer persegi dengan jarak bentangan 40 km antara utara
dengan selatan dan 50 km antara barat dengan timur. Daerah seluas
tersebut berbatasan dengan daerah Kabupaten Serang di sebelah
barat, laut Jawa di sebelah utara, daerah Ibukota Jakarta di sebelah
timur, serta daerah Kabupaten Bogor di sebelah selatan (Ekajati,
2004:25-28).
Kedua, menunjuk pengertian administrasi pemerintahan
tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Dalam hal ini, Tangerang terdiri
dari dua wilayah administratib yaitu Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang, yang artinya adalah suatu pemerintahan daerah
yang mayoritas wilayahnya merupakan daerah perkotaan
(Sadyohutomo, 2008:3-4). Daerah kedua pemerintahan tersebut
berada di bawah Provinsi Banten. Untuk pemerintahan Kabupaten
Tangerang, membawahi 24 pemerintah tingkat kecamatan, yaitu:
Balaraja , Cikupa, Ciputat, Cisauk, Cisoka , Curug, Jambe , Jayanti,
Kemiri, Kosambi, Kresek, Kronjo, Legok, Mauk, Pagedangan,
13
Pakuhaji, Pamulang, Panongan, Pasarkemis, Pondok Aren, Rajeg,
Sepatan, Serpong, Sukadiri. Sedangkan Kota Tangerang meliputi
lima kecamatan, yaitu: Tangerang, Batuceper, Cipondoh, Ciledug,
dan Jatiuwung.
Walaupun terdapat dua pengertian, dalam penelitian ini,
pengertian yang digunakan adalah pengertian yang pertama. Oleh
sebab itu, untuk selanjutnya, Istilah Tangerang berarti akan
menunjuk pengertian tersebut.
c. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu
dan yang terikat oleh suatu identitas bersama. Kesatuan manusia
tersebut tinggal di suatu daerah, hidup secara kolektif atau
bersosial, berinteraksi satu sama lain, dan saling bergantung.
Menurut Koentjaraningrat, ciri khas kehidupan kolektif; yaitu : (1)
pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam sub-
kesatuan atau golongan individu dalam kolektif untuk
melaksanakan berbagai macam fungsi hidup; (2) ketergantungan
individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat dari
pembagian kerja; (3) kerjasama antar-individu yang disebabkan
karena sifat saling ketergantungan; (4) komunikasi antar-individu
yang diperlukan guna melaksanakan kerjasama; (5)
diskriminasi yang diadakan antara individu-ndividu warga
14
kolektif dan individu-individu dari luarnya (Koentjaraningrat,
1986:136).
Kehidupan kolektif manusia atau masyarakat, sangat
dipengaruhi oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal
budi. Akal dan budi manusia inilah yang menyebabkan kehidupan
kolektif tersebut terus berubah baik ke arah positif (kerjasama,
perdamaian, keharmonisan, dan lain-lain) maupun ke arah negatif
(konflik, pertentangan, perang, kerusuhan, dan lain-lain).
d. Pengertian Sosial-Ekonomi
Penelitian di bidang sosial ekonomi pada hakikatnya
merupakan penelitian terhadap kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dimana tak lepas dari motif memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hubungan antara kehidupan sosial dan ekonomi menjadi
sangat erat.
Menurut Koentjaraningrat, agar seorang ahli ekonomi
berhasil melakukan pembangunan ekonomi di suatu daerah,
diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem
kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, dan sikap hidup
masyarakat di daerah tersebut. Maka, ia akan memerlukan bahan
komparatif seperti sikap terhadap kerja, sikap terhadap kekayaan,
sistem gotong royong, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1986: 36-
37).
15
2. Kajian Pustaka
Menelusuri literatur tentang sejarah Tangerang ternyata tidak mudah.
Selain karena masih terbatasnya hasil kajian, juga karena tersebarnya
sumber sejarah. Sumber-sumber tersebut di antaranya berupa potongan-
potongan data dari arsip pemerintahan Belanda yang kini tersimpan di Arsip
Nasional dan beberapa hasil peneliti sejarah, sosiologi, dan Anthropologi.
Sumber sejarah yang tersimpan di Arsip Nasional menyangkut peristiwa di
zaman Hindia Belanda, kebanyakan masih berbahasa Belanda. Penulis
masih sangat awam dengan bahasa Belanda, hal ini menjadi salah satu faktor
kesulitan tersendiri.
Dengan segenap kemampuan yang penulis miliki, akhirnya
penelusuran pustaka dapat diselesaikan. Penulis berhasil menghimpun
beberapa sumber yaitu hasil kajian Tim Pusat Studi Sunda yang terdiri dari
Edi S. Ekajati, A. Sobana Hardjasaputra, dan Muhammad Mulyadi. Hasil
kajian mereka telah dibukukan oleh Pemda Kabupaten Tangerang tahun
2004 dengan judul Sejarah Kabupaten Tangerang . Dalam buku tersebut,
sejarah Tangerang diurai mulai sejak Prasejarah hingga era industri.
Mengingat luasnya wilayah kajian, maka dapat dibayangkan bahwa buku
tersebut berupa gambaran umum sejarah masa lalu Tangerang. Seluruh
aspek kehidupan masyarakat Tangerang berusaha ditampilkan seperti
perubahan geografis, administrasi pemerintahan, flora fauna, kehidupan
purbakala, pendudukan VOC disusul Hindia Belanda, Jepang dan era
kemerdekaan. Akibatnya, fokus salah satu bidang tidak bisa mendalam dan
16
kritis. Apa lagi bila dikaitkan dengan sejarah penetrasi modal yang menjadi
fokus skripsi ini.
Kendati demikian, hasil kajian Ekajati dan kawan-kawan sangat
berguna bagi penulis dalam memahami secara umum perjalanan sejarah
kehidupan Tangerang. Di samping itu, penelitian mereka cukup menjadi
pijakan awal dalam mengurai secara khusus tentang sejarah penetrasi modal.
Hasil penelitian berikutnya disusun oleh Wahidim Halim yang diberi
judul Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju Masyarakat Berperadaban
Akhlakul Karimah. Hal menonjol dalam laporan penelitian ini adalah
perhatian penulis pada bidang budaya yang dimiliki oleh Tangerang. Nilai-
nilai budaya tersebut ia gambarkan dengan adanya kehidupan Thionghoa
dan kebudayaanya, tempat-tempat bersejarah, bangunan bersejarah seperti
Kelenteng Boe n San Bio, Boen Tek Bio, Rumah Kapitan Tionghoa, dan
lain-lain. Alhasil, buku Wahidin Halim akan sangat berguna terutama dalam
kaitan potensi sejarah dan budaya Tangerang sebagai objek wisata.
Terhadap hasil kajian Wahidim Halim, penulis telah menggunakannya
untuk menyusun data dan fakta terkait potensi budaya baik potensi yang
bersifat positif maupun negatif. Positif berarti aspek budaya tertentu dapat
memberikan peluang bagi tata nilai yang patut dipertahankan sedang yang
negatif berupa potensi konflik akibat keragaman budaya di Tangerang yang
harus selalu diantisipasi.
Bila hanya menggunakan hasil kajian di atas, dalam menyusun skripsi
ini, penulis jelas mengalami kekurangan sumber begitu banyak. Sangat
17
beruntung bahwa penulis juga pernah terlibat dalam penelitian terkait
sejarah perburuhan di wilayah Cikupa, kabupaten Tangerang yang
diselenggarakan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM). Penelitian
dilakukan tahun 2006-2007 dengan fokus seputar problem-problem
kehidupan layak bagi buruh pabrik di Cikupa. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh sekitar 34 transkripsi wawancara dengan pendekatan Oral History
Project (OHP) serta dengan model pertanyaan riwayat hidup menjadi buruh.
Dari transkripsi inilah penulis bisa mendapatkan sumber primer untuk
mendukung pemaparan fakta terkait dampak industrialisasi (baca: penetrasi
modal) pada era orde baru. Penulis memperoleh data-data perubahan sosial
kehidupan Tangerang sekitar Tahun 1970-1998.
Sumber-sumber pendukung berikutnya untuk memperkuat penyusunan
skripsi ini, penulis dapatkan dengan mempelajari hasil penelitian berupa
tesis dan desertasi mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia yang
terkumpul di Perpustakaan Nasional. Kebanyakan berupa hasil kajian
dengan disiplin ilmu sosiologi dan anthropologi. Penulis juga sangat
terbantu dengan adanya data-data dari Badan Pusat Statistik, Perpustakaan
Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) terkait data perubahan pola agraria di
Indonesia.
B. Kerangka Berpikir
Penulis sengaja memilih judul skripsi ini ”Penetrasi Modal di
Tangerang dan Implikasinya antara Tahun 1684 -1942 dan Tahun
1966-1998” mengingat pokok masalah yang akan dibahas adalah masalah-
18
masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat aktivitas manusia dalam menjalankan
sistem akumulasi modal pada masa kolonial dan orde baru. Artinya, dalam skripsi
ini, penulis akan melakukan komparasi antara pola penetrasi modal dan dampak
yang ditimbulkannya pada masa kolonial dengan masa orde baru. Pilihan untuk
membandingkan dua periode tersebut dilakukan dengan pertimbangan: pertama,
penetrasi modal pada kedua periode tersebut adalah periode terpanjang yang
memungkinkan penetrasi modal membentuk pola tertentu dan dampak yang
sistematik. Kedua , pada masa pendudukan Jepang dan orde lama diberlakukan
pembatasan penanaman modal asing sehingga tidak terjadi pola penetrasi modal
yang berdampak signifikan.
Untuk mengurai pokok masalah di atas, penulis telah melakukan penelitian
dengan menggunakan metode sejarah. Dalam ilmu sejarah, metode penelitian
sejarah meliputi empat tahap yaitu: pengumpulan sumber atau heuristik, verifikasi
dan kritik sumber, interpretasi, dan penulisan atau historiografi.
Dalam mengumpulkan sumber, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan
yaitu: Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Lembaga Studi Advokasi Mayarakat
(Elsam), Perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Badan usat
Statistik (BPS), dan Gedung Arsip Nasional. Di tempat tersebut penulis
mengumpulkan literatur yang relevan dengan judul yang telah ditentukan. Maka
terkumpulan sekitar 50 pustaka, 34 transkripsi wawancara, serta sejumlah artikel
dan dokumen seperti kliping dan artikel lepas.
Selanjutnya, penulis melakukan kritik terhadap sumber yang sudah
terkumpul tersebut yang meliputi kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
19
dilakukan dengan menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tahun penulisan dan
bahasa yang digunakan dalam sumber tersebut. Kritik ekstern digunakan untuk
melihat otentisitas sumber. Se dangkan kritik intern dilakukan dengan cara
menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tema-tema yang dianggap mendekati dan
relevan dengan penulisan skripsi ini. Kritik intern digunakan untuk menjamin
kredibilitas sumber dengan melakukan cross check data-data yang diberikan oleh
sumber sejarah.
Langkah berikutnya, penulis melakukan interpretasi yaitu menemukan
makna yang saling berhubungan dari fakta -fakta sejarah yang masih terpisah-
pisah akibat sudut pandang yang berbeda dari masing-masing sejarawan sehingga
diperoleh fakta -fakta baru. Dari kumpulan fakta baru tersebut, akhirnya penulis
dapat menyusun tulisan dalam bentuk karya sejarah.
Dalam melakukan analisa data, penulis selalu berlandaskan pada kajian
pustaka. Penulis mencoba memahami, membaca, meringkas, dan mengkaji
seluruh literatur hasil penelitian yang telah dilaporkan peneliti-peneliti baik di
bidang ilmu sejarah, sosiologi, maupun anthropologi. Selain itu, didukung pula
dengan data -data yang telah penulis analisa dari kumpulan transkripsi hasil
penelitian perburuhan yang diselenggarakan oleh Lembaga Stud Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
Dan selanjutnya, penulis menyusun kesimpulan dari data dan fakta yang
berhasil ditemukan dalam bentuk karya ilmiah dengan suatu metodologi. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis telah menganalisa dan menyimpulkan melalui
metodologi strukturalis dengan teka nan terhadap analisis perubahan dan
20
pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang. Tekanannya tidak
diletakkan pada untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceritakan
tokoh, atau peristiwa tertentu tapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical
process). Peristiwa maupun tokoh dengan begitu hanya disinggung sejauh benar-
benar memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses sejarah tersebut.
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Menurut Kuntowijoyo (1995 : 12) , sejarah sebagai ilmu terikat pada
prosedur penelitian ilmiah. Urutan kerja atau prosedur yang digunakan biasa
disebut metode sejarah atau metode historis. Metode historis sebagai suatu proses
yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa, atau pun gagasan
yang timbul pada masa lampau untuk menemukan generalisasi yang berguna
untuk memahami sejarah. Menurut Kuntowijoyo metode sejarah mempunyai lima
langkah, yaitu : (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber atau heuristik , (3)
verifikasi dan kritik sumber , (4) interpretasi, dan (5) penulisan atau historiografi.
Langkah pertama yang dilakukan penulis bukanlah pemilihan topik, tetapi
memilih judul. Mengapa? Dalam pe nyusunan skripsi, apa yang akan diungkap dan
diteliti haruslah benar-benar fokus dan mempunyai ruang lingkup yang jelas dan
terbatas. Sebab, tanpa fokus yang jelas, skripsi tidak akan dapat mengungkap
secara tajam dan mendasar. Dalam tahap ini, penulis telah memilih judul
berdasarkan kedekatan emosional yaitu minat penulis yang cukup besar terhadap
masalah dampak industrialisasi. Akan tetapi, penulis tidak melalaikan kaidah-
kaidah fundamental dalam penelitian melalui pendekatan ilmiah.
Langkah kedua adalah heuristik. Pada tahap ini penulis berusaha mencari
dan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dan signifikan dengan fokus
penelitian baik sumber primer maupun sumber sekunder. Penulis melakukan
pengumpulan sumber literatur dengan mengunjungi perpustakaan yaitu:
22
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Lembaga Studi Advokasi Mayarakat
(Elsam), Perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Gedung Arsip
Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), dan kunjungan ke daerah kawasan industri
kelurahan Telagasari, Kampung Telaga Kocak, Kecakapan Cikupa, Kabupaten
Tangerang. Pelaksanaan pengumpulan sumber penelitian dilakukan dari bulan
Maret 2009 sampai dengan bulan Juni 2009. Sumber yang didapatkan meliputi 33
buku, dua transkripsi wawancara sejarah buruh di Tangerang, empat jurnal
penelitian, sejumlah artikel lepas, serta berita kliping koran yang penulis himpun
dari internet. Dari 33 literatur yang terkumpul, di antaranya berupa hasil penelitian
sosiologi dan anthropologi untuk tesis pasca sarjana mahasiswa Universitas
Indonesia dan Universitas Gajah Mada. Sementara yang lainnya berupa hasil
penelitian resmi Pemda Kabupaten Tangerang, literatur tentang teori-teori
penelitian sejarah, serta teori sosial dan ekonomi seperti literatur tentang teori
”kota” dan teori kapital.
Langkah ketiga, penulis melakukan kritik sumber yaitu kegiatan meneliti
sumber-sumber sejarah baik secara ekstern maupun intern. Kritik ekstern
dilakukan dengan menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tahun penulisan dan
bahasa yang digunakan dalam sumber tersebut. Kritik ekstern digunakan untuk
melihat otentisitas sumber. Sedangkan kritik intern dilakukan dengan cara
menyeleksi sumber-sumber berdasarkan tema-tema yang dianggap mendekati dan
relevan dengan penulisan skripsi ini. Kritik intern digunaka n untuk menjamin
kredibilitas sumber dengan melakukan cross check data-data yang diberikan oleh
sumber sejarah. Tujuan melakukan kritik sumber adalah memperoleh data yang
dapat dipertanggungjawabkan agar sesuai dengan permasalahan yang dibahas
23
dalam skripsi ini. Selain itu, kritik sumber dimaksudkan untuk memperoleh
tulisan sejarah yang objektif.
Langkah keempat, penulis melakukan interpretasi yaitu menemukan makna
yang saling berhubungan dari data -data sejarah yang masih terpisah-pisah akibat
sudut pandang yang berbeda dari masing-masing sejarawan. Semua itu
diperbolehkan sepanjang tidak menyimpang dari data-data yang dimiliki. Selain
itu, fakta sejarah akan memiliki arti sejarah apabila sudah mendapat tafsiran yang
dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang relevan sehingga melahirkan fakta
baru yang disajikan dalam bentuk skripsi. Terkait data-data yang digunakan,
penulis berusaha selalu mencantumkan keterangan sumber dari mana data itu
diperoleh.
Langkah kelima, penulisan dalam bentuk karya sejarah. Metode penulisan
skripsi ini adalah metode deskriptif analitis, dengan tekanan terhadap analisis
perubahan dan pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang.
Tekanannya tidak diletakkan pada untaian peristiwa sejarah (historica l events)
yang menceritakan tokoh, organisasi, atau peristiwa tertentu tapi lebih kepada
analisis proses sejarah (historical process). Peristiwa maupun tokoh dengan begitu
hanya disinggung sejauh benar-benar memberikan pengaruh yang mendalam
terhadap proses sejarah tersebut. Walaupun demikian, tidak berarti perjalanan
sejarah hanya menjadikan pengujian teori dan konsep yang digunakan disini,
karena data -data sejarah bagaimanapun jauh lebih menentukan sifatnya.
B. Sumber Sejarah
24
Penentuan sumber sejarah memiliki peranan sangat penting dalam menyusun
karya sejarah atau rekontruksi peristiwa masa lampau yang objektif. Pada
dasarnya , sumber sejarah terdiri dari dua sumber yaitu sumber primer dan sumber
sekunder.
1. Sumber Primer
Menurut Louis Gottschalk, sumber primer adalah kesaksian dari
seseorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera
lain atau dengan alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan
(Gottschalk, 1985: 35). Dalam penulisan skripsi ini, sumber primer yang
penulis gunakan antara lain:
a. Kumpulan transkripsi wawancara penelitian sejarah kehidupan buruh
tahun 1970 di wilayah Cikupa, Kabupaten Tangerang, yang
diselenggarakan oleh Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam)
pada tahun 2006-2007.
b. Crousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta:
Masup Jakarta.
2. Sumber Sekunder
Sumber kedua atau sumber sekunder yaitu kesaksian dari siapapun
yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir
pada peristiwa yang dikisahkan (Gottschalk, 1985: 35). Walaupun sumber
sekunder disusun oleh bukan saksi mata (misalnya peneliti sejarah),
namun sumber sekunder tetap dibutuhkan dan mendukung penulisan
skripsi ini. Sumber tersebut antara lain:
25
a. Anantatoer, Pramoedya. 1982. Tempo Doeloe . Jakarta: Hasta
Mitra
b. Anantatoer, Pramoedya. 1998. Hoakiau Di Indonesia. Jakarta:
Garba Budaya
c. Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang.
Tangerang:. Pemerintah Kabupaten Tangerang.
d. Setyanto, Guntur. 2000. Interaksi Sosial Etnis Tionghoa dan
Pribumi (Studi Kasus di RT 03 RW 06 Kelurahan Neglasari
Kecamatan Batuceper Kodya Tengerang). Jakarta: Universitas
Indonesia Program Pascasarjana.
e. Multatuli. 1975. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan
f. Murtono. 1998. Proses Tran formasi Masyarakat Pertanian
Menuju Masyarakat Industri (Studi Kasus Tangerang,
Bekasi, Bogor). Jakarta: Universitas Indonesia Program
Pascasarjana.
g. Suryana. 1998. Kontribusi Pembangunan Perumahan dan
Permukiman terhadap Pendapatan Daerah dan Beban
Peme rintah Daerah dalam Pembiayaan Prasarana
Lingkungan, Fasilitas Sosial dan Utilitas Umum, Suatu Studi
Kasus di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang. Jakarta:
Universitas Indonesia Program Pascasarjana
h. Sadyohutomo, Ir. Mulyono, MRCP. 2008. Manajemen Kota
dan Wilayah, Realita dan Tantangan . Jakarta: Bumi Aksara
26
i. Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria
Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung: Akatiga.
j. Mubyarto, 1992. Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru
1966-1971, Jakarta: LP3ES
k. Halim, Wahidin. 2005. Ziarah Budaya Kota Tangerang
Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah.
Jakarta: Pendulum.
l. Simbolon, Parakitri T. 1995. Menjadi Indonesia. Jakarta:
Kompas.
m. Sutiyoso. 2007. Megapolitan . Jakarta: Gramedia.
n. Yunus, Hadi Sabari, MA. 2006. Megapolitan, Konsep,
Problematika, dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C. Metodologi
Dalam ilmu sejarah, paling tidak terdapat tiga metodologi yaitu metodologi
individualis, strukturalis, dan strukturis. Metodologi individualis mendasarkan
pada teori bahwa perubahan terjadi karena pengaruh tokoh tertentu. Dalam
kacamata ini, sejarah dipandang hanya milik orang-orang besar sedangkan rakyat
jelata dianggap tidak memiliki sejarah. Metodologi kedua merupakan kebalikan
dari individualis dimana memandang bahwa perubahan terjadi bukan karena
pengaruh seorang tokoh tetapi karena struktur sosial sehingga disebut juga
metodologi holis. Sedangkan metodologi ketiga merupakan metodologi yang
mengkombinasikan antara metodologi individualis dan strukturalis.
27
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah menganalisa dan menyimpulkan
melalui metodologi strukturalis dengan teka nan terhadap analisis perubahan dan
pergeseran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Tangerang. Dalam hal ini,
penulis mencoba mencermati kecenderungan-kecenderungan umum pelaksanaan
penetrasi modal atau aktivitas akumulasi modal yang dilakukan kolonial Belanda
maupun rezim orde baru. Kecenderungan-kecenderungan tersebut kemudian
dianalisa dan diklasifikasikan sehingga dapat dirumuskan dalam suatu pola
tertentu. Pola-pola penetrasi modal tersebut tetap harus dilihat sebagai kesatuan
tahapan yang sistematis agar tujuan akumulasi modal dapat tercapai. Pola
penetrasi modal tersebut sengaja dan terencana dijalankan oleh rezim penguasa,
dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda dan orde baru, baik dengan produk
hukum, praktek tangan besi, pembentukan struktur pemerintahan, penataan warga,
dan lain-lain. Dan pada tahap tertentu, setiap pelaksanaan penetrasi modal
berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat Tangerang baik di bidang ekonomi,
sosial, maupun di bidang budaya.
Dengan demikian, tekanan dan isi penulisan skripsi ini tidak terletak pada
untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceritakan tokoh, atau
peristiwa tertentu tapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical process).
Peristiwa maupun tokoh dengan begitu hanya disinggung sejauh benar-benar
memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses sejarah tersebut.
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum dan Potensi Wilayah Tangerang
1. Asal Mula Nama Daerah Tangerang
Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang,
nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran (dengan satu
maupun dua huruf g) yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang
(Ekajati, 2004: 39). Kata tengger dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”
yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan
Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Daerah yang dimaksud berada
di bagian sebelah barat Sungai Cisadane yaitu Kampung Grendeng atau
tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang. Tugu dibangun oleh
Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Seperti dikutip
dalam website Pemerintah Daerah Kotamadya Tangerang
(www.kotatangerang.go.id ), pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf
Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut:
Bismillah peget Ingkang Gusti Diningsun juput parenah kala Sabtu Ping Gasal Sapar Tahun Wau Rengsena Perang nelek Nangeran Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu Tanggal 5 Sapar Tahun Wau Sesudah perang kita memancangkan Tugu
29
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas (Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Sedangkan istilah perang menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut
dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten
dengan tentara VOC. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng
pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng
pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane. Keberadaan benteng tersebut
juga menjadi dasar bagi sebutan daerah sekitarnya (Tangerang) sebagai daerah
Beteng. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut
dengan istilah Beteng .
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652,
benteng pertahanan kasultanan Banten didirikan oleh tiga maulana yaitu
Yudhanegara, Wangsakara , dan Santika yang diangkat oleh penguasa Banten.
Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan sekaligus menjadi pusat
perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil
dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan (tiga
tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang
yang merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran melawan
VOC, ketiga maulana tersebut berturut -turut gugur satu persatu.
Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terja di pada masa
daerah Tangeran mulai dikuasai oleh VOC yaitu sejak ditandatangani
perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684. Daerah
Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda
30
tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule) tetapi juga merekrut warga
pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan
di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari Makasar tidak mengenal
huruf mati, dan terbiasa menyebut Tangeran dengan Tangera ng . Kesalahan
ejaan dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini.
Sebutan Tangerang menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan
Jakarta (Jakarta Ken ) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M. Atik
Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po No.
34/2604. Terkait pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut,
Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal
tersebut sebagai hari lahir pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27
Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25
Oktober 1984 (Halim, 2004: 7).
2. Kondisi Geografis
Sejak tahun 1993, wilayah Tangerang terbagi menjadi dua wilayah
Administratib yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Daerah
Kabupaten Tangerang terletak di antara 1060 20' dengan 1060 43' Bujur Timur
dan antara 6° 00'-6° 20' Lintang Selatan. Sedangkan Kota Tangerang terletak
pada. posisi 106° 36' - 106° 42' Bujur Timur dan 6° 6' – 6° 13' Lintang
Selatan. Bagian terbesar kedua daerah tersebut merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 0-50 meter di atas permukaan air laut. Daerah
31
Tangerang termasuk beriklim panas karena berada di daerah dekat dengan
garis katulistiwa. Temperatur rata-rata sekitar 230-330 C. Rata-rata curah hujan
dalam satu tahun 2.043 mm. Sedangkan Luas daerah Tangerang (daerah
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang) adalah 128.281 hektar atau sekitar
1.283 kilometer persegi dengan jarak bentangan 40 km antara utara dengan
selatan dan 50 km antara barat dengan timur. Daerah seluas tersebut berbatasan
dengan daerah Kabupaten Serang di sebelah barat, laut Jawa di sebelah utara,
daerah Ibukota Jakarta di sebelah timur, serta daerah Kabupaten Bogor di
sebelah selatan (Ekajati, 2004: 25-28).
Wilayah Tangerang dilintasi beberapa sungai di antaranya sungai
Cisadane yang membagi Tangerang menjadi dua bagian yaitu bagian timur
sungai dan bagian barat sungai. Selain Sungai Cisadane, terdapat pula sungai-
sungai lain seperti Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kota
Tangerang dengan Kabupaten Tangerang,. Kemudian, Kali Ledug yang
merupakan anak Sungai Cirarab, Kali Sabi dan Kali Cimode. Sungai-sungai
tersebut berada di sebelah Sungai Cisadane, sedangkan pada bagian timur
sungai Cisadane terdapat pula sungai yang meliputi: Kali Pembuangan
Cipondoh, Kali Angke, Kali Wetan, Kali Pasanggrahan, Kali Cantiga, Kali
Pondok Bahar. Terdapat pula saluran air yang meliputi Saluran Mokevart,
Saluran Irigasi Induk Tanah Tinggi, Saluran induk Cisadane Barat, Saluran
Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk Cisadane Utara.
Dilihat dari letek topografi dan sumber air yang tersedia, maka memang
sangat ideal bagi Tangerang untuk menjadi area pertanian baik sawah maupun
ladang. Maka tidak heran bila saat masa kolonial Tangerang memang menjadi
32
sumber penghasil pertanian terutama produksi kecap kedelai yang dikenal
bermerk cap Beteng. Namun seiring kebijakan pembangunan di era Orde
Baru, lahan Tangerang kemudian banyak digunakan sebagai area industri.
Wilayah pertanian semakin menyempit. Di sejumlah kecamatan bahkan telah
habis untuk lahan permukiman dan industri.
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990
Jenis Penggunaan Lahan Asal NO
Pola Penggunaan
Lahan Luas (Ha)
Sawah Tanah Kosong
Lainnya
1 2 3
Industri Perumahan Jasa
469,58 26.350,44
535,36
83,12 9.580,45
345,05
101,51 150,65
7,41
284,95 16.619,34
182,90
TOTAL 27.355,38 10.008,62 259,57 17.087,19 Sumber: BAPPEDA Kabupaten Tangerang Tahun 1990 dalam Rizal, 1993: 87
3. Kependudukan
Mengenai latar belakang penduduk yang mendiami Tangerang, dapat
diketahui dari berbagai sumber antara lain sejumlah prasasti, berita-berita
Cina, maupun laporan perjalanan bangsa kulit putih di Nusantara. Pada
mulanya, penduduk Tanggeran boleh dibilang hanya beretnis dan berbudaya
Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta pendatang dari
Banten, Bogor, dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang penduduk baru
dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang beretnis dan
berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan perluasan wilayah
kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati daerah pesisir Tanggeran
sebelah barat. Orang Banten yang menetap di daerah Tanggeran diduga
merupakan warga campuran etnis Sunda, Jawa, Cina, yang merupakan
33
pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten dan kemudian ke
wilayah Sunda Calapa. Etnis Jawa juga makin bertambah sekitar tahun 1526
tatkala pasukan Mataram menyerbu VOC. Tatkala pasukan Mataram gagal
menghancurkan VOC di Batavia, sebagian dari mereka menetap di wilayah
Tanggeran.
Orang Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara sejak sekitar abad 7
M, diduga juga banyak yang kemudian menetap di Tanggeran seiring
berkembangnya Tionghoa -muslim dari Demak. Di antara mereka kemudian
banyak yang beranak-pinak dan melahirkan warga keturunan. Jumlah mereka
juga kian bertambah sekitar tahun 1740. Orang Tionghoa kala itu diisukan
akan melakukan pemberontakan terhadap VOC. Konon sekitar 10.000 orang
Tionghoa kemudian ditumpas dan ribuan lainnya direlokasi oleh VOC ke
daerah sekitar Pandok Jagung, Pondok Kacang, dan sejumlah daerah lain di
Tanggeran. Di kemudian hari, di antara mereka banyak yang menjadi tuan-
tuan tanah yang menguasai tanah-tanah partikelir.
Penduduk berikutnya adalah orang-orang Betawi yang kini banyak
tinggal di perbatasan Tangerang-Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang di
masa kolonial tinggal di Batavia dan mulai berdatangan sekitar tahun 1680.
Diduga mereka pindah ke Tanggeran karena bencana banjir yang selalu
melanda Batavia (Ekajati, 2004: 108-109).
Menurut sebuah sumber, pada ta hun 1846, daerah Tangeran juga
didatangi oleh orang-orang dari Lampung. Mereka menempati daerah
Tangeran Utara dan membentuk pemukiman yang kini disebut daerah
Kampung Melayu (Thahiruddin, 1971: 37). Selanjutnya, ketika memasuki
34
jaman Orde Baru, penduduk Tangerang makin beragam etnis. Berkembangnya
industri di sana, mengakibatkan banyak pendatang baik dari Jawa maupun luar
Jawa yang akhirnya menjadi warga baru.
Untuk sekedar memetakan persebaran etnis-etnis di Tangerang, dapat
disebutkan di sini bahwa daerah Tangerang Utara bagian timur berpenduduk
etnis Betawi dan Cina serta berbudaya Melayu Betawi. Daerah Tangerang
Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya Betawi. Daerah Tangeran
Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda. Sedang daerah Tangeran Utara
sebelah barat berpenduduk dan berbudaya Jawa (Halim, 2005: 6). Persebaran
penduduk tersebut di masa kini tidak lagi bisa mudah dibaca mengingat
banyaknya pendatang baru dari berbagai daerah. Maka, apabila ingin
mengetahui persebaran etnis di Tangerang, tentunya dibutuhkan studi yang
lebih mendalam.
Tabel 2. Penduduk Afdeling Tangerang Tahun 1930
Distrik Onderdistrik Pribumi Eropa Cina Arab Jumlah Tangerang Jati Serpong Cengkareng Curug
47.553 28.774 46.450 42.188 31.968
191 32 17 8 2
2.934 3.419 5.394 4.687 3.300
62 -
43 27
-
50.740 32.225 51.904 46.910 35.270
Tangerang
Jumlah 196.933 250 19.734 132 217.049 Balaraja Kresek Tigaraksa
39.081 4.952
55.971
7 4
18
2.396 558
1.738
- - -
41.484 5.514
57.727
Balaraja
Jumlah 100.004 29 4.692 - 104.725 Mauk Mauk
Teliklnaga 91.457 38.985
13 -
10.813 5.184
29 16
102.312 44.185
Jumlah 130.442 13 15.997 45 146.497 T O T A L 427.379 292 40.423 177 468.271
(Volkstelling 1930, I, 1933 dalam Suryana et al., 1992: 21-22)
35
Tabel 3. Tabel Perkembangan Penduduk
Per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2000-2005
NO Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten
1. Lebak 1.011.788 1.025.088 1.040.871 1.082.012 1.100.911 1.106.788
2. Pandeglang 1.030.040 1.034.710 1.044.047 1.122.228 1.132.899 1.139.043
3. Serang 2.781.428 2.873.256 2.983.384 3.185.944 3.194.282 3.324.949
4. Tangerang 1.652.763 1.669.119 1.735.560 1.776.995 1.834.514 1.866.512
Kota 5. Tangerang 1.325.854 1.354.657 1.416.840 1.462.726 1.488.666 1.537.244
6. Cilegon 294.936 3.1.225 309.225 326.324 331.872 334.408
Banten 8.096.809 8.258.055 8.529.799 8.956.324 9.083.144 9.308.944
Sumber: BPS Provinsi Banten
4. Potensi Wilayah Tangerang
Sejak zaman kolonial hingga era reformasi, nampaknya daerah
Tangerang mempunyai potensi yang strategis baik di bidang ekonomi, sosial,
budaya, maupun politik. Di masa Kolonial Belanda dan Orde Baru,
nampaknya potensi tersebut tidak disia-siakan untuk kepentingan akumulasi
modal.
Pada masa kolonial, wilayah Tangerang menjadi daerah perbatasan
dengan kekuasaan Kasultanan Banten. Akibatnya, pada masa awal VOC
menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan, VOC harus ekstra keras
melakukan penjagaan dan pertahanan di Tangerang. Hal ini terbukti dengan
pendirian benteng pertahanan. Tangerang kemudian berhasil dikuasai VOC
dan diteruskan pemerintah Kolonial Belanda . Lahan Tangerang dipusatkan
untuk menghasilkan beras, kedelai, kopi, dan kerajinan topi dengan
menjadikan daerah partikelir.
36
Pada era Orde Baru, Tangerang tumbuh pesat menjadi sebuah kota
industri. Ribuan pabrik didirikan oleh investor asing maupun nasional.
Tangerang dijadikan daerah untuk menghasilkan akumulasi modal. Hal ini
bisa berlangsung karena Tangerang ditopang oleh beberapa faktor strategis
antara lain: mempunyai jalur transportasi yang menunjang seperti jalan tol,
bandara Soekarno-Hatta, relatif berdekatan dengan pelabuhan Tanjung Priok
dan Merak, serta berdekatan dengan ibukota negara.
Akan tetapi, letak Tangerang yang sangat strategis tersebut juga
menyimpan problem sosial yang kompleks. Pesatnya pertumbuhan Kota
Tangerang karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta,
menyebabkan banyak warga yang bekerja di Jakarta kemudian memilih
domisili di Kota Tangerang. Mereka kerap disebut commuter karena memakai
Tangerang sebagai tempat ist irahat tidur malam, sementara segala macam
kegiatan ekonomi di pagi hingga petang harinya banyak dihabiskan di Jakarta.
Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Kota
Tangerang memiliki keuntungan dan sekaligus kerugian. Keuntungannya, kota
itu bisa ikut nama besar ibukota negara, warganya bisa memanfaatkan fasilitas
publik sebuah metropolitan. Apalagi ditunjang dengan mudahnya aksebilitas
ke kota Jakarta dan kota-kota penting di Banten dan Jawa Barat melalui ruas
jalan tol, hingga memberikan kemudahan untuk saling berinteraksi antar kota.
Ditambah lagi, dengan tersedianya Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
maka aksebilitas kota semakin terbuka dengan kota -kota di seluruh Indonesia
bahkan mancanegara. Hal itu kian meningkatkan mobilitas penduduk, bahkan
migrasi penduduk ke dalam daerah Tangerang, terutama daerah perkotaannya,
37
masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari luar, baik dari kawasan lain
di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun orang asing. O leh sebab itu,
etnis dan budaya penduduk daerah ini kian beragam. Kondisi tersebut kian
memperkokoh Tangerang sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dan
budaya. .
Namun, karena Tangerang dihuni oleh ragam etnis, di balik itu terdapat
potensi konflik yang tidak sedikit akibat persilangan budaya. Kita hanya
berharap dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi
daerah yang penduduknya dapat hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak
tercerabut dari akar budayanya.
Dampak lain yang menonjol di Tangerang dari pelaksanaan program
pembangunan megapolitan ini, adalah berubahnya segala bidang kehidupan
masyarakat setempat. Semula, penduduknya hanya mengandalkan kegiatan
bidang pertanian untuk menopang hidup. Seiring dengan perkembangan
selanjutnya, mereka mulai mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi,
terutama bidang industri, perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah pola
dan orientasi hidup masyarakat. Sebagai daerah penyangga ibu kota, wilayah
ini memang dipersiapkan untuk kegiatan perdagangan dan industri,
pengembangan pusat-pusat permukiman untuk menjaga keserasian
pembangunan dengan DKI Jakarta (Halim, 2005: 38).
Fenomena Tangerang sebagai wilayah yang memiliki latar belakang
budaya, dan industri-industri besar serta tempat wisata, mengundang dunia
untuk menengok dan menggali potensi-potensi Tangerang yang tumbuh subur
untuk diberdayakan. Ditunjang dengan letak geografis Tangerang sebagai
38
penyangga kota Jakarta dimana arus roda ekonomi Jakarta memiliki imbas
terhadap kota Tangerang. Limpahan kegiatan ekonomi dari Jakarta selain
merupakan modal penggerak ekonomi perkotaan juga membawa dampak
berupa permasalahan lingkungan, ketersediaan lahan dan tingginya angka
migrasi. Besarnya arus migrasi yang tidak diikuti dengan ketersediaan
lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia serta permasalahan lainnya
menjadikan kota Tangerang menghadapi permasalahan yang kompleks.
Kondisi tersebut perlu diantisipasi dan diberdayakan agar tidak terjadi
penyimpangan potensi alam dan penerapan teknologi tepat guna.
Dari uraian data-data terkait gambaran umum dan potensi wilayah
Tangerang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial yang
terjadi baik di masa kolonial dan Orde Baru sesungguhnya disebabkan faktor
potensi letak geografis yang sangat strategis, yaitu berbatasan langsung
dengan daerah pusat kekuasaan. Walaupun disebutkan menjadi daerah
penghasil beras, jagung, kedelai dan kopi, namun harus diakui bahwa baik
pemerintah kolonial dan Orde Baru menempatkan kesuburan tersebut bukan
sebagai hal utama. Pemer intah Kolonial Belanda cenderung memilih daerah
lain untuk menggenjot komoditas pertanian seperti pembangunan perkebunan
tembakau di Deli Serdang, Sumatra, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pemerintah Kolonial Belanda memilih menjadikan Tangerang
sebagai daerah partikelir yang dikelola dan diberdayakan oleh orang-orang
Tionghoa dan Eropa. Dari mereka, didapatkanlah pemasukan melalui pajak
dan sewa tanah. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Anggapraja (tth. :
38-39, 42 dalam Ekajati, 2004: 117) bahwa perkebunan kopi yang terdapat di
39
daerah Rumpin dan Lengkong, bukanlah produsen kopi yang baik, sehingga
penjualan produksi tanaman itu kepada pemerintah hampir selalu rugi.
Walaupun begitu, tetap patut diteliti pula tentang keberadaan pabrik gula di
Kampung Babakan, dan pabrik tenun di Balaraja. Kenapa pemerintah kolonial
mendirikan pabrik tersebut di daerah Tangerang? Apakah produksi tebu di
Tangerang cukup besar? Juga dengan pabrik tenun Balaraja. Sayang, hingga
penulisan skripsi ini disusun, informasi terkait pabrik-pabrik tersebut belum
diketemukan. Dugaan penulis, pabrik-pabrik tersebut tidaklah terlalu
dipandang strategis bagi Kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dalam kasus
ambruknya kerajinan topi bambu di Tangerang yang tak pernah bangkit
kembali. Tidak ada upaya pengembangan secara serius dari pemerintah
Kolonial Belanda terhadap produksi home industry topi bambu masyarakat
Tangerang yang sempat dieksport ke Eropa dan dibiarkan gulung tikar pasca
krisis ekonomi tahun 1930. Ini menandakan bahwa potensi tersebut tidak
dipandang sebagai hal utama oleh Kolonial Belanda. Dan rupanya, kebijakan
tersebut juga berlanjut pada era rezim Orde Baru berkuasa. Produksi pertanian
Tangerang dipandang hanya mampu memberikan kontribusi pada masyarakat
setempat, tidak kepada perekonomian nasional. Maka, atas nama
pembangunan nasional, penguasa Orde Baru memilih mengubah Tangerang
sebagai daerah penopang ibu kota negara, Jakarta, terutama untuk daerah
industri dan pemukiman.
40
B. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Kolonial (1684 -1942)
Kehidupan masyarakat Nusantara sebelum mendapat pengaruh
peradaban Hindu-Budha, Islam, dan bangsa Eropa, dipercaya sejarawan sangat
bersifat agraris dan penuh kesederhanaan. Mereka kebanyakan sudah tinggal
menetap dan mengenal sistem irigasi. Mereka tinggal berkelompok di
berbagai lokasi yang subur. Masing-masing anggota masyarakatnya bekerja,
saling menjaga, penuh kesederhanaan, dan saling merawat satu sama lainnya.
Tak ada yang menjadi lebih dari yang lain sehingga pada masa itu belum
tampil sosok raja seperti ketika Nusantara memasuki jaman feodal sekitar
abad keempat masehi. Setiap orang bertani dan berternak (berproduksi) yang
relatif sama jenisnya dan apa yang dihasilkannya menjadi konsumsi bersama.
Untuk mempertahankan pangan komunitas tersebut, biasanya dibuatkan suatu
lumbung untuk stok di masa menunggu panen. Kadang, memang diadakan
suatu pertukaran hasil produksi (barter) misalnya antara masyarakat di
pedalaman yang membawa beras ke pesisir untuk mendapatkan garam.
Namun, sistem pertukaran tersebut sesungguhnya belum bisa dikatakan
sebagai sistem perdagangan yang kini dikenal dimana menuntut suatu ukuran
nilai, permintaan, dan tawar-menawar sebagai syaratnya (Anantatoer , 1998:
106-107).
Situasi masyarakat awal di Nusantara seperti diuraikan di atas,
sesungguhnya masih tergambar pada era kolonial bahkan hingga sekarang
seperti tercermin dalam kehidupan suku Badui. Sementara di era kolonial,
Multatuli mencoba menggambarkan kehidupan petani di Banten sebagai
berikut:
41
... Orang Jawa sebenarnya petani; tanah dimana dia lahir, yang banyak menghasilkan dengan sedikit keluar keringat, membikin hatinya tertarik untuk menjadi petani; dan terutama ia dengan seluruh jiwa raganya berkeinginan untuk menanami sawahnya, dan dalam hal itu ia sangat cekatan. Ia tumbuh di tengah sawah-sawahnya, gaga-gaga dan tiparnya, sejak kecil ia mengikuti ayahnya ke ladang, dimana ia membantu ayahnya membajak dan mencangkul, mengerjakan bendungan dan saluran air untuk mengairi ladang-ladangnya. Usianya dihitungnya dengan beberapa kali panen, lamanya waktu dinyatakanya dengan warna batang padi di ladang, dia merasa senang di tengah-tengah temannya memotong padi; ia mencari jodohnya di tengah gadis desa yang sambil menyanyi gembira malam hari menumbuk padi untuk melepaskan kulitnya; memiliki sepasang kerbau yang akan membajak sawahnya, itulah cita -citanya (Multatuli, 1985: 63)
Namun, secara umum s istem sosial seperti di ata s kemudian berubah saat
pengaruh Hindu-Budha memasuki wilayah Nusantara. Seiring pengaruh
Hindu-Budha berlangsung, sistem feodalisme juga terbangun. Feodalisme
adalah fondasi bagi peradaban Hindu-Budha dimana mengandung dua unsur
yaitu konsentrasi kekuatan (yang berarti timbulnya militerisme) dan
konsentrasi kekuasaan (yang berarti timbulnya hirarki sosial yang keras).
Kedua unsur tersebut bekerja secara bersama-sama. Artinya bahwa kekuasaan
tidak akan ada bila tidak ada kekuatan. Kekuasaan tersebut dibentuk dengan
sistem penindasan dan perampokan atas tenaga kerja, harta-benda, serta jiwa
masyarakat. Seorang raja di jaman kerajaan Hindu-Budha dipandang sebagai
perwujudan dewa/dewi atau Tuhan. Sehingga, segala kehendaknya harus
dituruti bawahannya. Sementara itu, untuk bisa menghidupi bangsawan
bawahan dan tentaranya, maka ia harus mampu mengumpulkan pajak,
mempekerjakan rakyatnya baik dengan memperbudak maupun bagi hasil, atau
merampas seluruh harta penguasa dan daerah yang telah ditakhlukkan. Raja
dan kerajaan kemudian terus bermunculan dan lenyap baik karena
penyerangan kerajaan lain maupun intrik dari dalam. Sementara sistem
42
feodalisme makin berkembang, diferensiasi sosial pun ikut berkembang.
Muncul kebutuhan adanya pertukangan, militer yang besar, penyedia pangan,
penarik pajak, dan lain-lain. Jenis kebutuhan semakin bertambah. Pada masa
ini, profesi sebagai pedagang mulai tumbuh. Tradisi perdagangan yang
sebelumnya tidak ada kini lahir seiring beragamnya keinginan para raja dan
bangsawan untuk mendapatkan kekayaan yang tidak dipunyainya di daerah
yang ia kuasai. Akan tetapi, mengingat tradisi sebelumnya nyaris belum ada
sistem perdagangan, maka di masa feodal ini, budaya perdangangan bagi
masyarakat khususnya pedalaman belumlah kokoh.
Sementara itu, sejak awal abad pertama masehi, orang-orang Arab,
India, Campa, Filipina, dan Tionghoa juga ramai mengunjungi Nusantara.
Perdagangan tersebut dengan sendirinya sudah bersifat internasional. Akan
tetapi, tatkala niaga secara internasional telah berkembang dan di kemudian
menjadi ajang persaingan antar bangsa, di wilayah Nusantara belumlah
terdapat kelas pedagang yang kuat. Kondisi ini terus berlangsung hingga
perdagangan memasuki babak datangnya peradaban Islam hingga kedatangan
bangsa Eropa ke Nusantara.
Tatkala peradaban Islam memasuki Nusantara, sistem sosial yang
berlaku sesungguhnya hanyalah melanjutkan sistem feodal di jaman Hindu-
Budha. Para penyiar agama Islam melakukan penyebaran agama dengan
menempuh kompromi dengan feodalisme Hindu. Pada masa perkembangan
Islam seiring keruntuhan Majapahit, para penyiar Islam memperoleh tanah
atau daerah kekuasaan tertentu lalu menjadi penguasa feodal baru. Demikian
seterusnya hingga keturunan dan bangsawan Islam menyebar di daerah lain
43
yang makin lama, baik kekuasaan maupun daerahnya, makin bertambah kecil,
sampai akhirnya menduduki tempat sebagai tuan-tuan tanah (Anantatoer,
1998: 108-120).
Babak selanjutnya adalah tatkala dunia khususnya bangsa Barat
membutuhkan rempah-rempah di Nusantara sekitar abad 16. Ketika rempah-
rempah menjadi komoditi internasional, golongan pedagang makin
berkembang. Saat itu budaya feodal masih berlangsung. Dalam kancah
persaingan dagang rempah-rempah, para raja langsung memerintahkan rakyat
untuk menghimpunnya. Besar kemungkinan, para pejabat pengumpul barang
dagangan itulah yang kemudian menjadi golongan pedagang (borjuasi). Para
pejabat tersebut kemudian melakukan aktivitas dagangnya di bandar-bandar
atau kota pelabuhan. Saat bangsa Barat berusaha memonopoli perdagangan di
pelabuhan tersebut, merekalah yang pertama kali berhadapan dengan bangsa
Eropa hingga kemudian melahirkan konflik dan perang (Anantatoer,
1998:121-125). Sementara dari konflik dan perang ratusan tahun
menghasilkan kejayaan bangsa Eropa sehingga secara leluasa menguasai
sebagian besar Nusantara. Pelaksanaan kekuasaan dijalankan dengan sistim
lama yaitu feodal.
Tapi datanglah orang-orang asing dan Barat; mereka itu menjadikan dirinya pemilik tanah itu (Nusantara). Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropah. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh kepada kepala-kepalanya (para raja); jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala -kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka....., dan mereka berhasil (Multatuli, 1985: 63)
44
Seperti telah disinggung di atas, bangsa Eropa mendatangi Nusantara tak
lepas dari kepe ntingan dagang memperoleh barang komoditas. Demikian
halnya pelaksanaan kekuasaan Kolonial Belanda di Nusantara sangat
dilatarbelakangi oleh motif menguasai perdagangan dunia (merkantilis). Motif
ekonomi tersebut semakin mendominasi setelah meletusnya revolusi industri
abad ke-18 di Inggris. Era setelah revolusi industri secara lazim digolongkan
sebagai era imperialisme modern yang di antaranya ditandai dengan
penguasaan negeri lain, upaya membangun industri besar-besaran
(industrialisasi) sehingga membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang
luas (kapitalisasi). Bangsa penjelajah dunia (imperialis) mencari dan
menjadikan daerah baru (koloni) sebagai sumber eksploitasi bahan mentah dan
pasar bagi hasil-hasil industri. Di kemudian hari, juga sebagai tempat
penanaman modal baru untuk dapat melipatgandakan keuntungan (akumulasi
modal).
Dalam memperlakukan Tangerang sebagai daerah pendudukan,
pemerintah Bela nda pun tak lepas dari motif ekonomi tersebut. Setelah
dijadikan daerah partikelir tahun 1684, Belanda berusaha keras agar daerah
tersebut ikut menyumbang pendapatan pemerintah kolonial. Sistem akumulasi
modal dijalankan dalam beberapa tahap yang dapat disebut juga sebagai pola
penetrasi modal khususnya di daerah Tangerang. Sistem tersebut terus
berlangsung hingga tahun 1942. Berikut ini pola-pola penetrasi modal pada
era kolonial:
45
1. Merebut Tangerang dari Kekuasaan Kasultanan Banten
Sebelum menjadi daerah kolonial, Tangerang termasuk wilayah
kekuasaan Kesultanan Banten. Namun, sebuah perhimpunan perusahaan
orang Belanda yang melakukan kegiatan perdagangan di belahan bumi
timur, termasuk wilayah Nusantara yang dikenal dengan nama Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), secara bertahap merebut wilayah
tersebut. Dimulai tahun 1619, VOC atau biasa juga disebut Kompeni,
berhasil merebut kota pelabuhan Jayakarta dari tangan kekuasaan Banten.
Selanjutnya nama Jayakarta diganti menjadi Batavia (sekarang Jakarta)
yang kemudian menjadi tempat randez-vous (pangkalan tetap) bagi kapal-
kapalnya dan titik pijak pertama mencengkram Nusantara (Simbolon,
1995: 33). Karena kekalahan itu, Pangeran Jayakarta mengundurkan diri
ke Kasultanan Banten. Akibatnya, hubungan antara Kesultanan Banten
yang telah melindungi Pangeran Jayakarta dengan Kompeni menjadi tidak
serasi. Ditambah lagi dengan perilaku Kompeni yang selalu mendesakkan
kehendaknya untuk monopoli perdagangan di Banten. Sementara itu,
Sultan Banten selalu menolak desakan ter sebut karena Banten menganut
kebijakan ekonomi perdagangan bebas dan kebijakan politik yang
merdeka dan berdaulat. Untuk memaksakan kehendaknya berulangkali
armada Kompeni memblokade pelabuhan Banten. Tatkala dialog tak
membuahkan hasil dan pembicaraan mengalami jalan buntu, maka
pecahlah perang. Perang sempat mereda karena jasa Sultan Jambi dalam
menjembatani kesepakatan damai yang tertuang dalam perjanjian
perdamaian tanggal 10 Juli 1659. Salah satu isi perjanjian itu menyatakan
46
bahwa tapal batas wilayah Kesultanan Banten dengan wilayah
Kompeni Belanda adalah Sungai Cisadane. Sejak itu, daerah
Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane menjadi daerah kekuasaan
Kompeni, sedangkan daerah Tangerang sebelah barat sungai itu tetap
merupakan wilayah Kesultanan Banten (Ekajati, 2004:91-92).
Akan tetapi, kesepakatan batas wilayah kekuasaan di atas tidak
bertahan lama. Seluruh daerah Tangerang baik sebelah timur
maupun sebelah barat Sungai Cisadane jatuh ke dalam kekuasaan
Kompeni setelah kekuasaan di Kesultanan Banten beralih dari
tangan Sultan Ageng Tirtayasa kepada puteranya, Sultan Haji.
Pemerintahan Sultan Haji bertentangan dengan sifat ayahnya . Ia
justru menjalin hubungan kerjasama yang menguntungkan pihak
Kompeni. Karena Sultan Ageng tidak setuju dengan sikap anaknya
terjadilah perselisihan antara anak dengan ayahnya. Perselisihan
meruncing tatkala Sultan Ageng Tir tayasa pindah dari Keraton
Surosowan ke Keraton Tirtayasa. Dengan jauhnya pengaruh
Tirtayasa, Kompeni semakin leluasa mempengaruhi dan mengadu-
domba Sultan Haji dengan ayahnya . Akibatnya Sultan Ageng
Tirtayasa terpaksa mengumumkan perang terhadap anaknya
sendiri. Akhir Februari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa
menyerbu Keraton Surosowan. Namun, Sultan Haji segera meminta
bantuan Kompeni. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Kompeni. Pertempuran
menghasilkan kekalahan di pihak Sultan Ageng Tirtayasa.
47
Kekalahan tersebut menyebabkan la dan para pengikutnya, antara
lain Pangeran Purbaya (adik Sultan Haji), Pangeran Kulon, dan
Syeh Yusuf (penasihat bidang keagamaan) beserta sisa
pasukannya, sempat mengundurkan diri ke daerah pedalaman.
Mula -mula ke hutan Kranggan, kemudian pindah ke hutan Lebak,
terus ke daerah Sajira yaitu daerah perbatasan Lebak dengan Bogor
(Ekajati, 2004:92) .
Pengunduran diri Sultan Ageng Tirtayasa tidak berlangsung
lama karena putranya, Sultan Haji membujuk ayahnya agar
berkenan kembali ke Kasultanan Surosowan. Sultan Haji masih
mempunyai rasa iba terhadap kesehatan ayahnya yang sudah tua.
Namun tatkala Sultan Ageng kembali ke Surosowan, Kompeni
justru menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di
Benteng Batavia. Maka, dipandang dari kepentingan Kompeni,
keberadaan Sultan Haji sangatlah berjasa. Sebagai imbalan jasa ,
disusunlah sebuah perjanjian yang kemudian ditandatangani Sultan
Haji pada tanggal 17 April 1684. Isi perjanjian sebenarnya
hanyalah pembaharuan perjanjian tanggal 10 Juli 1659 yang secara
implisit menyatakan seluruh daerah Tangerang dikuasai
sepenuhnya oleh Kompeni Belanda (Ekajati, 2004: 93) .
Sejak tahun 1684, kejayaan Kesul tanan Banten tenggelam.
Kegiatan perdagangan di wilayah Kesultanan Banten merosot
secara drastis dan digantikan perdagangan yang dimonopoli
Kompeni yang berpusat di Batavia.
48
2. Melanjutkan Sistem Feodal
Setelah wilayah Tangerang dikuasai oleh Kompeni, di tepi
Sungai Cisadane sebelah timur, Kompeni membangun benteng dari
Pakulonan sampai ke Tangerang. Benteng itu dimaksudkan sebagai
pertahanan dari kemungkinan serangan orang- orang Banten
pengikut Sultan Ageng. Kemudian, dibangun pula beberapa lokasi
pemukiman penduduk di sekitar benteng, antara lain pemukiman
yang kemudian bernama Kampung Kalipasir, Grendeng, dan
Karawaci (Ekajati, 2004:93).
Untuk mengatur wilayah kekuasaannya secara administratib,
pada awalnya VOC menempatkan daerah Tangerang sebelah timur
Sungai Cisadane menjadi sebuah distrik militer dalam wilayah
Batavia bagian barat. Wilayah itu dipimpin oleh seorang komandan
pasukan serdadu Kompeni mengingat relatif belum aman dari
serangan musuh dan juga dalam rangka pembinaan masyarakat
yang tinggal di pemukiman yang baru terbentuk. Namun setelah
keadaan berangsur-angsur tertib, status daerah adminis trasi
pemerintahan Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane diubah
menjadi sebuah regentschap (kabupaten) di wilayah Batavia
(Suryana dkk . , 1992: 10,13,54). Jabatan bupati dipegang oleh
bangsa pribumi. Seperti dikutip Ekajati (2004:94-95), bupati-
bupati Tangerang yang diangkat oleh Gubernur Jenderal Kompeni
adalah sebagai berikut.
1). Kiyai Aria Sutadilaga I (1682 - 1739).
49
Ia diangkat menjadi bupati pertama Tangerang tanggal 24
November 1682.
2). Kiyai Aria Sutamanggala I (1739)
Bupati ini memerintah sebentar saja tidak sampai satu tahun,
karena masih dalam tahun 1739 (7 April) ia meninggal
dunia.
3). Kiyai Aria Sutamanggala II (1739 - 1741?),
Ia adalah putera pertama Bupati Kiyai Aria Sutamang gala I.
Bupati ketiga ini terpaksa diberhentikan dari ja batannya,
karena memiliki reputasi yang jelek.
4). Kiyai Aria Sutadilaga II (1741/42 - 1751).
Ia adalah cucu Bupati Kiyai Aria Sutadilaga 1. Pada
mulanya ia bernama Raden Sleman dan ibunya seorang
beretnis Cina. Ia tewas dibunuh oleh Kiyai Tapa di Cile dug,
karena dipandang sebagai penghianat. Pada waktu itu
bangkit perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ratu Bagus
Buang dan Kiai Tapa untuk menentang kekuasaan Kompeni
Belanda di wilayah.
5). Kiyai Aria Sutadilaga III (1751 - 1765).
Ia adalah putera bupati Tangerang keempat yang semula
bernama Raden Arit. Akibat memiliki prilaku buruk, yaitu
pemabuk berat, ia dipecat dari jabatannya, bahkan kemudian
dibuang ke Pulau Edam (Pulau Pandan Besar di Laut Jawa)
sampai meninggal dunia di sana.
50
6). Mas Glissar (1765 - 1766).
Ia adalah kakak bupati Tangerang ke-5. Ia pun dipecat dari
jabatannya, karena pemadat dan penjudi. Ia mengalami nasib
yang sama dengan adiknya, yaitu dibuang ke Pulau Edam
7). Aria Sutadilaga IV (1766 - 1771).
Nama semula adalah Agus Pija. Ia disenangi oleh Kompeni
karena kejujurannya, setia kepada Kompeni, dan bekerja
dengan penuh tanggung jawab.
8). Aria Sutadilaga V (1771 - 1773).
Semula bernama Kiyai Mas Nong, putera Demang Kiyai
Mas Usin. Pada masa pemerintahannya, daerah Ciam pea
dipisahkan dari Tangerang.
9). Tumenggung Aria Sutadilaga VI (1773 - 1802).
Ia adalah putera tertua bupati Tangerang ke -8. Pada mulanya
bernama Raden Ramelan. Dalam menjalankan pemerintahan,
ia dibantu oleh menantunya yang berna ma Raden Man
sebagai patih.
10).Aria Sutadilaga VII (1802 - 1809).
Ia adalah putera bupati Tangerang ke- 9. Dalam menja lankan
pemerintahannya, ia dibantu bahkan diwakili oleh Patih
Raden Demang Ganja, menantu. Raden Man. Soalnya,
ketika diangkat menjadi bupati, Aria Suta dila ga VII masih
berusia muda.
51
Sebagai kepala daerah, bupati berkuasa atas daerah dan rakyat
yang dipimpinnya. Dalam menja lankan pemerintahan, ia dibantu
oleh sejumlah pejabat bawahannya, yaitu: patih, kepala cutak
(demang), patinggi (lur ah atau kepala desa), dan lain- lain. Pejabat-
pejabat bawahan bupati biasanya masih keluarga bupati.
Seperti tercermin dari urutan bupati di atas, ja batan bupati
selalu dipegang oleh keturunan bupati. Bupati memiliki hak untuk
mewariskan jabatan. Kedua, dari sebutan Raden atau Aria , jelaslah
bahwa mereka adalah kalangan bangsawan yang mempunyai darah
keturunan para raja. Mereka direkrut Kompeni untuk menjadi
penguasa bawahannya agar memerintah rakyatnya dengan sistem
feodal. Artinya melanjutkan sistem pemerintahan ya ng sebelumnya
sudah ada. Dengan demikian, posisi tertinggi (raja) berada pada
pihak VOC dalam hal ini Gubernur Jendral. Dalam sistem feodal,
gubernur jendral sebagai raja berhak menguasai seluruh daerah
kekuasaannya beserta segala isinya serta berhak menentukan hidup
rakyatnya. Realitas ini sangat cocok dengan apa yang digambarkan
oleh Multatuli:
Keturunan atau keluarga raja -raja dahulu mempergunakan kebodohan penduduk yang tidak mengerti bahwa tumenggung, adipati, atau pangeran sekarang ini adalah pegawai yang digaji, yang telah menjual hak- haknya sendiri dan hak- hak rakyat untuk penghasilan tertentu dan bahwa pajak yang dahulu dibayarnya kepada raja -rajanya telah diganti dengan pekerjaan yang dibayar sedikit di kebun kopi atau ladang tebu. Orang merasa hal yang biasa, bahwa beratus-ratus keluarga mendapat panggilan dari tempat yang jauh, untuk, tanpa bayaran, mengerjakan ladang- ladang milik bupati, orang merasa hal yang biasa, bahwa mereka memberikan tanpa
52
bayaran barang makanan untuk keperluan rumah tangga bupati; dan jika bupati berkenan menyenangi seekor kuda, seekor kerbau, seorang anak gadis, seorang isteri orang biasa, maka dianggap luar biasa dan mustahil jika orang itu tidak mau menyerahkan tanpa syarat apa yang diinginkan itu (Multatuli, 1985: 65) Kepada para bupati, Kompeni selanjutnya memberikan
kewajiban utama untuk memungut contingenten , yaitu memungut
hasil bumi di daerahnya sebagai pajak natura (berupa barang) dan
harus diserahkan kepada Kompeni. Sebagai imbalannya, bupati
memiliki hak untuk memungut berbagai jenis pajak dari rakyat.
Sebagian dari pajak itu digunakan oleh bupati untuk menggaji
pejabat bawahannya (Hardjasaputra, 1985 : 49-52, 56).
3. Tangerang Menjadi Daerah Partikelir, Segregasi Rasial
Dijalankan
Kebijakan VOC menjadikan daerah Tangerang sebagai daerah
partikelir merupakan salah satu bagian dari upaya Kompeni
melakukan kontrol kekuasaan dan mengeruk keuntungan dagang.
Setelah Jayakarta diubah menjadi Batavia dan dijadikan pusat
kekuasaan (tahun 1620/1621), pada awalnya VOC merekrut
mayoritas penduduk dari luar Jawa (sebagian adalah budak
rampasan beretnis Tionghoa) dalam wilayah beteng Batavia.
Tujuan utamannya adalah memanfaatkan mereka untuk
menjalankan mesin akumulasi modal dengan menjalankan berbagai
peran. Tindakan mengutamakan masyarakat Cina dianggap begitu
53
strategis bagi kepentingan monopoli VOC, sehingga J.P. Coen sendiri secara
tegas menyatakan hal itu dalam laporannya kepada de Heeren XVII
(dikutip Simbolon, 1995: 45), seperti berikut:
Tak ada golongan masyarakat yang lebih baik bagi kepentingan kita dan lebih luwes dalam pergaulan kita dari pada masyarakat Cina (Daer is geen volck die ons beter dan Chinesen dienen en soo licht als Chinesen to becomen sijn). Mulanya, warga dari luar Jawa yang direkrut disebut sebagai
warga Batavia. Sedang penduduk asli Jayakarta justru disebut
warga asing. Namun usaha segregasi VOC tersebut harus diubah-
ubah terus mengingat warga Batavia cenderung selalu berbaur.
Pembauran menjadi satu nasib itulah yang dikawatirkan VOC dan
bisa mengancam kekuasaannya. Oleh karena itu, VOC beberapa
kali mengeluarkan ordonansi untuk mengusir maupun melarang
etnis tertentu, terutama etnis Jawa dan orang Banten. Akibatnya,
banyak penduduk Jayakarta yang menyingkir ke pedalaman yang
melahirkan kekawatiran baru bagi VOC.
Ketika permusuhan ancara VOC dan Banten makin gencar, perlakuan terhadap "orang Jawa" semakin keras. Dalam Ordonansi 25 Juli 1656 disebutkan bahwa semua lelaki Jawa yang dewasa harus keluar dari dalam kota, tapi keluarga mereka harus tinggal. Ini berarti, keluarga mereka dijadikan tawanan dan jaminan sekaligus ... ... Salah satu kelompok penduduk kota yang ramai-ramai pindah ke luar dinding adalah para bekas budak, yang terkena dengan sebutan Mardijkers. Sebagai kelompok masyarakat pertama di Batavia, mereka sama pentingnya bagi VOC sebagai sumber tenaga milisi, sedangkan VOC bagi mereka sebagai sumber nafkah ... ... Diperkirakan, sedikitnya se lama 30 tahun, penduduk Kota Batavia terus merosot. Antara 1676 dan 1685, jumlah Mardijkers turun dari sekitar 6.000 ke 2.000. Pada 1690, penduduk dalam kota turun dari 32.000 ke 20.000, sedang penduduk di luar dari hampir tidak ada ke 60.000.123 Begitu cemasnya VOC dengan pembauran tersebut, sampai keluar larangan bagi semua kelompok kecuali Cina untuk
54
mengunjungi tempat-tempat hiburan dan rumah judi (Simbolon, 1995: 48-49). Akhirnya, agar proses pengumpulan komoditas perdagangan
dapat maksimal, Kompeni mengeluarkan pengumuman tentang
penggunaan tanah di daerah sekitar Batavia . Tanah dan perkebunan
yang ditinggalkan oleh pemiliknya dapat dimiliki oleh siapa saja,
asal mampu mengolah tanah itu dan menyetorkan sebagian
hasilnya kepada Kompeni sebagai sewa tanah (Indonesia. Kempen,
1953: 330- 335 dalam Ekajati, 2004: 96) . Dalam rangka itulah,
daerah Tangerang juga tak luput dari kebijakan tersebut.
Tindakan Kompeni itu memiliki beberapa tujuan. Pertama, agar penduduk pribumi kembali mengisi daerah Batavia, ka-rena Kompeni memerlukan tenaga mereka. Kedua, untuk kepentingan keamanan tanpa mengeluarkan biaya, karena nan-tinya para pemilik tanahlah yang harus menjamin keamanan di tempatnya masin g-masing. Ketiga, untuk menambah kas Kompeni yang diperoleh dari hasil sewa tanah (Ekajati, 2004:96-97). Namun, karena aturan-aturan yang pasti mengenai status
tanah, sistem kepemilikan perseorangan, serta kewajiban pemilik
tanah, maka pada mulanya Kompeni Belanda memberikan tanah di
Batavia itu sebagai hadiah kepada orang- orang Cina, Arab, dan
orang Belanda yang dianggap berjasa kepada Kompeni, serta
kepada kepala kampung yang turut menjaga keamanan daerah
setempat. Karena tanah yang dimiliki oleh mereka makin luas,
maka mereka itulah yang kemudian menjadi tuan-tuan tanah.
Selanjutnya, bahwa Kompeni telah memberikan kekuasaan
dan kontrol wilayah kepada para bupati-feodal, namun dalam
55
prakteknya mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengurus
daerahnya . Bahkan beberapa di antaranya berulangkali melakukan
tindakan tercela . Akibatnya , status Tangerang sebagai kabupaten
beserta jabatan bupatinya dihapuskan, selanjutnya daerah itu
dimasukkan ke dalam wilayah administrasi peme rintahan Batavia
en Omelanden (Batavia dan Daerah Sekitarnya) yang langsung
ditangani oleh penguasa Kompeni (Gewoone Resolutie v.h. Casteel
Batavia , 3 Maret 1809 dalam Ekajati, 2004:97). Tanah di daerah
Tangerang dibagi menjadi bebe rapa persil. Kemudian tiap persil
tanah itu dijual kepada orang-orang kaya di Batavia, terutama
kepada orang Eropa dan orang Cina. Mereka kemudian menjadi
tuan tanah yang menguasai lahan yang disebut tanah partikelir
(Suryana et al., 1992 : 56, 64). Tangerang sebagai tanah partikelir
makin berkembang, setelah berlangsungnya pemerintah kolonial
Hindia Belanda sejak awal abad ke -19.
Di bawah pengelolaan orang-orang Tionghoa dan Eropa,
bangsa pribumi banyak berperan sebagai buruh dan penyewa lahan.
Petani-petani pribumi menggarap sawah milik tuan-tuan tanah Cina.
Mereka harus membayar cuke sebesar 1/5 hasil panen. Mereka juga harus
membayar sewa untuk tanah yang digunakan rumah, peka rangan, dan
tegalan. Selain itu, mereka diharuskan kerja wajib yang disebut kompenian
untuk memelihara jalan dan jembatan. Kompenian dapat diganti dengan
uang. Apabila kerja wajib atau penggantinya tidak dilaksanakan, petani
yang bersangkutan dipidana oleh pengadilan negeri. Sebaliknya, petani
56
yang taat memenuhi kewajibannya, dapat mengolah sawah dan
menggunakan tanah secara turun-temurun.
Tabel 4. Tanah Partikelir Tangerang
Tahun 1900-1901
No Nama Persil Pemilik Luas (bau)
Penduduk
1. 2.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
18.
Benteng Makasar Pasar Tangerang dan Tangerang Barat Babakan Utara Tangerang Timur Cikokol Panungangan Priang Pakulonan Pondok Jagung Lengkong Timur Babakan Selatan Lengkong Timur Lengkong Barat Klapadua Cihuni Parungkuda Kedaung Timur Tanah Koja
Gouv. V. Ned. Indie Syarifa Mariam dan Abdul Aziz Effendie, dkk PT Salim Balocel A. Abdul Azis Effendie dkk M. van Delden Louw Sek Hie Oey Hoey Tjay Perkeb. Sch. Bergzicht Ong Jum San Lim Eng Gie, dkk Lim Eng Gie dkk. Ong Kim Tjong The Tjoen Sik Tan Hok Kien Perkebunan Cihuni Sow Siow Kong dkk Louw Soey Maskapai Pertanian Slapanjang Timur Perkebunan Batuceper
202 422
120 563
625 308
1.735 704 723 687
7 ?
2.266,25 24
2.818 1.479
343 1.678
259 ?
1.325 1.296
120
1.546
1.612 322
2.735 849
1.446 1.171
75 ?
4.073 28
4.035 3.808 4.424
? 3.711 4.737
Sumber: Regeering Almanak van Nederlanlandsch Indie, 1900-1931 dikutip Ekajati, 2004: 128)
4. Memperkuat Struktur Pemerintahan
Menginjak akhir abad 18, tepatnya 31 Desember 1799, VOC
dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Kekuasaan di
Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang
kemudian membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun pada
tahun 1808, terjadi pergolakan politik di Eropa dimana Belanda
dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Akibatnya
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara dijabat oleh
57
utusan Napoleon yang bernama Gubernur Jenderal H. W. Daendels
(1808-1811). la baru tiba di Batavia tanggal 5 Januari 1808.
Di bawah pemerintahan Daendels , diperkenalkanlah sistem
pemerintahan model barat modern kepada masyarakat pribumi di
Hindia Belanda yaitu sistem sentralistis. Segala kekuasaan dan
keputusan berada pada gubernur jenderal. Semua urusan
pemerintahan, termasuk pemerintahan di daerah diatur oleh
pemerintah pusat di Batavia. Pejabat- pejabat di daerah hanya
menerima dan menjalankan instruksi dari gubernur jenderal. Untuk
jalannya sistem pemerintahan tersebut, Daendels membagi Pulau
Jawa menjadi tiga wilayah, masing-masing disebut prefecture
(wilayah administratif setingkat keresidenan), diperintah oleh
prefect (pejabat kolonial setingkat residen). Ketiga wilayah
dimaksud adalah:
1). Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta-Priangan,
mencakup: Tangerang, Karawang, Buitenzorg (Bogor),
Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakan-muncang,
dengan penduduk berjumlah 200.000 orang.
2). Kesultanan Cirebon dan daerah Cirebon-Priangan,
mencakup: Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh,
dengan pe nduduk berjumlah 350.000 orang.
3). Pesisir Utara Pulau Jawa bagian timur dan wilayah ujung
Jawa Timur yang berpenduduk 1.600.000 orang
58
Namun, dalam praktek pemerintahan sentralistisnya,
Tangerang yang telah masuk daerah perfect Batavia tidak
diperintah oleh pejabat pribumi yang diangkat atau ditunjuk oleh
pemerintah kolonial, melainkan tetap dikuasai oleh tuan-tuan
tanah. Hal itu terjadi karena tanah-tanah di Tangerang dijual dan
disewakan Daendels kepada pihak swasta (Staat der Nederlandsche
Oost -Indische Bezittingen , 1814), yaitu kepada orang Cina dan
orang Eropa. Sehingga praktek-praktek tuan tanah di daerah
partikelir tetap berlanjut dimana kaum pribumi tetap
termarginalkan.
Kemudian, ketika Nusantara dikuasai oleh Inggris dengan
Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816), sebutan prefecture
diganti menjadi residency (keresidenan) dan prefect menjadi
resident (residen). Raffles juga memperkenalkan jabatan baru
pembantu residen, yaitu asisten residen. Pada masa pemerintahan
Raffles, status Tangerang tetap seperti pada masa kekuasaan
Daendels.
Selanjutnya, pada tahun 1816 ditandatangani kesepakatan baru
dimana Nusantara dikembalikan oleh Inggris kepada pihak
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melanjutkan
pemerintahan dengan melakukan sejumlah pembenahan. Mengingat
mayoritas daerah sekitar Batavia telah menjadi daerah partikelir
yang dikuasai orang Tionghoa dan Eropa, dan agar kepentingan
akumulasi modal bagi kolonial tetap terjaga maka struktur
59
pemerintah dan personalianya dibentuk dengan dasar kepentingan
tersebut (Ekajati, 2004: 100) . Pejabat pemerintah di daerah pun
banyak diambil dari orang-orang Eropa dan Tionghoa, sepe rti: P.
van Rees sebagai Residen, W.H.H. van Riemsdijk sebagai Asisten
Residen, dan R.J.W.P. Wijnmalen sebagai Sekretaris. Yang
ditempati oleh orang pribumi hanyalah jabatan yang uraian
tugasnya bertalian dengan keperluan orang pribumi, itu pun hanya
yang bertalian dengan masalah hukum baik hukum umum maupun
hukum agama. Selebihnya, orang pribumi tetap berada pada posisi
terdahulu.
Di daerah Tangerang, terdapat daerah yang dihuni oleh
mayoritas etnis Tionghoa (misalnya Neglasari). Komunitas
Tionghoa tersebut juga diurus oleh orang Cina sendiri.
Pemimpinya disebut Mayor . Mayor Cina di Batavia yaitu Tan En
Goan, yang memiliki anak buah sebanyak 18 orang, terdiri atas 3
kapten (Kon Cun Kiat, Tan Kam Long, dan Lie Tiang Ko) dan 15
orang Letnan. Beberapa Kapten Cina (Kapitein der Chinezen) di
daerah Tangerang antara lain: Liem Cong Hien (Liem Tjong Hien)
(sejak 25 September 1877), Uiy Cong Piauw (Oeij Tjong Piauw)
diangkat sebagai Kapten Cina Kehormatan (RA, 1882: 125 dalam
Ekajati, 2004: 101).
Begitu pula dengan daerah pemukiman etnis lain, misanya di
lokasi pemukiman kelompok orang Arab dan Bengali. Pemukiman
60
orang Arab dipimpin oleh Syekh Said bin Salim Naum dan Kapiten
Bapa Saf sebagai Kepala Kelompok Orang Bengali.
Di distrik Tangerang ditempatkan pula seorang Kepala Polisi
(Hoofdschout) untuk menangani masalah keamanan di daerah
sebelah barat Batavia yang dijabat oleh J.F. Meijer (RA, 1850: 45-
50). Selanjutnya, pemerintahan tiap distrik di Tangerang dipimpin
oleh kepala distrik dengan sebutan demang.
Tahun 1860-an Pernerintah Hindia Belanda memperke nalkan
sebutan afdeling untuk wilayah administratif di bawah keresidenan.
Dalam hal ini, Tangerang menjadi salah satu af deling di wilayah
Keresidenan Jakarta. Hal itu berarti kota Tangerang memiliki
kedudukan administratif rangkap, yaitu sebagai ibukota afdeling
dan merangkap sebagai ibukota distrik. Di Keresidenan Batavia
sendiri terdapat empat afdeling, yaitu Afdeling Kota dan
Sekitarnya yang memiliki tujuh distrik dengan 131 desa, Afdeling
Meester Cornelis (Jatinegara) yang memiliki empat distrik dengan
693 desa, Afdeling Tangerang yang memiliki tiga distrik dengan
540 desa, dan Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang memiliki enam
distrik dengan 1058 desa. Ketiga distrik di lingkungan Afdeling
Tangerang yaitu Distrik Tangerang Timur yang meliputi 208 desa,
Distrik Tangerang Selatan yang meliputi 199 desa, dan Distrik
Tangerang Utara yang meliputi 133 desa. Data statistik tahun 1867
menyatakan Afdeling Tangerang memiliki luas wila yah 23.510
61
geografi mil persegi atau lebih- kurang seperlima dari luas wilayah
Keresidenan Batavia . (117.900 geografi mil persegi).
5. Pembangunan Infrastruktur dan Peningkatan Produksi untuk
Mempercepat Akumulasi Modal
Untuk menunjang aktivitas akumulasi modal yang menguntungkan
Pemerintah Hindia Belanda maka diperlukan prasarana transportasi dan
komunikasi. Pada tahap awal, prasarana yang dibangun adalah jalan. Pada
tahun 1680, diperkirakan sudah dibangun jalan darat yang
menghubungkan antara Banten, Sumedang, dan Cirebon yang melalui
Tangerang. Hal ini terbukti dengan adanya pertemuan antara penguasa
Banten dengan wakil penguasa Sumedang dan Cirebon di
Pasanggrahan. Pasanggrahan adalah kota pertama di dae rah Tangerang
pedalaman. Dalam pertemuan tersebut, oleh Kasultanan Banten, Tange-
rang ditetapkan dengan status kemaulanaan dengan ibu kota Pasanggrahan.
Maka besar kemungkinan jalan raya kala itu memang sudah ada, hanya
saja masih sederhana, berupa jalan kecil atau jalan setapak. Jalan serupa
tentu terdapat pula yang menuju ke persil-persil tanah partikelir. Boleh jadi
waktu itu kuda merupakan sarana transportasi, khususnya bagi para
pejabat.
Menginjak akhir abad ke-17, di bawah kekuasaan VOC, boleh jadi
antara Batavia dan Pesanggrahan sudah dihubungkan oleh jalan untuk
memudahkan pihak Kompeni mengontrol daerah Tangerang. Dan
selanjutnya, hubungan daerah Tangerang dengan daerah lain semakin
62
meningkat setelah dibangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) atas prakarsa
Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Jalan raya itu membentang antara
Anyer sampai Panarukan di ujung timur Jawa Timur dengan panjang
1.000 km. Di daerah Jawa Barat, jalan raya itu dibangun sekitar
pertengahan tahun 1808, melewati Serang - Tangerang - Jakarta - Bogor -
Cianjur - Bandung - Sumedang - Cirebon (Orgaan der Nerdelrlandsche
Zendingsvereeniging, XXXIV ste Jrg., 1894: 102 dan Joekes, 1927, cf dalam
Hardjasaputra, 2002 : 28-29).
Namun, patut diingat pula bahwa selain jalur darat, besar
kemungkinan transportasi sungai juga menjadi salah satu alternatif
masyarakat Tangerang. Kegiatan ini diduga telah terjadi sejak zamnan
Kerajaan Sunda hingga abad ke19. Melalui jalur sungai, hasil-hasil bumi
seperti: kopi dan produk pertanian lain diangkut dengan perahu melalui
sungai dan laut pesisir utara ke Jakarta.
Berikutnya tahun 1836, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan
surat keputusan tanggal 28 Januari 1836 nomor 24 dan tanggal 20 Februari
1836 nomor 30, menyetujui pembangunan jalan kelas dua di wilayah
Keresidenan Batavia, termasuk Afdeling Tangerang dan Afdeling
Bogor. Jalan yang dibangun antara lain: jalan dari Tangerang ke daerah
Jakarta dan ke Parung, dan jalan raya dari Bogor melalui Semplak ke
Kuripan.
Dengan adanya jalur transportasi di atas, mobilitas penduduk
semakin meningkat. Dalam akumulasi modal, mobilitas penduduk yang
paling utama adalah pengangkutan hasil pertanian dan industri. Sarana
63
transportasi tradisional yang digunakan, khusus untuk mengangkut barang
dalam jumlah cukup banyak adalah pedati. Pada tahun 1864, misalnya,
pedati di daerah Tangerang barat berjumlah 153 buah. Pedati digunakan
pula untuk mengangkut garam yang diperlukan oleh penduduk di daerah
pedalaman (Ekajati, 2004:115-116).
Pada pertengahan abad ke-19 di Tangerang dibangun sarana untuk
kepentingan pemerintah kolonial, antara lain kantor pengadilan.
Pembangunan sarana ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
pemerintah kolonial dan tuan tanah, karena di daerah Tangerang sering
terjadi tindakan kriminal (Koloniaal Verslag, 1860. 44 dalam Ekajati,
2004: 116).
Pada paruh pertama tahun 1870-an dibangun jalan kereta api antara
Jakarta-Bogor. Jalan kereta api itu kemudian diperpanjang ke arah barat
menuju Rangka s Bitung – Serang Anyer, dengan simpangan ke
Tangerang dan Labuan. Keberadaan sarana transportasi modern itu telah
menyebabkan peningkatan transportasi dan komunikasi di, dari, dan ke
daerah Tangerang (Reitsma, 1928: 19 dan Bulletin of the Colonial
Institute of Amsterdam, Vo. II, 1938-1939 : 284, cf. Asia Raya, 21 Mei
2602 dalam Ekajati, 2004: 116).
Dengan infrastruktur transportasi darat yang cukup memadahi,
pemerintah kolonial kemudian meningkatkan hasil produksi di Tangerang.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebagian besar wilayah Tangerang
dikuasai oleh orang-orang Tionghoa dan Eropa. Selain pertanian, mereka
juga menggeluti bidang perdagangan dan industri kerajinan. Sementara
64
itu, kaum pribumi sebagian menjadi petani di lahan sendiri dan mayoritas
lainnya menggarap sawah milik tuan-tuan tanah Tionghoa dan Eropa.
Pribumi yang menggarap lahan tuan tanah harus membayar cuke sebesar
1/5 hasil panen. Mereka juga harus membayar sewa untuk tanah yang
digunakan rumah, peka rangan, dan tegalan. Selain itu, mereka diharuskan
kerja wajib yang disebut kompenian untuk memelihara jalan dan jembatan.
Kompenia n dapat diganti dengan uang. Apabila kerja wajib atau
penggantinya tidak dilaksanakan, petani yang bersangkutan dipidana oleh
pengadilan negeri. Sebaliknya, petani yang taat memenuhi kewajibannya,
dapat mengolah sawah dan menggunakan tanah secara turun-temurun.
Tuan tanah Tionghoa kemudian mewariskan lahannya secara turun-
temurun. Lahan warisan tersebut disebut tanah teko Mereka biasanya
menggunakan tenaga penduduk pribumi sebagai buruh yang disebut
bujang sawah. Di tanah Pangkalan, pesaw ahan dibagi dalam tiga
kategori, masing-masing 30% untuk"tanah teko" dan tanah kongsi, dan
40 persen lainnya untuk tanah usaha. Tanah kongsi adalah tanah yang
diusahakan sendiri oleh tuan tanah, tetapi tetap menggunakan tenaga
pribumi atas dasar bagi hasil. Untuk pengolahan tanah kongsi, tuan
tanah menerima 2/5 hasil panen, yaitu 1/5 hasil panen ditambah cuke
1/5 dari hasil panen. Apabila tuan tanah yang menyedia kan bibit, tenaga
hewan pembajak (kerbau atau sapi), dan peralatan lain, tuan tanah
menerima lagi 1/5 hasil panen sebagai bayaran atas fasilitas yang
disediakan (Indonesia. Arsip Nasional, 1981: VL-IVL dalam Ekajati,
2004: 117).
65
Perlu dicatat pula bahwa sebelum dekade pertama abad 19 dimana
pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang-orang Tionghoa menjadi
penguasa partikelir, sebenarnya di Tangerang juga terdapat masyarakat
Tionghoa yang hidup layaknya pribumi. Mereka menjadi golongan rendah
yang biasa melakukan berbagai macam pekerjaan sebagai matapenca-
harian seperti: membuka kedai atau toko kecil, beternak babi, tukang
memperbaiki perahu, dan petani. Para petani Cina umumnya menanam
kacang di ladang, karena pengolahan sawah didominasi oleh petani
pribumi. Sebagian petani pribumi adalah petani kopi. Perkebunan kopi di
Tangerang merupakan warisan dari Kompeni. Perkebunan kopi antara lain
terdapat di daerah Rumpin dan Lengkong. Akan tetapi Tangerang bukan
produsen kopi yang baik, sehingga penjualan produksi tanaman itu kepada
pemerintah hampir selalu rugi (Anggapraja, tth. : 38-39, 42 dalam Ekajati,
2004: 117).
Untuk keperluan mengolah sawah, di Tangerang terdapat ribuan ekor
kerbau dan sapi. Tahun 1880 misalnya, kerbau dan sapi ya ng terserang
penyakit pes berjumlah lebih dari 6.000 ekor. Pada tahun 1891, luas sawah
dan tegalan di wilayah Afdeling Tangerang tercatat sebagai berikut:
Distrik Tangerang luas sawah 26.878 bau dan tegalan 15.675 bau , Distrik
Balaraja luas sawah 23.212 bau dan tegalan 29.818 bau , Distrik Mauk luas
sawah 23.153 bau dan tegalan 10.349 bau (Ekajati, 2004: 117-118)
Untuk menunjang pangairan persawahan, dibuatlah sistim irigasi dari
sejumlah sungai, terutama Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian. Namun,
66
pembangunan sistem pengairan di daerah Tangerang dikenal sangat
lambat.
Pada tahun 1920-an baru selesai dibangun bendungan Cisadane, dekat Pasar Baru dan bendungan Cimanceuri dekat Rancasumur, rehabilitasi tanggul di Cidurian, Cimanceuri, dan Cisadane. Awal tahun 1930-an, irigasi dibangun di beberapa daerah Tangerang. Irigasi di sebelah uta ra jalan Jakarta—Serang diurus oleh Dinas Pengairan Afdeling Batavia. Irigasi lainnya diurus oleh Dinas Pengairan Provincie West Java (Propinsi Pasundan) yang dibentuk bulan Agustus 1925 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1926. Sementara itu, saluran tersier dipelihara oleh para petani sendiri (Indonesia. Arsip Nasional, 1980: xxxi, cxvii dikutip Ekajati, 2004: 118) Bendungan Pasar Baru Irigasi Cisadane, sekarang dikenal dengan
nama "Pintu Air Sepuluh". Sesuai namanya bendung ini memiliki 10 pintu
air, masing-masing selebar 10 meter. Pembangunan pintu air tersebut
sempat mendatangkan para pekerja dari Cirebon.
Upaya peningkatan irigasi lainnya antara lain: membangun bagian
ketiga saluran induk Cidurian, membuat bagian pertama saluran induk
Cisadane barat dan sarana pelengkapnya , meluruskan aliran Cisadane yang
berhubungan dengan bendungan Pasar Baru, membuat bagian keempat
saluran induk Cidurian. Tentunya, dengan pembangunan tersebut
pemerintah kolonial sangat mengharapkan agar hasil panen bisa terus
meningkat sehingga dapat meningkatkan kas pemerintah.
Selain bertani, penduduk Tangerang ada juga yang beternak babi
dengan meniru model peternak Tionghoa, Daging babi banyak dijual ke
Batavia terutama pada orang-orang Eropa dan Tionghoa. Ada juga yang
memelihara domba. (Indonesia. Arsip Nasional, 1980: cxv, cxxxvi dikutip
Ekajati, 2004: 119).
67
Aktivitas perdagangan Tangerang banyak berpusat di pasar tradisional
antara lain di kota Tangerang, di ibu kota distrik, di Balaraja , Mampang,
dan Pasar Baru yang berada tidak jauh dari bendungan Cisadane. Aktivitas
perdagangan di pasar-pasar tersebut juga membuka peluang pekerja an
baru antara lain buruh kuli angkut yang banyak digeluti tidak hanya oleh
pribumi tetapi juga sebagian beretnis Tionghoa.
Selain berprofesi sebagai tuan tanah, peternak babi, kuli angkut,
pedagang, orang-orang Tionghoa di Tangerang ada juga yang bekerja
sebagai mandor dan kuli di perkebunan tebu, dan kuli kereta api. Sebagian
orang Cina bekerja sebagai mandor pabrik gula yang terdapat di Kampung
Babakan. Upah bagi mereka diberikan dengan sistem harian seperti dikutip
Ekajati (2004: 119) dari Koloniaal Verslag, 1904, 1906 berikut ini:
Pada tahun 1904, misalnya, besar upah harian tenaga pribumi di Tangerang adalah: mandor perkebunan f 0,50 - f 1, kuli perkebunan f 0,25 - f 0,40, tukang batu dan tukang kayu f 0,60 - f 1. Upah tenaga Cina adalah: mandor pabrik gula f 0,75 - f 1,50, tukang batu dan tukang kayu f 0,70 - f 1,50, kuli f 0,40 -f 0,70. Sayang sekali, hingga penulisan skripsi ini dilakukan, penulis
belum berhasil mendapatkan informasi secara lebih jauh mengenai
pabrik gula tersebut. Sebetulnya, informasi tersebut dapat dijadikan
acuan terhadap permulaan kapitalisasi di Tangerang yang biasanya
ditandai dengan penggunaan mesin-mesin modern dan tenaga buruh
yang banyak. Bila di pabrik gula demikian halnya, maka sebenarnya
era kapitalisme sudah berlangsung di Tangerang.
Informasi tentang industri lainnya yang cukup menonjol justru
masih tergolong home industry, yaitu industri kerajinan topi dari
68
anyaman bambu dan pandan. Konon, topi-topi tersebut dikenal sangat baik
kualitasnya sehingga mampu menembus pasar dunia. Produk kerajinan
topi diekspor ke Amerika dan Eropa (terutama Perancis) melalui
pelabuhan Tanjung Priuk. Topi-topi tersebut dianyam oleh kaum pribumi
dan diperdagangkan di dalam negeri oleh orang Tionghoa sedangkan
pemasaran ke luar negeri banyak dilakukan oleh pedagang Eropa.
Gambaran tingginya nilai ekonomi topi bambu dari Tangerang,
ditunjukkan oleh angka -angka ekspor sebagai berikut.
T a b e l 5 . Ekspor Topi dari Tangerang
(Indonesia. Arsip Nasional, 1980 : cxv dalam Ekajati, 2004: 120).
Kejayaan topi Tangerang baru berakhir sekitar tahun 1930 dan hingga
kini tak mampu bangkit kembali. Kemunduran tersebut diawali dengan
merosotnya eksport akibat adanya perubahan mode yang diminati pasar
dunia dan saingan mode topi dari pengrajin di Amerika Selatan. Selain itu
karena adanya krisis ekonomi tahun 1930 dimana menghantam eksport-
import dunia . Bahkan akibat krisis tersebut perusahaan tenun di Balaraja
"gulung tikar" (Ekajati, 2004: 120 dan Brousson, 2007: 72-74).
Tahun Jumlah Nilai Total Nilai Tiap Topi
1913 5.495.394 f 1.328.820 26 sen 1917 2.573.033 f 668.983 26 sen 1922 2.826.058 f 847.817 30 sen 1928 4.947.104 f 2.044.889 41 sen 1929 4.436.568 f 1.009.878 23 sen 1930 2.935.745 f 445.165 16 sen 1931 1.163.307 f 147.529 13 sen
69
Dari lima pola penetrasi modal di era Kolonial Belanda , paling tidak dapat
kita tarik beberapa benang merang. Pertama, penetrasi modal yang dilakukan
Kolonial Belanda di Tangerang dijalankan secara sistematis, bertahap, dan
terencana. Perancanaan dimulai sejak era VOC mencoba merebut daerah
Jayakarta kemudian dijadikan Batavia sebagai randez-vous (pangkalan tetap) bagi
kapal-kapalnya dan titik pijak pertama mencengkram Nusantara (Simbolon, 1995:
33). Dari Batavia, VOC dan Kolonial Belanda melancarkan strategi-strategi
berkelanjutan untuk mencapai tujuan utamanya, akumulasi modal.
Kedua, implementasi perencanaan penetrasi modal Kolonial Belanda selalu
dimuarakan bagi keuntungan kolonial baik melalui penerapan sistem feodal,
menjadikan daerah partikelir, pelaksanaan segregasi rasial, maupun pembangunan
infrastruktur dan peningkatan produksi. Pemerintah Kolonial Belanda sangat
mengetahui bahwa masyarakat di nusantara, khususnya Tangerang, masih sangat
feodal dimana tetap memandang dan mau mengikuti para keturunan raja atau
bangsawan. Sebab, di benak masyarakat sudah begitu mengakar bahwa para
bangsawan dianggap mempunyai kesaktian dan dipilih dewa atau Tuhan untuk
menjadi pemimpin mereka. Dengan ”melumpuhkan gerakan melawan Belanda”,
Pemerintah Kolonial selanjutnya mendekati dan merekrut para bangsawan yang
sudah tak ”bertaring” tersebut agar mau menjadi aparatur pemerintah Kolonial.
Walaupun dalam perjalana n beberapa kaum bangsawan tersebut disingkirkan
karena kurang cakap atau suatu tindak asusila, tetapi masyarakat dibuka matanya
bahwa mereka harus tunduk pada kepentingan kolonial sebagai ”bangsawan
baru”, sebagai kelompok yang mempunyai ras lebih tinggi dari pada bangsawan,
yaitu ras kulit putih. Setelah, masyarakat dibukakan matanya bahwa bangsawan
70
pemimpin mereka ”tidak becus” menjadi pemimpin, diangkatlah golongan baru
sebagai penggantinya yaitu kaum Tionghoa yang menggantikan kedudukan
sebagai penguasa tanah partikelir atau tuan-tuan tanah. Kepada merekalah, warga
pribumi harus tunduk. Di bawah kaum Tionghoa, nampaknya pemerintah
kolonial mendapat keuntungan ganda. Di satu sisi, mereka menjadi pengumpul
pajak yang bisa menambah pundi-pundi kas pemerintah kolonial, di sisi lain,
pemerintah mampu melakukan pemetaan (maping) kekuatan. Sebab, pemerintah
kolonial di mana pun selalu kawatir apabila di daerah pendudukan terjadi
pembauran dan persatuan berbagai ras dan suku. Pemerintah kolonial kawatir bila
tumbuh kesadaran ”nasionalisme” sehingga terbentuk kekuatan baru untuk
melawan. Dengan segregasi rasial antara pribumi, Tionghoa, dan Eropa maka
Pemerintah Kolonial dapat selalu melancarkan strategi tertentu yang
menguntungkan. Bila ada kecenderungan pembauran, maka perlu ”diadu-domba”.
Selanjutnya, dengan kendali tersebut, pemerintah Kolonial dapat secara leluasa
mengeluarkan kebijakan lebih lanjut seperti memperkuat struktur pemerintahan,
maupun pembangunan infrastruktur dan peningkatan produksi yang
menguntungkan.
C. Anti Cina: Reaksi Masyarakat Tangerang terhadap Kebijakan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Selama Nusantara diduduki pemerintah kolonial, sistem segregasi rasial
(penggolongan masyarakat berdasarkan ras dan perbedaan perlakuan) hampir
diterapkan di seluruh daerah pendudukan. Sementara itu, kaum pribumi (inlander)
berada pada posisi yang paling rendah baik perlakuan yang diberikan maupun
71
implikasinya. Hal ini berlaku juga dalam kehidupan pribumi di Tangerang. Para
buruh tani penggarap lahan partikelir berada pada posisi yang selalu tertindas
terutama oleh tuan-tuan tanah Tionghoa di daerah-daerah yang didominasi tuan
tanah Cina . Dalam prosesnya penindasan tersebut menimbulkan rasa
ketidakpuasan dan kebencian terhadap etnis Tionghoa bahkan tindakan
pemberontakan.
Walaupun demikian, bukan berarti di seluruh Tangerang timbul gejolak anti
Cina. Sebab, dari jaman kolonial hingga saat ini, terdapat daerah yang relatif
harmonis menjaga relasi antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Daerah tersebut
berada di Neglasari. Menurut hasil penelitian Guntur Setyanto (2000: 41-45), di
wilayah RT 03/06 Neglasari, perbandingan etnis Tionghoa dengan Pribumi adalah
49% Tionghoa dan 51% pribumi (Sunda Tangerang) dengan mata pencaharian
bertani, beternak, wiraswasta dan karyawan pabrik. Masyarakat di daerah tersebut
tidak pernah terlibat konflik sara, hidup kental dengan gotong royong. Misalnya
saat umat islam membersihkan mushola, warga lain ikut membantu, bahkan di
perkampungan ini terdapat ternak babi yang lokasinya berdekatan dengan tempat
ibadat muslim tetapi tidak pernah dipermasalahkan. Namun, dalam pandangan
penulis, gejolak anti cina akibat kebijakan segregasi rasial yang dijalankan
kolonial relatif lebih menonjol.
Awalnya, penduduk pribumi menerima dan menjalankan pengolahan tanah
milik tuan tanah. Mereka wajib membayar cuke atau pajak dan berbagai kerja
wajib yang sangat memberatkan. Kerja wajib terdiri atas heerendiensten, yaitu
kerja wajib untuk tuan tanah; kerigan (desadiensten ) berupa perbaikan jalan,
jembatan, pematang, dan lain-lain; serta gugur gunung , yaitu perbaikan
72
infrastruktur desa yang rusak. Untuk melancarkan kepentingan tuan tanah,
direkrutlah para jawara yaitu orang-orang yang mempunyai olah kanuragan
atau beladiri dan ditakuti warga.. Jawara sengaja dipelihara para tuan tanah
dengan tugas khusus menjaga dan melindungi tanah partikulir beserta tuan tanah
sebagai pemiliknya. Tindakan para jawara seringkali menjadi alat tuan tanah
menekan dan, menakuti agar para penggarap mematuhi dan melaksanakan kewa-
jiban-kewajibannya dan tidak berbuat hal-hal yang bisa mengganggu keamanan,
merusak tanah, mengancam hidup tuan tanah beserta keluarganya, dan mangkir
atas kewajiban-kewajiban mereka. Tak segan-segan jawara itu menindak
petani penggarap dengan cara kekerasan fisik dan menyita harta benda yang
dimilikinya (Ekajati, 2004: 129-130).
Terbentuklah kesenjangan sosia l dan ekonomi yang mencolok antara
kehidupan petani penggarap yang mayoritas pribumi dengan para tuan tanah
yang mayoritas adalah orang Tionghoa. Para tuan tanah Cina makin kaya,
karena mereka terus menambah pemilikan tanah partikelir. Sebaliknya, para
petani hidup dalam suasana kekurangan. Kondisi itu terutama terjadi di tanah
Pangkalan. Di daerah itu, 60 persen luas tanah dikuasai oleh orang-orang Cina,
padahal mereka adalah penduduk minoritas. Mereka memiliki hak lebih banyak
dari petani, sehingga kekuasaan mereka pun sangat besar.
Gambaran kondisi kaum pribumi di atas itulah yang menyebabkan konflik
antara kelas majikan dan buruh. Konflik semakin diperparah oleh perilaku pejabat
kolonial yang tidak mempunyai empati dan keberpihakan pada kelas buruh.
Mereka justru lebih banyak melindungi kaum tuan tanah. Pola penindasan kelas
sosial tersebut tak mampu diredam oleh nilai-nilai tradisional masyarakat pribumi
73
seperti tradisi gotong-royong, tepa selira, dan lain -la in. Nilai-nilai masyarakat
agraris semakin luntur akibat waktu hidup kaum penggarap banyak tersita untuk
menjalankan sistem produksi tuan tanah dengan bekerja keras di lahan partikelir.
Kehidupan khas agraris yang kental dengan kegotong-royongan luruh. Timbulah
krisis identitas sebagai manusia sosial yang harmonis sehingga puncaknya timbul
sikap memberontak sebagai wujud dari rasa pedih yang tak tertahankan. Pada
tahun 1924, meletuslah pembrontakan petani Tangerang kepada majikan dan
pemerintah seperti dice ritakan oleh Ekajati (2004: 129-137) berikut ini.
Pembrontakan Petani di Tangerang tahun 1924 dipicu oleh peristiwa-
peristiwa yang relatif kecil sebelumnya. Pada tahun 1913, terjadi perkelahian
antara sejumlah penduduk Kampung Tegalkunir dengan orang-orang Cina
Kebonwaru. Perkelahian bermula dari pertengkaran antara anak petani Gudel
dengan anak Lim Utan (Lim Oetan) pemilik sawah Kampung Kebonbaru.
Pertengkaran terjadi hari Jumat 23 Mei 1913 di sawah ketika panen, setelah terjadi
selisih paham dalam transaksi penjualan beras ketan. Anak Gudel dituduh belum
membayar ketan anak Lim Utan seharga satu sen. Anak Lim Utan pulang dan
mengadu kepada ayahnya. Lim Utan marah, kemudian mendatangi anak Gudel
dan memukulnya. Karena pemukulan itu, Sailan, kakak kandung anak Gudel ikut
membantu dan terjadilan perkelahian dengan senjata tajam. Dalam perkelahian itu
Lim Utan terluka dan harus dirawat. Namun, perkelahian itu masih berbuntut
panjang. Keesokan harinya terjadi lagi pembalasan dari pendukung Lim Utan.
Saat Gudel pulang dari sawah, ia dikeroyok empat orang Cina dan dibunuh
sementara pembunuhnya melarikan diri. Hari berikutnya, 25 Mei 1913, seusai
pemakaman Gudel, Sailan membalas dendam dengan membunuh seorang
74
Cina bernama Li Ji Tun (Li Dji Toen) yang kebetulan berpapasan dengannya.
Rangkaian peristiwa ini sempat dilaporkan oleh Asisten Residen Tangerang G.P.J.
Vernet tanggal 2 Juni 1913 kepada Residen Jakarta H. Rijfsnijder. Rangkaian
peristiwa di atas, besar kemungkinan menjadi salah satu penyebab suburnya
perasaan antipati teradap hal-hal yang berbau rang Cina .
Sementara itu, selang tujuh tahun berikutnya (1924), terjadi pemberontakan
petani Tangerang. Diawali dengan tampilnya seorang tokoh berpengaruh di
daerah Pangkalan. Tokoh itu bernama Kaiin Bapa Kayah. Ia dipandang dan
disegani masyarakat karena mempunyai pengalaman khusus selain menjadi
petani. Ia pernah menjadi mandor perkebunan sutera tahun 1910- 1912. Saat
menjadi mandor, ia pernah mendapat perlakuan semena -mena dari majikannya.
Akibatnya ia melawan dan terjadi pertengkaran. Ia kemudian keluar dari peker-
jaannya dan menjadi opas di kantor Asisten Wedana Teluknaga. Empat bulan
kemudian ia dipindahkan ke Jakarta, menjadi opas pada komisaris polisi. Setelah
berhenti sebagai opas, Kaiin kembali ke Pangkalan, kemudian menjadi dalang
wayang.
Kaiin mempunyai pemikiran bahwa tanah di daerah Pangkalan seharusnya
tidak dikuasai oleh orang Tionghoa sebab tanah tersebut sesungguhnya
merupakan warisan nenek moyang pribumi setempat. Kemiskinan warga pribumi
di Pangkalan seharusnya tidak perlu terjadi bila tanah tersebut direbut kembali.
Agar tanah tersebut dapat dikuasai kembali oleh penduduk pribumi, maka para
tuan tanah Tionghoa di Pangkalan harus diusir. Dan untuk mengusirnya dengan
cara mencari dukungan pejabat tinggi kolonial dan dengan mneghimpun kekuatan
warga pribumi.
75
Tampaknya, gagasan mencari dukungan pejabat tinggi kolonial lahir karena
pengalamannya menjadi pegawai pemerintahan. Namun untuk merealisasikan
gagasan itu nampaknya Kaain kesulitan sehingga ia memilih menghimpun warga
pribumi agar belajar ilmu kesaktian dan kekebalan tubuh. Kaiin kemudian berguru
pada ”orang pintar” dan banyak ziarah ke tempat keramat. Agar lebih disegani, ia
merubah penampilan dengan mengenakan pakaian jawara. Dengan cara-cara
tersebut, ia pun memperoleh pengikut cukup banyak dari berbagai kalangan
seperti petani, guru agama (tarekat), dukun, dan lain-lain. Beberapa tokoh
pengikutnya antara lain: Merin dari Kampung Parangkored, Siban Bapa Sambut
dari Kampung Pondok Aren, Ibu Minah dari Kampung Kelor , Enang yang turut
mempropagandakan cita-cita membebaskan tanah dari kekuasaan Cina , Haji Riun
dari Desa Kalideres. Masing-masing pengikut memiliki sejumlah anak buah.
Upaya merebut tanah Pangkalan yang dilakukan Kaiin dan anak
buahnya, dirancang cukup matang. Sekitar awal bulan Januari 1924, Kaiin
menyebarkan undangan bahwa ia akan mengadakan pesta khitanan anaknya
tanggal 9 Februari 1924. Selain mengundang agar hadir dalam pesta
sekaligus ia berusaha mengumpulkan kekuatan. Ketika tiba waktunya,
memang banyak tamu dan pengikutnya menghadiri pesta khitanan. Dan saat
pesta berlangsung, Kaiin mengadakan pertemuan dengan para tokoh pengi-
kutnya dan merancang strategi lebih lanjut. Hasilnya, saat pesta masih
berlangsung, Kaiin meminta pengikutnya mengumumkan bahwa Pak Dalang
(Kaiin) akan menjadi "raja" di tanah Pangkalan dan Kampung Melayu. Ia
akan mengusir orang- orang Cina , menghapus cuke dan kompenian. Namun,
akibat pengumuman itu, sebagian tamu justru meninggalkan pesta. Kendati
76
demikian, esok harinya, Kaiin tetap melanjutkan rencananya. Ia membagi
pengikutnya dalam lima kelompok dengan masing-masing tugas mengusir tuan
tanah Tionghoa.
Gerakan Kaiin mampu membuat banyak tuan tanah ketakutan sebab selain
mengultimatum agar meninggalkan Pangkalan, para tuan tanah juga diancam akan
dibunuh bila tidak mematuhi perintahnya. Kaiin dan rombongan kemudian bergerak
ke arah Kampung Melayu, dan mengusir para tuan tanah. Mereka juga memporak-
porandakan kantor kongsi Kampung Melayu. Surat-surat kompenian yang
ditemukan, dirobek-robek. Selanjutnya mereka bergerak ke rumah Asisten
Wedana Teluknaga. Mereka ingin memberitahukan bahwa mereka akan
menghadap gubernur jenderal di Bogor untuk meminta izin mengusir orang-
orang Cina di Tangerang.
Sebelum maksud Kaiin menemui gubernur jendral, aksinya sudah tercium
Asisten Wedana Teluk naga yang kemudian melaporkan ke pemerintah
keresidenan di Batavia mengetahuinya . Dari Batavia keluar perintah agar wedana-
wedana di Tangerang segera mengerahkan polisi untuk mengatasi gerakan Kaiin.
Kekuatan polisi yang terhimpun secara cepat menggiring gerakan Kaiin ke daerah
Tanah Tinggi. Di Tanah Tinggi inilah, kontak fisik terjadi yang menghasilkan
kekalahan telak di pihak Kaiin.
Menurut penelitian Suryadi (1981: 13-14) , dalam kontak fisik di Tanah
Tinggi, Kaiin kemudian ditangkap bersama 23 orang petani pengikutnya.
Sedangkan, 19 orang lainnya tewas dan sejumlah petani luka parah. Namun sedikit
berbeda dengan penelitian Thahirudin (1971: 14) yang menyatakan bahwa Kaiin
tidak dipenjarakan, tetapi tewas dalam kerusuhan di Tanah Tinggi. Ia kemudian
77
dimakamkan di pekuburan Encle Desa Sukasari, Tangerang. Namun dari kedua
penelitian, dapat diketahui secara pasti bahwa gerakan Kaiin relatif berlangsung
sangat singkat. Pertempuran di Tanah Tinggi telah mengahiri keinginan sejumlah
warga pribumi merebut tanah Pangkalan dari tangan tuan tanah Cina (Ekajati,
2004: 136-137).
Dari penggalan peristiwa di atas, dapat tergambar bahwa kebijakan kolonial
yang diskriminatif dan banyak menguntungkan orang Cina tetapi merugikan
warga pribumi, benar-benar telah melahirkan bibit kebencian antar etnis di
Tangerang. Dalam perjalanan sejarah Tangerang, konflik dan pertentangan berbau
kebencian etnis di kemudian hari ternyata kembali terjadi. Dua di antaranya
adalah peristiwa Poh An Tui dan Kerusuhan massal berbau anti Cina tanggal 12-
15 Mei 1998 yang meletus di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Tangerang yang
kemudian menyebabkan Soeharto lengser dri kursi kepresidenan.
Peristiwa Poh An Tui terjadi justru setelah kemerdekaan Republik Indonesia
yaitu sekitar Juni 1946. Peristiwa meletus sedikitnya di lima desa yakni: Rajeg,
Gandu, Balaraja, Cikupa, dan Mauk. Tragedi itu disulut sebuah kabar santer ada
tentara Nica beretnis Tionghoa yang menurunkan bendera merah putih dan
menggantinya dengan bendera Belanda. Kemudian tersiar kabar pula , seorang
Nica Tionghoa membakar rumah warga pribumi. ”Ini sebab-sebab menimbulken
rajat Indonesier poenja goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang,” tulis
Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946 .
Tanggal 3 Juni 1946, warga pribumi yang mendengar kabar tersebut naik
pitam dan bergabung dengan laskar rakyat menangkapi para lelaki keturunan
China. Menghancurkan perkampungan China di lima desa kemudian menggiring
78
para lelaki Cina yang tertangkap menuju Penjara Mauk yang berukuran 15 x 15 m
tetapi dipenuhi sekitar 600 lelaki China dari seantero Tangerang.
Kabar penangkapan orang-orang Cina tercium warga keturunan China
lainnya sehingga tanggal 10 Juni 1946, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang
menamakan dirinya Poh An Tui bergerak ke Tangerang menolong mereka yang
terancam jiwanya. Besar kemungkinan, mereka mendapat dukungan NICA,
tentara Belanda yang pasti diuntungkan akibat perang ”saudara” tersebut. Mereka
dibekali senjata api dan dibagi dua kelompok. Yang pertama datang ke Mauk dan
membebaskan tawanan. Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa
yang banyak dihuni etnis China. Tercatat, sekitar 2.000 warga keturunan
diungsikan ke Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Selanjutnya, kerusuhan baru reda setelah pemerintah mulai turun tangan. Di
bawah Menteri Penerangan M. Natsir, warga Tangerang dapat didamaikan
kembali sementara perang melawan Belanda tetap berlangsung.
Implikasi dari kebijakan segregasi rasial pemerintah kolonial dimana telah
melahirkan gerakan anti Cina seperti diungkap di atas, harus tetap dilihat secara
komprehensif. Anti Cina yang tumbuh pada era kolonial dan masih menjadi gejala
latent hingga era Orde Baru, bukanlah lahir dari masyarakat pribumi secara tiba-
tiba. Kebencian rasial tersebut lahir sebagai akibat strategi penetrasi modal
Kolonial untuk mengeruk keeuntungan. Sebelum kebijakan kolonial tersebut
diterapkan, sesungguhnya antara warga pribumi maupun warga etnis Tionghoa
berbaur secara harmonis. Hal ini terbukti dengan beragamnya profesi yang
digeluti kaum Tionghoa sebagai pedagang, petani, peternak, sama seperti kaum
pribumi pada umumnya. Pembauran semakin solid lewat adanya perkawinan
79
silang. Namun situasi tersebut berubah tatkala Kolonial Belanda mengeluarkan
kebijakan segregasi rasial yang menimbulkan jurang kesenjangan antara kaum
kaya yaitu orang Tionghoa sebagai tuan tanah dan kaum miskin yaitu pribumi
sebagai buruh tani. Meminjam istilah Karl Marx, ka um tuan tanah sebagai kelas
penghisap dan pribumi sebagai kelas terhisap yang tertindas. Kedua kelas tersebut
selalu bertentangan. Dengan demikian, sesungguhnya kemarahan dan pengusiran
yang ditujukan kepada kaum Tionghoa pada tahun 1824, adalah pemberontakan
kurang tepat sasaran.
Sementara itu, perasaan kebencian rasial tersebut ternyata tetap bertahan dan
terpendam hingga satu abad berikutnya. Besar kemungkinan, generasi setelah
Kaiin Abah Kayah hidup dalam bayang-bayang memory collective masyarakat
Tangerang yang belum mampu menelaah secara tepat atas penindasan yang
mereka alami. Alhasil, cerita maupun stereotif orang Cina sebagai kaum kikir,
pelit, penindas, kejam, eksklusif, tidak mau berbaur dengan kaum pribumi,
menguasai perdagangan, kaum kaya, tuan tanah, kemudian terpelihara secara
turun-temurun. Maka, dengan pemaparan dan pemahaman sejarah yang benar,
diharapkan perasaan anti Cina dapat didudukkan pada tempat yang benar. Di
samping itu, untuk menata keharmonisan antara etnis Tionghoa dengan pribumi
diperlukan kebijakan penguasa agar perasaan itu tidak menjadi bahaya latent yang
sewaktu-waktu meletus kembali. Dan sayang sebetulnya, di masa orde lama dan
Orde Baru, nampaknya pembauran kaum etnis Tionghoa justru dihalangi dengan
peraturan larangan menjadi pegawai negeri, TNI, Polisi, dan lain -lain. Tatkala,
bidang perdagangan digeluti dan dikuasai mereka sehingga sebagian besar mampu
menjadi kelompok orang kaya (konglomerat), justru kebencian anti Cina tumbuh
80
kembali. Seolah-olah, orang Cina yang kaya tersebut mewakili seluruh etnis Cina
di seluruh nusantara.
D. Pola Penetrasi Modal di Tangerang pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Penetrasi modal di Tangerang pada era Orde Baru tahun 1966-1998 dapat
dilihat dengan mata telanjang melalui adanya perubahan drastis kehidupan
Tangerang dari agraris menjadi modern sebagai dampak industrialisasi. Perubahan
wilayah Tangerang dari daerah agraris menjadi industri, kiranya tak bisa
dilepaskan dari kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru secara makro. Hal itu
sekaligus menjadi salah satu tanda perbedaan arah kebijakan ekonomi era
pemerintah orde lama. Di masa pemerintahan orde lama, Soekarno sering
menyuarakan tentang filosofi ekonomi berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri.
Prinsip yang ingin diperjuangkan adalah membangun ekonomi nasional yang
berswasembada. Slogan yang biasanya didengungkan adalah Trisakti yaitu
berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Artinya, dalam upaya membangun perekonomian Indonesia,
Soekarno selalu berusaha “membendung” investasi pihak swasta baik asing
maupun nasional secara besar-besaran. Soekarno tidak menginginkan roda
ekonomi Indonesia ditopang oleh pihak swasta dengan ciri kepemilikan
perseorangan. Rentetan peristiwa politik yang diawali kasus G30S tahun 1965 dan
gonjang-ganjing yang mengikutinya, akhirnya mengakhiri masa pemerintahan
orde lama. Gagasan tentang ekonomi berdikari kemudian digantikan ekonomi ala
Orde Baru.
81
Pada tahun 1966, Orde Baru berdiri. Bila di era sebelumnya pihak swasta
“dibendung” oleh kekuasaan negara, di masa Orde Baru “bendungan” itu dibuka.
Kepentingan modal asing maupun nasional dirangkul untuk membangun ekonomi
Indonesia (liberalisasi pasar) menuju negara industri yang dicitakan rezim. Seiring
kerjasama tersebut berjalan, Tangerang tak luput menjadi salah satu daerah
bidikan pembangunan ala Orde Baru.
1. Membuka Keran bagi Modal Asing dan Nasional
Pemerintahan Orde Baru dibentuk berdasarkan hasil keputusan Sidang
Umum MPRS yaitu Ketetapan MPRS No. XIII Tahun 1966. Situasi
perekonomian saat itu masih berupa warisan kebijakan orde lama dimana
serba morat-marit terutama tingginya harga sembako yang membuat rakyat
menjerit. Ditambah lagi situasi mencekam yang masih berlanjut di daerah-
daerah akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berlangsung di
Jakarta.
Di tengah situasi kekacauan ekonomi tersebut, Orde Baru berusaha
memperbaikinya dengan menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Dalam GBHN dijabarkan suatu perencanaan jangka panjang dan
jangka pendek. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengubah struktur
ekonomi yang ada menuju struktur ekonomi yang seimbang, dimana industri
menjadi tulang punggung ekonomi didukung kemampuan pertanian yang
tangguh. Untuk mencapainya perlu dibangun sektor industri secara bertahap.
Selama Orde Baru berkuasa sekitar 32 tahun, paling tidak pernah dilakukan
enam kali perubahan kebijakan industri, yaitu sebagai berikut:
82
Tabel 6. Target-Target Pelita I-V
PELITA TARGET
I • Industri diprioritaskan untuk merehabilitasi alat produksi yang sudah tua atau tidak berfungsi
• Meneruskan pembangunan beberapa proyek tertunda (retarded project) yang produksinya sangat dibutuhkan masyarakat
• Membangun industri yang menunjang sektor pertanian atau sarana pertanian
• Membangun industri yang dapat mengolah bahan dalam negeri
• Membangun industri yang bersifat padat karya
II • Membangun dan meningkatkan kapasitas pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku
• Menggalakkan pemakaian barang buatan dalam negeri dengan cara sustitusi impor
• Melipatgandakan produksi sandang, pangan, obat-obatan dan kebutuhan pokok masyarakat
• Meningkatkan dan menggiatkan industri padat karya, industri kecil dan industri rumah tangga
• Mendorong dan meningkatkan pembangunan industri PMA dan PMDN
• Penyebaran industri ke seluruh daerah • Menghemat pengeluaran devisa dan sebaliknya
menggalakkan ekspor hasil industri untuk memperoleh devisa
III • Memperdalam struktur industri dengan membangun bidang usaha yang masih lowong pada “pohon industri”
• Mengusahakan pemerataan hasil industri, perluasan lapangan kerja, mengurangi ketimpangan antara sektor industri dengan sektor lainnya dan antara sektor industri sendiri
• Meningkatkan sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional
• Mendorong pertumbuhan industri kecil • Menciptakan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI)
sebagai suatu konsep pembangunan wilayah, berorientasi pada pertumbuhan ekonomi pada zona industri yang memanfaatkan sumber daya alam dan potensi daerah
• Meningkatkan peranan sektor industri untuk menunjang sektor pertanian dan ketahanan na sional
IV • Menjalankan Pola Pengembangan Industri Nasional yang
berintikan enam butir kebijakan pokok, yaitu : 1. Pendalaman dan pemantapan struktur industri 2. Pengembangan industri permesinan dan elektronika 3. Pengembangan dan pemasaran hasil industri kecil
melalui sistem “Bapak Angkat” 4. Mengganti kebijakan Substitusi Impor dengan Promosi
Ekspor dengan pola broad base (spectrum) 5. Mengembangkan litbang terapan, rancang bangun serta
rekayasa industri
83
6. Mengembangkan kewiraswastaan dan tenaga profesi • Menciptakan iklim yang kondusif melalui kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi
V • Melanjutkan deregulasi dengan tujuan menarik sebanyak mungkin industri yang berpindah lokasi (relokasi) dari satu negara ke negara lain, yang pada umumnya berupa foot loose industry seperti industri elektronika, sepatu dan garmen yang padat karya
• Melanjutkan kebijaksanaan Pelita IV
VI Meningkatkan ekspor melalui kebijakan deregulasi
Sumber: www.zulkieflimansyah.com
Rehabilitasi perekonomian nasional dilakukan bersama -sama oleh
pemerintah dan pihak swasta. Untuk mempercepat pembangunan, pemerintah
berusaha menarik modal bukan pinjaman yang diharapkan dapat mengolah
sumber daya yang tersedia lebih banyak sekaligus dapat menciptakan
lapangan kerja baru. Namun modal seperti itu membutuhkan kepastian hukum
dan undang-undang. Maka pada tanggal 10 Januari 1967 pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (UU PMA). Setahun kemudian menyusul dikeluarkannya Undang-
Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968 tentang
PMDN).
Seperti telah diuraikan di atas, pada tahap awal pemerintah Orde Baru
mencanangkan suatu konsep tinggal landas menuju negara industri. Sektor
pertanian dianggap sebagai salah satu bidang yang harus mampu menopang
kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Di antara pembangunan bidang
pertanian, dikenal istilah “revolusi hijau”. Era ini juga berlaku di daerah
Tangerang yang ditandai dengan adanya peningkatan hasil produksi pertanian.
Melalui intensifikasi, lahan sawah di sekitar Tangerang yang sebelumnya
84
menghasilkan 2-3 ton padi per hektar, kemudian mampu menghasilkan 6-7 ton
padi per hektar. Hal itu berkat penggunaan pupuk urea dan obat-obatan yang
disebut sebagai salah satu bentuk kebijakan teknologi yang ditentukan oleh
Pemerintah (Ekajati, 2004: 230) .
Seiring gencarnya pembangunan industri, sektor pertanian yang sempat
menopang perekonomian Tangerang, secara bertahap tergantikan dengan
sektor perdagangan dan industri. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data
statistik Pemda tentang pendapatan domestik regional bruto (PDRB) tahun
1975 sampai 1985. Pada tahun 1975 tercatat sektor perdagangan sebagai
penyumbang terbesar PDRB yaitu 33,30% kemudian disusul pertanian sebesar
29,07%. Sedangkan sektor industri sebesar 15,17%. Namun, pada tahun 1985
berubah, penyumbang PDRB terbesar adalah sektor industri yaitu 28,91%,
disusul perdaganga n sebesar 21,15% dan dari pertanian sebesar 17,47%.
Berdasarkan hasil penelitian Suryana (1998), industri Tangerang telah
menyumbang pendapatan daerah hingga tidak terlalu bergantung pada
pemerintah pusat. Sumber pemasukan daerah tersebut berasal dari pajak dan
retribusi. Retribusi antara lain: ijin lokasi, saat pembangunan, dan lain-lain.
Akan tetapi, gencarnya pembangunan perumahan oleh para pengembang,
ternyata di kemudian hari menyebabkan pemborosan biaya daerah. Hal itu
terjadi di saat seluruh fasilitas perumahan yang dibangun pengembang
diserahkan ke Pemda dan Pemda mulai rutin membangun sarana publik.
Selama tahun 1993-1998, dalam perhitungan Suryana (1998: 190), kab
Tangerang harus nombok sebesar 69.317.678.800 seandainya seluruh
85
prasarana lingkungan sosial dan utilitas umum diserahkan kepada pemerintah
daerah.
Tabel 7. Perbandingan Penerimaan
dari Pusat, Dati I, dan Penerimaan Sumber PAD Tahun 1993-1998 (dalam ribuan)
NO Tahun
Anggaran Penerimaan
Pusat Penerimaan
Dati I Penerimaan PAD-PBB
1 2 3 4 5
1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998
31.894.812 24.501.779 27.431.807 30.465.983 40.457.756
5.327.975 2.715.500 4.865.880 7801.000 7.489.000
34.340.901 38.210.654 51.641.011 58.285.793 58.237.100
Bagian keuangan setwilda tingkat II Tangerang, 1998
Tabel 8. Struktur Ekonomi Jawa Barat Tahun 1973-1990
PELITA
Sektor I 1973
II 1978
III 1983
IV 1988
V 1990
Pertanian Industri Lain-lain
38,83 8,81
52,36
30,62 10,60 58,78
26,41 10,04 63,55
19,77 18,91 61,32
18,70 20,61 60,69
Sumber: Bappeda Tk I Jawa Barat, 1993 dikutip Murtono, 1998: 3
Kebijakan pembukaan PMA ternyata juga mendapat sambutan baik dari
para investor asing dan luar negeri. Pada tahun 1987, di Tangerang tercatat
terdapat 350 perusahaan penanaman modal asing (PMA) dengan investasi
US$ 547 juta dan 90 perusahaan dari dalam negeri (PMDM) dengan total
investasi 188 milyar rupiah. Sementara itu tahun 1990/1991 meningkat, PMA
mencapai 13.124 perusahaan dengan investasi US$ 694.735.000 dan dari
PMDN berjumlah 130.479 perusahaan dengan investasi sekitar 932 milyar
rupiah. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun.
86
Hanya saja belum diketahui bagaimana naik turunnya di masa krisis ekonomi
tahun 1997 hingga masa reformasi.
Tabel 9. PMA di Indonesia Tahun 1967 -1990
INVESTOR NILAI INVESTASI Jepang Hongkong Korea Selatan Taiwan Singapura
9.666.916.000 3.731.192.000 1.860.007.000 1.743.558.000 1.012.103.000
Sumber: Bisnis Indonesia, 18 April 1991
Dari sekian ribu perusahaan tersebut, pada tahun 1990, ada sekitar 14
perusahaan yang mampu memasarkan produksi ke luar negeri yaitu Jepang,
Amerika Serikat, Timur tengah, Eropa, dan negara Asean. Produksi yang
dieksport tersebut antara lain pakaian jadi, kain sutting, tempat beras, tepung
ubi, mainan anak, keramik, silet, dan kain tenun.
2. Tangerang Menjadi Penyangga Ibu Kota Jakarta
Pembangunan Tangerang menjadi kota industri semakin gencar tatkala
pada tahun 1976 diberlakukan Instruksi Presiden nomor 13 tahun 1976 tentang
pengembangan wilayah JABOTABEK meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasi (Sutiyoso, 2007:15-36). Tangerang dinyatakan sebagai salah satu
daerah penyangga ibukota RI yaitu menampung limpahan penduduk, menjadi
daerah industri, dan perdagangan.
Dalam istruksi presiden tersebut diantaranya disebutkan bahwa wilayah
Tangerang tidak bisa menghindari dari imbas pembangunan yang sedang
berkembang di wilayah Jakarta. Membludaknya arus tenaga kerja dari Jakarta
87
dan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan serta permukiman baru otomatis
akan berdampak di wilayah sekitarnya, termasuk Tangerang. Maka, gagasan
mengelola Tangerang menjadi kota pun mulai berkembang. Pada tahun 1982
pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 50, tentang Pembentukan Kota
Administrasi Tangerang. Kemudian berubah lagi dengan dikeluarkannya UU
No 2 Th 1993, dimana wilyah tersebut dibagi dua menjadi Kotamadya
Tangerang (sekarang: Kota Tangerang) dan Kabupaten Tangerang.
Sebagai daerah limpahan penduduk Jakarta, dengan sendirinya di daerah
Tangerang dibangun pemukiman-pemukiman baru. Pembangunan pemukiman
tersebut melibatkan pihak swasta dan pemerintah terutama untuk menampung
warga pendatang. Warga pendatang tersebut tidak hanya mereka yang bekerja
di Jakarta, tetapi dengan berkembangnya pabrik di tangerang, pemukiman
baru juga ditukukan bagi pendatang yang menjadi pekerja industri di
Tangerang. Alhasil, Tangerang dibanjiri pendatang dari berbagai daerah dan
berbagai latar belakang.
Tabel 10. Daerah Pemukiman Kotamadya Tangerang
Tahun 1990
No Kecamatan Jumlah Pemukiman
1. 2 3 4 5
Kecamatan Tangerang Batuceper Cipondoh Jatiuwung Ciledug
20 8
20 16 20
Sumber: Kantor Kotamasya Tangerang dikutip Rizal, 1993: 63
88
Kemudian, dalam penataan Jakarta sebagai ibu kota negara, Tangerang
adalah daerah ideal untuk lokasi pusat industri sebab sangat berdekatan
dengan ibu kota dimana aktivitas bisnis berlangsung.
3. Pembangunan Infrastruktur Industri
Sejak awal penetrasi modal di Tangerang pada zaman kolonial, faktor
transportasi dipandang sangat penting. Demikian pula di era Orde Baru, di
mana Tangerang dijadikan sebagai kota “satelit” Ibu Kota Jakarta, dengan
sendirinya transportasi sangatlah menentukan. Maka dibangunlah jalur
transportasi yang kokoh diantaranya jalan bebas hambatan atau jalan tol. Jalan
tol Jakarta-Tangerang dirancang untuk dapat memberikan aksesibilitas yang
tinggi bagi kawasan industri dan pemukiman di sekitar jalur ini sekaligus
memperlancar arus distribusi barang dan mobilitas manusia antara Jawa dan
Sumatera.
Pembangunan tahap pertama berupa ruas jalan tol Jakarta-Tangerang
Barat (Bitung) sepanjang 26 km yang dimulai pembangunannya pada tahun
1980. Jalan bebas hambatan ini mempunyai dua jalur terpisah dengan masing-
masing jalur terdiri dari dua lajur, dengan menghabiskan biaya sebesar Rp.
37,1 Milyar yang sebagian besar dananya merupakan pinjaman lunak dari
OECF (Overseas Economic Cooperation Found). Proyek ini dikerjakan oleh
kontraktor PT. Hutama Karya beserta 3 kontraktor Jepang yaitu: Tobenaka
Doboku, Tobenaka Komuten dan Nippo Hodo dengan konsultan pengawas
lokal PT. Biec Internasional Inc, PT. Docrea dan PT. Bina Karya bekerja sama
dengan konsultan Jepang PCI (Pasific Consultant Internasional).
89
Pengoperasian pembangunan tahap pertama ini dimulai pada tanggal 28
Nopember 1984 yang dibangun dan dioperasikan oleh PT. Jasa Marga
(Persero). Tahap kedua dibangun Ciujung ByPass dan Serang ByPass yag
dioperasikan pada tanggal 1 Agustus 1988. Sedangkan ruas Tangerang Barat-
Merak yang merupakan kelanjutan dari ruas jalan Jakarta-Tangerang Barat
dibangun oleh PT. Marga Mandala Sakti yang merupakan usaha patungan
antara PT. Jasa Marga (Persero) dab beberapa perusahaan swasta dengan
polaBOT yang panjangnya mencapai 73 Km yang mempunyai 2 jalur dengan
masing-masing teridiri dari 2 lajur, yang menelan biaya investasi sebesar Rp.
452 Milyar.
Adanya jalan tol ini ternyata telah ikut memicu tumbuhnya kawasan-
kawasan pemukiman baru terutama di sekitar Tangerang. Sehingga ruas
Jakarta -Tangerang Barat yang semula hanya 4 lajur sudah tidak mampu lagi
menampung volume lalu lintas , terutam pada jam-jam sibuk. Untuk
mengantisipasi hal tersebut PT. Jasa Marga bekerjasama dengan PT. Adhika
Prakarsatama membangun lajur tambahan sehingga menjadi 6 lajur dan telah
dioperasikan sejak tanggal 15 Pebruari 1996 yang menelan investasi sbesar
Rp. 108,55 Milyar.
4. Pembangunan Kawasan Pabrik: Pengambilalihan Lahan Warga
dan Penataan Ulang Penduduk untuk Melancarkan Akumulasi
Modal
Seiring pembangunan transportasi, di sekitarnya dibangunlah pabrik-
pabrik. Dari informasi awal yang didapat berdasarkan cerita para buruh di
Cikupa, pembangunan pabrik tersebut berjalan secara bertahap seiring
90
pembangunan jalan tol Jakarta-Merak. Pada mulanya dibangunlah pabrik-
pabrik di lahan kering yang kemudian disebut sebagai Blok A. Pembangunan
blok A dimulai sekitar tahun 1970. Kemudian disusul blok B, dab Blok C.
Pengembangan lahan pabrik blok B dan C, memanfaafkan lahan pertanian,
termasuk lahan basah (sawah). Sehingga pada tahun 2007, salah satu
kelurahan di Cikupa yaitu Telagasari, lahan pertanian kini sudah habis. Daerah
kelurahan tersebut telah berubah menjadi kawasan pabrik dan perkampungan
buruh.
Dalam pembangunan setiap blok, terjadi proses pengambilalihan lahan
warga. Seorang buruh bernama Abah Nang, bercerita bahwa pada saat blok C
dibangun, para pengembang bekerjasama dengan sejumlah aparat militer dan
aparat desa untuk memaksa para warga menjual lahannya kepada pemilik
pabrik. Sementara itu, saat berlangsung penjualan tersebut, muncul para calo
yang menyerbu pemilik lahan. Warga lokal secara perlahan kemudian
melepas lahannya dengan harga yang lebih rendah dari yang diharapkan.
Sedang sejumlah warga lokal lain, memilih ditukar dengan lahan lain yang
disediakan pemilik pabrik yang letaknya berada di pinggir daerah kawasan
pabrik. Akan tetapi, ada juga warga yang kemudian tetap bersikukuh bertahan
tidak menjual lahan kepemilikannya. Ia tetap bertahan bila ingin membeli
lahan yang dimilikinya, maka ia menetapkan tidak mau di bawah harga yang
ia kehendaki. Salah satu warga tersebut adalah Abah Nang.
Hanya saja, sikap Abah Nang tersebut juga membawa konsekuensi yang
tak ringan. Lahan dan rumah yang ia miliki, seiring pembangunan pabrik
kemudian berubah menjadi semacam “pulau” di tengah lautan pabrik. Karena
91
pengerukan yang dilakukan pabr ik, lahan Abah Nang berada di posisi yang
lebih tinggi layaknya pulau. Saat hujan, kemiringan tanah tersebut menjadi
arena permainan “prosotan” anak-anak kampung. Akibatnya, lahan Abah
Nang dipastikan sudah tidak subur sebab di saat kemarau pasti akan
kekurangan air. Oleh karena itu, Abah Nang memanfaatkan lahan tersebut
dengan pembangunan rumah kontrakan bagi para buruh. Dari kamar kost-
kostan inilah ia mendapatkan pemasukan. Namun, teror dan tawaran serta
bujukan agar segera menjual lahan itu, masih terus mendarat di telinga Abah
Nang (Wawancara Abah Nang, Cikupa 5 anuari 2007) .
Tabel 11. Penguasaan Lahan Pada Kawasan industri Tahun 1996
Sudah
dibebaskan Sudah
Dibangun No Nama Perusahaan Ijin
Lokasi Ha % Ha %
Ket
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
PT Cipta Cakra Murdaya PT Benua Permai Lestari PT Sinar Subur Serpong PT Mitra Indo Textil PT Elang Mas Perkasa PT Surya Karya Luhur PT BSD PT Graha Permai Raharja PT Purati Kencana Alam PT Adibalaraja PT Tangerang Bhumimas PT Putra Daya Perkasa PT Cidurian Srana Niaga Permai PT Penta Binangun Sejahtera
300 150 100 150 250 250 200
75 70
300 250
76 150
90
180 128
50 40 50
150 150
75 70
265 250
76 86 6
60 85 50
26,60 20 60 75
100 100
88 100 100
57 6
29 40 30 16 0 8
85 25 25 0
15 0
50 0
9,6 26,6
30 10,6
0 3,2
42,5 33,3 35,7
0 6 0
33,3 0
Bappeda Kab. Dati II Tangerang 1996 dikutip Suryana, 1998: 108
Berdasarkan pemaparan pola penetrasi modal pada era Orde Baru di atas,
penulis dapat menarik beberapa kesimpulan penting. Pertama , seperti halnya
penetrasi modal di era Kolonial Belanda , penetrasi modal pada era Orde Baru juga
dijalankan secara terencana, sistematis, bertahap, bahkan lebih massif.
92
Perencanaan dimulai sejak Orde Baru berdiri menggantikan kekuasaan orde lama
dengan membuka keran masuknya investasi asing maupun nasional. Strategi ini
bertolak-belakang dengan kebijakan orde lama. Orde Baru merancang
pembangunan nasional dengan merangkul pihak swasta di antaranya dengan
pembangunan bertahap mulai dari sektor pertanian menuju industri. Dengan
datangnya investor, penetrasi modal di Tangerang berlangsung sangat keras dan
massif. Era ini menandai awal kehidupan Tangerang yang sangat kapitalistik.
Sebab, untuk melancarkan laju investor, pembangunan infrastruktur, kawasan
pabrik, dan daerah pemukiman, diperkuat dan dipayungi dengan instrumen hukum
yaitu perundang-undangan hingga aparatusnya seperti pem erintah daerah setempat
maupun aparat TNI/Polri. Dengan instrumen tersebut, masyarakat Tangerang
”dipaksa” untuk tunduk dan harus mengikutinya. Instrumen hukum tersebut
mengiringi dan mensuport kepentingan para pemodal atau investor agar aktivitas
akumulasi modal berjalan lancar.
Kedua, bila pada era kolonial muara dari penetrasi modal ditujukan untuk
keuntungan pemerintah Belanda, dalam hal ini Kerajaan Belanda, pada era Orde
Baru, keuntungan ditujukan atas nama ”pembangunan nasional”. Artinya,
pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa keuntungan aktivitas akumulasi modal
di Tangerang dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara nasional dengan
terbukanya lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan meningkat. Dalam
prakteknya, tujuan tersebut tidak berjalan secara sinergis. Hal ini terbukti dengan
adanya sejumlah masyarakat pribumi yang justru menjadi ”korban”
pembangunan.
93
Ketiga, pada era Kolonial, kaum Tionghoa dirangkul menjadi penguasa
daerah partikelir kemudian menjadi penguasa yang mengatur masyarakat di
daerah partikelir tersebut. Pada era Orde Baru, peran mereka digantikan oleh para
investor atau pemodal baik asing maupun pemodal nasional. Meminjam istilah
Karl Marrx, kaum pemodal inilah yang menjadi kelas kaya baru yang sukses
dengan menghisap kaum buruh. Para pemodal yang menguasai industri, juga
menguasai kehidupan dalam pabrik bahkan masyarakat sekitar kawasan pabrik.
Keberadaan mereka mampu menempatkan, menggiring, dan memetakan warga
pribumi dan warga pendatang. Proses pemetaan warga pendatang dan pribumi
tersebut tak jarang berimplikasi pada pola relasi dan konflik kepentingan
(bandingkan sub-bab berikut).
E. Implikasi Penetrasi Modal di Tangerang Era Orde Baru
1. Perencanaan Tata Ruang Kota Cenderung Dikooptasi oleh
Kepentingan Akumulasi Modal
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pada tahun 1976 telah
mengemuka tentang konsep Tangerang sebagai “penyangga” Ibu Kota
Jakarta seperti termuat dalam Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976.
Tangerang dinyatakan tidak bisa menghindari dari imbas pembangunan
yang sedang berkembang di wilayah Jakarta. Membludaknya arus tenaga
kerja dari Jakarta dan tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan serta
permukiman baru otomatis akan berdampak di wilayah sekitarnya,
termasuk Tangerang. Maka, gagasan mengelola Tangerang menjadi kota
pun mulai berkembang.
94
Dua faktor penting terkait pembangunan kota Tange rang yang sering
menjadi sorotan adalah perancanaan tata ruang kota dan gerak investasi
dari para pemilik modal. Menurut UU Nomor 4 tahun 1982, ruang adalah
wadah atau tempat dimana manusia berkomunikasi baik di antara sesama,
makhluk hidup lainnya maupun dengan lingkungan alamiah serta
buatannya. Penentuan ruang merupakan bagian dari pengelolaan dengan
mewujudkan keserasian, keselarasan, keseimbangan pemanfaatan ruang
dengan mengindahkan faktor -faktor daya dukung lingkungan. Dalam
wadah yang terbatas, penataan menjadi sangat penting karena dalam ruang
yang terbatas tersebut, semua manusia dan kegiatannya harus ditampung
dengan baik.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan modal? Hubungan investasi
dan tata ruang kota bersifat timbal balik. Kegiatan investasi aka n
mempunyai implikasi pada tata ruang seperti: tata ruang untuk industri,
infrastruktur air bersih, sarana olah raga dan rekreasi, area limbah,
pemukiman, dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian,
pengembangan investasi dalam konteks keruangan kota terdapat
pengertian perlunya memperhatikan perencanaan tata ruang (regulasi) dan
sekaligus bagaimana implementasinya.
Bila kemudian menyinggung mengenai kebijakan tata ruang yang
berlaku di Indonesia, khususnya di Tangerang, akan kita temukan
sejumlah kekacauan. Misalnya saja pada era reformasi. Sebelum era
reformasi, peraturan perundangan penataan ruang yang bersumber pada UU
No. 24 Tahun 1992 yang secara prinsip telah meletakkan otonomi
95
perencanaan yang sebesar-besarnya pada daerah kabupaten/kota.
Perencanaan lokal mengacu pada perencanaan regional dan perencanaan
regional mengacu pada perencanaan nasional. UU No. 24 Tahun 1992
Pasal 20 ayat (3) menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional menjadi pedoman untuk: (d) Penataan Ruang Wilayah Provinsi
Dati I dan Wilayah Kabupaten/Kotamadya Dati II.
Akan tetapi, dalam rangka otonomi daerah, UU No. 24 tahun 1992
digantikan dengan UU No 32 tahun 2004 dengan penjabarannya yang
diatur dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Dalam PP No. 25 tahun
2000 pasal 2 ayat (3) angka 13a menyebutkan bahwa Penetapan Tata
Ruang Nasional berdasarkan Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Provinsi.
Ini berarti bahwa hierarki penyusunan tata ruang berbalik arah, di mana tata
ruang nasional mutlak tergantung tata ruang provinsi dan tata ruang
kabupaten/kota.
Salah satu dampak dari kekacauan kebijakan tata ruang tersebut
otomatis berimbas pada persoalan investasi. Sebut saja misalnya kasus
pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di desa Lontar,
kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang. Pembangunan PLTU tersebut
menjadi perdebatan anggota DPRD. Mereka memandang pembangunan
tersebut telah menyalahi aturan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Tangera ng. PLTU sebelumnya direncanakan
dibangun di daerah Teluk Naga. Namun, dipindahkan ke desa Lontar
karena mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi, yakni Perpres Nomor
96
71 Tahun 2006 tentang penugasan kepada PT PLN untuk melakukan
percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan
batubara. Pemindahan lokasi tersebut dipandang sejumlah anggota DPRD
sebagai pelanggaran pihak pemda atas aturan yang sudah dibuatnya. Pihak
Pemda pun kemudian mengaku tengah mengajukan usulan Raperda
Perubahan Renc ana Tata Ruang Wilayah (www.radarbanten.com).
Tidak sinkronya konsep tata ruang kota Tangerang juga seringkali
terjadi karena gerak investasi lebih cepat dibanding perencanaannya. Salah
satu contoh di antaranya adalah persoalan pembangunan pemukiman
buruh pabrik di zona industri Jatiuwung. Berkembangnya pabrik di
Jatiuwung telah diikuti juga dengan maraknya kebutuhan akan tempat
tinggal bagi para pekerjanya. Pada tahun 1990, ditemukan fakta bahwa di
luar pabrik-pabrik yang ditembok-pagar keliling, terdapa t bedeng-bedeng
rumah kontrakan yang dihuni para buruh pabrik. Rumah-rumah bedeng
tersebut berdiri dengan infrastruktur dan utilitas yang sangat minim
sehingga terkesan sangat kumuh (www.tangerangkota.go.id).
Besar kemungkinan bahwa maraknya pemukiman kumuh tersebut,
sebelumnya tidak menjadi hal yang diperhitungkan sebelumnya oleh para
pengambil kebijakan industrialisasi di kawasan tersebut. Hal ini bisa
dibuktikan, tatkala kemudian lahir gagasan pembangunan rumah susun
oleh Pemda Tangerang. Rumah susun tersebut mulai dibangun sekitar
tahun 1994 melalui lika-liku yang tidak mudah mengingat Pemda tidak
mempunyai lahan di sekitar kawasan pabrik Jatiuwung sehingga harus
dilakukan pengambilalihan lahan dari para tuan tanah. Hal ini menandakan
97
bahwa gagasan pembangunan rumah susun sesungguhnya lahir bukan
sebagai suatu perencanaan yang menyeluruh terkait dampak pembangunan
pabrik yang telah mendatangkan banyak buruh sebagai penduduk baru
(dampak industrialisasi), tetapi merupakan langkah reaksioner atas
dampak yang ditimbulkan. Bila pendekatan-pendekatan improvisasi
seperti ini digunakan dalam melakukan pembangunan kota, besar dugaan
dampak negatif lainnya akan lebih tidak terkendali dan melahirkan ragam
masalah sosial. Adalah wajar bila kemudian dewasa ini muncul fenomena
kemacetan kendaraan di jalan raya, sanitasi perkampungan yang tidak
jelas, banjir, pencemaran sungai, dan lain-lain. Ini semua sesungguhnya
adalah bukti dari ketidakjelasan konsep pembangunan kota.
Kekacauan dalam tata ruang kota Tangerang juga diungkap dalam
penelitian Syamsul Rizal. Menurutnya, salah satu penyebab kekacauan
tata ruang disebabkan karena jalannya aturan perundangan dengan
pelaksanaan ijin lokasi industri maupun perumahan tidak sejalan. Dalam
pemberian ijin lokasi seharusnya selalu berpedoman Peraturan Menteri
Dalam Negeri No 5 tahun 1974 dimana harus mempertimbangkan untuk
menghindari penggunaan lahan produktif seperti persawahan irigasi dan
aturan tersebut ditegaskan dalam Keppres No 53 Tahun 1989 tentang
kawasan Industri. Kadangkala untuk memperlancar ijin lokasi, Investor
justru terlebih dulu membeli lahan dari masyarakat baru mengajukan ijin
lokasi untuk kegiatan yang direncanakan.
98
Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kotamadya Tangerang Tahun 1990
Jenis Penggunaan Lahan Asal
NO Pola
Penggunaan Lahan
Lias (Ha) Sawah Tanah Kosong
Lainnya
1 2 3
Industri Perumahan Jasa
469,58 26.350,44
535,36
83,12 9.580,45
345,05
101,51 150,65
7,41
284,95 16.619,34
182,90 TOTAL 27.355,38 10.008,62 259,57 17.087,19
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Tangerang th 1990 dikutip Rizal, 1993: 92
Tabel 13. Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah
dengan Kesesuaian Rencana Tata Ruang
Jml Ijin lokasi yg terbit
Jml Ijin Lokasi Tidak sesuai RUTR
Jenis Ijin Lokasi dan Pembebasan
Tanah Bh Luas (Ha) Bh Luas (Ha) Jumlah Luas
Industri Perumahan Jasa
235 212 42
469,58 26.350,44
535,36
73 39 11
202,36 3.316,02
104,84
15.77 8.42 2.38
0,79 12,12
0,38
Total 463 27.355,38 123 3.623,20 26.56 13,24 Sumber: Dinas PU Kabupaten Dati II Tangerang Tahun 1980 dikutip Rizal, 1993: 87
Sebagaimana hubungan ijin lokasi dan pembebasan tanah dengan
pengendalian perubahan penggunaan tanah nampaknya masalah
bersumber pada perilaku kelembagaan dan masyarakat dalam penerbitan
ijin. Pemberian Ijin Lokasi adalah alat sebagai upaya pengendalian
pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi pengendalian perubahan
penggunaan lahan (fungsi) dan pengendalian perencanaan (rencanana Tata
ruang Wilayah). Menurut Rizal (1993: 87), terdapat 73 ijin lokasi untuk
kegiatan industri (15,77%), 39 ijin lokasi untuk pembangunan perumahan
(8,42%) dan 11 ijin lokasi untuk jasa (2,37%) dari 463 ijin lokasi tidak
99
sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan pola dasar
pembangunan daerah Tangerang.
2. Ledakan Warga Pendatang Baru Dan Konflik antara Mereka
dengan Warga Yang Telah Menghuni Sebelumnya
Berkembangnya jumlah pabrik di wilayah Kabupaten Tangerang,
diikuti dengan berkembangnya jumlah warga pendatang yang kemudian
tinggal di sekitar pabrik. Mereka berasal dari berbagai daerah pedesaan di
wilayah Jawa maupun luar Jawa (urbanisasi). Kedatangan mereka
sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari kebijakan industrialisasi
Tangerang. Setiap pabrik didirikan, tentunya mempunyai kebutuhan akan
tenaga kerja. Artinya, bila tenaga kerja dari penduduk Tangerang tidak
mencukupi, maka harus didatangkan tenaga kerja dari daerah lain. Dengan
jumlah tenaga kerja yang banyak, maka hukum permintaan dan penawaran
akan berlaku, yaitu membludaknya tenaga kerja di Tangerang akan
menyebabkan harga tenaga kerja menjadi murah. Murahnya tenaga kerja
dengan sendirinya akan menekan biaya produksi pabrik -pabrik tersebut.
Dari sejumlah cerita para buruh, mereka hijrah ke daerah Tangerang
karena susahnya mendapatkan sumber penghidupan di kampung asal
mereka. Di antara para buruh mengaku dari daerah Jawa Tengah seperti
Tegal, Wonosobo, Boyolali, kemudian Jawa Barat, Jawa Timur dan
Sumatera. Di kampung-kampung mereka, pekerjaan sulit didapat sedang
lapangan kerja di sektor pertanian tidak menjanjikan hari depan mereka.
Hasil pertanian selalu tidak sepadan dengan biaya produksinya, sehingga
100
dengan urbanisasi menjadi buruh, mereka berharap, perekonomian mereka
bisa lebih baik.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Banten, jumlah
penduduk Kabupaten Tangerang menempati urutan pertama paling
banyak. Lihat tabel berikut ini:
Tebel 14. Perkembangan Penduduk Per Kabupaten/Kota
Provinsi Banten Tahun 2000-2005
NO Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Kabupaten
1 Lebak 1.011.788 1.025.088 1.040.871 1.082.012 1.100.911 1.106.788
2 Pandeglang 1.030.040 1.034.710 1.044.047 1.122.228 1.132.899 1.139.043
3 Serang 2.781.428 2.873.256 2.983.384 3.185.944 3.194.282 3.324.949
4 Tangerang 1.652.763 1.669.119 1.735.560 1.776.995 1.834.514 1.866.512
Kota
5 Tangerang 1.325.854 1.354.657 1.416.840 1.462.726 1.488.666 1.537.244
6 Cilegon 294.936 301.225 309.097 326.324 331.872 334.408
JUMLAH 8.096.809 8.258.055 8.529.799 8.956.324 9.083.144 9.308.944
Sumber: BPS Provinsi Banten Tabel 15.
Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk 2002 -2017 (Dengan dasar perhitungan bunga beganda Pt = Po (1+r) a
KAB/KOTA 2000 2001 2002 2007 2012 2017
Kab. Serang 1.631.571 1.669.119 1.680.742 1.717.523 1.767.597 1.819.340
Ab. Lebak 1.027.053 1.034.710 1.049.639 1.097.827 1.165.083 1.236.478
Kab. Pandeglang 1.010.741 1.025.088 1.046.103 1.115.296 1.213.704 1.321.338
Kab. Tangerang 2.975.435 2.873.256 2.944.785 3.183.568 3.525.485 3.904.755
Kota Tangerang 1.311.746 1.354.657 1.402.564 1.565.983 1.811.176 2.094.300
Kota Cilegon 295.766 301.225 313.364 403.642 541.301 725.952
J U M L A H 8.052.312 8.258.055 8.437.197 9.083.839 10.024.346 11.102.163
Sumber: BPS Banten Dalam Angka 2001
101
Dari sekitar 3,3 juta pada tahun 2005, mayoritas merupakan warga
yang bekerja di sektor industri (buruh) dan berlatar belakang pendidikan
mayoritas lulusan SD/Madrasah. Lihat tabel berikut:
Tabel 16. Jumlah Penduduk 10 Tahun ke atas Yang Bekerja
menurut Jenis Pekerjaan Utama per Kabupateb/Kota di Propinsi Banten Tahun 2004
Kab. / Kota Tani Tamban
g Indust
ri
Lis., Gas, Air
Bangunan Trans. Dagan
g Keuan
gan Jasa-jasa
Kab.Serang 230.948 1.524 115.782 3.048 28.642 55.548 132.122 2.786 47.986
Kab.Lebak 257.530 5.153 24.862 660 10.063 37.601 57.379 1.320 27.861
Pandeglang 209.592 1.392 26.364 1.828 9.006 31.347 68.618 3.916 27.959
Kab.Tangerang 108.086 9.318 352.362 2.064 57.152 101.268 237.986 29.608 185.228
Kota Tangerang 908 454 244.252 2.724 16.344 36.774 126.666 27.694 89.892
Cilegon 8.840 254 34.427 1.397 9.138 12.103 28.006 2.352 15.836
JUMLAH 815.904 18.095 789.049 11.721 130.345 274.641 650.777 67.676 394.762
Sumber: Banten Dalam Angka, 2004
Tabel 17. Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas menurut Jenjang Pendidikan Tertinggi
Yang Ditamatkan di banten Tahun 2005
Pendidikan Yang Ditamatkan Kab/ Kota
< SD SD / sederajat
SLTP/ Sederajat
SLTA/ sederajat
Diploma D1/11
D111 / S1
JUMLAH
Kab. Pandeglang 319.640 371.110 97.266 53.304 3.338 9.092 853.750 Lebak 311.043 402.952 106.673 58.810 5.505 13.641 898.624 Tangerang 555.723 731.278 531.035 614.516 18.911 215.795 2.667.258 Serang 489.054 570.583 228.583 154.563 7.783 18.135 1.468.701 Kota Tangerang 139.832 264.228 242.890 507.572 15.890 84.444 1.254.856 Cilegon 46.825 56.610 58.320 92.790 3.772 15.189 273.506 BANTEN 1.862.117 2.396.761 1.264.767 1.481.555 55.199 356.296 7.416.695
Sumber: Banten Dalam Angka, 2004
Tabel 18. Mata Pencaharian Tahun 1987 -1991
NO S TA TUS 1987 1988 1989 1990 1991 1 2
Industri Pedagang
899.400 56.618
89.963 57.018
90.675 57.523
91.183 58.955
100.103 59.763
102
3 4 5 6 7
Jasa Angkutan Pertanian PNS Bangunan/Tukang Lian-Lain
4.151 17.670 25.586 9.104
21.412
4.432 17.517 26.199
9161 22.106
4.556 17.091 26.711 9.381
22.613
4.679 16.446 28.231
9.688 22.965
4861 15.631 28.842
9.972 23.225
Sumber: Kantor Kotamasya Tangerang Dalam Rizal, 1993: 64
Membaca angka-angka dalam tabel di atas, di balik kehidupan
masyarakat industri Tangerang, paling tidak menunjukkan kehidupan
masyarakat Tangerang yang sangat dipengaruhi oleh sektor industri,
khususnya kehidupan dalam pabrik. Kehidupan mayoritas penduduk
sebagai buruh tentunya akan dipengaruhi oleh kehidupan pabrik seperti
pola memanfaatkan waktu (aktivitas banyak di pabrik), pola pergaulan,
pola konsumsi, dan lain -lain. Salah satu contohnya adalah bagaimana
hubungan sosial antara para buruh dengan warga yang sudah lama tinggal
di sekitar pabrik (warga asli). Terbentuknya relasi antara mereka, ternyata
sangat diwarnai oleh kepentingan industri (pabrik).
Berdasarkan cerita sejumlah buruh, ditemukan informasi mengenai
perbedaan kehidupan warga pendatang dan warga lokal (yang lebih lama
menetap di Tangerang). Penduduk lokal Tangerang dari awal lebih dikenal
sebagai masyarakat agraris. Mereka terbiasa hidup bercocok tanam seperti
bersawah (padi), sayur-sayuran, dan buah-buahan. Dengan kehidupan
agraris tersebut, mereka hidup bersosial dan relatif sederhana. Kebutuhan
hidupnya banyak ditopang lewat aktivitas bertani. Kebutuhan pangan
relatif terpenuhi tanpa harus menjual tenaganya kepada majikan. Dengan
kultur seperti itu, penduduk lokal oleh pihak perusahaan seringkali
memandang mereka sebagai warga yang “malas”. Mereka tidak banyak
103
mau mengisi lowongan kerja yang dibutuhkan pabrik atau kalaupun
bekerja, seringkali dipandang tidak mempunyai etos kerja yang tinggi
Akibatnya, pihak pabrik kemudian tidak banyak memprioritaskan warga
lokal untuk menjadi tenaga kerjanya. Dan untuk memenuhi kebutuhan
buruh, pihak perusahaan lebih sering menyerap tenaga kerja dari para
pendatang.
Fenomena yang muncul, ada pembagian wilayah kerja di antara
warga lokal dan warga penda tang yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh
perusahaan, penduduk lokal sering ditempatkan dalam jabatan sebagai
“keamanan luar”, penerima order “sampah industri”. Sementara itu,
mereka yang tidak terserap dalam pabrik kemudian menjadi tukang ojek,
membuka warung makan, warung kelontong, atau sekedar menjadi
pemilik rumah-rumah kontrakan para buruh.
Keberadaan anggota keamanan luar tak jarang sangat unik. Di antara
mereka, ada yang ditempatkan sebagai security merangkap penanggung
jawab keamanan luar serta menjadi anggota kelompok penyalur kerja
(calo). Saat bertugas di dalam pabrik, maka tugas rutin pengamanan
dipusatkan dalam kontrol terhadap disiplin para buruh seperti kontrol
penyelundupan barang (pencurian), kontrol ijin ke WC. Keluar masuk
pabrik, dan lain-lain. Sedang keamanan luar, menyangkut pengaturan
bagaimana perusahaan berelasi dengan masyarakat serta aparat pemerintah
daerah tempat perusahaan berada. Oleh aparat desa, perusahaan sering
dikenakan iuran untuk pembangunan fasilitas publik, iuran keamanan dari
pihak aparat militer, maupun pengamanan terhadap para “preman” yang
104
tak jarang juga ingin mendapatkan sejumlah kucuran dana dari
perusahaan.
Tak jarang, warga lokal yang menjadi kelompok keamanan luar
pabrik, juga dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghadapi desakan
para buruh yang dipandang merugikan pabrik. Para buruh seringkali
melakukan pemogokan dan demonstrasi menuntut kanaikan upah. Saat
aksi buruh berlangsung, kelompok keamanan luar biasanya menghadang
sejumlah buruh agar tidak ikut melakukan pemogokan. Tak tanggung-
tanggung, sejumlah buruh tersebut seringkali dijemput dari tempat
kontrakkannya, dan diantar langsung sampai ke pabrik agar tidak dibujuk
kawan buruh lain untuk mogok kerja. Ada pula cara lain yang ditempuh
perusahaan. Lewat kelompok keamanan luar tersebut, aksi demonstrasi
buruh juga sering dihadap-hadapkan secara langsung di lapangan. Untuk
memperkuat kelompok keamanan luar, pihak perusahaan juga seringkali
“membayar” aparat militer (kepolisian dan TNI) untuk berada di bela kang
kelompok keamanan luar. Mereka kemudian berusaha membubarkan
demonstrasi para buruh. Tak jarang disertai teror dan acaman kekerasan
dengan senjata tajam dan senapan. Maka, dapat diperkirakan, kondisi yang
demikian, tentunya menyimpan potensi konflik yang bisa memicu kondisi
chaos. Potensi konflik antara warga lokal dan para buruh bisa saja meletus
dalam bentuk-bentuk yang tidak sehat (Wawancara Otoy, Cikupa 22
Desember 2006).
105
3. Pergeseran Budaya Agraris menjadi Budaya Industri (Modern)
Pada era pendudukan kolonial hingga tahun 1970-an, bisa dikatakan,
kehidupan masyarakat Tangerang masih tetap bersifat agraris. Perubahan
drastis terjadi seiring industrialisasi era Orde Baru. Salah satu unsur
penting untuk mengetahui perubahan tersebut dapat ditinja u dari
perubahan pemaknaan masyarakat terhadap fungsi tanah dan rumah pada
era sebelum 70-an yang agraris menjadi kapitalis pada era selanjutnya..
Dalam logika akumulasi modal (kapitalisme), posisi tanah sebagai
salah satu barang niaga utama yang memiliki nilai ekonomis, berimplikasi
pada posisi fungsi tanah sebagai “komoditas strategis” yang
diperjualbelikan dengan nilai yang sangat tinggi. Seperti disebut oleh Arif
Budiman:
Dalam sistem kapitalis, tanah dihitung sebagai faktor produksi yang bisa dijadikan mesin pencetak laba. Tanah sebagai komoditas, tanah yang tidak produktif akan dialihkan fungsinya sebagai alat produksi yang menghasilkan nilai tambah (Arif Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial edisi 3/Juli 1996, hal. 11-12).
Tanah tidak hanya berfungsi secara ekonomis tapi juga sosial yaitu
sebagai alas hidup manusia sehingga posisinya vital, benda yang tak
tergantikan, tak dapat dipindahkan, dan tak dapat diproduksi kembali
(Noer Fauzi, 1996: 44). Tanah juga merupa kan seluruh bangunan
pandangan hidup yang memberi arah bagi gerak proses kemasyarakatan,
bertolak dari dialektika manusia dengan tanah. Bagi masyarakat desa yang
masih agraris , tanah memiliki legitimasi territorial bagi sebuah komunitas,
106
sebagai sumber mata pencaharian, dan simbol identitas sebuah komunitas
(Huzairin, 2002: 20) .
Sebelum industrialisasi di Tangerang begitu gencar, dapat
digambarkan bahwa di atas lahan yang mereka miliki, didirikanlah rumah
dengan pola saling berdekatan dengan saudara. Hal ini disebabkan oleh
sistem pewarisan dimana sudah tradisi bahwa orang tua menyediakan
rumah dan tanah untuk anak-anaknya sehingga dapat tinggal berdekatan.
Juga alasan mata pencaharian, dimana umumnya bertani. Satu keluarga
yang mempunyai lahan cukup luas maka ketika anaknya tumbuh dewasa
mereka bersama dengan orang tuanya menggarap lahan yang biasanya
berada di sekitar rumah. Maka ketika sang anak berkeluarga mereka cukup
membangun rumah di dekat orang tuanya. Kedekatan ini mempermudah
pekerjaan yang mereka lakukan karena lokasi rumah berada dekat dengan
lahan pertanian (Huzairin, 2002: 46-47).
Dalam studi yang dilakukan Huzairin terhadap perubahan struktur
kepemilikan dan fungsi tanah di desa Cibogo, Kecamatan Cisauk,
Kabupaten Tangerang, terdapat temuan yang cukup menarik. Sebelum
tahun 70-an, tanah yang dimiliki masyarakat Ciboga berasal dari warisan
turun temurun. Penduduk belum banyak, dan komunitas berkelompok
berdasarkan hubungan darah. Sistem pembagian warisan banyak berdasar
hukum waris dalam Islam dimana anak tertua laki-laki memperoleh hak
waris yang lebih besar dibanding anak perempuan. Dengan mengolah
lahan warisan itu, mereka dapat hidup berkecukupan. Pada masa itu
hampir dipastikan tidak ada pengangguran. Biarpun hidup sederhana
107
(agraris) denga n produksi utama sebagai penghasil beras dan sayuran,
kerajianan bambu, peralatan dapur dengan pemasaran hingga Jakarta
Proses beralihnya dari generasi ke generasi (waris) menyebabkan
kepemilikan tanah semakin menyempit/sedikit. Seiring penyempitan lahan
yang dimiliki, hantaman “peradaban modern” yang dibawa oleh
industrialisasi menyebabkan jurang nilai kecukupan hidup sangat
mencolok. Sementara itu, hasil pertanian dari lahan yang semakin sempit
tidak mencukupi kebutuhan hidup modern. Hal ini menjadi penyebab
generasi 80-an mulai berpindah profesi di bidang non pertanian (Huzairin,
2002: 70-75).
Setelah tahun 80-an, pola kepemilikan tanah berubah, banyak dijual
ke tangan pendatang. Faktor -faktor yang mendorong penjualan antara lain:
perta ma , pertanian hanya sebagai pekerjaan sambilan, pekerjaan utama:
sebagai kuli pasir, dan pekerjaan lain yang bias rutin mendapat
penghasilan dari pada bertani yang hanya dua kali setahun, itu pun kalau
tidak gagal panen. Akibatnya, mereka mulai merasa bahwa tanah pertanian
tidak lagi menopang hidup dan ketika pendatang datang menjadi mudah
menjualnya. Kedua , banyaknya pendatang dari daerah dekat kota yang
digusur oleh pembangunan (dalam kasus desa Cibogo dari warga eks
Bumi Serpong Damai). Mereka memilih lahan ke pinggir karena harga
tanah bisa lebih murah. Ketiga, harga tanah relative murah dan banyak
dipilih “pendatang.” Keempat, keinginan yang tinggi untuk mengubah
jenis rumah menjadi permanen, beratap genteng, sedang sebelumnya dari
bilik bambu atau pa pan kayu. Pemugaran tersebut dilakukan dengan dana
108
dari penjualan tanah (Huzairin, 2002: 78-81). Dengan demikian, telah
terjadi pergeseran fungsi dan nilai tanah. Pada era 70-an fungsinya hanya
sebagai rumah, sawah dan tegalan, tetapi di era 80-an nilainya tidak hanya
sebagai sumber penghidupan, pembentuk identitas lokal dan pembentuk
pola pemukiman dengan tradisi transfer lewat pewarisan tetapi berubah
menjadi bernilai ekonomi yaitu mulai diperjualbelikan karena harga terus
meningkat.
Memasuki era 90-an, kepemilikan warga Ciboga berkurang drastis,
dimana hanya memiliki tanah untuk rumah dan pekarangan saja.
Sebabnya, hasil pertanian dan perdagangan hasil tani tersisihkan non
pertanian. Tanah banyak diborong oleh industri dan perumahan. Dibeli
murah karena lokasinya berada jauh dari jalan, tetapi setelah dikuasai
pengembang, dibangunlah jalan, akibatnya tanah menjadi naik harganya
dan kemblai dorongan untuk menjual menjadi tinggi lagi
Tabel 19. Kepemilikan Tanah Perusahaan dan Perseorangan
Di Desa Cibogo
Nama Perusahaan
Luas Yang dikuasai
(Ha)
Tahun dibebaskan
Kegunaan sebelumnya
Kegunaan Sekarang
PT Sion 20 1994 Sawah Galian pasir
PT Ustraindo 42 1988 Kebun/ ladang Dibiarkan
(rencana untk perumahan)
PT Eko Damai Mandiri 14 1992 Kebun/ ladang Perumahan
109
PT Indo Kompas 13 1999 Kebun/ ladang
Galian pasir dan sebagian dibiarkan
Perseorangan 148,6 1983-2000 Kebun/ladang/
sawah
Bangunan rumah dan sebagian dibiarkan
Sumber: Huzairin, 2002: 85
Dengan demikian pada era 90-an, sebagian besar lahan dimiliki
orang luar Cibogo dan kepemilikan perusahaan. Sementara itu, fungsi
tanah menjadi barang dagangan terutama sebagai kompleks perumahan,
dan tambang pasir. Artinya, tanah bernilai sebagai komoditas, investasi,
dan spekulasi karena harganya sangat tinggi. Selanjutnya, aktibvitas
masyarakat Cibogo pun berubah menjadi ojek motor, kuli pasir, calo
tanah, dan sektor informal lain (Huzairin, 2002: 88)
Skema 1 Skema Motivasi Penjualan Tanah di Desa Cibogo
,.
(Sumber: Huzairin, 2002: 101)
Pengaruh Internal (langsung) - kebutuhan ekonomi - produktivitas tani
rendah - alternative kerja lain
Pengaruh eksternal (langsung): - harga jual tanah
tinggi - calo yang dominan - permintaan tanah
yang tinggi
Pengaruh Tidak Langsung - perkembangan
wilayah kota - pengaruh
budaya/trend - aksibilitas lancar
Dorongan menjual tanah
110
Sejara lebih jauh, perubahan sosial di atas berimplikasi ke berbagai
sisi. Pertama , terhadap tingkat kesejahteraan warga Cibogo, perubahan
tersebut berdampak pada hilangnya kesempatan mengembangkan
produktivitas berbasiskan tanah (peternakan, perikanan) ka rena alat
produksi tanah sudah tidak dimiliki lagi. Bahkan, pertanian sudah tidak
mungkin tumbuh kembali. Juga, kehilangan area bermain anak-anak
(lapangan bola, olah raga lainnya). Menjadi lebih ironis lagi, sebagian
petani yang tersisa, justru menggarap lahan bukan milik mereka lagi.
Padahal dulu adalah milik keluarga mereka. Dan banyak pemuda menjadi
tukang ojek, calo tanah dimana dari pekerjaan itu nyaris sulit
meningkatkan kesejahteraan mereka di masa mendatang termasuk anak-
anak mereka, dan hanya sebatas survival atau bertahan hidup saja.
Kedua, terhadap sistem produksi lokal. Awalnya , Cibogo berfungsi
sebagai pendukung kota Jakarta dengan memproduksi beras, sayuran dan
kerajianan. Artinya tidak bergantung pada produksi orang lain. Ketika
penjualan tanah diharapkan mendapatkan selisih harga yang
menguntungkan, mereka kehilangan alat produksinya (tanah) kemudian
digantikan jasa tenaga mereka untuk alat produksinya (kuli pasir dan
buruh).
Ketiga, terhadap sistem nilai budaya (reproduksi sosial), yaitu
hilangnya tradisi pewarisan dimana menjadi bentuk tanggung jawab orang
tua pada anak. Maka, hilang pula pola khas warga Cibogo. Akibatnya,
kontrol pola pemukiman terlepas dari kendali mereka. Pembangunan fisik
111
desanya sudah lepas dari kontrol mereka. Sementara itu muncul stereotif
bahwa status seseorang akan semakin meningkat bila membangun rumah
permanen menggantikan rumah berdinding kayu dan bambu.
Keempat, timbul potensi konflik. Para pemuda Cibogo disuguhi
pemandangan aktivitas sosial warga pendatang yang kini menguasai lahan
yang dulu dimiliki mereka sedangkan mereka sendiri justru tidak bisa
mengaksesnya (contoh main sepakbola di pemukiman BSD). Hal ini
menjadi latent conflict yang sewaktu-waktu bisa bergesekan antara
“kelompok pendatang” dan “pribumi” (Huzairin, 2002: 102) .
Skema 2
Alur Mata Pencaharian Generasi Cibogo setelah Era Industri Tidak diterima
(Sumber: Huzairin, 2002: 69)
Lulus/putus sekolah
Mencari kerja di pabrik
Bekerja
Ada modal Dagang, ojek motor, ampra pasir
Tidak Ada modal
Kuli pasir, sopir
Setengah menganggur
Preman, calo tanah, parkir, dll
menganggur
112
4. Pergeseran Konsep Keluarga dan Peran Perempuan
Berkembangnya Tangerang menjadi kawasan pabrik dengan banyak
penduduk yang berprofesi sebagai buruh, ternyata tidak hanya berdampak
pada tingkat kehidupan bermasyarakat dan keluarga, tetapi juga pada
kehidupan buruh secara individual. Kehidupan masyarakat buruh
sangatlah bergantung dari sumber penghidupannya yang dipastikan tak
akan jauh-jauh dari pengaruh pabrik tempat ia berkerja. Mereka hidup
dalam kebiasaan yang ditentukan oleh pabrik seperti kapan saat bekerja,
kapan saat pulang, kapan terima gaji, dan berapa besar gajinya, hingga
bagaimana buruh memanfaatkan waktu di luar pabrik untuk bersama
dengan anak dan istri di keluarga. Ketentuan pabrik yang memberlakukan
upah murah dengan sendirinya akan berdampak pada pola konsumsi serta
upaya memenuhi kebutuhannya yang terus melambung. Saat upah dirasa
kurang, maka mereka akan mencari tambahan lewat ruang-ruang yang
tersedia seperti menjadi tukang ojek, berjualan makanan, atau menjalani
kerja lembur.
Dalam salah satu cerita buruh, fenomena yang mengemuka adalah
berkembangnya buruh perempuan. Para istri maupun buruh perempuan
lajang kini semakin membanjiri pabrik. Mereka lebih mudah diterima
bekerja di pabrik karena menurut pihak perusahaan, kalangan perempuan
cenderung lebih bisa diatur dari pada kaum laku-laki. Kemudian bila
dilihat dari upah yang harus diberikan sesuai peraturan yang berlaku, maka
upah buruh perempuan relatif lebih kecil sehingga bisa mengurangi beban
113
biaya produksi pabrik. Contohnya, bagi buruh perempuan dengan status
pekerja tetap tidak perlu menerima tunjangan keluarga (suami dan anak).
Selain itu, maraknya buruh perempuan masuk pabrik juga erat
kaitanya dengan tingkat upah yang diterima buruh laki-laki yang sudah
berkeluarga, semakin tidak mencukupi biaya hidup keluarga mereka.
Untuk itu, kaum istri kemudian ikut membantu mengatasi problem
tersebut. Mereka berdua kemudian bekerja di pabrik sedang anak mereka
kemudian dititipkan pada orang tua di kampung, atau saudara terdekat.
Dengan kondisi seperti itu, kehidupan keluarga mereka bisa berjalan.
Sementara itu, dengan ritme hidup demikian, maka relasi suami-istri-anak
pun ikut terbentuk atau terpengaruhi.
5. Konflik Perburuhan: Buruh Melawan Koalisi Majikan dan
Rezim
Konflik buruh dan majikan atau pihak ma nagemen perusahaan
terjadi karena benturan kepentingan yang bertolak belakang (kontradiksi
kelas). Menurut Karl Marx, kontradiksi tersebut berupa kecenderungan
buruh untuk mendapatkan upah yang sebesar -besarnya sementara pihak
majikan menghendaki upah yang sekecil-kecilnya. Kontradisksi tersebut
melahirkan konflik dalam berbagai bentuk.
Pemicu konflik buruh dapat beraneka ragam seperti: perselisihan
upah minimum, tuntutan kenaikan upah, upah lembur, jam kerja,
keselamatan kerja, THR dan lain -la in. Dalam memperjuangkan
kepentingan buruh, biasanya mereka menggalang kekuatan dengan
114
berserikat. Sementara itu, pihak perusahaan biasanya tidak hanya bermain
di tataran lokal tetapi juga di tataran institusi negara baik di bidang hukum
maupun keamanan. Tak heran bahwa selama Orde Baru, banyak aksi
buruh yang kemudian diredam dengan kekuatan militer. Kecenderungan
negara yang memihak kaum pemegang modal mengingatkan kita pada
pelaksanaan kebijakan kolonial yang juga cenderung berpihak pada kaum
tuan tanah.
Tabel 20. Kasus Pemogokan Serta Tenaga Kerja Yang Terlibat
Dan Jam Kerja Yang Hilang Tahun 1981-1999
TAHUN KASUS TENAGA KERJA TERLIBAT
JAM KERJA HILANG
1981 200 54 875 495 144
1982 241 49 525 501 236
1983 96 23 318 295 749
1984 63 10 836 62 906
1985 78 21 148 55 001
1986 75 16 831 117 643
1987 35 8 281 35 664
1988 39 7 544 607 265
1989 19 1 168 29 257
1990 61 27 839 229 959
1991 130 64 474 534 610
1992 251 176 005 1 019 654
1993 185 103 490 966 931
1994 278 136 699 1 226 940
1995 276 128 855 1 300 001
1996 350 221 537 2 497 973
1997 287 145 559 1 225 702
1998 234 152 493 12 254
1999 125 48 232 915 105
Sumber : Data Direktorat Persyaratan Kerja - Ditjen Binawas 1981 - 1999
115
Hingga memasuki era reformasi, problem kehidupan buruh makin
beragam. Ragam problem tersebut juga terkait dengan pola kebijakan yang
ditentukan oleh negara. Tengok misalnya tentang UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU
No 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI, Permen Menaker
No.17/2005 tentang penentuan upah minimum provinsi (UMP).
Di antara regulasi tersebut telah membuka fenomena sistem kerja
outsourcing yang makin menjamur, melemahnya kekuatan buruh untuk
menuntut tingkat upah, dan sulitnya mereka memperjuangkan
kesejahteraan melalui jalur yang sudah ditentukan. Outsourcing telah
menimbulkan semakin sedikit pabrik yang menerapkan status pekerja tetap
bagi para buruhnya dan banyak pabrik yang melakukan PHK massal.
Kemudian, para buruh sering harus menjalani kerja yang berpindah-pindah
karena masa kontraknya tidak diperpanjang. Pola seperti ini tentunya
membawa dampak pada ketidakpastian masa depan kehidupan mereka.
Sementara tatkala mereka memperjuangkan kenaikan upah, itu pun tidak
mudah, bahkan seringkali gagal.
6. Pencemaran dan Kerusakan Biosfer
Menurut Arnold Toynbee (2007: 11-12), biosfir adalah suatu lapisan
tanah kering, air, dan udara yang tipis yang menyelimuti planet bumi kita.
Dalam biosfir inilah, berlangsung kehidupan flora, fauna, dan manusia.
Ciri dari biosfir yang sangat signifikan adalah ukurannya yang relatif
116
terbatas kecil dibandingkan alam semesta dan terbatas sumber-sumber
yang disediakannya untuk kehidupan. Umur keberadaan biosfir masih sulit
diungkap secara pasti oleh ilmu pengetahuan, tetapi diyakini sudah jutaan
tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, biosfir mengalami banyak
perubahan. Hal yang paling mencolok pada dewasa kini adalah perubahan
akibat budaya manusia terutama se jak revolusi industri di abad 18 hingga
sekarang ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi buatan manusia telah
menempatkan manusia sebagai “penakluk” biosfir. Akan tetapi, dala m
eksplorasi manusia dalam biosfir, ternyata juga menimbulkan konsekuensi
negatif. Peradaban industri telah memproduksi bahan material yang
mengancam biosfir sebagai tempat kehidupan. Ini pula yang terjadi akibat
industrialisasi di Tangerang.
Seperti kita ketahui bersama, perkembangan kebutuhan manusia
sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk manusia dan
perkembangan kebudayaannya. Perkembangan ini mulai mendorong
manusia untuk memenuhi kebutuhannya diduga telah menimbulkan
benturan lingkungan sosial dan mendesak serta mengubah lingkungan
alami, sehingga kalau tidak terkendalikan, tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya tidak tercapai secara berkesinambungan
Dinamika penduduk yang tinggi disertai dengan meningkatnya
berbagai kebutuhan, apabila terjadi pada tempat yang terbatas maka akan
menimbulkan persoalan lingkungan fisik alam dan sosial yang semakin
rumit. Meningat dinamika penduduk yang cukup tinggi dan pada giliranya
menyebabkan tingginya kebutuhan akan fasilitas untuk menunjang
117
kehidupannya maka tidak ada pilihan lain kecuali mempercepat laju
pertumbuhan pembangunan (atau aktivitas ekonomi), membutuhkan
sumber daya alam. Ini memperlihatkan bahwa perubahan fisik alam dan
lingkungan hidup pada dasarnya timbul akibat adanya aktivitas
pembanguna n untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Kenyataan ini telah
menempatkan faktor penduduk sebagai faktor utama dari aktivitas
ekonomi dan perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial. Hal ini
selanjutnya melandasi bahwa perubahan jumlah dan aktivitas penduduk
yang mendorong laju pembangunan di Tangerang telah menimbulkan
terjadinya perubahan terhadap lingkungan hidup dan lingkungan fisik
lainnya seperti perubahan dalam peruntukan lahan permukiman, kegiatan
industri dan perdagangan, prasarana jalan dan jembata n, kebutuhan air
bersih dan energi (Taqim, 1997: 33-34).
Tahun 1990, ada 660 buah industri di kotamadya Tangerang.
Menurut Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup (NKLD)
Kotamadya Tangerang tahun 1994 beban pencemaran udara yang
bersumber dari 225 buah industri diperkirakan debu sebanyak 157.133,7
ton per tahun, SO2 sebanyak 16,89 ton per tahun, NO2 sebanyak
658.895,27 ton per tahun, THC sebanyak 76.451,55 ton per tahun, CO
sebanyak 4.730 ton per tahun dan lainnya sebanyak 377,44 ton per tahun.
Beban pencemaran air: BOD sebanyak 97.323,01 ton per tahun,
COD sebanyak 115.829,8 ton per tahun, SS sebanyak 1.741,53 ton per
tahun, TDS sebanyak 15.811,68 ton per tahun dan lainnya 191.941,66 ton
per tahun. Tahun 1994, Volume limbah dari industri di Kodya Tangerang
118
dari semua industri ini diperkirakan sebanyak 137.460.710 meter kubik
per tahun (Taqim, 1997: 102-103).
Sementara itu, berdasar analisi kualitas air yang dilakukan oleh
TP2K (Team Pelaksanan Program Kebersihan) BKPMD terhadap 17
industri yaitu: PT Pelita Cengkareng Paper, PT IWWI, PT Sari Mie Asli
Jaya, PT Bapak Jenggot, PT Yasulintex, PT Karya Indonesia, PT Aneka
Karton Elok , PT Polkrik Jaya Chemical, PT Danto Tile Indonesia, PT
Surya Toto Indonesia, PT Indah Kiat, PT Tifiko, PT Kusafiber, PT ITS,
PT Argo Pantes, PT Yasinta Poli, PT Multi Bintang terbukti bahwa:
Sebagian besar memiliki kadar pencemaran di atas ambang toleransi
terutama apabila didasarkan pada Baku Mutu Air Limbah Golongan I
(KEPMEN KLH 1988) yang meliputi kadar pencemar KOK (Kebutuhan
Oksigen Kimiawi), KOB (Kebutuhan Oksigen Biologis), NO2, NH4, Cr,
Mn, Fe, Pb, dan lain -lain (Rizal, 1993: 64).
Tingkat pencemaran diperparah dengan kecenderungan pola
pemukiman yang berada di sekitar industri. Alasan para penghuni
pemukiman di sekitar industri adalah agar dapat menekan biaya sosial para
buruh. Akibatnya : banyak buruh tinggal berdekatan dengan daerah
pembuangan limbah industri, di sekitar kawasan industri timbul kemacetan
akibat pemadatan penghunian, pencemaran sungai dan pertanian.
Pada tahun 1990 ditemukan indikasi kuat bahwa Sungai Cisadane
tercemar dengan tingkat pencemaran terus meningkat. Berdasarkan
Laboratorium, pencemaran Biologi Oksigen Demont (BOD) pada air
sungai Cisadane tercatat 2 Ppm. Padahal, sebelumnya hanya antara 1 – 1,5
119
Ppm sedangkan ambang toleransi sebagai air bakunya hanya 3 Ppm (Rizal,
1993: 75). Bila kondisi ini terus terjadi beberapa tahun mendatang, bukan
mustahil perusahaan air minum seperti PDAM Tirta Kerta Raharja
Tangerang dapat berhenti beroperasi karena bahan baku air tak layak lagi
diolah. Sebab, dengan memaksakan PDAM tetap beroperasi, maka ia telah
melakukan upaya “peracunan” terhadap warga yang mengkonsumsi air
PDAM. Materi pencemaran air yang dikonsumsi manusia secara perlahan
akan mengakumulasikan tingkat keracunan pada tubuh manusia yang
menimbulkan penyakit kanker. Hal ini bukanlah suatu yang mengada -ada.
Indikasi yang paling kuat dwewasa ini adalah punahnya keragaman jenis
ikan yang dulu menjadi menjadi kekayaan Cisadane. Keragaman jenis ikan
sekarang telah digantikan dengan satu jenis ikan bernama ikan sapu-sapu
(www.kompas.com).
Maka tak mengherankan ketika pada tahun 2007, Kabupaten
Tangerang meraih predikat kota besar terkotor se-Indonesia dalam
penilaian program Adipura 2007. Salah satu kabupaten di Provinsi Banten
ini menjadi satu-satunya kota besar di Indonesia yang memperoleh
peringkat nilai "jelek", yakni 53,52. Sementara itu, Kota Tangerang hanya
berada dalam posisi kedua terbawah sebagai kota metropolitan terkotor
dengan kategori nilai "cukup", yaitu 64,44. Penilaian tersebut langsung
dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar,
berdasarkan sejumlah indikator, di antaranya kondisi jalan kota, pasar,
terminal, sungai, jumlah taman kota, dan lain-lain. Hingga tahun 2008,
Tangerang masih tetap berpredikat sebagai kota kotor.
120
Mencermati tingkat pencemaran lingkungan di Tangerang seperti
dipaparkan di atas, maka kekawatiran akan hancurnya lingkungan hidup
yang sehat, bukanlah suatu hal yang mengada -ada. Kekawatiran ini senada
dengan apa yang telah dipaparkan oleh Arnold Toynbee (2007: 764) dalam
bukunya Sejarah Umat Manusia.
Senyatanya, manusia masih mempunyai harapan untuk bertahan hidup di biosfer ini selama 2.000 juta tahun mendatang, jika perilakunya tidak terlalu cepat membuat biosfer ini tak bisa ditinggali. Kini, manusia mempunyai kekuatan material untuk membuat biosfir ini segera tak bisa ditinggali lagi. Karenanya, mungkin orang-orang yang masih bisa menghirup udara segar sebentar lagi akan dilibas oleh bencana buatan manusia yang menghancurkan biosfir dan manusia beserta seluruh bentuk kehidupan lainnya.
Dalam skripsi ini, uraian mengenai implikasi penetrasi modal era Orde Baru,
sesungguhnya masih bersifat gambaran umum. Penulis sengaja hanya
memberikan pemetaan umum dari dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas akumulasi modal di Tangerang. Untuk bisa mendapatkan data dan fakta
yang lebih akurat hingga dapat digunakan sebagai pertimbangan penentuan
kebijakan pembangunan Tangerang di masa mendatang, seharusnya diperlukan
penelitian secara lebih mendalam dan lebih fokus. Salah satu contohnya mengenai
tingginya konflik di bidang perburuhan. Dalam persoalan ini, tidak cukup hanya
dilihat dari kacamata penetrasi modal, tetapi juga perlu dikaji dari kebijakan
pemerintah secara nasional dalam mengatur sistem ketenagakerjaan, persfektif
hak-hak asasi kaum buruh terutama buruh perempuan, serikat buruh, kontribusi
buruh terhadap pembangunan nasional, hingga sejarah perlawanan kaum buruh
terhadap perusahanan dan pemerintah. Demikian halnya dengan soal pencemaran
121
lingkungan, tata ruang, perubahan tingkat kesejahteraan warga pribumi dan
pendatang, dan sebagainya, seharusnya diperlukan penelitian lebih lanjut. Dengan
demikian, setiap dampak dari penetrasi modal sesungguhnya dapat menjadi tema
baru yang menarik untuk dikaji secara mendalam.
Walaupun pemaparan implikasi penetrasi modal era Orde Baru dalam
skripsi ini masih bersifat umum, paling tidak dapat dirumuskan beberapa catatan
penting yang dapat menjadi acuan penelitia n selanjutnya. Beberapa catatan
penting yang dapat penulis rumuskan antara lain: pertama, bahwa dibandingkan
pada era Kolonial Belanda, implikasi penetrasi modal era Orde Baru jauh lebih
kompleks dan makin meningkat. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya masalah
anti Cina, kesenjangan miskin-kaya, ataupun konflik antara kelas penghisap
dengan kelas terhisap, tetapi juga menimbulkan permasalahan krusial yang baru
dan belum pernah terjadi pada era sebelumnya. Yang sangat mencolok adalah
faktor kerusakan lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terencana. Persoalan
ini jelas tidak ada di era Kolonial. Justru di era Kolonial, alam Tangerang
ditundukkan dan diatur untuk meningkatkan produksi pertanian, yaitu dengan
pembangunan bendungan Cisadane. Dengan irigasi tersebut, peranan air Cisadane
berguna untuk mengairi persawahan. Sedang di era Orde Baru, seiring
persawahan digusur untuk industri, air Cisadane justru makin tercemar padahal
menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air PDAM menuju pemukiman warga
Tangerang. Dengan demikian, ancaman bahaya bagi kesehatan akan diterima
secara langsung oleh manusia.
Kedua, bila pada era Orde Baru terjadi konflik antara pribumi melawan tuan
tanah yang didukung pihak Kolonial Belanda , pada era Orde Baru juga
122
menunjukkan pola yang sama yaitu antara kaum pribumi dengan pihak pemilik
modal yang didukung oleh pemerintah rezim Orde Baru. Bahkan ada kalanya,
pada era Orde Baru, pihak pribumi mengalami konflik horizontal dengan warga
pendatang. Dalam konflik horizontal ini, pihak pemilik modal (pabrik) seringkali
menggunakan strategi “adu domba” dengan menempatkan warga pribumi sebagai
tenaga pengamanan dalam menghadapi tuntutan para buruh yang mayoritas warga
pendatang.
Ketiga, baik di era Kolonial maupun era Orde Baru, kelompok yang relatif
paling berat menanggung beban atau menjadi korban adalah warga pribumi. Di
era Kolonial mereka diperas oleh kaum tuan tanah, di era Orde Baru, mereka
harus merubah total budayanya. Kaum pribumi yang berbudaya agraris, secara
perlahan digusur dari alat produksinya (tanah) karena dibangun pabrik, sehingga
terus bergeser ke daerah lebih pinggir dan harus meninggalkan sistem mata
pencahariannya. Keahlian bertani tanpa menjual tenaganya harus ditinggalkan dan
digantikan dengan kemampuan memasuki dunia pabrik. Jelaslah bahwa hal itu
menjadi dunia baru. Akibatnya mereka kalah bersaing dengan warga pendatang
yang lebih siap bekerja sebagai buruh. Di samping itu, bila sebelum industrialisasi
mereka hidup relatif sederhana dari hasil pertaniannya, kini harus menjual
tenaganya. Kesederhanaan warga pribumi sebelumnya justru dianggap oleh
pemilik modal sebagai warga “pemalas” sehingga dinomorduakan dalam
perekrutan tenaga buruh. Pemilik modal justru lebih memilih menyerap tenaga
kerja dari pendatang. Akibatnya, warga pribumi hanya mampu mengisi ruang-
ruang baru yang berupa “remah-remah” penghidupan seperti menjadi tukang ojek,
calo tanah, calo tenaga kerja, keamanan luar, preman, tukang parkir, bahkan
123
menganggur. Dengan mata pencaharian itu, masa depan dan tingkat kesejahteraan
mereka jelas akan tidak jelas dan terancam.
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian yang sudah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Daerah Tangerang baik pada era kolonial (1684-1942) maupun pada
masa Orde Baru (1966-1998) menjadi ajang aktivitas untuk akumulasi
modal dika renakan faktor kekayaan alam, potensi sumber daya
manusia, dan letak geografis yang sangat strategis yaitu berdekatan
langsung dengan pusat kekuasaan. Pada masa pendudukan VOC dan
Belanda, Tangerang berbatasan dengan Batavia dimana Tangerang
dijadikan daerah partikelir untuk menghasilkan produk pertanian.
Sedangkan pada masa Orde Baru, Tangerang diarahkan menjadi
penyangga Ibu Kota Jakarta terutama sebagai daerah pemukiman bagi
tenaga kerja yang menjalankan mesin industri, daerah perdagangan,
dan kawasan industri.
2. Untuk mencapai tujuan penetrasi modal, VOC dan Kolonial Belanda
menjalankan suatu kebijakan yang dapat diklasifikasikan dalam
beberapa pola yaitu: tahap merebut daerah Tangerang dari Kasultanan
Banten, menerapkan sistem feodal, menjadikan daerah Tangerang
sebagai daerah partikelir atau swasta dimana pelaksanaannya bersifat
diskriminatif, memperkuat sistem pemerintahan, pembangunan
infrastruktur, dan akhirnya upaya peningkatan produksi.
125
3. Kebijakan VOC dan pemerintah Kolonial Belanda yang sangat
diskriminatif antara etnis Tionghoa (tuan tanah) dan pribumi (petani
dan buruh tani) dimana etnis Tionghoa jauh lebih diuntungkan
daripada pribumi mengakibatkan suburnya perasaan anti Cina. Kaum
pribumi yang menyadari ketertindasan, penghisapan, dan ketidakadilan
sampai akhirnya tak tertahankan kemudian meletup dalam suatu
gerakan pembrontakan yang ditujukan pada tuan tanah dan pemerintah
kolonial. Ada indikasi bahwa perasaan anti Cina masih menjadi
memori sosial dimana sewaktu-waktu dapat meletup kembali seperti
dalam peristiwa Poh An Tui dan kerusuhan 13-15 Mei 1998.
4. Sementara itu, penetrasi modal pada masa Orde Baru dapat
diklasifikasikan dalam beberapa pola antara lain: tahap membuka
investasi atau penanaman modal asing dan nasional, tahap menjadikan
Tangerang sebagai daerah penyangga DKI Jakarta, tahap
pembangunan infrastruktur industri, tahap pembangunan kawasan
pabrik melalui pengambilalihan lahan warga dan penataan ulang
penduduk.
5. Implikasi yang cukup mencolok dari penetrasi modal pada era Orde
Baru antara lain: tata ruang kota yang dikooptasi oleh kepentingan
modal sehingga terjadi tata lingkungan yang tidak sehat dan tertib,
terjadi ledakan penduduk dimana antara pendatang dan warga asli
terjadi gesekan sosial yang berpotensi tinggi tumbuh konflik sosial,
terjadi pergeseran budaya agraris ke modern yang sangat drastis
dimana tingkat kesejahteraan kaum pribumi justru ce nderung merosot
126
dibanding para pendatang dan pemodal, kemudian terjadi pergesaran
konsep keluarga dan peran perempuan, tingginya konflik buruh dan
majikan atau perusahaan, dan yang terakhir adalah lingkungan
Tangerang (biosfir) yang terancam mengalami kerusakan secara
signifikan. Dari seluruh implikasi di atas, dapat ditarik satu lagi
kesimpulan kunci yaitu bahwa penetrasi modal pada masa kolonial dan
dilanjutkan era Orde Baru menunjukkan kompleksitas dampak negatif
yang terus meningkat. Salah satunya, soal ancaman kerusakan
lingkungan Tangerang akibat limbah industri yang baru
memprihatinkan di era Orde Baru. Sementara di masa kolonial,
lingkungan alam Tangerang relatif terkendali.
B. Saran
1. Dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah Tangerang (Pemda
Kabupatan Tangerang dan Kota Tangerang) hendaknya benar-benar
memperhatikan secara menyeluruh (utuh) terhadap kelemahan,
kelebihan, dan potensi yang dimiliki Tangerang sehingga
pembangunan tidak berjalan secara pars ial dimana hanya
menguntungkan satu sisi saja tetapi merugikan sektor lainnya.
Misalnya , dalam perijinan pembangunan pemukiman harus tertib pada
ketentuan hukum dan rencana tata ruang sehingga tidak menyala hi tata
guna lahan.
2. Sepanjang sejarah perubahan sosial masyarakat Tangerang dari era
kolonial hingga Orde Baru, secara jelas tergambar bahwa kepentingan
127
akumulasi modal selalu menjadi faktor pendorong perubahan. Dalam
logika akumulasi modal, keuntungan bagi pemilik modal cenderung
menjadi tujuan utama yang seringkali justru berdampak merugikan
pada masyarakat umum dan lingkungan sosialnya. Maka, perlu kiranya
baik pemerintah daerah Tangerang maupun pemerintah pusat selalu
mengontrol dan mengendalikan kegiatan akumulasi modal sehingga
tidak secara terus-menerus merugikan masyarakat dan menghindari
kerusakan lingkungan secara lebih jauh.
3. Di masa mendatang, dalam menentukan kebijakan terkait penetrasi
modal, hendaknya pemerintah daerah Tangerang terlebih dahulu
didasari penelitian mendalam yang bisa melibatkan ahli lingkungan
(ekologi) dan ahli ilmu sosial (termasuk sejarawan) untuk menekan
kecenderungan implikasi negatif dari perilaku akumulasi modal yang
cenderung destructive bagi lingkungan hidup (biosfir).
128
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Anantatoer, Pramoedya. 1982. Tempo Doeloe . Jakarta: Hasta Mitra _________ 1998. Hoakiau Di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya
Brousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup
Jakarta.
Castles, Lance. 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang . Tangerang:.
Pemerintah Kabupaten Tangerang. ______. 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah . Bandung:
Pustaka Jaya . Fauzi, Noer. 1997. Tanah dan Pembangunan, Risalah Dari Konferensi
INFID ke -10 , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. _________. 1999. Petani Dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist, Konsorsium Pembaruan Agraria, Pustaka Pelajar.
Gottschalk Lois. 1985. Mengerti Sejarah , terjemahan Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Universitas Indonesia Press. Halim, Wahidin. 2005. Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju
Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah. Jakarta: Pendulum. Hardjasaputra, A. Sobana. 1985. Bupati -Bupati Priangan; Kedudukan dan
Peranannya Pada Abad ke-19 . Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Huzairin, Achmad. 2002. Perubahan Struktur Kepemilikan Dan Fungsi
Tanah, Studi Kasus: Masyarakat Desa Cibogo Kecamatan Cisauk Kabupaten Tangerang. Depok: Universitas Indonesia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya .
129
Marx, Karl. 2004. Kapital Buku I. Edisi Terjemahan Oey Hay Djoen. Jakarta: Hasta Mitra.
__________ 2006. Kapital Buku II. Edisi Terjemahan Oey Hay Djoen.
Jakarta: Hasta Mitra. Mubyarto, 1992. Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966 -1971,
Jakarta: LP3ES. Multatuli. 1975. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan. Murtono. 1998. Proses Transformasi Masyarakat ertanian Menuju
Masyarakat Industri, Studi Kasus Tangerang, Bekasi, Bogor. Jakarta: Universitas Indonesia.
Rizal, Syamsul. 1993, Pemberian Ijin Lokasi Pemukiman Dan Industri
Dalam Kaitannya Dengan Penataan Ruang. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sadyohutomo, Ir. Mulyono, MRCP. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah,
Realita dan Tantangan. Jakarta: Bumi Aksara. Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil Di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Setyanto, Guntur. 2000. Interaksi Sosial Etnis Tionghoa Dan Pribumi,
Studi Kasus Di RT 03 RW 06 Kelurahan Neglasari Kecamatan Batuceper Kodya Tangerang . Jakarta: Universitas Indonesia.
Soetopo, Toni. 1999. Dampak Proses Pembangunan Terhadap Kualitas
Hidup Masyarakat Lokal, Studi Kasus 3 Desa Kota Baru andiri Bumi Serpong Damai, tangerang, Jawa Barat. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suhendar, Endang. 1994. Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa
Barat. Bandung: Yayasan AKATIGA. Suryana. 1998. Kontribusi Pembangunan Perumahan Dan Permukiman
Terhadap Pendapatan Daerah Dan Beban Pemerintah Daerah Dalam Pembiayaan Prasarana Lingkungan, Fasilitas Sosial, Dan Utilitas Umum, Suatu Studi Kasus Di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suryana, Nana et al. 1992. Sejarah Kabupaten Banten. Tangerang: Pemda
Tk II Tangerang dan LPPM UNIS Tangerang. Sutiyoso. 2007. Megapolitan. Jakarta: Gramedia.
130
Taqim, Nursiwan. 1997. Analisis Dinamika Penduduk Terhadap
Perubahan Fungsi Lahan di Kotamadya Tangerang. Jakarta: Universitas Indonesia.
Thahirudin. 1971. Sekilas Lintas Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemda
Tk. II Tangerang. Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan
Terpilih. Bandung: Akatiga. Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia, Uraian Analitis,
Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Jakarta: Pustaka Pelajar. Yunus, Hadi Sabari, MA. 2006. Megapolitan, Konsep, Problematika, dan
Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar B. Jurnal Penelitian:
Arif Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial
edisi 3, Juli 1996. Supriono, Jurnal Penelitian Buruh, Desember 2006. Summary Diskusi Perburuhan Elsam, 29 Oktober 2007. Transkripsi Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu
Sosial Indonesia dengan presentasi yang disampaikan oleh Hilmar Farid, 05 November 2007.
C. Transkripsi Wawancara:
Transkripsi Wawancara dengan Abah Nang, Cikupa 5 Januari 2007
Transkripsi Wawancara dengan Abdul Mutoi (Otoy), Cikupa 22 Desember 2006
D. Kliping Berita dan Artikel Internet:
“Dinas Tata Ruang Akui Abaikan Perda”, Rabu, 12-Maret-2008, 06:59:42, http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=23631
“Kabupaten Tangerang”.bdk: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tangerang
131
Perdana, Ari A. September 2001. “Peranan Kepentingan dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan Kebijakan Ekonomi Indonesia”, CSIS Working Paper Series,
Bdk: http://www.csis.or.id/working_paper_file/22/wpe061.pdf Prabowo, Hermas Efendi. ”PDAM Ditengah Industri yang Bandel", Kompas,
21 Mei 2004. Widodo, Ruseno. “Pembangunan Perkim”, 05/09/2007, bdk: http://www.tangerangkota.go.id/view.php?mode=71&sort_no=6 ______ . “Sungai Cisadane Tercemar, PDAM Tangerang Dapat Berhenti
Beroperasi”, 16/01/2004. bdk: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/16/metro/805517.htm
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2:
LAMPIRAN 3:
LAMPIRAN 4:
LAMPIRAN 5:
Foto Pengrajin Topi Bambu Tangerang
LAMPIRAN 6:
Cuplikan Transkripsi Wawancara Sejarah Perburuhan
Yang Diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Lokasi wawancara: Telaga Kocak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang
Tanggal wawancara: 22 Desember 2006 Nama Narasumber: Otoy (Nama Samaran)
Pewawancara: Pray de Ferri Catatan: Transkripsi ini sesungguhnya mencapai 52 halaman. Mengingat jumlah halaman yang terlalu panjang, berikut ini penulis lampirkan cuplikan beberapa halaman yang memuat informasi tentang bagaimana relasi antara pabrik, warga pribumi, dan pendatang. Otoy adalah salah satu warga Tangerang yang menjadi salah satu “pengaman luar” merangkap sebagai calo tenaga kerja yang bertanggung-jawab secara tidak langsung kepada pihak pabrik. Cuplikan diambil dari rekaman kaset 2 side A, halaman 24 hingga kaset 3 side A, halaman 37. J adalah keterangan narasumber, T adalah pewawancara. J: ... kalau istilahnya, kalau saya mau jadi calo beneran, menjadi penyalur tenaga
kerja. Karena kita pikir Mas, kalau orang masuk satu juta satu orang, sepuluh orang sepuluh juta. Satu pabrik saja bisa kita masukin kan kita dulu itu. Sekarang saja sudah ada dua juta setengah, dua juta pingin masuk kerja ya. Saya kadang-kadang, “A duh, orang ini saya bilang, dua juta nyari dari mana, sedangkan dia, saya pikir dia pingin kerja, apa mungkin dia itu dari rumahnya itu ngejual apa, apa ngejual tanah, apa ngejual apa?” Karena orang yang berani mahal itu, yang pingin kerja itu orang luar itu, kayak semacam dari Sumatera, dari Solo, apa dari mana, kan gitu. Kadang-kadang saya nggak gitu, kalau saya bantu kalau ada kerjaan, ada lowongan saya bantu, kalau nggak ada, “Tolonglah nyari ke orang lain saja ,” kan gitu. Sebenarnya orang-orang, preman-preman itulah, setiap jatah ada lowongan itu yang dapat duit.
T: Ada premannya juga, ya? J: Itu yang saya bilang grup tujuh itu. T: Grup tujuh. Dia dari Talaga juga? J: Dari Talaga . T: Apa kerjaan mereka? J: Ya, kerjaan dia itu, ya sebatas keamanan luarlah, ngakunya kan gitu.
Keamanan luar, dia setiap pabrik dapat jatah kan, ada yang satu juta, ada yang 500 ribu, dan ada yang 800 ribu. Ya, intinya sih katanya keamanan luar, kan gitu. Dia masing pabrik -pabrik saja sampai sekarang juga sudah mempunyai jatah, kan gitu.
T: Digaji sebulan? J: Sebulan dapat jatah, ya digajilah, kan gitu. T: Itu pasti itu? J: Itu sudah pasti, sampai sekarang juga masih ada Stenly [nama pabrik] saja
sudah satu juta, KMK sudah satu juta.
T: Berapa? J: Apanya? T: Maksudnya, setiap pabrik itu pasti jatah, ya? J: Pasti dapa t jatah, pasti ngasih jatah. T: Di kawasan? J: Di kawasan sini. T: Ada berapa pabrik, sih? J: Di sini: KMK, Starmas, Baiksan, Koyo, kurang lebih 10-lah. T: Setiap pabrik jatah tujuh orang itu? J: Paling gede sejuta. T: Untuk tujuh orang? J: Tujuh orang, enam, yang satunya kan sudah nggak aktif, Haji Lan itu, karena
dia sudah nggak mau. Cuman dia membantu, karena dia bos limbah [sisa -sisa pabrik yang tak digunakan tapi laku dijual] , karena bos limbah, enam, enam orang . Ya, tujuh oranglah, karena ada yang ngikut lagi itu, nambahin satu.
T: Bukan satu orang satu juta ya? J: Nggak, nggak, satu juta itu dibagi tujuh. Bervariasi sih Mas, nggak semua
sejuta, ada yang 500, itu sudah yang paling kecil 500. Antara 500 sampai sejuta saja sudah.
T: Tugas mereka apa, fungsi-fungsinya? J: Fungsi-fungsi dia sebenarnya katanya sih ngamanin pabrik gitu. T: Maksudnya ngamanin dari? J: Dari luar, kayak orang yang demo, segala mungkin ada yang pemalakan-
pemalakan dari pungutan liar, dari preman lain gitu, apa mungkin dari orang luar yang sekiranya nggak dikenal mau minta jatah ke pabrik. Karena kalau dia sudah punya itu, dia yang menghalangi, gitu. Kayak macam sumbangan-sumbangan liar, intinya gitu. Cuman saya pikir sampai sekarang juga sebenarnya keamanan luar itu nggak ada fungsinya sama sekali. Apa yang sebenarnya dia bilang keamanan luar, ya intinya dia sebenarnya , dia pingin duitnya doang. Karena apa? Yang saya tahu yang kemarin-kemarin demo saja, dia juga memanfaatkan juga orang yang demo
T: Misalnya gimana? J: Misalnya, yang kemarin Panah Forest, demo kayak macam KASBI [nama
serikat buruh] itu, ya. Dia itu, KASBI itu, saya nggak tahulah, KASBI itu apa yang di Panah forest itu kan. Orang Panah Forest kan membayar dia kan satu bulan itukan jatahnya 500 ribu. Dia kan waktu itu ada yang demo, orang pabrik kan sudah pasti mengundang dia karena dia sudah dapat jatah kan, keamanan luar, kan kalau itu kan sudah tugasnya keamanan luar, bukannya tugasnya satpam lagi. Panggillah dia, tapi dia secara ini mau dia, mau membubarkan itu, tapi dengan satu syarat dia minta bayaran lagi.
T: Oh gitu, J: Itu T: Tapi kan sudah dijatah sebulan? J: Nah, padahal sudah dikasih jatah satu bulan. Di situkan dia kadang-kadang
manfaatin pabrik yang butuh juga, padahal dia sudah dibaya r. Nggak sanggup gitu, misalnya dia untuk membayar gitu. Ya dibubarin, ya ternyata ya kata dia , “Ya sudahlah tolong” , katanya kan. Dikasihlah, “Ntar kalau misalkan sudah
dibubarkan saya kasih”. Ternyata selama orang KASBI demo di situ, dia diminta bantuan, ya dapat juga kan? Barang satu orang 100 ribu kan, tujuh orang, ya tujuh ratus kali dua hari, sejuta empat ratus. Mungkin yang saya tahu dia dibayar cuman 700.
T: Untuk satu hari? J: Untuk dua hari itu. T: Dua hari. Lalu waktu itu kalau nggak salah ada polisi juga, ya? J: Nah, polisi juga yang dapat itu dua hari itu dibayar satu orang 100 ribu, kalau
nggak salah, jumlah polisi itu lima. T: Satu hari 100 ribu? J: Lima orang 500. Saya juga sebenarnya dapat jatah juga, dikasih. Ya mungkin
yang jatah aparat dimasukinnya mungkin jatahnya lima, ya ternyata aparatnya lima gitu, dimasukin saya satu jadi enam. Jadi, ya satu juta dua ratus , dua hari. Saya padahal nggak ikut apa, cuman ngelihatin saja (tertawa). Saya kalau dibutuhkan sama dia , ya sebenarnya saya nggak mau ngelarang orang yang kayak demo-demo kayak gitu, karena dia mau berjuang buat dia. Ya, kalau misalkan saya dikasih, siapa sih yang nggak mau kan gitu. Karena saya nggak minta dari hak-hak orang yang kerja , kan gitu. Saya dikasih orang perusahaan, di situ juga yang meminta ke perusahaan juga, ya teman saya, Pak Roy, selaku koordinator satpam itu. Saya dikasih sama dia dengan satu syarat, suruh minta bantuan, suruh ngantar orang yang kerja, ya saya anterin saja orang-orang yang kerja dari yang deket-deket rumah saya. Karena dia takut disuruh nggak masuk kerja gitu. Dia pikir, kalau saya demo takutnya kan diberhentiin yang cewek-cewek itu. Saya antarkan empat orang, setelah itu, ya dua orang lagi saya suruh jalan saja, saya nunggu di belakang. Ya sudah, saya nongkrong-nongkrong saja, besok ditelepon lagi sama dia , suruh bantu pabrik ini, saya datang-datang saja. Cuman saya lihatin, tapi saya dikasih lagi 100 ribu (tertawa), jadi 200 dua hari. Waktu itu, juga yang kepolisian juga dibayar
T: Waktu itu yang ngasih Pak Roy itu? J: Pak Roy itu. T: Pak Roy ini apa? J: Pak Roy itu ya, pangkatnya ya kopral. Dulu itu dia , sekarang kan sudah di
Korem, tadinya di Rudal-003. Dia selaku koordinator satpam, dia yang mengkoordinir satpam itu. Nah, sekarang sudah tergeser, sekarang dia sudah kurang kepercayaan lagi, kan gitu. Sama, karena apa? Di sini saya juga – ya saya bukannya menyalahkan aparat apa mungkin dari siapa ya Mas, ya. Kadang-kadang aparat juga sebenarnya sudah gampang banget dibelinya gitu, bukannya membantu orang lemah bahkan dia membantu orang yang kuat, gitu. Apalagi orang yang lemah kan misalkan butuh duit sekali, orang yang kayak gitu masih butuh duit, bagi orang hukum di sini tegak, gimana di sini hukum mau ini, karena hukum bisa dibeli, kok. Saya sih bukan jelek-jelekin aparat, cuman yang saya lihat ya Mas, saya selaku pribumi di sini yang saya tahu, ya begitu-begitu saja
T: Maksudnya? J: Ya setiap ada yang demo, setiap apa -apa , kan perusahaan kan kadang-kadang
minta bantuannya, kan kadang-kadang ya aparat luarlah, aparat juga kadang-kadang ada, tapi apa hasilnya?
T: Apa yang mereka amankan? J: Ya ngamanin orang yang berbuat anarkislah kayak orang menimpukin pabrik,
keributan, kan intinya ke situ. Cuman, kan selama yang saya tahu yang demo-demo itu kalau nggak orang pribumi di sini, nggak ada yang nimpukin pabrik. Yang orang-orang demo itu cuman berjuang demi dia kan, untuk minta ditetapkan kerja, apa mungkin secara kontrak, apa mungkin yang sudah lama tetap pingin tetap kerja, apa gimana kan intinya ke situ. Cuman kadang-kadang perusahaan yang tidak ini, kadang-kadang juga rasanya ketakutan juga kan, takut dia mungkin pabriknya dibakar, apa gimanalah. Orang-orang yang dari kepolisian kan diundang juga.
T: Tapi bukannya ada satpam di... J: Sebenarnya satpam mah ada, ya satpam di situ terbatas sekali Mas, satu.
Keduanya juga satpam yang namanya manusia rasa takut juga ada kan Mas. Ya mungkin kalau dibackking, mungkin ditemani oleh aparat, dia merasa ada yang melindungi juga , kan. Kalau dibilang mungkin satpam punya anak polisi juga (tertawa) kan gitu. Kalau satpam dapat gaji, sih, memang nggak dibayar lagi. Cuman yang dari luar-luarnya ini kan, gitu. Ya sebenarnya sih, kalau toh kemarin orang-orang yang mengamankan di situ, ya sebenarnya bukan intiya buat mengamankan pabrik sih, cuman intniya, ya duit saja sih judulnya.
T: Nyari duit, J: Nyari duit doang. Nggak dari aparat, nggak dari keamanan luar, yang jelas-
jelas dia datang ke situ intinya bukan, ya mengamankan sih, sebenarnya, cuman setelah mengamankan, dia itu nggak mau kalau misalkan ini kan, pasti kan dia dalam hatinya mengharap imbalan juga .
T: Kalau waktu aksi itu, tentara ada juga nggak? J: Tentara nggak ada T: Polisi saja? J: Polisi saja. Cuman selain polisi ya, saya ngelihat sih apa mungkin itu dari
Hercules, apa dari mana, kayaknya orang yang tinggi-tinggi hitam itu banyak itu di belakang itu,. saya nggak ada yang kenal itu.
T: Dibayar? J: Dibayar juga itu. Dibayar, dia fungsinya apa saya juga nggak tahu, ini apa
mungkin Hercules, apa mungkin apa juga nggak tahu, karena dari teman-temannya personalianya kan. Apa mungkin satu kampung, apa mungkin dia punya jaringan lagi, apa gimana nggak tahu, apa mungkin dia punya grup lagi nggak tahu. Yang saya tahu sih, orang-orang hitam yang tinggi-tinggi gede itu kan, mungkin Mas lihat sendiri kan, banyak itu.
T: Dibayar berapa mereka? J: a rata-rata 100 ribu perhari, ya mungkin kalau orang-orang itu lebih tinggi.
Saya kira yang dari aparat satu orang ya 100 ribu, karena saya buka amplop sendiri sih, saya dikasih amplop, saya bilang, pikiran saya 50 ribukan “Toy, katanya jatah aparat yang enem saya lebihin”, katanya. “Yang lima saya lebihin satu. Ini buat kamu” katanya kan gitu. Jatah polisi itu, saya bilang “Terima kasih”, saja. Saya buka, 100 ribu, ya besoknya saya dikasih lagi 100 ribu juga kan, 200. Saya beliin rokok saja kan, saya kasih teman juga, ada yang pingin rokok, saya beliin juga. Ya, duitnya habis buat saya saja, nggak dikasiin istri saya. Ya sebenarnya lucu juga sih Mas.
T: Tujuh preman itu, bagaimana mereka bisa membentuk tujuh orang itu? J: Tadinyakan kepala kuli itukan dia banyak yang resehin juga, ada yang banyak
pingin jadi kepala kulin kan gitu. Ya, dia yang enam orang itu dia rangkul dengan secara kerja sama, dengan iming-iming kerja sama, jadi setiap ada jatah itu dia bagi rata, gitu dibagi rata. Karena misalkan kalau dia sendiri ya pastilah kelompok polisi Uci ini, kepala kuli itu juga merasa nggak bakalan kuat, kalau ditemani orang-orang yang enam inilah kuatlah kelemahan-kekurangan dia saling tertutup kan gitu, tertutupilah. Masing-masing orang kan punya kelemahan, ada yang punya kelebihan kan gitu Mas.
T: Tadinya kepala kuli? J: Tadinya kepala kuli, asli kepala kuli. T: Kepala kuli maksudnya apa? J: Kepala kuli bongkar muat. Kaset 2, side B [disela; Otoy menyuruh Ipul yang ketika itu duduk sebelah bapaknya, mendengarkan cerita bapaknya dia sambil main? “Bilang sama man, suruh bikin kopi lagi gitu”. Kemudian Ipul memanggil “Nek, nek” sambil mencari dikamar tidurnya ndak ada] T: Mungkin bisa dilanjutkan lagi? J: Lupa saya ngomong apa ya? T: Latar belakang tujuh preman ini apa? J: Latar belakangnya, sebenarnya rata -rata security. Latar belakangnya itu ada
yang security Mas, ada yang tukang ojek, ada yang tukang lele jumbo, itu latar belakang dia itu. Setelah perusahaan-perusahaan berdiri saja, selama proyek-proyeknya dia yang menangani pabrik-pabrik ini, gitu. Kadang-kadang perusahaan barangnya pingin diamankan gitu, sebelum ada, sebelum produksikan pabrik itu kan nggak mungkin pakai satpam langsung kan Mas. Kayak kepala kuli, kepala kuli ada keamanan luarnya kan. Di sini itu sistimnya kayak gitu. Diambilah orang-orang pribumi suruh ngamanin perusahaan yang mau dibangun itu kan, termasuk saya juga kan gitu. Panggillah mungkin kalau nggak waktu itu lima orang, empat orang kan ngamanin perusahaan yang mau dibangun kan gitu. Tapi ya setelah itu kita, pabrik itu berdiri, dia itu ya meminta jatah juga setiap perusahaan gitu, ya ikut bertanggung jawablah atas kehilangan ini, kehilangan itu. Itu intinya ke situ, cuman kan kalau misalkan ujung-ujungnya ya UUD itulah, ujung-ujungnya duit. Setelah dia sudah menyatukan kelompok itu, kelompok tujuh itu baru dia sudah kuat. Ya ke sininya itu, dia jadi calo-calo masukin kerja, segala apa, setelah dia sudah dapat jatah setiap perusahaan itu. Latar belakangnya orang-orang biasa-biasa saja mas, bukan orang, bukan orang jagoan, bukan geng lagi, orang-orang alim bahkan ada orang santrinya juga .
T: Oh gitu, J: Kalau di sini ma, setengah ustadlah pangkatnya ustad itu. Itu kepala kuli itu
sebenarnya orang yang cukup ngerti agama juga. T: Kalau yang security itu bukan dia dari apa , kemiliteran itu?
J: Bukan, semua yang kelompok tujuh itu nggak ada yang dari militer, nggak ada. T: Sipil semua? J: Sipil semua, satu juga dulu ada yang pernah pendidikan militer cuman nggak
lulus. Ya, dia bilang sih, dia nggak mengataskan preman, tidak mengatasnamakan preman, cuman orang bilang dia preman, karena apa? Dia menguasai setiap pabrik, siapa lagi kalau bukan preman kan gitu. Cuman dia dibilang sih grup tujuh saja gitu, mengatasnamakan dia grup tujuh, bahkan setiap proposal setiap tahun ada permintaan THR dia mengatasnamakan grup tujuh
T: Oh gitu, J: Iya T: Setiap pabrik itu di... J: Setiap pabrik, dia dimasukin proposal, kalau setiap mau lebaran, kan THR-an
kan karyawan, ya dia memasukin proposal, Grup tujuh keamanan luar kan gitu, dikasihlah ada yang 300, ada yang 500, ada yang 400, bervariasi sih Mas, paling kecil 100 ribu. Ya, hidupnya sudah lumayan-lumayan Mas, tadinya tukang lele jumbo [penjual ikan lele], tukang ojek, security, bahkan ada yang berhenti dari security Mas. Bahkan ada yang berhenti dari security, satu orang. Mungkin dia lebih enak nyari duit kayak gitu kan, dari sisi lain juga dia sebelumnya, disisi lain dia dapat jatah dari perusahaan, dia bisa memasukkan karyawan dengan iming-iming duit, kan gitu. Ya tadinya dia sih itu mungkin nggak kepikir ke situ, karena mungkin banyak yang dia kenal setiap perusahaan, apa dia mungkin sudah mengenal setiap bos -bosnya. Dia kayaknya masukin kerja tadinya gampang-gampang saja, yang lebih banyak itu dia mengatasnamakan sih pribumi masukin kerja itu ke setiap pabrik. Cuman kan di lain itu juga kadang-kadang orang luar juga ada, karena apa? Orang si pelamar itu sekarang mencari kerjaan itu sangat kesulitan sekali. Datanglah orang-orang luar yang dari mana-mana pingin kerja, “Sudahlah Mas!” katanya “Mmasukin saya, ntar saya kasih,” katanya 500. Nah, asalnya dari ke situ. Sudah mungkin, ternyata cari duit gampang juga. Akhirnya kan banyak yang kerja juga ada yang ngasih 500, 600, sampai satu juta, sampai bervariasi sampai dua juta setengah Mas satu orang.
T: Duit itu untuk mereka sendiri? J: Dia dibagi tujuh, setiap dia masukin satu orang, apa dua orang dia mungkin
mendapat penghasilan segitu, ya kalau misalnya teman-temannya tahu ya dibagi semua kan gitu. Tapi yang berperan masukin orang dia ngambil misalkan satu juta, yang satu jutanya lagi dibagi enam, dibagi lima kan gitu. Setiap yang bisa masukin kerja itu dia yang lebih gede, sisanya ntar temannya dibagi. Itulah, yang itunya. Bahkan dia sampai meninggalkan kerjaan dia yang sehari-hari jadi security Mas itu. Itu, dia penghasilan saja satu bulan mungkin kurang lebih kalau misalkan lagi kotor-kotornya satu orang saja sudah nyampai tiga jutaan Mas.
T: Satu bulan? J: Satu bulan itu, karena tahu saya. Karena dia itu sampai dia meninggalkan
kerjaan dia yang satu bulan satu juta dua ratus gajinya kan. Mungkin dia sampai sudah ada yang bikin rumah, di Pandegelang saja sudah gede pabrik – itu rumahnya, ada yang punya limbah segala, ada yang punya kontrakan
segala. Bayangin saja Mas, dari tahun 2000 sampai tahun 2006 ini sudah enam tahun kali tiga juta saja dia lagi kotor-kotornya kalau dia nggak doyan apa-apa, mah sudah dikumpulkan sudah berapa puluh juta kan. Kalau kata Mas, mungkin dia sudah bisa naik hajilah, kan gitu kalau dia mau niat, kan gitu.
T: Tapi belum ada yang naik haji? J: Belum, cuman kadang-kadang yang namanya orang mungkin cari duit
gampang Mas, ada yang foya-foya, ada yang ke diskotik, ada yang istrinya dua, ada yang main, banyaklah. Cuman di antara kelompok grup itu cuman ada satu doang orang yang kelihatannya berhasil gitu. Karena dia orang satu dia nggak doyan apa-apa, nggak doyan main judi, nggak doyan main cewek, nggak doyan mabuk. Dia emang asalnya tukang ojek Mas, dia sekarang sudah punya kijang kapsul satu, sudah punya limbah, sudah punya kontrakannya 20, sudah mau punya mobil carry satu, dia itu.
T: Dari hasil itu? J: Dari hasil itu saja, ya hasil apa sajalah, dari masukin kerja karyawan, dari jatah
perusahaan, dari jatah ngangkat limbah. Kan setiap perusahaan itukan ada limbahnya kan, nah limbahnya dikelola sama orang grup tujuh itu. Nah grup tujuh kan dia punya pembuangan ke teman-temannya dia sendiri. Teman-teman dia sendiri seca, bos -bos gede itu kan ngasih komisi perkilo, ya mungkin satu perusahaan dia mungkin belinya 8.000 perkilo, dia paling dikasih komisi perkilonya 1.000 kali berapa ton, dibagi tujuh gitu. Sedangkan setiap pengambilan barang itu ada seminggu sekali, ada yang dua bulan sekali kan gitu, ada yang dua minggu sekali gitu, seminggu sekali. Sekali pengangkatan saja dia sudah komisi mah, sebangsa 800-san sudah kelihatan Mas, seminggu berapa pabrik di sini, kalau misalkan 10 pabrik sudah ketahuan delapan juta. 800 kali 10 pabrik kan sudah delapan juta dibagi tujuh kan, seminggu. Gimana nggak gampang dia cari duit. Kalau saya sih, emang orang preman kecil, cuman ngelihatin saja kan gitu (tertawa). Saya sebenarnya saya juga nggak pernah ganggu dia, tapi dia jangan ganggu saya, kalau dia ganggu saya, saya akan ganggu dia kan gitu saja. Ya, alhamdulillah si Mas, walaupun dia orang segitu juga nggak pernah dia berbuat reseh sama saya, karena dia juga tahu sifat saya, saya tahu dia , dia tahu saya gitu. Selama saya jadi security di situ juga saya nggak mau diganggu sama dia gitu, saya juga nggak bakalan ganggu dia, ya alhamdulillah sampai sekarang saya aman-aman saja kan gitu. Ya mungkin dia kalau saya ngomongin dia, mungkin dia nggak merasa nggak terima juga kalau begini (tertawa). Ya sebenarnya juga ada baiknya ada buruknya juga, ya buruknya kayak gitu Mas. Saya kasihan kalau orang-orang itu yang masuk kerja itu ya diduitkanlah gitu, dipinta duit. Kadang-kadang saya juga nggak menyalahkan dia 100% karena apa? Si pelamarnya juga kadang-kadang dia akan menjanjikan duluan gitu. Misalnya kan gini Mas, contohnyalah nggak jauh-jauh, Mas misalkan, cari kerjaan satu bulan dua bulan nggak dapat kerja. Selama inikan Mas perlu makan, perlu bayar kontrakan, dari pada mungkin dia nggak dapat kerjaan lebih baik dia bayar, dia bayar berapa juta? Misalkan satu juta, lebih baik dia bayar satu juta dia langsung dapat kerjaan. Dia untuk ke sananya sudah dapat gaji, kan gitu. Di situlah, kadang-kadang saya juga nggak habis pikir si pelamar itu mungkin dia pikir, kalau dia nggak caranya kayak gitu susah untuk cari kerja. Memang
kalau bisa sih, memang kayak-kayak gitu harus dimusnahkan sih, kayak macam seperti calo-percaloan, setiap pabrik dikuasai seorang preman, apa mungkin enam preman, apa lima preman, setiap orang yang pingin kerja harus melewati dia, itu saya sebenarnya itu nggak setuju. Karena apa? Ya meresahkan orang-orang yang butuh kerja yang sekiranya nggak punya biayalah. Kayak macam orang yang butuh kerja ternyata dia orang susah, pingin kerja harus ada duit sekian, kalau nggak ada duit sekian nggak bisa masuk, itu banyak Mas. Bahkan banyak orang yang sudah ngasih duit duluan juga nggak masuk kerja, ada yang satu juta, ada yang 500, kadang juga ada yang ngeluh juga Mas. Sampai saya pernah saya nemuin orang itu sampai nangis. Selama tiga bulan dia itu sudah masukin duit, teman saya juga sih Mas.
T: Masukin duit ke calo? J: Calo itu, cuman bukan orang grup tujuh gitu. Adik saya mungkin tidak
dibilangin orangnya, orangnya sudah diberhentikan sih orangnya juga. Sampai enam bulan, tiga bulan, sampai delapan bulan Mas nggak dimasuk-masukin kerja, duit sudah keluar 800 ribu itu, ternyata dia sampa i ngejual kalung istrinya. Saking pingin kerjanya itu Mas. Akhirnya saya ketemu sama dia, ya saya kasihan juga, ya saya tegur kan orang itu – ya sebenarnya anggota saya juga, security gitu. Akhirnya kan saya bantu “tolonglah saya bilang - kalau kamu nggak bisa masukin orang ini saya bilang – tolong duit ini ganti, kalau nggak diganti saya bilang, akan saya tembuskan saya bilang, ke pihak personalian, karena saya bilang, kamu menjanjikannya kerja diperusahaan ini” “Ya gimana caranya kata dia, saya untuk membayar ini, buat makan juga saya sudah pas-pasan” “Oke, saya bantu untuk kasbon keperusahaan” kasbonlah saya keperusahaan atas nama dia, saya tanda tangan, dapatlah itu dari perusahaan itu satu juta. Saya ambil 800, saya panggil orang itu saya kasih. Sela ma delapan bulan Mas, coba, saking orang pingin kerjanya itu, itu terus terang saja orang Subang itu aslinya
T: Akhirnya nggak kerja juga? J: Nggak kerja, saya duit saya kembaliin. Itulah manusia-manusia sekarang itu,
nggak bertanggung jawab. Banyak Mas, bukannya satu orang dua orang. Yang saya tahu saja mungkin lebih dari dua, tiga orang. Mungkin dikawasan depan juga kayak gitu semua, sekarang cari kerjaan sulitnya minta ampun, dimanfaatkan orang-orang tertentu yang sekira-kiranya orang itu kenal sama perusahaan. Apa mungkin dia kerjasama sama personalianya, apa mungkin dia kerjasama orang kepala bagiannya saya nggak tahu, di dalamnya itu. Karena yang saya tahu setiap orang yang kerja nggak bisa dia masukin kerja sendiri, terkecuali dia itu orang-orang ya ng benar-benar dibutuhkan tenaga ahli, misalnnya kan gitu. Kalau sebenarnya orang-orang yang nggak berpengalaman, yang lulusan tahun kemarin, orang darimana-mana pingin kerja itu sendiri sulit, pasti ada calonya. Makanya juga sebenarnya di sini juga aparat-aparat sini nggak dari militernya, apa mungkin dari kepolisiannya bukannya nggak tahu, tahu. Tapi selama ini diam saja, mungkin apa dia juga ikut gabung juga, apa gimana nggak tahu saya juga kan gitu. Cuman yang saya tahu, semua dari aparat juga sudah tahu seluk beluk tentang di sini tahu. Kalau
sejenis percaloan-percaloan bukannya nggak bisa ditutup-tutupi, sudah lumrah di sini Mas, sudah dianggap biasa.
T: Bagaimana para preman itu kok bisa kenal dengan perusahaan? J: Tadinya kan asal-asalnya itu kan, preman-preman itu kenal sama orang-orang
perusahaan karena apa? Sebelum dia mau berdiri perusahaan itu dia sudah deketin. Berdirikan, perusahaan mau berdiri di daerah sini nih Mas nih, si preman itu dia deketin. Jadi orang ini harus, perusahaan ini harus dijaga, banyak yang maling. Di situkan – berdiri perusahaan itu belum ada satpam Mas, pastikan mengatasnamakan pribumi dulu kan. Perusahaan juga pintar juga sih, dicarilah orang-orang yang sekira-kiranya berbobot kan, yang sekira-kiranya ditakutin sama orang-orang maling kan misalnya gitu, panggilin “tolonglah bantu saya” kadang-kadang ada yang gitu, kadang-kadang ada yang menawarkan diri perusahaan ini “Ntar saya jagalah, saya tanggung keamanan luarnya gitu, saya misalnya takut ada apa -apa ntar saya yang bertanggung jawab” kan kadang-kadang orang begitu, kenallah sama.
T: Jadi pihak perusahaan turun ke kampung langsung? J: Nggak. Jadi perusahaan itu kan datang ke proyek kan ya, kelompok premannya
juga datang ke proyeknya itu. Berdialoglah dia itu, misalkan dia mau sanggup ngasih berapa ini untuk mengamankan perusahaan yang mau dia bangun, gitu. Si perusahaan kadang-kadang, si bosnya ini sanggup membayar sekian ratus kan gitu, bahkan ada yang lebih satu juta kan gitu. Nah setelah itukan otomatis kan ke nal si preman-preman gitu. Kenal, sudah gitu terbentuklah perusahaan, sudah mau produksi-produksi kan ada personalianya, apa, dideketinlah sama dia kan gitu. Deketin, kadang-kadang perusahaan juga orang-orang preman itu pingin ketemulah sama personalia ini, ini, tahulah dia mau ngomong apa, ngomong apa, intinya ke duit -duit juga sih. D i sini sudah lumrah Mas, setiap perusahaan berdiri pasti bosnya kenal sama orang-orang premannya di sini. Jadi kadang-kadang ini dari grup ini gitu, dari warga pribumi sini, ikut membantu, ikut mengamankan perusahaan di sini. Cuman mungkin perusahaan sanggupnya membayar ke dia berapa kan itu, kadang-kadang di situ ada tawar-menawar ada dialog dulu Mas, tawar-menawar.
T: Sebelumnya pernah ada kejadian kemalingan? J: Pernah kejadian kemalingan, mungkin yang maling-malingnya juga teman-
temannya dia sendiri sih. Kadang Mas punya perusahaan, sebelum Mas ngasih jatah ke saya, misalkan saya preman, Mas mau diriin pabrik, Mas belum sanggup ngasih saya, ya anak-anak buah sayalah yang nyolong ke Mas.
T: Tujuh preman itu punya anak buah? J: Punya kumpulan lah gitu, bukannya ini, teman-teman saja kan gitu. Kayak
mungkin teman kesini, kesinilah yang namanya pribumi di sini masa sih nggak bisa punya teman, kan kemungkinan punya teman. Apa mungkin dari anak kuli. Kan dulu diakan bekas yang satunya kan kepala kuli, diakan punya anak buah yang saya bilang dulu itu 60 orang kan, sekarang sudah banyak kerja, paling yang aktif, paling 25, 30 orang gitu, itukan masih bisa dikerahkan juga, karena dia masih mengkoordinir juga kan, masih bisa – taruhlah kalau di kita, masih bisa ditakutin juga kan gitu, masih bisa anak-anak kemarin sih masih bisa dipermainkan, masih bisa dibohongin. Kadang-kadang orang yang itu goblok juga “Dah, tolonglah ntar kalau ada apa -apa saya yang tanggung
jawab” gitu. Dicolonglah sama anak-anak, orang-orang kayak gitu, kan dicolong.
T: Apa yang dicolong? J: Ya kayak besilah, alat-alat bangunannya kayak macam grinda, kawat las,
kayak mungkin tembaganya, apa mungkin panelnya, alat-alat perusahaanlah gitu, yang buat diriin pabrik itu kayak macam, kompesornya, besi behelnya kan gitu, colongin, colongin, colongin, kan lama-lama banyak hilang juga. Akhirnya si preman-preman itulah datang, gimana caranya perusahaan itu aman. Ya dia loby setiap perusahaan, ya aman juga akhirnya kan gitu. Itu, itu politiknya kesitu juga. Sampai sekarang sih emang untuk kemalingan-kemalingan sih nggak ada lagi Mas, karena si malingnya ya dia -dia juga kalau kita pikir gitu, kalau nggak kasarnya ya dialah yang nyuruh maling, kan kadang-kadang dia juga yang beli kan gitu, tahu barang kok. Padahal ya orang-orang perusahaan kadang-kadang ya lebih percaya sama preman dari pada orang dari aparat, kalau proyeknya gitu lagi dalam masa-masa proyek, bikin pabrik gitu ya. Saya pikir perusahaan kadang-kadang lebih percaya sama preman gitu, saya juga nggak ngerti. Karena mungkin preman lebih luas jangkauannya gitu mungkin, apa gimana dia pergaulannya sama orang-orang badung kan polisi belum tahu orang itu si A, si B, yang badung, kalau misalkan preman sini, mana maling? Mana ustadnya kan tahu. Mungkin perusahaan juga lebih baik untuk sementara dipegang preman setelah produksi mungkin preman sama aparat yang diambil kan gitu. Karena setahu saya aparat sekarang setiap bulannya dapat, preman juga dapat. Ya setiap kepolisian setiap desa setiap bulan ada jatah Mas, kayak ___ satu pabriknya ada yang 300, ada yang 500, desa itu. Setahu saya diperusahaan yang saya kerja saja, desa saja 300 satu bulan, kepolisian 200
T: Desa itu melalui? J: Lurah. T: Lurah? J: Cuman tiap bulan. T: Jatah apa itu? J: Jatah desa, setiap bulan itu, setiap pabrik setiap perusahaan ngasih setiap bulan T: Untuk apa itu biasanya? J: Ya kurang tahu juga (tertawa). T: Bukan untuk kegiatan kampung? J: Bukan. Kan desa juga punya anak buah juga perlu gaji juga, kayak semacam
stafnya, apanya kan gitu. Mungkin perlu digaji juga, kalau mungkin dari situ dia mau gaji orang-orang macam lapangan itu kayak staf segala yang ngetik segala darimana dia. Saya juga nggak tahu lurah itu sebenarnya dapat gaji apa nggak kan gitu. Makanya banyak yang mencalonkan lurah di sini, karena apa? Penghasilan di sini itu gede Mas, bahkan sampai ratusan juta dia untuk berdiri jadi lurah saja sudah sampai satu M saja. Setiap perusahaan ada duitnya kok, satu pabrik saja ada yang 300, ada yang 500, tergantung perusahaannya. Karena teman saya juga orang desa bahkan jadi security dipabrik itu gitu
T: Merangkap? J: Merangkap, security, orang desa. Dia dari desa saja digaji satu bulan saja 150
ribu, dia bagian apalah ngetik kadang-kadang itu, bantuin bikin KTP, kartu
keluarga segala apa kan gitu, kadang-kadang suruh nagih, yang nagihin setiap pabrik dia, teman saya itu. Ya, mungkin jatah desa sih Mas, mungkin sekarang sudah dibilang otonomi daerahlah kayak gitu, mungkin penghasilannya dari situ lurah-lurah itu. Setiap perusahaan Mas ngasih
T: Pasti itu? J: Pasti itu sudah nggak ini lagi, pasti. Bapinsa saja sama Kamtibnas dapat,
Bapinsa dari Koramil, dari Kepolisian, setiap bulan dapat jatah semua pabrik. Setiap tanggal satu sampai tanggal lima sudah pasti saja darimana-mana pada datang
T: Fungsinya apa mereka? J: Babinsa kan itu pembina masyarakat itukan, kamtibnas, keamana n, ketertiban
masyarakat untuk daerah wilayah sini gitu kan, babinsanya dari wilayah Talaga , Pak siapa gitu. Kamtibnasnya itu, kan dari kepolisian, siapa ...
T: Kalau dalam perusahaan mereka berfungsi juga? J: Dari setiap perusahaan dia dibilang berfungsi sih saya juga kurang paham
betul, karena saya pikir setiap bulan doang ngambil jatah, ngambil duit. Saya kira satu hari, dua hari nggak pernah nongkrong di situ, nggak pernah apa yang ditanyakan ke security nggak pernah ada. Paling setiap ada, ada yang hilang, mungkin apa karyawannya sendiri maling segala apa, paling yang dihubungi dia-dia dulu, nah setelah diproses baru dibawa kekepolisian sama kamtibnas itukan. Bawa kepolisian paling bapinsa mengetahui doang kan gitu, itu doang bapinsa mengetahui, yang menangani kan orang kepolisian. Dibawalah ke polisi diproses di polisi, diinterogasi, dan kalau misalkan benar-benar dia itu ada bukti dia dipenjara, kadang-kadang itu doang yang saya tahu. Yang selain-lainnya itu nggak ada, nggak ada. Cuman setiap bulannya tanggal satu, “Tanyain sama kasir! Jatah saya sudah turun belum?” tanya “Ntar pak, katanya tanggal lima” paling gitu, ngambil tanggal lima. Gede-kecilnya juga bervariasi juga sih tergantung perusahaan sanggup ngasihnya, gitu.
T: Dan itu nggak pernah telat, ya? J: Itu nggak pernah telat Mas, setiap bulan harus karena apa? Setiap bulan kalau
dia belum dapat, belum dikasih ya datang lagi-datang lagi nanyain (tertawa). Makanya di sini kalau saya pikir ya unik gitu, karena apa? Mungkin ya sudah, sudah kebiasaan kan, mungkin dari dulunya juga mungkin ada kali, apa gimana nggak tahu juga (tertawa) kan gitu. Ya, mungkin bukan di sini saja Mas, dimana-mana mungkin juga begitulah. Disetiap perusahaan aparat sama preman berperanlah, berperan. Berperan ya sebetulnya ujung-ujungnya cuman duit juga sih, karena apa? Setiap ada kemalingan, mungkin ada massa, setiap itukan yang lebih beratkan security yang diproses duluan, nggak dari itu, pasti dari kepolisian juga akan memproses security, dari perusahaan akan menekan security. Tapi kalau dibilang-bilang, kita yang kerja dia yang dapat duit, nah itu (tertawa). Karena kalau saya pikir, kenapa kalau misalkan kayak gitu, kenapa nggak disejahterakan security kalau misalkan kayak gitu, orang yang jelas-jelas kerja membantu perusahaan, sudah jelas dia nongkrong dipabrik dan mengamankan perusahaan, setiap hari dia kontrol-setiap hari dia melek. Ya orang-orang kayak gitulah yang sudah dapat gaji, dapat jatah kan itu
T: Itu ada nggak misalnya perlawanan dari perusahaan terhadap preman ini, misalnya dia menahan tidak ingin ngasih jatah ke para preman ini?
J: Ada di tempat saya, di tempat saya itu sudah nggak mau kayak dia. Lebih baik dia pakai ya itulah orang Rudal itu. Ya dulu dia dapat jatah satu bulan itu 800 ribu, berhubung setiap ada permasalahan dia nggak mau menanganin, bahkan dia sudah duduk-duduk manis saja kan. Ya akhirnya bos saya itu berontak, “saya sudah nggak mau pakai kamu lagi?”
T: Lalu reaksi dari para preman itu? J: Nah, cuman bos saya juga orangnya cukup jeli juga sih Mas. Jadi dia macam
kayak di PHK saja gitu, diundang secara baik-baik, diundang tujuh orang itu, dikumpulkan, dia sudah nggak mau pakai dia dengan itu dia dibayar sesuai dia preman berapa? Dikasihlah dia sekian juta “tolong jangan ganggu saya lagi”. Bos saya itu memang orang jeli juga , ya pintarlah kan gitu
T: Di perusahaan apa itu? J: Di perusahaan Starmas T: Starmas. Dia produksi apa? J: Produksinya almunium. Dia, dia baik secara itu, nggak, nggak nyakitin
preman, jadi nggak nyakitin kelompok-kelompok tujuh, dia memberhentikan orang itu secara baik-baik gitu. Jadi karena apa? Dia pikir dia itu perusahaan mau berdiri kan dia nggak mau diganggu, dia nggak mau pakai preman. Dia tadinyakan satu bulan ngasih jatah 800 ribu itu Mas, berhubung nggak mau pakai, karena apa? Nggak fungsinya preman itu, preman itu nggak ada fungsinya. Dia pikir kan lebih baik, saya nggak pakai dia walaupun saya keluar gede cuman hari itu doang, bulan itu saya kasih gede kesononya kan sudah nggak ngasih lagi, kan gitu. Salut, saya terus terang saja sama bos saya salut itu. Salutnya ya karena apa? Dia itu, nggak ini royal orangnya gitu. Dari pada dia diganggu terus kan, lebih baik dia bayar sekaligus, dia nggak mau diganggu lagi
T: Cukup kritis? J: Iya, memang dia orang pintar juga sih. T: Lalu ada juga nggak perusahaan-perusahaan lain yang , sehingga menimbulkan
reaksi para preman? J: Nggak ada sih sekarang perusahaan-perusahaan masih tetap pakai dia, setiap
perusahaan cuman itu doang Starmas doang sudah nggak pakai dia Mas. Karena Starmas juga ada preman kaya knya ngelawan dia kayaknya segan bener gitu, karena bos juga orangnya kayak preman juga sih, berani juga bos itu, karena emang perusahaannya sudah grup keluarga sih, sudah banyak grupnya juga sudah banyak perusahaan itu, kayak macam grup Sinar Laut. Perusahaan keluarga gitu, jadi dia tidak gentar melawan-melawan preman, dia pikir mungkin lebih baik dia ambil dari aparat, dari pada preman kan gitu. Tapi alhamdulillah sekarang sudah nggak ada masalah sih Mas di tempat saya itu. Dulu Mas setiap sebelum ada jatah setiap perusahaan sama preman-preman ditimpukin
T: Oh gitu. J: Iya ditimpukin waktu dulu Jayamik itukan, pingin dapat jatah nggak dikasih
jatah kan, ditimpukin, akhirnya keluar juga satu bulannya 600 ribu, sekarang saja Jayamiknya sudah pindah.
T: Ditimpukin pakai batu?
J: Pakai batu sama orang-orang preman ini (tertawa), lucu juga. Akhirnya kan mungkin perusahaan pingin amankan, akhirnya diambil juga, ya satpamnya diambil kan gitu, orang pribumi itu sama orang luar separuh, orang pribumi ya orang preman juga dapat jatah. Padahal kalau kita imbang-imbangan ya gaji satu bulan buat preman itu satu bulan gaji security. Taruhnya 800 kan sudah gaji security satu bulan Mas. Kalau saya pikir 800 ribu kalau misalkan dibagi satu grup sarang berapa duit kan gitu. Sering berkaitan sih Mas, premannya, aparatnya, ya berkaitan. Yang saya bilang berkaitan ya itu, mungkin saling membantu dari jatahnya doang apa gimana juga saya nggak itu. Karena saya pikir setiap bulan gitu, wah orang sibuklah ngambilin jatah kesetiap perusahaan ke KMK ngambil satu juta bagi, ngambil dari – dulu Starmas 800 ribu ngambil starmas, tanda tangan bagi tujuh, bagi enam, begitu sajakan. Baiksan, ntar ngangkat barangnya kan, yang ngangkat barangnya juga kan, ya dia bilang kalau dijual sama orang-orang sini kan. Ya orang preman pasti minta jatah juga sama yang beli.
T: Oh, gitu. J: Jadi kan si bosnya itu, ya beli misalkan, ya tetap komisi, jatah. T: Yang beli dari luar? J: Ya tetangga-tetangganya juga sih, kayak orang Bojong, orang Balai Raja,
orang Cimone, apa mungkin orang mana saja, tetap harus ada jatah dia itu. Kalau kasarnya yang punya wilayahlah, kan gitu, yang punya wilayahlah, “tolong nih yang punya wilayah” gitu, tahu yang punya wilayahnya siapa nggak tahu. Itulah, kadang orang mengatasnamakan wilayah kan gitu, mengatasnamakan pribumi, mengatasnamakan masyarakat, duitnya dimakan sama dia. Bahkan di sini saja satu bulan saja jatah masyarakat saja 500 ribu Mas di Stenly
T: Di Stenly? J: Di Stenly itu, preman saja satu juta. T: Preman satu juta? J: Satu juta. T: Masyarakat sendiri lagi itu? J: Masyarakat lain. Nah kalau masyarakat yang 500 memang dibagikan perorang
10 ribu, saya juga dapat satu bulan 10 ribu dari Stenly. Yang ngangkat limbahnya saja juga ngasih komisi satu juta, Haji Lan ini, yang dulu di
T: Ngasih ke masyarakat? J: Bukan, ke kelompok preman ini ya, kelompok tujuh ini ya 500, ke kelompok,
ke RT, 500. Nah RT sebenarnya mengatasnamakan buat masyarakat, jadi ke mushollah, apa mungkin pengajian, apa mungkin yang sekiranya tidak mampu, padahal duitnya itu kagak ada sama sekali. Cuman mengatasmanakan masyarakat saja Mas, sebenarnya duitnya itu nggak, nggak ini, nggak dibagi. Dalam jangka berapa tahun di sini selama Stanley berdiri. Saya masih tahu karena saya juga.
T: Kalau masyarakat itu melalui RT? J: Melalui RT T: Nggak langsung? J: Nggak. Kadang ada perwakilan, kalau misalkan jatah uang bising kan ada jatah
uang bising sama jatah masyarakat lain, Mas. Yang punya wilayah kayak
macam RT di sini sama Jaro berperan RT dari pada Jaro, padahal kalau misalkan dari kedudukan lebih tinggi Jaro dari pada RT. Tapi yang di sini berperan itu RT Mas, setiap ke mana-mana itu RT yang ngambil jatah, setiap perusahaan. Nah, uang bising itu, RT kadang-kadang yang ngambil
T: Uang bising lain lagi? J: Uang berisik, kan gitu. Namanya pabrik ada yang berisik segala apalah, kan
mungkin dari air segala serba kekurangan, kan orang perusahaan pakai air kan banyak gitu
T: Itu ditarikin juga? J: Itu cuman yang ada itu duit itu doang, kalau misalkan uang jatah masyarakat
itu sebenarnya dari yang ngangkat limbah itu. Bukan dari perusahaan, kalau dari perusahaan uang berisiklah, apa uang apalah gitu. Uang bising itu, satu bulan 10 ribu. Saya juga dapat 10 ribu emang, setiap warga-warga yang deket ma 10 ribu, 10 ribu dapat gitu, nggak salah kalau kurang lebihnya itu 500. Yang lebih deket sudah lain gitu, kalau yang paling deket 20 ribu, yang agak jauh 10 ribu, kalau yang jauh lagi lima ribu (tertawa) gitu bervariasi juga gitu. Tapi yang ngambilnya ma nggak tahu mungkin apa 20 apa 50 ya nggak tahu, dia yang bagikan kok, gitu.
T: Itu jatah setiap pabrik? J: Nggak, cuman Stanley doang. T: Stanley? J: Heem. Kalau setiap pabrik ya preman. T: Nggak, nggak ada jatah masyarakat? J: Nggak ada jatah masyarakat, kalau Stanley sebenarnya ya baik sih, minta air
ya juga dikasih terus, orang Jepang sih itu. Sebenarnya kalau yang kenyang-kenyang orang preman Mas.
Kaset 3, side A J: Ya, yang paling kenyang itu orang-orang preman. Ya kalau kita ma, tetap aja
masyarakat ya kere-kere juga, kan gitu. Bahkan ada yang pingin kerja juga masyarakat sendiri saja susah. Dia lebih baik mementingkan orang yang lain, orang jauh kan gitu, dari pada ketimbang orang sini pribumi asli gitu, karena dia pikir orang jauh ada duitnya.
T: Oh gitu. J: Iya, orang pribumi sini kan kadang-kadang ngasih duit alakadarnya saja kan,
kadang-kadang “Tolonglah” “Ya, ntar saya bantu”, setiap ada lowongan ma, orang jauh dulu. Kalau kita nanya belum ada, belum ada, kata dia belum ada “Tolong nih, gimana?” “Belum ada, ntar aja, ntar aja” Setiap ada lowongan ma orang luar, kan gitu. Karena dia pikir lebih ada, lebih baik ada duitnya saja gitu kalau orang luar itu. Kayak macam sinikan, di sini yang berani-berani orang itu orang-orang Kresek sini Mas, orang-orang dari Balaraja, Balaraja lewat itu. Itu berani itu, dia paling itu ada calonya juga. Kadang-kadang dia kirim satu mobil itu ada 10 orang, 12 orang, mintain satu orangnya ada yang 500, ada yang satu juta, masukin ke pabrik mana macam KMK. Sekarang di sini yang percaloan, yang saya ketahui yang sekarang ini gencar-gencarnya KMK sama Panah Forest. Yang masih bisa diloby sama orang-orang preman gitu Mas, lainnya
sudah susah kayak Starmas sudah susah nggak bisa diapa -apain sama dia, nggak bisa digoyang gitu. KMK saja sekali orang masukin 10 orang ya itu orang-orang preman. Sekarang begini saja, saya berani taruhan Mas. Orang sendiri orang yang belum berpengalaman, mau masukin lamaran ke setiap perusahaan walaupun di situ ada perusahaan menerima karyawan nggak mungkin ada diterima.
T: Diterima? J: Diterima. Di situlah, mungkin Mas kalau ini coba saja sendiri ngelamar,
mungkin setiap ada lowongan lamar sendiri, masukin tanpa ada orang tertentu yang ini, nggak mungkin masuk Mas, saya berani bertaruh itu.
T: Harus melalui calo itu? J: Harus orang-orang yang tertentu yang sekira-kiranya, ya bisa memasuki orang
itulah kan gitu, calo-calo itu, kalau nggak calo. Kadang-kadang perusahaan juga saya bingung gitu, kalau setiap penerimaan itu, kadang-kadang ya sistimnya family, sistimnya kan kadang-kadang ya orang dalamnya sendiri yang bawa kan gitu, kadang-kadang ya orang preman itulah kadang-kadang ngotot pingin dimasukin. Misalkan dia punya saudaralah, apa mungkin pribumilah. Minta 10 orang, ya pribuminya paling empat, yang orang luarnya enam. Maka setiap ada lowongan pasti dikerumunin orang yang pingin kerja. Kemarin-kemarin kan SPOTEC pabrik sepatu. Waduh, calonya sudah kenyang saja itu
T: Tujuh orang ini hanya khusus di kawasan sini saja? J: Iya, kawasan sini saja. Kalau kawasan satu lagi yang sono kawasan satu, lain
lagi calonya ...
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ign. Taat Ujianto
Tempat/Tanggal Lahir : Purworejo, 22 April 1978
Alamat : Villa Mutiara Bogor 2, RT 04/012, Desa Waringin
Jaya, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor
Pendidikan : 1. Tamat SD tahun 1990
2. Tamat SMP tahun 1993
3. Tamat SMA tahun 1997
Pengalaman Bekerja : a. Giro/Klerk Bank Umum Servitia (BUS) tahun
1997-1999
b. Koordinator Program di Lembaga Tim Relawan
untuk Kemanusiaan (TRK) tahun 1998-2005
c. Tenaga Perpustakaan SD Sint Yoseph tahun
2004-2007
d. Tenaga Tata Usaha SMP Sint Joseph tahun 2007
e. Mengajar IPS di SMP Sint Joseph tahun 2007-
2009