perbandingan ritus-ritus kelahiran dalam masyarakat jepang

51
PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT BATAK TOBA NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU SKRIPSI Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh: REGINA CLAUDIA M. PANGGABEAN 130708104 DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

DAN MASYARAKAT BATAK TOBA

NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

REGINA CLAUDIA M. PANGGABEAN

130708104

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN

RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN

MASYARAKAT BATAK TOBA”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dalam

segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka

menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan

tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan dan dorongan

dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Uniiversitas Sumatera Utara.

3. Bapak Amin Sihombing S.S, selaku dosen pembimbing I yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan

kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang

telah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi

mahasiswa.

5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang

telah membatu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

6. Kepada Orang tua penulis Ibu Ria V. Sinaga S.E, Msi yang telah memberikan

dukungan moril dan materil selama masa pendidikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakakku dr. Maria Bintang Adriana Panggabean, Happy Mentari

Hilaria Panggabean, A.md dan adikku Gabriel Roito Panggabean yang telah

memberikan semangat dan dukungan yang terbaik untuk menyelesaikan

skripsi ini.

8. Terima kasih juga buat Alfon Kristian Sitepu, S. Kom yang telah memberikan

waktu, tenaga dan motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini,

yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu dalam proses

pengerjaan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku Shintia Mahdalina Lubis, Nur Atika Siregar, Fadillah,

Nurmawati (The Longsor) terima kasih udah jadi keluarga dan sahabat

terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan.

10. Teman-teman seangkatan di Departemen Sastra Jepang USU, terima kasih atas

motivasinya dan sarannya kepada penulis.

11. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi

ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak

bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi

maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan

masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2017

Penulis

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan .......................................................... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................. 8

1.2.4 Kerangka Teori ................................................................ 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.1.5 Tujuan Penelitian ........................................................... 10

1.2.5 Manfaat Penelitian ......................................................... 10

1.6 Metode Penelitian ......................................................................... 11

BAB II SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG

DAN BATAK TOBA

2.1 Sistem Kepercayaan ..................................................................... 12

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang ............. 12

2.1.2 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba ...... 17

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

BAB III RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG

DAN BATAK TOBA

3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang ........................... 24

3.1.1 Ketika Hamil ................................................................. 25

3.1.2 Pada saat Kelahiran ....................................................... 27

3.1.3 Setelah Kelahiran .......................................................... 28

3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba

3.1.1 Ketika Hamil ................................................................. 34

3.1.2 Pada saat Kelahiran ....................................................... 36

3.1.3 Setelah Kelahiran .......................................................... 38

3.3 Persamaan dan Perbedaan Ritus-ritus dalam Perbandingan ......... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ................................................................................... 47

4.2 Saran ............................................................................................. 48

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap bangsa yang ada, masing-masing tentu mempunyai kebudayaan sendiri.

Kebudayaan suatu bangsa itu menunjukkan adanya corak kehidupan bangsa lain, sehingga

kita bisa melihat corak kepribadian dari suatu bangsa. Agama dan kepercayaan berpengaruh

pada kegiatan budaya masyarakat. Budaya terus mengalami perubahan dan penyusuaian diri

untuk mengungkapkan nilai-nilai baru dalam bentuk lama. Kebudayaan yang ada ini tidak

terlepas dari ritus-ritus atau upacara-upacara dalam menjalankan kehidupan, baik dari

kelahiran, pernikahan, kematian, tidak terlepas dari ritual-ritual.

Perjalanan hidup dari satu tahap ke tahap berikutnya oleh Van Gennep dalam bukunya

Les Rites The Passage adalah perubahan manusia dari satu tahap ke tahap lainnya menuju

kedewasaan melalui proses inisiasi. Masyarakat Jepang dalam Les Rites The Passage disebut

dengan Tsuka Girei. Tsuka Girei adalah ritual yang dilakukan dalam lingkaran hidup orang

Jepang. Ini dibagi dalam dua bagian besar yaitu:

- Proses Pendewasaan

- Proses menjadi Dewa

Proses pendewasaan dan proses menjadi dewa melalui upacara-upacara tertentu,

merupakan salah satu bagian dari perjalanan hidup bagi masyarakat Jepang. Bagi masyarakat

Jepang sendiri mulai dari kelahiran sampai kematian selalu diikuti dengan norma-norma atau

adat-istiadat tradisional yang masih dipertahankan.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Dalam Tsuka Girei (柄儀礼) inilah kita dapat melihat bagaimana kelahiran ditengah-

tengah masyarakat Jepang. Ada hal yang unik bisa kita lihat nantinya, hal tersebut

dikarenakan bagi orang Jepang tidak diharuskan memiliki satu agama dan menjalani

hidupnya.

Di Jepang sampai sekarang masih mempercayai legenda-legenda atau ramalan yang

menyangkut kelahiran dan itu dimulai sejak masa kehamilan. Adapun tujuannya adalah untuk

memohon kepada dewa. Permohonan agar di berikan keturunan bagi pasangan suami istri

muda, diucapkan oleh beberapa temannya pada saat pidato ucapan selamat yang dilakukan

ketika resepsi pernikahan. Ini merupakan pemandangan yang disebut sebagai perayaan

persiapan (Yoiwai) bagi kelahiran dan kehamilan. Tetapi tidak sedikit juga yang sulit hamil.

Pada zaman ketika melahirkan keturunan sebagai satu-satunya cara bagi seorang

mempelai perempuan mendapat kedudukan yang stabil dalam keluarga, seorang mempelai

perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan, akan terus menerus berdoa kepada para

dewa Budha, atau meminta bantuan secara magis. Mereka melakukan berbagai cara misalnya

masuk ke kolam air panas yang dipercaya dapat melancarkan memiliki anak, bahkan naik ke

pohon keramat. Atau menyimpan jerami dari tempat melahirkan, makan beras untuk

melahirkan, dan menimang-nimang bayi agar mendapat berkah dari orang yang sudah

melahirkan.

Pada kehamilan bulan ke-5 dirayakan perayaan yang dikenal dengan Obi Iwai (ibu

mulai menggunakan Iwata Obi (Iwata Sash). Seperti anjing yang di percayai mudah

melahirkan, perayaan ini dilakukan pada hari anjing sesuai dengan tanda 12 zodiak. Bidan

mulai membantu “Sash” pada hari itu biasanya suami menjadi koki pada perayaan tersebut.

Ada berbagai legenda kepercayaan yang dikaitkan dengan kehamilan. Ada beberapa

jenis makanan yang tabu berdasarkan bentuk dan kualitas makanan tersebut. Contohnya, jika

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

ibu mengandung makan 2 porsi kastanye atau makan lobak dengan garpu, maka ia akan

mendapat anak kembar, memakan daging kelinci atau minum teh langsung dari ceret akan

menyebabkan bibir sumbing. Jika memakai jelli akan menyebabkan bayi lahir dengan

penyakit lupus. Seorang ibu yang mengandung bayi perempuan akan memiliki raut wajah

yang lembut, sedangkan yang mengandung bayi laki-laki akan memiliki raut wajah yang

tegas, jika janin berada disamping kiri akan melahirkan bayi laki-laki, jika janin berada

disamping kanan akan melahirkan bayi perempuan.

Tempat persalinan di Jepang ada bermacam-macam. Tetapi tempat persalinan dulu

dan sekarang telah mengalami perubahan tempat, melahirkan di Jepang nampak sekali pada

50 tahun belakangan ini. Sekarang tempat melahirkan bukan lagi di Ubuya, karena Ubuya

dipercayai tempat yg tidak bersih untuk wanita yang baru pertama kalinya melahirkan, maka

sudah berubah yaitu di rumah sakit dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir.

Oleh karena itu walaupun seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan,

sudah dapat ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat

melahirkan banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang

Jepang banyak melahirkan di Ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua berubah,

kebanyakan wanita melahirkan dirumah bukan lagi di Ubuya.

Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan bagi wanita. Antara

si ibu yang melahirkan dan si anak yang dilahirkan ada perbedaan situasi. Tetapi keduanya

dianggap sedang melewatkan waktu antara dua dunia.

Pada saat kelahiran dilakukan beberapa upacara/ritus, yakni:

A. Obi Iwai (帯祝い) (acara pemakaian stagen kepada ibu hamil)

B. Shussan Iwai (出産祝い)(acara kelahiran)

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

C. Nazuke Iwai (pemberian nama)

D. Okuizome (お食い初め)(pemberian makan pertama yaitu setelah anak berusia

seratus hari)

E. Hattanjou (初誕生) (ulang tahun pertama)

Dengan dilakukan dan diperingati, ritus-ritus kelahiran tersebut memberikan sebuah

fenomena bahwa kelahiran dianggap sebagai suatu ciri khas dalam sebuah negara yang

memiliki adat-istiadat. Untuk ini sebagai perbandingan penulis menulusuri dengan budaya

Batak Toba, dikarenakan masyarakat Batak Toba sampai saat ini masih melestarikan budaya

kelahiran dalam bermasyarakat. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba selama istri

mengandung berlaku larangan-larangan yang menurut istilah mereka disebut pamali, dan ini

merupakan salah satu dari bagian kehidupan di masyarakat ini.

Nilai budaya Batak Toba yang menjadi sumber sikap perilaku sehari-hari dalam

kehidupannya terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan itu sendiri

sangat erat dengan kelahiran, dan kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara

Vertikal maupun secara Horizontal. Kelahiran menentukan kedudukan seseorang pada sistem

kemasyarakatan Batak Toba. Karena tingginya nilai yang terdapat pada kekerabatan itu maka

Batak Toba memiliki identitas pada marga dan garis keturunan yang disebut Tarombo atau

Silsilah. Semua suku Batak Toba sangat menghargai marga dan silisilahnya. Berdasarkan

marga dan silsilah itulah ditentukan kedudukan seseorang pada kelompok keluarga dan

masyarakatnya yang berkaitan pada Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru,

Manat mardongan tubu) .

Kunjungan pihak hula-hula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka

atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing-

masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak

makanan yang tersedia.

Dalam melakukan ritual-ritual kemanusiaan, dulunya masyarakat Batak Toba tidak

berpatokan pada agama, mereka dulunya memiliki kepercayaan berupa animisme ataupun

dinamisme.

Seiring perkembangan zaman, agama Kristen pada awalnya memasuki kehidupan

Batak Toba, dan sampai agama Islam masuk kedalam kehidupan mereka. Tapi meskipun

demikian, ritual-ritual tersebut masih dilakukan secara adat yang sudah diakui, tanpa

memandang status agama apa yang mereka anut.

Dari kedua perbandingan ritus-ritus kemanusiaan dari Batak Toba dan Jepang

memberikan dua mata perbedaan yang sangat jelas. Maka dari kedua perbedaan budaya ini

penulis memilih topik yang berjudul “Perbandingan Ritus-Ritus Kelahiran dalam

Masyarakat Jepang dan Masyarakat Batak Toba”.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah mengenai keluarga, tentunya kita akan membahas bagaimana anggota

keluarga, unsur-unsur pembentuk keluarga, jenis-jenis keluarga, sistem keluarga, hingga

adat-istiadat yang merupakan warisan yang dilakukan secara turun-menurun.

Menurut Ienaga Saburo (1990:1) dikatakan bahwa sejarah kebudayaan Jepang dimulai

setelah Jepang mengenal adanya tulisan dan ritus-ritus sudah menjadi bagian adat-istiadat

dalam masyarakat Jepang.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Menurut Situmorang, Hamzon (2005:57) mengatakan bahwa “sampai tahun 1960,

kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan dirumah dibantu oleh ibu-ibu tetangga yang

berpengalaman”.

Ucapan sang wanita tua merupakan suatu kiasan yang kira-kira bermakna, bahwa

pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan gembira, lupa segala kesusahan,

tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu menderita sakit dan pahit getir.

Dalam masyarakat Batak Toba ketika hendak mau melahirkan ataupun pada saat

melahirkan banyak dikutip ritual-ritual. Ritual-ritual dalam masyarakat Batak Toba lebih

sederhana dibandingkan ritual kelahiran masyarakat Jepang. Karena itu penulisan skripsi ini

memberikan rangkaian ataupun gambaran perbandingan pada kedua budaya yang beragam ini.

Hingga akhirnya menemukan beberapa batasan permasalahan, sebagai inti dalam penulisan

penelitian ini.

Maka penulis merumuskan masalahnya berupa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang?

2. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba?

3. Bagaimana perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran pada Jepang dan Batak

Toba?

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penulisan proposal ini penulis membatasi ruang lingkup bahasannya agar tidak

terlalu luas, yaitu: ritus-ritus kelahiran bagi kedua kehidupan masyarakat Jepang dan Batak

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Toba, khususnya difokuskan kepada membandingkan antara ritus-ritus kelahiran masyarakat

Jepang dan Batak Toba dalam aspek: Saat hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran.

Oleh karena itu, untuk mendukung pembahasannya, penulis juga akan membahas sistem

kepercayaan dan sistem kekeluargaan antara kedua suku ini. Pandangan akan kekotoran dan

kesucian serta adat-istiadat yang ada pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Dalam hal

kelahiran juga akan dibahas dalam skripsi ini sehingga dapat membandingkan nilai kedua

dalam budaya masyarakat Jepang dan Batak Toba.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku sebagai acuan. Buku-

buku tersebut adalah Ilmu Kejepangan (Situmorang, Hamzon 2006:54) dan Orang Toba

(Simanungkalit, Edward 2015).

Dipahami disini adalah pembahasan mengenai struktural kedua proses antara Batak

Toba dan Jepang. Dan akan dikaji bagaimana ritual sebelum dan sesudah melahirkan. Dan

untuk lebih memberikan perbedaan yang hakiki, maka akan dikaji juga dalam masyarakat

Batak Toba mengenai keberadaan fungsi dari obat-obatan bagi wanita yang akan melahirkan.

1.2.4 Kerangka Teori

Menurut Masahiro Kusonoki kepercayaan masyarakat Jepang adalah Shomin Shoki.

Shomin Shoki menganut kepercayaan dunia suci dan dunia sekuler. Dan kelahiran bagi

masyarakat Jepang dianggap kotor.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Van Gennep dalam bukunya Rites The Passage (1960:50), mengatakan bahwa:

“Dalam hidupnya manusia itu melalui banyak krisis menjadi objek perhatiannya dan amat

ditakutinya. Dalam menghadapi hal tersebut dari mulai lahir, anak-anak, dewasa sampai

meninggal manusia perlu perbuatan-perbuatan dalam bentuk upacara untuk memperteguh

imannya”.

Dalam memahami makna ritus kelahiran ini ada 2 capaian yang ingin penulis capai:

1. Bagaimana ritus kelahiran bagi suku Batak Toba dan Jepang.

2. Dan ritus-ritus melahirkan hingga anak tersebut menjadi dewasa ditengah-tengah

keluarga.

Dalam memecahkan kedua hal diatas, penulis menggunakan pendekatan teori

semiotik dan deskritif. Untuk memecahkan ini penulis hanya menggunakan buku pustaka

yang paling mendasar dari buku yang berjudul Ilmu Kejepangan, Analisi Jepang dan Orang

Toba.

1.1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian melakukan penelitian ini adalah:

1.Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang

2. Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran

Jepang dan Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

1.2.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah:

1. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memahami kehidupan yang

dimulai oleh kelahiran dalam masyarakat Jepang.

2. Selain itu, agar pembaca dapat mengerti mengenai Batak Toba dalam

ritus kelahirannya.

3. Diharapkan untuk kedepannya skripsi ini bisa menjadi sumber data atas

penelitian yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini.

1.6 Metode Penelitian

Dalam memecahkan masalah dibawah ini bersifat deskriptif yakni memberikan

gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan atau gejala dalam kelompok

tertentu. Berdasarkan fakta-fakta yang ada seperti bagaimananya dalam masyarakat Jepang

(Koentjaraningrat, 1980:29).

Buku yang berbahasa asing juga digunakan pada penelitian, jadi menggunakan teknik

terjemahan, dan lagi untuk mendapatkan data-data yang perhubungan dengan judul ini, maka

penulis melakukan pencarian data (survey book) yakni menghimpun data-data ke berbagai

perpustakaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

BAB II

SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

2.1 Sistem Kepercayaan

Kepercayaan merupakan bagian dari ritual hidup. Kepercayaan dapat menjadi

pembatas atau pengenal akan suatu keberadaan masyarakat tersebut, dan kali ini penulis

menguraikan 2 konsep Kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba.

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang

Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan yaitu menyembah banyak Dewa

(Situmorang, Hamzon 2001:28). Dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah dewa sangat

banyak, dikatakan 88.000 atau 880.000 dewa di Jepang. Alasan pemakaian angka delapan

adalah karena dalam bahasa Jepang delapan berarti banyak.

Menurut Robert N. Bellah (1992:81) sistem kepercayaan dalam masyarakat Jepang

mempunyai dua konsep dalam dalam pandangannya mengenai keTuhanan. Yang pertama

adalah Tuhan sebagai suatu jenis identitas yang lebih tinggi dari segala yang ada berfungsi

memilihara, memberikan perlindungan, berkat dan cinta kepada pemeluknya. Contoh ini

mencakup dewa-dewa langit dan bumi yang terdapat dalam kepercayaan Budha dan penganut

aliran kepercayaan konfusius. Sedangkan dalam kepercayaan Shinto dipercayai adanya dewa-

dewa Shinto seperti dewa pelindung wilayah provinsi, desa, dan sebagainya. Dewa pelindung

keluarga termasuk didalamnya para nenek moyang atau leluhur.

Dewa-dewa yang dimaksud diatas secara perlahan-lahan dan tanpa terasa tergeser

posisi atau wujudnya menjadi tokoh-tokoh negara seperti para pemimpin, pahlawan, tokoh-

tokoh masyarakat yang telah berjasa hingga kepada orang tua, yang dalam beberapa hal

diperlakukan secara sakral.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada identitas-identitas ini bercirikan

sikap hormat, memuliakan dan mengagungkan, melakukan pernyataan syukur atas rahmat

dan atas berkat dan perlindungan yang telah diterima dari mereka dan usaha-usaha untuk

membalas semua kebaikan, rahmat, dan perlindungan tersebut.

Konsep dasar yang kedua adalah “Dia atau sesuatu yang merupakan dasar dari sesuatu

yang ada atau inti yang paling dalam dari semua realitas”. Contoh ini adalah konsep Tao

China atau Li dalam pelajaran Neo Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, hati

dan pikiran.

Konsep tentang alam merangkum kedua aspek sikap dan pandangan terhadap Tuhan.

Alam adalah kekuatan pemeliharaan yang penuh kebijakan yang harus dihargai dan

merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk kedalam inti realitas dan

menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah

dari dewa-dewa tersebut dan manusia tetap menyatu dengan keduanya. Manusia adalah

mahluk penerima karunia tak terbatas dari Tuhan, Alam, serta para leluhur dan mahluk yang

tak berdaya tanpa semua karunia tersebut. Dia sekaligus adalah alamiah dan ilahiah. Dia

adalah Mikrikosmos, dimana sifat-sifat yang ada padanya serba ilahi dan adalah

Makroskosmos. Didalam dirinya terkandung hakikat Budha atau Tao atau Nurani (Honshin,

Ryoshin).

Oleh karena itu manusia haruslah selalu menyatu dengan alam, menciptakan suatu

hubungan yang harmonis dengan alam, menjaga, melestarikan alam. Karena alam itu sendiri

juga telah memberikan seluruh kebaikan, limpahan berkat kepada manusia dan kehidupannya.

Oleh karena itu manusia wajib membalas semua kebaikan, dan limpahan berkat tersebut.

Sikap-sikap ini direalisasikan dalam suatu sistem kepercayaan pada masyarakat Jepang yaitu

dengan melakukan ritus-ritus penyembahan terhadap alam, seperti terhadap gunung, sungai,

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

tanah, kesuburan, dan diantaranya semuanya itu, kesuburan merupakan hal yang menjadi

perhatiaan paling utama. Upacara dan doa terhadap kesuburan, selalu menempati urutan

paling penting dalam masyarakat Jepang.

Dalam pandangan tersebut dapat diartikan bahwa konsep beragama bagi masyarakat

Jepang bersifat fungsional, yaitu suatu sistem kepercayaan yang menganggap manusia

memiliki suatu hubungan dengan Tuhan karena hubungan tersebut mendatangkan manfaat

bagi masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa seorang melakukan segala bentuk pemujaan,

berupa ritus-ritus dan menjalankan rangkaian upacara-upacara ritual memiliki tujuan bahwa

upacara-upacara tersebut akan mendatangkan kebaikan kepadanya sebagaimana yang

dilakukannya ketika menjalankan pemujaan atau upacara-upacara tersebut yaitu berupa

permohonan akan berkat, perlindungan, pernyataan, kesuburan dan lain sebagainya sesuai

dengan keperluannya.

Dewa dalam konsep dasar pandangan Shinto, dapat dijelaskan melalui pandangan

seorang teologi Shinto dari abad 14, yang bernama Imbe no Masamichi dalam karyanya

Shidai Kuketsu (1367, dalam Robert N. Bellah, 1992:88) sebagaimana tertulis seperti

dibawah ini:

“Kami istilah Jepang untuk dewa berasal dari kata Kagami (cermin) yang kemudian disingkat

dengan Kami. Pikiran Tuhan seperti cermin, merefleksikan semua yang ada di alam. Dia

bertindak dengan keadilan yang tidak memihak dan tidak menegangkan sedikit pun

kekotoran. Apa yang ada dilangit itu kami, didalam roh itulah Roh dan dalam diri manusia

itulah ketulusan. Jika roh, alam, dan hati manusia, suci dan jernih, maka mereka menjadi

kami”.

Dalam sistem kepercayaan masyarakat Jepang, hal yang selalu ditekankan dalam hal

kepercayaan adalah kewajiban melakukan upacara penyembahan terhadap tokoh negara dan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

kepada dewa keluarga. Hal ini tercermin dalam kutipan Warongo (bunga rampai Jepang)

yang ditulis dalam Robert N. Bellah (1992:88) sebagai berikut:

“Wahai seluruh rakyat yang tinggi dan rendah, yang kaya dan miskin. Sebelum kamu

berdoa pada langit dan bumi ataupun kepada ribuan dewa yang lain, hendaknya kamu

menunjukkan dulu kepatuhan kepada kedua orangtuamu, karena pada merekalah kamu dapat

menentukan semua dewa “dalam” dan “luar”. Jika kamu tidak memperlakukan orangtuamu

didalam (dirumah) dengan sikap patuh dan hormat”.

Dewa/Tuhan dalam hal ini adalah nenek moyang/ leluhur, tokoh-tokoh negara, dewa

wilayah dan sebagainya. Hal ini dapat jelas dilihat dalam pandangan Motoori Norinaga

(1730-1801, dalam Robert N. Bellah, 1991:110-111) yang mengatakan, “Ayah dan Ibu

adalah dewa-dewa kita, anak manusia memelihara dan melakukan pemujaan terhadap

mereka”.

Dari pandangan diatas dapatlah dikatakan bahwa rangkaian kegiatan religius, yang

terpenting dilakukan adalah pemujaan terhadap ayah dan ibu, yang pada akhirnya juga

mencakup pada nenek moyang/leluhur.

Hal ini disebut oleh Nakae Toju dengan istilah “Religi Keluarga” dalam (Robert N.

Bellah, 1992:110). Religi keluarga artinya adalah setiap keluarga melakukan pemujaan

terhadap leluhur mereka dan pada tiap keluarga tentunya mempunyai kuil keluarga/altar

leluhur yatu, satu altar Shinto (Kamidana) dan satu altar Budha (Butsudan). Biasanya pada

altar Budha disimpan barang-barang yang berasal dari leluhur, disamping patung-patung atau

simbol-simbol para dewa. Biasanya diwaktu pagi dan sore hari dilakukan upacara singkat

dengan memberikan persembahan berupa sejumlah makanan dan membakar dupa.

Penghormatan terhadap leluhur ini merupakan cara untuk terus mengingatkan arti suci garis

leluhur dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Hori Ichiro (1968:85) mengatakan agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief

adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang.

Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang Primitif tersebut adalah

agama Pronto Shinto.

Kemudian berdasarkan agama rakyat tersebut agama-agama yang melembaga yang

datang ke Jepang diserap. Dikatakan bahwa inilah kekhususan dalam sistem kepercayan

rakyat Jepang. Yaitu kemampuan menyerap agama-agama luar kedalam agama-agama rakyat.

Agama-agama yang melembaga tersebut adalah Budha, Konfusionis, Kristen dan sebagainya.

Perkembangan agama-agama diluar dari konsep Jepang pada dulunya menciptakan suasana

keberadaan agama yang majemuk disana.

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba

Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa

agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan

sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola. Agama

Kristen Katolik dan Protestan disiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan

misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen (Katolik dan

Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan

Batak Pakpak.

Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta

isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak

Karo). Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di

atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon

(Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut:

• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu

tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam

kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit

atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon

yang menawannya.

• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang

memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan

sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan

tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak

Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat

seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan

kaum kerabat perempuan.

Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih

jodoh. Perkawinan antara orang-orang pariban, yakni perkawinan dengan anak perempuan

dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan

satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara

patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan

berdasarkan satu ayah/sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok

kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap.

Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok

kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.

Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.

• Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.

• Anak boru; suami dan saudara (haha anggi) perempuan kelompok penerima gadis.

• Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan

patrilineal.

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, kata ‘marga’ merupakan istilah antropologi

yang bermakna ‘Kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal

maupun patrilineal’ atau ‘bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra

Selatan).

Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang

seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa

seseorang adalah benar orang Batak.

Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:

Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu

(Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom, Harahap, Hasibuan, Hutabarat,

Hutagalung, Hutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung,

Nababan, Napitulu, Panggabean, Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi,

Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu,

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Peranginangin Bangun, Ginting Manik, Sembiring Galuk, Tarigan, Sinaga Sidahapintu,

Purba Girsang, Rangkuti, dll.

Masyarakat Batak yang menganut sistem kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis

keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang

turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan

kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum

wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh

perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal

pendidikan.

Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-

laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan

kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan

untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada

kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut

Siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak

Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena

berkaitan dengan sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional

kekeluargaan, dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi

biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anaknya dalam pembagian harta

warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari

luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan

kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih

untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung.

Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu,

yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang

mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada

anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun-temurun keluarga. Karena yang berhak

memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang

mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas disana diberikan

pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak

perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian),

warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak

yang masih terkesan Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu

ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun, dan yang paling

banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa

Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lainnya

dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi

meninggalkan kampung halamannya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai

penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun

kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan

oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh

dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian

warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang

yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di

kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti diatas. Beberapa hal

positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki

bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak

akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan

keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah

hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan

terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak

bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang

akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik

dikehidupannya nanti.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

BAB III

RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

Masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan yang majemuk.

Dalam menjalankan kehidupan, banyak dijumpai ritus-ritus atau upacara-upacara yang

berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai tentang tahapan kehidupan

yang telah dicapai oleh seseorang (Van Gennep 1989, dalam Koentjaraningrat, 1980:49).

Ritus-ritus ditujukan untuk merayakan tahap-tahap kehidupan dan perjalanan

seseorang yang berawal dari kelahiran.

3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang

Pada masyarakat Jepang makna kelahiran diperhatikan dan makna kata. Shussan

adalah sebuah kata yang bermakna melahirkan, sedangkan Tanjou adalah yang dilahirkan.

Jadi secara umum makna kelahiran diartikan menjadi “sebuah keadaan yang rawan”,

(Situmorang, Hamzon: 1995:3).

Hal ini dikarenakan adanya pendarahan pada saat persalinan yang mengakibatkan

ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Terlebih lagi pada saat zaman dahulu teknologi

kedokteran belum maju. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan

sepanjang hidup perempuan.

Pada saat persalinan, meskipun si Ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan berada

dalam situasi yang tidak sama, namun keduanya dianggap sedang pada keadaan yang sama

yaitu melewatkan waktu antara dunia sini dan dunia sana. Si anak yang terikat hubungan

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

dengan ibunya melalui tali pusar, pada saat si anak itu lahir, tali pusar tersebut putus dan

kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya.

3.1.1 Ketika Hamil

Pada saat kehamilan 5 bulan diadakan Obi iwai (acara memakai stagen) pada wanita

yang sedang hamil. Ritus Obi Iwai ini bukan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, tetapi

kepada janin yang berusia 5 bulan. Ini merupakan ritus pertama yang dilaksanakan dalam

lingkaran hidup orang Jepang. Ritus ini merupakan kebiasaan yang dilakukan orang Jepang

untuk menyambut kedatangan bayi sebelum ia lahir ke dunia. Janin yang berusia 5 bulan

sudah berbentuk manusia dengan anggota tubuh yang lengkap. Dengan demikian janin

tersebut sudah mulai dapat diterima sebagai anggota yang akan hadir dalam kelompok suatu

masyarakat. Untuk itu, dilakukan penyambutan karena ada rasa suka cita terhadap anggota

baru yang akan lahir.

Obi iwai merupakan salah satu ritus konstitutif karena mengungkapkan hubungan

janin yang merupakan anggota baru yang akan disambut kedatangannya dalam kelompoknya.

Obi iwai merupakan ritus penerimaan dalam tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari

prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada dan dilakukan penyucian dalam

penyambutannya.

Dalam membahas upacara sebelum kelahiran akan dikemukakan hal sebagai berikut:

Keluarga wanita terlebih dahulu mempersiapakan tempat untuk ia melahirkan seperti

biasanya ia melahirkan di rumah ibunya sendiri. Seikat jerami yang keras diletakkan

disamping dan dibelakang ibu yang akan melahirkan, ia disandarkan pada jerami tersebut.

Tali diikatkan pada langit-langit dan wanita menarik tali tersebut untuk menahan dirinya. Jika

suaminya membantunya dari belakang, ini akan dipercayai akan membuat pekerjaan lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

mudah. Disisi lain beberapa percaya bahwa jika seseorang pria berada disekitar kelahiran

bayi, kehadiran pria tersebut diperlukan pada setiap kelahiran wanita tersebut, sebaliknya

pekerjaan wanita tersebut akan lebih sulit akan tetapi suami tinggal jauh untuk tujuan tersebut.

Sebuah dokumen pada periode Heian (abad 11) menyinggung sebuah cara mistis agar

mempercepat proses kelahiran. Ketika kelahiran tampak sulit bagi seorang wanita yang baru

pertama kalinya melahirkan, maka seseorang menjatuhkan bola nasi untuk memperlancar

proses kelahiran. Dibagian tenggara Jepang seorang wanita memiliki kelahiran yang sulit,

maka diberikan lesung untuk menahannya, atau suaminya mengelilingi rumah membawa

lesung atau alat penumbuk, supaya proses kelahiran wanita tersebut dapat berjalan dengan

lancar. Ibu yang mengandung pertama kali dikelilingi 21 ikat jerami dan setelah bayi lahir,

empat ikat dipindahkan setiap hari sampai ia dapat berbaring seperti biasanya pada hari ke 21.

3.1.2 Pada saat kelahiran

Hal-hal yang dilakukan dan yang tabu dilakukan pada saat kelahiran anak pada

masyarakat Jepang yakni:

Setiap kelahiran bayi biasanya dipercayai diberi hadiah untuk Dewa kelahiran

(Ubugumi). Beberapa kebiasaan lokal ruang kelahiran akan ditandai dengan perayaan tali

dengan membuat jerami utuk rumah suci dewa kelahiran tersebut. Tanpa kehadiran Dewa

kelahiran tidak ada kelahiran yang akan mendapatkan tempat untuk melahirkan. Meskipun

kelahiran berada dekat dengan rumahnya, pemilik rumah akan pergi menemui dewa

gunung/pohon kuda. Karena pada saat melahirkan, si Ibu berada dalam keadaaan kotor,

karena itu beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang

di anggap tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Tabu pada saat melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati tempat-tempat

suci seperti Ujigamisama, Kamidana, dan sebagainya. Kemudian api dianggap perantara

pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang dipergunakan untuk memasak makanan ibu

yang sedang melahirkan tidak boleh dipergunakan untuk memasak ditempat lain. Kemudian

bagi ibu yang baru melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu

sementara tidak boleh bekerja diladang atau menangkap ikan .

Biasanya untuk membawa dewa kelahiran disediakan rumah dibelakangnya untuk

beberapa dewa lainnya, yaitu dewa gunung, dewa sapu dan dewa kelahiran. Dewa kelahiran

selalu berada pada saat bayi tersebut lahir. Setelah bayi lahir persembahan dibuat untuk hak

dewa diruang kelahiran yang dibuat dari tumpukan makanan dengan nasi pada talam yang

sama untuk dewa kelahiran, diletakkan Ubu Mesi dan diletakkan batu kecil yang diambil dari

sungai atau tempat keramat, mereka mengatakan ini untuk membuat bayi selalu sehat.

Kebanyakan mereka percaya bahwa batu yang terletak disana merupakan hadiah dari

dewa kelahiran. Dari zaman kuno tali pusatnya dipotong dengan pisau bambu lalu diikat

dengan kain yang berwarna merah dan putih seperti hadiah yang diberikan oleh dewa

kelahiran dan nama ditulis pada kertas dan semua benda tersebut dihanyutkan ke sungai

untuk mendapatkan kebaikan dari dewa kelahiran tersebut.

Bebarapa kebiasaan (adat) menjelaskan bahwa pada saat kelahiran plasenta harus

dibakar dengan tertawa yang disebut dengan “Iya Warai”. Bayi yang baru lahir langsung

dimandikan dan dipakaikan baju berlengan sampai hari ketiga .Setelah itu dia dibungkus

dengan pakaian yang diberikan oleh keluarganya.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

3.1.3 Setelah Kelahiran

Pertama kali bayi memakai baju pada hari ketiga atau kadang pada hari ketujuh setelah

lahir. Bahan yang tepat untuk membuat baju bayi pada saat dia lahir adalah baju yang

diberikan kunyitnya dan dicelupkan kedalam air, ini akan mengusir roh jahat. Sebuah desain

yang disebut Asa-No-Ha (daun rami) sering digunakan untuk baju bayi. Sebuah pola sulam

dengan benang berwarna merah dan putih dijahit baju bayi untuk dipakai ke kuil (tempat

keramat), hal ini disebut Se-ma-mori (jimat belakang) dan dipercayai dapat melindungi bayi

dari roh jahat . Pola berbentuk seekor bangau, kura-kura, Asa-No-Ha dan bunga lonceng cina.

Jika bayi tidak begitu sehat, cara pengobatannya dengan membuat baju bayi yang diberikan

oleh teman-teman dan rekan (sanak famili)

Ini dipercayai dibeberapa desa dewa kelahiran datang dari tempat bayi yang baru lahir pada

hari ketiga dan dikirimkan hadiah untuk ibu yang sedang bersalin ditempat ia melahirkan.

Hari ke tujuh setelah kelahiran disebut Shichiya (malam ke-7),upacara yang tidak

kalah penting untuk kelahiran bayi. Upacara nasional hari yang menentukan untuk pemberian

nama, nama biasanya diberikan oleh orang tua bayi tetapi beberapa kasus dilakukan dengan

menanyakan pada sanak famili, seseorang yang berpengaruh atau seseorang yang memiliki

banyak anak dan terkadang bidan.

Kelahiran pada hari ketiga setelah hari kelahiran disebut Mikka Iwai. Pada hari ketiga

diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili lainnya. Kemudian

orang-orang yang dahulunya melahirkan di Ubuya datang juga untuk melihat dan membantu

memandikan bayi tersebut pada hari ketiga setelah kelahiran, pada hari ketiga ini pula

diadakan Nazuke (pemberian nama) dan pertama kali dipakaikan baju.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Pada hari ketujuh bayi dibawa keluar untuk pertama kalinya. Untuk diberikan

persembahan kepada dewa kelahiran disepanjang dapur, ruang tamu, wc dan juga altar dewa

penjaga keluarga. Dibeberapa daerah, bayi juga dibawa untuk menyebrangi jembatan,

kunjungan tersebut dibuat untuk memohon kepada dewa yang tinggal disana untuk

melindungi bayi. Bayi yang dibawa keluar dari rumah akan dibawa kerumah saudara-

saudaranya untuk diberikan uang yang berbentuk tangkai supaya bayi tersebut di doa’kan

dapat berumur panjang dan dapat kehidupan yang baik dengan keluarganya.

Kebiasaan meletakkan bayi di ayunan keranjang jerami pada hari ke 3 atau ke 7

disebut Tsuguraorizumi. Dilakukan di berbagai tempat diseluruh negeri, ketika bayi tumbuh

besar dan merangkak seseorang tampak menjaganya dengan membawa bayi dibelakang

dengan menggunakan jaket penghangat yang pendek.Ini dilakukan di Nijiwa bayi yang

dirawat oleh ibu asuhnya atau (babysister).

Ketika bayi berumur 7 bulan ,ia dibawa ke kuil Shinto untuk pertama kalinya dan

dikenalkan kepada dewa pelindung di kuil shinto tersebut. Bayi laki-laki dan bayi perempuan

biasanya dibawa pada hari yang berbeda ke kuil shinto, bayi laki-laki biasanya pada hari ke

31 dibawa ke kuil sinto sedangkan perempuan dibawa ke kuil shinto pada hari ke

32.Mungkin karena bayi belum keseluruhannya bersih dari polusi kelahiran pada waktu itu,

pada beberapa tempat bayi diantarkan hanya sampai pintu kuil dan tidak masuk kehalaman

kuil, bayi diletakkan di atas anak tangga kuil tersebut oleh ibunya untuk membuat dewa

kelahiran dapat melihat bayi tersebut.

Dibagian barat Jepang perayaan 100 hari disebut Momeka, Momeka adalah pemberian

kehormatan kepada bayi. Bayi dibawa mengunjungi kuil pada upacara ini dibeberapa daerah,

biasanya untuk pertama kalinya bayi diberi makan untuk setelah mengunjungi kuil tersebut

dengan memakan sebutir nasi yang diberikan oleh anggota keluarganya.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Shussan Iwai adalah acara selamatan yang pertama yang ditunjukan kepada si bayi.

Dimana kedua orangtua si bayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan dan

juga pada tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang

berkunjung dengan membawa bingkisan dan uang sebagai ucapan selamat atas kelahiran.

Zaman dahulu nama bayi diambil dari salah satu huruf, nama bidan yang menolong ia

pada saat melahirkan, atau dari kakek pihak ibu yang melahirkan, atau memohon kepada

orang tua yang dihormati, untuk memberikan nama. Tetapi sekarang kebanyakan ditentukan

langsung oleh orangtua sang bayi. Dulu, nama yang dipilih adalah nama yang memiliki arti

baik.

Nama dan tanggal kelahiran sang bayi ditulis di kertas Jepang (berukuran 25 X 35

cm) dengan menggunakan kuas, lalu ditempelkan di “kamidana” atau di tiang “took no ma”.

Oshichiya ini juga dianggap sebagai akhir dari masa ‘tidak suci’ bagi ibu hamil sudah

melahirkan, sehingga dilakukan pula “pembersihan diri (fujobarai)” dan angkat tempat tidur

(took age) bagi sang ibu.

Bayi laki-laki dianggap tidak suci sampai hari ke-21, dan bayi perempuan hari ke-33.

Ketika masa ‘tidak suci’ ini berakhir, dilakukan upacara berakhirnya masa tidak suci

kelahiran (san’ake no iwai). Mengapa bayi perempuan lebih lama masa tidak suci, karena

ketidaksucian perempuan lebih kuat setelah masa tidak sucinya berakhir, pertama-tama sang

bayi dibawa ke sumur, kamar mandi atau dapur.

Biasanya bagi bayi laki-laki pada hari ke 31/32, dan bayi perempuan pada hari ke

32/33 dilakukan ritual “omiyamari”, yaitu mengunjungi kuil Shinto (jinja) diwilayahnya.

Diantara dewa-dewa yang dipuja dijinja , ada dewa leluhur yang disebut ‘ujigami’, dan dewa

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

wilayah yang disebut ubusuna gami. Kalau ada anak yang lahir disuatu wilayah, maka anak

itu di anggap sebagai anak dari dewa wilayah tersebut.

Ujiko yang baru ini dibawa mengunjungi jinja, untuk pertama kalinya diperkenalkan

kepada ujigami. Dalam ritual ini, biasanya bayi sengaja dibuat menangis didepan dewa.

Setelah 100 hari sejak kelahiran, pada zaman dahulu dijadikan tahapan baru bagi sang bayi,

mulai saat itu bayi mulai memakai kimono yang bewarna putih dan melepaskan kimono

tersebut di hari itu langsung setelah dipakai beberapa menit saja. Makan pertama untuk bayi

yang baru lahir dilaksakan pada acara selamatan 100 hari usia bayi. Nasi dan sayuran di

ambil pakai sumpit, karena si bayi belum bias makan, maka hanya ditirukan dimasukkan

kedalam mulut bayi, acara ini disebut juga dengan hashi hajime, dan sebagainya. Makanan

ditaruh di Ozen (piring besar) yang terdiri dari nasi merah, sup dan laukpauknya. Di

sekeliling ozen tersebut diletakkan batu yang diambil dari sungai dengan maksud supaya gigi

bayi tersebut cepat keras.

Anak laki-laki pada usia 32 hari dan anak perempuan pada usia 33 hari di adakan

hatsumiya mairi, yaitu pertama sekali mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya

mairi ini biasanya bayi digendong oleh neneknya atau yang membantu melahirkan datang ke

kuil.Pada saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut

Inuhariko, yaitu berupa barangbarang mainan si bayi.Pada zaman dahulu inuhariko

mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit yang

datang untuk mengganggu si bayi.

Pada ulang tahun pertama diadakan acara untuk meramal masa depan si bayi. Di

sekitar bayi disediakan penggaris, pinsil dan benda-benda lainnya, maka melalui benda yang

terlebih dahulu diraih si bayi maka diramalkan pekerjaan bayi tersebut.Tetapi ada juga anak

yang disuruh menginjak mochi yang besar, hal ini tergantung dari daerah tempat dimana

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

mereka tinggal. Ada juga pemikiran bahwa apabila ada anak yang sudah bias berjalan

sebelum“hatsu tanjou”, maka besarnya nanti akan meninggalkan rumah. Oleh karena itu,

pada hari “hatsu tanjou” kepada anak seperti ini, dengan sengaja diletakkan mochi yang besar

di punggungnya, agar terjatuh, dan orang dewasa melemparnya dengan mochi yang kecil.

Setelah “hatsu tanjou”, anak dianggap akan menerima roh yang baru disetiap

tahunnya. Walaupun anak sudah berumur 1 tahun.

Akhir-akhir ini kelahiran bayi sangat kurang, oleh karena itu hal ini menjadi masalah yang

sangat serius dalam masyarakat Jepang.Karena apabila tidak ada bayi atau satu keluarga

hanya mempunyai satu orang saja anak, maka kesinambungan IE, terutama dalam masalah

pemujaan leluhur menjadi bermasalah. Karena akan memunculkan roh leluhur yang tidak ada

anggota keluarga yang menyembah. Apabila tidak ada keluarga yang menyembah maka roh

leluhur biasanya menjadi roh kelaparan.

3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba

Kelahiran merupakan awal kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu kelahiran

mendapat perhatian yang amat besar pada Masyarakat Batak Toba. Orang Batak beranggapan

bahwa permulaan yang baik akan membawa hasil yang baik pula. Sebelum bayi lahir ada

beberapa proses dari mulai ketika hamil, pada saat kelahiran, dan setelah kelahiran.

3.2.1 Ketika hamil

Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak

pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani

rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika

tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak

mengandung.

Adapun ritus-ritus yang harus dilakukan adalah:

1. Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh

bulanan).

Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang

usia kandungannya tujuh bulan. Dalam suku batak apabila seorang putra batak

menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang

beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan.

Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka

sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum

kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika

menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak

(membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan

dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan

dalam memberikan semangat.

2. Pemberian Ulos Tondi

Ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang

dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya).

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang

terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian

ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja

mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.

Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan suami istri jangan

dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan

cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya

harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari

akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari

si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan

agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak

yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .

Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso

(dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan

yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian

dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan

daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu

mengarah ke bawah.

3.2.2 Pada saat kelahiran

Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan

lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative

walaupun kelahiran itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya

dengan menuimbulkan suara keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran,

sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.

Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu

sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi

rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak

biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat

wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau

saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari

itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok

kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh

lembar daun sirih.

Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan

kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa

bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang

pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang

berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari

sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak

kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh

mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus

menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi,

yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.

3.2.3 Setelah Kelahiran

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan

seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau

kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga

Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai

rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala

kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak

(membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari

seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam

memberikan semangat .

Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan

selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan

suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang

terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun

menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya

kelahiran.

Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya

diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang

dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang

menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan

yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu

menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si

ibu maupun ayah dari si anak itu.

Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur

dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah

ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit

kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para

kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi

dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk

air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba.

Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air

Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh

leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus

meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya

dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman

dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat

kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi

ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan

kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata

sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak

pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal

kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar

karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak

menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan

mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan

kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada

dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat

dan tidak mudah terserang penyakit.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai

kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan

memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat

walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini

dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat

kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu

sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari

Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah

Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa

adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena

mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas

yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak

bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi

dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan

tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang

terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si

anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.

Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau

Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga

untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah

keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak

perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang)

kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni

ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat

dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka

keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat

(mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti

tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor

babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos

parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen

batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna

yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional

kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna

spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.

Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung

mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga

mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima

kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen

batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere

ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi

kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang

terkandung dalam upacara Paias Rere.

Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada

cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan

untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya

ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern

sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk

menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula

harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya

mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian

ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao

kepada si anak yang lahir itu.

Dugu-dugu: sebuah makanan ciri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari

bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk

mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor

bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus

memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.

3.3 Persamaan dan Perbedaan ritus-ritus dalam perbandingan

Setelah penulis menganalisa kedua perbedaan budaya Jepang dan Batak Toba, bisa

diperhatikan bahwa dalam kebudayaan Jepang konsep keluarga dan budaya ada hal yang

sama dan tentunya ada yang berbeda.

Persamaan:

1. Dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki marga dan

menganut sistem kekerabatan Patrilineal.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

2. Dalam segi kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki

kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini sudah ada sebelum

datangnya agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha) dan masih ada hingga sekarang ini.

3. Dalam ritus kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba juga memiliki

persamaan pada saat kelahiran. Pada masyarakat Jepang dan Batak Toba sang ibu baru

melahirkan sang bayi, sang bayi dipastikan dulu apakah sudah merupakan orang dunia ini

atau masih merupakan mahluk dunia sana.

4. Setelah kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, setelah si bayi lahir

maka diberikan nama, penambalan nama dilakukan setelah si bayi dimandikan, yaitu pada

hari ke-3 bagi masyarakat Jepang dan hari ke-7 bagi masyarakat Batak Toba.

5. Dalam masyarakat Jepang menganut sistem Ie, yakni konsep keluarga tradisional di

Jepang. Konsep ini yang membuat dan menciptakan bahwa kematian tidak berakhir

hubungan keluarga sampai disitu. Artinya dalam konsep Ie ini menjalin hubungan yang sudah

meninggal dan yang hidup. Dan apa yang menjadi harta atau bagian yang ditinggalkan tidak

lantas menjadi perebutan atau pembagian akhir dan sebuah keberlangsungan keluarga, namun

konsep Ie melandasi sebuah konsep bagaimana keluarga itu dapat terus terjalin

kesinambungan dengan baik dan tidak. Sementara dalam masyarakat Batak Toba juga

mengikuti konsep keluarga tradisional.

Perbedaan:

1. Proses dan tata cara ketika hamil pada masyarakat Jepang dan msyarakat Batak

Toba sangat berbeda. Di Jepang pada usia kandungan bulan ke 5 ritus pertama dilakukan

dalam lingkaran hidup orang Jepang, sedangkan di Batak Toba pada usia kandungan bulan ke

7 lah memulai ritus pertama.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

2. Bagi masyarakat Jepang pada saat melahirkan dianggkap kotor sehingga si ibu

beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Sedangkan masyarakat Batak Toba

menganggap kelahiran adalah bertaruh dengan nyawa dan tidak pernah si ibu dibiarkan untuk

hidup berpisah melainkan harus dijaga dan dirawat dengan sebaik mungkin.

3. Hari ketujuh setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang dilakukan berbagai ritus.

Bagi ibu yang melahirkan hari ketujuh ini merupakan suatu tahapan kekotoran telah

terlewatkan. Sementara dalam masyarakat Batak Toba, melahirkan hari ketujuh

mendatangkan kebahagian/sukacita dan tidak ada menganut paham kotor.

4. Pada masyarakat Jepang bayi pertama kali memakai baju pada hari ketiga atau

kadang pada hari ketujuh setelah lahir. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba bayi pertama

kali memakai baju pada saat ia keluar dari perut ibunya, dia langsung dibersihkan dan

dipakaikan baju.

5. Pada masyarakat Jepang di ulang tahun pertama bayi melakukan ramalan masa

depan si bayi. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba ulang tahun pertama merupakan

ucapan syukur kepada Tuhan bertambahnya usia si bayi dan sehat selalu, dan bukan saat

ulang tahun pertama saja mengucapkan rasa syukur tetapi setiap bertambahnya usia

mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan.

Dan perbedaan yang jelas dalam kedua suku bangsa ini hanyalah dalam konsep

kepercayaan dan kekerabatan saja. Namun jika diteliti dari ritus kelahiran masyarakat Jepang

dan Batak Toba memiliki kesamaan. Singkatnya dalam proses kelahiran masyarakat Jepang

dan Batak Toba tidak ada perbedaan yang signifikan hanya perbedaan konsep kepercayaan

dan kekerabatan saja. Setelah memperhatikan perbandingan kedua budaya tersebut, kiranya

kedua perbedaan yang majemuk tersebut menambah refrensi kita dalam memahami sebuah

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

budaya. Tidak paham betul akan suatu budaya membuat kita bisa tidak mengerti bagaimana

keadaan kita saat berhubungan dengan masyarakat yang lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Dalam bahasa Jepang (Les Rites The Passage) disebut dengan Tsuka Girei sedangkan

dalam bahasa Indonesia disebut dengan “daur hidup”. Tsuka Girei adalah perjalanan

kehidupan manusia dari sebelum dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai meninggal, dan

setelah meninggal yang merupakan proses manusia dalam menjalankan kehidupan yang

dilalui dalam bentuk upacara atau ritus-ritus kehidupan.

2. Masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki konsep tersendiri dalam kelahiran. Dalam

pandangan masyarakat Jepang kelahiran merupakan, “dimana roh manusi mempunyai proses

perjalan yang dimulai pada saat manusia lahir hingga manusia itu menjadi dewasa dan

sampai meninggal. Sementara dalam konsep pandangan kelahiran akan masyarakat Batak

Toba adalah awal kehidupan di dunia baru.

3. Dalam masyarakat Jepang kelahiran dianggap paling kotor, maka untuk itu diadakan ritus-

ritus yang diadakan untuk membersihkan hal yang dianggap kotor. Sementara dalam

masyarakat Batak Toba kekotoran tidak ada terdapat. Dan bagi masyarakat Batak kelahiran

dianggap sebagai awal kehidupan.

4. Ketika hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang

didominasi dengan ritual agama Budha, meski mereka bukan penganut paham Budha.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Sementara pada masyarakat Batak Toba, saat itu paham yang menjadi dasar kepercayaan

mereka adalah kepercayaan animisme, dan berpatokan pada ritual yang sudah dipercaya.

4.2 Saran

Setelah penulis meneliti kajian akan kelahiran terhadap masyarakat Jepang dan Batak

Toba, yang bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan, bahwa perlu bagi kita untuk selalu

memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional untuk menjadi suatu sudut pandang positif

dalam memahami budaya yang berbeda. Sehingga nilai-nilai positif dalam ritus-ritus

kelahiran dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba dapat menjadi pedoman dalam hidup.

Upacara kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki keunikan

tersendiri, maka sebaiknya kebudayaan ini lebih dipulikasikan dengan masyarakat luas untuk

lebih mengenal kebudayaan Jepang dan Batak Toba.

Pelestarian budaya leluhur penting dilaksanakan agar generasi pada masa yang akan

datang tetap mempertahankan tradisi positif yang telah ada sebelumnya. Dan tentunya bisa

menambah wawasan bagi pembelajar bahasa Jepang mengenai perbandingan kedua budaya

yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

DAFTAR PUSTAKA

Ariga, Kizaemon. 1980. Ie to kazoku. Japan: Miraishu

Browles, G. 1983. Japanese People. Japan: Evergreen Course Encyplodia

Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang. Jakarta: PT. Pustaka Grafika Utama

Elliot, Marbel. A. And Merril, Francis E. 1961. Social Disorganization. New

York: Harpesh and Brother Publisher

Fukutake, Tadashi. 1988. Mayarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT. Gramedia

Hamzon. 1995. Ilmu Kejepangan. Medan: USU

, 2000. Telaah Pranata Mayarakat Jepang I. Medan: USU

, 2001. Penyembahan Leluhur dalam Masyarakat Jepang, Jurnal ainiah

Sastra OASIS. Medan: USU

, 2005. Ilmu Kejepangan. Medan: USU

, 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: USU

Hori, Ichiro. 1968. Folk Religion In Japan, Continuity and Change. Chicago: The

University of Chicago Press

Ienaga, Saburo. 1990. Nihon Bunkaishi. Tokyo: Shinsho

Jamashii, Guppu. 1998. Nihongo Bunkei Jiten. Tokyo: Kuroshiopublisher

Saito, Syuuichi.1981. Nihonjin no Isee. Japan: Nihon go Kyokai Gakka Soerjana

Simanjuntak, Sophar. 2015. Folklor Batak Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia

Simanungkalit, Edward. 2015. Orang Toba. Sidikalang

Soekanto. 1968. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press

Tashiro, Saburo. 1970. Kokosei. Tokyo: Iwanami

Van Gennep, Arnold. 1960. The Rites Of Passage. Chicago: Chicago University

Yoshimoto, Inobu. 1965. Forthy Year of Naikan. Tokyo: Shunjuusha

Universitas Sumatera Utara

Page 49: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Yunus, 1985. Manusia dan Religi. Jakarta: Gramedia

http://habatakon01.blogspot.com/2013/05/suku-bangsa-batak-dan-konsep-kebudayaan.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak

https://putrisr.wordpress.com/2012/10/14/kebudayaan batak toba

http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian-warisan-dalam-adat-batak-toba/

Universitas Sumatera Utara

Page 50: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

ABSTRAK

Upacara kelahiran adalah tahapan upacara yang dilakukan oleh suatu etnis agar ibu

serta anak yang dilahirkan dapat selamat. Upacara ini dilakukan sesuai dengan keyakinan

masyarakat. Upacara kelahiran sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan. Masyarakat

Jepang adalah masyarakat yang menyembah banyak dewa. Dewa-dewa tersebut adalah roh

tokoh-tokoh negara, tokoh-tokoh masyarakat dan juga nenek moyang. Dalam hal ini

dilakukan peenyembahan dan adanya sesajen yang disiapkan.

Secara garis besar kelahiran masyarakat Jepang dan mayarakat Batak Toba dibagi atas

tiga tahapan, yaitu: ritus-ritus ketika hamil, ritus-ritus pada saat kelahiran, ritus-ritus setelah

kelahiran. Ada beberapa persamaan dan perbedaan pada ritus-ritus kelahiran ini.

Dalam hal ini, Batak Toba sudah terdapat beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik

dan Protestan). Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini

beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Debata Mulajadi Na Bolon adalah

Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaan-Nya

terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba).

Adapun persamaannya adalah Jepang dan Batak Toba memiliki marga dan menganut

sistem kekerabatan patrilineal. Jepang dan Batak Toba setelah si bayi lahir maka akan

diberikan nama dan penambalan bayi setelah si bayi dimandikan.

Kelahiran sama-sama memiliki ciri khas yang tidak pernah lepas dari proses jalannya

acara tersebut. Yaitu pada saat kehamilan 5 bulan diadakan obi iwai (acara memakai stagen)

pada tradisi masyarakat Jepang dan Mangirdak, Mangganje atau Mambosuri (adat tujuh

bulanan)pada tradisi masyarakat Batak Toba. Adapun perbandingan pada ritus-ritus kelahiran

masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba dalam waktu dan proses kelahirannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Upacara setelah kelahiran yang dilaksanakan oleh masyarakat Jepang ialah: upacara

shussan iwai, upacara nazuke iwai, upacara okuizome, dan upacara hattonjou. Sedangkan

upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba ialah: upacara mangirdak, upacara

pemberian ulos tondi, upacara mengharoani, upacara martutu aek, upacara manggalang esek-

esek, dan upacara mengambit atau marambit.

Dalam upacara setelah kelahiran pada kedua masyarakat itu terlihat ada persamaan-

persamaan yang dibagi menurut jenis-jenis upacara berdasarkan hal-hal yang diperingati atau

dirayakan, unsur-unsur yang mendukung upacara, serta tujuan diadakannya upacara. Selain

itu juga terdapat perbedaan-perbedaan dalam setiap jenis-jenis upacaranya, misalnya

perbedaan waktu pelaksanaan, tata cara, dsb. Persamaan-persamaan itu terjadi karena adanya

sistem pemikiran yang bersifat universal antara masyarakat Jepang dan Batak Toba.

Pemikiran tersebut adalah bahwa dalam lingkaran kehidupan manusia terdapat

tingkat-tingkat kehidupan. Peralihan dari tingkat satu ke tingkat lainnya ditandai dengan

diadakan suatu upacara. Karena masa peralihan tersebut dianggap masa yang penuh bahaya

atau masa krisis, maka upacaranya disebut crisis-rites (upacara waktu krisis).

Universitas Sumatera Utara