perbandingan ritus-ritus kelahiran dalam masyarakat jepang
TRANSCRIPT
PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG
DAN MASYARAKAT BATAK TOBA
NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
REGINA CLAUDIA M. PANGGABEAN
130708104
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN
RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN
MASYARAKAT BATAK TOBA”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dalam
segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka
menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan
tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra
Jepang Uniiversitas Sumatera Utara.
3. Bapak Amin Sihombing S.S, selaku dosen pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan
kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang
telah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa.
5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang
telah membatu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
6. Kepada Orang tua penulis Ibu Ria V. Sinaga S.E, Msi yang telah memberikan
dukungan moril dan materil selama masa pendidikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakakku dr. Maria Bintang Adriana Panggabean, Happy Mentari
Hilaria Panggabean, A.md dan adikku Gabriel Roito Panggabean yang telah
memberikan semangat dan dukungan yang terbaik untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Terima kasih juga buat Alfon Kristian Sitepu, S. Kom yang telah memberikan
waktu, tenaga dan motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini,
yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu dalam proses
pengerjaan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku Shintia Mahdalina Lubis, Nur Atika Siregar, Fadillah,
Nurmawati (The Longsor) terima kasih udah jadi keluarga dan sahabat
terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan.
10. Teman-teman seangkatan di Departemen Sastra Jepang USU, terima kasih atas
motivasinya dan sarannya kepada penulis.
11. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi
ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi
maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.
Medan, Agustus 2017
Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 6
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan .......................................................... 8
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................. 8
1.2.4 Kerangka Teori ................................................................ 9
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.1.5 Tujuan Penelitian ........................................................... 10
1.2.5 Manfaat Penelitian ......................................................... 10
1.6 Metode Penelitian ......................................................................... 11
BAB II SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG
DAN BATAK TOBA
2.1 Sistem Kepercayaan ..................................................................... 12
2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang ............. 12
2.1.2 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba ...... 17
Universitas Sumatera Utara
BAB III RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG
DAN BATAK TOBA
3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang ........................... 24
3.1.1 Ketika Hamil ................................................................. 25
3.1.2 Pada saat Kelahiran ....................................................... 27
3.1.3 Setelah Kelahiran .......................................................... 28
3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba
3.1.1 Ketika Hamil ................................................................. 34
3.1.2 Pada saat Kelahiran ....................................................... 36
3.1.3 Setelah Kelahiran .......................................................... 38
3.3 Persamaan dan Perbedaan Ritus-ritus dalam Perbandingan ......... 43
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ................................................................................... 47
4.2 Saran ............................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap bangsa yang ada, masing-masing tentu mempunyai kebudayaan sendiri.
Kebudayaan suatu bangsa itu menunjukkan adanya corak kehidupan bangsa lain, sehingga
kita bisa melihat corak kepribadian dari suatu bangsa. Agama dan kepercayaan berpengaruh
pada kegiatan budaya masyarakat. Budaya terus mengalami perubahan dan penyusuaian diri
untuk mengungkapkan nilai-nilai baru dalam bentuk lama. Kebudayaan yang ada ini tidak
terlepas dari ritus-ritus atau upacara-upacara dalam menjalankan kehidupan, baik dari
kelahiran, pernikahan, kematian, tidak terlepas dari ritual-ritual.
Perjalanan hidup dari satu tahap ke tahap berikutnya oleh Van Gennep dalam bukunya
Les Rites The Passage adalah perubahan manusia dari satu tahap ke tahap lainnya menuju
kedewasaan melalui proses inisiasi. Masyarakat Jepang dalam Les Rites The Passage disebut
dengan Tsuka Girei. Tsuka Girei adalah ritual yang dilakukan dalam lingkaran hidup orang
Jepang. Ini dibagi dalam dua bagian besar yaitu:
- Proses Pendewasaan
- Proses menjadi Dewa
Proses pendewasaan dan proses menjadi dewa melalui upacara-upacara tertentu,
merupakan salah satu bagian dari perjalanan hidup bagi masyarakat Jepang. Bagi masyarakat
Jepang sendiri mulai dari kelahiran sampai kematian selalu diikuti dengan norma-norma atau
adat-istiadat tradisional yang masih dipertahankan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Tsuka Girei (柄儀礼) inilah kita dapat melihat bagaimana kelahiran ditengah-
tengah masyarakat Jepang. Ada hal yang unik bisa kita lihat nantinya, hal tersebut
dikarenakan bagi orang Jepang tidak diharuskan memiliki satu agama dan menjalani
hidupnya.
Di Jepang sampai sekarang masih mempercayai legenda-legenda atau ramalan yang
menyangkut kelahiran dan itu dimulai sejak masa kehamilan. Adapun tujuannya adalah untuk
memohon kepada dewa. Permohonan agar di berikan keturunan bagi pasangan suami istri
muda, diucapkan oleh beberapa temannya pada saat pidato ucapan selamat yang dilakukan
ketika resepsi pernikahan. Ini merupakan pemandangan yang disebut sebagai perayaan
persiapan (Yoiwai) bagi kelahiran dan kehamilan. Tetapi tidak sedikit juga yang sulit hamil.
Pada zaman ketika melahirkan keturunan sebagai satu-satunya cara bagi seorang
mempelai perempuan mendapat kedudukan yang stabil dalam keluarga, seorang mempelai
perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan, akan terus menerus berdoa kepada para
dewa Budha, atau meminta bantuan secara magis. Mereka melakukan berbagai cara misalnya
masuk ke kolam air panas yang dipercaya dapat melancarkan memiliki anak, bahkan naik ke
pohon keramat. Atau menyimpan jerami dari tempat melahirkan, makan beras untuk
melahirkan, dan menimang-nimang bayi agar mendapat berkah dari orang yang sudah
melahirkan.
Pada kehamilan bulan ke-5 dirayakan perayaan yang dikenal dengan Obi Iwai (ibu
mulai menggunakan Iwata Obi (Iwata Sash). Seperti anjing yang di percayai mudah
melahirkan, perayaan ini dilakukan pada hari anjing sesuai dengan tanda 12 zodiak. Bidan
mulai membantu “Sash” pada hari itu biasanya suami menjadi koki pada perayaan tersebut.
Ada berbagai legenda kepercayaan yang dikaitkan dengan kehamilan. Ada beberapa
jenis makanan yang tabu berdasarkan bentuk dan kualitas makanan tersebut. Contohnya, jika
Universitas Sumatera Utara
ibu mengandung makan 2 porsi kastanye atau makan lobak dengan garpu, maka ia akan
mendapat anak kembar, memakan daging kelinci atau minum teh langsung dari ceret akan
menyebabkan bibir sumbing. Jika memakai jelli akan menyebabkan bayi lahir dengan
penyakit lupus. Seorang ibu yang mengandung bayi perempuan akan memiliki raut wajah
yang lembut, sedangkan yang mengandung bayi laki-laki akan memiliki raut wajah yang
tegas, jika janin berada disamping kiri akan melahirkan bayi laki-laki, jika janin berada
disamping kanan akan melahirkan bayi perempuan.
Tempat persalinan di Jepang ada bermacam-macam. Tetapi tempat persalinan dulu
dan sekarang telah mengalami perubahan tempat, melahirkan di Jepang nampak sekali pada
50 tahun belakangan ini. Sekarang tempat melahirkan bukan lagi di Ubuya, karena Ubuya
dipercayai tempat yg tidak bersih untuk wanita yang baru pertama kalinya melahirkan, maka
sudah berubah yaitu di rumah sakit dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir.
Oleh karena itu walaupun seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan,
sudah dapat ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat
melahirkan banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang
Jepang banyak melahirkan di Ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua berubah,
kebanyakan wanita melahirkan dirumah bukan lagi di Ubuya.
Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan bagi wanita. Antara
si ibu yang melahirkan dan si anak yang dilahirkan ada perbedaan situasi. Tetapi keduanya
dianggap sedang melewatkan waktu antara dua dunia.
Pada saat kelahiran dilakukan beberapa upacara/ritus, yakni:
A. Obi Iwai (帯祝い) (acara pemakaian stagen kepada ibu hamil)
B. Shussan Iwai (出産祝い)(acara kelahiran)
Universitas Sumatera Utara
C. Nazuke Iwai (pemberian nama)
D. Okuizome (お食い初め)(pemberian makan pertama yaitu setelah anak berusia
seratus hari)
E. Hattanjou (初誕生) (ulang tahun pertama)
Dengan dilakukan dan diperingati, ritus-ritus kelahiran tersebut memberikan sebuah
fenomena bahwa kelahiran dianggap sebagai suatu ciri khas dalam sebuah negara yang
memiliki adat-istiadat. Untuk ini sebagai perbandingan penulis menulusuri dengan budaya
Batak Toba, dikarenakan masyarakat Batak Toba sampai saat ini masih melestarikan budaya
kelahiran dalam bermasyarakat. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba selama istri
mengandung berlaku larangan-larangan yang menurut istilah mereka disebut pamali, dan ini
merupakan salah satu dari bagian kehidupan di masyarakat ini.
Nilai budaya Batak Toba yang menjadi sumber sikap perilaku sehari-hari dalam
kehidupannya terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan itu sendiri
sangat erat dengan kelahiran, dan kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara
Vertikal maupun secara Horizontal. Kelahiran menentukan kedudukan seseorang pada sistem
kemasyarakatan Batak Toba. Karena tingginya nilai yang terdapat pada kekerabatan itu maka
Batak Toba memiliki identitas pada marga dan garis keturunan yang disebut Tarombo atau
Silsilah. Semua suku Batak Toba sangat menghargai marga dan silisilahnya. Berdasarkan
marga dan silsilah itulah ditentukan kedudukan seseorang pada kelompok keluarga dan
masyarakatnya yang berkaitan pada Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru,
Manat mardongan tubu) .
Kunjungan pihak hula-hula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka
atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa
Universitas Sumatera Utara
hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing-
masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak
makanan yang tersedia.
Dalam melakukan ritual-ritual kemanusiaan, dulunya masyarakat Batak Toba tidak
berpatokan pada agama, mereka dulunya memiliki kepercayaan berupa animisme ataupun
dinamisme.
Seiring perkembangan zaman, agama Kristen pada awalnya memasuki kehidupan
Batak Toba, dan sampai agama Islam masuk kedalam kehidupan mereka. Tapi meskipun
demikian, ritual-ritual tersebut masih dilakukan secara adat yang sudah diakui, tanpa
memandang status agama apa yang mereka anut.
Dari kedua perbandingan ritus-ritus kemanusiaan dari Batak Toba dan Jepang
memberikan dua mata perbedaan yang sangat jelas. Maka dari kedua perbedaan budaya ini
penulis memilih topik yang berjudul “Perbandingan Ritus-Ritus Kelahiran dalam
Masyarakat Jepang dan Masyarakat Batak Toba”.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah mengenai keluarga, tentunya kita akan membahas bagaimana anggota
keluarga, unsur-unsur pembentuk keluarga, jenis-jenis keluarga, sistem keluarga, hingga
adat-istiadat yang merupakan warisan yang dilakukan secara turun-menurun.
Menurut Ienaga Saburo (1990:1) dikatakan bahwa sejarah kebudayaan Jepang dimulai
setelah Jepang mengenal adanya tulisan dan ritus-ritus sudah menjadi bagian adat-istiadat
dalam masyarakat Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Situmorang, Hamzon (2005:57) mengatakan bahwa “sampai tahun 1960,
kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan dirumah dibantu oleh ibu-ibu tetangga yang
berpengalaman”.
Ucapan sang wanita tua merupakan suatu kiasan yang kira-kira bermakna, bahwa
pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan gembira, lupa segala kesusahan,
tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu menderita sakit dan pahit getir.
Dalam masyarakat Batak Toba ketika hendak mau melahirkan ataupun pada saat
melahirkan banyak dikutip ritual-ritual. Ritual-ritual dalam masyarakat Batak Toba lebih
sederhana dibandingkan ritual kelahiran masyarakat Jepang. Karena itu penulisan skripsi ini
memberikan rangkaian ataupun gambaran perbandingan pada kedua budaya yang beragam ini.
Hingga akhirnya menemukan beberapa batasan permasalahan, sebagai inti dalam penulisan
penelitian ini.
Maka penulis merumuskan masalahnya berupa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang?
2. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba?
3. Bagaimana perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran pada Jepang dan Batak
Toba?
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Dalam penulisan proposal ini penulis membatasi ruang lingkup bahasannya agar tidak
terlalu luas, yaitu: ritus-ritus kelahiran bagi kedua kehidupan masyarakat Jepang dan Batak
Universitas Sumatera Utara
Toba, khususnya difokuskan kepada membandingkan antara ritus-ritus kelahiran masyarakat
Jepang dan Batak Toba dalam aspek: Saat hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran.
Oleh karena itu, untuk mendukung pembahasannya, penulis juga akan membahas sistem
kepercayaan dan sistem kekeluargaan antara kedua suku ini. Pandangan akan kekotoran dan
kesucian serta adat-istiadat yang ada pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Dalam hal
kelahiran juga akan dibahas dalam skripsi ini sehingga dapat membandingkan nilai kedua
dalam budaya masyarakat Jepang dan Batak Toba.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku sebagai acuan. Buku-
buku tersebut adalah Ilmu Kejepangan (Situmorang, Hamzon 2006:54) dan Orang Toba
(Simanungkalit, Edward 2015).
Dipahami disini adalah pembahasan mengenai struktural kedua proses antara Batak
Toba dan Jepang. Dan akan dikaji bagaimana ritual sebelum dan sesudah melahirkan. Dan
untuk lebih memberikan perbedaan yang hakiki, maka akan dikaji juga dalam masyarakat
Batak Toba mengenai keberadaan fungsi dari obat-obatan bagi wanita yang akan melahirkan.
1.2.4 Kerangka Teori
Menurut Masahiro Kusonoki kepercayaan masyarakat Jepang adalah Shomin Shoki.
Shomin Shoki menganut kepercayaan dunia suci dan dunia sekuler. Dan kelahiran bagi
masyarakat Jepang dianggap kotor.
Universitas Sumatera Utara
Van Gennep dalam bukunya Rites The Passage (1960:50), mengatakan bahwa:
“Dalam hidupnya manusia itu melalui banyak krisis menjadi objek perhatiannya dan amat
ditakutinya. Dalam menghadapi hal tersebut dari mulai lahir, anak-anak, dewasa sampai
meninggal manusia perlu perbuatan-perbuatan dalam bentuk upacara untuk memperteguh
imannya”.
Dalam memahami makna ritus kelahiran ini ada 2 capaian yang ingin penulis capai:
1. Bagaimana ritus kelahiran bagi suku Batak Toba dan Jepang.
2. Dan ritus-ritus melahirkan hingga anak tersebut menjadi dewasa ditengah-tengah
keluarga.
Dalam memecahkan kedua hal diatas, penulis menggunakan pendekatan teori
semiotik dan deskritif. Untuk memecahkan ini penulis hanya menggunakan buku pustaka
yang paling mendasar dari buku yang berjudul Ilmu Kejepangan, Analisi Jepang dan Orang
Toba.
1.1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian melakukan penelitian ini adalah:
1.Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang
2. Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran
Jepang dan Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
1.2.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah:
1. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memahami kehidupan yang
dimulai oleh kelahiran dalam masyarakat Jepang.
2. Selain itu, agar pembaca dapat mengerti mengenai Batak Toba dalam
ritus kelahirannya.
3. Diharapkan untuk kedepannya skripsi ini bisa menjadi sumber data atas
penelitian yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini.
1.6 Metode Penelitian
Dalam memecahkan masalah dibawah ini bersifat deskriptif yakni memberikan
gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan atau gejala dalam kelompok
tertentu. Berdasarkan fakta-fakta yang ada seperti bagaimananya dalam masyarakat Jepang
(Koentjaraningrat, 1980:29).
Buku yang berbahasa asing juga digunakan pada penelitian, jadi menggunakan teknik
terjemahan, dan lagi untuk mendapatkan data-data yang perhubungan dengan judul ini, maka
penulis melakukan pencarian data (survey book) yakni menghimpun data-data ke berbagai
perpustakaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA
2.1 Sistem Kepercayaan
Kepercayaan merupakan bagian dari ritual hidup. Kepercayaan dapat menjadi
pembatas atau pengenal akan suatu keberadaan masyarakat tersebut, dan kali ini penulis
menguraikan 2 konsep Kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba.
2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan yaitu menyembah banyak Dewa
(Situmorang, Hamzon 2001:28). Dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah dewa sangat
banyak, dikatakan 88.000 atau 880.000 dewa di Jepang. Alasan pemakaian angka delapan
adalah karena dalam bahasa Jepang delapan berarti banyak.
Menurut Robert N. Bellah (1992:81) sistem kepercayaan dalam masyarakat Jepang
mempunyai dua konsep dalam dalam pandangannya mengenai keTuhanan. Yang pertama
adalah Tuhan sebagai suatu jenis identitas yang lebih tinggi dari segala yang ada berfungsi
memilihara, memberikan perlindungan, berkat dan cinta kepada pemeluknya. Contoh ini
mencakup dewa-dewa langit dan bumi yang terdapat dalam kepercayaan Budha dan penganut
aliran kepercayaan konfusius. Sedangkan dalam kepercayaan Shinto dipercayai adanya dewa-
dewa Shinto seperti dewa pelindung wilayah provinsi, desa, dan sebagainya. Dewa pelindung
keluarga termasuk didalamnya para nenek moyang atau leluhur.
Dewa-dewa yang dimaksud diatas secara perlahan-lahan dan tanpa terasa tergeser
posisi atau wujudnya menjadi tokoh-tokoh negara seperti para pemimpin, pahlawan, tokoh-
tokoh masyarakat yang telah berjasa hingga kepada orang tua, yang dalam beberapa hal
diperlakukan secara sakral.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada identitas-identitas ini bercirikan
sikap hormat, memuliakan dan mengagungkan, melakukan pernyataan syukur atas rahmat
dan atas berkat dan perlindungan yang telah diterima dari mereka dan usaha-usaha untuk
membalas semua kebaikan, rahmat, dan perlindungan tersebut.
Konsep dasar yang kedua adalah “Dia atau sesuatu yang merupakan dasar dari sesuatu
yang ada atau inti yang paling dalam dari semua realitas”. Contoh ini adalah konsep Tao
China atau Li dalam pelajaran Neo Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, hati
dan pikiran.
Konsep tentang alam merangkum kedua aspek sikap dan pandangan terhadap Tuhan.
Alam adalah kekuatan pemeliharaan yang penuh kebijakan yang harus dihargai dan
merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk kedalam inti realitas dan
menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah
dari dewa-dewa tersebut dan manusia tetap menyatu dengan keduanya. Manusia adalah
mahluk penerima karunia tak terbatas dari Tuhan, Alam, serta para leluhur dan mahluk yang
tak berdaya tanpa semua karunia tersebut. Dia sekaligus adalah alamiah dan ilahiah. Dia
adalah Mikrikosmos, dimana sifat-sifat yang ada padanya serba ilahi dan adalah
Makroskosmos. Didalam dirinya terkandung hakikat Budha atau Tao atau Nurani (Honshin,
Ryoshin).
Oleh karena itu manusia haruslah selalu menyatu dengan alam, menciptakan suatu
hubungan yang harmonis dengan alam, menjaga, melestarikan alam. Karena alam itu sendiri
juga telah memberikan seluruh kebaikan, limpahan berkat kepada manusia dan kehidupannya.
Oleh karena itu manusia wajib membalas semua kebaikan, dan limpahan berkat tersebut.
Sikap-sikap ini direalisasikan dalam suatu sistem kepercayaan pada masyarakat Jepang yaitu
dengan melakukan ritus-ritus penyembahan terhadap alam, seperti terhadap gunung, sungai,
Universitas Sumatera Utara
tanah, kesuburan, dan diantaranya semuanya itu, kesuburan merupakan hal yang menjadi
perhatiaan paling utama. Upacara dan doa terhadap kesuburan, selalu menempati urutan
paling penting dalam masyarakat Jepang.
Dalam pandangan tersebut dapat diartikan bahwa konsep beragama bagi masyarakat
Jepang bersifat fungsional, yaitu suatu sistem kepercayaan yang menganggap manusia
memiliki suatu hubungan dengan Tuhan karena hubungan tersebut mendatangkan manfaat
bagi masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa seorang melakukan segala bentuk pemujaan,
berupa ritus-ritus dan menjalankan rangkaian upacara-upacara ritual memiliki tujuan bahwa
upacara-upacara tersebut akan mendatangkan kebaikan kepadanya sebagaimana yang
dilakukannya ketika menjalankan pemujaan atau upacara-upacara tersebut yaitu berupa
permohonan akan berkat, perlindungan, pernyataan, kesuburan dan lain sebagainya sesuai
dengan keperluannya.
Dewa dalam konsep dasar pandangan Shinto, dapat dijelaskan melalui pandangan
seorang teologi Shinto dari abad 14, yang bernama Imbe no Masamichi dalam karyanya
Shidai Kuketsu (1367, dalam Robert N. Bellah, 1992:88) sebagaimana tertulis seperti
dibawah ini:
“Kami istilah Jepang untuk dewa berasal dari kata Kagami (cermin) yang kemudian disingkat
dengan Kami. Pikiran Tuhan seperti cermin, merefleksikan semua yang ada di alam. Dia
bertindak dengan keadilan yang tidak memihak dan tidak menegangkan sedikit pun
kekotoran. Apa yang ada dilangit itu kami, didalam roh itulah Roh dan dalam diri manusia
itulah ketulusan. Jika roh, alam, dan hati manusia, suci dan jernih, maka mereka menjadi
kami”.
Dalam sistem kepercayaan masyarakat Jepang, hal yang selalu ditekankan dalam hal
kepercayaan adalah kewajiban melakukan upacara penyembahan terhadap tokoh negara dan
Universitas Sumatera Utara
kepada dewa keluarga. Hal ini tercermin dalam kutipan Warongo (bunga rampai Jepang)
yang ditulis dalam Robert N. Bellah (1992:88) sebagai berikut:
“Wahai seluruh rakyat yang tinggi dan rendah, yang kaya dan miskin. Sebelum kamu
berdoa pada langit dan bumi ataupun kepada ribuan dewa yang lain, hendaknya kamu
menunjukkan dulu kepatuhan kepada kedua orangtuamu, karena pada merekalah kamu dapat
menentukan semua dewa “dalam” dan “luar”. Jika kamu tidak memperlakukan orangtuamu
didalam (dirumah) dengan sikap patuh dan hormat”.
Dewa/Tuhan dalam hal ini adalah nenek moyang/ leluhur, tokoh-tokoh negara, dewa
wilayah dan sebagainya. Hal ini dapat jelas dilihat dalam pandangan Motoori Norinaga
(1730-1801, dalam Robert N. Bellah, 1991:110-111) yang mengatakan, “Ayah dan Ibu
adalah dewa-dewa kita, anak manusia memelihara dan melakukan pemujaan terhadap
mereka”.
Dari pandangan diatas dapatlah dikatakan bahwa rangkaian kegiatan religius, yang
terpenting dilakukan adalah pemujaan terhadap ayah dan ibu, yang pada akhirnya juga
mencakup pada nenek moyang/leluhur.
Hal ini disebut oleh Nakae Toju dengan istilah “Religi Keluarga” dalam (Robert N.
Bellah, 1992:110). Religi keluarga artinya adalah setiap keluarga melakukan pemujaan
terhadap leluhur mereka dan pada tiap keluarga tentunya mempunyai kuil keluarga/altar
leluhur yatu, satu altar Shinto (Kamidana) dan satu altar Budha (Butsudan). Biasanya pada
altar Budha disimpan barang-barang yang berasal dari leluhur, disamping patung-patung atau
simbol-simbol para dewa. Biasanya diwaktu pagi dan sore hari dilakukan upacara singkat
dengan memberikan persembahan berupa sejumlah makanan dan membakar dupa.
Penghormatan terhadap leluhur ini merupakan cara untuk terus mengingatkan arti suci garis
leluhur dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Hori Ichiro (1968:85) mengatakan agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief
adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang.
Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang Primitif tersebut adalah
agama Pronto Shinto.
Kemudian berdasarkan agama rakyat tersebut agama-agama yang melembaga yang
datang ke Jepang diserap. Dikatakan bahwa inilah kekhususan dalam sistem kepercayan
rakyat Jepang. Yaitu kemampuan menyerap agama-agama luar kedalam agama-agama rakyat.
Agama-agama yang melembaga tersebut adalah Budha, Konfusionis, Kristen dan sebagainya.
Perkembangan agama-agama diluar dari konsep Jepang pada dulunya menciptakan suasana
keberadaan agama yang majemuk disana.
2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba
Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa
agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan
sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola. Agama
Kristen Katolik dan Protestan disiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan
misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen (Katolik dan
Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan
Batak Pakpak.
Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta
isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak
Karo). Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di
atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon
(Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).
Universitas Sumatera Utara
Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut:
• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu
tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon
yang menawannya.
• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak
Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat
seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan
kaum kerabat perempuan.
Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih
jodoh. Perkawinan antara orang-orang pariban, yakni perkawinan dengan anak perempuan
dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan
satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.
Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara
patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan
berdasarkan satu ayah/sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok
kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap.
Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok
kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.
Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.
• Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.
• Anak boru; suami dan saudara (haha anggi) perempuan kelompok penerima gadis.
• Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan
patrilineal.
Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, kata ‘marga’ merupakan istilah antropologi
yang bermakna ‘Kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal
maupun patrilineal’ atau ‘bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra
Selatan).
Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang
seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa
seseorang adalah benar orang Batak.
Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:
Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu
(Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom, Harahap, Hasibuan, Hutabarat,
Hutagalung, Hutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung,
Nababan, Napitulu, Panggabean, Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi,
Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu,
Universitas Sumatera Utara
Peranginangin Bangun, Ginting Manik, Sembiring Galuk, Tarigan, Sinaga Sidahapintu,
Purba Girsang, Rangkuti, dll.
Masyarakat Batak yang menganut sistem kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis
keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang
turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan
kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum
wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh
perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal
pendidikan.
Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-
laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan
kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan
untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada
kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut
Siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak
Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena
berkaitan dengan sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional
kekeluargaan, dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi
biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anaknya dalam pembagian harta
warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari
luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan
kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut
Universitas Sumatera Utara
dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih
untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung.
Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu,
yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang
mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada
anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun-temurun keluarga. Karena yang berhak
memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang
mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas disana diberikan
pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak
perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian),
warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak
yang masih terkesan Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu
ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun, dan yang paling
banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa
Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lainnya
dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi
meninggalkan kampung halamannya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai
penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun
kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan
oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh
dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian
warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang
yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di
kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti diatas. Beberapa hal
positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki
bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak
akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan
keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah
hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan
terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak
bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang
akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik
dikehidupannya nanti.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA
Masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan yang majemuk.
Dalam menjalankan kehidupan, banyak dijumpai ritus-ritus atau upacara-upacara yang
berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai tentang tahapan kehidupan
yang telah dicapai oleh seseorang (Van Gennep 1989, dalam Koentjaraningrat, 1980:49).
Ritus-ritus ditujukan untuk merayakan tahap-tahap kehidupan dan perjalanan
seseorang yang berawal dari kelahiran.
3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang
Pada masyarakat Jepang makna kelahiran diperhatikan dan makna kata. Shussan
adalah sebuah kata yang bermakna melahirkan, sedangkan Tanjou adalah yang dilahirkan.
Jadi secara umum makna kelahiran diartikan menjadi “sebuah keadaan yang rawan”,
(Situmorang, Hamzon: 1995:3).
Hal ini dikarenakan adanya pendarahan pada saat persalinan yang mengakibatkan
ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Terlebih lagi pada saat zaman dahulu teknologi
kedokteran belum maju. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan
sepanjang hidup perempuan.
Pada saat persalinan, meskipun si Ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan berada
dalam situasi yang tidak sama, namun keduanya dianggap sedang pada keadaan yang sama
yaitu melewatkan waktu antara dunia sini dan dunia sana. Si anak yang terikat hubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan ibunya melalui tali pusar, pada saat si anak itu lahir, tali pusar tersebut putus dan
kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya.
3.1.1 Ketika Hamil
Pada saat kehamilan 5 bulan diadakan Obi iwai (acara memakai stagen) pada wanita
yang sedang hamil. Ritus Obi Iwai ini bukan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, tetapi
kepada janin yang berusia 5 bulan. Ini merupakan ritus pertama yang dilaksanakan dalam
lingkaran hidup orang Jepang. Ritus ini merupakan kebiasaan yang dilakukan orang Jepang
untuk menyambut kedatangan bayi sebelum ia lahir ke dunia. Janin yang berusia 5 bulan
sudah berbentuk manusia dengan anggota tubuh yang lengkap. Dengan demikian janin
tersebut sudah mulai dapat diterima sebagai anggota yang akan hadir dalam kelompok suatu
masyarakat. Untuk itu, dilakukan penyambutan karena ada rasa suka cita terhadap anggota
baru yang akan lahir.
Obi iwai merupakan salah satu ritus konstitutif karena mengungkapkan hubungan
janin yang merupakan anggota baru yang akan disambut kedatangannya dalam kelompoknya.
Obi iwai merupakan ritus penerimaan dalam tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari
prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada dan dilakukan penyucian dalam
penyambutannya.
Dalam membahas upacara sebelum kelahiran akan dikemukakan hal sebagai berikut:
Keluarga wanita terlebih dahulu mempersiapakan tempat untuk ia melahirkan seperti
biasanya ia melahirkan di rumah ibunya sendiri. Seikat jerami yang keras diletakkan
disamping dan dibelakang ibu yang akan melahirkan, ia disandarkan pada jerami tersebut.
Tali diikatkan pada langit-langit dan wanita menarik tali tersebut untuk menahan dirinya. Jika
suaminya membantunya dari belakang, ini akan dipercayai akan membuat pekerjaan lebih
Universitas Sumatera Utara
mudah. Disisi lain beberapa percaya bahwa jika seseorang pria berada disekitar kelahiran
bayi, kehadiran pria tersebut diperlukan pada setiap kelahiran wanita tersebut, sebaliknya
pekerjaan wanita tersebut akan lebih sulit akan tetapi suami tinggal jauh untuk tujuan tersebut.
Sebuah dokumen pada periode Heian (abad 11) menyinggung sebuah cara mistis agar
mempercepat proses kelahiran. Ketika kelahiran tampak sulit bagi seorang wanita yang baru
pertama kalinya melahirkan, maka seseorang menjatuhkan bola nasi untuk memperlancar
proses kelahiran. Dibagian tenggara Jepang seorang wanita memiliki kelahiran yang sulit,
maka diberikan lesung untuk menahannya, atau suaminya mengelilingi rumah membawa
lesung atau alat penumbuk, supaya proses kelahiran wanita tersebut dapat berjalan dengan
lancar. Ibu yang mengandung pertama kali dikelilingi 21 ikat jerami dan setelah bayi lahir,
empat ikat dipindahkan setiap hari sampai ia dapat berbaring seperti biasanya pada hari ke 21.
3.1.2 Pada saat kelahiran
Hal-hal yang dilakukan dan yang tabu dilakukan pada saat kelahiran anak pada
masyarakat Jepang yakni:
Setiap kelahiran bayi biasanya dipercayai diberi hadiah untuk Dewa kelahiran
(Ubugumi). Beberapa kebiasaan lokal ruang kelahiran akan ditandai dengan perayaan tali
dengan membuat jerami utuk rumah suci dewa kelahiran tersebut. Tanpa kehadiran Dewa
kelahiran tidak ada kelahiran yang akan mendapatkan tempat untuk melahirkan. Meskipun
kelahiran berada dekat dengan rumahnya, pemilik rumah akan pergi menemui dewa
gunung/pohon kuda. Karena pada saat melahirkan, si Ibu berada dalam keadaaan kotor,
karena itu beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang
di anggap tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Tabu pada saat melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati tempat-tempat
suci seperti Ujigamisama, Kamidana, dan sebagainya. Kemudian api dianggap perantara
pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang dipergunakan untuk memasak makanan ibu
yang sedang melahirkan tidak boleh dipergunakan untuk memasak ditempat lain. Kemudian
bagi ibu yang baru melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu
sementara tidak boleh bekerja diladang atau menangkap ikan .
Biasanya untuk membawa dewa kelahiran disediakan rumah dibelakangnya untuk
beberapa dewa lainnya, yaitu dewa gunung, dewa sapu dan dewa kelahiran. Dewa kelahiran
selalu berada pada saat bayi tersebut lahir. Setelah bayi lahir persembahan dibuat untuk hak
dewa diruang kelahiran yang dibuat dari tumpukan makanan dengan nasi pada talam yang
sama untuk dewa kelahiran, diletakkan Ubu Mesi dan diletakkan batu kecil yang diambil dari
sungai atau tempat keramat, mereka mengatakan ini untuk membuat bayi selalu sehat.
Kebanyakan mereka percaya bahwa batu yang terletak disana merupakan hadiah dari
dewa kelahiran. Dari zaman kuno tali pusatnya dipotong dengan pisau bambu lalu diikat
dengan kain yang berwarna merah dan putih seperti hadiah yang diberikan oleh dewa
kelahiran dan nama ditulis pada kertas dan semua benda tersebut dihanyutkan ke sungai
untuk mendapatkan kebaikan dari dewa kelahiran tersebut.
Bebarapa kebiasaan (adat) menjelaskan bahwa pada saat kelahiran plasenta harus
dibakar dengan tertawa yang disebut dengan “Iya Warai”. Bayi yang baru lahir langsung
dimandikan dan dipakaikan baju berlengan sampai hari ketiga .Setelah itu dia dibungkus
dengan pakaian yang diberikan oleh keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
3.1.3 Setelah Kelahiran
Pertama kali bayi memakai baju pada hari ketiga atau kadang pada hari ketujuh setelah
lahir. Bahan yang tepat untuk membuat baju bayi pada saat dia lahir adalah baju yang
diberikan kunyitnya dan dicelupkan kedalam air, ini akan mengusir roh jahat. Sebuah desain
yang disebut Asa-No-Ha (daun rami) sering digunakan untuk baju bayi. Sebuah pola sulam
dengan benang berwarna merah dan putih dijahit baju bayi untuk dipakai ke kuil (tempat
keramat), hal ini disebut Se-ma-mori (jimat belakang) dan dipercayai dapat melindungi bayi
dari roh jahat . Pola berbentuk seekor bangau, kura-kura, Asa-No-Ha dan bunga lonceng cina.
Jika bayi tidak begitu sehat, cara pengobatannya dengan membuat baju bayi yang diberikan
oleh teman-teman dan rekan (sanak famili)
Ini dipercayai dibeberapa desa dewa kelahiran datang dari tempat bayi yang baru lahir pada
hari ketiga dan dikirimkan hadiah untuk ibu yang sedang bersalin ditempat ia melahirkan.
Hari ke tujuh setelah kelahiran disebut Shichiya (malam ke-7),upacara yang tidak
kalah penting untuk kelahiran bayi. Upacara nasional hari yang menentukan untuk pemberian
nama, nama biasanya diberikan oleh orang tua bayi tetapi beberapa kasus dilakukan dengan
menanyakan pada sanak famili, seseorang yang berpengaruh atau seseorang yang memiliki
banyak anak dan terkadang bidan.
Kelahiran pada hari ketiga setelah hari kelahiran disebut Mikka Iwai. Pada hari ketiga
diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili lainnya. Kemudian
orang-orang yang dahulunya melahirkan di Ubuya datang juga untuk melihat dan membantu
memandikan bayi tersebut pada hari ketiga setelah kelahiran, pada hari ketiga ini pula
diadakan Nazuke (pemberian nama) dan pertama kali dipakaikan baju.
Universitas Sumatera Utara
Pada hari ketujuh bayi dibawa keluar untuk pertama kalinya. Untuk diberikan
persembahan kepada dewa kelahiran disepanjang dapur, ruang tamu, wc dan juga altar dewa
penjaga keluarga. Dibeberapa daerah, bayi juga dibawa untuk menyebrangi jembatan,
kunjungan tersebut dibuat untuk memohon kepada dewa yang tinggal disana untuk
melindungi bayi. Bayi yang dibawa keluar dari rumah akan dibawa kerumah saudara-
saudaranya untuk diberikan uang yang berbentuk tangkai supaya bayi tersebut di doa’kan
dapat berumur panjang dan dapat kehidupan yang baik dengan keluarganya.
Kebiasaan meletakkan bayi di ayunan keranjang jerami pada hari ke 3 atau ke 7
disebut Tsuguraorizumi. Dilakukan di berbagai tempat diseluruh negeri, ketika bayi tumbuh
besar dan merangkak seseorang tampak menjaganya dengan membawa bayi dibelakang
dengan menggunakan jaket penghangat yang pendek.Ini dilakukan di Nijiwa bayi yang
dirawat oleh ibu asuhnya atau (babysister).
Ketika bayi berumur 7 bulan ,ia dibawa ke kuil Shinto untuk pertama kalinya dan
dikenalkan kepada dewa pelindung di kuil shinto tersebut. Bayi laki-laki dan bayi perempuan
biasanya dibawa pada hari yang berbeda ke kuil shinto, bayi laki-laki biasanya pada hari ke
31 dibawa ke kuil sinto sedangkan perempuan dibawa ke kuil shinto pada hari ke
32.Mungkin karena bayi belum keseluruhannya bersih dari polusi kelahiran pada waktu itu,
pada beberapa tempat bayi diantarkan hanya sampai pintu kuil dan tidak masuk kehalaman
kuil, bayi diletakkan di atas anak tangga kuil tersebut oleh ibunya untuk membuat dewa
kelahiran dapat melihat bayi tersebut.
Dibagian barat Jepang perayaan 100 hari disebut Momeka, Momeka adalah pemberian
kehormatan kepada bayi. Bayi dibawa mengunjungi kuil pada upacara ini dibeberapa daerah,
biasanya untuk pertama kalinya bayi diberi makan untuk setelah mengunjungi kuil tersebut
dengan memakan sebutir nasi yang diberikan oleh anggota keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Shussan Iwai adalah acara selamatan yang pertama yang ditunjukan kepada si bayi.
Dimana kedua orangtua si bayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan dan
juga pada tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang
berkunjung dengan membawa bingkisan dan uang sebagai ucapan selamat atas kelahiran.
Zaman dahulu nama bayi diambil dari salah satu huruf, nama bidan yang menolong ia
pada saat melahirkan, atau dari kakek pihak ibu yang melahirkan, atau memohon kepada
orang tua yang dihormati, untuk memberikan nama. Tetapi sekarang kebanyakan ditentukan
langsung oleh orangtua sang bayi. Dulu, nama yang dipilih adalah nama yang memiliki arti
baik.
Nama dan tanggal kelahiran sang bayi ditulis di kertas Jepang (berukuran 25 X 35
cm) dengan menggunakan kuas, lalu ditempelkan di “kamidana” atau di tiang “took no ma”.
Oshichiya ini juga dianggap sebagai akhir dari masa ‘tidak suci’ bagi ibu hamil sudah
melahirkan, sehingga dilakukan pula “pembersihan diri (fujobarai)” dan angkat tempat tidur
(took age) bagi sang ibu.
Bayi laki-laki dianggap tidak suci sampai hari ke-21, dan bayi perempuan hari ke-33.
Ketika masa ‘tidak suci’ ini berakhir, dilakukan upacara berakhirnya masa tidak suci
kelahiran (san’ake no iwai). Mengapa bayi perempuan lebih lama masa tidak suci, karena
ketidaksucian perempuan lebih kuat setelah masa tidak sucinya berakhir, pertama-tama sang
bayi dibawa ke sumur, kamar mandi atau dapur.
Biasanya bagi bayi laki-laki pada hari ke 31/32, dan bayi perempuan pada hari ke
32/33 dilakukan ritual “omiyamari”, yaitu mengunjungi kuil Shinto (jinja) diwilayahnya.
Diantara dewa-dewa yang dipuja dijinja , ada dewa leluhur yang disebut ‘ujigami’, dan dewa
Universitas Sumatera Utara
wilayah yang disebut ubusuna gami. Kalau ada anak yang lahir disuatu wilayah, maka anak
itu di anggap sebagai anak dari dewa wilayah tersebut.
Ujiko yang baru ini dibawa mengunjungi jinja, untuk pertama kalinya diperkenalkan
kepada ujigami. Dalam ritual ini, biasanya bayi sengaja dibuat menangis didepan dewa.
Setelah 100 hari sejak kelahiran, pada zaman dahulu dijadikan tahapan baru bagi sang bayi,
mulai saat itu bayi mulai memakai kimono yang bewarna putih dan melepaskan kimono
tersebut di hari itu langsung setelah dipakai beberapa menit saja. Makan pertama untuk bayi
yang baru lahir dilaksakan pada acara selamatan 100 hari usia bayi. Nasi dan sayuran di
ambil pakai sumpit, karena si bayi belum bias makan, maka hanya ditirukan dimasukkan
kedalam mulut bayi, acara ini disebut juga dengan hashi hajime, dan sebagainya. Makanan
ditaruh di Ozen (piring besar) yang terdiri dari nasi merah, sup dan laukpauknya. Di
sekeliling ozen tersebut diletakkan batu yang diambil dari sungai dengan maksud supaya gigi
bayi tersebut cepat keras.
Anak laki-laki pada usia 32 hari dan anak perempuan pada usia 33 hari di adakan
hatsumiya mairi, yaitu pertama sekali mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya
mairi ini biasanya bayi digendong oleh neneknya atau yang membantu melahirkan datang ke
kuil.Pada saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut
Inuhariko, yaitu berupa barangbarang mainan si bayi.Pada zaman dahulu inuhariko
mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit yang
datang untuk mengganggu si bayi.
Pada ulang tahun pertama diadakan acara untuk meramal masa depan si bayi. Di
sekitar bayi disediakan penggaris, pinsil dan benda-benda lainnya, maka melalui benda yang
terlebih dahulu diraih si bayi maka diramalkan pekerjaan bayi tersebut.Tetapi ada juga anak
yang disuruh menginjak mochi yang besar, hal ini tergantung dari daerah tempat dimana
Universitas Sumatera Utara
mereka tinggal. Ada juga pemikiran bahwa apabila ada anak yang sudah bias berjalan
sebelum“hatsu tanjou”, maka besarnya nanti akan meninggalkan rumah. Oleh karena itu,
pada hari “hatsu tanjou” kepada anak seperti ini, dengan sengaja diletakkan mochi yang besar
di punggungnya, agar terjatuh, dan orang dewasa melemparnya dengan mochi yang kecil.
Setelah “hatsu tanjou”, anak dianggap akan menerima roh yang baru disetiap
tahunnya. Walaupun anak sudah berumur 1 tahun.
Akhir-akhir ini kelahiran bayi sangat kurang, oleh karena itu hal ini menjadi masalah yang
sangat serius dalam masyarakat Jepang.Karena apabila tidak ada bayi atau satu keluarga
hanya mempunyai satu orang saja anak, maka kesinambungan IE, terutama dalam masalah
pemujaan leluhur menjadi bermasalah. Karena akan memunculkan roh leluhur yang tidak ada
anggota keluarga yang menyembah. Apabila tidak ada keluarga yang menyembah maka roh
leluhur biasanya menjadi roh kelaparan.
3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba
Kelahiran merupakan awal kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu kelahiran
mendapat perhatian yang amat besar pada Masyarakat Batak Toba. Orang Batak beranggapan
bahwa permulaan yang baik akan membawa hasil yang baik pula. Sebelum bayi lahir ada
beberapa proses dari mulai ketika hamil, pada saat kelahiran, dan setelah kelahiran.
3.2.1 Ketika hamil
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak
pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani
rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan
Universitas Sumatera Utara
munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika
tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak
mengandung.
Adapun ritus-ritus yang harus dilakukan adalah:
1. Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh
bulanan).
Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang
usia kandungannya tujuh bulan. Dalam suku batak apabila seorang putra batak
menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang
beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan.
Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka
sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum
kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika
menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak
(membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan
dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan
dalam memberikan semangat.
2. Pemberian Ulos Tondi
Ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang
dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya).
Universitas Sumatera Utara
Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang
terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian
ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja
mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan suami istri jangan
dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan
cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya
harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari
akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari
si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan
agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso
(dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan
yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian
dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan
daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu
mengarah ke bawah.
3.2.2 Pada saat kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan
lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative
walaupun kelahiran itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya
dengan menuimbulkan suara keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun
Universitas Sumatera Utara
membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran,
sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu
sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi
rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak
biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat
wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau
saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari
itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok
kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh
lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan
kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa
bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang
pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang
berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari
sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak
kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh
mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus
menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi,
yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.
3.2.3 Setelah Kelahiran
Universitas Sumatera Utara
Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan
seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau
kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga
Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai
rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala
kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak
(membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari
seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam
memberikan semangat .
Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan
selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan
suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang
terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun
menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya
kelahiran.
Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang
dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang
menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan
yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu
menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si
ibu maupun ayah dari si anak itu.
Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur
dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta
Universitas Sumatera Utara
Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah
ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit
kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para
kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi
dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk
air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba.
Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air
Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh
leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus
meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya
dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman
dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat
kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi
ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan
kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata
sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak
pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal
kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar
karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak
menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan
mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan
kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada
dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat
dan tidak mudah terserang penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai
kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan
memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat
walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini
dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat
kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu
sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari
Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah
Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa
adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena
mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas
yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak
bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi
dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan
tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang
terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si
anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau
Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga
untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah
keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak
perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang)
kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni
ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat
dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
Universitas Sumatera Utara
Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka
keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat
(mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti
tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor
babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos
parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen
batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna
yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional
kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna
spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung
mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga
mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima
kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen
batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere
ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi
kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang
terkandung dalam upacara Paias Rere.
Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada
cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan
untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya
ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern
sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk
menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk
Universitas Sumatera Utara
mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula
harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya
mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian
ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao
kepada si anak yang lahir itu.
Dugu-dugu: sebuah makanan ciri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari
bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk
mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor
bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus
memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.
3.3 Persamaan dan Perbedaan ritus-ritus dalam perbandingan
Setelah penulis menganalisa kedua perbedaan budaya Jepang dan Batak Toba, bisa
diperhatikan bahwa dalam kebudayaan Jepang konsep keluarga dan budaya ada hal yang
sama dan tentunya ada yang berbeda.
Persamaan:
1. Dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki marga dan
menganut sistem kekerabatan Patrilineal.
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam segi kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki
kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini sudah ada sebelum
datangnya agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha) dan masih ada hingga sekarang ini.
3. Dalam ritus kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba juga memiliki
persamaan pada saat kelahiran. Pada masyarakat Jepang dan Batak Toba sang ibu baru
melahirkan sang bayi, sang bayi dipastikan dulu apakah sudah merupakan orang dunia ini
atau masih merupakan mahluk dunia sana.
4. Setelah kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, setelah si bayi lahir
maka diberikan nama, penambalan nama dilakukan setelah si bayi dimandikan, yaitu pada
hari ke-3 bagi masyarakat Jepang dan hari ke-7 bagi masyarakat Batak Toba.
5. Dalam masyarakat Jepang menganut sistem Ie, yakni konsep keluarga tradisional di
Jepang. Konsep ini yang membuat dan menciptakan bahwa kematian tidak berakhir
hubungan keluarga sampai disitu. Artinya dalam konsep Ie ini menjalin hubungan yang sudah
meninggal dan yang hidup. Dan apa yang menjadi harta atau bagian yang ditinggalkan tidak
lantas menjadi perebutan atau pembagian akhir dan sebuah keberlangsungan keluarga, namun
konsep Ie melandasi sebuah konsep bagaimana keluarga itu dapat terus terjalin
kesinambungan dengan baik dan tidak. Sementara dalam masyarakat Batak Toba juga
mengikuti konsep keluarga tradisional.
Perbedaan:
1. Proses dan tata cara ketika hamil pada masyarakat Jepang dan msyarakat Batak
Toba sangat berbeda. Di Jepang pada usia kandungan bulan ke 5 ritus pertama dilakukan
dalam lingkaran hidup orang Jepang, sedangkan di Batak Toba pada usia kandungan bulan ke
7 lah memulai ritus pertama.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagi masyarakat Jepang pada saat melahirkan dianggkap kotor sehingga si ibu
beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Sedangkan masyarakat Batak Toba
menganggap kelahiran adalah bertaruh dengan nyawa dan tidak pernah si ibu dibiarkan untuk
hidup berpisah melainkan harus dijaga dan dirawat dengan sebaik mungkin.
3. Hari ketujuh setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang dilakukan berbagai ritus.
Bagi ibu yang melahirkan hari ketujuh ini merupakan suatu tahapan kekotoran telah
terlewatkan. Sementara dalam masyarakat Batak Toba, melahirkan hari ketujuh
mendatangkan kebahagian/sukacita dan tidak ada menganut paham kotor.
4. Pada masyarakat Jepang bayi pertama kali memakai baju pada hari ketiga atau
kadang pada hari ketujuh setelah lahir. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba bayi pertama
kali memakai baju pada saat ia keluar dari perut ibunya, dia langsung dibersihkan dan
dipakaikan baju.
5. Pada masyarakat Jepang di ulang tahun pertama bayi melakukan ramalan masa
depan si bayi. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba ulang tahun pertama merupakan
ucapan syukur kepada Tuhan bertambahnya usia si bayi dan sehat selalu, dan bukan saat
ulang tahun pertama saja mengucapkan rasa syukur tetapi setiap bertambahnya usia
mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan.
Dan perbedaan yang jelas dalam kedua suku bangsa ini hanyalah dalam konsep
kepercayaan dan kekerabatan saja. Namun jika diteliti dari ritus kelahiran masyarakat Jepang
dan Batak Toba memiliki kesamaan. Singkatnya dalam proses kelahiran masyarakat Jepang
dan Batak Toba tidak ada perbedaan yang signifikan hanya perbedaan konsep kepercayaan
dan kekerabatan saja. Setelah memperhatikan perbandingan kedua budaya tersebut, kiranya
kedua perbedaan yang majemuk tersebut menambah refrensi kita dalam memahami sebuah
Universitas Sumatera Utara
budaya. Tidak paham betul akan suatu budaya membuat kita bisa tidak mengerti bagaimana
keadaan kita saat berhubungan dengan masyarakat yang lain.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Dalam bahasa Jepang (Les Rites The Passage) disebut dengan Tsuka Girei sedangkan
dalam bahasa Indonesia disebut dengan “daur hidup”. Tsuka Girei adalah perjalanan
kehidupan manusia dari sebelum dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai meninggal, dan
setelah meninggal yang merupakan proses manusia dalam menjalankan kehidupan yang
dilalui dalam bentuk upacara atau ritus-ritus kehidupan.
2. Masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki konsep tersendiri dalam kelahiran. Dalam
pandangan masyarakat Jepang kelahiran merupakan, “dimana roh manusi mempunyai proses
perjalan yang dimulai pada saat manusia lahir hingga manusia itu menjadi dewasa dan
sampai meninggal. Sementara dalam konsep pandangan kelahiran akan masyarakat Batak
Toba adalah awal kehidupan di dunia baru.
3. Dalam masyarakat Jepang kelahiran dianggap paling kotor, maka untuk itu diadakan ritus-
ritus yang diadakan untuk membersihkan hal yang dianggap kotor. Sementara dalam
masyarakat Batak Toba kekotoran tidak ada terdapat. Dan bagi masyarakat Batak kelahiran
dianggap sebagai awal kehidupan.
4. Ketika hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang
didominasi dengan ritual agama Budha, meski mereka bukan penganut paham Budha.
Universitas Sumatera Utara
Sementara pada masyarakat Batak Toba, saat itu paham yang menjadi dasar kepercayaan
mereka adalah kepercayaan animisme, dan berpatokan pada ritual yang sudah dipercaya.
4.2 Saran
Setelah penulis meneliti kajian akan kelahiran terhadap masyarakat Jepang dan Batak
Toba, yang bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan, bahwa perlu bagi kita untuk selalu
memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional untuk menjadi suatu sudut pandang positif
dalam memahami budaya yang berbeda. Sehingga nilai-nilai positif dalam ritus-ritus
kelahiran dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba dapat menjadi pedoman dalam hidup.
Upacara kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki keunikan
tersendiri, maka sebaiknya kebudayaan ini lebih dipulikasikan dengan masyarakat luas untuk
lebih mengenal kebudayaan Jepang dan Batak Toba.
Pelestarian budaya leluhur penting dilaksanakan agar generasi pada masa yang akan
datang tetap mempertahankan tradisi positif yang telah ada sebelumnya. Dan tentunya bisa
menambah wawasan bagi pembelajar bahasa Jepang mengenai perbandingan kedua budaya
yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Ariga, Kizaemon. 1980. Ie to kazoku. Japan: Miraishu
Browles, G. 1983. Japanese People. Japan: Evergreen Course Encyplodia
Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang. Jakarta: PT. Pustaka Grafika Utama
Elliot, Marbel. A. And Merril, Francis E. 1961. Social Disorganization. New
York: Harpesh and Brother Publisher
Fukutake, Tadashi. 1988. Mayarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT. Gramedia
Hamzon. 1995. Ilmu Kejepangan. Medan: USU
, 2000. Telaah Pranata Mayarakat Jepang I. Medan: USU
, 2001. Penyembahan Leluhur dalam Masyarakat Jepang, Jurnal ainiah
Sastra OASIS. Medan: USU
, 2005. Ilmu Kejepangan. Medan: USU
, 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: USU
Hori, Ichiro. 1968. Folk Religion In Japan, Continuity and Change. Chicago: The
University of Chicago Press
Ienaga, Saburo. 1990. Nihon Bunkaishi. Tokyo: Shinsho
Jamashii, Guppu. 1998. Nihongo Bunkei Jiten. Tokyo: Kuroshiopublisher
Saito, Syuuichi.1981. Nihonjin no Isee. Japan: Nihon go Kyokai Gakka Soerjana
Simanjuntak, Sophar. 2015. Folklor Batak Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Simanungkalit, Edward. 2015. Orang Toba. Sidikalang
Soekanto. 1968. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press
Tashiro, Saburo. 1970. Kokosei. Tokyo: Iwanami
Van Gennep, Arnold. 1960. The Rites Of Passage. Chicago: Chicago University
Yoshimoto, Inobu. 1965. Forthy Year of Naikan. Tokyo: Shunjuusha
Universitas Sumatera Utara
Yunus, 1985. Manusia dan Religi. Jakarta: Gramedia
http://habatakon01.blogspot.com/2013/05/suku-bangsa-batak-dan-konsep-kebudayaan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak
https://putrisr.wordpress.com/2012/10/14/kebudayaan batak toba
http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian-warisan-dalam-adat-batak-toba/
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Upacara kelahiran adalah tahapan upacara yang dilakukan oleh suatu etnis agar ibu
serta anak yang dilahirkan dapat selamat. Upacara ini dilakukan sesuai dengan keyakinan
masyarakat. Upacara kelahiran sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan. Masyarakat
Jepang adalah masyarakat yang menyembah banyak dewa. Dewa-dewa tersebut adalah roh
tokoh-tokoh negara, tokoh-tokoh masyarakat dan juga nenek moyang. Dalam hal ini
dilakukan peenyembahan dan adanya sesajen yang disiapkan.
Secara garis besar kelahiran masyarakat Jepang dan mayarakat Batak Toba dibagi atas
tiga tahapan, yaitu: ritus-ritus ketika hamil, ritus-ritus pada saat kelahiran, ritus-ritus setelah
kelahiran. Ada beberapa persamaan dan perbedaan pada ritus-ritus kelahiran ini.
Dalam hal ini, Batak Toba sudah terdapat beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik
dan Protestan). Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini
beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Debata Mulajadi Na Bolon adalah
Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaan-Nya
terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba).
Adapun persamaannya adalah Jepang dan Batak Toba memiliki marga dan menganut
sistem kekerabatan patrilineal. Jepang dan Batak Toba setelah si bayi lahir maka akan
diberikan nama dan penambalan bayi setelah si bayi dimandikan.
Kelahiran sama-sama memiliki ciri khas yang tidak pernah lepas dari proses jalannya
acara tersebut. Yaitu pada saat kehamilan 5 bulan diadakan obi iwai (acara memakai stagen)
pada tradisi masyarakat Jepang dan Mangirdak, Mangganje atau Mambosuri (adat tujuh
bulanan)pada tradisi masyarakat Batak Toba. Adapun perbandingan pada ritus-ritus kelahiran
masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba dalam waktu dan proses kelahirannya.
Universitas Sumatera Utara
Upacara setelah kelahiran yang dilaksanakan oleh masyarakat Jepang ialah: upacara
shussan iwai, upacara nazuke iwai, upacara okuizome, dan upacara hattonjou. Sedangkan
upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba ialah: upacara mangirdak, upacara
pemberian ulos tondi, upacara mengharoani, upacara martutu aek, upacara manggalang esek-
esek, dan upacara mengambit atau marambit.
Dalam upacara setelah kelahiran pada kedua masyarakat itu terlihat ada persamaan-
persamaan yang dibagi menurut jenis-jenis upacara berdasarkan hal-hal yang diperingati atau
dirayakan, unsur-unsur yang mendukung upacara, serta tujuan diadakannya upacara. Selain
itu juga terdapat perbedaan-perbedaan dalam setiap jenis-jenis upacaranya, misalnya
perbedaan waktu pelaksanaan, tata cara, dsb. Persamaan-persamaan itu terjadi karena adanya
sistem pemikiran yang bersifat universal antara masyarakat Jepang dan Batak Toba.
Pemikiran tersebut adalah bahwa dalam lingkaran kehidupan manusia terdapat
tingkat-tingkat kehidupan. Peralihan dari tingkat satu ke tingkat lainnya ditandai dengan
diadakan suatu upacara. Karena masa peralihan tersebut dianggap masa yang penuh bahaya
atau masa krisis, maka upacaranya disebut crisis-rites (upacara waktu krisis).
Universitas Sumatera Utara