perbandingan sistem hukum kepailitan antara indonesia dengan amerika serikat
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap
perkembangan hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk dalam
bukunya menyebutkan, globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan
negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan
bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju (Convergency).1
Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian global,
Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun
bagaimanapun tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi
Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari Badan-badan dunia seperti WTO,
IMF dan World Bank.
Salah satu bidang hukum ekonomi yang mengalami revisi adalah hukum
kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan Belanda yang notabenenya
bercorak sistem hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam bidang
hukum ekonomi terdapat pengaruh-pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum
Anglo Saxon.
Perkembangan hukum positif di Indonesia senantiasa sarat dengan
terjadinya proses impor sistem hukum sejak zaman penjajahan, kemerdekaan,
hingga era globalisasi yang terjadi saat ini. Setidaknya ditandai oleh
berkembangnya tradisi hukum Eropa di Indonesia sampai saat ini. Sementara
tumbuh desakan untuk mengakomodasi nilai dan norma-norma lokal maupun
pengaruh hukum yang berkarakter common law (Anglo- American Law) tidak
dapat dinafikkan.
Saat ini di dunia berkembang lima sistem hukum yaitu:
1. Civil Law System
2. Common Law System
1 Erman Radjagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No.II Vol 6, Halaman 114.
2
3. Islamic Law
4. Socialisme Law
5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat.
Ketentuan pembagian sistem hukum yang hampir sama dikemukakan oleh
Ediwarman yang menyebutkan klasifikasi sistem hukum di dunia atau keluarga
hukum (legal families) yang terdiri atas:
1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (civil law system)
2. Sistem Anglo – American (common law system)
3. Sistem Timur Tengah (mid east system).
4. Sistem Timur Jauh (far east system).
5. Sistem Negara-negara Sosialis (socialist law system).
Sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum civil
law country, maka hukum kepailitan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan
negara-negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum civil law country. Bila
ditelusuri dari akar sejarahnya, hukum kepailitan Indonesia sesungguhnya sama
dengan hukum kepailitan Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi.
Pada awalnya hukum kepailitan di Indonesia di atur dalam Faillissements
Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348 yang terdiri atas:
1) Bab I : Tentang Kepailitan pada umumnya
2) Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Namun dengan berlakunya Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka
FV menjadi tidak berlaku lagi. UU No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat
UUK) sendiri terdiri atas:
1) Bab I : Tentang Kepailitan (pasal 1 s/d 211)
2) Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (pasal 212 s/d
279 )
3) Bab III : Tentang Pengadilan Niaga (pasal 280 s/d 289).
Di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam
kelompok negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur
dalam Bankruptcy Code. Kemudian kongres di Amerika Serikat membuat Undang
3
Undang pertama tentang kebangkrutan pada tahun 1800 yang isinya mirip-mirip
dengan Undang Undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama
dalam abad ke 18, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah ada
Undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitur dari
hukuman penjara karena tidak membayar hutang yang disebut dengan insolvency
law. Selanjutnya Undang Undang Federal Amerika Serikat tahun 1800 tersebut
diubah beberapa kali, masing-masing pada tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938
(The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun
1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang mengenai kebangrutan, sebab
Undang Undang lama telah dicabut sedangkan Undang Undang pengganti baru
terbentuk pada tahun 1867.2
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang hukum
kepailitan dalam makalah yang berjudul Perbandingan sistem hukum kepailitan
antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan permasalahn dalam penuilisan ini adalah:
1. Bagaimanakah hukum kepailitan pada kelompok negara civil law dan
common law?
2. Bagaimanakah perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara
Indonesia dengan Amerika Serikat?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan hukum kepailitan pada kelompok negara civil
law dan common law?
2. Untuk mengetahui perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara
Indonesia dengan Amerika Serikat?
2 Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc., 1985, halaman 549
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Kepailitan pada Kelompok Negara Civil Law dan Common Law
Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara
dengan civil law system tentu berbeda dengan bankruptcy law di Amerika Serikat
yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan common law system.
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum
kepailitan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998 dengan bankrupty code dan
hukum kepailitan di Amerika Serikat.
Demikian pula perbedaan tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan
pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, prosedure
permohonan kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran utang, jangka waktu
yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan, reorganisasi perusahaan
dan lain-lain.
Perbedaan ini disebabkan faktor sejarah lahirnya hukum kepailitan itu
sendiri baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Selain itu perbedaan ini juga
disebabkan oleh sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara yang
berbeda.
Namun dalam perkembangan hukum yang terjadi saat ini terlihat adanya
suatuconvergemcy pada seluruh bidang hukum baik negara-negara penganut civil
law system maupun common law system demi untuk menuju harmonisasi.
Sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan
konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuatan untuk membentuk
suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Perdebatan ini sudah dimulai
sejak diadakannya Constitutional Convetion di Philadelphia pada tahun 1787.
Kemudian kongres di Amerika Serikat membuat Undang Undang pertama
tentang kebangkrutan pada tahun 1800 yang isinya mirip-mirip dengan Undang
Undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di
beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah ada Undang-undang negara
5
bagian yang bertujuan untuk melindungi debitur dari hukuman penjara karena
tidak membayar hutang yang disebut dengan insolvency law.
Selanjutnya Undang Undang Federal Amerika Serikat tahun 1800 tersebut
diubah beberapa kali, masing-masing pada tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938
(The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun
1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang mengenai kebangrutan, sebab
Undang Undang lama telah dicabut sedangkan Undang Undang pengganti baru
terbentuk pada tahun 1867.
Dari latar belakang sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat tersebut
dapat disimpulkan bahwa the whole idea of finding a deep structure in
complicated, historic artifact such as the Bankruptcy Code was doomed from the
start. Considering the tens of thousands of congressmen, judges and lawyers who
have contributed to the content of bankrupty law, it would have been a miracle if
all of them were driven by the same ethical impulse every time a legislative
decision was made. Legal text are situated in history, and just as historical
explanation is infinitely complex, so should we expect juriprudential explanations
to be infinitely complex, based om entropy, anomie, conflict, and confusion, as
well as the dictates of logic and reason.3
B. Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia dan Amerika Serikat
Perkembangan hukum ekonomi di Indonesia berkembang dengan sangat
pesat. Perkembangan ini dipengaruhi perkembangan globalisasi perekonomian.
Dari sisi hukum, perkembangan hukum ekonomi ini memunculkan transplantasi
di bidang hukum, yitu perpindahan dari suatu aturan atau sistem hukum dari satu
negara ke negara lain.
Dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia, diketahui bahwa
transplantasi hukum di Indonesia terjadi sejak zaman kolonial dan berkembang
pesat pada era globalisasi. Di bidang hukum kepailitan, pemerintah kolonial
Belanda dengan asas konkordansi memberlakukan Failissemenst
3 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 4
6
Verordening terhadap golongan Eropa berdasarkan Pasal 131 IS Jo. 163 IS.
Berlakunya hukum kepailitan ini ternyata juga dalam praktiknya diberlakukan
terhadap golongan bumi putera.
Sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia hukum kepailitan selanjutnya
diganti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi Undang Undang Nomor 4 Tahun
1998 yang tidak lepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut.
Apabila diperhatikan, sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi
perubahan dari hukum kepailitan yang lama (faillisement verordening) yang
bercirikan Sistem Eropa Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon. Di sini
terjadi proses tranplantasi hukum.
Uraian selanjutnya dalam tulisan ini akan mencoba untuk membandingkan
hukum kepailitan di Indonesia yang semula bercirikan Eropa Kontinental Sistem
dengan Sistem Hukum Anglo Saxon.
Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum
tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi4. Kata bankrut yang
dalam bahasa Inggris disebut bankrupt, berasal dari Undang Undang di Italia yang
disebut dengan banca rupta.
Tahun 1852 merupkan tonggak sejarah bagi negara-negara dengan tradisi
hukum common law yang berasal dari Inggris Raya. Hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi oleh Inggris dengan diundang-undangkannya kepailitan
oleh parlemen di masa pemerintahan Raja Henry VIII sebagai Undang Undang
yang disebut dengan Act Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt.
Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi
debitur nakal yang ngemplang hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya.
Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditur yang tidak
dimiliki oleh kreditur secara individual.
Peraturan di masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak
yang mengatur tentang larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent
4 Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and Company, 1985, halaman 21.
7
conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan sebutan actio
pauliana. Di samping itu, dalam Undang-undang lama di Inggris tersebut juga di
atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part
unknown);
2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping
house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh
hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is
his castle;
3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di
tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut
dengan istilahsanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah
kedutaan asing dalam hukum moderen;
4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan
sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang
diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu
dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para
krediturnya mengambil aset-aset tersebut.
Perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas
dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan
tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh
Lembaga Konsultan Econit Advisory Group yang menyatakan bahwa tahun 1997
merupakan tahun ketidakpastian (a year of uncertainty). Sementara tahun 1998
merupakan tahun koreksi (a year of correction).
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar Amerika dari sekitar Rp. 2.300
pada bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000 per dollar Amerika pada akhir tahun
1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh
Rp. 16.000 per dollar Amerika.
Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap
pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 persen telah
8
terkontraksi menjadi minus 13-14 persen. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah
10 persen menjadi sekitar 70 persen. Banyak perusahaan yang kesulitan
membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dan lebih jauh lagi banyak
perusahaan mengalami kebangkrutan (pailit).
Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar
Amerika, mengakibatkan munculnya negative balance of payment, negative
spread, dan negative equity terhadap perekonomian Indonesia.5
Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai
tukar utang dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan
swasta dan pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca
pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat “bonanza” dari
terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan
pemerintah untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas
telah menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari
masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu
memperoleh margin di atas suku bunga.
Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative
equitykarena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda
jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas.
Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang
diancam kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan
ketidakmampuan untuk membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya
dilakukan dalam bentuk dollar Amerika.
Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah utang piutang ini secara cepat, efektif, efisien dan adil.
Undang-undang kepailitan yang lama dianggap tidak mampu memenuhi
kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka
secara cepat, efektif, efisien dan adil.
5 David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987), halaman 8.
9
Hal ini disebabkan bahwa hukum kepailitan yang selama ini
berlakuFaillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906 No.
348 merupakan hukum kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda yang
diciptakan sesuai dengan kondisi perekonomian pada masa itu.
Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul
pertanyaan apakah perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila
perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum
mendapat banyak dukungan.
Dalam Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan
with of Susshil Kumar disebutkan bahwa it is self that comparative law is not
subject, but a method.6 Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum
perbandingan hukum yaitu:
1. Comparative Law
Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk
membandingkannya.
2. Foreign Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem
hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.
3. Comparative Jurisprudence
Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan
melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.
Terdapat perbedaan antara pengadilan niaga di negara-negara civil law
dengan common law. Joseph Dainow menyebutkan However, in order to
understand the two system properly, there are disparities which must be
recognized and evaluated. For more specific identification of ideas, it is useful to
consider five points of reference : the training and recruitment of judges, the
method of arriving at decisions, the personalization of opinions or the colegiality
6 Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law-Common Law) Jilid I (Kumpulan Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000, hal 1.
10
of judgements, the manner of writing opinions, and the atitude of the judge in case
of silence and insufficiency of the written or established law.7
Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya hutang piutang
antara debitur dan kreditur. Permasalahan baru muncul apabila debitur berhenti
membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar
maupun karena tidak mampu membayar. Sebenarnya bila terjadi keadaan seperti
itu terdapat beberapa usaha untuk menyelesaikan utang piutang tersebut, antara
lain dengan:8
1. Perdamaian di luar pengadilan;
2. Perdamaian di dalam pengadilan;
3. Gugatan melalui pengadilan;
4. Ditagih individual;
5. Penundaan pembayaran;
6. Perdamaian penundaan pembayaran;
7. kepailitan;
8. perdamaian dalam kepailitan.
Bila dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal
adanya reorganizationperusahaan yang diatur dalam Chapter 11, maka hal ini
tidak dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia. Bila diteliti lebih jauh tentang
hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur tentang adanya kemungkinan
untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya lembaga reorganisasai
perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Suspension of Payment, Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat
PKPU).
PKPU dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Bab II
pasal 212 sampai dengan pasal 279. PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada
keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak
7 Erman Radjagukguk, Opcit, hal 798 Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam
Menyongsong Undang-undang Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 331.
11
bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi
harta pailit).9
PKPU adalah wahana yuridis ekonomis yang disediakan bagi debitur
untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan
kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari
kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur.
Bagi perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan
kemampuan debitur membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan
semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit,
sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia
akan dapat membayar utangnya.
Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan
nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur. PKPU bukan dimaksudkan
untuk kepentingan debitur semata, juga untuk kepentingan para krediturnya
khususnya kreditur konkuren. Dengan diberikannya waktu dan kesempatan,
debitur nelalui reorganisasi usahanya dan atau restrukturisasi utang-utangnya
dapat melanjutkan usahanya.
Apabila dalam Chapter 11 telah diatur tentang plan of reorganization,
maka dalam UU Kepailitan diatur juga tentang rencana perdamaian dalam PKPU.
Rencana yang diajukan tidak bersamaan atau tidak dilampirkan pada
permohonan PKPU harus diajukan:10
a. Sebelum hari ke-45, setelah putusan sementara penundaan kewajiban
membayar utang atau sebelum hari sidang yang dimaksud dalam Pasal 515
Perpu No.1 Tahun 1998 atau pada tanggal kemudian dengan tetap
memperhatikan Pasal 217 ayat 4.
9 Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998
10 Ellyana S, Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 - 14 Agustus 1998
12
b. Rencana perdamaian tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang padanya melekat Pengadilan Niaga yang memeriksa dan
mengadili permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang agar
dapat dilihat oleh setiap orang yang berkepentingan secara cuma-cuma.
c. Rencana perdamaian juga disampaikan kepada hakim pengawas dan
pengurus serta ahli bila ada segera setelah rencana perdamaian ada.
PKPU memiliki dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 212 yaitu
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan dalam
rangka penawaran rencana perdamaian (yang meliputi penawaran pembayaran
secara penuh atau sebagian kepada kreditur konkuren) yang dilakukan oleh
debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Jika hal itu
dapat terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitur dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya dan meneruskan usahanya.
PKPU berbeda dengan kepailitan, karena walaupun dalam proses
kepailitan juga ada kemungkinan tercapainya perdamaian, pada dasarnya
kepailitan ditujukan kepada pemberesan dengan para kreditur, namun pada
umumnya dengan cara menjual semua budel pailit dan membagikan kepada para
kreditur yang berhak menurut urutan yang ditentukan dalam Undang Undang.11
Dari prinsip dasar di atas, diketahui bahwa PKPU memiliki kesamaan
dengan reorganisasi dalam Chapter 11, dimana debitur diberi kesempatan untuk
melakukan restrukturisasi perusahaannya maupun restrukturisasi utang-utangnya
sehingga dapat tetap eksis sebelum dinyatakan pailit oleh hakim.
Langkah untuk melakukan reorganisasi perusahaan lebih dahulu jelas lebih
menguntungkan dibandingkan dengan melakukan prosedure kepailitan.
Reorganisasi ini akan menguntungkan semua pihak baik debitur, kreditur para
karyawan dan seluruh stake holder perusahaan.
Tindakan hukum kepailitan merupakan upaya terakhir yang dapat
ditempuh bila seluruh proses perdamaian tidak dapat lagi dilakukan dan bila
11 Kartini Mulyadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak Hukumnya, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang Undang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
13
memang aset si pailit tidak cukup untuk memenuhi seluruh utang-utangnya
meskipun diberi kesempatan dan jangka waktu yang cukup.
Di Indonesia pengertian kepailitan itu sendiri tidak disebutkan. Pasal 1
ayat 1 UUK menyebutkan: Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas
permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur
untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-
hak mereka masing-masing. Melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita
dan eksekusi oleh para kreditur secara sendiri-sendiri.
Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara bersama-sama
(concursus creditorum) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.12
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki
kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada
maupun yang akan diterimanya selama kepilitan itu berlangsung. Kepilitan itu
sendiri mencakup:
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa
pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh
selama kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas
kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.13
Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta
kekayaanya tersebut tersebut selanjutnya beralih kepada kurator. Meskipun UUK
dimaksudkan untuk memaksimalkan harta pailit agar dapat dibagi secara
12 Fred. BG. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998, makalah disampaikan dalam lokakarya UU Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
13 K. Santoso, Akibat Hukum Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya UndangUndang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
14
seimbang di antara para krdeiturnya, namun dalam praktek masih banyak
kecurangan yang dilakukan oleh debitur sehingga recovery fund yang diterima
oleh debitur pailit sangat rendah hanya berkisar antara 10 persen - 15 persen dari
total piutang yang dapat ditagih.
Kondisi ini mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat untuk menggunakan lembaga hukum kepailitan sebagai sarana untuk
menagih piutang mereka. Kondisi yang sama juga terjadi saat ini meskipun
Undang-Undang kepailitan yang lama sudah disempurnakan dalam UU No. 4
Tahun 1998.
Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah UU No. 4 Tahun 1998
mulai berlaku, ternyata dalam praktek timbul beberapa permasalahan baik yang
bersumber dari kelemahan Undang-undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam
praktek di pengadilan:14
1. Banyak hal yang tidak di atur secara tegas dalam Undang-undang
Kepailitan, sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam.
Pengertian utang, misalnya, tidak diberikan definisi yang jelas dalam
Undang-undang Kepailitan sehingga ditafsirkan Hakim secara berbeda-
beda baik di tingkat Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri maupun di
tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.
2. Adanya Interpretasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam Undang-
undang Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidak konsistenan
dalam putusan Hakim dalam kasus-kasus kepailitan, yang pada akhirnya
dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.
3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan UU Kepailitan untuk menyelesaikan
satu perkara kepailitan dipandang dalam praktek sukar dilaksanakan,
karena terlalu cepat.15 Kalaupun Hakim Pengadilan Niaga dapat
14 Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, bahan E Learning “Bankruptcy Law” , hal 5 – 7.
15 Mengenai jangka waktu ini, Mantan Ketua mahkamah Agung RI, Purwoto Gandasubrata, menyayangkan pembuatan Perpu Kepailitan No. 1 Tahun 1998 ini tidak terlebih dahulu mendengar pendapat dan nasihat dari para hakim yang biasa berkecimpung dalam praktek. Lihat Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan kepailitan baru Untuk Indonesia (1998), Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 10 – 11.
15
menyelsaikan perkara kepailitan dalam jangka waktu 30 hari tersebut,
hakim tersebut hanya memfokuskan pada pembuktian sederhana sekedar
untuk memenuhi persyaratan dinyatakannya pailit. Tebalnya alat bukti
dalam kasus kepailitan yang rumit mungkin hanya dibaca dan diteliti
secara singkat karena ketatnya waktu.
4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang
ditangani Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Awaknya pada tahun 1998,
terdapat 31 perkara kepailitan yang didaftarkan di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. Jumlah perkara kepailitan yang hanya 31 tersebut wajar
karena Undang Undang Kepailitan baru berlaku secara efektif pada
tanggal 9 September 1998. Jumlah perkara kepailitan melonjak drastis
pada tahun 1999 sebanyak 100 kasus, pada tahun 2000 turun menjadi 84
kasus dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 60 kasus.16
Fenomena menurunnya kasus kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga
tersebut menurut Erman Radjagukguk kemungkinan disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, adanya kelemahan dalam Undang-undang kepailitan itu sendiri.
Kedua, adanya ketidak konsistenan putusan hakim dalam menangani
kasus-kasus kepailitan, baik putusan pada Hakim Pengadilan Niaga maupun
hakim pada tingkat pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali. Ketiga, meskipun
Undang-undang Kepailitan sudah mengatur time frame yang ketat untuk
menyelesaikan kasus kepailitan, namun ternyata penyelesaiannya ternyata terasa
bertele-tele.
Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak-pihak yang dipailitkan akan
mengajukan banding ke tingkat kasasi atau peninjaun kembali. Kenyataan ini
menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan, sehingga muncul kesan
proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitur yang dipailitkan.
Kreditur yang ditolak permohonan kepailitannyapun, dapat juga
mengajukan kasasi dan peninjauan kembali. Meskipun pengajuan kasasi dan
peninjauan kembali tersebut merupakan hak debitur atau kreditur, namun apabila
16 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Analisi Teori dan Praktek kepailitan dan Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta,
16
semua perkara kepailitan diajukan sampai tingkat peninjauan kembali, maka
kesan bertele-tele terkesan benar adanya.17
Keempat, meskipun belum ada penelitian tentang hal ini, diperkirakan
tingkat recovery rate atau pengembalian utang oleh debitur melalui mekanisme
kepailitan nilainya sangat rendah, yaitu diperkirakan hanya berkisar pada 10
persen – 20 persen.18
Untuk itu Sacipto Rahardjo secara arif mengemukakan bahwa sejak
semula hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu
alat yang mematoki antara perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara
sempurna. Salah-salah mengatur bahkan bisa dikatakan seperti ungkapan
“Summum ius summa iniuria” bahwa hukum yang bekerja terlalu hebat justru
menimbulkan ketidakadilan.19
17 Andi Muhammad Asrun, A. Prasentyatoko, Dkk, Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga (Jakarta: Center for Information & Law Economic Studies, 200, hal 19.
18 Revisi UU Kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan yang Berangsur Punah (http://hukum on line. Com//edisi khusus/fokus _ details asp?rubrik = 3 & id = 93).
19 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983, halaman 13.
17
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara
dengan civil law system tentu berbeda dengan bankruptcy law di Amerika
Serikat yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan common law system.
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum kepailitan
yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998 dengan bankrupty code dan hukum
kepailitan di Amerika Serikat. Demikian pula perbedaan tentang pihak-pihak
yang dapat dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan
pailit, prosedure permohonan kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran
utang, jangka waktu yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan,
reorganisasi perusahaan dan lain-lain.
2. Mengingat kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam UU No. 4 Tahun
1998 sebagaimana diuraikan di atas, maka saat ini perlu dilakukan perubahan
dan pembenahan dalam Undang-undang kepailitan yang baru. Meskipun telah
dilakukan berbagai revisi terhadap seluruh hukum nasional khususnya di
bidang hukum ekonomi namun masih banyak ruang-ruang kososng yang
senatiasa dimafaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
18
DAFTAR PUSTAKA
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Analisi Teori dan Praktek
kepailitan dan Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK),
Jakarta.
Asrun, Andi Muhammad, A. Prasentyatoko, dkk., Analisa Yuridis dan empiris
Peradilan Niaga, Jakarta : Center for Information & Law Economic Studies,
2000.
David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987),
halaman 8.
Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA :
Little, Brown and Company, 1985, halaman 21.
Ellyana S, Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada
Penundaan Kewajiban Pembayaran, makalah disampaikan dalam Lokakarya
Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 - 14 Agustus 1998
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi,
Jurnal Hukum, No.II Vol 6, Halaman 114.
Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law-Common Law)
Jilid I (Kumpulan Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000,
hal 1.
Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, bahan E
Learning “Bankruptcy Law” , hal 5 – 7.
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, makalah disampaikan dalam Lokakarya
Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998
Fred. BG. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan
Sebagaimana Diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998, makalah disampaikan
dalam lokakarya UU Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya,
Penerbit Salemba Empat, Jakarta2001, halaman 3.
19
Kartini Mulyadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak
Hukumnya, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang Undang
kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
K. Santoso, Akibat Hukum Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya
UndangUndang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon &
Schuster, Inc., 1985, halaman 549.
Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam
Menyongsong Undang-undang Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja:
Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999,
hal 331.
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998, halaman 4.
Revisi UU Kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan yang Berangsur Punah
(http://hukum on line. Com//edisi khusus/fokus _ details asp?rubrik = 3 & id =
93).
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung,
1983, halaman