perbedaan daya hambat ekstrak bawang daun …digilib.unila.ac.id/30147/3/skripsi tanpa bab...

75
PERBEDAAN DAYA HAMBAT EKSTRAK BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO (Skripsi) Oleh: FEBE SINTIA KRISTIANI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2018

Upload: phungquynh

Post on 01-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERBEDAAN DAYA HAMBAT EKSTRAK BAWANG DAUN (Allium

fistulosum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI

METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

(Skripsi)

Oleh:

FEBE SINTIA KRISTIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018

PERBEDAAN DAYA HAMBAT EKSTRAK BAWANG DAUN (Allium

fistulosum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI

METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

Oleh

Febe Sintia Kristiani

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018

ABSTRACT

DIFFERENCE OF INHIBITORY POWER OF THE LEEK EXTRACT

(Allium fistulosum L) ON GROWTH OF METHICILLIN-RESISTANT

STAPLOCOCCUS AUREUS BY IN VITRO

By

FEBE SINTIA KRISTIANI

Background: Infectious diseases have become a health burden both in

developed and developing countries The use of irrational antibiotics is a

complicating factor in bacterial infections. Staphylococcus aureus resistance

to the methicillin group has resulted in a new bacterial strain called Methicillin

Resistance Staphylococcus aureus (MRSA) and has led to a threefold increase

in infectious burden than usual Staphylococcus aureus infections. The leek has

luteolin, quercetin, and allicin content that have been shown to have

antibacterial effects. This study aims to determine the difference inhibitory

power of leek extract to MRSA compared to positive control.

Methods: This research is an experimental study with Post Control Only

Control Group Design. This study used MRSA bacteria which were given leek

extract with 7 groups. Concentration of 100% (K1), concentration 50% (K2),

concentration 25% (K3), concentration 12,5% (K4), concentration 6,25%

(K5), negative control with aquades (K6), and positive control with

vancomycin (K7). The data obtained were analysed using Kruskal-Wallis

analysis and followed by the Mann-Whitney post-hoc test to see groups with

significant differences.

Results: The mean diameter of the inhibitory zone is K1 4 mm, K2 1.75 mm,

K3 0 mm, K4 0 mm, K5 0 mm, K6 0 mm, and K7 16.25 mm. The analysis

results show p: 0,002. The analysis continued with the post hoc test and it was

found that the groups with significant differences were the groups K1, K2, K3,

K4, K5, K6 with K7.

Conclusion: Leek extract does not have a good antibacterial effect on MRSA

Key words: antibacterial, leek, methicillin resistant Staphylococcus aureus

ABSTRAK

PERBEDAAN DAYA HAMBAT EKSTRAK BAWANG DAUN (Allium

fistulosum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI

METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

Oleh

FEBE SINTIA KRISTIANI

Latar Belakang: Penyakit infeksi telah menjadi beban kesehatan baik di

negara maju dan berkembang. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional

merupakan penyulit pada infeksi akibat bakteri. Resistensi Staphylococcus

aureus terhadap golongan metisilin telah menghasilkan strain bakteri baru

dinamakan Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA) dan telah

menyebabkan peningkatan beban infeksi sebanyak tiga kali lipat dibandingkan

infeksi Staphylococcus aureus biasa. Bawang daun memiliki kandungan

luteolin, quercetin, dan allicin yang telah di teiliti memiliki efek antibakteri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan daya hambat ekstrak

bawang daun dibandingkan kontrol positif.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan

rancangan Post Test Only Control Group Design. Penelitian menggunakan

bakteri MRSA yang diberikan ekstrak bawang daun dengan 7 kelompok.

Konsentrasi 100% (K1), konsentrasi 50% (K2), konsentrasi 25% (K3),

konsentrasi 12,5% (K4), konsentrasi 6,25% (K5), kontrol negatif dengan

aquades (K6), dan kontrol positif dengan vankomisin (K7). Data yang didapat

diolah menggunakan analisis Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan uji post

hoc Mann-Whitney untuk melihat kelompok yang memiliki perbedaan

bermakna.

Hasil Penelitian:.Hasil rerata diameter zona hambat yaitu K1 4 mm, K2 1,75

mm, K3 0 mm, K4 0 mm, K5 0 mm, K6 0 mm, dan K7 16,25 mm. Hasil

analisis menunjukkan p: 0,002. Analisis dilanjutkan dengan uji post hoc dan

ditemukan bahwa kelompok yang memiliki perbedaan bermakna adalah

kelompok K1, K2, K3, K4, K5, K6 dengan K7.

Simpulan: Ekstrak bawang daun tidak memiliki efek antibakteri yang baik

terhadap MRSA.

Kata kunci: antibakteri, bawang daun, Methicillin Resistant Staphylococcus

aureus

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Jakarta, 24 Maret 1997 , merupakan anak

pertama dari Andreas Mugiman dan Ani Oster Pangaribuan. Penulis memiliki

adik laki-laki bernama Daniel Cahya Saputra dan adik perempuan bernama

Jesika Cahya Ningrum.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Perguruan

Advent XV Ciracas pada tahun 2002 dan selesai pada tahun 2008. Selanjutnya

penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP

Perguruan Advent XV Ciracas dan selesai pada tahun 2011. Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 39

Jakarta dan selesai pada tahun 2014.

Pada tahun 2014, penulis mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan

Tinggi (SBMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti

Paduan Suara Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan juga pernah

menjabat sebagai Asisten Dosen Anatomi ada tahun 2016-2017

Dengan segala kerendahan hati,

kupersembahkan karya ini untuk

Tuhan Yesus, Penebusku

Papa, Mama, Daniel, dan Jesika

Terimakasih untuk setiap doa,

semangat, kasih sayang yang tak

pernah berhenti

“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;

dari manakah akan datang pertolonganku?

Pertolonganku ialah dari TUHAN,

yang menjadikan langit dan bumi”.

Mazmur 121: 1-2

If you believe, you will receive

whatever you ask for in

prayer

Matthew 21 : 22

SANWANCANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah

melimpahkan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi tepat waktu.

Skripsi yang berjudul “PEBEDAAN DAYA HAMBAT EKSTRAK

BAWANG DAUN ( Allium fistulosum L ) TERHADAP PERTUMBUHAN

BAKTERI METHICILLIN-RESISTRANT Staphylococcus aureus SECARA

IN VITRO” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada

pihak-pihak berikut ini:

1. Tuhan Yesus Kristus, Penebus, Bapa yang baik yang selalu memberi

kekuatan dan menyertai sepanjang hidup penulis

2. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas

Lampung;

3. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung;

4. dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked., M. Kes selaku Pembimbing Pertama yang

telah membimbing dan senantiasa mendukung penulis melalui saran,

kritikan dan pengetahuan dari awal proses penyusunan hingga skripsi ini

terselesaikan;

5. dr. Anggraeni Janar Wulan, S.Ked, M. Sc selaku Pembimbing Kedua yang

telah memberikan saran, kritik, dukungan dan motivasi selama

membimbing penulis;

6. dr. M. Ricky Ramadhian, S.Ked., M. Sc. selaku Pembahas yang telah

memberikan saran dan nasehat untuk menyempurnakan penulisan skripsi

penulis;

7. dr. Merry Indah Sari M, Med. Ed. selaku Pembimbing Akademik penulis

yang senantiasa mendukung, membimbing, dan mendengarkan keluh

kesah penulis selama masa perkuliahan;

8. Ibu Romiani dan Mba Eka selaku laboran Lab Mikrobiologi FK Unila,

yang telah dengan sabar menyediakan waktu, mendampingi, mengajari

Penulis dan teman-teman selama penelitian

9. Seluruh staf dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang

telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis menjalani masa

perkuliahan;

10. Papa terkasih Dr. Andreas Mugiman, MA yang selalu menjadi teladan,

tiang doa, dan kekuatan bagi Penulis dalam menjalani proses pendidikan

dan kehidupan;

11. Mama terkasih, Ani Oster Pangaribuan yang selalu memberikan doa, kasih

sayang, dan semangat bagi Penulis. Terimakasih telah menjadi sosok Ibu

paling kuat dan hebat bagi hidupku.

12. Adik terkasih, Daniel Cahya Saputra dan Jesika Cahya Ningrum untuk

segala doa, semangat, serta sukacita yang telah diberikan selama proses

penulisan skripsi;

13. Kelompok kecil tempat ku bertumbuh, Ka Ester sebagai PKK, Grace

sebagai TKK, dan Jessica, Brigitta, serta Jovanka sebagai AKK.

Terimakasih untuk setiap firman, semangat, serta motivasi yang diberikan

bagi penulis;

14. Sahabatku Grace, Olivia, Purnama, Veivei, dan Karen yang telah

mendoakan dan mendukung penulis sekaligus menjadi sahabat yang selalu

menguatkan;

15. Partner penelitian tim mikrobiologi, Lulu Wilda, Brigita Sanina, Iffat, Afi

atas seluruh bantuan dan kerjasama selama penelitian

16. Teman-teman Permakomedis 2014, Bang Rian, William, Yosua, Harry,

Keith, Grace, Olivia, Purnama, Karen, Veronica, Sindi, Gita, Naomi,

Tania, Yona, Renti, Theo, Devi, Eva, Cakra, Fanya, Ebet, dan Grecia,

yang selalu menemani dan menjadi tempat rohaniku bertumbuh selama

perkuliahan;

17. Teman-teman angkatan 2014 (CRAN14L) yang telah bersama-sama

berjuang di kehidupan Pre-Klinik FK UNILA;

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah

memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.

Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, Januari 2018

Penulis

Febe Sintia Kristiani

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .............................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6

1.4.1 Bagi Peneliti ................................................................................ 6 1.4.2 Bagi Masyarakat.......................................................................... 6

1.4.3 Bagi Peneliti Lain ........................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 7 2.1 Staphylococcus aureus ....................................................................... 7

2.1.1 Morfologi .................................................................................... 7 2.1.2 Klasifikasi ................................................................................... 9

2.1.3 Mekanisme Resistensi ............................................................... 12 2.1.4 Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ................ 14

2.1.5 Uji Resistensi MRSA ................................................................ 15 2.2 Allium fistulosum L .......................................................................... 16

2.2.1 Morfologi .................................................................................. 17 2.2.2 Kandungan Bawang Daun ......................................................... 19

2.2.3 Allium fistulosum L sebagai Antibakteri ..................................... 21 2.3 Pengukuran Zona Hambat ................................................................ 23

2.4 Pengukuran Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) ........................... 24 2.5 Pengukuran Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) ............................. 24

2.6 Kerangka Penelitian ......................................................................... 25 2.6.1 Kerangka Teori ......................................................................... 25

2.6.2 Kerangka Konsep ...................................................................... 27 2.7 Hipotesis .......................................................................................... 27

viii

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 28 3.1. Desain Penelitian .............................................................................. 28 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 28

3.2.1 Tempat Penelitian ...................................................................... 28 3.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................... 29

3.3 Mikroba dan Bahan Uji Penelitian ....................................................... 29 3.3.1 Mikroba Uji Penelitian .............................................................. 29

3.3.2 Bahan Uji Penelitian .................................................................. 29 3.3.3 Media Kultur ............................................................................. 29

3.4 Identifikasi Variabel ......................................................................... 30 3.4.1 Variabel Independen.................................................................. 30

3.4.2 Variabel Dependen .................................................................... 30 3.5 Definisi Operasional ......................................................................... 31

3.6 Besar Sampel ................................................................................... 32 3.7 Prosedur Penelitian ........................................................................... 33

3.7.1 Persiapan Penelitian .................................................................. 33 3.7.2 Sterilisasi Alat ........................................................................... 34

3.7.3 Pembuatan Ekstrak Bawang Daun (Allium fistulosum L) ........... 35 3.7.4 Identifikasi Bakteri Uji .............................................................. 36

3.7.5 Pembuatan Standar Kekeruhan Mc Farland ............................... 38 3.7.6 Teknik Pembuatan Suspensi Bakteri .......................................... 38

3.7.7 Teknik Pembuatan Mueller Hinton Agar (MHA) ....................... 39 3.7.8 Teknik Pembuatan Mueller Hinton Broth (MHB) ...................... 39

3.7.9 Uji Diameter Zona Hambat dengan Metode Difusi Cakram ....... 39 3.7.10 Pengukuran Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh

Minimal (KBM) dengan Metode Makrodilusi ............................ 41 3.7.11 Diagram Alur Penelitian ............................................................ 44

3.8 Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... 46 3.8.1 Pengolahan Data........................................................................ 46

3.8.2 Analisis Data Univariat ............................................................. 46 3.8.3 Analisis Data Bivariat................................................................ 46

3.9 Etika Penelitian ................................................................................ 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 48 4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 48

4.1.1 Identifikasi Bakteri methicillin resistant Staphylococcus aureus 48 4.1.2 Daya Hambat Ekstrak Bawang Daun ......................................... 50

4.1.3 Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Bawang Daun .............. 50 4.1.4 Hasil Konsentrasi Bunuh Minimum ........................................... 51

4.1.5 Analisis Data ............................................................................. 52 4.2 Pembahasan ..................................................................................... 57

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 64 5.1 Simpulan ............................................................................................. 64 5.2 Saran ................................................................................................... 64

ix

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 66

LAMPIRAN

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Staphylococcus aureus perbesaran 1000x .................................................... 7

2 Koloni Staphylococcus aureus pada media agar darah dan nutrient agar ...... 8

3 Allium fistulosum L ................................................................................... 17

4 Morfologi bawang daun ............................................................................ 19

5 Struktur molekul quercetin ........................................................................ 20

6 Struktur molekul luteolin ........................................................................... 20

7 KerangkaTeori .......................................................................................... 26

8 Kerangka konsep ....................................................................................... 27

9 Pengukuran Diameter Zona Hambat .......................................................... 41

10 Alur Penelitian ........................................................................................ 45

11 Identifikasi Bakteri .................................................................................. 49

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Definisi Operasional ............................................................................... 31

2 Diameter Zona Hambat Ekstrak Bawang Daun terhadap methicillin

resistant Staphylococcus aureus ............................................................. 50

3 Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Bawang Daun terhadap methicillin

resistant Staphylococcus aureus ............................................................. 51

4 Konsentrasi Bunuh Minimum Ekstrak Bawang Daun terhadap methicillin

resistant Staphylococcus aureus ............................................................. 52

5 Hasil Analisis Univariat.......................................................................... 53

6 Hasil Uji Normalitas Data Tiap Perlakuan .............................................. 54

7 Hasil Analisis Bivariat ............................................................................ 55

8 Hasil Analisis post hoc Mann-Whitney ................................................... 56

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Statistik

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Lampiran 3. Surat Pembelian Bakteri

Lampiran 4. Surat Kaji Etik

Lampiran 5. Surat Ijin Pemakaian Lab

Lampiran 6 Perhitungan Konsentrasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi adalah penyakit yang menjadi masalah kesehatan dunia, baik

di negara berkembang maupun negara maju (Sari dan Arisanty, 2015). Di

negara berkembang seperti Indonesia, infeksi tersebar luas terutama di

permukiman kumuh karena sanitasi yang buruk dan kondisi yang tidak

higienis (Chanda, et al., 2010). Pengobatan infeksi oleh bakteri idealnya

menggunakan obat pembasmi mikroba atau antimikroba maupun

menggunakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba untuk membasmi

mikroba lain yang disebut antibiotik (Setiabudy, 2012).

Masalah yang sering dihadapi saat ini adalah terjadinya resistensi bakteri

terhadap antibiotik. Penyebaran dari bakteri yang resisten tidak hanya terjadi

pada infeksi nosokomial, tetapi juga melalui komunitas. Hal ini terjadi karena

pemakaian antibiotik baik sistemik maupun topikal yang tidak rasional. Di

Indonesia sendiri, bakteri resisten yang sering ditemukan adalah P.

aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Staphylococcus

aureus (Radji, et al., 2013; dan Holail, 2014).

2

Staphylococcus aureus pertama kali dilaporkan mengalami reistensi terhadap

metisilin pada 1960 setelah sebelumnya mengalami resistensi terhadap

penisilin pada 1940. Strain Stapyhlococcus aureus yang mengalami resistensi

metisilin kemudian disebut MRSA (Methicillin resistant Staphylococcus

aureus). Strain ini tidak hanya mengalami resistensi pada golongan beta

laktam, tetapi juga pada golongan non betalaktam seperti makrolida

(eritromisin), penghambat sintesis protein (tetrasiklin, kloramfenikol), dan

kuinolon (Chanda, et al., 2010; Liana, 2014).

Munculnya strain baru dari methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA) telah menjadi kemunduran terbesar pada sejarah antimikroba. MRSA

menjadi masalah kesehatan dunia yang menyebabkan peningkatan angka

morbiditas dan mortalitas secara signfikan (Gould, 2009). Di Asia, persentase

MRSA menunjukkan angka 60% di Taiwan, 20% di Cina, 70% di Hong

Kong, 5% di Filipina, dan 60% di Singapura. Indonesia sendiri memiliki

angka prevalensi sebanyak 23,5% pada 2006 (Mardiastuti, et al., 2007).

MRSA telah menyebabkan peningkatan beban infeksi sebanyak dua sampai

tiga kali lipat dari infeksi Staphylococcus biasa, baik di rumah sakit maupun

di komunitas. MRSA sendiri juga dilaporkan menjadi penyebab syok septis

(56%), pneumonia (32%), endocarditis (19%), bakteremia (10%), dan selulitis

(6%) (Gould, 2009; Green, et al., 2012).

Bakteri yang resisten terhadap antibiotik lini pertama, harus mendapat pilihan

pengobatan antibiotik lini kedua atau ketiga yang harganya jauh lebih mahal.

Karena itu diperlukan alternatif pilihan pengobatan pada bakteri resisten.

3

Penemuan bahan antimikroba dari tumbuhan telah menjadi alternatif lain

yang sedang dikembangkan di dunia kesehatan ( Radji, et al., 2013).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari pengobatan baru bagi

MRSA, salah satunya adalah dengan menggunakan ekstrak yang berasal dari

tumbuhan. Tumbuhan memiliki banyak kandungan yang diketahui memiliki

efek antimikrob, salah satunya adalah polyphenol. Penelitian yang telah

dilakukan oleh Yanli Su dengan menggunakan enam ekstrak polyphenol

menunjukan bahwa polyphenol memiliki kemampuan untuk menghambat

pertumbuhan bakteri resisten, dalam hal ini adalah MRSA. Dari enam ekstrak

polyphenol yang telah dicoba, luteolin, quercetin dan resveratrol memiliki

efek paling baik. Rata-rata kadar hambat minimal (KHM) luteolin dan

quercetin 31,25-125 μg/mL, sedangkan resveratrol 500-1000 μg/mL ( Su, et

al., 2014).

Ho Jun Song pada penelitiannya di tahun 2016 menunjukan bahwa luteolin

memiliki kemampuan untuk merusak permeabilitas membran sitoplasma dan

juga menghambat kerja enzim ATPase pada MRSA. Penelitian lain oleh J.

Qiu juga membuktikan bahwa luteolin memiliki efek pada produksi α-toxin

yang dihasilkan Staphylococcus aureus ( Qiu, et al., 2011; Song, et al., 2016).

Efek quercetin pada MRSA yang diteliti oleh Bhone Mint Kyaw tahun 2012

menunjukan bahwa quercetin memiliki daya hambat pertumbuhan bakteri

terhadap MRSA, begitu juga dengan kombinasinya bersama antibiotik yang

bekerja sinergis. Quercetin juga memiliki efek yang lebih baik dibandingkan

tannic acid dan gallic acid ethyl ester (Kyaw, et al., 2012). Penelitian lain

4

yang dilakukan oleh M. Usman Amin tahun 2016 menunjukan bahwa luteolin

dan quercetin serta kombinasinya dengan beberapa antibiotik bekerja sinergis

dalam menghambat pertumbuhan bakteri MRSA. Luteolin, quercetin dan

kombinasinya bekerja dengan merusak sitoplasma bakteri sehingga terjadi

kebocoran ion, protein, dan konstituen sel lainnya ( Amin, et al., 2016).

Salah satu tumbuhan dengan kadar luteolin dan quercetin yang tinggi adalah

bawang daun. Bawang daun memiliki kandungan quercetin sebanyak 1497,5

mg/kg dan 391,0 mg/kg luteolin. Kandungan ini dinilai lebih tinggi

dibandingkan 62 tanaman lain yang diuji, bahkan memiliki lebih banyak

kandungan dibandingkan dengan bawang putih yang telah teruji terhadap

MRSA (Miean dan Mohamed, 2001). Selain quercetin dan luteolin, bawang

daun juga memiliki kandungan allicin yang banyak ditemukan pada bawang

putih (Allium sativum). Allicin bekerja dengan dua cara, yaitu menghambat

kerja thiol, senyawa yang mengandung enzim sehingga terjadi inhibisi sintesis

RNA dan menyebabkan kebocoran sel melalui dinding sel bakteri gram postif

(Wood, 2009).

Berdasarkan uraian diatas maka perlu untuk dilakukan penelitian terhadap

bawang daun untuk menguji khasiat dari ekstrak daun bawang terhadap

diameter zona hambat bakteri methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA).

5

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan daya hambat ektrak bawang daun terhadap methicillin

resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan daya hambat ekstrak bawang daun terhadap bakteri

methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui diameter zona hambat ekstra bawang daun terhadap

pertumbuhan bakteri Methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA)

2. Mengetahui kadar hambat minimal (KHM) yang diperlukan Allium

fistulosum L untuk menghambat pertumbuhan bakteri Methicillin

resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

3. Mengetahui kadar bunuh minimal (KBM) yang diperlukan Allium

fistulosum L untuk membunuh pertumbuhan bakteri Methicillin

resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkakan dapat menambah ilmu pengetahuan,

wawasan, rasa ingin tahu, dan minat peneliti pada bidang mikrobiologi

terutama mengenai tumbuhan fitofarmaka yang dapat menjadi alternatif

pilihan pengobatan bakteri resisten antibiotik

1.4.2 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat

tentang alternatif obat tradisional sebagai pilihan pengobatan infeksi

bakteri resisten antibiotik yang telah diuji di laboratorium.

1.4.3 Bagi Peneliti Lain

Sebagai acuan peneliti lain dalam penelitian ekstrak daun bawang

pada bakteri lainnya ataupun dalam kombinasinya dengan ekstrak

lain.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

2.1.1 Morfologi

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat

yang tersusun dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur.

Bakteri ini memiliki diameter sekitar 1 μm, tidak motil, dan tidak

membentuk spora.

Gambar 1 Staphylococcus aureus perbesaran 1000x

(Caroll, et al., 2016)

8

Staphylococcus aureus sendiri dapat berkembang pada sebagian besar

media bakteriologi, baik dalam lingkungan aerobik ataupun

mikroaerofilik. Suhu optimum pertumbuhannya dalah 37° C.

Staphylococcus aureus memproduksi katalase, memfermentasikan

karbohidrat, namun tidak menghasilkan gas. Bakteri ini dapat tahan

terhadap panas (tahan pada suhu 50° C selama 30 menit), dan natrium

klorida 9% (Brooks, et al., 2012).

Staphylococcus aureus adalah bakteri koagulase positif, dan

memfermentasi mannitol, hal ini yang membedakan Staphylococcus

aureus dengan spesies Staphylococcus lainnya. Koloni Staphylococcus

aureus pada medium padat berbentuk halus, bulat, meninggi, dan

berkilau. Koloni bakteri ini berwarna abu-abu hingga kuning

keemasan. Staphylococcus aureus juga menghasilkan hemolisis pada

pertumbuhan optimalnya ( Caroll, et al., 2016).

Gambar 2 Koloni Staphylococcus aureus pada media agar darah dan nutrient agar

(Caroll, et al., 2016)

9

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi Staphylococcus aureus oleh Rosenbach (1884) dalam

mikrobiologi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Coccus

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species :Staphylococcus aureus (Syahrurachman dan Warsa, 2010)

Staphylococcus aureus sebagai organisme penyebab infeksi memiliki

komponen yang berperan sebagai faktor virulensinya, antara lain protein,

enzim, dan toksin, yaitu :

a. Antigen permukaan

Staphylococcus mengandung polisakarida antigenik, protein, serta

substansi lainnya dalam dinding sel. Peptidoglikan sebagai salah satu

struktur pembentuk dinding sel bakteri ini memiliki peran penting

dalam proses infeksi, yaitu dengan memicu produksi interleukin-1 dan

antibodi opsonik oleh monosit, serta menjadi kemotraktan untuk

leukosit polimorfonukelar. Protein A salah satu komponen dinding sel

lainnya memiliki kemampuan untuk berikatan dengan bagian Fc dari

10

molekul IgG yang selanjutnya akan mengaglutinasi bakteri

(Syahrurachman dan Warsa, 2010; Brooks, et al., 2012).

b. Katalase

Katalase yang dihasilkan Staphylococcus aureus dapat mengubah

hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen ( Caroll, et al., 2016).

c. Koagulase dan faktor penggumpal

Koagulase adalah suatu protein mirip enzim yang dapat

menggumpalkan plasma beroksalat maupun bersitrat. Koagulase akan

berikatan dengan protrombin dan mengaktifkannya sehingga terjadi

pembentukkan fibrin. Penghasilan koagulase ini menjadikan

Staphylococcus aureus memiliki potensi menjadi patogen invasif.

Faktor penggumpal terdapat pada permukaan Staphylococcus aureus

yang memiliki fungsi untuk melekatkan bakteri ke fibrin ataupun

fibrinogen. Faktor penggumpal ini dibentuk Staphylococcus aureus

saat berada di dalam plasma (Syahrurachman dan Warsa, 2010;

Brooks, et al., 2012).

d. Hialurodinase

Enzim ini berfungsi untuk mempermudah penyebaran bakteri,

sehingga sering disebut sebagai spreading factor (Syahrurachman dan

Warsa, 2010).

e. Fibrinolisin

Fibrinolisin berfungsi untuk melisiskan bekuan darah. Pada proses

infeksi, fibrinolisin akan melisiskan bagian-bagian dari bekuan darah

11

yang sedang terjadi peradangan sehingga bakteri yang terlepas dapat

menginfeksi bagian lainnya (Syahrurachman dan Warsa, 2010).

f. Gelatinase dan protease

Gelatinase bekerja dengan mencairkan gelatin, sedangkan protease

bekerja dengan melunakan serum yang telah diuapkan. Kedua produk

ini menyebabkan nekrosis pada jaringan (Syahrurachman dan Warsa,

2010).

g. Lipase dan tributinase

Kedua enzim ini kurang memiliki peranan yang khas. Lipase adalah

enzim yang umum dihasilkan oleh bakteri koagulase positif,

sedangkan tributinase bekerja dengan membentuk fatty droplets pada

pembiakan di kaldu dengan protein dan telur (Syahrurachman dan

Warsa, 2010).

h. Hemolisin

Staphylococcus aureus membentuk empat protein hemolisin. α-

hemolisin adalah hemolisin yang kuat, bekerja secara luas pada

membran sel eukariot. β-toksin bersifat toksik pada banyak sel,

termasuk sel darah merah karena menguraikan sfingomielin. γ-toksin

adalah leukosidin yang dapat melisiskan sel darah putih. δ-toksin

bekerja dengan merusak membrane biologik serta berperan pada diare

akibat Staphylococcus aureus (Syahrurachman dan Warsa, 2010;

Brooks, et al., 2012; Caroll, et al., 2016).

12

i. Toksin eksfoliatif

Toksin ini memiliki dua protein pembentuk yaitu toksin epidermolitik

A yang memiliki sifat tahan panas dan toksin epidermolitik B yang

tidak tahan panas. Toksin-toksin ini berperan dalam deskuamasi pada

staphylococcal scalded skin syndrome (Brooks, et al., 2012; Caroll, et

al., 2016).

j. Toksin sindrom-syok-toksik (TSST-1)

Toksin sindrom-syok-toksik (TSST-1) adalah superantigen yang

menyebabkan demam, syok, serta menyebabkan kerusakan di berbagai

sistem tubuh termasuk ruam kulit deskuamatif (Brooks, et al., 2012;

Caroll, et al., 2016).

k. Enterotoksin

Enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus berperan

penting dalam penyebab keracunan makanan. Toksin ini dihasilkan

saat makanan mengandung karbohidrat dan protein (Syahrurachman

dan Warsa, 2010; Brooks, et al., 2012; Caroll, et al., 2016).

2.1.3 Mekanisme Resistensi

Staphylococcus aureus dalam perkembangannya telah mengalami

beberapa kelas resistensi terhadap antimikroba, antara lain :

a. Produksi beta laktamase yang membuat organisme ini resisten

terhadap berbagai penisilin melalui perantaraan plasmid, baik melalui

transduksi ataupun konjugasi.

13

b. Resistensi terhadap nafsilin, termasuk metisilin dan oksasiklin tanpa

produksi beta laktamase. Mekanisme resistensinya diperantarai oleh

gen mecA dalam kromosom.

c. Resistensi intermediet terhadap vankomisin pertama kali diisolasi dari

Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lainnya. Dikatakan

intermediet karena kadar hambat minimal (KHM) vankomisin terhadap

strain ini adalah 8-16 μg/ml sedangkan sensitif bila KHM ≤ 4μg/ml.

Mekanisme resistensinya diperantarai oleh peningkatan sintesis

dinding sel dan perubahan dinding sel. Strain ini kemudian dinamakan

vancomycin-intermediate Staphylococcus aureus (VISA).

d. Resistensi tehadap vankomisin pertama kali diisolasi dari pasien di

Amerika Serikat pada tahun 2002. Ditemukan bakteri Staphylococcus

aureus dengan gen vanA yang resisten vankomisin dari enterococcus

serta gen mecA yang resisten metisilin. Strain ini kemudian dinamakan

vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA).

e. Resistensi terhadap tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan

antibiotik lainnya yang diperantarai oleh plasmid.

f. Terjadinya toleransi, yaitu penghambatan Staphylococcus aureus oleh

sutau obat, namun bakteri tidak berhasil dibunuh. Toleransi ini sering

diperantarai oleh kurangnya aktivasi enzim autolitik di dinding sel

(Brooks, et al., 2012; Caroll, et al., 2016).

14

2.1.4 Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hiramatsu, resistensi

Staphylococcus terhadap metisilin didasari oleh suatu elemen genetik yang

disebut mecDNA yang mengandung gen mecA. Penelitian selanjutnya yag

dilakukan oleh Ito, et al., menyebutkaan bahwa mecDNA sebagai

Staphylococcal Cassette Chromosome mec (SCCmec), yang berarti

elemen genetik tersebut terintegrasi pada kromosom Staphylococcus

aureus. SCCmec sendiri adalah mobile genetic elements yang

memungkinkan terjadinya perpindahan elemen genetik secara horizontal

diantara spesies. Dari semua elemen SCCmec pada MRSA, gen mecA

ditemukan menyandi penicillin binding protein (PBP) mutan menjadi

PBP2a (Yuwono, 2010).

Resistensi mikroba terhadap golongan betalaktam diperankan oleh gen

mecA yang secara organisasi, struktur, fungsi, dan mekanisme menyerupai

blaZ pada plasmid Staphylococcus aureus produsen betalaktamase. Gen

blaZ akan menginduksi transkripsi PBP terhadap betalaktam. Mekanisme

ini menyerupai yang dilakukan oleh gen mecA yang akan menginduksi

PBP2a yang bersifat mutan. PBP2a ini memiliki afinitas yang sangat

rendah terhadap betaktam, hal inilah yang memungkinkan antibiotik

tersebut gagal menghambat pertumbuhan MRSA. Resistensi MRSA

terhadap golongan nonbetalaktam didasari oleh SCCmec yang memiliki

kemampuan rekombinasi dan menjadi determinan resistensi terhadap

merkuri, kadmium, dan tetrasikilin. Gen lain seperti gyrA juga berinteraksi

15

dengan SCCmec menyebabkan resistensi terhadap kuinolon (Chanda, et

al., 2010; Yuwono, 2010).

Penyebaran gen resistensi ini masih menjadi pertanyaan besar di dunia

mikrobiologi. Pada penelitian sebelumnya, SCCmec ditemukan oleh

Hiramatsu et al., berukuran kurang lebih 60 kb (kilo basa). Ukuran yang

cukup besar ini hanya dimungkinkan untuk ditransfer melalui cara

transduksi dan transformasi, mengingat bahwa Staphylococcus aureus

tidak memiliki sex pilus untuk transfer genetik secara konjugasi. Hingga

saat ini, belum diadakan penelitian lebih merinci tentang proses transfer

genetik SCCmec (Yuwono, 2010).

2.1.5 Uji Resistensi MRSA

Pemeriksaan sensitifitas Staphylococcus aureus terhadap metisilin

menggunakan dua jenis antibiotik yaitu oksasilin dan cefoxitin yang

termasuk dalam golongan betalaktam. Pada tahun 2011, CLSI

mengeluarkan panduan untuk menguji strain MRSA dengan menggunakan

antibiotik oksasilin dimana Staphylococcus aureus dikatakan resisten

oksasilin jika ditemukan diameter zona hambat ≤ 10 mm. Tahun 2015

CLSI mengeluarkan panduan terbaru untuk uji resistensi strain MRSA

dimana digunakan antibiotik cefoxitin. Staphylococcus aureus dikatakan

resisten terhadap cefoxitin bila zona hambat ≤ 21 mm (CLSI, 2011, 2015).

16

Uji resistensi MRSA tidak lagi menggunakan metisilin dikarenakan

metisilin sudah tidak beredar lagi secara komersil. Selain itu oksasilin

dapat bertahan lebih lama pada penyimpanan dan dapat mendeteksi strain

yang heteroresisten. Namun, cefoxitin lebih dianjurkan untuk uji resistensi

MRSA sebab cefoxitin lebih sensitif untuk mendeteksi resistensi yang

disebabkan oleh gen mecA (Broekema, et al., 2009)

2.2 Allium fistulosum L

Bawang daun (Allium fistulosum L) , atau dalam bahasa jawa disebut bawang

prei dan loncang adalah tanaman yang tumbuh banyak di iklim tropis,

terutama di kawasan Asia Tenggara. Budidaya bawang daun di Indonesia

dimulai di Pulau Jawa, terutama di dataran tinggi. Kini bawang daun sudah

dibudidayakan secara luas oleh masyarakat di berbagai wilayah, hal ini

memungkinkan karena bawang daun dapat beradaptasi secara luas terhadap

berbagai kondisi lingkungan, cuaca, dan tumbuh pada berbagai macam tanah

(Cahyono, 2005).

Taksonomi bawang daun adalah sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Sub-divisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Liliflorae

Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium fistulosum L (Rukmana, 2005).

17

Gambar 3 Allium fistulosum L (Cahyono, 2005)

2.2.1 Morfologi

Bawang daun, termasuk jenis tanaman sayuran berumur pendek berbentuk

rumput dengan tinggi mencapai 60 cm atau lebih. Struktur tubuh bawang

daun tersusun atas: akar, batang semu, batang sejati, daun, buah, dan

bunga.

a. Akar

Bawang daun memiliki akar serabut pendek yang tumbuh dan

berkembang ke semua arah. Perakarannya cukup dangkal, yaitu antara

8-20 cm. Akar bawang daun tumbuh baik pada tanah gembur, subur,

mudah menyerap air, dan cukup dalam.

18

b. Batang

Bawang daun memiliki dua macam batang, yaitu batang sejati dan

batang semu. Batang sejati berukuran pendek, berbentuk cakram, serta

terletak di dalam tanah. Batang yang terlihat di permukaan tanah

disebut batang semu, berwarna putih atau hijau keputihan, tersusun

dari pelepah-pelepah daun yang saling membungkus satu sama lain.

Sifat kedua batang ini keras dan berfungsi sebagai jalan mengangkut

makanan serta menyalurkannya ke bagian tanaman lainnya.

c. Daun

Daun tanaman bawang daun berbentuk seperti pipa dengan bagian

ujung yang meruncing. Ukuran panjang daun bervariasi antara 18-40

cm. Daun berwarna hijau tua dengan permukaan yang halus. Bagian

ini adalah bagian yang dikonsumsi sebagai bumbu ataupun penyedap

makanan.

d. Bunga

Bunga Allium fistulosum L tergolong bunga sempurna, memiliki

bentuk payung majemuk atau berganda, berwarna putih. Dalam setiap

tandan bunga terdapat 68-83 kuntum bunga dengan panjang tandan 50

cm atau lebih.

e. Buah

Buah bawang daun memiliki bentuk bulat, berukuran kecil, dan

berwarna hijau muda. Satu tandan dapat memiliki 61-74 buah

(Cahyono, 2005; Rukmana, 2005).

19

Gambar 4 Morfologi bawang daun (Cahyono, 2005)

2.2.2 Kandungan Bawang Daun

Penelitian mengenai kandungan bawang daun (Allium fistulosum L) belum

banyak dilakukan, namun beberapa peneliti berhasil menemukan

kandungan inti bawang daun, antara lain :

a. Luteolin, quercetin, dan kaempferol

Luteolin, quercetin, dan kaempferol adalah senyawa polyphenol

flavonoid. Pada penelitian yang dilakukan oleh Miean dan Mohamed

pada tahun 2001 kandungan luteolin ditemukan sebanyak 391 mg/kg,

1497,5 mg/kg quercetin, dan 832 mg/kg kaempferol. Ketiga

kandungan ini dimiliki paling tinggi oleh Allium fistulosum L

dibandingkan dengan 61 tanaman lain yang diuji. Penelitian lain oleh

Xihuan Feng pada tahun 2011 menunjukkan bahwa bagian tubuh

bawang daun yang memiliki kandungan quercetin paling tinggi adalah

20

bagian daun dan batang semu. Hal ini dikarenakan kedua bagian ini

adalah bagian yang paling terpapar sinar matahari sebagai sumber

fotosintesis (Miean dan Mohamed, 2001; Xihuan Feng, 2011).

Gambar 5 Struktur molekul quercetin(Lakhanpal and Rai, 2007)

Gambar 6 Struktur molekul luteolin (Qiu, et al., 2011)

21

b. Phenolic lainnya

Pada penelitian yang dilakukan oleh L. Vlase et al., tahun 2012

menunjukkan bahwa Allium fistulosum L mengandung asam ferulic,

asam p-Coumaric, isoquercetin, dan quercetrol ( Vlase, et al., 2012).

c. Allicin

Allicin umumnya ditemukan pada bawang putih, sebagai salah satu

senyawa yang paling banyak diteliti manfaatnya. Namun kandungan

allicin juga terdapat pada Allium fistulosum L baik dalam ekstrak yang

dipanaskan ataupun pada suhu ruangan. Kadar allicin yang

ditunjukkan adalah 896.2 mg/100 gr ( Vlase, et al., 2012).

d. Phytosterol

Phytosterol yang ditemukan pada Allium fistulosum L adalah β-

sitosterol, campesterol, dan stigmasterol. Phytosterol sendiri

berdasarkan penelitian banyak digunakan untuk mengatur diet

kolestrol terutama dalam mengurangi risiko ateroskeloris dan penyakit

kardiovaskular lainnya. Manfaat phytosterol lainnya adalah sebagai

antiinflamasi dan imunomodulator ( Vlase, et al., 2012).

2.2.3 Allium fistulosum L sebagai Antibakteri

Penelitian mengenai efek antibakteri Allium fistulosum L belum banyak

dilakukan, namun berdasarkan temuan kandungannya, beberapa senyawa

yang terkandung dalam Allium fistulosum L dapat berfungsi sebagai

antibakteri.

Kandungan luteolin yang terdapat pada Allium fistulosum L memiliki

kemampuan untuk mengahambat pertumbuhan bakteri. Hal ini disebabkan

22

karena luteolin bekerja dengan menghambat kerja enzim ATPase dan

merusak membran sitoplasma pada MRSA (Song, et al., 2016) . Luteolin

juga bekerja dengan menghambat aktivitas DNA topoisomerase I dan II

sehingga terjadi gangguan sintesis protein dan asam nukleat (Wang dan

Xie, 2010). Luteolin juga bekerja pada hemolisis Staphylococcus aureus

dengan menurunkan kerja α-toksin (Qiu, et al., 2011).

Kandungan lainnya yang berfungsi sebagai antibakteri adalah quercetin

yang bekerja dengan merusak membran sitoplasma sehingga terjadi

kebocoran ion potassium, fosfat, dan konstituen seluler lainnya seperti

asam nukleat, dan protein. Quercetin dan kombinasinya bersama beberapa

antibiotik juga bekerja sinergis dalam menghambat pertumbuhan bakteri

resisten ( Amin, et al., 2015, 2016).

Kandungan lain sebagai antibakteri adalah allicin yang telah dibuktikan

secara luas sebagai antibakteri. Meskipun kandungannya pada Allium

fistulosum L tidak sebanyak yang terdapat pada bawang putih (Allium

sativum), namun allicin tetap mengambil peran dalam penghambatan

bakteri. Allicin bekerja dengan menghambat kerja thiol, senyawa yang

mengandung enzim sehingga terjadi inhibisi sintesis RNA. Allicin juga

bekerja pada dinding sel bakteri gram positif sehingga terjadi kebocoran

sel (Wood, 2009).

23

2.3 Pengukuran Zona Hambat

Dalam menentukan apakah suatu bakteri patogen masih sensitif terhadap

antimikroba tertentu, dapat dilakukan suatu uji. Metode yang dapat digunakan

antara lain adalah dilusi ataupun difusi. Melalui metode dilusi, sejumlah zat

antimikroba dimasukkan ke dalam media padat atau cair. Media lalu

diinokulasikan dengan bakteri yang diuji. Tujuan dari metode ini adalah

mengetahui berapa jumlah zat antimikroba yang dibutuhkan untuk

menghambat pertumbuhan ataupun membunuh bakteri tersebut (Brooks, et al.,

2012).

Uji mikroba dengan difusi terdiri dari berbagai macam metode, antara lain

metode difusi cakram, metode gradient dengan E-test, dan metode difusi

lainnya mencakup well diffusion method atau yang disebut metode sumuran.

Pada metode difusi cakram, media sebelumnya diinokulasikan bakteri dengan

menggunakan lidi kapas steril. Persebaran bakteri pada media haruslah merata

dengan menggunakan prinsip tiga kali goresan di seluruh lapang media.

Selanjutnya, pada media ditaruh disk kosong yang sebelumnya telah direndam

air ekstrak selama 30 menit. Kertas disk kosong berukuran 6mm dan dapat

mengandung . 20 μL larutan ekstrak (Rolinson dan Russell, 1972; Vineetha, et

al., 2015; Hudzicki, 2016).

Media kemudian diinkubasi pada suatu kondisi tertentu kemudian dilihat

adanya zona jernih disekitar kertas cakram. Zona jernih tersebut lalu diukur

untuk menunjukkan kekuatan inhibisi antimikroba ekstrak tersebut. Zona

24

hambatan nol berarti bahwa tidak terdapat zona jernih yang terbentuk di

sekeliling kertas cakram. Zona hambatan parsial berarti bahwa zona jernih

yang terbentuk masih terlihat adanya pertumbuhan bakteri. Zona hambatan

total berarti bahwa zona jernih yang terbentuk di sekeliling kertas cakram

terlihat jernih. Diameter zona hambat ini diukur dengan menggunakan jangka

sorong dalam satuan millimeter (mm) (Balouiri, et al., 2016).

2.4 Pengukuran Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)

Pengukuran KHM ditujukkan untuk mengukur konsentrasi minimal

antimikroba yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang diuji. Metode yang digunakan adalah metode

makrodilusi dengan melarutkan sejumlah antimikoba tertentu ke dalam kaldu

dengan volume minimal 2 mL terukur dan diinokulasi dengan sejumlah

mikroorganisme. Konsentrasi hambat minimal dicapai saat tabung dari kaldu

terakhir yang tetap jernih, dianggap bahwa bebas dari pertumbuhan mikroba.

(Brooks, et al., 2012).

2.5 Pengukuran Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)

Pengukuran konsentrasi bunuh minimal (KBM) dilakukan dengan melakukan

subkultur kaldu jernih ke medium padat bebas antimikroba. Jika hasil

menunjukkan reduksi pembentuk koloni sebesar 99,9%, maka konsentrasi nya

disebut sebagai konsentrasi bunuh minimal (KBM) (Brooks, et al., 2012).

25

2.6 Kerangka Penelitian

2.6.1 Kerangka Teori

Bawang daun (Allium fistulosum L) memiliki kandungan bahan aktif,

antara lain luteolin, quercetin, allicin, serta kandungan polyphenol

lainnya (Miean dan Mohamed, 2001; Vlase, et al., 2012). Pada

penelitian sebelumnya luteolin dan quercetin telah dibuktikan

memiliki efek antimikroba baik terhadap bakteri sensitif maupun

resisten antibiotik ( Amin, et al., 2016). Luteolin memiliki kemampuan

untuk menghambat kerja enzim ATPase dan merusak membran

sitoplasma sehingga terjadi kebocoran plasma (Song, et al., 2016).

Luteolin juga bekerja dengan menghambat sintesis protein dan asam

nukleat melalui penghambatan terhadap enzim DNA topoisomerase I

dan II (Wang dan Xie, 2010). Quercetin bekerja dengan merusak

membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran ion potassium, pospat,

dan konstituen seluler lainnya seperti asam nukleat, dan protein (

Amin, et al, 2015). Kandungan antimikroba lainnya adalah allicin

yang bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan berikatan dengan

dinding sel sehingga terjadi kebocoran sel (Wood, 2009).

Berdasarkan teori tersebut, dibentuk kerangka teori sebagai berikut :

26

Ekstrak bawang daun

(Allium fistulosum L)

Luteolin Quercetin Allicin

Menghambat

kerja enzim ATPase dan

merusak

membran

sitoplama

Menghamb

at sintesis protein dan

asam

nukleat

Merusak

membran sitoplasma

sehingga

terjadi kebocoran

ion

Menghamb

at sintesis

RNA

Berikatan

dengan dinding sel

sehingga

terjadi kebocoran

sel

Terhambatnya pertumbuhan

Methicillin resistant

Stpahylococcus aureus (MRSA)

(Miean and Mohamed, 2001; Wood, 2009; Wang and Xie, 2010; Vlase, et al., 2012;

Amin, et al., 2015, 2016; Song, et al., 2016)

Gambar 7 KerangkaTeori

27

2.6.2 Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 8 Kerangka konsep

2.7 Hipotesis

H1 :Terdapat perbedaan daya hambat ekstrak Allium fistulosum L

terhadap pertumbuhan bakteri methicillin resistant Staphylococcus

aureus (MRSA)

H0 : Tidak terdapat perbedaan daya hambat ekstrak Allium fistulosum L

terhadap pertumbuhan bakteri methicillin resistant Staphylococcus

aureus (MRSA)

Ekstrak bawang daun (Allium

fistulosum L)

Zona hambat, kadar hambat

minimal (KHM), kadar bunuh

minimal (KBM) Methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain

penelitian posttest dengan kelompok kontrol (posttest only control group

design), dimana terdapat dua kelompok sebagai objek penelitian, dengan

satu kelompok mendapat perlakuan dan kelompok lain tanpa perlakuan

atau berperan sebagai kontrol (Notoatmojo, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti efek dari ekstrak bawang daun

(Allium fistulosum L ) terhadap diameter zona hambat methicillin resistant

Staphylococcus aureus (MRSA), serta menemukan konsentrasi hambat

minimal dan konsentrasi bunuh minimal dari ekstrak tersebut terhadap

MRSA.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung

29

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian diadakan pada bulan November sampai dengan

Desember tahun 2017

3.3 Mikroba dan Bahan Uji Penelitian

3.3.1 Mikroba Uji Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan bakteri uji methicillin resistant

Staphlococcus aureus (MRSA), didapat dari Laboratorium

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang

merupakan isolat dari pasien di rumah sakit.

3.3.2 Bahan Uji Penelitian

Penelitian ini menggunakan bawang daun (Allium fistulosum L)

yang diperoleh dari pasar tradisional di Bandar Lampung. Allium

fistulosum L selanjutnya dibersihkan, kemudian diekstrak di

Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam (FMIPA) Universitas Lampung.

3.3.3 Media Kultur

Media kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah media agar

darah domba, MSA (Mannitol Salt Agar), MHA (Mueller Hinton

Agar) dan MHB (Mueller Hinton Broth) . Media agar darah domba

digunakan untuk mengkultur bakteri methicillin resitant

Staphylococcus aureus (MRSA). Sedangkan MSA digunakan

untuk menguji kemampuan meragikan mannitol. Kemudian

digunakan media MHA (Mueller Hinton Agar) sebagai media

30

tempat pengukuran diameter zona hambat bakteri pada metode

difusi dan media MHB (Mueller Hinton Broth ) pada metode dilusi

untuk melihat KHM dan KBM.

3.4 Identifikasi Variabel

3.4.1 Variabel Independen

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak bawang daun

(Allium fistulosum L) dalam berbagai tingkat konsentrasi.

3.4.2 Variabel Dependen

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah diameter zona hambat

pertumbuhan bakteri methicillin resitant Staphylococcus aureus

(MRSA), kadar hambat minimal dan kadar bunuh minimal ekstrak

bawang daun (Allium fistulosum L) terhadap MRSA.

31

3.5 Definisi Operasional

Tabel 1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1 Ekstrak

bawang

daun

(Allium fistulosum

L)

Suatu zat

yang

diperoleh

dari pengolahan

bawang

daun

menjadi

cairan yang

mengandung

sari pati

bawang

daun melalui

proses

pengolahan mekanik dan

kimiawi

Menggunakan

persamaan :

N1 x V1 = N2 x

V2 Keterangan

N1=

Konsentrasi

awal

V1= Volume

awal

N2=

Konsentrasi

akhir

V2= Volume

akhir

Berupa

ekstrak

bawang

daun dengan

kadar dan

volume

yang

diinginkan

Numerik

Rasio

2 Diameter

Zona

Hambat

Luas daerah

zona hambat

yang

terbentuk

setelah

diberikan

variabel

independen

Zona hambat

diukur

menggunakan

jangka sorong/

penggaris

Zona

hambat

(mm)

Numerik

Rasio

3 Kadar

Hambat Minimal

(KHM)

Konsentrasi

minimal yang

dibutuhkan

suatu

antimkroba

dalam

menghambat

pertumbuhan

bakteri

Membandingkan

kejernihan dengan kontrol

Konsentrasi

ekstrak (%)

Numerik

Rasio

4 Kadar

Bunuh

Minimal (KBM)

Konsentrasi

minimal

yang dibutuhkan

suatu

antimikroba

dalam

membunuh

mikroba

tertentu

Melihat

pertumbuhan

koloni dari ekstrak yang

telah di dilusi

Konsentrasi

ekstrak (%)

Numerik

Rasio

32

3.6 Besar Sampel

Dalam penelitian ini, dilakukan pemberian berbagai kadar ekstrak bawang

daun, yaitu pada kadar 6,25%, 12,5%, 25%, 50%, dan 100% (Pajan,

Waworuntu dan Leman, 2016). Terdapat juga perlakuan dengan

pemberian vankomisin sebagai kontrol positif dan akuades sebagai kontrol

negatif. Penggunaan vankomisin sebagai kontrol positif mengacu pada

pengobatan MRSA yang diakui oleh FDA yaitu vankomisin, linezolid,

daptomisin, dan tigesiklin. Vankomisin telah dipakai sebagai pengobatan

terhadap MRSA selama bertahun-tahun dan dinilai cukup efektif dalam

membunuh pertumbuhan bakteri. Terapi vankomisin juga dinilai lebih

baik dibanding menggunakan antibiotik sulfametoksazol-trimethoprim

(Budiani dan Adiguna, 2014). Untuk menentukan jumlah pengulangan

pada penelitian, digunakan rumus Federer (Sostroasmoro, 1995) :

(n – 1) (k – 1) ≥15

(n–1) ( 7– 1) ≥15

(n – 1)6 ≥15

6n-6 ≥15

6n ≥21

n ≥ 3,5

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, didapatkan besar sampel adalah lebih

besar dari sama dengan 3,5 Untuk menghindari kesalahan, maka sampel

dibulatkan keatas menjadi 4. Besar sampel ini selanjutnya akan dijadikan

sebagai acuan dilakukkannya pengulangan perlakuan pada penelitian.

33

Pengulangan dilakukan pada masing-masing kadar dan kontrol, sehingga ada

28 kali perlakuan kepada mikroba.

3.7 Prosedur Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni. Dalam penelitian ini,

ekstrak bawang daun diencerkan sampai terbentuk berbagai macam

konsentrasi. Selanjutnya disk kosong berukuran 6 mm direndam di dalam

larutan ekstrak berbagai konsentrasi dan ditaruh di dalam media uji yang

telah diinokulasi bakteri. Daerah bening yang terbentuk diluar kertas

cakram diidentifikasi sebagai zona hambat pertumbuhan bakteri

methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Balouiri, et al.,

2016).

Setelah ditemukan zona hambat, selanjutnya dilakukan uji kadar hambat

minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). KHM dan KBM

dinilai dari kejernihan tabung dengan berbagai konsentrasi setelah

diinokulasikan bakteri. Penelitian ini akan dilakukan pengulangan

sebanyak 4 kali.

3.7.1 Persiapan Penelitian

3.7.1.1 Alat Penelitian

1. Rak dan tabung reaksi

2. Ose

3. Beker glass

34

4. Pipet

5. Kapas alkohol

6. Cawan Petri

7. Alat pengaduk

8. Autoclave

9. Inkubator

10. Disk Kosong

3.7.1.2 Bahan Penelitian

1. Ekstrak bawang daun (Allium fistulosum L) yang diperoleh

dari ekstraksi bawang daun. Proses pengekstrakan

dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung

2. Bakteri methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA)

3. Media agar; lempeng agar darah domba, MSA (Mannitol

Salt Agar), MHA (Mueller Hinton Agar), dan MHB

(Mueller Hinton Broth)

4. Akuades steril

3.7.2 Sterilisasi Alat

Alat dan bahan penelitian yang akan dipakai, kecuali ekstrak

bawang daun dan suspensi kuman harus disterilisasi agar terhindar

dari mikroorganisme lain yang mungkin mempengaruhi hasil

penelitian. Sterilisasi dilakukan dengan autoklaf pada suhu 121°C

35

selama 10-12 menit. Selanjutnya alat-alat dan bahan penelitian

ditunggu hingga kering dan mencapai suhu kamar (Syahrurachman

dan Warsa, 2010).

3.7.3 Pembuatan Ekstrak Bawang Daun (Allium fistulosum L)

Bagian bawang daun yang digunakan pada penelitian ini adalah

bagian daun dan batang semu dikarenakan pada kedua bagian

tersebut didapati kandungan quercetin paling banyak. Bawang

daun (Allium fistulosum L) diiris tipis-tipis lalu kemudian di

keringkan menggunakan oven 50°C selama 16 jam. Selanjutnya,

bawang daun yang telah kering akan di blender lalu di ayak dengan

ayakan 35 mesh sampai didapatkan serbuk bawang daun. Bawang

daun selanjutnya di ekstraksi menggunakan metode maserasi

selama 24-72 jam dengan pelarut etanol 96% perbandingan 1:10

dimana setiap 1 g bawang daun dibutuhkan pelarut 10 ml. Ekstrak

yang terbentuk berkonsentrasi 100% (Siregar dan Jaya, 2015).

Ekstrak bawang daun pekat yang terbentuk akan diencerkan

dengan menggunakan akuades steril dengan tingkat konsentrasi

6,25%, 12,5%, 25%, 50%, dan 100% menggunakan rumus berikut:

N1 x V1 = N2 x V2

36

3.7.4 Identifikasi Bakteri Uji

Identifikasi bakteri uji dilakukan denggan pewarnaan dan tes

biokimiawi sebagai berikut :

1. Pewarnaan gram

Pewarnaan gram ditujukkan untuk mengetahui bakteri yang

diujikan termasuk dalam golongan gram positif atau negatif.

Pada pewarnaan gram digunakan beberapa zat warna antara

lain kristal ungu dan fukhsin. Bakteri gram positif akan

memberikan hasil pewarnaan berwarna ungu, sedangkan gram

negatif akan berwarna merah (Syahrurachman dan Warsa,

2010).

2. Tes Biokimiawi Bakteri Gram Positif

2.1 Uji Katalase

Uji katalase dilakukan untuk membedakan bakteri

Staphylococcus sp. dengan Streptococcus sp. Uji ini

dilakukan dengan meneteskan hidrogen peroksida pada

bakteri yang telah diambil dengan menggunakan ose ke

kaca objek. Hasil positif bila terbentuk busa yang

menandakan bahwa bakteri tersebut adalah Staphylococcus

sp. Hasil negatif bila tidak terdapat busa, yang menandakan

bakteri Streptococcus. Prinsip dari uji ini adalah terdapat

enzim katalase yang dapat mengubah hidrogen peroksida

menjadi air dan gas oksigen (Leboffe dan Pierce, 2011).

37

3. Kultur pada Mannitol Salt Agar (MSA)

Kultur ini dilakukkan untuk membuktikan apakah

Staphylococcus aureus dapat meragikan mannitol. Media MSA

tersusun atas karbohidrat mannitol, NaCl, dan fenol merah

sebagai pH indikator. Fenol merah akan berubah menjadi

kuning saat pH dibawah 6,8 - 8,4 dan merah muda saat pH

diatas 8,4. Stahylococcus aureus dapat tumbuh pada media ini

karena terdapat NaCl dan pH yang optimal. Selanjutya

Staphylococcus aureus akan memfermentasi mannitol dan

menghasilkan asam, sehingga warna media berubah menjadi

kuning. Saat terbentuk zona kuning disekitar koloni bakteri, hal

ini membuktikan bahwa koloni tersebut adalah Staphylococcus

aureus (Leboffe dan Pierce, 2011).

4. Uji Hemolisis dengan Agar Darah Domba

Uji ini untuk membuktikan terdapatnya produk eksotoksin

hemolisin pada Staphylococcus aureus yang dapat melisiskan

sel darah merah dan hemoglobin. Zona jernih disekitar koloni,

menunjukkan aktifitas β-hemolisis, sedangkan jika terdapat

zona kehijauan disekitar koloni menunjuukkan aktifitas α-

hemolisis. Jika disekitar koloni tidak terdapat zona jernih,

menunjukkan aktivitas γ-hemolisis yang bersifat non-hemolosis

(Leboffe dan Pierce, 2011).

38

5. Uji resistensi MRSA

Uji ini bertujuan untuk membuktikan apakah strain

Staphylococcus aureus yang akan diteliti adalah strain yang

sensitif atau resisten terhadap metisilin. Uji resistensi

menggunakan dua jenis antibiotik yaitu oksasilin dan cefoxitin.

Staphylococcus aureus yang dikatakan resisten terhadap

oksasilin memiliki zona hambat ≤ 10 mm dan ≤ 21 mm pada

cefoxitin (CLSI, 2011, 2015).

3.7.5 Pembuatan Standar Kekeruhan Mc Farland

Larutan Mc Farland terdiri atas 𝐵𝑎𝐶𝑙2 1% dan 𝐻2𝑆𝑂4 1%. Larutan

𝐵𝑎𝐶𝑙2 1% 0,05 ml dicampurkan dengan larutan 𝐻2𝑆𝑂4 1%

sebanyak 9,95 ml, lalu kedua campuran larutan dicampur sampai

homogen. Nilai absorban larutan baku Mc Farland sebesar 0,5

akan ekuivalen dengan suspensi sel bakteri konsentrasi 108

CFU/ml (Toy, et al., 2015).

3.7.6 Teknik Pembuatan Suspensi Bakteri

Bakteri strain murni methicillin resistant Staphylococcus aureus

(MRSA) dibuat suspensi dengan menambahkan larutan NaCl 0,9%

sampai didapatkan standar kekeruhan 0,5 Mc Farland yang

sebanding dengan 108 CFU/ ml bakteri. Standar kekeruhan didapat

dengan membandingkan tabung berisi bakteri dan tabung Mc

Farland secara berdampingan. Kekeruhan dilihat secara kasat mata

39

yaitu membandingkan dengan memberikan latar belakang kertas

berwarna putih yang diberi garis tebal dengan spidol berwarna.

Jika suspensi bakteri terlalu keruh, maka ditambahkan larutan

NaCl 0,9%, jika suspensi bakteri kurang keruh, maka ditambahkan

koloni bakteri (CLSI, 2011; Misna dan Diana, 2016).

3.7.7 Teknik Pembuatan Mueller Hinton Agar (MHA)

Sebanyak 3,8 gr/L MHA dilarutkan ke dalam 1 liter akuades,

panaskan sampai mendidih. Kemudian larutan disterilkan dengan

autoklaf pada suhu 121°C selama 25 menit. Setelah steril, tunggu

sampai suhu MHA turun menjadi 40°C, lalu tuangkan MHA ke

cawan petri yang telah disterilkan (Lukman, 2013).

3.7.8 Teknik Pembuatan Mueller Hinton Broth (MHB)

Sebanyak 21 gram campuran komposisi MHB dicampur dengan

1000 ml air terdestilasi. Selanjutnya larutan dipanaskan sampai

mendidih untuk memastikan larutan tercampur dengan baik.

Larutan selanjutnya di kocok sampai homogen dan dimasukkan ke

dalam tabung reaksi. Media kemudian disterilkan dengan autoklaf

pada suhu 121°C selama 15 menit (CLSI, 2015).

3.7.9 Uji Diameter Zona Hambat dengan Metode Difusi Cakram

Penelitian ini menggunakan metode difusi cakram yang disarankan

oleh CLSI sebagai metode standar dalam pemeriksaan kepekaan

40

antibiotik. Melalui metode ini, dapat ditentukan sensitifnya suatu

antibiotik terhadap bakteri tertentu dengan mengukur zona jernih

yang terbentuk. (Balouiri, et al., 2016).

Prosedur diawali dengan pembuatan media uji. Media uji Mueller

Hinton Agar (MHA) hangat dituang kedalam petridish sebanyak 20

ml, lalu media dibiarkan pada suhu ruangan sampai mengeras.

Setelah media mencapai suhu ruangan, media diinokulasi dengan

bakteri yang akan diuji menggunakan lidi kapas steril. Lidi kapas

steril dimasukkan kedalam campuran bakteri dan NaCl 0,9% yang

telah disetarakan dengan larutan standar McFarland. Lidi kapas

steril yang sudah ditiriskan kemudian digoreskan pada media MHA

sebanyak tiga kali pada seluruh lapang media. Penggoresan

dilakukan sambil memutar media sebanyak tiga kali dengan sudut

kurang lebih 60° agar bakteri tergores merata pada seluruh media

(Hudzicki, 2016).

Selanjutnya, disk kosong dengan diameter 6 mm di rendam ke

dalam larutan ekstrak bawang daun dengan konsentrasi 6,25%,

12,5%, 25%, 50%, dan 100% selama 30 menit. Kemudian disk

ditaruh kedalam media yang telah diinokulasi bakteri

menggunakan pinset steril. Jarak antar disk satu dengan lain dibuat

kurang lebih 15 mm. Selanjutnya media diinkubasi pada suhu 37°C

41

selama 24 jam. Pengukuran dilakukkan setelah 24 jam masa

inkubasi (Vineetha, et al., 2015; Balouiri, et al., 2016).

Terbentuknya zona bening di sekitar disk yang menunjukkan

aktivitas antibakteri dari ekstrak maupun antibiotik terhadap

bakteri. Zona bening tersebut diidentifikasi sebagai zona hambat,

yang kemudian diukur diameternya menggunakan jangka sorong.

Prosedur tersebut dilakukan sebanyak 4 kali (Balouiri, Sadiki dan

Ibnsouda, 2016).

Gambar 9 Pengukuran Diameter Zona Hambat

(Toy, Lampus dan Hutagalung, 2015)

3.7.10 Pengukuran Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar

Bunuh Minimal (KBM) dengan Metode Makrodilusi

Kadar hambat minimal (KHM) ditentukan dengan menggunakan

teknik dilusi perbenihan cair metode makrodilusi. Metode

makrodilusi dipakai karena lebih praktis dalam aplikasi dan

menghindari kesalahan dalam pembacaan kejernihan secara

manual (Balouiri, Sadiki dan Ibnsouda, 2016).

42

Metode makrodilusi menggunakan prinsip pengenceran

konsentrasi dengan perbandingan 1:2. Dalam penelitian ini,

terdapat 7 perlakuan, 5 perlakuan dengan pemberian ekstrak, 1

perlakuan dengan antibiotik vankomisin sebagai kontrol dan 1

perlakuan tanpa pemberian antibakteri. Disiapkan 7 tabung dan

diberi label 1-7. Tabung 6 diberi label K (-) yang menunjukkan

kontrol negatif, yaitu tabung berisikan methicillin-resistant

Staphylococcus aureus yang setara dengan kekeruhan Mc Farland

dengan cara membandingkannya secara kasat mata yaitu dengan

memberikan latar belakang kertas berwarna putih yang diberi garis

tebal dengan spidol berwarna. Tabung 7 diberi label K (+) yang

menunjukkan kontrol positif yaitu tabung berisi antibiotik dan

suspensi bakteri (Pajan, Waworuntu dan Leman, 2016).

Pada tabung pertama, diisi sebanyak 4 mL ekstrak bawang daun

(Allium fistulosum L) dengan konsentrasi 100%. Selanjutnya

tabung 2-5 diisi dengan 2mL media MHB. Kemudian ambil 2 mL

larutan dari tabung 1 dan dimasukkan ke dalam tabung 2 sehingga

didapatkan konsentrasi 50%. Hal yang sama dilakukan hingga

tabung 5 sehingga didapatkan konsentrasi dengan perbandingan

1:2. Kemudian di setiap tabung diisi dengan bakteri methicillin-

resistant Staphylococcus aureus yang sudah setara dengan

43

kekeruhan Mc Farland sebanyak 1 mL (Pajan, Waworuntu dan

Leman, 2016).

Selanjutnya tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37° C selama 24

jam, kemudian diamati kekeruhan dengan membandingkannya

dengan perlakuan kontrol. Jika kekeruhan masing-masing tabung

masih setara, atau lebih keruh dibandingkan K(-) maka bakteri

dikatakan masih dapat bertumbuh. Namun apabila larutan dalam

tabung mulai terlihat lebih jernih dibandingkan tabung K(-), berarti

petimbuhan bakteri mulai terhambat. Konsentrasi terendah dari

larutan sampel yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri

ditentukan sebagai Kadar Hambat Minimum (KHM) (Puspitasari,

2008; Pajan, Waworuntu dan Leman, 2016).

Untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimal (KBM) larutan dengan

berbagai konsentrasi hasil uji KHM digoreskan pada media

Mueller Hinton Agar kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama

24 jam. KBM ditentukan pada konsentrasi terkecil dimana pada

media tidak terdapat pertumbuhan koloni kuman (Puspitasari,

2008; Soleha, 2015).

44

3.7.11 Diagram Alur Penelitian

Identifikasi bakteri uji

Pembiakan bakteri pada agar

Perlakuan terhadap bakteri uji

Uji Diameter Zona Hambat

dengan Metode Difusi

Cakram

Uji KHM dan KBM dengan

Metode Makrodilusi

Metode Difusi Cakram

K1

Bakter

i dan ekstrak

100%

Pengukuran zona hambat,

Analisis

K2

Bakter

i dan

ekstra

k 50%

K3

Bakte

ri dan

ekstra

k

25%

K4

Bakte

ri dan

ekstra

k

12,5

%

K5

Bakte

ri dan ekstra

k

6,25

%

K6

Bakteri

diberika

n

akuades steril

K7

Bakte

ri diberi

kan

vanko

misin

45

Perbandingan Konsentrasi 1:2

Gambar 10 Alur Penelitian

K6 (-)

aquades

K1

100%

K2

50%

K3

25%

K4

12,5%

K5

6,25%

K7 (+)

Vancomy

cin

Metode Makrodilusi

Membandingkan

kejernihan dengan

kontrol

Mengkultur larutan

Tidak Terdapat

Pertumbuhan bakteri

Kadar Bunuh Maksimal

(KBM)

Kadar Hambat

Minimal (KHM)

46

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1 Pengolahan Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan komputer.

Langkah-langkah pengolahan datanya antara lain:

1. Editing, yang bertujuan untuk melakukan pengecekkan dan

perbaikan data

2. Coding, yaitu mengkonversikan data ke dalam symbol yang

sesuai.

3. Data entry, yaitu memasukkan data ke dalam program

4. Cleaning, yaitu melakukkan pengecekkan kembali data

yang diperoleh dari setiap sumber untuk melihat adanya

kemungkinan kesalahan kode, ketidaklegkapan data, dan

apakah masih mungkin untuk dilakukan pengkoreksian.

3.8.2 Analisis Data Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukkan untuk

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

Menggunakan mean atau rata-rata, median atau nilai tendensi

tengah, dan standar deviasi jika data bersifat numerik.

3.8.3 Analisis Data Bivariat

Besar sampel dalam penelitian ini adalah < 50, untuk itu digunakan

uji Shapiro-wilk dalam menguji normalitas data. Distribusi data

didapatkan tidak normal karena p < 0,05.

47

Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Non

Parametrik Kruskal Wallis Interpretasi uji statistik yakni :

1. Bila p < α (0,05), maka hasil yang didapatkan bermakna,

yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara

variabel, atau hipotesis penelitian diterima.

2. Bila p > α (0,05), maka dua sampel yang diteliti tidak

mendukung adanya perbedaan bermakna, atau hipotesis

penelitian ditolak

Selanjutnya dilakukan uji Post hoc Mann Whitney untuk mengetahui

kelompok mana yang memiliki perbedaan bermakna

3.9 Etika Penelitian

Penelitian ini diajukan bagian Ethical Clearance dari Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung dengan nomor 4339/UN26.8/DL/2017

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut:

1. Rerata zona hambat pertumbuhan bakteri MRSA tidak terbentuk pada

konsentrasi 6,25%, 12,5%, dan 25%. Sedangkan pada konsentrasi 50%

dan 100% terdapat rerata zona jernih yang tidak signifikan.

2. Tidak didapatkan konsentrasi hambat minimal (KHM) ekstrak bawang

daun yang dapat menghambat pertumbuhan MRSA.

3. Tidak didapatkan konsentrasi bunuh minimal (KBM) ekstrak bawang daun

yang dapat membunuh pertumbuhan MRSA.

4. Secara statistik, ekstrak bawang daun dengan konsentrasi 6,25%, 12,5%,

25%, 50%, dan 100% tidak memiliki daya antibakteri sebaik antibiotik

vankomisin.

5.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui zat aktif ekstrak bawang

daun yang memiliki efek antibakteri.

2. Perlu dilakukan penelitian kembali mengenai proses ekstraksi bawang

daun tanpa menghilangkan efek antibakteri ekstrak tersebut.

65

3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh lama waktu dan suhu

penyimpanan ekstrak terhadap efek antibakteri ekstrak bawang daun.

4. Perlu dilakukan penelitian mengenai efek antibakteri ekstrak bawang daun

terhadap bakteri resisten lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin MU, Khurram M., Khan TA, Faidah HS, Shah ZU, Rahman SU, et al.

2016. Effects of Luteolin and Quercetin in Combination with Some

Conventional Antibiotics against Methicillin-Resistant Staphylococcus

aureus. Int J Mol Sci. 17:11–6

Amin MU, Khurram M, Khattak B dan Khan J. 2015. Antibiotic additive and

synergistic action of rutin, morin and quercetin against methicillin resistant

Staphylococcus aureus. BMC Comp and Altr Med. 15(1):59-71

Amos FRAR., Akaishi YOT, Hirotori MIKIS, Awaguchi YOK, Suchiya KOT,

Hibata HIS, et al., 2006. Antibacterial and Antioxidant Activities of

Quercetin Oxidation Products from Yellow Onion ( Allium cepa ) Skin. J

Agric Food Chem. 54(10): 3551-7

Balouiri M., Sadiki M, dan Ibnsouda SK. 2016 Methods for in vitro evaluating

antimicrobial activity : A review J Phar Analysis. Elsevier, 6(2): 71–9

Bradley, Benny. 2017. Perbandingan Daya Hambat Konsentrasi Ekstrak Etanol

Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus [skripsi]. Bandar Lampung :

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Brooks GF, Butel JS, dan Morse SA. 2012. Jawetz, Melnick, & Adelberg

Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Broekema NM, Van TT, Monson TA, Marshall SA, dan Warshauer DM. 2009.

Comparison of Cefoxitin and Oxacillin Disk Diffusion Methods for

Detection of mecA -Mediated Resistance in Staphylococcus aureus in a

Large-Scale Study. J Clin Microbiol. 47(1): 217-9.

Budiani LD dan Adiguna MS. 2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. MDVI.

41(2): 85–90.

Cahyono, B. 2005. Bawang Daun Teknik Budi Daya dan Analisis Usaha Tani.

Yogyakarta: Kanisius.

Caroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, Detrick B, et al. 2016.

Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology. Edisi 27. London:

Mc Graw Hill.

Chanda S, Vyas BRM., Vaghasiya Y, dan Patel H. 2010. Global resistance trends

and the potential impact of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (

MRSA ) and its solutions. Appl Microbol. Cdc: 529–36.

Chang T., Chang H., Chang S., Lin S. dan Chang Y. 2013. A Comparative Study

on the Total Antioxidant and Antimicrobial Potentials of Ethanolic

Extracts from Various Organ Tissues of Allium spp. FNS. 4: 182–90.

Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI). 2011. M100-S21 Performance

Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing. Edisi 21 Wayne:

Clinical Laboratory Standards Institute.

Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI). 2015. M100-S25 Performance

Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing. Edisi 25 Wayne:

Clinical Laboratory Standards Institute.

Cutler RR, Wilson P. 2004 Antibacterial activity of a new, stable, aqueous extract

of allicin against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. British J

Biomed Sci. 61(2): 1–4

Dicky A. 2016. Perbandingan efek pemberian ekstrak temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb) terhadap daya hambat pertumbuhan Staphylococcus

aureus dan Escherichia coli secara in vitro. [Skripsi] Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung.

Gould IM. . 2009. Antibiotic resistance: the perfect storm. International Journal of

Antimicrobial Agents. Elsevier.34 (SUPPL 3): S2–S5

Green BN, Johnson CD, Egan JT, Rosenthal M., Griffith EA, dan Evans MW.

2012. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: An overview for

manual therapists. J Chiro Med. 11(1): 64–76.

Hirai I, Okuno M, Katsuma R, Arita N, Tachibana M dan Yamamoto Y. 2010.

Original article Characterisation of anti- Staphylococcus aureus activity of

quercetin. Int J F Sci Tech. 45: 1250-1254

Hudzicki J. 2016. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol.

American Society for Microbiology. 1: 1–23.

Kyaw BM, Arora S, dan Lim CS. 2012. Bactericidal antibiotic-phytochemical

combinations against methicillin resistant Staphylococcus aureus.

Brazilian J Microb. 43(3): 938–45.

Lakhanpal, P. dan Rai DK. 2007. Quercetin: A Versatile Flavonoid. Int J Med

Update - EJOURNAL. 2(2): 22–37

Leboffe M, dan Pierce B. 2011. A Photographic Atlas for the Microbiology

Laboratory. 4th edn. San Diego: Douglas N. Morton

Liana, P. 2014. Gambaran Kuman Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus

(MRSA) di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Periode Januari-

Desember 2010. MKS. 46(3): 171–5

Lukman SR. .2013. Uji Daya Hambat Ekstrak Buah Kaktus Pir Berduri (Opuntia

ficus indica) terhadap Pertumbuhan Candida albicans secara in. vitro.

[skripsi]. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Lv P, Li H, Xue J, Shi L dan Zhu H. 2009. Synthesis and Biological Evaluation of

Novel Luteolin Derivatives as Antibacterial Agents. European J Medi

Chem. Elsevier Masson SAS. 44(2): 908–914.

Mardiastuti HW, Karuniawati A, Kiranasari A, dan Kadarsih R.. 2007. Emerging

Resistance Pathogen : Situasi Terkini di Asia , Eropa , Amerika Serikat ,

Timur Tengah dan Indonesia. MKI. 57(3): 75–9.

Miean KH, dan Mohamed S. 2001. Flavonoid (Myricetin, Quercetin, Kaempferol,

Luteolin, and Apigenin) Content of Edible Tropical Plants. J Agric Food

Chem. 49(6): 3106–12.

Misna and Diana K. 2016. Aktivitas Antibakteri Ekstral Kulit Bawang Merah (

Allium cepa L .) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Galenika J

Pharm. 2(2): 138–44.

Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pajan SA, Waworuntu O, dan Leman MA. 2016. Potensi Antibakteri Air Perasan

Bawang Putih (Allium sativum L) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus

aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi. 5(4):77–89

Puspitasari, I. 2008. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bawang Putih ( Allium

sativum Linn ) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus In Vitro. [Artikel

Karya Tulis Ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro.

Qiu J, Li H, Meng H, Hu C, Li J, Luo M, et al 2011. Impact of Luteolin on the

Production of Alpha-Toxin by Staphylococcus aureus. Letters in Appl

Microbiol. 53: 238–43

Radji M, Agustama RA, Elya B, dan Tjampakasari CR. 2013. Antimicrobial

activity of green tea extract against isolates of methicillin-resistant

Staphylococcus aureus and multi-drug resistant Pseudomonas aeruginosa.

Asian Pac J Trop Biomed. 3(8): 663–7.

Rolinson GN, dan Russell EJ. 1972. New Method for Antibiotic Susceptibility

Testing. Antimicrob Ag Chemoter. 2(2): 51–6.

Rukmana, R. 2005. Bawang Daun. Yogyakarta: Kanisius.

Sari PA. dan Arisanty D. 2015. Artikel Penelitian: Perbandingan Efektivitas Daya

Hambat Kotrimoksazol Generik dan Paten terhadap Pertumbuhan Bakteri

Escherichia coli sebagai Penyebab Infeksi Saluran Kemih secara In Vitro.

Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 3(1): 227–32.

Sastroasmoro, S .1995. Metode Penelitian Klinis Dasar. PT. Bina Rupa

Aksara:Jakarta.

Setiabudy, R. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Dalam S. S. Gunawan editor

(penyunting). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Siregar TM. dan Jaya FA. 2015. Kajian Aktivitas dan Stabilitas Antioksidan

Ekstrak Kasar Bawang Daun (Allium fistulosum L.). Prosiding SNST. 6:

36–43.

Soleha, T. U. 2015. Uji Kepekaan terhadap Antibiotik. Juke Unila. 5(9): 119–123.

Song H, Shin D, dan Kwon D. 2016. Potentiating Activity of Luteolin on

Permeabilizing Agent and ATPase Inhibitor Against methicillin-resistant

Staphylococcus aureus. A Pac J Trop Med. 9(1): 19–22

Su Y, Ma L, Wen Y, Wang H. dan Zhang S. 2014. Studies of the in Vitro

Antibacterial Activities of Several Polyphenols against Clinical Isolates of

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Molecules. 19: 12630–9.

Syahrurachman A, dan Warsa UC. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Editor Staf Pengajar Bagian Mikobiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.

Toy TSS, Lampus BS, dan Hutagalung BSP. 2015. Uji Daya Hambat Ekstrak

Rumput Laut Gracilaria sp. Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus Aureus. Jurnal e-GiGi (eG). 3: 153–9.

Vineetha N, Vignesh RA dan Sridhar D. 2015 Preparation , Standardization of

Antibiotic Discs and Study of Resistance Pattern for First-Line Antibiotics

in Isolates from Clinical Samples. Int J Appl Res. 1(11), pp. 624–631

Vlase L, Parvu M, Parvu EA, dan Toiu A. 2012. Phytochemical analysis of

Allium fistulosum L. and A. Ursinum L. Dig J Nano Bio. 8(1): 457–67

Vlase L., Parvu M., Parvu EA. dan Toiu A. 2013. Chemical constituents of three

Allium species from Romania. Molecules. 18(1): 114–27.

Wang Q. dan Xie M.. 2010. Antibacterial mechanism of Luteolin on

Staphylococcus aureus. Acta Microbiol Sinica. 50(9): 1180–4.

Wood, J. 2009. The Effects of Garlic on the Susceptibility of MRSA to p-lactam

Antibiotics. [Tesis] USA: Cardiff University

Xihuan Feng . 2011. Variation of quercetin content in different tissues of Welsh

onion (Allium fistulosum L.). Afr J Agric Res. 6(26): 5675–9.

Yuwono, H. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba : Belajar dari MRSA. JKK.

42(1): 2837–50.