perceraian lansia (studi kasus 3 pasangan lansia...
TRANSCRIPT
i
PERCERAIAN LANSIA
(STUDI KASUS 3 PASANGAN LANSIA DI KOTA SALATIGA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
Oleh:
Muhammad Rudy Darussalam
NIM : 21113015
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
vi
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunian-
Nya, shalawat salam semoga tetap tercurah kepada rasulullah SAW, skripsi ini
penulis persembahkan untuk:
❖ Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Muchsin dan Ibu Nur Hidayati yang
selalu memberi semangat, dukungan, doa dan kasih sayang tak terbatas.
❖ Kakak-kakak saya yang saya banggakan yang selalu memberi semangat dan
dukungan serta tak henti mengingatkan untuk menyelesaikan karya ini
secepatnya agar bisa meraih cita-cita.
❖ Sahabat terbaik saya yang disebut dengan GGS yang beranggotakan:
Syaechu, Hajir, Apid, Dicky, Mahmud, Ayis, Susanto, Rudy, dan Samsul
yang selalu memberikan warna dan semangat hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
❖ Saudara dan sahabat saya lainnya yang tetap memberi dukungan dan
tersenyum saat sedang lelah dan hampir menyerah.
❖ Seluruh teman-teman jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah angkatan 2013 atas
segala semangat dan hiburannya sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkat kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“PERCERAIAN LANSIA (Studi Kasus 3 Pasangan Lansia di Kota Salatiga)” tanpa
halangan yang berarti.
Shalawat serta salam penulis ucapkan kepada nabi Akhiruzaman, Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa
setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah visioner yang telah memberikan
spirit perjuangan kepada penulis dan semoga kita semua sebagai umatnya
mendapatkan Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa
Robbal’alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bentuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI.,M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Syariah yang juga selaku dosen
pembimbing yang dengan ikhlas memimbing, mengarahkan, serta
mencurahkan waktu dan tenaganya sehingga skripsi ini terselesaikan.
viii
4. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam.
5. Dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
6. Kepada orang tua dan kakak-kakak penulis yang telah memberikan dan
mencurahkan segala kemampuannya untuk mendukung memenuhi
keinginan penulis hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak
akan pernah ada.
7. Sahabat terbaik dan orang spesial yang selalu ada untuk memberikan
dukungan, semangat serta doa kepada penulis sehingga penulisan skripsi
ini dapat terselesaIkan.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan di Hukum Keluarga Islam angkatan
2013 atas segala semangat dan hiburannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta pembaca
pada umumnya.
Aamiin. Salatiga, 19 Maret 2018
Muhammad Rudy Darussalam
NIM : 211 13 015
ix
ABSTRAK
Rudy Darussalam, Muhammad. “Perceraian Lansia (Studi Kasus 3 Pasangan
Lansia di Kota Salatiga”. Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum
Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing
Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si.
Kata Kunci: Perceraian, Perceraian Lansia, Akibat Perceraian
Penelitian ini berusaha mengungkap perceraian yang terjadi di Kota Salatiga
yaitu perceraian lansia. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap
bagaimana perceraian lansia di Kota Salatiga secara detail. Pertanyaan utama yang
ingin dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana bentuk dan proses perceraian
lansia di Kota Salatiga? Apa saja faktor-faktor perceraian lansia? Serta bagaimana
akibat perceraian lansia?
Melalui penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk mengungkap fokus
permasalahan di atas. Dengan metode tersebut dilakukan wawancara kepada
beberapa narasumber sesuai dengan data yang dibutuhkan. Untuk mendukung
penelitian ini, peneliti juga mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut. Peneliti juga akan menggunakan data serta dokumentasi
yang ada. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti menganalisis
data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti susun.
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa perceraian 3 pasangan lansia di
Kota Salatiga terdiri dari dua bentuk yaitu cerai talak dan cerai gugat. Sedangkan
untuk prosesnya berjalan sebagaiman proses sidang pada umumnya. Perceraian
lansia di Kota Salatiga terjadi karena berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara
lain ialah karena salah satu pihak meninggalkan selama tujuh tahun berturut-turut
dan tidak diberi nafkah, kekerasan dalam rumah tangga, serta terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran. Akibat perceraian lansia di Kota Salatiga tidak jauh
berbeda dengan perceraian pada umumnya, dimana suami memiliki tanggungan
nafkah terhadap mantan isteri yang terdiri dari nafkah iddah dan nafkah mut’ah,
tanggungan nafkah pemeliharaan anak, serta tanggungan harta bersama. Namun
kewajiban nafkah iddah dan nafkah mut’ah tidak dilaksanakan karena dari pelaku
cerai talak tidak sanggup untuk melaksankan kewajiban tersebut. Dan dalam
penerapannya tanggungan nafkah pemeliharaan anak menjadi gugur terhadap
perceraian lansia. Sedangkan tanggungan terhadap harta bersama tidak dibagi
sebagaimana mestinya menurut KHI, namun dibagi secara musyawarah. Dilihat
dalam perspetif sosiologis perceraian lansia berakibat berupa perubahan status dan
peran,dimana seorang isteri menjadi janda dan seorang suami menjadi duda dan
hidup sendiri. Sedangkan dilihat dalam perspektif psikologis perceraian lansia
dilihat dari kondisi mental dan psikis,mereka merasa lebih bahagia dan lebih tenang
menjalani hidup ketimbang sebelum bercerai.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN .............................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 5
E. Telaah Pustaka ......................................................................... 6
F. Metode Penelitian .................................................................. 11
1. Jenis Penelitian ................................................................ 11
2. Pendekatan ........................................................................ 11
3. Kehadiran Peneliti ............................................................ 12
4. Lokasi dan Subjek Penelitian ........................................... 12
xi
5. Sumber Data ...................................................................... 12
6. Metode Pengumpulan Data ............................................... 14
7. Pengecekan Keabsahan Data ............................................. 15
8. Analisa Data ...................................................................... 16
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 16
BAB II PERCERAIAN DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM DAN
PERUNDANG-UNDANGAN, SERTA TINJAUAN UMUM
TENTANG LANSIA ....................................................................... 18
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian ........................................ 18
1. Menurut Hukum Islam ...................................................... 18
2. Menurut perundang-undangan di Indonesia ...................... 31
B. Bentuk dan Proses Perceraian ................................................. 35
1. Bentuk Perceraian .............................................................. 35
2. Proses Perceraian ............................................................... 39
C. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian ........................................ 41
1. Menurut Hukum Islam ...................................................... 41
2. Menurut Perundang-undangan di Indonesia ...................... 45
D. Akibat Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam maupun
Perundang-undangan di Indonesia .......................................... 46
1. Nafkah Mantan Suami Terhadap Mantan Isteri ............... 46
2. Nafkah Pemeliharaan Anak ............................................. 47
3. Nafkah Pembagian Harta Bersama .................................. 48
E. Tinjauan Umum tentang Lansia .............................................. 48
xii
1. Pengertian Lansia ............................................................ 48
2. Batasan Umur Lansia ...................................................... 49
3. Klasifikasi Lansia ............................................................ 50
4. Tipe Lansia ...................................................................... 50
BAB III PERCERAIAN 3 PASANGAN LANSIA DI KOTA SALATIGA 52
A. Profil Pasangan Lansia ............................................................ 52
B. Bentuk dan Proses Perceraian Lansia ...................................... 57
1. Cerai Talak ........................................................................ 57
2. Cerai Gugat ........................................................................ 60
C. Faktor-Faktor Perceraian Lansia .............................................. 63
BAB IV AKIBAT PERCERAIAN LANSIA ................................................. 67
A. Hukum Islam dan Perundang-Undangan .................................. 67
B. Sosiologis .................................................................................. 72
C. Psikologis .................................................................................. 73
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 75
A. Kesimpulan ............................................................................ 75
B. Saran ...................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Daftar Nilai SKK
Lampiran V Lembar Konsultasi Skripsi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah merupakan naluri manusia untuk memiliki rasa cinta dan sayang
kepada lawan jenisnya, karena memang manusia diciptakan untuk hidup
berpasang-pasangan sesuai dengan firman Allah SWT :
إل هاوجعلۦ ءايتهومن كنو ا ل تس وجا ز أ نفسكم
أ ن خلقلكمم ن
أ
رون ميتفك لكأليتل قو فذ إن ة ةورح ود ٢١بي نكمم
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikanNya kamu rasa
kasih dan sayang”. (Q.S. Ar-Arum ayat 21)
Islam memberikan wadah untuk merealisasikan keinginan tersebut
sesuai dengan syari’at Islam yaitu melalui perkawinan yang sah. Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk hidup berumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa (UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1).
Oleh karena itu pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah
pihak agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Sehingga dengan
demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak mental
maupun material. Artinya secara fisik laki-laki dan perempuan sudah sampai
2
pada batas umur yang dikategorikan menurut hukum positif baligh menurut
hukum Islam. Akan tetapi faktor lain yang sangat penting yaitu kematangan
dalam berfikir dan kemandirian dalam hidup (sudah bisa memberikan nafkah
kepada istri dan anaknya). Hal ini yang sering dilupakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, tujuan pernikahan (membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal) akan tercapai. Adapun dalam hukum Islam pada dasarnya
ketentuan-ketentuan mengenai batas umur tidak berlaku karena hukum Islam
tidak melarang terjadinya pernikahan dini. Kenyataan yang terjadi di kalangan
umat Islam pada masyarakat desa, adalah jika keadaan yang memaksa
pernikahan dilangsungkan oleh pihak keluarga kedua calon mempelai atau
salah satu pihak, yaitu dari pihak wanita, dengan memenuhi Hukum
Perkawinan Islam yang dilaksanakan bersama petugas agama terutama petugas
pencatat nikah di tempat kediaman bersangkutan.
Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah
tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari
perkawinan yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua
orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini
dikarenakan adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talaq, maupun cerai atas
putusan hakim.
Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang
Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan Pengadilan Agama
bagi yang beragama Islam. Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum
3
perdata adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu (Djumairi, 1990: 65).
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 39 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 dan
pasal 19 PP No.9 tahun 1975.
Pasal 39 UU Perkawinan menyebutkan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan tersendiri.
Sedangkan dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975 menyebutkan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang
membahayakan pihak lain.
4
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Realitanya saat ini banyak terjadi pernikahan dan berakhir pada
perceraian. Tidak hanya perceraian dari kalangan yang muda saja, akan tetapi
banyak juga perceraian yang dilakukan oleh pasangan yang sudah masuk usia
lanjut. Padahal usia lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Sangat disayangkan apabila masa-masa tua yang seharusnya
dijadikan waktu untuk menghabiskan hidup bersama dengan pasangan dan
anak serta cucu, harus memutuskan tali pernikahan.
Hal ini terbukti, dari beberapa kasus perceraian yang diajukan oleh
pasangan yang sudah lansia di Kota Salatiga dan sekitarnya yang perkaranya
diputus di Pengadilan Agama Salatiga.
Dari latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut dalam sebuah skripsi yang berjudul “PERCERAIAN LANSIA
(Studi Kasus 3 Pasangan Lansia di Kota Salatiga)”.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk dan proses perceraian lansia?
2. Apa sajakah faktor-faktor perceraian lansia?
3. Bagaimanakah akibat perceraian lansia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk dan proses perceraian lansia.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian lansia.
3. Untuk mengetahui akibat perceraian lansia.
D. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya dapat
bermanfaat, diantaranya:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap fiqh munakahat
dan penerapan Undang-Undang dalam praktek perkawinan.
6
b. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan pengembangan pola pikir
yang kritis sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ilmu
fiqh.
c. Guna menambah khazanah ilmu pengetahuan di bangku perkuliahan
sebagai bekal untuk praktik dan hidup bermu’amalah di masyarakat
dan lingkungan kerja.
d. Penulisan ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dan referensi
dalam ilmu hukum islam, khususnya mengenai pernikahan dan
perceraian.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa perceraian memiliki
dampak-dampak bagi pelaku perceraian itu sendiri.
b. Menambah pengetahuan dan wacana pembaca akan faktor dari
perceraian.
c. Memberikan informasi tambahan bagi masyarakat yang bersangkutan.
E. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, tentang
perceraian sudah banyak dituangkan dalam beberapa penelitian, diantara
penelitian-penelitian tersebut yang mirip dengan penelitian yang penyusun tulis
adalah:
Skripsi berjudul “Homoseksual Sebagai Pemicu Perceraian (Studi
Putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur) yang ditulis oleh Epni Juliana
7
Tahun 2010. Skripsi ini memiliki dua rumusan maslah, yaitu apakah
homoseksual dapat dijadikan sebagai alasan perceraian dan apa saja
pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan perkara perceraian
dengan alasan homoseksual. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa apakah
homoseksual dapat dijadikan alasan perceraian yaitu Islam membolehkan isteri
atau suami menggugat cerai bila salah satu terbukti menderita cacat yang sulit
disembuhkan. (1) Dalam kasus ini, isteri yang merasa sudah tidak diberikan
haknya karena suami mengidap homoseksual. Homoseksual sendiri dalam
Islam tidak diterangkan secara spesifik bahwa penyakit tersebut dianggap salah
satu penyakit atau cacat yang dianggap boleh bagi sang isteri untuk menggugat
cerai, tetapi menurut sebagian Ulama, pada dasarnya penyakit apapun yang
menyebabkan penderitaan bagi salah satu pihak, yang berakibat tidak mampu
lagi menjalankan kewajiban suami-isteri dengan baik, maka dianggap sah dan
dibolehkan untuk menuntut cerai ke Pengadilan Agama, dan itupun harus
sesuai dengan prosedur Pengadilan Agama. Dengan demikian, homoseksual
dapat menjadi pemicu perceraian, tetapi tidak bisa menjadi alasan perceraian.
(2) Dalam putusan Majelis Hakim setelah melihat bukti-bukti dan juga
kesaksian dari para saksi, yakni homoseksual yang kerap kali menjadi akar
perselisihan bagi pasangan. Tergugat juga mengakui dan membenarkan
kelainan sex yang dideritanya dalam sidang perkara yang dihadirinya. Selain
itu, tergugat juga meninggalkan penggugat selama kurang lebih 8 bulan tanpa
memberikan nafkah lahir maupun batin dan juga pernah melakukan KDRT
terhadap penggugat. Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
8
Agama Jakarta Timu, dalam memutuskan perkara cerai gugat, yaitu: Pertama,
pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 (tentang Perkawinan). Kedua, pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 (tentang pelakasanaan UU
No. 1 Tahun 1974), dan pasal 116 huruf (f) KHI (Inpres RI No. 2 Tahun 1991).
Dalam pasal 116 huruf (f) KHI menjelaskan tentang salah satu alasan
perceraian yaitu “antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselesihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga”. Menurut Hakim dengan adanya kelainan seks (homoseks) yang
diderita Tergugat maka akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah
tangga, dan sehingga sering terjadi pertengkaran dan masalah tersebut menjadi
tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membangun rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan rahmah. Maka Majelis Hakim mengabulkan pengajuan
gugatan tersebut.
Skripsi berjudul “Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi
Putusan di Pengadilan Agama Salatiga)” yang ditulis oleh Nastangin Tahun
2012. Skripsi ini memiliki dua rumusan masalah, yaitu apa pertimbangan dan
dasar hukum hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak
murtad dan apa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad. Dari
penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus perkara
perceraian karena salah satu pihak murtad yaitu kelurga penggugat dan tergugat
tidak harmonis karena tergugat keluar dari agama Islam dan sebelumnya
mediasi telah dilakukan akan tetapi hasilnya gagal kemudian dasar hukum
hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena salah satu pihak murtad ialah
9
Pasal 116 KHI pada huruf h dan mengambil pendapat ahli yang dijadikan
pendapat sendiri yang termuat dalam kitab At-Thalaq hal 39. Bahwa akibat
hukum perceraian secara umum, yakni menjadikannya putus tali perkawinan,
masih berlakumasa iddah dipenuhi setelah terjadinya perceraian diantaranya:
masih menanggung hadhanah, memberi nafkah kepada anak sampai usia
dewasa (usia 21 tahun).
Skripsi berjudul “Pertengkaran Sebagai Alasan Perceraian (Studi
Putusan di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010-2012) yang ditulis oleh
Husnul Robiah Tahun 2001. Skripsi ini memiliiki tiga rumusan masalah, yaitu
(1) faktor apa yang mendorong terjadinya pertengkaran? (2) bagaimana hasil
putusan hakim terhadap perkara pertengkaran sebagai alasan perceraian? (3)
apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pertengkaran
sebagai alasan perceraian?. Dalam penelitian ini factor penyebab terjadinya
perceraian secara umum antara lain disebabkan karena terus berselisih atau
pertengkaran dengan alasan antara lain karena cacat biologis, poligami tidak
sehat, cemburu, kawin paksa, ekonomi, kawin dibawah umur, politis, tidak ada
keharmonisan, gangguan pihak ke-3. Dan dari beberapa factor tersebut,
diantara factor yang menyebabkan pertengkaran atau perselisihan dari hasil
penelitian yakni karena ekonomi dan kawin paksa. Untuk hasil putusan dari
perkara pertengkaran sebagai alasan perceraian semuanya dikabulkan oleh
Majelis Hakim setelah mendengar keterangan-keterangan dari saksi maupun
keterangan lainnya yang berupa alasan-alasan yang digunakan dalam
permohonan atau gugatan perceraian, bukti surat dan alat bukti lain yang
10
digunakan sebagai dasar Majlis Hakim memberikan putusan. Dasar
petimbangan hakim dalam memutus perkara pertengkaran dari hasil penelitian
sudah cukup jelas, yakni mulai dari tahap persidangan, pemanggilan serta
perdamaian. Hakim melihat alasan-alasan atau dalil-dalil yang diajukan
permohonan, alat bukti, keterangan dari beberapa saksi serta fakta hukum yang
ditemukan di dalam persidangan, bahwa dalam perkara cerai thalak dasar
pertimbangannya yakin: istri telah pergi dari rumah tanpa ijin dan tidak
diketahui keberadaanya hingga sekarang, maka suami mempunyai kekuasaan
untuk menceraikannya. Dan untuk perkara cerai gugat, bahwa ada pelanggaran
taklik thalak oleh suami isteri. Hal tersebut yang menjadikan dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan pekara tersebut.
Dari beberapa penelitian yang telah penulis pelajari, pada hakikatnya
pembahasan tentang perceraian sudah ada, tetapi sejauh yang penulis ketahui
belum ada sebuah penelitian yang membahas tentang perceraian pada pasangan
lansia. Oleh karena itu, menurut penulis akan sangat menarik jika fenomena
perceraian pasangan lansia di Kota Salatiga diteliti, ditelaah, dan diangkat
untuk dijadikan sebuah karya ilmiah. Dalam penelitian ini penulis akan lebih
menekankan pada faktor-faktor, permasalahan-permasalahan yang dihadapi,
dan dampak dari perceraian lansia.
11
F. Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang sangat lazim
digunakan oleh peneliti setiap melakukan penelitian ilmiah. Di dalam dunia
penelitian, penggunaan metode penelitian untuk mengkaji dan meneliti suatu
objek penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat
ketat berdasarkan disiplin keilmuan yang telah diberlakukan.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti merupakan masalah
yang bersifat sosial. Oleh karena itu, peneliti memilih jenis penelitian
kualitatif untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan
menganalisis data hasil penelitian tersebut. Penelitian kualitatif ini dapat
digunakan untuk memahami interaksi sosial, misalnya dengan wawancara
mendalam sehingga akan ditemukan pola-pola yang jelas.
Menurut soerjono soekanto (1986 : 43) penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh
alat-alat prosedur statistic atau alat-alat kuantifikasi lainnya. Hal ini dapat
mengarah pada penelitian tentang kehidupan, sejarah, perilaku seseorang
atau hubungan-hubungan interaksional.
2. Pendekatan
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
sosiologis-normatif, yaitu dengan menggambarkan keadaan masyarakat
12
secara utuh, lengkap dengan struktur lapisan serta gejala sosial lainnya
yang saling berkaitan satu sama lain, dan peraturan perundang-undangan
yang mengikat mengenai perceraian.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis hadir dan ikut serta dalam proses
penelitian di lapangan dan mencari informasi mengenai perceraian usia
lansia di Pengadilan Agama Salatiga.
Adapun penelitian ini mulai dilakukan pada 20 Januari 2018 sampai
dengan selesai penelitian dan pembuatan skripsi ini selesai.
4. Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kota Salatiga dengan fokus penelitian
masyarakat yang melakukan perceraian lansia.
5. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta dan keterangan yang diperoleh saat
penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer, yakni sumber yang langsung memberi data
kepada peneliti (Tanzeh, 2009:55). Macam-macam data primer sebagai
berikut:
1) Hasil Observasi
Hasil observasi adalah hasil yang menjelaskan suatu
informasi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang akan
13
diobservasi berdasarkan dengan fakta yang ada secara sistematik
dan objektif (Moeloeng, 2002 : 172).
2) Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar
belakang penelitian. Jadi seorang informan harus mempunyai
banyak pengalaman tentang latar belakang penelitian. Seorang
informan berkewajiban secara suka rela menjadi anggota tim
penelitian walaupun hanya bersifat informal. Sebagai anggota tim
dengan kebaikannya dan dengan kesukarelaannya ia dapat
memberi pandangan dari segi orang dalam, tentang nilai-nilai,
sikap, bangunan, proses dan kebudayaan yang menjadi latar
penelitian setempat (Moeloeng, 2002: 90). Informan sebagai
sumber data dalam penelitian ini adalah para pelaku perceraian
usia lansia dan para tokoh masyarakat yang dianggap paham dan
mengetahui permasalahan tersebut. Selain sumber tersebut, ada
juga sumber berupa keterangan dari perangkat desa setempat.
3) Dokumen
Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film
(Moeloeng, 2002:161). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber
buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi (Moeloeng, 2002:113). Dalam penelitian ini setiap
14
bahan tertulis berupa data-data mengenai pelaku perceraian usia
lansia. Dalam penelitian ini, bentuk dokumen yang akan
dikumpulkan peneliti adalah berupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP), Kartu Keluarga (KK), salinan putusan pengadilan.
b. Sumber Data Sekunder, yakni sumber data yang tidak langsung
diberikan oleh peneliti (Tanzeh, 2009:57). Diantaranya ialah buku dan
artikel.
6. Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, diperlukan
teknik-teknik pengumpulan yang sesuai. Peneliti menggunakan beberapa
metode sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi yang digunakan ialah observasi terbuka dimana
kehadiran peneliti dalam meneliti terhadap informan diketahui secara
terbuka, sehingga antara informan dengan peneliti terjadi hubungan
atau interaksi secara wajar (Maslikhah, 2013:322).
Dalam penelitian ini, Penulis melakukan pengamatan baik
dengan melihat, memperhatikan, mendengar atau sebagainya tentang
hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam
observasi ini peneliti menggunakan metode observasi terkendali
dimana peneliti tidak perlu berbaur dengan obyek penelitian dan
mengikuti aktifitas yang mereka lakukan, peneliti cukup menempatkan
objek yang akan diteliti dalam satu lingkup.
15
b. Wawancara
Wawancara yaitu dalam mencari dan memperoleh data yang
dianggap penting dengan mengadakan wawancara secara langsung
diantaranya dengan pelaku perceraian usia lansia, tokoh agama, tokoh
masyarakat, aparat desa, pegawai KUA.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Dalam penelitian ini dokumentasi yang dimaksud adalah
pengambilan beberapa data tentang berbagai dokumen terkait dengan
perceraian yang diperoleh dari Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu
Keluarga (KK), salinan putusan perceraian.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, data mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk
mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik pemeriksaan
keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2009:330). Untuk
melakukan triangulasi yaitu keterangan informan dicek dengan informan
lainnya, kemudian keterangan informan dicek dengan obeservasi dan
dokumentasi.
16
8. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya
agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam penganalisaan data
tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu: analisis untuk
meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk uraian
(Moeloeng, 2011: 288).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data
model Miles dan Huberman (1984) atau yang sering disebut dengan
analisis alur (Flow) dimana aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan
tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru (Emzir, 2011 : 128).
Aktivitas dalam analisis ini meliputi tiga tahap yaitu tahap reduksi
data (data reduction), tahap penyajian data (data display) serta tahap
penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification).
G. Sistematika Penulisan
Secara sistematis penulisan penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi perceraian dalam kajian hukum Islam dan perundang-
undangan, serta tinjauan umum tentang lansia.
17
Bab ketiga berisi tentang perceraian 3 pasangan lansia di Kota Salatiga
yang terdiri dari profil pasangan lansia, bentuk dan proses perceraian lansia,
faktor-faktor perceraian lansia.
Bab keempat berisi akibat perceraian lansia yang meliputi perspektif
hukum, sosiologis, dan psikologis.
Bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran - saran
yang diperoleh dari hasil penelitian untuk kemajuan obyek penelitian.
18
BAB II
PERCERAIAN DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-
UNDANGAN, SERTA TINJAUAN UMUM TENTANG LANSIA
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian
1. Menurut Hukum Islam
a. Pengertian Perceraian
Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas,
mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali
pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat
perkawinan (Supriatna, 2009: 19).
Adapun perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut talak atau
furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian,
sedangkan furqah berarti bercerai. Kemudian dua kata ini sering
digunakan oleh ahli fiqh sebagai salah satu istilah yang berarti
perceraian antara suami dan isteri. Perkataan talak atau furqah dalam
istilah ahli fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus.
Arti umumnya adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh
suami, perceraian yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian alamiah
seperti kematian salah satu diantara suami atau isteri. Adapun arti
khususnya adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.
19
Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai
dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah Fiqh yang
berarti bubarnya nikah (Harjono, 1987: 234).
Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam
hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan
untuk tidak mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki
untuk menjadikan perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi
untuk selama hidup. Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya
sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita
yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami isteri
(Harjono,1987: 235).
Dengan demikian perceraian tidak lain dianggap sebagai suatu
bencana. Tetapi pada waktu-waktu tertentu, ia adalah satu bencana
yang diperlukan. Dengan itu, ia memberikan kebebasan sepenuhnya
kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala
sesuatunya dengan semasak-masaknya dalam batas-batas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karena disamping banyaknya bencana yang
dapat dibayangkan dari sesuatu perceraian yang menyangkut
kehidupan kedua belah pihak dan terutama yang menyangkut anak-
anak mereka, maka dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya
seseorang, terutama pihak wanita, yang kedamaian rumah tangganya
sudah tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi jalan perceraian tidak
dibuka. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
20
perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami isteri
dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali
perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami isteri tersebut.
b. Hukum Perceraian
Tentang hukum cerai ini hukum cerai ini para ahli fiqh
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat
yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa
perceraian itu terlarang. Mereka yang berpendapat begini ialah
golongan Hanafi dan Hambali. Dilarangnya perceraian, karena
perceraian merupakan salah satu bentuk kekufuran terhadap nikmat
Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat yang diberikan
Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat. Ketegori
darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami
meragukan kebersihan tingkah laku isteri atau karena sudah tidak
saling mencintai lagi. Dalam pandangan para ulama perceraian
mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan
masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib,
sunnat, haram dan makruh (Sabiq,1980: 9).
Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan dan
kemudharatan, maka hukum talak dalam Islam ada empat yaitu:
1) Wajib
Yaitu jika suami telah bersumpah tidak akan lagi
menggauli isterinya hingga masa tertentu,sedangkan ia juga tidak
21
mau membayar kafarah, sehingga pihak isteri teraniaya
karenanya (Saleh,2008: 320).
2) Sunnat
Yaitu apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya (Rasyid,1994: 420).
3) Haram
Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan,
sedangkan isteri dalam keadaan haid atau suci, padahal
sebelumnya telah ia gauli (Saleh,2008: 320).
4) Makruh
Yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang
saleh dan berakhlak baik, karena hal demikian bisa
mengakibatkan isteri dan anaknya terlantar dan akan
menimbulkan kemudharatan.
c. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun perceraian (talak) ialah unsur pokok yang harus ada
dalam talak dan terwujudnya talak tergantung adanya dan lengkapnya
unsur-unsur dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus
memenuhi persyaratan. Syarat talak ada yang disepakati oleh para
ulama tetapi ada pula yang diperselisihkan (Supriatna,2009: 26-29).
Rukun dan syarat talak tersebut adalah sebagai berikut:
22
1) Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami
dalam keadaan:
a) Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah
dilakukan oleh orang yang belum baligh.
b) Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan
menceraikan isterinya juga harus mempunyai akal yang
sehat, maka dari itu orang gila tidaklah sah untuk
menjatuhkan talak kepada isterinya.
c) Atas kemauan sendiri, perceraian yang dilakukan karena
adanya paksaan dari orang lain bukan atas dasar kemauan
dan kesadarannya sendiri adalah perceraian yang tidak sah.
2) Isteri, unsur yang kedua dari perceraian ialah isteri. Untuk sahnya
talak isteri harus dalam kekuasaan suami, yaitu isteri tersebut
belum pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa
iddah.
3) Sighat perceraian, yang dimaksud dalam hal ini adalah lafal yang
diucapkan oleh suami atau wakilnya diwaktu menjatuhkan cerai
kepada isterinya. Semua lafal yag artinya memutuskan ikatan
perkawinan dapat dipakai untuk perceraian. Sighat perceraian
ada diucapkan dengan kepada makna yang jelas, disamping itu
ada pula sighat yang diucapkan dengan kata-kata sindiran, baik
sindiran itu dengan lisan, tulisan, isyarat (bagi suami tuna
wicara), ataupun dengan suruhan orang lain. Kesemuanya ini
23
dapat dianggap sah kalau suami dalam keadaan sadar serta atas
kemauan sendiri.
Sighat cerai dalam penjelasan tersebut dihukumi sah
apabila:
a) Ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai
dengan isterinya.
b) Suami harus menyatakan kepada hakim, bahwa maksud
ucapannya itu untuk menyatakan keinginannya menjatuhkan
cerai kepada isterinya. Apabila ternyata tujuan suami dengan
perkataannya itu bukan untuk menyatakan keinginan
menjatuhkan cerai kepada isterinya, maka shigat talak yang
demikian tidak sah dan cerainya tidak jatuh.
d. Bentuk-Bentuk Perceraian
Perceraian dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan
melihat kepada siapa yang mengajukan perceraian, kemungkinan
suami kembali ke isterinya, cara menjatuhkan, dan lain-lain
(Supriatna, 2009: 31).
Diantara bentuk-bentuk perceraian ialah sebagai berikut:
1) Perceraian apabila ditinjau dari siapa yang mengajukan
perceraian ke pengadilan yaitu:
a) Cerai Talak
Perceraian yang diajukan oleh pihak suami terhadap
isteri.
24
b) Cerai Gugat
Perceraian yang diajukan oleh pihak isteri terhadap
suami.
2) Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk
kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada
dua bentuk yaitu:
a) Talak Raj’i
Adalah talak yang si suami diberi hak untuk kembali
kepada isteri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah
yang baru, selama isteri masih dalam masa iddah. Talak Raj’i
tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang
termasuk kedalam talak raj’i ialah talak satu atau talak dua.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Talaq ayat
1:
ها يأ ٱنلبي تم طلق صوافٱلن سا ءإذا ح
وأ تهن لعد طل قوهن
ة وٱل عد ٱتقوا نٱلل ولي رج منبيوتهن لت رجوهن ربكم تي
نيأ
أ وتل كحدإل بي نة ودبفحشةم حدودٱلل ومنيتعد سهٱلل ظلمنف فقد ۥ ريلعل لتد راٱلل م
لكأ دذ ١ي دثبع
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-
isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
25
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru. (Q.S. At-Talaq : 1)
b) Talak Ba’in
Adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami
untuk rujuk kepada isterinya. Apabila suami ingin kembali
kepada mantan isterinya, harus dilakukan dengan akad nikah
yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.
Talak bai’in ini menghilangkan tali ikatan suami isteri. Talak
ba’in ini dibagi menjadi dua macam yaitu talak ba’in sughra
dan talak ba’in kubra.
(1) Talak Ba’in Sughra ialah talak yang tidak memberikan
hak rujuk kepada suami tetapi suami bisa menikah
kembali kepada isterinya dengan tidak disyaratkan isteri
harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang
termasuk talak ba’in sughra ialah talak satu dan dua.
26
(2) Talak Ba’in Kubra ialah talak apabila suami ingin
kembali kepada mantan isterinya, selain harus dilakukan
dengan akad nikah yang baru, disyaratkan isteri harus
terlebih dahulu harus menikah dengan orang lain dan
telah diceraikan. Yang termasuk talak ba’in kubra ialah
talak yang ketiga kalinya.
Allah SWT berfirman:
لفإن تل فل اۥطلقها زو ج تنكح حت د بع منه نعلي فإنطلقهافلجناحۥ غي
أ إنظنا اجعا نيت
أ هما
يقيماحدود وتل كحدودٱلل لمونٱلل ميع نهالقو ٢٣٠يبي
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.(Q.S. Al-Baqarah:
230).
3) Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap
isterinya, dalam hal ini talak ada beberapa betuk, baik dinyatakan
dengan kata-kata atau ucapan, dengan surat atau tulisan kepada
isterinya, dengan isyarat oleh orang yang bisu atau tulisan kepada
isterinya, dengan isyarat oleh orang yang bisu atau dengan
mengirimkan seorang utusan (Sabiq, 1980: 27).
Diantara bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:
27
a) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh
suami dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya
mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.
b) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh
suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya dan
isterinya memahami isi dan maksudnya. Menurut sayyid
Sabiq syarat sah talak secara tertulis, bahwa tulisan harus
tegas, jelas dan nyata ditunjukakkan oleh suami terhadap
isteri secara khusus.
c) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami
yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya
sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang
isyarat itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan
bahwa isyarat itu sah bagi tuna wicara.
d) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh
suami kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai
utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil
suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak
itu.
e. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Dalam Islam sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan,
setidaknya ada sembilan macam, yaitu; talak, khuluk, syiqaq, fasakh,
taklik talak, illa’, zhihar, li’an, dan kematian (Wasman,2011: 86).
28
Sebab-sebab tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Thalaq
Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan
menggunakan kata-kata talak kepada isteri.
2) Khuluk
Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan
membayar iwad atau tebusan kepada suami.
3) Syiqaq
Menurut istilah fiqh, Syiqaq adalah perselisihan suami
isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakam yaitu seorang
hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari seorang pihak
isteri.
4) Fasakh
Yaitu merusak atau melepaskan ikatan perkawinan.
Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad (sah atau
tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya
akad.
5) Takli’ Thalaq
Yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian
yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
29
6) Illa’
Arti illa’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan. Di dalam Islam, illa’ adalah sumpah dengan nam
Allah untuk tidak menggauli isterinya.
7) Zhihar
Zhihar dari kata zhahr, artinya punggung. Maksudnya
suami berkata kepada isteri; “Engaku dan aku seperti punggung
ibuku”. Bahwa zhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang
dikatakan suami kepada isterinya dengan menyerupakan isteri itu
dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan
untuk mengharamkan isteri bagi suami.
8) Li’an
Li’an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk.
Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh isterinya
berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka
dia harus bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak
empat kali bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah
dengan bersumpah satu kali lagi bahwa dia akan terkena laknat
Allah jika dalam tuduhannya dia berdusta.
9) Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena
kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak,
maka hak lain mempunyai hak waris atas harta peninggalan yang
30
meninggal. Walaupun dengan kematian, hubungan suami dan
isteri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi isteri yang
suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan
perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya
habis, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.
Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan
mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum
dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
31
7) Suami melangar taklik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
2. Menurut Perundang-Undangan di Indonesia
a. Pengertian Perceraian
Mengenai pengertian perceraian secara jelas di dalam undang-
undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan dengan
terperinci, namun di dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pada
pasal 117 yaitu:
“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan”.
b. Tata Cara Perceraian
Tata cara perceraian menurut Perundang-undangan di
Indonesia, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga diatur
dalam undang-undang perkawinan di Indonesia Nomor 1 tahun 1974.
1) Tata cara perceraian dalam kompilasi hukum Islam diatur dalam
pasal 129, 130, dan 131 yaitu:
a) Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada
istrinya harus mengajukan permohonan baik lisan maupun
tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
32
tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk kperluan itu.
b) Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat
diminta upaya hukum banding dan kasasi.
c) Pasal 131
(1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati
kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak
mungkin lagi hidup dalam rumah tangga, Pengadilan
Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap
suami mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
33
(4) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo
enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan
hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan
talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh.
(5) Setelah sidang penyaksia ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap
empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas
suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing
diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan
oleh Pengadilan Agama.
2) Tata cara perceraian di dalam undang-undang perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 dalam pasal 39 telah dijelaskan bahwa:
a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai
suami istri.
34
c) Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
3) Perceraian menurut UUP Nomor 1 Tahun 1974 pasal 14, 15, 16,
17, dan pasal 19 mengenai penjelasan atas undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mengenai tata cara perceraian bahwa, seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan
menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan istrinya dengan disertai alasan-
alasannya serta meminta kepada Pengadilan Agama agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
c. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan,
harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan alasan-
alasan yang telah ditentukan dalam UUP Nomer 1 Tahun 1974, dalam
hal ini dijelaskan pasal 39 ayat 2 dan dipertegas dalam PP Nomor 9
Tahun 1975 pasal 19 yaitu sebagai berikut:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
35
3) Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
B. Bentuk dan Proses Perceraian
1. Bentuk Perceraian
Perceraian dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan melihat
kepada siapa yang mengajukan perceraian, kemungkinan suami kembali
ke isterinya, cara menjatuhkan, dan lain-lain (Supriatna, 2009: 31).
Diantara bentuk-bentuk perceraian ialah sebagai berikut:
a. Perceraian apabila ditinjau dari siapa yang mengajukan perceraian ke
pengadilan yaitu:
1) Cerai Talak
Perceraian yang diajukan oleh pihak suami terhadap isteri.
2) Cerai Gugat
Perceraian yang diajukan oleh pihak isteri terhadap suami.
36
b. Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk
kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua
bentuk yaitu:
1) Talak Raj’i
Adalah talak yang si suami diberi hak untuk kembali
kepada isteri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah
yang baru, selama isteri masih dalam masa iddah. Talak Raj’i
tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang
termasuk kedalam talak raj’i ialah talak satu atau talak dua. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Talaq ayat 1:
ها يأ ٱنلبي تم طلق ٱلن سا ءإذا صوا ح
وأ تهن لعد ة فطل قوهن ٱل عد
و ٱتقوا تيٱلل نيأ
أ نإل ولي رج منبيوتهن لت رجوهن ربكم
وتل كحد بي نة م ودبفحشة ٱلل حدود ومنيتعد ظٱلل لمفقد سه نف ۥ ريلعل لتد راٱلل م
لكأ دذ ١ي دثبع
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-
isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
37
maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Q.S. At-Talaq : 1)
2) Talak Ba’in
Adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk
rujuk kepada isterinya. Apabila suami ingin kembali kepada
mantan isterinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru
yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak bai’in
ini menghilangkan tali ikatan suami isteri. Talak ba’in ini dibagi
menjadi dua macam yaitu talak ba’in sughra dan talak ba’in
kubra.
a) Talak Ba’in Sughra ialah talak yang tidak memberikan hak
rujuk kepada suami tetapi suami bisa menikah kembali
kepada isterinya dengan tidak disyaratkan isteri harus
menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak
ba’in sughra ialah talak satu dan dua.
b) Talak Ba’in Kubra ialah talak apabila suami ingin kembali
kepada mantan isterinya, selain harus dilakukan dengan akad
nikah yang baru, disyaratkan isteri harus terlebih dahulu
harus menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang
termasuk talak ba’in kubra ialah talak yang ketiga kalinya.
Allah SWT berfirman:
38
لفإن فلتل هۥطلقها اغي تنكحزو ج دحت بع فإنۥ منجناح فل نطلقها
يقيماحدودعلي هما أ ن
ظنا أ اجعا إن يت
وتل كحدودٱلل لمونٱلل ميع نهالقو ٢٣٠يبي
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.(Q.S. Al-Baqarah: 230).
c. Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya,
dalam hal ini talak ada beberapa betuk, baik dinyatakan dengan kata-
kata atau ucapan, dengan surat atau tulisan kepada isterinya, dengan
isyarat oleh orang yang bisu atau tulisan kepada isterinya, dengan
isyarat oleh orang yang bisu atau dengan mengirimkan seorang
utusan (Sabiq, 1980: 27).
Diantara bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:
1) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya
mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.
2) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya dan isterinya
memahami isi dan maksudnya. Menurut sayyid Sabiq syarat sah
39
talak secara tertulis, bahwa tulisan harus tegas, jelas dan nyata
ditunjukakkan oleh suami terhadap isteri secara khusus.
3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang
tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama
dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat
itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan bahwa
isyarat itu sah bagi tuna wicara.
4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai utusan.
Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang
menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.
2. Proses Perceraian
Tahapan proses perceraian di Pengadilan Agama:
a. Penggugat/Pemohon mendaftarkan perkara perceraiannya ke
Pengadilan Agama
b. Upaya mediasi
Jika para pihak pemohon dan termohon atau penggugat dan
penggugat datang memenuhi panngilan sidang dari Pengadilan
Agama, maka Hakim menunda proses persidangan untuk
memberikan kesempatan proses mediasi dalam waktu maksimal 40
hari kerja dan dapat diperpanjang lagi selama 14 hari jika diperlukan
(Perma Nomor 1 tahun 2008).
40
c. Pembacaan surat gugatan/permohonan
Pada tahapan ini pemohon atau penngugat berhak meneliti
kembali apakah seluruh posita dan petitumnya sudah benar dan
lengkap. Jika belum bisa dikoreksi kembali, karena semua yang ada
dalam surat gugatan atau permohonan tersebut akan dijadikan sebagai
acuan.
d. Jawaban tergugat atau termohon
Pihak termohon atau tergugat diberikan kesempatan untuk
menjawab atau membela diri dan mengajukan segla kepentingannya
terhadap pemohon atau penggugat melalui Majelis Hakim dalam
persidangan.
e. Replik penggugat atau pemohon
Pihak pemohon atau penggugat dapat kembali memperkuat
permohonan atau gugatannya yang telah disangkal oleh pihak
temohon/tergugat.
f. Duplik tergugat atau termohon
Tergugat/termohon menjelaskan kembali jawaban yang
disangkal oleh penggugat/pemohon. Replik dan duplik ini dapat
diulang-ulang sehingga akhirnya Majelis hakim memandang cukup
atas replik dan duplik tersebut.
g. Pembuktian
Penggugat atau pemohon mengajukan semua alat bukti baik
berupa bukti surat maupun saksi-saksi yang dilakukan untuk
41
mendukung dalil-dalil gugatan. Demikian juga tergugat/termohon
mengajukan alat bukti surat atau saksi-saksi untuk mendukung
jawaban. Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak
lawan.
h. Kesimpulan para pihak
Masing-masing pihak penggugat/pemohon maupun
tergugat/termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil
pemeriksaan.
i. Musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan
Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu
dan menyimpulakan dalam amar putusan, sebagai akhir dari sengketa
yang terjadi antara penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.
C. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
1. Menurut Hukum Islam
Dalam Islam sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan,
setidaknya ada sembilan macam, yaitu; talak, khuluk, syiqaq, fasakh,
taklik talak, illa’, zhihar, li’an, dan kematian (Wasman,2011: 86).
Sebab-sebab tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Thalaq
Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan
menggunakan kata-kata talak kepada isteri.
42
b. Khuluk
Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan
membayar iwad atau tebusan kepada suami.
c. Syiqaq
Menurut istilah fiqh, Syiqaq adalah perselisihan suami isteri
yang diselesaikan oleh dua orang hakam yaitu seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari seorang pihak isteri.
d. Fasakh
Yaitu merusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh
dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad (sah atau tidaknya)
atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.
e. Takli’ Thalaq
Yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan terlebih dahulu.
f. Illa’
Arti illa’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan. Di dalam Islam, illa’ adalah sumpah dengan nam Allah
untuk tidak menggauli isterinya.
g. Zhihar
Zhihar dari kata zhahr, artinya punggung. Maksudnya suami
berkata kepada isteri; “Engaku dan aku seperti punggung ibuku”.
Bahwa zhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang dikatakan
43
suami kepada isterinya dengan menyerupakan isteri itu dengan ibu
atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk
mengharamkan isteri bagi suami.
h. Li’an
Li’an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk.
Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh isterinya
berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka dia
harus bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali
bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah dengan
bersumpah satu kali lagi bahwa dia akan terkena laknat Allah jika
dalam tuduhannya dia berdusta.
i. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka hak lain
mempunyai hak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian, hubungan suami dan isteri tidak
dimungkinkan disambung lagi, namun bagi isteri yang suaminya
telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru
dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya habis, yaitu selama
empat bulan sepuluh hari.
Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan
mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam
pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
44
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melangar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
2. Menurut Perundang-Undangan di Indonesia
Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan, harus
disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan alasan-alasan
yang telah ditentukan dalam UUP Nomer 1 Tahun 1974, dalam hal ini
dijelaskan pasal 39 ayat 2 dan dipertegas dalam PP Nomor 9 Tahun 1975
pasal 19 yaitu sebagai berikut:
45
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
D. Akibat Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam Maupun Perundang-
Undangan di Indonesia
1. Nafkah Mantan Suami Terhadap Mantan Isteri
a. Nafkah Iddah
Nafkah iddah merupakan nafkah yang wajib diberikan suami
kepada mantan isteri yang di talak dan nafkah ini berlangsung selama
46
tiga kali suci atau sekurang-kurangnya selama 90 hari. Ketentuan masa
iddah diatur seperti yang dijelaskan pada Q.S. Al-Baqarah:228
نماوٱل مطلقت تم نيك أ لهن وليل ثةقرو ء ثل نفسهن
نبأ بص يت
خلق ٱلل ب من يؤ إنكن ر حامهنف أ و موٱلل ٱألخرٱل حق
أ وبعولهن
رأ إن لك ذ ف هن برد ا ادو مث ل ولهن لحا يإص ٱل ب روفعلي هن ٱل مع
و درجة وللر جالعلي هن ٢٢٨عزيزحكيمٱلل
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.S.Al-Baqarah:228).
Dan sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 yang
berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah”. Namun
apabila dalam perceraian yang mengajukan perceraian adalah isteri,
maka terhadapnya tidak ada biaya yang menjadi tanggungan suaminya.
b. Nafkah Mut’ah
Nafkah mut’ah adalah pemberian dari bekas suami kepada
isterinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya. Hal ini
dijelaskan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 241:
ولل مطلقت روف متعب ٱل مع الع ٢٤١ٱل متقيحق
47
Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut´ah menurut yang ma´ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah:241).
Ketentuan nafkah mut’ah juga diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 146 poin (a) yang berbunyi “bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak
kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas
isteri tersebut qobla al dukhul”.
2. Nafkah Pemeliharaan Anak
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak
pengasuhan atas dirinya dan kedua orang tuanya, satu hal yang menjadi
ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orang tua, ketika
perceraian terjadi anak akan menjadi korban utama. Orang tua yang
bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk
mengatasi penderitaan akibat perpisahaan orang tuanya. Setelah
bercerainya kedua orang tua tentunya akan adanya hak hadhanah terhadap
si anak baik kepada si ibu maupun ayahnya berdasarkan keputusan yang
telah ditetapkan oleh hakim.
Ketentuan pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa: (1) kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya; (2) kewajiban orang tua
yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dpat
berdiri sendiri, kewajban mana berlalu terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.
48
3. Pembagian Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat
diantaranya pembagian harta bersama. Harta bersama adalah harta yang
didapat atau diperoleh selama perkawinan. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 96 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) yang berbunyi: “Apabila
terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama”. Dan pasal 97 KHI yang berbunyi; “Janda atau
duda hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak itentukan lain dlam perjanjian perkawinan”.
E. Tinjauan Umum tentang Lansia
1. Pengertian Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU
Nomor 13 Tahun 1988 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 60 tahun ke atas. Lansia bukan penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis.
49
Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk untuk
hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.
2. Batasan Umur Lansia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-
batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria sebagai berikut:
1) Usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu:
1) Pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun
2) Kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun
3) Ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun
4) Keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia
3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam (2009) yang terdiri dari:
50
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun.
b. Lansia yaitu sesorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi yaitu sesorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.
e. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
4. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kondisi fisik, sosial, dan ekonominya. Tipe tersebut
dijabarkan sebagai berikut:
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi
undangan.
51
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,
pegkritik, dan banyak menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, megikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26951/Chap
ter%20II.pdf;jsessionid=95D8DA3030EAACE95887B57C0C2251
CD?sequence=4 diakses pada tanggal 18 Januari 2018)
52
BAB III
PERCERAIAN 3 PASANGAN LANSIA DI KOTA SALATIGA
A. Profil Pasangan Lansia
Usia lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Sangat disayangkan apabila masa-masa tua yang seharusnya
dijadikan waktu untuk menghabiskan hidup bersama dengan pasangan dan
anak serta cucu, harus memutuskan tali pernikahan. Berikut ialah tiga pasangan
yang melakukan perceraian usia lansia yang terjadi di Salatiga dan sekitarnya:
1. Profil Mantan Pasangan Suami Isteri SN dan NM
Bapak SN dan Ibu NM adalah pelaku perceraian usia lansia. Bapak
SN lahir di Kabupaten Semarang tepatnya pada tanggal 14 Juli 1949, kini
telah berusia 69 tahun. Sedangkan Ibu NM lahir di Kabupaten Grobogan
tepatnya pada tanggal 7 April 1963, kini telah berusia 55 tahun. Pendidikan
formal bapak SN dan Ibu NM hanya sebatas Sekolah Dasar. Sekarang
bapak SN tidak bekerja dan hanya mengandalkan pemberian uang dari
anaknya, sedangkan ibu NM bekerja sebagai penjual di warung kecil-
kecilan di depan rumah anaknya. Bapak SN tinggal dirumah sendirian yang
beralamat di Dusun Muludan RT.03/RW 06 Desa Tlompakan, Kecamatan
Tuntang Kabupaten Semarang yang sekaligus menjadi rumah kediaman
bersama dulunya. Sedangkan ibu NM bertempat tinggal bersama anak
53
kedua mereka yang rumahnya berada di belakang rumah yang ditinggali
oleh bapak SN.
Perkenalan mereka berawal dari teman yang sama-sama mengenal
mereka berdua. Kemudian dikenalkan dan tidak lama kemudian mereka
saling kenal satu sama lain. Tepat pada tanggal 30 September 1975 mereka
sepakat untuk menikah. Pernikahan itu dilaksanakan di tempat kediaman
ibu NM dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama di daerah Kabupaten Grobogan. Dari pernikahan itu mereka
dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama FD, GH, CB. Dari ketiga anak
tersebut mereka disekolahkan hanya sampai Sekolah Menengah Pertama.
Dan kini ketiga anak tersebut sudah menikah semua dan memiliki rumah
sendiri-sendiri. Dua dari tiga anak tersebut bertempat tinggal dekat dengan
rumah bapak dan ibu mereka, sedangkan yang satunya lagi meratau di
Surabaya dan bertempat tinggal disana.
39 tahun mereka lalui hidup bersama, namun karena suatu hal dan
permasalahan dalam keluarga, akhirnya pernikahan tersebut harus berakhir
dengan sebuah perceraian. Mereka bercerai pada tanggal 4 Agustus 2014
di Pengadilan Agama Salatiga (wawancara dengan bapak SN pada tanggal
27 Februari 2018).
2. Profil Mantan Pasangan Suami Isteri RM dan PA
Bapak RM adalah pelaku perceraian usia lansia. Bapak RM lahir di
Grobogan tepatnya pada tanggal 2 April 1956, dan kini telah berusia 62
tahun. Pendidikan formal bapak RM ialah SMA. Sekarang bapak RM
54
bekerja di bengkel motor kecil miliknya. Bapak RM tinggal sendirian
dirumah kontrakan yang sekaligus menjadi bengkel bapak RM bekerja
yaitu di depan Koramil Tengaran, Kabupaten Semarang. Sedangkan
mantan isteri bapak RM adalah ibu PA. Ibu PA lahir di Grobogan, dan kini
telah berusia 50 tahun. Pendidikan ibu PA yaitu SMA. Setahu bapak RM,
sekarang ibu PA tinggal dengan anak bawaan dari pernikahan terdahulunya
dan bertempat di Dusun Winong, Desa Kecandran, Kecamatan Sidomukti,
Kota Salatiga.
Awal pertemuan mereka hingga sampai menikah, sebenarnya
mereka dulunya adalah tetanggaan sewaktu tinggal di Grobogan. Bapak
RM menikah dengan isteri terdahulunya yaitu orang Semarang yang telah
dikaruniai dua orang anak. Sedangkan ibu PA menikah dengan orang
Salatiga dan setalah menikah ibu PA tinggal di Salatiga. Setelah bercerai,
bapak RM hidup sendirian karena kedua anaknya memilih hidup dengan
ibunya. Kemudian bapak RM memilih merantau ke Salatiga untuk bekerja
di sebuah showroom motor bekas milik temannya.
Pertemuan antara bapak RM dan ibu PA berawal dari ketidak
sengajaan. Bapak RM waktu itu makan disebuah warung gado-gado yang
ada didepan tempat bapak RM bekerja. Tak disangka ternyata yang
berjualan gado-gado tersebut ialah ibu PA tetangganya waktu di Grobogan.
Mereka pun saling tegur sapa dan menanyakan kabar masing-masing, dari
situ mereka ngobrol-ngobrol dan mengetahui kalau mereka sama-sama
berstatus sebagai duda dan janda. Hampir setiap hari bapak RM makan di
55
warung milik ibu PA. Merekapun saling akrab satu sama lain. Selang
beberapa bulan mereka mulai ada rasa dan sepakat untuk menikah. Mereka
menikah pada tanggal 7 Juni 2013 dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Setelah
menikah, mereka tinggal di rumah kontrakan di Desa Kecandran bersama
dengan anak bawaaan dari ibu PA. dari pernikahan itu, mereka tidak
memiliki anak.
Beberapa tahun mereka hidup bersama, namun rumah tangga
mereka tidak dapat diteruskan karena memang sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Pada akhirnya bapak RM mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama Salatiga dan mereka resmi bercerai pada tanggal 27
Maret 2017 (wawancara dengan bapak RM pada tanggal 28 Februari 2018).
3. Profil Mantan Pasangan Suami Isteri EN dan SR
Ibu EN adalah pelaku peceraian usia lansia. Ibu EN lahir di
Kabupaten Semarang tepatnya pada tanggal 16 September 1956, dan kini
telah berusia 61 tahun. Pendidikan ibu EN adalah SMA. Sekarang ibu EN
bertempat tinggal sendirian di rumah orang tuanya yang kini telah menjadi
hak milik adik kandung ibu EN yang beralamat di Dusun Wiroyudan RT.
01 RW. 05 Kelurahan Tingkir Tengah, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
Sehari-hari ibu EN tidak bekerja, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari ibu EN mengambil dari uang tabungannya dari hasil gaji semasa
menjadi kepala sekolah di TK.
56
Bapak SR adalah mantan suami ibu EN. Beliau lahir di Kabupaten
Semarang tepatnya pada tanggal 4 Juni 1960, dan kini telah berusia 56
tahun. Pendidikan formal bapak SR ialah SPG. Menurut keterangan ibu
EN, beliau sekarang tidak tahu alamat jelas mantan suaminya tersebut
karena sudah lama sekali tidak bertemu dan berkomunikasi, akan tetapi
keluarga dari bapak SR beralamat di Jalan Fatmawati Dusun Petet RT. 01
RW. 01 Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
Pertemuan antara ibu EN dan bapak SR berawal ketika bapak SR
berpacaran dengan adik kandung dari ibu EN. Ketika itu karena tuntutan
pekerjaan, bapak SR bekerja di luar kota, sehingga antara bapak SR dan
adik kandung ibu EN menjalani hubungan jarak jauh. Karena memang
sudah lama tidak berkomunikasi dan bertemu, ketika sepulangnya bapak
SR karena di pecat dari pekerjaannya, ternyata adik kandung dari ibu EN
sudah dilamar orang. Selanjutnya bapak SR menemui orang tua ibu EN.
Dan ayah dari ibu EN bilang kalau anaknya (adik ibu EN) sudah akan
menikah. Ayah dari ibu EN pun menawari bapak SR untuk menikah saja
dengan anaknya yang bernama ibu EN. Setelah beberapa minggu berfikir,
akhirnya bapak SR mau dengan tawaran ayah dari ibu EN. Setelah itu
mereka dipertemukan dan tak lama kemudian mereka pun menikah.
Bahwa mereka melangsungkan pernikahan pada tanggal 12 Juli
1989 dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Bahwa setelah menikah,
mereka tinggal di Semarang. Namun setelah empat tahun tinggal di
57
Semarang, mereka bertransmigrasi ke Kota Baru Provinsi Kalimantan
Selatan.
Namun pada saat usia pernikahan yang ke 28 tahun, karena
memang suatu hal dan sebab serta memang rumah tangga mereka sudah
tidak dapat dipertahankan lagi, akhirnya mereka resmi becerai pada tanggal
20 Juni 2017 (wawancara dengan ibu EN pada tanggal 7 Maret 2018).
B. Bentuk dan Proses Perceraian Lansia
Dilihat dari siapa yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama,
maka perceraian ini terdiri dari dua bentuk yaitu cerai talak dan cerai gugat.
Cerai talak adalah pihak suami yang mengajukan perceraian ke Pengadilan
Agama, sedangkan cerai gugat adalah pihak isteri yang mengajukan perceraian
ke Pengadilan Agama. Berikut adalah bentuk dan proses perceraian dari ketiga
objek yang diteliti:
1. Cerai Talak
Perceraian ini dilakukan oleh bapak SN dan bapak RM sebagai
pemohon. Bahwa proses perceraian yang mereka lakukan dan alami adalah
sama. Pertama mereka mengajukan permohonan perceraian cerai talak ke
Pengadilan Agama Salatiga. Selanjutnya selang sekitar tiga bulan, pihak
pemohon (bapak SN/bapak RM) dipanggil untuk mengikuti sidang yang
pertama yaitu proses mediasi. Namun pihak termohon dari masing-masing
pasangan memang tidak ada yang hadir tanpa keterangan, padahal sudah
dipanggil secara patut dan sah oleh Pengadilan Agama Salatiga. Dan hakim
58
pun bertanya kepada pihak pemohon (bapak SN/bapak RM) apakah tetap
ingin bercerai atau tidak. Dan pemohon menjawab bahwa tetap ingin
bercerai. Karena proses mediasi yang seharusnya dilakukan, karena pihak
termohon tidak datang maka proses selanjutnya ialah pembacaan surat
cerai talak oleh panitera.
Setelah selesai dibacakan oleh panitera yang seharusnya adalah
jawaban dari pihak termohon namun karena termohon tidak hadir maka
proses selanjutnya adalah proses persidangan berupa pemeriksaan
pemohon (bapak SN/bapak RM) dan alat-alat bukti. Bahwa setelah
pemeriksaan, dari bapak SN memperlihatkan fotokopi akta nikah dengan
ibu NM dan KTP. Sedangkan bapak RM juga memperlihatkan fotokopi
akta nikah dengan ibu PA dan juga memperlihatkan KTP kepada hakim.
Setelah pemeriksaan pemohon dan alat bukti lainnya, maka hakim
menyuruh untuk menyiapkan dua orang saksi untuk dimintai keterangan
sebagai penguat alat bukti. Kemudian pemohon (bapak SN/bapak RM)
masing-masing menyiapkan dua orang saksi untuk dimintai keterangan
oleh hakim.
Setelah hakim memeriksa saksi-saksi dari pemohon (bapak
SN/bapak RM) dan mencari serta menimbang fakta-fakta serta alasan yang
dibenarkan menurut undang-undang, maka proses selanjutnya adalah
putusan. Namun putusan ini dilanjutkan pada sidang selanjutnya selang
tujuh hari. Selang tujuh hari persidangan pun dilanjutkan untuk pembacaan
putusan. Dan lagi-lagi pihak termohon dari bapak SN dan bapak RM tidak
59
hadir kembali ke persidangan. Akhirnya hakim membacakan putusan dan
mengabulkan permohonan cerai bapak SN dan bapak RM secara verstek,
yaitu putusan karena ketidak hadiran pihak termohon.
Proses selanjutnya ialah ikrar talak yang diucapkan pemohon
(bapak SN/bapak RM) di depan persidangan. Ikrar talak ini diucapkan di
persidangan selanjutnya selang 7 hari. Selang tujuh hari, sidang dilanjutkan
dengan ucapan ikrar talak di depan hakim meskipun pihak termohon tidak
hadir dipersidangan. Ikrar talak pun selesai diucapkan oleh pemohon
(bapak SN/bapak RM) dan setelah tujuh hari terhitung dari setelah ucapan
ikrar talak diucapkan, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum
tetap.
Berikut adalah amar/isi putusan cerai talak bapak SN terhadap ibu NM:
a. Menyatakan Termohon (ibu NM) yang telah dipanggil dengan resmi
dan patut untuk menghadap di persidangan tidak hadir;
b. Mengabulkan permohonan Pemohon (bapak SN) dengan verstek;
c. Memberi ijin kepada Pemohon (bapak SN) untuk menjatuhkan talak
satu roj’i terhadap Termohon di depan Pengadilan Agama Salatiga;
d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk
mengirimkan Salinan penetapan ikrar talak ke Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang dan Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan, untuk dicatat dalam
daftar yang disediakan untuk itu;
60
e. Menghukum Pemohon (bapak SN) untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.556.000,- (lima ratus lima puluh enam ribu rupiah).
Berikut adalah amar/isi putusan cerai talak bapak RM terhadap ibu PA:
a. Menyatakan Termohon (ibu PA) telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap ke persidangan tidak hadir;
b. Mengabulkan permohonan Pemohon (bapak RM) dengan verstek;
c. Memberi izin kepada Pemohon (bapak RM) untuk menjatuhkan talak
satu roj’i terhadap Termohon (ibu PA) di depan sidang Pengadilan
Agama Salatiga;
d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk
mengirimkan Salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tengaran, Kabupaten
Semarang dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Sidomukti, Kota
Salatiga, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
e. Membebankan Pemohon (bapak RM) untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp.491.000,- (empat ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah).
2. Cerai Gugat
Gugatan cerai ini dilakukan oleh ibu EN (penggugat) terhadap
suaminya (tergugat). Bahwa penggugat (ibu EN) datang ke Pengadilan
Agama Salatiga untuk mengajukan surat gugatan. Setelah surat gugatan
diproses, akhirnya sekitar 3 bulan ibu EN beserta tergugat dipanggil ke
Pengadilan untuk mengikuti mediasi, namun pihak tergugat tidak hadir
61
tanpa alasan yang jelas dan tidak mewakilkan kuasanya kepada siapapun
padahal telah dipanggil secara sah dan patut oleh pihak Pengadilan Agama
Salatiga. Selanjutnya hakim pun menasehati penggugat (ibu EN) supaya
tidak usah bercerai, namun ibu EN bersikeras agar tetap bercerai dengan
suaminya. Karena mediasi tidak berhasil karena memang pihak tergugat
tidak hadir, maka proses selanjutnya ialah pembacaan surat gugatan yang
dilakukan panitera.
Setelah pembacaan surat gugatan yang seharusnya dijawab oleh
pihak tergugat, namun pihak tergugat tidak hadir maka proses selanjutnya
ialah proses pemeriksaan alat bukti. Hakim pun memeriksa penggugat (ibu
EN). Setelah itu penggugat memperlihatkan fotokopi akta nikahnya dengan
bapak SR beserta ktpnya yang sekarang dan penngugat juga
memperlihatkan bekas luka kekerasan yang dilakukan oleh tergugat yang
masih membekas di kepalanya sampai saat ini. Setelah pemeriksaan
penggugat selesai, hakim menyuruh penggugat untuk mendatangkan dua
orang saksi. Penggugat pun mendatangkan saksi bernama RD dan TS ke
muka persidangan untuk dimintai keterangan oleh hakim. Setelah
pemeriksaan penggugat dan alat-alat bukti yang ada berupa surat-surat dan
penguat bukti lainnya serta keterangan dua orang saksi selesai, hakim
diberi waktu selama 7 hari untuk menimbang fakta-fakta yang ada serta
keterangan dari dua orang saksi untuk menyampaikan putusannya, maka
sidang ditunda selama tujuh hari untuk pembacaan putusan. Selang tujuh
hari sidang dilanjutkan untuk pembacaan putusan. Hakim pun
62
membacakan putusan dan mengabulkan gugatan cerai penggugat (ibu EN)
terhadap tergugat (bapak SR) secara verstek karena pihak tergugat tidak
pernah hadir di persidangan. Setelah tujuh hari terhitung dari setelah
putusan dibacakan dan tidak ada upaya hukum lainnya, maka putusan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Berikut amar/isi putusan cerai gugat ibu EN terhadap bapak SR:
a. Menyatakan Tergugat (bapak SR) telah dipanggil secara resmi dan
patut untuk menghadap ke persidangan tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat (ibu EN) dengan Verstek.
c. Menjatuhkan talak ba’in sughro Tergugat (ibu EN) terhadap Tergugat
(bapak SR);
d. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk
mengirimkan salinan putusan ini setelah memperoleh kekuatan hukum
tetap kepada Pegawai Pencata Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang serta Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang untuk dicatat
dalam daftar yang disediakan untuk itu;
e. Membebankan Penggugat (ibu EN) untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh ribu rupiah)
63
C. Faktor-Faktor Perceraian Lansia
Dari hasil wawancara dengan pelaku perceraian lansia, bahwa yang
menjadi penyebab-penyebab perceraian lansia tersebut diantaranya:
1. Salah satu pihak meninggalkan selama 7 tahun berturut-turut dan tidak
diberi nafkah
Ini yang menjadi salah satu sebab mengapa ibu EN ingin
menceraikan suaminya. Bahwa pada tahun 2009 menjadi puncak
pertengkaran antara ibu EN dan suaminya. Ibu EN yang ketika itu
masih tinggal di Kota Baru (Kalimantan Selatan) kemudian disuruh
oleh suaminya untuk pulang ke Salatiga (di rumah orang tuanya dulu
yang kini menjadi hak milik adik kandung ibu EN) bersama anak
semata wayang mereka karena memang sebelumnya ibu EN dan suami
sering bertengkar dan berselisih. Selama tahun 2009 hingga 2017
semenjak kepulangan ibu EN di Salatiga tahun 2009 hingga 2017,
suaminya sudah tidak pernah datang menemui ibu EN dan suaminya
pula sudah tidak memperdulikan serta sama sekali sudah tidak
memberikan nafkah. Bahwa faktor perceraian ini sesuai dengan PP
Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf (b), yang berbunyi “Salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya”.
2. Kekerasan dalam rumah tangga
64
Hal ini yang menjadi sebab mengapa ibu EN menceraikan
suaminya. Selama pernikahannya 28 tahun, suaminya yang
tempramental sering kali melakukan kekerasan fisik terhadap ibu EN
berupa dorongan dan pukulan. Bahkan diawal pernikahan yang kala itu
ibu EN sedang mengandung anak buah hasil percintaan mereka, ibu
EN pernah dipukul kepalanya hingga saat ini pun masih ada bekas
dikepalanya (ditunjukan kepada peneliti). Selama pernikahan,
suaminya memang selalu ringan tangan ketika sedang terjadi
perselisihan dan pertengkaran. Bahwa faktor perceraian ini sesuai
dengan PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 huruf (d) yang berbunyi
“salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain”.
3. Terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus dan tidak
adanya harapan hidup rukun lagi menjadi alasan perceraian dari ketiga
objek yang diteliti. Selama pernikahan mereka, alasan mengapa
mereka sering kali bertengkar dengan masing-masing pasangannya
pun berbeda-beda. Seperti hal nya bapak SN awal mula pertengkaran
semenjak ia sakit dan pulang kerumah setelah sebelumnya merantau ke
Medan. Bahwa selama kepulangannya itu, istrinya sudah mulai tidak
menghargainya seperti tidak menyiapkan makanan untuknya dan
sering berkata kotor ketika bertengkar yang membuat sakit hati bapak
65
SN. Lebih parahnya lagi ketika ia sakit, istrinya tidak mau merawat dan
tidak memperdulikannya.
Berbeda lagi dengan bapak RM, bahwa awal pertengkaran
dengan istrinya berawal ketika usia pernikahan masih berusia 2 bulan.
Menurut keterangan dari bapak RM, istrinya memang suka sekali
menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak perlu, karena
memang penghasilan bapak RM memang hanya cukup untuk
kebutuhan sehari-hari. Ketika dinasehati pula, istrinya kerap kali
membantah dan justru berani melawan. Tanpa sepengetahuan bapak
RM, istrinya beberapa kali berhutang kepada seseorang dan uangnya
pun tidak jelas untuk apa. Ketika tau ada orang yang menagih hutang,
akhirnya bapak RM lah yang akhirnya membayar hutang istrinya.
Semenjak itu rumah tangganya memang sudah jauh dari kata harmonis
dan hampir setiap hari sering terjadi pertengkaran.
Selain bapak SN dan bapak RM, alasan perceraian ini juga
dialami oleh ibu EN. Bahwa selama awal pernikahan awalnya tinggal
di Semarang kemudian pindah ke Kota Baru Kalimantan Selatan,
kehidupan mereka diwarnai dengan pertengkaran dan perselisihan.
Alasan pertengkaran ibu EN dan suami dipicu karena memang
suaminya tidak begitu memperhatikan keluarga. Bahkan pernah ibu
EN mengetahui kalau suaminya pernah berselingkuh dengan wanita
lain. Hal itu lah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka. Ibu EN
66
mengaku bahwa selama pernikahannya, beliau tidak pernah merasakan
dengan yang namanya keharmonisan dalam keluarganya.
Bahwa dari ketiga objek yang diteliti sudah tidak sanggup hidup
dengan pasangannya masing-masing karena memang sudah tidak dapat
hidup rukun lagi dan mereka lebih memilih untuk mengakhiri
pernikahannya karena memang pernikahan mereka tidak dapat
dipertahankan lagi. Karena jika dipertahankan akan lebih banyak
mafsadtnya daripada maslahatnya. Berdasarkan alasan tersebut faktor
perceraian dari ketiga objek yang diteliti sesuai dengan PP Nomor 9
tahun 1975 pasal 19 huruf (f) yang berbunyi “Antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
67
BAB IV
AKIBAT PERCERAIAN LANSIA
A. Hukum Islam dan Perundang-Undangan
1. Nafkah Suami Terhadap Mantan Isteri
a. Nafkah Iddah
Nafkah iddah merupakan nafkah yang wajib diberikan suami
kepada mantan isteri yang di talak dan nafkah ini berlangsung selama
tiga kali suci atau sekurang-kurangnya selama 90 hari. Ketentuan masa
iddah diatur seperti yang dijelaskan pada Q.S. Al-Baqarah:228
نماوٱل مطلقت تم نيك أ لهن وليل ثةقرو ء ثل نفسهن
نبأ بص يت
خلق ٱلل ب من يؤ إنكن ر حامهنف أ و موٱلل ٱألخرٱل حق
أ وبعولهن
رأ إن لك ذ ف هن برد ا ادو مث ل ولهن لحا يإص ٱل ب روفعلي هن ٱل مع
و درجة وللر جالعلي هن ٢٢٨عزيزحكيمٱلل
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.S.Al-Baqarah:228).
Dan sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 yang
berbunyi “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
68
anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah”. Namun
apabila dalam perceraian yang mengajukan perceraian adalah isteri,
maka terhadapnya tidak ada biaya yang menjadi tanggungan suaminya.
Dari ketiga objek yang diteliti, dari cerai talak yang dilakukan
bapak SN dan bapak RM dan cerai gugat yang dilakukan ibu EN, hanya
cerai talak lah yang berkewajiban memberikan nafkah iddah,
sedangkan cerai gugat tidak ada ketentuan bagi mantan suami
memberikan nafkah iddah kepada mantan isteri. Jadi yang
berkewajiban memberikan nafkah iddah kepada mantan isteri hanya
bapak SN dan bapak RM.
Namun realita di lapangan bahwa tiap bulannya bapak RM
memberikan nafkah iddah sebesar 500 ribu rupiah, namun hanya
berlangsung 2 bulan saja. Sedangkan menurut ketentuan Kompilasi
Hukum Islam, masa iddah ialah tiga kali suci atau sekurang-kurangnya
90 hari. Sedangkan bapak SN tidak memberikan nafkah iddah kepada
mantan isterinya karena memang bapak SN sudah tua dan tidak
bekerja. Bahkan justru anak-anaknya lah yang memberikan nafkah
kepada bapak SN dan ibu NM (mantan isteri bapak SN).
b. Nafkah Mut’ah
Nafkah mut’ah adalah pemberian dari bekas suami kepada
isterinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya. Hal ini
dijelaskan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 241:
ولل مطلقت روف متعب ٱل مع الع ٢٤١ٱل متقيحق
69
Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut´ah menurut yang ma´ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah:241).
Dan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 146 poin (a)
yang berbunyi “bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al
dukhul”.
Dari ketiga objek yang diteliti hanya perceraian karena cerai
talak lah yang berkewajiban memberikan hak nafkah mut’ah kepada
mantan isterinya. Namun yang terjadi dilapangan, bahwa pelaku cerai
talak (bapak SN dan bapak RM) tidak memberikan nafkah mut’ah
kepada mantan isterinya, dikarenakan bapak SN yang sudah usia tua
dan tidak bekerja tidak sanggup memberikan nafkah mut’ah kepada
mantan isterinya, begitu pula bapak RM yang tidak sanggup
memberikan nafkah mut’ah kepada mantan isterinya. Sedangkan dari
ibu EN karena beliau yang mengajukan perceraian maka mantan
suaminya tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah
mut’ah.
2. Nafkah Pemeliharaan Anak
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak
pengasuhan atas dirinya dan kedua orang tuanya, satu hal yang menjadi
ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orang tua, ketika
perceraian terjadi anak akan menjadi korban utama. Orang tua yang
70
bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk
mengatasi penderitaan akibat perpisahaan orang tuanya. Setelah
bercerainya kedua orang tua tentunya akan adanya hak hadhanah terhadap
si anak baik kepada si ibu maupun ayahnya berdasarkan keputusan yang
telah ditetapkan oleh hakim.
Namun dalam perceraian lanis ini sebagaimana yang terjadi di
lapangan dari ketiga objek yang diteliti, bahwa anak-anak dari pelaku
perceraian, mereka telah bekerja semua bahkan sudah menikah semua.
Menurut pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyebutkan
bahwa: (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya; (2) kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1)
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dpat berdiri sendiri, kewajban
mana berlalu terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dengan demikian bahwa kewajiban kedua orang tua dalam pemeliharaan
anak telah gugur. Namun di lain sisi justru anak-anak mereka lah yang
selalu merawat dan memberikan nafkah penghidupan kepada orang tuanya.
3. Pembagian Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat
diantaranya pembagian harta bersama. Harta bersama adalah harta yang
didapat atau diperoleh selama perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam
pasal 96 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) yang berbunyi: “Apabila terjadi
cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama”. Dan pasal 97 KHI yang berbunyi; “Janda atau duda hidup
71
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
itentukan lain dlam perjanjian perkawinan”.
Namun dari ketiga objek yang mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama, tidak ada satu pun yang mengajukan mengenai
pembagian harta bersama. sehingga hakim pun tidak berhak untuk
menangani perihal pembagian harta bersama. Namun dari hasil wawancara
terhadap objek yang diteliti bahwa pembagian harta dilakukan dengan cara
musyawarah.dan harta bawaan juga dimasukkan menjadi satu ke dalam
harta bersama. Seperti hal nya bapak SN dan ibu NM, mereka memiliki
harta bersama berupa sebidang tanah beserta rumah dan sepetak kebun
yang dibeli setelah mereka menikah. Bahwa dari harta tersebut, mereka
memberikan seluruhnya untuk dibagi kepada ketiga anaknya. Namun dari
bapak SN maupun mantan isterinya masih bisa memakai harta tersebut,
seperti bapak SN yang tetap tinggal di rumah bersama sedangkan mantan
isterinya tinggal bersama anaknya yang nomor dua.
Sedangkan bapak RM dan ibu PA yang memiliki harta bersama
berupa rumah kecil dan sebuah sepeda motor. Dalam pembagian harta
bersama ini, rumah yang menjadi harta bersama, bapak RM seharusnya
setengah dari harta tersebut namun diberikan kepada anak tirinya yang
tidak lain adalah anak kandung dari ibu PA. Dan bapak RM hanya
membawa sepeda motor yang memang sudah menjadi haknya karena
mantan isterinya sudah mengikhlaskan agar menjadi milik bapak RM.
72
Bapak SN memilih pergi dari rumah dan tinggal sendiri di rumah kontrakan
yang sekaligus menjadi tempat membuka bengkel untuk mencari rezeki.
Berbeda lagi dengan ibu EN dan bapak SR pembagian harta
bersamanya memang saat ini belum dibagi karena memang harta tersebut
berada jauh yaitu di Kota Baru Kalimantan Selatan. Karena semenjak ibu
EN disuruh pulang dan selama itu pula mereka sudah tidak berkomunikasi
lagi dan tidak pernah bertemu, ibu EN sudah tidak mengurusi harta yang
seharusnya menjadi haknya. Harta bersama itu berupa rumah trans dan dua
bidang tanah. Karena ibu EN trauma dengan pernikahannya dulu bersama
bapak SR, maka ibu EN enggan kesana untuk mengurus hak dari harta
bersamanya,
Jadi dalam pembagian harta bersama dari ketiga objek yang diteliti,
mereka tidak membagi harta bersamanya sesuai dengan KHI yang
seharusnya dibagi seperdua dari harta bersama, namun realitanya diberikan
kepada anak-anaknya, ada pula yang menyerahkan sebagian harta bersama
kepada anak tirinya karena selama pernikahnnya tidak memiliki keturunan
dan ada lagi yang sudah tidak mau mengurusi harta bersamanya yang
seharusnya menjadi haknya.
B. Sosiologis
Sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin setiap perbuatan yang
dilakukan individu tidak mendapat tanggapan dari keluarga maupun
masyarakat. Hal ini sama hal nya dampak sosial yang dialami pleh pelaku
73
perceraian lansia, bahwa keluarga dan masyarakat sekitar sangat
menyayangkan hal itu, karena di usia tua yang harusnya waktu untuk
berkumpul dengan keluarga, anak, serta cucu-cucunya mereka palah
mengakhiri pernikahan yang sudah beberapa tahun lamanya mereka jalani.
Perubahan status dan peran juga menjadi hal yang akan mereka alami,
efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status
seseorang dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri,
serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka di masyarakat.
Baik pria maupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah
terjadi perceraian, terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai
identitasnya sangat tergantung pada suami.
C. Psikologis
Seperti halnya yang kita tahu, bahwa tidak ada seorang pasangan pun
yang ingin merasakan perceraian, namun di lain sisi bagi mereka yang bercerai
dan memiliki alasan-alasan untuk bercerai yang bilamana pernikahannya tetap
dilanjutkan maka kondisi psikisnya akan jauh dari kata bahagia. Seperti halnya
bapak SN, bapak RM dan ibu EN, mereka lebih memilih bercerai karena
memang pernikahannya tidak dapat dipertahankan lagi.
Dampak dari perceraian itu menurut hasil wawancara dan obeservasi
yang dilakukan, menyatakan bahwa dari ketiga objek yaitu bapak SN, bapak
RM, dan ibu EN dari kondisi mental dan psikis mereka merasa lebih bahagia
dan lebih tenang menjalani hidup ketimbang sebelum bercerai, tujuan mereka
74
bercerai ialah untuk mengurangi tekanan pikiran yang ditimbulkan dari
pernikahannya terdahulu. Terlebih lagi ibu EN yang sekarang lebih bahagia
ketimbang sewaktu beliau menikah, karena menurut keterangannnya, selama
pernikahan puluhan tahun beliau tidak pernah merasakan yang namanya
keharmonisan dalam keluarga. Namun di lain sisi mereka merasakan sedikit
malu dengan tetangga dan keluarga karena mereka merasa bahwa dirinya telah
gagal dalam menjalani proses kehidupan.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Perceraian 3 pasangan lansia di Kota Salatiga terdiri dari dua bentuk yaitu
cerai talak dan cerai gugat. Sedangkan prosesnya berjalan sebagaimana
proses sidang pada umumnya, namun sebagian besar perceraian lansia di
kota Salatiga berakhir pada putusan verstek karena salah satu pihak tidak
menghadiri persidangan setelah dipanggil secara sah dan patut dalam
beberapa kali.
2. Perceraian tiga pasangan lansia di Kota Salatiga terjadi karena berbagai
macam faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah salah satu pihak
meninggalkan selama 7 tahun berturut-turut dan tidak diberi nafkah,
kekerasan dalam rumah tangga, serta terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Diantara faktor-faktor tersebut yang menjadi factor utama terjadinya
perceraian lansia di Kota Salatiga ialah terus-menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
3. Menurut perspektif hukum islam dan perundang-undangan di Indonesia,
sosiologis, dan psikologis, perceraian tiga pasangan lansia di Kota Salatiga
76
memiliki beberapa akibat diantaranya akibat hukum yaitu berupa
tanggungan nafkah suami terhadap mantan isteri yang terdiri dari nafkah
iddah dan nafkah mut’ah, namun realita di lapangan bahwa dari dua
perceraian cerai talak dari keduanya tidak melaksankan kewajiban
sebagaimana mestinya karena memang sudah tidak sanggup lagi;
tanggungan nafkah pemeliharaan anak, dimana dalam hal ini pelaku
perceraian lansia tidak memiliki tanggungan tersebut karena telah gugur
akibat usia anak yang telah mencapai 21 tahun atau lebih; serta tanggungan
terhadap harta bersama, dalam hal ini pelaku perceraian lansia memiliki
perbedaan dalam penerapannya, dimana ada yang menyerahkan harta
kepada anak mereka secara utuh, ada juga yang menyerahkan harta salah
satu pihak kepada anak tirinya karena dari pernikahan pelaku tersebut tidak
memiliki anak, serta ada juga yang pasrah dan tidak ingin mengurusi harta
tersebut. Kemudian akibat sosiologis yaitu berupa perubahan status dan
peran juga menjadi hal yang akan mereka alami, efek yang paling jelas dari
perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang dari istri menjadi
janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri. Dan yang terakhir adalah
akibat perceraian lansia dalam perspektif psikologis yaitu dari kondisi
mental dan psikis, mereka merasa lebih bahagia dan lebih tenang menjalani
hidup ketimbang sebelum bercerai, tujuan mereka bercerai ialah untuk
mengurangi tekanan pikiran yang ditimbulkan dari pernikahannya
terdahulu
77
B. Saran
1. Sebaiknya orang yang telah usia lansia tidak seharusnya bercerai karena di
usia lansia harus semakin menjaga dan melengkapi.
2. Usia lansia hendaknya semakin mendekatkan diri dan berdoa kepada Allah
untuk untuk bekal akhirat nanti.
3. Seharusnya tidak mengedepankan egois, tetapi semakin usia lansia harus
semakin sabar.
4. Dan untuk para lansia yang sudah terlanjur bercerai, sebaiknya tetap
memberikan perhatian terhadap anak mereka karena bagi sebuah keluarga,
anak dan keluarga adalah hal yang harus diprioritaskan.
78
DAFTAR PUSTAKA
Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1983. Ilmu Fiqh jilid
Dua. Jakarta: Departemen Agama.
Harjano, Anwar.1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta: PT
Bulan Bintang.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. 2012. Bandung: Citra Umbara.
Moleong, Leksi J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Muhammad Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandung: CV. Sinar Baru.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6. Bandung: PT Al-Ma’arif
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 8. Bandung: PT Al-Ma’arif
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 9. Bnadung. PT Al-Ma’arif.
Saleh, Hasan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
79
Supriatna, Fatma Amilia, & Yasin Baidi.2009. Fiqh Munakahat 11. Yogyakarta:
Teras.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 2012.
Bandung: Citra Umbara.
Wasman, Wardah Nuroniyah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Teras.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26951/Chapter%20II.pdf;j
sessionid=95D8DA3030EAACE95887B57C0C2251CD?sequence=4.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Rudy Darussalam
Nim : 211-13-015
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Tempat Tanggal Lahir : Salatiga, 3 Desember 1994
Alamat : Isep-Isep RT 03/RW 03, Cebongan,
Argomulyo, Salatiga.
Nama Ayah : Muchsin
Nama Ibu : Nur Hidayati
Agama : Islam
Pendidikan : TK Tarbiyatul Banin 58 Lulus Tahun 2000
SDN Cebongan 3 Lulus Tahun 2007
MTSN Salatiga Lulus Tahun 2010
SMAN 3 Salatiga Lulus Tahun 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini, penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 22 Maret 2018
Penulis
M. Rudy Darussalam
DAFTAR NILAI SKK
Nama : M. Rudy Darussalam Fakultas : Syariah
Nim : 211 13 015 Jurusan : Hukum Keluarga
Islam
Dosen PA : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.
No Nama Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Poin
1. Sertifikat OPAK STAIN
SALATIGA 2013 “Rekontruksi
Paradigma Mahasiswa yang
Cerdas, Peka dan Peduli” oleh
Dewan Eksekutif Mahasiswa
(DEMA) STAIN Salatiga
Salatiga,27
Agustus 2013
Peserta 3
2. Sertifikat OPAK SYARIAH
2013 “Revitalisasi Intelektualitas
& Spiritualitas Mahasiswa
Menuju Kemajuan Indonesia”
Oleh HMJ Syariah STAIN
Salatiga
Salatiga, 29
Agustus 2013
Peserta 3
3. Sertifikat Library User
Education (Pendidikan Pemakai
Perpustakaan) UPT
Perpustakaan STAIN Salatiga
Salatiga, 16
September 2013
Peserta 2
4. Sertifikat Grand Opening Unit
Kegiatan Usaha KSEI Stain
Salatiga dengan tema “WHAT
DO YOU WANNA BE”
Salatiga,
21September
2013
Peserta 2
5.
Sertifikat Training Motivasi dan
Lomba Rangking 1 yang
diselenggarakan oleh Lembaga
Kampus Dakwah (LDK)
Salatiga, 26
September 2013
Peserta 3
6. Sertifikat Mapaba 1 dengan tema
“Menemukan Jati Diri Menuju
Mahasiswa yang Peka dan
Peduli” oleh PMII Komisariat
Salatiga
Salatiga, 4-6
Oktober 2013
Peserta 3
7. Sertifikat Seminar Nasional
dengan tema “Mendetakkan
Jantung Bangsa dengan
Jurnalisme” oleh LPM Dinamika
Salatiga, 7
Oktober 2013
Peserta 6
8. Sertifikat dengan tema
“Kristalisasi Nilai Qur’ani
Menuju Insan yang Penuh
Hikmah” oleh JQH Stain
Salatiga
Salatiga, 23-24
November 2013
Peserta 3
9. Seminar Nasional “Perlindungan
Hukum Terhadap Usaha Mikro
Menghadapi Pasar Bebas
Asean” oleh HMPS AS
Salatiga, Juli
2014
Peserta 6
10. Sertifikat Mapaba dengan tema
”Rekonstruksi Mental
Mahasiswa dalam Kerangka
Pergerakan” oleh PMII Rayon
Syariah dan Ekonomi Islam
Komisariat Salatiga
Sruwen, 17-19
Oktober 2014
Panitia 3
11. Seminar Nasional
“Berkontribusi Untuk Negeri
Melalui Televisi” oleh jurusan
KPI
Salatiga, 5
November 2014
Peserta 6
12. Sertifikat Workshop dengan
tema “Pelatihan Naib dalam
Mengawali Bahtera Mahligai
Rumah Tangga” oleh HMJ AS
Salatiga, Mei
2015
Peserta 3
13. Sertifikat Seminar Nasional
dengan tema “Perbankan
Syariah di Indonesia : Antara
Teori dan Praktik” oleh HMJ
HES
Salatiga,4
November 2015
Peserta 6
14. Sertifikat Seminar Nasional
dengan tema “Hak Gender
Kaum Difabel dalam Perspektif
Sosiologi dan Hukum Islam
Himpunan Mahasiswa Jurusan
Ahwal Al-Syakhshiyyah”
Salatiga, 24
Desember 2015
Peserta 8
15. Sertifikat Dalam Rangka Bedah
Buku “Agama Baha’I dalam
Salatiga, 26
April 2016
Peserta 2
Lintasan Sejarah di Jawa
Tengah”
16. Sertifikat Kuliah Umum
Fakultas Syariah “Gerakan
Revivalis Islam Modern dan
Perkembangan Hukum di
Indonesia”
Salatiga, 2 Juni
2016
Peserta 2
17. Sertifikat Seminar Nasional
“Melawan Radikalisme dan
Komunisme” oleh PMII Salatiga
Salatiga,
Agustus 2016
Peserta 6
18. Sertifikat Kuliah Umum “Peran
Partai Politik Islam dalam
Pentas Politik Nasional untuk
Mewujudkan Indonesia Emas”
oleh Jurusan HTN
Salatiga, 19
September 2016
Peserta 2
19. Sertifikat Seminar Nasional
“Rekontruksi Ideal Sistem
Peradilan di Indonesia” oleh
HMJ AS
Salatiga, 22
September 2016
Peserta 8
20. Sertifikat Seminar Nasional
Kontribusi Hukum Islam
terhadap Pemberantasan Korupsi
di Indonesia “Bersama Merajut
Asa Memberantas Korupsi di
Indonesia” oleh DEMA Fakultas
Syariah
Salatiga, 10
November 2016
Peserta 8
21. Seminar Nasional
“Mengembangkan Layanan
Kemanusiaan Berbasis Kearifan
Lokal Komunitas” oleh HMJ
PMI Fakultas Dakwah
Salatiga, 17
Desember 2016
Peserta 6
22. Sertifikat Kementrian Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah
Republik Indonesia dengan tema
“Pemasyarakatan
Kewirausahaan”
Salatiga, 27
April 2017
Peserta 2
23. Sertifikat Kuliah Umum
“Kontribusi Fatwa-Fatwa DSN
MUI Terhadap Perkembangan
Hukum Ekonomi Syariah di
Salatiga, 8 Mei
2017
Peserta 2