perdirjen final - sipdas- · pdf filepetunjuk teknis pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ......

72

Upload: ngokhanh

Post on 05-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

2

1

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.1/V-SET/2013 TENTANG : PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan kritis di Indonesia berdasarkan Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Tahun 2011 yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.781/Menhut-II/2012 adalah seluas 82.176.444,16 Ha yang terdiri dari 29.916.610,99 Ha kategori Kritis s/d Sangat Kritis dan 52.259.833,17 Ha kategori Agak Kritis. Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi kawasan sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya dukung DAS baik fungsinya sebagai penyangga kehidupan maupun peran hidroorologis DAS. Indikator adanya degradasi fungsi DAS ditunjukkan dengan meningkatnya bencana alam banjir, longsor dan kekeringan yang melanda di sebagian besar wilayah Indonesia pada dekade ini. Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan tersebut Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang mengatur penyelenggaraan rehabilitasi serta reklamasi hutan pada semua fungsi hutan serta areal penggunaan lain, pembagian kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah, pemerintah daerah serta pemegang ijin kawasan untuk melakukan penyelenggaraan RHL yang mencakup perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian. Kewajiban melakukan RHL pada lahan kritis di semua fungsi kawasan mengharuskan pemerintah, pemerintah daerah serta pemegang ijin kawasan mengalokasikan kegiatan RHL dari berbagai sumber anggaran dengan berpedoman pada ketentuan PP Nomor 76 Tahun 2008 ini. Petunjuk Teknis kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini merupakan penjabaran yang lebih teknis dan detil dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan RHL sebagai petunjuk teknis bagi para penyelenggara kegiatan RHL di daerah.

B. Maksud dan Tujuan Petunjuk Teknis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan teknis kepada semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan RHL sehingga kegiatan dapat terlaksana dengan baik. Tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

C. Ruang Lingkup Ruang lingkup peraturan ini meliputi : 1. penyusunan rancangan kegiatan; 2. penyediaan bibit; 3. reboisasi; 4. penghijauan; 5. rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai; 6. rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut; 7. konservasi tanah dan air; 8. tatacara evaluasi RHL; dan 9. penghapusan tanaman gagal/rusak.

2

D. Pengertian 1. Areal Produksi Benih yang selanjutnya disingkat APB adalah sumber

benih yang dibangun khusus atau berasal dari tegakan benih terseleksi (TBS) yang kemudian ditingkatkan kualitasnya dengan penebangan pohon-pohon yang fenotipenya tidak bagus (inferior).

2. Bangunan pengendali jurang (gully plug) adalah bendungan kecil yang lolos air yang dibuat pada parit-parit, melintang alur parit dengan konstruksi batu, kayu atau bambu.

3. Bangunan terjunan air adalah bangunan terjunan yang dibuat pada tiap jarak tertentu pada saluran pembuangan air (tergantung kemiringan lahan) yang dibuat dari batu, kayu atau bambu.

4. Bibit adalah bahan tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembangkan tanaman yang berasal dari bahan generatif atau bahan vegetatif.

5. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

6. Dam penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan konstruksi bronjong batu atau trucuk bambu/kayu yang dibuat pada alur sungai / jurang dengan tinggi maksimal 4 meter yang berfungsi untuk mengendalikan/mengendapkan sedimentasi/erosi tanah dan aliran permukaan (run-off).

7. Dam pengendali adalah bendungan kecil semi permanen yang dapat menampung air (tidak lolos air) dengan konstruksi urugan tanah homogen, lapisan kedap air dari beton (tipe busur) untuk mengendalikan erosi tanah, sedimentasi dan aliran permukaan yang dibangun pada alur sungai/anak sungai dengan tinggi bendungan maksimal 8 (delapan) meter.

8. Embung air adalah bangunan penampung air berbentuk kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan/air limpasan atau air rembesan pada lahan tadah hujan yang berguna sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan pada musim kemarau.

9. Gambut adalah material yang terbentuk dari bahan-bahan organik (serasah), seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sedikit oksigen dan keasaman tinggi serta terbentuk di suatu lokasi dalam jangka waktu yang lama.

10. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

11. Hutan mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Api-api), Soneratia spp. (Pedada), Rhizophora spp (Bakau), Bruguiera spp (Tanjang), Lumnitzera excoecaria (Tarumtum), Xylocarpus spp (Nyirih), Anisoptera dan Nypa fruticans (Nipah).

12. Hutan pantai adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh di tepi pantai dan berada diatas garis pasang tertinggi, antara lain : Casuarina equisetifolia (Cemara laut), Terminalia catappa (Ketapang), Hibiscus filiaccus (Waru), Cocos nucifera (Kelapa) dan Arthocarpus altilis (Cempedak).

3

13. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %.

14. Jenis kayu-kayuan adalah jenis-jenis tanaman hutan yang menghasilkan kayu untuk konstruksi bangunan, meubel dan peralatan rumah tangga.

15. Jenis tanaman endemik adalah jenis tanaman asli yang tumbuh/pernah tumbuh pada suatu daerah.

16. Jenis tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS) adalah jenis tanaman yang menghasilkan kayu dan bukan kayu antara lain buah- buahan, getah, kulit.

17. Jenis tanaman unggulan lokal yang selanjutnya disingkat TUL adalah jenis-jenis tanaman asli atau eksotik yang disukai masyarakat karena mempunyai keunggulan tertentu berupa produk kayu, buah dan getah yang produknya mempunyai nilai ekonomi tinggi.

18. Kebun Benih Semai yang selanjutnya disingkat KBS adalah sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan.

19. Kebun Benih Klon yang selanjutnya disingkat KBK adalah sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan.

20. Kebun Pangkas yang selanjutnya disingkat KP adalah sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan hasil uji klon.

21. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang tanah pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari.

22. Kriteria tanaman berhasil adalah jumlah tertentu tanaman dalam bentuk pancang, tiang atau pohon per hektar baik tanaman awal maupun tanaman baru yang umumnya diukur pada tahun ketiga setelah penanaman.

23. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air DAS.

24. Land Mapping Unit (LMU) Terpilih adalah satuan lahan terkecil pada RTk RHL DAS yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik (kekritisan lahan, fungsi kawasan, morfologi DAS serta prioritas DAS) dengan kategori tingkat kekritisan lahan Agak Kritis, Kritis dan Sangat Kritis.

25. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di dalam tanah agar terjadi berbagai aktivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya.

26. Normalized Difference Vegetation Index yang selanjutnya disingkat NDVI merupakan indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan vegetasi pada data satelit yang digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi.

27. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui pemberian akses terhadap sumberdaya, pendidikan, pelatihan dan pendampingan.

28. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit.

4

29. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan untuk mengembalikan fungsi lahan.

30. Penanaman pengayaan reboisasi adalah penanaman di kawasan hutan dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk meningkatkan produktivitas hutan.

31. Penanaman pengayaan hutan rakyat adalah penanaman di luar kawasan hutan dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk meningkatkan produktivitas lahan.

32. Penghijauan lingkungan adalah penanaman pohon di luar kawasan hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti pada areal fasilitas sosial/umum, ruang terbuka hijau, jalur hijau, pemukiman, taman dll.

33. Perlindungan kanan kiri / tebing sungai adalah teknik konservasi tanah secara vegetatif dan/atau sipil teknis untuk melindungi kanan kiri/tebing sungai.

34. Propagul adalah bentuk lain dari benih atau buah yang pada tahap perkembangannya sudah terbentuk bakal batang tanaman selagi buah/benih tersebut masih terdapat pada pohon induknya.

35. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

36. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas I adalah lahan kritis sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Kritis dan Sangat Kritis.

37. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Prioritas II adalah lahan kritis sasaran rehabilitasi hutan dan lahan kategori Agak Kritis.

38. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat RTk-RHL DAS adalah rencana RHL 15 (lima belas) tahunan yang memuat rencana pemulihan hutan dan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengembangan sumberdaya air dan pengembangan kelembagaan.

39. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RPRHL) adalah rencana RHL 5 (lima) tahunan yang disusun berdasarkan RTkRHL-DAS memuat kebijakan dan strategi, lokasi, jenis kegiatan, kelembagaan, pembiayaan dan tata waktu.

40. Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) adalah rencana tahunan RHL yang disusun berdasarkan RP RHL pada T-1.

41. Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RKRHL) adalah rancangan teknis kegiatan RHL yang memuat jenis kegiatan tertentu, detil lokasi, volume, kebutuhan biaya, tata waktu, peta situasi, gambar desain kegiatan RHL, yang dilengkapi dengan kegiatan pendukung.

42. Rorak adalah saluran buntu yang berfungsi sebagai tampungan sementara air dari aliran permukaan untuk diresapkan ke dalam tanah.

43. Saluran Pembuangan Air (SPA) adalah saluran air yang dibuat memotong kontur dapat diperkuat dengan bangunan terjunan air dan/atau gebalan rumput.

44. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.

45. Sistem jalur adalah cara penanaman dengan pembersihan lahan sepanjang jalur tanaman.

46. Sistem cemplongan adalah cara penanaman dengan pembersihan lahan di sekitar lubang tanaman.

47. Sistem tumpangsari adalah pola penanaman yang dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim/setahun atau tanaman sela diantara tanaman pokok (kayu-kayuan/MPTS).

5

48. Strip rumput (grass barrier) adalah cara penanaman tanaman pokok di antara strip rumput secara berselang seling yang dilakukan pada bidang yang memotong lereng.

49. Tanah terbuka menurut klasifikasi tutupan lahan Ditjen Planologi Kehutanan adalah seluruh penampakan lahan terbuka tanpa vegetasi.

50. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon sebelum dilaksanakan penanaman atau pengayaan tanaman.

51. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang olah, guludan dan saluran air searah dengan kontur lapangan.

52. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) adalah sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman yang lokasinya teridentifikasi dengan tepat.

53. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang berasal dari TBT dengan kualitas tegakan diatas rata-rata.

54. Unit Terkecil Pengelolaan (UTP) RHL, adalah LMU Terpilih yang berada dalam suatu DAS/catchment kecil (micro watershed) seluas 300 s/d 1000 hektar yang dibatasi oleh batas alam berupa punggung-punggung bukit. Satu UTP RHL dapat berada dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan, atau campuran keduanya.

55. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab dibidang Kehutanan.

56. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab dibidang Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial.

57. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah Kabupaten/Kota.

58. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah Provinsi.

6

BAB II PENYUSUNAN RANCANGAN KEGIATAN

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Hirarki perencanaan RHL meliputi RTk RHL-DAS, RPRHL dan RTnRHL mengikuti ketentuan yang berlaku. Disamping perencanaan tersebut, pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperlukan rancangan kegiatan RHL (RK RHL), yang merupakan desain teknis kegiatan RHL yang memuat informasi detil jenis dan lokasi kegiatan, peta, rincian kebutuhan bahan dan upah, gambar pola tanam dan/atau konstruksi. Rancangan kegiatan RHL terdiri dari kegiatan vegetatif (tanam-menanam) dan sipil teknik.

A. Komponen RK RHL, terdiri dari:

1. Informasi lokasi kegiatan a. Kampung/Blok, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, DAS, Wilayah

BPDAS. b. Identitas UTP RHL mengacu kepada RPRHL utamanya untuk kegiatan

yang luasnya lebih dari 100 ha. c. Khusus untuk kegiatan tanam menanam (vegetatif) di luar kawasan

hutan seperti hutan rakyat dan kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti penanaman bibit KBR atau kegiatan lain sejenis harus dilengkapi dengan identitas kelompok tani/masyarakat pelaksana kegiatan RHL (nama dan alamat kelompok tani penerima kegiatan).

2. Peta Situasi dan Peta Lokasi a. Peta situasi dengan skala 1:25.000 atau 1:50.000 adalah peta yang

menunjukkan posisi lokasi kegiatan RHL terhadap wilayah administrasi sekitarnya.

b. Peta lokasi kegiatan vegetatif adalah peta poligon tertutup lokasi tanaman yang diukur menggunakan GPS atau theodolite atau alat-alat pemetaan lain dengan skala 1:1000 s/d 1:5000, dapat menggunakan peta dasar Google Map atau peta citra satelit lainnya agar kondisi aktual lokasi RHL dapat disajikan dengan lebih jelas. Pada kegiatan reboisasi, penyiapan areal penanaman melalui pembagian blok/petak dituangkan dalam peta lokasi kegiatan. Untuk kegiatan penanaman KBR dan lainnya dapat dilakukan pemetaan sederhana yang dilengkapi informasi nama kampung/blok, pemilik lahan, nama sungai, jalan dan lain sebagainya.

c. Peta lokasi kegiatan sipil teknis adalah peta yang menggambarkan letak bangunan sipil teknis yang disajikan dalam peta/sket topografi skala 1:100 atau 1:1000.

d. Untuk kegiatan RHL dengan luas lebih dari 100 Ha, peta lokasi kegiatan RHL diplot kedalam peta UTP RHL yang sudah ada dalam peta RP RHL.

3. Gambar Pola Tanam Pada rancangan kegiatan vegetatif dilengkapi gambar/sket pola tanam berupa sebaran/letak jenis dan jarak tanam, termasuk untuk wanatani (agroforestry) agar menggambarkan sebaran tanaman pokok dan tanaman pengisi/sela/pinggir mencakup tanaman semusim/setahun dan tanaman keras/tahunan.

4. Gambar Konstruksi Untuk bangunan pendukung kegiatan penanaman (gubug kerja, papan nama lokasi kegiatan) dan bangunan konservasi tanah berupa bangunan sipil teknis agar dilengkapi gambar konstruksi yang jelas.

5. Rincian kebutuhan bahan dan upah Analisis kebutuhan bahan dilakukan berdasarkan kondisi riil lapangan dengan menggunakan jenis-jenis lokal, sedangkan kebutuhan tenaga kerja dihitung sesuai standar setempat.

6. Lembar Pengesahan Lembar pengesahan berisi tandatangan penyusun, penilai dan pengesah buku RK RHL.

7

B. Mekanisme Penyusunan RK RHL 1. Pembentukan Tim Penyusun

Dibentuk oleh satuan kerja pelaksana RHL, jika diperlukan tim penyusun dapat melibatkan unsur Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) atau Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) dan/atau konsultan/perguruan tinggi.

2. Penyiapan bahan Bahan-bahan berupa peta-peta RTk RHL DAS dan/atau RP RHL, peta-peta pendukung lainnya termasuk citra satelit atau google map (jika ada), tally sheet, serta peralataan pemetaan di lapangan.

3. Identifikasi lokasi Identifikasi lokasi RHL dilakukan dengan menggunakan Peta RTk RHL DAS dan/atau RP RHL serta hasil orientasi lapangan.

4. Identifikasi tegakan awal Identifikasi tegakan awal dalam rangka memperoleh data jumlah tegakan per hektar untuk menentukan sasaran lokasi penanaman intensif dan pengayaan tanaman menggunakan metode remote sensing dan atau terestris. a. Metode remote sensing

Metode yang digunakan adalah metode digital klasifikasi citra satelit. Penjabaran lebih lanjut mengenai Metode Remote Sensing diatur dalam Manual Identifikasi Tegakan Awal Sasaran Lokasi RHL menggunakan Metode Remote Sensing.

b. Terestris Identifikasi tegakan awal menggunakan pedoman inventarisasi tegakan yang berlaku.

Disamping itu, identifikasi tegakan awal untuk menentukan sasaran lokasi penanaman intensif dan pengayaan tanaman dapat menggunakan Peta Liputan Lahan Ditjen Planologi terbaru. Kelas penutupan lahan ‘Tanah Terbuka’ pada umumnya mempunyai tegakan per hektar kurang dari 200 batang, sehingga dapat digunakan sebagai lokasi penanaman intensif. Data tegakan per hektar pada kelas penutupan lahan lainnya diperoleh melalui pendetailan.

5. Survey lapangan dan pemetaan Secara umum kegiatan RHL vegetatif maupun sipil teknis perlu dilakukan survey lapangan dan pemetaan. Survey lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data biofisik dan sosial ekonomi, kelompok tani pelaksana, ketersediaan bahan-bahan, dan data-data pendukung lainnya. Pengumpulan data biofisik termasuk pendetilan terestris dalam rangka memperoleh data jumlah tegakan per hektar sebagaimana butir B.4.b. Sedangkan pemetaan lokasi dilakukan dengan menetapkan titik-titik poligon terluar lokasi kegiatan penanaman dan menentukan letak geografisnya. Untuk kegiatan sipil teknis, survey lapangan dan pemetaan untuk menentukan letak dan mengukur bangunan konservasi tanah seperti badan bendung, saluran pelimpah (spillway), saluran pengelak, letak serta ukuran embung air, sumur resapan, biofori dll.

6. Pengolahan data Data hasil survey lapangan dan pemetaan lokasi diolah dan dianalisa untuk menghitung kebutuhan bahan dan upah, menentukan pola tanam serta membuat peta poligon tertutup termasuk gambar konstruksi untuk bangunan pendukung kegiatan penanaman dan bangunan sipil teknis.

7. Penyusunan naskah rancangan Naskah buku RK RHL berisi informasi lokasi kegiatan, peta lokasi dan peta situasi, gambar pola tanam, gambar konstruksi, rincian kebutuhan bahan dan upah dan lembar pengesahan yang disajikan dalam narasi, tabel maupun gambar mengacu pada Manual Penyusunan Rancangan Kegiatan RHL.

8

BAB III PENYEDIAAN BIBIT

A. Kaidah Umum Pembibitan

1. Asal-Usul Bibit Bibit berkualitas diperoleh dari benih berkualitas yang berasal sumber benih bersertifikat yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Sumber benih yang bersertifikat memiliki klasifikasi sebagai berikut : a. Tegakan benih teridentifikasi; b. Tegakan benih terseleksi; c. Areal produksi benih; d. Tegakan benih provenance; e. Kebun benih semai; f. Kebun benih Klon; g. Kebun pangkas.

2. Penyediaan Bibit Penyediaan bibit untuk kegiatan RHL dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu: a. Pembuatan bibit melalui swakelola, Kebun Bibit Rakyat atau

Persemaian Permanen; b. Pengadaan bibit melalui pengada dan/atau pengedar;

3. Kriteria dan Standar serta Sertifikasi Mutu Bibit a. Kriteria dan Standar Mutu Bibit

Kriteria dan standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan beberapa faktor antara lain kualitas, penanganan/perlakuan benih, teknik pembibitan dan tujuan penggunaannya. Kriteria dan standar mutu bibit sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria dan Standar Mutu Bibit No Kelompok

Jenis Tujuan

Penggunaan Kriteria Standar

1. Kayu-kayuan

Reboisasi/ Hutan Rakyat

1. Pertumbuhan 2. Media 3. Tinggi

1. Pertumbuhan normal (sehat, berbatang/ berkayu)

2. Kompak 3. Tinggi minimal 30

cm (kecuali jenis pinus 15 cm dan sudah ada ekor bajing)

Tanaman turus jalan, hutan kota, penghijauan lingkungan

1. Pertumbuhan 2. Media 3. Tinggi

1. Pertumbuhan normal (sehat, berbatang/ berkayu)

2. Kompak 3. Tinggi minimal 1

meter 2. Mangrove Reboisasi/

RHL 1. Pertumbuhan

1. Pertumbuhan normal - Non propagul:

sehat, berbatang tunggal/

berkayu - Propagul: sehat,

jumlah daun minimal 4 helai

9

No Kelompok Jenis

Tujuan Penggunaan Kriteria Standar

2. Media 3. Tinggi

2. Kompak 3. Tidak

dipersyaratkan kecuali non propagul tinggi minimal 20 cm

3. Pantai RHL 1. Pertumbuhan 2. Media 3. Tinggi

1. Pertumbuhan normal (sehat, berbatang/ berkayu)

2. Kompak 3. Tinggi minimal 30

cm

4. MPTS Hutan Rakyat/ Reboisasi/ Penghijauan Lingkungan

1. Pertumbuhan 2. Media 3. Tinggi

1. Pertumbuhan normal (sehat, berbatang/ berkayu)

2. Kompak 3. Tinggi minimal 50

cm kecuali bibit okulasi 30 cm dihitung dari tempelan/ sambungan

b. Sertifikasi Mutu Bibit

Mutu bibit dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit dan surat keterangan mutu bibit. Bibit yang berasal dari sumber benih bersertikat dan memenuhi persyaratan fisik fisiologis dinyatakan dengan sertifikat mutu bibit. Sedangkan bibit yang memenuhi persyaratan fisik fisiologis tetapi bukan berasal dari sumber benih bersertifikat dinyatakan dengan surat keterangan mutu bibit.

Jika pada saat akan dilaksanakan kegiatan RHL, bibit yang berasal dari sumber benih yang bersertifikat dan atau bibit sesuai dengan ketentuan mutu bibit belum tersedia, maka kegiatan RHL dapat menggunakan bibit lain yang sesuai dengan agroklimat dan zona benih setempat.

B. Pembangunan Kebun Bibit Rakyat

Kebun Bibit Rakyat yang selanjutnya disingkat KBR adalah kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat melalui pembuatan/pengadaan bibit berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS) yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau sumber lain yang tidak mengikat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembangunan Kebun Bibit Rakyat diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

C. Pembangunan Persemaian Permanen

Persemaian permanen adalah persemaian yang menetap pada satu lokasi dengan organisasi dan personil pelaksana yang tetap, memiliki sarana, prasarana dan teknologi mutakhir untuk memproduksi bibit tanaman hutan berkualitas dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Ketentuan teknis persemaian permanen diatur sendiri dengan Peraturan Direktur Jenderal.

10

BAB IV REBOISASI

A. Umum

Reboisasi secara umum ditujukan untuk mengembalikan fungsi hutan baik sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumberdaya alam maupun fungsi produksi. Keberadaannya yang tersebar sebagian besar di morfologi DAS bagian hulu dan tengah menyebabkan sebagian besar kawasan hutan mempunyai fungsi hidroorologis sebagai wilayah resapan air (recharge area) bagi DAS tersebut. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan di semua fungsi menempati prioritas utama dalam pengelolaan DAS. Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka reboisasi dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu penanaman intensif dan pengayaan tanaman. Penanaman intensif ditujukan untuk lokasi yang populasi tegakan/anakan kurang dari 200 batang per ha, sedangkan pengayaan tanaman untuk menambah populasi pada hutan yang memiliki tegakan awal berupa anakan, pancang, tiang, dan pohon sejumlah 200-700 batang per Ha, dan apabila populasi lebih besar dari 700 batang per ha cukup diadakan pengamanan sehingga diharapkan akan menjadi hutan kembali secara suksesi alami. Reboisasi dilaksanakan pada LMU Terpilih yang terbagi menjadi 2 (dua) prioritas yaitu Prioritas I dan Prioritas II. Prioritas I merupakan LMU terpilih kategori Kritis-Sangat Kritis menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan terbuka dengan topografi bergunung. Sementara Prioritas II yaitu LMU terpilih kategori Agak Kritis menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan identik dengan hutan sekunder atau kebun campuran dengan topografi landai sampai bergelombang. Persyaratan umum lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan pada hutan konservasi serta hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan areal untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/ Hutan Tanaman Rakyat (HTR), serta hutan konservasi. Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung dilakukan dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan agar fungsi konservasi ataupun lindung dapat tercapai secara optimal. Sedangkan rehabilitasi kawasan hutan produksi dapat mengembangkan penanaman satu jenis.

B. Lokasi

1. Hutan Konservasi a. Maksud dan Tujuan

Rehabilitasi pada hutan konservasi dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan kelestarian flora dan fauna serta pembinaan habitat.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi rehabilitasi hutan konservasi diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL, diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS hulu dan tengah kecuali hutan konservasi mangrove. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

c. Jenis Tanaman Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan konservasi antara lain yang memenuhi kriteria berikut ini: 1) berdaur panjang; 2) perakaran dalam; 3) evapotranspirasi rendah; 4) anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-kayuan

maupun MPTS, atau dari lokasi lain dengan jenis yang sama.

11

2. Hutan Lindung a. Maksud dan Tujuan

Reboisasi di dalam kawasan hutan lindung ditujukan untuk memulihkan fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi rehabilitasi hutan lindung diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diutamakan pada lahan kategori RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS bagian hulu dan tengah kecuali hutan lindung mangrove. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

c. Jenis Tanaman Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi hutan lindung diarahkan tanaman yang berdaur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah dapat menghasilkan hasil hutan bukan kayu (getah/kulit/buah) melalui pengembangan aneka usaha kehutanan.

3. Hutan Produksi a. Maksud dan Tujuan

Rehabilitasi hutan produksi dimaksudkan untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas hutan.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi rehabilitasi hutan produksi adalah semua hutan produksi yang diutamakan lahan kritis / LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL, diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS hulu dan tengah. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

c. Jenis Tanaman Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan produksi antara lain yang memenuhi kriteria berikut ini: 1) nilai komersialnya tinggi; 2) teknik silvikulturnya telah dikuasai; 3) mudah pengadaan benih dan bibit yang berkualitas; dan 4) disesuaikan dengan kebutuhan pasar. 5) sesuai dengan agroklimat. 6) apabila pada lokasi tapak terdapat mata air atau kondisi lahan

bertopografi diatas 35% maka penetapan jenis tanamannya disesuaikan dengan kaidah rehabilitasi hutan lindung.

C. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan

Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan untuk menjamin keberhasilannya pada prinsipnya dilakukan secara multiyears. Tahapan pelaksanaan penanaman rehabilitasi hutan meliputi kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. 1. Persiapan

a. Kelembagaan Kegiatan ini meliputi penyiapan organisasi pelaksana dan koordinasi dengan pihak terkait untuk penyiapan lokasi, bibit dan tenaga kerja yang akan melakukan penanaman.

b. Sarana dan Prasarana. 1) Rancangan pembuatan tanaman untuk dipedomani dalam

pembuatan tanaman antara lain kesesuaian lokasi/blok/ petak sasaran pembuatan tanaman reboisasi.

2) Dokumen-dokumen pekerjaan yang diperlukan untuk pembuatan tanaman.

3) Bahan dan alat (gubuk kerja, papan nama, patok batas, ajir, GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-lain) dan perlengkapan kerja. Pembuatan gubuk kerja dan pemacangan papan nama sesuai tempat yang strategis.

4) Bibit tanaman.

12

c. Areal penanaman 1) Pembagian blok / petak

Untuk memudahkan pelaksanaan, lokasi dibagi menjadi blok dan petak. Dalam mendisain blok dan petak mempertimbangkan kondisi fisik lapangan dan juga batas DAS mikro yang telah dirancang saat menyusun UTP RHL. Untuk mempermudah pengawasan areal penanaman dibuat blok seluas sekitar 300 ha yang dibagi kedalam beberapa petak seluas sekitar 25 ha yang batasnya dimungkinkan batas alam. Untuk lokasi penanaman yang luasnya kurang dari 300 Ha tetap dijadikan satu blok. Tetapi apabila luas areal penanaman �50 ha dijadikan satu petak dan bloknya digabung dengan lokasi yang terdekat. Apabila batas antar petak berupa batas buatan, sekaligus dapat difungsikan untuk jalur rintisan. Lokasi-lokasi tertentu seperti jurang, sungai dan sebagainya tidak termasuk dalam perhitungan luas efektif.

2) Pembuatan jalan pemeriksaan Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan lainnya. Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk pemeriksaan juga sekaligus untuk jalan pengangkutan alat dan bahan-bahan yang diperlukan. Teknik pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan jalan yang berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi lapangan.

2. Pelaksanaan penanaman Komponen pekerjaan penanaman meliputi : a. pembersihan lahan b. pembuatan / pengadaan dan pemancangan patok batas c. pembuatan jalur tanaman d. pembuatan dan pemasangan ajir e. pembuatan lubang tanaman f. distribusi bibit ke lubang tanaman g. penanaman

Penanaman intensif dilaksanakan pada LMU Prioritas I minimal 1.600 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100 batang/ha. Pelaksanaan pengayaan tanaman pada LMU Terpilih paling sedikit 500 batang/hektar.

h. pemupukan (dasar dan lanjutan) i. pembuatan gubuk kerja j. pembuatan papan nama k. pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi penyiangan, pendangiran

dan penyulaman. Jumlah bibit untuk penyulaman minimal 10 % dari jumlah yang ditanam.

Pada akhir tahun berjalan (saat penyerahan pekerjaan), persen tumbuh tanaman lebih besar 60 %. Persen tumbuh tanaman tersebut diketahui berdasarkan evaluasi tanaman yang dilaksanakan pada akhir tahun ke-I. Evaluasi dimaksud juga ditujukan untuk menentukan intensitas pemeliharaan dan rancangan pemeliharaan pada pemeliharaan I.

3. Pemeliharaan I dan II Pemeliharaan I dan II dilaksanakan pada tahun kedua dan ketiga, dengan komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama/penyakit dan penyulaman. Pelaksanaan pemeliharaan I dan II dilaksanakan sepanjang tahun dengan menggunakan hasil evaluasi tanaman tahun sebelumnya. Jumlah bibit untuk penyulaman pada pemeliharaan I dan II ditentukan berdasarkan hasil evaluasi tanaman.

13

Intensitas pemeliharaan per tahun dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu: b. Pemeliharaan ringan

1) Penyiangan dan pendangiran masing-masing satu kali. 2) Penyulaman maksimal 10%

c. Pemeliharaan sedang 1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-masing

satu kali. 2) Penyulaman maksimal 20%

d. Pemeliharaan berat 1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-masing

minimal satu kali. 2) Penyulaman lebih dari 20%

4. Standar hasil kegiatan Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 700 batang/hektar

5. Pemeliharaan lanjutan Kegiatan pemeliharaan tanaman untuk jenis dan fungsi tertentu, setelah pemeliharaan II dapat dilanjutkan sampai dengan tahun kelima. Pemeliharaan lanjutan dapat dilaksanakan setelah dievaluasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal melalui mekanisme sebagai berikut: a. Satuan kerja pelaksana RHL mengusulkan kepada Direktur Jenderal

sasaran lokasi RHL yang akan dilakukan pemeliharaan lajutan; b. Berdasarkan usulan tersebut, Direktur Jenderal membentuk tim yang

beranggotakan dari unsur Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), BPDAS dan satuan kerja/pelaksana RHL di daerah;

c. Tim tersebut melakukan evaluasi pada lokasi yang diusulkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Jenis dan kondisi fisik tanaman; 2) Urgensi fungsi lokasi RHL tersebut terhadap prioritas penanganan

DAS; d. Tim dapat menyetujui atau menolak usulan tersebut dengan berita

acara; e. Apabila tim menyetujui, selanjutnya dapat mengusulkan kepada Dirjen

untuk dilakukan kegiatan pemeliharaan lanjutan pada lokasi tersebut.

D. Reboisasi Pola Khusus Reboisasi pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun sosial, ekonomi, budaya khusus dan atau mempunyai jenis tanaman lokal tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal dapat dilaksanakan reboisasi pola khusus dengan manual tersendiri.

14

BAB V PENGHIJAUAN

A. Umum

Penghijauan bertujuan menjaga dan meningkatkan fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir, longsor, dan/atau untuk meningkatkan produktivitas lahan. Penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan pada kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penghijauan meliputi Pembangunan Hutan Rakyat, Pembangunan Hutan Kota, dan Penghijauan Lingkungan. Sasaran penghijauan diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diluar kawasan hutan negara, yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan atau kawasan budidaya. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat. Kaidah-kaidah umum rehabilitasi lahan adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Lindung

Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan lindung, memperhatikan prinsip-prinsip: a. Fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir dan

longsor. b. Mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat. c. Mengembangkan pola-pola insentif RHL bagi masyarakat sesuai

peraturan perundangan yang ada. 2. Kawasan Budidaya

Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan budidaya, memperhatikan prinsip-prinsip: a. Meningkatkan produktivitas lahan. b. Menyesuaikan dengan kelas kemampuan lahan (land capability) dan

kesesuaian lahan (land suitability). c. Mengembangkan usaha masyarakat setempat.

B. Lokasi

1. Hutan Rakyat a. Maksud dan Tujuan

Maksud pembangunan hutan rakyat/pengayaan untuk mewujudkan tanaman hutan di luar kawasan hutan negara (lahan milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan kosong/kritis) di DAS prioritas. Adapun tujuannya untuk memulihkan fungsi dan meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil tanaman berupa kayu dan non kayu, memberikan peluang kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan pendapatan masyarakat, kemandirian kelompok tani, serta memperbaiki kualitas lingkungan dan mengurangi tekanan penebangan liar di dalam kawasan hutan negara (illegal logging).

b. Sasaran Lokasi Sasaran kegiatan hutan rakyat berupa lahan kritis/ LMU terpilih pada kawasan lindung dan budidaya, diutamakan pada kawasan lindung diluar kawasan hutan di daerah hulu dan tengah DAS dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL. Disamping kriteria diatas, ketentuan teknis lokasi hutan rakyat adalah sebagai berikut: 1) Tanah milik. 2) Tanah terlantar. 3) Tanah desa, tanah marga/adat. 4) Luas areal hutan rakyat/pengayaan minimal seluas 0,25 Ha efektif.

15

c. Jenis kegiatan Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan sebelumnya, hutan rakyat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis kegiatan yaitu pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan pada areal terbuka/semak belukar/bertegakan dengan jumlah anakan kurang dari 200 batang/hektar dan pengayaan tanaman hutan rakyat dilaksanakan pada areal kebun campuran dengan jumlah tegakan paling sedikit 200 batang/hektar.

d. Jenis Tanaman Jenis tanaman untuk pembangunan hutan rakyat didasarkan pada minat masyarakat dan sesuai agroklimat serta permintaan pasar. Tanaman yang dipilih dapat berupa jenis yang : 1) cepat tumbuh (fast growing species); 2) dapat menyuburkan tanah; 3) tanaman jenis pioner yang mudah tumbuh di lahan kritis; 4) jenis tanaman unggulan setempat; 5) mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

e. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. 1) Persiapan

a) Penyiapan kelembagaan Kelompok tani diarahkan untuk melaksanakan persiapan pembuatan tanaman hutan rakyat antara lain : (1) Mengikuti sosialisasi penyuluhan dan pelatihan. (2) Menyediakan lahan untuk lokasi kegiatan pembuatan

tanaman. (3) Menyusun rancangan (RKRHL) bersama-sama pendamping. (4) Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan kelompok tani. (5) Menyiapkan administrasi kelompok tani. (6) Menyusun perangkat aturan/kesepakatan internal kelompok

tani. b) Penataan Areal Tanaman

Kegiatan penataan areal tanaman dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) Pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan, untuk

menentukan luas serta letak yang pasti sehingga memudahkan perhitungan kebutuhan bibit.

(2) Penentuan arah larikan. (3) Penentuan tempat penampungan sementara bibit yang akan

ditanam. c) Pembuatan Sarana dan Prasarana

(1) Pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal di lapangan yang memuat keterangan tentang lokasi, luas, jenis tanaman, nama kelompok tani dan jumlah peserta serta tahun pembuatan tanaman hutan rakyat dan sumber anggaran.

(2) Pembuatan jalan inspeksi/setapak dan atau jembatan di dalam lokasi tanaman hutan rakyat, jika diperlukan.

2) Pelaksanaan Penanaman Penanaman dilakukan pada awal musim hujan yang meliputi kegiatan-kegiatan : a) Pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan pembuatan lubang

tanam; b) Pembuatan dan pemasangan ajir; c) Pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi); d) Distribusi bibit;

16

e) Penanaman bibit; Penanaman hutan rakyat dilaksanakan pada LMU Prioritas I minimal 1.600 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100 batang/ha. Pelaksanaan pengayaan hutan rakyat pada LMU Terpilih paling sedikit 200 batang/hektar

f) Pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi pemupukan lanjutan, penyulaman sejumlah 10% dari bibit yang ditanam semula, penyiangan dan pendangiran.

Pada akhir tahun berjalan (saat penyerahan pekerjaan), persen tumbuh tanaman lebih besar 60 %. Persen tumbuh tanaman tersebut diketahui berdasarkan evaluasi tanaman yang dilaksanakan pada akhir tahun ke-I. Evaluasi dimaksud juga ditujukan untuk menentukan intensitas pemeliharaan dan rancangan pemeliharaan pada pemeliharaan I. Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan 2 (dua) pola sebagai berikut : a) Tumpangsari

Tumpangsari (interplanting, mixed planting) merupakan suatu pola penanaman yang dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman pokok (kayu/MPTS). Pola ini biasanya dilaksanakan di daerah yang pemilikan tanahnya sempit dan berpenduduk padat, tanahnya masih cukup subur dan topografi datar atau landai. Pengolahan tanah dapat dilakukan secara intensif.

b) Tanaman Hutan Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-kayuan, yang mengutamakan produk tertentu, baik kayu maupun non kayu.

Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan pada lahan terbuka maupun kebun campuran. Penanaman hutan rakyat pada lahan terbuka dapat dilakukan dengan teknik : a) Baris dan larikan tanaman lurus

Pelaksanaan teknik ini dilakukan pada lahan dengan tingkat kelerengan datar tetapi tanah peka terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur. Contoh cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah seperti pada Gambar 1. berikut ini :

� � � � � � � � � � � � � � � � � � � � �

Keterangan: � = tanaman kayu-kayuan dan MPTS

Gambar 1. Baris dan Larikan Tanaman Lurus

b) Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari Teknik tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat kelerengan datar s/d landai dan tanah tidak peka terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus dengan jarak tanam teratur. Karena menggunakan pola tanam tumpangsari, maka jarak tanaman antar jalur perlu lebih lebar. Diantara tanaman pokok dapat dimanfaatkan untuk tumpangsari tanaman semusim, dan atau tanaman sela.

17

Cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah seperti pada Gambar 2 berikut ini :

� � � � � � �

� � � � � � �

� � � � � � �

Keterangan : : Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari) � : Tanaman Kayu-kayuan /MPTS

Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola Tumpangsari

c) Penanaman searah garis kontur

Teknik penanaman ini sesuai untuk lahan dengan kelerengan agak curam s/d curam. Penanaman dilakukan dengan sistim cemplongan. Cara pengaturan tanaman dengan teknik ini adalah seperti pada Gambar 3 berikut ini :

Keterangan: � = tanaman kayu-kayuan/MPTS

Gambar 3. Contoh Penanaman Searah Garis Kontur

d) Sistim pot pada lahan yang berbatu Teknik penanaman ini dilakukan dengan membuat lubang tanam diantara batu-batuan yang di isi dengan media tanah secukupnya.

Penanaman hutan rakyat di kebun campuran dilakukan pada umumnya berupa tanaman kayu kayuan maupun tanaman MPTS. Sistim penanaman hutan rakyat dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu: a) Sistim Cemplongan.

Sistim cemplongan adalah teknik penanaman yang dilaksanakan dengan pembuatan lobang tanam dan piringan tanaman. Pengolahan tanah hanya dilaksanakan pada piringan disekitar lobang tanaman. Sistem cemplongan dilaksanakan pada lahan-lahan yang miring dan peka terhadap erosi.

��

��

�� � ��

��

�� � ���

��

18

b) Sistim Jalur. Teknik ini dilaksanakan dengan pembuatan lobang tanam dalam jalur larikan, dengan pembersihan lapangan sepanjang jalur tanaman. Teknik ini dapat dipergunakan di lereng bukit dengan tanaman sabuk gunung (countur planting).

c) Sistim tugal (zero tillage) Teknik ini dilaksanakan dengan tanpa olah tanah (zero tillage). Lubang tanaman dibuat dengan tugal (batang kayu yang diruncingi ujungnya). Teknik ini cocok untuk pembuatan tanaman dengan benih langsung terutama pada areal dengan kemiringan lereng yang cukup tinggi, namun tanahnya subur dan peka erosi.

3) Pemeliharaan I dan II Pemeliharaan I dan II dilaksanakan pada tahun kedua dan ketiga, dengan komponen pekerjaan penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama/penyakit dan penyulaman. Pelaksanaan pemeliharaan I dan II diawali dengan evaluasi tanaman untuk menentukan intensitas pemeliharaan dan penyesuaian rancangan pemeliharaan. Jumlah bibit untuk penyulaman pada pemeliharaan I dan II ditentukan hasil evaluasi tanaman. Intensitas pemeliharaan per tahun dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu: a) Pemeliharaan ringan

(1) Penyiangan dan pendangiran masing-masing satu kali. (2) Penyulaman maksimal 10%

b) Pemeliharaan sedang (1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-

masing satu kali. (2) Penyulaman maksimal 20%

c) Pemeliharaan berat (1) Penyiangan, pendangiran dan pemberantasan hama masing-

masing minimal satu kali. (2) Penyulaman lebih dari 20%

4) Standar hasil kegiatan Jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 400 batang/hektar.

5) Pemeliharaan lanjutan Untuk penanaman tertentu baik dari segi jenis maupun fungsi, pemeliharaan dapat dilanjutkan sampai dengan tahun kelima sepanjang dimungkinkan.

Dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara kemitraan, yang sering disebut Hutan Rakyat Kemitraan dengan uraian sebagai berikut : a. Maksud dan Tujuan

Hutan rakyat kemitraan dimaksudkan untuk membangun hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama industri/ penampung kayu rakyat atas dasar kemitraan yang saling menguntungkan. Dalam prosesnya, kemitraan hutan rakyat ini dapat dibangun melalui fasilitasi pemerintah. Hutan rakyat kemitraan dikembangkan dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, penyediaan bahan baku bagi industri, serta membangun pengelolaan hutan rakyat yang lestari.

b. Sasaran Lokasi Sasaran pembangunan hutan rakyat kemitraan adalah lahan kritis/ LMU Terpilih baik pada RHL Prioritas I maupun II, diutamakan pada kawasan budidaya.

19

c. Jenis Tanaman Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan umumnya mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai berikut: cepat tumbuh (fast growing species) dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta sesuai dengan kebutuhan industri.

d. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat kemitraan sama dengan yang diuraikan pada butir B.1.e.

2. Hutan Kota

Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk perbaikan lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk mewujudkan lingkungan hidup wilayah perkotaan yang sehat, rapi dan indah dalam suatu hamparan tertentu sehingga mampu memperbaiki dan menjaga iklim mikro, estetika, resapan air serta keseimbangan lingkungan perkotaan. Pembangunan Hutan Kota dilaksanakan di wilayah perkotaan yang ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dengan luas paling sedikit 0,25 hektar. Pelaksanaan penanaman hutan kota minimal 1.600 batang/ha dan saat penyerahan persen tumbuh tanaman minimal 80%. Pembangunan hutan kota secara teknis sebagaimana di atur dalam peraturan perundangan tersendiri.

3. Penghijauan Lingkungan

a. Maksud dan Tujuan Pembuatan tanaman penghijauan lingkungan dimaksudkan sebagai upaya perbaikan lingkungan pada lahan-lahan untuk fasilitas umum, fasilitas sosial untuk meningkatkan kualitas iklim mikro dan kenyamanan lingkungan hidup di sekitarnya serta wilayah-wilayah perlindungan setempat.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi penghijauan lingkungan yaitu ruang terbuka hijau dan atau lahan kosong yang diperuntukan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial baik perkantoran, taman pemukiman dan pemakaman umum, sekolah (umum, pesantren, kampus universitas), halaman bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara dan lain-lain), serta wilayah-wilayah perlindungan setempat seperti sempadan sungai, tebing jalan, dan lain sebagainya.

c. Jenis Tanaman Jenis tanaman untuk penghijauan lingkungan disesuaikan dengan peruntukan kawasannya dan juga sesuai dengan agroklimatologi setempat serta diminati masyarakat. Tanaman penghijauan lingkungan dapat berupa tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna/ MPTS.

d. Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan Pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan umumnya sama dengan pembangunan hutan rakyat yaitu meliputi kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan tanaman sebagaimana tertuang pada butir B.1.e. namun tetap memperhatikan keinginan masyarakat dan kondisi fisik setempat.

C. Penghijauan Pola Khusus

Penghijauan pada wilayah dengan karakteristik biofisik maupun sosial, ekonomi, budaya khusus dan atau mempunyai jenis tanaman lokal tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal dapat dilaksanakan penghijauan pola khusus dengan manual tersendiri.

20

BAB VI REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH PESISIR/PANTAI

A. Umum

Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai adalah untuk mengembalikan keberadaan vegetasi daerah pesisir/pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah perlindungan pantai dari abrasi dan intrusi air laut serta bencana alam seperti tsunami maupun bencana lainnya. Secara umum kegiatan RHL di daerah pesisir/pantai dibagi menjadi dua yaitu hutan mangrove dan sempadan pantai.

B. Rehabilitasi Hutan Mangrove

1. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah hutan dan lahan yang diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih berdasarkan hasil penyusunan RTk RHL DAS pada Ekosistem Mangrove dan Ekosistem Pantai yang diidentifikasi mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan kurang (NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang kondisi vegetasinya telah terbuka dan/atau terdeforestasi, dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

2. Penyediaan Bibit Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi

persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.

b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.

c. Pembuatan bibit : 1) Penyiapan benih

a) Pengumpulan benih Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih yang matang dan bermutu bagus. Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah jatuhan atau memetik langsung dari pohon induknya dan ekstraksi biji dari buah. Pengumpulan dilakukan berulang dengan interval waktu tertentu.

b) Seleksi dan penanganan benih Buah atau biji yang dipilih adalah berasal dari buah yang matang, sehat, segar dan bebas hama. Ciri kematangan buah dapat dilihat dari warna kotiledon, warna hipokotil, berat buah atau ciri lainnya.

c) Penyimpanan benih Penyimpanan benih tidak dapat dilakukan untuk jangka yang panjang. Direkomendasikan bahwa penyimpanan benih tidak lebih dari 10 hari, disimpan di tempat yang teduh di dalam ember berisi air payau. Harus dijaga agar akar tidak terlanjur tumbuh sehingga terpaksa dipotong saat penyemaian.

2) Persemaian a) Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi resiko

kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan persemaian dan tempat pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan standar mutu.

b) Benih Non propagul dari benih Sonneratia alba dapat disemaikan secara langsung pada pot yang sudah diatur di bedeng.

21

Sedangkan Avicennia marina dan Xylocarpus granatum harus disemaikan di bedeng di darat terlebih dahulu karena benihnya mudah hanyut oleh pasang-surut air laut.

c) Benih yang telah disemai di pot-pot bedeng persemaian dibiarkan terkena air laut pasang surut satu kali dalam satu hari agar basah.

d) Bibit di persemaian sebaiknya dinaungi dengan jaring atau daun yang hanya memberikan kemungkinan masuknya cahaya matahari sebesar 50-70 %. Lebih baik lagi bila naungan juga dipasang sebagai dinding yang mengelilingi barisan-barisan bedeng. Satu bulan sebelum bibit siap tanam di lapangan, naungan tersebut harus dibuka untuk pemantapan.

e) Penyiraman dilakukan satu kali sehari di bedeng pasang surut pada saat pasang surut rendah, sedangkan di bedeng darat dilakukan penyiraman dua kali sehari.

3. Pembuatan Tanaman Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada RTn RHL dan rancangan kegiatan RHL. Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan beberapa faktor fisik penunjang keberhasilan penanaman yakni : pasang surut air laut, musim ombak dan kesesuaian jenis dengan lingkungannya/ zonasi serta keterlibatan masyarakat setempat. a. Persiapan

1) Penyiapan kelembagaan/ prakondisi dilakukan terhadap masyarakat pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove melalui kegiatan penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan pendampingan.

2) Pengadaan sarana dan prasarana 3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan nama, patok

batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran (GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.

4) Penataan areal tanaman a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan lahan untuk

kesesuaian lokasi dan areal tanam. b) Penyiapan areal tanam :

(1) Pengukuran ulang batas-batas areal, pemancangan patok batas luar areal tanam;

(2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah larikan tanaman melintang terhadap pasang surut sesuai pola tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang bersangkutan;

(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar;

(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipasang tegak lurus dan kuat pada areal tanam;

(5) Penyiapan titik bagi bibit (di masing-masing areal penanaman). b. Pemilihan jenis tanaman

1) Jenis tanaman dipilih yang sesuai dengan hasil analisis tapak dan dituangkan dalam rancangan.

2) Rehabilitasi pada ekosistem mangrove yang zonasi-nya masih dapat diidentifikasi, jenis tanaman mangrove disesuaikan dengan zonasi berbagai tanaman, yakni dengan memperhatikan ketahanan terhadap pasang surut dan tingkat ketinggian air, antara lain : zona Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona kering serta nipah.

22

Secara alami zonasi dalam ekosistem mangrove berdasarkan jenis tanaman yang tumbuh adalah sebagaimana gambar 4 berikut :

Gambar 6. Zonasi Alami Mangrove

Gambar 4. Zonasi ekosistem mangrove berdasarkan jenis tanaman

Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungan dapat diperiksa pada Tabel 2.

Tabel 2. Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungan.

Jenis

Salinitas (o/oo)

Toleransi thd

kekuatan ombak &

angin

Toleransi thd

kandungan pasir

Toleransi thd

Lumpur

Frekuensi penggenangan

1 2 3 4 5 6 Rhizophora mucronata (bakau)

10-30 S MD S 20 hr/bln

R. stylosa (tongke besar)

10-30 MD S S 20 hr/bln

R. apiculata (tinjang) 10-30 MD MD S 20 hr/bln Bruguiera parvilofa (bius)

10-30 TS MD S 10-19 hr/bln

B. sexangula (tancang)

10-30 TS MD S 10-19 hr/bln

B.gymnorhiza (tancang merah)

10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln

Sonneratia alba (pedada bogem)

10-30 MD S S 20 hr/bln

S.caseolaris (padada) 10-30 MD MD MD 20 hr/bln Xylocarpus granatum (nyirih)

10-30 TS MD MD 9 hr/bln

Heritiera littoralis (bayur laut)

10-30 STS MD MD 9 hr/bln

Lumnitzera racemora (Tarumtum)

10-30 STS S MD Beberapa kali/ thn

Cerbera manghas (bintaro)

0-10 STS MD MD Tergenang musiman

Nypa fruticans (nipah)

0-10 STS TS S 20 hr/bln

Avicenia spp. (api-api)

10-30 MD TS S

Keterangan : S = Sesuai, MD = Moderat, TS = Tidak Sesuai, STS = Sangat Tidak Sesuai

Zonasi Hutan Mangrove. Dari kiri ke kanan:�1.�Avicennia�alba;�2.�Rhizophora�apiculata;����3.�Bruguiera�parviflora;���4.�Bruguiera�gymnorhiza;�5.�Nypa�fruticans;�6.�Xylocarpus�granatum;����7.�Excoecaria�agallocha;�8.�Pandanus�furentus;�9.�Bruguiera�cylindrica.��

23

c. Penanaman 1) Pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan di luar

kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jenis tanaman dan pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.

2) Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pada LMU Prioritas I minimal 3.300 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 6.000 batang/ha, dengan pertimbangan memperhatikan tingkat keberhasilan tumbuh.

3) Persen tumbuh saat penyerahan pekerjaan tahun pertama minimal 60%

4) Pelaksanaan penanaman menyesuaikan dengan musim setempat dan dimulai dari garis terdekat dengan darat.

5) Cara Penanaman : a) Penanaman dengan benih

Penanaman dapat dilakukan dengan benih jenis propagul, pada areal berlumpur. Benih/buah ditancapkan ke dalam lumpur dengan bakal kecambah menghadap keatas. Untuk menjaga agar buah tidak hanyut, bila perlu diikatkan pada ajir.

b) Penanaman dengan bibit Penanaman dapat dilakukan dengan bibit jenis mangrove dengan ketentuan bibit tersebut layak tanam. Pada daerah yang langsung dipengaruhi pasang surut, penanaman dapat dilakukan dengan teknik dan atau pada saat yang memungkinkan.

6) Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan sebagai berikut : a) Pola tanam murni

(1)Penanaman murni meliputi penanaman merata dan atau penanaman strip (jalur) pada areal tanam yang telah disiapkan sesuai rancangan. Sebaran tanaman dapat dilihat sebagaimana pada gambar 5.

(2)Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih atau menggunakan bibit yang telah disiapkan.

(3)Untuk penanaman merata atau penanaman strip (jalur) jarak tanam disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

(4)Pada areal yang peka terhadap ombak, jika diperlukan bibit diikat dengan ajir

Gambar 5. Alternatif Pola Tanam Murni

�����x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x���

�����x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x����

�����x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x��x����

x x x x x x x x x x x x x

- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - -

��� ���x���������x����� ��x��������x�������x������x��x���������x��������x�������x������x�������x���������x�������������x����������x��������x�������x�����x����x�����x���x���������x��������x��������x������x��������x�������x�

������x����������x�������x������x�����x�����x�����x�

- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - -

a. Penanaman strip (jalur) b. Penanaman merata

24

b) Pola tanam tumpangsari tambak (Sylvofishery/ wanamina) (1)Penanaman tumpangsari tambak dilaksanakan seperti halnya

dengan penananam murni, tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada tanggul juga dilakukan di pelataran tambak sesuai dengan rancangan;

(2)Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih atau menggunakan bibit yang telah disiapkan. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan;

(3)Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) terdiri dari 4 (empat) macam cara yaitu : empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Macam-macam kombinasi seperti pada gambar 6 berikut :

c) Pola penanaman rumpun berjarak (1)Pola penanaman rumpun berjarak dimaksudkan untuk

kekokohan, menjerat lumpur atau hara dan sesuai dengan media pasir yang labil akan ombak laut. Pola tanam ini lebih cocok untuk ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil.

(2)Penanaman rumpun berjarak dilaksanakan seperti halnya dengan penanaman murni akan tetapi anakan ditanam rapat membentuk rumpun-rumpun. Jumlah dan jarak antar rumpun per hektar dan jumlah anakan yang ditanam di tiap rumpun disesuaikan dengan kondisi tapak.

(3)Pada saat menanam bibit, kantong plastik (polybag) media tanam tidak perlu dilepas tetapi cukup dirobek atau dilubangi bagian dasarnya.

(4)Penanaman pada areal yang rawan gerakan air laut, jika diperlukan dapat dibuat pagar pengaman.

Dst�

Dst

Laut

Rumpun

� �

Pantai pulau

Gambar 7. Cara penanaman rumpun berjarak

Gambar 6. Macam-macam Teknik Tumpangsari

Parit Bibit

Pulau�

25

4. Pemeliharaan Tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman mangrove dilakukan sebagaimana terurai pada BAB IV. Huruf C. dengan catatan penyiangan hanya dilakukan pada areal yang kering saja. Disamping itu, untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman mangrove dari serangan kepiting/ketam (Crustacea, sp.), ulat daun dan batang, cendawan akar, tritip serta gulma (biasanya lumut) dapat dilakukan dengan cara: a. Benih/bibit mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat b. Membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol plastik. c. Menggunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.

5. Standar hasil kegiatan Jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru minimal 1.100 batang/ha. Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan pemeliharaan lanjutan

C. Rehabilitasi Sempadan Pantai 1. Sasaran Lokasi

Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat berupa kawasan hutan atau di luar kawasan hutan yang diutamakan pada lahan kritis / LMU Terpilih menurut RTk RHL DAS selebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan termasuk habitat/ekosistem mangrove, dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.

2. Penyediaan Bibit Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit. Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi

persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.

b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.

c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/ perusahaan pengada bibit.

d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan persemaian dan tempat pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan standar mutu.

e. Rehabilitasi sempadan pantai pada lahan berpasir dapat menggunakan bibit dengan media campuran contohnya dengan sistem press-block.

3. Pembuatan Tanaman Tahapan penanaman rehabilitasi sempadan pantai sebagai berikut: a. Persiapan

1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan terhadap masyarakat pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan pantai berupa penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan pendampingan.

2) Pengadaan sarana dan prasarana 3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan nama, patok

batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran (GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.

4) Penataan areal tanaman

26

a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan lahan sesuai lokasi dan areal tanam.

b) Penyiapan areal tanam : (1) Pengukuran ulang batas-batas areal, pemancangan patok

batas luar areal tanam; (2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah

larikan tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang bersangkutan;

(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar;

(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam; (5) Bila diperlukan dilakukan penyiapan tempat pengumpulan

sementara bibit yang akan ditanam. b. Pemilihan jenis tanaman

1) Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan disesuaikan dengan kondisi fisik lapangan, sosial ekonomi dan budaya serta kesiapan masyarakat setempat sebagaimana yang tertuang dalam rancangan.

2) Sifat ekologis jenis pohon pantai antara lain :

Tabel 3. Sifat ekologis jenis pohon pantai dan cara pembiakannya.

No. Jenis Jenis Tanah Habitat Pembiakan

1 Cemara Laut (Casuarina spp.)

Regosol/ entisol

Tanah liat berat, di atas garis pasang, tanah miskin humus

Tunas akar dan biji

2 Ketapang (Terminalia catapa)

Regosol/ entisol

Tanah berpasir dan berbatu

Biji, stek, grafting, anakan alam

3 Waru (Hibiscus spp.)

Regosol/ entisol

Tanah tertier yang periodik kering

Stek dan Biji

4 Nangka (Artocarpus altilis)

Regosol/ entisol

Tanah liat berpasir

Stek akar, stek batang

5 Nyamplung (Callophylum innophylum)

Aluvial/ Regosol

Tanah liat berpasir

Biji

6 Kelapa (Cocos spp.)

Regosol/ entisol

Tanah liat berpasir

Buah/Biji

c. Penanaman

1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi sempadan pantai di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan. Penanaman dapat dilakukan secara merata atau jalur/baris sepanjang pantai.

2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU Prioritas I minimal 1.600 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100 batang/ha.

3) Persen tumbuh saat penyerahan pekerjaan tahun pertama minimal 60%.

4) Komponen kegiatan penanaman meliputi : a) Pembuatan lubang tanam yang ukurannya disesuaikan dengan

jenis yang akan ditanam; b) Pada lahan berpasir dapat dilakukan penambahan media tumbuh

yang memadai.

27

c) Penanaman dilakukan dengan memadatkan tanah urugan di sekitar batang dan hindari kerusakan akar.

d) Untuk penanaman pada areal yang peka pasang surut, dilakukan pada saat air laut surut.

4. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman sebagaimana uraian pada BAB IV. Huruf C. Jenis hama tanaman yang sering ditemui dan menyerang pada tanaman pantai adalah ulat daun dan batang, cendawan akar dan upas (Cryptococcus neoformans, Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian hama dan gulma dapat dilakukan pada pemeliharaan tanaman tahun berjalan, tahun pertama dan atau tahun kedua.

5. Standar hasil kegiatan Jumlah tanaman sempadan pantai pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru minimal 600 batang/ha. Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan pemeliharaan lanjutan.

D. Rehabilitasi Pesisir/Pantai Pola Khusus Rehabilitasi mangrove dan sempadan pantai dengan kondisi biofisik atau sosial, ekonomi, budaya serta jenis tanaman tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal dan atau kepentingan diseminasi teknologi rehabilitasi dapat dilaksanakan pola khusus dengan manual tersendiri.

28

BAB VII REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KAWASAN BERGAMBUT

A. Umum

Kawasan bergambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun yang belum lapuk. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi yang terhambat oleh kondisi an-aerob dan di permukaan atasnya hidup berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Pembentukan kawasan bergambut merupakan proses geogenik yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, sedangkan proses pembentukan tanah mineral pada umumnya merupakan proses pedogenik. Keberadaan kubah gambut (peat dome) di bagian tengah pada bentang lahan gambut menjadi ciri khas ekosistem bergambut. Sedangkan tingkat kesuburan tanah bergambut secara gradual dipilah menjadi 3 (tiga) jenis yaitu matang (saprist), sedang (hemist) dan mentah (fibrist). Kawasan bergambut dipilah menjadi dua yaitu Kawasan Bergambut Berfungsi Lindung dan Kawasan Bergambut Berfungsi Budidaya. Kriteria kawasan bergambut berfungsi lindung yakni apabila ketebalan gambut mencapai 3 (tiga) meter atau lebih terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kriteria kawasan bergambut berfungsi budidaya yakni apabila ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter terdapat di hulu sungai atau rawa. Kawasan bergambut memberikan manfaat yang sangat luas bagi kehidupan di muka bumi karena merupakan habitat berbagai flora fauna yang berperan penting dalam pengaturan tata air sehingga daerah sekitarnya dapat terhindar dari intrusi air laut pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Kawasan bergambut mampu menyimpan dan menyerap Gas Rumah Kaca (GRK) dalam jumlah besar sehingga secara tidak langsung berperan penting dalam mengatur iklim lokal maupun global. Maksud dan tujuan RHL kawasan bergambut untuk memulihkan sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi optimal dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial kepada seluruh pihak yang berkepentingan, mengelola sumber daya air, dan mengembangkan kelembagaan yang berbasis sumberdaya kawasan bergambut.

B. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan Bergambut

1. Sasaran Lokasi Secara umum sasaran lokasi rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut yaitu kawasan yang diidentifikasi sebagai areal kritis/rusak sedang dan sangat kritis/rusak berat pada RTk RHL DAS Kawasan Bergambut. Apabila pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut tidak dapat sekaligus mencakup seluruh areal maka dapat dilakukan prioritas, misalnya prioritas RHL-G I berupa kawasan gambut lindung dan budidaya sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas dengan kondisi gambut matang/safrik dan ketebalan tanah gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman dan sarana umum lainnya. Selanjutnya prioritas RHL-G II yaitu kawasan gambut sangat kritis dan/atau kritis yang terletak dalam DAS prioritas dengan kondisi gambut setengah matang/hemik dan ketebalan tanah gambutnya dangkal, setelah dikurangi peruntukan lain seperti pemukiman dan sarana umum lainnya. Terhadap kegiatan penanaman dalam rangka rehabilitasi, dapat dipilih pada areal yang terbatas kemampuannya untuk pulih secara alami dan areal yang secara alami sulit dijangkau oleh penyebaran benih. Lahan yang

29

memiliki kemampuan untuk pulih secara alami tidak diprioritaskan sebagai areal penanaman. Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka RHL kawasan bergambut dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu penanaman intensif dan pengayaan tanaman. Penanaman RHL kawasan bergambut dilaksanakan pada prioritas RHL-G I dan Prioritas RHL-G II berdasarkan RTkRHL DAS Kawasan Bergambut yang mempunyai tegakan asal kurang dari 200 (dua ratus) batang/hektar, sedangkan pengayaan tanaman pada kawasan bergambut dilaksanakan pada prioritas RHL-G I dan Prioritas RHL-G II berdasarkan RTkRHL DAS Kawasan Bergambut yang mempunyai tegakan asal antara 200 sampai dengan 700 batang/hektar.

2. Penentuan Jenis Tanaman Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi sebaiknya jenis lokal/endemik. Proses pemilihan jenis dilakukan dengan memperhatikan : a. keberadaan jenis dominan, b. sifat dan karakteristik tiap jenis terutama respon terhadap genangan

dan cahaya, c. kondisi areal (penutupan vegetasi, kondisi tanah dan kondisi

genangan). Variasi kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :

Tabel 4. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa Gambut No. Kondisi Lokasi Alternatif Jenis Tanaman 1 Areal yang :

a. Bekas terbakar ringan/sedang

b. Bekas tebang habis c. Areal terbuka

(vegetasi jarang)

� Jelutung rawa (Dyera lowii ) � Perepat (Combretocarpus rotundatus ) � Belangiran (Shorea belangeran ) � Perupuk (Coccoceras borneense) � Pulai rawa (Alstonia pneumatophora ) � Rengas manuk (Melanorhoea wallicihi) � Terentang (Campnosperma macrophylla)

2 Areal yang : a. Bekas terbakar yang

telah mengalami suksesi

b. Bekas tebang selektif c. Penutupan vegetasi

sedang

� Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea tysmanniana, Shorea uliginosa)

� Merapat (Combretocarpus rotundatus ) � Durian (Durio carinatus) � Ramin (Gonystylus bancanus) � Punak (Tetramerista glabra) � Kempas (Koompassia malaccensis ) � Resak (Vatica rassak) � Sungkai (Peronema canescens) � Kapur Naga (Calophyllum macrocarpum) � Nyatoh (Palaquium spp.) � Bintangur (Calaphyllum spp.)

3 Areal yang : a. Bekas tebang selektif b. Masih banyak

dijumpai pohon c. Penutupan vegetasi

masih tinggi d. Telah kehilangan

jenis tanaman komersil (bernilai tinggi)

� Meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea tysmanniana, Shorea uliginosa)

� Ramin (Gonystylus bancanus) � Punak (Tetramerista glabra ) � Balam (Palaquium rostratum ) � Medang (Litsea calophyllantha ) � Kempas (Koompassia malaccensis) � Rotan ( Calamus spp ) � Gemor (Alseodhapne helophylla)

30

Jenis tanaman semusim yang cocok untuk kawasan bergambut antara lain: a. Jahe-jaheaan (Zingiberaceae) b. Lidah buaya (Aloevera) Jenis tanaman perdu yang dapat ditanam di sela-sela tanaman pokok dan cocok di kawasan bergambut antara lain tanaman jarak (Jantropha sp.). Sedangkan jenis tanaman eksotis yang dapat dikembangkan di kawasan bergambut antara lain : a. Akasia (Acacia crassicarpa) b. Ekaliptus (Eucalyptus spp.) c. Melina (Gmelina sp.)

3. Jadwal kegiatan Pengaturan jadwal kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan secara baik karena kegiatan rehabilitasi memiliki variasi waktu ideal yang berlainan, misalnya penanaman pada musim hujan dan pembuatan gundukan piringan tanam di musim kemarau.

4. Persiapan Pelaksana Penanaman Sumberdaya Manusia memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan rehabilitasi sehingga perlu dipersiapkan. Persiapan SDM tidak hanya penyiapan tenaga kerja dalam jumlah tertentu melainkan juga pembekalan keterampilan yang memadai sehingga kegiatannya dapat berupa penyiapan kelembagaan yaitu prakondisi terhadap masyarakat setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi berupa penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan pendampingan.

5. Persiapan bibit Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit. Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi

persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.

b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.

c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/ perusahaan pengada bibit.

d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan mengurangi resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan tempat pengumpulan sementara di areal tanam yang sesuai kriteria dan standar mutu.

6. Penataan areal tanam Kegiatan penataan areal tanam perlu dilakukan karena adanya perilaku genangan air yang sulit diprediksi dan sering menjadi permasalahan serius bagi tanaman muda/bibit yang baru ditanam. Pada persiapan areal tanam beberapa kegiatan yang dilakukan meliputi: a. Pembuatan batas areal penanaman.

Pembuatan batas areal penanaman sebagaimana tertuang pada BAB IV. Huruf C.

b. Pengaturan drainase Keberhasilan rehabilitasi di kawasan bergambut juga ditentukan oleh fluktuasi muka air tanah gambut. Hal ini memerlukan pengaturan drainase (water management) pada luasan areal tanam yang dimaksud. Adapun jenis kegiatan pengaturan drainase dapat berupa 1) pembuatan parit dengan dimensi tertentu 2) pembuatan kolam air (beje), dan 3) pembangunan tabat/tebat dalam rangka pengaturan laju drainase

31

(canal blocking). Fungsi lain dari parit, kolam air dan tabat tersebut dapat digunakan sebagai tempat berkembang biaknya ikan lokal ekosistem air hitam, baik berkembang biak secara alami maupun budidaya. Visualisasi posisi tabat secara melintang dan posisi dilihat dari atas terhadap sebaran areal yang akan direhabilitasi disajikan pada Gambar 8 dan 9 di bawah ini.

Gambar 8. Letak dan posisi tabat secara melintang

Gambar 9. Letak dan posisi tabat terhadap areal yang akan

direhabilitasi

Posisi kolam air (beje) divisualisasikan pada Gambar 10 di bawah ini yang disesuaikan dengan komposisi dan posisi areal penanaman.

Gambar 10. Letak dan posisi kolam air (beje) terhadap areal penanaman

Bentuk bangunan tabat dapat berupa tabat papan satu lapis atau tabat isi. Tabat papan satu lapis hanya terdiri dari satu lapis penahan arus air yang terbuat dari susunan papan/balok kayu atau terbuat dari

Hutan Gambut

Beje/kolam

Beje/kolam

Saluran/ Tabat/Dam

Tabat/Dam Pemukiman

Lahan Gambut

Lahan Gambut

Sungai

32

plastik. Sedangkan tabat isi dibuat dari dua lapis papan penahan arus air yang diantara papan tersebut dapat diisi dengan media berupa tanah gambut, tanah mineral, atau campuran tanah gambut dan mineral. Permukaan atas media antara pada tabat isi dapat digunakan sebagai sarana transportasi atau sarana media tanam bagi vegetasi tertentu. Pada masing-masing jenis bangunan tabat tersebut dibuat lubang/rongga tempat aliran limpasan/luapan (spillway) sehingga kontinyuitas aliran dari atas tetap terjaga dan daya dorong aliran air dapat terukur. Bentuk bangunan tabat disajikan pada Gambar 11, 12, dan 13.

Gambar 11. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan/balok kayu

(tampak depan)

Gambar 12. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan plastik tebal (tampak depan)

�Balok�penguat�

spillway

Papan�

Balok�penguat�(melintang)�

Tampak Depan

33

Gambar 13. Bangunan tabat isi (a) tampak samping (b) tampak depan

Perencanaan pengaturan drainase tersebut dilakukan dengan seksama dikarenakan sifat lahan gambut yang kering tidak balik (irreversible drying) dan gejala penurunan lapisan gambut (subsidence). Kegiatan pengaturan drainase tersebut masuk dalam ranah kegiatan sipil teknis yang secara detil terdapat pada manual rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut.

c. Pembuatan jalan pemeriksaan Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan lainnya. Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk pemeriksaan juga sekaligus untuk jalan pengangkutan alat dan bahan-bahan yang diperlukan. Teknik pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan jalan yang berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi lapangan.

d. Pembuatan jalur tanam Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah larikan tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang bersangkutan. Selanjutnya penentuan jarak tanam juga disesuaikan kondisi areal.

e. Pemasangan ajir Pemasangan ajir sesuai jarak tanam yang ditentukan, dipasang tegak lurus dan kuat pada areal tanam.

f. Pembuatan gundukan Pada areal tanam yang kondisi penggenangan ringan pembuatan gundukan tidak merupakan keharusan. Namun pada areal tanam yang kondisi penggenangannya sedang dan berat maka perlu dibuat gundukan pada titik tanam. Pembuatan gundukan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau/kering sehingga pengambilan material gambut menjadi lebih mudah. Waktu yang ideal adalah T-2 atau T-3 bulan sebelum

34

penanaman dengan maksud agar gundukan dapat menjadi kompak dan kuat di musim penghujan. Gundukan tidak boleh terlalu rendah sebab bibit dapat tergenang air saat musim hujan dan jangan terlalu tinggi sebab bibit dapat kekurangan air pada musim kemarau. Untuk itu perlu dipelajari terlebih dahulu fluktuasi dan rata-rata tinggi muka air tanah di lokasi rehabilitasi. Selanjutnya karena sifat tanah gambut yang remah maka disekeliling gundukan perlu dibuat pembatas/penahan agar gundukan tidak longsor atau terkikis saat terjadi banjir. Pembatas dapat berupa potongan cabang, batang atau material lain yang terdapat di areal tanam.

g. Penyiapan titik bagi bibit sebagai tempat pengumpulan sementara sebelum bibit di tanam (di masing-masing areal penanaman).

7. Pengangkutan Bibit Alat pengangkutan bibit dapat berupa : truk, lori, perahu atau alat transport lainnya. Persiapan yang matang akan mampu menjamin ketersediaan alat angkut dalam jumlah yang cukup sesuai kondisi jalan atau parit, titik bagi bibit dan jumlah bibit yang akan diangkut.

8. Penanaman Penaman dilakukan pada awal musim hujan. Sebaiknya bibit ditanam pada pagi atau sore hari untuk mereduksi tingkat stres bibit akibat sinar matahari. Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan yakni : a. penanaman intensif/merata pada areal yang terbuka, b. penanaman jalur atau pengayaan pada areal yang penutupan

vegetasinya sedang atau rapat. Tahapan pekerjaan pada penanaman sebagai berikut. a. Pembersihan piringan tanam atau gundukan dan pembuatan lubang

tanam. Kegiatan pembersihan piringan tanam atau gundukan dan pembuatan lubang tanam dilakukan pada saat akan menanam bibit dimaksudkan untuk menghilangkan gulma pada gundukan atau titik tanam. Sedangkan lubang tanam dibuat disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan ditanam.

b. Penyiraman lubang tanam. Bibit akan mengalami stres bila akarnya langsung menyentuh tanah yang panas. Karenanya apabila cukup tersedia air di areal tanam maka dapat terlebih dahulu dilakukan penyiraman air secukupnya ke lubang tanam.

c. Penanaman bibit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan bibit ke lubang tanam. Perhatikan agar batang bibit tidak terbenam karena lubang tanam terlalu dalam atau terdapatnya bagian akar yang tidak tertimbun karena lubang terlalu dangkal. Lubang yang telah ditanami bibit kemudian ditutup material tanah bekas galian, upayakan bibit tegak dan tidak goyang. Jumlah penanaman paling sedikit 400 batang/hektar.

9. Pemeliharaan Tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : penyiangan, penyulaman dan pengendalian hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman dilakukan sebagaimana terurai pada BAB IV. Huruf C. Dalam pengendalian hama, Jenis hama yang sering ditemui di lahan dan hutan gambut adalah : babi hutan dan rayap (Macrotermes gilvus). Untuk mengatasi serangan babi hutan dapat dilakukan dengan cara membersihkan semak belukar di sekitar areal lokasi tanam yang merupakan habitatnya. Apabila serangan hama babi tidak dapat dielakkan maka dilakukan upaya penyetruman, peracunan atau perburuan masal. Untuk mengantisipasi gangguan rayap disarankan untuk melakukan pembuatan lubang tanam 2-3 hari sebelum bibit ditanam dimaksudkan agar rayap yang terganggu karena pembuatan lubang tanam akan mencari

35

tempat baru bagi koloninya. Pada kondisi gangguan yang ekstrim dapat digunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.

10. Perlindungan tanaman Bahaya yang selalu mengancam pada kawasan bergambut yang telah terbuka adalah kebakaran hutan dan lahan (forest fire). Sifat api yang dapat tersimpan cukup lama (latent) dan cenderung merambat melalui lapisan bawah gambut, merupakan ancaman yang sulit diantisipasi dan dikendalikan. Namun demikian perlakuan yang selama ini ditempuh adalah : a. Membuat parit-parit dan kanal saluran sebagai sekat bakar yang cukup

efektif untuk meredam laju rambatan api di bawah permukaan b. Membuat kolam air (beje) yang digunakan sebagai cadangan air tatkala

kebakaran hutan dan lahan terjadi c. Pemilihan jenis tanaman lain tahan terhadap api yang ditanam pada

sekitar blok maupun petak tanam. Jenis tanaman tahan api tersebut antara lain 1) pohon pisang 2) pohon pinang, dan 3) pohon pepaya

d. Pemadaman manual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat setempat, baik secara swadaya maupun ada insentif dari pemerintah setempat

11. Standar hasil kegiatan Jumlah tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan bergambut pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 600 batang/hektar. Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan pemeliharaan lanjutan.

C. Rehabilitasi Kawasan Bergambut Pola Khusus Rehabilitasi kawasan bergambut dengan kondisi biofisik atau sosial, ekonomi, budaya serta jenis tanaman tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal dan atau kepentingan diseminasi teknologi rehabilitasi dapat dilaksanakan pola khusus dengan manual tersendiri.

36

BAB VIII KONSERVASI TANAH DAN AIR

A. Umum

Konservasi tanah dan air atau yang sering disebut pengawetan tanah dan air merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan produktifitas tanah, kuantitas dan kualitas air. Kegiatan konservasi tanah dan air bertujuan untuk menurunkan jumlah aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air tersimpan, mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan.

B. Teknik Konservasi Tanah dan Air

Teknik konservasi tanah dan air yang sering dilakukan dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah: 1. Dam Pengendali

a. Tujuan Tujuan pembangunan dam pengendali yaitu : 1) Mengendalikan endapan sedimen dan aliran air permukaan yang

berasal dari daerah tangkapan air dibagian hulunya. 2) Menaikkan permukaan air tanah sekitarnya. 3) Tempat persediaan air bagi masyarakat (rumah tangga, irigasi,

ternak dan lain-lain). b. Sasaran Lokasi

Sasaran lokasi Dam Pengendali merupakan hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I serta morfologi DAS bagian tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Secara teknis persyaratan site lokasi Dam Pengendali adalah sebagai berikut: 1) Vegetasi pada daerah tangkapan belum efektif dalam pengendalian

erosi/sedimentasi; 2) Sedimentasi dan erosi sangat tinggi; 3) Struktur tanah stabil (badan bendung); 4) Luas DTA 100 -250 ha; 5) Tinggi badan bendung maksimal 8 meter; 6) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35 %; dan 7) Prioritas pengamanan bangunan vital.

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan

a) Penyiapan Kelembagaan (1) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka

sosialisasi rencana pelaksanaan pembuatan dam pengendali. (2) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja.

b) Penyiapan ganti rugi lahan Lahan yang terpakai untuk badan bendung, saluran air, bangunan pelimpah, jalan dan sarana yang lain dapat diganti rugi sepanjang anggaran tersedia.

c) Pengadaan sarana dan prasarana Pengadaan peralatan/sarpras diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan habis pakai, yang bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan pekerjaan di lapangan, antara lain : (1) Pembuatan jalan masuk (2) Pembuatan gubuk kerja, gubuk material dan papan nama

2) Penataan areal kerja a) Pembersihan lapangan b) Pengukuran kembali c) Pemasangan patok batas

37

3) Pelaksanaan Pembuatan a) Pembuatan profil bendungan b) Pengupasan, penggalian dan pondasi bangunan c) Pembuatan saluran pengelak d) Pembuatan/pemadatan badan bendung e) Pembuatan saluran pengambilan dan pintu air f) Pembuatan bangunan pelimpah (spill way) g) Pembuatan bangunan lain untuk sarana pengelolaan: jalan

inspeksi h) Pemasangan gebalan rumput

4) Pemeliharaan Pemeliharaan bangunan Dam Pengendali (DPi) meliputi : a) Pemeliharaan badan bendung dan saluran pelimpah serta

saluran pembagi b) Perbaikan gebalan rumput

5) Organisasi pelaksana Pelaksana dalam pembuatan Dam Pengendali adalah kelompok masyarakat atau pihak ketiga didampingi Petugas Lapangan Kehutanan atau petugas teknis di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

6) Jadwal Kegiatan Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 14. Dam Pengendali

2. Dam Penahan a. Tujuan

Pembuatan Dam Penahan bertujuan untuk mengendalikan endapan/sedimentasi dan aliran air permukaan dari daerah tangkapan air dibagian hulu.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi Dam Penahan merupakan hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Secara teknis kriteria site lokasi Dam Penahan adalah sebagai berikut: 1) Sedimentasi dan erosi daerah tangkapannya sangat tinggi 2) Pengamanan sumber air/bangunan vital 3) Luas DTA 10-30 ha 4) Kemiringan alur 15-35%.

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan

a) Penyiapan Kelembagaan b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka

sosialisasi.

38

c) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana kerja. 2) Pengadaan Sarana dan Prasarana

Pengadaan sarana dan prasaranan (sarpras) diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan habis pakai. Pelaksanaan pekerjaan di lapangan antara lain : a) Pembuatan jalan masuk b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan nama

3) Penataan areal kerja a) Pembersihan lapangan b) Pengukuran kembali c) Pemasangan patok batas

4) Pelaksanaan Pembuatan a) Pemasangan profil bangunan b) Penggalian pondasi bangunan c) Penganyaman/pembuatan bronjong d) Pemasangan bronjong e) Pengisian bronjong f) Pengikatan bronjong

5) Pemeliharaan Pemeliharaan bangunan dam penahan meliputi : a) Pembersihan seresah b) Pemeliharaan bronjong

6) Organisasi pelaksana Pelaksana pembuatan dam penahan yaitu kelompok masyarakat atau pihak ketiga didampingi Petugas Lapangan Kehutanan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

7) Jadwal Kegiatan Tahapan pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan

Gambar 15. Dam Penahan dengan konstruksi kayu/bambu

Gambar 16. Dam Penahan dengan konstruksi anyaman ranting, kayu/bambu

39

Gambar 17. Dam Penahan dengan konstruksi bronjong kawat

3. Pengendali Jurang (gully plug)

a. Tujuan Pembangunan Pengendali Jurang (gully plug) bertujuan untuk memperbaiki lahan yang rusak berupa jurang/parit akibat gerusan air guna mencegah terjadinya jurang/parit yang semakin besar.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi gully plug merupakan hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Secara teknis kriteria site lokasi gully plug adalah sebagai berikut: 1) Kemiringan > 30 % dan terjadi erosi parit/alur; 2) Pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka; 3) Sedimentasi tinggi; 4) Curah hujan tinggi; 5) Kemiringan alur maksimal 5%.

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan

a) Penyiapan Kelembagaan b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka

sosialisasi c) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana kerja

2) Pengadaan sarana dan prasarana Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan yang habis pakai. Pembuatan sarana dan prasarana pelaksanaan pekerjaan di lapangan yaitu: a) Pembuatan jalan masuk b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan nama

3) Penataan areal kerja a) Pembersihan lapangan b) Pengukuran kembali c) Pemasangan patok d) Pembuatan profil lapangan

4) Pembuatan a) Stabilisasi ujung jurang dilakukan melalui :

(1) Pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan air (2) Pelandaian lereng (3) Pembuatan saluran diversi mengelilingi bagian atas

b) Stabilisasi tebing jurang dilakukan melalui : (1) Pelandaian lereng/tebing (2) Penguatan lereng/tebing

40

c) Stabilisasi dasar jurang terhadap bangunan pengendali lolos air dan bangunan pengendali tidak lolos air

d) Pembuatan bangunan pengendali jurang 5) Pemeliharaan.

Pemeliharaan bangunan pengendali jurang meliputi : a) Pemeliharaan bangunan terjunan dan teras b) Pemeliharaan saluran diversi

6) Organisasi pelaksana Sebagai pelaksana pembuatan pengendali jurang adalah kelompok masyarakat, yang didampingi Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) atau petugas teknis pada satuan kerja Dinas Kabupaten/Kota.

7) Tahapan dan Jadwal Kegiatan Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 18. Pengendali Jurang (Gully Plug)

4. Embung Air a. Tujuan

Pembangunan embung air ditujukan untuk : 1) Menampung dan mengalirkan air pada kolam penampung 2) Cadangan persediaan air untuk berbagai kebutuhan pada musim

kemarau b. Sasaran Lokasi

Sasaran lokasi embung air adalah hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada Daerah kritis dan kekurangan air (defisit), RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Secara teknis kriteria site lokasi embung air adalah sebagai berikut: 1) Topografi bergelombang dengan kemiringan <30% 2) Air tanah sangat dalam 3) Tanah liat berlempung atau lempung berdebu 4) Pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi pemukiman

dan lahan pertanian/perkebunan. 5) Lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang rawan

kebakaran dan kekeringan.

41

Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung dengan memperhatikan alur proses sebagai berikut :

Dalam > 30 m Pompa air tanah dalam Air tanah Dangkal < 30 m Pompa sumur pantek

Tekstur ringan Drum dan bak Permeabel Penampung Tidak ada Tekstur liat/ Embung Air Tidak permeabel

Gambar 19. Alur proses pengambilan keputusan untuk pembuatan embung air

c. Mekanisme Pelaksanaan

1) Persiapan Penyiapan acuan dan kelembagaan : a) Mempelajari rancangan embung yang telah disahkan, b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka

sosialisasi c) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja.

2) Pengadaan dan Pembuatan sarana dan prasarana Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan yang habis pakai, yang bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan pekerjaan antara lain : a) Pembuatan jalan masuk b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material

3) Penataan areal kerja a) Pembersihan lapangan b) Pengukuran kembali c) Pemasangan patok /profil

d. Pelaksanaan Pembuatan 1) Penggalian tanah (kemiringan galian 100%, kedalaman 2,5 - 3 m). 2) Pembuatan saluran pelimpah dan saluran pembagi air 3) Pemadatan/pelapisan badan embung air dengan tanah liat, batu

kapur, plastik atau dengan pasangan batu 4) Pemasangan gebalan rumput

e. Pemeliharaan 1) Pemeliharaan gebalan rumput 2) Perbaikan/pemadatan dinding embung air 3) Pengerukan lumpur

f. Organisasi Pelaksana Sebagai pelaksana pembuatan embung adalah kelompok masyarakat setempat di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

g. Jadwal Kegiatan Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

42

Gambar 20. Embung Air

5. Sumur Resapan Air (SRA) a. Tujuan

Tujuan pembangunan Sumur Resapan Air untuk mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan air tanah sebagai upaya untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sistem tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) sesuai dengan kapasitasnya.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi sumur resapan air yaitu : 1) Daerah pemukiman padat penduduk dengan curah hujan tinggi; 2) Neraca air defisit (kebutuhan > persediaan); 3) Aliran permukaan (run off) tinggi; 4) Vegetasi penutup tanah <30 % ; 5) Tanah porous.

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan Penyiapan kelembagaan

a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka sosialisasi

b) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja 2) Pembuatan sarana dan prasarana

Pengadaan peralataan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan yang habis pakai.

3) Penataan areal kerja a) Penentuan letak sumur b) Pembersihan lokasi sumur c) Pemasangan patok

d. Pelaksanaan Pembuatan 1) Penggalian tanah 2) Pemasangan dinding sumur 3) Pembuatan saluran air 4) Pembuatan bak kontrol 5) Pemasangan talang air 6) Pembuatan saluran pelimpasan

e. Pemeliharaan Pemeliharaan bangunan sumur resapan air meliputi : 1) Pembersihan pipa saluran air/talang air, bak kontrol dan saluran

pelimpas 2) Pengerukan lumpur

f. Organisasi pelaksana Pelaksana pembuatan sumur resapan air adalah kelompok masyarakat setempat di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

43

g. Jadwal Kegiatan Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 21. Sumur Resapan Air

6. Rorak a. Maksud dan Tujuan

Maksud pembuatan rorak merupakan upaya konservasi air dengan menampung air dan meresapkannya ke dalam tanah sehingga mengurangi aliran permukaan dan menampung sedimen/endapan akibat proses erosi. Tujuan pembuatan rorak adalah yaitu : 1) Mengurangi aliran air permukaan. 2) Meningkatkan proses pengendapan sedimen agar tidak terbawa

aliran air permukaan ke daerah di bawahnya. 3) Menghasilkan kompos bila dikombinasikan dengan mulsa. 4) Meningkatkan air tanah.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi rorak adalah lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Secara teknis kriteria site lokasi rorak yaitu: 1) Daerah/ lokasi ini mempunyai aliran permukaan dan tingkat

sedimennya tinggi (lahan pertanian, pekarangan, perkebunan, hutan, tepi jalan)

2) Kelerengan antara 8% - 25%. c. Mekanisme Pelaksanaan

Persiapan Lapangan meliputi : 1) Pengukuran kembali 2) Pematokan tanda letak rorak 3) Pengadaan bahan dan alat

d. Pembuatan Rorak 1) Rorak-rorak dibuat di antara tanaman pokok (tanaman

semusim/tahunan/keras). 2) Bentuk rorak dapat berupa lubang-lubang biasa (dangkal atau

dalam) atau berupa saluran buntu (saluran memanjang tetapi tidak dihubungkan dengan saluran lain atau saluran pembuangan air).

3) Ukuran rorak (lebar dan dalamnya) disesuaikan dengan curah hujan, jenis tanaman dan keperluannya.

4) Rorak/saluran buntu yang sangat banyak berfungsi juga seperti sumur peresapan.

44

e. Pemeliharaan Memindahkan endapan pada rorak kebidang olah.

f. Organisasi Pelaksana Sebagai pelaksana pembuatan rorak adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) setempat atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

Gambar 22. Rorak (saluran buntu)

7. Strip Rumput a. Tujuan

Tujuan pelaksanaan pola penanaman dengan strip rumput (grass barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan dan menahan tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran sehingga mengurangi laju erosi, menyediakan pakan ternak dari hasil pemangkasan rumput serta terbentuknya teras alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh strip rumput di bawahnya.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi strip rumput merupakan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir dengan kemiringan (15 – 40) % dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL, kondisi tanah miskin unsur hara dan lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh masyarakat.

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan Lapangan

a) Penyiapan rancangan teknis b) Pengukuran kembali c) Pematokan tanda letak larikan rumput d) Pengolahan/penggemburan tanah e) Pengadaan bahan dan alat

2) Pembuatan strip rumput a) Penanaman rumput searah kontur b) Pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas strip rumput. c) Penanaman tanaman pokok searah kontur

d. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan berupa pemupukan, penyulaman tanaman, penyemprotan hama dan penyakit serta pembersihan saluran air.

e. Organisasi pelaksana Pelaksana pembuatan strip rumput adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) dan atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

45

f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.

Gambar 23. Strip rumput

Tabel 5. Jenis Dan Manfaat Rumput-Rumputan Dalam Rangka Usaha

Konservasi Tanah

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh

1 Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

a. Sebagai penutup tanah

b. Rumput potong.

a. Berumur panjang (6 th produktif)

b. Tumbuh baik pada daerah curah hujan > 1000 mm

c. Ditanam disela-sela tanaman pokok.

d. Penanaman menggunakan stek atau sobekan rumpun tua.

2 Rumput Benggala (Pannincum maximum)

a. Sebagai penutup tanah

b. Rumput potong

a. Bentuk mirip tanaman padi

b. Tumbuh baik di dataran rendah dengan curah hujan 100-875 mm.

3 Rumput Mexico (Euchlaena maxicana)

Rumput potong

a. Berdaun lebar mirip tanaman jagung.

b. Tumbuh baik didataran rendah.(0-1200 dpl) dengan curah hujan 2000 mm.

c. Pertumbuhan lambat jika curah hujan rendah.

4 Rumput Bede (Brachiaria decumbens)

a. Sebagai penutup tanah.

b. Rumput potong c. Penggembalaan

jika dipertahankan tetap pendek.

a. Menjalar membentuk stolon.

b. Daya adaptasi rendah c. Dapat hidup didaerah

berlereng terjal dan tanah miskin serta tahan injakan.

d. Dapat ditanam ber sama-sama legume jarak tanam 40x40 cm.

46

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh

5 Rumput Lampung (Setaria sphacelata)

a. Sebagai penutup tanah

b. Rumput potong c. Penggembalaan

a. Berumpun, daun lunak dan akar berbulu

b. Tumbuh pd daerah ketinggian 200- 3000 m dgn curah hujan 760 mm atau lebih.

c. Dapat ditanam bersama dengan Legume, Siratro, Desmodium dan lain-lain

6 Rumput Makari-kari (Pannicum coloratum)

a. Sebagai penutup tanah

b. Rumput potong c. Penggembalaan

a. Berumpun tapi tak selebat Setaria sphacelata atau Pannicum maximum

b. Tumbuh pada tanah struktur berat, tidak tergenang, dgn curah hujan 500-760 mm atau lebih.

c. Dapat ditanam bersama dengan Legume, Siratro, Desmodium dan lain-lain

7 Rumput Sudan (Sorghum sudanense)

a. Rumput potong b. Bahan silase

(pengawetan hijauan pakan ternak) dan hay (rumput kering sebagai pakan ternak)

a. Berumur panjang, membentuk rumpun.

b. Daun lebat dan kuat, halus dan bagian tepi kasar.

c. Tumbuh baik pada ketinggian 0-1200 m dpl.

d. Tumbuh pada curah hujan 500-900 mm

e. Dapat ditanam bersama leguminosa

8 Rumput vetiver/akar wangi (Vetiveria zizanioides)

Sebagai pengendali erosi/ penutup tanah.

a. Mempunyai sistem akar berserabut yang kuat dan dalam.

b. Akarnya beraroma wangi c. Tahan terhadap hama

dan penyakit. d. Penanaman

menggunakan stek atau sobekan rumpun yang tua.

9 Rumput Signal (Brachiaria brizantha)

Penggembalaan Sebagai penutup tanah

a. Umur panjang , tumbuh cepat

b. Batang dan daun kaku serta kasar

c. Tahan injak dan tahan kering

d. Responsive terhadap pemupukan nitrogen

c. Hidup baik pada ketinggian 0-1200 m

d. Curah hujan 1500 mm 10 Rumput Ruzi

(Brachiaria ruziziensis)

a. Penggembalaan b. Rumput potong

untuk bahan hay (rumput kering sebagai pakan ternak)

a. Umur panjang, tumbuh vertical dan horizontal.

b. Batang menjalar dan setiap buku stolon tumbuh akar.

c. Daun lebar dan halus d. Tumbuh pada ketinggian

0-1000 m e. Curah hujan 1000 mm.

47

No Jenis Manfaat Ciri-ciri dan Syarat Tumbuh

11 Rumput Para (Brachiaria mutica)

a. Penutup tanah b. Penggembalaan

ringan (domba, kambing)

a. Tanaman tahunan, tumbuh menjalar.

b. Setiap buku stolon tumbuh akar dan cabang, batang dan daun berbulu.

c. Tahan genangan air, tanah masam dan tidak tahan tanah asin.

12 Rumput Australia (Paspalum dilatatum)

a. Penggembalaan b. Rumput potong c. Penutup tanah

a. Tumbuh tegak, tinggi 60-150 cm.

b. Tahan diinjak, disukai ternak, gizi tinggi.

c. Perakaran luas dan dalam, tahan kering

d. Tumbuh pada ketinggian 0-2000 m dengan curah hujan 900-1200 mm

e. Dapat ditanam bersama leguminosa

13 Rumput Pangola (Digitaria decumbens)

a. Penggembalaan b. Rumput potong

untuk bahan hay (pakan ternak)

c. Penutup tanah.

a. Pertumbuhan cepat dan merayap, membentuk hamparan.

b. Tumbuh ditempat kering ataupun tergenang

c. Tumbuh pada ke tinggian 200-1500 m dan curah hujan 750–1000 mm atau lebih

d. Dapat ditanam bersama Legumenosa.

14 Rumput Rhodes (Chloris gayana)

a. Penggembalaan b. Penutup tanah

a. Umur panjang, menjalar dan berkembang dengan stolon

b. Tahan terhadap penggembalaan berat dan disukai ternak

c. Tahan keringtapi tak tahan naungan.

d. Tumbuh pada ketinggian 0-3000 m dengan curah hujan 762 –1300 mm

e. Dapat ditanam bersama leguminosa

15 African Star grass (Cynodon plectostachyrus)

a. Tumbuh tegak dan menjalar membentuk hamparan

b. Stolon rapat pada tanah dan tumbuh akar yang kuat

c. Tahan injak d. Tumbuh pada dataran

rendah dengan curah hujan 500-800 mm

8. Perlindungan Kanan-Kiri Tebing Sungai

c. Tujuan Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai bertujuan: 1) Mencegah terjadinya longsor 2) Mencegah erosi masuk ke badan sungai 3) Menekan terjadinya banjir 4) Meningkatkan kualitas air sungai 5) Menekan terjadinya pendangkalan sungai

48

d. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi perlindungan kanan-kiri sungai merupakan hutan dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah dan atau telah ditetapkan dalam RP RHL. Sungai yang kanan kiri/tebing sungainya mudah longsor/erosi, bertebing curam, sempadan sungai yang gundul dan curah hujan tinggi.

e. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan Lapangan

a) Penyiapan rancangan teknis b) Pengukuran kembali c) Pematokan tanda letak bangunan kanan kiri/tebing sungai d) Pengadaan bahan dan alat e) Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai

melalui beberapa alternatif atau kombinasi alternatif berikut sesuai kondisi lapangan.

2) Penanaman rumput, perdu dan pohon yang memiliki perakaran yang dalam dan tajuk pohon yang rimbun

3) Pemasangan trucuk bambu; dapat menggunakan potongan batang bambu, maupun langsung menanami dengan bambu

d. Pemeliharaan 1) Penyulaman tanaman baik rumput, perdu maupun pohon yang tidak

tumbuh 2) Perbaikan terhadap trucuk apabila mengalami kerusakan

e. Organisasi Pelaksana Sebagai pelaksana pembuatan perlindungan kanan/kiri sungai adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

Gambar 24. Bangunan Perlindungan Kanan Kiri/Tebing Sungai

9. Saluran Pembuangan Air (SPA) dan Bangunan Terjunan Air

a. Tujuan Pembangunan SPA bertujuan untuk mengarahkan aliran air ke tempat yang aman dari erosi jurang sekaligus meresapkan air ke dalam tanah. Pembuatan bangunan terjunan air bertujuan agar air yang jatuh pada SPA tidak menyebabkan erosi dan menimbulkan longsor.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi SPA dan bangunan terjunan air diutamakan pada lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, berada pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir dengan tingkat kelerengan cukup curam dan jenis tanah mudah tererosi dan longsor atau telah ditetapkan dalam RP RHL.

49

c. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan Lapangan

a) Persiapan pembuatan SPA yang diperlukan adalah : (1) Penyiapan rancangan teknis (2) Pemancangan patok induk tegak lurus kontur yang

merupakan as/poros SPA. Jarak maksimum antara dua patok 5 m.

(3) Pemancangan patok pembantu di kanan/kiri patok induk untuk menggambarkan lebar atas SPA.

b) Persiapan pembuatan bangunan terjunan yang dilakukan adalah: (1) Pemancangan patok-patok disepanjang SPA untuk

menentukan letak terjunan, jarak antara dua patok disesuaikan dengan lebar bidang olah teras.

(2) Letak bangunan terjunan harus lebih ke dalam dari pada talud teras dan pada tanah asli (bukan tanah urugan).

(3) Penggalian tanah menurut patok yang telah dipancang dengan arah tegak lurus ke bawah sedalam 0,5-1,5 m diukur dari bidang olah.

d. Pembuatan 1) Pembuatan bangunan SPA

a) Penggalian tanah sesuai profil yang terbentuk dari patok-patok pembantu sedalam minimal 50 cm dari bidang olah teras dan lebar dasar 50 cm sesuai rancangan

b) Dasar SPA pada teras bangku dibuat dengan kemiringan 0,1-0,5% ke arah luar sehingga perbedaan tinggi dasar saluran yang berjarak 5 m adalah 0,5-2,5 cm

c) Setiap jarak 1 m sepanjang SPA ditanami gebalan rumput selebar 20 cm melintang SPA .

2) Pembuatan bangunan terjunan a) Dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke dalam tanah 0,5

m, sedang yang berada dipermukaan saluran dipasang setinggi bangunan terjunan.

b) Bambu belah dipasang melintang terjunan, kulit bagian luar bambu diletakan di bagian luar.

c) Pemasangan bambu disusun mulai dari bawah dengan kedua ujungnya dimasukan ke dalam bagian kanan kiri dinding SPA dan diikatkan pada bambu bulat.

e. Pemeliharaan 1) Pembersihan saluran dari endapan 2) Perbaikan bambu apabila rusak baik karena sudah lapuk atau

karena akibat lain. f. Organisasi Pelaksana

Pelaksana pembuatan saluran pembuangan air dan terjunan adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

50

Gambar 25. SPA dan Bangunan Terjunan

10. Teras

a. Tujuan Pembangunan teras bertujuan untuk memperkecil aliran permukaan, menekan erosi, meningkatkan peresapan air ke dalam tanah serta menampung dan mengendalikan aliran air ke daerah yang lebih rendah secara aman.

b. Sasaran Lokasi Secara umum, sasaran lokasi pembuatan teras adalah lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah atau telah ditetapkan dalam RP RHL.

c. Jenis Teras 1) Jenis Teras

a) Teras datar Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa tanggul tanah sejajar kontur yang dilengkapi saluran di atas dan di bawah tanggul, bidang olah tidak diubah dari kelerengan permukaan. Standar teknis: (1) Kemiringan lereng < 5 % (2) Solum tanah dangkal < 30 cm (3) Drainase baik (4) Kemiringan tanah olahan tetap (5) Tanggul tanah ditanami vegetasi/rumput

b) Manfaat Mengurangi aliran permukaan dan erosi

Gambar 26. Teras Datar

51

2) Teras Gulud Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan tanah dan saluran air. a) Standar teknis

(1) Kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman semusim < 15 % (2) Guludan ditanami legum atau rumput dan dipangkas secara

reguler (3) Guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan (4) Beda tinggi antar guludan ± 1.25 m (5) Solum tanah dangkal dan berpasir (6) Kemiringan bidang olahan diusahakan tetap (7) Permeabilitas tanah cukup tinggi.

b) Manfaat (1) Pengendalian erosi dan aliran permukaan (2) Sumber pakan ternak (3) Gangguan pada struktur tanah sedikit.

3) Teras Kredit Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan tanah atau batu sejajar kontur dan bidang olah tidak diubah dari kelerengan permukaan. a) Standar teknis

(1) Untuk tanah dangkal lereng 3 – 15 % (2) Untuk tanah dalam lereng 3 – 40 % (3) Guludan ditanami tanaman penguat (misal : rumput, legum

dan ditanam secara rapat). (4) Jarak antar guludan 5 – 12 m (5) Tidak cocok untuk tanaman peka longsor.

b) Manfaat (1) pengendalian erosi tanah (2) pengurangan aliran permukaan.

Gambar 27. Teras Gulud

52

4) Teras individu Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa teras yang dibuat hanya pada tempat yang akan ditanami tanaman pokok. a) Standar teknis

(1) Ukuran teras 1 x 1 m (segi empat) (2) Ukuran diameter 1 m (lingkaran) (3) Hanya untuk tanaman berupa pohon (4) Kemiringan lereng 30 – 50 % (5) Pada lokasi dengan curah hujan rendah (6) Tanah di luar teras ditanami tanaman penutup tanah (7) Untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan dengan teknis

konervasi tanah lainnya. b) Manfaat

(1) Pengendalian erosi tanah (2) Pengurangan aliran permukaan (3) Peningkatan air infiltrasi

Gambar 28 Teras Kredit

Gambar 29. Teras Individu

53

5) Teras Kebun Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah berupa teras yang hanya dibuat pada bidang tanah yang akan ditanami dan searah kontur. a) Standar teknis

(1) Kemiringan lereng 10-3- % (2) Solum tanah > 30 cm (3) Lebar teras ± 1.5 m (4) Teras miring kedalam ± 1 % (5) Di luar teras ditanami tanaman penutup teras (6) Cocok untuk ditanami tanaman perkebunan/tahunan (7) Cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.

b) Manfaat (1) Pengendalian erosi tanah (2) Peningkatan air infiltrasi (3) Pengurangan aliran permukaan

Gambar 30. Teras Kebun

d. Mekanisme Pelaksanaan 1) Persiapan Lapangan

a) Penyiapan rancangan teknis b) Pengukuran kembali c) Pematokan tanda letak tanggul/guludan.

2) Pembuatan teras a) Pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur b) Penanaman tanaman penguat teras sepanjang kontur c) Pembuatan bangunan pelengkap (saluran pembuangan air,

saluran pengelak, bangunan terjunan, dll) e. Pemeliharaan

1) pengerukan tanah yang menimbun selokan kemudian digunakan untuk memperbaiki guludan.

2) Perbaikan guludan sepanjang larikan tanaman. 3) Penyulaman dan pemangkasan tanaman penguat teras dan tanaman

gulud. 4) Pembersihan jalur teras dari tanaman pengganggu.

f. Organisasi pelaksana Pelaksana pembuatan teras adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL) atau petugas teknis di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.

54

11. Biofori a. Tujuan

Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan memanfaatkan peran aktivitas guna tanah dan akar tanaman dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.

b. Sasaran Lokasi Sasaran lokasi lobang biofori berupa lahan di perkotaan dengan perhitungan untuk setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 - 1 m. Dengan kedalam 100 cm dan diameter 10 cm setiap lubang bisa menampung 7,8 liter sampah.

c. Mekanisme Pelaksanaaan 1) Pelaksanaan

a) Pembuatan lubang dengan bor, untuk memudahkan pembuatan lubang bisa dibantu diberi air agar tanah lebih gembur.

b) Alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah (kurang lebih 10 cm kedalaman tanah) diangkat, untuk dikeluarkan tanahnya, lalu kembali lagi memperdalam lubang tersebut sampai sebelum muka air tanah (30 cm sampai dengan 100 cm).

c) LRB dalam alur lurus berjarak 0,5 - 1 m, sementara untuk LRB pohon cukup dibuat 3 lubang dengan posisi segitiga sama sisi.

d) Pada bibir lubang dilakukan pengerasan dengan semen, dan dapat digantikan dengan potongan pendek pralon. Hal ini untuk mencegah terjadinya erosi tanah.

e) Kemudian di bagian atas diberi pengaman besi. f) Masukkan sampah organik (sisa dapur, sampah kebun/taman)

ke dalam LRB. Jangan memasukkan sampah anorganik (seperti besi, plastik, baterai, dll)

g) Bila sampah tidak banyak cukup diletakkan di mulut lubang, tapi bila sampah cukup banyak bisa dibantu dimasukkan dengan tongkat tumpul, tetapi tidak boleh terlalu padat karena akan mengganggu proses peresapan air.

2) Pemeliharaan a) Lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah organik b) Sampah organik dapur bisa diambil sebagai kompos setelah dua

minggu, sementara sampah kebun setelah dua bulan. Lama pembuatan kompos juga tergantung jenis tanah tempat pembuatan LRB, tanah lempung agak lebih lama proses kehancurannya. Pengambilan dilakukan dengan alat bor LRB.

c) Bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh tanah, LRB harus tetap dipantau supaya terisi sampah organik.

d. Organisasi Pelaksana Pelaksana pembuatan Lubang Resapan Biopori adalah kelompok masyarakat/perorangan.

55

Gambar 31. Lubang Resapan Biopori

C. Konservasi tanah dan Air Pola Lainnya Kegiatan konservasi tanah dan air diluar petunjuk teknis ini dapat dilaksanakan dengan manual tersendiri setelah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

56

BAB IX TATA CARA EVALUASI RHL

A. Tatacara Evaluasi Tanaman

Evaluasi tanaman dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembuatan tanaman. Sedangkan tujuannya adalah teridentifikasinya kondisi fisik tanaman sebagai dasar pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) lebih lanjut. 1. Tanaman reboisasi, hutan rakyat, hutan kota dan rawa gambut

a. Satuan Unit Evaluasi Satuan unit evaluasi tanaman di dalam kawasan hutan adalah petak tanaman yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan, sedangkan di luar kawasan hutan adalah pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan kegiatan.

b. Evaluasi tanaman Evaluasi tanaman meliputi : pengukuran luas tanaman; jumlah dan jenis tanaman; serta penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat. Pengukuran luas tanaman dilakukan terhadap realisasi luas penamanan yang dinyatakan dalam luas areal yang ditanam dalam satuan Ha dan dibandingkan terhadap rencana luas tanaman sesuai rancangan. Pengukuran luas tanaman dilakukan dengan cara memetakan petak hasil penanaman menggunakan GPS, theodolit atau alat ukur lain. Hasil pengukuran luas tanaman dituangkan dalam peta dengan skala 1:5.000 atau 1:10.000, dan dihitung luasnya. Hasil perhitungan selanjutnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman pada setiap

petak/Lokasi Tanam

No Blok/Petak/Unit (Lokasi Tanam)

Luas Tanaman Rencana

(Ha) Realisasi

(Ha) % 1 2 3 4 5

Keterangan : Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100 %

Rencana Evaluasi tanaman dilakukan melalui teknik sampling dengan metode Systematic Sampling with Random Start, yaitu petak ukur pertama dibuat secara acak dan petak ukur selanjutnya dibuat secara sistimatik. Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan anggaran. Penempatan petak ukur seluas 0,1 Ha, berbentuk persegi panjang (40 m x 25 m) atau berbentuk lingkaran dengan diameter 17,8 m. Jarak antar titik pusat petak ukur disesuaikan dengan besarnya IS yang digunakan. Apabila IS 5 % maka jarak antar titik pusat petak ukur adalah 100 m arah Utara - Selatan dan 200 m arah Barat – Timur, sedangkan untuk memperoleh kualitas hasil pengukuran, jarak antara petak ukur terluar dengan batas tanaman ditentukan minimum 50 m dan maksimum 100 m. Dengan demikian hasil sampling yang didapat akan mampu memenuhi azas keterwakilan dengan Intensitas Sampling (IS) sebesar 5 % atau setiap petak ukur mewakili 2 ha.

57

Jumlah petak ukur dapat dihitung menggunakan rumus:

� PU = IS x N n Dimana: � PU = Jumlah petak ukur IS = Intensitas Sampling N = Luas petak (Ha) n = Luas petak ukur (Ha)

Sebagai Petunjuk dalam pembuatan petak ukur pelaksanaan penilaian tanaman, perlu dibuat diagram skema penarikan petak ukur tanaman yang dipetakan dengan skala 1:10.000. Diagram skema tersebut mencantumkan koordinat geografis titik ikat yang mudah ditemukan di lapangan. Contoh pembuatan diagram skema penarikan petak ukur tanaman berbentuk persegi panjang sebagai berikut : 1) Siapkan peta hasil pengukuran luas tanaman skala 1 : 10.000 2) Tentukan pada peta tersebut titik petak ukur pertama secara acak. 3) Buat garis transek melalui titik petak ukur pertama tersebut, yaitu

garis vertikal dan garis horizontal yang berpotongan pada titik petak ukur pertama tersebut. Garis vertikal memotong tegak lurus larikan tanaman dan garis horisontal sejajar larikan tanaman.

4) Buat garis transek berikutnya secara sistimatik terhadap garis transek pertama dengan jarak antar garis vertikal 2 cm dan jarak antar garis horisontal 1 cm.

5) Buat petak ukur ukuran 4 mm x 2,5 mm pada garis transek tersebut dengan titik potong garis transek sebagai titik pusatnya, sehingga penyebaran letak petak ukur tersebut dapat mewakili seluruh areal tanaman yang dinilai. Untuk jelasnya sebagaimana pada diagram skema berikut ini :

2 cm

Keterangan :

Gambar 32. Diagram skema penarikan petak ukur tanaman

1 cm

: Batas areal tanaman

: Petak Ukur Pertama (ditentukan secara acak) ukuran 4 mm x 2,5 mm

: Petak Ukur berikutnya ditentukan secara sistematis

58

6) Untuk tanaman pengayaan dilakukan dengan metode purposive sampling (penarikan petak ukur disengaja), dengan memilih petak ukur yang memiliki ciri tertentu yang mewakili seluruh populasi.

7) Penentuan tahapan dalam purposive sampling, pada tahap awal dilakukan pengukuran luas tanaman sekaligus menetapkan koordinat letak lokasi penanaman. Selanjutnya tentukan dalam peta letak petak ukur dengan memilih lokasi-lokasi yang dapat mewakili.

8) Bilamana dalam penilaian terdapat lokasi yang terkena bencana alam, dan mengalami kerusakan dilakukan pengukuran luas, jenis tanaman dan penyebab kerusakan tanaman

9) Untuk memudahkan pemeriksaan ulang (re-cheking) hasil penilaian tanaman, di lapangan diberi tanda berupa patok pengenal yang ujungnya dicat warna merah dan diberi identitas nomor petak ukur dan tanggal pengamatan pada semua titik sumbu petak ukur.

10) Data dan informasi petak tanaman yang dikumpulkan mencakup: a) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota,

Kecamatan, Desa), DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan hutan, Nama register Blok dan Petak Tanaman

b) Data yang dicatat dan diukur pada setiap petak ukur meliputi data tanaman (jenis tanaman, jumlah tanaman yang hidup, tinggi tanaman dan kondisi tumbuh tanaman sehat dan data penunjang (keadaan tumbuhan bawah, kondisi tanah dan gangguan tanaman, dan fisiografi lahan). Data tanaman yang hidup pada setiap petak ukur dicatat pada Tally Sheet seperti pada tabel 7.

59

Tabel 7. Tally Sheet Evaluasi Tanaman Provinsi : Nama Petugas : Kabupaten : Nama Kel. Tani : Kecamatan : Jml Anggota : Desa : Penyuluh lapangan : Petak/lokasi : No. Petak Ukur : DAS/Sub DAS : Intensitas Sampling : Koordinat : Lembar Ke : Luas : ....... Ha Jumlah bibit : ........ Btg

No Jenis

Tanaman

Kondisi Tanaman Tinggi (cm)

Keterangan Sehat Kurang sehat Merana

1 2 3 4 5 6 7 1 1. Fisiografi Lahan : 2 a. Datar 3 b. Landai 4 c. Agak Curam 5 d. Curam 6 2. Keadaan Tumbuhan Bawah 7 a. Lebat/rapat 8 b. Sedang 9 c. Jarang 10 d. Tidak ada/bersih 11 3. Kondisi Tanah 12 a. Gembur/subur 13 b. Kurang gembur/subur 14 c. kurus 15 d. berbatu 16 4. Gangguan Tanaman 17 a. Penggembalaan 18 b. Kebakaran 19 c. Hama penyakit dst ... ... n.

Jumlah 1. Kayu a. Jati b. ……. c. …….. 2. MPTS a. Mangga b. …….. c. ……..

Petugas Penilaian, (...........................)

2. Tanaman penghijauan lingkungan

a. Satuan Lokasi Evaluasi Satuan unit evaluasi tanaman penghijauan adalah sasaran lokasi yang ditanami yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan.

b. Evaluasi tanaman Evaluasi persentase tumbuh tanaman dilakukan dengan metode penghitungan tanaman 100% (sensus). Persentase tumbuh tanaman dihitung dengan cara membandingkan jumlah tanaman yang tumbuh dengan rencana jumlah tanaman yang seharusnya ada sesuai dengan rancangan kegiatan.

60

c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup: 1) Wilayah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/Kota,

Kecamatan, Desa), dan jumlah tanaman yang ditanam 2) Data pengamatan tanaman penghijauan lingkungan meliputi jumlah

jenis tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat.

3. Agroforestry/Wanatani a. Evaluasi tanaman meliputi: pengukuran luas tanaman; jumlah dan

jenis tanaman (kayu-kayuan, MPTS); keberhasilan tanaman semusim; penghitungan persentase tumbuh tanaman pokok.

b. Evaluasi tanaman pokok dan semusim dilakukan di setiap lokasi, di dalam kawasan hutan dilakukan pada setiap petak tanaman sesuai dengan rancangan, sedangkan di luar kawasan hutan dilakukan pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan.

c. Untuk Evaluasi tanaman pokok dan semusim di dalam dan di luar kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan metode Systematic Sampling with Random Start dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan anggaran.

d. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup : 1) Di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif pemerintahan

(Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani, tenaga pendamping dan penyuluh.

2) Data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat.

4. Mangrove/Hutan Pantai a. Satuan Lokasi Penilaian

Satuan unit evaluasi tanaman rehabilitasi hutan mangrove/pantai di dalam kawasan hutan adalah petak tanaman yang ditetapkan dalam rancangan kegiatan yang telah disahkan, sedangkan di luar kawasan hutan adalah pada lahan pembuatan tanaman setiap kelompok tani sesuai rancangan kegiatan. Evaluasi tanaman meliputi pengukuran luas lokasi penanaman, penghitungan jumlah rumpun, jumlah tanaman per rumpun dan jarak antar rumpun, penghitungan persentase tumbuh tanaman sehat.

b. Evaluasi tanaman Untuk Evaluasi tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan, metode yang dipakai menggunakan metode sistem jalur dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan anggaran.

c. Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup : 1) Di dalam kawasan hutan adalah wilayah administratif pemerintahan

(Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa), nama DAS/Sub DAS, luas, fungsi kawasan hutan. Sedangkan diluar kawasan hutan ditambah nama Kelompok Tani, jumlah anggota Kelompok Tani, tenaga pendamping dan penyuluh.

2) Data pengamatan tanaman petak ukur meliputi jenis tanaman, tanaman yang hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat. Data tanaman yang hidup pada setiap jalur tanaman mangrove dicatat sebagaimana pada pada Tally Sheet seperti pada tabel 7, namun melihat karakteristik ekosistem nya maka kondisi tanah dan fisiografi lahan hanya sebagai data pendukung.

61

B. Pengolahan Data 1. Persen tumbuh tanaman

Persen tumbuh tanaman dihitung dengan cara membandingkan jumlah tanaman yang ada pada suatu petak ukur dengan jumlah tanaman yang seharusnya ada di dalam petak ukur bersangkutan.

T = (� hi /� ni) x 100 % = (h1 + h2 + .....+ hn) / (n1 + n2 + .... + nn) x 100 %

dimana : T = Persen (%) tumbuh tanaman sehat hi = Jumlah tanaman sehat yang terdapat pada petak ukur ke i ni = Jumlah tanaman yang seharusnya ada pada petak ukur ke i Penilaian terhadap kesehatan tanaman digolongkan dalam 3 (tiga) kriteria, yaitu sehat, kurang sehat dan merana dengan tanda sebagai berikut : a. Sehat : Tanaman tumbuh segar, batang lurus dan tajuk menutup b. Kurang sehat : Tanaman tajuknya menguning atau berwarna tak

normal, batang bengkok-bengkok atau percabangan sangat rendah c. Merana : Tanaman tumbuhnya tidak normal atau terserang hama

penyakit, sehingga kalau dipelihara kecil kemungkinan akan tumbuh dengan baik.

2. Tinggi Tanaman Kerataan tinggi tanaman adalah rata-rata tinggi tanaman yang diperoleh dengan merata-ratakan tinggi masing-masing individu tanaman dibandingkan dengan jumlah tanamannya Tinggi rata-rata per petak ukur dihitung sebagai berikut:

T = (� ti /� ni)

dimana: T = Tinggi rata-rata tanaman dalam petak ukur ti = Tinggi setiap individu tanaman dalam petak ukur ke i ni = Jumlah tanaman pada petak ukur ke i

3. Kriteria Pemeliharaan tanaman Evaluasi tanaman dalam rangka penentuan intensitas pemeliharaan memperhatikan kriteria pemeliharaan tanaman yang terdiri dari 4 (empat) kriteria yaitu persen tumbuh tanaman, dan dalam skala kualitatif di evaluasi keadaan tumbuhan bawah yang dicatat adalah jenis utama dan kerapatannya (jarang, sedang atau rapat), kondisi tanah (gembur, kurang gembur, kurus, berbatu) dan gangguan tanaman (ada/tidak ada). Sebagai panduan untuk menentukan intensitas pemeliharaan per petak pada evaluasi tanaman memperhatikan kriteria sebagaimana pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Panduan penentuan intensitas pemeliharaan per petak.

Intensitas pemeliharaan

Kriteria

Keterangan % tumbuh tanaman

Keadaan tumbuhan

bawah

Kondisi Tanah

Gangguan tanaman

Ringan >90% Tidak ada-jarang

Gembur/ subur

Tidak ada Kriteria tambahan yaitu fisiografi lahan : a. Datar/Landai b. Agak Curam c. Curam Sedang 80% -

90% Sedang

Kurang gembur

Ada

Berat <80% Lebat/ rapat

Kurus – berbatu

Ada

62

Hasil evaluasi tanaman pada setiap petak ukur dalam rangka penentuan intensitas pemeliharaan, kemudian direkapitulasi untuk menentukan hasil evaluasi per petak selanjutnya hasilnya direkapitulasi sebagaimana pada Tabel 9.

Tabel 9. Rekapitulasi Persen Tumbuh Tanaman dan intensitas pemeliharaan pada setiap Petak Tanaman/Lokasi Penanaman Petak/Lokasi : .......... Luas : ..........

No.

Petak Ukur

% Tumbuh Tanaman

Keadaan tumbuhan

bawah

Kondisi Tanah

Gangguan tanaman

Intensitas Pemeliharaan

Rata-rata

4. Hasil Evaluasi tanaman.

Hasil penilaian tanaman dikelompokkan sesuai dengan jenis kegiatan penanaman yang dilaksanakan (di dalam dan di luar kawasan hutan). Sedangkan evaluasi tanaman berdasarkan tujuannya terbagi menjadi dua jenis yaitu : (1) evaluasi tanaman akhir tahun ke-I untuk mengetahui persen tumbuh tanaman sekaligus digunakan untuk menentukan intensitas pemeliharaan; dan (2) evaluasi tanaman akhir tahun ke-III. a. Hasil penilaian tanaman direkapitulasi dan diklasifikasikan pada

masing-masing petak tanaman. b. Hasil evaluasi tanaman untuk evaluasi tanaman akhir tahun ke-I dan

evaluasi tanaman akhir tahun ke-III, dinilai keberhasilannya sebagai berikut : 1) Evaluasi tanaman RHL akhir tahun ke-I, persentase tumbuh

dinyatakan : a) Berhasil (dapat diterima) � 60 %. b) Tidak berhasil (tidak dapat diterima) < 60% Khusus untuk hutan kota, persentase tumbuh dinyatakan : a) Berhasil (dapat diterima) � 80% b) Tidak berhasil (tidak dapat diterima) < 80% Evaluasi tanaman ini juga dilaksanakan untuk menentukan intensitas pemeliharaan pada setiap petak tanaman yang selanjutnya dituangkan dalam rancangan pemeliharaan.

2) Evaluasi tanaman akhir tahun ke-III, hasil kegiatan RHL dapat diterima dengan kriteria sebagai berikut : a) Untuk kegiatan reboisasi dan pengayaan tanaman reboisasi,

jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 700 (tujuh ratus) batang/hektar.

b) Untuk pembangunan hutan rakyat dan pengayaan hutan rakyat, jumlah tanaman pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 400 (empat ratus) batang/hektar.

c) Untuk rehabilitasi hutan mangrove, jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 1.100 (seribu seratus) batang/hektar.

d) Untuk rehabilitasi sempadan pantai, jumlah tanaman hasil rehabilitasi areal sempadan pantai pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 600 batang/hektar.

e) Untuk penanaman dan pengayaan kawasan bergambut, Jumlah tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan bergambut pada akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling sedikit 600 (enam ratus) batang/hektar.

63

C. Tata cara evaluasi bangunan konservasi tanah/sipil teknis 1. Evaluasi dilakukan di seluruh lokasi bangunan konservasi tanah yang

dibuat dilakukan dengan cara sensus. 2. Data dan informasi yang dikumpulkan terhadap pembuatan bangunan

konservasi tanah mencakup data administratif pemerintahan (Kabupaten, Kecamatan, Desa, Nama Lokasi), nama DAS/Sub DAS, koordinat lokasi, jenis bangunan konservasi tanah, kapasitas bangunan konservasi tanah.

3. Kriteria penilaian terhadap pembuatan bangunan konservasi tanah adalah berfungsi, kurang berfungsi, tidak berfungsi (gagal).

4. Sasaran penilaian bangunan konservasi tanah adalah dam pengendali, dam penahan, sumur resapan, gully plug, embung, dan lain-lain sesuai dengan lokasi dan jenis kegiatan yang tercantum dalam rancangan pada setiap desa.

5. Evaluasi dilaksanakan dengan mengamati langsung bangunan konservasi tanah sesui jenis kegiatannya, membandingkan dengan rancangan

6. Melakukan pencatatan terhadap jumlah bangunan konservasi tanah sesuai dengan jenis bangunan, kondisinya (baik, rusak) dan sesuai fungsinya (berfungsi dan tidak berfungsi) dalam wilayah desa tersebut.

7. Untuk mengetahui kondisi bangunan konservasi tanah digunakan 3 kriteria, yaitu berfungsi, kurang berfungsi dan tidak berfungsi.

64

BAB X PENGHAPUSAN TANAMAN GAGAL/RUSAK

A. Maksud dan Tujuan

Maksud penghapusan tanaman gagal/rusak adalah untuk memperoleh kepastian hukum tentang hasil kegiatan penanaman RHL yang dinyatakan gagal/rusak setelah dilakukan pemeriksaan. Sedangkan tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hasil tanaman kegiatan RHL yang akurat, transparan dan akuntabel untuk memudahkan perencanaan kegiatan RHL pada masa yang akan datang.

B. Ruang Lingkup Ruang lingkup tata cara penghapusan tanaman gagal/rusak hasil kegiatan RHL meliputi: 1. Kriteria dan indikator tanaman gagal/rusak; 2. Penetapan tanaman gagal/rusak; dan 3. Penghapusan tanaman gagal/rusak.

C. Kriteria

Kriteria tanaman gagal/rusak meliputi: 1. Tanaman yang tidak memenuhi jumlah atau target sesuai standar

keberhasilan yang ditetapkan; dan 2. Tanaman yang secara ekonomis, ekologis dan sosial tidak menguntungkan

untuk dikelola lebih lanjut sebagai hutan tanaman. 3. Indikator tanaman gagal/rusak meliputi:

a. Tanaman gagal apabila jumlah tanaman yang hidup setelah dievaluasi kurang dari: 1) 700 (tujuh ratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan

tanaman baru, untuk kegiatan reboisasi dan pengayaan tanaman reboisasi.

2) 400 (empat ratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan tanaman baru, untuk pembangunan hutan rakyat dan pengayaan hutan rakyat,

3) 1.100 (seribu seratus) batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan tanaman baru, untuk rehabilitasi hutan mangrove,

4) 600 batang/hektar yang terdiri dari tanaman asal dan tanaman baru untuk rehabilitasi sempadan pantai, serta untuk penanaman dan pengayaan kawasan bergambut.

b. Tanaman rusak yang disebabkan oleh alam maupun faktor lain (manusia, pencurian, hama penyakit, penggembalaan) yang jumlah tanaman hidupnya kurang dari jumlah tanaman sebagaimana pada butir a diatas.

4. Mekanisme penetapan tanaman gagal/rusak a. Laporan kerusakan tanaman sebagaimana dimaksud dapat dibuat oleh

aparat pemerintah setempat, petugas lapangan atau oleh masyarakat. b. Pemeriksaan terhadap tanaman gagal dilakukan berdasarkan adanya

laporan kerusakan tanaman yang disampaikan kepada satuan kerja. c. Satuan Kerja sebagaimana dimaksud terdiri dari :

1) Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDASPS. 2) Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA. 3) Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggungjawab bidang

Kehutanan. 4) Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggungjawab

bidang Kehutanan. d. Berdasarkan laporan yang diterima satuan kerja membentuk Tim

pemeriksa dengan susunan Tim Pemeriksa terdiri dari Ketua merangkap anggota dan anggota yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

65

1) Petugas teknis yang kompeten dalam melakukan pemeriksaan dengan melibatkan unsur-unsur terkait, dalam hal laporan tanaman gagal disebabkan oleh pertumbuhan tanaman tidak memenuhi standar keberhasilan tanaman,

2) Petugas teknis ditambah PPNS dan/atau Polisi Kehutanan dan/atau Polisi Negara dalam hal laporan kerusakan tanaman terjadi karena keadaan kahar, ketidakpatuhan, kelalaian dan kesengajaan dalam kegagalan tanaman diproses sesuai Peraturan Perundangan.

e. Pemeriksa mempunyai tugas: 1) mengevaluasi persentase tumbuh tanaman; 2) mengukur luas tanaman rusak; dan 3) melakukan pemetaan tanaman rusak dengan skala 1:10.000, 4) memeriksa penyebab terjadinya kerusakan tanaman dan

menghitung kerugian tanaman. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Tim.

f. Pengusulan penetapan tanaman gagal/rusak Berdasarkan hasil penilaian tim pemeriksa dan telah memenuhi kriteria dan indikator sebagai tanaman gagal/rusak, maka Satuan Kerja mengusulkan penetapan tanaman gagal/rusak. Usulan penetapan tanaman gagal/rusak dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja dengan didasarkan berita acara yang dibuat oleh Tim pemeriksa. Usulan penetapan tanaman gagal/rusak dilaksanakan oleh masing-masing satuan kerja dengan prosedur sebagai berikut: 1) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi

tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS PS diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal BPDAS PS sebagai penanggung jawab program RHL.

2) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi tanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal BPDAS PS sebagai penanggung jawab program RHL dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal PHKA.

3) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi tanggung jawab Dinas Provinsi diajukan oleh Kepala Dinas Provinsi yang bersangkutan kepada Gubernur.

4) Usulan penetapan tanaman gagal/rusak kegiatan yang menjadi tanggung jawab Dinas Kabupaten/Kota diajukan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota.

g. Prosedur klarifikasi 1) Pembentukan Tim Klarifikasi

Atas dasar usulan penetapan tanaman gagal/rusak maka dibentuk Tim Klarifikasi dengan susunan Tim terdiri dari Ketua merangkap anggota dan Anggota. Tim terdiri dari: a) Tim Klarifikasi Pusat, ditetapkan oleh Direktur Jenderal BPDAS

PS, berdasarkan usulan dari Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS PS dan/atau PHKA.

b) Tim Klarifikasi Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur, berdasarkan usulan dari Dinas Provinsi.

c) Tim Klarifikasi Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan dari Dinas Kabupaten/Kota.

2) Tim Klarifikasi bertugas : a) Memeriksa keabsahan data dan informasi yang diajukan oleh

pengusul baik secara administratif maupun kondisi fisik lapangan;

b) Membuat laporan berdasarkan hasil pemeriksaan; dan c) Memberikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal BPDAS PS,

Gubernur, atau Bupati/Walikota.

66

h. Penetapan tanaman gagal/rusak 1) Berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh Tim Klarifikasi

maka Direktur Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota dapat menerima atau menolak usulan penetapan tanaman gagal.

2) Dalam hal usulan penghapusan tanaman gagal/rusak diterima, Direktur Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan tanaman yang diusulkan menjadi tanaman gagal/rusak, dengan Surat Ketetapan.

3) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan Direktur Jenderal BPDAS PS disampaikan kepada Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS PS dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA, dengan tembusan Direktur Jenderal PHKA, Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.

4) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh Gubernur disampaikan kepada Dinas Provinsi dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS, Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.

5) Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh Bupati disampaikan kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS, Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.

6) Dalam hal usulan penetapan tanaman gagal/rusak ditolak, Direktur Jenderal BPDAS PS, Gubernur, atau Bupati/Walikota menyampaikan pemberitahuan penolakan penetapan tanaman gagal/rusak kepada pengusul.

5. Mekanisme penghapusan tanaman gagal/rusak a. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan

oleh Direktur Jenderal BPDAS PS, Kepala Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS PS dan/atau Kepala Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA menindaklanjuti dengan melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan yang ada pada masing-masing Unit Pelaksana Teknis. Tanaman gagal/rusak yang telah dihapuskan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal BPDAS PS dilaporkan kepada Direktur Jenderal BPDAS PS, dan tanaman gagal/rusak yang telah dihapuskan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA dilaporkan kepada Direktur Jenderal BPDAS PS dan Direktur Jenderal PHKA.

b. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh Gubernur, Kepala Dinas Provinsi menindaklanjuti dengan melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan yang ada pada Dinas Provinsi. Tanaman gagal/rusak yang telah dihapuskan oleh Kepala Dinas Provinsi dilaporkan kepada Gubernur dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS.

c. Berdasarkan Surat Ketetapan tanaman gagal/rusak yang diterbitkan oleh Bupati, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menindaklanjuti dengan melakukan penghapusan tanaman pada daftar pelaksanaan kegiatan yang ada pada Dinas Kabupaten/Kota. Tanaman gagal/rusak yang telah dihapuskan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dilaporkan kepada Bupati dengan tembusan Direktur Jenderal BPDAS PS.

d. Lokasi tanaman gagal/rusak yang telah dihapus selanjutnya dapat dialokasikan kembali menjadi rencana kegiatan RHL pada periode berikutnya.

67

BAB XI PENUTUP