pere sepan

10
ISSN 2337-3776 10 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Kesesuaian Peresepan Obat Penyakit Demam Tifoid dengan Standar Pengobatan Demam Tifoid di Bagian Rawat Inap Puslesmas X Kota Bandar Lampung Periode Mei-Oktober 2012 Ummi Kaltsum 1) , Asnah Tarigan 2) Email : [email protected] 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRAK Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Peresepan sesuai standar adalah mememberikan peresepan sesuai standar yang ada. Penyimpangan dari peresepan sesuai standar akan memberikan berbagai kerugian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat penyakit demam tifoid dengan standar pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di di bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung pada bulan Oktober-November 2012. Penelitian merupakan penelitian dekskriptif terhadap 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid. Dari data peresepan yang didapatkan kemudian dibandingkan antara kesesuaian dosis obat dan lama pengobatan dengan standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin merupakan antimikroba yang digunakan untuk demam tifoid dengan kesesuaian dosis siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%, sedangkan kesesuaian lama pengobatan ketiga antimikroba tersebut adalah sebesar 0%. Simpulan bahwa kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7% dan kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%. Kata kunci: Demam Tifoid, Kesesuaian Peresepan Obat Terhadap Standar, Puskesmas X. The Suitability of Drug Receipt for Typhoid Fever Based on Standard of Treatment for Typhoid Fever in X Puskesmas Bandar Lampung City, Period of May – October 2012 Ummi Kaltsum 1) , Asnah Tarigan 2) Email : [email protected] 1) Medical student of Lampung University, 2) Lecturer of School of Medicine Lampung University ABSTRACT Typhoid fever is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Treatment of the fever should be standard receipt. Out of the standard receipt could be some disadvantage for patients. The purpose of this research is to observe the suitability of receipt based on standard for treatment of typhoid fever patient. The research was conducted in X Puskesmas, Bandar Lampung City, from October to November 2012. Descriptive

Upload: abigail-pheilia

Post on 26-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Pere Sepan

TRANSCRIPT

  • ISSN 2337-3776

    10 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Kesesuaian Peresepan Obat Penyakit Demam Tifoid dengan Standar Pengobatan DemamTifoid di Bagian Rawat Inap Puslesmas X Kota Bandar Lampung

    Periode Mei-Oktober 2012

    Ummi Kaltsum1), Asnah Tarigan2)

    Email : [email protected])Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran

    Universitas LampungABSTRAK

    Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Peresepansesuai standar adalah mememberikan peresepan sesuai standar yang ada. Penyimpangan dari peresepan sesuaistandar akan memberikan berbagai kerugian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obatpenyakit demam tifoid dengan standar pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di di bagian rawat inapPuskesmas X Kota Bandar Lampung pada bulan Oktober-November 2012. Penelitian merupakan penelitiandekskriptif terhadap 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid. Dari data peresepan yang didapatkan kemudiandibandingkan antara kesesuaian dosis obat dan lama pengobatan dengan standar. Hasil penelitian menunjukkanbahwa kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin merupakan antimikroba yang digunakan untuk demam tifoiddengan kesesuaian dosis siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%,sedangkan kesesuaian lama pengobatan ketiga antimikroba tersebut adalah sebesar 0%. Simpulan bahwa kesesuaiandosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7% dankesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%.Kata kunci: Demam Tifoid, Kesesuaian Peresepan Obat Terhadap Standar, Puskesmas X.

    The Suitability of Drug Receipt for Typhoid Fever Based on Standard of Treatment forTyphoid Fever in X Puskesmas Bandar Lampung City, Period of May October 2012

    Ummi Kaltsum1), Asnah Tarigan2)

    Email : [email protected])Medical student of Lampung University, 2) Lecturer of School of Medicine Lampung

    UniversityABSTRACT

    Typhoid fever is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Treatment of the fevershould be standard receipt. Out of the standard receipt could be some disadvantage for patients. The purpose of thisresearch is to observe the suitability of receipt based on standard for treatment of typhoid fever patient. Theresearch was conducted in X Puskesmas, Bandar Lampung City, from October to November 2012. Descriptive

  • ISSN 2337-3776

    11 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    method of the research was to evaluate data of 74 receipts for typhoid fever. Collected data of the 74 receipts,further, was examined based on the standard treatment of typhoid fever, both dosage of drug and length of treatment.Result of the research revealed contrimoxazol, ciprofloxacin, and amoxicilin were drugs for controllingmicroorganisms causing typhoid fever. The suitability of dosage of ciprofloxacin was 100%, of contrimoxazol was73%, and of amoxicilin, unfortunately, was 0%, respectively. Furthermore, the suitability of length of the treatmentfor those of three drugs for controlling microorganisms was of 0%. In short, the suitability treatment of both thereceipts for dosage of drugs for typhoid fever patients based on the standard typhoid fever was of 80,7%, and thesuitability of the length of the treatment based on the standard typhoid fever, unfortunately was of 0%, respectively.Keywords: The Suitability of drug receipt, Typhoid fever, X Puskesmas

    I. PENDAHULUAN

    Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella typhi danmasih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini bersifatendemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besardi Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahundengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0.6-5 % (Kemenkes RI,2006). Prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%), dengan prevalensi diprovinsi Lampung adalah sebesar 0,67% (Depkes RI, 2007). Data pada Dinas KesehatanProvinsi Lampung memperlihatkan Puskesmas X Kota Bandar Lampung memiliki angka rata-rata yang paling tinggi dibandingkan dengan 27 puskesmas lainnya di Kota Bandar Lampungyaitu sebesar 125 pasien perbulan.

    Pada tahun 2006, Menkes RI mengeluarkan suatu pedoman pengobatan demam tifoidyang dapat dijadikan standar pengobatan demam tifoid di Indonesia. Standar tersebut mengaturmulai dari tirah baring hingga pemberian antimikroba untuk demam tifoid. Selain itu, dalamstandar tersebut, diatur pula mengenai pemberian antimikroba demam tifoid, mulai dari jenisobat, dosis obat, dan lama pemberian obat untuk demam tifoid.

    Peresepan sesuai standar sesungguhnya merupakan suatu proses yang kompleks dandinamis, dimana terkait beberapa komponen, seperti pemilihan dan penentuan dosis obat, lamapengobatan, jenis obat, dan lain-lain. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikanberbagai kerugian. Menurut WHO (2010) bahwa sekitar 50 persen resep yang diberikan tidaksesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benarterkait penyakitnya.

  • ISSN 2337-3776

    12 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Penatalaksanaan yang tidak tepat untuk penyakit demam tifoid, khususnya dalamperesepan obat seperti jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat, dapat menimbulkan kasuskomplikasi dan resistensi basil kuman terhadap obat yang beredar (Kemenkes, 2006).

    Dari latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat kesesuaian peresepanobat demam tifoid, yaitu kesesuaian dosis dan lama pengobatan yang dilakukan dibandingkandengan standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota BandarLampung, periode Mei-Oktober 2012.

    II. METODE PENELITIAN

    Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas X Kota Bandar Lampung. Puskesmas X KotaBandar Lampung dipilih karena data dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa penderitademam tifoid memiliki prevalensi yang paling tinggi pada puskesmas ini. Penelitian dilakukanpada bulan Oktober-November 2012.

    Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data peresepan penyakit demam tifoid padapasien rawat inap pada di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012dengan jumlah 74 data peresepan penderita. Besar sampel yang dibutuhkan sama denganpopulasi (total sampling) yaitu sebesar 74 data peresepan penderita demam tifoid.Kriteria inklusi:1. Resep obat penyakit demam tifoid yang masuk pada tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan 30

    Oktober 2012.2. Resep dalam keadaan baik, tidak cacat fisik (rusak, robek, dan tidak terbaca).3. Resep yang terdapat tanda PRW pada sudut atas resep.Kriteria eksklusi:1. Resep obat penyakit demam tifoid diluar periode yang telah ditentukan.2. Resep obat yang rusak atau sulit dibaca.3. Resep obat untuk hari pertama ketika rawat inap.

    Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei retropektif danmenggunakan data sekunder (data peresepan obat demam tifoid).

  • ISSN 2337-3776

    13 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Data untuk penelitian memakai data sekunder yang diperoleh dari pencatatan kartu status (rekammedik) serta resep obat untuk penderita demam tifoid pada di Puskesmas X Kota BandarLampung periode Mei-Oktober 2012.

    Pengobatan sesuai standar demam tifoid yaitu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006tentang pengendalian demam tifoid adalah istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang,serta antimikroba. Antimikroba yang terdapat pada standar pengobatan yang dikeluarkan olehKemenkes RI adalah Kloramfenikol (dewasa: 4 x 500 mg (2 gr)/hari selama 14 hari, anak: 50-100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gr, diberikan selama 10-14 hari), Seftriakson (dewasa: 2-4gr/hariselama 3 -5 hari, anak : 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari), Ampisilin danAmoksisilin (dewasa: 3-4gr/hari selama 14 hari, anak: 100 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama10 hari), Kotrimoksazol (dewasa: 2 x (160-800) selama 2 minggu, anak: TMP 6-10mg/kgBB/hari atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari selama 10 hari), kuinolon (Siprofloksasin: 2 x 500mg selama satu minggu), Cefixime (anak: 15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dibagi menjadi 2dosis), dan Tiamfenikol (dewasa: 4x500 mg, anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari bebaspanas) (Kemenkes, 2006).

    Resep yang memenuhi kriteria akan dibandingkan dengan standar pengobatan yangdikeluarkan oleh Menteri Kesehatan RI no.364 tahun 2006. Peresepan yang baik seharusnyamencantumkan identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep, jenis dan bentuk obat, dosisdan jumlah, label, identitas pasien,serta tanda tangan pembuat resep (de Vries et al, 2000).

    Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah peresepan obat penyakitdemam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung.1. Dosis obat adalah takaran obat untuk penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yangditulis oleh tenaga kesehatan untuk pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakitpenyerta pada bagian rawat inap di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober2012.2. Lama pengobatan adalah lamanya pengobatan dilihat dari inscriptio dan signatura untukpenyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang dibuat oleh tenaga kesehatan diPuskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.

    Dari penelitian yang telah dilakukan, seluruh data yang telah diperoleh dikumpulkan,kemudian dilakukan deskripsi terhadap data-data tersebut, disusun dan dikelompokkan. Hasilpenelitian akan disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian kemudian

  • ISSN 2337-3776

    14 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    dilakukan teknik analisa kualitatif melalui cara induktif, yakni penarikan kesimpulan umumberdasarkan hasil survei yang dilakukan.

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil penelitian yang telah dilakukan di bagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan 74data peresepan untuk penyakit demam tifoid dan sebanyak 74 data peresepan yang terpilihsebagai objek penelitian (total sampling). Dari 74 data peresepan, 77% (57 data peresepan)mendapatkan pengobatan antimikroba untuk demam tifoid beserta pengobatan simptomatik(parasetamol, antasida, domperidon, vitamin-vitamin), sedangkan 23% (17 data peresepan)hanya diberikan pengobatan simptomatik tanpa antimikroba untuk demam tifoid.

    Dari 57 data peresepan yang mendapatkan antimikroba, rinciannya adalah pasien dewasasebanyak 42 orang dan pasien anak sebanyak 15 orang. Penggunaan antimikroba terbanyakuntuk demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X adalah kotrimoksazol sebesar 37 dataperesepan pasien (64,9%), selanjutnya adalah siprofloksasin sebesar 19 data peresepan pasien(33,3%) dan amoksisilin sebesar 1 data peresepan pasien (1,8%). Distribusi kesesuaian peresepandosis obat terhadap standar disajikan pada Tabel 1.Tabel 1. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X

    Berdasarkan Dosis ObatNo. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar

    Jumlah Persentase Jumlah Persentase1. Kotrimoksazol 27 73% 10 27%2. Siprofloksasin 19 100% - 0%3. Amoksisilin - 0% 1 100%

    Total 46 80,7% 11 19,3%

    Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa dari 57 pasien yang diberikan antimikroba untuk demamtifoid, kesesuaian dosis kotrimoksazol terhadap standar adalah sebesar 73% atau 27 dataperesepan pasien, siprofloksasin sebesar 100% atau 19 data peresepan pasien dan amoksisilinterhadap standar sebesar 0%.

  • ISSN 2337-3776

    15 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Kesesuaian dosis obat untuk pasien anak disajikan pada Tabel 3 dan kesesuaian dosis obat untukpasien dewasa disajikan pada Tabel 4 serta kesesuaian lama pemberian obat disajikan pada Tabel4.Tabel 2. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X

    Berdasarkan Dosis Obat untuk Pasien AnakNo. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar

    Jumlah Persentase Jumlah Persentase1. Kotrimoksazol 8 53,3% 6 40%2. Siprofloksasin - 0% 1 6,7%

    Total 8 53,3% 7 46,7%

    Tabel 3. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas XBerdasarkan Dosis Obat untuk Pasien Dewasa

    No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai StandarJumlah Persentase Jumlah Persentase

    1. Kotrimoksazol 23 42,9% - 0%2. Siprofloksasin 18 54,8% - 0%3. Amoksisilin - 0% 1 2,3%

    Total 41 97,6% 1 2,3%

    Tabel 4. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas XBerdasarkan Lama Pengobatan

    No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai StandarJumlah Persentase Jumlah Persentase

    1. Kotrimoksazol - 0% 37 100%2. Siprofloksasin - 0% 19 100%3. Amoksisilin - 0% 1 100%

    Total - 0% 57 100%

    Dari Tabel 4 terlihat bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol, siprofloksasin, danamoksisilin adalah sebesar 0%.

    Pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung, penyakit demam tifoidadalah peringkat 1 dari 10 besar penyakit-penyakit yang sering ditemukan disana. Dari penelitian

  • ISSN 2337-3776

    16 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    yang telah dilakukan, didapatkan sampel sebanyak 74 data peresepan penyakit demam tifoiddengan 57 data peresepan antimikroba untuk penyakit demam tifoid dan 17 data peresepan yangtidak disertai dengan antimikroba disebabkan karena hasil laboratorium Widal menunjukkanhasil titer O dibawah 1:160, sehingga hanya diberikan pengobatan simptomatik untukmeringankan gejala yang ada (Kemenkes, 2006).

    Pada penelitian yang dilakukan, dari data peresepan untuk demam tifoid di bagian rawatPuskesmas X bahwa terdapat 46 data peresepan dengan dosis yang sesuai standar atau sebesar80,7% dan 11 data peresepan (19,3%) dengan dosis yang tidak sesuai standar.Peresepan untuk pasien dewasa menunjukkan kesesuaian terhadap standar sebesar 97,6%sedangkan untuk pasien anak sebesar 53,3%. Rendahnya kesesuaian dosis anak terhadap standarbila dibandingkan dengan dosis dewasa karena dosis pada pasien anak harus dihitung terlebihdahulu sebelum diresepkan. Penghitungan dosis anak harus mempertimbangkan hal-hal sepertiberat badan, usia, atau luas permukaan tubuh sebelum memberikan peresepan obat. Dosis anakberbeda daripada dosis dewasa karena anak-anak berbeda dengan orang dewasa dalam banyakhal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalamtubuh terhadap obat (Darmansjah, 2008).

    Berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Puskesmas Xtahun 2012 sirup kotrimoksazol pada bulan Oktober mengalami kekosongan persediaan. DiPuskesmas X juga tidak tersedia tablet kotrimoksazol anak yang mengandung 100 mgsulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim (120 mg). Persediaan/stok obat dengan dosis anak tidaktersedia di Puskesmas X, sehingga hal ini memberikan kontribusi terhadap ketidaksesuaian dosisobat anak dengan standar yang ada.

    Pemberian dosis obat yang tidak sesuai standar, dapat memberikan dampak yang luasbagi pasien. Pertama, bila dosis obat yang tertera pada resep tidak tepat/tidak sesuai standar,maka pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya, hal inidapat menimbulkan komplikasi berkaitan dengan penyakit tersebut (WHO, 2010).Kedua, pemberian dosis obat yang tidak tepat juga berkaitan dengan resistensi obat. Resistensiterhadap kotrimoksazol berhubungan dengan overproduksi PABA (para-aminobenzoic acid)atau perubahan pada dihidopteroat sintetase bakteri. Perubahan pada enzim tersebut disertaipeningkatan produksi PABA oleh bakteri menyebabkan penurunan afinitas kotrimoksazol,sehingga obat ini menjadi kurang efektif sebagai kompetitor PABA (Mycek, 2001). Resistensi

  • ISSN 2337-3776

    17 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    yang terjadi terhadap siprofloksasin selalu dihubungkan dengan adanya mutasi multipel pada genyang menjadi target intraselular dari siprofloksasin, yaitu girase (gyrA dan gyrB) dantopoisomerase IV (parC dan parE). Mutasi-mutasi tersebut menyebabkan penurunanpermeabilitas membran luar bakteri terhadap obat (Giraud, 2000). Resistensi Salmonellaterhadap amoksisilin terjadi akibat adanya mutasi gen yang menyebabkan bakteri akanmenghasilkan -lactamase. -lactamase yang dihasilkan akan menghambat kerja -lactamssehingga dinding sel bakteri tetap terjaga hal ini menyebabkan efek bakterisidal obat terganggu(Mycek, 2001). Ketiga, konsekuensi dari pemberian dosis yang tidak sesuai standar adalah darisegi ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, danmasyarakat. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotikabaru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal (Utami, 2012).

    Dari 57 data peresepan untuk penyakit demam tifoid dengan antimikroba demam tifoid dibagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol,siprofloksasin, dan amoksisilin adalah 0%. Lama pemberian obat yang tidak sesuai hingga 100%diakibatkan beberapa kemungkinan. Pertama, lama perawatan maksimal di bagian rawat inapPuskesmas X adalah lima hari untuk semua pasien, khususnya pasien Jamkesmas dan Jamkesdakarena biaya perawatan dan pengobatan di bagian rawat inap puskesmas untuk pasienJamkesmas dan Jamkesda hanya ditanggung maksimal lima hari (Depkes, 2009). Dari 57 dataperesepan pasien yang diberikan antimikroba untuk demam tifoid, 55 pasien adalah pasienJamkesmas dan Jamkesda, sedangkan hanya 2 orang pasien yang merupakan pasien umum(Puskesmas X2, 2012).Kedua, berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala ruang rawat inap Puskesmas X, lamapemberian antimikroba untuk demam tifoid adalah selama lima hari disertai dengan obat-obatansimptomatik. Bila rawat inap kurang dari lima hari, maka antimikroba akan dilanjutkan kebagian rawat jalan hingga pemberian antimikroba mencukupi waktu lima hari. Secara umum,pemberian antimikroba selama minimal lima hari dapat mencegah resistensi dan infeksi kembali(Bowman dan Fraser, 2010). Namun, bakteri S.typhi merupakan bakteri gram negatif (memilikimembran luar dan membran dalam) dan memiliki kapsul, sehingga lama pemberian obatmembutuhkan waktu yang lebih panjang agar antimikroba bisa menembus pertahanan bakteritersebut (Brooks, 2007).

  • ISSN 2337-3776

    18 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Berdasarkan LPLPO Puskesmas X tahun 2012, persediaan obat untuk demam tifoid tetaptersedia hingga bulan Oktober sehingga persediaan obat tidak mempengaruhi lama pemberianobat.

    Lama pemberian obat yang tidak sesuai ini dapat menyebabkan efek terapeutik yangdiinginkan tidak tercapai dan mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya resistensi sepertipada ketidaksesuaian dosis obat tersebut.

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN

    A. KesimpulanDari hasil penelitian di bagian rawat inap Puskesmas X periode Mei-Oktober 2012 terhadap 74data peresepan penyakit demam tifoid, dapat disimpulkan bahwa:1. Kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoidadalah sebesar 80,7%, yaitu dengan rincian siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar73%, dan amoksisilin sebesar 0%.2. Kesesuaian lama pengobatan obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatandemam tifoid adalah sebesar 0%, baik untuk kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin.

    B. SaranSaran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah:1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat daripenelitian ini di masa yang akan datang.2. Bagi puskesmas, agar dapat meningkatkan kegiatan supervisi dan evaluasi mengenaiperesepan obat khususnya demam tifoid dan penyakit lainnya pada bagian rawat inap secaraberkesinambungan, jika persediaan obat memungkinkan maka disarankan untuk tidakmenyamaratakan jumlah pemberian antibiotik untuk setiap penyakit.3. Bagi peneliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang berbedaseperti kesesuaian jenis obat dan biaya/harga dengan standar yang ada.

    DAFTAR PUSTAKA

  • ISSN 2337-3776

    19 |Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013

    Bowman, E., dan S. Fraser. 2010. Neonatal Handbook. Diakses dari: http://www.netsvic.org.au/nets/handbook/index.cfm pada tanggal 21 November 2012.

    Brooks, GF., S.J. Butel, S.A. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.Darmansjah, I. 2008. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak. Majalah Kedokteran Indonesia

    58(10): 368:369.De Vries, T.P.G.M., R.H. Henning, H.V. Hogerzeil, D.A. Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to

    Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva: WHO.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007.

    Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Petunjuk Teknis Program Jaminan Kesehatan

    Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya. Jakarta: Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan Depkes RI.

    Ghasem, M.H. 2001. Typhoid Fever Clinical and Epidemiological Studies in Indonesia (Tesis).Universitas Diponegoro: Semarang.

    Giraud, E., A. Cloeckaert, D. Kerboeuf, E. Chaslus-Dancla. 2000. Evidence for Active Efflux asthe Primary Mechanism of Resistance to Ciprofloxacin in Salmonella enterica SerovarTyphimurium. Antimicrob Agents Chemother 44(5): 12231228.

    Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

    Mycek, M.J., R.A. Harvey, P.C. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.Jakarta: Widya Medika.

    Puskesmas X. 2012. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). BandarLampung: Puskesmas X.

    Puskesmas X2. 2012. Rekap Data Status Kesehatan dan Data Peresepan Pasien Demam Tifoiddi Bagian Rawat Inap Puskesmas X tahun 2012. Bandar Lampung: Puskesmas X

    Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid YangDirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008(Skripsi). Universitas Diponegoro: Semarang.

    Soedarmo, S.S.P., H. Garna, S.R. Hadinegoro, H.I. Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri danTropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

    Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis, 1 (1): 124-138.WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid

    Fever. Diakses dari: www.who.int/vaccines-documents/ pada 17 September 2012.WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. Diakses dari: http://www. who.int/en/ pada

    tanggal 24 Agustus 2012.