perekonomian dan perbankan - bulelengkab.go.id · sentimen investor terhadap pemilihan gubernur the...
TRANSCRIPT
1
Perekonomian dan Perbankan
Oktober 2017
Equity Tower Lt 20, 21 & 39
Sudirman Central Business District (SCBD)
Jl. Jend Sudirman Kav 52-53
Jakarta 12190
1
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,6% pada 2017 dan 3,7% pada
2018, masing-masing 0,1 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Disisi lain
IMF juga melihat risiko jangka pendek bagi ekonomi global yang berimbang, namun risiko
dalam jangka menengah lebih mengarah ke bawah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 5,06% y/y (+3,18% q/q) pada kuartal III 2017
dari 5,01% (+4% q/q) pada kuartal sebelumnya. Surplus neraca perdagangan mencapai US$
1,76 miliar pada September 2017, yang paling tinggi sejak Desember 2011, sementara
ekspor dan impor di bulan itu turun 4,51% dan 5,39% m/m.
Berlanjutnya penurunan harga bahan pangan mendorong inflasi y/y turun menjadi 3,58%
(+0,01% m/m) pada Oktober 2017 dari 3,72% (+0,13% m/m) pada bulan sebelumnya.
Sentimen investor terhadap pemilihan gubernur The Fed, ekspektasi kenaikan Fed rate,
pemangkasan pembelian surat utang, dan normalisasi neraca The Fed mendorong
penguatan Dolar AS dan memicu koreksi di pasar keuangan global.
Capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,06% y/y plus rilis data ekonomi
domestik lainnya yang tumbuh positif diperkirakan dapat menahan koreksi lebih lanjut di
pasar keuangan Indonesia.
Kinerja industri perbankan hingga 3Q-17 menunjukan tren positif untuk penghimpunan DPK
yang tumbuh 11,7% y/y, lebih baik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 9,7% y/y.
Namun untuk ekspansi kredit sedikit melambat ke level 8,0% y/y dari capaian sebelumnya
8,4% di bulan Agustus 2017.
Kualitas kredit menunjukan adanya perbaikan tercermin dari rasio gross NPL yang turun
18bps y/y dan 15bps secara m/m, meski disisi lain terjadi kenaikan rasio credit at risk ke level
11,2%.
Pelemahan bisnis ritel terjadi akibat bebarapa faktor antara lain; pelemahan daya beli
konsumen, perubahan perilaku transaksi dan konsumsi serta tingkat kompetisi yang sangat
ketat serta isu peningkatan biaya operasional. Bagi perbankan perlambatan kinerja pada
penjualan ritel juga memiliki dampak yang besar sebab portfolio pada sektor ini mencapai
sekitar 19% dari total portfolio kredit nasional.
Risiko industri perbankan Indonesia masih dalam kondisi normal. Berdasarkan update data
perbankan bulan Agustus 2017 dan data pasar bulan Oktober 2017, angka BSI pada bulan
Oktober 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 2 bps bila dibandingkan dengan angka
BSI pada bulan September 2017, yaitu dari 99,56 menjadi 99,58.
Ringkasan Laporan
3
Ekonomi Global: Prospek dan Risiko Seto Wardono
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,6% pada 2017 dan 3,7% pada 2018,
masing-masing 0,1 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
IMF melihat risiko jangka pendek bagi ekonomi global yang berimbang, namun risiko dalam
jangka menengah lebih mengarah ke bawah.
Setelah pada tahun 2016 mengalami pertumbuhan terendah sejak krisis keuangan 2008/2009,
ekonomi global diperkirakan membaik dengan pertumbuhan yang lebih tinggi di tahun 2017 dan
2018. Menurut perkiraan terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) yang disampaikan pada
publikasi World Economic Outlook (WEO), ekonomi global akan tumbuh 3,6% pada tahun ini dan
3,7% pada tahun depan. Angka ini tercatat 0,1 poin persentase (ppts) lebih tinggi dibanding
perkiraan yang dibuat IMF pada April 2017. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro, Jepang,
Rusia, serta kelompok negara berkembang di Asia dan Eropa mengalami upgrade akibat kinerja di
semester I 2017 yang lebih baik dari ekspektasi. Sebaliknya, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Sejalan dengan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke atas, IMF juga menaikkan
proyeksi pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa global. Volume perdagangan global
diprediksi tumbuh 4,2% pada tahun 2017 dan 4% pada tahun 2018, masing-masing 0,4 ppts dan 0,1
ppts lebih tinggi dari proyeksi di bulan April 2017. Akan tetapi, IMF merevisi proyeksi inflasi ke
bawah. Perkiraan inflasi kelompok negara maju dipangkas 0,3 ppts dan 0,2 ppts pada tahun 2017
dan 2018, sedangkan proyeksi inflasi negara berkembang pada tahun 2017 diturunkan 0,5 ppts.
Sumber: IMF (Oktober 2017) Tabel 1. Realisasi dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Berbagai Negara
2017 2018
Negara Maju 1.7 1.2 1.3 2.1 2.2 1.7 2.2 2.0
Amerika Serikat 1.6 2.2 1.7 2.6 2.9 1.5 2.2 2.3
Zona Euro 1.6 -0.9 -0.2 1.3 2.0 1.8 2.1 1.9
Jepang -0.1 1.5 2.0 0.3 1.1 1.0 1.5 0.7
Negara Berkembang 6.4 5.4 5.1 4.7 4.3 4.3 4.6 4.9
Brazil 4.0 1.9 3.0 0.5 -3.8 -3.6 0.7 1.5
China 9.5 7.9 7.8 7.3 6.9 6.7 6.8 6.5
Filipina 3.7 6.7 7.1 6.1 6.1 6.9 6.6 6.7
India 6.6 5.5 6.4 7.5 8.0 7.1 6.7 7.4
Indonesia 6.2 6.0 5.6 5.0 4.9 5.0 5.2 5.3
Malaysia 5.3 5.5 4.7 6.0 5.0 4.2 5.4 4.8
Rusia 5.1 3.7 1.8 0.7 -2.8 -0.2 1.8 1.6
Thailand 0.8 7.2 2.7 0.9 2.9 3.2 3.7 3.5
Turki 11.1 4.8 8.5 5.2 6.1 3.2 5.1 3.5
Dunia 4.3 3.5 3.5 3.6 3.4 3.2 3.6 3.7
2015Proyeksi
Negara 2013 201420122011 2016
4
IMF melihat pertumbuhan permintaan domestik yang kuat di kelompok negara maju dan
China pada semester I lalu dan kinerja di negara-negara berkembang utama juga ikut mengalami
perbaikan. Di Zona Euro dan Jepang, misalnya, menguatnya konsumsi swasta, investasi, dan
permintaan eksternal mendukung momentum pertumbuhan. Perbaikan permintaan eksternal juga
mendukung aktivitas ekonomi negara berkembang di Asia Timur, Brazil, Rusia, dan Turki. Sementara,
aktivitas sektor manufaktur global juga tampak menguat, didukung oleh berlanjutnya pemulihan
investasi. Menurut IMF, purchasing managers’ index (PMI) global dan berbagai indikator
berfrekuensi tinggi pada Juli dan Agustus 2017 menunjukkan berlanjutnya momentum pertumbuhan
global pada kuartal III 2017.
Sumber: IMF Gambar 1. PMI Manufaktur dan Pertumbuhan PDB Global
Kinerja ekonomi negara maju yang lebih baik dari ekspektasi pada semester I lalu mendorong
IMF untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi di kelompok ini untuk tahun 2017 dari 2%
menjadi 2,2%. Angka ini juga lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan di tahun 2016 yang sebesar
1,7%. Pada tahun 2018, ekonomi negara maju diprediksi tumbuh 2%, 0,1 ppts lebih tinggi dari
perkiraan yang dibuat pada April 2017. Sementara, pertumbuhan ekonomi kelompok negara
berkembang diprediksi meningkat dari 4,3% pada tahun 2016 menjadi 4,6% pada tahun 2017 dan
4,9% pada tahun 2018. Angka proyeksi tahun 2017 dan 2018 tersebut juga 0,1 ppts lebih tinggi dari
angka perkiraan di bulan April. Menurut IMF, perbaikan aktivitas ekonomi negara berkembang pada
tahun ini dan tahun depan ditopang oleh kinerja negara-negara eksportir komoditas seperti Brazil
dan Rusia.
Tekanan inflasi diperkirakan menguat di kelompok negara maju dan negara berkembang,
meski lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Menurut IMF, semua negara maju yang mengalami
deflasi pada tahun 2016 akan menghadapi inflasi pada tahun ini. Jepang, misalnya, akan mengalami
inflasi 0,4% tahun ini setelah mengalami sedikit deflasi di tahun 2016 akibat kenaikan harga energi
dan kesenjangan output (output gap) yang makin sempit. Kenaikan harga energi juga menjadi salah
satu faktor yang mendorong kenaikan inflasi di Zona Euro dari 0,2% pada tahun 2016 menjadi 1,5%
pada tahun ini. Di Inggris, inflasi juga diyakini akan meningkat akibat depresiasi pound. Sementara,
inflasi di kelompok negara berkembang diperkirakan naik secara moderat, meski sebenarnya terjadi
perbedaan pada arah dan faktor penyebab di tiap negara. Di China, misalnya, pelemahan harga
-2
0
2
4
6
8
Feb
-12
Au
g-1
2
Feb
-13
Au
g-1
3
Feb
-14
Au
g-1
4
Feb
-15
Au
g-1
5
Feb
-16
Au
g-1
6
Feb
-17
Au
g-1
7
Purchasing Managers' Index Manufaktur
Negara Maju Negara Berkembang
∆ dari 50
0
2
4
6
8
2H
11
1H
12
2H
12
1H
13
2H
13
1H
14
2H
14
1H
15
2H
15
1H
16
2H
16
1H
17
2H
17
F
1H
18
F
2H
18
F
Pertumbuhan PDB Global
Negara Maju Negara Berkembang
% h/h, annualized
5
pangan dalam beberapa bulan terakhir akan menghasilkan inflasi yang ringan pada tahun ini. Di
Brazil dan Rusia, inflasi diprediksi akan menurun akibat kesenjangan output yang negatif, apresiasi
nilai tukar, dan pelemahan inflasi pangan. Inflasi di Argentina dan Afrika Selatan diperkirakan juga
akan turun masing-masing akibat hilangnya pengaruh depresiasi nilai tukar yang terjadi di tahun
2016 dan melambatnya pertumbuhan upah.
Dengan pertumbuhan yang lebih baik di tahun 2017 dan 2018, IMF melihat risiko jangka
pendek yang berimbang pada ekonomi global. Tingkat keyakinan konsumen dan bisnis yang kuat
merupakan upside risk yang dapat membuat momentum pertumbuhan menjadi lebih tahan lama
dibandingkan perkiraan sebelumnya. Di sisi lain, ketidakpastian kebijakan merupakan downside risk
yang perlu diperhitungkan. Ketidakpastian di sini termasuk risiko geopolitik, kebijakan fiskal dan
regulasi AS yang sulit diprediksi, kemungkinan pengenaan restriksi terhadap perdagangan, serta
negosiasi antara Inggris dan Uni Eropa terkait Brexit.
Meski risiko jangka pendek pada ekonomi global tampak berimbang, IMF melihat risiko jangka
menengah yang cenderung mengarah ke bawah. Risiko jangka menengah ini bersumber dari
beberapa risiko finansial, perubahan orientasi kebijakan menjadi ke arah dalam (inward) dan inflasi
yang rendah secara persisten di negara maju, serta berbagai faktor non-ekonomi seperti risiko
geopolitik. Risiko finansial tersebut antara lain mencakup pengetatan kondisi keuangan global,
potensi pembalikan arus modal terutama dari negara berkembang, masalah profitabilitas dan
kualitas kredit yang dihadapi perbankan Zona Euro, serta deregulasi keuangan yang dapat
menurunkan buffer modal dan likuiditas atau memperlemah efektivitas supervisi dari regulator.
Sumber: IMF Gambar 2. Probabilita Resesi dan Deflasi
IMF juga menghitung probabilita resesi dan deflasi dari berbagai kawasan di dunia. Probabilita
resesi menurun di Zona Euro, Jepang, dan kelompok Amerika Latin 5 (Brazil, Chile, Kolombia,
Meksiko, dan Peru) seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Di AS dan
wilayah lain, probabilita resesi tidak banyak berubah. Sementara itu, probabilita deflasi di Zona Euro
dan Jepang menurun, sejalan dengan perkiraan permintaan domestik yang lebih kuat. Akan tetapi,
probabilita deflasi dinilai meningkat di kawasan Asia Timur dan Amerika Latin 5 akibat pelemahan
inflasi.
0 10 20 30 40 50
Lainnya
Amerika Latin 5
Negara Berkembang Asia
Jepang
Zona Euro
AS
%
Probabilita Resesi
WEO April 2017: 2Q17–1Q18 WEO Oktober 2017: 4Q17–3Q18
0 5 10 15 20 25
Lainnya
Amerika Latin 5
Negara Berkembang Asia
Jepang
Zona Euro
AS
%
Probabilita Deflasi
WEO April 2017: 2Q18 WEO Oktober 2017: 4Q18
6
Perkembangan PDB, Neraca Perdagangan, dan Inflasi
Seto Wardono
Pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 5,06% y/y (+3,18% q/q) pada kuartal III 2017 dari
5,01% (+4% q/q) pada kuartal sebelumnya.
Surplus neraca perdagangan mencapai US$ 1,76 miliar pada September 2017, yang paling tinggi
sejak Desember 2011. Ekspor dan impor di bulan itu turun 4,51% dan 5,39% m/m.
Berlanjutnya penurunan harga bahan pangan mendorong inflasi y/y turun menjadi 3,58%
(+0,01% m/m) pada Oktober 2017 dari 3,72% (+0,13% m/m) pada bulan sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik pada kuartal III 2017, didukung oleh berlanjutnya
perbaikan investasi dan pulihnya konsumsi pemerintah. Produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,06%
(+3,18% q/q) pada kuartal III lalu, lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang sebesar
5,01% (+4% q/q). Pertumbuhan di kuartal lalu adalah juga yang tertinggi selama lima kuartal. Secara
kumulatif, PDB selama tiga kuartal pertama tahun ini tercatat 5,03% lebih tinggi dibanding pada
periode yang sama di tahun 2016.
* Mencakup konsumsi rumah tangga dan LNPRT. Sumber: CEIC, LPS Gambar 3. Pertumbuhan PDB dan Komponen Pengeluaran
Ekonomi tumbuh lebih cepat pada kuartal III 2017 akibat perbaikan konsumsi pemerintah dan
investasi. Setelah sempat turun 1,93% y/y pada kuartal II, konsumsi pemerintah meningkat 3,46%
pada kuartal III. Kondisi ini konsisten dengan perkembangan belanja pegawai dan belanja barang
pemerintah pusat yang totalnya naik 3,94% y/y pada periode Juli–September 2017 setelah
mengalami penurunan sebesar 3,32% pada periode April–Juni 2017. Dengan perkembangan ini, andil
konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan y/y PDB berubah menjadi 0,27 poin persentase (ppts)
dari -0,15 ppts pada kuartal II. Sementara, pertumbuhan investasi pada aset tetap (pembentukan
modal tetap bruto atau PMTB) mencapai 7,11% pada kuartal III, yang tertinggi selama lebih dari
empat tahun. Kali ini, perbaikan investasi bangunan serta investasi berupa pembelian mesin dan
peralatan, dua komponen yang memiliki porsi terbesar dalam PMTB, menjadi faktor terpenting yang
mendorong PMTB untuk tumbuh lebih cepat.
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
2Q
13
3Q
13
4Q
13
1Q
14
2Q
14
3Q
14
4Q
14
1Q
15
2Q
15
3Q
15
4Q
15
1Q
16
2Q
16
3Q
16
4Q
16
1Q
17
2Q
17
3Q
17
%%
PDB Indonesia
q/q (Kanan) y/y
-4
0
4
8
12
16
20
KonsumsiSwasta*
KonsumsiPemerintah
PMTB Ekspor Impor PDB
% y/y
PDB Menurut Jenis Pengeluaran
1Q17 2Q17 3Q17
7
Berkebalikan dengan konsumsi pemerintah dan investasi, konsumsi swasta (yang mencakup
konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga atau LNPRT)
pada kuartal III mengalami perlambatan pertumbuhan, yaitu dari 5,02% pada kuartal II menjadi
4,95%, yang paling rendah selama lebih dari dua tahun. Konsumsi makanan dan minuman, sandang,
serta konsumsi untuk hotel dan restoran terpantau melambat pada kuartal III lalu. Dengan demikian,
kontribusi konsumsi swasta terhadap pertumbuhan y/y PDB menyusut dari 2,75 ppts pada kuartal II
menjadi 2,72 ppts. Sama seperti konsumsi swasta, ekspor neto (ekspor minus impor) juga
mengalami penurunan andil terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu dari 0,71 ppts menjadi 0,7 ppts
pada periode yang sama. Ekspor dan impor masing-masing tumbuh 17,27% dan 15,09% y/y pada
kuartal III, jauh melebihi pertumbuhan di kuartal II yang sebesar 3,6% dan 0,22%.
* Mencakup konsumsi rumah tangga dan konsumsi LNPRT. Sumber: BPS, CEIC, LPS Gambar 4. Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan PDB dan PDB Menurut Lapangan Usaha
Di sisi produksi, 11 dari 17 sektor ekonomi tercatat mengalami percepatan pertumbuhan pada
kuartal III 2017. Termasuk ke dalam 11 sektor itu adalah sektor-sektor utama seperti manufaktur,
konstruksi, dan perdagangan. Pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur mencapai 4,84% y/y
pada kuartal III, yang tertinggi selama tiga tahun, didukung oleh perbaikan di beberapa industri,
seperti makanan dan minuman, tekstil, dan alat angkutan. Di sektor konstruksi, maraknya
pembangunan infrastruktur masih menjadi pendorong utama dan membuat pertumbuhan output
sektor ini naik dari 6,96% pada kuartal II menjadi 7,13% y/y, yang tertinggi sejak kuartal I 2015. Pada
periode yang sama, pertumbuhan y/y nilai tambah di sektor perdagangan meningkat dari 3,85%
menjadi 5,5%. Dua sub-sektor yang ada di sektor ini, perdagangan produk otomotif dan perdagangan
produk non-otomotif, mengalami percepatan pertumbuhan.
Di tengah perbaikan kinerja beberapa sektor kunci, dua sektor primer, yaitu pertanian dan
pertambangan, mengalami perlambatan pertumbuhan pada kuartal III 2017. Nilai tambah sektor
pertanian dan pertambangan tumbuh masing-masing 2,92% dan 1,76% y/y pada kuartal III,
melambat dari 3,33% dan 2,31% pada kuartal sebelumnya. Pelemahan sektor primer ini terjadi di
tengah harga komoditas yang sebenarnya mengalami peningkatan secara umum. Menurut data
Bank Dunia, indeks harga komoditas energi naik 2,03% q/q, sedangkan indeks harga komoditas non-
-8
-4
0
4
8
3Q
13
4Q
13
1Q
14
2Q
14
3Q
14
4Q
14
1Q
15
2Q
15
3Q
15
4Q
15
1Q
16
2Q
16
3Q
16
4Q
16
1Q
17
2Q
17
3Q
17
ppts
Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB
Konsumsi Swasta* Konsumsi Pemerintah
PMTB Perubahan Inventori
Ekspor Neto Diskrepansi Statistik
-2 0 2 4 6 8 10 12
PDB
Sektor Lainnya
Jasa Keuangan
Informasi
Transportasi
Perdagangan
Konstruksi
Manufaktur
Pertambangan
Pertanian
% y/y
PDB Menurut Lapangan Usaha
1Q17
2Q17
3Q17
8
energi meningkat 2,18%. Selain sektor pertanian dan pertambangan, perlambatan pertumbuhan
nilai tambah juga terjadi di sektor transportasi, akomodasi, informasi, dan real estat.
Realisasi PDB hingga kuartal III 2017 masih mendukung tercapainya proyeksi pertumbuhan
ekonomi kami yang sebesar 5,1% pada tahun ini, meski dengan sedikit bias ke bawah. Pada tahun
2018, aktivitas ekonomi diperkirakan membaik hingga mencapai pertumbuhan 5,3%. Data bulanan
terkini masih mengkonfirmasi lemahnya momentum pemulihan pada konsumsi swasta. Sebaliknya,
momentum perbaikan investasi masih tampak kuat yang antara lain didukung oleh belanja modal
pemerintah, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur. Di sisi eksternal, pemulihan
ekonomi yang makin nyata di negara-negara maju masih menjadi faktor pendorong bagi ekspor
setidaknya hingga tahun 2018 mendatang.
Surplus neraca perdagangan melebar pada September 2017 akibat penurunan impor yang
lebih besar dari penurunan ekspor. Neraca perdagangan mengalami surplus sebesar US$ 1,76 miliar
pada bulan itu, naik dari US$ 1,72 miliar pada Agustus 2017. Surplus di bulan September itu adalah
juga surplus bulanan tertinggi sejak Desember 2001. Secara kumulatif, surplus perdagangan pada
sembilan bulan pertama tahun ini mencapai US$ 10,87 triliun, jauh melebihi surplus periode yang
sama di tahun 2016 yang sebesar US$ 6,41 miliar. Pada September lalu, ekspor tercatat turun 4,51%
m/m (+15,6% y/y), sedangkan impor terpangkas 5,39% m/m (+13,13% y/y). Pada periode Januari–
September 2017, ekspor dan impor tumbuh masing-masing sebesar 17,36% dan 13,97% y/y.
Nilai ekspor turun di bulan September terutama akibat penurunan harga barang ekspor non-
migas. Rata-rata harga agregat barang ekspor non-migas Indonesia turun 6,55% m/m pada bulan itu,
berkebalikan dengan rata-rata harga barang ekspor migas yang naik 5,03%. Hal ini terjadi di tengah
kenaikan volume ekspor non-migas dan migas yang masing-masing mencapai 0,49% dan 7,3% m/m.
Di segmen non-migas, terjadi penurunan nilai ekspor pada beberapa kelompok komoditas strategis,
seperti lemak dan minyak hewan/nabati (-9,06% m/m), mesin/peralatan listrik (-8,2%), dan
perhiasan/ permata (-21,41%).
Sumber: BPS, CEIC Gambar 5. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan
Berbeda dengan ekspor, penurunan nilai impor lebih disebabkan oleh turunnya volume yang
terjadi baik di segmen migas maupun non-migas. Volume impor turun 8,57% m/m pada September
2017. Di segmen migas, volume impor terpangkas 10,71%, sedangkan volume impor non-migas
-3.0
-1.5
0.0
1.5
3.0
4.5
-50
-25
0
25
50
75
Mar
-12
Sep
-12
Mar
-13
Sep
-13
Mar
-14
Sep
-14
Mar
-15
Sep
-15
Mar
-16
Sep
-16
Mar
-17
Sep
-17
Milliar US$3M Sum, % y/y
Neraca Perdagangan - Kanan
Ekspor
Impor
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
3Q
08
1Q
09
3Q
09
1Q
10
3Q
10
1Q
11
3Q
11
1Q
12
3Q
12
1Q
13
3Q
13
1Q
14
3Q
14
1Q
15
3Q
15
1Q
16
3Q
16
1Q
17
3Q
17
Miliar US$
Neraca Perdagangan
Migas Non-Migas Total
9
turun 7,57%. Akan tetapi, kenaikan harga produk impor membatasi penurunan nilai impor. Rata-rata
harga agregat barang impor migas dan non-migas meningkat masing-masing sebesar 7,75% dan
2,05% m/m pada September lalu, sehingga secara total harga barang impor naik 3,47%. Sementara,
dekomposisi impor menurut golongan penggunaan barang menunjukkan adanya penurunan di
semua segmen pada bulan yang sama. Nilai impor barang konsumsi dan bahan baku turun 5,87%
dan 4,96% m/m, sedangkan nilai impor barang modal terpangkas 7,13%..
Sumber: BPS Gambar 6. Inflasi IHK
Beralih ke perkembangan inflasi, berlanjutnya penurunan harga pangan pada Oktober 2017
membantu menurunkan laju inflasi di bulan itu. Inflasi y/y tercatat turun dari 3,72% (+0,13% m/m) di
bulan September menjadi 3,58% (+0,01% m/m) pada Oktober lalu. Dengan demikian, selama 10
bulan pertama tahun ini (year to date), indeks harga konsumen (IHK) tercatat naik 2,67%.
Sementara, inflasi inti bergerak sebaliknya. Di bulan Oktober, inflasi inti y/y mencapai 3,07% (+0,17%
m/m), lebih tinggi dari 3% (+0,35% m/m) pada bulan sebelumnya
Sumber: BI, BPS Gambar 7. Andil Inflasi Beberapa Komoditas dan Suku Bunga Kebijakan
-4
0
4
8
12
16
20
2
4
6
8
10
Ap
r-1
0
Oct
-10
Ap
r-1
1
Oct
-11
Ap
r-1
2
Oct
-12
Ap
r-1
3
Oct
-13
Ap
r-1
4
Oct
-14
Ap
r-1
5
Oct
-15
Ap
r-1
6
Oct
-16
Ap
r-1
7
Oct
-17
% y/y% y/y
Inflasi Indeks Harga Konsumen
Inflasi Inti Inflasi Headline
Inflasi Volatile Food (Kanan) Inflasi Administered Price (Kanan)
-0,04
-0,04
-0,03
-0,02
-0,02
0,01
0,04
0,05
-0,06 -0,04 -0,02 0,00 0,02 0,04 0,06
Bawang Merah
Daging Ayam Ras
Tarif Angkutan Udara
Bawang Putih
Ikan Segar
Rokok Kretek Filter
Beras
Cabai Merah
ppts
Andil Inflasi Beberapa Komoditas pada Oktober 2017
0
3
6
9
12
15
Oct
-07
Oct
-08
Oct
-09
Oct
-10
Oct
-11
Oct
-12
Oct
-13
Oct
-14
Oct
-15
Oct
-16
Oct
-17
%Bunga Deposit Facility
Bunga Lending Facility
BI Rate
BI 7-Day Reverse Repo Rate
0,01
-0,53
-0,01
0,17
-0,13
0,16
0,21
0,18
0,18
0,28
-0,45
-0,9 -0,6 -0,3 0,0 0,3 0,6
Umum
Makanan Bergejolak
Administered Price
Inti
Transportasi
Pendidikan
Kesehatan
Sandang
Perumahan
Makanan Jadi
Bahan Makanan
%
Inflasi m/m Oktober 2017
10
Kelompok bahan makanan dan transportasi mengalami penurunan harga pada bulan Oktober
lalu. IHK bahan makanan terpantau turun 0,45% m/m, melanjutkan penurunan yang terjadi di bulan
Agustus dan September. Deflasi kali ini mencerminkan penurunan harga beberapa komoditas,
seperti bawang merah, bawang putih, daging ayam ras, dan ikan segar. Di bulan yang sama, terjadi
deflasi sebesar 0,13% m/m di segmen transportasi yang antara lain dilatarbelakangi oleh penurunan
tarif angkutan udara. Di luar dua kelompok tersebut, IHK tidak banyak bergerak di kelompok lain
dengan kisaran kenaikan 0,16%–0,21% m/m.
Inflasi yang masih terkendali mendorong Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan
kebijakan moneternya pada bulan Oktober 2017. BI melalui Rapat Dewan Gubernur tanggal 18–19
Oktober 2017 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day reverse repo rate di level 4,25%,
dengan bunga deposit facility dan bunga lending facility tetap sebesar 3,5% dan 5%. Menurut BI,
bunga acuan di posisi tersebut masih memadai untuk menjaga laju inflasi sesuai dengan targetnya
serta menjaga defisit neraca berjalan pada level yang sehat. BI menyebut beberapa risiko yang
diwaspadai, antara lain rencana pengetatan kebijakan moneter dan reformasi fiskal di AS, faktor
geopolitik di Spanyol dan Semenanjung Korea, serta berlanjutnya konsolidasi sektor korporasi dan
perbankan di Indonesia.
BI melihat ekspansi fiskal dan pelonggaran kebijakan moneter sebagai pendukung perbaikan
pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2017. Menurut BI, konsumsi pada kuartal III ditopang oleh
pencairan gaji ke-13 pegawai negeri sipil, penyaluran bantuan sosial, serta realisasi belanja barang
pemerintah yang tinggi. Sementara, perbaikan investasi diyakini akan berlanjut, seiring
pertumbuhan investasi bangunan yang cukup tinggi dan membaiknya investasi non-bangunan.
Perbaikan investasi non-bangunan tersebut terlihat dari naiknya penjualan alat berat untuk sektor
pertambangan dan perkebunan serta naiknya impor mesin dan perlengkapan untuk keperluan
industri manufaktur. Di sisi eksternal, ekspor juga diperkirakan membaik, terutama di segmen
pertambangan dan perkebunan. Menurut BI, pertumbuhan ekonomi tahun ini berpotensi lebih
tinggi dari perkiraan semula dengan tetap di kisaran 5%–5,4%. Pada tahun 2018, pertumbuhan
ekonomi Indonesia diprediksi meningkat ke kisaran 5,1%–5,5%.
12
Pasar Keuangan Indonesia: Potensi Koreksi Akibat Sentimen Global Dienda Siti Rufaedah
Sentimen investor terhadap pemilihan gubernur The Fed, ekspektasi kenaikan Fed rate,
pemangkasan pembelian surat utang, dan normalisasi neraca The Fed mendorong penguatan
Dolar AS dan memicu koreksi di pasar keuangan global.
Ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,06% y/y, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya
yang sebesar 5,01% y/y. Rilis data ekonomi domestik lainnya yang tumbuh positif diperkirakan
dapat menahan koreksi lebih lanjut di pasar keuangan Indonesia.
Menjelang penghujung tahun 2017, pemilihan gubernur The Fed yang baru mewarnai
pergerakan pasar keuangan global. Janet Yellen yang akan menyelesaikan masa tugasnya pada bulan
Februari 2018 akan digantikan oleh Jerome Powell menyusul pengumuman yang disampaikan Trump
pada awal November 2017. Powell memang diketahui menjadi kandidat pemimpin The Fed paling
kuat diantara 3 (tiga) kandidat lainnya. Pencalonan Powell ini disambut positif mengingat ia diyakini
akan meneruskan strategi kebijakan yang telah dikeluarkan Yellen sebelumnya.
The Fed mempertahankan bunga acuan (Fed rate) di level 1%-1,25% pada rapat FOMC tanggal
31 Oktober 2017-1 November 2017. Keputusan The Fed ini sesuai ekspektasi dan dinilai telah
memberikan kepastian pasar. Potensi kenaikan Fed rate pada rapat FOMC bulan Desember 2017
juga diperkirakan tidak akan menimbulkan volatilitas karena pasar dinilai telah priced-in dampak dari
kenaikan Fed rate tersebut. Seperti diketahui, Fed rate diperkirakan akan meningkat pada rapat
FOMC bulan Desember 2017. Menurut data Fed Futures, Fed rate berpotensi mengalami kenaikan
pada rapat FOMC bulan Desember 2017 dengan probabilita mencapai di atas 50%.
Di sisi lain, pemangkasan jumlah pembelian surat utang oleh Bank Sentral Eropa (ECB) turut
menjadi penggerak pasar dan memberikan faktor risiko bagi pasar keuangan. Pada pertemuan bank
sentral bulan Oktober 2017, ECB mengumumkan pemangkasan surat utang dari 60 miliar Euro per
bulan menjadi 30 miliar Euro. Pemangkasan jumlah pembelian surat utang ini akan dilakukan mulai
Januari 2018, hingga setidaknya September 2018. Dalam keterangan resminya, ECB menyatakan
akan melakukan kebijakan moneter akomodatif apabila diperlukan, mengingat potensi penguatan
Euro akibat pengetatan moneter telah menekan laju inflasi Zona Euro di bawah target 2%.
Selain ECB, The Fed diketahui juga akan melakukan pengurangan neraca senilai USD 4,5 triliun
dengan melepas kepemilikan obligasinya ke pasar secara bertahap. Neraca The Fed seperti diketahui
mengalami peningkatan tajam menyusul 3 (tiga) kali program pelonggaran kuantitatif (Quantitative
Easing) pada periode November 2008 hingga Oktober 2014. Untuk keluar dari krisis, The Fed
mencetak uang dalam jumlah sangat besar untuk kemudian disalurkan ke pasar, dengan cara
membeli obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan. Namun, perekonomian AS saat ini
diyakini telah cukup kuat untuk mulai melakukan normalisasi neraca tersebut.
Pemangkasan pembelian obligasi dan normalisasi neraca tersebut berpotensi mendorong
reversal dari sejumlah negara berkembang. Bagi Indonesia, berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, kepemilikan investor asing pada Surat Berharga Negara (SBN)
pada akhir September 2017 mencapai 40,03% terhadap seluruh kepemilikan obligasi negara
sehingga kondisi ini cukup rentan jika terjadi penarikan likuiditas akibat pengetatan kebijakan
moneter yang dilakukan sejumlah bank sentral.
13
Sepanjang bulan September 2017, sentimen investor masih menunjukkan perbaikan dengan
menurunnya berbagai indikator sentimen pasar keuangan global seperti indeks VIX dan EMBI. Indeks
VIX dan EMBI masing-masing menurun sebesar 1,08 poin dan 13,39 poin ke level 9,51 dan 307,63.
Membaiknya kedua indikator tersebut berlanjut pada periode pengamatan hingga tanggal 27
Oktober 2017 dimana EMBI menunjukkan penurunan ke level 305,53 sementara indeks VIX relatif
stabil di level 9,8. Menurunnya kedua indikator tersebut menunjukkan bahwa persepsi investor
relatif membaik, di tengah berbagai sentimen yang terjadi di pasar keuangan global.
Sumber: Bloomberg Gambar 8. Perkembangan Indikator Sentimen Pasar Global dan Indeks Dolar AS
Pergerakan mayoritas mata uang negara maju dan negara berkembang yang kami pantau
menunjukkan pelemahan terhadap Dolar AS. Hal ini juga ditunjukkan oleh meningkatnya indeks
Dolar AS yang dimana pada tanggal 27 Oktober 2017 naik sebesar 1,98% mtd ke level 94,92.
Penguatan Dolar AS ini disinyalir dipicu berbagai sentimen positif yang terjadi di perekonomian AS.
Mata uang negara maju dan negara berkembang terpantau melemah di kisaran 1%-6%. Pada
periode pengamatan hingga tanggal 27 Oktober 2017, Sterling mengalami pelemahan tertinggi
diantara mata uang negara maju dan negara berkembang yang kami pantau.
Sterling terpantau turun sebesar 2,02% mtd ke level 1,31 per Dolas AS. Menguatnya Dolar AS
membebani kinerja Sterling yang sebelumnya menguat tajam pasca rilis data Produk Domestik Bruto
(PDB) Inggris yang tumbuh sebesar 0,4% qtq pada kuartal III 2017, di atas ekspektasi pasar sebesar
0,3% qtq. Ekspansi ekonomi Inggris dipicu oleh membaiknya jasa layanan, perdagangan motor dan
ritel, serta sektor manufaktur. Namun demikian, Sterling masih berpotensi kembali menguat
menyusul naiknya bunga acuan Inggris untuk pertama kalinya sejak Juli 2007 sebesar 25 bps ke level
0,5%.
Di negara berkembang, mayoritas mata uang juga menunjukkan pelemahan terhadap Dolar
AS. Penguatan Dolar AS memicu capital outflow dari aset-aset safe haven, termasuk di negara
berkembang. Lira dan Rand mengalami tekanan jual paling tinggi akibat penguatan Dolar AS.
Namun, kinerja ekonomi domestik yang positif dinilai dapat menahan pelemahan nilai tukar lebih
tajam. Pada kuartal II 2017, ekonomi Turki dan Afrika Selatan tercatat masing-masing tumbuh
240
300
360
420
480
540
600
0
7
14
21
28
35
42
Oct
-14
Dec
-14
Feb
-15
Ap
r-1
5
Jun
-15
Au
g-1
5
Oct
-15
Dec
-15
Feb
-16
Ap
r-1
6
Jun
-16
Au
g-1
6
Oct
-16
Dec
-16
Feb
-17
Ap
r-1
7
Jun
-17
Au
g-1
7
Oct
-17
VIX (L) EMBI (R)
Perkembangan Indeks VIX dan EMBI
90
92
94
96
98
100
102
104
Oct
-15
De
c-1
5
Feb
-16
Ap
r-1
6
Jun
-16
Au
g-1
6
Oct
-16
De
c-1
6
Feb
-17
Ap
r-1
7
Jun
-17
Au
g-1
7
Oct
-17
Perkembangan Indeks Dolar AS
14
sebesar 5,1% y/y dan 1,1% y/y, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya dan di atas ekspektasi
pasar.
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Mata Uang Global terhadap Dolar AS
Berbeda dengan kinerja pasar valas yang sebagian besar terkoreksi, optimisme ekonomi AS
direspon positif dan memicu kenaikan pada pasar saham global. Mayoritas pasar saham di negara
maju dan negara berkembang menunjukkan perkembangan yang positif di kisaran 1%-8%. Hal ini
juga terlihat dari pergerakan indeks MSCI negara-negara maju dan negara-negara berkembang yang
mengalami kenaikan. Pada periode pengamatan hingga tanggal 27 Oktober 2017, indeks MSCI
negara-negara maju dan negara-negara berkembang naik masing-masing sebesar 2,64% mtd dan
0,85% mtd ke level 1.110,22 dan 1.990,66.
Wall Street kembali mencatatkan pertumbuhan yang positif, yang ditunjukkan oleh kinerja
indeks Dow Jones dan indeks S&P 500 yang naik masing-masing sebesar 4,59% mtd dan 2,45% mtd
ke level 23.434,19 dan 2.581,07 pada perdagangan tanggal 27 Oktober 2017. Kinerja Wall Street
selain didorong oleh sinyal sentimen positif dari pemulihan perekonomian AS, juga karena didorong
hasil laporan pendapatan di sektor keuangan dan perusahaan energi. Sinyal peningkatan ekonomi AS
diperkuat oleh perkiraan penciptaan lapangan kerja di bulan Oktober 2017 yang lebih tinggi dari
ekspektasi. US payrolls diperkirakan tumbuh lebih dari 250.000 di akhir minggu ini.
Indeks Nikkei 225 berada pada teritori positif dengan mencatatkan kenaikan tertinggi sebesar
8,12% mtd ke level 22.008,45 pada tanggal 27 Oktober 2017. Kemenangan Shinzo Abe menjadi
Perdana Menteri Jepang menjadi sentimen positif bagi pergerakan indeks. Abe kembali terpilih
setelah meraih dua pertiga suara pada pemilihan umum tanggal 22 Oktober 2017. Kemenangan Abe
dinilai akan kembali menjadi momentum untuk mempertahankan stimulus ekonomi. Di sisi lain, Abe
dalam kampanyenya menyatakan akan menaikkan pajak penjualan dari 8% menjadi 10% pada
Oktober 2019 untuk pendidikan dan membantu keluarga muda.
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(%) (%) (%) (%, Sep-17) (%) 29/09/2017 27/10/2017
Negara Maju
EUR/USD (3.18) 10.37 (1.74) (0.81) (1.49) 1.18 1.16 1.18 12.20
USD/JPY 2.71 2.81 (1.03) (2.30) (0.13) 112.51 113.67 112.00 4.24
GBP/USD (16.26) 6.39 (2.02) 3.62 (0.47) 1.34 1.31 1.32 6.97
Negara Berkembang
USD/IDR 2.28 (1.01) (1.02) (0.97) (0.67) 13,472 13,609 13,400 0.54
USD/BRL 17.81 0.60 (2.31) (0.43) (1.31) 3.16 3.24 3.15 3.23
USD/RUB 15.96 5.59 (0.94) 0.83 (1.05) 57.55 58.10 58.00 5.75
USD/INR (2.68) 4.23 0.35 (2.15) (0.05) 65.28 65.05 64.50 5.04
USD/CNY (6.95) 4.24 0.03 (0.95) (0.45) 6.65 6.65 6.65 4.25
USD/ZAR 11.17 (2.64) (4.02) (4.27) (3.36) 13.56 14.10 13.28 3.35
USD/MYR (4.47) 5.44 (0.51) 1.18 (0.40) 4.22 4.24 4.22 5.93
USD/THB 0.54 7.28 0.27 (0.39) (0.11) 33.31 33.23 33.40 6.80
USD/TRY (20.78) (7.52) (6.31) (3.20) (3.20) 3.56 3.79 3.55 (0.75)
USD/PHP (6.02) (4.08) (1.75) 0.65 (0.53) 50.87 51.76 51.00 (2.56)
USD/SGD (2.00) 5.67 (0.53) (0.13) (0.26) 1.36 1.36 1.35 6.69
Depre/Apre
2017F (%)2017F*)Mata Uang
15
Di negara berkembang, indeks Sensex mencatatkan kenaikan tertinggi dengan ditutup naik
sebesar 5,99% ke level 33.157,22 pada tanggal 27 Oktober 2017. Di tengah penurunan ekonomi dan
tingginya kredit bermasalah, pemerintah India melakukan serangkaian kebijakan untuk mengatasi
berbagai permasalahan. Setelah melakukan kebijakan untuk menarik uang kertas 500 dan 1.000
Rupee dan mengurangi peredaran uang gelap di pasar, pemerintah India berencana untuk
menerbitkan surat utang untuk dijual ke perbankan dan hasilnya akan disuntikkan ke perbankan
sebagai tambahan cadangan modal.
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Mayoritas imbal hasil pasar obligasi global menunjukkan kenaikan di kisaran 2 bps-58 bps.
Kenaikan imbal hasil ini dipicu oleh ekspektasi kenaikan Fed rate dan pemangkasan pembelian
obligasi serta rencana normalisasi neraca The Fed. Ketiga kebijakan tersebut berpotensi menekan
kinerja pasar obligasi dan meningkatkan imbal hasil obligasi global. Imbal hasil US Treasury tenor 10
tahun terpantau meningkat sebesar 7 bps ke level 2,41% mtd pada tanggal 27 Oktober 2017.
Kenaikan imbal hasil US Treasury tersebut memicu kenaikan imbal hasil di pasar obligasi global
lainnya.
Berbeda dengan mayoritas obligasi pemerintah lainnya, imbal hasil obligasi pemerintah Eropa
dan Inggris menunjukkan penurunan. Pemangkasan pembelian obligasi oleh ECB ternyata masih
direspon dengan penurunan imbal hasil obligasi pemerintah Eropa yang menurun sebesar 8 bps mtd
ke level 0,38%. Pelaku pasar obligasi melihat bank sentral masih berkomitmen untuk melakukan
kebijakan moneter yang akomodatif meskipun jumlah pembelian obligasi dipangkas. Di sisi lain, rilis
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(%) (%) (%) (%, Sep-17) (%) 29/09/2017 27/10/2017
Negara Maju
Dow Jones (USA) 13.42 18.58 4.59 2.08 0.45 22,405.09 23,434.19
S&P 500 (USA) 9.54 15.29 2.45 1.93 0.23 2,519.36 2,581.07
Stoxx Europe 600 (Eropa) (1.20) 8.86 1.36 3.82 0.85 388.16 393.43
Nikkei 225 (Jepang) 0.42 15.14 8.12 3.61 2.57 20,356.28 22,008.45
FTSE 100 (Inggris) 14.43 5.07 1.79 (0.78) (0.24) 7,372.76 7,505.03
Negara Berkembang
IHSG (Indonesia) 15.32 12.81 1.26 0.63 0.77 5,900.85 5,975.28
Ibovespa (Brazil) 38.93 26.15 2.26 4.88 (0.54) 74,293.51 75,975.71
MICEX (Rusia) 26.76 (7.34) (0.41) 2.72 (0.15) 2,077.19 2,068.76
Sensex (India) 1.95 24.53 5.99 (1.41) 2.00 31,283.72 33,157.22
Shanghai (China) (12.31) 10.09 2.03 (0.35) 1.13 3,348.94 3,416.81
Shenzhen (China) (14.72) 2.76 1.76 2.24 1.19 1,988.49 2,023.50
Hang Seng (China) 0.39 29.26 3.21 (1.49) (0.17) 27,554.30 28,438.85
JALSH (Afrika Selatan) (0.08) 15.91 5.64 (1.67) 1.32 55,579.92 58,714.04
KLCI (Malaysia) (3.00) 6.36 (0.54) (0.99) 0.31 1,755.58 1,746.13
SET (Thailand) 19.79 11.22 2.56 3.53 1.39 1,673.16 1,716.03
Borsa Istanbul (Turki) 8.94 38.07 4.84 (6.46) (0.56) 102,907.70 107,884.00
PCOMP (Filipina) (1.60) 21.27 1.52 2.67 (1.48) 8,171.43 8,295.95
FSSTI (Singapura) (0.07) 17.55 5.17 (1.75) 1.37 3,219.91 3,386.44
Indeks Saham
16
data PDB Inggris yang mengindikasikan pemulihan ekonomi mendorong imbal hasil Inggris ditutup
turun sebesar 2 bps mtd ke level 1,35%.
Sumber: Bloomberg Tabel 4. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Dari pasar domestik, penguatan Dolar AS juga turut menekan kinerja Rupiah yang dalam
beberapa hari terakhir telah mengalami koreksi. Selama bulan September 2017, Rupiah melemah
sebesar 0,97% m/m ke level 13.472 per Dolar AS. Rupiah kembali terdepresiasi sebesar 1,02% mtd
ke level 13.609 per Dolar AS pada periode pengamatan hingga tanggal 27 Oktober 2017. Pelemahan
Rupiah ini dipicu oleh sentimen global dan sejalan dengan pelemahan yang juga dialami mayoritas
mata uang global. Ekspektasi kenaikan Fed rate dan prospek mengenai likuiditas global berpotensi
meningkatkan risiko pada mata uang di negara berkembang, termasuk Rupiah.
Sebaliknya kinerja dalam negeri dinilai memberikan sentimen positif dalam menahan
depresiasi nilai tukar Rupiah. Realisasi inflasi terkendali dengan menunjukkan penurunan dari 3,72%
y/y di bulan September 2017 menjadi 3,58% y/y di bulan Oktober 2017. Cadangan devisa terus
meningkat dan mencetak rekor tertingginya ke level USD 129,4 miliar, naik USD 13,04 miliar
dibandingkan akhir tahun 2016. Neraca perdagangan bulan September 2017 juga mencatatkan
surplus sebesar USD 1,76 miliar, angka ini naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar USD
1,72 miliar.
Rilis data PDB Indonesia yang tumbuh positif di kuartal III 2017 diperkirakan juga dapat
menahan laju pelemahan Rupiah. Sebelumnya, pelaku pasar memperkirakan PDB Indonesia tersebut
tumbuh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pemerintah memproyeksikan PDB Indonesia akan
tumbuh ke level 5,2% y/y di kuartal III 2017, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang
sebesar 5,01% y/y. Bank Indonesia juga memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran
FY2016 YTD MTD 1M 1W Posisi Posisi
(bps) (bps) (bps) (bps, Sep-17) (bps) 29/09/2017 27/10/2017
Negara Maju
Amerika Serikat 17 (4) 7 20 2 2.33 2.41 2.42 9
Eropa (42) 18 (8) 11 (7) 0.46 0.38 0.61 15
Jepang (22) 3 0 6 (0) 0.07 0.07 0.05 (2)
Inggris (72) 11 (2) 34 2 1.37 1.35 1.33 (3)
Negara Berkembang
Indonesia (102) (115) 33 (23) 17 6.50 6.83 6.79 29
Brazil (511) (165) 2 (34) 12 9.73 9.76 10.69 96
India (125) 29 14 13 1 6.66 6.81 6.52 (14)
China 20 78 22 (5) 10 3.62 3.84 3.61 (1)
Afrika Selatan (87) 22 58 (3) 32 8.56 9.14 8.63 7
Malaysia 4 (18) 12 2 13 3.93 4.05 4.06 13
Thailand 15 (31) 5 (6) 7 2.29 2.34 2.46 17
2017*)Sovereign Bond Yield 10Yr(LCY)
Δ2017F (bps)
17
5%-5,4% y/y, ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, investasi dan ekspor diperkirakan
membaik seiring meningkatnya harga berbagai komoditas seperti CPO dan batu bara.
Menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia tumbuh sebesar 5,06% y/y
pada kuartal III 2017. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan terjadi pada seluruh komponen dengan
pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen ekspor barang dan jasa sebesar 17,27%. Sementara
itu, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto dan Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit
masing-masing tumbuh sebesar 7,11% dan 6,01%. Kepala BPS menyatakan beberapa faktor yang
turut mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia: peningkatan harga komoditas dan
perbaikan kondisi perekonomian global.
Sumber: CEIC dan Bloomberg Gambar 9. Perkembangan Net Buy dan Valuasi Saham
Sampai dengan akhir minggu ke-4 hingga Oktober 2017, investor asing masih mencatatkan net
sell pada pasar saham Indonesia. Setelah pada bulan September 2017, capital outflow tercatat
sebesar Rp 11,22 triliun, aksi jual terus berlanjut pada periode pengamatan hingga tanggal 27
Oktober 2017. Namun, net sell pada periode pengamatan tersebut cenderung menurun ke level Rp
7,65 triliun. Investor asing cenderung menjauhi aset-aset berisiko termasuk volatilitas di pasar
saham. Investor asing lebih memilih untuk berinvestasi di pasar obligasi mengingat return yang
masih menarik. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia.
Meskipun kepemilikan asing terpantau keluar dari pasar saham, namun laju IHSG masih
mencatatkan pertumbuhan yang positif mencapai 1,26% mtd ke level 5.975,28 (rentang periode
tanggal 2 Oktober 2017 hingga 27 Oktober 2017). Sepanjang tahun 2017, IHSG bahkan mencatatkan
pertumbuhan mencapai 12,81% ytd dan sempat membukukan rekor tertinggi sepanjang sejarah di
level 6.025,43 pada perdagangan tanggal 25 Oktober 2017. Penguatan IHSG ini ditopang oleh sektor
pertambangan dan sektor industri yang mengalami pertumbuhan masing-masing mencapai 11,36%
mtd dan 6,92% mtd.
4,000
4,250
4,500
4,750
5,000
5,250
5,500
5,750
6,000
-15
-10
-5
0
5
10
15
Sep
-14
Jan
-15
May
-15
Sep
-15
Jan
-16
May
-16
Sep
-16
Jan
-17
May
-17
Sep
-17
Perkembangan Net Buy Saham dan IHSG
Net Buy Saham (LHS) IHSG (eop, RHS)
Sep '17IHSG (eop) : 5,900.85Net Buy Saham : - Rp 11.22 Tn
-2.5-2.0-1.5-1.0-0.50.00.51.01.52.02.53.0
Se
p-0
7
Se
p-0
8
Se
p-0
9
Se
p-1
0
Se
p-1
1
Se
p-1
2
Se
p-1
3
Se
p-1
4
Se
p-1
5
Se
p-1
6
Se
p-1
7
Perkembangan PER Indonesia
Z +2.5% -2.5% +5.0% -5.0%
16.9
14.9
16.2
14.4
15.4
13.3
6.5
16.5
13.1
14.2
15.4
15.6
17.5
15.5
17.8
15.1
16.8
14.5
6.2
20.5
13.4
15.7
16.7
16.7
US
EU
JP
UK
ID
BR
RU
IN
CH
SA
MY
TH
Proyeksi P/E Ratio Antar Negara (2017 dan 2018)2017F 2018F
18
Sumber: DJPPR dan Bloomberg Gambar 10. Perkembangan Kepemilikan Asing di SBN, Net Buy SBN, dan Bid to Cover Ratio
Selama bulan September 2017, investor asing membukukan net buy di pasar obligasi Indonesia
hingga mencapai Rp 34,23 triliun. Angka ini merupakan kenaikan tertinggi secara bulanan. Namun,
imbal hasil global yang berada pada tren kenaikan juga tercermin pada pergerakan kepemilikan asing
di pasar obligasi Indonesia. Pada periode pengamatan hingga tanggal 27 Oktober 2017, kepemilikan
asing mengalami penurunan sebesar Rp 14,24 triliun ke level Rp 805,13 triliun (share 38,78%
terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan). Net sell tersebut turut memicu kenaikan pada
imbal hasil obligasi.
Sejalan dengan net sell tersebut, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami
koreksi sebesar +33 bps mtd ke level 6,83% di tanggal 27 Oktober 2017. Lelang SBN dan SBSN yang
diselenggarakan pemerintah selama bulan Januari 2017 hingga September 2017 masih mencatatkan
oversubscribed terlihat dari tingginya total penawaran yang masuk (incoming bid). Pada lelang bulan
Januari 2017-September 2017, tercatat peningkatan incoming bid mencapai Rp 354,11 triliun ke
level Rp 1.078,55 triliun. Sementara itu, bid accepted pada lelang bulan Januari 2016-September
2016 juga meningkat sebesar Rp 69,78 triliun ke level Rp 431,52 triliun.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
0
200
400
600
800
1,000
Se
p-1
4
De
c-1
4
Ma
r-1
5
Jun
-15
Se
p-1
5
De
c-1
5
Ma
r-1
6
Jun
-16
Se
p-1
6
De
c-1
6
Ma
r-1
7
Jun
-17
Se
p-1
7
Perkembangan Kepemilikan Asing di Surat Berharga Negara
Amount Foreign Ownership % Foreign Ownership
11,000
11,500
12,000
12,500
13,000
13,500
14,000
14,500
15,000-25
-15
-5
5
15
25
35
45
Se
p-1
4
De
c-1
4
Ma
r-1
5
Jun
-15
Se
p-1
5
De
c-1
5
Ma
r-1
6
Jun
-16
Se
p-1
6
De
c-1
6
Ma
r-1
7
Jun
-17
Se
p-1
7
Perkembangan Net Buy SBN dan Nilai Tukar
Net Buy SBN (LHS) Nilai Tukar (eop, RHS)
Sep '17USDIDR (eop) : 13,472Net Buy SBN : + Rp 34.23 Tn
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
0.0
75.0
150.0
225.0
300.0
375.0
450.0
525.0
600.0
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
20
16
9M
16
9M
17
Perkembangan Bid-to-Cover Ratio
Incoming Bid Bid Accepted Bid to Cover Ratio
20
Perbankan : Positif Namun Masih Lambat Tri Wahyuni
Sampai dengan akhir 3Q-17 kinerja industri perbankan menunjukan tren positif untuk
penghimpunan DPK yang tumbuh 11,7% y/y, lebih baik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar
9,7% y/y. Namun untuk ekspansi kredit sedikit melambat ke level 8,0% y/y dari capaian
sebelumnya 8,4% di bulan Agustus 2017.
Kualitas kredit menunjukan adanya perbaikan tercermin dari rasio gross NPL yang turun 18bps
y/y dan 15bps secara m/m, meski disisi lain terjadi kenaikan rasio kredit at risk ke level 11,2%
Kinerja sektor perbankan hingga akhir September 2017 terutama dalam menjalankan fungsi
intermediariesnya masih belum menunjukan perbaikan yang signifikan. Meskipun secara nominal
terdapat peningkatan, namun pertumbuhannya belum konsisten dan sepertinya sulit untuk
mencapai tingka pertumbuhan double digit. Penyaluran kredit tercatat sebesar Rp4.580,5 atau
tumbuh 8,0% y/y, melambat dibanding pertumbuhan kredit bulan Agustus 2017 yang mencapai
8,4% y/y. Level pertumbuhan ini lebih baik dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya yang
hanya tumbuh 6,3% y/y, namun masih lebih rendah dari laju pertumbuhan kredit periode yang sama
tahun 2015 yang dapat tumbuh hingga 11,1% y/y. Hal tersebut ditenggarai karena saat ini industri
perbankan masih melakukan konsolidasi atas portofolio kredit bermasalahnya seperti melakukan
hapus buku sementara disisi lain permintaan kredit juga masih terbatas.
Disisi lain tren pertumbuhan DPK terus menunjukkan peningkatan dalam 3 bulan terakhir,
yaitu 11,7% di September 2017. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan DPK di
September 2016 yang hanya tumbuh sebesar 3,2% y/y dan September. Membaiknya kinerja DPK
tersebut mendorong perbankan untuk dapat melakukan penurunan suku bunga simpanan yang pada
akhirnya juga dapat menurunkan suku bunga kredit. Penurunan tingkat bunga dana tersebut juga
terjadi sebagai respon dari langkah bank sentral (Bank Indonesia) yang masih mempertahankan bias
longgar kebijakan moneternya sepanjang tahun 2017. Tercatat saat ini suku bunga acuan 7 days
repo rate berada di level 4,25% setelah penurunan yang terakhir pada bulan September 2017.
Sumber : LPS Gambar 11. Pertumbuhan Kredit, DPK dan LDR
21
Untuk kualitas kredit (non performing loan-NPL) industri perbankan, setelah terjadi
perlambatan penurunan kualitas kredit sepanjang bulan April-Juli 2017 angka kualitas kredit di bulan
Agustus 2017 terjadi sedikit peningkatan menjadi 3,6% y/y. Namun di bulan September 2017 ini
pertumbuhan NPL kembali melambat ke angka 1,9% y/y. Secara nominal NPL bank naik dari Rp130,8
triliun menjadi Rp133,3 triliun y/y. Dari sisi rasio NPL gross kinerja hingga akhir September 2017 rasio
NPL berhasil turun sebesar 18bps dari 3,09% di bulan Agustus 2017 menjadi 2,91%.
Sumber: LPS Gambar 12. Kualitas Kredit Perbankan
Apabila memperhitungkan risiko kredit pada kategori non lancar (Kolek 2-5), jumlah kredit
yang perlu mendapat perhatian secara agregat sebesar 8,25% dari seluruh total kredit perbankan.
Untuk kredit restrukturisasi terjadi peningkatan di September 2017 dari Rp264,2 Triliun di Agustus
2017 menjadi Rp285,2 Triliun di periode ini. Selain itu jumlah kredit pada kolek 2 juga mengalami
peningkatan sebesar Rp11 Triliun secara m/m dari Rp233,3 Triliun di Agustus 2017 menjadi Rp244,6
Triliun di September 2017. Walaupun NPL gross mengalami penurunan dan pertumbuhan NPL secara
nominal mengalami perlambatan, namun industri perbankan tetap bersikap konservatif dengan
membentuk tambahan CKPN sebesar 12,4% y/y dari Rp138,9 triliun menjadi Rp156,2 triliun.
Hal yang juga perlu diperhatikan lebih jauh terkait adanya perbaikan pada rasio NPL adalah
masih adanya peningkatan rasio kredit at risk (rasio kredit Kol 2-5 plus kredit kol 1 restrukturisasi).
Tercatat hingga akhir September 2017 rasio kredit pada kelompok ini terhadap total kredit
mencapai 11,2%. Peningkatan pada rasio kredit ini dan jumlah kredit yang direstrukturisasi
mengindikasikan masih adanya risiko tersembunyi dari kualitas kredit (NPL) perbankan secara
umum. Hal ini yang menjadi dasar bagi perbankan untuk terus melakukan konsolidasi perbaikan
portfolio kredit dengan tentunya mengurangi ekspansi kredit baru yang memiliki risiko tinggi.
Meskipun perbankan saat ini melakukan ekspansi kredit secara selektif namun secara umum
kinerja laba perbankan masih cukup tinggi. Tercatat laba bersih industri perbankan hingga akhir 3Q-
17 dapat naik 17,7% secara y/y. Selain dikontribusikan dari perbaikan kualitas kredit peningkatan
laba tersebut juga didorong oleh membaiknya tingkat efisiensi industri perbankan yang tercermin
22
dari turunnya rasio BOPO menjadi 78,2% di periode yang sama. Disisi lain peningkatan laba yang
terjadi saat ini ditandai dengan adanya penurunan rasio NIM dari 5,2% di bulan September 2016 ke
4,9% (September 2017) akibat strategi penurunan suku bunga yang ditempuh bank serta belum
optimalnya fungsi intermediaries ditengah melimpahnya likuiditas bank.
Laju pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibanding kredit menjadikan likuiditas menjadi lebih
longgar, tercermin dari rasio LDR yang turun 310bps y/y ke angka 89,1%. Hal tersebut terkonfirmasi
juga dari angka rasio AL/NCD serta AL/DPK yang berada diatas threshold. Selain itu hingga akhir
September 2017 pertumbuhan dana murah juga sedikit lebih baik dibanding pertumbuhan dana
mahal, dimana giro dan tabungan dapat tumbuh masing-masing 12,7% y/y dan 9,4% y/y. Sementara
untuk deposito tumbuh 11,9% y/y. Lebih tingginya laju pertumbuhan giro ini mengindikasikan bahwa
aktivitas bisnis masih berjalan dan berpotensi untuk tumbuh. Sementara untuk laju pertumbuhan
deposito yang lebih lambat terjadi akibat sebagian masyarakat pemilik dana besar mencoba mencari
mencari instrumen investasi yang dapat memberikan return yang lebih menarik di tengah tren
penurunan suku bunga dana.
Sumber : LPS
Gambar 13. Growth DPK dan Alat Likuid
Kondisi permodalan industri perbankan secara umum hingga periode akhir September 2017
masih cukup kuat yang tercermin dari rasio KPMM sebesar 22,7% atau meningkat 20bps dibanding
periode September 2016 yang mencapai 22,5%. Hal tersebut ditopang oleh akumulasi laba serta
adanya penambahan modal disetor pada beberapa bank. Dengan rasio KPMM yang masih memadai
ini industri perbankan dinilai masih memiliki ruang untuk melakukan ekspansi usaha sekaligus
memiliki buffer yang cukup untuk memitigasi risiko terutama jika terjadi pemburukan pada kualitas
kredit. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian terkait level permodalan yang dimiliki bank saat
ini adalah bahwa beberapa bank memiliki rasio kecukupan modal yang masih terbatas, sementara
disisi lain bank tersebut memiliki potensi risiko atas kualitas kredit yang dimilikinya. Kondisi ini
selanjutnya dapat sumber kerentanan yang perlu diperhatikan di level individual bank. Penguatan
permodalan perlu terus menjadi perhatian bank ke depan mempertimbangkan bahwa potensi risiko
dari penurunan kualitas kredit masih besar. Berakhirnya periode relaksasi terhadap pengelolaan
23
kredit khususnya proses restrukturisasi berpotensi mendorong peningkatan risiko kredit sehingga
dalam kondisi ini kekuatan permodalan internal bank menjadi kunci penting yang harus diperkuat
lebih jauh.
Sumber : LPS Gambar 14. Kondisi Permodalan Sektor Perbankan
Tren suku bunga bank benchmark untuk deposito rupiah yang dipantau LPS (suku bunga
pasar) secara rata-rata sampai dengan pertengahan Oktober 2017 terlihat masih dalam tren
menurun khususnya pada produk rupiah. Penurunan yang terjadi di produk rupiah ini terjadi secara
konsisten sejak awal tahun bahkan sejak pertengahan September 2017 terjadi penurunan tingkat
bunga yang cukup besar akibat strategi pemangkasan bunga yang dilakukan oleh bank-bank di
kelompok buku 4 sehingga secara tidak langsung berdampak pada seluruh tingkat bunga di
kelompok buku. Kondisi yang sedikit berbeda terjadi pada suku bunga pasar valuta asing yang secara
umum menunjukkan kecenderungan flat dan meningkat terbatas di akhir periode. Sepanjang tahun
2017 pergerakan tingkat bunga dana valas cenderung stabil di tengah kondisi fluktuasi nilai tukar
yang juga relatif kecil dan masih terbatasnya permintaan terhadap kredit valas.
Sumber: LPS Gambar 15. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Valas
24
Membaiknya kondisi likuiditas perbankan memberikan insentif yang cukup kepada perbankan
untuk melakukan penyesuaian tingkat bunga dana. Ruang penurunan tingkat bunga dana khususnya
untuk rupiah diperkirakan masih cukup terbuka hingga akhir tahun meskipun cenderung akan sedikit
tertahan menyusul kecenderungan beberapa bank di kelompok buku 2 dan 1 yang defensif terhadap
penurunan tingkat bunga lebih dalam. Disamping itu secara pola musiman terdapat potensi bank-
bank tertentu untuk lebih defensif mempertahankan komposisi dan pencapaian dana di
penghunjung akhir tahun sebagai indikator kinerja internal.
26
Industri Ritel : Diantara Bayang Pelemahan Daya Beli Ahmad Subhan
Pelemahan bisnis ritel terjadi akibat bebarapa faktor antara lain; pelemahan daya beli konsumen,
perubahan perilaku transaksi dan konsumsi serta tingkat kompetisi yang sangat ketat serta isu
peningkatan biaya operasional.
Bagi perbankan perlambatan kinerja pada penjualan ritel juga memiliki dampak yang besar
sebab portfolio pada sektor ini mencapai sekitar 19% dari total portfolio kredit nasional.
Dalam beberapa waktu terakhir, isu perlambatan kinerja penjualan yang dialami bisnis ritel
kembali menjadi perbincangan. Hal ini menyusul rilisnya data pertumbuhan ekonomi kuartal III yang
hanya mencapai 5,06% sehingga dinilai banyak pihak akan sulit mencapai target pertumbuhan
pemerintah tahun 2017 sebesar 5,2%. Salah satu kekhawatiran yang paling mengemuka adalah
perlambatan sektor konsumsi terus terjadi sementara sektor ini adalah penyokong utama
pertumbuhan ekonomi. Perlambatan konsumsi tersebut secara jelas terefleksi dari penjualan ritel
yang juga ikut melemah di berbagai daerah khususnya di Jawa. Beberapa hipotesa awal yang sering
diungkapkan terkait pelemahan bisnis ritel ini antara lain adalah telah terjadinya pelemahan daya
beli konsumen, perubahan perilaku transaksi dan konsumsi serta tingkat kompetisi yang sangat ketat
hingga isu biaya operasional yang berdampak negatif pada margin banyak perusahaan ritel. Harus
diakui bahwa membuktikan berbagai hipotesa tersebut tidaklah mudah apalagi jika kemudian
menyimpulkan bahwa salah satu diantaranya adalah faktor tunggal penyebab pelemahan kinerja
bisnis ritel.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melalui ketuanya mengungkapkan bahwa
fenomena yang dialami industri ritel saat ini merupakan fenomenal anomali. Pasalnya, secara makro
ekonomi kondisi Indonesia saat ini masih cukup baik. Anomali ini menurutnya sudah berlangsung
selama 2,5 tahun terakhir dimulai ketika pertengahan 2013 lalu atau pasca booming komoditas.
Kondisi saat ini menunjukkan industri ritel domestik mengalami tekanan dari dua sisi secara
bersamaan yang pertama berasal dari perubahan pola konsumsi masyarakat dan disisi lain adalah
kenaikan biaya operasi mencakup sewa tempat, tenaga kerja, dan energi. Kondisi tersebut
diperburuk pula dengan adanya sinyal pelemahan daya beli. Sehingga dengan alasan untuk efisiensi
banyak para peritel memilih menutup atau merelokasi gerai-gerai yang kinerjanya masih kurang
baik, untuk tujuan menghemat pengeluaran dan memperbaiki kinerja keuangan.
Lebih jauh para pengusaha ritel juga mengungkapkan kondisi ini pernah dialami pada saat
krisis moneter tahun 1997-1998, dimana saat itu peritel memang terpukul akibat penurunan daya
beli yang drastis. Hal yang sangat membedakan dari kondisi saat itu terletak pada adanya fenomena
baru perubahan pola konsumsi masyarakat terutama melalui lahirnya bisnis e-commerce dan
perubahan preferensi terhadap lifestyle, leisure termasuk travelling. Perubahan pola konsumsi dari
ritel ke online dan travelling serta leisure tergambar nyata dari pertumbuhan bisnis online yang
pesat dan maraknya orang yang berlibur dan travelling ke luar negeri.
Hasil Survei Penjualan Eceran yang dilakukan BI di bulan Oktober 2017 mengindikasikan
penurunan penjualan ritel masih akan terus terjadi, indikasi lain bahwa perlambatan masih akan
berlangsung juga ditunjukkan dari hasil survei indeks keyakinan konsumen untuk periode 3 dan 6
27
bulan mendatang. Berdasarkan hasil survei, Indeks Penjualan Ritel (IPR) Oktober hanya tumbuh 1,3%
y/y. Pertumbuhan itu melambat dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 1,8% y/y. Sementara
jika ditinjau ke kebelakang IPR September juga telah mengalami melambat dibanding bulan
sebelumnya yang masih tumbuh 2,2% y/y. Penyebab utama perlambatan penjualan ritel pada bulan
Oktober terjadi karena adanya kontraksi pada kelompok non makanan sebesar 9,4% y/y, lebih tajam
dibandingkan kontraksi September yang sebesar 6,2% y/y, penurunan terbesar terjadi pada
kelompok peralatan informasi dan komunikasi. Meski demikian disaat yang sama penjualan ritel
kelompok makanan masih mencatat pertumbuhan sebesar 9,3% y/y, lebih baik dibanding
pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 7,6% y/y. Peningkatan terutama terjadi pada
penjualan produk bahan makanan, makanan jadi, dan tembakau.
Sumber: Bank Indonesia Gambar 16. Survey Indeks Penjualan Ritel (Makanan dan Non Makanan)
Tercatat sejak awal tahun hingga Oktober 2017, pertumbuhan IPR secara tahunan
cenderung melambat. Begitu juga dengan pertumbuhan IPR secara bulanan yang cenderung
terkontraksi. Kecuali, bulan Juni yang pertumbuhannya secara tahunan lebih tinggi dan secara
bulanan tumbuh positif disebabkan faktor puasa dan Lebaran. Responden juga memperkirakan,
penjualan ritel akan meningkat di Desember 2017 dan menurun di Maret 2018. Hal itu terindikasi
dari Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) tiga bulan ke depan sebesar 153,1, lebih tinggi dibanding
bulan sebelumnya sebesar 141. Dan IEP enam bulan ke depan sebesar 136, turun dari bulan
sebelumnya sebesar 141,4.
Sementara itu survei indeks keyakinan konsumen pada bulan Oktober 2017 memperkirakan
konsumen akan cenderung menahan konsumsi dan menambah tabungan. Hal tersebut sejalan
dengan melemahnya optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi. Hal ini terindikasi dari
penurunan rasio konsumsi terhadap total pendapatan, dari 66,4% pada September 2017, menjadi
65,7% di bulan Oktober. Penurunan juga terjadi pada porsi pendapatan yang digunakan untuk cicilan
pinjaman, dari 14,4% menjadi 14,1%, sebaliknya porsi tabungan konsumen terhadap pendapatan
meningkat 19,2% menjadi 20,2%. Pada Oktober 2017, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi
saat ini melemah dari bulan sebelumnya. IKE Oktober 2017 tercatat sebesar 107,6, turun 2,7 poin
28
dari September 2017. Penurunan terjadi pada seluruh komponen pembentuk indeks mencakup
indeks ketersediaan lapangan kerja menurun 5,8 poin menjadi 98,2 Sementara itu, indeks
penghasilan konsumen turun 0,1 poin dari bulan sebelumnya menjadi 114,5.
Sumber: Bank Indonesia Gambar 17. Survei Keyakinan Konsumen
Data realisasi kinerja penjualan ritel khususnya produk FMCG di lapangan yang berhasil
dikumpulkan melalui survei AC Nielsen menunjukkan bahwa hingga akhir 3Q-17, angka penjualan
ritel hanya tumbuh sebesar 2,7% secara YTD. Kondisi ini jauh menurun dibandingkan kinerja rata-
rata tahunan yang mencapai sekitar 11%, meskipun disaat yang sama angka inflasi mampu
dikendalikan dibawah 4% jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan meskipun
tingkat kenaikan harga yang terjadi tidak setinggi pada periode-periode sebelumnya. Bahkan hasil
yang cukup mengejutkan adalah pertumbuhan pada periode lebaran tahun 2017 hanya mencapai
sekitar 5%, jauh dibawah pertumbuhan pada periode lebaran yang umumnya setiap tahun naik
antara 13-38%. Fakta yang lalu menjadi dasar munculnya hipotesis bahwa telah terjadi penurunan
daya beli di masyarakat namun apakah penyebab utama penurunan daya beli tersebut dan apakah
penurunan daya beli tersebut terjadi pada semua lapisan konsumen atau sebaliknya hanya terjadi
pada sebagian kelompok saja.
Sumber: AC Nielsen Gambar 18. Pertumbuhan Penjualan Produk FMCG (YTD 2017 dan Periode Lebaran)
29
Penjelasan awal mengenai penurunan daya beli dapat dilihat dari laju pertumbuhan
pendapatan pekerja formal (UMR-Upah Minimum Regional) yang terjadi sepanjang 3 tahun terakhir.
Meskipun setiap tahun mengalami kenaikan namun lajunya semakin rendah sejalan dengan
pertumbuhan dan laju inflasi. Keluarnya aturan pemerintah yang menggunakan pertumbuhan
ekonomi dan laju inflasi sebagai basis kenaikan upah menyebabkan peningkatan penghasilan pekerja
di kelas menengah bawah menjadi terbatas. Disisi lain perlambatan ekonomi yang sudah mulai
berlangsung sejak berakhirnya era harga komoditas tinggi menyebabkan produksi berkurang
sehingga sumber pendapatan lain di luar upah seperti hasil kerja lembur, insentif, komisi produksi
dan lainnya ikut mengalami penurunan, akibatnya secara riil take home pay karyawan secara rata-
rata sebenarnya mengalami penurunan. Langkah pemerintah yang menaikkan beberapa harga
komoditas seperti listrik dan gas juga ikut berkontribusi terhadap kondisi diatas. Keputusan
menaikkan tarif listrik kelompok 900 watt sebanyak 3 kali sepanjang tahun ini diyakini berdampak
cukup singnifikan pada pola pengeluaran dan konsumsi kelompok masyarakat bawah.
Sumber: BPS Gambar 19. Pertumbuhan Rata- Rata UMR Nasional
Hasil survei terbaru yang dilakukan AC Nielsen terkait perubahan pola konsumsi rumah
tangga menunjukkan pula bahwa secara umum pengeluaran rumah tangga masih menunjukkan
peningkatan dibandingkan tahun lalu rata-rata 10-12% pada semua kelompok status ekonomi. Meski
demikian jika dibuka lebih detail berdasarkan kelompok pengeluaran dan alokasinya maka terjadi
perubahan yang cukup signifikan. Tiga jenis pengeluaran yang naik pesat sepanjang 2017 adalah
pengeluaran untuk lifestyle, pendidikan dan makanan (produk segar dan kebutuhan pokok).
Kelompok status ekonomi atas adalah kelompok yang paling menahan konsumsi dengan
pertimbangan penghematan dan investasi untuk keperluan masa datang.
30
Sumber: AC Nielsen Gambar 20. Pola dan Pertumbuhan Pengeluaran Rumah Tangga Indonesia
Fakta lain yang terungkap dari pola konsumsi di kelompok FMCG sebagai basis utama bisnis
ritel menunjukkan bahwa kelompok status ekonomi atas adalah kelompok yang paling rasional
dalam hal pengeluaran. Selain itu kelompok ini adalah yang paling minim terkena dampak dari
kenaikan harga karena mampu secara efisien memanfaatkan promosi dan diskon yang diberikan.
Disisi lain kelompok status ekonomi menengah sejauh ini masih mampu menyerap kenaikan harga
sehingga masih mencatatkan pertumbuhan positif pada konsumsi. Kondisi yang lebih berat justru
dihadapi kelompok ekonomi terbawah akibat keterbatasan pendapatan dan leverage kas sehingga
secara terpaksa mengurangi konsumsi secara intensitas dan volume meskipun secara nominal masih
tumbuh. Fakta diatas semakin memperkuat argumen bahwa kalangan rumah tangga ekonomi
menengah ke atas cenderung menahan pembelian produk konsumsi agar dapat memenuhi
kebutuhan lifestyle, leisure dan sebagian tentunya untuk investasi, sementara masyarakat
menengah ke bawah yang produktivitasnya cenderung rendah tidak banyak memiliki pilihan lain
akibat daya beli yang tergerus.
Sumber: AC Nielsen Gambar 21. Pertumbuhan Konsumsi FMCG Keluarga Indonesia 2H-17
31
Mencermati kondisi diatas tentu pilihan bagi pelaku bisnis ritel yang paling rasional adalah
melakukan efisiensi dan inovasi diantaranya melalui penutupan bisnis/outlet yang kurang produktif
dan fokus pada outlet yang paling paling profitable. Selain itu itu pelaku bisnis ritel juga terus
berusaha melakukan efisiensi tenaga kerja dan mendorong produktivitas, termasuk pula melakukan
inovasi di model penjualan misalnya dengan joint tenant, refreshment outlet hingga beralih ke
konsep mini convenience store yang lebih menarik semuanya langkah tersebut dilakukan untuk satu
tujuan menjaga kinerja penjualan dan tentunya keuangan perusahaan.
Sumber: AC Nielsen & E-Market Gambar 22. Profil Kunjungan Konsumen (dalam kali per bulan) dan Pertumbuhan Penjualan E-Commerce Indonesia(USD Bn)
Bagi kalangan perbankan terjadinya perlambatan kinerja pada penjualan ritel juga memiliki
dampak yang besar sebab sektor ritel yang direpresentasikan dengan portfolio pada sektor
perdagangan (wholesale & ritail) memiliki proporsi cukup besar sekitar 19% dari total portfolio kredit
nasional yang mencapai Rp 4.500 triliun lebih. Data terbaru dari beberapa bank besar bahkan
memperlihatkan penyaluran kredit komersial khususnya ke sektor perdagangan telah menjadi
masalah yang perlu diperhatikan. Kredit segmen ini menjadi penyumbang terbesar kenaikan kredit
bermasalah alias non performing loan (NPL) perbankan. Ini tercermin dari sejumlah bank besar yang
mengalami kenaikan rasio NPL. Saat ini tercatat ada dua bank yang rasio NPL di kredit komersial
tinggi. Yakni, PT Bank Mandiri Tbk memiliki rasio NPL kredit komersial sebesar 10,16% per
September 2017. Angka ini naik 382 basis poin (bps) dari posisi NPL 6,34% per September 2016. Lalu,
PT Bank CIMB Niaga Tbk mencatat rasio NPL komersial sebesar 8% per September 2017. Rasio kredit
bermasalah ini mulai membaik dibandingkan posisi 8,3% di September 2016.
Hal yang sama juga dialami bank PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang mengalami
kenaikan rasio NPL sektor menengah komersial. Adapun, NPL menengah komersial ini terbagi
menjadi dua. Yakni, sektor kecil komersial mempunyai NPL 3,49% dan sektor menengah mencatat
NPL 6,06% per September 2017. Secara terbuka pihak BRI mengungkapkan NPL sektor menengah
komersial BRI utamanya berasal dari sektor perdagangan. Hal ini diduga terjadi karena toko
tradisional kalah bersaing dengan ritel modern dan perdagangan online atau e-commerce. Secara
32
khusus BRI menganjurkan debitur masuk ke sektor produktif dan memanfaatkan pasar online untuk
memasarkan produk. Problem NPL komersial dari sektor perdangangan juga dihadapi Bank BNI yang
menyebutkan bahwa sektor yang menyumbang NPL komersial terbesar adalah perdagangan,
restoran dan hotel. BNI mencatat NPL ketiga sektor tersebut sebesar 3,9% per kuartal ketiga ini.
Untuk menjaga NPL sektor komersial secara khusus BNI akan lebih menjaga proses pemberian kredit
secara terjaga atau prudent.
Lalu bagaimana sebenarnya prospek sektor perdagangan ritel ini ke depan khususnya hingga
akhir tahun 2017. Beberapa pihak masih meyakini bahwa tingkat penjualan ritel dalam jangka
pendek masih berpotensi meningkat. Alasannya, dari sisi permintaan masih ada kemungkinan
pertumbuhan asalkan tidak ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik
dan gas elpiji 3 kg hingga tahun depan. Kalangan bisnis bahkan berharap fenomena perlambatan ini
lebih ke kearah penundaan pembelian akibat adanya penyesuaian konsumsi pasca pencabutan
subsidi listrik. Selain itu, tanda-tanda kenaikan daya beli juga terlihat dari sisi eksternal. Harga
komoditas non migas, seperti minyak kelapa sawit mulai naik sehingga hal ini dapat mendorong
kenaikan pendapatan di daerah basis komoditas, selain tentunya adalah efek peningkatkan
penjualan karena perayaan Natal dan Tahun Baru. Meskipun disisi lain diyakini pula bahwa kenaikan
penjualan ritel menjelang akhir tahun ini tidak akan lebih besar dibandingkan tahun lalu.
34
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Risiko industri perbankan Indonesia masih dalam kondisi normal. Berdasarkan update data
perbankan bulan Agustus 2017 dan data pasar bulan Oktober 2017, angka BSI pada bulan
Oktober 2017 mengalami sedikit peningkatan sebesar 2 bps bila dibandingkan dengan angka BSI
pada bulan September 2017, yaitu dari 99,56 menjadi 99,58.
Berdasarkan update data market bulan Oktober 2017, angka sementara Banking Stability Index
(BSI) untuk periode Oktober 2017 mengalami peningkatan terbatas sebesar 2 bps, yaitu dari 99,56
pada bulan September 2017 menjadi 99,58. Peningkatan yang terjadi pada BSI bulan Oktober
didukung dengan adanya peningkatan yang terjadi pada Sub Indeks Market Pressure (MP) dan Sub
Indeks Interbank Pressure (IP), sementara Sub Indeks Credit Pressure (CP) mengalami penurunan. Sub
Indeks MP mengalami peningkatan sebesar 12 bps dari 99,85 pada bulan September 2017 menjadi
99,97 pada bulan Oktober 2017 dan Sub Indeks IP mengalami peningkatan sebesar 70 bps dari 99,21
pada bulan Juli 2017 menjadi 99,91 pada bulan Agustus 2017. Sebaliknya, Sub Indeks CP mengalami
penurunan sebesar 7 bps dari 99,19 pada Juli 2017 menjadi 99,12 pada Agustus lalu. Angka BSI pada
bulan Oktober 2017 yang berada pada level 99,58 menunjukkan risiko industri perbankan Indonesia
berada pada kondisi “Normal”.
Sumber: LPS
Gambar 23. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP)
Pada bulan Agustus 2017 rasio gross NPL mengalami sedikit peningkatan. Rasio gross NPL
meningkat sebesar 5 bps dari 3,00% pada bulan Juli 2017 menjadi 3,05% pada bulan Agustus 2017.
Meskipun mengalami peningkatan, namun kekuatan modal perbankan masih cukup tinggi sehingga
masih bisa digunakan untuk mengantisipasi risiko kenaikan gross NPL tersebut. Rasio permodalan
perbankan pada bulan Agustus 2017 tercatat sebesar 23,34%, meningkat 11 bps dari bulan Juli 2017
yang sebesar 23,23%. Angka gross NPL pada bulan Agustus 2017 masih lebih baik jika dibandingkan
dengan NPL pada bulan Agustus tahun 2016 yang mencapai angka 3,22%.
Di sisi likuiditas, LDR industri mengalami penurunan sebesar 3 bps dari 89,20% di bulan Juli
2017 menjadi 89,17% di bulan Agustus 2017. Pada bulan Agustus 2017, terjadi kenaikan baik dari sisi
kredit MoM maupun dari sisi DPK MoM. Pada bulan Agustus 2017, kredit MoM mengalami
35
peningkatan sebesar 0,44% dan DPK MoM mengalami peningkatan sebesar 0,47%. Secara YoY,
pertumbuhan kredit pada bulan Agustus 2017 sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan
pertumbuhan kredit yang terjadi pada bulan Juli 2017. Sebaliknya, pertumbuhan DPK secara YoY
pada bulan Agustus 2017 melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan DPK yang terjadi pada
bulan Juli 2017. Pada bulan Agustus 2017 kredit YoY mengalami pertumbuhan sebesar 7,89%,
meningkat jika dibandingkan dengan bulan Juli 2017 yang sebesar 7,85%, sementara DPK YoY
mengalami pertumbuhan sebesar 8,93% turun jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan
Juli 2017 yang sebesar 9,03%.
Pada bulan Agustus 2017, ROE perbankan mengalami penurunan. ROE menurun sebesar 19
bps dari 14,76% pada Juli 2017 menjadi 14,57% pada bulan Agustus 2017. Penurunan yang terjadi
pada ROE di bulan Agustus 2017 sejalan dengan meningkatnya NPL pada periode yang sama.
Meskipun mengalami penurunan, nilai ROE pada bulan Agustus 2017 masih lebih baik jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016 yang hanya menyentuh level 13,70%.
Suku bunga kredit kembali mengalami penurunan untuk semua jenis kredit. Pada bulan
Agustus 2017 suku bunga kredit untuk modal kerja mengalami penurunan sebesar 4 bps dari 11,11%
pada bulan Juli 2017 menjadi 11,07%. Suku bunga kredit untuk investasi mengalami penurunan
sebesar 6 bps dari 10,97% di bulan Juli 2017 menjadi 10,91% di bulan Agustus 2017. Suku bunga
untuk kredit investasi mengalami penurunan sebesar 11 bps dari 13,14% di bulan Juli 2017 menjadi
13,03% pada bulan Agustus 2017.
Data bulan Agustus 2017 menunjukkan terjadi peningkatan di sisi penempatan dana antar
bank riil, yaitu dari Rp 110,64 triliun pada Juli 2017 lalu menjadi Rp 128,54 triliun. Sementara, JIBOR
O/N mengalami penurunan sebesar 26 bps, yaitu dari 4,36% pada bulan Juli 2017 menjadi 4,10%
pada bulan Agustus 2017.
Sumber: LPS
Gambar 24. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP)
Pada akhir bulan Oktober 2017, Sub Indeks MP mengalami peningkatan. Peningkatan ini
dipicu oleh adanya pelemahan dari dua Sub Indeks MP, yaitu imbal hasil obligasi pemerintah
bertenor 10 tahun dan nilai kurs tengah rupiah terhadap dolar AS di akhir Oktober 2017.
Sementara Sub Indeks MP lainnya, yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami
peningkatan performa. Pada akhir bulan Oktober 2017 nilai kurs tengah rupiah terhadap dolar AS
36
kembali mengalami depresiasi jika dibandingkan dengan nilai pada akhir bulan sebelumnya. Nilai
kurs tengah rupiah terdepresiasi sebesar 0,59% MoM dari 13,492 di bulan akhir September 2017
menjadi 13,572 di akhir bulan Oktober 2017. Rencana Bank Sentral AS, The Federal Reserve,
untuk kembali menaikan suku bunga di akhir tahun ini ditenggarai menjadi salah satu faktor yang
menekan rupiah.
Di sisi pasar hutang, imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun pada bulan
Oktober 2017 mengalami pelemahan. Imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun bulan
Oktober 2017 mengalami peningkatan sebesar 30 bps dari 6,49% pada akhir September 2017
menjadi 6,79% pada akhir Oktober lalu. Pelemahan yang terjadi pada imbal hasil obligasi
pemerintah untuk tenor 10 tahun ini seiring dengan terjadinya capital outflow sebesar Rp 6,2
Triliun di sepanjang bulan Oktober 2017. Sementara itu, IHSG pada penutupan di akhir bulan
Oktober 2017 mencapai 6.005,78 meningkat dari posisi akhir bulan sebelumnya yang berada di
level 5.900,85. IHSG pada penutupan bulan Oktober 2017 ini juga jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan penutupan pada periode yang sama di tahun 2016 yang berada di level
5.422,54.
37
KOORDINATOR
Fauzi Ichsan, Didik Madiyono
Moch. Doddy Ariefianto, Ahmad Subhan Irani, Tri Wahyuni, Hendra Syamsir, Seto Wardono
Joshua Hasiholan Mangunsong, Ilham Rehda Sarifudin, Dienda Siti Rufaedah, Sarita Amalina
ANALIS
Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga
Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan
penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap
berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan
Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai
perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas
perbankan.
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada :
Group Surveilans dan Stabilitas Sistem Keuangan
Group Riset
Direktorat Riset, Surveilans dan Pemeriksaan
Equity Tower lantai 39
Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9
Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telp : +62 21 515 1000 ext 340
Email : [email protected]
Website : www.lps.go.id
PENGARAH
40
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 November - 30 November 2017
Negara Tanggal Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat 2-November-17 Suku Bunga Acuan
3-November-17 Tingkat Pengangguran Oktober 2017
15-November-17 Inflasi Oktober 2017
Zona Euro 14-November-17 PDB 3Q17
16-November-17 Inflasi Oktober 2017
23-November-17 Suku Bunga Acuan
Jepang 15-November-17 PDB 3Q17
20-November-17 Neraca Perdagangan Oktober 2017
Brazil 2-November-17 Neraca Perdagangan Oktober 2017
30-November-17 Tingkat Pengangguran Oktober 2017
Rusia 7-November-17 Inflasi Oktober 2017
10-November-17 Neraca Perdagangan September 2017
20-November-17 Tingkat Pengangguran Oktober 2017
India 10-November-17 Neraca Perdagangan Oktober 2017
13-November-17 Inflasi Oktober 2017
30-November-17 PDB 3Q17
China 8-November-17 Neraca Perdagangan Oktober 2017
9-November-17 Inflasi Oktober 2017
Afrika Selatan 22-November-17 Inflasi Oktober 2017
23-November-17 Suku Bunga Acuan
Indonesia 1-November-17 Inflasi Oktober 2017
6-November-17 PDB 3Q17
16-November-17 Suku Bunga Acuan
Sumber: LPS