perjalanan politik siauw giok tjhan -...
TRANSCRIPT
1
Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan
Siauw Tiong Djin1
Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai ketika ia pada
tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18 tahun.
Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di Surabaya, yang
hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan siswa non Belanda pilihan, artinya
anak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan
baik dengan penjajah Belanda.
Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung. Walaupun sudah yatim piatu,
guru-guru HBS yang menyayanginya berhasil mengumpulkan dana sebagai bea-
siswa untuk Siauw menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama.
Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno juga belajar.
Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di
zaman Demokrasi Terpimpin, Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap
bersahabat karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi sponsor
jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang mencanangkan paham
integrasi.
Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena pendidikan di HBS.
Bukan karena ia bersahabat dengan seorang “pribumi” Ruslan Abdulgani, atau
seorang teman peranakan Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian
menjadi anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer.
Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu, karena
posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi yatim piatu. Dari anak
yang tadinya dikelilingi kemewahan, menjadi anak yang harus memikirkan
bagaimana menyambung hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan
adik satu-satunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14 tahun.
Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh
peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin Tit Po. Liem Koen Hian
memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa memilih Indonesia sebagai tanah air”
dan sekaligus mengajaknya berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa Indonesia
(PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932.
Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan, pertama di
harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di harian Matahari yang dipimpin
oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan Tionghoa lain yang juga mendukung konsep
Indonesia adalah tanah air Tionghoa Indonesia. Bekenalan-lah Siauw dengan
tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto Mangunkusumo,
Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad Yamin.
1 Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat hidup ayahnya dan telah
menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca.
2
Perkenalan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno dan Hatta dilakukan
melalui korespondensi. Siauw memuat karangan-karangan mereka di harian
Matahari atau menyalurkan inspirasi mereka melalui tulisan-tulisannya.
Ternyata hubungan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo yang pada tahun 1912,
bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, lebih
mengisi pengertian Siauw muda tentang Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan
Indonesia, sebuah pengertian yang ia pahami secara baik. Dari sini lahirlah visi
politik, yang menjadi dasar perjuangan politiknya setelah kemerdekaan, yaitu
sebanyak mungkin komunitas Tionghoa harus menjadi warga negara Indonesia.
Siauw menganggap Dr Tjipto Mangunkusumo salah satu guru politik yang ia sangat
hormati.
Tentunya visi ini ia padukan dengan apa yang ia pelajari dari para teman
senior-nya tentang pengertian bangsa/nasion, golongan minoritas keturunan asing
dan diterimanya Indonesia sebagai tanah air: Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan
Ling Djie dan Tjoa Sik Ien.
Para tokoh peranakan Tionghoa ini sadar bahwa sistem kolonialisme di mana
masyarakat dikotak-kotakkan – pribumi, Tionghoa dan Eropa, telah mencetak
rasisme. Sebuah sikap yang ternyata berkelanjutan setelah kemerdekaan
diproklamasikan.
Dimulailah perjalanan politik Siauw yang panjang, meliputi berbagai zaman.
Perjalanan yang didasari atas keinginannya berpartisipasi dalam pembangunan
nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, mengajak sebanyak mungkin
komunitas Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dan berjuang gigih
melawan rasisme.
Di awal kemerdekaan visi dan keyakinan ini membuatnya berlawanan
dengan pandangan main-stream Tionghoa yang ia wakili dan bela. Dan di
berbagai zaman, karena aliran politiknya, ia meringkuk dalam tahanan sebagai
tahanan politik, terakhir selama dua belas tahun di zaman pemerintahan Suharto.
Akan tetapi ia tetap teguh dengan visi dan pendiriannya.
Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia
Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa
Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu untuk merumuskan aspirasi
komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara
Indonesia merdeka yang sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno.
Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa yang memainkan
peran penting dalam sejarah Indonesia itu dituturkan secara panjang lebar oleh
Siauw dalam memoar-nya 2.
2 Siauw Giok Tjhan, "Renungan Seorang patriot Indonesia", Siauw Tiong Djin (Ed), Lembaga kajian Sinergi
Indonesia, pp114-118
3
Masalah nasion Indonesia dan kewarganegaraan Indonesia didiskusikan
dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Menurut mereka: "Rumusan keberadaan
sebuah bangsa (nasion) yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal
keturunan dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut
memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun 1912 dengan berdirinya
Indische partij pada tahu 1912 yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara". Selanjutnya diskusi itu juga
mempertegas: "perlunya diciptakan Undang-Undang yang melarang praktek-
praktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya
persamaan hak dan kewajiban" 3.
Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa hal yang menjadi
dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zaman-zaman mendatang: "1. nasionalisme
tidak boleh meluncur menjadi chauvinisme; 2. hanya ada satu macam
kewarganegaraan dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan
sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 4. mewujudkan
demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil, sehingga kepentingan rakyat
terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD harus tegas dalam ketentuan yang menjamin
didahulukannya kepentingan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan
apa-pun" 4.
Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak lama setelah
kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1
November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan
tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu "menjadikan
semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat
Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin".
Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan Indonesia lebih
terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat berperan dalam bidang itu.
Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di
dalam berbagai lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante, DPR-
GR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan minoritas di kabinet
Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948) dan menjadi anggota DPA di zaman
Demokrasi terpimpin (1959-1965).
Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat tokoh Tionghoa
digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw turut merumuskan UU
Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini
menjadikan semua penduduk yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan,
warga Negara Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk
menolak kewarganegaraan Indonesia.
UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam Maklumat
Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan
asing di Indonesia, warga negara Indonesia.
3 Sama seperti di atas, pp 114-115 4 sama seperti di atas, p 118
4
Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata menimbulkan berbagai
kompromi politik yang sempat merugikan pengukuhan Indonesia sebagai negara
kesatuan. Pada tahun 1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk
Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negara-negara boneka buatan
Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian Konperensi Meja Bundar,
walaupun berisi berbagai hal yang merugikan Indonesia, tetapi ternyata
mempertahankan UU kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu
untuk menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951.
RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia pulih berdiri
sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua wilayah yang dijajah Belanda.
Dimulai-lah masa yang dikenal sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959)
di mana pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas dukungan
suara mayoritas DPR.
Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR sebagai wakil golongan
Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang sebagai seorang anggota parlemen
yang ulung di masa ini. Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan
minoritas, ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia
membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang cukup berpengaruh.
Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai kebijakan rasis, yang
pada saat itu dikenal sebagai kebijakan "asli-asli-an". Berbagai tokoh politik pribumi
menginginkan peran Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan
dihilangkan, demi memberi peluang untuk pedagang-pedagang “pribumi”.
Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang dalam dua kategori, "asli"
dan "tidak asli". Komunitas Tionghoa masuk dalam kategori "tidak asli" sehingga
harus disisihkan.
Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU yang mengandung
kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal utama.
Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang dinamakan "asli" atau
"tidak asli". Nasion Indonesia bukan Indonesian race seperti bangsa Aria untuk
wilayah Jerman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku
dan golongan keturunan asing.
Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya persamaan hak
dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia, tanpa membedakan asal
usul keturunan atau ras 5.
Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan
beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak kebijakan rasis tersebut batal
disahkan sebagai Undang-Undang. Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan,
akan tetapi Siauw dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak
negatif terhadap para pedagang Tionghoa 6.
5 Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalah-
risalah Parlemen 1950 - 1959. 6 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi keterlibatan Tionghoa dalam
usaha bis dan penggilingan padi
5
Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakan-kebijakan rasis
ini membangkitkan keinginan para politikus senior "pribumi" untuk membatalkan UU
Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946.
Argumentasi mereka, bilamana pedagang-pedagang Tionghoa yang ingin
disingkirkan ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan hak
untuk semua warga negara tidak lagi bisa "melindungi" posisi para pedagang
Tionghoa.
Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada
tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU kewarganegaraan 1946.
Bilamana ini diresmikan, semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia
yang karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan
kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus mengajukan permohonan untuk
menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat untuk menjadi warga negara pun
diperberat. Bukan saja si pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus
lahir di Indonesia.
RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di luar DPR. Siauw
memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam DPR ia memperoleh dukungan
Fraksi Nasional Progresif. Di luar DPR ia memimpin sebuah panitia
Kewarganegaraan Indonesia yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa,
beberapa akhli hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia.
Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat kabar menekankan
beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh pemerintah, antara lain: RUU ini
bertentangan dengan janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1
November 1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga
keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia sebagai negara hukum
yang menjadi anggota dunia internasional tidak bisa membatalkan
kewarganegaraan jutaan penduduknya, apalagi mengingat ada di antaranya
para anggota parlemen dan menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa
sebagai rakyat jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang
tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan 1926 di luar
Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua pemohon tidak ada;
seandainya mereka pernah memiliki surat-surat bukti tersebut, banyak yang hilang
akibat pertempuran dan pengungsian.
Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri yang dekat dengan
Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah menarik kembali RUU tersebut.
Keberhasilan ini mendorong para tokoh PDTI untuk meyakinkan Siauw masuk ke
dalam dan memimpin organisasi massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk
melawan rasisme dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas
Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua umum Baperki - Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan
menjadikan Baperki sebuah organisasi nasional di mana para anggota "pribumi"
dan keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam sejarah
sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah sebagian terbesar
6
anggota dan massa pendukung Baperki berasal dari komunitas Tionghoa; dan
yang menjadi dasar banyak program politiknya berkaitan dengan tindakan
melawan rasisme terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan
kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa.
Dengan adanya Baperki, Siauw dan para kawan seperjuangannya memiliki
sarana efektif untuk menjangkau komunitas Tionghoa, meyakinkan mereka untuk
menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara
Indonesia.
Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI Tionghoa
kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata tidak menerima kekalahan
dalam kancah demokrasi. Pada waktu penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT
dibicarakan dengan Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk
Konperensi Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu menteri
luar negeri, mendesak kebijakan yang terkandung dalam RUU Kewarganegaraan
1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi
Kewarganegaraan.
UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan Jus Sanguinis, artinya
setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok diakui sebagai warganegara Tiongkok.
Dengan demikian banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki
kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia.
Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui
kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki
kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi menurut hukum Internasional, Indonesia
tidak bisa secara sepihak membatalkan kewarganegaraan Tiongkok yang diakui
oleh RRT.
Siauw bergerak cepat dan berhasil me-negasi Perjanjian tersebut. Ia berhasil
meyakinkan Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran
Nota (Exchange of Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi
jumlah orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam kategori
petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu 1955, yang menjadi
pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak diharuskan memilih
kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah menjadi WNI.
Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan mencapai kemerdekaan;
ikut merumuskan UU Kewarganegaraan; dan memimpin upaya melawan RUU
Kewarganegaraan 1953; Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia
dibubarkan, Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang
kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe Tat, Yap Thiam
Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua sarjana hukum kenamaan --
mengakui keahlian dan penguasaan Siauw tentang hukum-hukum
kewarganegaraan yang seharusnya diterapkan di Indonesia 7.
7 Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka diwawancarai tentang Siauw
Giok Tjhan
7
Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan oleh Siauw
atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Ia-pun kerap memberi
ceramah di berbagai acara Baperki tentang Kewarganegaraan dan Nasion
Indonesia.
Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun 1958, Siauw dengan
panjang lebar menuturkan berbagai perumusan nasion, dimulai dari John Stuart
Mill pada tahun 1861, Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke
20, JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan Dictionary of
Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula pembentukan nasion-nasion
Eropa Barat atas dasar peleburan berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis,
Jerman dan Italia - dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai
multi-racial nations, sehingga terdapat golongan-golongan minoritas. Ia
menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke I, telah tercantum sebuah
kesepakatan banyak negara tentang perlindungan kewarganegaraan golongan
minoritas, yaitu mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut
kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan oleh Lucia P Muir
dalam bukunya The Protection of Minorities 8.
Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia sudah terbentuk
pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di waktu mana pengaruh feodalisme
berkurang dan kapitalisme menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan
sebuah kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda. Dan ini,
menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dengan
demikian Ia dengan tegas menyatakan bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum
negara Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan
sebuah nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan sangat
berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun zaman tertentu 9.
Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan nasion
Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van Mook dalam rangka
pembentukan Republik Indonesia Serikat di zaman revolusi.
Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda dengan nasion,
kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran negara. Seseorang bisa saja
kehilangan kewarganegaraan sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan
dirinya sebagai bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw
berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara Republik
Indonesia lahir.
Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah
satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw lebih berkaitan dengan penerimaan
Indonesia sebagai tanah air. Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan
komunitas Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia.
8Ceramah Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan Baperki nomor 53 tahun 1958).
Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah
parlemen, 1950 - 1958. Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan - 065/Stn/61
(Stensilan Baperki no 65 tahun 1961) 9 Seperti di atas
8
Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah nasion sangat tergantung atas
komitmen, lingkungan dan koneksi psikologis seseorang dengan nasion tersebut.
Akan tetapi, untuk mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong
sebanyak mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia.
Dalam ceramah yang sama, Siauw menyatakan: "Nationality, Nationaliteit,
Kebangsaan atau Kewarganegaraan adalah persoalan politik dan tidak dapat
dicampur adukkan dengan persoalan etnis dan persoalan ras. Siapa yang
tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik, tidak ditentukan
oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat kebudayaan". Sebagai contoh
kongkrit, menurut Siauw adalah UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan
semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan
stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali menyatakan
penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan, menurutnya karena Indonesia
sebagai negara muda terancam Belanda yang sering menggunakan alasan
melindungi orang asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di
samping itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam
Maklumat Politik 1 November 1945 10.
Ia lalu menambahkan bahwa perwujudan UU Kewarganegaraan yang
progresif merupakan sebuah proses perjuangan 11. Tentunya dalam hal ini yang
disitir oleh Siauw adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU
Kewarganegaraan 1946.
Komitmen dalam bidang kewarganegaraan ini menyebabkan Baperki
berkembang sebagai organisasi yang sangat berperan dalam bidang
kewarganegaraan, terutama dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu
komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan
dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan.
Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar
Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di berbagai acara Baperki
pada tahun 1957-1958. Banyak pidato-pidato tidak tertulisnya menyinggung istilah
suku 12 . Secara tertulis, ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang
penggunaannya menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit
menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai salah satu suku
bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri menghindari perdebatan ilmiah tentang
istilah ini, sehingga tidak memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya.
Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar argumentasi simbolik
untuk melawan arus “asli” dan arus yang menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas
Tionghoa dari nasion Indonesia.
Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh Sartono, ia
selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling Indonesia dan luar negeri.
Oleh karena itu Siauw berkesempatan mengunjungi berbagai pelosok Indonesia 10 Seperti di atas 11 Seperti di atas 12 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap Thiam Hien
9
dan menemui beberapa komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas
penduduk tetapi juga sudah ber-ratus tahun menetap di daerah-daerah tersebut,
di antaranya Bagan Siapi api, Singkawang, Bangka, Belitung, Binjai dan
Tanggerang 13.
Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan ukuran dasar
terbentuknya sebuah suku adalah beradanya sebuah kelompok etnis di sebuah
lokasi di atas tiga atau empat generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai
lokasi tersebut bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak hidup dan
kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan dengan lokasi-lokasi yang
dihuninya.
Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang Tionghoa di Indonesia
sudah menetap di berbagai daerah Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah
meninggalkan kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia
akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang dinamakan
penduduk "asli" 14.
Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus "asli-asli-an" yang
menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki legitimasi Hukum dan sejarah
pembentukan nasion Indonesia.
Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah: nasion
Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memperkuat argumentasi
inilah Siauw menyamakan keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai
suku. Ia menyatakan: "Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau besar
dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100 suku bangsa. Di antara
100 suku bangsa adalah suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau,
Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll. Jadi bangsa
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa
dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun
bangsa, bahasa dan kebudayaan". Siauw mendukung argumentasi kesamaan
rumpun ini dengan menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia
yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan tengkorak manusia
yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan tengkorak-tengkorak ratusan tahun
yang ditemui di Jawa Timur serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan
dan daerah Asia lainnya 15.
Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa istilah suku itu
datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung menyatakannya sebagai
istilah yang dipergunakan Sukarno, yang di hadapan massa Baperki pada bulan
Maret 1963 dengan gamblang menyatakan bahwa peranakan Tionghoa adalah
salah satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 16.
13 Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265 14 Seperti di atas 15 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam,
1981 16 Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963.
10
Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menyatakan kepada
penulis bahwa Siauw yang dekat dengan Sukarno menyampaikan kepadanya
pokok-pokok sambutan yang ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki
tersebut.
Ini tidak mengherankan. Beberapa isi pidato resmi Sukarno mengikutsertakan
pula beberapa konsep Siauw tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang
berkaitan dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw masuk
dalam GBHN MPRS 1964.
Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Sukarno pada
zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih berpengaruh dari apa-pun yang
dinyatakan atau dihimbau oleh Siauw atau Baperki.
Pada tahun 1981, walaupun istilah suku sudah dipergunakannya sejak tahun
1958, ia menyatakan:" Saya gembira karena salah satu hasil perjuangan Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai
Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah “suku”
bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno,
dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres Baperki di Jakarta,
tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang
yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan
peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang
hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari
masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia
yang tidak bisa dipisahkan"17.
Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an, terutama setelah
tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’ sudah berkurang, tidak lagi
menekankan istilah suku Tionghoa. Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan.
Ketepatan paham integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwi-
kewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam mewujudkan
sosialisme ala Indonesia; pengembangan program pendidikan Baperki lebih
diutamakan.
Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai
peranakan Tionghoa. Ia kerap pula meng-kategorikan Tionghoa yang lahir di
Indonesia sebagai "golongan keturunan Tionghoa". Dalam konteks ini, ia memang
sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang masih ber-orientasi ke
Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa dalam pembicaraan sehari-hari dan
masih mempertahankan kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan
"baba" atau peranakan (golongan yang sudah berakulturasi dengan Indonesia).
Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian
terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa adalah komunitas yang memiliki
atribut totok. Ini tentunya sesuai dengan dasar perjuangannya yang bersandar
atas janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945.
17 Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, September 1981
11
Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI dan menerima
Indonesia sebagai tanah air.
Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan Sukarno tentang
peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam sambutannya di Kongres Baperki
pada tahun 1963, pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw.
Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia adalah nasion yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk suku
Tionghoa; nasion yang mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas
suku dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki
mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas paham integrasi
wajar.
Banyak orang menganggap istilah Integrasi baru dipergunakan setelah
paham asimilasi lahir dan dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa) yang resmi didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun
1961.
Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki dan Siauw pada
tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi sambutan tertulis pada kongres
ke Baperki. Sambutan tertulis yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini
menyatakan: "bangsa Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam
suku dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah. Usaha
mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu "nation" yang bebas
dari prasangka keturunan (racial prejudice) dan bebas dari rasa takut akan dianak
tirikan, memerlukan waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut
sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah golongan kecil
(minority problem) bagi negara seperti Indonesia kita ini, sesungguhnya adalah
satu masalah menghapuskan sifat-sifat "underdeveloped" dan mencapai "full
employment". Dengan demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan
mengadakan diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana
meratakan kesejahteraan" 18.
Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh Siauw pada tahun
1960, pada Kongres Baperki ke delapan di Semarang, Desember 1960, dalam
membeberkan beberapa tugas pokok Baperki, diantaranya: "memperlancar
proses integrasi nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja
sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa rakyat lainnya
guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menyelamatkan dan
memperkokoh kehidupan sebagai bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat
penuh dengan mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika" 19.
Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam barisan Baperki,
Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang Peng Koen dan juga beberapa 18 Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis memiliki naskah asli yang diketik
oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan
tertulis Sukarno. 19 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka
Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember
1960
12
peranakan Tionghoa lainnya, seperti Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai
memformulasi konsepsi asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan
bahwa jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas Tionghoa
adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini dengan komunitas mayoritas
sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan
mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan
kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an dan menanggalkan
kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian diresmikan sebagai program politik
organisasi yang dinamakan LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang
disponsori Angkatan Darat.
Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang dituturkan di atas
tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi. Istilah integrasi kemudian
dikembangkan oleh Siauw dan Baperki sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif
dalam penyelesaian masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian
bahwa nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak harus dilebur
atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas para suku itu hilang, Siauw
berargumentasi bahwa yang harus diupayakan adalah komunitas Tionghoa
mengintegrasikan dirinya bersama suku bangsa lainnya membangun nasion
Indonesia. Ia memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan
konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas African Americans
dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni dan RRT.
Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas pengertian apakah
Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah race dan apakah hilangnya ciri-ciri
biologis Tionghoa memegang peranan dalam kesetiaan atau ke-patriotik-kan
seseorang terhadap Indonesia.
Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan
Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-
sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa
Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-
sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian
kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman
pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa
tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu,
semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah
berbahasa Tionghoa.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa
kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum
Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan
pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan
studi-nya di negeri Belanda.
Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan
dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga
13
mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin
meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948.
Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas
Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Bukan
karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan
Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka
merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa
memenuhi harapannya.
Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-
sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal
tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota
DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya
200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang
dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut
diubahnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah
nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir
mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-
siswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia
menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun
sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.
Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat
dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa
sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua
warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih
tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa
WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan
mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional.
Mereka terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional
tidak bisa menampungnya.
Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana
untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini
diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan
sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh
politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa Tionghoa
WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat
Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep
ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan
masyarakat.
Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari
masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah
konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang
program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki
14
mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk
semua WNI.
Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum
1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan
Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki.
Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolah-
sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang,
Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra.
Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki
Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa
diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB)
diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong
oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan
melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah
Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-
kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini
dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah
yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan dikeluarkan untuk
mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin
oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI.
Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan
guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis
dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi.
Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan
jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga
150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah
Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI.
Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih
banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat
sekolah.
Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan
Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan untuk
membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki.
Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang
menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai
Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolah-
sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung
sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun
1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar
darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah.
15
Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang
ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI
ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian
Baperki lebih besar pula.
Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara
cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para
pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi
membantu komunitas Tionghoa WNI.
Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang
Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan
lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya.
Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-
sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki.
Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan
memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme.
Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolah-
sekolah dengan baik karena masalah dana.
Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki
dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang
dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa.
Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus
mengalir.
Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak
pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan.
Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang
mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu
diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas
baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu
bersedia menyumbang.
Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah
yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33
di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi.
Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170.
Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan
tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang
mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah
Baperki.
Lahirya Universitas Baperki
Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki
menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan
untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada
16
umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa
tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.
Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka
gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada
penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya
untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini
mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki.
Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan
tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki mendapatkan
dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki
yang disingkat UBA.
Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan
November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin,
elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra
diresmikan.
Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada
keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat.
Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang
teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan
Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan
penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekan
Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang
mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa
dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat.
Siauw gagal menarik banyak tokoh politik "asli" untuk aktif dalam Baperki.
Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk
membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo
Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas
Ekonomi dan Hukum.
Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand
Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di
dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing
dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai
Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki.
Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin
Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman
pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk
mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan
sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini
memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk
membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki
oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.
17
Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-
fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor
Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.
Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa
yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.
Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya
Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk
menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia.
Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas
Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Sukarno, yang
diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res
Publica". Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan
jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum.
Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi
rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan
bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca.
Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di
Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB,
mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat
tim pengajar Ureca.
Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)
menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi,
ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas
negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga
diakui sebagai sarjana penuh.
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya
adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum
pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi
6000.
Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk
mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan
jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan
oleh para pedagang Tionghoa.
Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan
gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan
para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan
pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah
satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya.
Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak
melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status
kewarganegaraan.
18
Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar
belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berhaluan kanan, banyak yang
beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup banyak yang beragama Katolik dan
Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas.
Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah
Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah
Tionghoa.
Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka
berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw
menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak mungkin
komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak
lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah
besar.
Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi,
cukup banyak mahasiswa "asli" yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw
di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca.
Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa "asli", Baperki
mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada
beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca.
Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota
besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang
(Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S,
pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga
sudah dimulai.
Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata,
karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana
besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok
Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak akhli
membangun Indonesia.
Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca
Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian
kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa
pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik
komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan
mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.
Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk
memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan
sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-
Cinta:
a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia
b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian
19
c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan
d. Cinta bekerja
e. Cinta orang tua
Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri.
Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa
dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan pengintegrasian
suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di
Ureca.
Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa.
Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolah-
sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk
menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman
politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi
Indonesia melalui sebuah prose peng-Indonesia-an yang efektif, proses
pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik.
Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang
berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas
kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di
universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah
dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah
perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu
bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan
politik Indonesia sangat terbatas.
Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum
nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia
dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai
kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok
bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan
demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik
meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan
organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal
dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam
keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolah-
sekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi
Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa
yang berasal dari kelompok peranakan.
Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan
Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan pemuda.
Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi
anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program
Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai
tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim
20
Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA
senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan
bahwa ke-Indonesiaan para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya
mementaskan kebudayaan Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan
kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno
beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acara-acara resmi
pemerintah.
Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di
setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan Pelajar
ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan
majalah-majalah berkala.
Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu
Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di
setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik
Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965,
program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini
dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa
digunakan oleh para petani.
Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah
tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar
sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak
lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi
anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi
pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi
mempersiapkan persetujuan di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa
Baperki. Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus.
Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan
untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang
mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut.
Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang
dinamakan Dewan Mahasiswa.
Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar
luaskan ke para mahasiswa.
Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif
yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-
kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada
tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga
PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia).
Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia
memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya
di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata
21
sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw
mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan.
Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI
yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi
pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan
kesetiakawanan masih terpupuk baik.
Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk
Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada acara-
acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para
mahasiswa Baperki sangat diharapkan.
Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim
Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada
yang dibuang ke pulau Buru.
Berakhirnya Ureca
Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik.
Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam
sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu
singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan
Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada
di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar
dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai.
500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya,
termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk
dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun.
Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya
melindungi rakyat dan menegakkan hukum.
Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para
ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S.
PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-
gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan
apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi
sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran.
Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas
didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur
Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi,
Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-
gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal
oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar.
Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-
jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan
demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka
22
rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya. Mereka benar-benar
merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka.
Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah
berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak
dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan
kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar.
Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur
atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula
pembakaran beberapa gedung.
Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada
di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta
bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa
mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari
helicopter.
Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di
hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan
gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun kembali Ureca. Janji yang
tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim
yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak
memungkinkan berdiri kembalinya Ureca.
Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya
Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965.
Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca.
Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri
pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan
Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah,
dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca.
Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti
dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB.
Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia
masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk
menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry
Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki
memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang
tidak bisa diterima di perguruan tinggi.
Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para
mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas
Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka
yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang
menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan
Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara.
Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka
ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti.
23
Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan
Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai
universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu
walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk.
Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh
Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa
menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion
Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui
pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap
Indonesia tidak luntur.
Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan
sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan
mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk mencintai
kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat
menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam
PPI.
Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak
berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian
terwujud.
Ketergantungan atas Sukarno dan Politik Kiri
Dengan berkembangnya polarisasi politik, kiri dan kanan dalam zaman
Demokrasi Terpimpin, Siauw tidak bisa tidak harus memilih aliran politik. Para partai
politik dan organisasi kiri, terutama PKI di zaman ini mendukung kebijakan Siauw
dan Baperki. Sedangkan Angkatan Darat dan partai-partai politik kanan pada
umumnya menentangnya. Ironisnya, integrasi yang dijadikan program politik
Baperki dan asimilasi yang dijadikan program LPKB dikaitkan dengan aliran politik.
Integrasi dianggap jalan keluar kiri, sedangkan asimilasi jalur kanan.
Sukarno sebagai pengimbang kekuatan politik di awalnya sempat
menunjukkan dukungan ke dua pihak ini. Di hadapan Baperki ia mendukung
integrasi. Di lain pihak, ia-pun menerima konsepsi asimilasi. Akan tetapi setelah
tahun 1963, Sukarno cenderung mendukung Baperki. Sampai akhir zaman
Demokrasi Terpimpin pada akhir 1965, Baperki berada di atas angin dan LPKB
tampak terpojok.
Perlindungan Sukarno yang diperoleh Baperki menyebabkan ia mampu
berkembang pesat, terutama di dalam bidang pendidikan. Setelah tahun 1958,
Baperki lebih dikenal sebagai lembaga yang memberi kesempatan pendidikan
untuk komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, warganegara Indonesia
maupun warganegara asing (Tiongkok). Ratusan sekolah dan beberapa kampus
universitas Baperki yang dinamakan Universitas Respublica menampung puluhan
ribu siswa Tionghoa di banyak kota besar. Melalui program pendidikan inilah,
24
Baperki mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menerima
Indonesia sebagai tanah airnya.
Pengembangan lembaga pendidikan Baperki beribarat “membunuh dua
burung dengan satu batu”. Ia dikembangkan untuk menyambut rasisme dalam
bidang pendidikan dan sekaligus menjadi sarana efektif untuk meng-Indonesia –
kan komunitas Tionghoa, terutama yang totok. Siauw berkeyakinan bahwa Nation
Building dengan jalur integrasi adalah proses yang membangun, yang memerlukan
metode membangun, yaitu mengajak komunitas Tionghoa untuk mencintai
Indonesia, mencintai kebudayaan Indonesia dan turut berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan aktif membangun Indonesia. Kesetiaan dan kecintaan
terhadap Indonesia, menurutnya, tidak bisa dikaitkan dengan nama, latar
belakang ras, agama, bahkan kewarganegaraan seseorang.
Dalam konteks ini, seperti yang diutarakan di atas, Siauw memandang
nasion sebagai sesuatu yang lebih besar dari kewarganegaraan.
Kebijakan untuk sepenuhnya bersandar atas perlindungan Sukarno memang
memungkinkan Baperki berkembang pesat dan secara politis berada di atas angin.
Akan tetapi tumbangnya Sukarno dan kekuatan kiri secara langsung
menyebabkan Baperki hancur dan peran Siauw dalam percaturan politik
Indonesia segera terhenti pada akhir tahun 1965.
Banyak anggota Baperki menjadi korban keganasan militer yang bergerak
menghancurkan kekuatan kiri setelah peristiwa G30S 1965 dengan pembantaian
manusia tidak bersalah dalam skala besar. Siauw dan banyak pendukungnya
harus meringkuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa proses pengadilan apapun.
Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1978, Siauw pergi berobat di Belanda.
Begitu tiba di Belanda, ia segera melakukan berbagai kegiatan mengecam
kebijakan pemerintah Suharto yang digambarkannya sebagai pemerintah yang
telah mengkhianati jiwa proklamasi 45, melanggar UUD 45 dan menginjak-injak
HAM. Ia pun kerap berbicara mengenai masalah Tionghoa dan tetap teguh
dengan pendiriannya yaitu: dengan integrasi membangun nasion Indonesia yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Pada tanggal 20 November 1981 ia meninggal karena serangan jantung,
beberapa menit sebelum memberi ceramah di hadapan para Indonesianis
Belanda di Universitas Leiden, tentang kegagalan Demokrasi Indonesia dengan
kesimpulan optimistik bahwa rakyat Indonesia akan mewujudkan demokrasi yang
didambakan.
Kesimpulan
Perjalanan politik Siauw didasari beberapa visi politik yang berkembang sejak
ia terlibat dalam pendirian partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932.
Pertama keyakinannya bahwa untuk sebagian besar Tionghoa yang lahir di
Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya. Oleh karena itu ia berjuang untuk
memungkinkan sebanyak mungkin Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Ini
25
dilakukan baik dalam segi hukum dengan memperjuangkan dihukumkan UU
kewarganegaraan yang sesuai dengan visi ini.
Kedua, bersandar atas keinginan membangun nasion yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika, Siauw mendorong pengertian bahwa nasion Indonesia adalah nasion
yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa. Komunitas Tionghoa,
peranakan maupun totok, diajaknya berintegrasi dalam tubuh nasion Indonesia,
bersama para suku lainnya, tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas yang
seyogyanya memperkaya kebudayaan Indonesia.
Ketiga, sejak tahun 50-an, walaupun berpaham sosialisme, Siauw
berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, modal
yang dimiliki oleh para pedagang Tionghoa harus dilindungi secara hukum dan
praktis untuk terus berkembang, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam
pembangunan ekonomi Indonesia. Perpaduan antara kapitalisme nasional dan
sosialisme inilah yang ia inginkan.
Langgam perjuangan Siauw yang bersifat membangun di dalam perjalanan
politik panjang Siauw jelas tampak. Rasisme dalam bidang kewarganegaraan
disambutnya dengan berbagai rumusan kewarganegaraan dan pelaksanaan UU
di lapangan oleh aparat Baperki; rasisme dalam bidang ekonomi ditentangnya
dengan rumusan ekonomi yang menjamin modal domestik yang banyak dimiliki
oleh pedagang Tionghoa secara hukum dilindungi dan didorong untuk
berkembang; rasisme dalam bidang pendidikan disambutnya dengan pendirian
institusi pendidikan yang mampu menampung mereka yang karena kebijakan rasis
tidak bisa meneruskan sekolah; Sarana pendidikan dijadikan landasan efektif untuk
meng-Indonesia-kan sebanyak mungkin komunitas Tionghoa, terutama generasi
mudanya. Dan untuk menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa yang rumit,
dikembangkan konsepsi integrasi yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme.
Akan tetapi di zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw dan Baperki terlalu
tergantung atas perlindungan politik Sukarno, sehingga ketika Sukarno tumbang
dan kekuatan kanan yang didukung oleh blok Barat mengambil alih kekuasaan
politik, Baperki dan Siauw-pun kandas. Dengan demikian, program pendidikan dan
kebijakan untuk membawa komunitas Tionghoa menjadi Indonesia harus terhenti.
Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya mendukung
kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang
bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial
bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang.
Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno
memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit
sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya
kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri,
termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki.
Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak
mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-
tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa.
26
Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki
berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah
Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif
berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia
tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an.
Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik,
kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan
berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para dosen
dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk mengawinkan
teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana bantuan komunitas
Tionghoa sedemikian rupa.
Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi.
Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti Tiong Hoa
Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada
adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak
mengandung penekanan politik.
Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan
Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang Ureca
di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu
menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kota-kota
lain.
Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak
menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas
Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar.
Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan
cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana ada
dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir
menjadi korban.
Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah
rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan
pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri.
Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah
Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967 (baru
dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa selama 32 tahun ingin
dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang
mengandung konotasi penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang.
Demikian juga perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk
dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas
Tionghoa di banyak bidang.
Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam
dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan
ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali.
Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan terhadap
kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal
27
berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak
berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani berurusan
dengan apapun yang berhubungan dengan aparat negara.
Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan
asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa
yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang
masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada bulan Mei
1998.
Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak
Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau
mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan
membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya
tidak ada yang membela.
Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa,
seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban
Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI),
Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dll.
Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah Tionghoa yang
dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-
diskusi terbuka tentang pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai
forum.
Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi
pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan pemudanya –
PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan
animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil inisiatif
pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan organisasi berdasarkan
pengalaman yang dibina sebelum Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada
tahu 1965, adalah alumni Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para
mantan anggota PPI.
Beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat yang membanggakan,
Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Wijaya dan Dr. Lie Dharmawan.
Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan
berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak ada
lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas
Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan
kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya, memenuhi persyaratan
hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa memperolehnya.
Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa
dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang
melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah ditiadakan.
Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat
calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet SBY ada menteri Mari Pangestu,
seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi gubernur Jakarta Raya, Ahok.
28
Ramalan Siauw yang ia ingin sampaikan dikuliahnya di Universitas Leiden
pada tahun 1981 pun bisa dikatakan terwujud, yaitu rakyat Indonesia akan
memenangkan perjuangan mencapai demokrasi. Demokrasi setelah Gusdur
menjadi presiden jauh lebih baik ketimbang di zaman-zaman sebelumnya. Kini,
Indonesia memiliki seorang presiden, Joko Widodo -- seorang tokoh yang lahir dari
keluarga miskin dan tidak pernah berada dalam jajaran pimpinan yang berkaitan
dengan rezim-rezim yang bangkit setelah Sukarno tergulir pada tahun 1966 --
dipilih oleh rakyat, mengalahkan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto,
yang didukung oleh money politics dan kekuatan politik yang mendominasi
Indonesia.
Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun
masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi, baik non
Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa dikatakan
tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa
yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba
memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan.
Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi
membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota
besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai
keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal yang
membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda di zaman penjajahan
belanda, dan berbahasa Inggris di zaman pasca Demokrasi Terpimpin.
Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya baik
dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-besaran di
tempat-tempat mahal, di tengah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa
gangguan berarti.
Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari
permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan?
Kiranya tidak.
Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama.
Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya keharmonisan
masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas
Tionghoa di Indonesia.
Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi
di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik yang
berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme
yang ganas dan brutal bisa terulang lagi.
Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham
integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan
masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-benih
rasisme dengan tindakan-tindakan membangun, tanpa menanggalkan latar
belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan.
Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara
maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah
29
penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham
multikulturalisme diundangkan.
Organisasi semacam Baperki dan kini INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa)
yang mampu dengan efektif menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan
komunitas yang diwakilinya masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari
pengalaman Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah
kekuatan politik penguasa. Organisasi-organisasi yang dimaksud hendaknya
merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak.
Ini merupakan jalan selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh
memakan waktu.