perjanjian kerjasama antara pt - …elibrary.unisba.ac.id/files/08-6252_fulltext.pdf · perjanjian...
TRANSCRIPT
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
DAN CV. ETNINDO TAMA MENGENAI PEMBUATAN PATOK DI
PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU
III KUH PERDATA
SKRIPSI
Dijukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh Gelar Starata Satu (S-1) Di Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Nama : Rudi Iskonjaya
NPM : 10040002105
Di Bawah Bimbingan:
Hj.HARUMIATI.SH.,MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1429 H / 2008 M
Motto :
(#ρãà2øŒ $# uρ sπ yϑ÷è ÏΡ «!$# öΝä3 ø‹ n= tæ çµ s)≈ sV‹ ÏΒuρ “ Ï% ©!$# Νä3 s) rO# uρ ÿ⎯ ϵÎ/ øŒ Î) öΝçGù= è% $ oΨ÷è Ïϑ y™
$ oΨ ÷è sÛr& uρ ( (#θ à) ¨? $# uρ ©!$# 4 ¨β Î) ©!$# 7ΟŠ Î= tæ ÏN# x‹Î/ Í‘ρ߉Á9$# ∩∠∪
Artinya :
Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang Telah diikat-Nya
dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan kami taati". dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu).
(QS. Al-Imran : 7)
“Skripsi ini sebagai tanda bakti dan hormatku kepada kedua Orang Tuaku, dan Adik-Adiku, serta Orang-orang yang selalu menyayangiku”
LEMBARAN PENGESAHAN
Bandung, Juli 2008
Disetujui Untuk Diajukan Ke Muka Sidang Sarjana
Panitia Ujian Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Pembimbing, Hj. Harumiati, S.H., M.H.
Di ketahui oleh:
DEKAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Dr. H. Asyhar Hidayat, S.H., M.H.
A B S T R A K
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Manusia sebagai subjek hukum memerlukan bantuan orang lain baik secara fisik maupun materil. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, biasanya dengan melakukan atau mengadakan perjanjian dengan subjek hukum lainnya.Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana dua subjek hukum atau lebih saling mengikatkan dirinya. Seperti halnya dalam pembuatan patok atau tapal batas di Propinsi Jabar (Jawa Barat) dan Banten tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah, karena itu pemerintah mengadakan tender yang dimenangkan oleh PT.GAYATRI INDAH KENTJANA, karena tidak dapat melaksanakan pekerjaannya sendiri, maka PT.GAYATRI INDAH KENTJANA mengadakan suatu perjanjian kerjasama dengan CV. ETNINDO TAMA dalam bentuk perjanjian pemborongan pembuatan patok/tapal batas, perjanjian pemborongan tersebut diatur secara rinci dalam akta perjanjian No : 06/GIK/SPK/2007 Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai prosedur pelaksanaan perjanjian permborongan patok antara PT. GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA ditinjau dari Buku III KUHPerdata dan akibat hukum apabila salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya yang dituangkan dalam bentuk skripsi. Metodologi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif dengan spesisifik penelitian deskriftif analisis, menggunakan tahapan penilitian kepustakaan dan penelitian lapangan, serta menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter dan wawancara, yang kemudian menganalisis data tersebut dengan analisis yuridis kualitatif dengan tidak menggunakan angka-angka statistik. Berdasarkan hasil penilitian, ternyata perjanjian antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA DAN CV. ETNINDO TAMA telah memenuhi syarat umum perjanjian yaitu syarat sahnya perjanjian dan syarat khusus yang diajukan oleh para pihak melalui pelelangan dan survei yang dilakukan oleh PT.GAYATRI INDAH KENTJANA. Selain itu, akibat hukum apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya karena Wanprestasi, maka dapat dikenakan sanksi berupa penggantian biaya kerugian perencanaan pekerjaan, denda, pembayaran tidak penuh dan pembatalan perjanjian dan apabila dikarenakan Overmacht yang sifatnya sementara, maka dapat dilakukan penundaan pemenuhan prestasi, namun jika overmacht tersebut bersifat Absolut, maka perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiem.
Assalamu`alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T,
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
yang berjudul :
“PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT.GAYATRI INDAH KENTJANA DAN CV. ETNINDO TAMA MENGENAI PEMBUATAN PATOK DI PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KUH PERDATA” Penulisan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat akademis
dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, dan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) dalam bidang Hukum Perdata.
Mengingat akan keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis
sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
penyusunan maupun dari segi pembahasannya. Oleh karena itu penulis akan sangat
berterima kasih dan menghargai saran-saran dan kritik-kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, secara khusus penulis menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda
tercinta serta Adik-adiku yang telah memberikan kasih sayang, perhatian dan do`a
yang tulus kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya, dan terima
kasih, terutama kepada yang terhormat Ibu Hj. Harumiati, S.H,M.H selaku
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk
memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk sejak awal hingga akhir
penulisan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
Selain itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini pula penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. E. Saefullah, S.H., LL.M., selaku Rektor Universitas Islam
Bandung.
2. Bapak DR. H. Asyhar Hidayat, S.H., M.H.., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung / PRODI
3. Ibu Liya Sukma Mulya, S.H., M.H., selaku Dosen Wali.
4. Para Dosen yang telah mendidik dan mengajar penulis serta seluruh Staf Tata
Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
5. Bapak H. Yanna Syam M selaku Direktur Kabag Beserta Staf PT.GAYATRI
INDAH KENTJANA yang telah memberikan Data kepada penulis sehingga
dapat memperlancar dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Joko S selaku Direktur Beserta Staf CV. ETNINDO TAMA yang telah
memberikan Data kepada penulis sehingga dapat memperlancar dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Bety Agustin Rianti. Amd.K terkasih yang selau memberikan semangat serta
telah mau menunggu sekian lama hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Harison Beserta keluarga yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
9. Sahabat-sahabatku Triyanto Wibowo, Angga DRLP, Odong, Ferry, Rifky,
M.Reza Y, Abdul Azis S.H, Fawaz Amin S.H. Wahyu S.H, Muhammad Rizki
S.H, Nicki permana Putra, Irawati S.H, Hj.Haslinda S.H, Pocut Dara S.H, Putri
S.H, Siti, all my best friend di Fakultas Hukum UNISBA Angkatan 2002 tanpa
bisa disebutkan satu persatu.
10. Teman-teman Edi Garut, Iwan Dadozt, Hendri S.H, Odit, Tabies, Ari Embe,
Yudi Black, Rahman, Beri, Yogi S.H, Ave, Ibenk, Egon, Luki, Dian Unyil, Dhie
Cell Crew, JC kom Crew, BM Kom Crew, dan Teman- temanku yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Akhir kata, harapan penulis semoga Allah S.W.T. selalu memberikan rahmat
dan hidayah kepada semuanya. Amien.
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Bandung, April 2008
Penulis Rudi Iskonjaya
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 4
E. Kerangka Pemikiran ................................................................... 5
F. Metodelogi Penelitian ............................................................... 10
G. Sistematika Penulisan..................................................................... 12
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN DAN
PERJANJIAN PEMBORONGAN MENURUT BUKU III KUH
PERDATA
A. Perjanjian Pada Umumnya ........................................................... 14
1. Pengertian Dan Syarat Sah nya Perjanjian............................. 14
2. Macam-macam Perjanjian...................................................... 23
3. Wanprestasi Dan Overmacht........................................................ 27
B. Perjanjian Pemborongan............................................................. 34
1. Pengertian Perjanjian Pemborongan ......................................... 34
2. Macam-macam Perjanjian Pemborongan................................ 35
3. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian Pemborongan 38
BAB III PERJANJIAN ANTARA PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
DAN CV.ETNINDO TAMA DIHUBUNGKAN DENGAN AKTA
PERJANJIAN NO : 06/GIK/SPK/2007
A. Para Pihak Yang Mengadakan Perjanjian ................................... 40
B. Prosedur Terjadinya Pemborongan............................................... 41
C Hak Dan Kewajiban Para Pihak ........................................................ 42
D. Wanprestasi Dan Overmacht .............................................................. 44
1. Wanprestasi ................................................................................... 44
2. Overmacht ..................................................................................... 46
E. Penyelesaian Perselisihan ................................................................... 47
BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. GAYATRI INDAH
KENTJANA DAN CV. ETNINDO TAMA MENGENAI
PEMBUATAN PATOK DI PROPINSI JAWA BARAT DAN
BANTEN DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KUH
PERDATA
A. Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Patok Antara
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA Dan CV. ETNINDO
TAMA Ditinjau Dari Buku III KUH Perdata .............................. 51
B. Akibat Hukum Apabila Salah Satu Pihak Tidak Dapat
Melaksanakan Kewajibannya....................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 64
B. Saran............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Indonesia adalah “negara hukum”. Artinya bahwa segala tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang belaku di
Negara Indonesia.
Penerapan hukum di Indonesia yaitu dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, harkat dan martabat manusia, dan hak asasi manusia
secara bijaksana dan adil kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat golongan,
etnis, ras, warna kulit dan jabatan tertentu. Demi tercapainya pembangunan nasional,
sesuai dengan pancasila, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusian yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan;dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1
Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan
masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan
global. Pembangunan yang dilakukan oleh Negara Indonesia sebagai Negara
1 Pasal 1ayat 3, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan perubahannya (Amandemen 1,II, II, IV), Penabur Ilmu, hlm. 7.
berkembang mencakup berbagai bidang, antara lain pembangunan dalam bidang
politik, sosial, ekonomi, kesehatan dan termasuk pembangunan dalam bidang hukum.
Pembangunan Nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-
menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil
dan merata dalam segala aspek kehidupan serta diselenggarakan secara terpadu,
terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang
adil dan makmur, baik material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Manusia hidup bermasyarakat karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia sebagai subjek hukum
memerlukan bantuan orang lain baik secara fisik maupun materil.
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, biasanya dengan melakukan atau
mengadakan perjanjian antara para subjek hukum yaitu antara individu dengan
individu, individu dengan badan hukum, ataupun antara badan hukum dengan badan
hukum lainnya, Seperti halnya dalam pembuatan patok atau tapal batas di Propinsi
Jabar (Jawa Barat) dan Banten tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah
daerah, karena itu pemerintah melakukan tender yang dimenangkan oleh
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA.
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA ternyata tidak bisa melaksanakan
sendiri, oleh karena itu PT.GAYATRI INDAH KENTJANA mengadakan suatu
perjanjian kerjasama dengan CV. ETNINDO TAMA dalam bentuk perjanjian
pemborongan pembuatan patok, perjanjian pemborongan tersebut diatur secara rinci
dalam akta perjanjian No : 06/GIK/SPK/2007, perjanjian pemborongan pada
umumnya sudah diatur dalam KUHPerdata.
Buku III KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrakyang tersirat dari
isi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:
’’semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya’’
Artinya mereka membuat isi perjanjian sendiri asal tidak bertentangan dengan
Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Begitu juga isi perjanjian yang
dibuat oleh PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dengan CV. ETNINDO TAMA
mengikat para pihak seperti Undang-Undang, tapi dalam praktek ada kalanya para
pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya disebabkan karena adanya wanprestasi
atau overmacht.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA DAN CV.
ETNINDO TAMA yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul:
“PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT.GAYATRI INDAH KENTJANA DAN CV. ETNINDO TAMA MENGENAI PEMBUATAN PATOK DI PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III KUH PERDATA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, serta agar pembahasan
menjadi tidak meluas terhadap hal-hal yang tidak penting, maka untuk itu penulis
hanya akan membatasi pembahasan pada hal-hal berikut yang diidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan perjanjian pemborongan patok antara
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA ditinjau dari
Buku III KUHPerdata?
2. Bagaimana akibat hukum apabila salah satu pihak tidak dapat melakukan
kewajibannya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan perjanjian pemborongan
antara para pihak dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
2. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap para pihak yang tidak
dapat melaksanakan kewajibannya.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian ini diharapkan mempunyai
kegunan baik secara teoritis maupun praktis.
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis dalam rangka memperdalam
ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu dan memberikan
sumbangan pemikiran dalam memecahkan permasalahan perjanjian,
khususnya dalam hal perjanjian kerjasama pemborongan.
2. Secara Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi para pihak yang akan mengadakan perjanjian pemborongan dan para praktisi
yang menyelesaikan masalah yang timbul dari perjanjian tersebut
E. Kerangka Pemikiran
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst ( Belanda )
atau contract ( Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian
perjanjian: teori lama dan teori baru. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi:
’’perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.’’
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah : (1) tidak jelas, karena setiap
perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak asas konsensualisme, dan (3)
bersifat dualisme.Tidak jelasnya definisi ini disebabkan didalam rumusan tersebut
hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukumpun disebut
dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam
doktrin.
Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas,
telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum
(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).2
2 Salim HS, Pengantar hukum perdata tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm 160
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dalam
perjanjian adalah :
‘’Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum.’’3
Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu, dan 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri
atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu 4
Apabila dua syarat yang pertama atau syarat subjektif tidak dipenuhi, maka
perjanjian tersebut akibatnya dapat dibatalkan. Sedangkan dua syarat yang kedua atau
syarat objektif tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian itu akibatnya dapat dibatalkan
demi hukum.
Dengan sepakat atau dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek
yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya sekata mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh
pihak yang ke satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
3 Ibid 4 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Inter Masa, Jakarta, 2004, Hlm 17
Apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka
dikatakan ia melakukan ‘’wanprestasi’’. Ia alpa atau lalai ‘’atau ingkar janji. Bisa
juga melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda, yang berarti
prestasi buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengursan buruk, wandaad
perbuatan buruk).
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan ) seorang debitur dapat berupa empat
macam:
1. Tidak melakukan prestasi sama sekali
2. Melaksanakan prestasi, tetapi terlambat.
3. Melakukan prestasi tapi tidak sesuai dengan isi dari perjanjian
Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (atau debitur sebagai pihak yang
wajib melakukan sesuatu) diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau
akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu:
1. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti-rugi
2. pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian
3. perolehan resiko
4. membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di pengadilan.
Wanprestasi atau kelalaian mempunyai akibat-akibat yang begitu penting,
maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau
lalai dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan dimuka hakim kadang-
kadang juga tidak mudah untuk mengatakan seseorang lalai atau alpa, karena sering
kali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak melakukan suatu prestasi
yang dijanjikan. dalam jual beli misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus
diantar ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli itu harus membayar uang harga
barang tadi. Dalam hal seseorang meminjam uang sering juga tidak ditentukan kapan
uang itu harus dikembalikan. Paling mudah untuk menetapkan seseorang melakukan
wanprestasi adalah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu
perbuatan apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian atau
melakukan wanprestasi.5Selain karena wanprestasi, debitur juga tidak dapat
melaksanakan kewajiban dikarenakan adanya overmacht.
Ketentuan tentang overmacht (keadaan memaksa) dapat di lihat dalam Pasal
1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata, di mana ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan pergantian biaya, kerugian dan
bunga kepada kreditur, disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaanya,. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur untuk tidak melakukan
pergantian biaya, kerugian, dan bunga yaitu:
1. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau
2. terjadinya secara kebetulan, dan atau
3. keadaan memaksa.
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan
keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan 5 Subekti, Hukum perjanjian, PT Inter Masa, Jakarta, 2004, Hlm 45
prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaanya, seperti karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.6
Berdasarkan Pasal 1601 KUHPerdata perjanjian pemborongan adalah7:
‘’Perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang di tentukan’’. Tentang isi perjanjian ini telah diutarakan di atas, yaitu bahwa pihak yang
satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya
untuk diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan, dalam menerima suatu
jumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan tersebut.
Perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua macan yaitu:
a. dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan
tersebut
b. Dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja
Dalam halnya si pemborong diwajibkan memberikan bahannya, dan
pekerjaannya dengan cara bagaimanpun musnah sebelumnya diserahkan kepada
pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si
pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima
hasil pekerjaan itu.jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja,
dan pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya
(Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUHPerdata).
6 Salim HS, Pengantar hukum perdata tertulis, Sinar Grafika Jakarta, 2006, Hlm 182
7 R.Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-18, Pradnya Paramita Jakarta, 1984 Hlm 391
Dari kedua Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa apabila terjadi kesalahan
di luar salah satu pihak yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak
pemborong, menjadi tanggung jawab pemborong, tapi apabila kesalahan itu timbul
dari pemborong, maka yang bertanggumg jawab adalah pemborong.
F. Metodelogi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, dengan kata lain suatu penelitian yang
menekankan pada ilmu hukum dan menggunakan data sekunder terutama
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perjanjian pada umumnya dan
perjanjian pemborongan pada khusunya.8
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
serta menganalisis secara umum mengenai Perjanjian pemborongan antara
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA,
Dihubungkan dengan Buku III KUHPerdata9.
8 Cholid Narbuko & H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2001, Hlm 44 9 Roni Hanitijo Sumitro,Metedolog Penelitan Hukum, Ghalia, Bandung, 1994
3. Tahap Penelitian
a) Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu mengumpulkan data berupa
pengumpulan bahan-bahan kepustakaan, karya-karya ilmiah dari para ahli
hukum, peraturan perundang-undangan, dan Pendapat para ahli hukum
mengenai Hukum Perjanjian Pada umumnya serta perjanjian pemborongan
pada khususnya.
b) Penelitian lapangan (Fiel Reseach), yaitu meneliti langsung pada obyek yang
diteliti, yaitu PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO
TAMA.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
a) Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian dokumenter, yaitu
penelitian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier yang terdiri dari :
1. Bahan hukum primer terdiri dari KUHPerdata, Akta perjanjian Antara
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu penelitian terhadap bahan tambahan yang
berkaitan dengan penelitian ini seperti penjelasan Undang-Undang, Buku-
buku Hukum Perdata, Buku-buku Hukum Perjanjian, majalah dan Koran.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang menjelaskan
bahan hukum primer dan sekunder.
b) Wawancara, untuk mengumpulkan bahan-bahan yang menunjang terhadap
masalah yang akan diteliti kepada para pihak yang akan mengadakan
perjanjian.
5. Metode Analisis Data
Seluruh data yang telah diperoleh kemudian dianalisis yuridis kulitatif artinya
data yang diperoleh tersebut disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan tidak menggunakan angka-angka maupun rumus statistik dengan
cara interpretasi atau penafsiran hukum, kontruksi hukum, dan pengolahan
analisis asas-asas hokum
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, yang membahas latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran metode penelitian, jadwal penelitian, sistematika penulisan. BAB II Perjanjian dan perjanjian pemborongan menurut Buku III KUHPerdata, membahas secara teoritis mengenai pengertian perjanjian pada umumnya, syarat sah perjanjian, macam-macam perjanjian, wanprestasi, perjanjian pemborongan, pengertian perjanjian pemborongan, macam-macam perjanjian pemborongan, wanprestasi dalam perjanjian pemborongan.
BAB III Perjanjian antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA dihubungkan dengan akta perjanjian No:06/GIK/SPK/2007, mengemukakan Hasil penelitian mengenai perjanjian antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA meliputi para pihak, prosedur terjadinya perjanjian pemborongan, hak dan kewajiban, wanprestasi dan overmacht, penyelesaian perselisihan
BAB IV Analisis terhadap perjanjian PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA tentang prosedur pelaksanaan perjanjian pemborongan dihubungkan dengan Buku III KUHPerdata, Bab ini penulis menganalisa hasil penelitian dan pembahasan mengenai perjanjian antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA yang disesuaikan dengan Buku III KUHPERDATA.
BABV Penutup, bagian terakhir penulisan ini, penulis membuat simpulan dari hasil analisis penelitian dan memberikan saran dalam skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN
PEMBORONGAN MENURUT BUKU III KUHPERDATA
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan selain undang-undang
dari hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Istilah perjanjian
merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris),
sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, perjanjian mengandung pengertian :
“Persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebutkan dalam perjanjian itu”.10
Untuk istilah perjanjian R.Subekti mengartikan perjanjian sebagai berikut :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana seorang berjanji untuk melaksakan suatu hal”11
sedangkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi perjanjian sebagai
berikut :
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut para sarjana hukum perdata, bahwa rumusan yang terdapat dalam
Pasal 1313 KUH Perdata mengandung beberapa kelemahan, di antaranya sebagai
berikut : 12
10 Kamus besar bahasa Indonesia Edisi kedua, Balai Pustaka , Jakarta, 1991, Hlm 401 11Subekti, op.cit hlm 1
a. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa:
Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata sebenarnya kurang memuaskan karena
ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut diuraikan sebagai
berikut:13
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”. Kata kerja “mengikatkan”, sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan tersebut
menggunakan kata”saling mengikatkan diri”.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga perbuatan tanpa konsesus.
3. pengertian perjanjian terlalu luas.
4. Tanpa Menyebut Tujuan
b. R. Setiawan mengatakan bahwa:14
Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas karena
hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja. Sangat luas karena dengan
dipergunaknan perkataan “perbuatan” tercakup pula perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan
perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu:
12 op.cit hlm 1 13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm 77 14R.. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 49
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
2. Menambah perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” sehingga
perumusannya menjadi: perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Tetapi dalam kenyataannya bahwa
perjanjian itu dibuat oleh dua orang atau lebih.
Mengingat kelemahan-kelemahan tersebut pengertian pejanjian yang sekarang
sesuai adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua subjek hukum atau lebih
yang saling mengikatkan diri Disebut subjek hukum, karena tidak hanya orang tapi
juga badan hukum yang dapat melakukan perjanjian.
Dari pengertian perjanjian menurut kamus besar bahasa Indonesia, maka suatu
perjanjian itu dapat timbul dengan adanya kesepakatan (kata sepakat) dari para pihak
yang akan mengikatkan diri, namun meski ada kata sepakat dari para pihak yang akan
mengikatkan diri untuk mengadakan perjanjian tersebut, dalam melakukan perjanjian
tersebut harut memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan mengenai syarat sahnya perjanjian
yang terdiri dari 4 (empat) syarat yaitu:
1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Syarat yang pertama dan syarat yang ke dua, dinamakan syarat Subjektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian. Dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat Objektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan, Apabila syarat subyektif
tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya boleh batal boleh tidak, tapi
apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Adapun penjelasan mengenai syarat sah perjanjian yang penulis ambil dalam
buku karangan Salim HS dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Perdata
Tertulis adalah sebagai berikut :15
1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya. Dari pernyataan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan
sebagai berikut “kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak
tersebut ?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut dinyatakan dalam empat teori yang
menjawab momentum terjadinya persesuain pernyataan kehendak, yaitu sebagai
berikut :
a. Teori Ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran
itu bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima,
15 Salim HS, loc.cit, hlm 161
yaitu pada saat pihak yang menerima menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan
menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis,
karena dianggap terjadinya kesepakatan terjadinya kesepakatan secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (verzendteorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran
mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal ini bisa diketahui.
Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang
menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan
secara otomatis.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan
itu mengetahi adanya penerimaan (acceptantie), tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini,
bagaimana ia mengetahui isi perjanjian itu apabila ia belum menrimanya.
d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie)
Menurut teori ini, bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan
menerima jawaban secara langsung dari pihak lawan.
Di dalam hukum positif Belanda, juga diikuti yurispudensi, atau doktrin,teori
yang dianut adalah teori pengetahuan (vernemingstheorie), sedikit koreksi dari
ontavangstheorie (teori penerimaan). maksudnya penerapan teori pengetahuan tidak
secara mutllak. Sebab lalulintas hukum menghendaki gerak cepat dan tidak
menghendaki formalitas yang kaku, sehingga vernemingstheorie yang dianut. Karena
jika harus menunggu sampai mengetahui secara langsung adanya jawaban dari pihak
lawan (ontvangstheorie), diperlukan waktu yang lama.
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa momentum terjadi
perjanjian,yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak
antara kreditor dan debitor.Namun,ada kalanya tidak ada persesuaian antara
pernyataan dan kehendak.
Ada tiga teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan
pernyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan (van dunne,
1987 :108-109). Ketiga teori itu dikemukakan berikut ini.
a. Teori kehendak (wilstherie)
Menurut teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian
antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan
kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
b. Teori pernyataan (verklaringstheori)
Menurut teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui
orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah
pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka
perjanjian tetap terjadi. Dalam prakteknya, teori ini menimbulkan kesulitan-
kesulitan.
c. Teori kepercayaan (vertrouwenstherie)
Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian tetapi
pernyataan yang menimbulkan perjanjian. Kepercayan dalam arti bahwa
pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini bahwa kepercayaan
itu sulit dinilai.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga teori di atas.
Ketiga alternatif tersebut, seperti berikut ini:
a. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian
terjadi apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
Pemecahannya akan tetapi pihak lawan berhak mendapat ganti rugi, karena pihak
lawan mengharapkannya.
b. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya
kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
c. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standartcontact), yaitu
suatu perjanjian yng didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya
perjanjian dalam bentuk formulir.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, bahwa perjanjian itu sah apabila adanya
kata sepakat dari pihak yang akan mengikatkan diri pada perjanjian. Dalam Pasal
1321 KUH Perdata disebutkan mengenai sepakat adalah sebagai berikut :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperbolehkannya dengan paksaan atau penipuan”
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Syarat yang kedua menyatakan perjanjian tersebut sah jika para pihak yang
hendak mengadakan perjanjian tersebut dinyatakan cakap/mampu melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, adalah
cakap menurut hukum dewasa menurut KUH Perdata adalah telah mencapai 21 tahun
atau telah menikah. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang
tidak cakap untuk melakukan suatu perjanjian yaitu sebagai berikut :
a. Orang-orang yang belum dewasa
Dalam KUH Perdata yang dimaksud belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan sebelumnya belum
kawin. Dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 74 Tentang Perkawinan
disebutkkan mengenai kecakapan bagi seseorang yang akan melaksanakan
perkawinan adalah sebagai berikut :
“Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.” Dalam pasal 50 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan mengenai
perwalian dalam melangsungkan perkawinan adalah sebagai berikut :
“anak yang belum mencapai 18 (Delapan Belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.”
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
Dalam Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan mengenai siapa saja orang-orang
yang berada dalam pengampuan adalah sebagai berikut :
“ Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”
c. Orang perempuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang
kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Namun dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU No.1 Tahun 1974, disebutkan
sebagai berikut :
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Syarat yang ke tiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu. Yang menjadi objek dalam perjanjian adalah prestasi. Menurut pasal
1333 KUH Perdata, objek dalam suatu perjanjian harus hal tertentu dan dapat
ditentukan atau dapat diperhitungkan. Dua sifat objek ini diperlukan untuk dapat
menetapkan kewajiban para pihak jika terjadi sengketa. Objek perjanjian ini juga
dapat berupa barang-barang yang akan ada dikemudian hari. Adapun kriteria barang
tersebut meliputi :
a. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan;
b. Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain
seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum tidaklah dapat
dijadikan objek dalam perjanjian.
c. Dapat ditentukan jenisnya;
d. Barang yang telah ada (Pasal 1332 KUH Perdata)
e. Barang yang akan ada dikemudian haari (Pasal 1334 KUH Perdata)
4. Suatu sebab yang halal
Syarat yang ke empat menyebutkan adanya suatu sebab yang halal. Pasal
1335 KUH Perdata menyatakan
“Bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan”. Hal tersebut dipertegas lagi dalam pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
2. Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum bersegi dua atau jamak, yaitu
diperlukan adanya kesepakatan untuk mengikatkan pada suatu perjanjian. Dalam
Pasal 1314 menjelaskan mengenai macam-macam perjanjian, yaitu sebagai berikut :
“Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.”
Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri, contohnya Hibah
Perjanjian atas beban adalah, suatu perjanjian yang mewajibkan masing-
masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
contohnya :
a. Perjanjian untuk menyerahkan/memberikan suatu barang, contohnya jual-beli,
tukar menukar, sewa-menyewa, pinjam pakai, penghibahan.
b. perjanjian untuk berbuat sesuatu, contohnya : perjanjian perburuhan,
perjanjian untuk membuat suatu bangunan, dan lain-lain.
c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, contohnya : perjanjian antar warga
untuk tidak mendirikan bangunan yang akan menghalangi jalan, perjanjian
untuk tidak mendirikan usaha yang sejenis, dan lain sebagainya.
Selain terdapat dalam Pasal 1314 KUH Perdata, terdapat macam-macam perjanjian
yang lain, yaitu sebagai berikut :16
a. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
kepada kedua belah pihak. Contohnya jual- beli, dan sewa-menyewa.
16 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, hlm 90
b. Perjanjian Khusus (benoemd) dan perjanjian umum (ombenoemd)
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian tersebut diberi nama oleh pembentuk
Undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari,
seperti mengenai hutang piutang, perkawinan. Perjanjian khusus ini diatur
dalam Bab V-XVIII Buku III KUH Perdata. Diluar perjanjian khusus
tumbuh perjanjian umum, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Asas yang digunakan dalam
perjanjian ini adalah asas kebebasan berkontrak. Salah satu contoh
perjanjian umum ini adalah perjanjian sewa-beli.
c. Perjanjian kebendaan (Zakelijk) dan perjanian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah
perjanjian dimana pihak-pihak menyerahkan diri untuk melakukan
penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).
Dalam perjanjian jual beli benda bergerak, perjanjian obligatoir dan
perjanjian kebendaan jatuh secara bersamaan, sedangkan untuk jual-beli
benda tidak bergerak, maka dapat dikatakan penyerahan sementara, karena
diperlukan suatu lembaga di dalamnya yang disebut penyerahan.
d. Perjanjian Konsensuil, Riil dan Formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat.
Perjanjian riil adalah perjanjian, dimana selain diperlukan kata sepakat juga
diperlukan penyerahan barang. misalnya, penitipan barang, pinjam pakai
dan pinjam pengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam
bentuk tertentuatau formil. Misalnya hibah.
e. Perjanjian Bernama, Tidak Bernama dan Campuran.
Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian, dimana oleh Undang-
Undang telah diatur secara khusus. Diatur dalam KUH Perdata bab V s/d
XVIII ditambah titel VII A; dalam KUHD perjanjian-perjanjian asuransi
dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama
pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan dari pada bab I, II, IV buku III
KUH Perdata, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang
tidak diatur secara khusus. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan
apakah suatu perjanjian itu merupakan perjanjian bernama atau tidak
bernama, karena ada perjanjian-perjanjian yang mengandung berbagai unsur
dari berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian
bernama atau tidak bernama (perjanjian campuran).
f. perjanjian yang sifatnya istimewa
perjanjian istimewa ini meliputi beberapa perjanian yaitu :
1. Perjanjian Liberatoire ( Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata )
Perjanjian liberatoire adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat
para pihak menghapuskan perikatan yang telah ada. Misalnya, A
mengadakan perjanjian jual beli dengan B, dua hari kemudian dibatalkan
lagi atas perjanjian mereka.
2. perjanjian mengenai pembuktian.
Para pihak adalah bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat
pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat
ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan.
Menentukan alat bukti.
3. Perjanjian untung-untungan
Contoh perjanjian ini adalah perjanian asuransi, terdapat dalam pasal 1774
KUH Perdata.
4. Perjanian publik
Yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum
publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah),
misalnya perjanian ikatan dinas.
3. Wanprestasi dan Overmacht
Wanprestasi dan overmacht merupakan suatu keadaan debitur tidak dapat
melaksanakan kewajibannya. Untuk memperjelas keduanya sehingga akan lebih
tampak perbedaan antara keduanya, maka penulis akan menjabarkan keduanya
sehingga akan menjadi lebih jelas.
1. Wanprestasi
Prestasi adalah suatu yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perjanjian. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi karena kesalahannya
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka ia baru dapat dikatakan
ingkar janji.
Mengenai wanprestasi sangat erat hubungannya dengan somasi. Wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.17
Wanprestasi tersebut dapat berupa empat macam, yaitu :18
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan, namun terlambat,
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk keempat hal tersebut, maka debitur dapat dikenakan hukuman yang
tidak mengenakan yaitu antara lain :
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, atau biasa disebut dengan
ganti rugi;
b. Pemecahan Perjanjian atau Pembatalan Perjanjian;
c. Peralihan resiko;
d. Membayar biaya perkara, jika diperkarakan didepan hakim. 17 Salim HS, op.cit hlm 180
18.Subekti Loc.Cit, hlm 45
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi
terlebih dahulu oleh kreditur atau juru sita. somasi ini diatur dalam Pasal 1238 dan
Pasal 1243 KUH Perdata. Somasi adalah teguran secara tegas secara tertulis dari
kreditur kepada debitur yang berisikan mengenai waktu/batas terakhir debitur dalam
pemenuhan prestasinya sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakatinya. Dengan
kata lain somasi ini timbul disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya sesuai
dengan yang diperjanjiakan. Ada tiga cara terjadinya somasi itu, meliputi hal
berikut:19
a. Debitur melaksanakan prestasi namun tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan (keliru). Contoh kecilnya : A memesan sekeranjang apel,
namun B malah memberinya jambu.
b. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah diperjanjikan, hal ini
dapat berupa terlambat atau tidak memenuhinya sama sekali dan debitur
teteap tidak mau melaksanakan prestasinya.
c. Prestasi yang dilakukan debitur lewat waktunya sangat jauh, sehingga
pemenuhan prestasinya tidak berguna lagi bagi kreditur.
Dari telaahan tentang somasi tersebut di atas, tampaklah bahwa somasi
tersebut harus dibuat tertulis dalam bentuk akata atau sejenisnya yang dibuat oleh
kreditur atau pejabat yang berwenag, yaitu seperti juru sita, badan urusan piutang
negara, dan lain-lain. 19 Salim HS, Op.cit, hlm 178
Tidak semua hal ingkar janji dapat diberikan somasi. Adapun hal-hal yang
tidak memerlukan somasi ini meliputi lima hal, yaitu :20
a. Debitur menolak secara tegas untuk memenuhi prestasinya, sehingga tidak
akan menimbulkan perubahan dalam pemberian somasi oleh kreditur (H.R.
1-2-1957)
b. Debitur mengakui kelalainnya serta langsung bersedia memberikan ganti
rugi.
c. Pemenuhan prestasinya tidak akan mungkin dapat dilakukan, seperti terjadi
overmacht absolut, hilang barang yang harus diserahkan sehingga tidak
mungkin melakukan prestasinya.
d. Pemenuhan tidak akan berarti lagi, tidak akan berguana apabila pemenuhan
prestasinya hanya berguna untuk satu waktu saja. Contohnya debitur harus
menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati.
e. Debitur tidak melakukan somasi tidak pada semestinya.
Dengan kelima hal tersebut di atas, kreditur tidak usah melakukan somasi
lagi, karena keberadaannya sudah jelas, sehingga debitur dapat dinyatakan
wanprestasi. Somasi yang diberikan kreditur tidak ditentukan berapa kali, dan apabila
debitur tetap tidak mengindahkannya, maka kreditur berhak untuk membawa perkara
tersebut ke pengadilan, dan pengadilanlah yang akan memutuskan apakah debitur
wanprestasi atau tidak.
20 ibid
Masalah wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi dan
kalau disangkal olehnya, maka harus dibuktikan dimuka hakim, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1238 KUH Perdata sebagai berikut :
“Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perkataannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Masalah ingkar janji yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian harus dapat
diselesaikan dengan tuntas, tanpa menimbulkan perselisihan yang berlarut-larut.
Pihak yang dirugikan dengan adanya ingkar janji tersebut dapat menempuh cara
tertentu untuk menyelesaikan masalah ini dengan jalan mengajukan ke depan
pengadilan dengan tuntutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1267 KUH Perdata,
yaitu :
1. Pemenuhan perjanjian; 2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3. ganti rugi saja; 4. Pembatalan perjanjian; 5. Pembatalan disertai ganti rugi;
Bila pihak yang merasa dirugikan hanya menuntut ganti kerugian, maka
dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan
perjanjian, sedangkan kalau pihak yang merasa dirugikan ini hanya menuntut
pemenuhan prestasi, maka tuntutan ini bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab
pemenuhan perikatan memang sudah semula menjadi kesanggupan debitur untuk
melaksanakan.
2. Overmacht
Overmacht adalah suatu keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga-duga
kemudian terjadi dan menghalangi debitur untuk menghalangi, debitur untuk
berprestasi, sedang debitur belum lalai (belum wanprestasi)21.
Ketentuan mengenai overmacht dapat kita lihat dalam Pasal 1245 dan Pasal
1244 KUH Perdata. Dalam Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak melaksanakan perikatannya itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan tersebut disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk pada pihaknya.”
Selanjutnya Pasal 1245 menyebutkan :
“Tidaklah baiya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabil;a keadaan memaksa ataupun suatu kejadian tidak disengaja siberutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, ataupun lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan terlarang.” Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian atau bunga kepada kreditur, oleh karena keadaan yang
berada diluar kuasanya
Dengan demikian, apabila terjadi overmacht debitur tidak dapat dikenakan
sanksi karena peristiwa tersebut bukan disebabkan kelalaian, akibatnya akan timbul
21 Abdullahwahab Bakri, Hukum Benda dan Perikatan, Bandung, Fakultas Hukum UNISBA, 1999
hlm 60
resiko. Resiko disini adalah “kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena
suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak”.22
Mengenai keadaan memaksa (overmacht) ini dijabarkan dalam dua teori yaitu:
a. Teori objektif.
Menurut teori ini bahwa overmacht terjadi karena prestasinya secara mutlak
tidak dapat dilaksanakan oleh setiap orang misalnya: penyerahan rumah tidak
dapat dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat kebakaran, namun
dalam perkembangannya teori ini tidak lagi berpegang pada ketidakmungkinan
yang mutlak tetapi juga disebabkan hal-hal seperti barangnya yang hilang yang
tidak ditemukan kembali.
b. Teori Subjektif.
Menurut teori ini bahwa overmacht terjadi karena disebabkan oleh keadaan
pribadi dari debitur yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan suatu
prestasi.
Dilihat dari waktu pelaksanaan, overmacht dapat bersifat tetap, maka
berlakunya perjanjian akan berhenti sama sekali. Sedangkan pada overmacht
yang bersifat sementara, perjanjian tersebur ditunda untuk sementara waktu
dan akan dilanjutkan setelah keadaan tersebut normal kembali. Dilihat dari
prestasinya overmacht dapat bersifat absolut yaitu apabila prestasinya musnah
22 R Subekti, Op cit, hlm 59.
seluruhnya. Apabila prestasinya musnah sebagian maka disebut overmacht
relatif.
Keadaan memaksa ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu overmacht
Absolut, yaitu suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
perutangannya seperti barang yang semestinya diserahkan hanyut terbawa tsunami,
kebekaran dan lain-lain. Dan yang kedua overmacht relatif yaitu suatu keadaan yang
diakibatkan bencana tersebut masih memungkinkan debitur untuk memenuhi
prestasinya, namun membutuhkan waktu atau proses terlebih dahulu, contohnya janji
untuk menyerahkan hasil panin tahun sekarang, namun ketika akan diserahkan hasil
ladang tersebut diserang ulat, sehingga baru dapat menyerahkan hasil panen tersebut
musim berikutnya.
B. Perjanjian Pemborongan
1. Pengertian Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan, merupakan salah satu dari perjanjian untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam Pasal 1601 KUH Perdata disebutkan
bahwa perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
:
1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
2. Perjanjian kerja/perburuhan; dan
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Dalam skripsi ini penulis hanya akan membahas mengenai perjanjian pemborongan
pekerjaan saja. Pasal 1601 b KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian
pemborongan yaitu :
“Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan “.
Sedangkan menurut Subekti perjanjian pemborongan adalah :23
“pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendakai sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga borongan”.
2. Macam-macam Perjanjian Pemborongan
Dalam Pasal 1604 KUH Perdata perjanjian pemborongan pekerjaan dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Perjanjian pemborongan dimana suatu pihak pemborong hanya akan
melakukan pekerjaan yang diperjanjikan.
b. Perjanjian pemborongan dimana suatu pihak pemborong disamping
melakukan pekerjaannya, juga diharuskan menyediakan bahan-
bahannya.
Dari kedua macam perjanjian pemborongan tersebut di atas, maka dapat kita
lihat adanya perbedaan kewajiban dari keduanya sehingga akan menimbulkan
23 Ibid, hlm 58.
tanggung jawab yang berbeda pula. Hak dan kewajiban tersebut secara umum diatur
dalam Pasal 1605 KUH Perdata.
Dalam hal yang pertama, bahwa pemborong memiliki hak untuk menuntut
pembayaran sebagai jasa dari pekerjaan yang akan ia kerjakan beserta penyedian
barang dasar yang akan ia olah menjadi barang jadi. Sedangkan dalam bagian yang ke
dua, maka pemborong memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas yang telah ia
sepakati serta penyediaan barang dasar yang akan ia olah menjadi barang jadi dan
dalm hal tersebut pemborong memiliki hak untuk menuntuh pembayaran jasa/upah
atas pekerjaan yang diperjanjikan.
Selain menurut Pasal 1604 KUH Perdata, maka dalam prakteknya perjanjian
pemborongan tersebut menurut Sri Soedewi Masjhun dapat dibagi dalam beberapa
macam berdasarkan kriteria tertentu, yaitu :24
1. Menurut Objeknya dibagi kedalam dua macam, yaitu :
a. Perjanjian pemborongan yang objeknya bangunan,
b. Perjanjian pemborongan yang objeknya bukan bangunan.
2. Menurut terjadinya dapat dibedakan atas :
a. Perjanjian pemborongan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas
dasar penawaran yang diajukan. Pelelangan yang dimaksud yaitu
untuk mencari pemborong yang mengajukan dengan biaya
pemborongan terendah,
24 Sri Soedewi Masjhun Sofyan, Hukum Pembangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan,
Liberty, Yogyakartya, 1982, hlm 85.
b. Perjanjian pemborongan atas dasar penunjukan, artinya pihak yang
memborongkan menunjuk langsung siapa pemborong yang akan
menjadi mitra dalam perjanjiannya,
c. Perjanjian pemborongan yang diperoleh berdasarkan hasil
perundingan antara pemberi tugas dengan pihak pemborong.
Perjanjian ini disebut juga negotiated contract.
3. berdasarkan penentuan harga pemborongan dibedakan atas :
a. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti, yaitu harga
pemborongan tersebut berdasarkan pada harga penawaran
pemborongan yang telah disepakati bersama oleh para pihak dalam
pelelangan dan harga mengikat, maka pemborong tidak dapat
menuntut penyesuaian harga bila terjadi suatu perubahan dan tidak
menanggung resiko bagi yang memborongkan.
b. Perjanjian pemborongan atas dasar satuan, artinya harga yang
diperhitungkan untuk setiap unit jenis pekerjaannya diperhitungkan
berdasarkan banyaknya unit.
c. Perjanjian pemborongan harga Lump-sum, yaitu diperhitungkan
secara keseluruihan berupa harga serta upah serta pajaknya.
d. Perjanjian pemborongan atas jumlah biaya dan upah, yaitu pemborong
akan membayar jumlah biaya yang diborongkan dengan jumlah biaya
yang sesungguhnya, yang telah dikeluarkan pemborong dengan
upahnya.
4. Perjanjian pemborongan dilihat dari pihak yang terlibat dalam perjanjian,
yaitu antara lain perjanjian pemborongan yang dilakukan antara pihak swasta
dengan pemerintah.
3. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian Pemborongan
Agar lebih terjaminnya suatu perjanjian pemborongan, maka perjanjian
pemborongan haruslah dibuat secara tertulis (memenuhi asas legalitas). Wanprestasi
yang terjadi dalam perjanjian pemborongan, manakala debitur tidak dapat memenuhi
isi dari akta yang telah diperjanjikan, baik itu dalam menyediakkan bahan yang akan
diborongkan, cacatnya bahan/material yang akan diborongkan ataupun hasil yang
dipesan tidak sesuai dengan apa yang diminta, ataupun adanya hal lain yang tidak
dipenuhi oleh debitur dalam menjalankan isi perjanjian pemborongan tersebut,
sehingga akibat perbuatan tersebut kreditur akan dirugikan.
Overmacht yang terdapat dalam perjanjian pemborongan yaitu manakala
debitur tidak dapat melaksanakan isi perjanjian pemborongan tersebut dikarenakan
adanya suatu hal yang diluar kendali manusia seperti terjadinya bencana alam.
Sehingga debitur tidak mungkin sama sekali melaksanakan isi perjanjian atau
pelaksanaan isi perjanjian tersebut ditunda atau batal. Begitu pula dalam pelaksanaan
yang terdapat didalam Pasal 1605, 1606, 1607 KUH Perdata tersebut tidak sesuai
dengan pengharapan semata-mata bukan karena kelalain dari debitur, sehingga
debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dinyatakan bahwa dari setiap
wanprestasi yang dilakukan debitur, maka kreditur dapat mengajukan somasi untuk
memenuhi prestasinya dan jika terbukti wanprestasi, maka kreditur dapat meminta
ganti biaya kerugian dan bunga atas kejadian tersebut. Jika keadaan tersebut akibat
overmacht, maka secara otomatis hak kreditur tersebut dapat ditunda ataupun
meminta pembatalan perjanjian tanpa tuntutan apapun tergantung jenis serta akibat
dari overmacht tersebut sesuai dengan kesepakatan antara para pihak.
BAB III
PERJANJIAN ANTARA PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
DAN CV.ETNINDO TAMA DIHUBUNGKAN DENGAN
AKTA PERJANJIAN NO : 06/GIK/SPK/2007
A. Para Pihak Yang Mengadakan Perjanjian
Para pihak yang mengadakan perjanjian dalam perjanjian ini adalah dua
perusahaan swasta yang berbadan hukum, yaitu antara PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA dan CV.ETNINDO TAMA yang Pada tanggal 22 januari tahun 2007
para pihak mengikatkan diri untuk mengadakan suatu perjanjian pemborongan dalam
pembuatan patok/tapal batas. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian adalah sebagai
berikut :
Nama : H. Yana Syam M.
Jabatan : Direktur utama PT. Gayatri Indah Kentjana
Alamat : Jl. Raya Laswi No. 76 A Majalaya – Bandung
Selanjutnya di sebut Pihak Pertama atau pemberi pekerjaan
Nama : Joko S
Jabatan : Direktur utama CV.Etnindo Tama
Alamat : Jl. Cipamokolan No. 44 Bandung
Selanjutnya di sebut Pihak Kedua atau Penerima Pekerjaan
Para pihak yang mengadakan perjanjian dinilai dan telah sepakat untuk
melakukan perjanjian, serta telah memenuhi semua syarat sahnya perjanjian, yang
mendasari perjanjian tersebut terdapat dalam Pasal 1 Akta perjanjian NO :
06/GIK/SPK/2007 yaitu:sebagai berikut :
(1) pihak pertama telah memberikan pekerjaan pengadaan barang sesuai dengan yang dibutuhkan kepada pihak kedua atas tanggungan pembiayaan pihak pertama
(2) serta pihak keduapun telah menyatakan sanggup untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat teknis yang tercantum dalam perjanjian ini.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, jika kita lihat lebih lanjut lagi maka
perjanjian itu sah dimata hukum serta dibuat secara tertulis, tanpa paksaan serta diberi
materai yang cukup sehingga memiliki kekuatan hukum.
B. Prosedur Terjadinya Pemborongan
Pemborongan tersebut didapat pihak pertama melalui pelelangan berupa
tender. Untuk memenangkan tender tersebut pihak pertama telah membayar uang
jaminan sebelum pelaksanaan pelelangan. Pihak kedua berhasil mendapatkan tender
pemborongan tersebut, sehingga Pada tanggal 22 januari tahun 2007 para pihak
mengikatkan diri untuk mengadakan suatu perjanjian pemborongan dalam pembuatan
patok/tapal batas
Setelah tender tersebut didapatkan, dari semenjak ditandatanganinya
perjanjian pemborongan tersebut hingga saat ini pihak pertama belum mengeluarkan
SPK sehingga pihak kedua belum dapat mendapatkan uang pembiayaan yang
tercantum dalam Pasal 3 akta perjanjian antara kedua belah pihak tersebut. Adapun isi
perjanjian tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Nilai pekerjaan yang telah disepakati adalah sebesar Rp.1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan perhitungan harga sebesar Rp.15.000 (lima belas ribu rupiah).” Kemudian isi pasal tersebut dipertegas dengan Pasal 4 ayat (2), yang berbunyi
sebagai berikut :
(2). Pembayaran pekerjaan dilaksanakan dengan cara indent/pasca bayar/dibayar dimuka, dimana pihak pertama akan memberikan dana pembiayaan pekerjaan secara penuh sesuai kualitas dalam surat perintah pelaksanaan kerja (SPK) sebelum pihak kedua melaksanakan pekerjaan.
Jadi karena belum juga diterbitkan SPK oleh pihak pertama, maka secara
otomatis pihak kedua belum dapat memulai melaksanakan pekerjaannya serta belum
dapat menerima pembayaran biaya pelaksanaan pekerjaan yang terdapat dalam Pasal
3 akta perjanjian.
C. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
Akibat hukum dari setiap perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban
antara para pihak. Hak dan kewajiban tersebut akan penulis jabarkan dalam
pembahasan ini sesuai dengan yang terdapat dalam isi perjanjian, antara lain sebagai
berikut:
1. Hak para Pihak yang mengadakan perjanjian pemborongan
Hak merupakan sesuatu hal yang akan diterima oleh seseorang atau pihak
tertentu. Hak para pihak tersebut meliputi :
a. Hak pihak pertama (sebagai yang memborongkan) antara lain sebagai berikut:
1. Menerima patok tapal batas dengan jumlah 100.000 (seratus ribu)
buah dari pihak kedua dengan bentuk dan ukuran sesuai dengan yang
diperjanjikan
2. Menerima patok yang telah dipesan dengan tempo paling lama 350
(tiga ratus lima puluh) hari yang akan diberikan dalam lima tahapan.
3. Menerima jaminan dari pihak kedua senilai 10% dari nilai yang
tercantum dalam surat perintah pelaksanaan pekerjaan.
b. Hak pihak kedua (sebagai pemborong) antara lain sebagai berikut :
1. Menerima SPK (Surat Perintah Kerja) selambat-lambatnya 70 hari
kalender sejak diterbitkannya perjanjian tersebut
2. Menerima pembayaran secara utuh atas biaya pengadaan barang
senilai Rp. 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah) atau
dengan hitungan Rp. 15000 / buah. Setelah dikeluarkannya SPK.
2. Kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian pemborongan
Kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh tidak
dilaksanakan oleh seseorang atau pihak tertentu. Kewajiban para pihak tersebut
meliputi :
a. Kewajiban pihak pertama (yang memborongkan) antara lain meliputi :
1. Menerbitkan surat perintah kerja (SPK) selambat-lambatnya 70 hari
dari disepakatinya perjanjian tersebut.
2. Membayar secara penuh atas biaya pengadaan barang senilai
Rp.1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah)
b. Kewajiban pihak kedua (sebagai pemborong) antara lain meliputi :
1. Melaksanakan kewajiban untuk pembuatan patok sebanyak 100.000
(seratus ribu) buah dengan bentuk dan ukuran sesuai dengan apa yang
telah diperjanjikan.
2. Pembuatan patok tersebut harus selesai dalam tempo waktu 350 hari
setelah dikeluarkannya Surat Perintah Kerja (SPK)
3. Menyerahakan jaminan pelaksanan pekerjaan sebesar 10% dari nilai
yang tercantum dalam Surat Perintah Pelaksanaan Pekerjaan (SPPP)
D. Wanprestasi Dan Overmacht
1. Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
karena kesalahannya sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur. Adapun kelalaian yang dilakukan salah satu pihak
yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah kelalaian yang telah dilakukan oleh pihak
pertama dalam pemenuhan kewajibanya sehingga melanggar dari isi perjanjian.
Dalam hal ini, pihak pertama telah melanggar Pasal 6 ayat (2) dari isi
perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua, isi perjanjian itu berbunyi sebagai
berikut :
(2). Surat perintah pelaksanaan pekerjaan untuk pertama kalinya akan diterbitkan selama-lamanya 70 hari kalender sejak tanggal yang tercantum dalam perjanjian ini.
Selain itu dalam Pasal 8 Akta perjanjian NO : 06/GIK/SPK/2007
menyebutkan mengenai sanksi-sanksi manakala terjadi kelalaian yang dilakukan oleh
para pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut :
(1) Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam pasal 6 ayat 2 perjanjian ini,
pihak pertama tidak dapat menerbitkan surat perintah pelaksanaan pekerjaan,
maka pihak pertama wajib untuk mengganti segala kerugian dan pembiayaan-
pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh pihak kedua menyangkut rencana
pelaksanaan pekerjaan pembuatan patok atau tapal batas.
(2) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pada pasal 5 ayat 1
perjanjian ini, pihak kedua tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak
kedua dikenakan sanksi denda keterlambatan sebesar 1% untuk 1hari
keterlambatan penyerahan pekerjaan.
(3) Apabila keterlambatan penyerahan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak
kedua menyebabkan jumlah denda mencapai 10 % sesuai jaminan
pelaksanaan pekerjaan yang diserahkan pihak kedua, maka pihak pertama
hanya berkewajiban untuk membayar sejumlah barang yang telah dibuat oleh
pihak kedua saja serta perjanjian ini menjadi batal adanya dan tidak dapat
dilanjutkan dengan alasan apapun.
Akibat yang dilakukan oleh pihak pertama tersebut, pihak kedua dirugikan
dari segi waktu karena setelah ditandatanganinya perjanjian ini, pihak kedua telah
menolak beberapa tawaran pemborongan dari pihak-pihak lain. Selain hal tersebut,
pihak kedua juga telah dirugikan dari segi materi/biaya, karena setelah disepakatinya
perjanjian ini, pihak kedua telah membuat rencana untuk memenuhi perjanjian
tersebut, diantaranya telah membeli lagi serta memperbaiki sejumlah alat untuk
memperlancar dalam pemenuhan kewajiban tersebut.
2. Overmacht
Overmacht dalam akta perjanjian No.06/GIK/SPK/2007 berupa force majeur
yaitu terdapat dalam Pasal 9 akta perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Keadaan jika terjadi keadaan di luar dugaan serta tidak dapat dihindari,
yaitu keadaan yang darurat di luar kekuasaan serta kemampuan manusia
seperti bencana alam, huru-hara, peperangan, sabotase serta kejadian yang
serupa.
b. Jika akibat dari keadaan yang terdapat dalam huruf a tersebut bersifat
sementara, maka debitur dapat meminta perpanjangan waktu/tenggang
waktu minimal 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu yang telah ditentukan.
c. Jika keadaan yang terdapat dalam huruf a tersebut bersifat
absolut/permanen/mutlakmaka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal
dan tidak berlaku dengan sendirinya.
E. Penyelesaian Perselisihan
Dalam Pasal 10 akta perjanjian No. 06/GIK/SPK/2007, disebutkan mengenai
penyelesain perselisihan jika terjadi masalah, adapun isi perjanjiannnya sebagai
berikut :
(1) Segala bentuk perselisihan yang terjadi antara pihak pertama dan pihak kedua
akibat di buatnya perjanjian ini, akan diselesaikan secara musyawarah dan
kekeluargaan
(2) Apabila jalan musyawarah dan kekeluargaan tidak dapat menghasilkan kata
mufakat dan jalan keluar, maka akan diselesaikan melalui jalur hukum yang
berlaku.
(3) Apabila dikemudian hari kedua belah pihak sepakat untuk merubah dan atau
menambah isi perjajian ini maka akan dibuatkan perjanjian tambahan atau
perubahan/addendum perjanjian ini yang merupakan satu kesatuan utuh dan
tidak terpisahkan dengan perjanjian ini.
Penjelasan mengenai BAB III ini didapat dari hasil wawancara dengan kedua
belah pihak yang telah membuat perjanjian, selain berupa perjanjian, para pihak
memberikan penjelasan sebagai berikut :
1. H. Yana Syam M. sebagai Direktur utama PT. Gayatri Indah Kentjana (yang
memborongkan)
H. Yana Syam M telah memberi penjelasan bahwa beliau memang telah membuat
perjanjian kerjasama pemborongan dengan CV.ETNINDO TAMA dalam hal
pembuatan patok, yang kemudian kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk
akta perjanjian. Mengenai kelalaian yang telah dilakukannya, beliau juga
mengakuinya bahwa pihaknya hingga saat ini belum mengeluarkan SPK, namun
belum terbitnya SPK tersebut menurutnya diluar kehendak/dugaan, karena proyek
pembuatan patok tersebut merupakan suatu proyek dari pemerintah kota Banten,
namun dikarenakan adanya hal tertentu yang belum diketahui sebabnya proyek
tersebut dihentikan untuk jangka waktu yang belum tentu. Akibat hal tersebut,
hingga sekarang PT.GAYATRI INDAH KENTJANA belum dapat mengeluarkan
SPK. Pihaknya pun siap untuk mengganti semua ketentuan yang ada dalam pasal
8 ayat (1) akta perjanjian yaitu untuk mengganti semua kerugian dan pembiayaan-
pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh CV.ETNINDO TAMA, namun
penggantian kerugian tersebut hanya bisa dilakukan oleh PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA setelah mendapat dana dari Pemerintah Kota Banten sedangkan
dana tersebut dapat keluar jika sudah dipastikan apakah proyek tersebut
dihentikan untuk sementara atau selamanya (sudah pasti waktunya) dan hingga
saat ini pun pihak PT.GAYATRI INDAH KENTJANA juga masih berusaha
untuk mengetahui tindak lanjut dari proyek tersebut.25
2. Joko S sebagai Direktur utama CV.ETNINDO TAMA (sebagai pemborong)
Bapak Joko telah memberikan penjelasan pada penulis, bahwa beliau telah
membuat suatu akta perjanjian dengan PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
mengenai kerjasama pemborongan dalam hal pembuatan patok/tapal batas yang
25 Wawancara dengan Yana Sambas M di Majalaya, 31 Januari 2008.
didapat dari suatu pelelangan/tender. Pembuatan akta tersebut dilakukan
berdasarkan kesepakatan yang telah dibuatnya setelah memenangkan tender
tersebut yang kemudian dilakukan pengetesan kekuatan terhadap contoh patok
yang dibuatnya. Dalam perjanjian tersebut, pembuatan patok mulai dilakukan
setelah PT.GAYATRI INDAH KENTJANA memberikan SPK pada
CV.ETNINDO TAMA yang selambat-lambatnya dikeluarkannya setelah 70 hari
ditandatanganinya perjanjian tersebut. Menurut penuturannya PT.GAYATRI
INDAH KENTJANA telah ingkar terhadap perjanjian yang telah dibuatnya.
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA hingga sekarang belum juga menerbitkan
SPK, sehingga CV.ETNINDO TAMA belum bisa mengerjakan pembuatan patok
tersebut dan belum menerima pembayaran atas biaya yang dikeluarkannya.
Pihaknya juga telah memberikan teguran pada mitra kerjanya PT.GAYATRI
INDAH KENTJANA namun selalu membawa hasil yang tidak memuaskan dan
selalu meminta tenggang waktu. Pihak CV.ETNINDO TAMA juga setelah
memberi teguran beberapa kali namun tidak mendapatkan hasil, sehingga berniat
untuk menempuh jalur hukum, namun PT.GAYATRI INDAH KENTJANA terus
menghalanginya/meminta untuk diselesaikan dengan jalan kekeluargaan saja
karena menurutnya PT.GAYATRI INDAH KENTJANA juga masih menunggu
kepastian dan turunnya dana penggantian biaya dari pemerintah kota Banten.
Namun demikian, menurut Joko S (pihak pemborong) “perjanjian Tetaplah
Perjanjian” sehingga keberadaannya harus tetap dipatuhi sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.26
26 Wawancara dengan Joko S di Bandung, 04 januari 2008
BAB IV
PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. GAYATRI INDAH KENTJANA
DAN CV. ETNINDO TAMA MENGENAI PEMBUATAN PATOK DI
PROPINSI JAWA BARAT DAN BANTEN DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU
III KUH PERDATA
A. Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Patok Antara
PT.GAYATRI INDAH KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA Ditinjau
Dari Buku III KUH Perdata
Sebelum kita membahas mengenai prosedur pelaksanaan perjanjian, maka
alangkah lebih baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu mengenai asal mula
terjadinya perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak berawal dari
sebuah pelelangan/tender. CV. ETNINDO TAMA berhasil mendapatkan tender
tersebut yang kemudian secara otomatis dipilih oleh PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA sebagai rekan kerja dalam pembuatan patok/tapal batas. Setelah
dimenangkan tender tersebut, kemudian PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
mengadakan survei pada CV. ETNINDO TAMA untuk menguji daya tahan patok
yang akan dibuatnya. Setelah survei tersebut, bertempat di Garut pada tanggal 22
januari tahun 2007 dibuatlah akta perjanjian antara kedua belah pihak tersebut yang
memuat hak dan kewajiban para pihak, ketentuan pembayaran, penerbitan SPK,
sanksi-sanksi manakala terjadi wanprestasi, keadaan darurat/force majeur,
penyelesaian perselisihan dan penutup. Sehingga berdasarkan asal mula dibuatnya
perjanjian pemborongan, perjanjian ini merupakan perjanjian pemborongan yang
diperoleh sebagai hasil pelelangan.
Setelah kita lihat dari asal mula dibuatnya perjanjian tersebut, langkah
pertama yang dilakukan dalam pembuatan perjanjian tersebut adalah dengan melihat
terpenuhinya semua unsur yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu
mengenai syarat sahnya perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dalam setiap perjanjian prosedur yang harus ditempuh adalah terpenuhinya
syarat sah perjanjian, karena jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dianggap tidak sah menurut hukum/tidak memiliki kekuatan
hukum. Dalam hal ini perjanjian yang dilakukan antara PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA juga harus memenuhi syarat sah tersebut.
Syarat yang pertama dalam perjanjian ini adalah adanya kesepakatan antara
para pihak yang hendak mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Kesepakatan yang
dilakukan oleh PT.GAYATRI INDAH KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA
telah dinyatakan dengan dipilihnya CV. ETNINDO TAMA oleh PT.GAYATRI
INDAH KENTJANA dalam sebuah pelelangan sebagai pihak yang diberi
kepercayaan untuk mengerjakan pembuatan patok yang kemudian pada tanggal 22
Januari 2007 dibuatlah akta perjanjian tersebut dengan ditandatangani serta diberi
materai yang cukup.
Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata menyatakan mengenai syarat sah perjanjian
yang kedua, yaitu para pihak yang mengadakan perjanian harus cakap untuk
membuat perjanjian. Dalam hal ini PT.GAYATRI INDAH KENTJANA merupakan
suatu perusahaan berbadan hukum yang yang bergerak dibidang jasa, properti,
pertanian, hasil bumi, konstruksi, perdagangan umum dan investasi. Sedangkan CV.
ETNINDO TAMA merupakan suatu perusahaan pemborongan yang telah berbadan
hukum yang bergerak dibidang pengadaan barang bangunan dan pembuatan barang
bangunan, pembuatan patok, mesin-mesin dan lain-lain. Kedua perusahaan tersebut
telah berbadan hukum, sehingga memiliki kemampuan yang telah dinilai cakap untuk
mengadakan/membuat suatu perjanjian dengan pihak manapun baik itu dengan
instansi pemerintah ataupun dengan pihak swasta.
Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan mengenai objek perjanjian
yaitu suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu ini diartikan sebagai adanya objek yang
diperjanjikan baik itu barang yang telah ada ataupun barang yang akan ada
dikemudian hari. Dalam perjanjian pemborongan antara PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA, merupakan suatu perjanjian mengenai
pembuatan patok/tapal batas. Sehingga yang menjadi objek dalam perjanjian ini
merupakan barang yang akan ada dikemudian hari, sedangkan yang terdapat dalam
perjanjian ini merupakan perjanjian kerjasama dalam hal pembuatan suatu barang.
Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata menyebutkan syarat sah perjanjian yang ke
empat, yaitu suatu perjanjian sah apabila adanya suatu sebab yang halal. Dalam Pasal
1335 KUH Perdata tidak menyebutkan mengenai suatu sebab yang hal, tetapi hanya
menyebutkan bahwa suatu perjanjian jika dibuat atas dasar kepalsuan atau terlarang
maka perjanian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Pasal 1337 KUH Perdata
mempertegas mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu suatu sebab dibuatnya
perjanjian yang bertentangan dengan Undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Perjanjian antara PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA dibuat dengan tidak bertentangan dengan
undang-undang karena merupakan suatu perjanjian mengenai pembuatan patok yang
legal serta tidak ada aturan yang melarang pembuatan patok tersebut dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, ini semua merupakan syarat
secara umum yang selalu harus dipenuhi.
Persyaratan khusus yang diajukan oleh para pihak yang membuat perjanjian
antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA Dan CV. ETNINDO TAMA dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :
1. Syarat yang diajukan oleh CV. ETNINDO TAMA sebagai pemborong/pihak
kedua, yaitu sebagai berikut :
a. mengajukan pernyataan penawaran umum atas pembuatan patok atau tapal
batas yang akan ditempatkan, yang menjadi objek perjanjian.
b. Merupakan perseroan yang berbadan hukum tetap dan dan memiliki
pengaturan organisasi secara mandiri
c. Mempunyai bahan-bahan bangunan khusunya patok atau tapal batas yang
sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
d. Telah mendapat survei dari pihak PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
untuk menguji kekuatan patok atau tapal batas.
2. Sementara itu PT.GAYATRI INDAH KENTJANA di dalam memutuskan
untuk menerima pembuatan patok atau tapal batas dari pihak rekanan akan
melihat hal-hal sebagai berikut:
a. Pihak rekanan yang telah melakukan penawaran umum disaring dari
beberapa perseroan, sehingga mendapat patok atau tapal batas yang
terbaik.
b. Pembuatan patok atau tapal batas dari perseroan diharapkan memiliki
kemampuan yang teruji dalam pelaksanaannya,sehingga diperlukan suatu
uji coba terhadap alat tersebut.
c. Pihak rekanan tidak memiliki catatan buruk, baik dalam hal keuangan,
organisasi, maupun aspek penunjang lainnya.
Selain mengenai syarat sahnya perjanjian, adapun prosedur lain yang terdapat
dalam kesepakatan antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO
TAMA yaitu mengenai bentuk perjanjian tersebut, apakah perjanjian itu dibuat secara
tertulis atau secara lisan.
Perjanjian kerja sama antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA Dan CV.
ETNINDO TAMA merupakan perjanjian timbal balik karena masing-masing pihak
memiliki kewajiban pokok yang harus dipenuhi. Kewajiban pokok yang harus
dillakukan PT.GAYATRI INDAH KENTJANA sebagai pemberi borongan yaitu :
3. Menerbitkan surat perintah kerja (SPK) selambat-lambatnya 70 hari dari
disepakatinya perjanjian tersebut (Pasal 6 ayat 1 akta perjanjian).
4. Membayar secara penuh atas biaya pengadaan barang senilai
Rp.1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) (Pasal 3 akta
perjanjian).
Sedangkan kewajiban CV. ETNINDO TAMA sebagai pemborong adalah sebagai
berikut:
4. Melaksanakan kewajiban untuk pembuatan patok sebanyak 100.000
(seratus ribu) buah dengan bentuk dan ukuran sesuai dengan apa yang
telah diperjanjikan (Pasal 2 akta perjanjian).
5. Pembuatan patok tersebut harus selesai dalam tempo waktu 350 hari
setelah dikeluarkannya Surat Perintah Kerja (SPK) (Pasal 6 ayat 3 akta
perjanjian).
6. Menyerahkan jaminan pelaksanan pekerjaan sebesar 10% dari nilai yang
tercantum dalam Surat Perintah Pelaksanaan Pekerjaan (SPPP) (Pasal 7
akta perjanjian)
Setelah penulis lihat lebih jelas lagi dengan teliti dalam perjanjian tersebut
merupakan perjanjian kerja sehingga harus lebih jelas lagi penanganannya manakala
terjadi permasalahan. Sehingga penulis berpendapat bahwa perjanjian ini merupakan
perjanjian formil artinya bahwa perjanjian tidak cukup hanya dengan adanya kata
sepakat dari para pihak, tetapi kesepakatan tersebut harus dibuat secara tertulis yang
dituangkan dalam bentuk akta perjanjian, sehingga perjanjian tersebut akan lebih jelas
mengenai hak dan kewajiban para pihak, serta adanya bukti yang nyata manakala
terjadi wanprestasi.
Apabila perjanjian kerjasama tersebut dihubungkan denagan Buku III KUH
Perdata, maka perjanjian tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian kerjasama
mengenai pemborongan untuk pembuatan suatu barang yang pengaturannya terdapat
dalam Pasal 1604 - 1617 KUH Perdata.
Setelah penentuan bentuk perjanjian kerjasama, yang berbentuk tertulis,
selanjutnya para pihak dalam perjanjian secara otomatis akan timbul hak-hak apa saja
yang akan diterimanya serta kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh
para pihak yang telah mengikatkan diri.
Dalam pelaksanaan isi perjanjian tersebut ada langkah-langkah yang harus
ditempuh oleh para pihak sebelum melaksanakan pengerjaan patok/tapal batas
tersebut dicantumkan dalam pasal-pasal akta perjanjian tersebut. Dari isi pasal-pasal
perjanjian tersebut, penulis dapat menjabarkan beberapa langkah yang ditempuh oleh
para pihak.
Pasal 1 Ayat (1) akta perjanjian mengemukakan mengenai pembiayaan yang
akan dibiayai oleh pihak pertama (yang memberikan borongan) dan ayat (2)
mengemukakan mengenai kesangguapan yang diajukan oleh pihak kedua
(pemborong). Pasal 2 akta perjanjian mengemukakan mengenai lingkup pekerjaan
yaitu pembuatan patok yang berjumlah 100.000 (seratus ribu) buah serta bentuk dan
spesifikasi patok. Pasal 3 akta perjanjian mengemukakan mengenai nilai pekerjaan
yaitu mengenai total harga dan harga satuan patok. Pasal 4 akta perjanjian membahas
mengenai sumber pembiayaan dan bentuk pembayaran. Pasal 5 akta perjanjian
membahas mengenai jangka waktu pelaksanaan. Pasal 6 akta perjanjian membahas
mengenai prosedur dalam pelaksanaan pengerjaan patok, yaitu pengerjaan patok
mulai dapat dilakukan setelah dikeluarkan SPK oleh pihak pemberi borongan. Pasal 7
akta perjanjian membahas mengenai jaminan pelaksanaan pekerjaan. Pasal 8 akta
perjanjian membahas mengenai sanksi-sanksi manakala terjadi kelalain/tidak
ditepatinya perjanjian tersebut. Pasal 9 akta perjanjian membahas mengenai bentuk-
bentuk keadaan darurat/force majeur dan ketentuan mengenai langkah yang ditempuh
apabila terjadi keadaan darurat tersebut. Pasal 10 akta perjanjian membahas mengenai
cara/langkah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian perselisihan antara para pihak.
Pasal 11 akta perjanjian merupakan ketentuan penutup dalam perjanjian, yaitu
membahas mengenai kesepakatan tersebut yang merupakan ketentuan dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata yaitu mengenai sepakatnya dalam pembuatan perjanjian,
yaitu perjanjian dibuat dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani serta tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
Dari penjabaran pasal demi pasal di atas maka akan tampak lebih jelas lagi
mengenai prosedur pelaksanaan pemborongan yang akan ditempuh para pihak dalam
melaksanakan isi perjanjian sekaligus dapat kita lihat mengenai sanksi-sanksi mana
kala terjadi wanprestasi dan ketentuan-ketentuan bila terjadi keadaan darurat atau
force majeur.
B. Akibat Hukum Apabila Salah Satu Pihak Tidak Dapat Melaksanakan
Kewajibannya
Seperti telah dibahas dalam BAB II, debitur tidak dapat melakukan prestasi
disebabkan karena:
1. Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan
debitur. Seorang debitur baru dapat dikatakan Wanprestasi apabila telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita.
Wanprestasi tersebut dapat berupa empat macam, yaitu :
e. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
f. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
g. Melakukan apa yang dijanjikan, namun terlambat,
h. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk keempat hal tersebut, maka debitur dapat dikenakan hukuman yang tidak
mengenakan yaitu antara lain :
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, atau biasa disebut dengan ganti
rugi;
b. Pemecahan Perjanjian atau Pembatalan Perjanjian;
c. Peralihan resiko;
d. Membayar biaya perkara, jika diperkarakan di depan hakim.
Wanprestasi dalam akta perjanjian ini terdapat dalam Pasal 8 akta perjanjian,
yaitu sebagai berikut :
(4) Apabila jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat 2 perjanjian ini,
pihak pertama tidak dapat menerbitkan surat perintah pelaksanaan pekerjaan,
maka pihak pertama wajib untuk mengganti segala kerugian dan pembiayaan-
pembiayaan yang telah dikeluarkan oleh pihak kedua menyangkut rencana
pelaksanaan pekerjaan pembuatan patok atau tapal batas.
(5) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pada Pasal 5 ayat 1
perjanjian ini, pihak kedua tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak
kedua dikenakan sanksi denda keterlambatan sebesar 1% untuk 1hari
keterlambatan penyerahan pekerjaan.
(6) Apabila keterlambatan penyerahan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak
kedua menyebabkan jumlah denda mencapai 10 % sesuai jaminan
pelaksanaan pekerjaan yang diserahkan pihak kedua, maka pihak pertama
hanya berkewajiban untuk membayar sejumlah barang yang telah dibuat oleh
pihak kedua saja serta perjanjian ini menjadi batal adanya dan tidak dapat
dilanjutkan dengan alasan apapun.
Dalam Pasal 8 akta perjanjian tersebut penulis dapat membagi kedalam 2
(dua) bagian, yaitu wanprestasi yang dilakukan oleh PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA
a. Wanprestasi yang dilakukan oleh PT.GAYATRI INDAH KENTJANA yaitu
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu PT.GAYATRI INDAH KENTJANA
hingga batas waktu yang ditentukan belum juga mengeluarkan SPK,
sedangkan CV. ETNINDO TAMA telah mengeluarkan biaya untuk
perbaikan alat dan perencanan pelaksanaan pekerjaan. Berdasarkan Pasal 8
ayat (1) perjanjian ini, maka PT.GAYATRI INDAH KENTJANA wajib untuk
mengganti segala kerugian yang diakibatkannya, jika kita lihat jenis
wanprestasinya maka dapat dikategorikan sebagai wanprestasi yang ‘’tidak
melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukan’’ maka sanksinya pun
dapat berupa membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa juga
disebut dengan ganti rugi.
b. Wanprestasi yang dilakukan CV. ETNINDO TAMA yaitu terdapat dalam
Pasal 8 ayat (2) dan (3) akta perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) perjanjian ini, wanprestasi yang
dilakukan oleh CV. ETNINDO TAMA yaitu apabila dalam tempo waktu 100
hari kalender dari dikeluarkannya SPK, CV. ETNINDO TAMA tidak
dapat/terlambat memenuhi kewajibannya (prestasi). Berdasarkan isi pasal
tersebut, maka CV. ETNINDO TAMA dapat dikenakan denda keterlambatan
sebesar 1% untuk setiap hari keterlambatannya.
c. Pasal 8 ayat (3) akta perjanjian yaitu mempertegas/menambahkan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (2), yaitu jika denda keterlambatan tersebut
mencapai 10% maka PT.GAYATRI INDAH KENTJANA hanya
berkewajiban untuk membayar sejumlah barang yang yang telah di buat oleh
CV. ETNINDO TAMA saja dan sebagai sanksinya perjanjian tersebut
dianggap batal dan tidak dapat dilanjutkan denga alasan apapun.
Pasal 8 ayat (2) dan (3) tersebut dikategorikan ’’wanprestasi yang melakukan
apa tang diperjanjikan’’, namun terkambat dan dapat dikenakan sanksi berupa
peralihan resiko atau pembatalan perjanjian.
2. Overmacht
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 akta perjanjian bahwa
keadaan darurat yang terjadi dapat berupa bencana alam, huru-hara, peperangan,
sabotase, dan kejadian lain yang serupa/diluar kemampuan manusia dalam Pasal 9
ayat (2) dan (3) akta perjanjian menjabarkan mengenai dampak/akibat yang
terjadi force majeur tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (2) akta perjanjian, jika bencana
yang ditimbulkan itu bersifat sementara maka debitur dapat meminta
perpanjangan waktu untuk melaksanakan prestasinya dengan ketentuan dengan
pengajuan perpanjangan tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya 7 hari
sebelum batas waktu pemenuhan prestasi berakhir.
Jika keadaan darurat tersebut menimpa PT.GAYATRI INDAH
KENTJANA, maka PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dapat meminta
penundaan penerbitan SPK, membayar biaya pengadaan barang, jika keadaan
darurat yang sifatnya sementara tersebut menimpa CV. ETNINDO TAMA,maka
CV. ETNINDO TAMA dapat meminta perpanjangan waktu dalam hal
melaksanakan pembuatan patok,penyerahaan patok yang telah di
buatnya,menyerahkan jaminan pelaksanaan pekerjaan yang sebesar 10%, Pasal 9
ayat (3) akta perjanjian memberi penjelasan jika akibat keadaan darurat tersebut
bersifat permanen/absolut, jika terjadi hal demikian maka perjanjian tersebut
menjadi batal dan tidak berlaku dengan sendirinya, jika peristiwa tersebut
menimpa PT.GAYATRI INDAH KENTJANA ataupun CV.ETNINDO TAMA,
maka perjanjian ini menjadi batal dan secara otomatis hak dan kewajiban para
pihak tersebut batal dengan sendirinya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Prosedur pelaksanaan perjanjian antara PT. GAYATRI INDAH
KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA sudah memenuhi syarat umum
yaitu syarat syahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata dan syarat khusus yang ditentukan para pihak dalam perjanjian
antara PT. GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV. ETNINDO TAMA
melalui lelang, setelah dilakukan lelang tersebut PT. GAYATRI INDAH
KENTJANA mengajukan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh CV.
ETNINDO TAMA seperti pihak rekanan yang telah dipilihnya telah
memenuhi/lolos survei sehingga mendapatkan patok/tapal batas yang
terbaik, sedangkan syarat yang diajukan CV. ETNINDO TAMA adalah
PT. GAYATRI INDAH KENTJANA merupakan suatu perusahaan yang
telah berbadan hukum tetap dan mandiri serta memiliki pengaturan
organisasi secara mandiri.
2. Akibat hukum apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu karena wanprestasi dan overmacht.
wanprestasi yang dilakukan oleh PT. GAYATRI INDAH KENTJANA
apabila dalam tempo waktu 70 hari semenjak ditandatangani akta
perjanjian PT. GAYATRI INDAH KENTJANA belum juga
mengeluarkan SPK, maka atas kelalaiannya tersebut PT. GAYATRI
INDAH KENTJANA dapat dikenakan sanksi berupa penggantian biaya
kerugian atas perencanan pelaksanaan pekerjaan, sedangkan wanprestasi
yang dilakukanm oleh CV. ETNINDO TAMA apabila dalam batas waktu
100 hari setelah diterbitkan SPK, CV ETNINDO TAMA terlambat/tidak
melakukan prestasi maka atas keterlambatannya tersebut CV. ETNINDO
TAMA wajib membayar denda 1% atas keterlambatannya perhari, dan
jika denda tersebut mencapai 10% PT. GAYATRI INDAH KENTJANA
hanya berkewajiban membayar sejumlah barang yang telah dibuat oleh
CV. ETNINDO TAMA saja dan sebagai sanksinya perjanjian tersebut
dianggap batal dan tidak dapat dilanjutkan dengan alasan apapun, akibat
hukum dari overmacht apabila hanya bersifat sementara, maka debitur
dapat meminta penundaan pemenuhan prestasi dan jika bersifat
absolut/permanen, maka perjanjian tersebut batal dengan sendirinya.
B. Saran
1. Berdasarkan kasus yang penulis teliti, maka dalam hal ini penulis
memberi saran bagi setiap subjek hukum yang akan mengadakan suatu
perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian.
2. Bagi setiap pihak yang membuat suatu perjanjian apabila telah memenuhi
syarat sahnya perjanjian, maka hendaklah menjalankan isi dari perjanjian
itu didasari dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdullahwahab Bakri, Hukum Benda dan Perikatan, Bandung, Fakultas Hukum
UNISBA, 1999
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982 Cholid Narbuko & H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, 2001
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996
Roni Hanitijo Sumitro,Metedolog Penelitan Hukum, Ghalia, Bandung, 1994 R.. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987 R.Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-18, Pradnya
Paramita Jakarta, 1984
Salim HS, Pengantar hukum perdata tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 Sri Soedewi Masjhun Sofyan, Hukum Pembangunan, Perjanjian Pemborongan
Bangunan, Liberty, Yogyakartya, 1982 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Inter Masa, Jakarta, 2004
B. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Amandemennya.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Akta Perjanjian Kerjasama Antara PT.GAYATRI INDAH KENTJANA dan CV.
ETNINDO TAMA No : 06/GIK/SPK/2007
C. Sumber Lain
Wawancara dengan H. Yana Syam.
Wawancara dengan Joko S.