perkembangan desa-desa eks ... - repository.ipb.ac.id · perkembangan desa-desa eks transmigrasi...
TRANSCRIPT
PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA
SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)
JUNAIDI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi) adalah karya saya dengan arah komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Juli 2012
Junaidi
NIM H162070051
ABSTRACT
Transmigration as a development model in Indonesia has been implemented long enough. During the implementation, transmigration program have shown varying degree of success, in turn becomes one of the flagship program to develop nation self-reliance. In autonomy era, transmigration still becomes a development model, but there has been a decline in migrant placement. This study aimed to: (1) develop measurement and analyze development stadia of the ex-transmigration villages in Jambi Province, (2) analyze factors that influence the development of ex-transmigration villages in Jambi Province, (3) analyze the socio-economic conditions of ex-transmigration villages population in Jambi Province, and (4) analyze the linkages and factors that affecting ex-transmigration villages linkage to surrounding area in the province of Jambi. The study was conducted in ex-transmigration villages in Jambi Province. Factor, cluster and discriminate analysis used to measure villages develop stadia. Ordinal logic regression model used to analyze the factors that affect village development stadia. Interaction between ex-transmigration village and surrounding area was approached by population movement and binary logic regression model used to analyze resident’s trip to work and shopping. The study found three variables to measure village’s development stadia namely the percentage of permanent housing (welfare indicator), the ratio of agricultural industry to population (non-agricultural indicator) and the percentage of agricultural area (agricultural activity indicator). Concurrent with village’s development stadia, non-agricultural and agriculture activities also increase. Increasing village’s development stadia was indicated by growing of non-agricultural activities from the fulfillment of primary needs towards secondary/tertiary needs of the population. Development of ex-transmigration villages is determined by various factors including the distance of residential to activity centers, particularly road infrastructure, major transmigration commodities, transmigration characteristics, duration of migrant’s placement, as well as macroeconomic performance of the regency. The study also found low interaction between ex-transmigration with non transmigration villages. The low interaction is caused by : 1) underdeveloped of various facilities and production activities in the sorrounding villages that has functionally linkages with ex-transmigration villages ; 2) relative far distance and non existing reliable transportation infrastructure that link the ex-transmigration village with the surrounding villages; 3) weak efforts of social capital development at the community level. Working trip models show that individuals who work outside the village tend to be younger, better educated, family’s member, differ by region of origin and village stadia. Family shopping trip model show that family with high shopping proportion to outside the village is family with younger wife, have better education, older children, higher children income and higher family income per capita
Keywords: Ex-transmigration villages, regional interaction, Agriculture activities, non-agriculture activities, village stadia, shopping trip model, working trip model.
RINGKASAN
JUNAIDI. Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SLAMET SUTOMO dan BAMBANG JUANDA.
Pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan di
Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan, sehingga transmigrasi selama beberapa dekade menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan wilayah.
Di era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Selain masalah-masalah keterbatasan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi, penurunan ini lebih disebabkan oleh berbagai faktor: Pertama, adanya berbagai stigma negatif dalam pelaksanaan transmigrasi. Kedua, program transmigrasi memang telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian diantaranya belum sepenuhnya mencapai tingkat perkembangan secara optimal yang mampu menopang pengembangan wilayah dan bahkan sebagian diantaranya direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak untuk berkembang. Ketiga, pembangunan transmigrasi juga dipandang bersifat eksklusif sehingga kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya. Ini menyebabkan desa-desa transmigrasi yang berhasil cenderung tumbuh menjadi kawasan enclave yang berhasil meningkatkan kesejahteraan transmigran, namun kontribusi pada pengembangan wilayah sekitarnya relatif rendah.
Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (3) Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (4) Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Unit analisis terdiri dari tiga tingkatan, yaitu individu, rumah tangga dan desa. Individu adalah anggota rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel. Desa adalah desa eks transmigrasi yaitu unit permukiman transmigrasi yang telah menjadi desa definitif.
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan pada rumah tangga sampel, menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data sekunder yang digunakan bersumber dari PODES 2008, PPLS 2008, Sensus Ekonomi 2006, Provinsi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan Kecamatan dalam Angka, dan instansi/ lembaga terkait lainnya.
Untuk menyusun indikator stadia perkembangan desa digunakan analisis faktor, klaster dan analisis diskriminan. Stadia perkembangan desa yang diacu dalam penelitian adalah hipotesis stadia perkembangan desa yang dikemukakan
Rustiadi et al. (2009). Oleh karenanya, penelitian ini secara tidak langsung bertujuan untuk menguji, mengkonfirmasi, mengoreksi atau mengembangkan hipotesis stadia perkembangan desa tersebut.
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa eks transmigrasi digunakan model regresi ordinal logit. Peubah tak bebas (dependent variable) adalah pengkategorian stadia desa eks transmigrasi. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari peubah-peubah yang berasal dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-peubah wilayah kabupaten penempatan.
Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk dilakukan survai pada enam desa terpilih. Masing-masing satu desa stadia perkembangan tertinggi dan terendah untuk pola transmigrasi tanaman pangan, perkebunan karet dan perkebunan sawit. Selanjutnya analisis interaksi wilayah didekati melalui perjalanan penduduk di desa sampel untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi. Secara lebih khusus, dilakukan pemodelan pergerakan perjalanan penduduk untuk bekerja dan belanja dengan menggunakan model binary logit.
Hasil penelitian menemukan bahwa perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan perkembangan desa secara umum.
Berkembangnya industri di perdesaan merupakan faktor penting untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri perdesaan akan meningkatkan permintaan dan harga jual produk pertanian, serta meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Berkembangnya industri perdesaan juga menumbuhan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukungnya.
Bersamaan dengan perkembangan desa, juga terjadi pergeseran dalam pola aktivitas non-pertanian. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk.
Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak ke pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor makro wilayah kabupaten.
Desa-desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan kabupaten serta memiliki kualitas jalan kurang memadai cenderung berkembang lebih lambat. Ini menunjukkan lokasi transmigrasi dengan keterkaitan yang kuat pada pusat kegiatan (digambarkan oleh jarak relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang lebih besar mencapai stadia perkembangan tinggi.
Komoditi tanaman utama desa juga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan lambat dibandingkan tanaman perkebunan.
Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan proses
penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan.
Berdasarkan daerah asal, kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.
Selanjutnya, perkembangan wilayah kabupaten penempatan juga menjadi faktor penentu perkembangan desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha di kabupaten lokasi penempatan desa eks transmigrasi semakin meningkatkan peluang desa mencapai perkembangan lebih baik. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk.
Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan.
Hasil penelitian juga menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi disebabkan tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.
Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Mengutip hanya untk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA
SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)
JUNAIDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Setia Hadi, MS
Dr. Donny Iskandar, MT
?tnzgnv t0
rnqele{rcl
l
eloEEuy
. I900L0z9tH:Iplurmf :
(rgtuuf rsurnord rpu€lfry) uedeq s;X uu>letrqa) pues u,{tuulqeg qufu1116 uuEuep
r$l?roluJ uep rse"6nusuerJ s>lg eseq-?seq uuEuuqweryed :
Ztq1l1rl.t 91 :ue1fn luEEuul
961 "puun1
Euuqurug'rI'rCI Jord
.{m up"sepred uep qe,(ey16
ueunEtrequred rrsuuucuoJed ntull
IpqS unford unle)
I^IIN3ru?N
:snln'I luE8uu;
eloEEuy
W@
IEV'oS'IN'tlufs I
uuelrusucsed rlulo{es
$W;:""
s{tW"WJsF ;\) tHfurBqt-aFiK&J h' --,
?^'"Wlea#.;l$
ffi
Is?Ueslc Inpnf
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah mengenai perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, Bapak Dr.Slamet Sutomo,SE,MS dan Bapak Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda,MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peneliti pada Litbang Ketransmigrasian Kemenakertrans di Jakarta, Kepala dan Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, Kepala Desa Mekar Sari, Lurah Bandar Jaya, Kepala Desa Bukit Mas, Kepala Desa Rasau, Kepala Desa Sungkai dan Kepala Desa Rimbo Mulyo yang banyak menfasilitasi penelitian ini selama di Jambi.
Teramat penting, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang tua (Ayahanda Syafril dan Ibunda Rismaniar), mertua (Ayahanda Hapiun Nasution dan Ibunda Sri Sutari), isteri tercinta Hardiani, SE, M.Si serta anak-anak tersayang Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah atas semua doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan.
Akhir kata, meskipun jauh dari kesempurnaan, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak terkait.
Bogor, Juli 2012
Junaidi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 2 Juni 1967 sebagai anak sulung
dari pasangan Syafril dan Rismaniar. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi sejak tahun 1993. Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Teori Ekonomi Kependudukan dan Ekonomi Sumberdaya Manusia, Matematika Ekonomi dan Statistik.
Pada Tahun 1996, penulis menikah dengan Hardiani, SE,M.Si dan telah dikaruniai tiga orang anak: Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah.
Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan tiga buku yaitu (1) Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan yang ditulis bersama dengan Hardiani, SE, M.Si; (2) Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis yang ditulis bersama dengan Prof.Dr. Amri Amir, SE, MS dan Drs. Yulmardi, MS; dan (3) judul Ekonometrika Deret Waktu yang ditulis bersama dengan Prof.Dr.Ir. Bambang Juanda, MS. Sebuah artikel yang berjudul Analisis Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi akan diterbitkan pada Jurnal Paradigma Ekonomi Edisi Vol. 4 No. 2 Juli – Desember 2012. Artikel lain berjudul Pengembangan Pola Transmigrasi di Era Otonomi Daerah akan diterbitkan pada Jurnal Visi Publik Edisi Vol. 9 No. 1 April –September 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
ii
xiii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiii I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 11 1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................ 11
II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13 2.1 Pengembangan Wilayah ...................................................................... 13 2.2 Interaksi antar Wilayah ....................................................................... 27 2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah ..................... 30 2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa ................................... 37 2.5 Indikator Perkembangan Desa ............................................................. 48 2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia ....................................................... 56 2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi .................................................... 65 2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain...................................... 72 2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi .................... 79 2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi ............................... 96 2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya.................................................... 103
III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .................................... 113 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 113 3.2 Hipotesis ........................................................................................... 118
IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 123 4.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 123 4.2 Unit Analisis ..................................................................................... 123 4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan ............................................ 123 4.4 Alat Analisis ..................................................................................... 124
V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ......... 141 5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi............... 141 5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan ....... 146 5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi.................................................. 151
VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ................................................................................................ 157 6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa
Non-Transmigrasi ............................................................................. 157
xiv
6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi...................................................................................... 169
6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa ...................................................... 180 6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya .................................................... 183 6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi .................. 196
VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DGN WILAYAH SEKITARNYA....... 207 7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian ......................................... 207 7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk .................................................... 218 7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi ........................ 234
VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN ...... 267 8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas
Hipotesis Rustiadi.............................................................................. 267 8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan .......... 270
IX. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 277 9.1 Kesimpulan ....................................................................................... 277 9.3 Saran Penelitian Lanjutan .................................................................. 281
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 283 LAMPIRAN ................................................................................................ 293
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia ..................................... 3
2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial ............................................ 28
3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan .................................................. 29
4 Indikator pembangunan berkelanjutan .......................................................... 32
5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya ...................................................................................... 36
6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas .... 44
7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal.................................. 52
8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan .................................................................... 63
9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah ............................................................................................ 65
10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara .............. 74
11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran ............................................................................ 98
12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi ...................... 100
13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi ............................................... 101
14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri .......................................................................................... 102
15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi .......................................................... 127
16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data .............. 139
17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011 ......................................................... 143
18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011 ...................................................... 144
19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009 ............................................................................. 146
20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009 ................................. 147
21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009 ................................................... 150
xvi
22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa) .................................................. 150
23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 .................................................. 151
24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009 ........................................... 151
25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 159
26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ................ 161
27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 162
28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ............................ 164
29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 165
30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 167
31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008 ............................ 167
32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006 ................................................. 168
33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ..................................................... 170
34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi ............................................................................................... 171
35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 173
36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi .... 173
37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 174
38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........................................................................ 174
39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........ 176
40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ..... 176
41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ............... 177
xvii
42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ...... 178
43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi .................................... 179
44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi ........ 179
45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten ................... 180
46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan ......................... 181
47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda ...................... 182
48 Canonical discriminant function coefficients .............................................. 182
49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa ........................................ 182
50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi .......................... 184
51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 188
52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 189
53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 191
54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ....................................................................................... 191
55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 193
56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 193
57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 195
58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 196
59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan ................................................................................................ 197
60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan ........... 197
61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa ........................................................................................... 199
62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa.................................................................................................. 200
63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi ....................... 202
64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi ............ 203
65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011..................... 207
xviii
66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 219
67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 220
68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 221
69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 222
70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 223
71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 224
72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 224
73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................................................ 226
74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 226
75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 227
76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................... 228
77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 229
78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 230
79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 231
80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 233
81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ..................................................................................... 234
82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011 ................................................................................................ 236
83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011 ................................................................................................ 240
xix
84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011 ........................................................................................................... 243
85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011............ 247
86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011 ........................................................................................................... 250
87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011 ................................................................................................ 253
88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 255
89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja ............................... 260
90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja ............................... 260
91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja ............................................ 261
92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja .......................................... 264
93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja ............................... 264
94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja ................................... 265
xx
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. ...................... 4
2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. ....................................................... 32
3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. ...................... 66
4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ........................ 69
5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi. ........................................................................................................ 80
6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi. ............................................................ 95
7 Kerangka pemikiran penelitian ................................................................... 116
8 Alir rancangan penelitian ........................................................................... 138
9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi daerah di Provinsi Jambi. ........................................................................... 144
10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). ...................................................................... 147
11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). ........................................................................................ 148
12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ................................................ 161
13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ......................................... 165
14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. ............... 169
15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari. ............................................................ 208
16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya. .................................................. 210
17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas. ............................................................. 212
18 Lokasi penelitian Desa Rasau. .................................................................... 214
19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.................................................................. 215
20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo. ....................................................... 217
21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Mekar Sari, Tahun 2011. ............................................................................ 237
22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bandar Jaya, Tahun 2011 ........................................................................... 241
xxii
23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011. ............................................................................. 244
24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rasau, Tahun 2011. .................................................................................... 248
25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Sungkai, Tahun 2011.................................................................................. 251
26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011. ....................................................................... 254
27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. ...................................... 268
28 Model baru stadia perkembangan desa. ...................................................... 270
29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ....................... 271
30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. ....... 274
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
1 Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa
transmigrasi ............................................................................................... 295
2 Nilai Z peubah indikator (tahap 1) .............................................................. 299
3 Nilai Z peubah indikator (tahap 2) .............................................................. 304
4 Nilai Z peubah indikator (tahap 3) .............................................................. 309
5 Pengujian multivariate outlier (tahap 1) ..................................................... 315
6 Pengujian multivariate outlier (tahap 2) ..................................................... 318
7 Pengujian MSA (tahap 1). .......................................................................... 321
8 Normalisasi peubah, indeks komposit dan diseminasi ................................ 323
9 Korelasi antarpeubah model determinan stadia desa eks transmigrasi ........ 327
10 Korelasi antarpeubah model perjalanan bekerja .......................................... 328 11 Korelasi antarpeubah model perjalanan belanja .......................................... 329
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Program transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan dan
pengembangan wilayah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dimulai
dari zaman pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1905 (pada saat itu transmigrasi
dikenal dengan istilah kolonisasi). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
tersebut (1905–1941), sasaran utamanya selain untuk mengurangi kepadatan
penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-
daerah luar Pulau Jawa. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Jepang (1942–
1945), transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk secara paksa dari
Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia untuk bekerja paksa bagi keperluan
pertahanan Jepang (Keyfitz & Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh, 1982).
Setelah kemerdekaan, pada awal orde lama, sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi
(perubahannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tentang
Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi) dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk mempertinggi
taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh
rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pada Tahun 1965, dikeluarkan
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi,
yang menyatakan tujuan transmigrasi untuk memperkuat pertahanan dan
keamanan revolusi serta meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama
produksi pangan.
Pada Orde Baru, tujuan transmigrasi semakin berkembang ke tujuan non-
demografis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tujuan
transmigrasi adalah untuk peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah,
keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata ke seluruh
Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; kesatuan
dan persatuan bangsa serta memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional.
Pada era otonomi daerah, transmigrasi masih menjadi salah satu model
pembangunan. Namun penyelenggaraannya dihadapkan tantangan yang terkait
2
dengan perubahan tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang berciri
sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan penerapan desentralisasi dan
otonomi. Otonomi daerah selain menyebabkan pergeseran kewenangan
penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan pelaksanaan transmigrasi
sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah.
Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut, telah dikeluarkan
Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang diperbaharui
melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan tujuan transmigrasi adalah: (1) untuk meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) meningkatkan pemerataan
pembangunan daerah; dan (3) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai
keberhasilan. Program transmigrasi telah menempatkan sebanyak 2.115.309
kepala keluarga. Penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) juga memperlihatkan
peningkatan kesejahteraan transmigran dibandingkan daerah asalnya. Dari
penciptaan kesempatan kerja, transmigrasi tidak hanya mampu menciptakan
kesempatan kerja pada sektor pertanian, tetapi sektor-sektor non pertanian lainnya
baik di hulu maupun hilirnya (Puslitbangtrans 2004). Dari sisi pembangunan
daerah, kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru
yang berperan sebagai pusat produksi pertanian, perkebunan, bahkan
pemerintahan. Najiyati et al. (2006) dari penelitiannya terhadap 1.406 Unit
Permukiman Transmigrasi menemukan bahwa sebanyak 520 unit atau 37%
mampu menjadi sentra produksi pangan sedangkan yang lainnya berkembang
menjadi sentra produksi komoditas lain terutama tanaman perkebunan.
Siswono (2003) mengemukakan program transmigrasi telah ikut menunjang
pembangunan daerah melalui pembangunan perdesaan baru. Dari 3000-an UPT
(Unit Permukiman Transmigrasi), 945 di antaranya telah berkembang menjadi
desa baru. Desa-desa baru tersebut tumbuh dan berkembang menjadi ibukota
kecamatan dan bahkan menjadi ibukota kabupaten/kota. Berdasarkan data Tahun
2010, eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat
pemerintahan sebanyak 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011). Ini menunjukkan
3
bahwa pembangunan transmigrasi telah menjadi perintis berdirinya beberapa
kabupaten/kota dan kecamatan di Indonesia.
Di daerah asal, kontribusi pembangunan transmigrasi juga dirasakan.
Selain mengatasi persoalan keterbatasan peluang kerja dan berusaha, program
ini telah mendukung pembangunan beberapa infrastruktur strategis seperti
Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Waduk Mrica d i Jawa Tengah, Waduk
Saguling di Jawa Barat, dan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Realitas tersebut menunjukkan, transmigrasi dalam kurun waktu cukup lama
telah menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian
bangsa melalui pengembangan potensi sumber daya wilayah terintegrasi dengan
penataan persebaran penduduk. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan
strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan menjadi sumber
pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah.
Namun demikian, pada era otonomi telah terjadi penurunan penempatan
transmigran. Pada akhir Orde baru (Pelita VI) rata-rata penempatan transmigran
sebanyak 350.064 KK per tahun, sedangkan pada era otonomi, Tahun 2000– 2004
hanya berhasil ditempatkan sebanyak 87.571 KK per tahun. Penurunan ini
berlanjut pada Tahun 2005–2009 menjadi 41.853 KK per tahun dan pada Tahun
2010-2011 menjadi 7.310 KK per tahun (Tabel 1 dan Gambar 1).
Tabel 1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia
Waktu penempatan UPT/LPT
Jumlah Rata-rata per tahun
KK Jiwa KK Jiwa Era Kolonisasi (1905 - 1942) 62 60155 232802 1583 6126 Pra Pelita (1950 – 1968) 176 98631 394524 5191 20764 Pelita I (1969/1970-1973/1974) 139 40906 163624 8181 32725 Pelita II (1974/1975-1978/1979) 139 82959 366429 16592 73286 Pelita III (1979/1980-1983/1984) 767 337761 1346890 67552 269378 Pelita IV (1984/1985-1988/1989) 2002 750150 2256255 150030 451251 Pelita V (1989/1990-1993/1994) 750 265259 1175072 53052 235014 Pelita VI (1994/1995-1998/1999) 1109 350064 1400256 70013 280051 Era otonomi daerah
2000 - 2004 246 87571 354272 17514 70854 2005 - 2009 420 41853 161047 8371 32209 2010 - 2011 75 14620 54215 7310 27108
Sumber: Kemenakertrans (2012)
4
Gambar 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. Sumber: Kemenakertrans (2012).
Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya kelembagaan
penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif
daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan biaya (Anharudin et al.
2008), penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan adanya berbagai stigma
negatif yang mengiringi keberhasilan program ini. Di antara stigma negatif
tersebut menurut Manuwiyoto (2008) adalah transmigrasi dicap sebagai program
sentralistik, pemindahan kemiskinan, deforestasi, jawanisasi, dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM). Fearnside (1997) mengemukakan bahwa transmigrasi telah
menjadi penyebab utama dari berkurangnya hutan-hutan di Indonesia dan
aktivitas-aktivitas penyelenggaraan transmigrasi juga cenderung berdampak pada
pelanggaran hak asasi manusia. Sehubungan dengan tujuan redistribusi penduduk,
Wijst (1985) melalui kajiannya juga mengemukakan transmigrasi selama ini
hampir tidak mempengaruhi distribusi penduduk Indonesia dan hanya di daerah
penerima tertentu efek transmigrasi cukup signifikan. Selain itu, dia juga
meragukan peran transmigrasi yang berorientasi pertanian dapat berdampak pada
proses pembangunan daerah.
Terkait dengan stigma negatif ini, Siswono (2003) juga mengemukakan
beberapa aspek yang menyebabkan terpuruknya citra program transmigrasi yang
menyebabkan penolakan transmigrasi d i beberapa daerah. Di antaranya adalah:
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Kolonisasi1905-1942
Pra Pelita1950-1968
Pelita I69/70-73/74
Pelita II74/75-78/79
Pelita III79/80-83/84
Pelita IV84/85-88/89
Pelita V89/90-93/94
Pelita VI94/95-98/99
2000-2004 2005-2009 2010-2011
Periode Penempatan
KK
ata
u jiw
a (0
00 p
er ta
hun)
KK Jiwa
5
(a) terlalu berpihaknya pemerintah kepada transmigran dalam pemberdayaan
dan pembinaan masyarakat d i unit permukiman transmigrasi (UPT) dan kurang
memperhatikan penduduk sekitar. Perbedaan ini, mengakibatkan perkembangan
UPT relatif lebih cepat ketimbang desa-desa sekitarnya sehingga menimbulkan
kecemburuan yang berdampak sangat rentan terhadap konflik; (b) Sistem
pemberdayaan dan pembinaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dengan
pendekatan sentralistik, mengakibatkan budaya lokal nyaris tidak berkembang,
sementara budaya pendatang lebih mendominasi; (c) Proses perencanaan
kawasan permukiman transmigrasi kurang dikomunikasikan dengan masyarakat
sekitar. Akibatnya, masyarakat sekitar permukiman transmigrasi tidak merasa
terlibat, dan karenanya tidak ikut bertanggung jawab atas keberadaannya; (d)
Adanya pembangunan permukiman transmigrasi yang eksklusif sehingga
dirasakan kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan
sekitarnya; dan (e) Adanya permukiman transmigrasi yang tidak layak huni,
layak usaha, dan layak berkembang dan justru menjadi desa tertinggal.
Anharudin et al. (2006) juga mengemukakan, meskipun program transmigrasi
telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian di antaranya belum
sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu
menopang pengembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain
yang sudah ada. Bahkan menurut Haryati et al. (2006) sebagian dari permukiman
transmigrasi tersebut direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak berkembang.
Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan tidak berjalannya struktur
kawasan transmigrasi yang berpola hierarkis. Pembangunan transmigrasi yang
dilaksanakan sebelum otonomi yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1972, sebenarnya sudah dirancang atas dasar struktur kawasan yang berciri
hierarkis, dari satuan terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) hingga terbesar yaitu
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Dalam struktur perwilayahan ini,
pengembangan transmigrasi mengikuti mekanisme pasar dan berjenjang yaitu
pola aliran produksi yang dihasilkan adalah dari SP ke pusat SKP (Satuan
Kawasan Pengembangan), dan pusat-pusat SKP menuju pusat WPP (Wilayah
Pengembangan Parsial) dan selanjutnya dikumpulkan di pusat SWP yang
merupakan pintu gerbang pemasaran ke arah luar wilayah. Selanjutnya, dalam
6
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali
masuk ke wilayah adalah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian
didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah (SKP) sampai di pusat-pusat SP.
Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan
berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara
kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut.
Namun demikian, menurut Yuniarti et al. (2008), dalam prakteknya hal
tersebut tidak selalu berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan. Ini
disebabkan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan
sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan,
pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang
diharapkan. Faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan
kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan
pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.
Setelah otonomi daerah, pada dasarnya sudah ada pergeseran paradigma
transmigrasi yang ekslusif ke paradigma inklusif, atau secara konseptual
melibatkan masyarakat desa-desa sekitar sebagai bagian dari kawasan
transmigrasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2009, lingkup geografis kawasan transmigrasi terdiri atas
permukiman baru transmigrasi, desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa
setempat. Namun menurut Najiyati (2008) secara praktis masih ada keterpisahan
antara masyarakat transmigrasi yang berada di dalam unit permukiman yang
dibangun secara terkonsentrasi, dengan masyarakat sekitar atau setempat yang
berada di luar unit. Keterpisahan bukan saja secara konseptual, tetapi juga
terwujud dalam bentuk-bentuk perlakuan, program, dan input (pemberian), yang
bias ke warga yang di dalam unit permukiman transmigrasi. Sementara itu,
penduduk desa sekitar masih terabaikan. Penelitian yang dilakukan Najiyati
(2008) di tujuh provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat
menemukan bahwa masih banyak masyarakat miskin dan menganggur di desa
7
sekitar permukiman transmigrasi yang belum tersentuh oleh program
transmigrasi.
Tidak sejalannya dan adanya keterpisahan pelaksanaan pembangunan
wilayah transmigrasi dengan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi
pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait dalam
pelaksanaan ketransmigrasian dengan pengembangan wilayah di daerah.
Lemahnya koordinasi ini terlihat baik pada tingkat lembaga di pusat maupun
daerah dan juga dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun
pelaksanaan pembangunannya.
Fakta-fakta ini merupakan faktor utama yang menjadi dasar menurunnya
kinerja transmigrasi sejak era otonomi daerah. Sebagian daerah tidak lagi
menempatkan program transmigrasi sebagai kebijakan prioritas disebabkan
program transmigrasi hanya berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan
transmigran dan cenderung tumbuh sebagai kawasan enclave, dengan kontribusi
yang rendah terhadap pengembangan wilayah sekitarnya. Penelitian Anharudin et
al. (2008) pada tujuh provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan
Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara) menemukan
bahwa tiga provinsi sama sekali tidak mencantumkan klausul transmigrasi dalam
Rencana Strategis (Renstra) daerahnya. Selain itu, meskipun semua provinsi
memiliki dinas yang mengurusi transmigrasi, namun demikian hanya tiga dinas
yang memiliki Renstra mengenai transmigrasi. Hal ini menunjukkan transmigrasi
masih sangat tergantung ke program pusat, yang diberikan kepada daerah, yang
tercermin dalam seberapa anggaran yang dialokasikan kepada daerah tersebut.
Salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia adalah Provinsi
Jambi. Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah dimulai dari Tahun 1940
dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data Tahun 2011, transmigran
yang telah ditempatkan mencapai 100.260 KK (Kemenakertrans 2012). Jumlah
tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama
penempatan transmigran.
Meskipun demikian, fenomena penurunan kinerja transmigrasi setelah
otonomi daerah ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Pada orde baru (Pelita I – VI),
rata-rata penempatan transmigrasi mencapai 3568 KK per tahunnya, menurun
8
pada era otonomi daerah (2000 – 2011), menjadi rata-rata penempatan hanya 682
KK per tahunnya (Kemenakertrans 2012). Penurunan ini juga tidak terlepas dari
berbagai permasalahan penyelenggaraan transmigrasi secara nasional
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.
Pembangunan transmigrasi masih memiliki potensi dan peluang untuk
mendorong pengembangan wilayah di Provinsi Jambi. Kepadatan penduduknya
masih relatif rendah. Data tahun 2010 menunjukkan sebesar 64 jiwa per km2,
yaitu kurang dari separuh tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara
keseluruhan yang sebesar 126 jiwa/km2 (menempati urutan ke 12 kepadatan
penduduk terendah dari 33 provinsi di Indonesia) (BPS 2010). Meskipun secara
umum tidak terdapat lahan dalam hamparan yang relatif luas untuk
mengembangkan permukiman transmigrasi seperti pola periode Orde Lama atau
awal/pertengahan periode Orde Baru, tetapi masih memungkinkan pembangunan
transmigrasi yang dilaksanakan secara tersebar pada lahan-lahan yang belum
termanfaatkan atau pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang
masih sangat rendah.
Dari sisi peluang usaha, Provinsi Jambi juga memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian khususnya tanaman bahan
makanan dan perkebunan. Hal ini terlihat dari fakta kontribusi sektor pertanian
yang mencapai 30,46 persen dari total PDRB, dan kontribusi dari subsektor
tanaman bahan makanan serta perkebunan mencapai 83,03 persen dari total
PDRB sektor pertanian.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian terkait dengan
pengembangan transmigrasi di daerah ini. Hasil pembelajaran (lesson learned)
dari pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai referensi pembangunan
perdesaan secara umum dan mengembangkan kebijakan penyelenggaraan
transmigrasi dalam kerangka percepatan pembangunan daerah melalui
pengembangan desa-desa.
1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang
menjadi penyebab penurunan penempatan transmigrasi di era otonomi. Namun
demikian penelitian ini lebih menekankan permasalahan adanya sebagian
9
permukiman transmigrasi yang tidak berkembang secara baik sehingga menjadi
beban pembangunan di daerah dan di sisi lain terdapat permukiman transmigrasi
yang berkembang ternyata menjadi daerah-daerah enclave yang kurang
berdampak pada pengembangan wilayah sekitarnya.
Dalam konteks transmigrasi sebagai program yang bertujuan untuk
meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa, pemukiman transmigrasi selain diharapkan berkembang menjadi
pusat-pusat pertumbuhan, juga diharapkan dapat memberikan dampak pada
pengembangan wilayah di sekitarnya. Jika permukiman transmigrasi yang telah
berkembang tidak memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah sekitarnya,
maka akan mengakibatkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan dalam
masyarakat. Ketidakmerataan ini dapat dengan mudah menimbulkan rasa
ketidakpuasan antar wilayah serta membuka peluang munculnya ketidakstabilan
politik daerah. Jika terjadi ketidakstabilan politik akan sangat merugikan daerah
dalam jangka menengah dan panjang.
Selain itu, berbagai fenomena empirik menunjukkan ketidakmerataan
pembangunan yang berkepanjangan akhirnya akan menimbulkan efek yang
kontra-produktif terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan demi peningkatan
pertumbuhan itu sendiri. Di negara-negara maju dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, keberlanjutan pertumbuhan dapat terjaga oleh tingkat
kemajuan yang merata. Secara sistemik, tingkat kemajuan dari suatu sistem tidak
lepas dari keberadaan komponen yang paling lemah. Ini berarti tingkat kemajuan
daerah juga akan sangat ditentukan oleh kondisi wilayah tertinggal yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengetahuan mengenai perkembangan
pemukiman transmigrasi yang telah terbangun saat ini (setelah masa pembinaan
dan menjadi desa definitif). Selama ini, kajian-kajian perkembangan pemukiman
transmigrasi telah banyak dilakukan, namun demikian hanya dilakukan terbatas
pada pemukiman masa pembinaan (antara 5 – 6 tahun). Misalnya kajian yang
dilakukan oleh Pusdatin Transmigrasi dan Institut Pertanian Bogor pada tahun
1998/1999 pada 597 UPT sampel di Indonesia dan kajian oleh Wibowo et al.
(2000) pada empat provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
10
Hasil-hasil kajian tersebut hanya terbatas menggambarkan keragaan
pembangunan transmigrasi pada masa pembinaan dan tidak terdapat pembelajaran
apa yang terjadi setelah proses pembinaan. Hal ini berimplikasi pada kesulitan
dalam menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi dalam konteks
keterkaitannya dengan pengembangan wilayah sekitarnya dan kontribusinya
terhadap pembangunan daerah. Selain itu, juga terdapat kehilangan informasi
yang berharga berupa pengalaman membangun desa-desa transmigrasi yang dapat
diterapkan dalam pembangunan desa-desa secara umum di Indonesia.
Pemahaman terhadap perkembangan pemukiman transmigrasi khususnya
setelah masa pembinaan (desa-desa eks transmigrasi), faktor-faktor yang
mempengaruhinya, serta keterkaitan desa-desa eks transmigrasi tersebut terhadap
pengembangan wilayah sekitarnya tentunya akan dapat menjadi dasar penting
dalam merancang pengembangan program transmigrasi sehingga dapat menjadi
program yang berkontribusi positif pengembangan wilayah perdesaan dan
pembangunan daerah di era otonomi. Pemahaman ini juga tentu dapat menjadi
pembelajaran yang berharga yang secara umum dapat diterapkan dalam
pembangunan perdesaan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam
bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan desa-desa eks transmigrasi (pemukiman
transmigrasi setelah masa pembinaan) di Provinsi Jambi ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks
transmigrasi di Provinsi Jambi ?
3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks
pemukiman transmigrasi di Provinsi Jambi ?
4. Bagaimanakah keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keterkaitan antara desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah-wilayah
sekitarnya di Provinsi Jambi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan penyelenggaraan
transmigrasi dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan serta pembangunan
daerah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
11
1. Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan
desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-
desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks
transmigrasi di Provinsi Jambi
4. Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di
Propinsi Jambi
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Pembelajaran dari perkembangan permukiman transmigrasi ini dapat
dijadikan dasar untuk pembangunan perdesaan secara umum dan
pengembangan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi yang sesuai
dengan tuntutan era otonomi daerah dan kebutuhan pengembangan
wilayah perdesaan dan pembangunan daerah
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama yang terkait
dengan pengembangan ketransmigrasian sebagai program
pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah.
1.5 Kebaruan Penelitian Terdapat tiga aspek kebaruan dalam penelitian ini. Pertama, dari sisi objek
analisis yang menggunakan desa-desa eks transmigrasi. Selama ini, kajian-kajian
perkembangan permukiman transmigrasi umumnya hanya dilakukan terbatas pada
permukiman transmigrasi pada masa pembinaan, sehingga belum terdapat
informasi terstruktur dan mekanisme yang menggambarkan perkembangan
pemukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks transmigrasi). Hal ini
berimplikasi pada kesulitan menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi
sebagai program pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah dan
secara umum hilangnya informasi yang berguna yang dapat dimanfaatkan dalam
pembangunan perdesaan di Indonesia. Kedua, dari sisi konsep yang digunakan
dalam pengukuran perkembangan desa. Konsep-konsep perkembangan desa yang
12
pernah digunakan selama ini umumnya hanya melihat pada aspek kesejahteraan
baik kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya tanpa melihat perubahan-
perubahan aktivitas ekonomi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan desa.
Hal ini disebabkan cara pandang yang melihat desa hanya sebagai tempat
pertanian. Dalam penelitian ini perkembangan desa tidak hanya dilihat dari
peningkatan kesejahteraan semata, tetapi juga melihat perkembangan desa yang
bergerak dari tahapan desa pertanian menjadi daerah perkotaan (urbanisasi atau
industrialisasi perkotaan). Oleh karenanya selain melihat perkembangan
kesejahteraan juga melihat perkembangan berbagai aktivitas pertanian dan non-
pertanian yang ada di desa. Ketiga, penelitian ini mencoba mengungkap aspek
interaksi (keterkaitan) desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya
dalam rangka memberikan konsep pengembangan keterkaitan desa transmigrasi
dengan wilayah sekitarnya.
Melalui ketiga aspek tersebut, diharapkan dapat direkomendasikan pola baru
dalam pembangunan transmigrasi ke depan sebagai program pembangunan
perdesaan yang sesuai dengan era otonomi daerah yaitu penyelenggaraan
transmigrasi yang tidak saja mampu secara secara efektif dan efisien mendorong
perkembangan pemukiman transmigrasi itu sendiri, tetapi juga memiliki
keterkaitan dengan wilayah sekitarnya sehingga mampu mendorong
perkembangan wilayah (desa-desa) sekitarnya serta perkembangan ekonomi
daerah.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Wilayah
2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi Wilayah Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para pakar ekonomi,
pembangunan, geografi maupun bidang lainnya mengenai terminologi wilayah
(region) (Alkadri 2001). Keragaman dalam mendefinisikan konsep “wilayah”
terjadi karena perbedaan dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun
tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi.
Sebagai suatu sistem, Hilhorst (1971) mengidentifikasikan wilayah sebagai
subsistem dari suatu sistem yang lebih besar. Dalam konteks geografi, secara
ringkas Blair (1991) mendefinisikan wilayah sebagai bagian dari suatu area.
Selanjutnya, Nugroho dan Dahuri (2004) mendefinisikan wilayah sebagai suatu
area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media lokasi
berinteraksi. Sedangkan, Budiharsono (2001) mendefinisikan wilayah sebagai
suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya
tergantung secara internal dalam dimensi ruang dan merupakan wadah bagi
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan
ekonomi yang tidak sama. Terminologi wilayah sangat longgar, dan batasannya
sangat tergantung pada tujuan analisis. Batasan suatu wilayah bisa hanya meliputi
satu desa, suatu kecamatan, suatu kabupaten atau wilayah ekonomi yang melewati
batas negara.
Selanjutnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen di
dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya.
Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat
dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam,
sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan.
Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan
sumber daya lainnya dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Dalam konteks keterkaitan secara fungsional ini, Saefulhakim et al. (2002)
mengemukakan bahwa wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah”
yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik
14
secara geometris maupun similarity”. Oleh karena itu, pewilayahan (penyusunan
wilayah) adalah penggambaran (delineation) unit geografis berdasarkan
kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara bagian yang
satu dengan bagian yang lainnya.
Di Indonesia, perbedaan mendefinisikan wilayah terlihat dalam penggunaan
terminologi kawasan dan daerah. Pengertian kawasan umumnya mempunyai
batasan dan sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian daerah
umumnya mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek administratif. Aspek
fungsional dan administratif dari wilayah ini juga dijelaskan dalam Undang-
Undanga Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan
wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional.
Selanjutnya, sebagaimana halnya perbedaan dalam mendefinisikan
wilayah, juga terdapat berbagai perbedaan dalam mengklasifikasikan wilayah.
Johnston (1976), diacu dalam Rustiadi et al. (2009) membagi wilayah atas (1)
wilayah formal, yaitu tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan
karakteristik; dan (2) wilayah fungsional atau nodal, yang merupakan konsep
wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antarkomponen atau
lokasi/tempat. Dalam konteks yang sama, Harmantyo (2007) mengemukakan
bahwa wilayah formal sebagai wilayah obyektif yaitu wilayah sebagai tujuan, dan
wilayah fungsional sebagai wilayah subjektif yaitu wilayah sebagai sarana untuk
mencapai tujuan.
Haruo (2000) mengemukakan terdapat dua tipe dasar dalam
pendeskripsian wilayah. Tipe pertama, biasanya digunakan oleh ahli geografi dan
perencana wilayah, membagi wilayah secara saintifik melalui penggunaan
sekumpulan kriteria yang terukur, misalnya atas dasar kandungan sumber daya
mineral, aktivitas pertanian yang utama, kecenderungan kejadian bencana alam,
dan lainnya. Tipe kedua, pembagian wilayah berdasarkan unit administrasi untuk
tujuan perencanaan pembangunan.
Hagget et al. (1977), diacu dalam Rustiadi et al. (2009)
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah
15
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan
(3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah
homogen didefinisikan berdasarkan basis kesamaan internal (Blair 1991), yaitu
wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri
tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumber daya alam (iklim dan
sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata
pencaharian). Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling
berhubungan secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan
komponen). Tiap komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan
daerah. Hal ini tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling
tergantung terhadap yang lain.
Wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah fungsional. Wilayah
nodal terutama didasarkan atas suatu sistem hierarkis dari hubungan
perdagangan. Hubungan tersebut umumnya berlangsung antara wilayah pusat
(core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland). Wilayah perencanaan
(planning region), yaitu wilayah yang berada dalam kesatuan kebijakan atau
administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan pemerintah dalam rangka
pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum digunakan untuk menyatakan
kesatuan administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan propinsi.
Wilayah perencanaan atau wilayah administratif dibentuk untuk tujuan manajerial
atau organisasional. Johnston (1976) diacu dalam Rustiadi (2009) membedakan
wilayah atas wilayah formal dan fungsional. Wilayah formal adalah tempat-
tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, sedangkan wilayah
fungsional adalah konsep wilayah yang menekankan kesamaan keterkaitan antar
komponen atau lokasi/tempat.
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004) pembedaan ketiga kategori wilayah
tersebut tidak bersifat mutlak (mutually exclusive). Wilayah administrasi bisa
saling tumpang tindih dengan wilayah fungsional. Selanjutnya, jika pengertian
wilayah formal dan wilayah fungsional dihubungkan dengan perencanaan, dapat
dikenal dua macam pendekatan dalam perencanaan wilayah, yaitu: (1) pendekatan
teritorial, yaitu suatu perencanaan dengan memperhitungkan mobilitas terpadu
dari semua sumber daya manusia dan sumber daya alam dari suatu wilayah
16
tertentu yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya. Perencanaan ini disebut
perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan wilayah formal; (2) pendekatan
fungsional, yaitu suatu perencanaan wilayah yang memperhitungkan lokasi
berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan
mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan semacam ini disebut
perencanaan wilayah fungsional.
Badan Kordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (BKTRN) melakukan
pembabakan wilayah-wilayah di Indonesia berdasarkan fungsi-fungsi tertentu
yang disebut “area” atau kawasan di antaranya
Kawasan Andalan, seperti Kawasan Andalan Tolitoli (Sulawesi Tengah),
Kawasan Andalan Tatapan Buma (Kalimantan Timur), Kawasan Andalan
Pasaman (Sumatera Barat), Kapet Biak (Papua), dan Kapet Natuna (Riau).
Kawasan Cepat Tumbuh, seperti Kawasan Industri Cilegon (Banten),
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, bekasi, Depok (Jabodetabek),
Kawasan Pantai Utara di sepanjang wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa
Barat, Kawasan Denpasar dan sekitarnya, Kawasan gresik, bangkalan,
Kertosono, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertosusila).
Kawasan Potensial tumbuh, serperti kawasan industri Lhouksemawe,
Kawasan Medan, Binjai, Deli Serdang dan sekitarnya termasuk kerangka
segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT), Kawasan
Batam, Sabang, Bintan, Sumatera Barat, dan sekitarnya yang termasuk pada
kerangka segitiga pertumbuhan. Indonesia, Malaysia, Singapura (IMS-GT),
kawasan Pulau Natuna, Kawasan Nunukan, Kawasan Bitung, dan Kawasan
Timika.
Kawasan Kritis Lingkungan, seperti Kerinci Seblat, Kawasan danau Toba dan
sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Berbak, Kawasan Bogor, Puncak,
Cianjur (Bopuncur), Kawasan Riam Kiwa, Kawasan Timika dan kawasan
kritis lingkungan lainnya.
Kawasan Perbatasan, seperti Kalimantan-Serawak, Papua-Papua Nugini, dan
Sangihe Talaud-Filipina.
Kawasan sangat Tertinggal, seperti Pulau Weh, Pulau Aceh, dan pulau-pulau
di pantai barat Sumatera.
17
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengemukakan pengertian kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi
utama lindung dan budi daya. Dalam UU tersebut kawasan dibagi sebagai
berikut:
Kawasan Lindung: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan.
Kawasan budidaya: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan.
Kawasan perdesaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan agropolitan: kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan
sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem
agrobisnis.
Kawasan perkotaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan metropolitan: kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan
perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan
perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang
dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi
dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000
jiwa.
Kawasan megapolitan: kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah
sistem.
18
Kawasan strategis nasional: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap
kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai
warisan dunia.
Kawasan strategis provinsi: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
Kawasan strategis kabupaten/kota: wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
Dari berbagai perbedaan konsep pembagian wilayah tersebut, Rustiadi et al.
(2009) kemudian mengembangkan pembagian konsep wilayah atas enam jenis.
Adapun konsep enam jenis wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik di mana komponen-komponen dari wilayah
tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah
homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-
faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor
yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen
sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik
yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat
dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya
dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai
dengan permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan
perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan
fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang
mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman,
sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai
sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah
memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5)
Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
19
terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non
alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-
politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu
kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem
kelembagaan dengan otonomi tertentu.
2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kesempatan warga negara
agar dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi dan kerokhanian, sehingga mereka
mencapai tingkat yang “wajar” menurut nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat (Nasoetion dan Tadjuddin 1985). Pengembangan adalah memajukan
atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kedua istilah ini
sering digunakan untuk maksud yang sama.
Pembangunan dan pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik.
Pembangunan dan pengembangan tersebut dapat mempunyai skala nasional,
regional atau lokal. Pembangunan/pengembangan nasional meliputi seluruh
negara dengan tekanan perekonomian. Pembangunan/pengembangan lokal
meliputi kawasan kecil dengan tekanan pada keadaan fisik. Pembangunan atau
pengembangan regional meliputi suatu wilayah dengan tekanan utama pada
perekonomian dan tekanan kedua pada keadaan fisik (Jayadinata 1986).
Pembangunan wilayah (regional) pada dasarnya adalah pembangunan nasional di
suatu region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial dan ekonomi dari
region tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangan yang
berlaku.
Pengembangan wilayah (regional development) memiliki tujuan utama
untuk mengurangi ketidakseimbangan (Haruo 2000). Riyadi (2002) secara
terperinci mengemukakan bahwa pengembangan wilayah (regional development)
merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi
kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu
wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial
ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan
wilayah lainnya.
20
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari
semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan
kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah
adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya
dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor
serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah
(Anwar 2005). Alkadri et al. (2001) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah
merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan
teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.
Hadjisarosa (1982) juga mengemukakan bahwa secara teoritis pertumbuhan
wilayah dimungkinkan apabila terjadi pertumbuhan modal yang bertumpu pada
pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya modal. Selanjutnya
pengembangan kedua sumber daya tersebut akan menimbulkan arus barang
sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi.
Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan.
Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan
kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis,
pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan
sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo 1999).
Perencanaan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pada pendekatan sektoral
dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah
tersebut, sedangkan pada pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta
interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah (Tarigan 2008). Lebih jauh, Deni
dan Djumantri (2002) mengemukakan bahwa pendekatan wilayah sebagai basis
perencanaan pengembangan wilayah harus diorientasikan kepada kemampuan
bertindak lokal dalam kerangka berpikir global/makro, memperhitungkan
kelayakan masa kini dalam pertimbangan masa depan, lebih fleksibel/dinamis
dalam kerangka yang pasti, kemampuan memfokuskan pada masyarakat setempat
dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat luas (bisnis, akademis, dan
investor). Pembangunan dengan pendekatan wilayah hendaknya berwawasan :
21
local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis
(layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik.
Menurut Hoover dan Giarratani (1985), diacu dalam Nugroho dan Dahuri
(2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang
berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi.
Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan
dengan keadaan sumber daya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit
atau memiliki hambatan untuk digerakkan antarwilayah, sehingga wilayah
tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter tersebut umumnya
berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain
pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer
lain.
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan adanya pemahaman tentang
kentungan komparatif (comparative advantage), maka pengembangan suatu
wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang
secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Kedua, aglomerasi
(imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Hal ini
terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam
bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of
good and service). Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut
selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi
kegiatan.
Meskipun pendekatan sektoral dan regional tersebut berbeda, tetapi tujuan
akhirnya adalah sama, sehingga dalam prakteknya keduanya harus saling
melengkapi. Haruo (2000) mengemukakan bahwa keefektifan pengelolaan
pengembangan wilayah tergantung pada seberapa baik berbagai aktivitas sektoral
tersebut dikoordinasikan pada suatu wilayah. Selanjutnya Haruo mengemukakan
bahwa koordinasi yang dibutuhkan dalam pengembangan wilayah secara
konseptual dapat dibagi atas empat jenis yaitu: (1) antardepartemen sektoral di
tingkat pemerintah pusat; (2) antardepartemen sektoral dan lembaga kordinasi di
tingkat pemerintah daerah dan pusat; (3) antaralembaga koordinasi atau
22
departemen dari berbagai tingkat administratif; dan (4) dalam suatu departemen
sektoral itu sendiri.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut
mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep
pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah (Bappenas 2003):
1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (1)
pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (2) pengembangan wilayah
berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi;
dan (4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.
2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi
wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; dan (3)
desentralisasi. Alkadri (2001) mengemukakan bahwa konsep pusat
pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-
besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah
mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat
pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect).
Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan
andalan dalam RTRWN. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya
integrasi yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan
karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota
atau wilayah mempunyai hierarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota
atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumber daya
manusia.
3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerja sama
antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.
4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada
keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi
sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster
yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan
keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (2002)
23
mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya
spesialisasi, jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, institusi
penelitian dan pengembangan dan serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja
yang berkualitas, melakukan kerja sama yang baik antara perusahaan dan
lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan adanya tingkat
inovasi yang tinggi.
2.1.3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah
Dalam rangka menjawab berbagai tantangan pengaruh globalisasi, pasar
bebas dan regionalisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika
spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten),
kecamatan hingga perdesaan, perlu dikembangkan prinsip-prinsip pengembangan
wilayah. Bappenas (2006) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan wilayah
sebagai berikut:
1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada
sektor unggulan akan mengarahkan sumber daya pada sektor yang
diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor yang
pendukungnya.
2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang
bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program
hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah
dengan karakteristik berbeda lainnya.
3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau
pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah.
4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan
ke belakang secara kuat. Pengembangan kawasan di hinterland harus
dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri pengolahan di perkotaan,
untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi pada pertumbuhan perekonomian
wilayah.
5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi
dan desentralisasi. Pemerintah daerah harus mempunyai wewenang penuh
24
dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi di daerah, mengembangkan
sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik.
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan
Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip
dasar pengembangan wilayah adalah :
1. Sebagai pusat pertumbuhan. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat
internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran pertumbuhan yang
dapat ditimbulkan pada wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerja sama pengembangan
antardaerah dan menjadi persyaratan utama keberhasilan pengembangan
wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi
dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan
kesetaraan.
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi
prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan.
Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus
didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus
mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat
perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan :
(1) sumber daya manusia; (2) informasi; (3) sumber daya modal dan investasi; (4)
kebijakan dalam investasi; (5) pengembangan infrastruktur; (6) pengembangan
kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan; dan (7) berbagai kerja sama
dan kemitraan yang harus digalang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Di lain pihak, faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan
kawasan dari sisi eksternal adalah perhatian pada: (1) masalah kesenjangan
wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah; (2) perdagangan bebas
terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan
daya saing seperti peningkatan kualitas unsur-unsur sumber daya manusia, (3)
pengembangan riset dan teknologi termasuk teknologi informasi, (4)
pengembangan sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai inovasi
pengembangan produk; dan (5) otonomi daerah dengan fokus berbagai kebijakan
25
yang mendukung iklim usaha investasi, kerja sama dan kemitraan dalam
pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan
horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi
di daerah secara profesional.
Suatu wilayah dapat dianggap sebagai sebuah organisasi bisnis. Wilayah
tersebut menjaga kelestariannya, bersaing dengan wilayah lainnya untuk merebut
investasi maupun pangsa pasar produk unggulannya, serta berupaya untuk tumbuh
dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Wilayah tersebut mempunyai
berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam tujuan, namun tetap memperhatikan
batasan dan pengaruh-pengaruh berbagai kepentingan di luar kepentingan
wilayahnya. Orientasi kepada lingkungan eksternal dan internal ditunjukkan
melalui kemampuan atau ketidakmampuannya menjadi wilayah yang diandalkan
dan menghasilkan produk unggulan, daya saing dan produktivitas dari semua
sumber daya yang dimiliki, dan unit dasar sektor industri yang dapat didorong
untuk bersaing. Sebuah wilayah yang berdayasaing adalah wilayah yang mampu
mengalahkan dan memimpin pasar setelah melakukan penyesuaian strategis yang
tergantung pada kekuatan pendorong, kapabilitas, serta kompetensi inti kawasan
dan produk yang diunggulkan (Boar 1993).
Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional.
Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan
memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi.
Departemen Perdagangan dan Industri Inggris mendefinisikan daya saing daerah
sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik
maupun internasional (Abdullah et al. 2002). Centre for Regional and Urban
Studies (CURDS), Inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan
sektor bisnis atau perusahan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan
yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.
Upaya untuk meningkatkan keunggulan daya saing menjadi salah satu
strategi dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini mengarah pada konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable regional competitive advantage). Upaya
ini menuntut perubahan paradigma dalam mengembangkan suatu wilayah
26
terhadap teknologi yang dikenal dengan istilah pengembangan wilayah berbasis
teknologi (Technology Based Regional Devepment) (Alkadri 2001)
Keunggulan daya saing suatu wilayah akan tercipta jika wilayah tersebut
memiliki kompetensi inti (core competence) yang berbeda dari wilayah lain.
Kompetensi ini dapat dibangun melalui proses kreatifitas dan inovasi. Kompetensi
inti merupakan proses pembelajaran suatu organisasi terkait dengan kegiatan
mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai keahlian dan teknologi.
Dalam konteks pengembangan wilayah perdesaan, kompetensi inti terkait dengan
upaya koordinasi dan pengintegrasian sumber daya di bidang pertanian,
kesehatan, perdagangan, peternakan, industri kecil, perikanan dan sebagainya.
Boar (1993) menjelaskan empat atribut pengembangan kompetensi inti:
1. Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas.
2. Kemampuan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pelanggan atas
manfaat yang diperoleh dari suatu produk, barang dan jasa yang ditawarkan.
3. Barang jasa yang ditawarkan oleh suatu wilayah sangat sulit untuk ditiru.
4. Kompleksitas dan koordinasi dari beragam teknologi dan keahlian yang
dimiliki oleh suatu wilayah
Selanjutnya, dalam pendekatan penataan ruang wilayah, terdapat tiga
konsep pengembangan wilayah yang dirinci ke dalam wilayah provinsi dan
kabupaten, yaitu (Bappenas 2006):
1. Pusat pertumbuhan. Konsep ini menekankan perlunya melakukan investasi
pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini
dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan
perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup
cepat. Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh
melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Di Indonesia, konsep ini
diimplementasikan dalam bentuk kawasan andalan. Kawasan andalan adalah
kawasan yang telah berkembang atau potensial untuk dikembangkan, yang
memiliki keunggulan geografis dan produk unggulan yang dapat
menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya yang mempunyai
orientasi regional atau global, yang dicirikan oleh adanya aglomerasi kegiatan
ekonomi dan sentra-sentra produksi/distribusi, adanya potensi sumber daya dan
27
sektor unggulan yang dapat dikembangkan, adanya kecenderungan konflik
dalam pemanfaatan ruang kawasan, serta telah tersedianya prasarana
penunjang. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan
konsep pusat pertumbuhan namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan
sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya
melalui pengembangan sektor-sektor unggulan.
2. Integrasi Fungsional. Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang
mengutamakan integrasi yang diciptakan secara sengaja di pusat pertumbuhan
karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu
wilayah memiliki hierarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan
secara fungsional agar terjadi ikatan yang kuat ke depan maupun ke belakang
dari suatu proses produksi merupakan pengembangan dari konsep ini.
3. Desentralisasi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya
aliran keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia.
Menurut Anwar (2005) strategi pengembangan wilayah juga harus
didasarkan atas prinsip keterkaitan antarwilayah. Hal tersebu dapat diwujudkan
dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun
berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan
komunikasi) yang disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif
yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah.
2.2 Interaksi antar Wilayah Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam
bentuk sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya
dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus melakukan perjalanan ke
wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan antarwilayah. Hubungan ini
secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan
penawaran (supply).
Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages)
antarwilayah. Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai
interaksi. Secara harfiah, interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling
28
mempengaruhi. Rondinelli (1985) mengemukakan bahwa proses-proses interaksi
dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman.
Menurut Rondinelli (1985) dalam pembangunan spasial, jenis-jenis
keterkaitan yang utama dapat dikelompokkan dalam tujuh tipe sebagai berikut:
Tabel 2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial No. Tipe Elemen - elemen
1 Keterkaitan fisik Jaringan Jalan Jaringan transportasi sungai dan air Jaringan kereta api Ketergantungan ekologis
2 Keterkaitan ekonomi Pola-pola pasar Arus bahan baku dan barang antara Keterkaitan produksi – backward, forward dan
lateral Pola konsumsi dan belanja Arus pendapatan Arus komoditi sektoral dan interregional “Cross-
Linkages”
3 Keterkaitan pergerakan penduduk
Migrasi temporer dan permanen Perjalanan kerja
4 Keterkaitan teknologi Kebergantungan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi
5 Keterkaitan interaksi sosial
Pola visiting Pola kinship Kegiatan ritual dan keagamaan Interaksi kelompok sosial
6 Keterkaitan delivery pelayanan
Arus dan jaringan energi Jaringan kredit dan finansial Keterkaitan pendidikan, training, pengembangan System delivery pelayanan kesehatan Pola pelayanan profesional, komersial,teknik Sistem pelayanan transportasi
7 Keterkaitan politik, administrasi dan organisasi
Hubungan struktural Arus budget pemerintah Kebergantunan organisasi Pola otoritas-approval-supervisi Pola transaksi inter-yuridiksi Rantai keputusan politik formal
Sumber: Rondinelli (1985)
Dalam konteks yang lebih khusus, Pradhan (2003) mengembangkan
tipologi keterkaitan perkotaan-perdesaan sebagai berikut:
29
Tabel 3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan No. Tipe Keterangan
1 Keterkaitan fisik/spasial Pemukiman dengan berbagai ukuran Jaringan jalan dan jaringan kereta api Kebertergantungan ekologi
2 Keterkaitan ekonomi Pola-pola pasar Keterkaitan produksi Arus bahan baku, barang-barang, kendaraan
dan modal Pola belanja
3 Keterkaitan sosial-budaya Migrasi penduduk Pola-pola kedatangan dan perjalanan bekerja Upacara ritual, kegiatan agama dan festival-
festival Kelompok sosial, kegiatan-kegiatan dan
pola-pola kindhsip Sewa menyewa lahan
4 Keterkaitan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi Arus energi dan jaringan
5 Keterkaitan finansial Arus modal dan arus pendapatan Jaringan-jaringan kredit dan finansial
6 Keterkaitan politik Arus kekuasaan dan otoritas
7 Keterkaitan administrasi dan organisasi
Struktur dan organisasi inter-dependecies (saling kebergantungan)
Arus anggaran belanja pemerintah Pola-pola wewenang-pengesahan-
pengawasan
8 Keterkaitan service delivery Keterkaitan pendidikan, kursus dan tambahan
Pola-pola sumber informasi dan penyebaran
Sumber: Pradhan (2003)
Dari gambaran keterkaitan yang dikemukakan Rondinelli (1985) dan
Pradhan (2003), pada dasarnya keterkaitan antarwilayah dapat dikelompokkan
atas empat jenis keterkaitan. Keterkaitan tersebut terdiri dari keterkaitan fisik,
ekonomi, sosial dan kelembagaan, serta keterkaitan teknologi.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dan adanya disparitas antarwilayah,
maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah. Fu (1981)
menggambarkan keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan
kemiskinan. Menurut Fu, terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar
wilayah, yaitu:
30
1. Utara–Selatan, menggambarkan keterkaitan antarwilayah dalam suatu negara
yang menggambarkan dua kutub
2. Perkotaan–Perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah
3. Formal–Informal, menggambarkan keterkaitan antarwilayah pada kegiatannya.
Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan dalam
perilaku yang kompleks, berbeda antara satu negara dengan negara lain yang
tergantung pada faktor dominan dan sejarah masing-masing negara. Faktor
dominan tersebut adalah: 1) Resource endowment: pertanian, mineral dan sumber
daya alam lainnya; 2) Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat
pertumbuhan dan urbanisasi; 3) Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan
pembangunan modal; dan 4) Development ideologi: ideologi dalam pembangunan
negaranya.
Keterkaitan antarwilayah tidak dapat terjalin jika tidak didukung prasarana
dan sarana penghubung antar kedua wilayah. Dukungan tersebut dapat merupakan
prasarana dan sarana transportasi maupun dalam bentuk lainnya.
Keterkaitan antarwilayah dapat menguntungkan, merugikan maupun saling
mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut. Douglas
(1998) serta Harris dan Harris (1984) diacu dalam Pradhan (2003) mengemukakan
bahwa apabila keterkaitan antarwilayah saling mendukung atau saling
memperkuat (mutually reinforcing) atau generatif atau disebut partisipatif, maka
kedua wilayah tersebut akan mendapat keuntungan atau manfaat dengan adanya
hubungan tersebut. Tetapi bila keterkaitan antarwilayah lebih berbentuk
eksploitatif atau parasitik, maka akan terjadi suatu wilayah yang semakin kaya
dan semakin miskin.
2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah Pada dasarnya, indikator adalah suatu alat ukur yang menunjukkan suatu isu
atau kondisi. Tujuannya adalah menunjukkan seberapa jauh suatu sistem bekerja,
baik sistem kegiatan/program maupun sistem organisasi. Indikator dapat
membantu memahami posisi pelaksanaan kegiatan atau organisasi berada, ke arah
mana berjalannya, dan seberapa jauh perjalanan ke arah yang dikehendaki.
Dalam konteks pembangunan secara umum, telah dikembangkan berbagai
indikator kinerja pembangunan. United Nations Research Institute on Social
31
Development (UNRISD) pada tahun 1970 merumuskan indikator kunci
pembangunan sosial ekonomi (7 indikator ekonomi dan 9 indikator sosial) yaitu:
1. Harapan Hidup 2. Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih (kota) 3. Konsumsi protein hewani per kapita per hari 4. Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah (Persentase anak-anak
belajar di SD dan SMP) 5. Rasio pendidikan luar sekolah 6. Rata-rata jumlah orang per kamar 7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 8. Persentase penduduk usia kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air dsb 9. Produksi pertanian per pekerja pria di sektor pertanian 10. Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian 11. Konsumsi listrik, kw per kapita 12. Konsumsi baja, kg per kapita 13. konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita 14. Persentase sector manufaktur dalam GDP 15. Perdagangan luar negeri per kapita 16. Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja.
Sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992
yang menghasilkan The Rio Declaration on Environtment and Development,
Bank Dunia mengadopsi konsep “Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Berkelanjutan” yang mengintegrasikan aspek perlindungan lingkungan dalam
kegiatan pembangunan dan sebaliknya mempertimbangkan aspek pembangunan
dalam program-program perlindungan lingkungan (Darnela 2007). Pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip "memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".
Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga pilar tujuan yaitu
ekonomi, sosial dan ekologi (Munasinghe 1993). Pilar pertama, pembangunan
ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pilar kedua,
pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri
dan pemberdayaan masyarakat. Pilar ketiga adalah pembangunan lingkungan
yang berorientasi pada perbaikan lingkungnan seperti sanitasi lingkungan, industri
yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumber daya alam.
32
Gambar 2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Sumber: Munasinghe (1993)
Berdasarkan hasil KTT KTT Bumi – Agenda 21 di Rio de Janeiro Tahun
1992, pada Tahun 1995 dibentuk Coomission on Sustainable Development (CSD).
Komisi ini merumuskan indikator untuk mengukur pembangunan berkelanjutan
dengan rumusan terakhir pada tahun 2007 diberikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Indikator pembangunan berkelanjutan Tema Sub-tema Indikator
Kemiskinan Kemiskinan pendapatan Persen dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan nasional
Proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan internasional ($1 dan/atau $2)
Ketidakmerataaan pendapatan
Rasio bagian pendapatan nasional dari kuintil tertinggi terhadap kuintil terendah
Sanitasi Proporsi penduduk yang menggunakan sanitasi layak
Air minum Proporsi penduduk yang menggunakan sumber air layak
Akses terhadap energi Proporsi rumah tangga tangga tanpa listrik atau jasa energi modern lainnya
Persentase penduduk menggunakan bahan bakar padat untuk memasak
Kondisi tempat tinggal Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh
Pemerintahan Korupsi Persentase penduduk yang membayar suap Kriminal Jumlah pembunuhan disengaja per 100.000
penduduk Kesehatan Mortalitas Tingkat kematian balita
Harapan hidup waktu lahir Harapan hidup sehat waktu lahir
33
Tabel 4 Lanjutan
Tema Sub-Tema Indikator Cakupan pelayanan
kesehatan Persentase penduduk dengan akses terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan primer Tingkat prevalensi kontrasepsi Imunisasi
Status gizi Status gizi anak Status dan resiko kesehatan
Morbiditas dari penyakit-penyakit utama seperti HIV/AIDS, malaria tuberkolosis
Prevalensi penggunaan tembakau Tingkat bunuh diri
Pendidikan Demografi
Tingkat pendidikan Rasio murid baru terhadap murid kelas akhir pada pendidikan dasar
Pembelajaran seumur hidup Tingkat penerimaan bersih (net enrolment rate)
pada pendidikan dasar Tingkat pencapaian pendidikan sekunder
(tersier) pada penduduk dewasa Melek huruf Tingkat melek huruf dewasa Penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk
Tingkat Fertilitas Total (TFR) Rasio beban ketergantungan
Pariwisata Rasio penduduk lokal terhadap wisatawan pada daerah dan tujuan pariwisata utama
Diversifikasi Lahan yang terpengaruh oleh desertifikasi pertanian Area lahan pertanian permanen dan subur
Efisiensi penggunaan pupuk Penggunaan pestisida pertanian Area dengan pertanian organis
Kehutanan Proporsi lahan untuk hutan Persentase hutan rusak karena penggundulan Area hutan yang dikelola secara berkelanjutan
Laut dan Pesisir
Zona pesisir Persentase penduduk yang tinggal di pesisir Kualitas air laut untuk berenang
Perikanan Proporsi cadangan ikan dalam batas aman secara biologi
Marine trophic index Area ekosistem terumbu karang dan persentase
yang terlindungi Air Tawar Kuantitas air Proporsi penggunaan sumber air
Intensitas penggunaan air oleh aktivitas ekonomi Kualitas air Konsentrasi bakteri koli di air tawar
BOD di badan air Perlakuan air limbah
Biodiversitas Ekosistem Proporsi kawasan lindung, total dan berdasarkan area ekologis
Efektivitas pengelolaan kawasan lindung Kawasan dari ekosistem terpilih Fragmentasi habitat
Spesies Perubahan pada status terancam dari spesies Kelimpahan spesies terpilih Kelimpahan serbuan spesies asing
34
Tabel 4 Lanjutan Tema Sub-Tema Indikator Pembangunan ekonomi
Kinerja makro ekonomi PDB perkapita Tabungan bruto Share tabungan pada PDB Tabungan bersih sebagai persentase dari GNI
Keberlanjutan keuangan publik
Rasio hutang terhadap GNI
Kesempatan kerja Rasio kesempatan kerja-penduduk Kesempatan kerja yang rentan Produktivitas tenaga kerja dan biaya tenaga kerja
perunit Share wanita pada pekerjaan upahan di sektor
non-pertanian
Teknologi informasi dan komunikasi
Penggunaan internet per 100 penduduk Jaringan telpon tetap per 100 penduduk Pelanggan telpon seluler per 100 penduduk
Penelitian dan pengembangan
Pengeluaran domestik bruto pada R & D sebagai persentase dari PDB
Pariwisata Kontribusi pariwisata terhadap PDB Kerja sama ekonomi global
Perdagangan Defisit neraca berjalan sebagai persentase dari PDB
Share impor dari negara-negara berkembang dan LDC
Rara-rata pengenaan tarif pada ekspor dari negara berkembang dan LDC
Keuangan eksternal ODA bersih yang diberikan atau diterima sebagai persentase dari GNI
Aliran masuk dan keluar bersih FDI sebagai persentase dari PDB
Remitans sebagai persentase dari GNI Pola konsumsi dan produksi
Konsumsi material Intesitas material dari perekonomian Konsumsi material domestik
Penggunaan energi Konsumsi energi tahunan, total dan berdasarkan kategori pengguna utama
Share dari sumber daya energi terbarukan dalam penggunaan energi total
Intensitas penggunaan energi, total dan berdasarkan aktivitas ekonomi
Pengelolaan dan pengolahan limbah
Pengolahan limbah berbahaya Pengolahan limbah Perlakuan dan pembuangan limbah Pengelolaan limbah radioaktif
Transportasi Moda transportasi orang Moda transportasi barang Intensitas energi transportasi
Sumber: United Nations (2007)
Dalam konteks pembangunan/perkembangan daerah/wilayah, menurut
Yunus (1991) tingkat perkembangan wilayah adalah ukuran peringkat secara
relatif yang menyatakan kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil
aktivitas pembangunan dibandingkan dengan wilayah lainnya.
35
Pengembangan dan pemilihan indikator dapat dilakukan secara sederhana
karena semua angka atau besaran yang dapat menggambarkan keadaan daerah
dapat digunakan sebagai indikator. Pemilihan indikator kemudian menjadi penting
bagi tindakan lebih lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah daerah tersebut agar
di masa datang terjadi peningkatan nilai bagi daerah tersebut.
Mulyanto (2007) mengemukakan bahwa saat ini telah dikembangkan
indikator-indikator yang cukup luas dalam pengukuran pembangunan daerah,
yang tidak sekedar indikator PDB/PDRB. Indikator-indikator tersebut baik yang
mencakup hasil interaksi dari berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik dalam
suatu pola normal atau pola optimal maupun indikator yang mencerminkan
menangkap kualitas hidup. Berdasarkan hal tersebut, secara ringkas indikator
pembangunan daerah, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (i) indikator
ekonomi; (ii) indikator non ekonomi; serta (iii) indikator gabungan. Indikator
pembangunan semacam PQLI (Physical Quality of Life Index); HDI (Human
Development Index); dan juga RDI (Regional Development Index) termasuk
dalam kategori indikator gabungan.
Rustiadi et al. (2009) telah merangkum berbagai pendekatan dalam
penetapan indikator, yang dibagi atas tiga pendekatan yaitu (1) indikator berbasis
tujuan pembangunan; (2) indikator berbasis kapasitas sumber daya; dan (3)
indikator berbasis proses pembangunan. Ketiga pendekatan tersebut dirincikan
berdasarkan indikator-indikator operasionalnya sebagai berikut:
36
Tabel 5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya
Basis/Pendekatan Kelompok Indikator operasional
Tujuan pembangunan
1. Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan (Growth)
a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB perkapita (3) Pertumbuhan PDRB
b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Rasio (3) IRR (4) BEP
c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/ Kompetitif (1) LQ (2) Shift and Share Analysis (SSA)
d. Produksi-produksi utama (produksi, produktivitas) (1) Migas (2) Produksi padi/beras (3) Karet (4) Kelapa sawit
2. Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan (Equity)
a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Rasio (2) Struktural (vertikal)
b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran terbuka (2) Pengangguran terselubung (3) Setengah pengangguran
c. Kemiskinan (1) Good-service ratio (2) % Konsumsi makanan (3) Garis kemiskinan
d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy
index, Williamson) (2) Central Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance
3. Keberlanjutan (Sustainability)
a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial
Sumber daya 1. Sumber daya Manusia
a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Kompetensi d. Etos kerja/sosial e.Pendapatan/produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
2. Sumber daya Alam a. Tekanan b. Dampak c. Degradasi
3. Sumber daya Buatan
a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas
4. Sumber daya Sosial (Social Capital)
a. Regulasi/aturan-aturan Adat/Budaya (Norm) b. Organisasi c. Rasa percaya (trust)
Proses Pembangunan
1. Input 1. Proses/Implementasi 2. Output 3. Outcome 4. Benefit 5. Impact
a. Input Dasar (SDA,SDM, Infrastruktur, SDS) b. Input Antara, transparansi, efisiensi
manajemen, tingkat partisipasi masyarakat/ stakeholder
c. Total volume produksi Sumber: Rustiadi et al. (2009)
37
2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa Pembangunan pemukiman transmigrasi pada dasarnya adalah pembangunan
perdesaan dan pembangunan masyarakat desa. Oleh karenanya dalam memahami
perkembangan permukiman transmigrasi diperlukan pemahaman mengenai
pembangunan perdesaan dan masyarakat desa.
Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis
termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit
yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana
tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish” di Belanda disebut
“waterschap” di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di
Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah
misalnya Kampung dan Desa (sebutan di Jawa-Barat), Gampong (Aceh),
Huta atau Kuta (Tapanuli), Marga (Sumatera Selatan), Negorij (Maluku),
Nagari (Minangkabau), Wanua (Minahasa), Gaukay (Makasar), Banua
(Kalimantan Barat) dan lain sebagainya.
Soetardjo (1984) mengemukakan bahwa: Desa adalah suatu kesatuan hukum
di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat
saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian
dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat
tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan, ampean,
kampung, cantilanbeserta tanah pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak
dan sebagainya) tanah hutan dan belukar.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa atau yang disebut dengan
nama lain tentang Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
38
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup
dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling
ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri
dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil
keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup
masyarakat desa secara keseluruhan.
Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto
(1983) sebagai berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang
tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang
merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang meliputi
jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3) tata
kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan
warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural
society).Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah
berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan
Ndraha (1984) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen
pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut
meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat
utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan
manusia dengan lingkungannya. Koestoer et al. (1995) mengemukakan bahwa
hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang
saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat,
sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain
berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan.
Dalam kerangka itu, Ndraha (1984) mengungkapkan bahwa memahami desa
secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosio-
kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai
substansi dan eksistensi desa.
39
Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan
unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri
yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus
membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut
terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial,
fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi.
Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan
oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan
perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut
Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi
dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada
dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan
sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.
Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan
perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan
memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta
meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek
fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan
perdesaan ini adalah :
a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi
teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahan-
perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah,
organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi),
perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.
b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih
merata.
c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem
pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.
d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan
kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.
Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan
Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah
40
dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah
keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke
daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4)
pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat
pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan.
Selanjutnya menurut Jamal (2009) secara sederhana terdapat tiga kutub
pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan
pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan
masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan
pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan
sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans-
formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya-
rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan
yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali
struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap-
menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan
berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari
pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan
industri.
Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang
homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal.
Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan
perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan
desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,
serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba
menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan
arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan.
Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan
membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari
masyarakat.
Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk
mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1) pendekatan kawasan perdesaan
41
yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2)
mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu
(penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan); 3) kegiatan
membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian (Wibowo et al. 2006).
Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan
yang telah dilaksanakan di antaranya adalah:
a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani (KUT).
Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan
kebutuhan pokok (swasembada pangan) sekaligus membangun infrastruktur
pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan.
b. Program Unit Desa Karya Pembangunan (UDKP). Dalam sistem ini,
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan
dilaksanakan di wilayah kecamatan.
c. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Suatu program yang dirancang untuk
mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya
mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar
utama kemajuan desa.
d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan
keterkaitan desa-kota telah dikembangkan berbagai program dengan
mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat
kegiatan/kawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan
Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan Kawasan Agropolitan.
e. Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Merupakan kelanjutan program
IDT untuk menanggulangi kemiskinan.
Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan
perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek.
Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan
berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non
ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat
empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang
berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4)
42
yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan
lain-lain.
Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih
pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus
mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan
perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran
informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal
(local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan
keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat
belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru
tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan
pemasaran hasil.
Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia
dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976)
mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua
hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaan-
kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem
perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa
dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor non-
pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian.
Siagian (1995) mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa
harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1) memenuhi kebutuhan dasar
(basic need approach); 2) mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat
(bottom up approach); 3) menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi
rakyat (property approach); 4) membangun organisasi dan kelembagaan yang
dikelola oleh masyarakat sendiri (participation approach); 5) menyediakan
teknologi tepat guna (appropriate approach) serta 6) membangun integrasi desa-
kota (rural-urban linkage community development). Sejalan dengan hal tersebut,
Sumodiningrat (1996) menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang
perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1)
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat
berkembang; 2) memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki
43
oleh masyarakat (pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan
pasar) serta 3) pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat.
Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya
diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian
tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat
perdesaan yang dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang
berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa
dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan
vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat
produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan
dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal
ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi
juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.
Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa
depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki
keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan
masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut
dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi
(Sajogyo 1982).
Menurut Surjadi (1995), pembangunan masyarakat desa adalah sebagai
suatu proses di mana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama
mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan
mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan
masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan
pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih
bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat
mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia (kecerdasan) dan
kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, (Horton dan
Hunt 1982) mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan
sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern.
44
Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal
(2009) mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada
homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan
masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan
komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif
pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang dige-
rakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan
inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan
partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur
tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas
Keperluan kebersamaan
Tingkat perkembangan kebutuhan Individu
Homogen Mulai heterogen
Sangat heterogen
Kebersamaan masyarakat untuk mendukung inisiatif pemerintah
Kebersamaan masyarakat sebagai partner pemerintah dalam pembangunan
Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan perdesaan
Pendekatan komando
Pendekatan komando
Pendekatan semi partisipatif
Pendekatan komando
Pendekatan semi partisipatif
Pendekatan semi partisipatif
Pendekatan semi partisipatif
Pendekatan partisipatif
Pendekatan partisipatif
Sumber: Jamal (2009)
Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada
produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks
pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur
penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan
secara sektoral maupun regional.
Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan
dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu
atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran
produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan
penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha
45
yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh
kegiatan pertanian (Downey & Steven 1987; Saragih 2010).
Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu:
1) subsistem produksi (on-farm); 2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan
hilir) (off-farm); 3) subsistem pemasaran/perdagangan (off-fram); dan 4)
subsistem lembaga penunjang (off-farm). Keempat subsistem ini mempunyai
kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan
berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis.
Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika
subsistem produksi (usahatani) dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan
timbul kaitan ke belakang (backward linkages) berupa peningkatan kegiatan
pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang
pelaku lainnya (perorangan atau perusahaan) untuk menangani
pemasaran/perdagangan input produksi (usahatani). Keberhasilan dalam
menangani pemasaran/perdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi
oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan
lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk
menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah menjadi
produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan
konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi
olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi
(usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian.
Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan
melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor
yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor
yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut:
Kelembagaan
Secara definisi, Uphoff (1992) dan Fowler (1992) mengartikan kelembagaan
sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some
socially valued purpose”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”,
46
tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer 1982, diacu dalam Pranadji
2002).
Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian
memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005).
Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. (2004) mengemukakan penyebab
utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan
yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan
ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam
menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya
kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi
tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan
budaya kota dan manca negara).
Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi
lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas
setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis
swasta (Uphoff 1986). Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. (2004)
mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga
penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal (communal institutions) atau
tradisional, kelembagaan pasar (private sector) karena keterbukaan dengan
ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan
di tingkat publik (public sector).
Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang
terkenal dengan istilah Induced Innovation Model (Ruttan & Hayami 1984;
Hayami dan Kikuchi 1986). Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan
antara empat faktor , yaitu: 1) resource endowment, 2) cultural endowment, 3)
technology, dan 4) institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan
pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika
proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi
sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari
respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan
potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu,
terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk
47
yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh
faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan
seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya. Oleh karenanya, mengacu
pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah
mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas.
Infrastruktur
Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang
diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup
seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki
peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi
telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan
infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut
dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai
input dalam proses produksi.
Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan
dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan
yang lebih tinggi (forward linkage) untuk keperluan pemasaran maupun akses
terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan
jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar
sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil
pertanian dan perkebunan yang ada (backward linkage).
Kualitas Sumber daya Manusia
Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk
membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat
segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan
tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi
cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur
penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya
manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat
desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek
pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri.
48
Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan.
Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat
pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin
tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas.
Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong
tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya
manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu
pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai
melalui pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi
perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di
desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan
berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam
masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan
terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif
di masyarakat.
2.5 Indikator Perkembangan Desa Dalam rangka mengetahui gambaran potensi dan tingkat perkembangan
desa dan kelurahan, Kementerian Dalam Negeri telah menyusun data profil desa
dan kelurahan, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007
tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan
Kelurahan. Dalam peraturan menteri tersebut dinyatakan bahwa tingkat
perkembangan desa dan kelurahan yang mencerminkan keberhasilan
pembangunan desa dan kelurahan setiap tahun dan setiap lima tahun diukur dari
laju kecepatan perkembangan: a) ekonomi masyarakat; b) pendidikan masyarakat;
c) kesehatan masyarakat; d) keamanan dan ketertiban; e) kedaulatan politik
masyarakat; f) peranserta masyarakat dalam pembangunan; g) lembaga
kemasyarakatan; h) kinerja pemerintahan desa dan kelurahan; dan i) pembinaan
dan pengawasan.
Hasil evaluasi keberhasilan kegiatan pembangunan setiap tahun akan
49
menentukan laju perkembangan desa dan kelurahan dalam kategori cepat
berkembang, berkembang, lamban berkembang, dan kurang berkembang.
(1) Kategori Cepat Berkembang, jika perolehan total skor pengukuran mencapai
lebih dari 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan
kelurahan setiap tahun.
(2) Kategori Berkembang, jika total skor mencapai 60 persen sampai 90 persen
dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap
tahun.
(3) Kategori Lamban Berkembang, jika total skor mencapai 30 persen sampai 60
persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan
setiap tahun.
(4) Kategori Kurang Berkembang, jika total skor mencapai kurang dari 30 persen
dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap
tahun.
Hasil analisis laju perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun
digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap lima
tahun dalam klasifikasi desa dan kelurahan swasembada, swakarya, dan swadaya.
(1) Tingkat Perkembangan Swasembada, jika nilai total skor yang diperoleh
mencapai lebih dari 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan
setiap lima tahun.
(2) Tingkat Perkembangan Swakarya, jika nilai total skor yang diperoleh
mencapai 60 persen sampai 80 persen dari skor maksimal tingkat
perkembangan setiap lima tahun.
(3) Tingkat Perkembangan Swadaya, jika nilai total skor yang diperoleh
mencapai kurang dari 60 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan
setiap lima tahun.
Analisis terhadap klasifikasi tingkat perkembangan desa dan kelurahan
swasembada, swakarya dan swadaya, menghasilkan klasifikasi status kemajuan
desa dan kelurahan dalam kategori mula, madya dan lanjut.
(1) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Mula, apabila perolehan
total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan
masyarakat kurang dari 90 persen dari total skor maksimal ketiga peubah
50
selama lima tahun.
(2) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Madya sebagaimana, jika
perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedalulatan politik
masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga
kemasyarakatan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal
keempat peubah selama lima tahun.
(3) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Lanjut apabila perolehan
total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah
pembinaan dan pengawasan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor
maksimal kedua peubah selama lima tahun.
(4) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Mula apabila perolehan total
skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan
masyarakat kurang dari 70 persen dari total skor maksimal ketiga peubah
selama lima tahun.
(5) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Madya sebagaimana jika
perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik
masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga
kemasyarakatan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal keempat
peubah selama lima tahun.
(6) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Lanjut apabila perolehan total
skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah
pembinaan dan pengawasan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal
kedua peubah selama lima tahun.
(7) Klasifikasi status kemajuan Swadaya Kategori Mula apabila perolehan total
skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan
masyarakat kurang dari 50 persen dari skor maksimal ketiga peubah selama
lima tahun.
(8) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Madya jika perolehan
skor total keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peranserta
masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari
50 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun.
(9) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Lanjut apabila perolehan
51
skor total peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah
pembinaan dan pengawasan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal
kedua peubah selama lima tahun.
Berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, beberapa upaya telah dilakukan
oleh BPS di antaranya melakukan penghitungan desa tertinggal. Dalam
menentukan desa tertinggal pada tahun 1993, BPS menggunakan 33 peubah.
Sementara pada tahun 1994 untuk pelaksanaan proram Inpres Desa Tertinggal
(IDT) tahun 1995/1996, BPS menggunakan 17 peubah untuk perkotaan dan 18
peubah untuk perdesaan. Indikator tersebut disusun berdasarkan metode skor.
Pada tahun 2005, BPS kembali melakukan penentuan desa-desa tertinggal
dengan membuat indeks komposit ketertinggalan desa berdasarkan pada data
Potensi Desa Sensus Pertanian (Podes-ST) 2003. Berbeda dengan periode
sebelumnya, pada tahun 2005 BPS menggunakan dua sumber data yaitu Podes-
ST 2003 dan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, dengan
menggunakan 45 peubah.
Penentuan desa tertinggal tahun 2005 menggunakan indikator pengeluaran
per kapita penduduk desa yaitu pengeluaran per kapita penduduk desa yang
berada di bawah garis kemiskinan. Namun, ukuran kemiskinan yang didasarkan
pada indikator moneter (pendapatan/pengeluaran) tidak menggambarkan
kemiskinan sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari
segi moneter dapat dikategorikan miskin atas dasar kurangnya akses terhadap
pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antardaerah
merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Desa tertinggal berkaitan dengan beberapa faktor di antaranya: faktor alam,
faktor sarana/prasarana dan akses, dan faktor sosial-ekonomi (BPS 2005). Di
antara faktor satu dengan faktor lainnya saling berhubungan. Disamping itu
faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diukur secara langsung, sehingga
dibutuhkan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Data
indikator primer pembangunan daerah tertinggal diberikan pada Tabel 7 berikut:
52
Tabel 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal
No Indikator Satuan
Ekonomi
1 Jumlah penduduk (pertengahan tahun) Orang 2 Jumlah keluarga KK 3 Jumlah keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I KK 4 Jumlah penduduk miskin Ribu org 5 PDRB Milyar Rp 6 Persentase penduduk miskin % 7 Persentase ke dalaman kemiskinan % 8 IKK indeks
Sumber daya Manusia
9 Jumlah Angkatan Kerja Orang 10 Jumlah penduduk menganggur Orang 11 Persentase jumlah penduduk menganggur % 12 Jumlah desa desa 13 Angka Harapan Hidup indeks 14 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 15 Jumlah puskesmas Buah 16 Jumlah puskesmas pembantu Buah 17 Jumlah poliklinik desa Buah 18 Jumlah desa yang jarak fasilitas kesehatan > 5 km Desa 19 Jumlah desa yang jarak fasilitas pendidikan > 3 km Desa 20 Angka melek huruf % 21 Angka melek huruf 15 - 24 % 22 Angka melek huruf 15 - 55 %
Infrastruktur Sosial Dasar, Transportasi dan Ekonomi
23 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan aspal/beton desa 24 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan diperkeras desa 25 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan tanah desa 26 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan lainnya desa 27 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan yang dapat dilalui mobil desa 28 Persentase keluarga pengguna listrik % 29 Persentase keluarga pengguna telepon % 30 Jumlah Bank Umum Buah 31 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Buah 32 Jumlah desa yang mempunyai pasar dengan bangunan permanen desa 33 Jumlah desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen desa 34 Jumlah desa yang jarak fasilitas pasar > 3 km desa 35 Jumlah prasarana kesehatan per 1000 penduduk buah 36 Jumlah dokter per 1000 penduduk orang 37 Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk buah
Keuangan Daerah
38 Celah fiskal Juta Rp 39 Pendapatan Asli Daerah Juta Rp
53
Tabel 7 Lanjutan
No Indikator Satuan
Aksesibilitas
40 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 41 Rata-rata jarak bagi desa/kelurahan tanpa SD dan SMP km 42 Rata-rata jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten yg membawahi km 43 Waktu tempuh ke pusat pelayanan pemerintah menit
Karakteristik Daerah
44 Persentase Desa Gempa Bumi % 45 Persentase Desa Tanah Longsor % 46 Persentase desa banjir % 47 Persentase desa di kawasan lindung % 48 Persentase desa berlahan kritis % 49 Persentase desa konflik dalam satu tahun terakhir % 50 Daerah pesisir %
Sumber: BPS (2005)
Terkait dengan daerah perkotaan, secara eksplisit BPS telah menetapkan
tiga kriteria utama dalam menetapkan suatu daerah sebagai daerah perkotaan yaitu
(Tribudhi dan Said 2001) :
1. Kegiatan utama bukan pertanian, % rumah tangga pertanian < 25 %
2. Kepadatan penduduk > 5000 jiwa/km2
3. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas, yaitu: a. SD dan sederajat b. SLTP dan sederajat c. SLTA dan sederajat d. Gedung Bioskop e. Rumah Sakit f. Rumah Sakit Bersalin g. Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan h. Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat i. Pesawat telpon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu j. Pasar dengan bangunan k. Kelompok pertokoan (pusat perdagangan) l. Bank m. Pabrik n. Restoran/Rumah Makan o. Listrik Umum (PLN/Non PLN) p. Usaha penyewaan alat-alat keperluan pesta dll
Selanjutnya, dalam konteks menggambarkan potensi desa, BPS juga telah
melaksanakan pendataan desa-desa di Indonesia. Berdasarkan pendataan potensi
54
desa/kelurahan pada Tahun 2008, indikator-indikator yang digunakan adalah
sebagai berikut:
I. Penduduk dan Ketenagakerjaan
1. Penduduk dan Keluarga a. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin b. Jumlah keluarga c. Persentase keluarga pertanian d. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani
2. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk 3. Jumlah penduduk yang sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri
II. Perumahan dan Lingkungan Hidup 1. Jumlah keluarga pengguna listrik 2. Penerangan jalan utama desa/kelurahan 3. Bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar keluarga untuk
memasak 4. Tempat membuang sampah penduduk 5. Tempat buang air besar keluarga 6. Penggunaan air sungai 7. Jumlah keluarga yang tinggal di bantaran sungai 8. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik
tegangan tinggi 9. Jumlah pemukiman kumuh 10. Pencemaran lingkungan hidup setahun terakhir 11. Pembakaran ladang/kebun setahun terakhir 12. Ada/tidaknya lokasi penggalian golongan C di desa/kelurahan
III. Bencana Alama dan Penanganan Bencana 1. Bencana alam dalam tiga tahun terakhir yang menyebabkan
kerugian/kerusakan 2. Asal dan jenis bantuan penanganan bencana 3. Upaya yang dilakukan/telah tersedia di desa/kelurahan untuk
mengantisipasi bencana alam 4. Sumber bantuan untuk mengantisipasi bencana alam
IV. Pendidikan dan Kesehatan 1. Jumlah lembaga pendidikan menurut jenjang 2. Jumlah lembaga pendidikan keterampilan menurut jenis 3. Pemberantasan buta aksara fungsional dalam tiga tahun terakhir 4. Jumlah sarana kesehatan menurut jenis 5. Kegiatan posyandu setahun terakhir 6. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan 7. Wabah penyakit selama setahun terakhir 8. Jumlah penderita gizi buruk dalam tiga tahun terakhir 9. Jumlah keluarga menerima kartu ASKESKIN dalam setahun terakhir 10. Jumlah surat miskin/SKTM yang dikeluarkan desa dalam setahun
terakhir 11. Pengetahuan tentang desa siaga
55
12. Sumber air minum/masak
V. Sosial Budaya 1. Agama/kepercayaan yang dianut oleh penduduk desa/kelurahan 2. Mayoritas pemeluk agama/kepercayaan di desa/kelurahan 3. Jumlah tempat ibadah menurut jenis 4. Jenis lembaga/organisasi kemasyarakat yang ada di desa/kelurahan 5. Jumlah penyandang cacat menurut jenis 6. Ada atau tidaknya penduduk desa/kelurahan yang berjudi 7. Suku/etnis mayoritas penduduk desa/kelurahan
VI. Hiburan dan Olahraga 1. Ada/tidak gedung bioskop dan jarak terdekatnya 2. Ada/tidaknya pub/diskotik/tempat karaoker dan jarak terdekatnya 3. Ada atau tidaknya lapangan olahraga serta kelompok kegiatannya
menurut jenis VII. Angkutan, Komunikasi dan Informasi
1. Sarana dan prasarana transportasi antar desa/kelurahan 2. Jarak, waktu tempuh dan jenis angkutan umum yang digunakan
penduduk untuk mencapai ibukota kecamatan, ibukota kabupaten/kota dan ibukota kabupaten/kota lain terdekat
3. Jumlah keluarga yang berlangganan telepon kabel 4. Ada/tidaknya telepon umum koin/kartu yang masih aktif 5. Ada/tidaknya wartel/kiospon/warpostel/warparpostel 6. Ada/tidaknya warung internet 7. Ada/tidaknya kantor pos dan jarak terdekat 8. Ada/tidaknya pos keliling 9. Jenis program TV yang dapat diterima di desa/kelurahan 10. Ada/tidak/lemah/kuatnya sinyal telepon genggam di desa/kelurahan
VIII. Penggunaan Lahan 1. Struktur penggunaan lahan 2. Perubahan/konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dalam
tiga tahun terakhir
IX. Ekonomi 1. Jumlah kios sarana produksi pertanian 2. Jumlah industri kecil menurut jenis 3. Ada/tidaknya kelompok pertokoan dan jarak terdekat 4. Ada/tidaknya pasar dengan bangunan permanen/semi permanen dan
jarak terdekat 5. Jumlah unit pasar tanpa bangunan 6. Jumlah unit mini market 7. Jumlah unit restoran/rumah makan 8. Jumlah unit warung/kedai makanan/minuman 9. Jumlah unit toko/warung kelontong 10. Jumlah unit hotel 11. Jumlah unit penginapan 12. Jumlah koperasi menurut jenisnya
56
13. Jumlah fasilitas perkreditan yang diterima penduduk setahun terakhir menurut jenisnya
X. Keamanan 1. Jumlah dan jenis perkelahian massal yang terjadi selama setahun
terakhir 2. Penyelesaian dan inisiator penyelesaian perkelahian massal tersebut 3. Jenis kejahatan yang terjadi setahun terakhir 4. Ada/tidaknya agen yang beroperasi mencari TKS 5. Ada/tidaknya lokalisasi prostitusi 6. Jenis upaya warga menjaga keamanan selama setahun terakhir 7. Jenis sarana keamanan, jarak terdekat dan kemudahan akses
mencapainya 8. Jumlah anggota hansip/linmas, Babinsa dan Polisi Pelayanan
Masyarakat
XI. Otonomi Desa dan Program Pengentasan Kemiskinan 1. Sumber keuangan desa dan penggunaannya 2. Jenis program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam tiga
tahun terakhir
2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia Sejarah transmigrasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa masa
pemerintahan dan kekuasaan, mulai dari masa pemerintah kolonial Belanda
sampai pada era reformasi atau otonomi daerah. Masing-masingnya memiliki
tujuan, arah kebijakan dan paradigma ketransmigrasian yang berbeda.
2.6.1 Era Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang Pada era pemerintah kolonial Belanda, transmigrasi dikenal dengan istilah
kolonisasi. Diawali pada Tahun 1905 dengan dipindahkannya penduduk dari
Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung
(Ramadhan et al. 1993). Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar
Jawa dilatarbelakangi oleh: (1) Melaksanakan salah satu program politik etis,
yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki
taraf kehidupan yang masih rendah; (2) Pemilikan tanah yang makin sempit di
Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf
hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun; dan (3) Kebutuhan pemerintah
kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah
perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.
57
Penyelenggaraan kolonisasi dapat dibagi atas tiga periode (Yudohusodo
1997). Pertama, periode kolonisasi dengan bantuan pemerintah (1905 – 1911).
Pada periode ini, setiap kepala keluarga mendapatkan uang premi sebesar 20
Gulden, biaya transportasi ditanggung pemerintah (diperkirakan sebesar 50
Gulden per keluarga) dan sumbangan biaya hidup sebesar 0,4 Gulden per hari
selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan 300 gulden
per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden,
biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7
hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan (Dixon 1980)
Kedua, periode Bank Rakyat Lampung, The Lampongsche Volksbank
(1911–1928). Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda hanya mensubsidi
biaya transportasi sebesar 22,5 Gulden. Selanjutnya untuk kebutuhan hidup dan
modal usaha tani, kolonis mendapat pinzaman dari Bank Rakyat Lampung sebesar
200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahun, dengan cicilan selama 10 tahun dan
grace period 3 tahun. Pada tahun 1927, Bank Rakyat Lampung mengalami
kebangkrutan, sehingga tidak mampu membiayai pinzaman para kolonis. Bank
tersebut dilikuidasi dan program kolonisasi dengan kredit bank dihentikan.
Ketiga, periode bawon (1923–1942). Sejalan dengan kesulitan ekonomi
yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi
dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi,
pemerintah akhirnya mengubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan
sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja
pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran
daerah kolonisasi baru tidak jauh dari kolonisasi lama. Penempatan pemukim baru
dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemu-
kiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru
di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh
mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu
sistem bawon di Pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.
Pada ketiga periode tersebut, Pemerintah kolonial Belanda hanya mampu
memindahkan penduduk Pulau Jawa sebanyak 60.155 KK atau 232.802 jiwa
(Kemenakertrans 2012). Namun demikian, jika dilihat dari aspek peningkatan
58
kesejahteraan peserta kolonisasi, tingkat kehidupannya lebih baik dibandingkan
saat berada di daerah asal (Dixon 1980).
Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) pemindahan
penduduk dari Pulau Jawa bertujuan hanya untuk kepentingan pembangunan
prasarana militer secara kerja paksa dengan istilah Romusha (Keyfiz dan
Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh 1982). Diperkirakan selama kekuasaan Jepang,
penduduk Pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui
transmigrasi sekitar 2.000 orang.
2.6.2 Masa Orde Lama Setelah kemerdekaan, istilah kolonisasi kemudian diubah menjadi
transmigrasi (Djojoprapto 1995). Pelaksanaan transmigrasi pada masa orde lama
diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaran Transmigrasi (dan perubahannya melalui PP No. 13 Tahun 1959
tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi), Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang
Gerakan Nasional Transmigrasi. Tujuan transmigrasi pada masa orde lama adalah
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mengurangi tekanan
penduduk di daerah-daerah padat penduduk, membuka sumber-sumber alam,
meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan,
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan keamanan dan
ketahanan bangsa.
Pelaksanaan transmigrasi pada orde lama dimulai Tahun 1948 ketika
pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program
serta pelaksanaan transmigrasi. Namun pemberangkatan transmigran baru
dilaksanakan bulan Desember 1950. Pelaksanaannya ditangani Jawatan
Transmigrasi di bawah Kementerian Sosial. Baru Tahun 1960 Jawatan
Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian
dengan nama Departemen Transmigrasi dan Koperasi (Heeren 1979).
Pada zaman orde lama (Pra Pelita Tahun 1950 – 1968) ditetapkan target
pemindahan penduduk yang dikenal dengan “Rencana 35 Tahun Tambunan”.
Targetnya adalah pada Tahun 1987 jumlah penduduk Pulau Jawa berkurang
59
menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada Tahun 1952 yang sebanyak 54 juta jiwa
(Heeren 1979). Namun demikian, mengingat sulitnya pencapaian target tersebut,
maka dilakukan revisi target transmigran secara lebih realistis. Selama lima tahun,
antara Tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2
juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun
selanjutnya, yaitu antara Tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan
lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun.
Menurut Wijst (1985), target-target ambisius tersebut tidak mampu dicapai karena
meningkatnya anggaran untuk memberangkatkan transmigran.
Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya
Baru. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan
mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul ide untuk
melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh
transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada zaman Belanda dengan
sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan
sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar.
Pada zaman orde lama, transmigrasi dikategorikan dalam sistem
transmigrasi umum, transmigrasi khusus, transmigrasi sedaerah, dan transmigrasi
spontan. Transmigrasi Umum adalah transmigrasi dari daerah-daerah tingkat I
yang padat ke daerah tingkat I yang lain dan diselenggarakan oleh pemerintah.
Dalam sistem ini segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi
menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup
selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian.
Transmigrasi khusus adalah transmigrasi dari daerah tingkat I ke daerah tingkat I
yang lain, yang diselenggarakan oleh Daerah Otonom yang bersangkutan.
Transmigrasi sedaerah adalah transmigrasi dalam wilayah satu daerah tingkat I
yang diselenggarakan oleh daerah tersebut. Transmigrasi spontan adalah
transmigrasi atas usaha dan biaya sendiri dari yang bersangkutan.
Selain jenis-jenis transmigrasi sebagaimana yang diatur dalam perundang-
undangan tersebut, dalam pelaksanaannya pada orde lama ini juga terdapat jenis
transmigrasi lainnya sebagaimana yang dikemukakan Handayani (1994) yaitu
transmigrasi keluarga dan transmigrasi biaya sendiri. Transmigrasi Keluarga
60
merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika transmigran ingin mengajak
keluarganya yang masih tinggal di Pulau Jawa bertransmigrasi, maka transmigran
lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini
tidak berjalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak
dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi Biaya Sendiri, mengharuskan calon
transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan
ongkos sendiri. Di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti
transmigran umum. Transmigrasi biaya sendiri ini sedikit berbeda dengan
transmigrasi spontan, karena mereka tidak harus mengurus sendiri
keberangkatannya tetapi diatur oleh pemerintah.
Selama periode orde lama telah diberangkatkan sebanyak 98.631 kepala
keluarga dengan jumlah jiwa 234.802 orang. Penempatan transmigran pada
periode ini dilakukan pada 176 UPT (Kemenakertrans 2012).
2.6.3 Masa Orde Baru Penyelenggaraan transmigrasi pada masa orde baru diatur melalui Undang-
Undang No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi
serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan
Transmigrasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut tujuan
transmigrasi adalah untuk: (a) peningkatan taraf hidup; (b) pembangunan daerah;
(c) keseimbangan penyebaran penduduk; (d) pembangunan yang merata di
seluruh Indonesia; (e) pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; (f)
kesatuan dan persatuan bangsa; dan (g) memperkuat pertahanan dan keamanan
nasional.
Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Daerah transmigran lama
seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali
menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari
total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar
25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua.
Pada periode ini dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan
transmigrasi spontan. Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir
perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos-ongkos semua ditanggung
61
peserta. Sementara pada transmigrasi umum, semua ongkos ditanggung
pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah, dan alat-
alat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk daerah tegalan, dan 8
bulan pertama untuk daerah pesawahan. Jumlah transmigran yang berhasil
dipindahkan pada orde baru sebanyak 6.708.526 orang atau sekitar 1.827.099
keluarga (Kemenakertrans 2012).
2.6.4 Masa Reformasi atau Otonomi Daerah
Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi,
terus meningkat, namun tetap tidak bisa mengimbangi pertambahan jumlah
penduduk di Pulau Jawa. Ini disebabkan fertilitas di Pulau Jawa jauh melebihi
angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar Pulau Jawa (Setiawan 1997).
Hal tersebut kemudian memunculkan paradigma baru transmigrasi seperti
yang tercantum dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian dengan perubahannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa
tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk: (1) meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) peningkatan dan
pemerataan pembangunan daerah; dan (3) memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa. Adapun sasarannya adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas
masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di
permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh
dan berkembang secara berkelanjutan.
Dengan ketiga tujuan tersebut, transmigrasi diharapkan dapat memecahkan
permasalahan demografi dan sosial, ekonomi, serta politik sekaligus (Soegiharto
2008). Program transmigrasi tidak semata-mata ditujukan pada penyeimbangan
persebaran penduduk. Program ini juga diselenggarakan sebagai pendekatan
untuk pencapaian tujuan sosial. Transmigrasi diarahkan untuk membagikan lahan
kepada para petani tunakisma, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Transmigrasi juga diarahkan pada tujuan pembangunan daerah baik daerah
asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, penyelenggaraan transmigrasi
62
berkaitan dengan kebutuhan untuk mengatasi permasalahan ekologis di tempat
asal para transmigran yang menyebabkan daerah itu menjadi miskin. Dari sisi
daerah tujuan, sasaran akhir penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk
mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah dengan melakukan
pengembangan wilayah pada daerah-daerah terpilih. Wilayah-wilayah tertinggal
dibangun antara lain dengan menjadikan lahan-lahan tidur menjadi lahan-lahan
produktif, menciptakan kesempatan kerja bagi para penganggur atau
meningkatkan persediaan pangan.
Tujuan politik dapat dilihat dari alasan keamanan negara dan persatuan
bangsa. Program transmigrasi juga strategis untuk kepentingan geopolitik bagi
keamanan negara. Penempatan penduduk di daerah-daerah perbatasan yang jarang
penduduk menjadi bagian dari rencana pengembangan daerah perbatasan. Tujuan
politik juga dilaksanakan melalui upaya-upaya mengadakan penyerasian budaya
dari bangsa yang heterogen dengan memukimkan penduduk dari beragam budaya
pada daerah baru. Hal ini dapat dilihat sebagai strategi pertahanan dengan
memperkokoh persatuan antar etnis. Dengan demikian, melalui transmigrasi
memberi peluang untuk mengintegrasikan berbagai etnis dan budaya dalam suatu
kehidupan sosial yang harmonis.
Tujuan-tujuan tersebut diturunkan dalam Rencana Strategis Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2005–2009. Tujuan pertama diturunkan
menjadi “Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya,
masyarakat transmigrasi dan penduduk sekitar, serta meningkatkan jaminan sosial
tenaga kerja”, dengan sasaran “Terselenggaranya pembinaan dan pemberdayaan
terhadap 595 UPT (149.189 KK)”. Tujuan kedua dicapai dengan target: “(a)
Terbangun dan termanfaatkannya potensi sumber daya wilayah perbatasan,
menjadi permukiman transmigrasi yang layak (layak huni, layak usaha dan
berkembang, dan layak lingkungan) dengan daya tampung 82.000 KK; dan (b)
Terwujudnya 5 kawasan sebagai pusat pertumbuhan.” Tujuan ketiga
direalisasikan dalam bentuk “Tercapainya kemandirian dan integrasi masyarakat
di 353 UPT (85.115 KK) melalui penyesuaian, pemantapan dan pengembangan”.
Tabel 8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Peraturan Definisi Tujuan Jenis
PP No.56/1958 PP No.13/1959
Pemindahan rakyat ke daerah-daerah yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan dalam dan/atau berdasarkan Peraturan Pemerintah ini (Luar Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok)
a. mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat, dengan jalan membuka dan mengusahakan tanah secara teratur serta mengadakan lain-lain usaha pembangunan dalam segala lapangan;
b. mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah yang padat penduduknya untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak dan mengisi daerah-daerah yang kosong atau tipis penduduknya, untuk pembukaan sumber-sumber alam;
c. memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia; d. mencapai keamanan seluruh bangsa Indonesia serta memper-
besar potensi pertahanan negara, dengan mengisi dan mem-bangun daerah yang mempunyai arti vital; sehingga tercapai tingkat ketahanan yang lebih tinggi baik dalam lapangan sosial-ekonomi, persatuan dan kesatuan bangsa maupun pertahanan bagi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.
-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Khusus -Transmigrasi sedaerah -Transmigrasi spontan
PERPU No.29 Tahun 1960
Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959
Mempertinggi taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dengan jalan; a. Membuka sumber-sumber alam dan mengusahakan tanah
secara teratur; b. Mengurangi tekanan penduduk di daerah padat penduduk
dan mengisi daerah-daerah yang jarang penduduknya; c. Mengisi dan membangun daerah-daerah yang mempunyai
arti vital sehingga tercapainya tingkat ketahanan bangsa yang lebih tinggi dalam segala bidang penghidupan, dalam rangka pembentukan masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No.13/1959
64
Tabel 8 Lanjutan Peraturan Definisi Tujuan Jenis
PERPRES No. 5 Tahun 1965
Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959
Memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi dan meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan.
Sama dengan PP No.56/1958 dan PP No. 13/1959
UU No. 3 Tahun 1972 PP No.42/1973
Pemindahan dan/atau kepin-dahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara, karena bencana alam dan alasan-alasan lain yang dipandang perlu oleh Pemerintah
Sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi ditujukan kepada terlaksananya transmigrasi Swakarsa (spontan) yang teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk mencapai : a. peningkatan taraf hidup; b. pembangunan daerah; c. keseimbangan penyebaran penduduk; d. pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; e. pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; f. kesatuan dan persatuan bangsa : g. memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Swakarsa (Spontan)
UU No. 15 Tahun 1997
Perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi
Penyelenggaraan transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.
-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Swakarsa Berbantuan -Transmigrasi Swakarsa Mandiri
UU No. 29 Tahun 2009
Perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan Pemerintah.
Sama dengan UU No.15/1997. Sama dengan UU No.15/1997
Sumber: dirangkum dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai transmigrasi.
2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi Pada dasarnya, konsep dan strategi pembangunan transmigrasi didasari oleh
konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan. Konsep ini
mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah
ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang dan jasa (Hadjisarosa 1988).
Meskipun demikian terdapat perbedaan konsep pembangunan transmigrasi
sebelum dan setelah era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1972 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun1997 serta Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2009.
Secara diagramatis perbandingan konsep pembangunan transmigrasi
sebelum dan setelah otonomi daerah diberikan pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah
Sebelum otonomi Setelah otonomi Padanan wilayah administrasi
Satuan Permukiman (SP) (maksimum 500 KK)
Permukiman Transmigrasi (PT) (300 – 500 KK)
Desa atau bagian desa
Satuan Kawasan Permu-kiman (SKP) (5 – 7 SP)
Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) (1800 – 2000 KK)
Kecamatan atau bagian kecamatan
Wilayah Pengembangan Partial (WPP) (3 – 5 SKP)
Wilayah Pengembangan Trans-migrasi (WPT), (minimal 9000 KK).
Bertujuan untuk membangun pusat pertumbuhan baru
Kecamatan atau bagian kecamatan
Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) (Tidak ditentukan batasan minimal KK)
Bertujuan untuk mendukung pusat pertumbuhan yang sudah ada
Kecamatan atau bagian kecamatan
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (beberapa WPP)
Kabupaten
Sumber: UU No. 3 Tahun 1972 dan UU No. 15/1997 serta UU No. 29/2009
2.7.1 Konsep Pembangunan Transmigrasi Sebelum Era Otonomi Pada masa sebelum otonomi, transmigrasi diselenggarakan sebagai
pembangunan wilayah di daerah, oleh agen-agen pemerintah pusat (Kanwil dan
Kandep). Pelaksanaan transmigrasi diwujudkan dalam pembangunan unit-unit
permukiman penduduk secara hierarkis, dari satuan yang terkecil berupa SP
66
(Satuan Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan
Permukiman) dan WPP (Wilayah Pengembangan Parsial), yang saling menopang
dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi hingga membentuk suatu
pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah (Priyono dan Fatimah
2010).
Gambar 3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010). Keterangan: SP= Satuan Permukiman; SKP=Satuan Kawasan Permukiman; WPP=Wilayah
Pengembangan Parsial; SWP= Satuan Wilayah Pengembangan
Pada SP ditempatkan transmigran dengan jumlah penduduk paling banyak
500 KK. Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai SKP. Pada SKP
memungkinkan dilaksanakan perdagangan tingkat ritel, karena jumlah penduduk
yang dilayani mencapai 1.500 KK. Kumpulan 3-5 SKP dinyatakan sebagai WPP
dan salah satu SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta
mempunyai aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu
membentuk simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan
(pusat WPP).
Pada WPP memungkinkan pelaksanaan perdagangan tingkat grosir,
mengingat jumlah masyarakat yang dilayani sudah semakin banyak (5.000 KK –
100.000 KK). Jika lokasi pusat WPP berada pada lokasi yang menguntungkan,
WPP
WPP
WPP
SWP
67
berarti cukup untuk berperan sebagai “simpul jasa distribusi” yang merupakan
titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kota (Poernomosidhi 1981).
Adanya peran simpul tersebut, akan melibatkan kegiatan perdagangan dan
angkutan, yang dengan sendirinya akan mengikutsertakan banyak peluang
kegiatan penunjang lainnya disertai dengan aglomerasi kegiatan. Konsentrasi
kegiatan dan manusia dengan segala potensi dan konsekuensinya akan
membentuk pola kehidupan kota. Sedangkan SWP (Satuan Wilayah
Pengembangan) merupakan beberapa WPP dengan salah satu kota berfungsi
sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi serta memiliki posisi yang potensial,
yang berperan sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPP-WPP
yang ada di sekitarnya.
2.7.2 Konsep Pembangunan Transmigrasi pada Era Otonomi Istilah-istilah pembangunan transmigasi pada era otonomi mencakup
Permukiman Transmigrasi (PT), Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT), Satuan
Kawasan Pengembangan (SKP) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT)
(Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997; Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
1999; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009). Selain itu, melalui Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep. 214/MEN/V/2007 tentang
Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di
Kawasan Transmigrasi, juga diperkenalkan konsep Kota Terpadu Mandiri (KTM).
Pembangunan transmigrasi pada era otonomi, dirumuskan secara fleksibel
dalam bentuk WPT sebagai suatu wilayah luas, dan atau dalam bentuk LPT yang
berskala kecil. Alternatif ini mengingat keragaman potensi sumber daya lahan
yang cenderung semakin terbatas di beberapa wilayah, dan perbedaan kebutuhan
pembangunan daerah (Anharudin et al. 2008).
Permukiman Transmigrasi (PT)
PT adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman
yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran. Setiap PT
mempunyai daya tampung 300 - 500 KK, yang dilengkapi sarana: 1) Warung atau
koperasi; 2) Pasar; 3) Sekolah Dasar; 4) Balai pengobatan; 5) Balai desa; dan 6)
Tempat ibadah.
68
Satuan Kawasan Pengembangan (SKP)
SKP adalah suatu kawasan yang terdiri atas beberapa PT yang salah satu di
antaranya merupakan permukiman yang disiapkan menjadi desa utama (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009, SKP adalah satu kawasan yang terdiri atas
beberapa PT yang salah satu di antaranya disiapkan menjadi desa utama atau
pusat kawasan perkotaan baru.
Setiap SKP terdiri dari beberapa PT, dan mempunyai daya tampung 1.800
sampai dengan 2.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi sarana: 1) Industri
kecil/industri rumah tangga; 2) Pasar harian; 3) Pertokoan; 4) Pelayanan jasa
perbankan; 5) Perbengkelan; 6) Pelayanan pos; 7) Pendidikan tingkat pertama; 8)
Puskesmas pembantu; dan 9) Pelayanan pemerintahan
Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT)
LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman
transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau
yang sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009, LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan
sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah
yang sudah ada atau yang sedang berkembang sebagai kawasan perkotaan baru
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009, peruntukan kawasan sebagai rencana Lokasi
Permukiman Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selain
itu juga harus memenuhi syarat: (a) memiliki potensi untuk pengembangan usaha
primer, sekunder, dan atau primer; (b) tersedia prasarana dan sarana permukiman;
dan (c) tingkat kepadatan penduduk rendah.
Tujuan pembangunan Lokasi Permukiman Transmigrasi adalah untuk
mendukung percepatan pengembangan wilayah dan atau pusat pertumbuhan
wilayah yang sedang berkembang. Selanjutnya pembangunan Lokasi Permukiman
Transmigrasi dapat dilaksanakan melalui: (a) Pembangunan satu SKP; (b)
Pembangunan SP; dan (c) Pembangunan bagian dari permukiman yang sudah ada.
69
Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT)
WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan
permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang
baru. Perubahan definisi berdasarkan UU No. 29/ 2009, WPT adalah wilayah
potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi yang
terdiri atas beberapa satuan kawasan pengembangan yang salah satu di antaranya
direncanakan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sebagai
kawasan perkotaan baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
Setiap WPT terdiri dari beberapa SKP, dan mempunyai daya tampung
sekurang-kurangnya 9.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi dengan sarana: 1)
Pusat kegiatan ekonomi wilayah; 2) Pusat kegiatan industri pengolahan hasil; 3)
Pusat pelayanan jasa dan perdagangan; 4) Pusat pelayanan kesehatan; 5) Pusat
pendidikan tingkat menengah; 6) Pusat pemerintahan.
Kawasan yang diperuntukkan sebagai rencana Wilayah Pengembangan
Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang Wilayah/Daerah. Selain itu
WPT harus memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai produk unggulan
yang memenuhi skala ekonomis; mempunyai kemudahan hubungan dengan kota
atau wilayah yang sedang berkembang; dan tingkat kepadatan penduduk masih
rendah.
Gambar 4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010).
PDS 300-500 KK
Sisipan 300-500 KK
LPT/SKP LPT/SKP
Sisipan 300-500 KK
PDS 300-500 KK
LPT/SKP
PDS 300-500 KK
Sisipan 300-500 KK
WPT 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999
PTA 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
PTA 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
PTA 300-500 KK
70
Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS
= Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)
Kota Terpadu Mandiri (KTM)
Pembangunan WPT dan LPT dimaksudkan untuk mewujudkan pusat-pusat
pertumbuhan yang baru, yang berorientasi pada spatial economic growth. Untuk
merealisasikan konsep pengembangan pusat pertumbuhan WPT dan LPT saat ini
dapat dilaksanakan secara integratif dan diaplikasikan melalui pengembangan
KTM di lokasi transmigrasi. KTM ini merupakan embrio pembangunan WPT dan
LPT sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999.
KTM adalah kawasan transmigrasi yang pembangunannya dirancang
menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui
pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. KTM dibangun berdasarkan
prinsip-prinsip pengembangan wilayah yang dalam penerapannya diwujudkan
dalam kerangka struktur tata ruang kawasan transmigrasi. Pembangunan KTM
merupakan bagian atau hasil dari pengembangan WPT. Dari beberapa SKP yang
ada dalam WPT, satu di antaranya ditentukan sebagai pusat pengembangan utama
(pada tingkat WPT) dan kemudian dijadikan Pusat KTM (Manuwiyoto 2008).
Fungsi perkotaan menurut Tarigan (2005) sebagai berikut:
1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan melayani masyarakat
kota sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran (daerah yang
berbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat
provinsi atau pusat perdagangan antarpulau atau ekspor di provinsi tersebut dan
pusat beberapa provinsi sekaligus.
2. Pusat pelayanan jasa, baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa
perorangan misalnya tukang pangkas rambut, salon ,tukang jahit, perbengkelan,
reparasi alat elektronik, pengacara, dokter, notaris, atau warung kopi atau nasi.
Jasa perusahaan misalnya perbankan, perhotelan, asuransi, pengangkutan
pelayanan pos, tempat hiburan, dan jasa penyewaan peralatan.
71
3. Tersedianya prasarana perkotaan seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan
listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem
drainase, taman kota, dan pasar.
4. Pusat penyediaan fasilitas sosial seperti prasarana pendidikan (Universitas,
Akademi, SMA, SMP, SD) termasuk berbagai macam kursus keterampilan,
prasarana kesehatan, termasuk apotek, tempat ibadah, prasaran olahraga, dan
prasarana sosial seperti gedung pertemuan.
5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang merupakan lokasi pusat pemerintahan.
Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota karena banyak
masyarakat yang perlu datang ke tempat untuk urusan pemerintahan.
6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi.
7. Lokasi permukiman yang tertata.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan menurut besarannya dapat berbentuk
kawasan perkotaan kecil, perkotaan sedang, perkotaan besar, metropolitan dan
megapolitan.
Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan dengan jumlah penduduk yang
dilayani 50.000-100.000 jiwa. Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan dengan
jumlah penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 jiwa dan kurang dari 500.000
jiwa. Kawasan perkotaaan besar adalah dengan jumlah penduduk yang dilayani
paling sedikit 500.000 jiwa. Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri
atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti
dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya
1.000.000 jiwa. Selanjutnya kawasan megapolitan adalah dua atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang dinyatakan fungsi kawasan perkotaan sebagai:
72
1. Kawasan perkotaan kecil, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa
kegiatan perdagangan dengan jangkauan pelayanan kecamatan dan/atau
antardesa.
2. Kawasan perkotaan sedang, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi
berupa kegiatan jasa dan perdagangan dengan jangkauan pelayanan satu
wilayah kabupaten dan/atau antarkabupaten.
3. Kawasan perkotaan besar, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa
kegiatan jasa, perdagangan, dan industri dengan jangkauan pelayanan satu
wilayah provinsi dan/atau antarprovinsi.
4. Kawasan Metropolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa
kegiatan jasa, perdagangan, industri, dengan jangkauan pelayanan
antarprovinsi dan/atau nasional.
5. Kawasan Megapolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa
kegiatan jasa, perdagangan, industri, dengan jangkauan pelayanan regional
antarnegara.
Mengacu pada hal tersebut, khususnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, dapat dikemukakan bahwa konsep KTM yang
dirancang sebagai kawasan perkotaan relatif sulit untuk terpenuhi, terutama terkait
kriteria jumlah penduduk minimal (50.000 jiwa) yang dilayani. Oleh karenanya
konsep kawasan perkotaan dalam pembangunan transmigrasi harus ditinjau ulang
dalam kerangka pembangunan transmigrasi yang lebih terarah.
2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain Migrasi adalah bentuk realokasi sumber daya modal manusia. Pada
dasarnya, seperti sumber daya fisik, sumber daya modal manusia juga cenderung
pindah (dialokasikan) pada daerah yang memberikan imbalan yang relatif tinggi.
Migrasi adalah suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindah modal
manusia dari suatu tempat yang relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif
lebih dapat dimanfaatkan (Ananta 1986).
Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa mekanisme pasar merupakan suatu
alat yang murah dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Mekanisme
pasar akan dengan cepat menunjukkan di mana terdapat kelebihan permintaan
atau penawaran. Namun demikian, ketika mekanisme pasar gagal berada pada
73
arah yang benar, maka diperlukan campur tangan pemerintah agar mekanisme
pasar memberikan hasil yang diinginkan.
Dalam konteks alokasi sumber daya manusia, ketika migrasi berada pada
arah yang tidak sesuai (misalnya pindahnya penduduk dari desa ke kota
sedangkan kota sudah memiliki penduduk yang terlalu padat atau pindahnya
penduduk dari daerah yang jarang ke daerah yang padat penduduk), maka perlu
campur tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar.
Salah satu bentuk campur tangan tersebut adalah melalui transmigrasi atau yang
dikenal secara umum sebagai bentuk pemukiman kembali penduduk.
Pemukiman kembali adalah terjemahan kata resettlement. Settlement berarti
a place where people have come to live and make their homes, especially where
few or no people lived before. Sedangkan to resettle adalah to go and live in a new
country or area. Kata lain yang berkaitan dengan resettlement di antaranya adalah
relocation, movement, passage, exodus, immigration. Dengan demikian
pemukiman kembali didefinisikan sebagai kegiatan memindahkan penduduk dari
satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap (Soegiharto et al. 2005)
Pemukiman kembali atau penyelenggaraan perpindahan penduduk tidak
hanya ada di Indonesia. Di Asia di antaranya Malaysia, Srilanka, Filipina,
Thailand, Vietnam. Di Amerika Latin di antaranya Peru, Bolivia, Paraguay dan
Mexico. Di Afrika di antaranya Ghana, Kenya dan Nigeria. Setiap negara
memiliki latar belakang dan sasaran-sasaran yang berbeda, namun pada dasarnya
sama yang mencakup kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya
dan hankam, bahkan pemantapan ideologi (Yudohusodo 1997)
Soegiharto dan Saidin (2005) melalui kajian permukiman kembali di
beberapa negara menemukan beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal tujuan
program pemukiman kembali tersebut. Secara ringkas diberikan pada Tabel 10
berikut:
74
Tabel 10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara No Persamaan Negara
1 Demografi (penyebaran penduduk, distribusi penduduk)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil
2 Sosial (pengentasan kemiskinan, pengangguran, reformasi agraria)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia
3 Ekonomi (pembangunan daerah, pengembangan areal pertanian)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil
4 Politik (interaksi social budaya, geopolitik, integrasi politik)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia
No Keunikan Program, Negara 1 Mengisi pembangunan pusat – pusat
industri, jarak dekat Self Defence Villages, Thailand
2 Sosial Ekonomi, bukan cuma – cuma (non charity )
FELDA, Malaysia
3 Lintas etnis, interaksi sosial budaya Zone Ekonomi Baru, Vietnam
4 Pembangunan infrastruktur dan pemukiman, skala kecil
Namatjira, Australia
5 Ekonomi skala kecil Lembah Majerda, Tunisia
6 Pertahanan keamanan, reformasi agraria Incra Precidencia, Brazil Sumber: Soegiharto dan Saidin (2005)
Selanjutnya dalam konteks model penyelenggaraannya, juga terdapat
beberapa perbedaan dan persamaannya dengan program transmigrasi di Indonesia.
Model penyelenggaraan tersebut mencakup seleksi lokasi, seleksi calon pemukim,
serta pemilihan komoditas dan pembagian lahan.
2.8.1 Seleksi Lokasi Pada umumnya, pemilihan wilayah didasarkan pada tujuan untuk
mengurangi kepadatan penduduk. Namun terdapat variasi dalam hal pembagian
wilayah-wilayah padat penduduk sebagai target daerah asal, dengan cakupan
mulai dari provinsi hingga kecamatan. Terdapat juga pembagian wilayah
berdasarkan pembagian wilayah bagian selatan dan utara, dataran tinggi dan
dataran rendah, serta lainnya.
Di Vietnam, pemindahan penduduk dilaksanakan dari Utara ke Selatan, dari
kota ke desa, dan dari dataran rendah ke dataran tinggi, serta dari provinsi padat
penduduk ke provinsi jarang penduduk. Di Malaysia, sasaran untuk pemerataan
pendapatan antarwilayah lebih penting daripada pemerataan distribusi penduduk.
Wilayah yang dipilih untuk menerima pemukim terdapat di enam negeri bagian,
75
tiga di antaranya adalah pada negeri bagian dengan pendapatan rendah yang
terdapat di pantai timur (Kelantan, Pahang, dan Trengganu). Demikian pula
dengan wilayah yang berada di bagian utara Kedah, yang merupakan wilayah
berpenduduk jarang dibandingkan dengan negeri bagian yang ada di bagian barat
semenanjung. Di negara-negara Amerika Latin, pada umumnya pemindahan
penduduk merupakan pemukiman kembali penduduk dari wilayah dataran tinggi
ke dataran rendah tropis, kecuali Peru di mana area gurun dipilih sebagai wilayah
untuk kolonisasi pertanian.
2.8.2 Seleksi Calon Pemukim Faktor-faktor umum yang menjadi perhatian dalam seleksi calon pemukim,
adalah latar belakang pemukim, keterampilan, dan keuletan, yang diimplikasikan
dalam kriteria pemilihan seperti umur, latar belakang keluarga, pengalaman di
bidang pertanian, dan motivasi mengikuti program. Secara garis besar, kriteria
seleksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kriteria seleksi yang
diaplikasikan pada kelompok penduduk yang paling tidak beruntung, misalnya
penduduk miskin. Kedua, kriteria seleksi yang ditujukan pada sumber daya
manusia yang lebih berkualitas dan memiliki inisiatif. Kedua cara seleksi ini
menunjukan orientasi dari program yang dilaksanakan, apakah dalam kerangka
tujuan sosial atau tujuan ekonomi.
Seleksi Untuk Tujuan Sosial
Di beberapa negara, tujuan sosial mendominasi penyelengaraan program
pemukiman kembali. Skema pemukiman kembali di negara-negara ASEAN pada
umumnya memberi peluang kepada penduduk yang berusia lebih tua
dibandingkan usia migran spontan. Dalam hal pendidikan, peserta program
pemukiman kembali memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan penduduk
dari daerah asal dibandingkan dengan tingkat pendidikan kaum migran spontan.
Peserta transmigrasi di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah
dibandingkan dengan mereka yang mengikuti program serupa di negara-negara
ASEAN lainnya.
Di Thailand dan Malaysia, yang tidak mengutamakan tujuan demografis,
sebagian besar pemukiman kembali bersifat intraprovinsi. Dengan sistim ini,
kesamaan latar belakang dapat mengurangi potensi konflik antara pemukim baru
76
dengan penduduk setempat. Sebaliknya, di masa lalu pemukiman intra-propinsi
jarang ditemui di Indonesia dan Philipina, karena dari tujuan demografis
merupakan tujuan utama program pemukiman kembali di ke dua negara tersebut.
Seleksi untuk tujuan ekonomi
Hanya sebagian kecil penyelenggaraan pemukiman kembali dengan kriteria
seleksinya lebih menekankan tujuan efisiensi ekonomi daripada pertimbangan
kemanusiaan dan sosial. Contoh penerapannya pada skema FELDA(Federal Land
Development Authority) di Malaysia. Seleksi pemukim diarahkan untuk
memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki inisiatif, tidak untuk
charity bagi mereka yang malas.
Dimulai tahun 1961, skema FELDA menerapkan sistem seleksi yang juga
memasukan persyaratan sebagai berikut: warga negara, tidak memiliki lahan atau
memiliki kurang dari 2 acres (0.8 Ha), umur (18-35 tahun), status kawin, latar
belakang pertanian, dan dalam kondisi fisik sehat. Dalam skema FELDA,
pemukim harus petani yang baik, dan land settlement harus dibedakan dari
penataan daerah kumuh (slum clearence). Sesuai dengan permintaan pemerintah,
pensiunan pegawai negeri dapat mengisi jatah 20 persen pada program
pemukiman kembali. Untuk pensiunan pegawai negeri, tidak diberlakukan aturan
harus memiliki keterampilan bertani.
2.8.3 Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas Di Thailand, setiap keluarga kolonis mendapat lahan maksimal 50 rai (8
acre). Di Malaysia, lahan dengan luas 8 hingga 10 acre bagi setiap peneroka
merupakan batas minimum untuk tanaman karet, dan 12 acre untuk tanaman
kelapa sawit. Di Vietnam, kesuburan tanah menjadi faktor penentu dalam
penentuan luas lahan yang dibagikan. Luasan normal adalah 0.5 Ha untuk wilayah
dengan lahan yang sangat subur, dan 1 hingga 2 Ha untuk wilayah hutan marjinal.
Dalam program transmigrasi di Indonesia setiap transmigran mendapatkan
lahan yang luasnya disesuaikan dengan pola usahanya. Luas lahan yang diterima
transmigran berkisar antara 0,75 Ha sampai 2,0 Ha.
Dalam prosedur pembebasan tanah, pada tahun 1942 Thailand
mengeluarkan keputusan tentang alokasi lahan (the land alocation act) guna
meningkatkan distribusi tanah negara kepada petani tuna kisma. Sementara itu,
77
program pemukiman kembali secara simultan dilaksanakan diantaranya oleh
Departemen Sosial (Department of Public Welfare) dalam Kementerian Dalam
Negeri (Ministry of the Interior), Departemen Pertanahan (the Department of
Lands), Departemen Koperasi (Department of Cooperatives), dan Agricultural
Land Reform Office dari Kementerian Pertanian dan Koperasi (Ministry of
Agriculture and Cooperatives).
Di Malaysia, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah federal membuat permasalahan land colonization menjadi kompleks.
Oleh karena itu, tahun 1959 dibentuk Kementerian Pembangunan Desa (Ministry
of Rural Development) untuk melakukan terobosan dalam struktur federal dengan
mengambil alih kewenangan Pusat. Tahun 1961-1967, sebagai bagian dari
mandat, FELDA diberi kewenangan untuk secara langsung membangun tanah-
tanah negara yang secara tradisional merupakan properti para sultan.
Di Indonesia, prosedur pembebasan lahan dilaksanakan di lingkungan
institusi pemerintahan yang terkait. Lahan untuk tujuan program transmigrasi ini
dimiliki oleh pemerintah, yaitu berupa tanah negara atau lahan bebas. Selanjutnya,
banyak variasi ditemui dalam pemilihan komoditi tanaman. Di beberapa negara,
tujuan ekonomi pemukiman kembali adalah untuk meningkatkan produksi pangan,
sedangkan di negara lain, prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan produk
tanaman ekspor.
Di Malaysia, para peneroka (pembuka daerah atau tanah baru) tidak
mempunyai pilihan lain untuk komoditi utama. Pemerintah telah menetapkan
tanaman karet sebagai komoditi unggulan pada awal penyelenggaraan skema
FELDA. Sebagai upaya diversifikasi disediakan lahan seluas 0.8 Ha untuk
tanaman buah-buahan, sebagai tambahan dari lahan yang dibagikan dengan luas
standar 2,4 Ha untuk tanaman karet. Pada tahun 1961 tanaman kelapa sawit
diperkenalkan, dan secara cepat dapat mengungguli area untuk karet.
Di Thailand, setiap lokasi pemukiman kembali memiliki tanaman campuran
seperti jagung, padi, kacang-kacangan, nenas, tebu, kelapa dan kapas. Di
Vietnam, awalnya penekanan diberikan pada produksi padi dan ubi kayu. Ketika
Zone Ekonomi Baru di Vietnam dibuka, penggunaan lahan telah mengalami
diversifikasi dengan karet, kopi, teh, kelapa, lada, buah-buahan.
78
Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan lokasi pemukiman. Di
beberapa negara, pemukim melakukan sendiri seluruh kegiatan penyiapan lahan,
sedangkan di negara lainnya kegiatan pembukaan lahan (land clearing) dan
pembangunan lahan seluruhnya dilakukan oleh pemerintah. Perbedaan terjadi
karena perbedaan ketersediaan dana untuk penyiapan lahan. Variasi juga terjadi
dalam kegiatan penyiapan lahan tergantung dari skala dan tujuan program
pemukiman kembali.
Pada skema self-help di Thailand para kolonis menanggung bagian yang
cukup besar dari biaya pembangunan fisik. Model seperti self-help vilages ini juga
ditemui di Vietnam. Di Vietnam, para tentara peserta program bekerja
membersihkan lahan. Pada tahap selanjutnya, sekelompok pemuda sukarelawan
mempersiapkan lahan dan membangun tempat tinggalnya.
Malaysia, melalui skema FELDA menerapkan capital intensive schemes.
FELDA melaksanakan sendiri kegiatan pembukaan lahan, pembangunan rumah,
dan penanaman tanaman. Skema FELDA mengeluarkan biaya yang cukup tinggi
untuk lahan yang dikembangkan. Namun cara ini diyakini telah meningkatkan
daya tarik skema FELDA, serta mampu menahan para pemukim untuk tinggal
menetap disana. Selain itu, FELDA juga menyediakan sarana infrastruktur.
Di Indonesia, terdapat dua tipe skema pemukiman yaitu yang sepenuhnya
disubsidi oleh Pemerintah (Transmigrasi Umum) dan yang dibiayai oleh
Pemerintah, swasta, dan petani. Skema yang mirip dengan FELDA adalah
program transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans). Pola ini mendapat
bantuan pemerintah dalam hal membuka lahan, menyiapkan bibit non tanaman
perkebunan, menanam dan memelihara tanaman sampai jangka waktu tertentu.
Selanjutnya transmigran (sebagai petani plasma) didatangkan untuk menetap,
mengelola kebun dan memanen hasil kebunnya serta membayar kredit, sedangkan
pembinaan teknis perkebunan dan pemasaran hasil oleh swasta sebagai
perusahaan inti.
Berbeda dengan negara-negara lain, pemerintah Indonesia membersihkan
sebagian atau seluruh lahan yang akan diberikan kepada transmigran. Bentuk
penyiapan lokasi bervariasi tergantung dari kondisi lokasi dan jenis transmigrasi.
Transmigrasi Umum menerima bantuan paling banyak dari pemerintah. Meskipun
79
termasuk fleksibel dalam hal luasan lahan yang dibagikan dan dalam pengunaan
lahan, proporsi penggunaan lahan untuk pertanian subsisten pada transmigrasi
masih lebih tinggi dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya.
2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi Dalam berbagai bidang pembangunan, agar suatu tujuan dapat tercapai
secara efisien diperlukan alokasi sumberdaya secara optimal. Sumberdaya
tersebut dapat berupa sumberdaya modal fisik, sumberdaya modal manusia dan
sumberdaya alam. Dalam konteks ini, migrasi adalah suatu bentuk realokasi
sumberdaya modal manusia (Ananta 1986).
Model yang sering digunakan untuk menganalisis mobilitas penduduk di
suatu wilayah adalah model dorong-tarik (push-pull factors), yang dikembangkan
oleh Everett S. Lee. Model dorong-tarik ini menyatakan penyebab utama
seseorang pindah ke daerah lain adalah karena kondisi sosial ekonomi di daerah
asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya (needs).
Karenanya, prasyarat utama yang akan mendorong seseorang untuk pindah adalah
adanya perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility) antara daerah asal
dengan daerah tujuan. Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal. Dengan kata lain, jika
dikaitkan dengan pembangunan, berdasarkan kerangka model ini dapat
dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan faktor
yang menjadi pemicu mobilitas penduduk (Junaidi & Hardiani 2009).
Terdapat empat kelompok faktor yang mempengaruhi orang mengambil
keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi, yaitu (Lee 1992): yaitu (1)
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; (2) Faktor – faktor yang terdapat di
daerah tujuan; (3) Penghalang antara; dan (4) Faktor – faktor pribadi. Tiga
kelompok faktor yang pertama secara skematis dapat dilihat pada gambar 5.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap di suatu
daerah atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut. Selain itu, terdapat
juga faktor-faktor yang memaksa seseorang untuk meninggalkan daerah tersebut.
Keseluruhan faktor-faktor ini ditunjukkan dalam Gambar 5 dengan tanda (+) dan
(-). Faktor-faktor lain yang ditunjukkan dengan tanda (0) ialah faktor-faktor netral
80
yang tidak mempengaruhi keputusan seseorang untuk menetap atau pindah dari
daerah tersebut. Gambar 5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam
migrasi. Sumber: Lee (1992).
Beberapa faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa
orang, tetapi terdapat juga faktor yang berpengaruh berbeda terhadap seseorang.
Oleh karenanya akan terdapat perbedaan sikap antara setiap migran dan calon
migran terhadap faktor + dan -, yang terdapat baik di daerah asal maupun daerah
tujuan. Sebagai contoh, bagi orang tua yang mempunyai banyak anak kecil, akan
memberikan nilai + pada daerah dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang
bagus meskipun biaya hidup relatif mahal di daerah tersebut (misalnya karena
harga/sewa rumah relatif mahal). Sementara bagi orang yang hidup sendiri
mungkin tidak terpengaruh untuk tinggal di daerah tersebut, karena tidak ada anak
yang harus disekolahkan.
Keputusan bermigrasi dalam konteks ini merupakan hasil perbandingan
faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan di daerah tujuan. Selain itu, diantara
dua tempat tersebut selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-
keadaan tertentu tidak terlalu berat, tetapi dalam keadaan-keadaan lain tidak dapat
diatasi. Yang paling utama diantara rintangan-rintangan tersebut adalah jarak.
Sejumlah rintangan yang sama dapat menimbulkan pengaruh yang
berbeda-beda pada masing-masing individu, yang akan mempengaruhi keputusan
migrasinya. Selain itu, masih banyak faktor pribadi yang berpengaruh terhadap
seseorang yang akan pindah, faktor-faktor itu dapat mempermudah atau
memperlambat migrasi.
0 + - + 0
+ - + 0 -
0 + - 0 +
+ + 0 - -
0 + - + 0
+ - + 0 -
0 + - 0 +
+ + 0 - -
Daerah Asal Daerah Tujuan
Penghalang Antara
81
Dari berbagai faktor tersebut, Todaro dan Smith (2008) mengemukakan
bahwa motivasi utama seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi, yakni
karena adanya ketimpangan ekonomi antara berbagai daerah. Motif utama
tersebut sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional, dimana mobilitas
mempunyai dua harapan, yaitu harapan untuk memperoleh pekerjaan dan harapan
untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di
daerah asal.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa migrasi pada dasarnya adalah suatu
mekanisme penyeimbang yang akan memindah manusia dari suatu tempat yang
relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif lebih dapat dimanfaatkan.
Mekanisme pasar akan mengatur perpindahan atau alokasi sumberdaya modal
manusia sehingga ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat
dikurangi. Meskipun demikian menurut Ananta (1986) mekanisme pasar memiliki
kelemahan utama yaitu hanya tergantung pada visi individu, tanpa melihat visi
dalam lingkup yang lebih luas yang akan menguntungkan masyarakat banyak
(termasuk dirinya sendiri). Para migran tidak akan berpikir apakah kepindahannya
ke suatu daerah akan membantu mengurangi kemiskinan di daerahnya atau bahwa
berpindahnya akan mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang dituju. Hal
ini menjadi faktor penjelas fenomena terjadi migrasi dari desa ke kota atau daerah
jarang penduduk ke daerah padat penduduk, meskipun di kota atau daerah padat
penduduk belum tentu terdapat banyak peluang pekerjaan.
Dalam konteks kegagalan mekanisme pasar, maka perlu campur tangan
pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar. Salah satu bentuk
campur tangan tersebut adalah pelaksanaan program transmigasi. Campur tangan
pemerintah dalam hal ini adalah memperbaiki tanda yang diberikan oleh
mekanisme pasar dengan membangun daerah tujuan transmigrasi dengan berbagai
fasilitas serta dukungan finansial dan non-finansial kepada transmigran sehingga
calon migran tertarik untuk pindah ke daerah tujuan transmigrasi.
Selanjutnya terkait dengan konsep pembangunan daerah tujuan transmigrasi
(kawasan transmigrasi), secara umum, terdapat enam teori utama yang
mendasarinya yaitu teori tempat sentral (central place theory), teori kutub
pertumbuhan (growth pole theory), teori aglomerasi, teori kutub pembangunan
82
terlokalisasikan (localized poles of development), teori ekonomi geografi baru
dan teori simpul-simpul jasa distribusi. Teori tempat sentral diturunkan dari karya
Christaller pada Tahun 1933 (Rustiadi et al. 2009). Menurut teori tempat sentral,
distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat hierarki dan
kaitan-kaitan fungsional ini. Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hierarki
tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil
yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Tempat sentral
merupakan pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang
mendukungnya.
Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hierarki, penduduk
ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk
yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu
kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk
mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada
jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai
tingkat tinggi.
Selanjutnya teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh
Fancois Perroux pada Tahun 1949 (Mercado 2002). Kutub pertumbuhan
didefinisikan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya
sentripetal”.
Salah satu unsur fundamental dalam pengembangan wilayah adalah
keberadaan pusat. Dalam konteks ini, konsep titik pertumbuhan (growth point
concept) merupakan mata rantai antara struktur daerah-daerah nodal yang
berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Selanjutnya
menurut Haruo (2000), dalam rangka mendorong pertumbuhan di negara-negara
berkembang, maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk
pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas.
Terkait dengan titik pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso (1964) diacu
dalam Stimson et al. (2002) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan
interaksi antara inti dan tepi (core and periphery interaction). Pembangunan
berawal dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change)
yang terletak di titik-titik interaksi yang berpotensi tinggi dalam batas atau bidang
83
jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan
pusat-pusat utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah teritorial
lainnya merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran (periphery regions) yang berada
jauh dari pusat perubahan, yang tergantung kepada daerah-daerah inti.
Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai
penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan
sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub
pertumbuhan tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub
pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan
karenanya efek polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan-
perkaitan antarindustri.
Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai
maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan
dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara
masing-masing titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah unsur yang
panting dalam teori ini. Interaksi ini mempunyai beberapa aspek sebagai berikut:
Pertama, interaksi ini akan menimbulkan ketidak seimbangan struktural di
daerah yang bersangkutan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan
pembangunan suatu kompleks industri baru, maka kompleks tersebut akan
ditempatkan di sekitar titik pertumbuhan. Memang harus diakui industri-industri
penyuplai di daerah pengaruh tentu akan ikut terdorong berkembang, tetapi
perbedaan yang besar dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah
yang mengitarinya akan tetap terdapat. Selanjutnya di luar perbatasan daerah
pengaruh, tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi dan daerah mengalami
kemunduran.
Kedua, industri-industri penggerak (propulsive industries) di kutub
pertumbuhan adalah industri-industri ekspor yang melayani pasar-pasar ekstra
regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis
ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti (key
industries) berlokasi pada titik pertumbuhan sedangkan industri-industri suplai,
tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan dapat terpencar-
pencar di seluruh daerah pengaruh. Pendapatan yang terima di daerah pengaruh
84
bersal dari penerimaan faktor terutama upah yang diperoleh para pekerja yang
tinggal di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu
perbedaan antara titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik
pertumbuhan dapat dianggap sebagai pasar tenaga kerja sentral dan daerah
pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja.
Ketiga, fungsi tempat sentral dari titik pertumbuhan dapat memperjelas
hubungan antartitik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya. Tersedianya pelayanan
sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang penting pada titik
pertumbuhan. Tetapi, secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral
tidaklah identik. Tempat-tempat sentral banyak sekali dan tersusun dalam suatu
hierarki, sedangkan titik pertumbuhan hanya sedikit dan dalam beberapa hal
hanya satu di suatu daerah.
Konsep kutub pertumbuhan pada dasarnya mempunyai pengertian tata ruang
secara abstrak. Suatu kutub berarti suatu pengelompokan atau konsentrasi unsur-
unsur dan Perroux menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan
karakteristik regional tata ruang ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, Boudeville
(1961) diacu dalam Adisasmita (2008) mengemukakan teori kutub pembangunan
yang terlokalisasikan (localized poles of development). Menurut Boudeville tata
ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis.
Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari
adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang
geografis. Ia mendefinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat
industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan
mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah
pengaruhnya.
Teori Boudeville ini juga dianggap mampu menjembatani teori-teori tempat
sentral dan teori kutub pertumbuhan. Teori tempat sentral hanya menjelaskan
adanya pola pusat-pusat tertentu pada tata ruang geografis dan tidak membahas
adanya perubahan pola-pola tersebut. Teori kutub pertumbuhan lebih menjelaskan
pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri. Dengan
kata lain lebih melihaat perubahan-perubahan struktural tetapi kurang
menjelaskan pengelompokan pada tata ruang geografis. Dalam konteks ini, teori
85
Boudeville menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata
tetapi juga peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan diantara
pengelompokan-pengelompokan tersebut. Hal ini berkaitan dengan hirarkie
wilayah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami
pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah titik pertumbuhan yang terbatas,
pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi industri
pertama kali dibahas secara eksplisit oleh Alfred Weber pada tahun 1909 dalam
analisis teori lokasi industri. Weber berusaha menetapkan lokasi industri yang
optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal. Lokasi
dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga
kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang
ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya
pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal (Adisasmita 2008).
Malmberg dan Maskell (1997) mengemukakan aglomerasi berkaitan dengan
konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Montgomery (1988) bahwa aglomerasi adalah
konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena
penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang
diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen.
Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi
skala disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies) (Mills &
Hamilton 1989). Ekonomi aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas
kedekatan geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan ekonomi aglomerasi
merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota (Bradley &
Gans 1998). Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi
karena kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Alfred
Marshall menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti istilah
ekonomi aglomerasi. Hoover juga membuat klasifikasi ekonomi aglomerasi
menjadi 3 jenis yaitu large scale economies merupakan keuntungan yang
diperoleh perusahaan karena membesarnya skala produksi perusahaan tersebut
86
pada suatu lokasi, localization economies merupakan keuntungan yang diperoleh
bagi semua perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi dan
urbanization economies merupakan keuntungan bagi semua industri pada suatu
lokasi yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi dari lokasi
tersebut. Berbeda dengan pendapat para ahli ekonomi yang lain, O’Sullivan
(2009) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi
dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas
positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar
perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat.
Dalam konteks teori ekonomi geografi baru, dapat dikemukakan bahwa
dalam jangka waktu yang lama, para ekonom telah mengabaikan konsep semacam
jarak, ruang dan biaya transportasi dalam analisis-analisisnya terhadap
ketidakmerataan pembangunan secara regional. Pada Tahun 1950an dan 1960an,
Myrdal, Hirschman, Kaldor dan lainnya menjelaskan mengenai pembangunan
spasial yang tidak merata melalui konsep cumulative causation (O‘Hara 2002;
Mac.Kinnon 2008). Ekonomi geografi Marxist pada 1980-an mengemukakan
ketidakmerataan pembangunan regional sebagai proses historis. Massey (1984)
mengemukakan pembagian tenaga kerja secara spasial terutama disebabkan
adanya transformasi dan perebutan dalam politik, lebih dari sekedar faktor
perekonomian.
Ketidakmerataan pembangunan secara regional ini menurut model ekonomi
geografi baru memiliki elemen-elemen berikut. Pertama, penekanan penyebab
konsentrasi yang tidak berhubungan dengan sumber daya alam bawaan (natural
endowment). Kedua, penekanan interaksi antara pasar yang berbeda, antara
perusahaan, supplier dan konsumennya, dan peranan ganda dari pekerja sebagai
faktor produksi dan konsumen. Ketiga, kekuatan sentripetal yang mendorong
konsentrasi geografis lebih lemah dibandingkan kekuatan sentrifugal. Keempat,
pentingnya fondasi mikro. Khususnya, ekternalitas positif tidak diasumsikan,
tetapi diturunkan dari saling mempengaruhi antara biaya transportasi, peningkatan
skala pengembalian dan mobilitas faktor.
Dalam teori ekonomi geografi baru, terdapat dua kekuatan utama penyebab
aktivitas ekonomi terkonsentrasi secara geografis, yaitu kekuatan sentripetal dan
87
sentrifugal (Krugman 1998). Menurut Belke dan Heine (2004) kekuatan ini
memiliki dampak signifikan terhadap keputusan faktor produksi yang begerak
(mobil) untuk beraglomerasi atau deglomerasi secara geografi. Kekuatan
sentripetal atau sentrifugal ini ditentukan oleh derajat integrasi, atau lebih
tepatnya oleh besarnya biaya transportasi.
Sumber kekuatan sentripetal adalah efek ukuran pasar (keterkaitan atau
linkages), pasar kerja yang besar dan ekonomi eksternal murni (pure external
economies). Pasar lokal yang besar menciptakan backward linkages (pasar yang
besar adalah tempat yang lebih disukai untuk produksi barang karena skala
ekonomi) dan forward linkages (pasar yang besar mendukung produksi lokal
untuk barang-barang antara (intermediate goods), menurunkan biaya untuk
industri hilir. Konsentrasi industri didukung oleh pasar kerja yang besar, terutama
untuk keahlian khusus, sehingga tenaga kerja lebih mudah menemukan pekerjaan
dan sebaliknya. Konsentrasi aktivitas ekonomi ini akan menciptakan lebih banyak
(atau lebih sedikit) ekonomi eksternal murni melalui ketersediaan informasi.
Selanjutnya, sumber kekuatan sentrifugal adalah faktor-faktor yang tidak bergerak
(immobile factors), harga/sewa lahan (land rents) dan ekonomi dis-eksternal
murni (pure external diseconomies). Faktor-faktor yang tidak bergerak (tanah dan
sumber daya alam, dan dalam konteks internasional adalah penduduk)
menghalangi konsentrasi produksi, baik dari sisi penawaran (beberapa produksi
harus berlokasi di tempat pekerjanya) dan dari sisi permintaan (faktor yang
terpisah-pisah menciptakan suatu pasar yang terpisah-pisah, dan beberapa
produksi memiliki insentif untuk berlokasi dekat konsumen). Konsentrasi
aktivitas ekonomi menciptakan peningkatan permintaan lahan, meningkatkan
harga lahan dan dengan demikian menyebabkan suatu disinsentif untuk
konsentrasi ke depan. Konsentrasi aktivitas ekonomi dapat menyebabkan lebih
banyak (atau lebih sedikit) ekonomi dis-eksternal murni seperti kemacetan
(congestion).
Selanjutnya, dalam konteks perekonomian dan perdagangan internasional,
teori ekonomi geografi baru mengemukakan bahwa perbedaan antara negara
industri dan non-industri, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses penurunan
biaya perdagangan. Suatu konsep dasar diperkenalkan oleh Krugman dan
88
Venables (1995). Keduanya berasumsi bahwa semua faktor adalah bersifat tidak
dapat bergerak antarnegara. Proses akumulasi terjadi melalui perbedaan antara
pengembalian hasil tetap (constant-return) sektor pertanian dengan pengembalian
hasil yang meningkat (increasing-return) sektor industri, baik yang menggunakan
maupun menghasilkan input antara. Ide dasarnya adalah produsen barang-barang
antara dalam suatu daerah dengan sektor industri yang besar akan memiliki akses
yang besar ke pasar yang besar yang diberikan oleh industri hilir (backward
linkage), sementara produsen ini (industri hilir) sebaliknya akan memiliki
keuntungan akses yang lebih baik ke barang-barang antara yang dihasilkan di
negara mereka sendiri (forward linkage).
Dalam contoh kasus, misalnya di dunia hanya ada dua negara yang identik
dalam hal biaya transportasi barang-barang industri antarnegara tersebut. Jika
biaya transportasi tinggi, masing-masing negara akan mencukupi dirinya sendiri.
Tetapi jika terjadi penurunan biaya transportasi, akan meningkatkan kemungkinan
perusahaan untuk mengekspor ke negara lain. Karenanya, negara yang memiliki
sektor manufaktur yang lebih besar, akan mendapatkan keuntungan akses lebih
baik, baik ke pasar maupun supplier. Jadi ketika biaya transpor turun, akan terjadi
proses diferensiasi antara negara, dengan negara yang memiliki konsentrasi
industi akan menjadi inti (core), sedangkan negara dengan produksi primer akan
terdegradasi menjadi pinggiran (periphery).
Model yang sama memprediksi penurunan yang berlanjut dalam biaya
transpor akan menghasilkan pembalikan nasib. Alasannya, daerah periphery
memiliki keuntungan kompetitif dalam bentuk upah murah. Keuntungan ini lebih
diimbangi oleh akses yang kuat dari negara maju terhadap pasar (backward
linkage) dan input (forward linkages). Namun, penurunan biaya transportasi
menyebabkan penurunan juga dari pentingnya keterkaitan ini. Jadi, terdapat titik
kritis kedua di mana industri menemukan keuntungan untuk bergerak ke lokasi
upah yang lebih murah.
Untuk menjelaskan ketidakseimbangan regional pada negara-negara
berkembang, model ini juga dapat digunakan. Dalam mengkonversi analisis core-
periphery dalam perbedaan regional, maka pekerja diasumsikan sebagai faktor
yang bisa berpindah-pindah seperti kapital dan tenaga kerja trampil, dan
89
mengasumsikan bahwa pekerja tidak terampil adalah relatif faktor yang tidak
bergerak. Dengan skala ekonomi yang besar dan biaya transpor yang tinggi, akan
menghasilkan keseimbangan core-periphery yang dapat memiliki perbedaan yang
besar dari upah faktor-faktor yang tidak bergerak.
Melalui perspektif geografi ekonomi, Bank Dunia dalam laporan
pembangunan dunia Tahun 2009 (WB 2009) menyoroti ketimpangan melalui tiga
dimensi yang dikenal dengan istilah 3D, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi
(density), aspek jarak (distance) dan pembagian/pemisahan geografis sebagai
faktor penghalang terjadinya integrasi ekonomi (division).
Kepadatan atau densitas menunjuk pada massa atau agregat ekonomi per
unit lahan, atau kepadatan geografis ekonomi. Kepadatan adalah tingkat output
yang diproduksi (dan karenanya pendapatan yang diperoleh) per unit lahan.
Nilainya tertinggi di kota-kota besar di mana aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan
lebih rendah di lingkungan-lingkungan pedalaman.
Mengingat kepadatan ekonomi yang tinggi membutuhkan konsentrasi
tenaga kerja dan modal secara geografis, kepadatan ekonomi terkait erat dengan
pekerjaan dan kepadatan penduduk. Oleh karenanya, kepadatan populasi kadang
kala digunakan sebagai nilai pengganti dari kepadatan ekonomi ini.
Jarak mengukur seberapa mudah modal mengalir, tenaga kerja berpindah,
barang diangkut, dan layanan disediakan antara dua lokasi. Jarak dalam
pengertian ini merupakan sebuah konsep ekonomi, bukan semata-mata fisik.
Terkait dengan jarak ekonomi, maka jarak mengukur seberapa mudahnya
menjangkau pasar. Ini menentukan akses terhadap kesempatan. Daerah yang jauh
dari pusat-pusat yang ekonominya padat di suatu negara biasanya lebih tertinggal.
Untuk perdagangan barang dan jasa, jarak mencakup waktu dan biaya
moneter. Penempatan dan kualitas infrastruktur transportasi dapat mempengaruhi
jarak ekonomi antara dua area, meskipun jarak euclidean (garis-lurus) antara area
tersebut adalah sama. Selanjutnya untuk mobilitas tenaga kerja, jarak juga
mencakup “biaya fisik” karena keterpisahan dari wilayah yang sudah dikenalnya.
Seperti pada perdagangan, jarak ekonomi untuk migrasi terkait, tetapi tidak sama
artinya, dengan jarak fisik. Hambatan-hambatan yang dibuat manusia, termasuk
90
kebijakan, juga dapat meningkatkan jarak, seperti pungutan liar dan “uang
keamanan”.
Wilayah yang maju memiliki kepadatan ekonomi tinggi, sementara daerah
yang tertinggal mempunyai jarak yang jauh ke kepadatan. Suatu area punya
kemungkinan lebih besar untuk menjadi daerah tertinggal jika ia semakin jauh
dari wilayah maju, karena jarak yang semakin jauh dari kepadatan
mengimplikasikan kurangnya integrasi ke dalam ekonomi wilayah maju.
Selanjutnya pembagian/pemisahan (division) antarnegara-bangsa membuat
proses geografi ekonomi terpecah-pecah menjadi skala nasional dan regional.
Laporan Bank Dunia tersebut menunjukkan bagaimana pembagian semacam ini
mempengaruhi pembangunan ekonomi, bagaimana geografi dan sejarah budaya
menyumbang pada pembagian ini dan bagaimana negara membangun penghalang
bagi terjadinya interaksi yang produktif dengan negara-negara tetangga dan warga
dunia lainnya. Sementara kepadatan dan jarak berkaitan erat dengan geografi
manusia dan geografi fisik, pembagian lebih mengacu pada geografi sosiopolitik.
Perbedaan antara jarak dan pembagian ini adalah bahwa jarak mengatur
akses pada peluang ekonomi dan suatu cara yang lebih kontinu – suatu jarak pasti
akan berkurang seiring dengan waktu. Ini dapat dilihat sebagai jarak ekonomi atau
waktu tempuh yang makin meningkat untuk satu satuan jarak fisik (atau jarak
Euclidian). Sebaliknya, pembagian menghadirkan hambatan-hambatan yang
berlainan terhadap akses dan integrasi ekonomi.
Seperti teori tempat sentral (Christaller), kutub pertumbuhan (Perroux), teori
daerah inti (Friedmann dan Alonso), kutub pembangunan (Boudeville),
aglomerasi (Weber), dan ekonomi geografi baru, Hadjisarosa (1982) menekankan
pula pentingnya peranan pusat-pusat pengembangan. Pusat-pusat pengembangan
ini selanjutnya diidentifikasikan sebagai "simpul-simpul jasa distribusi".
Menurut Hadjisarosa, pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya
pertumbuhan modal, yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia
dan sumber daya alamnya. Pengembangan kedua jenis sumber daya tersebut
berlangsung sedemikian sehingga menimbulkan arus barang. Bahan mentah
diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik dan barang hasilnya diangkut dari
produsen ke konsumen.
91
Arus barang dianggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling
menonjol. Arus barang merupakan wujud fisik perdagangan antardaerah,
antarpulau, ataupun antarnegara. Arus barang didukung langsung oleh jasa
perdagangan dan jasa pengangkutan serta distribusi. Dengan demikian jasa
distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau pengaruhnya dalam penentuan
lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan-
kemudahan, demikian pula fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah.
Di simpul-simpul terdapat berbagai kemudahan, yang diartikan sebagai
kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat
kemudahan pada suatu tempat, semakin kuat daya tariknya mengundang manusia
dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahan-
kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat penting. Pusat
kegiatan usaha distribusi ini selanjutnya oleh Hadjisarosa disebut "simpul jasa
distribusi".
Ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan
simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hierarki simpul dalam
sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa
distribusi bagi wilayah pengembangannya, sedangkan fungsi sekundernya adalah
kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam).
Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan
kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hierarki dari tiap
simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul
yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.
Pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa
distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih
rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antarsimpul yang
mempunyai tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat
keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan
antarsimpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat
tujuan.
92
Menurut Adisasmita (2008) terdapat perbedaan yang mendasar antara teori
simpul-simpul jasa distribusi dengan teori aglomerasi (Weber), teori tempat
sentral (Cristaller dan Losch), kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaan tersebut
mencakup sebaran dari unit produksi dan unit pasar. Dalam konsep simpul jasa
distribusi, bahan-bahan mentah tersebar tempatnya dan setelah mengalami proses
pemurnian, pengolahan, perakitan ataupun pembungkusan, barang-barang hasil
produksi tersebut dipasarkan kepada para konsumen akhir yang tempatnya
tersebar juga.
Terkait dengan konsep dan strategi pembangunan transmigrasi pada
dasarnya mengacu pada konsep pembangunan dengan pendekatan peubah
kewilayahan. Konsep ini mengacu pada struktur wilayah pengembangan
berdasarkan satuan wilayah ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang
dan jasa. Hadjisarosa (1988) mengemukakan bahwa konsep pembangunan
transmigrasi dalam bentuk outputnya dengan hierarki-hierarki mulai dari hierarki
terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) sampai sampai hirarkie terbesar yaitu
Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) hanya dapat dideteksi melalui aplikasi
teori Simpul Jasa Distribusi.
Dalam konsep pembangunan transmigrasi, unit produksi berasal dari
berbagai Satuan Permukiman (SP) yang kemudian berkumpul pada Satuan
Kawasan Permukiman (SKP) ataupun Wilayah Pengembangan Parsial (WPP)
yang berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan ke luar kawasan.
Sebaliknya SKP ataupun WPP juga berperan sebagai simpul jasa distribusi
perdagangan aliran barang dari luar kawasan untuk kemudian didistribusikan ke
hierarki-hierarki di bawahnya.
Selanjutnya, dalam konteks transmigrasi sebagai suatu bentuk
pengembangan wilayah, pada dasarnya terdapat dua strategi yang dapat digunakan
yaitu supply side strategy dan demand side strategy (Rustiadi et al. 2009). Strategi
supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama
diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang
berorientasi ke luar. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang
akan meningkatan pendapatan lokal. Selanjutnya, hal ini akan menarik kegiatan
lain untuk datang ke wilayah tersebut.
93
Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa setempat melalui
kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah
meningkatkan taraf hidup penduduknya. Tarigan dan Ariningsih (2007) juga
mengemukakan bahwa pengembangan subsistem pengolahan (dalam hal ini
agroindustri) yang merupakan kelanjutan dari subsistem produksi juga dapat
berperan sebagai bagian dari strategi sisi permintaan ini. Bentuk lain dari demand
side strategy ini dikembangkan oleh pemerintah Philipina dalam rangka
mengatasi kelaparan dan meningkatkan keamanan pangan. Melalui Accelerated
Hunger Mitigation Program (AHMP) pemerintah Philipina menggunakan tiga
komponen kebijakan yaitu: 1) memberikan bantuan kepada penduduk miskin
(pelatihan, kredit mikro, distribusi lahan); 2) meningkatkan gizi melalui
pemahaman penduduk tentang jenis-jenis makanan sehat dan 3) pengaturan
populasi (Edillon 2008).
Lebih lanjut Anwar (2005) mengemukakan bahwa ketidakseimbangan
pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan
regional menjadi suboptimal, dan juga pada gilirannya sering menurunkan sampai
meniadakan sumber-sumber pertumbuhan pembangunan agregat (makro). Oleh
karena itu interaksi pembangunan inter-regional memerlukan kinerja yang
komplementer dan mengurangi sejauh mungkin terjadinya persaingan
(competitive) diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga akan
menimbulkan kondisi wilayah-wilayah yang sinergis (saling memperkuat) dan
diharapkan dapat menimbulkan sumbangan kepada ekonomi makro yang positif
dan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya strategi pembangunan wilayah dari sisi
pendekatan produksi (supply) yang dihasilkan oleh suatu wilayah pada akhirnya
harus dapat mengatasi dampak terjadinya keterbatasan (demand trap) dari sisi
permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Untuk mencapai
maksud tersebut, strategi pembangunan wilayah juga harus dikembangkan atas
dasar strategi pengembangan sisi permintaan (demand side strategy). Strategi ini
dapat dikembangkan melalui upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya
permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui peningkatan
94
kesejahteraan, khususnya yang menyangkut peningkatan tingkat pendapatan,
pendidikan, sosial budaya dan lain-lain masyarakat wilayah.
Program transmigrasi selain didasarkan pada lima teori utama tersebut, dari
sisi strategi didekati melalui demand side strategy, dengan tujuan utama
meningkatkan taraf hidup penduduk melalui kegiatan produksi lokal. Rustiadi et
al. (2009) menghipotesiskan stadia pengembangan kawasan transmigrasi atas
enam stadia:
1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia
sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk
kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga
membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian.
2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal
lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran
diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri (subsisten).
3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi
diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil
usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat
diusahakannya Lahan Usaha II.
4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap
ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk
memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil
pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak
perlu jauh-jauh menjual ke kota.
5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang
diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian.
Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala
kecil.
6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada
tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang
mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.
Stadia-stadia tersebut secara diagramatis diberikan sebagai berikut:
95
Gambar 6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi.
Sumber: Rustiadi et al. (2009)
Mengacu pada stadia-stadia ini terlihat pada dasarnya daerah perdesaan
umumnya dan kawasan transmigrasi khususnya tidak hanya tergantung sektor
pertanian saja. Namun demikian, dalam kenyataannya, situasi perkembangan
pembangunan kawasan transmigrasi yang tidak berkembang tertahan sampai pada
stadia II dan III. Strategi demand side membutuhkan waktu yang lama karena
berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan,
dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara
berpikir. Meskipun demikian, keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan
stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini
berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.
Stadia Industrialisasi Perdesaan
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Industri Non-Pertanian
Stadia Industri Pertanian
Stadia Marketable Surplus
Demand luxurious goods Investasi pemerintah fasilitas2 urban
Ekspor Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi Investasi pemerintah untuk prasarana sistem industri
Berkembangnya sektor non-pertanian Diversifikasi usaha
Stadia Subsisten
Stadia Sub-Subsisten
Surplus Produksi Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi sektor non pertanian
Subsidi pemerintah untuk kebutuhan hidup dan produksi Investasi fasilitas/infrastruktur dasar dan pertanian
96
2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi Usaha-usaha untuk menentukan indikator pengembangan kawasan
transmigrasi telah pernah ditetapkan baik melalui berbagai keputusan maupun
melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Ketransmigrasian. Menurut
Tjiptoherijanto (1984,2005) diacu dalam Soegiharto (2008), program transmigrasi
harus selalu dikaitkan dengan pembangunan daerah, dan menjadi bagian integral
dari pola pembangunan daerah serta terkait dengan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka tolok ukur utama keberhasilan transmigrasi
adalah pencapaian dalam hal:
1. Keseimbangan penyebaran penduduk, dengan tolok ukur: a) keberhasilan
program keluarga berencana yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat
kelahiran penduduk tempat transmigran berdiam; b) menurunnya tingkat
kematian anak balita.
2. Pengembangan sumber daya manusia, dengan tolok ukur: a) kesempatan kerja
tersedia dengan cukup; b) tingkat perkembangan AKAD di daerah
transmigrasi atau provinsi yang menampung para transmigran.
3. Untuk memanfaatkan sumber alam dan tenaga manusia perlu ditumbuhkan
transmigran yang produktif, yang hanya bisa dihasilkan oleh tenaga kerja yang
berpendidikan. Tolok ukurnya yaitu: a) rasio jumlah tenaga pengajar terhadap
murid khususnya tingkat SD dan SLTP; b) pengembangan pendidikan
diarahkan pada keahlian kejuruan yang akan menghasilkan tenaga-tenaga siap
pakai.
4. Perdagangan regional, dengan tolok ukur: a) meningkatnya volume
perdagangan antar daerah khususnya di provinsi-provinsi daerah transmigrasi,
secara tidak langsung memberikan indikasi sarana komunikasi dan
transportasi di daerah tersebut semakin membaik, sehingga kelancaran
pelayanan pengangkutan akan mempermudah hubungan antar daerah
5. Sosial, dengan tolok ukur: a) Tingkat kriminalitas sebelum dan sesudah
adanya transmigrasi di suatu daerah; b) Tingkat perselisihan dan ketegangan
sosial, baik antar suku, agama dan lokasi
Pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi Republik
Indonesia No. KEP.269/MEN/1984 tentang Kriteria Tingkat Perkembangan
97
Minimal Unit Permukiman Transmigrasi dalam garis besarnya menggunakan
sembilan kriteria pokok untuk menilai tingkat perkembangan suatu permukiman,
yaitu (1) pendapatan per kapita; (2) koperasi/KUD; (3) prasarana/aksesibilitas; (4)
komunikasi dan daya tarik; (5) pendidikan; (6) kesehatan dan keluarga berencana;
(7) agama/mental spiritual; (8) latihan keterampilan; dan (9) perangkat pemerintah
desa.
Mengingat kriteria tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
transmigrasi, maka dikeluarkan yaitu Keputusan Menteri Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999
tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan
Transmigrasi. Dalam keputusan ini dinyatakan bahwa tingkat perkembangan
permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran meliputi tingkat
penyesuaian, pemantapan dan pengembangan (Pasal 2 Ayat 1). Tingkat
Penyesuaian adalah kondisi perkembangan permukiman di mana trasmigrannya
sedang beradaptasi di lingkungan baru (sosial ekonomi, budaya dan fisik) untuk
mampu melaksanakan kehidupan di lokasi baru. Tingkat Pemantapan adalah
kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah berkemampuan
mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tingkat Pengembangan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana
transmigrannya telah mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan
masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan
kehidupannya secara berkelanjutan (Pasal 1). Perhitungan tingkat perkembangan
ini menggunakan indikator ekonomi, sosial dan budaya, integrasional serta
keaktifan dan pelayanan lembaga sosial (Pasal 2 Ayat 3).
Keputusan menteri tersebut kemudian diperbaharui lagi dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.25/MEN/IX/2009 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi
dan Kesejahteraan Transmigran. Dalam peraturan menteri ini, perkembangan
permukiman transmigrasi juga dibagi tiga yaitu tingkat penyesuaian, tingkat
pemantapan dan tingkat pengembangan dengan pengertian yang sama dengan
Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik
Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999.
98
Tabel 11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran
No Parameter Indikator Satuan Standar
Tingkat penyesuaian
Tingkat pemantapan
Tingkat pengembangan
A EKONOMI a. Pendapatan 1. Pendapatan per KK per tahun Kg setara beras 1600 2400 3000 b. Pemerataan 2. Gini Ratio % - 0.25 0.25 c. Ketenagakerjaan 3. Rasio setengah pengangguran % - 10 10 d. Kontribusi permukiman
transmigrasi 4. Rasio pendapatan per kapita terhadap pendapatan
per kapita kabupaten/kota % 0.75 1.00 1.10
e. Keberhasilan Koperasi Unit Desa/ Tempat Pelayanan Koperasi
5. Rentabilitas 6. Tingkat pelayanan
% %
- 30
0.5 50
0.5 80
B SOSIAL DAN BUDAYA a. Kebetahan 1. Transmigran meninggalkan lokasi % 8 3 2 b. Keamanan 2. Perbuatan tindak kejahatan/pelanggaran Kali/tahun - 3 2 c. Pendidikan 3. Angka Partisipasi Pendidikan
4. Angka Melek Huruf % %
40 40
50 50
80 80
d. Kesehatan dan Keluarga Berencana 5. Prevalensi penyakit 6. Rasio kematian balita 7. Rasio anak balita dengan wanita
0/00 %
0/00
200 0.5 900
150 0.3 875
100 0.1 850
e. Partisipasi masyarakat 8. Gotong royong perbaikan fasilitas lingkungan 9. Kerjasama kelompok tani/KUB
% 4 40
4 65
4 90
C INTEGRASIONAL 1. Tingkat konflik suku, agama, ras, golongan kali 5 3 2 2. Rasio pedagang penduduk lokal dengan
pedagang transmigran di pasar % - 10 20
D KEAKTIFAN DAN PELAYANAN LEMBAGA SOSIAL
a. Keaktifan lembaga sosial 1. Tingkat keaktifan perangkat pemerintah desa 2. Kemampuan pelayanan aparat permukiman
transmigrasi
% %
- 20
80 10
80 5
Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/IX/2009
99
Pada tahun 2004, Puslitbang Ketransmigrasian juga telah menyusun Indeks
Pembangunan Transmigrasi (IPT) yang dapat mencerminkan pencapaian tujuan
transmigrasi yaitu kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya,
pemerataan pembangunan dan persatuan kesatuan. Penghitungan IPT dilakukan
melalui tiga tahap yaitu penghitungan indeks masing-masing indikator, penentuan
goalpost, dan penentuan indeks komposit (Najiyati 2008).
1. Penghitungan Indeks masing-masing Indikator
a. Rumus berikut digunakan untuk menghitung :
1) Indeks Angka Melek Huruf (atau disebut Indeks Pendidikan
Transmigran).
2) Indeks UPT Lepas Bina (atau disebut Indeks Pemerataan Pembangunan).
Apabila indikator UPT lepas bina lebih dari 20 persen, tetap dihitung 20
persen.
3) Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat (disebut Indeks Persatuan
dan Kesatuan) dengan nilai indikator kurang atau sama dengan 50
persen.
min)(min)(1
nn
nn
XmaksXXXI
Keterangan
I = Indeks ke n
Xn =: Nilai riil indikator ke- n
Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n
Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n
b. Rumus berikut digunakan untuk menghitung:
1) Indeks Transmigran tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut Indeks
Kesehatan Transmigran)
2) Indeks Transmigran Miskin (disebut Indeks Perekonomian Transmigran)
3) Indeks Penduduk Kecamatan tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut
Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar)
min)(min)(
1nn
nn
XmaksXXX
I
100
Keterangan
I = Indeks ke- n
Xn =: Nilai riil indikator ke- n
Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n
Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n
c. Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat dengan nilai indikator lebih
besar dari 50 persen, dihitung dengan rumus sebagai berikut:
maksXXX
In
nn min)(1
Keterangan
I = Indeks ke n
Xn = Nilai riil indikator ke n
Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke n
2. Goalpost
Goalpost adalah angka perkiraan minimum dan maksimum yang dapat
dicapai oleh suatu indikator. Goalpost minimum dan maksimum masing-masing
indikator dapat dilihat dalam Tabel 12 berikut:
Tabel 12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi
No Dimensi Indikator Satuan Goalpost Min Maks
1 Kesejahteraan transmigran
a. Kesehatan Transmigran tanpa akses sarana kesehatan
% 0 100
b. Pendidikan Angka Melek Huruf % 25 100 c. Ekonomi Transmigran miskin % 5 80
Kesejahteraan masyarakat sekitar
Penduduk kecamatan tanpa akses sarana kesehatan
% 0 75
2 Pemerataan pembangunan
UPT Lepas Bina % 0 20
3 Persatuan dan kesatuan Transmigran dari Kecamatan Setempat
% 0 50
Sumber: Najiyati (2008)
3. Penghitungan Indeks Komposit
IPT komposit dihitung dengan rumus sebagai berikut
101
6654321 IIIIII
IPT
Keterangan:
I1 = Indeks Kesehatan Transmigran
I2 = Indeks Pendidikan Transmigran
I3 = Indeks Perekonomian Transmigran
I4 = Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar
I6 = Indeks Persatuan Dan Kesatuan
n = Banyaknya Indikator Terpilih
IPT= Indeks Pembangunan Transmigrasi
Kategori IPT dimaksudkan sebagai patokan atau standar nilai yang
dikatakan baik, sedang, dan kurang. Kategori IPT yang dianjurkan seperti pada
Tabel 13 berikut:
Tabel 13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi No Nilai IPT Kategori
1 > 0.9 – 1.0 Baik sekali
2 > 0.8 – 0.9 Baik
3 > 0.6 – 0.8 Sedang
4 > 0.5 – 0.6 Kurang
5 <= 0.5 Buruk
Sumber: Najiyati (2008)
Pada tahun 2007 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Kep 214/Men/V/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan
Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi, dikemukakan
bahwa pengembangan KTM dirancang berdasarkan perubahan fungsi-fungsi
perkotaan menuju terwujudnya KTM. Parameter fungsi-fungsi perkotaan adalah:
komoditas unggulan, kelembagaan pasar, kelembagaan petani, kelembagaan
penyuluh, serta adanya sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti diberikan
pada Tabel 14 berikut.
102
Tabel 14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri
Desa-desa Pra KTM KTM Komoditas Unggulan Komoditas Unggulan Komoditas Unggulan Produksi komoditas unggul Penanganan pasca panen dan
pengolahan hasil Industri kecil/Rumah Tangga
Industrialisasi pengolahan hasil dan diversifikasi produk Pusat Kegiatan Industri Pengolahan Hasil
Industri kecil/Rumah Tangga Pusat kegiatan industri
pengolahan hasil Kelembagaan Pasar Kelembagaan Pasar Kelembagaan Pasar 1. Pasar (menampung hasil dari
sebagian kecil kawasan) 2. Warung/Koperasi
1. Pasar (menampung hasil dari sebagian besar kawasan)
2. Pasar Harian 3. Pertokoan
1. Pasar (Menampung hasil dari kawasan KTM dan luar kawasan KTM)
2. Pusat kegiatan ekonomi wilayah
Kelembagaan Penyuluh Pertanian
Kelembagaan Petani Kelembagaan Petani
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran kebutuhan masyarakat
Kelembagaan Penyuluh
Agribisnis Kelembagaan Penyuluh Pembangunan
Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana 1. Akses ke/dari sentra produksi
kondisi sedang 2. Sarana dan prasarana umum
a. Pelayanan Pos b. Pelayanan pemerintahan;
Persiapan pembentukan pemerintahan desa
3. Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial a. Sekolah dasar b. Balai Pengobatan kondisi
sedang
1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi cukup
2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos e. Pelayanan pemerintah
kondisi cukup 3. Sarana dan Prasarana
Kesejahteraan Sosial a. SLTP/SLTA b. Pustu kondisi cukup
1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi baik
2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos dan
telekomunikasi e. Listrik f. Pelayanan pemerintah
kondisi baik 3. Sarana dan Prasarana
Kesejahteraan Sosial a. SLTA/Perguruan tinggi b. Pusat Pelayanan Kesehatan
kondisi baik Sumber: Soegiharto (2008)
Selanjutnya indikator keberhasilan KTM adalah:
1. Meningkatnya pendapatan masyarakat/transmigran dari kegiatan berbasis
komoditi unggulan.
2. Meningkatnya kesempatan kerja dan peluang berusaha, yang sebagian besar
kegiataan didominasi oleh kegiatan agribisnis, termasuk di dalamnya adalah
usaha-usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil pertanian, jasa
pelayanan dan lain-lain yang dapat meningkatkan daya tarik Transmigrasi
Swakarsa Berbantuan dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri.
103
3. Meningkatnya infrastruktur fisik (jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih,
irigasi).
4. Meningkatnya fasilitas dan pelayanan sosial budaya.
5. Meningkatnya produktivitas masyarakat.
6. Meningkatnya investasi untuk kegiatan agribisnis dan Pendapatan Asli Daerah.
7. Struktur tata ruang kawasan berwawasan lingkungan.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menetapkan indikator-
indikator tersebut mengacu pada kerangka sistem penyelenggaraan transmigrasi
yaitu suatu konsep manajemen yang memperhatikan hubungan input, proses,
output bagi seluruh aspek manajemen ketransmigrasian. Sistem penyelenggaraan
transmigrasi mencakup subsistem penyiapan pemukiman, pengerahan,
penempatan dan pembinaan. Dari keempat output subsistem penyelenggaraan
transmigrasi, output subsistem pembinaan merupakan akumulasi dari seluruh
rangkaian kinerja penyelenggaraan transmigrasi. Karenanya, output pembinaan
transmigrasi diartikan sebagai komponen utama spektrum hasil penyelenggaraan
transmigrasi, yang kemudian dirumuskan outcome yang diukur dalam menilai
keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi dalam skala UPT (Wibowo 2001).
2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya
2.11.1 Dampak Kawasan Transmigrasi Terhadap Pembangunan Daerah Dari sisi keberhasilan, dapat dikemukakan bahwa program transmigrasi
telah berhasil mengembangkan sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi
(UPT) dengan berbagai infrastrukturnya, 945 di antaranya telah berkembang
menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12
juta jiwa dan telah tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten
baru. Data eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat
pemerintahan sebanyak 240 kecamatan dan 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011).
Beberapa di antara kawasan transmigrasi seperti Kurotidur di Bengkulu Utara,
Metro di Lampung, Sangkala di Kalimantan Timur bahkan di tetapkan sebagai
kawasan Agropolitan. Lokasi yang demikian biasanya menjadi daya tarik
transmigran swakarsa yang memiliki bekal dan keterampilan sejak dari daerah
asal.
104
Sebagian desa transmigrasi juga telah berkembang menjadi hinterland bagi
pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah. Kebutuhan akan jenis pangan tertentu di
beberapa perkotaan dicukupkan oleh hasil usaha tani transmigran. Beras, sayur,
dan ternak unggas merupakan bentuk produk pertanian yang banyak dihasilkan
transmigran untuk konsumsi penduduk perkotaan (Soegiharto dan Najiyati 2004).
Transmigrasi juga telah berhasil menciptakan perluasan kesempatan kerja di
daerah tujuan. Pembangunan permukiman transmigrasi secara langsung telah
menciptakan kesempatan kerja sebanyak jumlah persil lahan pertanian yang
dibagikan, ditambah dengan kebutuhan tenaga kerja sebesar 1,04 orang untuk
mengolah 2 hektar persil tersebut. Secara tidak langsung tercipta pula kesempatan
kerja tambahan dikegiatan hulu dan hilir yang turut berkembang sejalan dengan
kemajuan usaha tani transmigran. Perluasan kesempatan kerja akan berlanjut
karena pendapatan transmigran dan pekerja lainnya menciptakan permintaan akan
barang dan jasa (consumption efect).
Menurut Soegiharto et al. (2002), kesempatan yang tercipta terdiri atas 83
persen diisi oleh kepala keluarga yang ditempatkan sesuai jumlah persil lahan
pertanian yang dibagikan, ditambah 7 persen tenaga kerja yang diperlukan
transmigran membantu mengolah usaha taninya dan 10 persen kesempatan kerja
yang tercipta secara tidak langsung di berbagai kegiatan ekonomi lainnya seperti
perdagangan, jasa, dan industri rumah tangga yang turut berkembang sejalan
dengan pertumbuhan produksi pertanian di permukiman transmigrasi. Selanjutnya
berdasarkan penelitian yang dilakukan Najiyati et al. (2005) menemukan bahwa
jumlah tenaga kerja yang tercipta pada setiap KK transmigran yang ditempatkan
pada permukiman transmigrasi pola pangan adalah sebesar 1,893 orang/KK dan
pada pola perkebunan sebesar 2,065 orang/KK. Dengan kata lain, jumlah
kesempatan kerja yang tercipta lebih banyak dibandingkan transmigran yang
diberangkatkan.
Dalam hal pengembangan akses terhadap faktor-faktor produksi,
transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi berupa jalan, jembatan,
gorong-gorong dan saluran drainase yang telah membuka isolasi wilayah yang
selama ini tidak tersentuh pertumbuhan. Penyebaran penyediaan prasarana
transportasi diyakini mampu membuka isolasi terhadap faktor produksi dan
105
menyeimbangkan distribusi pendapatan antarkelompok penduduk. Transmigrasi
memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di beberapa provinsi,
dengan besaran sekitar 20 persen di kepulauan luar Jawa, Madura dan Bali dan
bahkan mencapai 50 persen di empat provinsi yaitu Lampung, Kalbar, Kalteng
dan Kaltim (WB 1986). Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan masuk ke
lokasi permukiman transmigrasi.
Di bidang pendidikan, transmigrasi telah membangun ribuan sekolah dasar.
Selain bangunan fisik, juga dilengkapi dengan peralatan dan penempatan tenaga
pengajar. Demikian pula di bidang kesehatan, transmigrasi telah membangun
ribuan unit balai pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan
distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan. Penyediaan fasilitas sosial
untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peribadatan di permukiman
transmigrasi tersebut tidak dimaksudkan untuk dinikmati secara eksklusif oleh
transmigran. Fasilitas sosial semacam itu bisa dimanfaatkan oleh semua penduduk
sehingga turut mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, beberapa fakta juga menunjukkan adanya fenomena
kegagalan program ini. Menurut laporan Bank Dunia tahun 1986, 50 persen
keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pendapatan
mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada
di bawah garis subsisten (sangat miskin) (WB 1986). Pada akhir tahun 1980-an,
survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan 80 persen dari daerah
transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran
(Marr 1990).
Selain itu, Monbiot (1989) juga mengemukakan kegagalan program
transmigrasi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang
mengakibatkan pada beberapa pemukiman banyak keluarga meninggalkan tempat
transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang berpindah atau
penebang liar. Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Kota-kota di Irian Jaya --
Merauke dan Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah
transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk
di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari
total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, bekas transmigran di Merauke
106
akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa, menjadi pekerja seksual
dan pelinting rokok.
Studi lain juga membenarkan fakta ini. Merujuk pada studi yang disusun
oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Lembaga
Pengkajian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional pada tahun 1985,
mengemukakan bahwa sekitar 300.000 orang transmigran hidup di daerah
pemukiman yang tidak layak huni (Dephut 1985).
2.11.2 Indikator Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan perkembangan unit
pemukiman transmigrasi. Pada tahun 1997, Pusdatin Transmigrasi dan Institut
Pertanian Bogor mengukur perkembangan permukiman transmigrasi dengan unit
analisis UPT. Sampel yang diambil sebanyak 597 UPT. Metode pendekatan yang
digunakan adalah model RRA dengan dukungan data statistik. Peubah utama
berupa lingkungan fisik sosial (LSF) dan pendapatan masyarakat. LSF terdiri dari
demografi, permasalahan sosial, syarat pokok pembangunan, permasalahan atau
gangguan yang bersumber dari kualitas lingkungan fisik.
Selanjutnya kedua kelompok faktor tersebut didistribusikan dalam kuadran
Q1, Q2, Q3 dan Q4. Konsep kuadran mendukung simulasi antara ke dua
kelompok faktor tersebut yang selanjutnya didiferiansiasi sebagai rumusan tingkat
perkembangan permukiman. Hasil penelitian tersebut membagi kondisi
permukiman transmigrasi dalam empat kuadran sebagai berikut:
a. Q1 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan
mencapai tingkat dan kondisi LSF baik
b. Q2 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak
terlalu baik (tidak mencapai target), tetapi kondisi LSF baik
c. Q3 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak
mencapai target dan kondisi LSF kurang baik
d. Q4 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan
mencapai target dan kondisi LSF kurang baik
Wibowo et al. (2000) melakukan penelitian pemetaan potensi unit
permukiman transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Unit analisis
penelitian adalah UPT yang masih dibina pada empat provinsi yaitu Kalimantan
107
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam
penyusunan indikator ditetapkan dua kelompok faktor yaitu parameter fisik,
parameter sosial ekonomi dan faktor ekonomi eksternal.
Parameter fisik terdiri dari dua indikator yaitu: 1. Produktivitas padi (sawah dan ladang) 2. Produktivitas palawija (jagung, kedelai, ketela). Parameter sosial ekonomi terdiri dari: 1. Faktor sosial
a. jumlah penduduk b. tingkat pendidikan c. mata pencaharian d. jumlah dan macam sekolah e. fasilitas kesehatan f. angkatan kerja
2. Faktor Ekonomi a. tersedianya pasar aktif b. toko dan kios saprodi dan saprotan c. pemilikan ternak besar d. industri e. lembaga masyarakat petani (KUD, kelompok tani) f. sarana dan prasarana jalan ekonomi g. produksi tanaman pertanian/produktivitas lahan h. komoditas unggulan.
3. Faktor ekonomi eksternal a. Panjang jalan dan kondisi jalan dari pusat UPT ke UPT lain, UPT ke
kota kecamatan, dan UPT ke kota kabupaten b. Jarak tempuh pemasaran komoditas (padi dan palawija) dari UPT ke
kota kecamatan/kabupaten c. Banyaknya industri pengolahan bahan, di mana bahan bakunya dari
UPT yang terdekat, dengan kota kecamatan/kabupaten d. Frekuensi kendaraan atau jenis kendaraan yang menghubungkan
antar UPT maupun kota kecamatan/kabupaten e. Kios dan toko (pusat perdagangan sarana produksi pertanian yang
ada di kota kecamatan) f. Lembaga perbankan/perkreditan yang tersedia g. Banyaknya pasar aktif di sekitar UPT maupun di kota
kecamatan/kabupaten h. Komoditas unggulan UPT yang memiliki pasar di kota
kecamatan/kabupaten i. Peranan teknologi dan penyuluh pertanian dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi UPT j. Jalur pemasaran komoditas dari UPT ke kota kecamatan/kabupaten
Indikator tersebut selanjutnya dibagi atas lima kategori mulai dari sangat
rendah sampai sangat tinggi. Berdasarkan analisisnya ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
108
a. Propinsi Kalimantan Timur dari 30 UPT, 11 UPT (36,67 persen) sangat
tinggi, 11 UPT (36,67 persen) tinggi, 11 UPT (36,67 persen) sedang, 2
UPT (6,67 persen) rendah dan 4 UPT (13,33 persen) sangat rendah
b. Propinsi Kalimantan Barat dari 14 UPT, 1 UPT (7,14 persen) sangat
tinggi, 3 UPT (21,43 persen) tinggi, 4 UPT (28,57 persen) sedang, 3
UPT (21,43 persen) rendah dan 3 UPT (21,43 persen) sangat rendah
c. Propinsi Kalimantan Selatan dari 19 UPT, 2 UPT (10,53 persen) sangat
tinggi, 3 UPT (15,79 persen) tinggi, 6 UPT (31,58 persen) sedang, 6
UPT ( 31,58 persen) rendah dan 2 UPT (10,53 persen) sangat rendah
d. Propinsi Kalimantan Tengah dari 85 UPT, 4 UPT (4,71 persen) sangat
tinggi, 14 UPT (16,47 persen) tinggi, 38 UPT (44,71 persen) sedang, 21
UPT (24,71 persen) rendah dan 8 UPT (9,41 persen) sangat rendah
2.11.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pemukiman/ Kawasan Transmigrasi
Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan permukiman/kawasan transmigrasi. Pada tahun
1980, lembaga Studi Dinamika Perdesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE),
melakukan penelitian terhadap transmigran yang ditempatkan di Sulawesi
Tenggara. Dengan membandingkan antarlokasi penempatan transmigran
disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan program transmigrasi antara lain
dipengaruhi oleh: (1) potensi ekonomi daerah; (2) transmigran yang ditempatkan;
(3) faktor pelayanan komunikasi dan pemasaran; dan (4) umur daerah penempatan
(Saleh, 1982).
Adiatmojo (2008) meneliti mengenai model kebijakan pengembangan
kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering dengan mengambil lokasi
penelitian di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. Dengan
menggunakan teknik analisis MDS (Multi Dimensional Scalling) yang
digabungkan dengan analisis prospektif ditemukan bahwa faktor-faktor kunci
yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi lahan
kering di Kaliorang adalah: luas lahan yang ditanami dengan komoditi pertanian
unggulan; kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi
pertanian unggulan; sarana jalan penghubung; iklim investasi; prasarana dan
109
sarana kawasan; teknologi budidaya pertanian; dan kualitas sumber daya manusia
khususnya petani dan pelaku usaha tani.
Terkait dengan komoditas pertanian unggulan di kawasan transmigrasi,
penelitian Najiyati (2003) pada permukiman transmigrasi pola tanaman pangan
(UPT Pagar Banyu) menemukan bahwa ternyata komoditas padi dan tanaman
pangan lainnya bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan
transmigran. Meskipun transmigrasi dibangun dengan pola tanaman pangan, tetapi
transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif
pada lahan usaha II (LU II). Padi dan tanaman pangan lainnya dinilai sebagai
komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Priyono et al. (2002). Dalam
penelitian yang dilakukan di Mesuji SP6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP7,
transmigran belum mengusahakan LU II untuk tanaman pangan karena menunggu
investor ataupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman
tahunan.
Ruswana et al. (1993) mengemukakan bahwa kendala pengembangan
kawasan transmigrasi dalam mencapai sasaran-sasaran pokoknya terdiri dari
kendala intern maupun ekstern. Beberapa faktor intern yang menjadi kendala
perkembangan kawasan transmigrasi antara lain:
a. Produktivitas pertanian rendah karena kesuburan lahan dan serangan
hama
b. Keterbatasan kemampuan sebagian besar transmigran untuk mengolah
dan memanfaatkan seluruh tanah yang menjadi haknya (terutama untuk
menggarap lahan usaha II pada pola usaha tani tanaman pangan)
c. Kondisi sarana dan prasarana yang kurang dan dalam kondisi rusak,
terutama sarana transportasi
d. Belum berfungsinya secara penuh fasilitas umum baik pendidikan,
kesehatan maupun pasar
e. Belum berfungsinya lembaga ekonomi seperti KUD
f. Penggunaan sarana produksi pertanian yang tidak tepat seperti
penggunaan pupuk dan pestisida
110
Selanjutnya, beberapa faktor ekstern yang menjadi kendala perkembangan
kawasan transmigrasi antara lain:
a. Rendahnya aksesibilitas lokasi-lokasi UPT terhadap pusat kegiatan
maupun pusat pemasaran yang disebabkan jarak pencapaian jauh dan
atau kondisi jalur jalan penghubungan yang rusak
b. Kawasan UPT yang dikembangkan umumnya agak terisolir
c. Belum terkaitnya pada investor untuk mengembangkan ursaha tani
daerah transmigrasi
d. Belum dikaitkannya pengembangan kawasan UPT dengan
pengembangan daerah secara umum dalam lingkup yang lebih luas
Hasil kajian Depnakertrans menyatakan penyebab kegagalan di berbagai
unit permukiman transmigrasi. Di antaranya adalah pelaksanaan program
transmigrasi hanya mengejar kepentingan ekonomi sesaat dan kurang
mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek sosial budaya setempat
(Adiatmojo 2008).
Ahmad et al. (1998) menyatakan bahwa hal yang paling menentukan
keberhasilan pembangunan permukiman transmigrasi khususnya untuk pola usaha
tanaman pangan adalah 1) kesuburan tanah yang baik untuk pertanian, 2) terdapat
saluran irigasi yang dapat menyediakan air sepanjang tahun, 3) akses ke pusat
ekonomi lancar, 4) sumber daya manusia yang baik sehingga perlu proses seleksi
baik secara alami maupun oleh pemerintah, 5) tumbuhnya kelembagaan sosial dan
ekonomi, 6) adanya penggerak masyarakat/inovator. Sejalan dengan hal tersebut
Najiyati et al. (2006 dalam penelitian mengenai faktor keberhasilan permukiman
transmigrasi menjadi sentra produksi pangan menyimpulkan faktor-faktor (1)
ketersediaan lahan yang layak; (2) ketersediaan infrastruktur yang memadai
berupa sarana tata air (irigasi dan drainase) dan jalan penghubung hingga jalan
usaha tani, serta pencetakan sawah sejak awal penempatan; (3) adanya sarana
usaha yang diperlukan dalam pengembangan sentra produksi; (4) adanya
kelembagaan petani/sosial, dan yang perlu dikembangkan di antaranya kelompok
tani, P3A (khusus lahan pasang surut atau beririgrasi), koperasi atau lembaga
permodalan agar transmigran dapat mempuk kekuatan permodalan; (5)
pendampingan, pelatihan dan diseminasi teknologi sejak awal penempatan; dan
111
(6) kemitraan usaha dengan investor/badan usaha dapat meningkatkan
perkembangan sentra produksi pangan.
Belajar dari berbagai kisah sukses transmigasi, Soegiharto (2008) membagi
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi atas tiga tingkatan,
yaitu pada tingkatan individu (transmigran), unit permukiman transmigrasi (UPT)
dan kawasan. Ketiga tingkatan ini saling saling mengkait dan memperkuat untuk
terwujudnya keberhasilan transmigrasi.
Pada tingkatan individu faktor keberhasilan terdiri atas 1) motivasi, 2)
modal dan 3) pendidikan dan keterampilan. Ketiga faktor tersebut mempunyai
keterkaitan satu dengan lainnya dalam mewujudkan transmigran sukses.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mendukung keberhasilan transmigran terlihat
adanya suatu pola yang perlu mendapat perhatian. Transmigran sebaiknya adalah
orang-orang yang memiliki semangat keja dan modal. Calon transmigran
sebaiknya juga memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, minimal SMP
atau sederajat. Mereka juga perlu dibekali keterampilan berusaha mandiri
disamping pengetahuan tentang pertanian. Transmigran yang telah menunjukkan
kemampuan mengembangkan usaha produktif, perlu segera mendapat dukungan
permodalan untuk mempercepat perkembangan usahanya. Dalam memanfaatkan
dan mengembangkan potensi yang ada di lokasi transmigrasi, diperlukan tenaga
pendamping guna memotivasi dan membantu masyarakat.
Pada tingkatan UPT, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
transmigrasi adalah 1) kesuburan tanah, 2) infrastruktur pertanian, 3) aksesibilitas
(akses ke pusat ekonomi), 4) kelembagaan sosial, 5) kelembagaan ekonomi, 6)
investor, pendamping dan penggerak swadaya masyarakat. Selanjutnya pada skala
kawasan, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan
dipengaruhi oleh: 1) luas wilayah (kawasan skala ekonomi), 2) dikembangkan
berdasarkan perencanaan yang berbasis feasibility study, 3) kegiatan
pengembangan bersifat multi years dan dalam jangka panjang (15–20 tahun), 4)
terdapat tenaga pendamping yang terjamin keberadaannya di lokasi, serta 5) ada
kebijakan dan regulasi untuk penetapan dan pengaturan ruang kawasan.
112
III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran
Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan
produksi dan produktivitas pertanian serta kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Dalam konteks tersebut, pembangunan perdesaan tidak hanya diarahkan pada
aspek usaha tani saja, tetapi juga pada pada pengembangan agribisnis secara utuh.
Pengembangan agribisnis mencakup mata rantai produksi, pengolahan
masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran
pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Mata rantai kegiatan tersebut
dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: (1) subsistem produksi (usaha tani);
(2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir); (3) subsistem
pemasaran/perdagangan; dan (4) subsistem lembaga penunjang.
Subsistem produksi adalah penggerak utama agribisnis. Berkembangnya
produksi akan menimbulkan kaitan ke belakang (backward linkages) berupa
kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini
mengundang pelaku lainnya untuk menangani pemasaran/perdagangan input
produksi (usahatani). Keberhasilan dalam pemasaran/perdagangan input produksi
ini, dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan,
ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Produk pertanian juga memerlukan pengolahan lebih lanjut karena
bersamaan dengan peningkatan pendapatan mereka, konsumen juga akan semakin
menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan. Karenanya,
modernisasi sektor produksi (usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan
dalam bentuk industri pertanian.
Berdasarkan pola pikir ini, maka pengembangan agribisnis dalam
pembangunan perdesaan tidak hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian
dan kesejahteraan masyarakat perdesaan tetapi juga akan menumbuhkan berbagai
aktivitas non-pertanian baik pada industri pertanian, industri non-pertanian,
perdagangan dan jasa lainnya. Bersamaan dengan berkembangnya berbagai
aktivitas tersebut maka desa pertanian akan berkembang menjadi desa industri
atau desa urban (urbanisasi kota kecil/menengah).
114
Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam pembangunan perdesaan juga
terkait dengan perluasan kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) agar
masyarakat mampu mempertahankan gaya hidup perdesaan mereka. Dalam
perspektif masyarakat perdesaan hal tersebut pada dasarnya mengacu pada konsep
pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Selanjutnya, dalam konteks memahami perkembangan perdesaan secara
umum tersebut, penelitian ini mengambil kasus program transmigrasi sebagai
program pembangunan desa pada wilayah baru. Penyelenggaraan transmigrasi
dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap penempatan dan tahap
pembinaan. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan lokasi penempatan
pemukiman transmigrasi, komoditas yang akan dikembangkan serta pola
transmigrasinya, penyiapan sarana-prasana pemukiman serta penyiapan calon
transmigrasi termasuk penyeleksian calon transmigrasi dan pembekalan pelatihan.
Setelah tahap persiapan, tahap berikutnya adalah tahap penempatan transmigran di
lokasi terpilih.
Selanjutnya adalah tahap pembinaan yang terbagi atas tiga sub-tahap yaitu
tahap penyesuaian, pemantapan dan pengembangan. Pada sub-tahap penyesuaian,
transmigran dibina untuk dapat segera beradaptasi di lingkungan baru (sosial
ekonomi, budaya dan fisik) untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi
barunya tersebut. Pada sub-tahap pemantapan, transmigran dibina agar memiliki
kemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pada sub-tahap pengembangan, transmigran dibina agar mampu
mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya
dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya
secara berkelanjutan. Dengan demikian, pada pasca pembinaan, transmigran
sudah berada pada kondisi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri
dan siap untuk memasuki tahapan marketable surplus. Dalam konteks sistem
transmigrasi, ini juga berarti transmigran sudah secara optimal memanfaatkan
lahan pekarangan dan lahan usaha I (LU I).
Tahapan-tahapan dalam penyelenggaraan transmigrasi tersebut akan
berdampak pada kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Tahapan
penyelenggaraan transmigrasi ini juga akan mempengaruhi pola dan sifat
115
keterkaitan permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya, yang pada tahap
selanjutnya juga mempengaruhi kondisi sistem agribisnis di permukiman
transmigrasi. Ini juga berarti bahwa output dari tahap penyelenggaraan
transmigrasi juga dapat menentukan kuat atau lemahnya keterkaitan antara
permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya.
Konsep pembangunan transmigrasi merupakan konsep pembangunan
dengan pendekatan peubah kewilayahan, yang mengacu pada struktur wilayah
pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Berdasarkan hal tersebut,
permukiman transmigrasi kemudian dirancang secara hirarkis, yang saling
menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta distribusi
barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan
administrasi wilayah.
Namun demikian, keberhasilan konsep ini sangat tergantung pada tingkat
keterkaitan secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) antara kondisi
infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terbangun pada wilayah-wilayah di
luar permukiman transmigrasi dengan kondisi yang ada di permukiman
transmigrasi. Jika pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah
dengan pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat (di luar
permukiman transmigrasi), pembangunan transmigrasi hanya akan menghasilkan
kawasan enclave yang tidak berdampak optimal pada desa-desa di luar
permukiman transmigrasi. Oleh karenanya, tingkat keterkaitan ini juga sangat
ditentukan kemampuan lembaga terkait dalam berkoordinasi khususnya
Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah
Daerah, baik dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun
pelaksanaan pembangunannya.
Kondisi sistem agribisnis ini juga ditentukan kinerja perekonomian makro
wilayah. Keterkaitan ini dapat dipandang dari sisi permintaan terhadap produk
pertanian dan olahannya, sebagai output dari agribisnis. Peningkatan permintaan
pada dasarnya bersumber dari peningkatan pendapatan masyarakat, dan
peningkatan pendapatan merupakan hasil kinerja makro perekonomian wilayah.
116
Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian
Pengembangan Agribisnis
Desa Pertanian Pe
nyel
engg
araa
n Tr
ansm
igra
si
Kin
erja
Pas
ca P
embi
naan
Tahap Persiapan Komoditas & Pola
Trans Penyiapan Sarana
Prasarana Penyiapan Calon
Transmigran Seleksi Lokasi
Trans
Tahap Penempatan
Tahap Pembinaan Penyesuaian Pemantapan Pengembangan
KONDISI SISTEM AGRIBISNIS
Marketable Surplus
Industri Pertanian
Industri Non-Pertanian
Industrialisasi Perdesaan
Peningkatan Sistem Produksi
Peningkatan Pendapatan
Permintaan brg sekunder
Permintaan brg tersier
STADIA DESA
Kesejahteraan Penduduk
Aktivitas Pertanian
Aktivitas Non-Pertanian
KATEGORI INDIKATOR
KETERKAITAN DENGAN
WILAYAH SEKITARNYA
KINERJA MAKRO WILAYAH
Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja
POLA
TRA
NSM
IGR
ASI
KE D
EPAN
IV
III
II
I
Urbanisasi Kota Kecil/Menengah
Industrialisasi Perdesaan/ Urbanisasi Desa
PEMBANGUNAN PERDESAAN PE
MBE
LAJA
RA
N P
EMBA
NG
UN
AN
DES
A
Pembangunan ekonomi berkelanjutan
117
Pada tahap selanjutnya, kondisi sistem agribisnis menjadi faktor penentu
dari kinerja permukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks
transmigrasi). Untuk mengukur kinerja, penelitian ini menggunakan stadia
pengembangan wilayah perdesaan Rustiadi et al. (2009). Dalam stadia
pengembangan wilayah tersebut dinyatakan terdapat enam stadia, namun demikian
dalam penelitian ini hanya akan menggunakan empat stadia. Dua stadia awal (yaitu
stadia sub-subsisten dan stadia subsisten) diasumsikan telah dilewati oleh desa eks
transmigrasi pasca pembinaan.
Pada pasca pembinaan, dengan berkembangnya sistem agribisnis,
transmigran mulai mengusahakan lahan usaha II (LU II). Lahan usaha II sebagai
jatah lahan cadangan dimaksudkan untuk pengusahaan yang mampu memberikan
pendapatan jangka panjang dengan nilai yang memadai. Mekanisme dan pola
pengusahaan lahan usaha sangat ditentukan oleh dan terintegrasi dengan
perkembangan sistem agribisnis di permukiman transmigrasi.
Peningkatan produksi karena pengusahaan lahan usaha II ini membawa
transmigran pada stadia marketable surplus (hasil usaha tani telah melebihi
kebutuhan keluarganya) (Stadia I). Surplus hasil pertanian ini memerlukan
pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan atas
barang-barang olahan utama. Berkembangnya industi hasil pertanian skala kecil
menandakan masuknya desa-desa eks transmigrasi pada stadia industri pertanian
(Stadia II).
Berkembangnya industri pertanian akan meningkatkan permintaan hasil
pertanian. Ini berdampak pada peningkatan pendapatan transmigran. Peningkatan
pendapatan transmigran akan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk
non-pertanian terutama barang-barang sekunder Hal ini akan mendorong
tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil, sehingga desa-desa eks
transmigrasi masuk pada stadia industri non-pertanian (Stadia III)
Berkembangnya aktivitas industri tidak hanya berfungsi menampung
surplus hasil produksi pertanian, tetapi juga menampung surplus tenaga kerja di
sektor pertanian agar tetap menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor
pertanian.
118
Berlanjutnya peningkatan pendapatan transmigran akan meningkatkan
permintaan barang-barang tersier (barang-barang mewah). Ini akan meningkatkan
permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri
umum, sehingga desa-desa eks transmigrasi masuk pada tahap industrialisasi
perdesaan ataupun urbanisasi kota kecil/menengah (Stadia IV).
Melalui pemahaman tahap-tahap penyelenggaraan transmigrasi dan proses
perkembangan yang terjadi pada desa-desa transmigrasi saat ini, selain dapat
menjadi dasar pengembangan program transmigrasi juga diharapkan akan dapat
menjadi dasar dalam merancang dan merumuskan kebijakan untuk pembangunan
perdesaan secara keseluruhan.
3.2 Hipotesis
3.2.1 Hipotesis 1
Sebagai suatu pengembangan wilayah baru yang dikembangkan berdasarkan
demand side strategy, maka desa-desa transmigrasi diduga mengalami
perkembangan dari desa pertanian ke arah desa industri atau desa urban.
Khususnya terhadap desa-desa eks transmigrasi, diduga terdapat empat stadia
perkembangan yaitu Stadia Marketable Surplus, Stadia Industri Pertanian, Stadia
Industri Non-Pertanian dan Stadia Industrialisasi Perdesaan/Urbanisasi Kota
Kecil-Menengah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada empat stadia tersebut
selain dalam bentuk perubahan kesejahteraan juga dalam bentuk perubahan
aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian.
3.2.2 Hipotesis 2
Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ditentukan oleh faktor-faktor
yang tercakup dalam tahapan penyelenggaraan transmigrasi yaitu seleksi lokasi
yang menentukan jarak lokasi permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-
prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik
transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran,
serta faktor-faktor kinerja makro wilayah kabupaten.
Secara terperinci hipotesis ini dinyatakan sebagai berikut:
- Seleksi lokasi menentukan jarak desa-desa eks transmigrasi ke pusat-pusat
pertumbuhan yang ada (didekati dalam pengertian ibukota kabupaten). Semakin
dekat jarak pemukiman ke pusat-pusat pertumbuhan yang ada, maka akan
119
semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Jarak yang dekat ke
pusat-pusat pertumbuhan menyebabkan semakin tinggi akses terhadap pasar dan
terhadap faktor-faktor produksi. Ini akan meningkatkan efisiensi dan
produktivitas usaha di desa-desa eks transmigrasi.
- Semakin baik kondisi jalan menuju desa (didekati melalui jenis permukaan
jalan), maka akan semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi.
Jalan yang semakin baik akan meningkatkan aksesibilitas dalam hal waktu
tempuh relatif menuju pusat-pusat pertumbuhan.
- Desa-desa eks transmigrasi dengan tanaman perkebunan memiliki tingkat
perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan komoditas tanaman lainnya.
Tanaman perkebunan memiliki nilai pasar produk yang relatif stabil
dibandingkan tanaman pangan. Selain itu, sifat tanaman perkebunan yang
merupakan tanaman tahunan, memiliki peluang untuk pewarisan ke generasi
berikutnya. Ini menyebabkan generasi berikutnya dari transmigran tanaman
perkebunan lebih memiliki jaminan kesejahteraan dibandingkan generasi
berikutnya dari transmigran tanaman pangnan.
- Semakin lama penempatan transmigran, semakin tinggi tingkat perkembangan
desa-desa eks transmigrasi. Lama penempatan terkait dengan proses
penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta
kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejajteraam.
- Terdapat perbedaan tingkat perkembangan desa-desa eks transmigrasi
berdasarkan dominasi daerah asalnya
- Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi kabupaten, semakin tinggi tingkat
pencapaian perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Hal ini disebabkan
pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan tingginya peluang usaha dan
bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi.
- Semakin banyak unit usaha/industri terhadap penduduk, maka semakin tinggi
tingkat pencapaian perkembangan desa-desa eks tranmsigrasi. Jumlah unit
usaha/industri terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja. Banyaknya unit
usaha/industri menunjukkan tingginya peluang usaha dan bekerja yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi.
120
3.2.3 Hipotesis 3
Keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya
dipengaruhi oleh karakteristik transmigran dan keluarganya serta karakteristik
desa. Dalam hal ini keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah
sekitarnya secara khusus didekati melalui perjalanan untuk berbagai kegiatan
dengan penekanan khusus untuk kegiatan bekerja dan belanja antara di desa dan
luar desa. Penekanan terhadap perjalanan untuk kegiatan bekerja dan belanja ini
karena perjalanan untuk kedua kegiatan ini merupakan hasil dari bentuk
keterkaitan fungsional antarwilayah.
Secara terperinci, hipotesis ini diberikan sebagai berikut:
Hipotesis 3.1 Perjalanan untuk Bekerja
Perilaku perjalanan untuk bekerja antara di desa dengan luar desa
dipengaruhi oleh umur individu, jenjang pendidikan, status pekerjaan, status
dalam keluarga, daerah asal, luas lahan perkapita dalam keluarga, dan
karakteristik desa.
- Semakin tua umur individu maka semakin kecil peluang untuk bekerja di luar
desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik dan kemampuan untuk
menghadapi persaingan untuk mendapatkan peluang kerja di luar desa.
- Semakin tinggi pendidikan maka semakin besar peluang untuk bekerja di luar
desa. Pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan semakin tinggi kemampuan
untuk bersaing mendapatkan peluang kerja di luar desa.
- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status pekerjaan. Pekerjaan
sampingan relatif lebih banyak dilakukan di luar desa dibandingkan pekerjaan
utama.
- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status keluarga. Anggota
keluarga relatif lebih banyak melakukan pekerjaan yang berlokasi di luar desa
dibandingkan kepala keluarga.
- Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan daerah asal dari individu yang
bekerja di desa-desa eks transmigrasi. Daerah asal (suku) pada dasarnya tekait
dengan kebiasaan dan etos kerja.
- Semakin sempit lahan perkapita dalam keluarga maka semakin besar peluang
untuk bekerja di luar desa. Hal ini disebabkan dengan semakin sempitnya lahan,
121
maka curahan jam kerja untuk usaha tani di desa juga akan semakin sedikit,
sehingga individu memiliki kesempatan untuk mencari peluang kerja lain di luar
desa.
- Terdapat perbedaan perilaku individu dalam bekerja antara di desa dengan luar
desa berdasarkan stadia perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia
rendah cenderung bekerja di luar desa karena relatif terbatasnya kesempatan
kerja di dalam desa.
Hipotesis 3.2 Perjalanan untuk Belanja
Perilaku perjalanan untuk belanja antara di desa dengan luar desa
dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, umur istri,
pendidikan istri, umur anak (tertua), pendidikan anak (tertua), pendapatan
perkapita keluarga, daerah asal dan karakteristik desa.
- Semakin tua umur kepala keluarga dan istri, maka semakin kecil peluang untuk
belanja di luar desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik untuk belanja di
luar desa.
- Semakin dewasa anak, maka semakin besar peluang untuk belanja di luar desa.
Semakin dewasa maka semakin tinggi kemampuannya untuk melakukan
perjalanan belanja yang relatif lebih jauh (di luar dewasa). Selain itu, semakin
dewasa anak juga menyebabkan semakin banyak kebutuhan yang tidak dapat
dipenuhi di dalam desa.
- Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga, istri, dan anak maka semakin besar
peluang untuk bekerja di luar desa. Pendidikan individu yang semakin tinggi
menyebabkan semakin tinggi kebutuhan individu untuk berbagai jenis barang,
yang tidak dapat dipenuhi di desa sendiri.
- Terdapat perbedaan lokasi belanja berdasarkan daerah asal dari individu. Daerah
asal (suku) pada dasarnya tekait dengan kebiasaan dan kebutuhan hidup.
- Terdapat perbedaan perilaku individu dalam belanja antara di desa dengan luar
desa berdasarkan perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia rendah
cenderung berbelanja di luar desa karena ketersediaan fasilitas belanja yang
relatif terbatas di dalam desa.
122
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Pemilihan Provinsi Jambi
sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan:
1 Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah memiliki kurun waktu
yang panjang, dimulai dari tahun 1940 dan terus berlanjut sampai saat
ini.
2 Sejak Tahun 1940 hingga Tahun 2011 jumlah transmigran di Provinsi
Jambi telah mencapai 83.422 KK, yang tersebar pada 209 UPT di 8
(delapan) dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi
(BPS Jambi 2011; Kemenakertrans 2012). Dengan jumlah tersebut telah
menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama
penempatan transmigran.
3 Tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, yang memungkinkan
pembangunan transmigrasi di daerah ini dalam rangka memanfaatkan
potensi sumber daya alamnya.
4.2 Unit Analisis Unit analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu pada
tingkatan individu, rumah tangga dan Desa. Individu dalam hal ini adalah anggota
rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel.
Desa dalam hal ini adalah desa-desa eks transmigrasi yaitu unit-unit permukiman
transmigrasi yang telah menjadi desa definitif.
4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan pada tingkat rumah tangga sampel yang
dikumpulkan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data
sekunder yang digunakan adalah data yang bersumber dari PODES (Potensi Desa)
2008, PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2008, SE (Sensus
Ekonomi) 2006, Provinsi Jambi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan
Kecamatan dalam Angka. Selain itu juga data yang berasal dari instansi dan
124
lembaga terkait di tingkat nasional, tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan
desa. Data pokok yang dikumpulkan antara lain:
1 Data karakteristik wilayah yang meliputi data geografi, potensi dan kesesuaian
lahan pertanian, demografi, ekonomi-sosial-budaya, dan aksesibilitas wilayah.
2 Data ketransmigrasian pada tingkat kabupaten dan provinsi yang mencakup
lokasi transmigrasi, perkembangan jumlah peserta transmigrasi berdasarkan
daerah asal dan tahun penempatan, dan jenis komoditas tanaman yang
dikembangkan di daerah transmigrasi
4.4 Alat Analisis Alat analisis yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dan
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
4.4.1 Stadia Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi Dalam menentukan stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Kerangka Teoritis Penyusunan Indikator
Indikator yang disusun didasarkan pada hipotesis tahapan perkembangan
transmigrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009). Dalam
hipotesis tersebut, transmigrasi dipandang sebagai strategi pengembangan wilayah
dengan pendekatan demand side strategy. Dalam pendekatan demand side
strategy tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk
meningkatkan taraf hidup penduduk (kesejahteraan penduduk) di suatu wilayah.
Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan
terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut
akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa yang akan lebih
mendorong perkembangan wilayah tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka indikator perkembangan desa-desa eks
transmigrasi dalam hal ini dibangun berdasarkan pemikiran (definisi konsep):
“bahwa proses perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat dianalisis dalam
tiga kategori penting yaitu kesejahteraan penduduk, aktivitas pertanian dan
aktivitas non-pertanian (industri dan jasa-jasa)”.
125
Kesejahteraan Penduduk
Kesejahteraan dalam konteks ini mengacu pada konsep kesejahteraan sosial
(social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-
material. Midgley et al. (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a
condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala
kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya.
Berdasarkan konsep ini, kesejahteraan penduduk secara konseptual dapat
diukur berdasarkan lima sub-kriteria utama yaitu: (1) Derajat Kesehatan; (2)
Derajat Pendidikan; (3) Kualitas Perumahan; (4) Pendapatan Masyarakat; dan (5)
Keamanan.
Derajat kesehatan diukur dari empat indikator tunggal sebagai berikut:
Rasio tenaga kesehatan tingkat desa (bidan) terhadap jumlah penduduk
Ketersediaan fasilitas kesehatan tingkat desa (Poskesdes, Polindes dan
Posyandu)
Kedua indikator adalah indikator dalam ukuran input kesehatan.
Derajat pendidikan diukur dari ketersediaan fasilitas sekolah pada jenjang
pendidikan TK, SD, dan SLTP. Indikator-indikator tersebut adalah indikator
dalam ukuran input pendidikan.
Kualitas Perumahan diukur dengan satu indikator yaitu proporsi
perumahan dengan tipe permanen.
Pendapatan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator proxy,
karena tidak tersedianya data pendapatan masyarakat di tingkat desa. Indikator
proxy yang digunakan adalah Persentase keluarga miskin. Indikator merupakan
indikator dalam ukuran output pendapatan.
Keamanan diukur dengan menggunakan tiga indikator tunggal. Ketiga
indikator tersebut merupakan indikator dalam ukuran input, yaitu:
Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk
Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk
Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk
126
Aktivitas Pertanian
Aktivitas pertanian secara konseptual dapat diukur berdasarkan aktivitas
penduduk pada usaha pertanian dan perkebunan, perikanan, peternakan dan
kehutanan. Dalam penelitian ini aktivitas pertanian diukur dengan menggunakan
dua indikator tunggal, yaitu:
Persentase keluarga pertanian
Persentase lahan pertanian dari total luas lahan
Kedua indikator merupakan indikator input untuk mencerminkan tingkat
aktivitas pertanian pada suatu desa.
Aktivitas Non-Pertanian
Aktivitas non-pertanian dalam hal ini mencakup aktivitas industri dan jasa-
jasa baik jasa perdagangan maupun non-perdagangan. Aktivitas non-pertanian
diukur dari empat indikator tunggal. Keempat indikator tersebut merupakan
indikator dalam ukuran input, yaitu:
Rasio unit industri pertanian terhadap penduduk
Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk
Rasio unit perdagangan terhadap penduduk
Rasio unit jasa-jasa lainnya (non-perdagangan) terhadap penduduk
Dari berbagai indikator tersebut terlihat bahwa indikator yang diajukan
dibatasi pada indikator sosial dan ekonomi dan tidak melibatkan indikator
lingkungan (ekologi) sebagai bagian dari indikator pembangunan berkelanjutan.
Hal ini disebabkan keterbatasan ketersediaan data ekologi pada tingkat desa
sebagai unit analisis. Selain itu, menurut Freshwater (2000) meskipun tidak
mempertimbangkan faktor lingkungan, dari perspektif masyarakat perdesaan,
pembangunan berkelanjutan seharusnya lebih menekankan pada bagaimana
masyarakat menghasilkan pendapatan untuk mempertahankan gaya hidup
perdesaan mereka. Tetapi dalam kenyataannya, baik di perkotaan maupun
perdesaan, kondisi ekonomi mengalami perubahan yang sangat cepat. Ini
menyebabkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, berbagai jenis
kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) juga bergerak dinamis
mengikuti perubahan kondisi ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, indikator-
indikator yang diajukan dengan menganalisis perubahan-perubahan aktivitas
127
ekonomi di perdesaan menjadi relevan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan.
Data yang Digunakan
Data yang digunakan dalam penyusunan indikator ini bersumber dari data
hasil Potensi Desa, PPLS dan Sensus Ekonomi. Rincian data yang digunakan
diberikan pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi
Kriteria/Sub-Kriteria
Indikator Jenis indikator
Sumber data
Kesejahteraan Penduduk
Derajat kesehatan
Rasio tenaga kesehatan tingkat desa(bidan) terhadap jumlah penduduk
Rasio KK terhadap Posyandu
Input Input
PODES PODES
Derajat pendidikan
Rasio TK terhadap 1000 penduduk Rasio SD terhadap 1000 penduduk Rasio SMP terhadap 1000 penduduk
Input Input Input
PODES PODES PODES
Kualitas perumahan
Proporsi perumahan dengan tipe permanen Output PODES
Pendapatan masyarakat
Persentase keluarga miskin Output PPLS BPS
Keamanan Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk
Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk
Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk
Input Input Input
PODES PODES PODES
Aktivitas pertanian
Persentase keluarga pertanian Persentase lahan pertanian dari total luas
lahan
Input Input
PODES PODES
Aktivitas non-pertanian
Rasio unit industri pertanian terhadap penduduk
Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk
Rasio unit perdagangan terhadap penduduk Rasio unit jasa terhadap penduduk
Input Input Input Input
SE 06 SE 06 SE 06 SE 06
Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial
128
Pengujian Data
Pengujian Normalitas Data. Pengujian normalitas data dilakukan melalui
uji signifikansi dari skewness sebaran data. Dalam pengujian nilai critical ratio
(cr) atau z-statistik dibandingkan dengan z-tabel pada tingkat α = 5%. Rumus z-
skewness sebagai berikut:
nSKz skew /6
di mana:
SK = nilai skewness = 3
)2)(1(
xxi
nnn
σ = standar deviasi
n = banyaknya data
Pengujian Data Pencilan. Pengujian data pencilan (outlier) dilakukan
dengan menggunakan dua pengujian yaitu pengujian univariate outlier dan
pengujian multivariate oulier. Pengujian univarite outlier dilakukan dengan
menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan adalah data dengan nilai z >=
±3. Rumus z sebagai berikut:
xxz
Pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan kriteria
Jarak Mahalanobis pada tingkat p<0,001. Jarak mahalanobis dievaluasi dengan
menggunakan nilai mahalanobis d-squared. Mahalanobis d-squared digunakan
untuk mengukur jarak skor hasil observasi terhadap nilai centroidnya.
Rumus jarak mahalanobis sebagai berikut:
)()( 12 XX T
di mana:
Jarak mahalanobis
1 Matrik kovarians
TX )( Transpose vektor
Analisis Faktor
Dari indikator-indikator yang telah disusun sebelumnya, selanjutnya
dilakukan analisis faktor. Analisis faktor dilakukan dalam rangka mereduksi atau
2
129
meringkas peubah yang banyak menjadi sedikit peubah (yang disebut faktor),
tetapi masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah
asli.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis faktor adalah:
1. Menguji peubah-peubah yang telah ditentukan.
Prinsip pengujian adalah menentukan peubah-peubah yang dianggap layak
untuk dimasukkan dalam analisis selanjutnya. Kelayakan suatu peubah adalah jika
peubah tersebut memiliki kecenderungan mengelompok dan membentuk sebuah
faktor. Hal ini dapat dilihat dari korelasi yang cukup tinggi peubah tersebut
dengan peubah lainnya.
Untuk pengujian ini dilakukan dengan metode Bartlett test of sphericity,
pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) serta pengukuran Keiser-
Meyer-Olkin (KMO). Rumus Bartlett Test sebagai berikut:
6
521ln pnRB
di mana:
R nilai determinan
n = jumlah data
p = jumlah peubah
Hasil uji Bartlett test merupakan hasil uji atas hipotesis:
Ho: matriks korelasi = matrik identitas
Ha: matriks korelasi matriks identitas
Pengujian dengan membandingkan nilai Barlett test dengan nilai Tabel chi-
square. Kriteria pengujian: Tolak H0 jika nilai Bartlett test > nilai Tabel chi-
square. Rumus MSA sebagai berikut:
1 122
1
2
j j ijji
jji
ar
riMSA
di mana:
r = koefisien korelasi
a = koefisien korelasi parsial
Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai MSA > 0.5
130
Rumus KMO sebagai berikut:
2
1
2
1
1
2
ijj
jij
jji
ar
riKMO
Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai KMO > 0.5
2. Proses Factoring dan Rotasi
Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari
peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam
konteks proses factoring ini, akan digunakan metode Analisis Komponen
Utama (Principal Components Analysis=PCA).
Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan
dengan tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan
menyusutkan atau mereduksi dimensinya. Reduksi dimensi dilakukan dengan
menghilangkan korelasi antarpeubah melalui transformasi peubah-peubah
asal ke peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y)
disebut sebagai komponen utama yang merupakan hasil transformasi dari
peubah asal x. Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah
asal yang dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu.
Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi
sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau
tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi
tersebut maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi
bertujuan untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor.
Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode
Obligue Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk
mendapatkan faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria
indikator yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pemilihan Surrogate Variable
Analisis faktor yang dilakukan pada tahapan sebelumnya, pada dasarnya
dapat digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis
antara, analisis faktor bermanfaat untuk menghilangkan multikolinearitas atau
untuk mereduksi peubah yang berukuran besar ke dalam peubah baru yang
131
berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, analisis faktor digunakan untuk
mengelompokkan peubah-peubah penting dari suatu bundel peubah besar untuk
menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan
antarpeubah. Dalam konteks penelitian ini, analisis faktor dijadikan sebagai
analisis antara. Dengan kata lain, hasil dari reduksi peubah tersebut akan
digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Pada tahap analisis faktor sebelumnya akan menghasilkan factor loading.
Factor loading merupakan bobot masing-masing peubah pada suatu faktor.
Semakin tinggi bobot suatu peubah maka semakin tinggi kemampuan peubah
tersebut mewakili faktor yang terbentuk.
Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau
peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah
pengganti ini adalah peubah asli.
Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor
loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis
selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi
dengan jumlah peubah yang lebih sedikit.
Penyeragaman Dimensi
Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis
sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda.
Oleh karenanya pada tahap selanjutnya dilakukan penyeragaman dimensi
pengukuran pada surrogate variable.
Metode yang digunakan dalam penyeragaman dimensi ini adalah Min-Max
Method, dengan rumus sebagai berikut:
minmax
min
XiXiXiXIX i
i
Di mana:
IXi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi
Xi = nilai peubah untuk desa i
Xmin = nilai terendah dari peubah X
Xmax = nilai tertinggi dari peubah X
132
Pembobotan dan Agregasi
Setelah penyeragaman dimensi dan mendapatkan peubah dalam ukuran
yang sama, selanjutnya dilakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dalam
rangka mendapatkan besaran proporsi untuk masing-masing peubah dalam
penetapan indikator komposit.
Pembobotan masing-masing peubah dengan membagi Explained Variance
dari factor loading masing-masing faktor peubah dengan Total Explained
Variance, dengan rumus:
var
var
FFW x
X
Di mana:
WX = bobot peubah X
Fxvar = Explained Variance Factor Loading X
ΣFvar = Total Explained Variance Factor Loading
Selanjutnya untuk mendapatkan indeks komposit dilakukan agregasi dengan
menggunakan metode linear agregation aditif dengan menggunakan rumus:
ii IxWxCI .
Di mana:
CIi = indeks komposit desa i
Wx = bobot peubah (indikator) X
Ixi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi
Klasterisasi Desa
Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa dari
tahapan sebelumnya, selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka
mengelompokkan desa atas stadia perkembangannya. Perkembangan desa
dikelompokkan atas empat hierarki. Pengelompokan atas empat stadia ini
menggunakan asumsi yang didasarkan hipotesis stadia pengembangan kawasan
transmigrasi yang dikemukan Rustiadi (2009), khususnya pada stadia setelah
masa pembinaan pemukiman transmigrasi. Pengelompokkan pada empat stadia
menggunakan metode K-Mean Cluster.
133
Analisis Diskriminan Stadia
Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia serta untuk
mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses
sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah
peubah-peubah yang lolos uji pada tahapan analisis faktor sebelumnya.
4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-
desa eks transmigrasi, peubah tak bebas (dependent variable) yang digunakan
adalah pengkategorian stadia perkembangan desa eks transmigrasi yang diperoleh
dari tahapan sebelumnya. Selanjutnya, peubah bebas (independent variable) yang
digunakan terdiri dari dua kelompok peubah yaitu peubah-peubah yang berasal
dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi
lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-
peubah yang berasal dari kinerja wilayah kabupaten.
Mengingat stadia perkembangan dikategorikan atas empat kategori yang
berjenjang (ordinal), maka model yang digunakan adalah model regresi ordinal
logit. McCullagh dan Nelder 1992 mengemukakan, model ordinal logit adalah
model regresi logistik dengan peubah tak bebas dalam bentuk peubah
ordinal/kategori dengan tiga atau lebih tingkatan berurutnya.
Model determinan perkembangan desa eks transmigrasi sebagai berikut:
eXXXXXXXXXXX
DDDDDD
DDDDDDDDj
77663.53.52.52.51.51.5
442.32.31.31.32.22.21.21.211)ln(
di mana:
j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi
j1 0 = stadia IV; 1 = stadia I
j2 0 = stadia IV; 1 = stadia II
j3 0 = stadia IV; 1 = stadia III
Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j))
α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model
e = error term
X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten
134
X2 = Permukaan jalan antar desa terluas
X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah
X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan
X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran
X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan
X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit
X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun)
X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan)
X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10
tahun terakhir)
X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada
kabupaten penempatan transmigrasi
1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 4, 6, 7 > 0
Pendugaan koefisien model menggunakan metode Generalized Linear
Model (GLM). Sedangkan pengujian model secara keseluruhan menggunakan
likelihood ratio, yaitu rasio fungsi kemungkinan modelUR lengkap terhadap fungsi
kemungkinan modelR (Ho benar), dengan statistik uji G, dan pengujian secara
parsial masing-masing koefisien menggunakan statistik uji Wald (Juanda 2009).
4.4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks
transmigrasi dilakukan analisis pada data keluarga sampel. Kondisi sosial
ekonomi mencakup pada karakteristik kepala keluarga, struktur dan kegiatan
anggota keluarga, karakteristik tempat tinggal, kepemilikan keluarga terhadap
lahan pertanian dan pendapatan keluarga. Analisis dilakukan secara deskriptif
dengan membandingkan kondisi pada masing-masing desa.
Untuk kepentingan tersebut dilakukan survai dengan mengambil sampel
pada tingkat rumah tangga. Lokasi yang dipilih enam desa eks transmigrasi.
Masing-masingnya dua desa (satu desa stadia tertinggi dan satu desa stadia
135
terendah dari hasil analisis sebelumnya) pada desa eks transmigrasi berbasis
tanaman pangan, berbasis perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet.
Pada masing-masing desa ditetapkan sampel keluarga sebesar 5 persen dari
total populasi keluarga. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana
dengan sampling frame berupa data KK yang ada pada kantor desa.
4.4.4 Interaksi Antarwilayah Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam suatu wilayah sering
harus memenuhinya dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus
melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan
antarwilayah. Hubungan ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses
permintaan (demand) dan penawaran (supply). Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Douglas (1998), salah satu bentuk keterkaitan antar wilayah adalah
perjalanan penduduk baik untuk bekerja, bersekolah, belanja, berkunjung ataupun
menjual barang dan jasa.
Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan antarwilayah.
Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Proses-
proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman.
Secara umum, penelitian ini menganalisis pergerakan penduduk dari desa-
desa eks transmigrasi (desa sampel) untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi yang
mencakup aktivitas bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, pendidikan,
kesehatan rekreasi dan agama. Pergerakan penduduk untuk berbagai aktivitas
sosial ekonomi tersebut akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan pergerakan
penduduk pada desa sampel.
Khusus pergerakan penduduk untuk aktivitas bekerja dan belanja dilakukan
pemodelan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan
dua kelompok perjalanan untuk aktivitas ini selain karena pertimbangan tingkat
rutinitasnya, juga dengan pertimbangan bahwa perjalanan untuk kedua kelompok
aktivitas ini terkait langsung dengan aspek demand-supply yang menjadi dasar
interaksi antarwilayah..
Model pergerakan penduduk untuk bekerja
Model perjalanan untuk kegiatan bekerja ini menggunakan data pada tingkat individu baik kepala keluarga maupun anggota keluarga (istri dan anak) yang
136
bekerja, baik pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Peubah tak bebas yang digunakan adalah lokasi bekerja antara desa dan luar desa sedangkan peubah bebasnya adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa.
Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut:
eXXXXXXXXXXXxg
DDDDDD
DDDDDDki
77664.54.53.53.52.52.5
1.51.544.332.22.21.21.2110)(
di mana:
g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa)
X1 = Umur (dalam tahun)
X2 = Jenjang pendidikan formal
X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan)
X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga)
X5 = Daerah asal
X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya
X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa)
X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)
1, 4, 6 , 7 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0
Model pergerakan penduduk untuk belanja
Pemodelan perjalanan untuk kegiatan belanja menggunakan data pada
tingkat keluarga mengingat kegiatan belanja umumnya dilakukan bersama-sama
antara kepala keluarga dan anggota keluarga. Peubah tak bebas dalam hal ini
adalah proporsi jenis belanja di luar desa terhadap total jenis belanja keluarga
yang dikategorikan atas proporsi rendah dan proporsi tinggi. Kategori rendah atau
tinggi dikelompokkan dengan menggunakan K-Mean Cluster. Peubah bebas yang
digunakan adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa.
137
Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut:
eXXXXXXXX
XXXXXXXxg
DD
DDDDDDDDDD
DDDDDDDDmi
994.84.8
3.83.82.82.81.81.8772.62.61.61.6
552.42.41.41.4.332.22.21.21.2110)(
dimana:
g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi)
X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun)
X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga
X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Umur Istri (tahun)
X4 = Jenjang pendidikan formal Istri
X4.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X4.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X5 = Umur Anak Tertua (tahun)
X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua
X6.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X6.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan)
X8 = Daerah asal
X8.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X8.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X8.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X8.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya
X9 = Stadia Desa (0 = Rendah; 1 = Tinggi)
1, 3, 9, < 0; 8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0
2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0
Selanjutnya, alir rancangan penelitian menurut tujuan dan alat analisis yang
digunakan diberikan pada Gambar 7 sedangkan keterkaitan tujuan, alat analisis,
unit analisis, peubah dan sumber data diberikan pada Tabel 16 berikut.
138
Gambar 8 Alir rancangan penelitian
Kriteria /Sub Kriteria /Indikator Perkembangan
Desa
Pengujian Data Normalitas (z-
skewness) Univariate Outlier (z-
score) Multivariate Outlier
(Mahalanobis)
Analisis Faktor Uji Kelayakan Peubah
(Bartlett,MSA, KMO) Factoring (PCA) Rotasi (Obligue Rotasi)
Pemilihan Surrogate Variable (Peubah dg Factor Loading tertinggi pd faktor bersangkutan)
Pembobotan & Agregasi Pembobotan
(Variance factor loading)
Agregasi (linear aditif)
Penyeragaman Dimensi (Metode Min-Max)
Klasterisasi Desa (K Mean Cluster)
STADIA DESA
Evaluasi Keakuratan (Analisis Diskriminan)
Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk (Deskriptif)
Faktor-Faktor yg Mempengaruhi (Ordinal Logit)
Model Pergerakan Penduduk - Bekerja - Belanja
(BinaryLogit)
TUJUAN 1 TUJUAN 2
TUJUAN 3
TUJUAN 4
Pemilihan desa sampel
Pemilihan keluarga sampel
INDEKS KOMPOSIT
139
Tabel 16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data No. Tujuan penelitian Alat analisis Unit analisis Peubah/Parameter Sumber data 1. Menganalisis kinerja desa-desa
eks transmigrasi Evaluasi dan Pengujian
Data Analisis Faktor dan
Tahapannya Analisis Diskriminan
Desa
Derajat kesehatan Derajat pendidikan Pendapatan masyarakat Keamanan Aktivitas pertanian Aktivitas non-pertanian
Podes 2008 SE 2006 Kecamatan
dalam Angka PPLS BPS
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa-desa eks transmigrasi
Ordinal Logit Desa Jarak Desa dari ibukota kabupaten Permukaan jalan antar desa terluas Komoditi asal tanaman utama transmigran Rata-rata lama penempatan transmigran Dominasi daerah asal transmigran Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten Rasio perusahaan/usaha per 1000 pddk
Depnakertrans Kecamatan
dalam Angka Kabupaten
dalam Angka SE 2006
3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk desa-desa eks transmigrasi
Deskriptif Kuantitatif Keluarga
Karakteristik Kepala Keluarga Struktur dan Kegiatan Anggota Keluarga Karakteristik Tempat Tinggal Kepemilikan Lahan dan Pendapatan
Survai
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya
Binary Logit (perjalanan bekerja)
Individu
Umur Jenjang pendidikan formal Status Pekerjaan status dalam keluarga Daerah asal Luas lahan perkapita dalam keluarga Stadia Desa
Survai
Binary Logit (perjalanan belanja)
Keluarga Umur Kepala Keluarga (tahun) Jenjang pendidikan Kepala Keluarga Umur Istri (tahun) Jenjang pendidikan Istri Umur Anak Tertua (tahun) Jenjang pendidikan Anak Tertua Pendapatan perkapita keluarga Daerah asal Stadia Desa
Survai
Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial
140
V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI
5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi Transmigrasi di Provinsi Jambi telah dimulai pada masa kolonisasi.
Keberhasilan kolonisasi di Lampung yang pada mulanya merupakan daerah
percobaan terutama dalam penyediaan pangan, telah memotivasi Pemerintah
Belanda untuk meningkatkan produksi pangan tersebut dengan mengembangkan
daerah kolonisasi termasuk ke daerah Jambi.
Pada masa kolonisasi, Provinsi Jambi (dulu berstatus Karesidenan Jambi)
termasuk wilayah Sumatera Tengah. Pelaksanaan program kolonisasi dimulai
pada tahun 1940 yang ditandai dengan pengiriman 506 kepala keluarga (KK)
dengan 1.945 jiwa dari Pulau Jawa menuju daerah Bangko-Tabir dekat Rantau
Panjang yang sekarang dikenal dengan kampung 1 s/d Kampung 12 di Desa
Margoyoso. Kolonisasi pada masa tersebut bersifat kolonisasi pertanian, yaitu
penyediaan buruh murah untuk pembangunan pertanian dalam jangka panjang.
Selanjutnya, kegiatan perpindahan penduduk dari daerah asal dilanjutkan
setelah masa kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan istilah transmigrasi.
Penempatan transmigrasi pertama dilaksanakan pada tahun 1967 (periode Pra
Pelita) pada UPT Rantau Rasau I Kabupaten Tanjung Jabung Timur (sebelum
pemekaran Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten Tanjung Jabung). Jumlah
penempatan pada periode pertama transmigasi ini sebanyak 249 KK (1208 Jiwa).
Pada Pelita I (1969/1970-1973/1974), jumlah transmigran yang ditempatkan
sebanyak 2.450 KK (11.371 jiwa), pada 4 lokasi (UPT). Keseluruhan lokasi
tersebut berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai kelanjutan dari UPT
Rantau Rasau I yaitu UPT Rantau Rasau II, III, IV dan V.
Pada Pelita II (1974/1975 – 1978/1979), jumlah transmigran yang telah
ditempatkan sebanyak 13.476 KK (61.161 jiwa) pada 33 lokasi (UPT). Lokasi
penempatan juga telah mengalami penyebaran pada tiga kabupaten lain selain
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu Kabupaten Bungo, Sarolangun dan Tebo.
Selanjutnya, pada Pelita III (1979/1980 – 1983/194) telah ditempatkan
transmigran sebanyak 22.741 KK (94.485 jiwa) pada 47 lokasi (UPT). Selain pada
kabupaten-kabupaten penerima transmigrasi pada Pra Pelita, Pelita I dan II, pada
142
Pelita III ini lokasi pemukiman transmigrasi juga berada di Kabupaten Batang
Hari, Merangin dan Muaro Jambi.
Pada Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989), jumlah transmigran mengalami
penurunan dari periode sebelumnya, yaitu sebanyak 11.141 KK (47.136 jiwa)
yang ditempatkan pada 27 lokasi (UPT). Meskipun demikian, pada periode ini
lokasi transmigrasi semakin menyebar dengan masuknya Kabupaten Tanjung
Jabung Barat (sebelum pemekaran pada Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten
Tanjung Jabung) sebagai lokasi penerima transmigrasi.
Penempatan transmigran kembali mengalami peningkatan pada Pelita V
(1989/1990 – 1993/1994). Pada periode ini ditempatkan transmigran sebanyak
17.411 KK (71.676 jiwa) pada 43 lokasi (UPT). Kabupaten penerima transmigrasi
tidak mengalami perubahan jika dibandingkan pada Pelita sebelumnya.
Pada Pelita VI (1994/1995-1998/1999) penempatan transmigran mengalami
penurunan menjadi 9.710 KK (41.871 jiwa) yang ditempatkan pada 27 lokasi
(UPT). Kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Bungo, Sarolangun,
Tebo Batang Hari, Merangin dan Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat.
Penurunan ini berlanjut di era otonomi daerah. Pada periode 2000 – 2004,
penempatan transmigran sebanyak 4.050 KK (17.028 jiwa) pada 15 lokasi (UPT).
Kabupaten penerima transmigran pada periode ini adalah Kabupaten Batang hari,
Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Pada periode
2005 – 2009 ditempatkan sebanyak 2.030 KK (7.790 jiwa) pada 11 lokasi (UPT).
Pada periode ini kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Batang hari,
Bungo, Kerinci, Muaro Jambi dan Sarolangun. Selanjutnya pada periode 2010 -
2011 ditempatkan sebanyak 164 KK (588 jiwa) pada 1 lokasi.
Khususnya di era otonomi daerah ini, penyelenggaraan transmigrasi di
Provinsi Jambi dilaksanakan dalam model kerja sama antardaerah, yaitu kerja
sama antara daerah pengirim transmigrasi dan daerah penerima transmigrasi
(dalam hal ini Provinsi Jambi). Pada tanggal 17 Desember 2002, Provinsi Jambi
telah membuat kesepakatan kerja sama dengan lima provinsi pengirim
transmigran yaitu D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
143
Ruang lingkup kerja sama mencakup pada Komunikasi, Informasi dan
Edukasi; Survei Potensi Kawasan; Penyediaan Areal; Perencanaan Tata Ruang
Permukiman Transmigrasi; Penyiapan Permukiman Transmigrasi; Pengerahan
dan Penempatan Transmigran serta Perberdayaan Masyarakat. Selanjutnya dalam
penyelenggaran transmigrasi berdasarkan konsep kerja sama antardaerah, biaya
penyelenggaraannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi pengirim transmigran;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi; Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan
Bersama ini serta sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
Berdasarkan penempatan transmigran dari periode Pra Pelita sampai tahun
2011, jumlah transmigran yang telah ditempatkan di Provinsi Jambi sebanyak
83.422 KK (354.284 jiwa) pada 209 lokasi (UPT). Secara terperinci diberikan
pada Tabel 17 dan Gambar 8.
Tabel 17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011
No. Periode penempatan (a) UPT/ LPT b)
Penempatanb) Rata-rata per tahun
KK Jiwa KK Jiwa
1 Pra Pelita (1950 - 1968) 1 249 1208 14 67
2 Pelita I (1969/70 - 1973/74) 4 2450 11371 490 2274
3 Pelita II (1974/75 - 1978/79) 33 13476 61161 2695 12232
4 Pelita III (1979/80 - 1983/84) 47 22741 94485 4548 18897
5 Pelita IV (1984/85 - 1988/89) 27 11141 47136 2228 9427
6 Pelita V (1989/90 - 1993/94) 43 17411 71676 3482 14335
7 Pelita VI (1994/95 - 1998/99) 27 9710 41871 1942 8374
8 2000 - 2004 15 4050 17028 810 3406
9 2005 - 2009 11 2030 7790 406 1558
10 2010 - 2011 1 164 558 82 279
Jumlah 209 83422 354284 1368 5808 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012. Keterangan: a) berdasarkan tahun awal penempatan
b) jumlah sampai akhir periode penempatan
144
Gambar 9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi
daerah di Provinsi Jambi. Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.
Dari total jumlah UPT di Provinsi Jambi yang sebanyak 209 UPT, 8 UPT
diantaranya masih merupakan UPT Binaan. UPT Binaan tersebut tersebar pada 5
kabupaten di Provinsi Jambi, yang merupakan transmigrasi dari tahun penempatan
2004 – 2011, dengan jumlah penempatan sebanyak 1350 KK (5254 jiwa).
Tabel 18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011
No Kabupaten Kecamatan Lokasi UPT Tahun penempatan
Jumlah penempatan KK Jiwa
1 Batang Hari Rantau Pandan Tebing Jaya III 2007 200 781
2 Batang Hari Rantau Pandan Tebing Jaya IV 2008 150 576
3 Muaro Jambi Kumpeh Ulu Gd.Karya, S. Aur 2009 200 717
4 Bungo Rantau Pandan Rantau Pandan V 2004 210 849
5 Bungo Rantau Pandan Rantau Pandan X 2008 200 720
6 Bungo Pelepat Pelepat II 2006 190 811
7 Sarolangun Pauh Lamban Sigatal 2009 100 420
8 Kerinci Siulak Sei Bernas 2009 100 380
Jumlah 1350 5254
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
Pra Pelita1950-1968
Pelita I69/70-73/74
Pelita II74/75-78/79
Pelita III79/80-83/84
Pelita IV84/85-88/89
Pelita V89/90-93/94
Pelita VI94/95-98/99
2000 - 2004 2005 - 2009 2010 - 2011
Periode penempatan
KK a
tau
jiwa
KK Jiwa
145
Penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi dari segi pembiayaannya
merupakan bentuk transmigrasi umum (TU) dan transmigrasi swakarsa
berbantuan (TSB). Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang dilaksanakan
oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2009), sedangkan transmigrasi swakarsa berbantuan adalah transmigrasi
yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan
mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran.
Selain TU dan TSB ini, di Provinsi Jambi juga terdapat transmigrasi
swakarsa mandiri (TSM). Transmigrasi swakarsa mandiri adalah transmigrasi
yang dilaksanakan oleh transmigran yang bersangkutan secara perseorangan atau
kelompok, baik bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan badan usaha,
atas arahan, layanan dan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009).
TSM dapat dikatakan sebagai transmigrasi “bebas biaya pemerintah”.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya tetap bersentuhan dengan biaya
pemerintah. Artinya TSM tidak sepenuhnya bebas biaya pemerintah, hanya saja
dibandingkan dengan TU dan TSB, subsidi (dana) pemerintah untuk TSM jauh
lebih sedikit. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 tahun 2009 pasal 15,
transmigrasi swakarsa mandiri berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah berupa: a) pengurusan perpindahan dan penempatan
di Permukiman Transmigrasi; bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau
lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha; b) lahan tempat tinggal
dengan status hak milik; dan c) bimbingan, pengembangan, dan perlindungan
hubungan kemitraan usaha.
TSM di Provinsi Jambi terdiri dari dua bentuk yaitu TSM Penataan dan
TSM Murni. TSM penataan yang diselenggarakan dari tahun 1990/1991 sampai
1993/1994 dan TSM Murni yang diselenggarakan mulai tahun 1994/1995 sampai
Tahun 2009.
Dari tahun 1990/1991 sampai 2009, telah ditempatkan TSM di Provinsi
Jambi sebanyak 14.304 KK (45.469 KK), yang terdiri dari TSM penataan
sebanyak 4.250 KK (12.853 jiwa) dan TSM Murni sebanyak 10.054 KK (32.616
jiwa). Penempatan TSM selama ini masih terbatas di lokasi-lokasi unit
146
permukiman/desa eks transmigrasi yang telah ada (PTA) untuk memanfaatkan
sisa cadangan areal yang belum digunakan. Perkembangan Transmigrasi
Swakarsa Mandiri di Provinsi Jambi diberikan pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009
No. Tahun penempatan
Penataan Murni Total KK Jiwa KK Jiwa KK Jiwa
1 1990/1991 400 1240 0 0 400 1240
2 1991/1992 1600 3895 0 0 1600 3895
3 1992/1993 1250 4349 0 0 1250 4349
4 1993/1994 1000 3369 0 0 1000 3369
5 1994/1995 0 0 2100 7156 2100 7156
6 1995/1996 0 0 2025 6085 2025 6085
7 1996/1997 0 0 2550 7987 2550 7987
8 1997/1998 0 0 2899 9722 2899 9722
9 1998/1999 0 0 153 417 153 417
10 2000 0 0 127 464 127 464
11 2009 0 0 200 785 200 785
Total 4250 12853 10054 32616 14304 45469
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan Lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi tersebar pada hampir seluruh wilayah
kabupaten di Provinsi Jambi kecuali Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.
Berdasarkan sebarannya, penempatan terbanyak adalah di Kabupaten Muaro
Jambi dengan proporsi sebesar 17,14 persen (14.268 KK) diikuti oleh Kabupaten
Merangin sebesar 15,78 persen (13.134 KK), Bungo sebesar 13,74 persen (11.440
KK), Tanjung Jabung Timur sebesar 13,04 persen (10.859 KK), Tebo sebesar
11,98 persen (9.974 KK), Sarolangun sebesar 11,20 persen (9.324 KK), Tanjung
Jabung Barat sebesar 8,88 persen (7.396 KK), Batang Hari sebesar 8,12 persen
(6.763 KK) dan Kerinci sebesar 0,12 persen (100 KK) (Tabel 20 dan Gambar 9).
147
Tabel 20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009
Kabupaten penempatan Daerah asal Jumlah
DKI JABAR JATENG JATIM DIY TPS
Batang Hari 245 1309 1181 816 428 2784 6763
Bungo 167 2130 3815 1814 756 2758 11440
Merangin 50 2094 5173 2909 1220 1688 13134
Muaro Jambi 607 2338 2253 2411 1275 5384 14268
Sarolangun 94 2201 2297 1463 1280 1989 9324
Tanjung Jabung Barat 398 1021 1541 1077 685 2674 7396
Tanjung Jabung Timur 20 2060 3431 3236 1279 833 10859
Tebo 68 520 7212 588 406 1180 9974
Kerinci 0 25 25 0 0 50 100
Jumlah 1649 13698 26928 14314 7329 19340 83258
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Gambar 10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi
Jambi tahun 2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Selanjutnya berdasarkan daerah asalnya, proporsi terbesar (32,34 persen
atau 26.928 KK) berasal dari Provinsi Jawa Tengah, diikuti oleh transmigran asal
Bt.Hari8%
Bungo14%
M erangin16%
M a.Jambi17%
Sarolangun11%
Tanjabbar9%
Tanjabtim13%
Tebo12%
Kerinci0%
148
penduduk setempat (TPS) sebesar 23,23 persen (19.340 KK), Provinsi Jawa
Timur sebesar 17,19 persen (14.314 KK), Provinsi Jawa Barat sebesar 16,45
persen (13.698 KK), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar 8,80
persen (7.329 KK) dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebesar
1,98 persen (1.649 KK). Penempatan transmigran asal Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur telah berlangsung sejak periode Pra Pelita, sedangkan
transmigran dari DIY dimulai sejak Pelita I, dan transmigran dari DKI dimulai
sejak Pelita III (Tabel 20 dan Gambar 10).
Gambar 11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun
2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Khusus untuk transmigran asal penduduk setempat (TPS) di Provinsi Jambi
terdiri dari beberapa kelompok masyarakat yaitu:
1. Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi
(APPDT) adalah mereka yang berasal dari penduduk yang terkena areal
lokasi transmigrasi dan penduduk desa sekitar di kabupaten yang
bersangkutan.
DKI2%
Jabar16%
Jateng33%
Jat im17%
DIY9%
TPS23%
149
2. Transmigran asal Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) adalah
mereka yang bertransmigrasi karena termasuk dalam wilayah TNKS
guna mensukseskan program menjaga paru-paru dunia.
3. Transmigran asal Kota Jambi adalah transmigrasi yang dilaksanakan
untuk kepentingan pembangunan daerah khususnya di Kota Jambi.
4. Transmigran asal pensiunan PNS dan purnawirawan ABRI.
5. Transmigran yang berasal dari penduduk pengungsi (PSI).
Proporsi transmigran TPS di Provinsi Jambi lebih besar dari norma 20
persen dari total penempatan transmigran. Hal ini disebabkan, mulai tahun
1992/1993 Menteri Transmigrasi dan PPH memberikan kebijakan penempatan
transmigran TPS di Provinsi Jambi sebesar 50 persen dari target penempatan
setiap tahun. Pertimbangannya untuk menampung penduduk dari kawasan kumuh
Kota Jambi, perambah hutan/peladang berpindah dari kawasan Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) yang jumlahnya cukup besar serta memperkecil
kesenjangan sosial antara transmigran dari daerah asal dan penduduk setempat.
Dari lima kelompok masyarakat tersebut, proporsi TPS terbesar adalah
untuk kelompok APPDT dengan proporsi mencapai 75,86 persen (14.671 KK)
dari total TPS. Proporsi terbesar kedua adalah TNKS sebesar 17,89 persen (3.460
KK) diikuti oleh KODYA sebesar 3,53 persen (682 KK), ABRI sebesar 1,51
persen (293 KK), Pengungsi (PSI) sebesar 0,79 persen (153 KK) dan PNS sebesar
0,42 persen (81 KK).
Penempatan kelompok APPDT dimulai sejak Pelita II dan terus berlangsung
sampai pada periode penempatan tahun 2005 – 2009. Penempatan kelompok
masyarakat TNKS mulai dilaksanakan pada Pelita IV, namun demikian pada
periode 2005 – 2009 tidak terdapat lagi penempatan untuk kelompok masyarakat
ini. Penempatan untuk kelompok masyarakat asal Kota Jambi, Pensiunan PNS dan
Purnawirawan ABRI berlangsung selama periode Pelita V dan VI, sedangkan
untuk penempatan kelompok masyarakat pengungsi hanya berlangsung pada
periode 2000 – 2004.
Secara terperinci, sebaran transmigran asal penduduk setempat (TPS) ini
diberikan pada Tabel 21 berikut:
150
Tabel 21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009
Kabupaten penempatan
Kelompok Masyarakat Jumlah APPDT TNKS KODYA ABRI PNS PSI
Batang Hari 2026 666 53 19 20 0 2784 Bungo 2693 20 0 0 0 45 2758 Merangin 1577 33 0 0 0 78 1688 Muaro Jambi 3338 1477 366 183 20 0 5384 Sarolangun 1584 375 0 0 0 30 1989 Tanjung Jabung Barat 1510 839 242 51 32 0 2674 Tanjung Jabung Timur 833 0 0 0 0 0 833 Tebo 1060 50 21 40 9 0 1180 Kerinci 50 0 0 0 0 0 50 Jumlah 14671 3460 682 293 81 153 19340
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010. Keterangan: APPDT= Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi; TNKS=
Transmigran dari Taman Nasional Kerinci Sebelat; KODYA= Transmigran dari Kota Jambi; ABRI= Transmigran dari ABRI; PNS = Transmigran dari pegawai negeri sipil; PSI = Transmigran Pengungsi.
Proporsi TPS tidak merata berdasarkan kabupaten penempatannya. Kabu-
paten Kerinci menempatkan TPS dengan proporsi terbesar yang mencapai 50,00
persen, diikuti oleh Kabupaten Batang Hari sebesar 41,17 persen, Muaro Jambi
sebesar 37,73 persen, Tanjung Jabung Barat sebesar 36,15 persen, Bungo sebesar
24,11 persen, Sarolangun sebesar 21,33 persen, Merangin sebesar 12,85 persen,
Tebo sebesar 11,83 persen dan Tanjung Jabung Timur sebesar 7,67 persen.
Tabel 22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa)
Kabupaten Penempatan
Kelompok Masyarakat Jumlah APPDT TNKS KODYA ABRI PNS PSI
Batang Hari 10197 3094 327 123 126 0 13867 Bungo 13508 79 0 0 0 193 13780 Merangin 7732 132 0 0 0 336 8200 Muaro Jambi 16767 6979 1969 814 109 0 26638 Sarolangun 7249 1724 0 0 0 117 9090 Tanjung Jabung Barat 7278 3755 1382 322 167 0 12904 Tanjung Jabung Timur 3877 0 0 0 0 0 3877 Tebo 5810 195 101 143 52 0 6301 Kerinci 194 0 0 0 0 0 194
Jumlah 72612 15958 3779 1402 454 646 94851 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21
151
5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi Dalam pelaksanaannya, transmigrasi di Provinsi Jambi memiliki beberapa
pola. Secara umum pola-pola tersebut yaitu: (1) Transmigrasi Umum baik dalam
bentuk Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) maupun Transmigrasi Umum
Lahan Basah (TULB); (2) Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR); (3)
Transmigrasi Pengembangan Desa Potensial (TRANSBANGDEP); (4)
Transmigrasi dalam Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan
melalui Dana Reboisasi (P4HDR); (5) Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri
(HTI-Trans); dan (6) Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR).
Tabel 23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009
Pola Transmigrasi UPT Jumlah KK Penempatan
Jumlah Jiwa Penempatan
Transmigrasi Umum 127 51329 219757
PIR 65 28963 121736
TRANSBANGDEP 10 1406 5172
P4HDR 4 900 4202
HTI - Trans 2 600 2439
Trans-HTR 1 100 420
Total 209 83258 353726
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: PIR = Perkebunan Inti Rakyat; TRANSBANGDEP = Transmigrasi Pengembangan
Desa Potensial; P4HDR = Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi; HTI-Trans = Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri; Trans-HTR= Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat
Tabel 24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009
Pola Transmigrasi
Batang Hari Bungo Me-
rangin Muaro Jambi
Saro-langun
Tanjab Barat
Tanjab Timur Tebo Ke-
rinci Trans. Umum 7 28 28 6 11 2 22 21 1 PIR 11 5 0 26 5 13 0 5 0 TRANSBANGDEP 0 1 4 0 0 5 0 0 0 P4HDR 0 1 0 0 3 0 0 0 0 HTI - Trans 0 0 0 0 1 0 0 1 0 Trans-HTR 0 0 0 0 1 0 0 0 0 Total 18 35 32 32 21 20 22 27 1 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21
152
Transmigrasi Umum
Transmigrasi umum merupakan pola transmigrasi yang utama di Provinsi
Jambi. Dari total lokasi permukiman transmigrasi yang sebanyak 208 UPT, 126 UPT
(60,58 persen) merupakan transmigrasi umum, dengan jumlah transmigran yang
ditempatkan sebanyak 51.329 KK (atau 61,65 persen dari total KK transmigran).
Pola ini juga merupakan pola yang digunakan pada awal penempatan transmigrasi di
Provinsi Jambi dan masih berlangsung sampai saat ini (tahun 2009). Dari segi lokasi,
penempatan transmigrasi umum tanaman ini menyebar di seluruh kabupaten
penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi.
Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
Pola PIR pertama kali dilaksanakan di Provinsi Jambi pada tahun 1982 dan
berakhir pada tahun 2002. Jumlah UPT PIR sebanyak 65 UPT atau 31,10 persen
dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang ditempatkan
sebanyak 28.963 KK (atau 34,77 persen dari total KK transmigran). Lokasi
transmigrasi dengan pola ini menyebar pada enam kabupaten yaitu Kabupaten
Batang Hari, Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo.
Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan pengembangan
pola perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan pemerintah.
Perkebunan Inti Rakyat dibedakan dua macam yaitu:
- PIR berbantuan luar negeri yang sering dinamakan NES (Nucleus Estate
and Smallholder Development Project), sebagian besar dananya diperoleh
dari luar negeri.
- PIR Swadana, yang seluruh dananya diperoleh dari dalam negeri. PIR
swadana yang dikembangkan di sekitar kebun besar yang telah ada
dengan mengikut sertakan penduduk setempat/lokal disebut PIR Lokal,
sedang apabila petani pesertanya sebagian besar (80 persen) transmigran
(terutama transmigrasi swakarsa) disebut PIR khusus.
Terdapat empat pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola
PIR yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas nonmigas, meningkatkan
pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, dan menunjang
keberhasilan program transmigrasi. Pola PIR adalah pola pelaksanaan
pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti
153
yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai
plasma dalam suatu sistem kerja sama yang saling menguntungkan, utuh, dan
berkesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik
milik Swasta maupun milik Negara, lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang
dibangun (dikembangkan) dan dimiliki oleh perusahaan inti
Wilayah Plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang
dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanakan proyek PIR yang
meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma. Kebun Plasma adalah areal
Wilayah Plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan.
Peserta PIR-Trans sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan (SK)
Menteri Pertanian nomor 333/Kpts/KB.510/6/1986 adalah sebagai berikut:
a. Transmigran (ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi)
b. Penduduk setempat, termasuk para petani yang tanahnya termasuk dalam
proyek PIR-Trans (ditetapkan oleh pemerintah daerah).
c. Petani atau peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan
untuk proyek (ditetapkan oleh pemerintah daerah).
Perusahaan inti berhak atas lahan perkebunan inti. Lahan tersebut
merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35 tahun. Pada
waktu akan berakhir dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Lahan kebun inti
dimanfaatkan untuk kebun inti, emplasemen (satuan bangunan), dan pabrik
pengolahan. Biaya untuk pengembangan kebun inti, termasuk fasilitas
pengolahannya menjadi tanggung jawab perusahaan inti.
Petani peserta berhak atas lahan pekarangan, termasuk rumah seluas 0,5 ha
dan lahan kebun plasma seluas 2 ha. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk
rumah dan pengusahaan tanaman pangan. Lahan pekarangan diserahkan apabila
telah siap diolah dan rumah selesai dibangun di atasnya. Sementara lahan kebun
diserahkan apabila tanaman yang diusahakan telah mencapai umur menghasilkan
dan memenuhi standar fisik yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan,
serta petani peserta telah menandatangani kredit dari bank pemerintah. Lahan
kebun plasma dan pekarangan merupakan hak milik petani peserta. Namun
sertifikatnya disimpan di bank sebagai agunan.
154
Untuk PIR-Trans kelapa sawit, pada tahap permulaan produksi yaitu pada
tahun keempat, perbandingan antara luas kebun inti dengan kebun plasma dapat
dimulai dengan 40:60. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 tahun, secara
bertahap perbandingan keduanya harus mencapai 20:80.
Selanjutnya perusahaan inti memiliki kewajiban sebagai berikut:
a. Membangun perkebunan inti, lengkap dengan fasilitas pengolahannya
untuk menampung hasil perkebunan inti dan plasma.
b. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan petunjuk dan
standar fisik yang telah ditetapkan Direktur Jenderal Perkebunan.
c. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan rumah petani
peserta sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Transmigrasi.
d. Memberikan petunjuk teknis budi daya kepada petani peserta.
e. Membeli seluruh hasil kebun plasma dengan harga beli yang layak sesuai
pedoman yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
f. Membantu proses pengembalian kredit petani peserta.
Sedangkan kewajiban petani peserta PIR-Trans adalah:
a. Mengganti biaya pembangunan kebun plasma. Untuk itu petani peserta
mendapat kredit lunak jangka pangjang dari pemerintah.
b. Mengusahakan kebun plasma sesuai dengan petunjuk teknis budi daya
yang diberikan oleh perusahaan inti.
c. Menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti.
TRANSBANGDEP
Pelaksanaan pola TRANSBANGDEP di Provinsi Jambi hanya pada tahun
1991, 1992 dan 1994. Jumlah UPT TRANSBANGDEP sebanyak 10 UPT atau 4,81
persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang
ditempatkan sebanyak 1.406 KK (atau 1,69 persen dari total KK transmigran).
Lokasi transmigrasi dengan pola ini berada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten
Bungo, Merangin dan Tanjung Jabung Barat.
TRANSBANGDEP, singkatan dari Transmigrasi Pengembangan Desa
Potensial, merupakan upaya penataan dan pengembangan desa di daerah
transmigrasi yang masih memiliki potensi sumber daya alam untuk
dikembangkan. TRANSBANGDEP merupakan upaya untuk melakukan
155
penyebaran penduduk di suatu daerah yang jumlah penduduk aslinya tidak begitu
besar, tetapi memiliki sejumlah lahan yang potensial untuk dikembangkan.
Program ini merupakan program penempatan transmigran berdasarkan kerja sama
Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri.
P4HDR
Dalam penyelenggaraan transmigrasi mulai tahun anggaran 1995/1996
sampai dengan tahun anggaran 1998/1999, telah juga dilaksanakan penempatan
para perambah hutan melalui Proyek Peningkatan Program Pemukiman Perambah
Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR).
Pelaksanaan pola P4HDR di Provinsi Jambi hanya dilaksanakan pada tahun
1995, 1996, 1997 dan 2000. Jumlah UPT TP4HDR sebanyak 4 UPT atau 1,92
persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang
ditempatkan sebanyak 900 KK (atau 1,08 persen dari total KK transmigran). Lokasi
transmigrasi dengan pola ini berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bungo (1
UPT) dan Kabupaten Sarolangun (3 UPT).
HTI-Trans
Pembangunan Hutan Tanaman Industri Transmigrasi (HTI Trans) yang
merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi
mulai diperkenalkan pada Repelita V. Pelaksanaan Hutan Tanamanan Industri
Transmigrasi (HTI-Trans) didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri
Transmigrasi dan Menteri Kehutanan Nomor SKB 81/MEN/1990 376/KPTS-
II/1990 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Transmigrasi Hutan
Tanaman Industri. HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun sebagai satuan
usaha pengelolaan hutan secara komersil, yang secara ekonomis dapat mandiri
untuk menghasilkan bahan baku industri perkayuan, sedangkan HTI-Trans
merupakan kerja sama antara swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH)
dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja.
Pola HTI-Trans ini dilaksanakan di Provinsi Jambi pada Tahun 1993, dan
tidak terdapat keberlanjutan setelah itu. Hanya ada dua UPT dengan pola ini yang
masing-masingnya satu unit berada di Kabupaten Sarolangun dan Tebo dengan
156
jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 600 KK (atau 0,72 persen dari total
KK transmigran).
Trans-HTR
Berdasarkan Peraturan Bersama Menakertrans dan Menhut Nomor Per.
23/MEN/X/2OO7 dan Nomor 52/MENHUT-II/20O7, pemerintah
mengembangkan program Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR).
Program Trans-HTR adalah keterpaduan kegiatan dalam pelaksanaan program
transmigrasi dengan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang
dikembangkan Kementerian Kehutanan. Program HTR merupakan hutan tanaman
pada hutan produksi yang dibangun perseorangan atau koperasi untuk
meningkatkan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam
rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Berbeda dengan
program/gerakan menanam yang selama ini digalakkan dalam menghadapi isu
pemanasan global, pada program Trans-HTR setiap transmigran tidak hanya
sekedar menanam pohon, tetapi juga memeliharanya sehingga pohon tersebut bisa
tumbuh besar dan bisa cepat dipanen.
Pada tahap awal, telah dikembangkan program Trans-HTR pada dua Kota
Terpadu Mandiri (KTM). Salah satu KTM itu berada di Provinsi Jambi yaitu
KTM Pauh-Mandiangin di Kabupaten Sarolangun, sedangkan satu KTM lagi
berada di Padauloyo Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Pada
tahap awal ini, transmigran program Trans-HTR yang ditempatkan di Provinsi
Jambi adalah sebagai 100 KK ( atau 0,12 persen dari total KK transmigran).
VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI
6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa Non-Transmigrasi
Pada bagian ini akan dianalisis kinerja desa-desa eks transmigrasi dan
perbandingannya dengan desa-desa non-transmigrasi (desa penduduk setempat).
Analisis kinerja didasarkan pada tiga kelompok indikator utama yaitu
kesejahteraan penduduk, aktvitas pertanian dan aktivitas non-pertanian.
6.1.1 Kesejahteraan Penduduk Analisis kelompok indikator kesejahteraan penduduk terbagi atas sub-
kelompok kinerja kesehatan, pendidikan, keamanan dan pendapatan masyarakat.
Kinerja Kesehatan
Salah satu komponen pokok yang berkaitan langsung dengan kualitas
sumber daya manusia sekaligus juga terkait dengan tingkat kesejahteraan adalah
derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat akan memiliki kualitas
sumber daya manusia yang lebih baik dan mampu hidup secara lebih produktif.
Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan selalu
diupayakan peningkatannya melalui peningkatan kesehatan penduduk.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 disepakati
antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah
suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama,
politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya.
Dalam konteks penilaian terhadap kinerja kesehatan desa-desa eks
transmigrasi ini menggunakan dua indikator kesehatan. Pertama, rasio kepala
keluarga terhadap Pos Pelayanan Keluarga Berencana–Kesehatan Terpadu
(Posyandu) dan yang kedua adalah rasio bidan per 1000 penduduk.
Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh
dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Posyandu merupakan
158
kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab
kepala desa. Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah bentuk keterpaduan
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas.
Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan,
RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu (Posyandu).
Persyaratan pembentukan Posyandu
1. Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita
2. Terdiri dari 120 kepala keluarga
3. Disesuaikan dengan kemampuan petugas (bidan desa)
4. Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam satu tempat atau
kelompok tidak terlalu jauh
5. Pembentukan Posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Puskesmas
agar pendekatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih
tercapai.
Posyandu terutama untuk melayani balita (imunisasi, timbang berat badan)
dan orang lanjut usia (Posyandu Lansia), dan lahir melalui suatu Surat Keputusan
Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri), Menteri Kesehatan
(Menkes) RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
dan Ketua Tim Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan
dicanangkan pada sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini
diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum
Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali
Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan
administrasi pemerintahan.
Rata-rata rasio KK per Posyandu di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi
Jambi adalah 254, sedangkan pada desa-desa non transmigrasi adalah sebesar 305.
Angka yang lebih rendah menunjukkan jumlah Posyandu di desa-desa eks
transmigrasi lebih banyak dibandingkan desa-desa non-transmigrasi berdasarkan
rasionya terhadap jumlah KK. Hal ini terutama terlihat pada Kabupaten
Batanghari, Bungo, Merangin, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Barat.
159
Dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peranan tenaga kesehatan
di tingkat desa utamanya bidan sangat penting pada daerah-daerah yang sulit
mengakses fasilitas kesehatan maupun sebagai penolong pertama dalam
penanganan kesehatan sebelum pemberian penanganan pada tingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi. Selain itu, keberadaan bidan juga menjadi penting
sebagai upaya peningkatan pola hidup sehat dalam masyarakat di perdesaan.
Terkait dengan tenaga bidan ini dapat dikemukakan bahwa rata-rata rasio
bidan per 1000 penduduk di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 0,61,
dalam artian untuk setiap 1000 penduduk terdapat 0,61 bidan. Secara umum,
jumlah bidan ini juga relatif lebih banyak pada desa-desa eks transmigrasi
dibandingkan desa-desa non-transmigrasi. Rasio bidan per 1000 penduduk pada
desa-desa non-transmigrasi adalah sebesar 0,59.
Tabel 25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008
No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi
Posyandu Bidan Posyandu Bidan
1 Batanghari 249 0.84 259 0.64
2 Bungo 250 0.44 350 0.58
3 Merangin 224 0.54 281 0.81
4 Muaro Jambi 230 0.69 316 0.76
5 Sarolangun 272 0.38 232 0.66
6 Tanjung Jabung Barat 235 0.79 339 0.39
7 Tanjung Jabung Timur 255 0.75 248 0.76
8 Tebo 326 0.64 292 0.58
9 Kerinci - - 364 0.38
10 Kota Jambi - - 264 0.49
Provinsi Jambi 254 0.61 305 0.59
Sumber: PODES 2008
Fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan faktor input yang dapat dijadikan
sebagai dasar dalam menilai derajat kesehatan penduduk di suatu daerah. Dengan
kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih pada desa-desa eks transmigrasi
maka dapat dikemukakan bahwa derajat kesehatan penduduk di desa-desa eks
transmigrasi juga relatif lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi.
160
Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan sumber daya manusia dalam
membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, kualitas pendidikan
yang lebih baik memiliki keterkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan kualitas pendidikan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan
sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah yang relatif cukup dan memadai.
Terkait dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa 84,36 persen desa-desa
eks transmigrasi telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Taman Kanak-Kanak
(TK), seluruh desa telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah Dasar
(SD), dan 67,04 persen telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Kondisi ketersediaan fasilitas pendidikan di desa-desa eks transmigrasi
relatif lebih baik terutama jika dibandingkan dengan desa-desa non-transmigrasi.
Di desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi, hanya kurang separuh (48,84
persen) desa-desa yang memiliki fasilitas pendidikan TK, masih terdapat desa
yang belum memiliki fasilitas SD (96,26 persen yang memiliki SD), dan hanya
38,61 persen yang memiliki SLTP.
Lebih baiknya kondisi ketersediaan fasilitas pada semua jenjang pendidikan
di desa-desa eks transmigrasi ini juga terlihat sama jika diperinci lebih lanjut
berdasarkan kabupaten penempatan transmigran. Tidak satupun kabupaten
penempatan di mana desa-desa non-transmigrasi yang menunjukkan kondisi
keberadaan fasilitas pendidikan yang lebih baik jika dibandingkan dengan desa-
desa eks transmigrasi baik pada jenjang pendidikan TK, SD maupun SLTP.
Dengan kata lain, kondisi ini paling tidak juga sekaligus mencerminkan relatif
lebih rendahnya kualitas sumber daya manusia sekaligus kesejahteraan
masyarakat di desa-desa non- transmigrasi dibandingkan desa-desa eks
transmigrasi.
Secara terperinci gambaran keberadaan fasilitas pendidikan ini diberikan
pada Tabel 26 dan Gambar 11 berikut:
161
Tabel 26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008
No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi
TK SD SLTP TK SD SLTP
1 Batanghari 92.31 100.00 76.92 42.00 100.00 40.00
2 Bungo 81.48 100.00 55.56 30.77 98.29 35.04
3 Merangin 93.10 100.00 75.86 57.82 97.96 36.05
4 Muaro Jambi 89.29 100.00 64.29 51.43 99.05 44.76
5 Sarolangun 94.12 100.00 82.35 70.18 99.12 41.23
6 Tanjung Jabung Barat 73.68 100.00 47.37 42.86 100.00 67.35
7 Tanjung Jabung Timur 47.62 100.00 57.14 30.56 100.00 47.22
8 Tebo 100.00 100.00 80.00 43.75 100.00 45.00
9 Kerinci - - - 44.96 87.77 22.66
10 Kota Jambi - - - 79.03 98.39 64.52
Provinsi Jambi 84.36 100.00 67.04 48.84 96.26 38.61
Sumber: PODES 2008
Gambar 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa
non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
TK SD SLTP
Sarana Pendidikan
Pers
enta
se D
esa
Eks transmigrasi Non transmigrasi
162
Kualitas Perumahan
Berdasarkan indikator kualitas perumahan, terlihat bahwa kondisi desa-desa
eks transmigrasi secara umum lebih baik dibandingkan desa non- transmigrasi.
Rata-rata persentase rumah permanen pada desa eks transmigrasi sebesar 34,93
persen sedangkan pada desa-desa non- transmigrasi adalah sebesar 32,56 persen.
Selain itu, jika diamati berdasarkan daerah penempatan transmigran, dari delapan
daerah hanya pada tiga daerah kondisi perumahan desa-desa non- transmigrasi
relatif lebih baik yaitu di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi dan
Tanjung Jabung Barat.
Tabel 27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008
No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi
Desa non-transmigrasi
1 Batanghari 23.44 24.59
2 Bungo 51.15 47.67
3 Merangin 49.74 31.54
4 Muaro Jambi 16.91 17.01
5 Sarolangun 33.86 29.83
6 Tanjung Jabung Barat 18.01 30.35
7 Tanjung Jabung Timur 16.48 15.88
8 Tebo 55.43 38.12
9 Kerinci - 38.09
10 Kota Jambi - 67.48
Provinsi Jambi 34.93 32.56
Sumber: PODES 2008
Pendapatan Masyarakat
Dalam pengukuran kinerja pendapatan masyarakat digunakan hasil
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh BPS.
Pendataan tersebut dilaksanakan dalam rangka penyusunan database untuk semua
program anti kemiskinan dengan menggunakan satuan rumah tangga sebagai basis
pengukuran.
Adapun kriteria rumah tangga sasaran yang digunakan tersebut adalah
sebagai berikut:
163
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal, kurang dari 8 M2.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/rumbia/
kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/ air
tanah.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu pasang pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan
0,5 ha buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 100.000,- perbulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal
Rp. 500.000,- seperti : sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak,
kapal motor atau barang modal lainnya.
Rumah tangga sasaran dalam PPLS dikategorikan atas tiga kelompok yaitu
hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Terkait dengan hal tersebut, untuk
penyusunan indikator kinerja desa-desa eks transmigrasi hanya digunakan rumah
tangga dengan kriteria miskin dan sangat miskin.
Berdasarkan PPLS tersebut, rata-rata persentase rumah tangga miskin di
desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 6,55 persen. Angka ini jauh lebih kecil
(hampir separuh) jika dibandingkan dengan rata-rata persentase rumah tangga
miskin desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi yang mencapai 12,08 persen.
164
Lebih rendahnya persentase rumah tangga miskin di desa-desa eks transmigrasi
ini terlihat di seluruh kabupaten penempatan transmigrasi. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa eks transmigrasi lebih baik
dibandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat desa-desa non-transmigrasi.
Gambaran rumah tangga miskin di desa eks transmigrasi dan desa-desa non-
transmigrasi diberikan pada Tabel 28 berikut.
Tabel 28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008
No Kabupaten/Kota Desa eks transmigrasi
Desa non-transmigrasi
1 Batanghari 5.24 10.67
2 Bungo 6.10 7.74
3 Merangin 8.05 12.29
4 Muaro Jambi 2.28 10.55
5 Sarolangun 14.16 16.89
6 Tanjung Jabung Barat 2.99 12.30
7 Tanjung Jabung Timur 12.92 21.50
8 Tebo 2.93 8.58
9 Kerinci - 11.75
10 Kota Jambi - 10.59
Provinsi Jambi 6.55 12.08
Sumber: PPLS 2008
Keamanan Kesejahteraan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan
keamanan. Tingkat keamanan yang kondusif akan menjadi faktor yang
mendukung aktivitas ekonomi dan sosial individu dan masyarakat. Hal ini juga
menjadi dasar sehingga dalam pengukuran keberhasilan pembangunan desa, salah
satu indikator yang digunakan aspek keamanan.
Terkait dengan tingkat keamanan ini, digunakan tiga indikator input yang
diasumsikan menjadi indikator yang mampu menggambarkan tingkat keamanan
masyarakat desa yaitu rasio hansip/linmas per 1000 penduduk, rasio Babinsa per
1000 penduduk dan rasio Polisi Pelayanan Masyarakat (PPM) per 1000 penduduk.
165
Secara terperinci, gambaran masing-masing indikator diberikan pada Tabel 29 dan
Gambar 12 berikut.
Tabel 29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008
Kabupaten Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi
Rasio Hansip
Rasio Babinsa
Rasio PPM
Rasio Hansip
Rasio Babinsa
Rasio PPM
Batanghari 6.69 0.67 1.44 4.30 0.69 0.58
Bungo 6.12 0.33 0.20 4.46 0.53 0.67
Merangin 6.49 0.48 0.22 3.14 0.59 0.37
Muaro Jambi 4.69 0.52 0.58 3.85 0.65 0.79
Sarolangun 7.77 0.28 0.08 3.85 0.51 0.20
Tanjung Jabung Barat 7.03 0.46 0.67 1.59 0.29 0.45
Tanjung Jabung Timur 6.43 0.54 0.83 4.13 0.47 0.90
Tebo 8.26 0.34 0.94 4.43 0.47 0.50
Kerinci - - - 4.17 0.49 0.49
Kota Jambi - - - 0.55 0.20 0.31
Provinsi Jambi 6.59 0.44 0.57 3.72 0.51 0.51
Sumber: PODES 2008
Gambar 13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan
non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008
0
1
2
3
4
5
6
7
Hansip Babinsa PPM
Indikator Keamanan
Ras
io p
er 1
000
pend
uduk
Eks transmigrasi Non transmigrasi
166
Dua dari tiga indikator keamanan menunjukkan kondisi yang lebih baik
pada desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi, yaitu
rasio hansip dan rasio PPM dengan nilai masing-masingnya sebesar 6,59 dan 0,57
per 1000 penduduk untuk desa-desa eks transmigrasi dan 3,72 dan 0,51 untuk
desa-desa di luar transmigrasi. Sebaliknya untuk indikator rasio Babinsa
menunjukkan kondisi yang lebih baik di desa non-transmigrasi (rasio 0,51)
dibandingkan desa-desa eks transmigrasi (rasio 0,44). Berdasarkan hal tersebut
dapat dikemukakan secara umum derajat keamanan di desa-desa eks transmigrasi
lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi.
6.1.2. Aktivitas Pertanian Aktivitas pertanian diukur dengan indikator persentase keluarga tani
terhadap total keluarga dan persentase lahan pertanian terhadap total lahan. Kedua
indikator ini diperkirakan dapat menggambarkan tingkat aktivitas pertanian pada
masing-masing desa yang dianalisis.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa secara umum aktivitas pertanian di
desa-desa eks transmigrasi lebih tinggi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi
di Provinsi Jambi. Hal ini terlihat dari fakta persentase keluarga tani dan lahan
pertanian yang lebih besar di desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa
non-transmigrasi, dimana untuk desa-desa eks transmigrasi secara berturut-turut
adalah 86,49 persen dan 84,67 persen sedangkan desa non-transmigrasi adalah
78,25 persen dan 79,98 persen (Tabel 30).
Relatif lebih besarnya proporsi keluarga tani ini terlihat hampir di seluruh
kabupaten penempatan. Hanya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang
memperlihatkan kondisi dimana desa-desa eks transmigrasi memiliki rata-rata
persentase rumah tangga tani yang lebih rendah dibandingkan desa-desa non-
transmigrasi. Sebaliknya dari sisi persentase lahan pertanian, meskipun secara
rata-rata menunjukkan persentase yang lebih tinggi, tetapi hanya tiga dari delapan
kabupaten yang menunjukkan persentase lahan pertanian desa-desa eks
transmigrasi yang lebih besar dibandingkan desa-desa non-transmigrasi yaitu
Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
167
Tabel 30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008
Kabupaten Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi % keluarga
tani % lahan
tani % keluarga
tani % lahan
tani Batanghari 87.31 89.97 78.58 95.05 Bungo 90.56 82.05 82.47 88.12 Merangin 83.90 89.22 83.84 91.05 Muaro Jambi 86.21 88.74 82.07 77.62 Sarolangun 88.88 83.11 81.22 91.29 Tanjung Jabung Barat 80.05 91.85 72.88 77.06 Tanjung Jabung Timur 85.24 71.27 85.26 68.98 Tebo 89.28 81.77 83.91 87.84 Kerinci 83.34 77.89 Kota Jambi 10.47 11.64
Provinsi Jambi 86.49 84.67 78.25 79.98 Sumber: PODES 2008
Selanjutnya jika ditelusuri pola penggunaan lahan pertaniannya, umumnya
merupakan lahan pertanian non-sawah. Hal tersebut terlihat baik di desa eks
transmigrasi maupun desa-desa non-transmigrasi. Meskipun demikian, secara
rata-rata persentase lahan non-sawah terhadap total lahan pertanian ini relatif
besar di desa eks transmigrasi dibandingkan dengan desa non-transmigrasi. Pola
ini terlihat sama hampir di semua kabupaten penempatan.
Tabel 31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008
Kabupaten Desa Eks Transmigrasi
Desa Non-Transmigrasi
Batanghari 99.57 91.51 Bungo 97.73 96.43 Merangin 98.90 93.50 Muaro Jambi 96.33 92.84 Sarolangun 99.16 96.42 Tanjung Jabung Barat 95.18 90.66 Tanjung Jabung Timur 63.55 75.23 Tebo 92.76 88.91 Kerinci - 59.29 Kota Jambi - 70.72
Provinsi Jambi 93.00 83.11 Sumber: PODES 2008
168
6.1.3. Aktivitas Non-Pertanian Berkembangnya aktivitas non-pertanian merupakan dampak dari
perkembangan aktivitas pertanian yang mampu meningkatkan kesejahteraan
penduduknya. Dalam menggambarkan aktivitas non-pertanian pada digunakan
empat indikator yaitu industri pertanian, industri non-pertanian, perdagangan dan
jasa lainnya (jasa non-perdagangan). Keempat indikator tersebut diukur dari rasio
unit usaha per 1000 penduduk.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa baik industri pertanian, industri
non-pertanian maupun perdagangan relatif lebih berkembang di desa-desa eks
transmigrasi dibandingkan desa non-transmigrasi. Untuk aktivitas jasa lainnya
kondisi desa-desa non-transmigrasi relatif lebih baik, tetapi hal tersebut terutama
disebabkan oleh perkembangan akktivitas jasa yang pesat di Kota Jambi (sebagai
ibu kota Provinsi Jambi) serta Kabupaten Kerinci.
Gambaran aktivitas non-pertanian pada desa-desa eks transmigrasi dan
desa-desa non-transmigrasi diberikan pada Tabel 32 dan Gambar 14 berikut.
Tabel 32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006
Kabupaten Industri
pertanian Industri
non-pertanian Perdagangan Jasa lainnya
ET NT ET NT ET NT ET NT
Batanghari 1.19 1.57 1.24 4.37 19.84 24.47 11.35 16.67
Bungo 1.63 0.74 5.35 2.24 23.93 22.91 14.00 10.76
Merangin 2.74 1.58 4.18 3.43 29.94 25.48 19.07 13.27
Muaro Jambi 1.01 0.74 1.64 4.59 16.38 17.06 11.97 10.10
Sarolangun 3.20 0.87 3.84 2.66 24.97 20.97 9.80 9.69
Tanjab Barat 0.98 2.55 1.87 3.86 22.18 23.32 14.75 13.83
Tanjab Timur 5.08 4.88 5.06 3.08 20.43 23.92 12.24 8.93
Tebo 1.27 0.80 3.18 1.94 22.96 18.88 10.76 7.93
Kerinci - 4.09 - 5.08 - 20.17 - 16.00
Kota Jambi - 1.30 - 3.13 - 23.22 - 21.80
Provinsi Jambi 2.10 1.91 3.39 3.06 23.09 22.04 13.15 14.22 Sumber: Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: ET = Desa Eks Transmigrasi, NT= Desa Non-Transmigrasi
169
Gambar 14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks
transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. Sumber: Sensus Ekonomi 2006
6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi
6.2.1 Uji Normalitas Sebaran Data
Jumlah kasus yang digunakan dalam penyusunan indikator stadia
perkembangan desa ini adalah sebanyak 176 desa. Desa-desa tersebut merupakan
desa definitif yang terbentuk sebelum tahun 2008 dari eks pemukiman
transmigrasi.
Pengujian normalitas data dilakukan melalui uji signifikansi dari
kemencengan data (skewness). Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness
peubah-peubah yang diajukan dalam pengukuran indikator kinerja transmigrasi
tersebut diberikan pada Tabel 33.
Pengujian terhadap kemencengan data (skewness) memperlihatkan seluruh
peubah yang digunakan untuk penyusunan indikator berdistribusi tidak normal.
Terlihat dari nilai Zhitung Skewness yang lebih besar dari Z(0.05) yaitu sebesar 1.96.
Karena data tidak berdistribusi normal, dilakukan transformasi untuk
menormalkan data. Histogram data diberikan pada Lampiran 1. Berdasarkan
0
5
10
15
20
25
Industri pertanian Industri non-pertanian Perdagangan Jasa lainnya
Aktivitas non pertanian
Ras
io p
er 1
000
pend
uduk
Eks transmigrasi Non transmigrasi
170
tampilan grafik histogram seluruh peubah berdistribusi tidak normal. Empat belas
peubah memiliki kecenderungan menceng ke kiri (positive skewness) yaitu (a)
moderate positive untuk peubah SMP, RUMAH, HANSIP, PPM, IP, INP, DAN
JS; (b) substansial positive untuk peubah BIDAN, POSYANDU, TK, SD, RTM,
PD; (c) severe positive untuk peubah BABINSA. Dua peubah lainnya memiliki
kecenderungan menceng ke kanan (negative skewness) yaitu peubah LAHAN
(substansial negative) dan peubah KK (severe negative).
Tabel 33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
No Peubah Nama peubah Skewness Zhitung
skewness
1 Rasio Bidan per 1000 penduduk BIDAN 0.89 4.86
2 Rasio KK per Posyandu POSYANDU 0.86 4.71
3 Rasio TK per 1000 penduduk TK 0.46 2.49
4 Rasio SD per 1000 penduduk SD 1.13 6.14
5 Rasio SMP per 1000 penduduk SMP 0.58 3.16
6 Persentase Rumah Permanen RUMAH 0.40 2.20
7 Persentase Rumah Tangga Miskin RTM 1.45 7.90
8 Rasio Hansip per 1000 penduduk HANSIP 1.22 6.63
9 Rasio Babinsa per 1000 penduduk BABINSA 1.16 6.34
10 Rasio PPM per 1000 peduduk PPM 1.54 8.39
11 Persentase Keluarga Pertanian KK -1.15 -6.26
12 Persentase Lahan Pertanian LAHAN -1.67 -9.11
13 Rasio Unit Industri Pertanian per 1000 penduduk
IP 1.60 8.72
14 Rasio Unit Indusri Non-Pertanian per 1000 penduduk
INP 1.70 9.28
15 Rasio Unit Perdagangan per 1000 penduduk
PD 1.40 7.61
16 Rasio Unit Jasa per 1000 penduduk JS 1.48 8.05
Berdasarkan kecenderungan distribusi data tersebut, selanjutnya dilakukan
transformasi data sesuai dengan jenis kecenderungan distribusinya. Tabel 34
berikut memberikan kecenderungan distribusi data, jenis transformasi dan
perhitungan skewness dan zskewness masing-masing peubah hasil transformasi.
171
Tabel 34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi
No Peubah Bentuk histogram Jenis trans-formasi
Skew-ness
Zhitung skewness
1 BIDAN Substansial Positive Ln(x+c) 0.27 1.45 2 POSYANDU Substansial Positive Ln(x) 0.11 0.62 3 TK Substansial Positive Ln(x+c) -0.28 -1.54 4 SD Substansial Positive Ln(x) 0.14 0.79 5 SMP Moderate Positive SQRT (x) -0.28 -1.50 6 RUMAH Moderate Positive SQRT (x) -0.03 -0.17 7 RTM Substansial Positive Ln(x+c) 0.07 0.40 8 HANSIP Moderate Positive SQRT (x) -0.36 -1.95 9 BABINSA Severe Positive 1/(x+c) 0.13 0.72
10 PPM Moderate Positive SQRT (x) 0.33 1.78 11 KK Severe Negative SQRT (k-x) 0.35 1.90 12 LAHAN Substansial Negative Ln (k-x) -0.36 -1.94 13 IP Moderate Positive SQRT (x) 0.34 1.87 14 INP Moderate Positive SQRT (x) 0.30 1.66 15 PD Substansial Positive Ln(x) -0.34 -1.87 16 JS Moderate Positive SQRT (x) 0.11 0.58
Keterangan: k = konstanta yang berasal dari setiap skor dikurangkan sehingga skor terkecil adalah 1. c adalah 1
Tabel 34 memperlihatkan berdasarkan pengujian terhadap kemencengan
data seluruh peubah transformasi sudah berdistribusi normal. Hal ini terlihat dari
nilai Zhitung Skewness nya yang lebih kecil dari nilai Z(0.05) yaitu sebesar 1.96.
6.2.2. Pengujian Data Pencilan Pengujian data pencilan dilakukan dengan menggunakan dua pengujian
yaitu pengujian univariate outlier dan pengujian multivariate oulier. Pengujian
univariate outlier dengan menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan
adalah data dengan nilai z >= ±3 (pada kasus sampel besar (lebih dari 80 kasus)).
Selanjutnya, pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan
kriteria Jarak Mahalanobis D2 (mahalanobis d-squared) pada tingkat p<0,001.
Hasil pengujian univariate outlier diberikan pada Lampiran 2 - 4.
Berdasarkan pengujian univariate outlier (dengan nilai Z ±3), dapat dikemukakan
bahwa terdapat dua kasus yang mengandung univariate outlier pada peubah PD
yaitu kasus Desa Bukit Subur dan kasus Desa Pulau Kerakap (lihat Lampiran 2).
Dengan menghilangkan kedua kasus tersebut, dilakukan pengujian ulang terhadap
data, dan ternyata masih terdapat satu kasus univariate outlier pada peubah PD
172
yaitu pada kasus Desa Baru Pelepat (lihat Lampiran 3). Dengan menghilangkan
kasus tersebut, maka terlihat seluruh kasus dan peubah tidak lagi mengandung
univariate outlier (lihat Lampiran 4).
Pada tahap selanjutnya adalah pengujian multivariate outlier. Hasil
pengujian multivariate outlier dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari Lampiran 5
terlihat bahwa terdapat satu kasus yang mengandung multivariate outlier yaitu
kasus Desa Pulau Bayur dengan nilai D (Mahalanobis) sebesar 40,07. Nilai ini
lebih besar dibandingkan Jarak Mahalanobis dengan DF=16 pada tingkat p<0,001
yang sebesar 39,25. Dengan menghilangkan kasus Desa Pulau Bayur, selanjutnya
dilakukan pengujian multivariate outlier (hasilnya pada Lampiran 6). Berdasarkan
Lampiran 6 data tidak lagi mengandung unsur multivariate outlier.
6.2.3. Analisis Faktor
Pengujian Peubah-Peubah yang Telah Ditentukan
Pengujian dilakukan dengan metode Keiser-Meyer-Olkin (KMO) measure
adequacy, Bartlett test of sphericity dan pengukuran MSA (Measure of Sampling
Adequacy). Kesimpulan layak tidaknya analisis faktor dilakukan baru sah secara
statistic dengan uji KMO measure adequacy dan Bartlett Test of Sphericiy. Jika
nilai KMO berkisar antara 0,5 sampai 1, maka analisis faktor layak dilakukan.
Sebaliknya, jika KMO di bawah 0,5 maka analisis faktor tidak layak dilakukan.
Bartlett Test merupakan uji statistik untuk menguji apakah betul peubah-
peubah yang dilibatkan berkorelasi, dengan hipotesis:
H0 : Tidak ada korelasi antarpeubah
H1: Ada korelasi antarpeubah
Kriteria uji dengan melihat p-value (signifikansi) : Terima H0, jika sig. > 0.05 atau
tolak H0 jika Sig. < 0.05
Selanjutnya analisis MSA bertujuan untuk melihat kelayakan masing-
masing peubah untuk dapat dimasukkan dalam analisis faktor. Angka MSA
berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria:
MSA = 1, peubah tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh peubah lain
MSA > 0,5, peubah tersebut masih bisa diprediksi dan bisa dianalisa lebih lanjut
MSA =< 0.5, peubah tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut,
atau dikeluarkan dari peubah lainnya.
173
Perhitungan KMO dan Bartlett Test dari indikator-indikator yang digunakan
diberikan pada Tabel 35 berikut.
Tabel 35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .575
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 471.929
df 120
Sig. .000
Dari Tabel 35 terlihat nilai KMO adalah sebesar 0,575. Dengan demikian
analisis faktor dengan menggunakan peubah-peubah yang dikemukakan layak
dilakukan. Berdasarkan Bartlett’s Test of Sphericity dapat dilihat bahwa nilai Chi-
Square adalah 471.929 dengan derajat bebas sebesar 120 dan p-value (sig) sebesar
0.000. Karena p-value (0.000) < 0.05 maka H0 ditolak. Artinya, benar-benar
terdapat korelasi antarpeubah yang digunakan.
Selanjutnya pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) diberikan
pada Tabel 36 berikut:
Tabel 36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
No. Peubah Nilai MSA Keterangan
1 BIDAN 0.777 * Layak 2 POSYANDU 0.477 Dikeluarkan 3 TK 0.442 Dikeluarkan 4 SD 0.672 * Layak 5 SMP 0.388 Dikeluarkan 6 RUMAH 0.658 * Layak 7 RTM 0.396 Dikeluarkan 8 HANSIP 0.289 Dikeluarkan 9 BABINSA 0.650 * Layak
10 PPM 0.486 Dikeluarkan 11 KK 0.265 Dikeluarkan 12 LAHAN 0.757 * Layak 13 IP 0.651 * Layak 14 INP 0.736 * Layak 15 PD 0.580 * Layak 16 JS 0.497 Dikeluarkan
Sumber: Lihat Print-out SPSS (Lampiran 7).
174
Berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa
dari 16 peubah yang dianalisis, hanya 8 peubah yang memiliki nilai MSA > 0.5.
Peubah-peubah tersebut adalah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, LAHAN, IP,
INP, dan PD. Sedangkan 8 peubah lainnya yang memiliki nilai MSA =< 0.5
adalah POSYANDU, TK, SMP, RTM, HANSIP, PPM, KK dan JS.
Dengan mengeluarkan 8 peubah tersebut, dilakukan pengujian ulang
terhadap pengukuran MSA. Berdasarkan pengujian ulang MSA terlihat bahwa
semua peubah memiliki nilai MSA > 0.5.
Tabel 37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
BIDAN SD RUMAH BABINSA LAHAN IP INP PD
Anti-image BIDAN .815 -.149 .117 .103 -.009 .026 .115 .004 Covariance SD -.149 .777 .166 .145 .136 -.028 .033 -.033
RUMAH .117 .166 .769 -.127 -.038 .139 -.105 -.128
BABINSA .103 .145 -.127 .822 -.060 -.106 -.033 .047
LAHAN -.009 .136 -.038 -.060 .905 -.089 -.021 -.059
IP .026 -.028 .139 -.106 -.089 .739 -.238 -.183
INP .115 .033 -.105 -.033 -.021 -.238 .708 -.152
PD .004 -.033 -.128 .047 -.059 -.183 -.152 .805
Anti-image BIDAN .793(a) -.187 .147 .126 -.011 .033 .152 .005 Correlation SD -.187 .733(a) .214 .181 .162 -.037 .045 -.042
RUMAH .147 .214 .691(a) -.159 -.045 .185 -.143 -.163
BABINSA .126 .181 -.159 .772(a) -.069 -.136 -.043 .058
LAHAN -.011 .162 -.045 -.069 .792(a) -.109 -.027 -.070
IP .033 -.037 .185 -.136 -.109 .615(a) -.329 -.237
INP .152 .045 -.143 -.043 -.027 -.329 .729(a) -.202
PD .005 -.042 -.163 .058 -.070 -.237 -.202 .707(a)
Pengujian ulang juga dilakukan untuk KMO dan Bartlett Test. Berdasarkan
pengujian ulang memperlihatkan bahwa nilai KMO (0,721) > 0,5 dan nilai Chi-
Square adalah 181,081 dengan derajat bebas 28 dan p-value (0.000) < 0.05.
Dengan demikian, matrik korelasi yang terbentuk menunjukkan benar-benar
terdapat korelasi antar peubah yang digunakan.
Tabel 38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .721
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 182.829
df 28
Sig. .000
175
Proses Factoring dan Rotasi
Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari
peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam konteks
proses factoring ini, digunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal
Components Analysis=PCA).
Dalam penentuan jumlah faktor, penelitian ini menetapkan jumlah faktor
sebanyak tiga, dengan asumsi masing-masing faktor mewakili indikator
kesejahteraan, aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian. Dengan kata lain,
analisis faktor dalam hal ini bertujuan untuk Confirmatory Factor Analysis yaitu
untuk menguji atau mengkonfirmasi apakah suatu konstruk yang telah dibentuk
dapat dikonfirmasikan dengan data empirisnya.
Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi
sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau
tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi tersebut
maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi bertujuan
untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor.
Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode Obligue
Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk mendapatkan
faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria indikator yang
telah dikemukakan sebelumnya (Ghozali 2009).
Analisis Communalities
Analisis ini pada dasarnya menentukan jumlah varians (dalam persentase)
dari suatu peubah mula-mula yang bisa dijelaskan oleh faktor yang ada. Besaran
nilainya antara 0.00 hingga 1.00. Semakin besar nilainya semakin erat
hubungannya dengan faktor yang terbentuk.
Merujuk pada Tabel 39, dapat dikemukakan bahwa nilai varians terbesar
adalah untuk lahan tani sebesar 0,854. Ini berarti bahwa 85,4 persen varians dari
peubah ini bisa dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated
component matrix. Sedangkan nilai varians terkecil adalah untuk peubah Babinsa
yaitu sebesar 0,413, yang berarti bahwa 41,3 persen varians dari vaiabel ini yang
dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated component matrix.
176
Tabel 39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Nomor Peubah Varians
1 BIDAN .515 2 SD .585 3 RUMAH .545 4 BABINSA .413 5 LAHAN .854 6 IP .657 7 INP .624 8 PD .540
Selanjutnya jika ke 8 peubah tersebut diringkas menjadi satu faktor, maka
varians yang bisa dijelaskan oleh satu faktor tersebut adalah (2.457/8) x 100% =
30.714% (lihat Tabel 40). Jika ke 8 peubah tersebut diekstrak menjadi 2 faktor
maka varians faktor pertama adalah 30.714 persen dan varians faktor kedua
adalah (1.352/8) x 100% = 16.899%, sehingga varians kumulatif yang dapat
dijelaskan oleh kedua faktor tersebut adalah sebesar 47,613 persen. Jika ke 8
peubah tersebut diringkas menjadi tiga faktor, maka varians faktor pertama
sebesar 30,714 persen, varians faktor kedua 16,899 persen dan varians faktor
ketiga adalah (0.924/8) x 100% = 11,553%. Dengan kata lain juga, dengan
mengekstrak delapan peubah indikator kinerja desa eks transmigrasi atas 3 faktor,
maka kumulatif varians yang mampu dijelaskan oleh ketiga faktor tersebut adalah
sebesar 59,166 persen. Perhitungan Total Variance Explained diberikan pada
Tabel 40 berikut.
Tabel 40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Com-ponent Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared
Loadings
Rotation Sums of Squared Loadings
Total % of Variance
Cumulative % Total % of
Variance Cumulative
% Total
1 2.457 30.714 30.714 2.457 30.714 30.714 2.072 2 1.352 16.899 47.613 1.352 16.899 47.613 1.879 3 .924 11.553 59.166 .924 11.553 59.166 1.121 4 .843 10.533 69.699 5 .721 9.015 78.713 6 .622 7.771 86.484 7 .594 7.424 93.908 8 .487 6.092 100.000
177
Analisis Factoring dan Rotasi
Berdasarkan matriks komponen yang terbentuk (Tabel 41), terlihat bahwa
semua peubah memiliki koefisien (factor loading) yang signifikan (> 0.5). Ini
menunjukkan bahwa peubah-peubah yang ada mampu mewakili faktor yang ada.
Tabel 41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Peubah Komponen 1 2 3
BIDAN -.585 .264 .321
SD -.568 .495 -.132
RUMAH .575 -.392 -.246
BABINSA .566 -.286 .101
LAHAN .442 .005 .812
IP .498 .632 .099
INP .667 .372 -.201
PD .503 .514 -.153
Selanjutnya mengacu pada factor loading terbesar, terlihat bahwa faktor 1
terbentuk oleh peubah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, dan INP. Faktor 2
terbentuk oleh peubah IP dan PD sedangkan faktor 3 terbentuk oleh peubah
LAHAN. Fakta ini menunjukkan bahwa pengelompokan peubah dalam faktor
pada component matrix ini belum sesuai dengan pengelompokan yang secara
teoritis telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini terlihat terutama pada peubah INP
yang secara teoritis berada pada kelompok IP dan PD (aktivitas non pertanian)
tetapi ternyata berada pada kelompok kesejahteraan masyarakat (BIDAN, SD,
RUMAH DAN BABINSA).
Model awal dari matriks faktor ini secara teoritis sulit untuk
diinterpretasikan. Oleh karenanya dilakukan rotasi faktor dengan metode Oblique.
Hasil rotasi faktor tersebut diberikan pada Tabel 42. Mengacu pada matriks
struktur (Tabel 42) terlihat bahwa delapan peubah yang diajukan mengelompok
pada tiga kelompok, dengan kelompok pertama adalah BIDAN, SD, RUMAH
DAN BABINSA. Kelompok kedua adalah IP, INP dan PD, sedangkan kelompok
ketiga adalah LAHAN. Berdasarkan peubah pembentuknya, faktor 1 merupakan
faktor kesejahteraan, faktor 2 adalah aktivitas non-pertanian dan faktor 3 adalah
aktivitas pertanian.
178
Tabel 42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi
Peubah Komponen 1 2 3
BIDAN -.682 -.268 .079 SD -.709 -.028 -.349 RUMAH .730 .160 -.006 BABINSA .599 .179 .310 LAHAN .203 .195 .915 IP .043 .777 .242 INP .379 .755 .034 PD .159 .733 .014
Pemilihan Surrogate Variable
Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau
peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah
pengganti ini adalah peubah asli.
Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor
loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis
selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi
dengan jumlah peubah yang lebih sedikit. Selanjutnya, berdasarkan hasil dari
structure matrix sebelumnya, maka terpilih surrogate variable yaitu persentase
rumah permanen sebagai wakil dari indikator kesejahteraan, industri pertanian
sebagai wakil dari aktivitas non-pertanian dan persentase lahan tani sebagai wakil
dari indikator aktivitas pertanian.
Penyeragaman Dimensi
Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis
sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda.
Untuk menyeragamkan dimensi pengukuran dilakukan dengan Min-Max Method,
dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Pembobotan dan Agregasi
Pembobotan dilakukan dalam rangka mendapatkan besaran proporsi untuk
masing-masing peubah dalam penetapan indikator komposit. Pembobotan masing-
masing peubah dengan membagi Explained Variance dari factor loading masing-
masing faktor peubah dengan Total Explained Variance
Pembobotan untuk masing-masing peubah diberikan sebagai berikut:
179
Tabel 43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi
Indikator Explained Variance Bobot Indikator
Rumah 30.714 0.519 IP 16.899 0.286 Lahan 11.553 0.195
Total Explained Variance 59.166
Pembobotan terbesar adalah untuk indikator rumah yaitu sebesar 0,519
persen, diikuti oleh IP sebesar 0,286 persen dan lahan sebesar 0,195 persen.
Berdasarkan pembobotan tersebut, selanjutnya didapatkan indeks komposit untuk
masing-masing desa (dapat dilihat pada Lampiran 8).
Indeks komposit yang terbentuk memiliki nilai maksimum 0,86 (dari nilai
tertinggi 1 dan nilai minimum 0,05 (dari nilai terendah 0). Rentang antara nilai
maksimum dengan minimum adalah sebesar 0,81 dengan rata-rata indeks sebesar
0,42 dan standar deviasi 0,18. Relatif jauhnya jarak antara nilai maksimum dan
minimum menunjukkan terdapatnya perbedaan yang sangat mencolok dalam hal
perkembangan antardesa eks transmigrasi di Provinsi Jambi.
Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa,
selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka mengelompokkan desa atas
stadia perkembangannya. Perkembangan desa dikelompokkan atas empat hierarki.
Pengelompokan atas empat stadia ini menggunakan asumsi yang didasarkan
hipotesis stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dikemukan Rustiadi
(2009), khususnya pada stadia setelah masa pembinaan pemukiman transmigrasi.
Pengelompokkan pada empat stadia menggunakan metode K-Mean Cluster. Hasil
pengelompokkan tersebut diberikan pada Tabel 44 berikut.
Tabel 44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi
No Stadia Desa Indeks Komposit Jumlah Desa Persentase
1 Stadia I 0.05 – 0.29 54 31.40 2 Stadia II 0.30 – 0.45 51 29.65 3 Stadia III 0.46 – 0.63 44 25.58 4 Stadia IV 0.64 – 0.86 23 13.37
Total 172 100.00
180
Dari Tabel 44 terlihat bahwa 31,40 persen desa-desa eks transmigrasi di
Provinsi Jambi berada pada stadia I, 29,65 persen pada stadia II, 25,58 persen
pada stadia III dan 13,37 persen pada stadia IV. Selanjutnya, stadia desa-desa eks
transmigrasi berdasarkan kabupaten penempatan diberikan pada Tabel 45 berikut.
Tabel 45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten
Kabupaten Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah
Batanghari 5 6 1 1 13 (38.46) (46.15) (7.69) (7.69) (100.00)
Bungo 1 8 11 4 24 (4.17) (33.33) (45.83) (16.67) (100.00)
Merangin 1 8 12 7 28 (3.57) (28.57) (42.86) (25.00) (100.00)
Muaro Jambi 18 6 2 0 26 (69.23) (23.08) (7.69) (0.00) (100.00)
Sarolangun 3 9 4 1 17
(17.65) (52.94) (23.53) (5.88) (100.00)
Tanjung Jabung Barat 13 4 1 1 19
(68.42) (21.05) (5.26) (5.26) (100.00)
Tanjung Jabung Timur 8 8 4 0 20
(40.00) (40.00) (20.00) (0.00) (100.00)
Tebo 5 2 9 9 25
(20.00) (8.00) (36.00) (36.00) (100.00)
Provinsi Jambi 54 51 44 23 172
(31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)
Pencapaian stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi relatif beragam
antarkabupaten dalam Provinsi Jambi. Dari delapan kabupaten, enam diantaranya
memiliki desa-desa eks transmigrasi dengan capaian stadia IV yaitu Kabupaten
Batanghari, Kabupaten Bungo, Merangin, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan
Tebo. Sebaliknya tidak satupun desa-desa eks transmigrasi di Kabupaten Muaro
Jambi dan Tanjung Jabung Timur yang mencapai stadia IV.
6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia desa serta
untuk mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses
sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah
sebanyak delapan peubah yang lolos uji pada analisis faktor sebelumnya.
181
Pemasukan peubah dalam fungsi diskriminan menggunakan metode
stepwise. Mahalanobis distances yang digunakan dalam prosedur stepwise
ditujukan untuk menentukan peubah yang memiliki kekuatan terbesar dalam
mendiskriminasi. Prosedur stepwise dimulai dengan memasukkan peubah yang
akan memaksimumkan Mahalanobis distance antarkelompok. Dalam hal ini
minimum significant value sebesar 0,05 digunakan sebagai syarat memasukkan
peubah dan Mahalanobis D2 digunakan untuk memilih peubah.
Prosedur stepwise tersebut diberikan pada Tabel 46 berikut:
Tabel 46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan
Tahap Toleransi Sig. of F to Remove
Min. D Squared Antar kelompok
1 Rumah 1.000 .000
2 Rumah .711 .000 .009 Stadia II dan Stadia III
IP .711 .000 .845 Stadia III dan Stadia IV
3 Rumah .588 .000 .123 Stadia II dan Stadia III
IP .599 .000 1.083 Stadia III dan Stadia IV
Lahan .795 .000 2.491 Stadia III dan
Stadia IV
Dari Tabel 46 terlihat bahwa pada tahap pertama, nilai maksimum
Mahalanobis D2 adalah pada peubah RUMAH, sedangkan pada tahap kedua pada
peubah IP dan pada tahap ketiga pada peubah LAHAN. Dengan kata lain, hasil
stepwise menunjukkan ada tiga peubah yang signifikan yang mampu
membedakan stadia yaitu RUMAH, IP dan LAHAN. Ketiga peubah ini sesuai
dengan surrogate variable yang terpilih pada tahapan analisis faktor sebelumnya.
Berdasarkan angka Wilk’s Lambda, proses pemasukkan ketiga peubah
tersebut diberikan pada Tabel 47. Wilk’s Lambda pada prinsipnya adalah varians
total dalam diskriminan yang tidak bisa dijelaskan oleh perbedaan diantara
kelompok yang ada. Pada tahap 1 dengan hanya menggunakan persentase rumah
permanen, menghasilkan nilai Lambda sebesar 0,228. Ini berarti bahwa 22,8
persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar stadia. Pada tahap 2
dengan menambahkan peubah rasio industri pertanian, angka Wilks’ Lambda
182
turun menjadi 0,146 dan pada tahap ketiga dengan memasukkan peubah
persentase lahan pertanian, angka Wilks Lambda menjadi 0,120. Dengan kata lain,
hanya 12,0 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antarstadia. Dari
kolom F dan signifikansinya terlihat bahwa baik pada pemasukan peubah Rumah,
IP dan kemudian LAHAN, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini
berarti ketiga peubah tersebut memang berbeda untuk keempat kategori stadia.
Tabel 47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda
Tahap Jumlah peubah Lambda df1 df2 df3
Exact F/ Approximate F Statistic df1 df2 Sig
1 1 .228 1 3 168 189.685 3 168 .000 2 2 .146 2 3 168 90.237 6 334 .000 3 3 .120 3 3 168 62.269 9 404 .000
Dengan menggunakan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriminan yang
terbentuk adalah sebagai berikut:
Tabel 48 Canonical discriminant function coefficients Peubah Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3
RUMAH 1.038 -.094 -.071 LAHAN -.501 -.689 .822 IP 1.189 1.045 .626 (Konstanta) -5.762 .884 -2.229
Selanjutnya berdasarkan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriman memiliki
tingkat kebenaran klasifikasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,1 persen. Stadia I
mampu diklasifikasi secara benar sebesar 90,1 persen, stadia II sebesar 86,3
persen, stadia III sebesar 90,9 persen dan stadia IV sebesar 95,7 persen.
Tabel 49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa
Stadia Prediksi kelompok
Total Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV
Frek. Stadia I 49 5 0 0 54 Stadia II 3 44 4 0 51 Stadia III 0 1 40 3 44 Stadia IV 0 0 1 22 23
% Stadia I 90.7 9.3 .0 .0 100.0 Stadia II 5.9 86.3 7.8 .0 100.0 Stadia III .0 2.3 90.9 6.8 100.0 Stadia IV .0 .0 4.3 95.7 100.0
Keterangan: 90,1% kasus dikelompokkan secara tepat.
183
6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya Berdasarkan kelompok indikator-indikator kesejahteraan (yang terdiri dari
sub-indikator kesehatan, pendidikan, pendapatan, dan keamanan), aktivitas
pertanian dan aktivitas non-pertanian, secara umum dapat dikemukakan bahwa
semakin tinggi stadia desa maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan dan
semakin tinggi aktivitas pertanian dan non-pertanian. Profil stadia yang dianalisis
berdasarkan peubah-peubah dalam analisis faktor sebelumnya serta beberapa
peubah pendukung lainnya diberikan pada Tabel 50. Mengacu pada peubah-
peubah yang signifikan secara linear, terlihat bahwa peningkatan stadia diikuti
dengan kecenderungan penurunan pelayanan kesehatan dasar tetapi diikuti oleh
peningkatan pelayanan kesehatan menengah dan tinggi. Rasio bidan per 1000
penduduk menunjukkan penurunan dan rasio KK per Posyandu menunjukkan
peningkatan (yang berarti juga terdapat penurunan jumlah Posyandu per KK).
Sebaliknya untuk pelayanan-pelayanan kesehatan tingkat menengah dan tinggi
menunjukkan peningkatan. Persentase desa dengan ketersediaan praktek dokter
mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, juga
dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung
memiliki jarak ke fasilitas-fasilitas kesehatan (rumah sakit, rumah sakit bersalin
dan poliklinik) yang relatif lebih dekat.
Hal yang sama juga terlihat dari aspek pendidikan. dan persentase desa
dengan ketersediaan fasilitas SLTA cenderung mengalami peningkatan ber-
samaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, ketersediaan lembaga-lembaga pen-
didikan keterampilan (bahasa asing, komputer, montir, tata busana, kecantikan
dan lainnya) juga cenderung lebih banyak di desa dengan stadia yang lebih tinggi.
Sebagai catatan, rasio SD per seribu penduduk cenderung menurun signifikan
bersamaan dengan peningkatan stadia tetapi bukan menunjukkan kekurangan
jumlah SD pada desa-desa stadia tinggi, tetapi lebih menunjukkan tingkat
optimalisasi penggunaan sekolah. Selanjutnya untuk rasio SLTP per seribu
penduduk tidak menunjukkan kecenderungan yang signifikan.
Sebagai faktor input, tingkat ketersediaan/aksesibilitas sarana kesehatan dan
pendidikan menunjukkan derajat kesehatan dan pendidikan penduduk. Dengan
184
kata lain, derajat kesehatan dan pendidikan penduduk di desa-desa stadia tinggi
lebih baik dibandingkan stadia rendah.
Tabel 50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
INDIKATOR Stadia I
Stadia II
Stadia III
Stadia IV Sig.
KESEJAHTERAAN
Kesehatan
Rasio bidan per 1000 penduduk 0.74 0.58 0.50 0.43 .000a
Rasio KK per posyandu 224.31 248.33 277.85 308.14 .002a
Persentase ketersediaan praktek dokter 9.26 11.76 22.73 30.43 .009b
Jarak terdekat ke Rumah Sakit (Km) 55.11 47.29 38.52 39.98 .002a
Jarak terdekat ke RS Bersalin (Km) 57.42 55.31 46.52 39.81 .009a
Jarak terdekat ke Poliklinik (Km) 49.36 47.50 41.56 28.68 .016a
Pendidikan
Rasio SD per 1000 penduduk 1.31 1.15 1.01 0.77 .000a
Rasio SMP per 1000 penduduk 0.32 0.37 0.31 0.31 .707a
% ketersediaan SLTA 14.81 39.22 36.36 60.87 .000b
% ketersediaan lembaga keterampilan 1.89 13.73 15.00 26.67 .005b
Kualitas Perumahan
Persentase Rumah Permanen 8.18 25.63 58.07 76.20 .000a
Pendapatan
Persentase rumah tangga miskin 6.41 8.45 6.21 3.77 .140a
Keamanan
Rasio hansip per 1000 penduduk 5.98 6.41 6.90 8.59 .014a
AKTIVITAS PERTANIAN
% Keluarga Pertanian 85.85 88.92 86.61 85.98 .993a
Persentase Lahan Pertanian 83.53 87.31 86.01 90.27 .041a
AKTIVITAS NON-PERTANIAN
Rasio Industri Pertanian per 1000 Penduduk 1.10 2.29 1.97 3.15 .000a
Rasio Industri Non-pertanian per 1000 Penduduk 2.38 2.66 3.78 4.84 .001a
Rasio Perdagangan per 1000 Penduduk 20.39 21.05 23.56 27.84 .002a
Rasio Jasa per 1000 Penduduk 12.85 12.92 13.55 16.74 .150a
Sumber : PODES 2008 dan Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: a) Uji Linearitas ANOVA b) Uji Linearitas Chi-Square
185
Dari sisi kualitas perumahan terlihat bahwa terdapat kecenderungan
peningkatan persentase rumah permanen bersamaan dengan peningkatan stadia.
Ini berarti bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki
kualitas perumahan yang lebih baik dibandingkan desa-desa stadia yang rendah.
Dari sisi pendapatan yang dicerminkan oleh persentase rumah tangga miskin
terlihat bahwa desa-desa stadia tertinggi (stadia IV) memiliki persentase rumah
tangga miskin yang lebih kecil dibandingkan desa stadia di bawahnya. Meskipun
demikian, pola linearitasnya tidak signifikan terutama terlihat antara desa stadia I
sampai stadia III.
Selanjutnya untuk indikator keamanan, terlihat bahwa rasio Hansip per 1000
penduduk cenderung mengalami peningkatan. Ketersediaan Hansip sebagai
tenaga pengamanan umumnya berasal dari swadaya masyarakat. Ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian masyarakat akan kebutuhan keamanan semakin tinggi
bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu juga, ketersediaan tenaga hansip
ini juga sekaligus dapat menjadi gambaran dari kondisi modal sosial dalam
masyarakat.
Dalam hal indikator aktivitas pertanian, meskipun persentase keluarga
pertanian tidak menunjukkan pola linear yang signifikan, tetapi persentase lahan
pertanian cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini
menunjukkan juga bahwa aktivitas pertanian relatif tinggi pada stadia-stadia yang
lebih tinggi.
Untuk aktivitas non-pertanian dapat dikemukakan bahwa terlihat
kecenderungan peningkatan rasio industri pertanian dan industri non-pertanian,
perdagangan bersamaan dengan peningkatan stadia (meskipun rasio jasa
menunjukkan pola linear yang sama tetapi secara statistik tidak signifikan). Ini
menunjukkan bahwa desa-desa dengan stadia yang lebih tinggi selain memiliki
aktivitas pertanian tinggi juga memiliki aktivitas non-pertanian yang semakin
tinggi. Dengan kata lain, untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan
masyarakat perdesaan, peningkatan aktivitas non-pertanian harus diikuti juga
dengan peningkatan aktivitas pertanian.
Hasil penelitian ini juga mempertegas pernyataan Rustiadi (2011) bahwa
struktur perekonomian perdesaan secara perlahan namun pasti akan terus bergeser
186
ke sektor-sektor hilir (sekunder dan tersier) dicirikan semakin dominannya
pekerja perdesaan yang pekerjaan utamanya di sektor off-farm dan semakin
banyaknya petani yang juga memiliki pekerjaan off-farm. Tetapi, meskipun terus
terjadi diversifikasi hulu-hilir, sistem ekonomi perdesaan akan tetap dicirikan oleh
sistem produksi atau industri yang berbasis sumber daya lokal (agribisnis dan
pengelolaan sumber daya alam).
Hasil ini juga menunjukkan bahwa meskipun asumsi awal menyatakan
bahwa perkembangan aktivitas non pertanian tumbuh sebagai akibat
berkembangnya aktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat,
tetapi proses ini juga dapat dilakukan arah yang berlawanan yaitu dengan
mendorong perkembangan aktivitas non-pertanian, yang diharapkan akan dapat
mendorong berkembangnya aktivitas pertanian, dan sekaligus pendapatan
masyarakat. Selain itu, berkembangnya aktivitas non-pertanian diharapkan juga
dapat menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian sehingga dapat
meningkatkan produktivitas per tenaga kerja di bidang pertanian yang pada tahap
selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk. Senada dengan hal tersebut,
Utomo (2005) mengemukakan agar kawasan transmigrasi mampu berkembang
dengan baik serta sekaligus mampu memacu pertumbuhan wilayah, selain
meningkatkan produktivitas pertanian juga perlu dikembangkan pusat-pusat
agroindustri/industri perdesaan.
Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam kerangka penciptaan kesempatan
kerja dan menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan kondisi
yang diperlukan (necessary condition) untuk terjadinya pembangunan ekonomi.
Menurut Freshwater (2000) pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak akan
mungkin tanpa tersedianya peluang kerja yang memadai. Derajat kohesi sosial
masyarakat mungkin meningkat. Mereka mungkin dapat meningkatkan kualitas
lingkungan lokalnya dan mereka mungkin mampu mengembangkan infrastruktur
fisik dan tingkat sumber daya manusianya, tetapi jika tidak terdapat peluang kerja,
maka masyarakat tidak akan mampu bertahan. Dalam jangka pendek, transfer
payment dari pemerintah kepada pendapatan masyarakat akan dapat membantu
keberadaan ekonomi lokal, tetapi tanpa adanya basis ekonomi yang kuat dalam
187
penciptaan pendapatan masyarakat, maka pembangunan jangka panjang tidak
akan dapat tercapai.
Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini Rondinelli (1985)
mengemukakan bahwa daerah perdesaan tidak dapat mereplikasi ekonomi
perkotaan karena diperlukan konsentrasi penduduk untuk menjustifikasi produksi
berbagai macam barang dan jasa untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat
perdesaan. Yang justru disarankan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
perdesaan yang berkelanjutan adalah spesialisasi pada komoditas-komoditas
unggulan di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Spesialisasi
akan meningkatkan kemampuan kompetitif, namun ini baru bermanfaat apabila
ada aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, daerah perdesaan harus meningkatkan
konektivitas dengan jaringan pasar untuk memperoleh manfaat dari spesialisasi.
Selanjutnya, jika dilihat lebih jauh dari berbagai aktivitas non-pertanian
yang berkembang pada masing-masing stadia dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
Industri Pertanian
Secara umum, industri pertanian yang berkembang di desa-desa eks
transmigrasi dapat dikelompokkan atas kategori hulu dan hilir. Industri hulu
pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan
makanan sedangkan industri hilir pertanian adalah industri yang bersifat
mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi.
Kelompok industri hulu ini terdiri dari antara lain penggilingan padi dan
penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya,
pembuatan berbagai macam tepung dari padi-padian/biji-bijian/kacang-
kacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani.
Sedangkan kelompok industri hilir terdiri dari antara lain pembuatan tempe dan
tahu, pembuatan makanan dari kedele dan kacang-kacangan selain kecap, tempe
dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan sejenisnya dari ubi dan pisang,
pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayur-sayuran seperti asinan buah-
buahan dan selai pisang.
Secara keseluruhan, berdasarkan rata-rata unit usaha industri di desa terlihat
bahwa industri makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian lebih dominan
188
dibandingkan industri pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan/industri.
Rata-rata unit industri per desa pada industri makanan jadi sebesar 4,08
sedangkan pada industri pengolahan untuk bahan makanan/industri sebesar 1,62.
Berdasarkan stadia desa terlihat bahwa semakin tinggi stadia desa maka
semakin banyak rata-rata unit usaha industri makanan jadi di desa. Sebaliknya
industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri mengalami peningkatan
sampai stadia III, dan menurun pada stadia IV. Pola ini juga berlaku sama jika
dilihat berdasarkan proporsi industrinya (Tabel 52).
Meningkatnya pendapatan menyebabkan meningkatnya daya beli
masyarakat terhadap produk-produk makanan jadi yang mendorong tumbuhnya
berbagai industri makanan di desa tersebut. Sebaliknya pada pendapatan
masyarakat yang masih rendah, kebutuhan makanan dihasilkan sendiri dalam
rumah tangga, dan kelebihan produksi pertanian diolah menjadi produk bahan
makanan (seperti tepung) yang dijual di luar desa. Berdasarkan hal tersebut,
dalam kasus desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi terlihat bahwa
pendapatan masyarakat yang sudah relatif tinggi pada desa-desa stadia IV
cenderung lebih mendorong pertumbuhan industri makanan jadi, sehingga
mengurangi dominasi industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri.
Tabel 51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Uraian Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV
Unit Usaha per Desa Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri
1.06 1.78 2.75 0.43 1.62
Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian
1.28 3.06 4.95 11.26 4.08
Rata-Rata Unit Usaha 2.33 4.84 7.70 11.70 5.70
Jumlah Jenis Industri 12 20 21 13 26 Rata-Rata TK 2.17 2.26 2.32 2.56 2.34
Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Dari ragam jenis industri dan rata-rata tenaga kerja terlihat bahwa sampai
sampai stadia III ragam industri mengalami peningkatan, tetapi pada stadia IV
mengalami penurunan. Sebaliknya dari skala usaha (dilihat dari rata-rata tenaga
189
kerja per unit usaha) mengalami peningkatan sampai stadia IV. Ini menunjukkan
bahwa pada stadia IV industri-industri pertanian yang ada cenderung lebih
terkonsentrasi pada jenis-jenis industri pertanian tertentu dan skala usaha yang
semakin besar.
Tabel 52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Kelompok industri Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV
Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri 18.01 37.93 39.46 4.60 100.00 Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian 7.92 24.05 26.17 41.87 100.00
Rata-Rata Persentase 10.64 27.79 29.75 31.82 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Industri Non-Pertanian
Terdapat berbagai jenis industri non-pertanian yang berkembang di desa-
desa eks transmigrasi. Industri-industri tersebut adalah pengolahan tanah liat
(seperti pembuatan genteng dan batu bata), barang-barang dari kayu, rotan, bambu
dan sejenisnya (seperti moulding dan komponen bahan bangunan, penggergajian
kayu, anyaman dari bambu), furnitur, industri barang-barang dari logam lainnya
(seperti cangkul, sabit, pisau, parang/golok), industri barang-barang dari semen,
kapur dan batu (seperti genteng semen, tiang teras, patung, pot kembang), barang-
barang dari logam siap pasang (seperti teralis, pagar), industri percetakan (seperti
percetakan undangan, sablon, spanduk, fotokopi).
Dari berbagai kelompok industri ini, terdapat tiga kategori industri non-
pertanian dengan dominasi tertinggi di desa-desa eks transmigrasi yaitu industri
pengolahan tanah liat, furnitur dan barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan
sejenisnya. Ketiga kelompok industri ini pada dasarnya tidak hanya mencirikan
industri non-pertanian yang berkembang di desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga
daerah perdesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan ketersediaan bahan baku
untuk ketiga kategori industri ini yang relatif banyak tersedia di daerah perdesaan.
Dengan kata lain juga dapat dikemukakan bahwa pengembangan ketiga kelompok
190
industri non-pertanian ini dapat dijadikan dasar dalam pengembangan aktivitas
industri non-pertanian di perdesaan.
Berdasarkan rata-rata unit usaha industri per desa, dapat dikemukakan
bahwa semakin tinggi stadia semakin banyak jumlah unit usaha di desa. Hal ini
terlihat pada semua jenis industri non-pertanian yang berkembang di desa eks
transmigrasi.
Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsi menurut stadia desa,
penelitian ini membagi industri non-pertanian (termasuk juga perdagangan dan
jasa lainnya yang dibahas pada bagian berikutnya) atas tiga pola. Pola pertama
adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia I
atau II dan selanjutnya menurun pada stadia III dan IV. Pola kedua adalah industri
non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia III dan menurun
pada stadia IV. Pola ketiga adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang
berkembang sampai stadia IV.
Mengacu pada pengelompokan pola ini maka dapat dikemukakan bahwa
untuk jenis usaha industri non-pertanian kecenderungan yang ada hanya pada pola
kedua dan ketiga. Pada pola kedua terdiri dari industri pengolahan tanah liat,
barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang
logam lainnya, sedangkan pola ketiga terdiri dari barang-barang dari semen, kapur
dan batu, barang-barang logam siap pasang dan industri percetakan. Berdasarkan
produk yang dihasilkan pada kelompok industri tersebut, terlihat bergesernya
kebutuhan masyarakat mengikuti peningkatan stadia. Pada stadia tinggi dengan
kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi, kebutuhan barang-barang sekunder
dan tersier semakin meningkat (seperti pagar dan teralis untuk memperindah
rumah, percetakan dan sablon). Sebaliknya pada stadia rendah dengan
kesejahteraan masyarakat yang lebih rendah, kebutuhan primer masih dominan
(seperti untuk membangun rumah yang membutuhkan batu bata dan genteng dari
tanah liat, kunsen, kerangka kayu, cangkul, parang dan lainnya untuk alat
pertanian).
Pergeseran kebutuhan ini mendorong tumbuhnya jenis industri yang
berbeda bersamaan dengan peningkatan stadia. Industri-industri yang
191
menghasilkan kebutuhan barang-barang sekunder dan tersier semakin meningkat
pada stadia-stadia yang lebih tinggi.
Tabel 53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Uraian Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Pengolahan Tanah Liat 1.33 2.65 6.02 7.43 3.74
Furnitur 1.07 1.61 3.43 6.30 2.53
Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu 0.74 0.90 1.32 2.35 1.15
Barang-barang dari logam lainnya 0.44 0.49 0.82 1.35 0.67
Barang-Barang dari Semen,Kapur dan Batu 0.13 0.20 0.41 1.17 0.36
Barang-barang logam siap pasang 0.04 0.14 0.30 0.65 0.22
Percetakan 0.02 0.02 0.16 0.78 0.16
Industri Lainnya 0.39 0.16 0.11 0.48 0.26
Rata-Rata Unit Usaha 4.13 6.14 12.55 20.52 9.09
Jumlah Jenis Industri 26 26 32 35 56
Rata-Rata TK 1.88 2.41 2.57 3.33 2.68 Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Tabel 54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Kelompok Industri Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV
Pola 2
Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu 20.20 23.23 29.29 27.27 100.00
Barang-barang dari logam lainnya 20.69 21.55 31.03 26.72 100.00
Furnitur 13.30 18.81 34.63 33.26 100.00
Pengolahan Tanah Liat 11.20 21.00 41.21 26.59 100.00
Pola 3
Barang-barang logam siap pasang 5.41 18.92 35.14 40.54 100.00
Barang-Barang dari Semen, Kapur, Batu 11.29 16.13 29.03 43.55 100.00
Percetakan 3.70 3.70 25.93 66.67 100.00
Rata-Rata Persentase 14.26 20.01 35.29 30.18 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk industri lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi
192
Perdagangan
Berdasarkan rata-rata unit usaha perdagangan yang ada, terlihat bahwa dua
jenis usaha perdagangan utama di desa-desa eks transmigrasi adalah perdagangan
makanan, minuman, tembakau dan hasil pertanian. Rata-rata unit usaha kedua
jenis usaha perdagangan ini menunjukkan peningkatan bersamaan dengan
peningkatan stadia. Jenis-jenis usaha perdagangan lainnya meskipun dengan
jumlah unit usaha yang relatif kecil juga menunjukkan peningkatan bersamaan
dengan peningkatan stadia.
Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsinya, terdapat tiga pola
(kelompok) jenis usaha perdagangan ini. Kelompok pertama adalah usaha
perdagangan yang berkembang pada stadia I kemudian mengalami penurunan
pada stadia-stadia berikutnya. Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan
yang meningkat sampai stadia III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga
adalah unit usaha perdagangan yang terus mengalami peningkatan sampai stadia
IV.
Kelompok pertama adalah perdagangan alat dan bahan pertanian. Kelompok
kedua terdiri dari perdagangan makanan, minuman dan tembakau, hasil pertanian,
bahan bakar, alat rumah tangga dan bahan bangunan. Kelompok ketiga terdiri dari
perdagangan tekstil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya, alat
transportasi dan suku cadang, alat elektronik dan listrik, alat tulis menulis dan
hasil percetakan.
Sebagaimana halnya pada industri, pergeseran dominasi jenis usaha
perdagangan yang terjadi berdasarkan stadia desa ini juga pada dasarnya
mencerminkan pergeseran dalam hal kebutuhan masyarakat dari kebutuhan-
kebutuhan primer ke arah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini
terlihat dari pergeseran dominasi jenis usaha dari perdagangan makanan,
minuman, hasil pertanian serta alat dan bahan pertanian ke perdagangan pakaian,
alat transportasi, alat elektronik, alat tulis menulis dan hasil pencetakan. Dari
ragam jenis perdagangan dan skala usaha terlihat juga mengalami peningkatan
bersamaan dengan peningkatan stadia.
193
Tabel 55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Uraian Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Makanan,minuman dan tembakau 24.20 31.79 47.20 62.99 37.45 Hasil pertanian 4.60 8.86 14.46 19.94 10.44 Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya 1.50 2.02 5.15 11.93 4.01 Bahan bakar 1.61 2.00 2.84 3.24 2.25 Bahan bangunan 0.48 0.68 1.79 4.52 1.43 Alat transportasi dan suku cadang 0.48 0.75 1.79 4.36 1.43 Alat rumah tangga 0.70 0.94 1.77 2.76 1.32 Alat dan bahan pertanian 0.81 0.58 0.90 1.36 0.83 Alat elektronik dan listrik 0.29 0.40 1.07 3.00 0.90 Alat tulis menulis dan hasil pencetakan 0.18 0.25 0.49 1.60 0.48 Perdagangan lainnya 0.53 0.30 0.74 2.32 0.76
Rata-Rata Unit Usaha 35.37 48.57 78.20 118.04 61.30 Jumlah Jenis Perdagangan 60 66 74 88 102
Rata-Rata TK 2.13 2.05 2.35 2.48 2.23 Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Tabel 56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Kelompok Industri Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV
Pola 1 Alat dan bahan pertanian 30.32 20.78 27.46 21.83 100.00
Pola 2 Makanan,minuman dan tembakau 20.29 25.17 32.24 22.49 100.00
Bahan bakar 22.48 26.33 32.31 19.27 100.00 Alat rumah tangga 16.53 21.16 34.24 27.97 100.00 Hasil pertanian 13.82 25.17 35.43 25.54 100.00 Pola 3
Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya 11.74 14.90 32.81 39.75 100.00 Alat transportasi dan suku cadang 10.47 15.67 32.09 40.89 100.00 Bahan bangunan 10.47 14.10 32.09 42.39 100.00 Alat elektronik dan listrik 10.27 13.11 30.69 44.84 100.00 Alat tulis menulis dan hasil pencetakan 12.08 15.27 26.47 45.01 100.00
Rata-Rata Persentase Perdagangan 18.12 23.49 32.64 25.75 100.00 Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk perdagangan lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi
194
Jasa Lainnya
Berdasarkan rata-rata unit usaha jasa lainnya yang ada, terlihat bahwa dua
jenis usaha jasa utama di desa-desa eks transmigrasi adalah penyediaan makanan-
minuman dalam bentuk kedai/warung/restoran serta pemeliharaan dan reperasi
sepeda motor dan mobil. Kedua kelompok usaha jasa ini bersamaan dengan jenis-
jenis usaha jasa lainnya cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan
stadia.
Selanjutnya berdasarkan proporsinya, terdapat tiga kelompok (pola) jenis
usaha jasa ini. Kelompok pertama adalah usaha jasa yang meningkat sampai
stadia II dan kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan stadia IV.
Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan yang meningkat sampai stadia
III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga adalah unit usaha perdagangan
yang terus mengalami peningkatan sampai stadia IV.
Kelompok pertama terdiri dari persewaan mesin/peralatan pertanian dan
angkutan umum. Penurunan persewaan mesin/peralatan pertanian mulai pada
stadia III terkait dengan karakteristik komoditi tanaman utama pada masing-
masing stadia. Persewaan mesin pertanian dalam hal ini terutama adalah mesin
perontok padi dan hal tersebut secara umum menjadi kebutuhan utama pada desa-
desa stadia I dan II (yang sebagian besar memiliki komoditi tanaman pangan –
padi. Lihat Tabel 61). Sedangkan penurunan jasa angkutan umum diduga karena
semakin meningkatnya kesejahteraan menyebabkan meningkatnya kemampuan
masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Selanjutnya kelompok kedua
adalah penyediaan akomodasi makanan pada warung/restoran makanan/minuman.
Kelompok ketiga terdiri dari pemeliharaan/reparasi sepeda motor/mobil,
penjahiran, kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan,
komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan, salon kecantikan dan
pangkas rambut, sewa perumahan dan penginapan.
Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam dominasi usaha jasa ini pada
dasarnya juga mencerminkan pergeseran kebutuhan masyarakat dari kebutuhan-
kebutuhan primer ke kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Jasa
pemeliharaan dan reparasi sepeda motor dan mobil, jasa penjahitan, jasa
kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga/musik dan hiburan, jasa
195
komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan salon kecantikan dan
pangkas rambut serta sewa perumahan dan penginapan meningkat bersamaan
peningkatan stadia. Sebaliknya jasa angkutan umum mengalami peneningkatan
sampai stadia II kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan IV.
Penurunan jasa angkutan umum ini disebabkan semakin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat menyebabkan meningkatnya kepemilikan kendaraan
pribadi sehingga kebutuhan akan kendaraan umum mengalami penurunan.
Hal yang sama terlihat pada jasa persewaaan mesin pertanian dan
peralatannya di mana sampai stadia II terjadi peningkatan tetapi pada stadia III
dan IV menunjukkan penurunan. Dari ragam jenis usaha jasa dan rata-rata tenaga
kerja terlihat bahwa ragam jasa dan skala usaha mengalami peningkatan
bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini menunjukkan bahwa bersamaan dengan
peningkatan stadia, selain berkembangnya berbagai jenis usaha jasa, skala usaha
dari jasa yang ada juga semakin lebih besar.
Tabel 57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Uraian Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV Unit Usaha per Desa Warung/Restoran Makanan/ Minuman 7.4 9.5 15.1 23.2 12.1 Pemeliharaan/reparasi sepeda motor/ mobil 3.9 5.4 8.3 13.6 6.8 Angkutan Umum 4.0 5.8 4.7 6.8 5.0 Penjahitan 1.9 2.7 4.1 8.5 3.6 Kesehatan dan Kebugaran 0.9 1.3 2.0 3.8 1.7 Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan 0.7 1.0 2.3 3.6 1.6 Komunikasi dan telekomunikasi 0.4 0.7 1.6 2.6 1.1 Perantara Keuangan 0.5 0.8 1.3 2.3 1.1 Salon kecantikan dan pangkas rambut 0.4 0.5 1.2 2.2 0.9 Persewaan mesin/peralatan pertanian 0.1 1.1 0.4 0.0 0.4 Sewa Perumahan dan Penginapan 0.1 0.1 0.5 1.0 0.4 Jasa Lain-Lain 2.0 0.9 3.5 3.3 2.2
Rata-Rata Unit Usaha 22.3 29.8 45.0 71.0 36.8
Jumlah Jenis Jasa Lainnya 59 63 74 78 105 Rata-Rata TK 2.42 3.06 3.27 3.79 3.39
Sumber : Sensus Ekonomi 2006
196
Tabel 58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
Kelompok jasa Stadia Desa Rata-
Rata I II III IV Pola 1
Angkutan Umum 25.40 34.25 24.24 18.26 100.00 Persewaan mesin/peralatan pertanian 5.55 76.40 23.08 1.49 100.00 Pola 2
Warung/Restoran Makanan/Minuman 19.17 23.23 31.87 25.71 100.00 Pola 3
Kesehatan dan Kebugaran 17.31 21.81 29.53 30.48 100.00 Perantara Keuangan 15.54 23.50 28.88 31.34 100.00 Pemeliharaan/reparasi sepeda motor mobil 18.07 23.47 26.76 31.45 100.00 Penjahitan 16.09 21.94 29.17 31.50 100.00 Salon kecantikan dan pangkas rambut 13.75 17.55 33.32 33.45 100.00 Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan 12.82 19.13 30.26 36.46 100.00 Komunikasi dan telekomunikasi 11.17 19.51 31.29 36.47 100.00 Sewa Perumahan dan Penginapan 9.32 11.75 35.82 39.55 100.00 Rata-Rata Persentase Jasa 19.00 23.99 31.23 25.77 100.00
Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk jasa lain-lain karena polanya tidak dapat diklasifikasi
6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi 6.5.1 Deskripsi Peubah
Lama penempatan transmigran (usia desa sejak awal penempatan
transmigran) menunjukkan pola yang linear terhadap pencapaian stadia desa.
Lama penempatan terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap
kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk
peningkatan kesejahteraan.
Tabel 59 memperlihatkan bahwa desa-desa transmigrasi baru mencapai
stadia III dan IV dalam kisaran 30 tahun setelah penempatan. Dikaitkan dengan
kondisi stadia desa yang sebagian besar tertahan pada stadia I dan II (Tabel 44)
terlihat bahwa perkembangan desa-desa transmigrasi relatif lambat.
Terdapat dua faktor yang diperkirakan menjadi penyebab lambatnya
perkembangan desa-desa transmigrasi ini. Pertama, kondisi lahan awal
penempatan transmigrasi yang kurang mendukung/tidak layak, menyebabkan
lambatnya desa-desa transmigrasi untuk mencapai stadia marketable surplus atau
memenuhi kriteria desa definitif.
197
Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 47,80 persen permukiman
transmigrasi di Provinsi Jambi yang mampu menjadi desa definitif dalam kurun
waktu 5 – 6 tahun sesuai dengan target yang dicanangkan dalam pembangunan
transmigrasi. Sebagian besar lainnya baru mampu mencapai desa definitif setelah
7 – 11 tahun. Kedua, tidak terdapatnya pembinaan lanjutan pada desa-desa eks
transmigrasi setelah masa pembinaan. Desa-desa eks transmigrasi berkembang
secara sendirinya tanpa adanya intervensi yang terpola baik dari pemerintah
maupun pihak swasta dalam mengarahkan perkembangan desa-desa tersebut.
Sebagaimana halnya dengan lama penempatan, jarak desa ke ibukota
kabupaten (sebagai pusat pertumbuhan kegiatan) juga memiliki pola yang linear
dengan capaian stadia. Desa stadia tinggi memiliki jarak yang relatif dekat ibukota
kabupaten dibandingkan desa stadia rendah.
Tabel 59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan
Uraian Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Rata-rata
Lama penempatan (tahun) 21.76 25.73 29.66 31.57 26.27
Rata-rata jarak desa ke ibukota kabupaten (km) 103.74 69.37 53.66 45.09 72.90
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Kondisi infrastruktur jalan desa juga menunjang pencapaian stadia yang
lebih tinggi. Hanya 1,56 persen desa permukaan jalan tanah yang mencapai stadia
IV, sebaliknya 13,11 persen desa permukaan jalan perkerasan dan 29,79 persen
desa jalan aspal yang mampu mencapai stadia IV.
Tabel 60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan
Permukaan Jalan Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah Aspal 9 8 16 14 47
(19.15) (17.02) (34.04) (29.79) (100.00) Perkerasan 15 19 19 8 61
(24.59) (31.15) (31.15) (13.11) (100.00)
Tanah 30 24 9 1 64
(46.88) (37.50) (14.06) (1.56) (100.00)
Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)
Sumber : PODES 2008.
198
Selanjutnya berdasarkan komoditi tanaman utama yang dikembangkan,
terlihat bahwa komoditi perkebunan lebih memberikan kesejahteraan pada
transmigran dibandingkan komoditi tanaman pangan. Tidak terdapat desa-desa
eks transmigrasi dengan komoditi tanaman pangan yang berada pada stadia IV,
sebaliknya terdapat 15,13 desa eks transmigrasi dengan komoditi tanaman
perkebunan yang berada pada stadia tersebut. Desa eks transmigrasi komoditi
tanaman pangan yang mencapai stadia III juga hanya 20,00 persen sedangkan
pada tanaman perkebunan mencapai 26,32 persen.
Dirinci lebih jauh untuk tanaman perkebunan, dapat dikemukakan bahwa
stadia desa tanaman karet lebih baik dibandingkan tanaman kelapa sawit. Hal ini
disebabkan desa-desa eks transmigrasi perkebunan kelapa sawit relatif baru dari
sisi lama penempatannya dibandingkan dengan desa-desa eks transmigrasi
perkebunan karet.
Relatif rendahnya perkembangan desa-desa eks transmigrasi dengan
komoditi tanaman pangan pada dasarnya mendukung hasil penelitian yang
ditemukan Haryati et al. (2006). Dalam penelitiannya di enam lokasi transmigrasi
yang telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan, ditemukan bahwa khususnya
pada kawasan transmigrasi yang dikembangkan dengan berbasis komoditas
tanaman pangan, pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan kawasan yang
berbasis komoditas perkebunan. Kawasan Pasir Pangarayan (Provinsi Riau) dan
kawasan Padang Jaya (Provinsi Bengkulu), berkembang secara nyata justru ketiga
di kawasan tersebut terdapat investasi perkebunan, utamanya perkebunan kelapa
sawit dan karet. Pada awalnya, kedua kawasan tersebut dikembangkan dengan
komoditas tanaman pangan (padi dan palawija).
Hal yang senada juga dikemukakan Subroto et al. (2005), diacu dalam
Soegiharto (2008) yang disarikannya dari berbagai hasil penelitian menemukan di
kawasan transmigrasi Batumarta yang dibangun diantara Kota Baturaja dan
Martapura Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa Batumarta yang
awalnya dibangun dengan konsep usaha tanaman pangan di lahan kering (tanpa
irigasi) yang kemudian dipadukan dengan pemeliharaan ternak sapi, pada
pelaksanaannya berubah. Ternyata usaha tanaman pangan tidak memberi hasil.
Usaha pangan memerlukan banyak input dan tenaga kerja serta resiko
199
kegagalannya terlalu besar bagi keluarga transmigran. Demikian juga dengan
memelihara sapi, yang memerlukan tenaga laki-laki (anak laki-laki atau kepala
keluarga) untuk mencari pakan dan memberi makan di kandang. Pembinaan yang
cukup baik dari PTP X untuk pengusahaan perkebunan rakyat tanaman karet
memberikan hasil yang signfikan terhadap produksi karet. Akhirnya usaha pangan
dan peternakan ditinggalkan, dan transmigran berfokus pada berkebun tanaman
karet yang lebih menjanjikan dalam hal pendapatan.
Persoalan lain dalam produksi pertanian tanaman pangan ini adalah terkait
dengan pemasaran kelebihan hasil produksi. Pada saat panen raya, melimpahnya
hasil produksi tanpa adanya dukungan industri pengolahan yang memadai
menyebabkan harga jual menjadi turun.
Tabel 61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa
Komoditi Tanaman Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah
Pangan 9 7 4 0 20 (45.00) (35.00) (20.00) (0.00) (100.00)
Perkebunan 45 44 40 23 152
(29.61) (28.95) (26.32) (15.13) (100.00)
Karet 7 13 15 11 46 (15.22) (28.26) (32.61) (23.91) (100.00)
Kelapa Sawit 38 31 25 12 106 (35.85) (29.25) (23.58) (11.32) (100.00)
Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)
Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010
Dari dominasi daerah asal menunjukkan bahwa desa dengan dominasi asal
Jambi (transmigran lokal) relatif memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan
desa dengan dominasi daerah asal Pulau Jawa. Desa-desa dengan dominasi daerah
asal Jambi hanya mampu mencapai stadia III, dan sebagian besar (70,45 persen)
tertahan pada stadia I. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang
dilakukan Safrial (2004) pada pada 6 desa dalam 3 kabupaten penerima proyek
transmigrasi Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans) dengan komoditas
kelapa sawit di Provinsi Jambi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
transmigran lokal memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan
200
transmigran non-lokal. Hal tersebut terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan,
etos kerja dan kekosmopolitanan.
Selanjutnya jika dilihat secara terperinci pada daerah asal Pulau Jawa
terlihat bahwa desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung
memiliki tingkat capaian stadia tinggi yang lebih baik sedangkan desa-desa
dominasi daerah asal Jawa Barat cenderung memiliki kinerja yang relatif rendah.
22,34 persen desa dominasi asal Jawa Tengah berada pada Stadia IV sedangkan
untuk untuk desa-desa dominasi daerah asal Jawa Barat hanya 5,00 persen.
Rendahnya kinerja transmigran asal Jawa Barat ini juga mendukung
pernyataan Soewardi (2001) yang menyatakan bahwa karsa (etos kerja) orang
Sunda relatif lemah. Kelemahkarsaan orang Sunda sangat menonjol pada sifat
cepat menyerah. Selain cepat menyerah, orang Sunda juga sering dikatakan
sebagai tidak disiplin, gampang melanggar aturan, cepat bosan dan cepat
meninggalkan pekerjaan. Karena itu, kinerja orang Sunda di daerah transmigrasi
terbilang buruk.
Tabel 62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa
Daerah Asal Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah
Jawa Tengah 17 23 33 21 94
(18.09) (24.47) (35.11) (22.34) (100.00)
Jawa Barat 3 11 5 1 20
(15.00) (55.00) (25.00) (5.00) (100.00)
Jawa Timur 3 7 3 1 14 (21.43) (50.00) (21.43) (7.14) (100.00)
Jambi 31 10 3 0 44 (70.45) (22.73) (6.82) (0.00) (100.00)
Jumlah 54 51 44 23 172 (31.40) (29.65) (25.58) (13.37) (100.00)
Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010
6.5.2 Model Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi
Model regresi ordinal logit untuk determinan stadia perkembangan desa-
desa eks transmigrasi diberikan sebagai berikut:
eXXXXXXXXXXX
DDDDDD
DDDDDDDDj
77663.53.52.52.51.51.5
442.32.31.31.32.22.21.21.211)ln(
201
di mana:
j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi
j1 0 = stadia IV; 1 = stadia I
j2 0 = stadia IV; 1 = stadia II
j3 0 = stadia IV; 1 = stadia III
Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j))
α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model
e = error term
X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten
X2 = Permukaan jalan antar desa terluas
X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah
X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan
X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran
X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan
X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit
X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun)
X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan)
X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10
tahun terakhir)
X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada
kabupaten penempatan transmigrasi
1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0
5.D1, 5.D2, 5.D3 0
4, 6, 7 > 0
Uji Multikolinearitas
Uji asumsi klasik (normalitas, heterokedastistas dan autokorelasi) dalam
regresi metode OLS tidak dibutuhkan dalam regresi logistik. Meskipun demikian,
uji multikolinearitas antarpeubah bebas tetap diperlukan untuk menghindari bias
dalam estimasi koefisien.
202
Uji multikolinearitas antar peubah bebas dari model dengan menggunakan
korelasi diberikan pada Lampiran 9. Dari Lampiran 9 terlihat bahwa nilai korelasi
peubah bebas relatif rendah (di bawah 0,85 (Widarjono 2009)). Dengan kata lain,
tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model.
Uji Overall Model Fit
Uji statistik untuk mengetahui apakah semua peubah bebas di dalam regresi
logistik secara serentak mempengaruhi peubah terikat sebagaimana uji F dalam
regresi linear didasarkan pada nilai statistik -2LL (-2Log Likelihood) atau nilai
LR. Uji serentak model logistik dihitung dari perbedaan nilai -2LL antara model
dengan hanya terdiri dari konstanta (intercept) dan model yang diestimasi yang
terdiri dari konstanta dan peubah bebas.
Hasil uji overall model fit dapat dilihat pada Tabel 63 berikut:
Tabel 63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi
Model -2 Log Likelihood Chi-Square df Sig.
Hanya Konstanta 458.897
Konstanta dan Model 326.717 132.180 11 .000
Dari Tabel 63 memperlihatkan bahwa model hanya dengan konstanta
menghasilkan nilai -2LL sebesar 458,897, sedangkan jika peubah bebas X1 – X7
dimasukkan maka nilai -2LL turun menjadi 326,717 dan penurunan ini signifikan
pada 0,00 yang berarti model dengan peubah bebas lebih baik dibandingkan
model dengan konstanta saja. Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa
secara bersama-sama peubah bebas mempengaruhi peubah terikat.
Estimasi Parameter dan Uji Parsial Model
Uji parsial dalam model logit (uji parsial koefisien regresi) menggunakan uji
statistika Wald, yang mengikuti distribusi Chi Square (χ2). Estimasi parameter
regresi model diberikan pada Tabel 64 berikut:
203
Tabel 64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi
Peubah Estimasi Std. Error Wald df Sig. Exp(B) Keterangan Peubah
J1 1.001 1.771 0.320 1 0.572 2.721 Stadia I
J2 3.244 1.806 3.227 1 0.072 25.639 Stadia II
J3 5.513 1.831 9.067 1 0.003 247.891 Stadia III
X1 -0.018 0.006 9.927 1 0.002 0.983 Jarak Desa
X2.D1 -1.127 0.473 5.683 1 0.017 0.324 Jalan Tanah
X2.D2 -1.380 0.412 11.239 1 0.001 0.252 Jalan Perkerasan
X3.D1 -1.933 0.682 8.043 1 0.005 0.145 Komoditi Pangan
X3.D2 -0.023 0.418 0.003 1 0.956 0.977 Komoditi Sawit
X4 0.108 0.041 6.982 1 0.008 1.114 Lama penempatan
X5.D1 1.404 0.611 5.278 1 0.022 4.070 Dominasi asal Jateng
X5.D2 0.637 0.680 0.880 1 0.348 1.892 Dominasi asal Jabar
X5.D3 -0.169 0.793 0.045 1 0.831 0.844 Dominasi asal Jatim
X6 -0.096 0.220 0.192 1 0.661 0.908 Pert.ekonomi
X7 1.308 0.486 7.259 1 0.007 3.700 Rasio usaha
Jarak desa ke ibukota kabupaten menunjukkan pengaruh yang negatif
terhadap perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin jauh jarak maka
akan semakin menurunkan probabilitas desa tersebut untuk mencapai
perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odd ratio dari Tabel 64 dapat
dikemukakan bahwa desa dengan jarak ke ibukota kabupaten 1 km lebih jauh dari
desa lainnya memiliki probabilitas 0,983 kali untuk mencapai stadia tertinggi
dibandingkan desa yang lebih dekat. Dengan kata lain, desa-desa yang berjarak
lebih jauh memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian stadia tertinggi.
Kondisi permukaan jalan yang menghubungkan desa memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pencapaian stadia tertinggi. Desa-desa yang memiliki
permukaan jalan tanah (X2.D1) memiliki probabilitas 0,324 kali sedangkan desa-
desa dengan permukaan jalan perkerasan (X2.D2) memiliki probabilitas 0,252 kali
untuk mencapai stadia tertinggi jika dibandingkan dengan desa-desa dengan
permukaan jalan aspal (referensi). Dengan kata lain, desa dengan permukaan jalan
tanah dan perkerasan memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian
stadia tertinggi dibandingkan desa dengan permukaan jalan aspal.
Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi dengan tingkat keterkaitan yang
kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum digambarkan oleh
204
jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi
menuju lokasi desa memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai
stadia/kinerja tinggi. Sebagaimana yang dikemukakan Priyono et al. (2002),
berkembangnya lokasi permukiman transmigrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi
prasarana jalan dan jarak ke pusat-pusat perekonomian baik di ibukota kecamatan,
kabupaten maupun provinsi. Apabila kondisi jalan baik akan sangat membantu
dalam pemasaran hasil-hasil produksi lokasi transmigrasi dan menekan tingginya
harga kebutuhan masyarakat, sehingga kawasan akan lebih cepat berkembang.
Selanjutnya, tidak terdapat perbedaan peluang untuk mencapai stadia
tertinggi antara desa dengan komoditi tanaman utama karet (X3.D2) dengan
komoditi tanaman utama kelapa sawit (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak
signifikannya koefisien dalam model. Namun demikian, peluang tersebut berbeda
secara signifikan dengan desa komoditi tanaman pangan (X3.D1). Dari odds
rationya memperlihatkan bahwa peluang desa-desa dengan komoditi tanaman
pangan adalah 0,145 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa
dengan komoditi utama kelapa sawit. Dengan kata lain, peluang desa dengan
komoditi tanaman pangan untuk mencapai stadia tertinggi lebih rendah
dibandingkan desa dengan komoditi kelapa sawit.
Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman
pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan
dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan
tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman pangan
juga relatif lebih rendah dibandingkan desa-desa dengan komoditi tanaman
perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan tingkat perawatan
sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta banyaknya lokasi desa-
desa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian desa-desa ini berada di
dataran rendah).
Lama penempatan transmigran (X4) berpengaruh signifikan positif terhadap
pencapaian stadia tertinggi. Desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki
peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Dengan mengamati
odds ratio dapat dikemukakan bahwa desa dengan penempatan lebih lama satu
205
tahun memiliki probabilitas 1,114 kali untuk mencapai stadia tertinggi
dibandingkan dengan desa dengan penempatan yang lebih baru.
Lama penempatan ini terkait dengan proses penyesuaian transmigran
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan
peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Semakin lama transmigran di lokasi,
maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya.
Tidak terdapat perbedaan peluang antara desa dengan dominasi daerah asal
Jawa Barat (X5.D2) dan Jawa Timur (X5.D3) dalam hal pencapaian stadia tertinggi
jika dibandingkan desa dengan dominasi daerah asal Jambi (referensi). Hal ini
ditunjukkan oleh tidak signifikannya koefisien kedua peubah tersebut. Namun
demikian, desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah (X5.D1) memiliki
peluang lebih tinggi 4,070 kali dibandingkan desa-desa dengan dominasi daerah
asal Jambi.
Selanjutnya dalam hal kinerja wilayah kabupaten, terlihat bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan dari pertumbuhan ekonomi (X6) terhadap
perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Sebaliknya rasio perusahaan/usaha per
1000 penduduk (X7) memperlihatkan pengaruh yang signifikan positif. Ini
menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan/usaha yang berkembang di
kabupaten lokasi desa eks transmigrasi akan meningkatkan peluang untuk
mencapai perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odds ratio dapat
dikemukakan bahwa kabupaten dengan rasio perusahaan/usaha per 1000
penduduk lebih banyak 1 satuan dibandingkan kabupaten lainnya, maka peluang
desa-desa eks transmigrasi di wilayahnya memiliki probabilitas 3,700 kali untuk
mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa-desa di kabupaten lainnya tersebut.
Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan
peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin
banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk
mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.
206
VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DENGAN
WILAYAH SEKITARNYA
7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian Berdasarkan perhitungan stadia desa-desa eks transmigrasi yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka ditetapkan enam sampel desa, yaitu masing-
masing satu sampel desa untuk stadia terendah dan tertinggi pada masing-masing
komoditi tanaman utama. Pengambilan sampel dilakukan dalam rangka
mendapatkan gambaran kondisi sosial-ekonomi penduduknya dan keterkaitan
desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya .
Desa sampel dan jumlah keluarga sampel diberikan pada Tabel 65 berikut:
Tabel 65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011
No Nama Desa/Kel
Kecamatan Kabupaten Komoditi Utama
Stadia Jumlah Keluarga
Jumlah Sampel
1 Mekar sari
Kumpeh Ilir
Muaro Jambi
Padi Rendah (I) 749 38
2 Bandar Jaya
Rantau Rasau
Tanjab Timur
Padi Tinggi (III)* 1048 52
3 Bukit Mas
Sungai Bahar
Muaro Jambi
Kelapa Sawit
Rendah (I) 384 19
4 Rasau Renah Pamenang
Merangin Kelapa Sawit
Tinggi (IV) 765 38
5 Sungkai Bajubang Batanghari Karet Rendah (I) 272 14
6 Rimbo Mulyo
Rimbo Bujang
Tebo Karet Tinggi (IV) 1660 83
Jumlah 4878 244 Keterangan: * = berdasarkan perhitungan stadia desa pada bab sebelumnya, stadia tertinggi untuk
desa komoditi tanaman pangan hanya mencapai stadia III
7.1.1 Desa Mekar Sari Desa Mekar Sari merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan yang ada
di Kecamatan Kumpeh Ilir Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Luas wilayah
Desa Mekar Sari adalah 23,2 km2 dengan batas-batas administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Betung
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pulau Mentaro dan Desa Puding
208
- Sebelah Barat berbatasan dengan Tangkit Baru (Kec.Kumpeh Ulu),
Pemunduran (Kec.Kumpeh Ulu) Teluk Raya (Kec. Kumpeh Ulu)
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rukam.
Lokasi penelitian Desa Mekar Sari diberikan pada Gambar 14 berikut:
Gambar 15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari.
Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 75 km dari ibukota
Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti) dan berjarak sekitar 45 km dari ibukota
Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya, berdasarkan sejarah ketransmigrasian-
nya, Desa Mekar Sari merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT)
Kumpeh yaitu Unit II Kumpeh. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini
adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 kepala
keluarga (KK) dengan 2693 jiwa. Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat
(54 KK), Jawa Tengah (70 KK), Jawa Timur (70 KK) dan APPDT (306 KK)
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di
Desa Mekar Sari adalah tanaman padi (Transmigrasi Umum Tanaman Pangan).
Namun demikian, pada saat ini sebagian sudah beralih fungsi ke tanaman-
tanaman perkebunan seperti karet, sawit dan cokelat. Penyebab utamanya selain
Mekar Sari
TANJABTIM
209
karena harga produk pertanian (padi) yang tidak memadai, desa ini setiap tahun
selalu dilanda banjir sehingga penduduk tidak dapat melakukan aktivitas
bertanam. Pada saat penelitian dilakukan, lahan-lahan yang masih berfungsi
sebagai lahan sawah sudah terendam banjir sejak tujuh bulan yang lalu.
Desa Mekar Sari menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk
pada saat ini sebanyak 2802 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 749 KK. Dengan
kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang satu setengah kali lipat
dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Penambahan ini selain disebabkan
karena pecahan KK (dari generasi kedua transmigran yang telah menikah dan
memiliki keluarga sendiri), juga disebabkan adanya pendatang yang menetap dan
bekerja di desa ini.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di daerah ini baru pada jenjang
pendidikan TK dan SD, dan belum terdapat fasilitas untuk pendidikan SLTP dan
SLTA. Untuk mencapai SLTP terdekat, siswa di desa ini harus menempuh jarak
sekitar 3 km, sedangkan untuk mencapai SLTA terdekat harus menempuh jarak
sekitar 6 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas
Pembantu, praktek bidan, Poskesdes, Polindes dan Posyandu.
Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas
yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk
dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan
maupun kios sarana produksi pertanian.
7.1.2 Kelurahan Bandar Jaya Kelurahan Bandar Jaya merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan
yang ada di Kecamatan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi
Jambi, dan sekaligus berfungsi sebagai ibukota kecamatan. Daerah ini merupakan
daerah dataran rendah dan pasang surut dengan ketinggian 1 – 2 meter dari
permukaan laut.
Luas wilayah Kelurahan Bandar Jaya adalah 18 km2 dengan batas-batas
administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rantau Rasau II dan Desa
Pematang Mayan
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rawasari (Kec.Berbak)
210
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Marga Mulya
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bangun Karya dan Desa Harapan
Makmur.
Peta lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya diberikan pada Gambar 15
berikut:
Gambar 16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya.
Dari sisi aksesibilitas, Kelurahan Bandar Jaya berjarak sekitar 60 km dari
ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Muara Sabak) dengan waktu tempuh
sekitar 120 menit, dan berjarak sekitar 200 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota
Jambi) dengan waktu tempuh sekitar 160 menit. Daerah ini berada di seberang
Sungai Batanghari dari ibukota kabupaten maupun provinsi, sehingga untuk
mencapai ibukota kabupaten maupun provinsi harus menggunakan campuran
moda transportasi darat dan sungai.
Berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Kelurahan Bandar Jaya
merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rantau Rasau yaitu
Unit III Rantau Rasau.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah
pada Tahun 1970, dengan jumlah penempatan sebanyak 573 KK (2693 jiwa).
Bandar Jaya
211
Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat (125 KK), Jawa Tengah (322 KK),
DIY (125 KK), dan Jawa Timur (1 KK).
Awalnya, komoditi tanaman utama yang dikembangkan program
transmigrasi di daerah ini adalah tanaman pangan padi (Transmigrasi Umum
Tanaman Pangan). Namun demikian, karena kerusakan yang terjadi pada fungsi
pengairan, berkurangnya kesuburan lahan, terjadinya bencana alam berupa
kebakaran lahan gambut di daerah ini serta faktor harga produk pertanian (padi)
yang tidak memadai menyebabkan pertanian tanaman padi dirasakan penduduk
tidak lagi layak secara ekonomis. Oleh karenanya sejak Tahun 2001 penduduk
mulai beralih ke komoditi perkebunan yaitu tanaman karet, kelapa sawit dan
pinang. Pada saat penelitian, hampir tidak ditemukan lahan padi sawah di desa ini.
Kelurahan Bandar Jaya berkembang menjadi desa definitif pada Tahun
1980. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 4078 jiwa dengan jumlah KK
sebanyak 1048 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang
hampir dua kali lipat (1,83 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.
Perkembangan daerah ini juga terlihat dari ketersediaan berbagai fasilitas
yang mendukung kebutuhan penduduk. Di bidang pendidikan, terdapat fasilitas
mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SMU. Di bidang kesehatan, terdapat
sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan posyandu.
Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi
pertanian, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk. Belum
tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen) maupun kelompok pertokoan.
7.1.3 Desa Bukit Mas Desa Bukit Mas merupakan salah satu dari dua puluh empat desa/kelurahan
yang ada di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi. Luas wilayah
Desa Bukit Mas adalah 13,58 km2 dengan batas-batas administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Marga
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Trijaya
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Batanghari
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Makmur dan Desa Rantau
Harapan.
Peta lokasi penelitian Desa Bukit Mas diberikan pada Gambar 16 berikut:
212
Gambar 17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas.
Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 110 km dari ibukota
Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti), dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota
Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya, berdasarkan sejarah
ketransmigrasiannya, Desa Bukit Mas merupakan salah satu unit pemukiman
transmigrasi (UPT) Sungai Bahar yaitu Unit XVIII Sungai Bahar.Tahun awal
penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1995, dengan jumlah
penempatan sebanyak 550 KK (2367 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari
DKI Jakarta (82 KK), Jawa Barat (48 KK), Jawa Tengah (47 KK), DIY (65 KK),
Jawa Timur (33 KK), APPDT (108 KK) TNKS (110 KK), Kota Jambi (44 KK),
dan ABRI (13 KK).
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di Desa
Bukit Mas adalah tanaman kelapa sawit (PIRTRANS Kelapa Sawit). Sampai saat
ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di
desanya.
Desa Bukit Mas berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 2005.
Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 1324 jiwa dengan jumlah KK sebanyak
Bukit Mas
213
384 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di desa ini telah berkurang dibandingkan
dengan jumlah awal penempatan yang sebanyak 550 KK.
Daerah ini relatif kurang berkembang jika dilihat dari ketersediaan fasilitas
pendukung kebutuhan penduduknya. Di bidang pendidikan umum, di daerah ini
baru terdapat fasilitas setingkat SD. Meskipun demikian, untuk sekolah agama
sudah tersedia setingkat SLTP (MTs). Untuk mencapai SLTP umum terdekat,
siswa di desa ini harus menempuh jarak sekitar 4 km, sedangkan untuk mencapai
SLTA terdekat harus menempuh jarak sekitar 12 km. Selanjutnya, fasilitas
kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan
Posyandu.
Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa koperasi, dan
warung/toko di sekitar permukiman penduduk (dengan jumlah yang sangat
terbatas). Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen)
maupun kelompok pertokoan maupun kios sarana produksi pertanian.
7.1.4 Desa Rasau Desa Rasau merupakan salah satu dari empat desa/kelurahan yang ada di
Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Luas wilayah
Desa Rasau adalah 16,8 km2 dengan batas-batas administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rejosari (Kec. Pamenang)
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lantak Seribu dan Desa
Tambang Mas (Kec. Pamenang Selatan)
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Meranti
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pinang Merah (Kec. Pamenang
Barat) dan Desa Sialang (Kec. Pamenang).
Peta lokasi penelitian Desa Rasau diberikan pada Gambar 17 berikut:
214
Gambar 18 Lokasi penelitian Desa Rasau.
Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota
Kabupaten Merangin (Bangko), dan berjarak sekitar 220 km dari ibukota Provinsi
Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa
Rasau merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Pamenang yaitu
Unit IV Pamenang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada
Tahun 1979, dengan jumlah penempatan sebanyak 415 KK (1899 jiwa).
Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (373 KK), APPDT (42 KK) dan
Jawa Timur (26 KK)
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di
daerah ini adalah tanaman kelapa sawit (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan).
Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman sawit sebagai komoditi
utama di desanya.
Desa Rasau berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1987. Jumlah
penduduk pada saat ini sebanyak 2724 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 765 KK.
Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang hampir dua kali lipat
(1,84 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.
Rasau
215
Di bidang pendidikan, di desa ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang
pendidikan TK sampai SLTA. Di bidang kesehatan, terdapat sarana kesehatan
berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan Posyandu.
Selanjutnya, di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa pasar,
kelompok pertokoan, kios sarana produksi pertanian, koperasi, dan warung/toko
di sekitar permukiman penduduk.
7.1.5 Desa Sungkai Desa Sungkai merupakan salah satu dari sembilan desa/kelurahan yang ada
di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Luas wilayah
Desa Sungkai adalah 42,2 km2 dengan batas-batas administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bungku
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungku
- Sebelah Utara berbatasan dengan berbatasan dengan Desa Mekar Jaya,
Pompa Air dan Ladang Peris.
Peta lokasi penelitian Desa Sungkai diberikan pada Gambar 18 berikut:
Gambar 19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.
Sungkai
216
Dari sisi aksesibilitas, daerah ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota
Kabupaten Batanghari (Muara Bulian) dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota
Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasian-
nya, Desa Sungkai merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT)
Kilangan yaitu Unit II Kilangan.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini
adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 265 KK (1283
jiwa). Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (47 KK), Jawa Timur (59
KK) dan APPDT (159 KK)
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di
daerah ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Tanaman Perkebunan).
Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi
utama di desanya.
Desa Sungkai menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk
pada saat ini sebanyak 935 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 272 KK. Dengan
kata lain, jumlah KK di daerah ini relatif sama dengan kondisi pada saat
penempatan.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa Sungkai adalahadalah pada
jenjang SD dan SLTP, dan tidak terdapat fasilitas untuk pendidikan TK dan
SLTA. Untuk mencapai TK dan SLTA terdekat, siswa di desa ini harus
menempuh jarak sekitar 15 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia
berupa Puskesmas Pembantu dan Posyandu.
Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas
yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk
dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan
maupun kios sarana produksi pertanian,
7.1.6 Desa Rimbo Mulyo Desa Rimbo Mulyo merupakan salah satu dari delapan desa/kelurahan yang
ada di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Luas wilayah
Desa Rimbo Mulyo adalah 55,5 km2 dengan batas-batas administratif:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tirta Kencana, Sapta Mulia dan
Pematang Sapat
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bungo
217
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Suka Maju (Kec. Rimbo Ulu)
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Wirotho Agung dan Desa
Suka Damai (Kec.Rimbo Ulu).
Peta lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo diberikan pada Gambar 19
berikut:
Gambar 20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo.
Dari sisi aksesibilitas, Desa Rimbo Mulyo berjarak sekitar 112 km dari
ibukota Kabupaten Tebo (Muara Tebo), dan berjarak sekitar 320 km dari ibukota
Provinsi Jambi (Kota Jambi). Secara geografis, pada dasarnya desa ini relatif lebih
dekat ke ibukota Kabupaten Bungo (kabupaten induk dari Kabupaten Tebo
sebelum pemekaran) yaitu hanya sekitar 25 km.
Berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Rimbo Mulyo merupakan
salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rimbo Bujang yaitu Unit III
Rimbo Bujang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada
Tahun 1976, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 KK (2135 jiwa).
Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (474 KK) dan Jawa Timur (26
KK)
Rimbo Mulyo
218
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di desa
ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan). Sampai saat ini,
penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di
desanya.
Desa Rimbo Mulyo berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1981.
Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 6080 jiwa dengan jumlah KK sebanyak
1660 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang lebih dari
tiga kali lipat (3,32 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.
Di bidang pendidikan, di daerah ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang
pendidikan TK sampai SLTP, sedangkan untuk SLTA terdekat berjarak sekitar 6
km dari desa. Selanjutnya, di bidang kesehatan, di daerah ini terdapat sarana
kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan posyandu.
Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi
pertanian, kelompok pertokoan, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman
penduduk. Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen).
7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 7.2.1 Karakteristik Kepala Keluarga
Perilaku dan keputusan-keputusan yang diambil keluarga pada dasarnya
merupakan hasil interaksi pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga. Meskipun
demikian, dalam satu keluarga, peranan kepala keluarga sangat besar dalam
menentukan perilaku dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Karenanya
dapat dipahami bahwa karakteristik kepala keluarga dapat mempengaruhi pola
hidup keluarganya, yang kemudian juga dapat mempengaruhi kesejahteraan
mereka.
Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi
sosial ekonomi penduduk pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi,
berikut ini diberikan karakteristik kepala keluarga sebagai berikut:
Daerah Asal
Menurut daerah asal, sebagian besar kepala keluarga berasal dari Provinsi
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari total sampel, 61,48
persen adalah kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY, diikuti
oleh kepala keluarga yang berasal dari Provinsi Jambi (22,54 persen). Sisanya
219
adalah mereka yang berasal dari Jawa Barat (6,56 persen), Jawa Timur (5,33
persen) dan daerah-daerah lainnya (4,10 persen) seperti Bali, Lampung, Sumatera
Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Dominasi kepala keluarga yang
berasal dari Jawa Tengah dan DIY ini pada dasarnya sesuai dengan karakteristik
awal daerah asal penempatan transmigran di Provinsi Jambi umumnya dan
khususnya pada keenam desa sampel penelitian.
Selanjutnya, secara terperinci gambaran daerah asal kepala keluarga pada
masing-masing desa diberikan pada Tabel 66 berikut:
Tabel 66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Provinsi asal Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata- rata
Jawa Barat 10.53 10.53 0.00 8.45 15.79 7.69 0.00 5.78 6.56
Jawa Tengah 47.37 36.84 64.29 47.89 60.53 55.77 77.11 67.05 61.48
Jawa Timur 0.00 10.53 14.29 5.63 0.00 9.62 4.82 5.20 5.33
Jambi 42.11 26.32 21.43 33.80 15.79 23.08 15.66 17.92 22.54
Lainnya 0.00 15.79 0.00 4.23 7.89 3.85 2.41 4.05 4.10
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Dikaitkan dengan pencapaian stadia dapat dikemukakan bahwa desa-desa
dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan Rimbo Mulyo) cenderung memiliki
transmigran lokal (asal Jambi) yang lebih sedikit dibandingkan desa-desa dengan
stadia rendah (Mekar Sari, Bukit Mas dan Sungkai). Secara total ketiga desa
stadia tinggi tersebut memiliki proporsi transmigran lokal hanya 17,92 persen
sedangkan pada desa stadia rendah mencapai 33,81 persen. Ini menunjukkan
bahwa proses transfer teknologi dan budaya kerja dari transmigran asal Jawa pada
transmigran lokal (transmigran asal Jambi) tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan, sehingga desa-desa dengan lebih banyak transmigran asal Jambi
cenderung tertahan pada stadia yang rendah.
Selain itu, penelitian lapangan menunjukkan bahwa banyak transmigran
lokal (transmigran asal Jambi) ketika sudah mulai berhasil, tidak lagi bertempat
tinggal di lokasi transmigran Umumnya mereka pindah ke ibukota
kabupaten/provinsi dan menyerahkan pengelolaan lahannya pada buruh tani.
220
Status Ketransmigrasian
Berdasarkan status ketransmigrasian kepala keluarga yang dibedakan atas
generasi pertama (transmigran awal) dengan generasi kedua (anak-anak
transmigran) ataupun penduduk pendatang non transmigran, dapat dikemukakan
bahwa hanya kurang separuh (40,16 persen) dari kepala keluarga pada desa-desa
eks-transmigrasi yang merupakan generasi pertama. Sebagian besar lainnya
(59,89 persen) merupakan generasi kedua atau penduduk non-transmigran.
Kondisi ini disebabkan sudah relatif lamanya penempatan transmigran pada
desa-desa sampel yang mencapai rata-rata 30 Tahun, sehingga banyak
transmigran awal yang sudah meninggal. Selain itu, terdapat juga transmigran
awal yang kembali ke daerah asal baik karena ketidakmampuan menghadapi
kondisi di daerah transmigrasi maupun mereka yang berhasil dan kemudian
kembali ke daerah asal untuk berinvestasi.
Status ketransmigrasian kepala keluarga di desa-desa eks transmigrasi
diberikan pada Tabel 67 berikut:
Tabel 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Status transmigrasi
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Generasi Pertama 57.89 68.42 57.14 60.56 31.58 34.62 30.12 31.79 40.16
Generasi Kedua 42.11 31.58 42.86 39.44 68.42 65.38 69.88 68.21 59.84
N (sampel) 38 19 14 71 38 52 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, jika dilihat secara lebih terperinci, desa-desa dengan stadia
tinggi umumnya ditempati oleh generasi kedua/pendatang non-transmigran,
dengan proporsi mencapai 68,21 persen. Ketiga desa yang tergolong stadia tinggi
ini memang merupakan desa dengan penempatan yang paling lama dibandingkan
desa-desa sampel lainnya. Penempatan transmigran di Bandar Jaya dimulai pada
Tahun 1970, di Rimbo Mulyo Tahun 1976 dan Desa Rasau Tahun 1979.
Sebaliknya, proporsi generasi kedua/pendatang non-transmigran pada desa-desa
stadia rendah hanya 39,44 persen. Penempatan transmigran pada desa-desa stadia
rendah ini relatif lebih baru dibandingkan desa-desa stadia tinggi. Penempatan
221
transmigran di Desa Bukit Mas ini dimulai pada Tahun 1995 sedangkan Mekar
Sari dan Sungkai pada Tahun 1984.
Umur
Umur berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perilaku dan pola pengambilan keputusan individu. Pengaruh umur ini dapat
dikaitkan dari sisi pengalaman maupun dari sisi kedewasaan berpikir yang
menyertai peningkatan umur seseorang.
Rata-rata umur kepala keluarga pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi
Jambi relatif bervariasi, dengan rata-rata umur 42.4 Tahun. Dilihat dari kelompok
umurnya, dapat dikemukakan bahwa kepala keluarga berada pada usia-usia
produktif. Hanya 9,43 persen yang berada pada usia tidak produktif (60 Tahun ke
atas). Selain itu, dari sisi umur sebagian besar kepala rumah tangga sudah berada
pada kelompok usia yang cukup matang di dalam menghadapi kehidupan rumah
tangga, terutama ditinjau dari pengalaman berumah tangga.
Tabel 68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Kelompok umur (tahun)
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
20 - 29 18.42 15.79 0.00 14.08 10.53 21.15 13.25 15.03 14.75
30 - 39 28.95 31.58 50.00 33.80 26.32 17.31 34.94 27.75 29.51
40 - 49 15.79 21.05 14.29 16.90 34.21 28.85 24.10 27.75 24.59
50 - 59 23.68 26.32 21.43 23.94 18.42 25.00 19.28 20.81 21.72
60+ 13.16 5.26 14.29 11.27 10.53 7.69 8.43 8.67 9.43
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244
Rata-Rata Umur 42.2 40.9 42.5 41.9 43.9 43.1 41.7 42.6 42.4 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keputusan seseorang dalam berbagai hal bidang kehidupan. Semakin tinggi
pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi juga kemampuannya dalam
222
mengambil keputusan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada
dalam rangka meningkatkan pendapatan.
Secara keseluruhan pendidikan kepala keluarga pada desa-desa eks
transmigrasi relatif rendah. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa 73,77 persen
diantaranya hanya berpendidikan tamat SLTP ke bawah. Sebaliknya, kepala
rumah tangga yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 26,13 persen.
Pencapaian stadia tinggi untuk desa-desa eks transmigrasi juga terlihat
dipengaruhi oleh pendidikan kepala keluarga. Pada desa-desa stadia tinggi, tingkat
pendidikan kepala keluarga relatif lebih baik (50,29 persen berpendidikan SLTP
ke atas) dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah (47,89 persen
berpendidikan SLTP ke atas).
Tabel 69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Pendidikan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Tdk sekolah 5.26 0.00 7.14 4.23 5.26 3.85 2.41 3.47 3.69
Tdk tmt SD 18.42 15.79 7.14 15.49 5.26 13.46 9.64 9.83 11.48
SD 34.21 26.32 35.71 32.39 23.68 23.08 50.60 36.42 35.25
SLTP 15.79 26.32 28.57 21.13 21.05 25.00 25.30 24.28 23.36
SLTA 21.05 31.58 14.29 22.54 31.58 17.31 10.84 17.34 18.85
Akad/ PT 5.26 0.00 7.14 4.23 13.16 17.31 1.20 8.67 7.38
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Karakteristik Pekerjaan
Dari sisi lapangan pekerjaan utama, bagian terbesar (62,70 persen) kepala
keluarga berstatus sebagai petani dan sisanya (37,30 persen) adalah kepala
keluarga dengan lapangan pekerjaan utama sebagai buruh tani, buruh/pekerja non-
pertanian, dan usaha sendiri (wiraswasta) baik pada perdagangan maupun industri
kecil. Selanjutnya berdasarkan stadia desa terlihat bahwa secara rata-rata kepala
keluarga pada desa stadia tinggi relatif lebih dominan sebagai petani pemilik
dibandingkan pada desa-desa stadia rendah. Pada desa stadia tinggi, 65,90 persen
223
dari kepala keluarga berstatus sebagai petani pemilik sedangkan pada desa stadia
rendah sebesar 54,93 persen.
Selain itu, Tabel 66 juga memperlihatkan relatif lebih tingginya persentase
kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tani dan pekerja non-pertanian pada
desa stadia rendah dibandingkan desa stadia tinggi. Ini merupakan implikasi dari
kenyataan relatif rendahnya kepemilikan dan sempitnya lahan yang dimiliki
keluarga pada desa-desa stadia rendah (lihat Tabel 73). Pekerjaan-pekerjaan
tersebut dilakukan baik di desa sendiri maupun di luar desa. Sebaliknya pada desa
stadia tinggi memperlihatkan relatif tingginya kepala keluarga yang berwiraswasta
(memiliki usaha sendiri). Kecenderungan ini terjadi karena untuk memiliki usaha
sendiri membutuhkan modal yang umumnya relatif lebih tersedia pada keluarga-
keluarga di desa stadia tinggi.
Tabel 70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Pekerjaan utama
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Petani 50.00 57.89 64.29 54.93 55.26 78.85 62.65 65.90 62.70
Buruh Tani 10.53 31.58 21.43 18.31 10.53 0.00 28.92 16.18 16.80 Pekerja Non-Pertanian 36.84 10.53 7.14 23.94 18.42 13.46 2.41 9.25 13.52
Wiraswasta 2.63 0.00 7.14 2.82 15.79 7.69 6.02 8.67 6.97
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selain memiliki pekerjaan utama, sebagian kepala keluarga juga memiliki
pekerjaan tambahan/sampingan. Terdapat lebih seperempat (28,28 persen) dari
kepala keluarga yang memiliki pekerjaan tambahan/sampingan.
Pekerjaan tambahan/sampingan ini diperlukan keluarga karena penghasilan
yang diperoleh dari pekerjaan utamanya, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimal keluarga. Selain itu, pekerjaan tambahan/sampingan juga dibutuhkan
keluarga karena sebagian dari pekerjaan-pekerjaan utama mereka (sebagai
petani/buruh tani) relatif rentan terhadap faktor musim. Pada musim-musim
tertentu (misalnya musim hujan), petani/buruh tani tidak dapat bekerja sehingga
mereka sama sekali kehilangan sumber pendapatan dari mata pencaharian ini.
224
Kepemilikan pekerjaan sampingan ini lebih dominan pada desa-desa stadia
rendah dibandingkan stadia tinggi. Pada desa stadia rendah ini, terutama di Desa
Mekar Sari, lebih separuh (60,53 persen) kepala keluarga di desa ini memiliki
pekerjaan sampingan. Hal ini disebabkan, lahan pertanian (sawah) yang dimiliki
sering mengalami banjir sehingga mereka tidak beraktivitas pada lahan tersebut.
Sebagai catatan, pada saat penelitian, lahan sawah di desa ini sudah terendam
banjir lebih dari tujuh bulan terakhir.
Secara terperinci, gambaran distribusi lapangan pekerjaan sampingan kepala
keluarga di di daerah penelitian diberikan pada Tabel 71 berikut:
Tabel 71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Pekerjaan sampingan
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Memiliki 60.53 26.32 0.00 39.44 36.84 26.92 15.66 23.70 28.28
Tidak Memiliki 39.47 73.68 100.0 60.56 63.16 73.08 84.34 76.30 71.72
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa waktu kerja normal adalah sampai dengan 40
jam seminggu. Berdasarkan klasifikasi ini, dapat dikemukakan bahwa terdapat
40,20 persen kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal.
Tabel 72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Jam kerja Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
< 14 5.26 21.05 0.00 8.45 5.26 0.00 3.61 2.89 4.51
14 - 34 18.42 26.32 57.14 28.17 21.05 63.46 31.33 38.73 35.66
35 - 40 0.00 26.32 28.57 12.68 18.42 19.23 25.30 21.97 19.26
41 - 54 60.53 21.05 14.29 40.85 39.47 9.62 32.53 27.17 31.15
55+ 15.79 5.26 0.00 9.86 15.79 7.69 7.23 9.25 9.43
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
225
Besarnya proporsi kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal ini
merupakan strategi yang diambil terutama oleh buruh tani ataupun pemilik lahan
sempit (dan bekerja sampingan sebagai buruh tani pada lahan petani lain) untuk
bertahan hidup. Secara keseluruhan, strategi alokasi jam kerja panjang ini
terutama terlihat di desa-desa stadia rendah, di mana lebih dari separuh kepala
keluarga memiliki jam kerja di atas jam kerja normal. Fakta ini juga terkait
dengan lapangan pekerjaan utama kepala keluarga di desa stadia rendah ini,
dengan proporsi relatif kecil sebagai petani pemilik lahan.
7.2.2 Struktur dan Kegiatan Utama Anggota Keluarga Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap beban
tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak memerlukan fasilitas
dan kebutuhan yang banyak pula dan berdampak pada biaya yang harus
ditanggung. Keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari
keluarga dengan jumlah anggota besar.
Rata-rata jumlah anggota rumah keluarga (termasuk kepala keluarga) di
desa eks-transmigrasi adalah 3,5 jiwa. Dari sisi rasio jenis kelamin menunjukkan
bahwa jumlah anggota laki-laki pada keluarga di desa-desa eks transmigrasi lebih
banyak dibandingkan anggota rumah tangga perempuan. Dengan rasio jenis
kelamin 115, yang berarti terdapat 115 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Selanjutnya jika dilihat struktur umur anggota keluarga berdasarkan usia
produktif (15 – 64 Tahun) dan belum/tidak produktif (0 – 14 dan 65 Tahun ke
atas), dapat dihitung angka beban tanggungan yang menunjukkan tanggungan
anggota keluarga usia produktif terhadap anggota keluarga usia belum/tidak
produktif. Berdasarkan hal tersebut angka beban tanggungan keluarga pada desa-
desa eks transmigrasi adalah 42. Ini berarti setiap 100 anggota rumah tangga usia
produktif menanggung 42 anggota rumah tangga usia tidak/belum produktif.
Membandingkan angka beban tanggungan antara desa-desa stadia tinggi
dengan stadia rendah terlihat bahwa angka beban tanggungan relatif lebih besar
pada desa-desa stadia rendah. Ini juga menunjukkan bahwa keluarga-keluarga
pada stadia rendah memiliki peluang yang lebih kecil dalam meningkatkan
kesejahteraannya.
226
Tabel 73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Uraian Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Rata-rata ART (jiwa) 3.7 3.5 3.3 3.6 3.3 3.3 3.6 3.4 3.5
Seks rasio %) 118 105 133 117 97 104 128 114 115 Beban tanggungan (%) 45 36 55 45 57 29 41 41 42
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, secara umum, dari berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa salah satu strategi lain dari keluarga (terutama keluarga miskin) dalam
mempertahankan hidup adalah dengan mengerahkan anggota rumah tangga untuk
bekerja dalam pencaharian nafkah. Pengerahan anggota rumah tangga tersebut
kadang-kadang sedemikian kuatnya sehingga seringkali mengancam
keberlanjutan pendidikan anak-anak. Anak-anak dalam usia sekolah dalam
anggota rumah tangga miskin terpaksa harus bekerja membantu orang tua mencari
nafkah sehingga terpaksa meninggalkan bangku sekolah.
Namun demikian, fakta tersebut tidak ditemukan pada keluarga di desa-desa
eks transmigrasi. Proporsi keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja dan
mencari pekerjaan relatif kecil yaitu hanya 6,84 persen dari total anggota
keluarga. Kegiatan utama anggota keluarga lainnya adalah sekolah (38,93 persen),
mengurus rumah tangga (34,85 persen) mencari pekerjaan (5,70 persen), dan
kegiatan lainnya (13,68 persen).
Tabel 74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Kegiatan Utama
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Bekerja 4.85 4.35 14.71 6.33 6.90 0.00 9.38 6.17 6.23
Mencari Pekerjaan 5.83 2.17 2.94 3.58 3.45 12.05 5.80 6.37 5.28
Sekolah 35.92 39.13 32.35 36.83 39.08 3.65 40.63 29.63 32.46
URT 34.95 36.96 26.47 34.43 35.63 0.91 33.48 24.71 28.53
Lainnya 18.45 17.39 23.53 18.83 14.94 3.35 10.71 9.40 13.10 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
227
Temuan di lapangan menunjukkan ada dua faktor penyebab rendahnya
keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja pada keluarga di di desa-desa eks
transmigrasi. Pertama, tingginya kesadaran pendidikan orang tua dalam
menyekolahkan anak-anaknya, yang ditunjukkan oleh besarnya proporsi anggota
keluarga dengan kegiatan utama sekolah. Kedua, keterbatasan peluang kerja yang
menyebabkan rendahnya harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Ini terlihat dari
kenyataan besarnya proporsi anggota keluarga dengan kegiatan utama mengurus
rumah tangga dan lainnya, sedangkan di sisi lain proporsi dengan kegiatan utama
mencari pekerjaan relatif kecil. Perlu dicatat bahwa kegiatan utama mengurus
rumah tangga merupakan pilihan yang akan diambil angkatan kerja perempuan
ketika lapangan pekerjaan tersedia di pasar kerja relatif terbatas untuk mereka.
7.2.3 Status Kepemilikan dan Kondisi Rumah Berdasarkan atas kepemilikan rumah, 86,48 persen keluarga memiliki
rumah berstatus milik sendiri, 10,66 persen adalah milik orang tua/keluarga dan
2,87 persen lainnya adalah berstatus sewa/kontrak. Kelurahan Bandar Jaya
menempati proporsi terbesar keluarga yang memiliki rumah sendiri yaitu 96,15
persen, sedangkan Desa Sungkai dengan kepemilikan rumah sendiri terkecil yaitu
71,43 persen. Di Desa Sungkai, lebih seperempat (28,57 persen status
kepemilikan rumah adalah berstatus milik orang tua/keluarga.
Tabel 75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Status rumah Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Milik sendiri 84.21 89.47 71.43 83.10 86.84 130.45 83.13 87.86 86.48
Milik orang tua 15.79 5.26 28.57 15.49 7.89 0.00 14.46 8.67 10.66 Kontrak/ Sewa 0.00 5.26 0.00 1.41 5.26 5.22 2.41 3.47 2.87
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, berdasarkan kondisi bangunan rumah yang dilihat dari
konstruksi lantai, dinding dan atapnya dapat dikemukakan bahwa 57,38 persen
bangunan terkategori rumah permanen, 28,69 persen semi permanen dan 13,93
228
persen lainnya berkategori tidak permanen. Desa-desa stadia tinggi
memperlihatkan proporsi kepemilikan rumah permanen yang jauh lebih besar
dibandingkan desa-desa stadia rendah.
Tabel 76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Kategori fisik
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Permanen 10.53 26.32 21.43 16.90 86.84 62.61 85.54 73.99 57.38
Semi permanen 23.68 68.42 64.29 43.66 13.16 62.61 12.05 22.54 28.69 Non-permanen 65.79 5.26 14.29 39.44 0.00 10.44 2.41 3.47 13.93
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
7.2.4 Kepemilikan Lahan Pertanian Di desa penelitian pembagian lahan pertanian per KK relatif bervariasi.
Untuk Desa Mekar Sari dan Bandar Jaya masing-masing 2 hektar, Desa Bukit
Mas seluas 2,5 ha, Desa Rasau seluas 3,5 hektar, Desa Sungkai seluas 3,25 hektar
dan Desa Rimbo Mulyo seluas 5 hektar. Kebijakan pembagian lahan pada
penyelenggaraan transmigrasi memang menyatakan bahwa setiap KK transmigran
mendapatkan pemberian tanah sekurang-kurangnya 2 hektar. Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan minimum
luas tanah yang harus dimiliki oleh petani supaya ia mendapat penghasilan yang
cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya.
Namun demikian, pada saat survai terlihat bahwa tidak semua keluarga di
desa-desa eks transmigrasi yang memiliki lahan. Terdapat 17,62 persen keluarga
yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri dan umumnya adalah pendatang non-
transmigran maupun generasi kedua transmigran.
Secara rata-rata, desa-desa dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan
Rimbo Mulyo) cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan
yang lebih tinggi yaitu 84,97 persen sedangkan pada desa stadia rendah adalah
229
sebesar 76,06 persen. Selanjutnya jika dilihat dari rata-rata kepemilikan lahannya
(rata-rata dari yang memiliki lahan) terlihat bahwa kepemilikan lahan di Desa
Bandar Jaya paling luas dibandingkan desa-desa yang lainnya yaitu mencapai
3,30 hektar. Sebaliknya, rata-rata kepemilikan lahan paling kecil ada di Desa
Bukit Mas yaitu hanya 1,53 hektar.
Tabel 77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Kepemilikan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Tidak memiliki 18.42 31.58 28.57 23.94 18.42 3.85 31.33 15.03 17.62 Memiliki 81.58 68.42 71.43 76.06 81.58 96.15 68.67 84.97 82.38 Rata-rata luas (ha) 1.80 1.53 2.13 2.36 2.58 3.30 2.00 2.96 2.80
N (sampel) 38 19 14 71 38 52 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Dari luas lahan yang dimiliki, terlihat bahwa besarnya fenomena
fragmentasi lahan yang terjadi di desa-desa eks transmigrasi. Hasil observasi di
lapangan menunjukkan bahwa fragmentasi yang terjadi tidak hanya pada lahan
pekarangan saja tetapi termasuk lahan usaha I (LU I) dan lahan usaha II (LU II)
Lebih separuh (61,46 persen) keluarga tidak lagi memiliki luasan lahan
sesuai dengan ukuran pada awal penempatan pada masing-masing desa. Desa
dengan fragmentasi lahan paling tinggi yaitu di Desa Rimbo Mulyo yang
mencapai 91,23 persen sedangkan yang paling rendah adalah di Desa Bukit Mas
yaitu hanya 15,38 persen. Selanjutnya berdasarkan stadia perkembangan desa,
terlihat bahwa secara rata-rata desa stadia tinggi memiliki fenomena fragmentasi
lahan yang lebih kuat dibandingkan desa-desa stadia rendah.
Fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian
menyebabkan menurunnya skala usaha petani. Lahan yang sempit akan
menyulitkan dalam aplikasi teknologi. Karena teknologi tidak sungguh-sungguh
netral luas usaha. Beberapa teknologi tidak efisien jika diterapkan pada lahan
yang kurang dan manajemen usaha juga menjadi kurang ekonomis. Selain itu,
dalam konteks petani padi, Sajogyo (1974) juga menyebutkan bahwa tingkat
partisipasi masyarakat perdesaan dalam pengembangan perekonomian padi yang
230
didasarkan pada penerapan bibit unggul hanya terbatas pada lapisan elit desa atau
pemilik lahan luas. Golongan inilah yang secara akumulatif lebih banyak
menikmati serangkaian kebijakan intensifikasi padi sawah yang didukung
pemberian bantuan kredit berbunga rendah.
Penurunan skala usaha ini juga akan berdampak semakin banyaknya petani-
petani tanpa lahan. Penurunan skala usaha akan mengakibatkan lahan semakin
tidak produktif, dan ini akan mendorong petani untuk menjual lahannya.
Terjadinya fragmentasi lahan merupakan dampak dari kelemahan
transmigrasi yang selama ini hanya mengandalkan pada pertanian. Hal ini akan
mempunyai konsekuensi pembagian lahan yang makin sempit pada generasi
kedua yang akan menimbulkan kesulitan dan dalam jangka panjang akan
menyebabkan berulangnya fenomena kemiskinan.
Oleh karenanya, dalam jangka panjang perlu pengembangan pola usaha
yang tidak semata-mata berbasis pertanian tetapi lebih berfokus pada aktivitas-
aktivitas non-pertanian yang mampu menciptakan perluasan kesempatan kerja di
daerah transmigrasi. Lebih khususnya perlu mengembangakan industri yang
mengolah hasil pertanian yang menyediakan dan meningkatkan lapangan kerja di
luar sektor pertanian. Dengan kata lain, perlu dikembangkan agricultural industry
oriented pada desa-desa transmigasi, misalnya pabrik pupuk, pabrik
penggergajian kayu, pabrik tepung tapioka dan lainnya.
Tabel 78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Luas Lahan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Kurang 25.81 15.38 70.00 31.48 80.65 48.00 91.23 73.19 61.46
Sesuai 61.29 38.46 0.00 44.44 6.45 38.00 8.77 18.84 26.04
Lebih 12.90 46.15 30.00 24.07 12.90 14.00 0.00 7.97 12.50
N (sampel) 31 13 10 54 31 50 57 138 192 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Ket.: Lahan penempatan awal untuk Mekar Sari dan Bandar Jaya = 2 ha, Bukit Mas = 2,5 ha,
Rasau = 3,5 ha, Sungkai 3,25 ha dan Rimbo Mulyo = 5 ha
Selain fragmentasi lahan, juga terlihat adanya keluarga dengan kepemilikan
lahan yang bertambah luas dibandingkan awal penempatannya. Penambahan ini
231
terjadi baik karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan (membeli lahan dari
penduduk di desa sendiri) dan pembelian lahan di desa-desa non-transmigrasi
sekitarnya. Keluarga-keluarga yang memiliki lahan yang lebih luas ini terutama
terlihat di Desa Bandar Jaya dan Rantau Rasau.
Secara keseluruhan terdapat 12,50 persen keluarga dengan kepemilikan
lahan yang lebih luas dibandingkan lahan penempatan awal. Desa Bukit Mas
menunjukkan fenomena konsentrasi pemilikan lahan yang paling tinggi. Di desa
ini hampir separuh (46,15 persen) keluarga memiliki lahan lebih luas
dibandingkan pada awal penempatan.
Transmigran yang sukses ini juga memiliki juga memiliki kemampuan untuk
membeli kendaraan seperti truk untuk membantu usahanya mengangkut hasil panen.
Terdapat juga diantara mereka yang membuka usaha perdagangan. Kelompok ini juga
mendapat kepercayaan dari bank karena memiliki sertifikat lahan dan kemampuannya
mengembalikan cicilan kredit.
Tabel 79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Tanaman Desa Rata-
rata Mekar Sari
Bandar Jaya Bukit Mas Rasau Sungkai Rimbo
Mulyo
Padi sawah 45.16 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.29 Karet 12.90 34.00 0.00 0.00 100.00 100.00 45.83 Sawit 6.45 40.00 100.00 100.00 0.00 0.00 34.38 Coklat 16.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.60 Sayuran 0.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 Keramba 6.45 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04 Karet-Coklat 12.90 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.08 Karet-Sawit 0.00 18.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.69 Sawit-Pinang 0.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.04
N (sampel) 31 50 13 31 10 57 192
Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, dari sisi komoditi tanaman utama, pada empat desa masih
sesuai dengan kondisi awal penempatan transmigrasi yaitu tanaman karet untuk
Desa Bukit Mas dan Rasau serta tanaman kelapa sawit untuk Desa Sungkai dan
Rimbo Mulyo. Meskipun demikian, untuk dua desa lainnya yaitu Desa Mekar Sari
232
dan Bandar Jaya, kondisi saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi awal
transmigrasi yaitu tanaman padi sawah.
Di Desa Mekar Sari, hanya kurang separuh (45,16 persen) yang masih
memiliki lahan padi sawah. Bagian terbesar lainnya beralih komoditi ke tanaman
karet, sawit dan coklat serta keramba ikan. Di Desa Bandar Jaya sebagian besar
beralih ke komoditi karet dan sawit dan sebagian kecil lainnya ke komoditi
pinang, coklat dan tanaman sayuran.
Tanaman komoditas pangan merupakan jenis tanaman yang sangat
memerlukan keahlian penanganan dengan perlakuan dan perawatan yang rumit, di
samping itu juga memerlukan permodalan serta sangat bergantung dengan cuaca,
hama penyakit dan kesuburan tanah. Kondisi ini berpengaruh sangat berarti
terhadap fluktuasi antara keuntungan dan kerugian yang selalu tidak pasti.
Secara ekonomi petani selalu mempunyai ekspektasi untuk memperoleh
keuntungan dan memperkecil kerugian dalam setiap usahanya. Keuntungan dan
kerugian tidak berarti harus berupa biaya, tetapi opportunity cost dalam bentuk
waktu dan tenaga. Naluri ini ditunjukkan dengan adanya pembelajaran terhadap
daerah sekitarnya, mempelajari karakteristik lahan, tanaman komoditas andalan,
serta hasil-hasil pemasaran yang lebih banyak menghasilkan keuntungan.
Wawancara mendalam dengan penduduk di desa-desa eks transmigrasi yang
diteliti menunjukkan bahwa telah terjadi tarik-ulur antara kepentingan lahan
dengan kebutuhan ekonomi petani. Pengalihan peruntukan lahan dari usaha
pertanian ke usaha perkebunan semata-mata hanya atas pertimbangan ekonomi.
Mereka mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya atas biaya yang semurah-
murahnya. Petani terpaksa melakukan pengalihan peruntukan lahan pertanian
menjadi lahan perkebunan lebih banyak karena desakan ekonomi. Di samping itu
mereka mempertimbangkan kondisi lahan yang memang tidak mendukung dan
akan memerlukan banyak input untuk dijadikan lahan pertanian, sementara jika
dialihkan ke lahan perkebunan, penanganannya relatif tidak memerlukan banyak
perlakuan teknis dan biaya.
7.2.5 Pendapatan Rata-rata pendapatan keluarga di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi
Jambi adalah sebesar Rp 3.070.000 per bulan. Meskipun demikian, pendapatan ini
233
tidak merata antardesa. Rata-rata pendapatan keluarga di Desa Mekar hanya Rp
1.770.000 perbulan, sedangkan Desa Rasau mencapai Rp 4.516.000 perbulan,
atau lebih 2,5 kali lipat dari rata-rata pendapatan Desa Mekar Sari.
Selanjutnya membagi terhadap jumlah anggota keluarga, rata-rata
pendapatan per kapita keluarga pada desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar
Rp 866.000 per bulan. Sebagaimana halnya dengan rata-rata pendapatan keluarga,
pendapatan per kapita ini juga terlihat paling tinggi di Desa Rasau (yaitu sebesar
Rp. 1.373.000 per bulan) dan paling rendah di Desa Mekar Sari yaitu hanya Rp
477.000 per bulan.
Membandingkan antara desa-desa stadia rendah dengan stadia tinggi terlihat
bahwa baik pendapatan total maupun pendapatan perkapita keluarga relatif lebih
tinggi di desa-desa stadia tinggi. Selain itu, dari kontribusi pendapatan sampingan
dan pendapatan anggotra rumah tangga juga relatif lebih tinggi pada desa-desa
stadia tinggi dibandingkan desa-desa stadia rendah.
Menggunakan konsep garis kemiskinan absolut Bank Dunia sebesar USD 1
perkapita perhari terlihat bahwa seluruh desa sudah berada di atas garis
kemiskinan absolut. Meskipun demikian, dengan menggunakan garis kemiskinan
menengah Bank Dunia yaitu sebesar USD 2 perkapita perhari terlihat bahwa rata-
rata pendapatan perkapita di Desa Mekar Sari masih berada di bawah garis
kemiskinan tersebut.
Tabel 80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Pendapatan Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
Total perbulan (Rp Ribu) 1,770 2,809 2,373 2,167 4,516 2,668 2,980 3,224 3,070 Perkapita per bulan (Rp Ribu) 477 797 554 578 1,373 811 822 940 866 Pendapatan perkapita perhari (USD) 1.8 3.0 2.1 2.2 5.2 3.1 3.1 3.6 3.3 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Keterangan: konversi Rp ke USD menggunakan kurs tengah rata-rata Tahun 2011 sebesar Rp 8.780
(diolah dari www.bi.go.id)
Pendapatan keluarga bersumber dari penghasilan kepala keluarga baik dari
lapangan pekerjaan utama maupun sampingan serta dari penghasilan anggota
234
rumah tangga yang bekerja. Berdasarkan Tabel 81 terlihat bahwa kontribusi
penghasilan dari pekerjaan sampingan terhadap total pendapatan kepala keluarga
sebesar 16,61 persen. Kontribusi terbesar terlihat di Desa Rasau yang mencapai
25,17 persen.
Sumbangan pendapatan anggota keluarga relatif kecil terhadap total
pendapatan keluarga. Dari total pendapatan keluarga, hanya sebesar 6,66 persen
merupakan sumbangan dari pendapatan anggota keluarga.
Kecilnya sumbangan pendapatan angggota keluarga ini terutama disebabkan
relatif rendahnya proporsi keterlibatan anggota rumah tangga dalam bekerja.
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, berdasarkan kegiatan utama
anggota keluarga, hanya 6,23 persen yang berada dalam status bekerja.
Tabel 81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Pendapatan (Ribu Rp perbulan)
Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-rata Mekar
Sari Bukit Mas Sungkai Rata-
rata Rasau Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Rata-rata
KK
Utama 1,365 2,177 2,155 1,738 3,233 1,960 2,487 2,492 2,389
Sampingan 340 346 0 275 1,088 448 296 516 476
ART 65 286 218 154 196 260 197 216 204
Total 1,770 2,809 2,373 2,167 4,516 2,668 2,980 3,224 3,070 Kontribusi Sampingan Terhadap Total (%) 19.94 13.69 0 14.34 25.17 18.6 10.63 16.22 16.61 Kontribusi pendapatan ART (%) 3.67 10.19 9.2 6.51 4.35 9.75 6.62 7.06 6.66 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi
7.3.1 Perjalanan Penduduk Berdasarkan Tujuan dan Lokasi Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk mendapatkan
gambaran interaksi antarwilayah (yaitu antara desa-desa eks transmigrasi dengan
wilayah sekitarnya) didekati melalui aspek aliran orang dalam bentuk perjalanan
untuk berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup berbagai aktivitas
ekonomi seperti bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, dan berbagai
aktivitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi dan agama.
235
Desa Mekar Sari
Penduduk di Desa Mekar Sari umumnya bekerja di desa sendiri dan Kota
Jambi. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat dikemukakan bahwa 81,97
persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri dan 18,03 persen lainnya di Kota
Jambi. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 40,00 persen bekerja di desa sendiri
dan 60,00 persen lainnya di Kota Jambi.
Kota Jambi adalah ibukota Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 45 km dari
Desa Mekar Sari dengan jarak tempuh sekitar 60 menit. Kondisi jaringan jalan
relatif baik dan dapat dilalui kendaran bermotor roda empat dengan lancar. Antara
desa ini dengan Kota Jambi juga tersedia angkutan umum penumpang.
Akses transportasi yang lancar serta tingginya berbagai aktivitas ekonomi
yang ada di Kota Jambi sebagai pusat perekonomian Provinsi Jambi dimanfaatkan
penduduk Desa Mekar Sari untuk beraktivitas dalam pencaharian nafkah.
Umumnya mereka bekerja di Kota Jambi sebagai pekerja pada usaha-usaha
industri, perdagangan serta pekerjaan-pekerjaan bebas non-pertanian seperti
tukang bangunan.
Sebaliknya, meskipun Kota Sengeti sebagai ibu kota Kabupaten Muaro
Jambi (secara administratif Desa Mekar Sari berada di wilayah kabupaten ini)
juga tumbuh pesat dengan berbagai aktivitas ekonominya, tidak terdapat
penduduk Desa Mekar Sari yang memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini
disebabkan jarak yang relatif jauh yaitu sekitar 75 km, dan untuk mencapai Kota
Sengeti juga harus melewati Kota Jambi. Relatif sulitnya (dalam jarak maupun
biaya transportasi) akses tersebut menyebabkan terbatasnya interaksi penduduk
Desa Mekar Sari dengan ibukota kabupatennya, tidak hanya dalam hal aktivitas
bekerja tetapi juga untuk aktivitas lainnya.
Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Pulau Mentaro
dan Kota Jambi. Desa Pulau Mentaro adalah desa asli (non-transmigrasi) yang
berbatasan dengan Desa Mekar Sari. Di desa ini terdapat pasar non-permanen
yang berlokasi di persimpangan jalan ke Desa Mekar Sari. Pasar ini tumbuh dan
berkembang sejak adanya permukiman transmigrasi di Desa Mekar Sari Dalam
hal belanja makanan, 85,81 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa
236
sendiri, 9,85 persen di Desa Pulau Mentaro dan 4,34 lainnya di Kota Jambi.
Untuk belanja bukan makanan, 54,30 persen dipenuhi di desa sendiri, 12,73
persen di Desa Pulau Mentaro dan 32,98 persen lainnya di Kota Jambi.
Selanjutnya untuk kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk alat-alat pertanian dan
pupuk di desa sendiri, sedangkan untuk obat-obat pertanian (pestisida/herbisida)
serta alat dan bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Jambi.
Tabel 82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Uraian Lokasi Persentase Bekerja Kepala Keluarga Desa Mekar Sari 81.97
Kota Jambi 18.03 Anggota Keluarga Desa Mekar Sari 40.00
Kota Jambi 60.00 Belanja Kebutuhan Keluarga
Makanan Desa Mekar Sari 85.81 Desa Pulau Mentaro 9.85 Kota Jambi 4.34
Bukan Makanan Desa Mekar Sari 54.30
Desa Pulau Mentaro 12.73
Kota Jambi 32.98
Kebutuhan Pekerjaan
Alat Pertanian Desa Mekar Sari 100.00
Pupuk Desa Mekar Sari 100.00
Obat-obatan Pertanian Kota Jambi 100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian Kota Jambi 100.00
Penjualan Produk Pertanian Desa Mekar Sari 76.47
Desa Kasang Pudak 11.77 Desa Teluk Raya 5.88 Kota Jambi 5.88
Non-Pertanian Kota Jambi 100.00 Keuangan Simpan/Pinjam Kota Jambi 100.00 Sosial Pendidikan Desa Mekar Sari 83.33
Desa Puding 16.67 Kesehatan Desa Mekar Sari 100.00 Rekreasi Kota Jambi 100.00
Sumber: Penelitian lapangan 2011
Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian,
sebagian besar adalah di desa sendiri (76,47 persen) dan sebagian lainnya yaitu di
Desa Kasang Pudak (11,77 persen) Desa Teluk Raya (5,88 persen) dan Kota
237
Gambar 21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Mekar Sari, Tahun 2011.
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Mekar Sari 76.47 %
Ksg.Pudak 11.77 %
Tlk.Raya 5.88 %
Kota Jambi 5.88 %
Kota Jambi 100 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rekr
easi
Mek
ar S
ari
83.3
3 %
Pudi
dng
16.6
7 %
Mek
ar S
ari
100
%
Kot
a Ja
mbi
10
0 %
Kot
a Ja
mbi
10
0 %
Bekerja
KK
ART
Kota Jambi 18.03 %
Mekar Sari 81.97 %
Mekar Sari 40.00 %
Kota Jambi 60.00 %
Keb
utuh
an
Kel
uarg
a Kebutuhan
Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2 pertanian
Pupuk
Alat
pertanian
Bu
kan
Mak
anan
M
akan
an
Belanja
Mekar Sari 100 %
Mekar Sari 100 %
Kota Jambi 100 %
Kota Jambi 100 %
Mekar Sari 85.81 %
Kota Jambi 4.34 %
P. Mentaro 9.85 %
Kota Jambi 32.98 %
P. Mentaro 12.73%
Mekar Sari 54.30 %
238
Jambi (5,88 persen). Pilihan penduduk terhadap lokasi untuk penjualan produk
pertanian ini selain tergantung pada jarak ke lokasi juga ditentukan oleh
ketersediaan fasilitas penampungan dan harga jual di lokasi tersebut.
Dalam penjualan produk non pertanian, penduduk melakukan perjalanan ke
Kota Jambi. Produk pertanian yang dijual adalah padi, coklat, karet dan kelapa
sawit, dan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan).
Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan
perjalanan ke Kota Jambi, karena belum adanya lembaga keuangan perbankan dan
non-perbankan di desa tersebut. Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan,
83,33 persen di desa sendiri dan 16,67 persen di Desa Puding, aktivitas kesehatan
dan agama di desa sendiri dan untuk rekreasi ke Kota Jambi.
Kelurahan Bandar Jaya
Penduduk di Kelurahan Bandar Jaya umumnya bekerja di desa sendiri,
Desa Bangun Karya, Desa Sungai Dusun, dan Desa Rantau Rasau I. Dirinci
berdasarkan status keluarga, 83,33 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri,
6,06 persen di Desa Bangun Karya dan 10,61 persen di Desa Sungai Dusun.
Sebaliknya untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan
66,67 persen bekerja di desa lain yaitu di Desa Rantau Rasau I.
Ketiga lokasi tempat bekerja di luar desa tersebut adalah lokasi-lokasi yang
masih berada dalam satu kecamatan dengan Kelurahan Bandar Jaya yaitu
Kecamatan Rantau Rasau. Desa Bangun Karya dan Desa Rantau Rasau I adalah
desa-desa eks transmigrasi, sedangkan Desa Sungai Dusun adalah desa asli (non
transmigrasi). Desa Bangun Karya dan Rantau Rasau I berbatasan dengan
Kelurahan Bandar Jaya, sedangkan Desa Sungai Dusun berjarak sekitar 10 km
dari Kelurahan Bandar Jaya.
Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Bangun
Karya, Kelurahan Nipah Panjang II dan Kota Jambi. Dalam hal belanja makanan,
34,69 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa sendiri, 65,31 persen
239
lainnya di Desa Bangun Karya. Untuk belanja bukan makanan, 42,51 persen
dipenuhi di desa sendiri, 56,05 persen di Desa Bangun Karya, 1,30 persen di
Kelurahan Nipah Panjang II dan 0,14 persen di Kota Jambi. Selanjutnya untuk
belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk pupuk dan obat-obatan pertanian
seluruhnya dipenuhi di Desa Bangun Karya, sedangkan untuk alat pertanian serta
alat dan Bahan non-pertanian dipenuhi diantara desa sendiri dan Desa Bangun
Karya.
Tingginya perjalanan belanja penduduk ke Desa Bangun Karya karena di
desa tersebut terdapat pasar yang menjadi pasar pusat untuk kecamatan. Selain itu
terdapat juga penduduk yang melakukan perjalanan belanja ke Kelurahan Nipah
Panjang II. Kelurahan ini merupakan ibukota Kecamatan Nipah Panjang yang
merupakan kecamatan asal dari Kecamatan Rantau Rasau sebelum pemekaran.
Tidak terdapat penduduk yang melakukan perjalanan untuk keperluan
belanja ke ibukota kabupaten (Kota Muara Sabak sebagai ibukota Kabupaten
Tanjung Jabung Timur). Hal ini disebabkan jarak tempuh yang relatif jauh (yaitu
sekitar 60 km) dengan akses transportasi yang relatif sulit (sehingga dengan jarak
tersebut, waktu tempuhnya mencapai sekitar 120 menit). Selain itu, Kota Muara
Sabak sampai saat ini perkembangannya juga masih terbatas untuk mampu
memenuhi kebutuhan belanja penduduk. Sebaliknya masih terdapat penduduk
yang melakukan kegiatan belanja (khususnya non-makanan) ke Kota Jambi
sebagai ibukota provinsi meskipun jaraknya lebih jauh dibandingkan ke ibukota
kabupaten (sekitar 200 km dengan waktu tempuh sekitar 160 menit) karena
ketersediaan kebutuhan yang relatif lengkap di daerah ini.
Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja
sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja),
khususnya produk-produk pertanian, sebagian besar adalah di desa sendiri (83,33
persen) dan sebagian lainnya yaitu di Desa Harapan Makmur (13,89 persen) dan
Kota Muara Sabak (2,78 persen). Modus penjualan di desa sendiri dalam bentuk
pedagang pengumpul mendatangi petani untuk membeli hasil pertanian mereka.
Sebaliknya untuk penjualan produk non-pertanian seluruhnya di lakukan di desa
sendiri. Produk-produk pertanian yang dijual adalah karet dan kelapa sawit,
240
sedangkan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan dan
non makanan).
Tabel 83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Kepala Keluarga Kel. Bandar Jaya 83.33
Desa Bangun Karya 6.06
Desa Sungai Dusun 10.61
Anggota Keluarga Kel. Bandar Jaya 33.33
Desa Rantau Rasau I 66.67
Belanja Kebutuhan Keluarga
Makanan Kel. Bandar Jaya 34.69
Desa Bangun Karya 65.31
Bukan Makanan Kel. Bandar Jaya 42.51 Desa Bangun Karya 56.05 Kel. Nipah Panjang II 1.30
Kota Jambi 0.14
Kebutuhan Pekerjaan
Alat Pertanian Kel. Bandar Jaya 42.86 Desa Bangun Karya 57.14
Pupuk Desa Bangun Karya 100.00
Obat-obatan Pertanian Desa Bangun Karya 100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian Kel. Bandar Jaya 14.29 Desa Bangun Karya 42.86 Kota Jambi 42.86
Penjualan Produk Pertanian Kel. Bandar Jaya 83.33 Desa Harapan Makmur 13.89 Kota Muara Sabak 2.78
Non-Pertanian Kel. Bandar Jaya 100.00
Keuangan Simpan/Pinjam Kel. Nipah Panjang II 100.00
Sosial Pendidikan Kel. Bandar Jaya 100.00
Kesehatan Kel. Bandar Jaya 100.00
Rekreasi Kota Jambi 100.00
Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan
perjalanan ke Kota Jambi. Di daerah ini belum ada lembaga keuangan perbankan
241
dan non-perbankan sehingga penduduk melakukan transaksi keuangan di lembaga
perbankan yang ada di Kelurahan Nipah Panjang II Kecamatan Nipah Panjang.
Gambar 22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bandar Jaya, Tahun 2011
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Bandar Jaya 83.33 %
Hr.Makmur 13.89 %
Ma.Sabak 2.78 %
Bandar Jaya 100 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rek
reas
i
Bam
dar
Jaya
10
0 %
Kot
a Ja
mbi
10
0 %
N.P
anja
ng II
10
0 %
Bekerja
KK
ART
Sei.Dusun 10.61 %
Bgn.Karya 6.06 %
Bandar Jaya 33.33 %
R. Rasau I 66.67 %
Keb
utuh
anK
elua
rga K
ebutuhan Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2
pertanian
Pupuk
Alat
pertanian
Bu
kan
Mak
anan
M
akan
an
Belanja
Bandar Jaya 42.86%
Bgn. karya 100 %
Bgn. Karya 100 %
Bandar Jaya 14.29 %
Bandar Jaya 34.69 %
Bgn. Karya 65.31 %
N.Panjang II 1.30 %
Bgn. Karya 56.05%
Bandar Jaya 42.51 %
Bandar.Jaya 83.33 %
Kota Jambi 0.14 %
Bgn. Karya 57.14 %
Bgn. Karya 42.86 %
Kota Jambi 42.86 %
Bam
dar
Jaya
10
0 %
242
Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, kesehatan dan agama,
seluruhnya dilakukan di desa sendiri. Sebaliknya untuk rekreasi seluruhnya
dilakukan di Kota Jambi.
Desa Bukit Mas
Penduduk di Desa Bukit Mas umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa
Bukit Makmur. Dirinci berdasarkan status keluarga, 87,50 persen kepala keluarga
bekerja di desa sendiri dan 12,50 persen lainnya di Desa Bukit Makmur.
Sebaliknya untuk anggota keluarga, 50,00 persen bekerja di desa sendiri dan
50,00 persen lainnya di Desa Bukit Makmur.
Desa Bukit Makmur adalah desa eks transmigrasi yang berjarak sekitar 10
km dari desa Bukit Mas dan berada dalam satu kecamatan yang sama (Kecamatan
Sungai Bahar). Di Desa Bukit Makmur terdapat pabrik pengolahan kelapa sawit,
sehingga sebagian penduduk Desa Bukit Mas memanfaatkan peluang untuk
bekerja sebagai buruh/pekerja pabrik, baik sebagai pekerjaan utama maupun
pekerjaan sampingan.
Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu di desa sendiri, Desa Suka Makmur
dan Kota Jambi. Desa Suka Makmur adalah desa eks transmigrasi yang menjadi
pusat perdagangan untuk wilayah Kecamatan Sungai Bahar dan berjarak sekitar
20 km dari Desa Bukit Mas, sedangkan Kota Jambi sebagai ibukota provinsi
berjarak sekitar 90 km.
Dalam hal belanja makanan, 69,36 persen dipenuhi penduduk Bukit Mas di
desa sendiri, 30,64 persen di Desa Suka Makmur. Untuk belanja bukan makanan,
21,74 persen dipenuhi di desa sendiri, 76,33 persen di Desa Suka Makmur dan
1,93 persen lainnya di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan
pekerjaan, baik pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dipenuhi di
Desa Suka Makmur.
Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja
sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja), baik
produk pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dilakukan di desa
sendiri. Selanjutnya, untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 70,00 persen
penduduk melakukan di Desa Bukit Mulya dan 30,00 persen lainnya di Desa Suka
243
Makmur. Hal ini dikarenakan belum adanya lembaga keuangan perbankan dan
non-perbankan di desa tersebut.
Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, 90,00 persen di desa sendiri
dan 10,00 persen di Desa Bukit Mulya. Untuk aktivitas kesehatan, 86,36 persen di
desa sendiri, 4,55 persen di Desa Marga (ibukota Kecamatan Sungai Bahar), dan
9,09 persen di Kota Jambi. Untuk aktivitas rekreasi seluruhnya dilakukan di Kota
Jambi sedangkan untuk aktivitas agama seluruhnya dilakukan di desa sendiri.
Tabel 84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Bukit Mas 87.50
Desa Bukit Makmur 12.50
Usaha Anggota Keluarga Desa Bukit Mas 50.00
Desa Bukit Makmur 50.00
Belanja Kebutuhan Keluarga
Makanan Desa Bukit Mas 69.36
Desa Suka Makmur 30.64
Bukan Makanan Desa Bukit Mas 21.74 Desa Suka Makmur 76.33 Kota Jambi 1.93
Kebutuhan Pekerjaan
Alat Pertanian Desa Suka Makmur 100.00
Pupuk Desa Suka Makmur 100.00
Obat-obatan Pertanian Desa Suka Makmur 100.00
Alat &Bhn Non-Pertanian Desa Suka Makmur 100.00
Penjualan Produk Pertanian Desa Bukit Mas 100.00
Non-Pertanian Desa Bukit Mas 100.00
Keuangan Simpan/Pinjam Desa Bukit Mulia 70.00 Desa Suka Makmur 30.00 Sosial Pendidikan Desa Bukit Mas 90.00 Desa Bukit Mulia 10.00
Kesehatan Desa Bukit Mas 86.36 Desa Marga 4.55 Kota Jambi 9.09
Rekreasi Kota Jambi 100.00
244
Gambar 23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011.
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Bukit Mas 100 %
Bukit Mas 100 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rek
reas
i
Buk
it M
as
90.0
0 %
Bkt.M
ulia
10
.00
%
Bkt
.Mas
86
.36
%
Kot
a Ja
mbi
9.
09 %
S. M
akm
ur
30.0
0 %
Bekerja
KK
ART
Bkt.Makmur 12.50 %
Bukit Mas 87.50 %
Bukit Mas 50.00 %
Bkt.Makmur 50.00 %
Keb
utuh
anK
elua
rga K
ebutuhan Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2 pertanian
Pupuk
Alat
pertanian B
ukan
M
akan
an
Mak
anan
Belanja
S.Makmur 100 %
S.Makmur 100 %
S.Makmur 100 %
S. Makmur 100 %
Bukit Mas 69.36 %
S. Makmur 30.64 %
Kota Jambi 1.93 %
S.Makmur 76.33%
Bukit Mas 21.74 %
Bkt
.Mul
ia
70.0
0 %
Mar
ga
4.55
%
Kot
a Ja
mbi
10
0 %
245
Desa Rasau
Penduduk Desa Rasau umumnya bekerja di desa sendiri, Desa Tambang
Mas dan Desa Pinang Merah. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat
dikemukakan bahwa 78,85 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 5,77
persen di Desa Tambang Mas dan 15,38 persen di Desa Pinang Merah. Sebaliknya
untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan 66,67 persen
lainnya di Desa Tambang Mas.
Desa Pinang Merah adalah desa eks transmigrasi yang secara administratif
berada di Kecamatan Pamenang Barat (berbeda kecamatan dengan Desa Rasau
yang berada di Kecamatan Renah Pamenang) dan berjarak sekita 6 km dari Desa
Rasau. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Rasau di desa ini
selain sebagai buruh tani juga sebagai petani yang memiliki lahan di daerah
tersebut.
Desa Tambang Mas juga adalah desa eks-transmigrasi dan berstatus sebagai
ibukota Kecamatan Pamenang Selatan. Jarak antara Desa Rasau ke Desa
Tambang Mas adalah sekitar 5 km. Aktivitas pekerjaan utama yang dilakukan
penduduk Desa Rasau di daerah ini adalah usaha-usaha jasa dan perdagangan,
dengan memanfaatkan berbagai aktivitas perekonomian yang berkembang di
daerah tersebut.
Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Tambang
Mas, Desa Pinang Merah, Kelurahan Pasar Pamenang, Kota Bangko dan Kota
Jambi. Kelurahan Pasar Pamenang adalah ibukota Kecamatan Pamenang. Di
daerah ini terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan kawasan transmigrasi
Pamenang (yang saat ini terbagi menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan
Pamenang, Pamenang Barat, Renah Pamenang dan Pamenang Selatan).
Dalam hal belanja makanan, 96,28 persen dipenuhi penduduk Rasau di desa
sendiri, 2,20 persen di Desa Tambang Mas dan 1,52 persen lainnya di Kota
Bangko (ibukota Kabupaten Merangin). Untuk belanja bukan makanan, 51,04
persen dipenuhi di desa sendiri, 4,56 persen di Desa Pinang Merah, 8,30 persen di
Kelurahan Pasar Pamenang, 35,81 persen di Kota Bangko dan 0,21 persen lainnya
di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk
246
pupuk dan obat-obatan pertanian secara keseluruhan dipenuhi di desa sendiri,
sedangkan untuk alat-alat pertanian dan pupuk dilakukan di desa sendiri,
sedangkan untuk alat pertanian dan alat serta bahan non-pertanian dipenuhi
diantara desa sendiri dan Kota Bangko.
Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian,
sebagian besar adalah di desa sendiri (96,88 persen) dan sebagian lainnya yaitu di
Desa Meranti (3,13 persen). Demikian juga untuk produk non pertanian, sebagian
besar (78,00 persen) di desa sendiri dan 22,00 persen di Desa Meranti. Desa
Meranti adalah ibukota Kecamatan Renah Pamenang yang secara administratif
Desa Rasau berada di wilayah ini.
Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 18,18 persen melakukan di
desa sendiri, 9,09 persen melakukan perjalanan ke Desa Tambang Mas dan 72,73
persen ke Kota Bangko. Selanjutnya untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan,
78,26 persen di desa sendiri, 8,70 persen di Desa Meranti dan 13,04 persen di
Desa Pinang Merah. Untuk aktivitas kesehatan, 87,88 persen di desa sendiri, 3,03
persen di Desa Meranti, 6,06 persen di Kota Bangko dan 3,03 persen di Kota
Muaro Bungo (ibukota Kabupaten Bungo). Dalam hal perjalanan untuk aktivitas
kesehatan secara keseluruhan dilakukan ke Kota Bangko dan untuk aktivitas
agama secara keseluruhan di desa sendiri.
Dibandingkan dengan desa-desa sampel lainnya, Desa Rasau relatif lebih
memiliki keterkaitan yang kuat kepada ibukota kabupatennya (Kota Bangko). Hal
ini disebabkan oleh jarak antara Desa Rasau dengan ibukota kabupaten yang
relatif dekat (sekitar 30 km) dan akses transportasi yang mudah. Selain itu juga,
aktivitas perekonomian di Kota Bangko sebagai ibukota Kabupaten Merangin
juga relatif lebih tinggi dibandingkan ibukota kabupaten lainnya (yang tercakup
dalam desa sampel).
247
Tabel 85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011 Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Rasau 78.85
Desa Tambang Mas 5.77 Desa Pinang Merah 15.38
Usaha Anggota Keluarga Desa Rasau 33.33 Tambang Mas 66.67
Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Rasau 96.28
Desa Tambang Mas 2.20
Kota Bangko 1.52
Bukan Makanan Desa Rasau 51.04
Desa Pinang Merah 4.56
Kel. Psr. Pamenang 8.30
Kota Jambi 0.21
Kota Bangko 35.89 Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian Desa Rasau 95.92
Kota Bangko 4.08
Pupuk Desa Rasau 100.00
Obat-obatan Pertanian Desa Rasau 100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian Desa Rasau 56.25 Kota Bangko 43.75
Penjualan Produk Pertanian Desa Rasau 96.88 Desa Meranti 3.13
Non-Pertanian Desa Rasau 78.00 Desa Meranti 22.00
Keuangan Simpan/Pinjam Desa Rasau 18.18 Desa Tambang Mas 9.09 Kota Bangko 72.73
Sosial Pendidikan Desa Rasau 78.26 Desa Meranti 8.70 Desa Pinang Merah 13.04
Kesehatan Desa Rasau 87.88 Desa Meranti 3.03 Kota Bangko 6.06 Kota Muaro Bungo 3.03
Rekreasi Kota Bangko 100.00
248
Gambar 24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rasau, Tahun 2011.
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Rasau 96.88 %
Meranti 3.13 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rek
reas
i
Ras
au
78.2
6 %
Mer
anti
8.70
%
Ma.
Bun
go
3.03
%
Ban
gko
100
%
Tb.M
as
9.09
%
Bekerja
KK
ART
Pn. Merah 15.38 %
Tb. Mas 5.77 %
Rasau 33.33 %
Tb. Mas 66.67 %
Keb
utuh
an
Kel
uarg
a Kebutuhan
Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2 pertanian
Pupuk
Alat
pertanian
Buk
an
Mak
anan
M
akan
an
Belanja
Rasau 95.92 %
Rasau 100 %
Rasau 100 %
Bangko 43.75 %
Rasau 96.28 %
K. Bangko 1.52 %
Tb. Mas 2.20 %
Psr. Pmng 8.30 %
P. Merah 4.56%
Rasau 51.04 %
Rasau 78.85 %
K. Jambi 0.21 %
Bangko 35.89 %
Bangko 4.08 %
Rasau 56.25 %
Rasau 78.00 %
Meranti 22.00 %
Rasa
u 18
.18
%
Ban
gko
72.7
3 %
Ban
gko
6.06
%
Mer
anti
3.03
%
Ras
au
87.8
8 %
Pn. M
erah
13
.04
%
249
Desa Sungkai
Penduduk di Desa Sungkai umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa
Pompa Air. Dirinci berdasarkan status keluarga, 78,57 persen kepala keluarga
bekerja di desa sendiri dan 21,43 persen lainnya di Desa Pompa Air. Sebaliknya
untuk anggota keluarga, 20,00 persen bekerja di desa sendiri dan 80,00 persen
lainnya di Desa Pompa Air.
Desa Pompa Air adalah desa asli (non-transmigrasi) yang berjarak sekitar 12
km dari Desa Sungkai dan memiliki aktivitas perekonomian yang relatif lebih
berkembang dibandingkan Desa Sungkai. Di Desa Pompa Air juga terdapat pasar
mingguan yang berkembang karena adanya permukiman transmigrasi di Desa
Pompa Air.
Untuk kegiatan belanja kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Sungkai dan
Kota Muara Bulian. Kota Muara Bulian adalah ibukota Kabupaten Muaro Jambi
(secara administratif Desa Sungkai berada di wilayah ini) dan berjarak sekitar 30
km dari Desa Sungkai.
Dalam hal belanja makanan, 40,99 persen dipenuhi penduduk Desa Sungkai
di desa sendiri, 11,26 persen di Desa Pompa Air dan 47,75 lainnya di Kota Muara
Bulian. Untuk belanja bukan makanan, 12,03 persen dipenuhi di desa sendiri,
8,23 persen di Desa Pompa Air dan 79,75 persen lainnya di Kota Muara Bulian.
Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya pupuk, obat-obatan
petanian dan alat serta bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Muara
Bulian, sedangkan untuk alat pertanian sebagian dipenuhi di desa sendiri dan
sebagian lainnya di Kota Muara Bulian.
Untuk keperluan penjualan produk baik untuk produk pertanian maupun
non-pertanian seluruhnya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk keperluan
keuangan (simpan-pinjam), 75,00 persen penduduk melakukan perjalanan ke Kota
Muara Bulian dan 25,00 persen lainnya ke Kota Jambi. Untuk aktivitas sosial,
dalam hal pendidikan dan agama, keseluruhannya dilakukan di desa sendiri.
Untuk kesehatan, 81,82 di desa sendiri dan 18,18 persen di Kota Muara Bulian,
sedangkan untuk aktivitas rekreasi, 75,00 persen di Kota Muara Bulian dan 25,00
persen di Kota Jambi.
250
Tabel 86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Sungkai 78.57
Desa Pompa Air 21.43
Usaha Anggota Keluarga Desa Sungkai 20.00 Desa Pompa Air 80.00
Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Sungkai 40.99
Desa Pompa Air 11.26
Kota Ma. Bulian 47.75
Bukan Makanan Desa Sungkai 12.03 Desa Pompa Air 8.23
Kota Ma. Bulian 79.75 Kebutuhan Pekerjaan
Alat Pertanian Desa Pompa Air 15.00 Kota Ma. Bulian 85.00
Pupuk Kota Ma. Bulian 100.00
Obat-obatan Pertanian Kota Ma. Bulian 100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian Kota Ma. Bulian 100.00
Penjualan Produk Pertanian Desa Sungkai 100.00
Non-Pertanian Desa Sungkai 100.00
Keuangan Simpanan/Pinzaman Kota Ma. Bulian 75.00 Kota Jambi 25.00
Sosial Pendidikan Desa Sungkai 100.00
Kesehatan Desa Sungkai 81.82 Kota Ma. Bulian 18.18
Rekreasi Kota Ma. Bulian 75.00 Kota Jambi 25.00
251
Gambar 25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Sungkai, Tahun 2011.
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Sungkai 100 %
Sungkai 100 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rek
reas
i
Sung
kai
81.8
2 %
Ma.
Bul
ian
18.1
8 %
Mek
ar S
ari
100
%
Ma.
Bul
ian
75 %
Ma.
Buli
7
5 %
Bekerja
KK
ART
Pompa Air 21.43 %
Sungkai 78.57 %
Sungkai 20.00 %
Pompa Air 80.00 %
Keb
utuh
anK
elua
rga K
ebutuhan Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2 pertanian
Pupuk
Alat
pertanian
Buk
an
Mak
anan
Mak
anan
Belanja
Pompa Air 15 %
Ma.Bulian 100 %
Ma.Bulian 100 %
Ma.Bulian 100 %
Sungkai 40.99 %
Ma.Bulian 47.75 %
Pompa Air 11.26 %
Ma.Bulian 79.75 %
Pompa Air 8.23%
Sungkai 12.03 %
Ma.Bulian 85 %
Kot
a Ja
mbi
25
%
Kot
a Ja
mbi
25
%
252
Desa Rimbo Mulyo
Penduduk Desa Rimbo Mulyo bekerja di desa sendiri, Desa Tirta Kencana,
Wirotho Agung dan Suka Maju. Dirinci berdasarkan status keluarga, 89,58 persen
kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 7,29 persen di Desa Tirta Kencana, 2,08
persen di Kelurahan Wirotho Agung dan 1,04 persen di Desa Suka Maju. Sebalik-
nya untuk anggota keluarga, 66,67 persen bekerja di desa sendiri, 19,05 persen di
Desa Tirta Kencana serta 14,29 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.
Desa Tirta Kencana, Desa Suka Maju dan Kelurahan Wirotho Agung adalah
desa-desa eks transmigrasi yang secara administratif berada dalam satu kecamatan
dengan Desa Rimbo Mulyo yaitu Kecamatan Rimbo Bujang. Desa Tirta Kencana
berjarak sekitar 12 km dari Desa Rimbo Mulyo sedangkan Desa Suka Maju
berjarak sekitar 1 km. Selanjutnya Kelurahan Wirotho Agung adalah ibukota
Kecamatan Rimbo Bujang dan berjarak sekitar 7 km dari Desa Rimbo Mulyo. Di
Kelurahan Wirotho Agung ini terdapat pasar yang menjadi pusat aktivitas
perdagangan kecamatan. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa
Rimbo Mulyo pada luar desa tersebut mencakup baik sebagai buruh tani, pekerja
non-tani maupun di bidang perdagangan.
Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan,
terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Suka Maju dan
Kelurahan Wirotho Agung. Secara proporsi, dalam hal belanja makanan, 86,37
persen dipenuhi penduduk Desa Rimbo Mulyo di desa sendiri, 2,31 persen di
Desa Suka Maju dan 2,31 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Untuk
belanja bukan makanan, 23,80 persen dipenuhi di desa sendiri, 1,47 persen di
Desa Suka Maju dan 74,73 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.
Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, baik untuk alat pertanian, pupuk,
obat-obatan pertanian dan alat serta bahan non-pertanian sebagian dipenuhi di
desa sendiri dan sebagian lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.
Untuk keperluan penjualan produk, untuk produk-produk pertanian, keselu-
ruhannya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk produk non-pertanian, 66,67
persen di desa sendiri dan 33,33 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung.
Selanjutnya untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), keseluruhan dilakukan di
Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung. Untuk aktivitas sosial, dalam hal agama,
253
keseluruhannya dilakukan di desa sendiri. Untuk kesehatan, 44,64 di desa sendiri,
50,00 persen di Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung, 1,79 persen di Desa Tirta
Kencana dan 3,57 persen di Kota Muaro Bungo, sedangkan untuk aktivitas
rekreasi, 75,00 persen di Kota Muaro Bungo dan 25,00 persen di Kota Jambi.
Tabel 87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Kegiatan Lokasi Persentase Bekerja Usaha Kepala Keluarga Desa Rimbo Mulyo 89.58
Desa Tirta Kencana 7.29 Kel. Wirotho Agung 2.08 Desa Suka Maju 1.04
Usaha Anggota Keluarga Desa Rimbo Mulyo 66.67
Desa Tirta Kencana 19.05
Kel.Wirotho Agung 14.29
Belanja Kebutuhan Keluarga Makanan Desa Rimbo Mulyo 86.37
Desa Suka Maju 2.31 Kel. Wirotho Agung 2.31
Bukan Makanan Desa Rimbo Mulyo 23.80 Desa Suka Maju 1.47
Kel. Wirotho Agung 74.73 Kebutuhan Alat Pertanian Desa Rimbo Mulyo 74.29 Pekerjaan Kel. Wirotho Agung 25.71
Pupuk Desa Rimbo Mulyo 75.00
Kel. Wirotho Agung 25.00 Obat-obatan Pertanian Desa Rimbo Mulyo 92.86
Kel. Wirotho Agung 7.14
Alat & Bhn Non-Pertanian Desa Rimbo Mulyo 81.24 Kel. Wirotho Agung 18.76 Penjualan Produk Pertanian Desa Rimbo Mulyo 100.00 Non-Pertanian Desa Rimbo Mulyo 66.67 Kel.Wirotho Agung 33.33 Keuangan Simpan/Pinjam Kel. Wirotho Agung 100.00 Sosial Pendidikan Desa Rimbo Mulyo 50.00 Kel. Wirotho Agung 50.00 Kesehatan Desa Rimbo Mulyo 44.64 Kel. Wirotho Agung 50.00 Desa Tirta Kencana 1.79 Kota Muaro Bungo 3.57 Rekreasi Kota Muaro Bungo 75.00 Kota Jambi 25.00
254
Gambar 26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011.
Perjalanan
Pertanian
Penjualan Produk
Non-Pertanian
Rb.Mulyo 100 %
W.Agung 33.33 %
Keu
anga
n Sosial
Pend
idik
an
Kes
ehat
an
Rek
reas
i
Rb.M
ulyo
50
.00
%
W.A
gung
50
.00
%
Rb.M
ulyo
44
.64
%
Kot
a Ja
mbi
25
%
W.A
gung
10
0 %
Bekerja
KK
ART
S. Maju 1.04 %
W.Agung 2.08 %
Rb.Mulyo 66.67 %
Tirta K. 19.05 %
Keb
utuh
an
Kel
uarg
a Kebutuhan
Pekerjaan
Alat/bhn non
pertanian
Obat2 pertanian
Pupuk
Alat
pertanian
Buk
an
Mak
anan
M
akan
an
Belanja
Rb.Mulyo 74.29 %
Rb.Mulyo 75 %
Rb.Mulyo 86.37 %
W.Agung 2.31 %
S.Maju 2.31 %
W.Agung 74.73 %
S.Maju 1.47%
Rb.Mulyo 23.80 %
Rb.Mulyo 89.58 %
Tirta K. 7.29 %
W.Agung 14.29 %
W.Agung 25.71 %
W.Agung 25 %
Rb.Mulyo 92.86 %
W.Agung 7.14 %
Rb.Mulyo 81.24 %
W.Agung 18.76 %
Rb.Mulyo 66.67 %
Ma.
Bun
go
75 %
W.A
gung
50
%
Tirta
K.
1.79
%
Ma.
Bun
go
3.57
%
255
7.3.2. Perjalanan Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Lokasi Tujuan Lokasi perjalanan penduduk pada masing-masing desa penelitian yang telah
dibahas sebelumnya pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa klasifikasi
yaitu di desa sendiri, di luar desa tetapi masih merupakan desa-desa eks
transmigrasi, di luar desa yang merupakan desa asli (non-transmigrasi), ke ibukota
kabupaten dan ke ibukota provinsi. Rangkuman perjalanan penduduk berdasarkan
klasifikasi lokasi tujuan tersebut diberikan pada Tabel 88 berikut.
Tabel 88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011
Klasifikasi Lokasi Stadia rendah (Stadia I) Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Rata-
rata Mekar Sari
Bukit Mas
Sung-kai
Rata- rata Rasau Bandar
Jaya Rimbo Mulyo
Rata-rata
Desa Sendiri 66.85 43.88 34.13 54.25 76.50 43.32 57.27 57.30 56.71
Desa Eks Transmigrasi Lain 0.00 53.23 0.00 14.24 7.29 51.60 40.34 36.46 30.48
Desa Non Transmigrasi 5.55 0.00 8.96 4.74 0.07 2.50 1.79 1.63 2.41
Ibukota Kabupaten 0.00 0.00 55.72 10.99 16.08 0.06 0.03 3.56 5.57
Ibukota Provinsi 27.60 2.89 1.19 15.78 0.06 2.52 0.57 1.04 4.83
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100
N (sampel) 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Di lokasi penelitian terlihat bahwa 56,71 persen perjalanan dilakukan
penduduk di desa sendiri dan 43,29 persen di luar desa baik untuk aktivitas
belanja kebutuhan pekerjaan, belanja, penjualan produk, keuangan dan
kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Secara umum fakta ini menunjukkan bahwa
interaksi penduduk desa-desa eks transmigrasi relatif tinggi dengan wilayah di
luar desa. Namun demikian, ditelusuri lebih jauh ternyata interaksi tersebut masih
dalam kisaran desa-desa eks transmigrasi lain, yaitu mencapai 30,48 persen dari
total perjalanan. Dengan kata lain, dari total perjalanan yang dilakukan penduduk
desa-desa eks-transmigrasi, 87,19 persen dilakukan di lokasi permukiman
transmigrasi (desa sendiri dan desa-desa eks-transmigrasi lainnya). Sebaliknya
hanya 2,41 persen dari total perjalanan yang dilakukan ke desa-desa non-
transmigrasi, 5,57 persen ke ibukota kabupaten dan 4,83 persen ke ibukota
provinsi.
256
Desa dengan interaksi paling tinggi terhadap wilayah di luar lokasi
transmigrasi adalah Desa Sungkai. Hanya 34,13 dari total aktivitas perjalanan
penduduk desa ini yang dilakukan di desa sendiri (dan tidak terdapat perjalanan ke
desa-desa eks transmigrasi lainnya), sedangkan sebagian besar lainnya (65,87
persen) dilakukan di luar lokasi transmigrasi. Dari perjalanan ke luar desa ini,
bagian terbesar dilakukan ke ibukota kabupaten (mencapai 55,72 persen),
selanjutnya ke desa-desa non-transmigrasi (8,96 persen) dan ke ibukota provinsi
(1,19 persen).
Besarnya proporsi perjalanan ke ibukota kabupaten disebabkan relatif
dekatnya jarak desa ini ke ibukota kabupaten yaitu hanya sekitar 30 km. Selain itu
relatif tingginya interaksi dengan desa-desa non transmigrasi (paling tinggi
dibandingkan desa-desa lainnya) disebabkan Desa Sungkai merupakan lokasi
transmigrasi yang tidak terpisah (berbatasan langsung) dengan desa-desa non
transmigrasi.
Fenomena yang sama juga terlihat pada Desa Mekar Sari. Sekitar sepertiga
bagian perjalanan (33,15 persen) dari penduduk dilakukan di luar desa (juga tidak
terdapat perjalanan yang dilakukan ke desa eks transmigrasi lainnya). Pada Desa
Mekar Sari, perjalanan terbesar ke luar desa dilakukan ke ibukota provinsi
(mencapai 27,60 persen) disebabkan jarak yang relatif dekat ke ibukota provinsi
yaitu sekitar 45 km (tidak terdapat perjalanan ke ibukota kabupaten karena jarak
yang relatif jauh mencapai yaitu sekitar 75 km). Selain itu, interaksi desa ini
dengan desa non-transmigrasi juga relatif tinggi dibandingkan rata-rata desa
lainnya, karena Desa Mekar Sari juga berbatasan langsung dengan desa-desa non-
transmigrasi.
Selain faktor jarak ke desa-desa non-transmigrasi dan ke pusat pertumbuhan
(ibukota kabupaten maupun provinsi), faktor terpenting lainnya yang menentukan
interaksi ini adalah ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi di desa (ataupun
desa eks transmigrasi lainnya yang berdekatan). Desa Rasau memiliki interaksi
paling rendah dengan wilayah sekitarnya (76,50 persen perjalanan dilakukan di
desa sendiri) karena dibandingkan desa-desa penelitian lainnya, desa ini memiliki
sarana-prasarana sosial ekonomi yang relatif lebih lengkap.
257
Di Desa Bandar Jaya, Bukit Mas dan Rimbo Mulyo, meskipun interaksi ke
luar desa relatif tinggi, tetapi dilakukan pada desa-desa eks transmigrasi lainnya
yang berdekatan. Hal ini terutama dipicu oleh keberadaan pasar di desa eks
transmigrasi lainnya yang jaraknya relatif dekat. Keberadaan pasar tidak hanya
akan membangkitkan perjalanan belanja, tetapi juga akan memberikan peluang
usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar.
Fenomena ini sejalan dengan hukum gravitasi Newton yang dikembangkan
dalam interaksi sosial-ekonomi dimana dinyatakan bahwa interaksi antara dua
tempat dipengaruhi oleh besarnya aktivitas sosial dan produksi yang dihasilkan
oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan
besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut. Senada dengan hal tersebut Rustiadi
et al. (2009), juga menyatakan terdapat dua prinsip dari interaksi yaitu: (1) mesin
penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dan dorong-tarik dari
supply-demand; dan (2) penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh
friction of distance.
Relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya
sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa
sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi. Di sisi lain,
tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di
desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam
bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi menyebabkan tidak
terbentuknya mesin penggerak dari interaksi tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, Yulia (2005) juga mengemukakan bahwa
kebijaksanaan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi hendaknya
perlu dilakukan dalam bentuk: (a) mendorong terwujudnya pengembangan
permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan
dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi
pertumbuhan UPT dan desa setempat sebagai bagian dari kawasan; dan (b)
keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya.
Pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang tidak berimbang ini juga mulai
memunculkan fenomena yang biasanya dikenal dalam keterkaitan desa kota, yaitu
backwash effect. Meningkatnya sumber daya ekonomi di desa-desa eks
258
transmigrasi tidak secara otomatis diiringi peningkatan aksesibilitas masyarakat
desa-desa sekitarnya terhadap sumber daya ekonomi tersebut. Bahkan sebaliknya
yang terjadi adalah meningkatnya potensi masyarakat di desa-desa eks
transmigrasi dalam memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya desa-desa
sekitarnya. Fenomena ini terlihat dari mulai ditemukannya penduduk di desa-desa
eks transmigrasi yang diteliti yang memiliki lahan pertanian yang bersumber dari
pembelian lahan penduduk desa sekitarnya.
Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi
dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya
pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas. Menurut Woolclock (1998),
diacu dalam Rustiadi (2009) salah satu ciri penting modal sosial pada tingkat
komunitas adalah keterkaitan (linkage) dalam suatu jaringan (network).
Berdasarkan unsur networking, modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu (1) bonding social capital yang dicirikan oleh kuatnya ikatan (pertalian)
seperti antara anggota keluarga atau antara anggota dalam kelompok etnis
tertentu, yang terbangun dengan thick trust karena adanya rasa percaya antar
kelompok orang yang saling mengenal; (2) bridging social capital yang dicirikan
oleh semakin banyaknya ikatan antarkelompok misalnya asosiasi bisnis, kerabat,
teman dari berbagai kelompok etnis yang berbeda, yang terbangun dengan thin
trust, rasa percaya terhadap sekelompok orang yang belum dikenal; dan (3)
lingking social capital, yang dicirikan oleh hubungan antara berbagai tingkat
kekuatan dan status sosial yang berbeda seperti antarindividu dari berbagai kelas
yang berbeda.
Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks
bridging social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya
forum-forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang
melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan masyarakat
di sekitar desa transmigrasi. Di desa penelitian sebagai contoh, kelompok tani,
koperasi, arisan warga, kelompok pengajian, perkumpulan olahraga terbentuk
secara terpisah antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnya. Fakta ini muncul
dan diperkuat dengan kebijakan yang menjadikan desa-desa eks transmigrasi
259
sebagai desa administratif baru yang terpisah dari desa induknya maupun desa
setempat.
Selain itu, pada tahap pembinaan (sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya
diberikan kepada transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik
secara sosial ekonomi, budaya dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama
kepada masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya
proses penyesuaian masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru
dari pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya
antar penduduk setempat dengan transmigran pendatang.
7.3.3 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Bekerja Model perjalanan bekerja dirumuskan sebagai berikut:
eXXXXXXXXXXXxg
DDDDDD
DDDDDDki
77664.54.53.53.52.52.5
1.51.544.332.22.21.21.2110)(
di mana:
g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa)
X1 = Umur ( dalam tahun)
X2 = Jenjang pendidikan formal
X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.D2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan)
X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga)
X5 = Daerah asal
X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya
X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa)
X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)
1, 4, 6 , 7 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0; 2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0
Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan
korelasi diberikan pada Lampiran 10. Dari Lampiran 10 terlihat bahwa nilai
korelasi peubah bebas relatif rendah. Dengan kata lain, tidak terdapat masalah
260
multikolinearitas dalam model sehingga seluruh peubah bisa dan layak digunakan
dalam model
Selanjutnya uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel
89. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik
Chi_Square sebesar 122,697 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersama-
bersama mempengaruhi keputusan dan perilaku individu dalam keluarga untuk
bekerja di desa atau di luar desa. Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow
didapatkan nilai Chi-Square sebesar 9,220 dengan nilai p sebesar 0,324. Karena
Chi_Square tidak signifikan (p > 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang
diprediksi sesuai dengan probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada
perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit.
Tabel 89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja
Chi-square df Sig.
Omnibus Test of Model Coefficients
Step 122.697 11 .000 Block 122.697 11 .000 Model 122.697 11 .000 Hosmer and Lemeshow Test 9.220 8 .324
Selanjutnya dari Tabel klasifikasi 2 x 2 memperlihatkan seberapa baik
model mengelompokkan kasus ke dalam dua kelompok baik yang bekerja di desa
maupun di luar desa. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 89,9 persen
sedangkan keakuratan prediksi yang bekerja di luar desa kategori rendah dan
tinggi masing-masing 96,8 persen dan 53,7 persen.
Tabel 90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja
Observasi Prediksi
Kategori Persentase Benar Rendah Tinggi
Kategori Rendah 275 9 96.8 Tinggi 25 29 53.7 Persentase Keseluruhan 89.9
Estimasi parameter dan uji parsial dalam model binari logit untuk perjalanan
bekerja diberikan pada Tabel 91. Berdasarkan hasil estimasi memperlihatkan
261
bahwa umur (X1) berpengaruh signifikan negatif terhadap peluang bekerja antara
di desa dan luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan
probabilitas individu bekerja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio dapat
dikemukakan bahwa individu yang berumur lebih tua satu tahun memiliki
probabilitas 0,991 kali untuk bekerja di luar desa dibandingkan dengan individu
berumur lebih muda.
Tabel 91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja
Peubah B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Keterangan Peubah
X1 -.093 .024 14.957 1 .000 .911 Umur X2 15.010 2 .001 Pendidikan
X2.D1 .223 .625 .127 1 .721 1.250 SLTP X2.D2 1.749 .509 11.808 1 .001 5.749 SLTA
X3 .727 .470 2.395 1 .122 2.068 Pek. sampingan X4 2.520 .513 24.105 1 .000 12.433 Anggota keluarga X5 19.791 4 .001 Daerah asal
X5.D1 2.037 .702 8.430 1 .004 7.667 Jateng X5.D2 3.945 .925 18.175 1 .000 51.665 Jabar X5.D3 2.774 1.007 7.583 1 .006 16.028 Jatim X5.D4 3.024 1.051 8.271 1 .004 20.572 Lainnya
X6 -.083 .445 .035 1 .852 .920 Lahan X7 -.926 .425 4.740 1 .029 .396 Stadia Tinggi Konstanta -1.145 1.111 1.063 1 .302 .318
Tidak terdapat perbedaan peluang untuk bekerja di luar desa antara individu
yang berpendidikan SLTP (X2.D1) dengan yang berpendidikan SD ke bawah
(referensi). Hal ini ditunjukkan oleh koefisien dalam model yang tidak signifikan.
Namun demikian, koefisien pada kelompok pendidikan SLTA ke atas (X2.D2)
signifikan positif. Ini menunjukkan bahwa individu dengan pendidikan SLTA ke
atas memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bekerja di luar desa dibandingkan
dengan individu berpendidikan SD ke bawah. Dari nilai odds ratio
memperlihatkan bahwa peluang individu yang berpendidikan SLTA ke atas untuk
bekerja di luar desa memiliki peluang 5,749 kali untuk bekerja di luar desa
dibandingkan individu yang berpendidikan SD ke bawah.
Status pekerjaan sampingan (X3.D1) tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan. Ini berarti bahwa peluang untuk bekerja di luar desa adalah sama
antara individu yang bekerja dalam status pekerjaan sampingan dengan yang
262
bekerja dalam status pekerjaan utama (referensi). Sebaliknya, individu yang
berstatus sebagai anggota keluarga (X4.D1) menunjukkan pengaruh signifikan
positif. Ini berarti terdapat perbedaan peluang bekerja di luar desa antara anggota
keluarga dengan kepala keluaga (referensi). Dari nilai odds ratio terlihat bahwa
peluang anggota keluarga untuk bekerja di luar desa adalah 12,433 kali
dibandingkan kepala keluarga.
Terdapat perbedaan peluang individu yang berasal dari Jawa Tengah (X5.D1),
Jawa Barat (X5.D2), Jawa Timur (X5.D3) dan daerah lainnya (X5.D4) untuk bekerja di
luar desa dibandingkan dengan individu yang berasal dari Jambi (referensi).
Dengan mengamati odds ratio, peluang bekerja di luar desa untuk individu dari
Jawa Tengah 7,667 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi, sedangkan untuk
individu dari Jawa Barat 51,665 kali, dari Jawa Timur 16,028 kali dan dari daerah
lainnya 20,572 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi.
Luas lahan perkapita (X6) tidak berpengaruh signifikan terhadap peluang
bekerja di luar desa. Ini berarti tidak terdapat perbedaan peluang bekerja di luar
desa antara individu yang memiliki lahan luas maupun sempit.
Terdapat perbedaan peluang individu yang berada di desa-desa stadia tinggi
(X7) untuk bekerja di luar desa dibandingkan individu yang berada di desa-desa
stadia rendah (referensi). Dari odds ratio terlihat bahwa peluang individu di desa-
desa stadia tinggi adalah 0,318 kali dibandingkan individu yang berada di desa-
desa stadia rendah. Dengan kata lain, peluang individu untuk bekerja di luar desa
pada individu di desa-desa stadia tinggi lebih rendah dibandingkan individu di
desa-desa stadia rendah.
7.3.4 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Belanja Model perjalanan untuk kegiatan belanja dirumuskan sebagai berikut:
eXXXXXXXX
XXXXXXXxg
DD
DDDDDDDDDD
DDDDDDDDmi
994.84.8
3.83.82.82.81.81.8772.62.61.61.6
552.42.41.41.4.332.22.21.21.2110)(
di mana:
g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi)
X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun)
263
X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga
X2.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Umur Istri (tahun)
X4 = Jenjang pendidikan formal Istri
X4.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X4.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X5 = Umur Anak Tertua (tahun)
X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua
X6.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X6.2 0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan)
X8 = Daerah asal
X8.1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah
X8.2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat
X8.3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur
X8.4 0 = Jambi; 1 = Lainnya
X9 = Stadia Desa (0 = Rendah; 1 = Tinggi)
1, 3, 9, < 0
8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0
2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0
Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan korelasi antar peubah diberikan pada Lampiran 11. Dari Lampiran 11 terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang relatif tinggi ( > 0,85) antara umur kepala keluarga (suami) dengan umur isteri. Oleh karenanya, dalam pengembangan modelnya digunakan alternatif peubah rata-rata umur suami dan istri (X1_3) sebagai pengganti peubah X1 (umur KK) dan X3 (umur istri).
Selanjutnya, uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel 92. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik Chi_Square sebesar 71,808 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersama-bersama mempengaruhi keputusan dan perilaku keluarga berbelanja di luar desa.
264
Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai Chi-Square
sebesar 3,996 dengan nilai p sebesar 0,857. Karena Chi_Square tidak signifikan (p
> 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang diprediksi sesuai dengan
probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model
dengan data sehingga model dapat dikatakan fit.
Tabel 92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja Chi-square df Sig.
Omnibus Test of Model Coefficients Step 71.808 14 .000 Block 71.808 14 .000 Model 71.808 14 .000 Hosmer and Lemeshow Test 3.996 8 .857
Tabel Klasifikasi 2 x 2 juga memperlihatkan tingginya tingkat keakuratan
prediksi model. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 84,1 persen
sedangkan keakuratan prediksi untuk keluarga dengan proporsi kategori rendah
dan tinggi dalam hal berbelanja di luar desa masing-masing sebesar 93,7 persen
dan 41,7 persen.
Tabel 93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja
Observasi Prediksi
Kategori Persentase Benar Rendah Tinggi
Kategori Rendah 149 10 93.7 Tinggi 21 15 41.7 Persentase Keseluruhan 84.1
Estimasi parameter dan uji parsial model perjalanan untuk kegiatan belanja
diberikan pada Tabel 94. Berdasarkan Tabel 94 terlihat bahwa rata-rata umur
suami-istri (X1_3) menunjukkan pengaruh yang signifikan negatif terhadap
proporsi belanja di luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan
probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada kategori keluarga dengan
proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio
dapat dikemukakan bahwa keluarga dengan rata-rata umur suami-istri yang lebih
tua (satuan 1 Tahun) memiliki probabilitas 0,638 kali untuk mencapai kategori
265
keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa dibandingkan
keluarga dengan rata-rata suami-istri yang berumur lebih muda.
Tabel 94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
X1_3 -.449 .108 17.150 1 .000 .638 X2 2.815 2 .245
X2.D1 -1.060 .686 2.387 1 .122 .346 X2.D2 -1.006 .749 1.806 1 .179 .366
X4 8.582 2 .014 X4.D1 1.779 .647 7.558 1 .006 5.926 X4.D2 1.886 .780 5.843 1 .016 6.591
X5 .358 .106 11.394 1 .001 1.431 X6 5.906 2 .052
X6.D1 -25.438 4666.804 .000 1 .996 .000 X6.D2 2.498 1.028 5.906 1 .015 12.153
X7 .001 .000 4.660 1 .031 1.001 X8 2.732 4 .604
X8.D1 .726 .624 1.353 1 .245 2.066 X8.D2 1.013 1.019 .990 1 .320 2.755 X8.D3 1.449 1.177 1.515 1 .218 4.257 X8.D4 -.494 1.475 .112 1 .737 .610
X9 .542 .560 .940 1 .332 1.720 Konstanta 7.149 2.281 9.824 1 .002 1273.090
Pendidikan kepala keluarga (X2.D1 dan X2.D2) tidak berpengaruh terhadap
perilaku belanja di luar desa, namun demikian pendidikan istri menunjukkan
pengaruh signifikan positif. Keluarga dengan istri berpendidikan SLTP (X4.D1)
memiliki peluang belanja di luar desa sebesar 5,926 kali dan yang berpendidikan
SLTA (X4.D2) sebesar 6,591 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan SD ke
bawah (referensi).
Umur anak (tertua) (X5) berpengaruh positif yang menunjukkan bahwa
semakin tinggi umur anak tertua maka semakin besar peluang keluarga tersebut
berbelanja di luar desa. Sebaliknya pendidikan anak tertua (X6) tidak berpengaruh
signifikan. Ini berarti juga tidak ada perbedaan perilaku berbelanja di luar desa
pada keluarga dengan berbagai tingkatan pendidikan anak.
Pendapatan per kapita keluarga (X7) berpengaruh signifikan positif terhadap
proporsi belanja di luar desa. Semakin besar pendapatan per kapita keluarga maka
266
akan semakin meningkatkan probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada
kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan
mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa keluarga yang dengan
pendapatan per kapita lebih tinggi (satuan Rp 1000) memiliki probabilitas 1,001
kali untuk mencapai kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di
luar desa dibandingkan keluarga dengan pendapatan per kapita lebih rendah.
Berdasarkan daerah asal kepala keluarga, tidak terdapat perbedaan peluang
dalam berbelanja di luar desa antara keluarga dengan kepala keluarga yang
berasal dari Jawa Tengah (X8.D1), Jawa Barat (X8.D2), Jawa Timur (X8.D3) dan
daerah lainnya (X8.D4) dibandingkan dengan kepala keluarga yang berasal dari
Jambi (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya nilai koefisien pada
masing-masing peubah. Selanjutnya, estimasi parameter model memperlihatkan
bahwa tidak terdapat perbedaan peluang berbelanja di luar desa antara desa stadia
rendah (referensi) dengan desa stadia tinggi (X9) Ini berarti perilaku keluarga
dalam berbelanja di luar desa relatif sama antara desa-desa stadia tinggi dengan
stadia rendah.
VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN
8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas Hipotesis Rustiadi Melalui sudut pandang demand side strategy, Rustiadi et al. (2009)
mengemukakan stadia perkembangan desa khususnya pada stadia pengembangan
kawasan transmigrasi yang dirujuk dalam penelitian ini. Stadia-stadia tersebut
adalah:
1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia
sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk
kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga
membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian.
2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal
lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran
diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri (subsisten).
3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi
diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil
usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat
diusahakannya Lahan Usaha II.
4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap
ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk
memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil
pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak
perlu jauh-jauh menjual ke kota.
5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang
diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian.
Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala
kecil.
6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada
tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang
mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.
268
Gambar 27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. Sumber: Rustiadi et al. (2009)
Merujuk pada stadia perkembangan desa tersebut, dan berdasarkan
pengujian dan konfirmasi data, penelitian ini menemukan suatu pola baru stadia
perkembangan desa sebagai bentuk pengembangan hitotesis stadia perkembangan
desa Rustiadi et al. (2009) tersebut. Pengembangan dilakukan terutama setelah
berada pada stadia marketable surplus (asumsi dasar ketika permukiman
transmigrasi telah lepas bina dan diserahkan ke pemerintah daerah).
Setelah stadia marketable surplus, desa eks transmigrasi masuk pada stadia
awal industri primer. Stadia ini ditandai oleh mulai berkembangnya industri hulu
pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan
makanan atau industri. Jenis industri pada kelompok ini antara lain penggilingan
padi dan penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian
lainnya, pembuatan berbagai macam tepung dari padi-padian/biji-bijian/kacang-
kacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani. Selain
itu, pada stadia ini juga mulai berkembangnya industri-industri non pertanian
primer seperti industri pengolahan tanah liat, barang-barang dari kayu, rotan,
Stadia Industrialisasi Perdesaan
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Industri Non-Pertanian
Stadia Industri Pertanian
Stadia Marketable Surplus
Stadia Subsisten
Stadia Sub-Subsisten
269
bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang logam lainnya. Kedua
kelompok industri ini merupakan industri-industri yang tumbuh karena didorong
kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat. Selanjutnya, pada stadia awal industri
primer, aktivitas perdagangan dan jasa masih bertumpu pada perdagangan dan
jasa yang ditujukan untuk alat dan bahan pertanian.
Berkembangnya industri ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat baik
sebagai akibat meningkatnya permintaan hasil pertanian (untuk bahan industri)
maupun peluang kerja yang tercipta dengan adanya industri tersebut. Peningkatan
masyarakat akan semakin meningkatkan daya beli masyarakat, oleh karenanya
industri hulu pertanian dan industri non-pertanian primer ini juga akan semakin
berkembang. Saat ini desa-desa masuk pada stadia lanjut industri primer.
Pada stadia lanjut industri primer ini juga mulai berkembang aktivitas
perdagangan dan jasa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer penduduk .
Berkembangnya aktivitas perdagangan dan jasa ini selain disebabkan oleh
berkembangnya industri juga menjadi faktor keberlanjutan perkembangan
aktivitas industri itu sendiri.
Berlanjutnya peningkatan masyarakat akan meningkatkan permintaan
barang-barang sekunder dan tersier. Ini menyebabkan tumbuhnya industri hilir
pertanian dan industri non-pertanian sekunder/tersier. Industri hilir pertanian
adalah industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi yang
antara lain pembuatan tempe dan tahu, pembuatan makanan dari kedele dan
kacang-kacangan selain kecap, tempe dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan
sejenisnya dari ubi dan pisang, pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayur-
sayuran seperti asinan buah-buahan dan selai pisang. Oleh karenanya pada tahap
ini desa-desa masuk pada stadia industri sekunder/tersier.
Stadia ini juga menandakan masuknya desa-desa pada tahapan urbanisasi
kota kecil/menengah. Pada stadia ini, juga ditandai dengan berkembangnya
aktivitas perdagangan dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder
dan tersier penduduk.
Tahapan perkembangan desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ini
mungkin bervariasi pada provinsi-provinsi daerah tujuan transmigrasi lainnya di
Indonesia, sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut untuk menjadikan model ini
270
sebagai model umum dalam menganalisis perkembangan desa-desa eks
transmigrasi. Meskipun demikian, mengingat kebijakan pengembangan industri di
perdesaan yang relatif sama pada berbagai daerah di Indonesia, diperkirakan
bahwa kondisi tidak terjadinya stadia industrialisasi perdesan juga akan berlaku
sama pada daerah-daerah lainnya.
Secara diagramatis, model baru stadia perkembangan desa berdasarkan hasil
temuan penelitian ini diberikan sebagai berikut:
Gambar 28 Model baru stadia perkembangan desa.
8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, pembangunan permukiman
transmigrasi dirancang secara hirarkis dari satuan terkecil berupa SP (Satuan
Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan
Pemukiman)/ LPT (Lokasi Permukiman Transmigrasi) dan WPP (Wilayah
Pengembangan Parsial)/ WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi), yang
saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta
distribusi barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi
dan administrasi wilayah.
Stadia Industri Sekunder/Tersier
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Lanjut Industri Primer
Stadia Awal Industri Primer
Stadia Marketable Surplus
Stadia Subsisten
Stadia Sub-Subsisten
Perdagangan dan jasa alat/bahan pertanian
Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan primer
Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan sekunder/ tersier
271
Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai LPT/SKP. Pada era
setelah otonomi daerah LPT tidak hanya terdiri dari SP/PTB (satuan
permukiman/permukiman transmigrasi baru), tetapi juga PTA (permukiman
transmigrasi yang sudah ada atau desa-desa eks transmigrasi), PDS (desa
setempat) dan Sisipan (Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS). Selanjutnya,
mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, salah satu satuan
permukiman dalam SKP disiapkan menjadi desa utama atau pusat kawasan
perkotaan baru. Dalam konteks desa utama ini, meskipun tidak terdapat batasan
yang tegas, tetapi kecenderungannya adalah ditempatkan pada SP/PTB atau PTA.
Kumpulan 3-5 LPT/SKP dinyatakan sebagai WPT dan salah satu
LPT/SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta mempunyai
aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu membentuk
simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan (pusat WPT).
Pusat WPT berfungsi sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi, yang berperan
sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPT-WPT yang ada di
sekitarnya.
Gambar 29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Priyono dan Fatimah (2010) Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman
Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS
= Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)
PDS 300-500 KK
Sisipan 300-500 KK
LPT/SKP LPT/SKP
Sisipan 300-500 KK
PDS 300-500 KK
LPT/SKP
PDS 300-500 KK
Sisipan 300-500 KK
WPT 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999
PTA 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
PTA 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
PTA 300-500 KK
272
Pembangunan kewilayahan transmigrasi secara hirarkie tersebut pada
dasarnya mengacu pada teori tempat sentral yang menyatakan adanya hirarkie
tempat di mana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih
kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Pembangunan
transmigrasi tersebut juga pada dasarnya mengacu pada teori pusat pertumbuhan
yang terlihat dari tujuan pembangunan transmigrasi untuk membangun pusat-
pusat pertumbuhan baru di daerah. Dengan berkembangnya permukiman
transmigrasi diharapkan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan yang dapat
mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitarnya melalui perkaitan
antarindustri serta perkaitan fungsional demand-supply.
Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak berlangsung sesuai dengan
konsep yang direncanakan, karena wilayah di luar permukiman transmigrasi yang
diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa
keuangan, pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana
yang diharapkan. Hal ini disebabkan tidak tersedianya infrastruktur, fasilitas dan
kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan
pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.
Tidak terbangunnya berbagai infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan
sehingga tidak tumbuhnya berbagai aktivitas produksi di sekitar permukiman
transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan
permukiman transmigrasi disebabkan lemahnya koordinasi pembangunan
antarlembaga yang terkait khususnya Kementerian Transmigrasi dan Kementerian
Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Rancangan pembangunan kawasan
transmigrasi setelah otonomi daerah pada dasarnya tidak hanya melibatkan desa-
desa transmigrasi tetapi juga desa-desa eks transmigrasi dan desa setempat (yang
berada dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri). Namun demikian, tidak
terdapat koordinasi dalam hal pelaksanaan pembangunannya sehingga
pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah dengan
pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat yang berada dalam
kawasan transmigrasi tersebut.
Pada dasarnya, aplikasi konsep pusat pertumbuhan dalam pembangunan
wilayah tidak akan dapat menghasilkan ekspansi yang besar ke daerah sekitarnya
273
jika tidak terdapat interaksi yang kuat antara core (pusat pertumbuhan) dengan
daerah tepi (periphery). Oleh karenanya dalam pembangunan pusat pertumbuhan
harus diikuti dengan kebijakan/intervensi pemerintah untuk menumbuhkan
interaksi antara core dan periphery ini.
Selain itu, dalam kasus pembangunan transmigrasi yang salah satu
tujuannya adalah memperkukuh persatuan kesatuan bangsa, maka interaksi yang
dibangun tidak hanya mencakup interaksi demand-supply secara ekonomi, tetapi
juga harus melibatkan interaksi sosial antara permukiman transmigrasi (penduduk
pendatang) dengan desa setempat. Interaksi sosial yang kuat diharapkan dapat
meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi antara pendatang dengan
budaya yang berbeda terhadap penduduk setempat. Interaksi sosial juga akan
menjadi faktor pendukung ke pencapaian interaksi demand-supply yang kuat.
Potensi konflik ini juga dapat diminimalkan dengan menempatkan
pembangunan transmigrasi sebagai bagian dari pembangunan daerah dan tidak
ekslusif hanya sebagai bentuk pembangunan kawasan transmigrasi. Dengan
menempatkan pembangunan kawasan transmigrasi sebagai bentuk pembangunan
daerah juga memungkinkan untuk meningkatkan koordinasi lembaga terkait
dalam pelaksanaan pembangunannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pola pembangunan kawasan transmigrasi ke
depan yang sesuai adalah pembangunan transmigrasi dengan pendekatan kutub
pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. Sebagaimana
konsep pembangunan kawasan transmigrasi yang sudah berjalan saat ini, konsep
baru ini juga menggunakan pendekatan struktur wilayah pengembangan
berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Perbedaan yang mendasar adalah terletak
pada unit permukiman (desa) yang tercakup di dalamnya. Satuan Kawasan
Permukiman (SKP) dalam konsep ini bisa terdiri dari gabungan hanya satuan
permukiman transmigrasi (SP/PTB), tetapi bisa juga terdiri dari campuran dari
satuan permukiman transmigrasi (SP/PTB), desa-desa eks permukiman
transmigrasi (PTA), desa setempat (PDS) dan sisipan serta bisa juga terdiri
gabungan hanya desa-desa setempat (PDS). Oleh karenanya, konsep ini tidak
menggunakan istilah Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) tetapi
menggunakan istilah SKP (satuan kawasan permukiman).
274
Gambar 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial.
.Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS; WPD = Wilayah Pengembangan Desa
= Desa utama atau Pusat kawasan (satu dalam satu kawasan)
Unit-unit desa pada masing-masing SKP saling berinteraksi secara sosial-
fungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial dilakukan melalui
pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam
konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi fungsional dilakukan
melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terkait secara
fungsional antardesa. Pengembangan interaksi spasial dilakukan melalui
pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa.
SKP SKP
PDS 300-500 KK
PDS 300-500 KK
PDS 300-500 KK
SKP
SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
WPD
9000 KK 36000 jiwa
PTA 300-500KK
Sisipan 300-500KK
PDS 300-500KK
SP/PTB 300-500KK
SP/PTB 300-500KK
PDS 300-500KK
275
Pentingnya pengembangan modal sosial, infrastruktur, fasilitas,
kelembagaan dan keterkaitan fisik ini menjadi penting dalam kerangka
peningkatan interaksi antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnnya. Hal ini
didasarkan dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keseluruhan faktor
tersebut di atas menjadi faktor penyebab utama rendahnya interaksi penduduk di
desa transmigrasi dengan desa sekitarnya.
Selanjutnya pada masing-masing SKP terdapat satu lokasi yang menjadi
desa utama atau pusat kawasan. Pusat kawasan dapat dirancang untuk
ditempatkan pada desa-desa setempat, desa eks transmigrasi, desa sisipan maupun
permukiman transmigrasi baru (PTB). Dengan kata lain, pusat kawasan tidak
hanya harus ditempatkan pada desa-desa transmigrasi.
Pusat kawasan yang ada pada suatu SKP juga memiliki keterkaitan dengan
pusat kawasan pada SKP yang lain baik secara sosial-fungsional-spasial.
Gabungan dari beberapa SKP membentuk Wilayah Pengembangan Desa (WPD)
dan gabungan dari beberapa WPD akan membentuk Wilayah Pengembangan
Parsial (WPP). Kerangka perencanaan dan penetapan WPD dan WPP harus
diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh
karenanya pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang
tidak ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ada.
276
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan
kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian.
Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-
desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan
perkembangan desa secara umum.
Perkembangan aktivitas non pertanian, baik pada sektor sekunder (industri)
maupun sektor tersier (jasa) tidak identik dengan kemunduran aktivitas
pertanian. Fakta dari penelitian ini menemukan bahwa berkembangnya
aktivitas pertanian semakin mendorong berkembangnya aktivitas non
pertanian, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan masyarakat
perdesaan.
Berkembangnya industri-industri di perdesaan merupakan faktor penting
untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri
perdesaan selain meningkatkan permintaan dan harga jual produk-produk
pertanian juga mampu meningkatkan produktivitas pertanian melalui
penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Selanjutnya,
bersamaan dengan berkembangnya industri juga akan berkembang aktivitas-
aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukung
tumbuhnya aktivitas industri.
Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini, selain peningkatan dalam jumlah
unit usaha industri, perdagangan dan jasa, bersamaan dengan peningkatan
stadia perkembangan desa juga terjadi pergeseran dalam aktivitas non-
pertanian tersebut. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa
berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk.
2. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak lokasi
permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana
278
jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses
seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor
kinerja makro wilayah kabupaten.
Desa-desa yang berjarak relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi (dalam hal
ini ibu kota kabupaten) serta memiliki kualitas jalan yang kurang memadai
cenderung memiliki perkembangan yang lebih lambat (berada pada stadia
rendah). Ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi transmigrasi dengan tingkat
keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum
digambarkan oleh jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan
(aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang yang lebih
besar untuk mencapai perkembangan yang tinggi.
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan di desa juga menunjukkan
pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa dengan komoditi tanaman
pangan cenderung memiliki perkembangan yang lambat dibandingkan
tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit).
Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman
pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan
dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan
tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman
pangan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa-desa dengan
komoditi tanaman perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan
tingkat perawatan sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta
banyaknya lokasi desa-desa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian
desa-desa ini berada di dataran rendah).
Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih
besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan
proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta
kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan.
Semakin lama transmigrasn di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian
diri yang dilakukannya.
Berdasarkan daerah asal terlihat bahwa kinerja transmigran dari Jawa Tengah
lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Hal ini terlihat dari kenyataan
279
bahwa desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah
cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.
Selanjutnya, kinerja makro wilayah juga menjadi faktor penentu
perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha
yang berkembang di kabupaten lokasi desa eks transmigrasi meningkatkan
peluang desa-desa tersebut untuk mencapai perkembangan yang lebih baik.
Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan
peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin
banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk
mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.
3. Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada
transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan, beban
tanggungan keluarga dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan.
Etos kerja yang lebih tinggi pada transmigran asal Jawa menyebabkan mereka
lebih sejahtera dibandingkan transmigran lokal (asal Jambi).
Bersamaan dengan etos kerja ini, pendidikan transmigran juga mempengaruhi
pencapaian perkembangan stadia tertinggi. Desa-desa stadia tinggi cenderung
memiliki kepala keluarga dengan pendidikan yang lebih baik dibandingkan
desa-desa stadia rendah.
Dari struktur keluarga menunjukkan adanya pengaruh beban tanggungan
keluarga terhadap kesejahteraan transmigran sekaligus pencapaian stadia desa.
Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa desa-desa stadia tinggi umumnya
memiliki angka beban tanggungan keluarga yang lebih rendah dibandingkan
desa-desa stadia rendah.
Faktor lainnya yang terkait dengan kesejahteraan transmigran adalah
kemampuan dalam mempertahankan kepemilikan lahan. Desa-desa stadia
tinggi cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan yang
lebih besar dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah.
4. Hasil penelitian menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi
dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi ini disebabkan tidak
terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di
desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional
280
(dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain,
relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem
transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya
menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.
Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi
dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya
pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri
pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan
Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks bridging
social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya forum-
forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang
melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan
masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Selain itu, pada tahap pembinaan
(sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya diberikan kepada transmigran untuk
bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara sosial ekonomi, budaya
dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama kepada masyarakat di sekitar
desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya proses penyesuaian
masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari pendatang
dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya antar penduduk
setempat dengan transmigran pendatang.
9.2 Saran Kebijakan
Dari kesimpulan yang diberikan, terdapat dua saran kebijakan yang dapat
dikembangkan dalam pembangunan perdesaan secara umum dan pengembangan
transmigrasi ke depan yaitu:
1. Pentingnya industri perdesaan dalam meningkatkan aktivitas dan produktivitas
pertanian serta keberlangsungan kesejahteraan masyarakat perdesaan
menunjukkan indikasi perlunya intervensi faktor eksternal baik dari pihak
pemerintah maupun pihak swasta dalam mengembangkan industri perdesaan.
Intervensi tersebut dapat berupa pengembangan keterampilan, bantuan
permodalan, maupun penciptaan iklim investasi agar industri perdesaan dapat
berkembang dengan baik. Selain itu, perlu dikembangkan kebijakan dalam
281
pengintegrasian industri perdesaan dengan industri perkotaan dalam bentuk
penyusunan jalur kesinambungan atau processing berkesinambungan.
2. Dalam pengembangan transmigrasi sebagai program pembangunan perdesaan
dan pembangunan daerah, penelitian ini menyarankan pola pembangunan
kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi
secara sosial-fungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial
dilakukan melalui pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat
khususnya dalam konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi
fungsional dilakukan melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan
kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi
spasial dilakukan melalui pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa.
Kerangka perencanaan dan penetapan kawasan transmigrasi harus diletakkan
dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh karenanya
pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang tidak
ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah. Untuk
itu diperlukan perkuatan koordinasi antarinstansi terkait dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi tersebut.
9.3 Saran Penelitian Lanjutan 1. Model pengukuran perkembangan desa ini dapat diterapkan untuk melihat
tahapan perkembangan desa secara umum. Oleh karenanya, disarankan untuk
penelitian lanjutan adalah menggunakan peubah-peubah yang digunakan pada
penelitian ini pada desa-desa non-transmigrasi agar dapat dibandingkan
perbedaaan/persamaan proses yang terjadi dengan desa-desa eks transmigrasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan unsur-unsur potensial yang
dapat digunakan untuk mengembangkan modal sosial antara permukiman
transmigrasi dengan desa sekitarnya, khususnya pada aspek interaksi.
282
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah P, Alisjahbana A, Effend N, Boediono. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Yogyakarta: BPFE-UGM.
Adiatmojo GD. 2008. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Jakarta: Graha Ilmu.
Alkadri. 2001. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT.
Alkadri, Muchdie, Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumber daya Manusia dan Teknologi. Jakarta: BPPT
Ahmad R. et al. 1998. Membangun Desa-Desa Transmigrasi (Membangun UPT Model). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan RI.
Ananta A. 1986. Transmigrasi: Suatu Analisis Ekonomi. Di dalam: Swasono SE, Singarimbun M, editor. Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1904 – 1985. Jakarta: UI-Press
Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006 Membidik Arah Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.
Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet Indonesia Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana
Anwar A. 2005. Peranan Perencanaan Inter-Regional yang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi. Di dalam Ahmad WM, editor. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor: P4W Press.
[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2003. Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program Dalam Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan. Jakarta: Bappenas.
[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2005. Laporan Hasil Evaluasi Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh (Sub Program Transmigrasi). Jakarta: Bappenas.
[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2006. Keterpaduan Kebijakan Antar Sektor dan Antar Daerah dalam Peningkatan Daya Saing Kawasan Andalan dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Bappenas.
284
Belke A, Heine J. 2004. Specialisation Pattern and the Synchronicity of Regional Employment Cycles in Europe. Discussion Paper No.1439: Institute for the Study of Labor. IZA . Bonn: Institute for the Study of Labor. IZA
Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia
Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Boston: Richard D. Irwin, Inc.
Boar BH. 1993. The Art of Strategic Planning for Information Technology, Crafting Strategy for The 90s. New York. John Wiley & Sons, Inc.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal Tahun 2002. Jakarta: Badan Pusat Statistik
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS.
[BPS Jambi] Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2011. Jambi dalam Angka 2011. Jambi: BPS
Bradley R, Gans JS. 1998. Growth in Australian Cities. Economic Record 74: 266-278
Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Collier WL, Santoso K, Soentoro, Wibowo R. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Perdesaan di Jawa: Kajian Perdesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Darnela, L. 2007. Sustainable Development: Paradigma Baru dalam Kebijakan Bank Dunia. SOSIO-RELIGIA 6 (5): 1-21
Deni R, Djumantri M. 2002. Pergeseran Pendekatan dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah/Kawasan di Indonesia. Di dalam: Winarso H et al. editor. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam era Transformasi di Indonesia. Bandung. Departemen Teknik Planologi ITB.
[Deptrans & PPH] Departeman Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. 1999. Visi, Misi, dan Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Seminar Ketransmigrasian. Bandung. PPK-UNPAD.
Direktorat Pengembangan Kawasan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pendekatan dan Program Pengembangan Wilayah. Bulletin Kawasan 2.
[Disosnakertrans Pemprov Jambi] Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Jambi. 2010. Buku Selayang Pandang Penyelenggaraan Transmigrasi Provinsi Jambi. Jambi: Disosnakertans Pemprov Jambi
Dixon JA. 1980. Biaya-biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan Alternatif-alternatifnya. Prisma 8(5): 68-83
285
Djojoprapto T. 1995. Perkembangan penyelenggaraan transmigrasi. Di dalam Utomo M, Ahmad R. editor. 90 tahun Kolonisasi, 45 tahun Transmigrasi: Redistribusi penduduk di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
Douglass M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review 20(1): 1-22
Downey W, Steven PE. 1987. Agribusiness Management. New York. Mc Graw Hill Book Company.
Edillon RG. 2008. Social Protection to Secure the Right to Food of Everi Filipino. Manila: FAO Fiat Panis.
Esman MJ, Uphoff NT. 1988. Local Organizations: Intermediaries in Rural Development, Itacha dan London: Cornell University Press
Fearnside PM. 1997. Transmigration in Indonesia: Lesson from its Enviromental and Social Impacts. Enviromental Management 21(4): 553-570
Fowler A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development. Sustainable Agriculture Programe. London: International Institute for Environment Environment and Development.
Freshwater D. 2000. The Promotion of Employment and Economic Development. Makalah di presentasikan dalam Rural21. Postdam, Germany: Juni 4 – 8, 2000
Fu CL. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Singapore: Huntsmen Offset Printing Pte Ltd.
Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Undip.
Hadjisarosa P. 1988. Regional Development. Di dalam Birowo et al. editor. Settlement Concept As An Integrated Part of Regional and Rural Development. Jakarta: Mercu Buana University.
Hadjisarosa P. 1982. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Jakarta: BP PU.
Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Perdesaan. Di dalam: Rustiadi E, Hadi S, Ahmad WM, editor. Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Bogor: Crestpent Press. hlm. 68-72.
Handayani SA. 1994. Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jember: Universitas Jember.
Hansen GE. 1981. Agricultural and Rural Development in Indonesia. Colorado: Wetview Press.
Harmantyo D. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara Sains 11 (1): 16-22
286
Haruo N. 2000. Regional Development in Third World Countries: Paradigms and Operational Principles. Tokyo: The International Development Journal Co.Ltd.
Haryati, Soegiharto S, Priyono, Wibowo DP, Purbandini L, Warsono SH. 2006. Studi Pembangunan Pusat Pertumbuhan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Asian Village Economy at the Crossroads: An Economic Approach to Institutional Change
Heeren HJ. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Hilhorst JGM. 1971. Regional Planning: A System Approach. Rotterdam: Rotterdam University Press.
Horton PB, Hunt CL. 1982. Sociology. New York: Mc. Graw Hill Jamal E. 2009. Membangun Momentum Baru Pembangunan Perdesaan di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 28(1):7-13 Jayadinata JT. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan,
Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.
Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
Junaidi, Hardiani. 2009. Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan. Bogor: Hamada Prima
Kemenakertrans. 2011. UPT Menjadi Pusat Pemerintahan 2010. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,110,16,ptrans [5 Januari 2011]
Kemenakertrans. 2012. UPT Penempatan Transmigrasi dari Era Kolonisasi s/d Tahun 2011. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,8,352,ptrans [24 Januari 2012]
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Jakarta: Kemendagri
Koestoer, Hendro R, Yanti. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Krugman P, Venables AJ. 1995. Globalization and Ineequality of Nations. Quarterly Journal of Economics 60: 857-880
Krugman P. 1998. The Role of Geography in Development. Paper prepared for the Annual World Bank Conference on Development Economics. Washington D.C. April 20-21 1998
Lee ES. 1992. Teori Migrasi. Yogyakarta: PPK-UGM Mac.Kinnon D. 2008. Evolution, Path Depedence and Economic Geography.
Geography Compass 2: 1449-1463
287
Malmberg A, Maskell P. 1997. Towards an Explanation of Industry Agglomeraion and Regional Spezialitation. European Planning Studies 5(1): 25-41.
Manuwiyoto M. 2008. Transformasi Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Marr C. 1990. Uprooting People, Destroying Cultures, Indonesia's Social Transmigration Program. Multinational Monitor Oktober 1990: 12-15.
Massey D. 1984. Spatial Division of Labour: Social Structure and The Geography of Production. London: Hogarth
McCullagh P, Nelder JA. 1992. Generalized Linear Models. London. Chapman & Hall.
Mercado RG. 2002. Regional Development in The Philippine: A Review of Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action. Discussion Paper Series. Phillipine: Institute for Development Studies.
Midgley J, Tracy MB, Livermore M. 2000. Introduction Social Policy and Social Welfare. Di dalam: Midgley J, Tracy MB, Livermore M, editor. The Handbook of Social Policy. London: Sage
Mills Edwin S, Hamilton Bruce W. 1989. Urban Economic. 4th edition. New York: Harper Collin.
Misra RP, Bhoosan BS. 1981. Rural Development: National Policies and Experiences. Nagoya: UNCRD
Monbiot G. 1989. Poisoned Arrows. London: Michael Joseph.
Montgomery MR. 1988. How Large is too Large? Implication of the City Size Literature for Population Policy and Research, Economic Development and Cultural Change 36: 691-720.
Mosher AT. 1974. Creating A Progressive Rural Structure. New York: Agriculture Development Council Inc.
Mulyanto 2007. Pengembangan dan Pengukuran Indikator Pembangunan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi. Region 2(1). 53-66
Munasinghe M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Enviromental Paper No. 3. The World Bank. Washington DC, Washington
Murdoch J. 2000. Network–a new paradigm of rural development. Journal of Rural Studies 16: 407-419.
Najiyati S. 2003. Peluang Pengembangan Koorporasi Usaha Pertanian di Permukiman Transmigrasi Pola Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian 1: 37 - 54
Najiyati S, Purbandini L, Warsono SH, Manurung NP, Yodrio, Saidin S, Ernawati L, Ratim, Slamet. 2005, Studi Pengembangan Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja di Kawasan Transmigran. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.
288
Najiyati S et al. 2006. Studi Kontribusi Transmigrasi Terhadap Ketahanan Pangan. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.
Najiyati S. 2008. Uji Coba Penghitungan Indeks Pembangunan Transmigrasi (IPT). Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.
Najiyati S, Wasono SH, Manurung L, Anharudin, Kuswandari D. 2008. Transmigrasi dan Pengembangan Masyarakat Desa Sekitar. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Nasoetion LI, Tadjudin D. 1985. Teori Titik Balik Evaluasi Menuju Adaptasi Perencanaan Pembangunan dengan Pendekatan dari Bawah. Bogor: Zona HIPIPWI.
Ndraha T. 1984. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta: Bina Aksara Nugroho I, Dahuri R. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial,
dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. O'Hara PA. 2002. The Contemporary Relevance of Thorstein Veblen's
Institutional-Evolutionary Political Economy. History of Economics Review - Electronic Archive 35: 78-103
O’ Sullivan A 2009. Urban Economic. 7th ed. New York: McGraw-Hill Irwin. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1985. A Review of Policies Affecting
Sustainable Development of Forest Lands in Indonesia. Di dalam: Dephut editor. Forest Policies in Indonesia: The Sustainable Development of Forest Lands. Jakarta: Departemen Kehutanan
Poernomosidhi H. 1981. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Makalah dalam Pertemuan Antara Ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 24 Juni 1981
Prabowo D. 1995. Diversifikasi Perdesaan. Jakarta: UI-Press. Pradhan PK. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development
Analysis. Kirtipur Kathmandu: New Hira Books Enterprises. Pranadji T. 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian
Perekonomian Perdesaan. Seminar Nasional: Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Makalah. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat.
Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Priyono et al. 2002. Studi Manajemen Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Umum Tanaman Pangan Lahan Kering dan Lahan Basah. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans.
Priyono dan Fatimah S. 2010. Konsep Kawasan Transmigrasi Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) sebagai Alat Pembangunan Daerah. http://www.depnakertrans.go.id/ litbang.html,19,trans [14 Januari 2010]
289
[Pusdatin Trans, IPB] Pusat Data dan Informasi Transmigrasi, Institut Pertanian Bogor. 1998/1999. Pengkajian Informasi dan Analisis Tingkat Perkembangan UPT dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran. Jakarta: Pusdatin Transmigrasi.
[Puslitbangtrans] Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Telaahan Kesempatan Kerja di Permukiman Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans.
[RI] Republik Indonesia. 1958. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaran Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1959. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi
[RI] Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agragia. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia.1965. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1972.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 1997. Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara.
[RI] Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara.
Ramadhan KH, Jabbar H, Ahmad R. 1993. Transmigrasi Harapan dan Tantangan. Jakarta: Departemen Transmigrasi
Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah: Teori dan Konsep Dasar. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Kajian Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.
290
Rondinelli DA. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial Dimention of Development Policy. London: Westview Press, Inc.
Rosenfeld SA. 2002. Creating Smart System: A Guide Cluster Strategies in Less Favoured Regions. Carrboro, North Carolina: The Directorate General For Regional Policy and Cohesion of the European Commission.
Rustiadi E, Hadi S. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Makalah Workshop dan Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. Bogor: P4W
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Rustiadi E. 2011. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan. Di dalam: Satria A, Rustiadi E, Purnomo AM, editor. Menuju Desa 2030. Bogor: Crestpent Press. hlm 219-246.
Ruswana E, Setiabudhi A, Widodo WD, Susanto H, Nindyantoro, Suryadi Y, Susiyanto, Sahanaya YD, Heldi Y. 1993. Pekerjaan Penyusunan Rencana Umum Satuan Kawasan Pengembangan (RUSKP) Lokasi Jujuhan I, II, III – WPP I/SKP-C Provinsi Jambi. Jakata: Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan Departemen Transmigrasi
Ruttan VW, Hayami Y. 1984. Toward a Theory of Induced Institutional Innovation. Journal of Development Studies (20): 203-222
Saefulhakim et al. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis (Strategic Development Regions). Bogor: IPB dan Bapenas.
Safrial. 2004. Pengaruh Faktor Internal terhadap Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya Transmigran Lokal non Lokal Pada Proyek Transmigrasi Perkebunan Sawit di Provinsi Jambi [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.
Saptana, Pranadji T, Syahyuti, Elizabeth R. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di Perdesaan: Kasus di Kabupaten Tabanan, Bali. SOCA 4 (1): 10 -26
Saleh AK. 1982. Peranan Transmigrasi dalam Pembangunan Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Sajogyo. 1974. Modernization without Development in Rural Java. A Paper Contributed to the Study on Changes in Agrarian Structure, FAO of UN, 1972-1973. Bogor: Bogor Agricultural University.
Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: IPB Press
291
Setiawan N. 1997. Profil Kependudukan Jawa Barat 1996-1997. Jakarta: Kantor menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Siagian T. 1995. Pendayagunaan Sistem UDKP dalam Pelaksanaan Kebijakan Bangga Suka Desa. Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta: Depdagri.
Siswono Y. 2003. Transmigrasi – Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika.
Soegiharto S et al. 2002, Arah Kebijakan Ketransmigrasian tahun 2004-2009, Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.
Soegiharto S, Saidin S. 2005. Tinjauan Komparatif Pemukiman Kembali di Beberapa Negara. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.
Soegiharto S. 2008. Transmigrasi: Belajar dari Kisah Sukses. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.
Soetardjo K. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka Soewandi. 1976. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi
Pertanian. Yogyakarta: The Gadjah Mada Press. Soewardi H. 2001. Etos Kerja Orang Sunda. Makalah pada Konferensi
Internasional Budaya Sunda I. Bandung: 22 – 25 Agustus. Stimson RJ, Stough RR, Roberts BH. 2002. Regional Economic Development:
Analysis and planning Strategy. Berlin: Springer Sumodiningrat G. 1996. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara Surjadi. 1995. Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju
Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Tarigan H, Ariningsih E. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri
Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Jakarta: LIPI. 135-140
Tarigan R. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Todaro MP, Smith SC. 2008. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga
Tribudhi B, Said A. 2001. Konsep Desa Perkotaan: Keterbandingan Antar Sensus. Di dalam: Imawan W, Irawan PB, Said A, editor. Pedoman Analisis Sensus Penduduk 2000. Jakarta: BPS.
Triutomo. 1999. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu. Di dalam: AlKadri, editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT.
[UN] United Nations. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies. Third Edition. New York: United Nations.
292
Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. West Hartford,Connecticut: Kumarian Press.
Uphoff N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. London: International Institute for Environment Environment and Development.
Utomo M. 2005. Tinjauan Kritis Kebijakan dan Implementasi Penyelenggaraan Transmigrasi. Makalah pada semiloka Transmigrasi dan Penguatan NKRI. DPP Partai Golkar Korbid Nakertrans. Jakarta: 30 November 2005
[WB] World Bank. 1986. Indonesia Transmigration Sector Review. Washington D.C: World Bank
[WB] World Bank. 2009. Laporan Pembangunan Dunia 2009: Menata Ulang Geografi Ekonomi. Sunardi D, Sungkono C, penerjemah. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari: World Development Report: Reshaping Economic Geography.
Wibowo DP et al. 2000. Penelitian Pemetaan Potensi Unit Permukiman Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk.
Wibowo DP et al. 2001. Penelitian Penetapan Kriteria Keberhasilan Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.
Wibowo DP, Diana E, Delam J, Fatimah S, Susilo SRP. 2006. Studi Kebijakan Pengembangan Desa Potensial Melalui Program Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian
Widarjono A. 2009. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Ekonosia.
Wijst T. 1985. Transmigration in Indonesia: An Evaluation of Population Redistribution Policy. Population Research and Policy Review 4(1): 1-30
Yudohusodo S. 1997. Refleksi Sejarah dan Arah Kebijaksanaan Transmigrasi di Masa Mendatang. Di dalam Utomo M, Ahmad R, editor. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara
Yulia E. 2005. Rencana Pengembangan Kawasan Transmigrasi. Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian. Jakarta: Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Yuniarti L, Wibowo DP, Priyono, Nushah. 2008. Kebijakan dan Pembangunan KTM di Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Bangkit Daya Insana.
Yunus HS. 1991. Konsepsi Wilayah dan Pewilayahan. Yogyakarta: Hardana.
LAMPIRAN
295
Lampiran 1. Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa transmigrasi
296
Lampiran 1 lanjutan
297
Lampiran 1 lanjutan
299
Lampiran 2. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 1) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
1 PINANG MERAH -0.79 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.81 0.97 -0.21 1.62 0.14 -0.17 0.29 2.08 0.82 2.35 2.27 2 MAMPUN BARU -0.19 0.32 0.52 -0.63 0.09 1.13 -0.05 0.41 1.62 -1.09 -0.91 -0.37 0.22 -0.23 0.61 0.03 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.18 -0.13 0.28 0.68 0.91 0.84 0.15 0.20 -0.30 0.52 -1.40 -0.80 0.83 -0.20 4 RASAU -0.51 -0.39 0.52 0.21 0.43 1.52 0.27 0.56 -0.06 0.32 0.08 0.60 0.86 1.02 0.83 1.13 5 MERANTI -0.57 -0.47 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.52 0.55 0.01 0.28 0.30 -0.02 1.25 0.78 0.09 0.63 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.04 0.26 0.48 0.52 0.43 0.19 0.18 -0.58 -0.71 0.86 0.25 0.70 0.88 7 SIALANG 0.67 -0.02 -0.54 1.04 -1.32 1.07 -0.24 0.91 -0.18 0.39 0.30 -0.22 -0.60 -0.66 0.04 0.54 8 TANJUNG BENUANG -0.57 -0.99 -0.76 0.14 0.38 0.57 -0.07 0.78 0.01 0.28 -0.58 0.97 -0.66 -1.67 0.80 0.41 9 TAMBANG EMAS -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.79 -0.92 0.84 0.46 0.02 -0.17 0.74 1.62 0.67 1.54 1.34
10 SUNGAI PUTIH -0.42 1.93 -0.57 -0.44 -1.32 0.83 0.11 0.46 -0.15 -1.09 -1.58 -0.39 -0.61 0.04 0.31 0.67 11 BUKIT BERINGIN -0.51 -1.27 -0.68 0.82 -1.32 1.09 1.68 1.06 -0.06 0.32 -0.17 -0.72 -1.40 -0.16 0.06 -0.38 12 PAUH MENANG -0.24 0.61 -0.36 -1.59 0.63 0.82 -0.46 -0.34 -0.34 0.48 1.70 0.62 2.26 1.59 2.36 2.79 13 PEMATANG KANCIL 1.03 -1.00 1.24 -0.01 0.69 0.64 -1.18 0.55 -0.42 0.53 0.41 0.50 -1.40 0.07 -0.71 -0.99 14 TANAH ABANG -0.72 0.74 0.15 -1.00 0.26 0.17 0.06 -0.19 0.19 0.18 2.06 0.64 0.28 0.35 0.98 0.02 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.38 1.08 -0.97 0.28 0.64 0.25 0.21 0.15 0.20 2.13 0.14 0.30 -0.60 0.13 0.05 16 BUNGA ANTOI -0.95 -0.35 1.05 -0.75 0.06 0.82 -0.28 -0.16 0.46 0.02 1.32 0.47 0.66 0.82 0.94 1.16 17 MUARA DELANG 1.41 -1.28 -0.61 -1.93 -0.03 0.93 -0.35 -0.30 0.59 -0.05 1.70 0.69 1.01 0.30 1.41 1.28 18 SINAR GADING 0.16 0.41 0.15 -1.00 -1.32 0.92 -0.16 -0.51 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.03 -0.80 -1.66 -0.92 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.51 -0.37 0.20 0.54 0.46 -0.09 0.26 0.14 -0.17 0.14 1.52 2.49 1.92 1.61 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.27 -0.36 -0.13 0.63 1.57 0.65 1.06 -0.34 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.92 -0.03 -0.40 21 SRI SEMBILAN 0.41 -0.91 0.46 -0.69 -1.32 1.11 0.77 0.99 -0.96 0.86 -0.17 0.16 -0.35 -0.05 0.14 -0.56 22 BUKIT SUBUR 0.24 -1.80 0.24 -0.90 0.98 -0.54 1.36 1.01 -0.80 -1.09 -0.17 1.01 1.89 0.98 2.49 2.54 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.94 0.31 0.16 0.64 0.38 0.12 0.22 2.13 -0.78 -0.19 -0.15 1.11 0.55 24 SUNGAI BENTENG -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.19 1.18 -0.35 0.46 -1.09 0.71 1.34 -0.08 -0.38 2.31 -0.06 25 PAYO LEBAR -0.13 1.54 0.55 -0.01 0.12 1.13 0.64 0.89 0.38 0.07 0.41 -1.35 2.16 2.35 1.31 1.01 26 BUKIT MURAU -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.03 1.39 0.95 -0.30 0.59 -1.09 -0.17 0.28 -0.84 -1.17 -0.52 -1.09 27 SUNGAI MERAH 1.75 0.34 0.37 0.66 1.05 0.49 0.22 -0.47 0.05 -1.09 -0.17 0.60 -1.40 -0.37 -0.43 -1.61 28 PERDAMAIAN -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.30 1.41 -1.11 0.30 -1.09 -0.17 0.36 -0.09 -0.51 -0.67 -1.34 29 BATU PUTIH -0.16 0.35 1.24 -0.01 0.69 -0.49 0.22 1.01 -0.42 -1.09 -0.17 0.87 -1.40 0.39 0.22 -0.75 30 PEMATANG KULIM -0.60 0.38 1.31 0.65 0.36 0.37 -1.16 0.36 0.05 -1.09 -0.44 0.77 -0.37 1.15 0.83 -0.82 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.07 1.55 0.94 1.62 -1.09 0.41 -0.01 0.61 -0.28 1.18 0.84 32 GURUH BARU -0.51 -1.29 -0.68 -0.61 1.15 -0.12 0.83 0.35 -0.06 -1.09 -0.17 -0.32 -0.33 -0.71 -0.54 -0.47 33 BUTANG BARU -1.80 -1.22 0.27 -0.87 -1.32 -0.51 1.11 -0.02 -0.83 -1.09 0.89 0.02 0.60 -0.41 1.07 -0.66 34 JATI BARU -1.80 -1.67 1.75 -1.04 0.91 -0.81 1.18 2.12 -0.71 -1.09 -0.17 -0.27 0.27 0.76 0.95 1.00 35 MERANTIH BARU -1.80 -1.20 0.92 0.57 1.36 -1.13 1.25 0.78 1.62 -1.09 -0.91 -1.10 1.33 -0.21 -0.17 -0.24 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.97 -0.18 0.06 -1.32 -0.01 1.57 -0.13 0.34 0.09 -0.91 0.04 -1.40 0.64 -0.59 -0.22
300
Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
37 MENTAWAK BARU -0.30 1.96 -0.43 -1.68 0.59 0.69 1.77 2.33 -0.28 0.45 -0.91 1.64 2.22 0.78 0.82 0.41 38 PEMATANG KABAU 0.43 0.89 0.49 0.17 0.41 -0.31 1.48 -0.62 -0.02 0.30 -0.17 -1.91 0.57 0.53 -1.44 -0.01 39 TERENTANG BARU -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.11 -0.66 -0.42 -0.12 -1.09 1.15 0.08 -0.62 -0.47 0.05 -0.37 40 DURIAN LUNCUK 0.97 1.79 -0.29 -1.50 1.49 1.30 0.02 0.30 -0.39 2.12 0.89 0.12 -1.40 -0.90 0.70 0.25 41 JANGGA BARU 2.25 -0.74 -0.84 0.02 1.03 1.19 -0.58 1.54 0.08 0.24 1.88 -0.52 0.21 -0.76 -0.18 -0.68 42 BULIAN BARU 0.06 -1.61 0.02 0.27 0.85 -0.87 0.35 1.19 -0.63 -1.09 -0.17 -0.71 -0.08 0.20 0.48 -0.30 43 MEKAR JAYA 0.29 -1.22 2.05 2.03 1.01 -0.35 0.48 -0.14 -0.85 0.79 0.41 -1.06 0.63 0.35 0.63 0.81 44 BULIAN JAYA 0.91 1.93 -0.36 -0.13 0.63 -1.07 -0.16 -0.20 -0.34 0.48 -0.17 -0.95 0.84 -0.92 0.17 0.73 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.33 0.86 -0.32 -1.32 -0.24 -0.76 0.74 -1.23 1.05 -1.58 0.85 0.59 0.10 0.13 1.52 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.86 1.12 -1.32 -1.48 -0.09 -1.76 -1.23 1.05 -1.58 0.50 0.23 0.10 0.54 -0.26 47 BUKIT HARAPAN -0.54 1.88 -0.72 -0.66 1.12 0.13 -0.23 -0.52 -0.02 0.30 -0.44 0.72 -0.65 -1.00 -1.69 -0.18 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.42 0.49 -0.66 1.12 -1.13 -0.16 0.46 -0.98 0.88 -0.91 0.73 -0.34 -0.73 -0.76 -0.55 49 TAPAH SARI 0.86 -1.07 1.03 -0.18 1.42 -0.80 1.41 -0.34 -1.34 1.12 0.19 0.81 -1.40 -1.67 -0.47 -1.88 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.26 0.02 -1.32 -0.19 0.34 -0.23 -1.49 1.23 -1.10 -1.34 -0.16 -1.67 -1.61 -1.29 51 RAMIN 1.84 1.15 -2.30 1.57 -1.32 -1.02 0.21 -1.45 -2.03 1.67 0.89 0.09 -1.40 -1.67 1.05 -0.37 52 MEKAR SARI -0.54 -0.43 -0.72 0.75 -1.32 -0.75 1.41 0.21 -0.02 0.30 -0.17 1.16 0.03 -0.05 -0.79 -1.09 53 PANCA MULYA -0.33 0.57 -0.46 -0.30 1.34 -0.92 -1.20 -1.76 -0.25 0.43 -0.17 -0.56 0.01 -0.94 0.15 -0.20 54 SUKA MAKMUR -0.10 0.99 -0.18 0.06 0.15 0.95 -0.82 -0.19 0.34 -1.09 -0.17 0.10 0.49 -0.41 1.72 0.54 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.15 -0.16 0.28 0.68 -1.04 -0.69 0.15 0.20 2.13 -0.67 -1.40 -0.80 -2.22 -0.86 56 MARGA 0.67 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.32 -1.46 -0.47 -0.18 0.39 0.41 0.10 -0.02 0.34 -0.37 -0.01 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.24 0.27 -0.87 0.33 0.60 -1.06 -0.63 0.08 0.24 -0.91 0.52 -0.40 -0.77 -1.59 -0.22 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.75 -0.42 0.52 -0.44 -1.14 -1.02 -0.18 0.39 -0.17 0.45 -0.60 -0.44 -0.13 -0.08 59 BUKIT SUBUR -0.45 -0.40 -0.61 -0.50 0.48 -0.95 -1.43 0.95 -0.12 0.36 -0.17 0.09 -1.40 -1.67 -3.18 -2.61 60 TRIJAYA 1.65 -1.20 2.00 1.40 -1.32 -0.79 -1.14 0.00 -0.83 0.78 -0.17 0.25 1.62 0.34 -0.77 -0.37 61 TANJUNG HARAPAN 0.08 -1.73 0.05 1.15 0.87 -0.94 -0.15 -0.49 -0.66 0.68 1.32 -1.19 -0.07 -1.67 -0.68 0.98 62 BERKAH 1.41 -0.99 0.08 1.18 0.89 -0.58 -1.19 0.63 -0.68 1.43 0.89 -0.48 -0.44 -0.82 -2.61 -0.41 63 SUMBER MULYA 0.24 -1.78 0.24 -0.90 -1.32 -0.11 -1.32 0.11 -0.80 0.76 -0.17 -0.65 -0.40 -0.78 -1.71 -0.49 64 MATRA
MANUNGGAL 0.50 -1.27 0.58 0.85 -1.32 -0.93 -1.02 -0.16 -1.04 0.92 -0.17 -0.19 -1.40 -1.67 -0.69 0.28
65 BUKIT MULYA 0.91 -0.87 1.08 -0.13 1.45 -1.09 -1.02 0.89 -1.37 1.15 0.19 -0.49 0.29 -0.60 0.41 2.28 66 BUKIT MAKMUR 1.20 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.32 0.63 -0.14 -0.53 1.84 -1.10 0.56 -1.40 -0.27 -0.53 0.79 67 BAHAR MULYA 0.38 1.03 2.22 -0.72 -1.32 -0.94 -1.11 -0.43 -0.94 0.85 -0.17 0.00 0.08 -0.06 -0.31 -0.58 68 TANJUNG MULYA 0.38 1.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -0.86 0.09 -0.94 0.85 -0.17 0.63 0.07 -0.07 -0.25 1.28 69 BUKIT MAS -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.20 -1.56 -1.43 -0.02 0.30 -0.17 -1.15 -1.40 -0.04 -2.35 -0.13 70 SUMBER JAYA -1.80 -0.04 0.18 -0.97 -1.32 -1.46 -1.76 -1.00 -0.76 0.74 -0.17 0.78 -0.01 -0.80 -0.26 -0.61 71 ADIPURA KENCANA 0.38 -0.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -1.18 0.55 -0.94 0.85 -0.17 -1.63 -0.36 0.60 -0.84 0.60 72 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.15 -1.00 -1.32 -1.42 -1.76 -0.09 -0.73 0.72 -0.58 -0.97 0.29 0.27 -1.38 0.01
301
Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
73 TANJUNG SARI -0.33 0.41 -0.46 -1.72 0.57 -1.30 -1.06 -0.53 -0.25 0.43 -0.17 0.87 -0.58 0.11 -0.25 1.12 74 PETALING JAYA 0.38 0.95 0.43 -1.18 -0.24 0.08 0.44 -1.32 0.86 -1.09 -0.91 0.03 0.14 0.41 0.27 0.29 75 SUMBER AGUNG -0.39 0.92 -0.54 -1.82 0.52 0.11 -0.05 -0.46 1.62 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.96 -1.19 0.51 76 RANTAU RASAU I 0.78 -0.20 -2.30 1.15 -1.32 -0.99 1.30 -1.12 1.62 -1.09 -0.30 0.87 1.67 2.46 0.02 -0.79 77 RANTAU RASAU II 2.20 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.44 0.63 -1.17 -0.18 -1.09 1.99 1.81 2.16 0.98 0.49 1.63 78 BANDAR JAYA -0.88 0.87 -0.18 1.19 0.73 -0.24 0.74 0.10 0.38 1.99 0.80 0.92 2.14 2.27 0.45 -0.03 79 BANGUN KARYA -0.33 0.57 -2.30 1.57 -1.32 -1.22 0.72 -1.13 -0.25 1.05 1.70 1.82 2.14 0.50 2.14 1.42 80 HARAPAN MAKMUR -0.48 0.07 -2.30 2.05 -1.32 -1.28 0.98 0.48 -0.09 0.34 0.19 1.82 1.48 1.16 -0.36 0.31 81 RANTAU JAYA 1.07 0.51 -0.80 1.79 0.36 -0.14 0.34 0.12 0.05 -1.09 -0.17 1.81 1.00 2.35 -0.07 -0.05 82 RANTAU MAKMUR -0.63 0.48 0.27 1.02 1.00 -0.62 1.19 -1.21 0.08 -1.09 -1.91 1.20 1.85 -0.40 0.14 1.07 83 RANTAU INDAH -0.48 0.02 -0.65 -0.09 0.45 -0.77 0.47 1.29 1.62 -0.08 0.89 1.15 1.36 0.07 -1.07 -0.58 84 JATI MULYO 2.15 -0.43 -2.30 1.00 -1.32 -0.71 0.48 0.48 -2.21 -1.09 0.08 1.77 -1.40 -1.67 -1.03 -2.61 85 SIDO MUKTI -0.48 0.97 -0.65 0.30 0.45 0.45 0.98 0.78 1.62 -1.09 -0.17 0.17 0.48 -0.30 -1.45 -1.27 86 CATUR RAHAYU 0.06 -1.35 0.02 1.70 0.85 0.36 0.94 -0.35 -0.63 -1.09 2.13 0.21 0.89 -0.49 0.14 -0.61 87 RAWASARI 1.84 -1.78 -2.30 2.17 -1.32 -1.66 1.28 0.28 -2.03 -1.09 -1.58 1.22 0.08 -1.67 -1.32 -2.61 88 LAMBUR I -0.36 1.01 -0.50 0.51 0.54 -1.22 0.82 -1.14 -0.22 1.03 -0.44 -0.76 1.93 1.02 0.06 -0.50 89 LAMBUR II -0.79 1.50 -1.03 0.29 0.20 -1.53 1.16 0.28 0.26 0.14 -0.74 -0.02 2.17 -0.11 0.24 0.68 90 PANDAN JAYA 0.29 -0.72 -1.28 0.21 0.59 -0.67 1.41 -1.74 0.50 2.18 0.89 1.70 -0.39 -0.77 0.55 0.32 91 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.13 -2.30 0.62 -1.32 -1.07 1.68 0.86 -0.87 0.81 -0.74 -1.31 0.63 -0.10 -1.32 -1.36 92 PANDAN LAGAN 0.29 -0.60 0.30 0.59 1.01 -1.42 0.84 -0.71 -0.85 0.79 -0.17 -1.37 -1.40 2.26 -0.75 -0.45 93 SUKA MAJU -0.19 1.77 -0.29 0.75 -1.32 -0.69 1.94 1.58 -0.39 1.68 -0.91 -1.76 -0.19 -0.59 -0.87 -1.31 94 KOTA BARU 0.24 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.64 1.52 0.53 -0.80 2.12 -0.17 -1.57 0.01 -1.67 -0.19 -0.08 95 RANTAU KARYA 1.87 -0.64 -2.30 0.77 -1.32 -0.99 1.10 1.60 -2.05 1.69 -1.32 -1.86 1.19 -1.67 -1.01 -1.69 97 PURWODADI -0.63 0.57 -0.84 -0.84 -0.13 1.38 -0.05 0.17 0.72 0.79 0.41 -1.12 -0.27 -0.11 0.85 0.49 98 SRI AGUNG -0.08 0.89 -0.15 -0.50 -1.32 -1.17 -0.60 -0.78 0.34 0.09 0.89 0.12 0.27 -0.28 -0.21 -1.10 99 LAMPISI -0.27 1.66 1.00 -0.20 0.61 -0.41 -0.31 -0.01 -0.31 0.47 -0.17 0.85 -0.22 -0.38 -0.63 0.26
100 TANJUNG BENANAK 0.29 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.94 -0.35 0.58 -0.85 0.79 -0.91 -0.19 -1.40 0.53 0.02 0.96 101 BUKIT HARAPAN 0.46 0.88 0.52 -0.63 1.14 -0.19 -0.07 0.32 1.62 -1.09 2.13 -0.09 0.10 0.23 -0.23 0.17 102 ADI PURWA 1.33 -0.92 1.61 1.71 -1.32 -0.91 -1.45 1.11 1.62 1.39 0.41 0.59 0.48 -1.67 0.27 0.10 103 PINANG GADING 1.43 -1.68 1.73 0.37 -1.32 -0.82 0.45 0.02 -1.76 1.44 -1.58 0.92 -1.40 0.43 1.23 2.55 104 DUSUN MUDO 1.65 -1.24 -2.30 1.99 -1.32 0.09 -0.83 -0.52 -0.83 2.16 1.70 -1.89 -1.40 -0.77 0.53 1.31 105 TANJUNG TAYAS 1.82 -0.50 -2.30 2.16 -1.32 -1.00 -1.76 1.10 -2.01 1.66 0.89 -1.93 0.08 -0.35 1.54 -0.38 106 BADANG -1.80 -1.09 1.11 1.33 1.47 -0.98 -0.39 1.09 -1.39 1.16 2.13 -2.23 -1.40 0.97 0.06 0.27 107 KAMPUNG BARU -0.05 1.58 -0.12 0.98 -1.32 -1.15 -1.55 -0.75 -0.53 0.60 0.41 -1.22 -0.49 -0.52 1.05 0.13 108 RANTAU BADAK -0.13 0.57 1.26 0.85 0.71 -0.20 0.24 -1.67 -0.45 -1.09 1.32 -1.68 0.12 0.68 0.04 -0.31 109 BUKIT INDAH 0.21 -0.29 0.21 0.49 0.96 -1.13 -1.15 0.38 1.62 -1.09 1.85 -1.37 -0.41 -0.15 -0.39 0.61 110 KEMANG MANIS 2.29 -0.79 -2.30 1.11 -1.32 -0.88 -1.46 -0.43 1.62 1.05 1.07 -0.26 0.22 -0.65 0.02 1.69
302
Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
111 INTAN JAYA 0.50 -1.46 0.58 0.85 1.17 -1.01 -0.22 0.82 1.62 -1.09 1.70 -0.59 -0.32 -1.67 0.74 -0.41 112 SUKA DAMAI -0.13 0.26 -0.22 0.04 0.71 -0.47 0.49 -1.18 -0.45 0.55 -0.17 1.06 0.13 -0.88 -0.99 0.47 113 ADI JAYA 0.13 -0.57 0.11 -1.04 -1.32 -1.66 -0.68 0.30 -0.71 0.71 0.89 0.25 -1.40 0.05 -1.85 -0.09 114 BRASAU 0.73 -0.90 0.86 -0.32 -1.32 -0.31 0.77 2.00 -1.23 1.05 -0.17 0.13 0.59 -0.65 -0.50 -0.61 115 PERINTIS -0.48 1.43 0.21 -0.94 0.12 1.42 -0.65 -0.38 0.91 -0.25 -0.17 0.58 -0.07 0.63 0.39 0.17 116 KELURAHAN
WIROTHO AGUNG -0.22 1.17 -0.54 -1.25 0.52 1.41 -0.77 -0.60 1.22 -0.48 1.32 -0.29 0.19 1.73 1.36 0.40
117 RIMBO MULYO -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.13 1.55 -1.21 -0.23 0.72 -0.13 -0.17 0.60 0.74 0.45 1.10 0.28 118 PURWO HARJO -1.02 0.30 1.36 -0.37 0.00 1.11 -1.30 -0.57 0.54 -0.03 -0.17 0.93 -0.41 0.16 0.96 -0.06 119 TEGAL ARUM -1.26 0.26 0.02 -1.14 0.23 1.42 -1.17 0.35 0.86 -0.22 -0.17 -0.05 -0.25 0.16 -0.02 -0.46 120 TIRTAKENCANA -1.30 0.54 -0.65 -1.98 0.12 1.52 -1.39 0.11 0.91 -0.25 -0.17 1.10 -0.78 -0.01 -0.15 -0.33 121 SAPTA MULIA -1.02 -0.04 0.21 -0.37 0.00 0.75 -1.36 1.88 0.54 -0.03 -0.17 0.64 0.21 0.65 0.37 0.08 122 SUKA DAMAI 0.48 0.20 0.55 -0.61 0.59 1.07 -0.51 -0.41 0.81 2.13 0.41 0.27 0.26 -0.02 0.05 -0.18 123 SUKA MAJU -1.12 1.24 0.46 -0.22 0.41 1.09 -0.95 -0.13 0.67 -1.09 0.08 0.21 -0.49 -0.26 -0.74 -0.64 124 WANAREJA -1.34 0.65 0.55 -0.61 -0.32 0.69 -1.58 0.12 0.96 -0.29 -0.91 0.02 -0.02 0.53 -0.07 -0.37 125 SUMBER SARI -1.16 1.19 0.37 -0.32 0.36 1.07 -0.42 0.21 0.72 -0.13 -0.91 1.19 0.22 1.99 -0.32 -0.47 126 SIDO RUKUN -1.05 1.37 1.73 -0.47 -0.03 1.19 -1.05 0.28 0.59 -0.05 -0.17 0.07 -0.04 0.11 -0.47 -0.27 127 SUNGAI PANDAN 0.41 -0.31 0.46 0.72 1.10 0.54 0.28 1.21 -0.96 -1.09 -0.91 -1.69 -1.40 -0.35 -0.22 -1.32 128 SIDO REJO -1.80 1.43 0.30 0.57 -1.32 1.24 -0.84 2.09 -0.85 0.79 -1.10 0.29 1.79 0.34 -0.66 -0.46 129 KARANG DADI -0.54 -1.48 -0.72 -0.63 1.14 1.29 -1.76 2.62 -0.02 0.30 -1.32 0.17 0.10 0.34 -0.39 0.31 130 GIRI PURNO 1.03 1.93 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.58 1.10 -0.42 0.53 0.89 -0.99 0.35 -0.32 -1.32 -1.29 131 SUMBER AGUNG -0.16 1.83 -0.25 0.82 -1.32 1.16 -1.57 1.59 -0.42 0.53 -1.58 -1.11 1.08 0.80 0.01 0.08 132 SARI MULYA -0.60 1.39 -0.80 -0.81 0.36 1.19 -1.06 1.11 0.05 0.26 -1.58 -1.40 -0.38 0.03 -0.38 0.23 133 GIRIWINANGUN -0.98 1.26 -0.43 -0.25 0.03 1.54 -0.86 0.41 0.50 1.08 -1.10 -0.29 -0.09 -0.39 -0.06 -0.60 134 PINANG BALAI 0.84 -0.96 1.00 -0.20 -1.32 -1.51 0.83 -0.61 1.62 -1.09 -1.58 -1.28 -0.22 0.69 -0.03 1.25 135 SEKUTUR JAYA 1.63 -0.63 1.98 0.56 1.95 -0.99 -1.76 0.14 1.62 1.55 -1.58 -0.94 0.61 -0.40 -0.24 1.29 136 NAPAL PUTIH 2.32 -0.73 2.85 1.13 -1.32 -1.66 -0.24 0.23 -2.31 -1.09 -1.58 -1.10 -1.40 -0.22 0.71 -0.60 137 Sungai Karang 0.43 0.85 0.49 -0.66 1.12 -1.66 2.05 0.61 1.62 -1.09 2.13 1.68 -0.34 -1.67 0.01 -1.69 138 BANGUN SARANTEN 0.53 0.88 -0.65 0.29 0.45 -0.49 -0.25 -1.23 -1.69 2.10 -0.17 1.01 -0.63 0.38 0.49 0.30 139 SUNGAI JERNIH -0.33 0.66 -0.46 -0.27 -1.32 -0.78 -0.43 -0.06 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.24 0.12 0.25 -0.53 140 BUKIT SARI -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.38 1.30 0.25 -0.06 -1.09 -0.17 0.15 -0.09 0.23 0.12 -0.29 141 SARI MULYA -1.80 1.14 -0.88 -0.09 0.31 -1.41 1.52 0.76 0.12 -1.09 -1.58 -0.50 1.12 -0.59 0.24 -0.10 142 PURWOSARI -0.05 1.46 -0.12 -1.29 0.38 1.55 -0.52 -0.20 0.01 2.13 0.89 0.01 0.62 1.41 2.08 1.38 143 LEMBAH KUAMANG -0.60 1.05 -0.80 -0.78 -1.32 1.46 -1.12 0.14 1.62 -1.09 0.41 0.05 0.23 2.05 0.29 -0.24 144 SUMBER HARAPAN -1.80 0.90 -0.68 -0.61 -1.32 0.41 0.08 0.34 -0.06 -1.09 -0.17 1.77 0.11 1.83 0.40 0.07 145 DAYA MURNI -1.80 0.83 -0.54 -1.82 -1.32 1.19 -0.49 0.04 1.62 -1.09 -0.17 1.78 -0.60 1.32 0.81 -0.43 146 SUMBER MULIA 0.46 1.13 0.52 0.81 1.14 0.84 -0.30 0.63 1.62 -1.09 0.41 0.26 -0.34 1.18 0.20 -0.07 147 MAJU JAYA -1.80 -0.52 -0.12 0.14 -1.32 1.06 -0.17 0.23 -0.53 -1.09 -0.17 0.08 -0.12 2.28 0.33 0.64
303
Lampiran 2. lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
148 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.32 0.07 0.08 -0.22 -1.09 -0.17 1.71 1.26 1.37 0.88 0.78 149 LINGGA KUAMANG -0.57 1.00 0.40 -2.15 0.38 0.95 0.15 0.08 0.01 -1.09 -0.17 1.66 -0.37 0.68 0.25 0.74 150 KUNING GADING -0.42 -0.46 -0.57 -1.87 0.50 1.25 -0.79 -0.89 -0.15 -1.09 -0.04 0.36 0.52 1.12 0.05 0.63 151 KUAMANG JAYA 0.46 -0.36 0.52 -0.63 -1.32 1.17 -1.30 2.87 1.62 -1.09 -0.17 0.88 0.10 2.00 -0.23 0.53 152 KARYA HARAPAN
MUKTI -0.54 -0.09 0.49 0.17 -1.32 1.22 -1.14 -1.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.03 -1.40 1.07 -0.40 -1.15
153 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.47 0.26 0.92 0.72 -0.20 1.62 -1.09 0.89 0.92 -0.44 0.60 0.43 0.45 154 MULIA BAKTI 2.18 0.16 -0.08 -1.25 0.79 1.18 -0.19 0.27 1.62 -1.09 -0.17 -0.48 -0.49 0.16 0.39 0.04 155 MULIA JAYA -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.01 1.21 0.52 -0.80 -1.09 0.41 0.65 0.00 1.26 1.64 1.44 156 KOTA RAJA 0.76 -1.03 0.89 -0.30 -1.32 0.30 1.25 -2.84 -1.25 -1.09 -0.17 0.32 0.91 1.75 1.40 2.81 158 TUO LIMBUR 0.41 1.24 0.46 1.58 1.10 0.59 -0.67 -0.63 -0.96 0.86 -1.91 0.57 0.95 -0.05 1.06 1.78 159 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.91 0.96 0.79 -0.56 -0.77 -0.78 -1.09 -1.91 0.71 -1.40 -0.43 -0.98 0.30 160 SEKAR MENGKUANG -1.80 1.48 0.02 1.13 0.85 1.29 -0.58 -0.86 -0.63 0.66 -1.91 0.33 -0.46 -0.83 -0.88 -0.87 161 DATAR 1.41 -1.61 1.71 1.78 1.80 0.38 0.66 -0.30 -1.74 -1.09 -0.17 -0.91 0.94 0.03 0.57 -0.26 162 TALANG PEMESUN 0.53 -0.91 0.60 0.88 1.18 0.69 1.05 -0.56 1.62 -1.09 -1.91 1.17 -1.40 -1.67 -0.89 0.86 163 PULAU KERAKAP 0.06 -0.21 0.02 0.30 -1.32 -1.39 -0.90 -2.84 -0.63 -1.09 -1.58 0.90 -1.40 -1.67 -3.12 -2.61 164 BARU PELEPAT 0.21 -0.42 0.21 0.51 0.96 -0.03 1.04 -0.56 1.62 -1.09 -0.17 -1.85 -1.40 -1.67 -2.89 -2.00 165 PULAU BAYUR 2.37 0.41 -2.30 1.17 -1.32 -1.56 0.57 -2.84 1.62 -1.09 -1.58 -2.37 -1.40 -1.67 0.60 -0.86 166 Sungai Kapas -0.95 -0.01 -1.24 -0.72 0.06 1.41 0.74 -0.31 0.46 0.02 1.70 0.25 0.40 0.40 0.31 0.28 167 NALO BARU 0.34 1.32 0.37 2.08 1.05 -0.32 1.38 -2.84 -0.89 -1.09 -0.17 -2.08 -1.40 -0.75 -0.59 -1.98 168 NALO GEDANG 0.46 -0.62 0.52 0.80 1.14 -0.63 1.56 -0.84 -1.00 -1.09 -0.91 -2.26 -0.34 -0.03 -0.24 -0.76 169 AIR BATU -0.30 0.19 -0.43 0.60 0.59 -0.21 1.04 -2.84 -0.28 -1.09 -0.17 -1.52 0.04 0.14 0.48 -0.05 170 SEKO BESAR 0.24 0.65 0.24 -0.90 0.98 -1.65 1.04 0.52 1.62 -1.09 -1.32 0.24 2.04 0.31 -0.13 -0.41 171 TAMAN BANDUNG -1.80 0.48 -2.30 1.24 -1.32 -1.58 1.95 -2.84 1.62 -1.09 1.32 -0.48 0.65 0.16 0.44 -0.30 172 SUNGKAI 1.20 -1.12 1.44 1.58 1.65 -1.07 0.72 0.36 -1.59 1.31 0.41 -2.10 -1.40 0.32 0.35 0.25 173 Arang arang 1.16 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.08 -0.91 -1.64 -0.50 0.58 2.13 1.45 -1.40 -1.67 -0.90 -1.25 174 UJUNG TANJUNG 1.26 -0.10 1.51 0.21 -1.32 -1.45 -0.55 0.17 -0.58 0.63 -0.17 0.05 -0.09 -0.02 -0.31 -0.56 175 Cinta Damai 1.50 -0.06 1.82 0.44 -1.32 -0.99 -0.22 0.06 1.62 -1.09 -0.17 -1.38 -1.40 -1.67 0.56 0.57 176 TIMBOLASI -1.80 -1.66 1.24 1.41 1.54 0.85 1.88 -0.25 -1.47 1.22 -0.04 -2.08 -1.40 -1.67 0.36 -1.53 177 CILODANG -1.80 -0.41 -0.15 -1.33 -1.32 0.08 0.20 -0.26 1.62 -1.09 -0.17 -0.25 0.81 1.11 -0.04 1.11 178 BANGUN HARJO -0.33 -0.41 -0.46 -0.30 -1.32 0.06 -0.80 0.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.10 1.30 0.74 -0.62 -0.54
304
Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
1 PINANG MERAH -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.96 -0.23 1.61 0.13 -0.18 0.30 2.08 0.81 2.44 2.32 2 MAMPUN BARU -0.19 0.32 0.51 -0.63 0.08 1.12 -0.06 0.41 1.61 -1.09 -0.93 -0.36 0.20 -0.25 0.61 0.00 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.85 0.15 0.20 -0.31 0.52 -1.42 -0.82 0.84 -0.24 4 RASAU -0.51 -0.39 0.51 0.21 0.42 1.51 0.26 0.56 -0.06 0.32 0.07 0.60 0.85 1.01 0.84 1.14 5 MERANTI -0.57 -0.48 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.51 0.55 0.01 0.28 0.29 -0.01 1.25 0.77 0.06 0.62 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.25 0.46 0.51 0.43 0.18 0.18 -0.59 -0.70 0.85 0.24 0.70 0.88 7 SIALANG 0.66 -0.02 -0.54 1.03 -1.32 1.06 -0.25 0.92 -0.19 0.39 0.29 -0.21 -0.62 -0.69 0.00 0.52 8 TANJUNG
BENUANG -0.57 -0.98 -0.76 0.13 0.38 0.55 -0.09 0.78 0.01 0.28 -0.59 0.97 -0.68 -1.70 0.81 0.40
9 TAMBANG EMAS -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.78 -0.94 0.84 0.45 0.02 -0.18 0.74 1.61 0.66 1.58 1.35 10 SUNGAI PUTIH -0.42 1.91 -0.57 -0.44 -1.32 0.82 0.10 0.46 -0.16 -1.09 -1.59 -0.38 -0.63 0.03 0.29 0.67 11 BUKIT BERINGIN -0.51 -1.26 -0.68 0.82 -1.32 1.08 1.67 1.07 -0.06 0.32 -0.18 -0.71 -1.42 -0.18 0.02 -0.42 12 PAUH MENANG -0.24 0.61 -0.36 -1.58 0.62 0.81 -0.48 -0.36 -0.34 0.48 1.70 0.63 2.26 1.59 2.45 2.86 13 PEMATANG
KANCIL 1.03 -1.00 1.23 -0.01 0.69 0.63 -1.20 0.55 -0.42 0.53 0.40 0.50 -1.42 0.05 -0.79 -1.06
14 TANAH ABANG -0.72 0.73 0.14 -1.00 0.25 0.15 0.04 -0.20 0.18 0.18 2.05 0.65 0.26 0.34 0.99 -0.01 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.37 1.07 -0.97 0.28 0.63 0.24 0.20 0.15 0.20 2.12 0.14 0.28 -0.63 0.10 0.02 16 BUNGA ANTOI -0.95 -0.35 1.04 -0.75 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.45 0.02 1.31 0.47 0.65 0.81 0.95 1.17 17 MUARA DELANG 1.40 -1.28 -0.61 -1.92 -0.04 0.92 -0.36 -0.32 0.58 -0.06 1.70 0.69 1.00 0.28 1.45 1.30 18 SINAR GADING 0.16 0.41 0.14 -1.00 -1.32 0.91 -0.18 -0.53 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.04 -0.83 -1.79 -0.98 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.50 -0.37 0.20 0.53 0.44 -0.10 0.26 0.13 -0.18 0.15 1.52 2.49 1.99 1.64 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.62 1.56 0.63 1.07 -0.34 -1.09 -0.18 -0.23 -1.42 -0.95 -0.07 -0.44 21 SRI SEMBILAN 0.40 -0.91 0.45 -0.69 -1.32 1.10 0.76 1.00 -0.96 0.86 -0.18 0.16 -0.37 -0.07 0.11 -0.61 22 BUKIT SUBUR 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.97 -0.56 1.35 1.02 -0.80 -1.09 -0.18 1.02 1.89 0.97 2.59 2.60 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.30 0.15 0.63 0.38 0.11 0.22 2.12 -0.77 -0.20 -0.17 1.14 0.54 24 SUNGAI BENTENG -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.18 1.17 -0.37 0.45 -1.09 0.70 1.34 -0.09 -0.40 2.40 -0.09 25 PAYO LEBAR -0.13 1.53 0.54 -0.01 0.11 1.12 0.63 0.90 0.37 0.07 0.40 -1.34 2.16 2.35 1.34 1.02 26 BUKIT MURAU -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.04 1.38 0.93 -0.32 0.58 -1.09 -0.18 0.28 -0.86 -1.20 -0.59 -1.16 27 SUNGAI MERAH 1.74 0.34 0.36 0.66 1.04 0.48 0.21 -0.49 0.04 -1.09 -0.18 0.61 -1.42 -0.39 -0.49 -1.70 28 PERDAMAIAN -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.29 1.40 -1.14 0.30 -1.09 -0.18 0.36 -0.11 -0.53 -0.74 -1.42 29 BATU PUTIH -0.16 0.35 1.23 -0.01 0.69 -0.50 0.20 1.02 -0.42 -1.09 -0.18 0.87 -1.42 0.37 0.19 -0.80 30 PEMATANG KULIM -0.60 0.37 1.30 0.65 0.35 0.36 -1.18 0.36 0.04 -1.09 -0.45 0.77 -0.39 1.14 0.84 -0.88 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.61 -1.09 0.40 -0.01 0.59 -0.31 1.21 0.84 32 GURUH BARU -0.51 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 -0.31 -0.35 -0.74 -0.61 -0.52 33 BUTANG BARU -1.80 -1.21 0.27 -0.87 -1.32 -0.53 1.10 -0.03 -0.83 -1.09 0.88 0.02 0.59 -0.43 1.10 -0.72 34 JATI BARU -1.80 -1.67 1.74 -1.03 0.90 -0.83 1.17 2.16 -0.71 -1.09 -0.18 -0.26 0.26 0.75 0.97 1.01 35 MERANTIH BARU -1.80 -1.20 0.91 0.57 1.35 -1.15 1.24 0.79 1.61 -1.09 -0.93 -1.09 1.32 -0.23 -0.22 -0.28 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.95 -0.19 0.05 -1.32 -0.03 1.56 -0.14 0.33 0.09 -0.93 0.05 -1.42 0.63 -0.66 -0.26 37 MENTAWAK BARU -0.30 1.95 -0.43 -1.67 0.58 0.68 1.76 2.37 -0.28 0.44 -0.93 1.64 2.21 0.77 0.83 0.39
305
Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
38 PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.40 -0.33 1.47 -0.65 -0.03 0.30 -0.18 -1.89 0.56 0.52 -1.56 -0.05 39 TERENTANG BARU -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.47 -0.12 -0.67 -0.44 -0.13 -1.09 1.14 0.09 -0.64 -0.49 0.02 -0.41 40 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.01 0.29 -0.40 2.11 0.88 0.12 -1.42 -0.93 0.70 0.23 41 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.84 0.01 1.03 1.18 -0.59 1.56 0.08 0.24 1.88 -0.51 0.19 -0.79 -0.23 -0.74 42 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.26 0.84 -0.89 0.34 1.21 -0.64 -1.09 -0.18 -0.70 -0.09 0.18 0.47 -0.35 43 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.04 2.02 1.01 -0.37 0.47 -0.16 -0.85 0.79 0.40 -1.05 0.62 0.33 0.63 0.81 44 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.62 -1.09 -0.17 -0.22 -0.34 0.48 -0.18 -0.94 0.83 -0.95 0.14 0.72 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.32 -0.26 -0.78 0.75 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.58 0.09 0.09 1.54 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.11 -1.32 -1.49 -0.11 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.50 0.21 0.09 0.54 -0.30 47 BUKIT HARAPAN -0.54 1.86 -0.72 -0.66 1.11 0.12 -0.25 -0.54 -0.03 0.30 -0.45 0.73 -0.67 -1.03 -1.82 -0.22 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.11 -1.15 -0.17 0.46 -0.98 0.87 -0.93 0.73 -0.36 -0.75 -0.85 -0.60 49 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.34 1.12 0.18 0.81 -1.42 -1.70 -0.54 -1.98 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.01 -1.32 -0.21 0.32 -0.24 -1.48 1.22 -1.12 -1.33 -0.17 -1.70 -1.74 -1.36 51 RAMIN 1.83 1.14 -2.30 1.57 -1.32 -1.04 0.19 -1.49 -2.02 1.67 0.88 0.10 -1.42 -1.70 1.07 -0.42 52 MEKAR SARI -0.54 -0.44 -0.72 0.75 -1.32 -0.76 1.40 0.20 -0.03 0.30 -0.18 1.16 0.01 -0.07 -0.88 -1.16 53 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.30 1.34 -0.93 -1.22 -1.80 -0.25 0.43 -0.18 -0.55 0.00 -0.97 0.12 -0.23 54 SUKA MAKMUR -0.11 0.99 -0.19 0.05 0.14 0.94 -0.84 -0.21 0.33 -1.09 -0.18 0.11 0.47 -0.44 1.78 0.53 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.16 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.15 0.20 2.12 -0.66 -1.42 -0.83 -2.39 -0.92 56 MARGA 0.66 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.19 0.39 0.40 0.11 -0.04 0.32 -0.42 -0.05 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.87 0.33 0.59 -1.07 -0.65 0.08 0.24 -0.93 0.52 -0.41 -0.80 -1.72 -0.26 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.42 0.52 -0.45 -1.16 -1.05 -0.19 0.39 -0.18 0.46 -0.62 -0.47 -0.18 -0.11 61 TRIJAYA 1.64 -1.20 1.99 1.39 -1.32 -0.81 -1.16 -0.01 -0.83 0.77 -0.18 0.25 1.61 0.32 -0.86 -0.42 62 TANJUNG
HARAPAN 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.86 -0.95 -0.16 -0.51 -0.66 0.67 1.31 -1.18 -0.08 -1.70 -0.76 0.98
63 BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.88 -0.59 -1.20 0.63 -0.69 1.42 0.88 -0.47 -0.46 -0.84 -2.80 -0.46 64 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.32 -0.12 -1.33 0.11 -0.80 0.76 -0.18 -0.64 -0.42 -0.81 -1.85 -0.54 65 MATRA
MANUNGGAL 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.32 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.18 -1.42 -1.70 -0.76 0.26
66 BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.11 -1.03 0.90 -1.37 1.14 0.18 -0.48 0.28 -0.63 0.39 2.33 67 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.33 0.62 -0.15 -0.53 1.83 -1.12 0.56 -1.42 -0.29 -0.60 0.79 68 BAHAR MULYA 0.38 1.02 2.21 -0.72 -1.32 -0.95 -1.13 -0.45 -0.94 0.84 -0.18 0.01 0.06 -0.08 -0.37 -0.63 69 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.72 1.08 -1.50 -0.88 0.08 -0.94 0.84 -0.18 0.63 0.05 -0.09 -0.30 1.30 70 BUKIT MAS -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.40 -1.22 -1.58 -1.47 -0.03 0.30 -0.18 -1.14 -1.42 -0.06 -2.52 -0.16 71 SUMBER JAYA -1.80 -0.04 0.17 -0.97 -1.32 -1.48 -1.77 -1.03 -0.76 0.73 -0.18 0.78 -0.03 -0.82 -0.32 -0.66 72 ADIPURA
KENCANA 0.38 -0.14 0.42 -0.72 1.08 -1.49 -1.20 0.55 -0.94 0.84 -0.18 -1.62 -0.38 0.59 -0.92 0.59
73 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -1.00 -1.32 -1.44 -1.77 -0.10 -0.73 0.72 -0.59 -0.96 0.27 0.26 -1.50 -0.02 74 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.72 0.56 -1.32 -1.08 -0.56 -0.25 0.43 -0.18 0.87 -0.60 0.10 -0.30 1.13 75 PETALING JAYA 0.38 0.94 0.42 -1.18 -0.25 0.07 0.42 -1.36 0.85 -1.09 -0.93 0.04 0.13 0.39 0.25 0.27 76 SUMBER AGUNG -0.39 0.91 -0.54 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.61 -1.09 -0.18 -0.24 -1.42 -0.99 -1.30 0.50
306
Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
77 RANTAU RASAU I 0.77 -0.20 -2.30 1.14 -1.32 -1.01 1.29 -1.15 1.61 -1.09 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.02 -0.85 78 RANTAU RASAU II 2.19 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.43 0.62 -1.21 -0.19 -1.09 1.98 1.81 2.16 0.97 0.47 1.66 79 BANDAR JAYA -0.88 0.86 -0.19 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.37 1.99 0.79 0.92 2.14 2.28 0.43 -0.06 80 BANGUN KARYA -0.33 0.56 -2.30 1.57 -1.32 -1.24 0.71 -1.17 -0.25 1.04 1.70 1.82 2.14 0.49 2.23 1.44 81 HARAPAN
MAKMUR -0.48 0.07 -2.30 2.04 -1.32 -1.30 0.97 0.48 -0.09 0.33 0.18 1.81 1.47 1.15 -0.42 0.29
82 RANTAU JAYA 1.07 0.50 -0.80 1.78 0.35 -0.16 0.33 0.12 0.04 -1.09 -0.18 1.81 0.99 2.36 -0.11 -0.09 83 RANTAU MAKMUR -0.63 0.48 0.27 1.02 0.99 -0.63 1.18 -1.24 0.08 -1.09 -1.92 1.20 1.85 -0.43 0.11 1.08 84 RANTAU INDAH -0.48 0.01 -0.65 -0.09 0.45 -0.78 0.45 1.31 1.61 -0.08 0.88 1.15 1.35 0.05 -1.17 -0.63 85 JATI MULYO 2.14 -0.43 -2.30 0.99 -1.32 -0.73 0.47 0.48 -2.21 -1.09 0.07 1.77 -1.42 -1.70 -1.13 -2.73 86 SIDO MUKTI -0.48 0.96 -0.65 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.61 -1.09 -0.18 0.17 0.47 -0.32 -1.58 -1.35 87 CATUR RAHAYU 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.84 0.35 0.92 -0.37 -0.64 -1.09 2.12 0.21 0.88 -0.51 0.11 -0.67 88 RAWASARI 1.83 -1.77 -2.30 2.16 -1.32 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.09 -1.59 1.22 0.07 -1.70 -1.43 -2.73 89 LAMBUR I -0.36 1.00 -0.50 0.50 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.22 1.03 -0.45 -0.75 1.93 1.02 0.02 -0.55 90 LAMBUR II -0.78 1.49 -1.03 0.28 0.20 -1.55 1.15 0.27 0.26 0.13 -0.75 -0.01 2.17 -0.13 0.22 0.68 91 PANDAN JAYA 0.28 -0.72 -1.28 0.21 0.58 -0.69 1.40 -1.79 0.50 2.17 0.88 1.70 -0.41 -0.80 0.54 0.30 92 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.14 -2.30 0.61 -1.32 -1.09 1.67 0.87 -0.87 0.80 -0.75 -1.30 0.62 -0.12 -1.43 -1.44 93 PANDAN LAGAN 0.28 -0.60 0.30 0.58 1.01 -1.44 0.83 -0.74 -0.85 0.79 -0.18 -1.36 -1.42 2.26 -0.83 -0.50 94 SUKA MAJU -0.19 1.76 -0.29 0.75 -1.32 -0.70 1.93 1.60 -0.40 1.67 -0.93 -1.75 -0.20 -0.61 -0.96 -1.39 95 KOTA BARU 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.97 -0.66 1.51 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.56 -0.01 -1.70 -0.24 -0.12 97 RANTAU KARYA 1.86 -0.64 -2.30 0.76 -1.32 -1.01 1.09 1.63 -2.04 1.68 -1.33 -1.85 1.18 -1.70 -1.11 -1.78 99 PURWODADI -0.63 0.56 -0.84 -0.84 -0.14 1.37 -0.07 0.16 0.71 0.79 0.40 -1.11 -0.28 -0.13 0.86 0.48
100 SRI AGUNG -0.08 0.88 -0.15 -0.50 -1.32 -1.19 -0.61 -0.80 0.33 0.09 0.88 0.12 0.26 -0.31 -0.26 -1.17 101 LAMPISI -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.60 -0.42 -0.32 -0.02 -0.31 0.46 -0.18 0.85 -0.24 -0.40 -0.70 0.24 102 TANJUNG
BENANAK 0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.85 0.79 -0.93 -0.18 -1.42 0.52 -0.01 0.96
103 BUKIT HARAPAN 0.45 0.88 0.51 -0.63 1.13 -0.20 -0.08 0.32 1.61 -1.09 2.12 -0.08 0.09 0.21 -0.28 0.15 104 ADI PURWA 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.32 -0.93 -1.46 1.12 1.61 1.38 0.40 0.59 0.47 -1.70 0.25 0.07 105 PINANG GADING 1.42 -1.67 1.72 0.37 -1.32 -0.84 0.44 0.01 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.42 0.41 1.27 2.61 106 DUSUN MUDO 1.64 -1.24 -2.30 1.98 -1.32 0.08 -0.84 -0.55 -0.83 2.15 1.70 -1.87 -1.42 -0.80 0.53 1.32 107 TANJUNG TAYAS 1.81 -0.50 -2.30 2.15 -1.32 -1.01 -1.77 1.11 -2.01 1.66 0.88 -1.92 0.06 -0.38 1.59 -0.42 108 BADANG -1.80 -1.09 1.10 1.32 1.46 -0.99 -0.40 1.11 -1.39 1.15 2.12 -2.22 -1.42 0.96 0.03 0.25 109 KAMPUNG BARU -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.32 -1.16 -1.57 -0.77 -0.53 0.59 0.40 -1.21 -0.51 -0.55 1.07 0.10 110 RANTAU BADAK -0.13 0.57 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.23 -1.72 -0.45 -1.09 1.31 -1.67 0.11 0.67 0.00 -0.35 111 BUKIT INDAH 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.15 -1.17 0.38 1.61 -1.09 1.84 -1.36 -0.43 -0.17 -0.45 0.60 112 KEMANG MANIS 2.28 -0.79 -2.30 1.10 -1.32 -0.90 -1.47 -0.45 1.61 1.04 1.06 -0.25 0.21 -0.67 -0.01 1.72 113 INTAN JAYA 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.16 -1.02 -0.23 0.82 1.61 -1.09 1.70 -0.59 -0.34 -1.70 0.74 -0.45 114 SUKA DAMAI -0.13 0.25 -0.22 0.03 0.71 -0.49 0.48 -1.21 -0.45 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.91 -1.08 0.45 115 ADI JAYA 0.13 -0.57 0.11 -1.03 -1.32 -1.67 -0.69 0.29 -0.71 0.70 0.88 0.25 -1.42 0.03 -2.00 -0.13
307
Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 116 BRASAU 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.32 -0.33 0.76 2.03 -1.23 1.04 -0.18 0.13 0.58 -0.67 -0.57 -0.66 117 PERINTIS -0.48 1.42 0.21 -0.93 0.11 1.41 -0.66 -0.40 0.90 -0.26 -0.18 0.59 -0.09 0.62 0.37 0.14 118 KELURAHAN
WIROTHO AGUNG -0.22 1.16 -0.54 -1.25 0.52 1.40 -0.78 -0.63 1.21 -0.48 1.31 -0.28 0.17 1.73 1.40 0.39
119 RIMBO MULYO -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.14 1.54 -1.23 -0.25 0.71 -0.14 -0.18 0.60 0.73 0.43 1.13 0.26 120 PURWO HARJO -1.02 0.30 1.35 -0.37 -0.01 1.09 -1.31 -0.59 0.54 -0.03 -0.18 0.93 -0.43 0.14 0.97 -0.09 121 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.14 0.22 1.41 -1.19 0.34 0.85 -0.23 -0.18 -0.05 -0.26 0.14 -0.06 -0.51 122 TIRTAKENCANA -1.30 0.53 -0.65 -1.97 0.11 1.51 -1.41 0.11 0.90 -0.26 -0.18 1.10 -0.80 -0.03 -0.20 -0.37 123 SAPTA MULIA -1.02 -0.04 0.21 -0.37 -0.01 0.74 -1.38 1.91 0.54 -0.03 -0.18 0.64 0.19 0.64 0.36 0.05 124 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.58 1.06 -0.52 -0.43 0.80 2.12 0.40 0.27 0.25 -0.04 0.01 -0.21 125 SUKA MAJU -1.12 1.23 0.45 -0.22 0.40 1.08 -0.97 -0.15 0.67 -1.09 0.07 0.22 -0.50 -0.28 -0.82 -0.70 126 WANAREJA -1.33 0.65 0.54 -0.60 -0.33 0.68 -1.59 0.11 0.95 -0.29 -0.93 0.03 -0.04 0.52 -0.11 -0.42 127 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.35 1.06 -0.43 0.21 0.71 -0.14 -0.93 1.19 0.21 1.99 -0.38 -0.51 128 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.72 -0.47 -0.04 1.18 -1.07 0.28 0.58 -0.06 -0.18 0.08 -0.06 0.09 -0.54 -0.31 129 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.26 1.23 -0.96 -1.09 -0.93 -1.68 -1.42 -0.38 -0.27 -1.40 130 SIDO REJO -1.80 1.42 0.30 0.57 -1.32 1.23 -0.85 2.12 -0.85 0.79 -1.12 0.30 1.78 0.33 -0.74 -0.51 131 KARANG DADI -0.54 -1.47 -0.72 -0.63 1.13 1.28 -1.77 2.66 -0.03 0.30 -1.33 0.18 0.08 0.32 -0.45 0.29 132 GIRI PURNO 1.03 1.91 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.59 1.11 -0.42 0.53 0.88 -0.98 0.33 -0.34 -1.43 -1.37 133 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.32 1.15 -1.58 1.61 -0.42 0.53 -1.59 -1.10 1.07 0.79 -0.03 0.06 134 SARI MULYA -0.60 1.38 -0.80 -0.81 0.35 1.18 -1.07 1.12 0.04 0.26 -1.59 -1.39 -0.40 0.01 -0.44 0.21 135 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.25 0.02 1.53 -0.87 0.41 0.50 1.08 -1.12 -0.28 -0.11 -0.41 -0.10 -0.66 136 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.32 -1.53 0.82 -0.64 1.61 -1.09 -1.59 -1.27 -0.24 0.67 -0.07 1.26 137 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.61 1.55 -1.59 -0.94 0.59 -0.43 -0.29 1.31 138 NAPAL PUTIH 2.31 -0.73 2.83 1.13 -1.32 -1.67 -0.25 0.22 -2.30 -1.09 -1.59 -1.09 -1.42 -0.24 0.71 -0.65 139 Sungai Karang 0.43 0.84 0.48 -0.66 1.11 -1.67 2.04 0.61 1.61 -1.09 2.12 1.68 -0.36 -1.70 -0.03 -1.78 140 BANGUN
SARANTEN 0.52 0.88 -0.65 0.28 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.69 2.09 -0.18 1.01 -0.65 0.36 0.48 0.28
141 SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.32 -0.80 -0.45 -0.07 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.26 0.10 0.23 -0.58 142 BUKIT SARI -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.37 1.29 0.24 -0.06 -1.09 -0.18 0.16 -0.11 0.21 0.09 -0.33 143 SARI MULYA -1.80 1.13 -0.87 -0.09 0.30 -1.42 1.51 0.77 0.11 -1.09 -1.59 -0.49 1.11 -0.61 0.22 -0.13 144 PURWOSARI -0.05 1.45 -0.12 -1.29 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.01 2.12 0.88 0.01 0.61 1.41 2.16 1.40 145 LEMBAH
KUAMANG -0.60 1.04 -0.80 -0.78 -1.32 1.45 -1.14 0.13 1.61 -1.09 0.40 0.05 0.21 2.05 0.27 -0.28
146 SUMBER HARAPAN -1.80 0.89 -0.68 -0.60 -1.32 0.40 0.07 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 1.77 0.10 1.83 0.38 0.04 147 DAYA MURNI -1.80 0.83 -0.54 -1.81 -1.32 1.18 -0.50 0.03 1.61 -1.09 -0.18 1.78 -0.62 1.32 0.82 -0.48 148 SUMBER MULIA 0.45 1.13 0.51 0.80 1.13 0.82 -0.32 0.63 1.61 -1.09 0.40 0.26 -0.35 1.17 0.17 -0.10 149 MAJU JAYA -1.80 -0.52 -0.12 0.13 -1.32 1.05 -0.18 0.23 -0.53 -1.09 -0.18 0.09 -0.14 2.29 0.31 0.64 150 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.31 0.05 0.08 -0.22 -1.09 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.78 151 LINGGA KUAMANG -0.57 0.99 0.39 -2.14 0.38 0.94 0.13 0.07 0.01 -1.09 -0.18 1.66 -0.38 0.67 0.23 0.73 152 KUNING GADING -0.42 -0.47 -0.57 -1.87 0.49 1.24 -0.81 -0.92 -0.16 -1.09 -0.05 0.36 0.51 1.11 0.01 0.62
308
Lampiran 3. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 153 KUAMANG JAYA 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.32 1.16 -1.32 2.92 1.61 -1.09 -0.18 0.88 0.09 2.00 -0.28 0.52 154 KARYA HARAPAN
MUKTI -0.54 -0.09 0.48 0.17 -1.32 1.21 -1.16 -1.16 1.61 -1.09 -0.18 -0.03 -1.42 1.07 -0.46 -1.23
155 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.46 0.25 0.91 0.71 -0.21 1.61 -1.09 0.88 0.92 -0.45 0.59 0.41 0.43 156 MULIA BAKTI 2.17 0.16 -0.09 -1.25 0.79 1.17 -0.21 0.26 1.61 -1.09 -0.18 -0.47 -0.50 0.14 0.37 0.01 158 MULIA JAYA -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.02 1.20 0.52 -0.80 -1.09 0.40 0.66 -0.01 1.25 1.70 1.46 159 KOTA RAJA 0.75 -1.03 0.88 -0.30 -1.32 0.29 1.24 -2.91 -1.25 -1.09 -0.18 0.33 0.90 1.74 1.44 2.88 161 TUO LIMBUR 0.40 1.23 0.45 1.57 1.10 0.58 -0.69 -0.65 -0.96 0.86 -1.92 0.57 0.94 -0.07 1.08 1.81 162 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.57 -0.80 -0.78 -1.09 -1.92 0.72 -1.42 -0.45 -1.07 0.28 164 SEKAR
MENGKUANG -1.80 1.46 0.01 1.13 0.84 1.28 -0.59 -0.89 -0.64 0.65 -1.92 0.34 -0.48 -0.86 -0.97 -0.93
165 DATAR 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.09 -0.18 -0.90 0.93 0.01 0.56 -0.30 166 TALANG PEMESUN 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.18 0.68 1.04 -0.58 1.61 -1.09 -1.92 1.17 -1.42 -1.70 -0.98 0.86 168 BARU PELEPAT 0.21 -0.42 0.21 0.50 0.96 -0.05 1.03 -0.58 1.61 -1.09 -0.18 -1.84 -1.42 -1.70 -3.10 -2.10 169 PULAU BAYUR 2.35 0.41 -2.30 1.16 -1.32 -1.57 0.56 -2.91 1.61 -1.09 -1.59 -2.35 -1.42 -1.70 0.59 -0.92 170 Sungai Kapas -0.95 -0.02 -1.24 -0.72 0.06 1.40 0.73 -0.33 0.45 0.02 1.70 0.26 0.39 0.39 0.29 0.26 171 NALO BARU 0.33 1.31 0.36 2.07 1.04 -0.33 1.37 -2.91 -0.89 -1.09 -0.18 -2.07 -1.42 -0.78 -0.66 -2.08 172 NALO GEDANG 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.13 -0.64 1.55 -0.87 -1.00 -1.09 -0.93 -2.25 -0.35 -0.05 -0.29 -0.82 173 AIR BATU -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.58 -0.23 1.03 -2.91 -0.28 -1.09 -0.18 -1.51 0.02 0.12 0.47 -0.09 174 SEKO BESAR 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.97 -1.67 1.03 0.52 1.61 -1.09 -1.33 0.25 2.03 0.29 -0.18 -0.45 175 TAMAN BANDUNG -1.80 0.48 -2.30 1.23 -1.32 -1.60 1.94 -2.91 1.61 -1.09 1.31 -0.47 0.64 0.14 0.43 -0.35 176 SUNGKAI 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.09 0.71 0.36 -1.59 1.30 0.40 -2.08 -1.42 0.30 0.33 0.22 177 Arang arang 1.15 -0.67 -0.15 0.11 0.75 -1.10 -0.92 -1.69 -0.51 0.58 2.12 1.45 -1.42 -1.70 -0.99 -1.33
UJUNG TANJUNG 1.25 -0.10 1.50 0.21 -1.32 -1.47 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.05 -0.11 -0.04 -0.37 -0.61 Cinta Damai 1.49 -0.06 1.81 0.44 -1.32 -1.01 -0.23 0.05 1.61 -1.09 -0.18 -1.37 -1.42 -1.70 0.55 0.56 TIMBOLASI -1.80 -1.65 1.23 1.41 1.53 0.84 1.87 -0.27 -1.47 1.21 -0.05 -2.07 -1.42 -1.70 0.35 -1.62 CILODANG -1.80 -0.42 -0.15 -1.33 -1.32 0.06 0.19 -0.28 1.61 -1.09 -0.18 -0.25 0.79 1.10 -0.08 1.12 BANGUN HARJO -0.33 -0.42 -0.46 -0.30 -1.32 0.05 -0.82 0.12 1.61 -1.09 -0.18 -0.09 1.29 0.72 -0.69 -0.59
309
Lampiran 4. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 3) No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
1 PINANG MERAH -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.97 -0.23 1.63 0.13 -0.18 0.29 2.08 0.80 2.49 2.33 2 MAMPUN BARU -0.19 0.31 0.51 -0.63 0.09 1.12 -0.05 0.41 1.63 -1.10 -0.92 -0.38 0.20 -0.26 0.60 -0.01 3 LANTAK SERIBU -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.84 0.16 0.19 -0.31 0.52 -1.44 -0.84 0.85 -0.25 4 RASAU -0.50 -0.39 0.51 0.21 0.43 1.50 0.26 0.55 -0.05 0.31 0.07 0.59 0.84 1.00 0.84 1.14 5 MERANTI -0.56 -0.48 -0.76 -0.71 0.38 1.48 0.52 0.55 0.02 0.27 0.29 -0.02 1.24 0.77 0.04 0.61 6 BUKIT BUNGKUL -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.26 0.46 0.51 0.43 0.19 0.17 -0.59 -0.72 0.85 0.23 0.70 0.88 7 SIALANG 0.66 -0.02 -0.53 1.03 -1.31 1.06 -0.24 0.91 -0.18 0.38 0.29 -0.22 -0.63 -0.70 -0.01 0.52 8 TANJUNG
BENUANG -0.56 -0.98 -0.76 0.14 0.38 0.55 -0.08 0.78 0.02 0.27 -0.59 0.97 -0.69 -1.72 0.81 0.39
9 TAMBANG EMAS -0.94 0.10 -0.32 -0.11 0.06 0.77 -0.93 0.84 0.47 0.01 -0.18 0.74 1.60 0.65 1.61 1.36 10 SUNGAI PUTIH -0.41 1.91 -0.57 -0.44 -1.31 0.82 0.11 0.46 -0.15 -1.10 -1.59 -0.39 -0.64 0.02 0.28 0.66 11 BUKIT BERINGIN -0.50 -1.26 -0.68 0.82 -1.31 1.08 1.68 1.06 -0.05 0.31 -0.18 -0.73 -1.44 -0.19 0.00 -0.44 12 PAUH MENANG -0.24 0.60 -0.36 -1.57 0.63 0.81 -0.47 -0.37 -0.33 0.47 1.69 0.62 2.26 1.59 2.50 2.87 13 PEMATANG
KANCIL 1.02 -1.00 1.23 0.00 0.69 0.63 -1.19 0.55 -0.42 0.52 0.40 0.49 -1.44 0.04 -0.82 -1.08
14 TANAH ABANG -0.72 0.73 0.14 -0.99 0.26 0.15 0.05 -0.20 0.19 0.17 2.04 0.64 0.26 0.33 1.00 -0.02 15 SUNGAI SAHUT -0.69 1.37 1.07 -0.96 0.28 0.62 0.24 0.20 0.16 0.19 2.11 0.13 0.28 -0.64 0.08 0.01 16 BUNGA ANTOI -0.94 -0.35 1.04 -0.74 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.47 0.01 1.31 0.47 0.65 0.80 0.96 1.17 17 MUARA DELANG 1.40 -1.27 -0.61 -1.91 -0.03 0.92 -0.36 -0.32 0.59 -0.06 1.69 0.68 0.99 0.27 1.47 1.30 18 SINAR GADING 0.16 0.40 0.14 -0.99 -1.31 0.91 -0.17 -0.53 0.16 -1.10 1.69 0.62 -0.05 -0.85 -1.86 -1.00 19 BUNGA TANJUNG 0.00 -0.72 1.50 -0.36 0.20 0.52 0.45 -0.11 0.27 0.13 -0.18 0.14 1.51 2.50 2.02 1.64 20 SUNGAI BULIAN -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.63 1.56 0.64 1.07 -0.33 -1.10 -0.18 -0.24 -1.44 -0.96 -0.09 -0.46 21 SRI SEMBILAN 0.40 -0.91 0.45 -0.68 -1.31 1.09 0.77 0.99 -0.95 0.85 -0.18 0.15 -0.38 -0.08 0.09 -0.63 22 BUKIT SUBUR 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.98 -0.56 1.35 1.01 -0.80 -1.10 -0.18 1.01 1.88 0.97 2.64 2.61 23 RAWA JAYA -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.31 0.15 0.63 0.37 0.12 0.21 2.11 -0.79 -0.21 -0.18 1.15 0.53 24 SUNGAI BENTENG -0.94 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.17 1.17 -0.37 0.47 -1.10 0.69 1.34 -0.10 -0.41 2.45 -0.11 25 PAYO LEBAR -0.13 1.53 0.54 0.00 0.12 1.11 0.64 0.89 0.38 0.06 0.40 -1.36 2.16 2.36 1.36 1.01 26 BUKIT MURAU -0.44 -0.01 -0.61 -0.49 -0.03 1.38 0.94 -0.32 0.59 -1.10 -0.18 0.28 -0.87 -1.22 -0.63 -1.19 27 SUNGAI MERAH 1.74 0.33 0.36 0.66 1.05 0.48 0.21 -0.49 0.05 -1.10 -0.18 0.60 -1.44 -0.41 -0.52 -1.73 28 PERDAMAIAN -0.81 0.06 -0.05 -0.39 0.18 1.28 1.41 -1.14 0.31 -1.10 -0.18 0.35 -0.12 -0.54 -0.78 -1.45 29 BATU PUTIH -0.16 0.34 1.23 0.00 0.69 -0.50 0.21 1.02 -0.42 -1.10 -0.18 0.87 -1.44 0.37 0.18 -0.82 30 PEMATANG KULIM -0.59 0.37 1.30 0.65 0.36 0.35 -1.17 0.36 0.05 -1.10 -0.45 0.77 -0.40 1.14 0.84 -0.90 31 PETIDURAN BARU -0.08 -1.76 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.63 -1.10 0.40 -0.02 0.59 -0.32 1.23 0.84 32 GURUH BARU -0.50 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.05 -1.10 -0.18 -0.32 -0.36 -0.76 -0.64 -0.54 33 BUTANG BARU -1.79 -1.21 0.27 -0.86 -1.31 -0.53 1.10 -0.04 -0.82 -1.10 0.88 0.01 0.58 -0.45 1.11 -0.74 34 JATI BARU -1.79 -1.66 1.74 -1.03 0.91 -0.82 1.17 2.15 -0.70 -1.10 -0.18 -0.28 0.25 0.74 0.97 1.00 35 MERANTIH BARU -1.79 -1.20 0.91 0.57 1.36 -1.14 1.25 0.78 1.63 -1.10 -0.92 -1.11 1.31 -0.24 -0.24 -0.29 36 BUKIT SUBAN -0.85 1.95 -0.18 0.06 -1.31 -0.03 1.57 -0.15 0.35 0.08 -0.92 0.04 -1.44 0.62 -0.70 -0.28 37 MENTAWAK BARU -0.30 1.94 -0.43 -1.66 0.59 0.67 1.77 2.36 -0.27 0.44 -0.92 1.64 2.21 0.76 0.83 0.39
310
Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
38 PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.41 -0.33 1.48 -0.65 -0.02 0.29 -0.18 -1.92 0.55 0.51 -1.62 -0.06 39 TERENTANG BARU -0.44 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.12 -0.67 -0.44 -0.12 -1.10 1.14 0.08 -0.65 -0.51 0.00 -0.43 40 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.02 0.29 -0.39 2.11 0.88 0.11 -1.44 -0.94 0.70 0.22 41 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.83 0.02 1.03 1.18 -0.59 1.55 0.09 0.23 1.87 -0.52 0.19 -0.80 -0.25 -0.76 42 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.27 0.85 -0.89 0.34 1.20 -0.63 -1.10 -0.18 -0.72 -0.10 0.17 0.46 -0.36 43 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.03 2.02 1.01 -0.37 0.48 -0.16 -0.84 0.78 0.40 -1.07 0.61 0.33 0.63 0.80 44 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.63 -1.09 -0.17 -0.22 -0.33 0.47 -0.18 -0.96 0.82 -0.96 0.13 0.72 45 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.31 -0.26 -0.77 0.74 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.57 0.08 0.08 1.54 46 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.12 -1.31 -1.49 -0.10 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.49 0.21 0.08 0.53 -0.32 47 BUKIT HARAPAN -0.53 1.86 -0.72 -0.66 1.12 0.12 -0.24 -0.54 -0.02 0.29 -0.45 0.72 -0.68 -1.05 -1.89 -0.24 48 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.12 -1.14 -0.16 0.45 -0.97 0.87 -0.92 0.73 -0.37 -0.77 -0.89 -0.62 49 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.33 1.11 0.18 0.81 -1.44 -1.72 -0.57 -2.01 50 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.02 -1.31 -0.21 0.33 -0.25 -1.48 1.22 -1.11 -1.35 -0.18 -1.72 -1.81 -1.39 51 RAMIN 1.83 1.13 -2.29 1.56 -1.31 -1.03 0.20 -1.49 -2.02 1.66 0.88 0.09 -1.44 -1.72 1.08 -0.44 52 MEKAR SARI -0.53 -0.44 -0.72 0.75 -1.31 -0.76 1.41 0.20 -0.02 0.29 -0.18 1.16 0.01 -0.08 -0.92 -1.19 53 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.29 1.34 -0.93 -1.21 -1.80 -0.24 0.42 -0.18 -0.56 -0.01 -0.99 0.11 -0.25 54 SUKA MAKMUR -0.11 0.98 -0.18 0.06 0.15 0.94 -0.83 -0.21 0.35 -1.10 -0.18 0.10 0.47 -0.45 1.81 0.52 55 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.15 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.16 0.19 2.11 -0.67 -1.44 -0.85 -2.47 -0.95 56 MARGA 0.66 0.64 -0.53 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.18 0.38 0.40 0.10 -0.04 0.31 -0.45 -0.06 57 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.86 0.33 0.58 -1.07 -0.65 0.09 0.23 -0.92 0.51 -0.42 -0.82 -1.78 -0.27 58 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.41 0.52 -0.45 -1.15 -1.05 -0.18 0.38 -0.18 0.45 -0.63 -0.48 -0.20 -0.12 60 TRIJAYA 1.63 -1.20 1.99 1.39 -1.31 -0.80 -1.15 -0.02 -0.82 0.77 -0.18 0.24 1.61 0.31 -0.90 -0.44 61 TANJUNG
HARAPAN 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.87 -0.95 -0.16 -0.51 -0.65 0.66 1.31 -1.20 -0.09 -1.72 -0.80 0.98
62 BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.89 -0.59 -1.20 0.63 -0.68 1.42 0.88 -0.49 -0.47 -0.86 -2.89 -0.47 63 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.31 -0.12 -1.33 0.10 -0.80 0.75 -0.18 -0.66 -0.43 -0.82 -1.91 -0.56 64 MATRA
MANUNGGAL 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.31 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.20 -1.44 -1.72 -0.80 0.25
65 BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.10 -1.03 0.90 -1.37 1.13 0.18 -0.49 0.27 -0.64 0.38 2.35 66 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.60 -0.12 0.16 0.77 -1.33 0.63 -0.16 -0.53 1.83 -1.11 0.56 -1.44 -0.30 -0.64 0.79 67 BAHAR MULYA 0.38 1.01 2.20 -0.71 -1.31 -0.95 -1.12 -0.46 -0.93 0.84 -0.18 0.00 0.05 -0.09 -0.40 -0.65 68 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -0.87 0.08 -0.93 0.84 -0.18 0.63 0.04 -0.10 -0.32 1.30 69 BUKIT MAS -0.53 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.21 -1.57 -1.47 -0.02 0.29 -0.18 -1.16 -1.44 -0.07 -2.61 -0.18 70 SUMBER JAYA -1.79 -0.04 0.17 -0.96 -1.31 -1.47 -1.77 -1.03 -0.75 0.72 -0.18 0.78 -0.04 -0.84 -0.34 -0.68 71 ADIPURA
KENCANA 0.38 -0.14 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -1.19 0.55 -0.93 0.84 -0.18 -1.64 -0.39 0.58 -0.97 0.58
72 BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -0.99 -1.31 -1.44 -1.77 -0.11 -0.73 0.71 -0.59 -0.98 0.27 0.25 -1.56 -0.04 73 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.71 0.57 -1.31 -1.07 -0.56 -0.24 0.42 -0.18 0.87 -0.61 0.09 -0.32 1.13 74 PETALING JAYA 0.38 0.93 0.42 -1.17 -0.24 0.07 0.43 -1.36 0.86 -1.10 -0.92 0.03 0.12 0.38 0.24 0.26 75 SUMBER AGUNG -0.39 0.90 -0.53 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.63 -1.10 -0.18 -0.25 -1.44 -1.00 -1.35 0.49
311
Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS
76 RANTAU RASAU I 0.77 -0.20 -2.29 1.14 -1.31 -1.00 1.29 -1.15 1.63 -1.10 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.03 -0.87 77 RANTAU RASAU II 2.18 -0.11 -0.53 0.44 -1.31 0.43 0.63 -1.21 -0.18 -1.10 1.98 1.81 2.15 0.97 0.47 1.67 78 BANDAR JAYA -0.88 0.86 -0.18 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.38 1.98 0.79 0.92 2.13 2.28 0.43 -0.07 79 BANGUN KARYA -0.33 0.56 -2.29 1.56 -1.31 -1.23 0.72 -1.17 -0.24 1.04 1.69 1.82 2.13 0.48 2.27 1.44 80 HARAPAN
MAKMUR -0.47 0.07 -2.29 2.04 -1.31 -1.30 0.98 0.47 -0.08 0.33 0.18 1.82 1.47 1.15 -0.45 0.28
81 RANTAU JAYA 1.07 0.50 -0.79 1.77 0.36 -0.16 0.34 0.11 0.05 -1.10 -0.18 1.82 0.98 2.36 -0.13 -0.10 82 RANTAU MAKMUR -0.62 0.47 0.27 1.02 1.00 -0.63 1.18 -1.24 0.09 -1.10 -1.92 1.20 1.85 -0.44 0.10 1.08 83 RANTAU INDAH -0.47 0.01 -0.64 -0.09 0.45 -0.78 0.46 1.30 1.63 -0.09 0.88 1.15 1.35 0.04 -1.22 -0.65 84 JATI MULYO 2.13 -0.43 -2.29 0.99 -1.31 -0.73 0.48 0.47 -2.21 -1.10 0.07 1.78 -1.44 -1.72 -1.18 -2.77 85 SIDO MUKTI -0.47 0.96 -0.64 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.63 -1.10 -0.18 0.16 0.46 -0.33 -1.63 -1.37 86 CATUR RAHAYU 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.85 0.35 0.93 -0.37 -0.63 -1.10 2.11 0.20 0.87 -0.53 0.10 -0.69 87 RAWASARI 1.83 -1.77 -2.29 2.15 -1.31 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.10 -1.59 1.22 0.06 -1.72 -1.49 -2.77 88 LAMBUR I -0.36 1.00 -0.50 0.51 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.21 1.02 -0.45 -0.77 1.93 1.01 0.00 -0.56 89 LAMBUR II -0.78 1.48 -1.03 0.29 0.20 -1.54 1.16 0.27 0.27 0.13 -0.75 -0.02 2.17 -0.14 0.20 0.67 90 PANDAN JAYA 0.28 -0.72 -1.27 0.21 0.59 -0.68 1.41 -1.79 0.51 2.17 0.88 1.70 -0.42 -0.81 0.53 0.29 91 PANDAN MAKMUR 0.31 -0.14 -2.29 0.62 -1.31 -1.08 1.68 0.86 -0.87 0.80 -0.75 -1.32 0.61 -0.13 -1.49 -1.46 92 PANDAN LAGAN 0.28 -0.61 0.30 0.59 1.01 -1.44 0.84 -0.74 -0.84 0.78 -0.18 -1.38 -1.44 2.27 -0.87 -0.52 93 SUKA MAJU -0.19 1.75 -0.29 0.75 -1.31 -0.70 1.94 1.60 -0.39 1.67 -0.92 -1.77 -0.21 -0.63 -1.00 -1.42 94 KOTA BARU 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.65 1.52 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.58 -0.02 -1.72 -0.27 -0.13 95 RANTAU KARYA 1.86 -0.64 -2.29 0.76 -1.31 -1.01 1.09 1.62 -2.04 1.68 -1.33 -1.87 1.18 -1.72 -1.15 -1.81 97 PURWODADI -0.62 0.56 -0.83 -0.83 -0.13 1.36 -0.06 0.16 0.72 0.78 0.40 -1.13 -0.29 -0.14 0.86 0.47 98 SRI AGUNG -0.08 0.88 -0.15 -0.49 -1.31 -1.18 -0.60 -0.81 0.35 0.08 0.88 0.11 0.25 -0.32 -0.29 -1.19 99 LAMPISI -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.61 -0.42 -0.32 -0.02 -0.30 0.45 -0.18 0.85 -0.25 -0.41 -0.74 0.23
100 TANJUNG BENANAK
0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.84 0.78 -0.92 -0.19 -1.44 0.51 -0.03 0.96 101 BUKIT HARAPAN 0.45 0.87 0.51 -0.63 1.14 -0.20 -0.07 0.32 1.63 -1.10 2.11 -0.09 0.08 0.20 -0.30 0.14 102 ADI PURWA 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.31 -0.92 -1.46 1.11 1.63 1.37 0.40 0.59 0.46 -1.72 0.24 0.06 103 PINANG GADING 1.42 -1.67 1.71 0.37 -1.31 -0.83 0.44 0.00 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.44 0.41 1.28 2.62 104 DUSUN MUDO 1.63 -1.24 -2.29 1.98 -1.31 0.08 -0.84 -0.55 -0.82 2.14 1.69 -1.90 -1.44 -0.82 0.52 1.32 105 TANJUNG TAYAS 1.81 -0.50 -2.29 2.15 -1.31 -1.01 -1.77 1.10 -2.01 1.65 0.88 -1.94 0.05 -0.39 1.62 -0.44 106 BADANG -1.79 -1.09 1.10 1.32 1.47 -0.99 -0.40 1.10 -1.38 1.15 2.11 -2.24 -1.44 0.95 0.01 0.24 107 KAMPUNG BARU -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.31 -1.16 -1.56 -0.78 -0.53 0.59 0.40 -1.23 -0.52 -0.56 1.08 0.09 108 RANTAU BADAK -0.13 0.56 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.24 -1.72 -0.44 -1.10 1.31 -1.70 0.10 0.66 -0.02 -0.37 109 BUKIT INDAH 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.14 -1.16 0.37 1.63 -1.10 1.83 -1.38 -0.44 -0.18 -0.48 0.60 110 KEMANG MANIS 2.27 -0.79 -2.29 1.10 -1.31 -0.89 -1.47 -0.45 1.63 1.04 1.06 -0.27 0.20 -0.69 -0.03 1.72 111 INTAN JAYA 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.17 -1.02 -0.22 0.82 1.63 -1.10 1.69 -0.60 -0.35 -1.72 0.74 -0.47 112 SUKA DAMAI -0.13 0.25 -0.22 0.04 0.71 -0.48 0.48 -1.21 -0.44 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.93 -1.13 0.45 113 ADI JAYA 0.13 -0.58 0.11 -1.03 -1.31 -1.67 -0.69 0.29 -0.70 0.69 0.88 0.24 -1.44 0.02 -2.07 -0.14
312
Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 114 BRASAU 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.31 -0.33 0.76 2.02 -1.23 1.04 -0.18 0.12 0.57 -0.69 -0.60 -0.68 115 PERINTIS -0.47 1.42 0.21 -0.93 0.12 1.40 -0.65 -0.40 0.91 -0.26 -0.18 0.58 -0.10 0.61 0.36 0.13 116 KELURAHAN
WIROTHO AGUNG -0.21 1.16 -0.53 -1.24 0.52 1.39 -0.78 -0.63 1.22 -0.49 1.31 -0.29 0.17 1.73 1.42 0.38
117 RIMBO MULYO -0.62 0.23 -0.22 -1.40 -0.13 1.54 -1.22 -0.25 0.72 -0.14 -0.18 0.59 0.73 0.43 1.14 0.25 118 PURWO HARJO -1.01 0.29 1.35 -0.36 0.00 1.09 -1.31 -0.60 0.55 -0.04 -0.18 0.92 -0.44 0.13 0.98 -0.11 119 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.13 0.23 1.41 -1.19 0.34 0.86 -0.23 -0.18 -0.06 -0.27 0.13 -0.08 -0.53 120 TIRTAKENCANA -1.29 0.53 -0.64 -1.96 0.12 1.51 -1.40 0.10 0.91 -0.26 -0.18 1.10 -0.81 -0.04 -0.22 -0.39 121 SAPTA MULIA -1.01 -0.04 0.21 -0.36 0.00 0.74 -1.37 1.90 0.55 -0.04 -0.18 0.64 0.19 0.63 0.35 0.04 122 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.59 1.05 -0.52 -0.44 0.82 2.12 0.40 0.26 0.24 -0.05 -0.01 -0.23 123 SUKA MAJU -1.11 1.23 0.45 -0.22 0.41 1.08 -0.96 -0.15 0.68 -1.10 0.07 0.21 -0.51 -0.30 -0.86 -0.71 124 WANAREJA -1.33 0.64 0.54 -0.60 -0.32 0.67 -1.59 0.11 0.96 -0.30 -0.92 0.02 -0.04 0.51 -0.13 -0.44 125 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.36 1.05 -0.43 0.20 0.72 -0.14 -0.92 1.19 0.20 1.99 -0.41 -0.53 126 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.71 -0.47 -0.03 1.17 -1.06 0.27 0.59 -0.06 -0.18 0.07 -0.07 0.08 -0.57 -0.33 127 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.27 1.22 -0.95 -1.10 -0.92 -1.70 -1.44 -0.39 -0.29 -1.43 128 SIDO REJO -1.79 1.42 0.30 0.57 -1.31 1.23 -0.85 2.11 -0.84 0.78 -1.11 0.29 1.78 0.32 -0.78 -0.52 129 KARANG DADI -0.53 -1.47 -0.72 -0.63 1.14 1.27 -1.77 2.65 -0.02 0.29 -1.33 0.17 0.08 0.31 -0.48 0.28 130 GIRI PURNO 1.02 1.91 -0.25 -1.44 0.69 1.50 -1.59 1.11 -0.42 0.52 0.88 -1.00 0.33 -0.35 -1.49 -1.40 131 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.31 1.14 -1.58 1.61 -0.42 0.52 -1.59 -1.12 1.06 0.78 -0.05 0.05 132 SARI MULYA -0.59 1.37 -0.79 -0.80 0.36 1.17 -1.07 1.12 0.05 0.25 -1.59 -1.41 -0.41 0.00 -0.47 0.20 133 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.24 0.03 1.52 -0.87 0.41 0.51 1.07 -1.11 -0.29 -0.12 -0.43 -0.12 -0.68 134 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.31 -1.52 0.82 -0.64 1.63 -1.10 -1.59 -1.29 -0.25 0.67 -0.09 1.26 135 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.63 1.54 -1.59 -0.95 0.59 -0.44 -0.32 1.31 136 NAPAL PUTIH 2.30 -0.73 2.82 1.13 -1.31 -1.67 -0.24 0.22 -2.30 -1.10 -1.59 -1.11 -1.44 -0.25 0.71 -0.67 137 Sungai Karang 0.43 0.83 0.48 -0.66 1.12 -1.67 2.05 0.61 1.63 -1.10 2.11 1.68 -0.37 -1.72 -0.05 -1.81 138 BANGUN
SARANTEN 0.52 0.87 -0.64 0.29 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.68 2.08 -0.18 1.01 -0.66 0.35 0.47 0.27
139 SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.31 -0.80 -0.44 -0.08 -0.24 0.42 1.69 1.01 -0.27 0.09 0.22 -0.60 140 BUKIT SARI -0.50 -0.28 -0.68 -0.63 -1.31 1.36 1.30 0.24 -0.05 -1.10 -0.18 0.15 -0.12 0.21 0.08 -0.35 141 SARI MULYA -1.79 1.13 -0.87 -0.09 0.31 -1.42 1.52 0.76 0.12 -1.10 -1.59 -0.51 1.11 -0.63 0.20 -0.15 142 PURWOSARI -0.05 1.44 -0.12 -1.28 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.02 2.12 0.88 0.00 0.60 1.40 2.19 1.41 143 LEMBAH
KUAMANG -0.59 1.04 -0.79 -0.77 -1.31 1.45 -1.13 0.13 1.63 -1.10 0.40 0.04 0.21 2.06 0.26 -0.29
144 SUMBER HARAPAN -1.79 0.88 -0.68 -0.60 -1.31 0.39 0.07 0.33 -0.05 -1.10 -0.18 1.77 0.09 1.83 0.37 0.02 145 DAYA MURNI -1.79 0.82 -0.53 -1.81 -1.31 1.18 -0.50 0.03 1.63 -1.10 -0.18 1.78 -0.63 1.31 0.82 -0.49 146 SUMBER MULIA 0.45 1.12 0.51 0.81 1.14 0.82 -0.31 0.63 1.63 -1.10 0.40 0.25 -0.36 1.17 0.16 -0.11 147 MAJU JAYA -1.79 -0.52 -0.12 0.14 -1.31 1.05 -0.18 0.22 -0.53 -1.10 -0.18 0.08 -0.14 2.29 0.30 0.63 148 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.36 -1.31 0.31 0.06 0.07 -0.21 -1.10 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.77 149 LINGGA KUAMANG -0.56 0.98 0.39 -2.13 0.38 0.93 0.14 0.07 0.02 -1.10 -0.18 1.66 -0.39 0.67 0.21 0.73 150 KUNING GADING -0.41 -0.47 -0.57 -1.86 0.50 1.23 -0.80 -0.92 -0.15 -1.10 -0.05 0.36 0.50 1.11 -0.01 0.61
313
Lampiran 4. Lanjutan No Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 151 KUAMANG JAYA 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.31 1.16 -1.31 2.91 1.63 -1.10 -0.18 0.88 0.08 2.00 -0.30 0.51 152 KARYA HARAPAN
MUKTI -0.53 -0.09 0.48 0.17 -1.31 1.20 -1.15 -1.16 1.63 -1.10 -0.18 -0.04 -1.44 1.06 -0.49 -1.25
153 GAPURA SUCI 0.13 0.23 -0.95 -2.45 0.26 0.91 0.72 -0.22 1.63 -1.10 0.88 0.92 -0.46 0.58 0.40 0.42 154 MULIA BAKTI 2.17 0.16 -0.08 -1.24 0.79 1.16 -0.20 0.26 1.63 -1.10 -0.18 -0.49 -0.51 0.13 0.37 0.00 155 MULIA JAYA -1.79 -1.24 0.24 -0.90 -1.31 -0.02 1.21 0.52 -0.80 -1.10 0.40 0.65 -0.02 1.25 1.72 1.47 156 KOTA RAJA 0.75 -1.03 0.88 -0.29 -1.31 0.29 1.25 -2.91 -1.25 -1.10 -0.18 0.32 0.90 1.74 1.46 2.90 158 TUO LIMBUR 0.40 1.22 0.45 1.57 1.10 0.57 -0.68 -0.66 -0.95 0.85 -1.92 0.56 0.94 -0.08 1.09 1.82 159 TEBO JAYA 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.56 -0.80 -0.78 -1.10 -1.92 0.71 -1.44 -0.47 -1.12 0.27 160 SEKAR
MENGKUANG -1.79 1.46 0.01 1.13 0.85 1.27 -0.59 -0.89 -0.63 0.65 -1.92 0.33 -0.49 -0.87 -1.01 -0.95
161 DATAR 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.10 -0.18 -0.91 0.92 0.00 0.56 -0.32 162 TALANG PEMESUN 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.19 0.67 1.04 -0.58 1.63 -1.10 -1.92 1.17 -1.44 -1.72 -1.02 0.86 165 PULAU BAYUR 2.35 0.40 -2.29 1.16 -1.31 -1.57 0.56 -2.91 1.63 -1.10 -1.59 -2.38 -1.44 -1.72 0.59 -0.94 166 Sungai Kapas -0.94 -0.02 -1.23 -0.71 0.06 1.39 0.74 -0.33 0.47 0.01 1.69 0.25 0.38 0.38 0.28 0.25 167 NALO BARU 0.33 1.31 0.36 2.07 1.05 -0.33 1.38 -2.91 -0.89 -1.10 -0.18 -2.09 -1.44 -0.80 -0.69 -2.11 168 NALO GEDANG 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.14 -0.64 1.56 -0.88 -1.00 -1.10 -0.92 -2.27 -0.36 -0.06 -0.32 -0.84 169 AIR BATU -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.59 -0.23 1.03 -2.91 -0.27 -1.10 -0.18 -1.53 0.01 0.11 0.46 -0.10 170 SEKO BESAR 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.98 -1.67 1.04 0.52 1.63 -1.10 -1.33 0.24 2.03 0.28 -0.20 -0.47 171 TAMAN BANDUNG -1.79 0.47 -2.29 1.23 -1.31 -1.59 1.95 -2.91 1.63 -1.10 1.31 -0.49 0.63 0.13 0.42 -0.36 172 SUNGKAI 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.08 0.71 0.35 -1.59 1.30 0.40 -2.11 -1.44 0.29 0.32 0.21 173 Arang arang 1.15 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.09 -0.92 -1.69 -0.50 0.57 2.11 1.45 -1.44 -1.72 -1.04 -1.35 174 UJUNG TANJUNG 1.24 -0.10 1.50 0.21 -1.31 -1.46 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.04 -0.12 -0.05 -0.40 -0.63 175 Cinta Damai 1.49 -0.07 1.81 0.44 -1.31 -1.01 -0.23 0.04 1.63 -1.10 -0.18 -1.39 -1.44 -1.72 0.55 0.55 176 TIMBOLASI -1.79 -1.65 1.23 1.41 1.54 0.83 1.87 -0.27 -1.47 1.20 -0.05 -2.09 -1.44 -1.72 0.34 -1.65 177 CILODANG -1.79 -0.42 -0.15 -1.32 -1.31 0.06 0.20 -0.28 1.63 -1.10 -0.18 -0.26 0.79 1.10 -0.10 1.12
BANGUN HARJO -0.33 -0.42 -0.46 -0.29 -1.31 0.05 -0.81 0.11 1.63 -1.10 -0.18 -0.10 1.29 0.72 -0.73 -0.61
315
Lampiran 5. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 1)
No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
1 PULAU BAYUR 40.59 88 DAYA MURNI 14.42 2 TANJUNG TAYAS 33.41 89 SUKA DAMAI 14.20 3 Sungai Karang 32.30 90 AIR BATU 14.17 4 KOTA RAJA 32.23 91 LAMBUR I 14.03 5 BADANG 31.40 92 MAJU JAYA 13.94 6 ADI PURWA 31.21 93 BUKIT JAYA 13.64 7 RAWASARI 31.20 94 ADIPURA KENCANA 13.54 8 JATI MULYO 30.51 95 LAMBUR II 13.52 9 NAPAL PUTIH 30.42 96 BANGUN SARANTEN 13.47
10 TIMBOLASI 30.38 97 PANCA MULYA 13.41 11 RANTAU RASAU II 29.64 98 SUNGAI BENTENG 13.35 12 RANTAU KARYA 29.09 99 KUNING GADING 13.33 13 PINANG GADING 28.31 100 BUNGA TANJUNG 13.32 14 DUSUN MUDO 28.28 101 TANJUNG SARI 13.29 15 SEKUTUR JAYA 27.40 102 SUNGAI SAHUT 13.18 16 TALANG PEMESUN 27.33 103 PEMATANG KULIM 13.16 17 TAMAN BANDUNG 26.89 104 TANJUNG BENANAK 13.14 18 RANTAU RASAU I 26.84 105 BUKIT HARAPAN 13.04 19 PANDAN LAGAN 26.33 106 SUNGAI MERAH 13.02 20 Cinta Damai 26.08 107 BRASAU 12.99 21 KEMANG MANIS 25.01 108 TANJUNG MULYA 12.98 22 NALO BARU 24.62 109 SUMBER MULIA 12.96 23 RAMIN 24.41 110 NALO GEDANG 12.93 24 SUKA MAJU 24.03 111 RANTAU INDAH 12.91 25 BANGUN KARYA 23.45 112 BATU PUTIH 12.81 26 BANDAR JAYA 23.21 113 SUNGAI PANDAN 12.74 27 PANDAN JAYA 22.75 114 MEKAR JAYA 12.60 28 MENTAWAK BARU 22.67 115 BUKIT HARAPAN 12.48 29 BUKIT SUBUR 21.84 116 GAPURA SUCI 12.45 30 DATAR 21.71 117 CILODANG 12.44 31 SIDO REJO 21.46 118 BULIAN JAYA 12.38 32 PINANG BALAI 21.43 119 SARI MULYA 12.02 33 TRIJAYA 21.33 120 KEHIDUPAN BARU 11.86 34 RANTAU JAYA 21.22 121 TANJUNG BENUANG 11.82 35 SUMBER JAYA 21.21 122 SUMBER HARAPAN 11.47 36 KUAMANG JAYA 21.11 123 SRI SEMBILAN 11.21 37 HARAPAN MAKMUR 21.00 124 BELANTI JAYA 11.19 38 TEBO JAYA 20.95 125 LEMBAH KUAMANG 11.19
316
Lampiran 5. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
39 DURIAN LUNCUK 20.82 126 KELURAHAN WIROTHO AGUNG 11.15
40 KARANG DADI 20.75 127 SUKA MAKMUR 10.84 41 BUKIT MAS 20.55 128 BANGUN HARJO 10.83 42 JATI BARU 20.37 129 SIDO MUKTI 10.67 43 GIRI PURNO 20.24 130 MATRA MANUNGGAL 10.60 44 TUO LIMBUR 19.67 131 SIALANG 10.60 45 SEKAR MENGKUANG 19.65 132 SUNGAI BULIAN 10.45 46 MERANTIH BARU 19.64 133 SUMBER SARI 10.38 47 RANTAU MAKMUR 19.45 134 LINGGA KUAMANG 10.23 48 BUKIT SUBAN 19.17 135 BULIAN BARU 10.21 49 SEKO BESAR 19.10 136 PEMATANG KANCIL 10.15 50 INTAN JAYA 18.93 137 PERDAMAIAN 10.12 51 TAPAH SARI 18.54 138 LANTAK SERIBU 9.96 52 SARI MULYA 18.33 139 PURWO HARJO 9.59 53 JANGGA BARU 18.09 140 MEKAR SARI 9.45 54 SINAR GADING 18.09 141 TIRTAKENCANA 9.44 55 BUTANG BARU 18.08 142 GIRIWINANGUN 9.34 56 BUKIT KEMUNING 17.75 143 UJUNG TANJUNG 9.27 57 BUKIT MAKMUR 17.55 144 RAWA JAYA 9.15 58 PAUH MENANG 17.49 145 SUKA DAMAI 8.90 59 Arang arang 17.38 146 SUNGAI JERNIH 8.82 60 BUKIT INDAH 17.37 147 SRI AGUNG 8.69 61 SUMBER AGUNG 17.11 148 LAMPISI 8.61 62 MARGA MULYA 17.01 149 RIMBO MULYO 8.57 63 MUARA DELANG 16.97 150 SIDO RUKUN 8.43 64 BERKAH 16.90 151 TERENTANG BARU 8.31 65 KAMPUNG BARU 16.83 152 RANTAU HARAPAN 8.19 66 ADI JAYA 16.67 153 GURUH BARU 8.17 67 SUNGKAI 16.61 154 BUKIT SARI 8.09 68 MULIA BAKTI 16.57 155 PURWODADI 8.00 69 PANDAN MAKMUR 16.55 156 TAMBANG EMAS 7.92
70 KARYA HARAPAN MUKTI 16.47 157 Sungai Kapas 7.91
71 BUKIT BERINGIN 16.45 158 PETALING JAYA 7.88 72 MULIA JAYA 16.43 159 BUKIT MURAU 7.72 73 CATUR RAHAYU 16.38 160 MERANTI 7.72 74 PURWOSARI 16.33 161 TIRTA MULIA 7.50 75 PAYO LEBAR 16.14 162 SAPTA MULIA 7.37 76 KOTA BARU 15.97 163 WANAREJA 7.29
317
Lampiran 5. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
77 PEMATANG KABAU 15.79 164 BUKIT BUNGKUL 7.26 78 KARYA MUKTI 15.64 165 TANAH ABANG 7.12 79 SUNGAI PUTIH 15.56 166 SUKA MAJU 7.10 80 SUMBER AGUNG 15.15 167 MAMPUN BARU 7.05 81 BUKIT MULYA 15.10 168 TALANG BUKIT 6.63 82 PETIDURAN BARU 15.09 169 RASAU 6.10 83 TANJUNG HARAPAN 15.08 170 BUNGA ANTOI 6.01 84 SUMBER MULYA 14.80 171 TEGAL ARUM 5.86 85 BAHAR MULYA 14.78 172 MARGA 5.54 86 PINANG MERAH 14.71 173 PERINTIS 4.35 87 RANTAU BADAK 14.51
318
Lampiran 6. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 2)
No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
1 TANJUNG TAYAS 34.17 87 DAYA MURNI 14.43 2 BADANG 32.34 88 RANTAU BADAK 14.40 3 Sungai Karang 32.11 89 MAJU JAYA 14.11 4 KOTA RAJA 32.07 90 SUKA DAMAI 14.10 5 RAWASARI 31.49 91 LAMBUR I 14.07 6 ADI PURWA 31.05 92 PANCA MULYA 13.89 7 NAPAL PUTIH 30.75 93 SUNGAI SAHUT 13.71 8 JATI MULYO 30.48 94 BUKIT JAYA 13.58 9 TIMBOLASI 30.22 95 ADIPURA KENCANA 13.47
10 RANTAU RASAU II 29.60 96 LAMBUR II 13.45 11 RANTAU KARYA 29.49 97 BANGUN SARANTEN 13.39 12 DUSUN MUDO 28.89 98 NALO GEDANG 13.38 13 TAMAN BANDUNG 28.22 99 SUNGAI BENTENG 13.37 14 PINANG GADING 28.15 100 BRASAU 13.36 15 RANTAU RASAU I 27.84 101 BUNGA TANJUNG 13.27 16 Cinta Damai 27.73 102 KUNING GADING 13.25 17 SEKUTUR JAYA 27.60 103 TANJUNG SARI 13.21 18 TALANG PEMESUN 27.39 104 SUNGAI MERAH 13.18 19 KEMANG MANIS 26.31 105 TANJUNG BENANAK 13.17 20 PANDAN LAGAN 26.20 106 RANTAU INDAH 13.12 21 NALO BARU 25.69 107 PEMATANG KULIM 13.09 22 RAMIN 25.52 108 TANJUNG MULYA 13.05 23 SUKA MAJU 23.96 109 BUKIT HARAPAN 12.98 24 BANDAR JAYA 23.76 110 SUMBER MULIA 12.86 25 BANGUN KARYA 23.31 111 BATU PUTIH 12.82 26 MENTAWAK BARU 23.25 112 MEKAR JAYA 12.78 27 PINANG BALAI 22.91 113 SUNGAI PANDAN 12.77 28 PANDAN JAYA 22.72 114 BULIAN JAYA 12.59 29 SIDO REJO 22.66 115 GAPURA SUCI 12.56 30 BUKIT SUBUR 21.82 116 BUKIT HARAPAN 12.42 31 DATAR 21.62 117 CILODANG 12.40 32 TRIJAYA 21.52 118 SARI MULYA 12.12 33 KUAMANG JAYA 21.19 119 KEHIDUPAN BARU 11.90 34 RANTAU JAYA 21.17 120 TANJUNG BENUANG 11.77 35 JATI BARU 21.15 121 SUMBER HARAPAN 11.62 36 SUMBER JAYA 21.08 122 LEMBAH KUAMANG 11.28
37 HARAPAN MAKMUR 21.06 123 KELURAHAN WIROTHO AGUNG 11.28
319
Lampiran 6. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
38 KARANG DADI 20.84 124 SRI SEMBILAN 11.20 39 TEBO JAYA 20.83 125 BELANTI JAYA 11.17 40 DURIAN LUNCUK 20.70 126 SUKA MAKMUR 11.14 41 BUKIT MAS 20.57 127 BANGUN HARJO 10.94 42 GIRI PURNO 20.20 128 SIDO MUKTI 10.60 43 TUO LIMBUR 19.56 129 MATRA MANUNGGAL 10.54 44 SEKAR MENGKUANG 19.55 130 SIALANG 10.53 45 MERANTIH BARU 19.53 131 SUMBER SARI 10.49 46 RANTAU MAKMUR 19.34 132 SUNGAI BULIAN 10.39 47 SEKO BESAR 19.32 133 LINGGA KUAMANG 10.35 48 BUKIT SUBAN 19.13 134 PEMATANG KANCIL 10.21 49 INTAN JAYA 19.07 135 BULIAN BARU 10.16 50 TAPAH SARI 18.45 136 PERDAMAIAN 10.10 51 SARI MULYA 18.38 137 LANTAK SERIBU 9.91 52 SINAR GADING 18.22 138 PURWO HARJO 9.53 53 JANGGA BARU 18.00 139 MEKAR SARI 9.45 54 BUTANG BARU 17.97 140 GIRIWINANGUN 9.39 55 PAUH MENANG 17.69 141 TIRTAKENCANA 9.30 56 MULIA BAKTI 17.67 142 UJUNG TANJUNG 9.22 57 BUKIT KEMUNING 17.67 143 RAWA JAYA 9.12 58 BUKIT MAKMUR 17.51 144 SUKA DAMAI 8.93 59 KAMPUNG BARU 17.48 145 LAMPISI 8.84 60 BUKIT INDAH 17.34 146 SUNGAI JERNIH 8.84 61 BERKAH 17.31 147 SRI AGUNG 8.80 62 Arang arang 17.27 148 SIDO RUKUN 8.63 63 MARGA MULYA 17.27 149 RIMBO MULYO 8.59 64 SUMBER AGUNG 17.01 150 PETALING JAYA 8.58 65 MUARA DELANG 16.93 151 TERENTANG BARU 8.29
66 KARYA HARAPAN MUKTI 16.87 152 PURWODADI 8.21
67 ADI JAYA 16.77 153 GURUH BARU 8.14 68 CATUR RAHAYU 16.73 154 RANTAU HARAPAN 8.14 69 PANDAN MAKMUR 16.69 155 BUKIT SARI 8.05 70 MULIA JAYA 16.59 156 Sungai Kapas 7.94 71 SUNGKAI 16.51 157 TAMBANG EMAS 7.92 72 BUKIT BERINGIN 16.31 158 MERANTI 7.89 73 PURWOSARI 16.23 159 BUKIT MURAU 7.81 74 PAYO LEBAR 16.09 160 SAPTA MULIA 7.55 75 KARYA MUKTI 16.00 161 TIRTA MULIA 7.52
320
Lampiran 6. Lanjutan No Nama Desa D2 No Nama Desa D2
76 KOTA BARU 15.89 162 MAMPUN BARU 7.46 77 SUNGAI PUTIH 15.80 163 BUKIT BUNGKUL 7.31 78 PEMATANG KABAU 15.70 164 WANAREJA 7.27 79 SUMBER AGUNG 15.43 165 TANAH ABANG 7.22 80 BUKIT MULYA 15.31 166 SUKA MAJU 7.09 81 AIR BATU 15.28 167 TALANG BUKIT 6.59 82 PETIDURAN BARU 15.06 168 RASAU 6.53 83 TANJUNG HARAPAN 15.05 169 BUNGA ANTOI 6.35 84 PINANG MERAH 14.83 170 TEGAL ARUM 5.82 85 BAHAR MULYA 14.72 171 MARGA 5.53 86 SUMBER MULYA 14.72 172 PERINTIS 4.34 87 PEMATANG KABAU 14.82 175 PERINTIS 4.34 88 TANJUNG HARAPAN 14.81
321
Lampiran 7. Pengujian MSA (Tahap 1) Anti-image Matrices
bidan posyandu TK SD SMP Rumah RTM hansip babinsa PPM KK Lahan IP INP PD JS Anti-image Covariance
bidan 0.768 0.059 0.002 -0.152 0.031 0.092 0.089 -0.015 0.070 -0.033 -0.061 -0.015 0.015 0.113 0.036 -0.060 posyandu 0.059 0.729 0.089 0.138 -0.022 -0.081 0.100 0.183 -0.112 -0.142 0.140 0.019 -0.122 -0.081 -0.031 0.154 TK 0.002 0.089 0.805 0.062 -0.216 0.080 0.154 -0.039 0.055 0.076 0.138 0.094 0.098 -0.069 -0.051 -0.013 SD -0.152 0.138 0.062 0.699 -0.013 0.118 -0.036 0.104 0.073 -0.034 0.100 0.138 -0.051 -0.018 -0.079 0.127 SMP 0.031 -0.022 -0.216 -0.013 0.857 -0.098 -0.125 0.010 -0.064 -0.025 -0.086 0.087 0.010 0.114 0.046 -0.084 Rumah 0.092 -0.081 0.080 0.118 -0.098 0.690 0.119 -0.145 -0.062 0.066 0.033 -0.038 0.125 -0.091 -0.136 0.047 RTM 0.089 0.100 0.154 -0.036 -0.125 0.119 0.753 0.049 0.065 0.145 0.086 0.018 -0.112 0.040 -0.148 0.117 hansip -0.015 0.183 -0.039 0.104 0.010 -0.145 0.049 0.855 -0.027 -0.104 0.135 0.059 -0.147 -0.006 -0.014 0.102 babinsa 0.070 -0.112 0.055 0.073 -0.064 -0.062 0.065 -0.027 0.659 0.267 -0.133 -0.025 -0.078 0.022 0.067 -0.083 PPM -0.033 -0.142 0.076 -0.034 -0.025 0.066 0.145 -0.104 0.267 0.661 -0.093 0.067 -0.024 0.118 0.050 -0.142 KK -0.061 0.140 0.138 0.100 -0.086 0.033 0.086 0.135 -0.133 -0.093 0.844 0.022 0.005 -0.020 -0.167 0.117 lahan -0.015 0.019 0.094 0.138 0.087 -0.038 0.018 0.059 -0.025 0.067 0.022 0.863 -0.077 -0.007 -0.049 0.006 IP 0.015 -0.122 0.098 -0.051 0.010 0.125 -0.112 -0.147 -0.078 -0.024 0.005 -0.077 0.646 -0.181 -0.070 -0.101 INP 0.113 -0.081 -0.069 -0.018 0.114 -0.091 0.040 -0.006 0.022 0.118 -0.020 -0.007 -0.181 0.628 -0.036 -0.131 PD 0.036 -0.031 -0.051 -0.079 0.046 -0.136 -0.148 -0.014 0.067 0.050 -0.167 -0.049 -0.070 -0.036 0.551 -0.266 JS -0.060 0.154 -0.013 0.127 -0.084 0.047 0.117 0.102 -0.083 -0.142 0.117 0.006 -0.101 -0.131 -0.266 0.506 Anti-image Correlation
bidan 0.777 0.078 0.002 -0.208 0.038 0.126 0.117 -0.019 0.099 -0.047 -0.075 -0.018 0.021 0.163 0.055 -0.097 posyandu 0.078 0.477 0.116 0.194 -0.027 -0.115 0.135 0.232 -0.162 -0.205 0.179 0.024 -0.177 -0.120 -0.050 0.254 TK 0.002 0.116 0.442 0.082 -0.261 0.107 0.198 -0.048 0.076 0.104 0.167 0.113 0.136 -0.096 -0.076 -0.021 SD -0.208 0.194 0.082 0.672 -0.016 0.170 -0.050 0.135 0.107 -0.050 0.130 0.178 -0.075 -0.028 -0.127 0.214 SMP 0.038 -0.027 -0.261 -0.016 0.388 -0.127 -0.156 0.012 -0.085 -0.033 -0.101 0.101 0.013 0.155 0.067 -0.127 Rumah 0.126 -0.115 0.107 0.170 -0.127 0.658 0.165 -0.189 -0.092 0.097 0.044 -0.049 0.188 -0.138 -0.221 0.079 RTM 0.117 0.135 0.198 -0.050 -0.156 0.165 0.396 0.061 0.092 0.205 0.108 0.022 -0.160 0.059 -0.229 0.190 hansip -0.019 0.232 -0.048 0.135 0.012 -0.189 0.061 0.289 -0.036 -0.138 0.159 0.068 -0.198 -0.008 -0.021 0.156 babinsa 0.099 -0.162 0.076 0.107 -0.085 -0.092 0.092 -0.036 0.650 0.404 -0.178 -0.033 -0.119 0.034 0.112 -0.143 PPM -0.047 -0.205 0.104 -0.050 -0.033 0.097 0.205 -0.138 0.404 0.486 -0.125 0.088 -0.036 0.183 0.082 -0.245 KK -0.075 0.179 0.167 0.130 -0.101 0.044 0.108 0.159 -0.178 -0.125 0.265 0.025 0.007 -0.028 -0.245 0.178 lahan -0.018 0.024 0.113 0.178 0.101 -0.049 0.022 0.068 -0.033 0.088 0.025 0.757 -0.103 -0.010 -0.071 0.009 IP 0.021 -0.177 0.136 -0.075 0.013 0.188 -0.160 -0.198 -0.119 -0.036 0.007 -0.103 0.651 -0.284 -0.117 -0.177 INP 0.163 -0.120 -0.096 -0.028 0.155 -0.138 0.059 -0.008 0.034 0.183 -0.028 -0.010 -0.284 0.736 -0.061 -0.232 PD 0.055 -0.050 -0.076 -0.127 0.067 -0.221 -0.229 -0.021 0.112 0.082 -0.245 -0.071 -0.117 -0.061 0.580 -0.504 JS -0.097 0.254 -0.021 0.214 -0.127 0.079 0.190 0.156 -0.143 -0.245 0.178 0.009 -0.177 -0.232 -0.504 0.497
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)
323
Lampiran 8. Normalisasi Variabel, Indeks Komposit dan Diseminasi No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi
1 PINANG MERAH 0.62 0.91 0.79 0.73 3 2 MAMPUN BARU 0.77 0.20 0.90 0.63 3 3 LANTAK SERIBU 0.56 0.00 0.73 0.43 2 4 RASAU 0.97 0.38 0.71 0.75 4 5 MERANTI 0.96 0.53 0.85 0.81 4 6 BUKIT BUNGKUL 0.48 0.38 0.93 0.54 3 7 SIALANG 0.74 0.05 0.88 0.57 3 8 TANJUNG BENUANG 0.51 0.04 0.57 0.39 2 9 TAMBANG EMAS 0.61 0.68 0.66 0.64 3
10 SUNGAI PUTIH 0.63 0.05 0.90 0.51 3 11 BUKIT BERINGIN 0.75 0.00 0.93 0.57 3 12 PAUH MENANG 0.62 1.00 0.70 0.75 3 13 PEMATANG KANCIL 0.55 0.00 0.74 0.43 2 14 TANAH ABANG 0.37 0.21 0.69 0.38 2 15 SUNGAI SAHUT 0.54 0.22 0.82 0.50 3 16 BUNGA ANTOI 0.62 0.32 0.74 0.56 3 17 MUARA DELANG 0.67 0.43 0.68 0.61 3 18 SINAR GADING 0.67 0.14 0.70 0.52 3 19 BUNGA TANJUNG 0.50 0.64 0.82 0.60 3 20 SUNGAI BULIAN 1.00 0.00 0.88 0.69 3 21 SRI SEMBILAN 0.76 0.08 0.82 0.58 3 22 BUKIT SUBUR 0.16 0.81 0.55 0.42 2 23 RAWA JAYA 0.36 0.11 0.94 0.40 2 24 SUNGAI BENTENG 0.80 0.13 0.38 0.53 3 25 PAYO LEBAR 0.77 0.95 0.97 0.86 4 26 BUKIT MURAU 0.90 0.02 0.79 0.63 3 27 SUNGAI MERAH 0.49 0.00 0.70 0.39 2 28 PERDAMAIAN 0.85 0.13 0.77 0.63 3 29 BATU PUTIH 0.18 0.00 0.61 0.21 1 30 PEMATANG KULIM 0.44 0.08 0.65 0.38 2 31 PETIDURAN BARU 0.33 0.30 0.85 0.42 2 32 GURUH BARU 0.27 0.09 0.89 0.34 2 33 BUTANG BARU 0.17 0.30 0.84 0.34 2 34 JATI BARU 0.11 0.21 0.88 0.29 2 35 MERANTIH BARU 0.05 0.55 0.96 0.37 2 36 BUKIT SUBAN 0.31 0.00 0.84 0.32 2 37 MENTAWAK BARU 0.57 0.98 0.17 0.60 3 38 PEMATANG KABAU 0.22 0.29 0.99 0.39 2 39 TERENTANG BARU 0.28 0.05 0.83 0.32 2 40 DURIAN LUNCUK 0.85 0.00 0.82 0.60 3 41 JANGGA BARU 0.80 0.19 0.91 0.65 3 42 BULIAN BARU 0.09 0.13 0.93 0.27 2 43 MEKAR JAYA 0.21 0.31 0.96 0.38 2 44 BULIAN JAYA 0.06 0.37 0.95 0.32 2 45 KEHIDUPAN BARU 0.24 0.30 0.62 0.33 2 46 KARYA MUKTI 0.01 0.20 0.74 0.21 1 47 BUKIT HARAPAN 0.35 0.04 0.67 0.33 2
324
Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi
48 BELANTI JAYA 0.05 0.08 0.66 0.18 1 49 TAPAH SARI 0.11 0.00 0.63 0.18 1 50 BUKIT KEMUNING 0.25 0.12 0.97 0.35 2 51 RAMIN 0.07 0.00 0.83 0.20 1 52 MEKAR SARI 0.12 0.15 0.48 0.20 1 53 PANCA MULYA 0.09 0.15 0.92 0.27 2 54 SUKA MAKMUR 0.68 0.27 0.83 0.59 3 55 MARGA MULYA 0.56 0.00 0.93 0.47 2 56 MARGA 0.22 0.14 0.83 0.31 2 57 RANTAU HARAPAN 0.53 0.08 0.73 0.44 2 58 TALANG BUKIT 0.19 0.05 0.75 0.26 2 59 TRIJAYA 0.11 0.68 0.80 0.41 2 60 TANJUNG HARAPAN 0.08 0.13 0.96 0.27 2 61 BERKAH 0.15 0.07 0.91 0.28 2 62 SUMBER MULYA 0.28 0.07 0.93 0.35 2 63 MATRA
MANUNGGAL 0.08 0.00 0.87 0.21 1
64 BUKIT MULYA 0.06 0.21 0.91 0.27 2 65 BUKIT MAKMUR 0.03 0.00 0.72 0.16 1 66 BAHAR MULYA 0.08 0.16 0.84 0.25 2 67 TANJUNG MULYA 0.01 0.16 0.70 0.19 1 68 BUKIT MAS 0.04 0.00 0.96 0.21 1 69 SUMBER JAYA 0.01 0.14 0.65 0.17 1 70 ADIPURA KENCANA 0.01 0.08 0.98 0.22 1 71 BUKIT JAYA 0.02 0.21 0.95 0.26 2 72 TANJUNG SARI 0.03 0.05 0.61 0.15 1 73 PETALING JAYA 0.34 0.18 0.84 0.39 2 74 SUMBER AGUNG 0.35 0.00 0.88 0.35 2 75 RANTAU RASAU I 0.07 0.70 0.61 0.36 2 76 RANTAU RASAU II 0.47 0.95 0.01 0.51 3 77 BANDAR JAYA 0.24 0.94 0.59 0.51 3 78 BANGUN KARYA 0.04 0.94 0.00 0.29 2 79 HARAPAN MAKMUR 0.03 0.62 0.01 0.20 1 80 RANTAU JAYA 0.27 0.43 0.01 0.26 2 81 RANTAU MAKMUR 0.15 0.79 0.46 0.39 2 82 RANTAU INDAH 0.11 0.57 0.49 0.32 2 83 JATI MULYO 0.12 0.00 0.05 0.07 1 84 SIDO MUKTI 0.47 0.26 0.81 0.48 2 85 CATUR RAHAYU 0.44 0.39 0.80 0.50 2 86 RAWASARI 0.00 0.16 0.45 0.13 1 87 LAMBUR I 0.04 0.83 0.94 0.44 2 88 LAMBUR II 0.01 0.95 0.85 0.44 2 89 PANDAN JAYA 0.13 0.08 0.11 0.11 1 90 PANDAN MAKMUR 0.06 0.31 0.97 0.31 2 91 PANDAN LAGAN 0.02 0.00 0.97 0.20 1 92 SUKA MAJU 0.13 0.11 0.99 0.29 2 93 KOTA BARU 0.14 0.15 0.98 0.31 2 94 RANTAU KARYA 0.07 0.50 0.99 0.37 2
325
Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi
95 PURWODADI 0.90 0.10 0.96 0.68 3 96 SRI AGUNG 0.05 0.21 0.82 0.24 1 97 LAMPISI 0.19 0.10 0.62 0.25 2 98 TANJUNG BENANAK 0.68 0.00 0.87 0.52 3 99 BUKIT HARAPAN 0.25 0.17 0.86 0.35 2
100 ADI PURWA 0.09 0.26 0.71 0.26 2 101 PINANG GADING 0.10 0.00 0.59 0.17 1 102 DUSUN MUDO 0.34 0.00 0.99 0.37 2 103 TANJUNG TAYAS 0.07 0.16 0.99 0.28 2 104 BADANG 0.08 0.00 1.00 0.23 1 105 KAMPUNG BARU 0.05 0.06 0.97 0.23 1 106 RANTAU BADAK 0.25 0.17 0.99 0.37 2 107 BUKIT INDAH 0.05 0.07 0.97 0.24 1 108 KEMANG MANIS 0.09 0.20 0.88 0.28 2 109 INTAN JAYA 0.07 0.09 0.92 0.24 1 110 SUKA DAMAI 0.18 0.17 0.53 0.25 1 111 ADI JAYA 0.00 0.00 0.80 0.16 1 112 BRASAU 0.22 0.30 0.82 0.36 2 113 PERINTIS 0.92 0.13 0.71 0.65 3 114 KELURAHAN
WIROTHO AGUNG 0.91 0.19 0.89 0.70 3
115 RIMBO MULYO 0.99 0.34 0.71 0.75 4 116 PURWO HARJO 0.76 0.07 0.59 0.53 3 117 TEGAL ARUM 0.92 0.10 0.85 0.67 3 118 TIRTAKENCANA 0.97 0.03 0.51 0.61 3 119 SAPTA MULIA 0.59 0.19 0.69 0.50 2 120 SUKA DAMAI 0.74 0.21 0.79 0.60 3 121 SUKA MAJU 0.75 0.06 0.80 0.56 3 122 WANAREJA 0.57 0.14 0.84 0.50 2 123 SUMBER SARI 0.74 0.20 0.46 0.53 3 124 SIDO RUKUN 0.80 0.14 0.83 0.61 3 125 SUNGAI PANDAN 0.51 0.00 0.99 0.45 2 126 SIDO REJO 0.82 0.76 0.79 0.80 4 127 KARANG DADI 0.85 0.17 0.81 0.65 3 128 GIRI PURNO 0.97 0.23 0.95 0.75 4 129 SUMBER AGUNG 0.78 0.46 0.96 0.72 3 130 SARI MULYA 0.80 0.08 0.97 0.63 3 131 GIRIWINANGUN 0.98 0.13 0.89 0.72 3 132 PINANG BALAI 0.01 0.10 0.97 0.22 1 133 SEKUTUR JAYA 0.07 0.30 0.95 0.31 2 134 NAPAL PUTIH 0.00 0.00 0.96 0.19 1 135 Sungai Karang 0.00 0.08 0.13 0.05 1 136 BANGUN SARANTEN 0.17 0.04 0.55 0.21 1 137 SUNGAI JERNIH 0.11 0.10 0.55 0.19 1 138 BUKIT SARI 0.90 0.13 0.82 0.66 3 139 SARI MULYA 0.02 0.48 0.91 0.32 2 140 PURWOSARI 0.99 0.30 0.84 0.77 4 141 LEMBAH KUAMANG 0.94 0.20 0.84 0.71 3
326
Lampiran 8. Lanjutan No Nama Desa Rumah Lahan IP Indeks Diseminasi 142 SUMBER HARAPAN 0.45 0.17 0.05 0.29 2 143 DAYA MURNI 0.80 0.05 0.04 0.44 2 144 SUMBER MULIA 0.63 0.08 0.79 0.51 3 145 MAJU JAYA 0.73 0.12 0.83 0.58 3 146 TIRTA MULIA 0.42 0.53 0.10 0.39 2 147 LINGGA KUAMANG 0.68 0.08 0.15 0.41 2 148 KUNING GADING 0.83 0.28 0.77 0.66 3 149 KUAMANG JAYA 0.79 0.17 0.61 0.58 3 150 KARYA HARAPAN
MUKTI 0.81 0.00 0.85 0.59 3
151 GAPURA SUCI 0.67 0.07 0.59 0.48 2 152 MULIA BAKTI 0.79 0.06 0.91 0.61 3 153 MULIA JAYA 0.31 0.15 0.69 0.34 2 154 KOTA RAJA 0.41 0.40 0.78 0.48 2 155 TUO LIMBUR 0.52 0.41 0.72 0.53 3 156 TEBO JAYA 0.61 0.00 0.67 0.45 2 157 SEKAR MENGKUANG 0.85 0.07 0.78 0.61 3 158 DATAR 0.44 0.41 0.95 0.53 3 159 TALANG PEMESUN 0.57 0.00 0.47 0.39 2 160 Sungai Kapas 0.91 0.24 0.80 0.70 3 161 NALO BARU 0.22 0.00 1.00 0.31 2 162 NALO GEDANG 0.14 0.08 1.00 0.29 2 163 AIR BATU 0.25 0.15 0.98 0.36 2 164 SEKO BESAR 0.00 0.88 0.80 0.41 2 165 TAMAN BANDUNG 0.01 0.31 0.91 0.27 2 166 SUNGKAI 0.06 0.00 1.00 0.23 1 167 Arang arang 0.06 0.00 0.31 0.09 1 168 UJUNG TANJUNG 0.02 0.13 0.84 0.21 1 169 Cinta Damai 0.07 0.00 0.97 0.23 1 170 TIMBOLASI 0.64 0.00 1.00 0.52 3 171 CILODANG 0.34 0.36 0.88 0.45 2 172 BANGUN HARJO 0.33 0.54 0.86 0.50 2
327
Lampiran 9 Korelasi Antar Variabel Model Determinan Stadia Desa-Desa Eks Transmigrasi
Stadia X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
Stadia 1.00 -0.43 0.38 0.30 0.48 -0.52 0.21 0.45
X1 -0.43 1.00 -0.14 -0.09 -0.59 0.36 0.01 -0.26
X2 0.38 -0.14 1.00 0.26 0.13 -0.18 0.48 0.41
X3 0.30 -0.09 0.26 1.00 -0.02 -0.02 0.30 0.29
X4 0.48 -0.59 0.13 -0.02 1.00 -0.69 -0.02 0.09
X5 -0.52 0.36 -0.18 -0.02 -0.69 1.00 -0.10 -0.15
X6 0.21 0.01 0.48 0.30 -0.02 -0.10 1.00 0.44
X7 0.45 -0.26 0.41 0.29 0.09 -0.15 0.44 1.00
328
Lampiran 10 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Bekerja
Lokasi Bekerja X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
Lokasi Bekerja 1.00 -0.30 0.32 0.04 0.37 0.20 -0.09 -0.13
X1 -0.30 1.00 -0.32 0.02 -0.22 0.23 0.35 0.01
X2 0.32 -0.32 1.00 0.13 0.07 0.10 0.02 -0.01
X3 0.04 0.02 0.13 1.00 -0.14 -0.01 0.05 -0.08
X4 0.37 -0.22 0.07 -0.14 1.00 0.04 -0.04 0.03
X5 0.20 0.23 0.10 -0.01 0.04 1.00 0.02 0.08
X6 -0.09 0.35 0.02 0.05 -0.04 0.02 1.00 0.07
X7 -0.13 0.01 -0.01 -0.08 0.03 0.08 0.07 1.00
329
Lampiran 11 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Belanja
Kel.Belanja X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
Kel.Belanja 1.00 -0.27 0.12 -0.29 0.20 -0.13 -0.07 0.18 -0.07 0.03
X1 -0.27 1.00 -0.35 0.88 -0.39 0.78 0.64 -0.01 0.26 0.03
X2 0.12 -0.35 1.00 -0.31 0.51 -0.32 -0.11 0.35 0.08 0.02
X3 -0.29 0.88 -0.31 1.00 -0.37 0.70 0.60 0.00 0.22 0.04
X4 0.20 -0.39 0.51 -0.37 1.00 -0.39 -0.18 0.15 -0.03 -0.11
X5 -0.13 0.78 -0.32 0.70 -0.39 1.00 0.67 0.00 0.14 0.00
X6 -0.07 0.64 -0.11 0.60 -0.18 0.67 1.00 0.03 0.19 -0.05
X7 0.18 -0.01 0.35 0.00 0.15 0.00 0.03 1.00 0.03 0.17
X8 -0.07 0.26 0.08 0.22 -0.03 0.14 0.19 0.03 1.00 0.03
X9 0.03 0.03 0.02 0.04 -0.11 0.00 -0.05 0.17 0.03 1.00