perkembangan harga pangan dan implikasinya bagi...
TRANSCRIPT
1
PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DAN IMPLIKASINYA BAGI MASYARAKAT PEDESAAN
Sri Hery Susilowati dan Benny Rachman
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga komoditas pertanian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi perekonomian dunia, sehingga menuntut sinkronisasi pergerakan harga dalam negeri dan di pasar dunia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan harga komoditas pertanian, khususnya beberapa komoditas pangan, di pasar dunia dan pasar dalam negeri. Selain perkembangan harga dikemukakan pula respons masyarakat pedesaan dalam menyikapi perubahan harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkembangan harga riil beberapa komoditas pangan selama periode tahun1990-2008 menunjukkan kecenderungan meningkat. Harga domestik menunjukkan laju pertumbuhan dan fluktuasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia. Namun selama periode krisis pangan global (tahun 2007-2008) harga pangan domestik relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga dunia dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah pula. Respons masyarakat pedesaan dalam kegiatan usahatani dan pola konsumsi dalam menghadapi peningkatan harga pangan secara umum tidak berubah. Dalam frekuensi yang relatif kecil masyarakat pedesaan menyikapi peningkatan harga pangan dengan menurunkan kualitas makanan pokok serta menurunkan kualitas maupun kuantitas lauk pauk pauk. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk keperluan non pangan meningkat lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan.
Kata kunci : harga dunia, harga domestik, laju pertumbuhan harga.
PENDAHULUAN
Perkembangan harga komoditi pangan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat konsumen secara luas maupun tingkat kesejahteraan petani, mengingat sebagian
besar petani di Indonesia adalah net buyer of food. Oleh karena itu perkembangan harga
komoditi pangan dapat digunakan sebagai salah satu indikator parsial tentang
perkembangan kesejahteraan masyarakat dan petani.
Peningkatan harga pangan dalam dua tahun terakhir terasa sangat memberatkan
masyarakat khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Dimulai dengan
melonjaknya harga minyak goreng sejak dua tahun terakhir kemudian berturut-turut diikuti
oleh kenaikan harga beras, telur, daging ayam, terigu dan perkembangan terakhir adalah
kenaikan harga kedele. ‘Krisis pangan’, yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga
pangan secara tajam dalam dua tahun terakhir bukan hanya dialami oleh masyarakat
Indonesia namun juga terjadi di negara-negara lainnya. Daya beli masyarakat secara luas
mengalami tekanan, meskipun di sisi lain harga komoditas perkebunan yang juga
meningkat di pasar internasional memberikan keuntungan bagi petani pekebunan. Namun
2
pergerakan harga-harga dunia bergerak cepat. Krisis finansial global yang terjadi sejak dua
bulan terakhir (September 2008) yang menyebabkan melambatnya pertumbuhan
permintaan output dunia, seolah-olah membalikkan harga, terutama harga komoditi
pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia. Dampak yang paling nyata bagi
perekonomian Indonesia adalah menurunnya harga-harga ekspor komoditas perkebunan
dan hal ini akan berdampak negatif terhadap perolehan devisa maupun kesejahteraan petani
pekebun.
Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga
komoditas pertanian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi
perekonomian dunia, sehingga menuntut sinkronisasi pergerakan harga dalam negeri dan di
pasar dunia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan harga komoditas
pertanian, khususnya beberapa komoditas pangan, di pasar dunia dan pasar dalam negeri.
Selain perkembangan harga dikemukakan pula respons masyarakat pedesaan dalam
menyikapi perubahan harga.
Data
Data yang digunakan adalah data harga dunia yang bersumber dari FAO-STAT dan
Bloomberg. Harga pangan dalam negeri bersumber dari Pusat Data dan Statistik,
Departemen Pertanian. Untuk memperoleh harga riil, harga aktual di deflasi dengan CPI.
Untuk memperoleh informasi tentang respons masyarakat pedesaan terhadap
peningkatan harga pangan digunakan data survey rumah tangga ‘Konsorsium Penelitian
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Tipe Agroekosistem’, yang dilakukan
oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Survey dilakukan di 9
(sembilan) propinsi di Jawa dan Luar Jawa.
PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS PANGAN
Dalam bagian ini dibahas perilaku pergerakan harga beberapa komoditas pangan
selama periode tahun 1990-2008. Rentang waktu tersebut akan dibagi kedalam dua periode
yaitu periode sebelum krisis moneter tahun 1997 dan periode setelah krisis
Tabel 1 menyajikan tingkat pertumbuhan harga domestik beberapa komoditas
pangan pada periode tahun 1990-1997, periode tahun 1998-2008 dan agregat periode
tahun 1990-2008. Selanjutnya Tabel 2 menyajikan laju pertumbuhan harga pangan dunia
pada periode yang sama.
Selama periode tahun 1990-1997, yaitu periode sebelum terjadi krisis moneter Asia,
pergerakan harga beberapa komoditas pangan di pasar domestik menunjukkan
kecenderungan meningkat. Harga beras meningkat sekitar 7.5 persen per tahun. Harga
pangan lainnya (kedele, jagung, gula, minyak goreng, terigu dan daging) meningkat dengan
kisaran 2.2 persen per tahun (gula pasir) dan 11.1 persen per tahun (minyak goreng).
3
Periode setelah krisis ekonomi (tahun 1998-2008) laju pertumbuhan harga beberapa
komoditi mengalami peningkatan (kedele, gula pasir, terigu, daging) namun beberapa
komoditas menurun, yaitu beras, jagung dan minyak goreng. Penurunan laju pertumbuhan
harga beberapa komoditas tersebut karena pengaruh intervensi pemerintah melalui operasi
pasar terutama untuk beras dan minyak goreng. Laju pertumbuhan harga secara agregat
untuk periode tahun 1990-2008 lebih besar dibandingkan pada dua periode secara terpisah.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Harga Riil Domestik Beberapa Komoditi Pangan Tahun 1990-2008*
Pertumbuhan (% / tahun) Koefisien variasi (%)Komoditi
1990-1997 1998-2008 1990-2008 1990 -1997 1998-2008 1990-2008
Beras 7.5 7.09 13.68 28 47 77
Kedele 3.7 5.96 11.00 16 49 71
Jagung 10.1 5.06 16.15 35 56 89
Gu-sir 2.2 9.59 10.96 17 43 65
Migor 11.1 6.12 13.49 28 43 86
Terigu 2.5 7.30 11.89 11 49 76
Daging 4.7 5.94 11.80 27 37 64* Sampai dengan bulan September
Secara historis hal ini bisa ditelusuri melalui paling tidak dari tiga kejadian yang
mempengaruhi kondisi perekonomian secara umum dan pergerakan harga pangan
khususnya. Pertama adalah peningkatan harga barang-barang secara drastis yang terjadi
pada saat puncak krisis moneter tahun 1997-1998. Hal ini memberikan kontribusi yang
besar terhadap laju peningkatan harga secara agregat. Harga (nominal) beras pada tahun
1998 meningkat sekitar 97 persen terhadap tahun 1997. Demikian pula dengan komoditas
lain yang meningkat lebih dari 75 persen. Bahkan harga minyak goreng mengalami
peningkatan sekitar 257 persen, yaitu dari sekitar Rp. 1500 per kg pada tahun 2007
menjadi Rp. 5400 per kg pada tahun 1998 meskipun pada tahun berikutnya harga kembali
menurun pada kisaran Rp. 3500 sampai Rp. 4000 per kg . Kedua adalah ’krisis’ pangan
yang terjadi di hampir seluruh negara, yaitu pada periode tahun 2007-2008. Kenaikan
harga beberapa komoditas pangan dunia pada periode tersebut dipicu oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah kenaikan harga minyak mentah yang memicu makin gencarnya
pengembangan energi alternatif (biofuel) yang bersumber pada komoditas pertanian
sehingga terjadi konversi lahan untuk tanaman pangan ke biofuel. Oleh karenanya
komoditas ynag paling terpengaruh khususnya adalah komoditas yang terkait dengan
pengembangan energi alternatif tersebut, khususnya minyak sawit (yang berdampak pada
peningkatan harga minyak goreng domestik) dan komoditas kedele (Amerika dan China
mengkonversi lahan kedele ke jagung sehingga produksi kedele dunia turun). Ketiga,
adalah krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa pada pertengahan September
2008, yang dalam hal ini pengaruhnya lebih besar pada harga komoditas perkebunan.
4
Konsekuensi dari fenomena di atas dapat dilihat melalui fluktuasi harga. Besarnya
fluktuasi harga dapat ditafsirkan sebagai tingkat resiko pendapatan yang dihadapi petani
dari komoditas yang diusahakan, disisi lain mencerminkan resiko terhadap daya beli yang
harus dihadapi oleh masyarkat konsumen. Secara sederhana fluktuasi harga dapat
ditunjukkan diantaranya melalui koefisien variasi. Dengan adanya tiga kejadian penting
seperti diuraikan di atas, fluktuasi harga pada sepanjang periode tahun1990-2008 lebih
fluktuatif dibandingkan dengan dua periode secara terpisah dan pergerakan harga pangan
lebih berfluktuasi pada masa setelah masa krisis moneter dibandingkan masa sebelum krisis.
Secara umum harga minyak goreng dan jagung relatif lebih berfluktuasi dibanding
komoditas yang lain.
Pergerakan harga pangan di pasar dunia disajikan pada Tabel 2. Harga dunia juga
menunjukkan kecenderungan peningkatan pada dua periode yang sama namun dengan laju
yang lebih moderat, berkisar 2 persen sampai 5 persen per tahun. Namun pada
pertumbuhan agregat periode tahun 1992-2008, laju pertumbuhan harga per tahun relatif
sangat kecil, kurang dari satu persen, kecuali untuk gula pasir (2.8 persen per tahun).
Bahkan untuk beras dan jagung justru cenderung menurun. Melambatnya laju pertumbuhan
pada pariode tersebut karena terjadi penurunan harga yang cukup besar pada tahun 1998
terhadap tahun 1997 untuk seluruh komoditas (kecuali minyak sawit) dengan kisaran
penurunan -5 persen (beras) sampai -21 persen (gandum). Penurunan harga masih berlanjut
sampai tahun 2003 namun harga tahun 2008 kembali meningkat tajam karena pengaruh
krisis pangan global tahun 2007-2008. Secara umum fluktuasi harga komoditi pangan di
pasar dunia selama periode yang sama relatif stabil dibandingkan dengan fluktuasi yang
terjadi pada pasar domestik. Dengan melihat laju pertumbuhan harga dunia pada dua
periode tersebut maka fenomena harga murah dan penurunan harga yang terjadi sebelum
tahun 90 an sudah terlewati. Data-data dari World Bank pada periode 1950-1990 secara
umum menunjukkan perkembangan harga riil produk pertanian yang cenderung menurun
berkisar 1 sampai 7 persen per tahun pada periode 1971-1991 (Sudaryanto dan Hutabarat,
1993).
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Harga Dunia Beberapa Komoditi Pangan, Tahun 1992-2008*
Pertumbuhan (% / tahun) Koefisien variasi (%)Komoditi
19992-1997 1998-2008 1992-2008 1990-1997 1998-2008 1992-2008
Beras 2.3 4.2 -1.8 8.3 42.4 34,4
Kedele 3 4.9 0.3 7.4 27.2 21.9
Jagung 3.6 4.5 - 0.7 16.9 28.6 26.2
Gu-sir 2.2 2.7 2.8 11.0 23.1 28.2Migor 5.3 3.6 0.7 16.3 30.0 31.2Terigu 2.1 4.5 0.06 12.4 32.4 26.9
* Sampai dengan bulan Oktober
5
PENGARUH KRISIS PANGAN DUNIA TERHADAP PERGERAKAN HARGA PANGAN
Peningkatan Harga Pangan
Krisis pangan dunia yang terjadi pada pertengahan tahun 2007 mengakibatkan
peningkatan harga pangan di pasar dunia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
peningkatan harga pangan dunia diantaranya adalah: (1) menurunnya produksi sereal dunia
masing-masing sebesar 3.6 persen dan 6.9 persen di tahun 2005 dan 2006 yang disebabkan
oleh iklim yang buruk, (2) tingkat stok sereal sangat rendah, rasio tingkat stok akhir pada
tahun 2007/2008 terhadap tingkat penggunaan sekitar 18.7 persen, terendah sepanjang tiga
dekade, (c) peningkatan harga minyak bumi yang mendorong peningkatan harga pupuk dan
transportasi, (d) peningkatan permintaan biji-bijian untuk biofuel, diperkirakan sekitar 100
juta ton biji-bijian dipergunakan untuk biofuels pada tahun 2007/2008, dan (f) peningkatan
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang mendorong peningkatan permintaan
bahan pangan Kondisi di atas mengakibatkan meningkatnya indeks harga pangan selama
periode 12 bulan menjelang Maret 2008 masing-masing sebesar 130 persen untuk gandum,
38 persen untuk jagung dan 66 persen untuk beras (FAO, 2008).
Peningkatan harga pangan dunia tersebut berimbas pada peningkatan harga pangan
di pasar domestik. Perkembangan harga beberapa komoditas pangan dunia dan domestik
disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Tabel 3 menyajikan laju pertumbuhan harga
pangan di pasar dunia maupun pasar domestik. Dilihat laju pertumbuhan harga dunia,
angka pertumbuhan per bulan terlihat relatif kecil, dengan kisaran 0.56 persen per bulan
(minyak sawit) sampai 2.66 persen per bulan (beras). Namun apabila dilihat perubahan
harga rata-rata tahun 2007 ke harga rata-rata tahun 2008 (sampai dengan Oktober) terjadi
peningkatan harga yang cukup besar. Harga beras meningkat sebesar 117 persen , kedele
40 persen, jagung 45 persen, gula 28 persen dan minyak sawit dan gandum masing-masing
36 dan 39 persen. Harga pangan terus mengalami peningkatan sejak awal tahun 2007 dan
harga tertinggi dicapai pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2008 yang selanjutnya
cenderung menurun. Fluktuasi harga pangan dunia dapat diamati dari besaran koefisien
variasi. Harga beras relatif paling berfluktuasi sementara gula dan daging relatif lebih stabil
dibanding komoditi lainnya.
Laju pertumbuhan harga pangan domestik selama periode yang sama menunjukkan
angka relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga pangan dunia. Demikian pula
fluktuasi harga yang dicerminkan melalui koefisien variasi harga, menunjukkan angka yang
lebih kecil dibandingkan dengan harga dunia. Harga masing-masing komoditas meningkat
dengan laju kurang dari satu persen kecuali untuk kedele (meningkat 1.4 persen per bulan).
Bahkan harga gula selama periode tersebut memiliki laju pertumbuhan negatif. Namun
seperti halnya pada harga dunia, terjadi peningkatan harga yang cukup besar dari tahun
2007 ke tahun 2008 (sampai dengan September), terutama untuk kedele, minyak goreng,
6
terigu dan jagung masing-masing sebesar 45.7 persen, 36.9 persen, 14.7 persen dan 18.0
persen sementara untuk harga gula pasir dan daging menurun masing-masing sebesar -8.2
persen dan -6.9 persen dan harga beras hanya meningkat sebesar 0.6 persen. Perkembangan
harga konsumen beberapa komoditi pangan disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 3. Laju Pertumbuhan Harga Dunia dan Harga Domestik Beberapa Komoditi Pangan,Januari 2007- Oktober 2008
Harga Dunia Harga Domestik
Komoditas Laju (%/bulan)
Perubahan2007-2008
(%)
Koef. var (%)
Laju(%/bulan)
Perubahan2007-2008
(%)
Koef.var (%)
Beras 2.66 116.9 44.8 0.03 0.6 4.4Kedelai 1.4 39.7 21.6 1.35 45.7 23.5Jagung pipil 1.29 45.3 21.2 0.76 8.0 12.0Gula 0.89 28.3 15.0 -0.02 -8.2 4.5Minyak goreng 0.56* 35.7 23.6 0.91 36.9 16.2Daging 1.00 39.4 15.6 0.3 -6.9 4.9* harga minyak sawit
Dari pergerakan harga dunia dan domestik tersebut terlihat bahwa laju pertumbuhan
dan tingkat fluktuasi harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia. Hal
ini disebabkan oleh berbagai kebijakan pemerintah dalam upaya stabilisasi harga pangan
domestik. Perubahan harga domestik setiap bulan masing-masing komoditas selama periode
Januari 2007 sampai dengan September 2008 yang dihitung berdasarkan selisih harga pada
setiap bulan terhadap harga rata-rata bergerak tiga bulan sebelumnya diuraikan sebagai
berikut.
Beras
Peningkatan harga beras selama periode Januari 2007 sampai September 2008
mencapai selisih harga tertinggi pada bulan Desember 2007, bulan Januari dan Februari
2008 dengan selisih harga masing-masing sebesar 5 persen, 7 persen dan 5 persen
dibandingkan dengan harga rata-rata bergerak tiga bulan sebelumnya. Peningkatan harga
tersebut selain karena pengaruh krisis pangan dunia juga karena fenomena peningkatan
permintaan pada hari Raya Natal dan Tahun Baru. Intervensi pemerintah untuk menurunkan
harga beras melalui operasi pasar berhasil menurunkan harga beras sebesar 5 persen pada
bulan April (kemudian cenderung meningkat stabil pada selisih harga berkisar satu persen),
sementara pada bulan yang sama harga beras di pasar dunia justru mencapai rata-rata harga
tertinggi yaitu $ 907/ton. Pemerintah mengantisipasi hal ini dengan melarang ekspor beras
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui Peraturan Menteri Perdagangan
No.12/M-DAGRI/PER/4/2008.
7
Kedele
Pengaruh krisis pangan global terhadap harga kedele terlihat mulai bulan Desember
dan cenderung meningkat secara tajam pada bulan-bulan berikutnya. Lonjakan harga
tertinggi terjadi pada bulan Januari 2008 dengan selisih harga sebesar 56 persen
dibandingkan rata-rata harga sebelumnya. Pada bulan Februari selisih harga kedele masih
berkisar 40 persen. Untuk menurunkan harga kedele, selain pembebasan bea impor kedele
pemerintah memberikan subsidi harga kedele bagi pengrajin tahu tempe. Harga kedele
mulai menurun bulan Mei 2008 sebesar 6.5 persen terhadap harga sebelumnya dan
cenderung terus menurun meskipun harga kedele di pasar dunia masih meningkat terus
sampai bulan Agustus 2008. Bulan September dan Oktober 2008 harga kedele dunia
menurun karena pengaruh krsisis finansial global sementara pada bulan September 2008
harga kedele domestik justru meningkat.
Jagung
Harga jagung terus cenderung naik secara konsisten. Perbedaan harga tertinggi
terjadi pada bulan Juli 2008 mencapai 16 persen karena harga jagung sempat menurun pada
bulan sebelumnya. Harga jagung kembali meningkat sampai bulan September 2008
dengan selisih harga dengan bulan sebelumnya sebesar 9.5 persen.
Gula
Harga gula cenderung berfluktuasi namun dengan selisih harga antar bulan yang
relatif kecil. Selisih harga terbesar terjadi pada bulan Juli 2007 mencapai 16 persen
terhadap rata-rata harga sebelumnya namun harga selanjutnya cenderung menurun mulai
bulan September 2007 sampai dengan Mei 2008 sementara harga gula di pasar dunia justru
meningkat sampai dengan bulan Maret 2008.
Minyak goreng
Harga minyak goreng cenderung terus meningkat mulai awal tahun 2007 sampai
dengan bulan Maret 2008 dengan selisih harga tertinggi mencapai 27 persen pada bulan
Maret 2007 terhadap rata-rata bulan sebelumnya. Setelah periode tersebut harga minyak
goreng mulai menurun mengikuti penurunan harga CPO di pasar dunia. Untuk
menurunkan harga minyak goreng tersebut pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
diantaranya menetapkan pungutan ekspor secara progresif untuk menjaga pemenuhan
bahan baku minyak goreng dalam negeri, memberikan pembebasan Pph bagi industri
minyak goreng dalam negeri serta memberikan subsidi harga minyak goreng melalui
penjualan minyak goreng murah bagi rumah tangga berpendapatan rendah.
8
Keterkaitan Antara Harga Dunia dan Domestik
Pembahasan di muka menunjukkan bahwa pergerakan harga beberapa komoditi
pangan dalam jangka pendek (periode Januari 2007-Oktober 2008) tidak secara langsung
mengikuti pergerakan harga dunia. Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam
upaya stabilisasi harga pangan domestik, untuk beberapa komoditi, berhasil membuat
fluktuasi harga domestik relatif lebih stabil dibandingkan harga dunia. Hubungan antara
harga dunia dengan harga domestik secara sangat sederhana dapat dilihat melalui angka
elastisitas harga dunia terhadap harga domestik. Selama periode tersebut, elastisitas harga
beras hanya sebesar 0.03 atau dengan kata lain besarnya perubahan harga dunia hanya
sedikit mempengaruhi perubahan harga beras domestik. Beras merupakan komoditi
sensitif yang selalu diintervensi oleh pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas harga
pangan pokok. Komoditi lain yang juga tidak terkait dengan pergerakan harga dunia adalah
gula. Selama periode yang sama elastisitas harga gula bahkan negatif (-0.126). Sebaliknya
untuk kedele dan minyak sawit relatif lebih elastis dengan nilai elastisitas masing-masing
0.81 dan 0.55 dan untuk jagung sebesar 0.35.
Keterkaitan antara harga dunia dan harga domestik dinyatakan oleh Aldaz-Caroll
(2008) bahwa peningkatan secara tajam harga komoditi pertanian (beras, jagung, minyak
goreng, gula, gandum dan kedele) di pasar dunia pada paeriode 2004-2008 sepenuhnya
ditransmisikan ke harga domestik di beberapa provinsi. Namun transmisi harga tersebut
tidak berlangsung seketika melainkan perlu penyesuaian. Kecepatan penyesuaian
perubahan harga domestik terhadap perubahan harga dunia bervariasi menurut provinsi,
berkisar antara tiga bulan (harga di Jakarta) sampai dua tahun (harga di Kalimantan Barat).
Pergerakan harga di provinsi yang memiliki penyesuaian lebih lama terhadap pergerakan
harga dunia cenderung lebih volatil dibandingkan dengan provinsi yang segera dapat
mengikuti perubahan harga dunia. Sebagai contoh harga pangan di Sumatera Barat (yang
memiliki waktu penyesuaian lebih lama), lebih bersifat volatil dibandingkan dengan harga
di Jakarta. Demikian pula tingkat harga beras di masing-masing provinsi akan berbeda.
Perbedaan harga antara provinsi satu dengan lainnya bisa mencapai lebih dari 64 persen
dimana 50 persen perbedaan harga tersebut dapat diterangkan melalui perbedaan
infrastruktur, kepadatan penduduk, pendapatan dan produksi beras di provinsi bersangkutan.
Informasi tentang keterkaitan antara harga dunia dan harga pangan serta
pergerakannya pada periode sebelumnya dinyatakan oleh Conforti (2004) yang
menunjukkan adanya integrasi antara harga perdagangan besar di Indonesia dengan harga
dunia untuk beberapa komoditi pertanian periode 1979-2001, kecuali untuk beras dan kopi.
Namun dalam jangka panjang harga beras akan cenderung mengikuti pegerakan harga
dunia. Sementara kajian Istiqomah et.al (2005) menunjukkan bahwa volatilitas harga padi
tingkat eceran di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih volatil pada era setelah
liberalisasi perdagangan (1998-2004) dibandingkan pada periode sebelum liberalisasi
perdagangan. Sebelum periode liberalisasi perdagangan harga di lima pasar di Jawa
9
terintegrasi namun pasca liberalisasi perdagangan harga di lima pasar tersebut tidak
terintegrasi penuh.
Respons Masyarakat Pedesaan terhadap Peningkatan Harga Pangan
Peningkatan harga pangan dalam dua tahun terakhir khususnya sejak pertengahan
bulan September 2007 diduga akan berpengaruh terhadap kegiatan usahatani maupun pola
konsumsi masyarakat pedesaan. Respons rumah tangga pedesaan terhadap peningkatan
harga pangan yang terjadi dalam dua tahun diuraikan sebagai berikut.
Kegiatan Usahatani
Dalam menyikapi kenaikan harga pangan, termasuk kenaikan harga beras dan gabah,
rumah tangga petani diduga akan merespons dengan melakukan kegiatan yang terkait
dengan: (a) luas garapan usahatani, (b) frekuensi penanaman, (c) penggunaan pupuk, dan
(d) alokasi tenaga kerja.
Tabel 4 menyajikan informasi terkait dengan respons petani tersebut. Rumah
tangga petani dikelompokkan ke dalam wilayah Jawa dan Luar Jawa. Total jumlah rumah
tangga petani contoh di Jawa sebanyak 121 rumah tangga dan Luar Jawa sebanyak 241
rumah tangga. Dari frekuensi jawaban terlihat bahwa sebagian besar (95.7 persen) rumah
tangga tidak mengubah luas garapan usahatani mereka. Hal ini karena luas lahan yang
mereka garap terbatas dan pada umumnya merupakan sumber pendapatan utama yang
harus mereka kelola. Namun sebagian kecil rumah tangga meningkatkan luas garapan (2.2
persen) dan sebagian sisanya (2.2 persen) justru mengurangi luas garapan. Peningkatan
harga beras dan gabah memberikan harapan bagi mereka untuk memperoleh pendapatan
yang lebih besar dengan menambah luas garapan. Sebaliknya peningkatan harga beras dan
harga pangan lainnya mengharuskan rumah tangga petani mengalokasikan anggaran lebih
banyak untuk konsumsi rumah tangga sehingga mengurangi luas garapan karena tidak
dapat membiayai ongkos usahatani. Demikian pula yang terjadi di Luar Jawa namun
frekuensi rumah tangga yang merespons dengan mengurangi maupun menambah luas
garapan relatif lebih banyak.
Konsisten dengan luas garapan, frekuensi penanaman maupun alokasi tenaga kerja
oleh sebagian besar rumah tangga pada umumnya juga tidak terpengaruh oleh kenaikan
harga pangan. Untuk penggunaan pupuk, meskipun sebagian besar rumah tangga
menjawab ‘tetap’ di dalam penggunaan pupuk, namun frekuensi rumah tangga yang
mengurangi penggunaan pupuk relatif lebih besar dibandingkan aktivitas yang lain,
terutama untuk wilayah di luar Jawa. Karena tidak dilakukan pengujian untuk memperkuat
hasil analisis ini, pengurangan pupuk yang dilakukan oleh sebagian rumah tangga petani
tersebut bisa jadi oleh fenomena kelangkaan pupuk dewasa ini yang terjadi di beberapa
wilayah
10
Tabel.4. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Beras/Gabah dalam Kegiatan Usahatani, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%)Keterangan 1 2 3 1 2 3
1. Luas garapan usahatani 2.2 95.7 2.2 5.7 89.9 4.42. Frekuensi penanaman 2.4 92.9 4.8 4.9 94.4 0.63. Penggunaan Pupuk 8.7 91.3 0 16.8 72.7 10.64. Alokasi Tenaga Kerja 0 100.0 0 3.4 93.9 2.8
Keterangan: 1 = Berkurang; 2 = Tetap; 3 = Bertambah
Dari respons rumah tangga tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa di dalam
merespons peningkatan harga pangan, aktivitas berusahatani oleh sebagian besar rumah
tangga petani adalah tetap. Sebagian rumah tangga merespons dengan menambah ataupun
mengurangi aktivitas usahatani dengan frekuensi yang relatif kecil. Namun hal ini perlu
dimaknai lebih lanjut bahwa bagi masyarakat petani di pedesaaan yang rata-rata hanya
memiliki lahan seluas 0.5 hektar, kegiatan usahatani merupakan sumber pendapatan utama
mereka. Dengan demikian dalam kondisi apapun kegiatan usahatani tetap mereka lakukan
seperti biasa. Pupuk merupakan faktor penentu produktivitas sehingga petani tetap
berusaha untuk menggunakan seperti semula meskipun harga pupuk semakin mahal karena
khawatir pengurangan pupuk akan menurunkan produktivitas yang akan berakibat
menurunkan pendapatan mereka.
Pola Konsumsi
Peningkatan harga pangan diduga selain berpengaruh terhadap kegiatan
berusahatani, juga berpengaruh terhadap pola dan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Perubahan pola konsumsi masyarakat yang diduga terpengaruh oleh peningkatan harga
pangan adalah dalam hal kuantitas maupun kualitas makanan pokok dan lauk pauk (Tabel
5). Peningkatan harga pangan direspons oleh sebagian besar (lebih dari 80 persen) rumah
tangga dengan tidak mengubah kuantitas maupun kualitas makanan pokok yang mereka
konsumsi. Hal ini terjadi baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa. Hanya sekitar 9 persen
rumah tangga mengurangi kuantitas konsumsi makanan pokok, namun lebih banyak
(sekitar 15 persen) rumah tangga yang merespons dengan mengurangi kualitas konsumsi
makanan pokok. Perubahan pola konsumsi lebih banyak terjadi dalam hal konsumsi
makanan lainnya (lauk pauk). Secara umum rumah tangga lebih banyak mengurangi
konsumsi lauk pauk baik dalam hal kuantitas maupun kualitas dibandingkan konsumsi
makanan pokok seperti telah diuraikan, meskipun masih sebagian besar rumah tangga
(sekitar 70 persen sampai 80 persen) mengkonsumsi lauk pauk dengan pola yang sama.
11
Tabel 5. Respon Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Pola Konsumsi Makanan Pokok dan Lauk Pauk, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%) Keterangan1 2 3 1 2 3
1. Pola Konsumsi Pangan Pokok a. Kuantitas 9.09 90.91 0 9.54 87.14 3.32 b. Kualitas 14.88 84.30 0.83 11.20 88.38 0.41 c. Perolehan* 6.61 92.56 0.83 3.73 94.19 2.07 2. Pola Konsumsi Lauk Pauk a. Kuantitas 26.67 70.83 2.50 21.58 74.27 4.15 b. Kualitas 23.33 75.00 1.67 19.92 79.67 0.41 c. Perolehan* 18.33 80.83 0.83 6.22 91.70 2.07
Keterangan: 1 = Berkurang; 2 = Tetap; 3 = Bertambah * 1 = Lebih sulit 2 = Sama saja 3 = Lebih mudah
Dalam hal perolehan, frekuensi rumah tangga yang mengatakan lebih sulit memperoleh
makanan pokok maupun lauk pauk relatif lebih banyak di Jawa dibandingkan di luar Jawa
meskipun masih tetap sebagian besar (kisaran 80 persen sampai 94 persen) rumah tangga
menyatakan tidak mengalami perubahan dalam hal perolehan.
Terkait dengan perubahan kualitas konsumsi makan pokok, jenis makanan pokok
yang dikonsumsi masyarakat sebelum dan sesudah terjadi kenaikan harga pangan disajikan
pada Tabel 6. Pada kondisi sebelum maupun sesudah kenaikan harga pangan, jenis
makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat (lebih 90 persen) baik di Jawa
maupun di luar Jawa adalah beras. Konsumsi beras dicampur jagung lebih banyak
dilakukan pada musim paceklik, terutama oleh rumah tangga di Jawa.
Tabel 6. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Jenis Konsumsi Makanan Pokok, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%)
KeteranganBeras
Beras+Jagung
Lainnya BerasBeras+ jagung
Lainnya
a. Sebelum harga naik - Bukan musim paceklik 94.2 3.31 2.48 97.08 1.25 3.67* - Musim paceklik 91.7 6.61 21.69** 94.2 1.67 4.16**b. Sesudah harga naik - Bukan musim paceklik 94.2 1.67 4.16 96.25 1.67 2.08 - Musim Paceklik 90.91 5.79 3.31** 94.98 1.26 4.57**
* = Campuran beras dan jagung atau beras dan umbi atau umbi saja.** = lebih beragam: campuran beras dan umbi, jagung saja, umbi saja, beras dan umbi, beras, jagung dan
umbi.
Kenaikan harga pangan, khususnya beras, direspons oleh rumah tangga dengan
mengkonsumsi makanan pokok dengan jenis yang lebih bervariasi, yang pada umumnya
mencampur beras dengan jagung dan umbi-umbian atau hanya mengkonsumsi jagung atau
12
umbi saja tanpa campuran beras. Namun frekuensi rumah tangga yang melakukan variasi
konsumsi makanan pokok selain beras tersebut hanya relatif kecil, hanya sekitar 4 persen
sampai 6 persen.
Peningkatan harga pangan selain diduga berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan pokok dan lauk pauk, juga diduga akan berpengaruh terhadap frekuensi makan
secara lengkap per hari. Respons rumah tangga terhadap hal itu disajikan pada Tabel 7.
Dari informasi pada tabel tersebut terlihat bahwa frekuensi makan per hari relatif tidak
berubah dengan adanya kenaikan harga pangan. Frekuensi makan per hari rumah tangga
bervariasi antar 2 sampai 4 kali makan per hari namun secara umum tiga kali per hari.
Variasi frekuensi makan antar rumah tangga pada umumnya lebih disebabkan oleh faktor
kebiasaan.
Tabel 7. Respon Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Frekuensi Makan per hari, Tahun 2008
Jawa (%) Luar Jawa (%)Keterangan
2 kali 3 kali 4 kali 2 kali 3 kali 4 kali Frekuensi makan secara lengkap/hr a. Sebelum harga naik 23.97 71.07 1.65 13.69 86.31 0 b. Sesudah harga naik 25.62 69.42 1.65 14.52 85.48 0
Terkait dengan perubahan kuantitas dan kualitas makanan pokok serta lauk pauk
Secara umum dapat dikatakan kuantitas makanan pokok dan lauk pauk relatif tetap seperti
diuraikan terdahulu. Penurunan kuantitas konsumsi beras dilakukan oleh hanya sekitar 5
persen rumahtangga. Namun rumahtangga yang mengurangi konsumsi mie bungkus relatif
lebih besar, yaitu berkisar 15 persen di Jawa dan 10 persen di Luar Jawa. Sebaliknya
rumahtangga yang mengkonsumsi ubi kayu, ubi jalar dan jagung meningkat meskipun
dengan frekuensi yang relatif kecil (satu sampai 2 persen). Di Luar Jawa, sekitar 3.4 persen
rumah tangga mengurangi konsumsi beras sebaliknya rumah tangga yang meningkatkan
konsumsi gaplek juga sekitar 3.2 persen. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil, respons sebagian rumah tangga dalam
menyikapi peningkatan harga pangan adalah dengan melakukan substitusi beras dengan
jenis makanan pokok lainnya seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu dan gaplek. Selain itu
sebagian rumahtangga (berkisar 3 sampai 9 persen) juga menyiasati peningkatan harga
pangan dengan menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi, Lampiran 3 dan Lampiran 4
menyajikan secara rinci jenis perubahan konsumsi makanan pokok dan lauk pauk yang
dikonsumsi rumahtangga.
Jenis makanan lain (lauk pauk) yang dikurangi konsumsinya oleh sebagian rumah
tangga terutama adalah ikan segar, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Frekuensi
rumah tangga yang mengurangi berbagai jenis lauk pauk nabati tersebut berkisar 6 persen
13
sampai 18 persen. Selain mengurangi konsumsi protein nabati, sebagian rumah tangga (10
sampai 12 persen) juga mengurangi konsumsi tahu dan tempe. Dari sisi kualitas lauk pauk,
frekuensi rumah tangga yang menurunkan kualitas lauk pauk yang dikonsumsi relatif lebih
sedikit dibandingkan dalam hal pengurangan kuantitas. Penurunan kualitas lauk pauk yang
paling kentara adalah pada jenis ikan segar, yang pada umumnya mengganti konsumsi ikan
dengan jenis ikan yang lebih murah harganya.
Penurunan kuantitas konsumsi makanan lainnya terutama untuk jenis minyak
goreng, buah-buahan dan makanan jajan. Penurunan kuantitas konsumsi buah-buahan
diikuti pula dengan penurunan kualitasnya, yaitu dengan mengganti jenis buah yang biasa
dibeli dengan buah hasil tanam sendiri atau pemberian tetangga. Penurunan kuantitas
maupun kualitas rokok juga dilakukan oleh sebagian kecil (sekitar 6 persen) rumahtangga
di Jawa.
Pembahasan di muka menunjukkan bahwa sekilas peningkatan harga pangan yang
terjadi selama lebih dari setahun terakhir tidak banyak mempengaruhi pola konsumsi
pangan masyarakat di pedesaan. Bagi rumah tangga di pedesaan yang orientasi kebutuhan
utama masih sebagian besar untuk konsumsi makanan, akan tetap berupaya untuk
memenuhinya meskipun harga pangan meningkat. Apalagi kebutuhan makanan pokok,
terutama beras dan sayuran, sebagian besar dipenuhi dari produksi sendiri. Peningkatan
harga pangan diduga lebih berpengaruh terhadap pengeluaran lain selain konsumsi dan
berkurangnya modal usahatani.Yang dikhawatirkan adalah apabila berpengaruh terhadap
keberlanjutan pendidikan anak. Dalam batas tertentu hal ini memang terjadi namun hanya
beberapa kasus.
Peningkatan harga pangan dan harga gabah (serta kenaikan harga BBM yang juga
terjadi pada tahun 2008) berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan. Perubahan
pengeluaran konsumsi pangan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Pengeluaran Rumah Tangga Padi di Kabupaten Karawang, Tahun 2008.
PerubahanURAIAN
Sebelum(Rp/kap/bln)
Sesudah(Rp/kap/bln) (Rp) %
A. Pangan 191,233 211,600 2,0367 10.71. Beras 41,633 41,633 0 0.02. Mie instant 8,067 9,917 1,850 22.93. Tahu dan tempe 8,967 10,733 1,766 19.74. Ikan, Telur, daging 30,950 34,067 3,117 10.15. Buah &sayuran 15,917 17,483 1,566 9.86. Gula, Kopi, Teh, Susu 12,850 15,417 2,567 20.07. Minyak Goreng 17,983 20,750 2,767 15.48. Makanan & Minuman lain 20,067 22,633 2,566 12.89. Rokok & Tembakau 34,800 38,967 4,167 12.0
B. Non Pangan 109,160 128,267 19,107 17.5
C. Pangan+Non Pangan 300,393 339,867 39,474 13.1Sumber: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2008
14
Total nilai pengeluaran konsumsi rumah tangga petani padi meningkat sekitar 13.1
persen. Nilai pengeluaran untuk konsumsi pangan meningkat 10,7 persen dan pengeluaran
non pangan meningkat 17.5 persen.
Krisis Finansial Global
Belum lagi upaya menurunkan harga pangan berhasil mencapai ke tingkat yang
lebih terjangkau oleh masyarakat luas, krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat
dan negara-negara maju yang terjadi mulai pertengahan bulan September 2008
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat dan dampak lebih lanjut adalah
menurunnya permintaan output.
Melemahnya permintaan dunia terhadap output tersebut berakibat pada turunnya
harga komoditas pertanian dunia dan berdampak sangat cepat terhadap perkembangan
harga-harga dunia dan harga jual produk di tingkat petani. Jenis komoditi yang paling
terkena dampak krisis adalah komoditi yang terutama berorientasi ekspor. Bagi Indonesia
dimana komoditi andalan yang diperdagangkan di pasar dunia adalah komoditas
perkebunan, maka dampak yang sangat nyata adalah terhadap perkembangan harga
komoditi perkebunan, diantaranya adalah minyak sawit, kakao, kopi dan karet. Sedangkan
harga pangan di pasar domestik tidak tampak terpengaruh secara nyata oleh dampak krisis
global.
Pergerakan harga beberapa komoditas pertanian di pasar dunia saat krisis global
terjadi dinyatakan melalui perbedaan harga saat ini dengan rata-rata harga bergerak
sebelumnya yang disajikan pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 13. Harga yang
dianalisa adalah harga harian selama awal September sampai dengan akhir Oktober 2008.
Kedele
Selama awal September sampai akhir Oktober 2008 harga kedele relatif berfluktuasi.
Harga kedele menurun pada pertengahan bulan September dengan perbedaan harga
mencapai -10 persen terhadap rata-rata harga sebelumnya. Harga kedele sempat meningkat
lagi sampai tanggal 22 September namun kembali menurun sampai tanggal 6 Oktober
sehingga dicapai selisih terbesar harga saat itu dengan rata-rata harga sebelumnya sebesar -
11.0 persen. Namun setelah tanggal tersebut harga kedele kembali meningkat sampai
tanggal 29 Oktober dengan selisish harga terbesar (7 persen) yang kemudian kembali
menurun.
Beras
Harga beras secara konsisten mengalami penurunan mulai awal September sampai
dengan akhir Oktober 2008. Selisih penurunan terbesar harga saat itu terhadap rata-rata
harga sebelumnya mencapai – 7.9 persen yaitu pada tanggal 31 Oktober 2008.
15
Jagung
Harga jagung mulai pertengahan September 2008 terus bergerak melemah sampai
dicapai selisih harga terbesar -11.2 persen pada tanggal 2 Oktober. Selanjutnya harga
jagung kembali meningkat sampai pada akhir Oktober perbedaan harga saat itu dengan
harga sebelumnya mencapai angka terbesar yaitu 9.6 persen pada tanggal 29 Oktober.
Namun pada awal Nopember harga jagung di pasar dunia kembali menurun.
Gula
Harga gula pada awal September 2008 menurun sampai pertengahan September.
Namun kembali meningkat sampai awal Oktober dan menurun lagi sampai minggu ketiga
Oktober dengan perbedaan harga saat itu dengan harga sebelumnya sebesar -3.7 persen
Selanjutnya harga gula kembali meningkat sampai akhir Oktober. Selama periode awal
September sampai dengan akhir Oktober, harga gula masih berada di bawah harga pada
awal September 2008.
Gandum
Harga gandum sampai tanggal 26 September 2008 masih meningkat, namun
kemudian menurun terus sampai tanggal 6 Oktober mencapai selisih harga terbesar – 9.6
persen terhadap rata-rata harga sebelumnya. Harga gandum kembali meningkat sampai
tanggal 29 Oktober mencapai selisih harga terbesar 7.9 persen.
CPO
Harga CPO sudah mulai menurun pada awal September 2008 sampai pertengahan
bulan September namun kembali meningkat dengan selisih harga terbesar pada tanggal 23
September terhadap rata-rata harga sebelumnya sebesar 8.1 persen. Selanjutnya harga CPO
merosot tajam sampai pertengahan Oktober dengan selisih harga teritnggi mencapai – 17.5
persen. Harga CPO terus konsisten turun meski dengan selisih penurunan yang relatif
lebih kecil.
Karet
Sampai dengan minggu ketiga September 2008 harga karet masih relatif stabil
namun kemudian menurun tajam dengan selisih harga pada tanggal 9 Oktober mencapai –
21.4 persen terhadap harga sebelumnya. Sampai dengan akhir Oktober harga karet
konsisten menurun meski dengan persentase penurunan yang lebih kecil terhadap harga
sebelumnya.
Kakao
Harga kakao sampai dengan akhir September 2008 relatif berfluktuasi dengan
selisih harga yang tidak terlalui besar. Namun setelah itu harga kakao menurun tajam
16
mencapai selisih harga terbesar – 9.1 persen terhadap rata-rata harga sebelumnya dan
konsisten terus menurun dengan perbedaan harga yang lebih kecil. Akhir Oktober 2008
harga kakao mulai meningkat dengan selisih harga sebesar 6.4 persen dengan rata-rata
harga sebelumnya.
Kopi
Harga kopi mulai awal September 2008 menurun secara konsisten sampai dengan
awal Oktober meski dengan tingkat selisih penurunan harga yang tidak terlampau besar.
Namun harga kopi mulai menurun tajam mencapai selisih harga terbesar sepanjang
September sampai Oktober sebesar – 16.4 persen. Harga kopi terus konsisten menurun
sampai dengan akhir Oktober dengan selisih penurunan harga yang relatif lebih kecil.
Implikasi Bagi Masyarakat Pedesaan
Meski dari sisi konsumsi seperti diuraikan di muka peningkatan harga pangan
kurang berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat pedesaan, namun dalam perspektif
lebih luas peningkatan harga pangan dan dampak krisis global yang baru terjadi
dikhawatirkan berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat di pedesaan terlebih bagi
ketahanan pangan. Permasalahan yang dihadapi bukan hanya sekedar permasalahan
peningkatan harga pangan dan turunnya harga komoditas perkebunan akibat krisis global
melainkan juga peningkatan harga minyak bumi yang pada akhirnya memicu peningkatan
harga pupuk, pestisida dan harga input pertanian lain. Dampak lebih lanjut adalah
menurunnya nilai tukar petani yang menurunkan kesejahteraan mereka karena peningkatan
harga jual produk tidak sebanding dengan peningkatan harga input produksi dan harga
pangan. Tanpa ada upaya kongkrit untuk menanggulangi krisis pangan tersebut, maka
upaya pengurangan kemiskinan yang dicanangkan melalui MDG tidak akan tercapai serta
menimbulkan ancaman terhadap stabilitas nasional.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah krisis pangan
dan membantu petani yang terkena dampak krisis global tersebut. Upaya menstabilkan
harga pangan oleh pemerintah bukan hanya melalui upaya peningkatan produksi, namun
juga melalui kebijakan fiskal. Di tingkat produsen melalui subsidi pupuk dan benih. Di
tingkat konsumen pemerintah memberikan subsidi berupa penjualan minyak goreng
murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pembebasan PPh untuk industri minyak
goreng maupun pengadaan beras miskin sebagai bentuk lain dari pengamanan harga beras
di tingkat konsumen. Kebijakan pungutan ekspor minyak sawit secara progresif juga
pernah ditetapkan oleh pemerintah untuk menjamin pasokan bahan baku minyak goreng
dalam merespons lonjakan harga minyak goreng. Namun untuk membantu petani dari
dampak krisis global, pungutan ekspor minyak sawit dewasa ini ditiadakan dan pemerintah
sedang mencari alternatif bentuk bantuan lain bagi petani yang terkena dampak krisis.
17
Namun demikian masih diperlukan upaya lain untuk membantu masyarakat
pedesaan dan petani dalam menghadapi harga pangan yang saat ini masih tinggi di satu sisi
dan menurunnya harga produk perkebunan di sisi lain oleh pengaruh krisis global.
Pertama, menjaga agar harga produk pertanian tetap tinggi terutama pada saat panen raya
dengan mengoptimalkan fungsi Bulog dalam pembelian gabah petani pada tingkat HPP
yang sudah ditetapkan. Kedua, menjamin ketersediaan input pertanian (terutama pupuk)
pada harga yang terjangkau. Dewasa ini kelangkaan pupuk di berbagai daerah masih
menjadi persoalan. Ketiga, bantuan modal untuk kegiatan produktif melalui skim kredit
yang mudah diakses dengan bunga ringan. Skim Pembiayaan Pembangunan Pertanian
(SP3) selama ini pada kenyataanya belum efektif. Keempat, peningkatan infrastruktur di
desa. Dewasa ini biaya transportasi dirasakan masih tinggi karena jalan untuk mengangkut
hasil pertanian banyak yang rusak. Kelima, perluasan kesempatan kerja yang mudah
diakses warga desa.
Dari perspektif yang lain, kenaikan harga pangan perlu dipandang sebagai moment
bagi produsen untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Hal ini juga didukung oleh
komitmen pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan secara umum. Seperti pada
kedelai, pemerintah merencanakan perluasan areal tanam kedelai seluas 500 ribu hektar
(2007-2011) melalui optimalisasi lahan dan pemanfaatan lahan tidur guna mencapai swa
sembada kedelai. Peningkatan produksi melalui peningkatan luas areal dan produktivitas
tersebut diharapkan akan dicapai keseimbangan harga baru yang lebih rendah dan stabil
dan pada saat yang sama juga dicapai peningkatan produksi pangan nasional dan
peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan
KESIMPULAN
1. Perkembangan harga riil beberapa komoditas pangan selama periode tahun1990-2008
menunjukkan kecenderungan meningkat. Harga domestik menunjukkan laju
pertumbuhan dan fluktuasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia. Namun
selama periode krisis pangan global (tahun 2007-2008) harga pangan domestik relatif
lebih stabil dibandingkan dengan harga dunia dengan laju pertumbuhan yang lebih
rendah pula.
2. Respons masyarakat pedesaan dalam kegiatan usahatani dan pola konsumsi dalam
menghadapi peningkatan harga pangan secara umum tidak berubah. Dalam frekuensi
yang relatif kecil masyarakat pedesaan menyikapi peningkatan harga pangan dengan
menurunkan kualitas makanan pokok serta menurunkan kualitas maupun kuantitas lauk
pauk pauk. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk keperluan non pangan meningkat
lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan.
3. Krisis finansial global mengakibatkan dampak penurunan harga komoditas pertanian di
pasar dunia. Penurunan harga komoditi pangan (beras, kedele, jagung, gula dan
18
gandum) lebih rendah dibandingkan dengan penurunan harga pada komoditas
perkebunan. Krisis finansial global berdampak pada penurunan harga komoditas
pertanian terutama yang sifatnya tradable. Dalam hal ini komoditas perkebunan lebih
besar terkena dampak krisis finansial global tersebut.
4. Perkembangan harga pangan yang cenderung meningkat tersebut mengindikasikan
bahwa perekonomian global dewasa ini mengalami fenomena excess demand.
Akibatnya harga produk pertanian menjadi meningkat. Masyarakat konsumen,
khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah harus melakukan penyesuaian
yang sulit terhadap kenaikan harga. Namun dengan meningkatnya harga-harga produk
pertanian, sektor pertanian akan menjadi lebih diuntungkan. Kondisi ini merupakan
moment yang tepat bagi petani (dengan atau tanpa insentif) untuk meningkatkan
produksi dan produktivitasnya. Juga merupakan kesempatan baik bagi usaha agribisnis
baik pada on-farm maupun off-farm untuk lebih bersinergi dalam memajukan sektor
pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Aldaz-Carrol, Enrque. 2008. Dealing with International Price Shocks and High Energy Prices. Seminar on “ Impact of High International Commodity Price: Evidence, Challenges and Opportunities. Jakarta.
Conforti, Piero. 2004. Price Transmission in Selected Agricultural Market. FAO Commodity and Trade Policy Research Working Paper No. 7.
FAO, 2008. Soaring Food Prices: The Need for International Action. High Level Converence on World Food Security: The Challenge of Climate Change and Bioenergy, Roma 3-5 June 2008.
Istiqomah, Manfred Zeller, Stephan von Cramon-Taubadel. 2005. Volatility and Integration of Rice market in Java, Indonesia. A Comparative Analysis Before and After Trade Liberalization. Conference on ainternational Agriculturral Research for Development.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. 2008. Dampak Kenaikan Harga BBM dan HPP Gabah terhadap Laba Usahatani dan Konsumsi Rumah Tangga Tani. Departemen Pertanian, Bogor
Sudaryanto, Tahlim dan Budiman Hutabarat. 1993. Perkembangan Harga Komoditas Pertanian dan Implikasinya bagi Indonesia. Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan Harga Dunia Beberapa Komoditi Pangan, Tahun 2007-2008
0.0
200.0
400.0
600.0
800.0
1000.0
1200.0
1400.0M
ei-07
Juni
Juli
Agus
tus
Sept
Okt
Nop
Des
Ja
nuari
-08
Feb
Mare
t
April
Mei
Juni
Juli
Agus
tus
Okt
-08
$/t
on
Gula Kedele Jagung Gandum Beras CPO
Lampiran 2. Perkembangan Harga Domestik Beberapa Komoditi Pangan Tahun 2007-2008
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Jan-
07
Mar
-07
May
-07
Jul-0
7
Sep-0
7
Nov-0
7
Jan-
08
Mar
-08
May
-08
Jul-0
8
Sep-0
8
Rp
/kg
Beras Gula Migor Kedele Jagung
20
Lampiran 3. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan pada Kuantitas Konsumsi Pangan, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%)Kuantitas Pangan1 2 3 1 2 3
Makanan Pokok1. Beras 94.21 0 5.79 92.31 4.27 3.422. Ubi kayu 97.52 1.65 0.83 98.76 0 1.243. Ubi jalar 93.02 1.16 4.65 97.20 2.10 0.704. Mie bungkus 79.49 5.98 14.53 86.88 2.26 10.865. Gaplek 100.0 0 0 90.32 3.23 1.086. Jagung 87.78 2.22 10.00 91.89 2.03 5.41Lauk Pauk7. Ikan segar 80.37 1.87 17.76 84.55 3.18 12.278. Ikan asin 90.09 1.80 8.11 92.12 1.48 6.409. Daging sapi 87.76 0 12.24 88.32 0.73 10.9510.Daging ayam ras 84.04 3.19 12.77 91.04 1.49 7.4711.Telur ayam 80.87 1.74 17.39 88.63 1.42 9.9512.Tahu 88.70 1.74 9.57 85.32 2.75 11.9313.Tempe 88.03 2.56 9.40 86.30 3.20 10.50Makanan Lainnya14.Minyak goreng 85.00 2.50 12.50 91.15 1.33 7.5215.Gula pasir 94.07 0.85 5.08 95.20 0.87 3.9316.Kopi/teh 95.76 0.85 3.39 98.17 1.37 0.4617.Sayuran 95.80 1.68 2.52 96.88 1.34 1.7918.Buah-buahan 82.57 3.67 13.76 91.28 1.03 7.6919.Makanan jajanan 85.84 3.54 10.62 87.37 4.21 8.4220.Rokok 93.27 0.96 5.77 96.00 2.86 0.57
Keterangan : 1 = tetap; 2 = meningkat; 3 = menurun
21
Lampiran 4. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan pada Kualitas Konsumsi Pangan, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%)Jenis
1 2 3 1 2 3Makanan Pokok1. Beras 90.9 0.0 9.1 96.1 1.3 2.62. Ubi kayu 96.5 2.7 0.8 98.6 0.2 1.23. Ubi jalar 98.8 0.0 1.2 98.6 1.4 0.04. Mie bungkus 99.2 0.0 0.9 98.2 1.4 0.55. Gaplek 100.0 0.0 0.0 5.4 92.4 2.26. Jagung 97.8 0.0 2.2 97.3 2.1 0.7Lauk Pauk7. Ikan segar 86.9 0.0 13.1 92.2 0.5 7.38. Ikan asin 91.9 2.7 5.4 98.0 0.5 1.59. Daging sapi 95.9 0.0 4.1 94.8 1.5 3.710.Daging ayam ras 96.8 0.0 3.2 97.7 0.8 1.511.Telur ayam 93.9 0.9 5.2 96.2 1.4 2.412.Tahu 97.4 0.0 2.6 89.9 0.9 0.913.Tempe 95.7 0.0 4.3 90.4 0.9 8.7Makanan lain14.Minyak goreng 95.8 0.0 4.2 98.2 0.4 1.315.Gula pasir 96.6 0.9 2.6 98.7 0.4 0.916.Kopi/teh 97.5 0.0 2.5 99.1 0.9 0.017.Sayuran 96.6 0.0 3.4 96.9 0.9 2.218.Buah-buahan 91.7 0.9 7.3 96.9 1.0 2.019.Makanan jajanan 89.4 10.6 0.0 93.7 0.5 5.820.Rokok 94.2 0.0 5.8 97.7 0.6 1.7
Keterangan : 1 = tetap; 2 = meningkat; 3 = menurun
Lampiran 5. Perubahan Harga Rata-rata Kedele Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = - 2.5 Max = 7.0 Min = -11.0
15-Sep
22-Sep
30-Sep6-Oct
8-Okt
15-Okt
22-Okt
29-Okt
31-Okt
5-Nop
-14.0
-12.0
-10.0
-8.0
-6.0
-4.0
-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
(%)
Kedele
22
Lampiran 6. Perubahan Harga Rata-rata Beras Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = -3.4 Max= -0.5 Min = -7.9
10-Sep
28-Sep
1-okt15-Okt
31-Okt
-8.00
-7.00
-6.00
-5.00
-4.00
-3.00
-2.00
-1.00
0.00(%
)Beras
Lampiran 7. Perubahan Harga Rata-rata Jagung Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave= -2.0 Max = 9.6 Min= - 11.2
15-Sep
22-Sep
26-Sep
2-Okt
20-Okt
29-Okt
5-Nop
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
(%)
Jagung
Lampiran 8. Perubahan Harga Rata-rata Gula Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = -1.6 Max = 0.6 Min -3.7
15-Sep
26-Sep
Okt 1
22-Okt
3-Nop
-4.0
-3.5
-3.0
-2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
(%)
Gula
23
Lampiran 9. Perubahan Harga Rata-rata Gandum Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = -1.8 Max = 7.9 Min= -9.6
15-Sep
23-Sep
29-Sep 6-Oct
15-Okt
29-Okt
5-Nop
-12.0
-10.0
-8.0
-6.0
-4.0
-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
(%)
Gandum
Lampiran 10. Perubahan Harga Rata-rata CPO Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave= - 6.5 Max= 8.1 Min= - 17.5
10_Sep 16_Sep
23_Sep
6_Okt
13_Okt
20_Okt 27_Okt
31_Okt
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
(%)
CPO
Lampiran 11. Perubahan Harga Rata-rata Karet Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave= - 6.2 Max= 5.3 Min= - 21.4
10-Sep24-Sep
6-Oct
13-Oct
22-Oct 31-Oct
-25.0
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
(%)
Karet
24
Lampiran 12. Perubahan Harga Rata-rata Kakao Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = - 2.0 Max= 6.4 Min= - 9.1
8-Sep
11-Sep17-Sep
24-Sep
8-Oct
16-Oct
27-Oct
31-Oct
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8(%
)Kakao
Lampiran 13. Perubahan Harga Rata-rata Kopi Dunia, Bulan September- Oktober 2008
Ave = -3.8 Max = 1.8 Min= -16.4
10-Sep
23-Sep26-Sep
9-Okt
20-Okt
10-Okt
31-Okt
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
(%)
Kopi