perkembangan kebudayaan indis dan pengaruhnya … · menjadi bersifat campuran belanda dan jawa,...
TRANSCRIPT
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
ROT BOL BASTIAN
NIM : 131314020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
ROT BOL BASTIAN
NIM : 131314020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19
Oleh :
ROT BOL BASTIAN
NIM: 131314020
Telah disetujui oleh :
Pembimbing I
Drs. A. Kardiyat Wiharyanto M.M. Tanggal 27 Februari 2018
Pembimbing II
Hendra Kurniawan, M.Pd. Tanggal 27 Februari 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Rot Bol Bastian
NIM :131314020
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal, 13 Maret 2018
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua Ignatius Bondan Suratno, S.Pd, M.Si ……………….
Sekretaris Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……………….
Anggota Drs. A. Kardiyat Wiharyanto M.M. ……………….
Anggota Hendra Kurniawan M.Pd. ……………….
Anggota Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……………….
Yogyakarta, 13 Maret 2018
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang memimpin dalam setiap langkah hidup saya.
2. Kedua orang tua saya yang selalu mendukung dan memotivasi saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
“Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala
rencanamu”
(Amsal 16:3)
“Tidak ada yang tidak mungkin bagi kita yang mau mencoba”
(Alexander the Great)
“Jangan pernah berhenti karena keterbatasanmu, lakukanlah apa yang kamu bisa”
(Rot Bol Bastian)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19
Oleh
Rot Bol Bastian
Universitas Sanata Dharma
2018
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga
permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebudayaan Indis di
Yogyakarta (2) Perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta (3) Pengaruh
kebudayaan Indis terhadap masyarakat tradisional Yogyakarta.
Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan:
pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan sosial budaya dengan model penulisan yang
bersifat deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Latar belakang munculnya
kebudayaan Indis di Yogyakarta berawal dari hadirnya Belanda di Yogyakarta.
Kehadiran bangsa Belanda di Yogyakarta menyebabkan pertemuan dua
kebudayaan, yaitu kebudayaan Barat dan Timur yang memunculkan kebudayaan
baru yakni kebudayaan Indis, (2) Pada awal perkembangannya perubahan budaya
menjadi bersifat campuran Belanda dan Jawa, tampak pada kehidupan di keraton.
Saluran perkembangan kebudayaan Indis memanfaatkan pendidikan dan teknologi
pertanian, (3) Kebudayaan Indis terbukti mempengaruhi ketujuh unsur universal
kebudayaan utama suku Jawa yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup
manusia, mata pencarian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian,
ilmu pengetahuan, dan religi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
THE DEVELOPMENT OF INDISCHE CULTURE AND THE
INFLUENCE TOWARDS YOGYAKARTA TRADITIONAL SOCIETY’S
SOCIAL LIFE 19th
CENTURY
By
Rot Bol Bastian
Sanata Dharma University
2018
This research aimed to describe and analyze three major problems which
were (1) The background of the emergence of Indische culture in Yogyakarta (2)
The development of Indische culture in Yogyakarta (3) The influence of Indische
culture on traditional society of Yogyakarta.
Research method which was used in this research was historical with the
following stages: the selection of topics, heuristics, verification, interpretations
and historiography. The approach used is a socio-cultural approach, and the model
of writing is descriptive analytical.
The research results showed that (1) Background to the emergence of
cultural Indische in Yogyakarta were derived from presence of Netherlands in
Yogyakarta. The presence of the Netherlands in Yogyakarta nation led to the
meeting of two cultures, namely East and West cultures which gave rise to a new
culture: Indische culture, (2) At the beginning of its development, culture change
into the mixed nature of the Netherlands and Java, as seen from the life in the
Palace. Indis culture development channels utilize agricultural education and
technology, (3) Indische culture proved to be the seventh element of the universal
culture that affects the main tribe i.e. Java language, tools and equipment human
lives, livelihood and economic systems, the system's community, the arts, science,
and religion.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta 13 Maret 2018
Rot Bol Bastian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Rot Bol Bastian
Nomor Mahasiswa : 131314020
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL
YOGYAKARTA ABAD KE-19”
Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata
Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya
dalam bentuk perangkat data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademisi
tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal, 13 Maret 2018
Yang menyatakan
Rot Bol Bastian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang maha kuasa karena
berkat dan kasih-Nya, skripsi yang berjudul “Perkembangan Kebudayaan Indis
dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta
Abad Ke-19” dapat diselesaikan oleh penulis. Penulis menyadari bahwa
terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
4. Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M.M, sebagai dosen pembimbing I yang
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Hendra Kurniawan, M.Pd, sebagai dosen pembimbing II yang
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. S. Adisusilo J. R., M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing peneliti.
7. Kedua orang tua saya, Bapak Jarot dan Ibu Udud, yang telah memberikan
kasih sayang dan semangat serta doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
8. Kakak saya terkasih Sinta Susila Yani yang telah memberi motivasi dan
dukungan untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2013 yang
telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam
menyelesaikan skripsi.
10. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kasih, damai
sejahtera selalu menyertai setiap saat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. ix
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 6
F. Landasan Teori .................................................................................... 8
G. Metode dan Pendekatan Penelitian ..................................................... 21
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 30
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBUDAYAAN
INDIS DI YOGYAKARTA .......................................................................... 31
A. Sejarah Kota Yogyakarta .................................................................... 31
B. Kedatangan Belanda ke Yogyakarta ................................................... 36
C. Munculnya Kebudayaan Indis di Yogyakarta ..................................... 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB III PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS DI
YOGYAKARTA ............................................................................................ 47
A. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Belanda di Yogyakarta ........... 47
B. Peran Keraton Terhadap Perkembangan Kebudayaan Indis
di Yogyakarta ...................................................................................... 51
C. Saluran Perkembangan Kebudayaan Indis di Yogyakarta .................. 53
1. Sistem Pendidikan ........................................................................... 53
2. Sistem Teknologi Pertanian ............................................................. 57
BAB IV PENGARUH KEBUDAYAAN INDIS TERHADAP
MASYARAKAT TRADISIONAL YOGYAKARTA ................................ 61
A. Unsur Bahasa ...................................................................................... 61
B. Unsur Perlengkapan Hidup ................................................................. 62
1. Rumah Tempat Tinggal ................................................................... 63
2. Kelengkapan dan Peralatan Rumah ................................................. 63
3. Pakaian dan Kelengkapannya .......................................................... 64
4. Alat Berkarya dan Berproduksi 65
5. Kelengkapan Alat Dapur dan Jenis Makanan ................................. 65
C. Unsur Mata Pencarian Hidup/Sistem Ekonomi ................................ 65
D. Unsur Kemasyarakatan/Organisasi ................................................... 70
E. Unsur Kesenian ................................................................................. 70
F. Ilmu Pengetahuan dan Kemewahan Gaya Hidup .............................. 72
G. Unsur Religi ...................................................................................... 74
BAB V KESIMPULAN ................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 79
LAMPIRAN ................................................................................................... 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. Perjanjian Giyanti .......................................................................... 33
Gambar II. Bagan Proses Akulturasi Kebudayaan Belanda di Indonesia ....... 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata Indis berasal dari bahasa Belanda, Nederlandsch Indie atau Hindia
Belanda, untuk menyebut nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang
secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost
Indie. Istilah ini dipakai untuk membedakannya dengan kebudayaan lain, yang
disebut Nedherlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan
Curascao. Karena, kedua wilayah tersebut berbeda. Oleh karena itu, namanya
sedikit dibedakan. Penggunaan istilah Indis ini mulai muncul pada masa
pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia oleh pendukungnya, khususnya di
Jawa.1
Kata Indis juga belum begitu akrab dalam benak kita, hanya orang tertentu
yang kenal dengan istilah Indis. Pada zaman kolonial Belanda nama Indis dipakai
untuk beberapa realitas masa lalu seperti Indische Partij, Indische Vereeniging,
Indische Katholike Partij atau Indische Sosial-Demokratische Vereeniging.2 Kata
Indis juga dikenal setelah digunakan secara tegas oleh Djoko Soekiman yang
menulis buku berjudul “Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi”.
Kehadiran orang Belanda sebagai penguasa di pulau Jawa, tentu saja
membawa banyak perubahan dalam masyarakat salah satunya budaya. Pada abad
1 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, Depok, Komunitas
Bambu, 2014, hlm. 6. 2 Ibid., hlm. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi
kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya mereka
mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang dagangan yang berupa
rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta.3
Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudian menjadi penguasa di
pulau Jawa, ikut berpengaruh pada gaya hidup, bentuk bangunan, rumah
tradisional, serta fungsi ruangannya. Alat perlengkapan rumah tangga tradisional
Jawa yang biasa digunakan masyarakat setempat juga mengalami perubahan.
Dengan demikian kebudayaan Barat (Belanda) dalam hal gaya hidup
berumahtangga sehari-hari, serta ketujuh unsur universal kebudayaan -bahasa,
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencarian hidup dan sistem
ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi- ikut
terpengaruh pula.4
Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat penghuni
kepulauan Indonesia, khususnya keluarga keturunan Eropa (Belanda) dan Jawa.
Gaya hidup Indis juga berpengaruh pada keluarga Jawa dalam sektor pendidikan
serta pergaulan sehari-hari dalam pekerjaan dan perdagangan. Selain itu, aspek
penting lainnya dalam kebudayaan Indis adalah gaya hidup dan bangunan rumah
tinggal karena rumah tempat tinggal merupakan area kegiatan keluarga sehari-
hari.5
Peradaban kolonial telah mendominasi kebudayaan Indonesia dan lambat
laun terjadi pembaharuan. Akan tetapi sebelum terjadi percampuran budaya ini,
3 Ibid., hlm. 1.
4 Ibid., hlm. 4.
5 Ibid., hlm. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
peradaban Indonesia memang sudah tinggi. Masyarakat suku Jawa cukup aktif
dalam proses percampuran budaya ini sehingga budaya Jawa tidak lenyap. Peran
kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam memberi warna kebudayaan
Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu mula-mula dibawa oleh para
pedagang dan pejabat VOC yang kemudian diikuti oleh rohaniwan Protestan dan
Katolik. Peran para cendekiawan dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat
besar dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi, khususnya
setelah Politik Liberal dijalankan oleh pemerintah kolonial. Tahap berikutnya,
kaum terpelajar Indonesia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di
Belanda untuk mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka juga
sangat berperan dalam mengembangkan kebudayaan Indis di Indonesia.6
Kota Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pariwisata, sangat menarik
sebagai kajian sejarah budaya. Sebagai kota budaya, Yogyakarta kaya akan
kebudayaan, di samping itu juga telah menghasilkan kebudayaan yang tersebar di
Tanah Air. Peninggalan kebudayaan dan pertunjukan seni budaya masih
dilestarikan di kota Yogyakarta. Yogyakarta menarik untuk dikaji karena dalam
perkembangannya, kota ini pada mulanya merupakan kota keraton di pedalaman
Jawa yang diawasi oleh pemerintah kolonial (sehingga ada dua kekuatan
kepentingan yaitu kekuatan tradisional dan kekuatan kolonial, bertemu di
dalamnya).7 Kurun waktu yang dipilih, pada abad ke-19. Abad ke-19 merupakan
puncak dari perkembangan kebudayaan Indis.
6 Ibid., hlm. 27.
7 Abduracman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial,
Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hlm. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Pada abad ke 19 pendukung kebudayaan Indis lebih banyak memakai
pakaian gaya Eropa, tetapi di rumah mereka masih memakai sarung dan piyama.
Selama beberapa abad sumbangan baru terus bertambah untuk membentuk
kebudayaan Indis, terutama pengaruh dari barang-barang impor mewah dari Barat
yang makin banyak didatangkan. Perbaikan pengajaran dan kesempatan bagi
keluarga Indis kaya untuk mengirim anak-anaknya ke pendidikan universitas di
Belanda. Bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari antara anggota keluarga dan
hubungan sosial lainnya adalah Indisch Dutch, yang merupakan bentuk bahasa
Belanda yang tercampur dengan kata-kata Indonesia, terutama kata-kata yang
berhubungan dengan kebudayaan dan lingkungan Indonesia.8
Perkembangan kebudayaan Indis berakhir bersamaan dengan runtuhnya
kekuasaan Hindia Belanda ke tangan kekuasaan Jepang selama tiga setengah
tahun. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh Perang Dunia II yang
berkecamuk dan melumpuhkan gaya hidup. Sulitnya hidup masa perang juga
menghentikan segala aktivitas kesenian.9 Meskipun sekarang kebudayaan Indis
tidak lagi berkembang, tetapi peninggalan-peninggalan kebudayaan tersebut
masih tersisa dan berdiri teguh seperti bangunan-bangunan rumah bergaya Indis.
Yogyakarta, sebagai kota budaya yang tidak lepas pula dari pengaruh
kebudayaan Indis sudah sepantasnya menjaga dan melestarikannya sebagai salah
satu peninggalan budaya bangsa. Berdasarkan latar belakang ini maka penulis
tertarik untuk mengkaji kebudayaan Indis dalam konteks sejarah budaya, dengan
8 Mahardhika Dwi Wardani, Kebudayaan Indis di Surakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, (online) dalam https://eprints.uns.ac.id/3019/
1/175011201201101061.pdf, diakses 17 September 2017 pukul 15.28
9 Djiko Soekiman, op.cit., hlm. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
judul “Perkembangan Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta Abad ke-19”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa latar belakang munculnya kebudayan Indis di Yogyakarta?
2. Bagaimana perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta?
3. Apa pengaruh kebudayaan Indis terhadap masyarakat tradisional Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebudayaan Indis di Yogyakarta.
2. Memberi gambaran mengenai perkembangan kebudayaan Indis di
Yogyakarta.
3. Menjelaskan pengaruh kebudayaan Indis terhadap masyarakat tradisional
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu juga memperluas wawasan
mengenai kebudayaan Indis di Yogyakarta.
2. Bagi Program Studi Pendidikan Sejarah
Penulisan skripsi ini bisa menambah pengetahuan dan wawasan bagi
mahasiswa lain, khususnya bagi para pembacanya dan memberikan sumbangan
bagi dunia pengetahuan di bidang kebudayaan khususnya kebudayaan Indis.
3. Bagi Universitas Sanata Dharma
Penulisan ini adalah sebagai pelaksanaan salah satu dari Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu bidang penelitian ilmiah. Skripsi ini diharapkan dapat
menambah kekayaan khasanah pustaka sejarah sebagai bahan bacaan yang
bermanfaat khususnya dalam kajian sejarah budaya.
4. Bagi Masyarakat Luas
Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas dan tidak terbatas pada
kalangan akademisi saja, serta mampu menambah pemahaman baru tentang
sejarah kebudayaan Indis di Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis lebih banyak mengunakan sumber-sumber sekunder, yaitu
penggunaan bahan pustaka sebagai sumber utama dalam mendeskripsikan dan
menganalisis perkembangan kebudayaan Indis dan pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial masyarakat tradisional Yogyakarta abad ke-19. Sumber pustaka
yang penulis kupas adalah tulisan-tulisan yang memiliki keterkaitan dengan topik
yang penulis ambil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Pertama buku yang ditulis oleh Djoko Soekiman tahun 2014 berjudul
Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi mengulas rinci proses
pembentukan kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan dan gaya hidup Indis.
Dalam buku ini dibahas antara lain tentang bahasa Indis, pakaian, arsitektur, alat
transportasi, hingga mata pencaharian.
Kedua buku yang ditulis oleh Ayatrohandi tahun 1986 berjudul
Kepribadaian Budaya Bangsa (Local Genius). Buku ini membantu penulis dalam
memperoleh gambaran dan pengertian tentang budaya bangsa hakekat local
genius, relevansinya dengan modernisasi di negeri kita, salah satunya arsitektur
bagunanan peninggalan kebudayaan Indis.
Ketiga buku yang ditulis oleh Abduracman Surjomiharjo tahun 2000
berjudul Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Kota
Yogyakarta. Buku ini menjelaskan perkembangan kota Yogyakarta pada tahun
1880-1930. Dalam perkembangannya, kota Yogyakarta pada mulanya merupakan
kota keraton di pedalaman yang diawasi oleh pemerintah kolonial, sehingga dua
kekuatan kepentingan (kekuatan tradisional dan kekuatan kolonial) bertemu di
dalamnya. Buku ini membantu penulis untuk mengetahui perkembangan sosial
masyarakat tradisional Yogyakarta.
Keempat buku yang ditulis oleh Soempono Djojowadono H. dkk, tahun
1992 berjudul Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Buku ini menjelaskan tentang terbentuknya kota Yogyakarta setelah
perjanjian Giyanti 1755 yang disepakati oleh pemerintah Belanda dan juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
membahas tentang hubungan Belanda dengan Kesultanan Yogyakarta dari HB I
samapi HB IV.
Selain buku-buku tersebut, sebagai kajian pustaka juga digunakan skripsi.
Skripsi milik Mahardhika Dwi Wardani, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, berjudul “Kebudayaan Indis di
Surakarta” tahun 2010. Skripsi ini mengkaji bangunan-bangunan bergaya Indis di
Surakarta, karakteristik bangunan Indis di Surakarta, kondisi bangunan Indis di
Surakarta, dan bentuk perlindungan pemerintah terhadap bangunan Indis di
Surakarta.
F. Landasan Teori
Skripsi ini berjudul Perkembangan Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya
Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarata Abad Ke-19.
Untuk menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi, maka dibutuhkan
beberapa teori dan konsep sebagai berikut:
1. Masyarakat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat adalah
sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama.10
Istilah masyarakat sendiri berasal dari bahasa Arab syaraka yang bearti
“ikut serta, berpartisipasi.” Jadi masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. interaksi dapat
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1988, hlm. 564.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
dilakukan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat
mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan
yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.11
Masyarakat disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari
berbagai sistem dan subsistem seperti ekonomi, politik, pendidikan, keluarga,
kesehatan, dan lain sebagainya. Di antara sub-sub sistem dan di dalam subsistem
itu sendiri terdapat jalinan relasi dengan norma-norma dan peraturannya sendiri.
Dalam setiap hubungan ini ada norma dan aturan yang mengatur hubungan-
hubungan itu. Karena itu Pater L. Berger juga mengartikan masyarakat sebagai
sistem interaksi. Pentingnya interaksi sebagai syarat mutlak untuk terciptanya
masyarakat, Nampak juga dalam defenisi John Macionis yang mengartikan
masyarakat sebagai orang-orang yang berinteraksi satu sama lain di dalam suatu
wilayah tertentu dan yang menghayati kebudayaan yang sama.12
Manusia adalah bagian dari masyarakat yang dituntut untuk selalu
melakukan interaksi antara satu sama lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhannya
sebagai makhluk sosial. Manusia dalam menjalankan kehidupannya akan
membentuk suatu ikatan terkecil yang disebut keluarga. Keluarga berfungsi dalam
hal pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio manusia dalam menjalankan kehidupan
11
Hiro Tugiman, Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto, Yogyakarta, Kanisius, 1999,
hlm. 27-28. 12
Bernand Raho, Sosiologi - Sebuah Pengantar, Surabaya, Ledalero, 2004, hlm. 69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
sehari-harinya. Perkembangan kumpulan dari beberapa keluarga akan membentuk
suatu masyarakat yang akan tumbuh semakin luas menjadi suatu bangsa.13
Tata cara kehidupan setiap masyarakat dibentuk berdasarkan perpaduan
antara berbagai sikap, cara berpikir, cara bergaul, dan cara hidup dari tiap masing-
masing individu sesuai dengan kultur yang dipercaya dan diyakini oleh setiap
individu. Jadi, masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan dari semua
hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa
dan lain-lain. Masyarakat dalam arti sempit merupakan sekelompok manusia yang
dibatasi oleh aspek-aspek tertentu. Oleh karena itu dapat disimpulkan, masyarakat
adalah kelompok manusia yang telah lama bertempat tinggal di suatu daerah
tertentu dan memiliki aturan bersama untuk mencapai tujuan bersama yaitu
mencapai kesejahteraan.14
Adanya prasarana untuk berinteraksi memang menyebabkan warga negara
dari suatu kolektif manusia itu akan saling berinteraksi, sebaliknya, adanya suatu
potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari satu kesatuan
manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Masuknya kebudayaan Barat ke
Indonesia membawa pengaruh terhadap kebudayaan setempat sehingga ada
percampuran kebudayaan. Unsur yang paling penting dalam percampuran
kebudayaan tersebut adalah masyarakat. Masyarakat dalam hal ini terbagi menjadi
dua bentuk, yakni masyarakat tradisional dan masyarakat modern.
13
Eprints.ung.ac.id, BAB II Landasan Teori, Pengertian Masyarakat (online) dalam http://eprints.
ung.ac.id/1307 /5/2012-2-87201-231407038-bab2-22012013020654.pdf, diakses 18 September
2017 pukul 14.14. 14
Eprints.ung.ac.id, BAB II Landasan Teori, Pengertian Masyarakat (online) dalam http://eprints.
ung.ac.id/1307 /5/2012-2-87201-231407038-bab2-22012013020654.pdf, diakses 18 September
2017 pukul 14.14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
a. Masyarakat Tradisional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat tradisional
adalah masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama.15
Pada permulaan abad ke-20 timbul anggapan di antara sejumlah ahli seperti
Tonnis, Simmel, Soengler, Scheler, Barres, Bergson, Weil, Gill, Chesterton,
Tawney, Eliot, Henry Adams, Munford dan lainilain, yang menyatakan bahwa
orang-orang/suku bangsa yang ada sudah hidup sesuai dengan tradisi yang tidak
terputus-putus, sebelum datangnya masyarakat modern, suatu masyarakat yang
dianggap banyak menimbulkan malapetaka bagi kehidupan manusia. Dalam hal
ini tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat. Masyarakat itu tidak
mempunyai pilihan lain dari pada mengadakan penyesuaian terhadap nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Malahan ada dugaan bahwa tradisi menjamin
kualitas pada perbedaan masyarakat yang tradisional itu sendiri. Pada awal abad
ke-20, adanya suatu sikap yang mencerminkan kebencian terhadap peradaban
modern, suatu peradaban yang sifatnya ilmiah, rasionalistik, individualistik serta
mengarah hal-hal yang menyenangkan (kodenistik).16
Menurut Ny. Pudjiwati Sajogyo ciri-ciri dari masyarakat yang
tradisional/masyarakat primitif adalah sebagai berikut :17
1) Masyarakat-masyarakat primitif adalah masyarakat yang agak rendah
perkembangan pengetahuan dan teknologinya
2) Masyarakat-masyarakat primitif itu cukup kecil, antara beberapa puluh
sampai beberapa ratus jiwa,
3) Masyarakat-masyarakat primitif belum banyak mengenal pembagian kerja
dan spesialisasi
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm. 635. 16
Ny. Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi pembangunan, Jakarta, Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional Jakarta, 1985, hlm. 91. 17
Ibid.,hlm. 95-97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
4) Perlu pula dikemukakan bahwa dalam kehidupan lingkungan
kemasyarakatan atau kelembagaan. Artinya tidak banyak lembaga yang
hanya untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang sangat khusus, misalnya
sebagai contoh adalah kelompok-kelompok kekerabatan
5) Dengan kecilnya sekala masyarakat dan sedikitnya diferensiasi, maka
dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat primitif tidak banyak terdapat
hetrogenitas dalam hal kebudayaan
6) Dalam masyarakat primitif, Redfirld mengemukakan adanya ciri-ciri “orde
moral”, yaitu suatu prinsip yang mengikat atau mekanisme masyarakat.
Gambaran mengenai masyarakat dalam kehidupnya mempunyai kaitan erat
dengan tradisi dianggap pula ada gunanya untuk menjelaskan beberapa perbedaan
yang nyata antara kebudayaan dan lembaga-lembaga sosial yang tradisional dari
pada yang tidak tradisional (modern). Hal ini akan memberikan pengertian yang
lebih baik mengenai ruang lingkup serta batas-batas dari pada tradisi. Sadar akan
adanya perbedaan-perbedaan yang bersar antara kebudayaan-kebudayaan,
khususnya juga di dunia bangsa-bangsa yang disebut “buta tulis” atau
“primitif”.18
Dalam lingkungan masyarakat sederhana atau primitif pola
pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja
dalam bentuk lain tidak terungkap dengan jelas, sejalan dengan pola kehidupan
dan pola perekonomian masyarakat primitif atau belum sedemikian rupa seperti
pada masyarakat modern.19
b. Masyarakat Modern
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat modern
adalah masyarakat yang perekonomiannya yang berdasarkan pasar secara luas,
spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi cangih.20
18
Ibid., hlm. 92. 19
Idad Suhada, Ilmu Sosial Dasar, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2016, hlm. 56. 20
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm 635.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Menurut Ny. Pudjiwati Sajogyo ciri-ciri masyarakat modern adalah sebagai
berikut :21
1) Manusia modern adalah orang yang bersikap terbuaka terhadap
pengalaman-pengalaman baru maupun penemuan-penemuan baru. Intinya,
tidak ada sikap apriori atau prasangka,
2) Manusia modern senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan
setelah melalui kekurangan-kekurangan yang dihadapinya saat itu,
3) Manusia modern senantiasa mempunyai kepekaan terhadap masalah-
masalah yang terjadi di sekitarnya, dan mempunyai kesadaran bahwa
masalah-masalah tersebut berkaitan dangan dirinya,
4) Manusia modern senantiasa mempunyai informasi yang lengkap mengenai
pendiriannya,
5) Manusia modern lebih banyak berorientasi ke masa kini dan masa
mendatang,
6) Manusia modern senantiasa menyadari potensi-potensi yang ada pada
dirinya dan yakin pada potensi tersebut akan dapat dikembangkan,
7) Manusia modern adalah manusia yang peka perencanaan,
8) Manusia modern tidak pasrah pada nasib,
9) Manusia modern percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan dan
teknologi, di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia,
10) Manusia modern menyadari dan menghormati hak-hak, kewajiban-
kewajiban serta kehormatan pihak lain, dan lain sebagainya.
Untuk membentuk manusia modern yang mempunyai ciri-ciri seperti di
atas, jelas tidak semudah seperti yang direncanakan. Lagi pula, perlu diperhatikan
bahwa tidak semua aspek tradisional adalah buruk. Oleh karena itu harus pula
ditelaah dan diadakan identifikasi terhadap aspek-aspek tradisional yang dapat
mendukung terbentuknya manusia modern itu,22
seperti pada masa kolonial di
mana masyarakat tradisional Jawa mengalami transisi menjadi mayarakat modern
yang disebut dengan gaya Indis. Gaya Indis ini dipandang sebagai gaya ke Barat-
baratan yang lebih modern dari pada penduduk setempat. Terbentuknya gaya
21
Ny. Pudjiwati Sajogyo, op.cit., hlm. 113. 22
Ibid., hlm.13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Indis tersebut karena ada masyarakat pendukung kebudayaan Indis yang
menghuni kepulauan di Indonesia khususnya Jawa.
Seperti yang telah penulis sebutkan di atas, masyarakat tradisional dan
masyarakat modern Yogyakarta ikut berperan penting dalam tumbuh dan
berkembangnya kebudayaan Indis. Oleh karena itu penulis ingin menggali lebih
dalam tentang awal masuknya kebudaya Indis ke Yogyakarta, bagaimana
perkembangan kebudayaan Indis, serta pengaruhnya terhadap masyarakat
Yogyakarta.
2. Kebudayaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan berasal dari
kata dasar budaya, yang berarti pikiran akal budi. Kata dasar budaya ini diberi
imbuhan “ke” dan “an” menjadi kebudayaan yang bearti hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat-
istiadat.23
Kebudayaan berasal dari kata buddhayah (bahasa Sansekerta) sebagai
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal atau hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan,
rasa dan tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Manusia tidak dapat
dipisahkan dengan kebudayaan, di mana ada manusia disitu ada kebudayaan.
Kebudayaan lahir bersamaan dengan mulai adanya umat manusia. Sifat budaya itu
adalah sesuatu nilai sebagai milik bersama yang mana terkait dengan situasi
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm. 130-131.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
masyarakat yang dapat membantu kehidupan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya baik kebutuhan primer, sekunder atau interaktif. Sifat budaya
tersebut menurun kepada generasi berikutnya melalui proses belajar.24
Kebudayaan adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-
bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mitos, sastra, lukisan, nyayian,
musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis
dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologi dari
sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas
sosial, organisasi kenegaraan, dan seluruh perilaku sosial. Demikian juga budaya
meterial yang berupa bangunan, peralatan, dan persenjataan tidak dapat
dilepaskan dari konfigurasi budaya.25
Menurut Raymond Wiliams kata budaya atau kebudayaan (culture)
merupakan satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya
dalam dalam bahasa Inggris. Sebab dalam kata tersebut sering digunakan orang
dalam untuk memacu pada sejumlah konsep penting dalam beberapa disiplin
ilmu. Pada awalanya, culture dekat dengan kata kutivasi yaitu pemeliharaan
ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religus. Istilah ini mulai diterapkan secara
luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi
lewat pembelajaran.26
Negara Indonesia yang terdiri banyak pulau yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke, dihuni oleh bermacam-macam suku dan
24
Syahrial Syarbaini Rusdiyanta, Dasar-dasar Sosiologi, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009, hlm.100-
101. 25
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1987, hlm.
29. 26
Mudji Sustrisno dan Hander Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 2005,
hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
bangsa. Keanekaragaman tesebut perlu kita ketahui dan kita sadari, agar tercipta
suatu sikap saling mengerti diantara kita semua tentang budaya bangsa Indonesia.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia
dan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk
memperbaiki nasib hidupnya. Usaha tersebut terungkap baik dengan mengolah
lingkungan dan dunianya untuk memenuhi kebutuhan tersebut maupun dengan
menciptakan pola dan hubungan masyarakat yang makin mempermudah dan
memperlancar pergaulan hidup.27
Kebudayaan Indis adalah kebudayan Barat (Belanda), kata Indis dalam
bahasa Belanda yaitu Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, kata tersebut
diambil dari nama jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis
meliputi jajahan kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie. Istilah tersebut
makin meluas di masyarakat dengan berdirinya partai-partai politik, seperti
Indische Partij yang didirikan oleh Douwes Dakker, Tjipto Mangunkusumo, dan
Suwardi Suryaningrat pada tahun 1912.28
Kehadiran orang Belanda ke Indonesia mempengaruhi tujuh unsur universal
kebudayaan. Menurut C. Kluckhohn dalam Djoko Soekiman (2013: 29) konteks
tujuh unsur universal kebudayaan yang dimiliki budaya manapun adalah sebagai
berikut :29
a. Bahasa (lisan maupun tertulis)
b. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (antara lain: pakaian, rumah,
senjata, alat transportasi, alat produksi dan sebagainya)
c. Mata pencarian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, dan sebagainya)
27
Ayatrochaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta, Pustaka Jaya,1988, hlm. 32. 28
Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 6. 29
Ibid., hlm. 29.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
d. Sistem kemasyarakatan (seperti: organisasi politik, sistem kekerabatan,
sistem hukum, sistem perkawinan, dan sebagainya)
e. Kesenian (seni rupa, seni sastra, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
f. Ilmu pengetahuan, dan
g. Religi.
Penulis berpendapat bahwa penggunaan istilah kebudayaan dalam landasan
teori, dapat memudahkan penulis dalam pengembangan tulisan ini. Dan dapat
menemukan suatu masalah di masyarakat berserta dampaknya dan dipengaruhi
oleh kebudayaan Indis di Indonesia khususnya di Yogyakarta pada abad ke-19.
3. Gaya Hidup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gaya hidup berasal dari
kata dasar gaya, yang berarti kekuatan; kesanggupan berbuat dan sebagainya.
Sedang kan hidup dalam kamus yang sama mengartikan pola tingkah laku sehari-
hari segolongan manusia di dalam masyarakat.30
Gaya hidup lebih menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana ia
hidup, menggunakan unagnya dan memanfaatkan waktu yang diingikannya
namun bukan atas dasar kebutuhan tetapi atas dasar keinginan untuk bermewah-
mewah atau berlebihan. Gaya hidup berbeda dengan kepribadian. Kepribadian
lebih menggambarkan karakteristik terdalam yang ada pada diri manusia.
Walaupu kedua konsep tersebut berbeda, namun gaya hidup dan kepribadian
saling berhubungan. Kepribadian merefleksikan karakteristik internal dari
konsumen, gaya hidup menggambarkan manifestasi ekternal dari karakteristik
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm.258.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
tersebut, yaitu perilaku seseorang.31
Sebagai contoh dapat kita lihat dari
karakteristik sebuah kota dan nonperkotaan.
Karakteristik dari sebuah kota yang secara mencolok dapat membedakan
dengan masyarakat nonperkotaan adalah gaya hidup dari masyarakatnya. Latar
belakang profesi, kemudahan akes transportasi, komunikasi dan berbagai fasilitas
publik lainnya melahirkan perilaku dan gaya hidup yang khas. Demikian pula
dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang berbeda semakin mempermudah
mereka untuk beradaptasi dengan elemen-elemen modernitas. Gaya hidup yang
demikian biasa dicerita dengan gaya hidup kosmopolitan, yang kemudia menjadi
karakteristik masyarakat perkotaan.32
Citra kosmopolit dekat dan berasosiasi dengan kepemilikan benda-benda
simbol modernitas dan perilaku yang berorientasi kepadanya. Widya
Fitrianingsih, menyajikan permasalahan politik citra, yang menurutnya tidak
hanya bagian dari permainan kapitalis tetapi juga hegomini laki-laki. Perempuan
dalam iklan media cetak masa kolonial, digambarkan dalam slogan tradisional,
sebagai mahluk yang harus menerima sebagai predikat yang dikontruksikan pada
dirinya sebagai sebuah takdir, yaitu peran tradisional perempuan sebagai istri, ibu,
dan ibu rumah tangga saja. Kedudukan perempuan pada masa kolonial dianggap
lebih rendah dari pada kaum laki-laki. Hal ini terjadi karena tradisi, pemerintah
(hukum) dengan agama yang dipegang masyarakat pada saat itu. 33
31
Etheses.uin-malang.ac.id, BAB II Kajia Teori, Gaya Hidup, (online) dalam http://etheses.uin-
malang.ac.id/667/6/09410085%20Bab%202.pdf diakses 2 Oktober 2017 pukul 15.57. 32
Sri Margana & M. Nursam, (Ed), Kota-kota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan
Sosial, Yogyakarta, Ombak, 2010, hlm. 6-7. 33
Ibid., hlm. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Gaya hidup modern masyarakat kota tidak hanya dilihat dari orientasi
mereka terhadap benda-benda simbol modernitas tetapi juga dapat dilihat dari
munculnya lembaga-lembaga sosial yang mempersentasikan tingkat kemodernan
masyarakat dalam mengatasi permasalahan hidup mereka. Kota yogyakarta telah
menjadi kiblat dalam tata cara berpakaian menurut adat Jawa, yakni tradisi
keraton. Seiring dengan majunnya berbagai fasilitas pendukung kota seperti
industrialisasi dan komunikasi, juga trasportasi gaya hidup Barat juga mulai
berpengaruh di Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta pun mulai terbuaka bagi ide-
ide kemajuan.34
Gaya hidup sebagai gaya, tata cara, atau cara menggunakan barang, tempat,
dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu, yang sangat bergantung pada
bentuk-bentuk kebudayaan, meski bukan merupakan totalitas pengalaman sosial,
gaya hidup dilukiskan sebagai ruang, atau persisnya ruang gaya hidup, yang
bersifat plural, yang di dalamnya para anggota kelompok sosial membangun
kebiasaan sosial mereka. Dari pelbagai pemaknaan tersebut, gaya hidup dilihat
dari wujud, paling ekpresif dari bagaimana cara manusia menjalani dan memaknai
kehidupannya. Gaya hidup dipahami sebagai cara-cara terpola dalam
mengimvestasikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan sehari-hari dengan nilai
sosial atau simbolik.35
Dengan cara tersebut, gaya hidup menjadi cara untuk
mengidetifikasi diri dan sekaligus membedakan diri dengan relasi sosial lainnya.
Dari situlah dapat melihat bahwa gaya hidup bersifat kolektif dan tidak
tunggal. Gaya hidup adalah hasil kreasi dan adopsi artifisial. Karena itu, gaya
34
Ibid., hlm. 8-9. 35
Idi Subandy Ibrahim, Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam
Proses Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta, Jalasustra, 2011, hlm. 307.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
hidup merupakan masalah pilihan. Gaya hidup itu dapat dipakai dan dibuang
sesuka hati, kapanpun dan di manapun. Gaya hidup itu diciptakan, dipraktikkan,
dijiplak, dan didaur ulang dalam siklus kehidupan, terutama yang digerakkan oleh
arus komunikasi dan budaya popular.36
Gaya Indis sebagai fenomena historis timbul dan berkembang sebagai
jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial, dan seni
budaya. Pada masa awal, unsur-unsur yang menonjol adalah yang bersifat
subjektif, seperti solidaritas dan rasa kesatuan dalam satu kelompok, rasa senasip
sepenanggungan, kehendak berkerja sama, serta bermacam-macam faktor mental
lainnya. Baru kemudian gerakan itu berkembang sebagai gerakan sosial
segolongan masyaratat kolonial atau menciptakan kelas sosial tersendiri yang
didukung oleh pejabat pemerintah kolonial, khususnya oleh para priyayi baru
dengan golongan Indo-Eropa.37
Gaya hidup segolongan masyarakat pendukung
kebudayaan Indis menujukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok
sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional Jawa.
Kehidupan mewah dan boros merupakan ciri khas dari dari gaya hidup Indis,
khususnya mengacu pada kehidupan para petinggi. 38
Kehidupan masyarakat Hindia Belanda umumnya terpisah dalam kelompok-
kelompok dengan batas-batas yang diatur dengan ketat. Batas-batas tersebut,
antara lain batas warna kulit, kelas sosial, serta asal keturunan. Namun, ada
pengecualian dalam lapangan ekonomi, ada kelas majikan yang berkulit putih dan
pekerja atau budak yang berkulit berwarna. Selain itu dalam lapangan kerja seks,
36
Ibid., hlm. 307. 37
Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 20. 38
Ibid., hlm. 99.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
lazim para pejabat pemerintah atau atministrator perkebunan memiliki dan
memilihara nyai atau gundik yang dapat diambil dari anak atau istri kuli pekerja
perkebunan atau dari kampung orang asli Jawa.39
G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan
1. Metode Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a.
Pemilihan topik, b. Pengumpulan sumber (heuristik), c. Kritik sumber (verifikasi)
d. Interpretasi, e. Penulisan.40
a. Pemilihan Topik
Pemilihan topik adalah langkah awal dalam setiap penulisan sejarah. Topik
yang dipilih harus memiliki nilai karena topik yang akan diteliti harus
memberikan makna dan kesan tersendiri bagi para pembaca. Syarat terpenting
dalam pemilihan topik yaitu kedekatan intelektual dan kedekatan emosional.
Kedekatan intelektual adalah penulis memiliki kemampuan yang memadai untuk
membahas topik yang akan ditulis. Sedangkan kedekatan emosional adalah
ketertarikan pada topik yang akan ditulis.41
Apabila memiliki kompetensi yang
memadai dan tertarik pada topik yang ditulis sangat tinggi, maka penulisan
sejarah yang dilakukan akan terasa menyenangkan.
Penulis memiliki ketertarikan pada kajian budaya Indis. Penulis memilih
topik tersebut karena penulis merasa tertarik terhadap kebudayaan campuran
(Belanda-Jawa) yang disebut kebudayaan Indis. Munculnya golongan sosial baru
39
Ibid., hlm. 104. 40
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Se jarah, Yogyakarta, Benteng Pustaka, 2013, hlm. 69. 41
Ibid., hlm. 70-79.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
tersebut disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda di pulau Jawa.
Budaya Belanda dan Jawa sangat jauh berbeda contohnya dari segi bahasa.
Dengan kehadiran Belanda di Jawa khusunya Yogyakarta menyebabkan
pertemuan dua kebudayaan. Dua kebudayaan tersebut semakin bercampur,
sehingga kebudayaan Jawa diperkaya dengan kebudayaan Belanda. Maka dari itu
topik tersebut menarik sehingga menimbulkan minat dan semangat penulis untuk
melakukan penelitian berdasarkan topik yang telah penulis tentukan. Selain dari
itu tempatnya terjangkau dan sumbernya telah tersedia di perustakaan-
perpustakaan, sehingga penulis tidak perlu buang waktu dan biaya untuk meneliti.
b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik atau pengumpulan sumber merupakan tahap lanjutan setelah topik
penelitian dipilih. Sumber sejarah merupakan bahan penulisan sejarah yang
mengandung bukti, baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin
dilakukan tanpa tersedianya sumber sejarah.42
Dalam hal pengumpulan sumber
ini, penulis mengumpulkan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan topik
yang penulis pilih dan bahas.
Pertama, penulis melakukan pencarian terhadap buku yang berkaitan dengan
topik yang penulis bahas, yaitu berkaitan dengan perkembangan kebudayaan Indis
khususnya di Yogyakarta abad ke-19. Pencarian tersebut penulis lakukan dengan
mencari buku di perpustakaan yang berada di kampus I Universitas Sanata
Dharma. Kedua, setelah ditemukan, hal selanjutnya adalah melihat daftar pustaka
dari buku yang telah penulis temukan. Dari daftar pustaka itulah penulis dapat
42
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hlm. 30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
menemukan sumber-sumber lain. Ketiga, penulis melakukan pencarian terhadap
sumber-sumber antara lain di perpustakaan Sanata Dharma, perpustakaan Kota,
dan perpustakaan UGM.
c. Kritik Sumber (Verifikasi)
Verifikasi adalah penelitian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi
atau kritik sumber dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran
laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Yang dimaksud dengan kritik sumber
adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk
mendapatkan objektivitas suatu kejadian.43
Langkah ini merupakan langkah
lanjutan dari pengumpulan sumber (heuristik), ketika semua sumber yang telah
dikumpulkan telah ditemukan, barulah penulis melakukan keritik sumber.
Sumber sejarah haruslah dapat dipercaya (credible), penguatan saksi mata
(eyewitness), benar (truth), tidak dipalsukan (unfabricated), dan handal
(reliable).44
Maka, untuk memenuhi syarat tersebut diperlukan kritik sumber yang
sangat objektif, untuk itulah penulis harus skeptis (meragukan) terhadap segala
sumber yang penulis dapatkan. Semua sumber yang penulis dapat, tidak langsung
penulis percayai, terlebih topik yang penulis bahas sangat rawan untuk
mendapatkan sumber-sumber yang isinya bisa jadi penyelewengan terhadap fakta
sejarah yang ada.
Data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus
dikritik (verifikasi) atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta seobjektif
mungkin. Kritik akan memudahkan penulisan karya ilmiah yang benar-benar
43
Ibid., hlm. 24. 44
Ibid., hlm. 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
objektif tanpa rekayasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber pustaka, maka penulis
melakukan kritik eksternal (luar) dan internal (dalam). Kritik eksternal dan
internal tersebut dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung.
Sumber sejarah yang telah dikritik menjadi data sejarah.
1. Kritik Eksternal
Penulis melakukan kritik eksternal terlebih dahulu untuk menguji sumber-
sumber yang penulis ambil dengan cara melihat jenis-jenis fisik dari materi
sumber, cetakan dokumen atau arsip adalah kertas dengan jenis, ukuran, bahan,
kualitas, dan lain sebagainya. Penulis mulai melakukan pemilihan buku-buku
yang dianggap relevan dengan masalah yang dikaji yaitu dengan cara melakukan
uji kelayakan dengan cara verifikasi dan pengklasifikasian buku. Salah satunya
penulis lakukan dengan cara melihat tahun terbit buku tersebut, karena makin
diperbaharui makin bagus kualitas yang didapat dalam buku tersebut. Untuk data-
data yang diperoleh dari internet penulis juga melakukan kritik eksternal dengan
menganalis keabsahan datanya, kejelasan pengarang tahun penulisan, daftar
pustaka, dan juga situs pengunggah data tersebut.
2. Kritik Internal
Penulis mulai melakukan kritik terhadap sumber yang penulis ambil dengan
membaca dan memahami isi teks. Pemahaman isi teks diperlukan penulis untuk
melihat latar belakang pemikiran dan budaya penulisnya, sehingga isi dari
sumber-sumber yang diperoleh layak untuk dijadikan sebagai bahan dalam
penulisan skripsi. Dalam kritik internal ini, seluruh sumber sejarah yang dipakai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
menjadi sumber tulisan yang memberikan informasi berupa data yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Informasi yang penulis dapatkan dari buku yang satu
dibandingkan dengan buku yang lain sehingga diperoleh fakta yang dapat
digunakan untuk mengkaji pokok permasalahan penelitian.
d. Interpretasi
Interpretasi merupakan penafsiran penulis terhadap fakta-fakta yang sudah
dikumpulkan. Sifatnya sangat subjektif, namun subjektivitas penulis tetap
mengikuti metodologi sejarah, yaitu melakukan pencantuman sumber, sehingga
pembaca dapat mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya,
serta subjektivitas penulis dapat sedikit dieliminasi.45
Interpretasi bermanfaat
sebagai penafsiran data dalam penulisan. Dalam penelitian ini data yang telah
dikumpulkan dari berbagai sumber kemudian ditafsirkan atau diinterpretasikan
dengan mengunakan teori.
Terdapat dua macam interpretasi yakni analisis dan sintesis. Analisis
(menguraikan) adalah salah satu model membuat interpretasi. Dari data yang
bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik induktif sehingga dapat disimpulkan.
Sintesis (menyatukan) berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh analisis.
Sintesis melakukan penyatuan. Data-data yang dikelompokan manjadi satu
kemudian disimpulkan.46
Dengan demikian tujuan interpretasi data yakni
memperkuat data berdasarkan data yang relevan.
45
Ibid., hlm. 55. 46
Ibid., hlm. 56.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
e. Penulisan Sejarah (Historiografi)
Dalam penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting. Kronologi yaitu
gambaran tentang peristiwa sejarah yang terjadi pada waktu yang lalu. Peristiwa
sejarah tersebut diurutkan sesuai dengan waktu kejadian. Dalam penulisan
sosiologi, angka tahun tidak penting karena ilmu sosial biasanya berbicara
kontemporer. Dalam ilmu sosial, orang berpikir tentang sistematika, dan tidak
tentang krnologi. Misalnya, membagi bab dari besar ke yang kecil, atau dari yang
luas ke yang sempit, atau dari yang konkret ke yang abstrak, atau sebaliknya.47
Langkah yang dilakukan penulis dalam hal ini yaitu berusaha menyusun
skripsi secara utuh dari pengantar samapai kesimpulan. Pengantar penulis mulai
menyusun latar belakang tentang topik yang penulis bahas. Penulisan skripsi ini
terdiri dari bab yang berbeda dan saling berkaitan antara satu bab dengan bab
yang lain. Bab pertama pendahuluan, bab kedua samapai bab ke empat adalah isi
dan bab lima adalah kesimpulan. Dalam kesimpulan penulis mengunakan
generalization dari yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
Dalam melakukan historiografi (penulisan sejarah), penulis selalu
mencantumkan sumber yang penulis gunakan, kemudian diberi catatan kaki
(footnote) untuk memperjelas sumber yang penulis ambil. Penulis juga berusaha
menemukan sebanyak mungkin sebab-akibat, sehingga setiap fakta memperoleh
penjelasan yang dapat memudahkan pembaca untuk mengikuti alur cerita. Karya
ilmiah berfokus pada permasalahan, dan permasalahan harus diberi solusi secara
47
Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 81.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
analitis. Hal tersebut yang penulis lakukan dalam langkah historiografi (penulisan
sejarah).
2. Pendekatan
Pendekatan adalah cara menjelaskan suatu penelitian dengan memanfaatkan
salah satu aspek ilmu sosial. Penelitian yang diakronis mau tidak mau
menggunakan pendekatan ilmu sosial jika ingin tulisannya jelas dan bersasaran
sehingga kelihatan tekanannya.48
Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan dari sosial
lainnya. Dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial yang lain maka penelitian
sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari
pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian
tertentu.49
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan sosial
dan pendekatan budaya.
a. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial yaitu pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan
sebagai lingkungan tinggal individu dalam perkembangannya. Titik pangkal dari
Approach Sosial ialah mayarakat dengan berbagi lembaganya, kelompok-
kelompok dengan berbagai aktivitas. Secara konkrit Approach Sosial ini
membahas aspek-aspek atau komponen dari pada kebudayaan manusia, misalnya
keluarga, tradisi, adat istiadat, moralitas, norma-norma sosialnya dan
sebagaimana. jadi segala sesuatu yang dianggap produk bersama, milik bersama
adalah masyarakat. Tingkah laku individu dapat dipahami dengan memahami
48
Suhartono W. Pranoto, op.cit., hlm. 136. 49
Ibid., hlm. 37.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
tingkah laku masyarakatnya. Misalnya, pada waktu lahir dengan pertolongan
bidan, atau dukun bayi, upacara-upacara yang dia lakukan untuk si bayi, apabila
anak sudah mulai bicara diajar tatakrama keluarga dan masyarakat. Misalnya
bagimana cara makan dan minum, bagaiman cara berpakain dan sebagainya.50
Secara pribadi, manusia merupakan makhluk individual. Manusia tidak bisa
hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, manusia butuh berinteraksi satu sama
lainnya. Secara ekstrim manusia tidak bisa dipisahkan dari keluarganya,
masyarakatnya, dan kelompoknya. Sejak awal manusia dalam perkembangannya
sudah mempunyai lingkungan tersendiri, sesuai dengan prinsip pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Penulis mengunakan pendekatan sosial. Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa sosial dengan
segala implikasinya. Pendekatan Sosial ini juga digunakan untuk melihat masalah-
masalah sosial khususnya pada masyarakat tradisional Yogyakarta yang
dipengaruhi oleh kebudayaan indis pada abad ke-19.
b. Pendekatan Kebudayaan
Pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara
melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan
menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau
kacamata dalam melihat, memperlakukan, dan menelitinya. Permasalahannya
kemudian adalah pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang
atau kacamata dalam melihat gejala yang dikaji.51
50
M. Widda Djuhan, Sosiologi Pendidikan, Ponorogo, STAIN, 2013, hlm. 52. 51
Parsudi Suparlan, Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi, Tradisi Baru Penelitian Agama
Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung, Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I,
1998, hlm. 110.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Pendekatan kubudayaan ini berorientasi pada karakter budaya Jawa.
Masyarakat Jawa itu sendiri sangat menjunjung tinggi kebudayaan maka tidak
heran jika warisan para leluhur masih ada sampai sekarang. Kedatanagan Belanda
ke Yogyakarta pada awalnya mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang
dagangan yang berupa rempah-rempah, gudang-gudang tersebut kemudian
diperkuat sebagai benteng pertahanan sekaligus tempat tinggal. Dengan
kehadirannya tentu saja membawa perubahan terhadap kebudayan setempat.
Kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta yang tradisional dipertemukan dengan
kebudayaan Belanda yang diangap sebagai kebudayaan baru. Kebudayaan baru
tersebut bercampur dengan kebudayaan tradisional Yogyakarta lambat laun
terbentuklah kebudayaan baru yang dinamakan dengan kebudayan Indis.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul “Perkembangan Kebudayaan Indis dan
Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta
Abad ke-19”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan.
Bab II menyajikan narasi mengenai latar belakang munculnya kebudayaan
Indis di Yogyakarta. Bab ini terbagi menjadi tiga sub judul yaitu menjelaskan
sejarah kota Yogyakarta, menjelasan kedatangan Belanda ke Yogyakarta dan
menjelaskan munculnya kebudayaan Indis ke Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Bab III menyajikan narasi mengenai perkembangan kebudayaan Indis di
Yogyakarta. Bab ini terbagi tiga sub judul yaitu menjelaskan kehidupan sosial
budaya masyarakat Belanda di Yogyakarta, menjelaskan peran keraton terhadap
perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta, dan menjelaskan bentuk-bentuk
kebudayaan Indis di Yogyakarta.
Bab IV menyajikan mengenai pengaruh kebudayaan Indis terhadap
masyarakat tradisional di Yogyakarta. Bab ini terbagi dalam tujuh sub judul yang
menjelaskan tujuh unsur universal kebudayaan suku Jawa yang terpengaruh oleh
kebudayaan Indis. Unsur kebudayaan tersebut (bahasa, peralatan dan
perlengkapan hidup manusia, mata pencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem
kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan religi).
Bab V menyajikan kesimpulan yang berisi tentang jawaban-jawaban
permasalahan yang ada dalam bab II, III, dan I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBUDAYAAN INDIS
DI YOGYAKARTA
A. Sejarah Kota Yogyakarta
Yogyakarta mulanya adalah termasuk dalam Kerajaan Mataram Islam pusat
pemerintahannya berada di Surakarta. Di kala istana Kartasura menjadi pusat
pemerintahan Mataram bertahta raja Sri Susuhunan Paku Buwana II yang
merupakan kekanda Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi inilah yang
kemudian mendesak perjanjian Gianti 1755 menjadi sultan di Yogyakarta dengan
gelar Hamengku Buwono I. dengan ini maka secara de Jure berakhirlah Kerajaan
Mataram Islam.52
Masa akhir Kerajaan Mataram telah ditandai dengan serangkaian perang
saudara memperebutkan tahta kerajaan. Situasi seperti ini tidak dapat dilepaskan
dari campur tangan pihak Kompeni Belanda. Pada 13 Februari 1755 puncak
perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan
52
Soempono Djojowadono H. dkk, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 1992, hlm. 55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.53
Gelar tersebut menunjukkan bahwa Raja
Kesultanan Yogyakarta secara simbolis dan filosifi mencerminkan kerangka
konseptual tentang Raja, kerajaan, sifat keilahian dalam pandangan Islam.
Gambar I. Perjanjian Giyanti
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti)
Perjanjian Giyanti tersebut disepakati oleh pihak Kompeni Belanda,
Mangkubumi, dan susuhunan. Adapun bunyi-bunyi pasal dalam perjanjian Gianti
antara lain tercantum dalam pasal-pasal sebagai berikut :54
1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwana
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah
diatas separoh dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau,
dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati
Anom Bendoro Raden Mas Soendoro.
53
Wikipedia, Kesultanan Mataram, (online) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_
Mataram, diakses 26 Januari 2018 jam 1.33. 54
Soempono Djojowadono H. dkk, op.cit. hlm. 60-61.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antar rakyat yang berbeda
di bawah kekuasaan Kompeni Belanda dengan rakyat Kesultanan.
3. Sebelum Pepatih Dalem (Riijksbestuurder) dan para bupati mulai
melakukan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah
setia pada Kompeni Belanda di tangan Gubenur.
4. Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhenti Pepatih Dalem dan Bupati,
sebelum mendapatkan persetujuan dari Kompeni.
5. Sri Sultan akan mengampuni para bupati yang selama dalam peperangan
memihak kepada Kompeni.
6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-
daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sultan Paku Buwana II
kepada Kompeni dalam kontraknya pada tanggal 18 Mei 1746.
Sebaliknya, Kompeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000
real tiap tahunya.
7. Sri Sultan berjanji akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Paku Buwana
III sewaktu-waktu diperlukan.
8. Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kompeni bahan-bahan makanan
yang akan diperlukan dengan harga tertentu.
9. Sri Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah
diadakan antara raja-raja Mataram yang terdahulu dengan Kompeni,
peristiwa perjanjian-perjanjian dalam tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan
1749’.
Berdasarkan isi perjanjian Gianti tahun 1755 tersebut, yang membagi
Kerajaan Mataram menjadi dua itu, maka dapat dikatakan bahwa secara resmi
berdirilah Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan
yang bergelar Hamengku Buwana I. Selanjutnya pada tanggal 13 Pebruari 1755
itu pula, Sultan Hamengku Buwana melantik bupati Banyumas, Temanggung
Yudanegara I menjadi Patih Ngayogyakarta dengan gelar Patih Danureja.
Kemudian menyusul pengangkatan pejabat-pejabat pemerintah lainnya, antara
lain mengangkat Raden Rangga Prawirasentika menjadi Bupati Madiun,
mengangkat Bupati Mancanegara dengan gelar Raden Rangga Prawirodirjo.55
Setelah menobatkan menjadi Sultan, 13 Maret 1755 kemudian mengangkat
dan melantik pejabat pemerintah, Pangeran Mangkubumi mulai mengupayakan
55
Ibid., hlm. 61.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
pusat kerajaan sebagai tempat mengatur kekuasaannya. Pertama kali Sultan
Hamengku Buwana I membangun pusat pemerintahan atau semacam
pesanggrahan di Ambar Ketawang Gamping. Tetapi pusat pemerintahan Ambar
Ketawang ini masih bersifat sementara.
Untuk memilih lokasi yang tepat, Pangeran Mangkubumi mengutus
seseorang punggawannya untuk meneliti daerah yang masih berupa hutan
beringan yang letaknya ada di sebelah timur Ambarketawang. Pada tanggal 9
Oktober 1755 dibangunlah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di desa
Pacathokan dikawasan hutan beringan. Tepatnya terletak di Sungai Code dan
Sungai Wianga. Sementara itu Sultan dan para kerabatnya tinggal di
Pesanggrahan Ambarketawang (Gamping) tempat ini diperkirakan sudah ada
sejak zaman Mataram Islam.56
Pangeran Mangkubumi sejak saat itu mulai membangun keraton sebagai
ibukota kerajaan. Dalam proses pembangunan Keraton tidak begitu saja dibuat,
pembagunannya masih banyak pertimbangan, karena menyangkut aspek strategis,
keamanan, dan sosial budaya. Hal tersebut untuk melihat kenyataan bahwa
Keraton Surakarta yang dapat dengan mudah jatuh ketangan musuh yang
disebabkan tidak memiliki benteng pertahanan fisik yang kuat. Maka Keraton
Yogyakarta memiliki cepuri kedhaton yang merupakan ring pertahanan utama.
Benteng dan parit yang mengelilingi benteng merupakan ring pertahanan utama.
Adapun letak Keraton yang diapit dua sungai mempunyai dua aspek teknis bagi
perkembangan pertanian, juga mempercepat peresapan air hujan dan
56
Dewi Ratna Nurhajarini, dkk, Yogyakarta dari Hutan Beringan ke Ibukota Daerah Istimewa,
Yogyakarta, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2012., hlm. 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
menguntungkan bagi pembuatan drainase, sehingga bahaya banjir tidak akan
terjadi.57
Yogyakarta sebagai kota kerajaan di pedalaman yang diawasi pemerintah
kolonial. Sehingga ada dua kekuatan yaitu tradisional dan kolonial yang bertemu
di dalamnya. Keraton Yogyakarta sebagai awal kota, wilayah yang kemudian
menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Hamengku
Buwono I memilih tempat itu sebagai pusat pemerintahanya.58
Kedekatan
masyarakat tradisional Yogyakarta dengan bangsa kolonial Belanda, membuka
pintu masuk tumbuhnya kebudayaan baru di dalam masyarakat. Hadirnya bangsa
kolonial, Yogyakarta mengalami perkembangan. Kota ini menjadi tempat
berbagai golongan masyarakat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendirian kota keraton bertalian dengan kedudukan raja dan para
keturunanya, terdapat stratifikasi sosial yang mempunyai peranan penting dalam
dinamika masyarakat kota. Kota tradisional, meskipun masih merupakan tempat
ziarah yang ditandai dengan adanya upacara-upacara tahunan umum maupun
khusus bagi golongan tertentu. Golongan imigran baru mulai berdatangan menjadi
penduduk kota, yang kemudian mendorong kegiatan perdagangan di dalam
maupun di antar-Kota.59
Dari tahun ke tahun kota Yogyakarta mengalami perkembangan yang sangat
pesat, seperti kita lihat sekarang ini. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota
pelajar. Banyak para pelajar dari luar Jawa yang datang ke Yogyakarta untuk
57
Ibid., hlm. 11. 58
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe :Sejarah Sosial 1880-1930,
Depok, Komunitas Bambu,2008, hlm. 19. 59
Abduracman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial,
Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hlm. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
menuntut ilmu, bahkan para pelajar asing, dari luar Negara Indonesia.
Perkembangan kota Yogyakarta sejak didirikan pada tahun 1756 memang telah
memberikan lingkungan tempat berbagai golongan masyarakat untuk berinteraksi
dalam kehidupan sehari-hari.
Berkembangnya sebuah kota yang dipengaruhi situasi kolonial,
perkembangannya bermula dari sebuah jalan raya, maka berdirilah kantor-kantor
pemerintah asing dan benteng. Kemudian muncul pemukiman Eropa dan lapangan
pacuan kuda. Daerah sekitar kota menjadi usaha orang-orang Eropa dalam
perkebunan dan pertanian, terutama industri tebu. Jalan kereta api dan jembatan
penghubungnya banyak didirikan. Para pengerajin bumiputera mendapat tempat
di lingkungan yang miskin, sejalan dengan perkembangan industri. Kota
kemudian menjadi pusat pemerintahan asing yang merupakan bagian yang lebih
luas dalam kompleks politik kolonial.60
Sejak Senopati membangun keratonnya, di Kotagede hingga Pangeran
Mangkubumi membuka hutan Beringan, benang merah sebuah pusat
pemerintahan yang melahirkan peradaban yang tinggi tumbuh di wilayah yang
sekarang bernama Yogyakarta
B. Kedatangan Belanda ke Yogyakarta
Setelah kota Yogyakarta berdiri, rupanya VOC berusaha menyisipkan
pengaruhnya di sini. Hal ini tampak dari usaha mereka untuk membangun sebuah
banteng yang dikenal sebagai banteng Vredeburg. Banteng tersebut awalnya
60
Abduracman Surjomiharjo, op.cit., hlm. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
untuk penyimpanan barang dagangan dan kantor-kantor dagang yeng kemudian
sebagai tempat tinggal orang-orang Belanda. Banteng ini selain dari tempat
pengawasan, juga menjadi pos terdepan VOC di wilayah pedalaman Jawa.61
Untuk memantapkan kekuasaan mereka maka pada tahun 1755-1761, VOC
mengangkat C.Donkel sebagai residen. Kedudukan residen setara dengan Sultan
dan bertanggujawab atas kehidupan masyarakat Barat. Pada waktu kehadiran
masyarakat Barat di Yogyakarta, kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-
sehari berpusat di dalam banteng.62
Hingga tahun 1870, wilayah Yogyakarta yang
ditetapkan pemerintah kolonial sebagai wilayah Vorstenlanden. Di Vorstenlanden,
para investor barat dapat menyewa tanah para bangsawan dan mendirikan
perusahaan swasta berbasis ekspor, sehingga selain terdiri dari tantara dan
pegawai pemerintah kolonial, kelompok masyarakat Barat juga terdiri atas
pengusaha-pengusaha perkebunan. Salah satu pengusaha perkebunan di
Yogyakarta yang cukup terkenal di masanya adalah Wijnschenk63
Sultan Hanmengku Buwana I sangat tidak senang dengan hadirnya Belanda
di Yogyakarta karena Belanda selalu ikut campur terhadap kerajaan dan membuat
kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan dengan kebijakan
pemerintah. Setelah Sultan Hamengku Buwana I wafat pada tahun 1792,
kemudian digantikan puteranya, yakni Pangeran Adipati Anom atau raden Mas
Sundera. Raden Mas Sundera dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana
II pada tanggal 2 April 1792. Kira-kira 7 sampai 8 tahun tampil di atas singgasana
61
Djoko Soekiman, op.cit, hlm. 1. 62
Ibid., hlm. 2. 63
Lengkong Sanggar, Jejak Kolonial, Kepingan Peninggalan Kolonial di Kota Yogyakarta,
(online) dalam http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2017/02/Kepingan-peninggalan-kolonial-di-
kota.html, diakses 28 Januari 2018 pukul 23.34.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II ini
terjadilah perubahan bentuk penjajahan, yaitu Indonesia tidak lagi dikuasai oleh
kongsi dagang (VOC) tetapi berada langsung di bawah kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda (keadaan ini juga berpengaruh terhadap Kesultanan
Yogyakarta).64
Mengikuti ayahnnya, Sultan Hamengku Buwono II juga sangat anti dengan
penjajah. Tiga setengah tahun setelah naik tahta sebagai Sultan atau tepatnya sejak
24 Desember 1795, keberadaan VOC di Nusantara berakhir. Tetapi tidak berarti
berakhirnya penjajahan. Sebab, pemerintahan kerajaan Belanda mengambil alih
operasional VOC dan meningkatkan statusnya menjadi imperialis sekaligus
sebagai kolonialis. Belanda menjadikan seluruh wilayah Hindia Belanda sebagai
daerah jajahannya, kecuali terhadap Kesultanan Yogyakarta.65
Hubungan antara kedua negara yang sama-sama membentuk kerajaan diikat
dengan satu Politiek contract yang bersifat jangka Panjang. Dengan tetap
berlakunya Politiek contract ini, bearti kerajaan Belanda tetap harus membayar
pajak (uang pantai) kepada kesultanan. Gubenur Jenderal Belanda Marsekal
Herman Willem Daendels merasa keberatan dan karenanya berusaha keras untuk
mengurangi luasnya wilayah kekuasaan kesultanan dan sekaligus menghapus
kewajiban Belanda membayar pajak. Tetapi Daendels berkesimpulan jika Sultan
Hamengku Buwana II masih berkuasa, maka upaya akan sulit direalisasikan.
Karena itu Daendels berupaya menyingkirkan Sultan Hamengku Buwano.66
64
Soempono Djojowadono H. dkk, op.cit. hlm. 63. 65
Bambang Yudoyono, Jogja Memang Istimewa, Yogyakarta, Jogja Bangkit Publisher (Anggota
IKAPI), 2017, hlm. 168. 66
Ibid., hlm. 168.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Sikapnya yang anti penjajah dan juga karena situasi dan kondisi internal
keraton, menyebabkan pemerintahan Sultan Hamengku Buwano II terbagi dalam
sampai tiga masa. Yaitu masa pemerintahan pertama 1792-1810, masa
pemerintahan kedua 1811-1812, dan masa pemerintahan ketiga 1826-1828. Masa
pemerintahan kedua dan ketiga sebutannya adalah Sultan Sepuh.67
Masa pemerintahan pertama (1792-1810) : (a) Sultan Hamengku Buwano II
menentang keras kebijakan Gubenur Jenderal Belanda Marskal Herman Willem
Deendels di Batavia yang mengeluarkan aturan bahwa raja-raja harus bersikap
patuh terhadap minister (istilah ini untuk residen ciptaan Daendels). Sultan
menolak mentah-mentah peraturan Gubenur Jenderal Dendels itu karena dianggap
merendahkan derajatnya. (b) Disamping itu Sultan Hamengku Buwana II juga
merestui pemberontakan bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap
Belanda. Raden Ronggo menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus
kerusuhan di Ngebel dan Sekedok. Kerusuhan itu terjadi berkaitan dengan
pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh Gubenur Jenderal
Herman Willem Daendels. Dalam pemberontakan tersebut Raden Ranggo
berganti nama menjadi Sunan Prabu Ing Ngalogo. Di sisi lain, Belanda
menggunakan tangan Pangeran Dipokusumo untuk menumpas pemberontakan
dan menewaskan Raden Ranggo.68
Masa pemerintahan Gubenur Jenderal Dendels di Indonesia telah
berlangsung secara keras. Kekejaman demi kekejaman dan tiandakan tanpa kenal
prikemanusiaan telah didemontrasikan di hadapan rakyat. Kerja rodi setiap kali
67
Ibid., hlm. 168. 68
Ibid., hlm. 169.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
harus dikerjakan rakyat sehingga banyak yang mati kelaparan. Akibat kekejaman
Daendels telah menimbulkan protes diberbagai kalangan, bahkan sampai ke
Eropa. Kemdian Daendels dipanggil pulang dan digantikan oleh Janssens.69
Masa pemerintahan kedua (1811-1812) : Pada waktu Janssens diangkat
sebagai Gubenur Jenderal mengantikan Daendels pengaruh Inggris di Indonesia
telah begitu kuat. Inggris yang memiliki angkatan laut yang lebih kuat. Inggris
berusaha mengeser kedudukan Belanda. Pada tanggal 4 Agustus 1811 pemerintah
Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Pemerintah Inggris
menempatkan Tomas Stamford Bingley Rafles sebagai Letnan Gubenur Jenderal.
Hal ini dimanfaatkan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk kembali menjadi
raja yang kemudian disebut dengan Sultan Sapuh dan mengembalikan Sultan
Hamengku Buwono III pada kedudukan sebagai putra mahkota. Sikap sultan
Sapuh terhadap Inggris sama kerasnya dengan sikapnya ketika menghadapi
Belanda. Pertumpahan darah nyaris terjadi antara utusan Rafles dengan kerabat
keraton. 70
Rafles meneruskan ketentuan dan kebijakan yang pernah ditetapkan oleh
Daendels. Ia juga berambisi keras untuk memprkuat posisi kekuasaan bangsa
Eropa di kerajaan-kerajaan jawa seperti di Yogyakarta dan Surakarta. Hamengku
Buwono II dan Sunan Paku Buwono IV di Surakarta bersepakat akan melawan
Inggris. Namun, rencana tersebut diketahui oleh pihak Inggris. Akibatnya, pada
tanggal 15 Juni 1812 tentara kerajaan Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan
terjadilah perang besar. Sultan Sepuh ditangkap oleh tentara Inggris dan
69
Soempono Djojowadono H. dkk, op.cit. hlm. 65. 70
Bambang Yudoyono, op.cit, hlm. 170.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
disingkirkan ke pulau Penang. Pangeran Adipati Anom (Kanjeng Raja) ditetapkan
sebagai pengganti sultan Sepuh, tetapi wilayah kekuasaan kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dikurangi sebagian yaitu lahan seluas 4.000 cacah.71
Kemudian wilayah tersebut diberikan kepada pangeran Notokusumo yang
merupakan kakak Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II) dan diangkat menjadi
Pangeran Amardiko. Sejak semula pangeran Natokusumo berpihak kepada
Belanda dan kemudian berpihak kepada Inggris. Di atas lahan 4.000 cacah di
sebagian wilayah keraton Yogyakarta yang diberikan kepada Notokusumo itu
dengan bantuan Inggris dibangun keraton Paku Alam yang berkedudukan sebagai
kadipaten. 72
Sekalipun Sultan Hamengku Buwono III sudah dinobatkan pada tanggal 28
Juni 1812, namun secara resmi politik kontraknya baru ditandatangani pada
tanggal 1 Agustus 1812. Politik kontrak atau perjanjian tanggal 1 Agustus 1812
antara Rafles dan Sultan Hamengku Buwono III itu antara lain berisi :
Pertama, putera mahkota menjadi Sultan dengan gelar Hamengku Buwono
III dan pangeran Notokusumo diberi gelar Paku Alam. Kedua, Sultan Hamengku
Buwono di buang ke Pinang Bersama-sama dengan anaknya yang bernama
Pangeran Mangkudiningrat. Ketiga, semua harta benda yang dikumpulkan selama
Hamenku Buwono II bertahta, jatuh ketangan orang-orang Inggris. Sementara itu
perjanjian secara resmi antara Gubenur Jenderal Inggris dan Pangeran
Natokusumo sebagai Paku Alam I ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1813.73
71
Ibid., hlm. 170. 72
Ibid., hlm. 170-171. 73
Soempono Djojowadono H. dkk, op.cit. hlm. 68.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Masa pemerintahan ketiga (1826-1828) : pada tanggal 18 Agustus 1826
Sultan Hamengku Buwono II kembali bertahta sebagai raja Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat untuk yang ketiga kalinya. Pada masa itu sebenarnya
yang bertahta menjadi raja adalah Hamengku Buwono V yang saat dinobatkan
pada tanggal 19 Desember 1823 baru berusia 3 tahun. Belanda yang tidak
menganggap kehadirannya Sultan Hamengku Buwono V karena usianya yang
masih muda (balita). Pada tahu 1826 Belanda memulangkan Sultan Sepuh
(Hamengku Buwono II) yang dibuang ke pulau Pinang oleh Inggris dan kembali
mengangkatnya sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini untuk
menarik simpati rakyat karena terjadinya perang besar yang Pangeran Diponegoro
terhadap Belanda.74
C. Munculnya Kebudayaan Indis di Yogyakarta
Masa awal dari kehidupan sosial kultural masyarakat kolonial bercorak
“Indisch”, satu gaya hidup yang bersifat campuran. Gaya hidup Indisch ini
berceritakan rumah dan halaman besar, dengan para pembantu rumah tangga
dalam jumlah besar. Kadang-kadang rumah besar itu berpusat pada seorang nyai.
Sejak tahun 1870, jumlah wanita Belanda makin banyak, maka makin sering
pulalah terjadi perkawinan antara pria pribumi dengan wanita Belanda sehingga
orientasi gaya hidup “Indisch” berubah menjadi gaya hidup yang berorientasi ke
Tanah Air di Eropa.75
Dari hal inilah muncul golongan sosial yang baru.
74
Bambang Yudoyono, op.cit, hlm. 171. 75
Abduracman Surjomiharjo, op.cit. hlm. 41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Golongan sosial baru tersebut sebagai pendukung kuat kebudayaan
campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda. Hal itu disebabkan
oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda di pulau Jawa. Tentang hal ini,
Burger menyebutkan ada lima golongan masyarakat baru di atas desa, yaitu :76
(a) golongan pamong praja bangsa Belanda, (b) golongan pegawai
Indonesia baru, (c) golongan pengusaha partikelir Eropa, (d) golongan
akademisi Indonesia (sarjana hukum, insinyur, dokter, guru, ahli pertanian,
dan ilmu-ilmu lainnya), dan (e) golongan menegah Indonesia, yaitu para
pengusaha Indonesia yang mempunyai usaha dibidang perniagaan dan
kerajinan. Golongan yang terakhir tersebut merupakan golongan orang kaya
baru, tapi justru kurang dianggap oleh kempat golongan di atasnya para
bangsawan Jawa justru memperlakukan golongan kelima sebagai wong
cilik.
Dari kelima golongan di atas kecuali wong cilik, merupakan pendukung
kuat kebudayan Indis, dalam pembangunan rumah bergaya Indis, golongan
pengusahalah yang berperan cukup besar mempengaruhi perubahan budaya.
Perubahan itu sebagian besar terjadi di Laweyan (Surakarta) dan Kotagede
(Yogyakarta). Selain wong cilik, para pedagang dan pengusaha keturunan
Tionghoa dan Arab banyak juga yang membagun rumah bergaya Indis.77
Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang
muncul dan tumbuh dari beberapa golongan lapisan masyarakat di Hindia
Belanda. Pemerintah kolonial yang memberikan prioritas pada politik dan
kepentingan modal, baik secara sadar maupun tidak, beranggapan bahwa gaya
hidup dan cara berpikir gaya Indis merupakan suatu hal yang tepat. Anggapan
76
Djoko Soekiman, op.cit, hlm. 16-17. 77
Ibid., hlm.18-19.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Cultural Universal
1. Bahasa
2. Peralatan/perlen
gkapan hidup
3. Mata pencarian
hidup dan
ekonomi
4. Sistem
kemasyarakatan
5. Kesenian
6. Ilmu
pengetahuan
7. Religi.
tersebut menjadikan pemerintah kolonial lebih memperhatikan kesejahteraan
rakyat jajahan dengan politik Etisnya.78
Gaya Indis sebagai salah satu hasil perkembangan budaya campuran
Belanda dan Jawa, menunjukkan adanya suatu proses akulturasi. Proses akulturasi
kebudayaan Belanda di Indonesia khususnya Jawa, dapat digambarkan dalam
gambar berikut ini :79
Gambar II. Bagan Proses Akulturasi Kebudayaan Belanda di Indonesia
(Sumber: Djoko Soekiman. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi. 2014, hlm. 30)
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok
manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu
kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
78
Ibid., hlm. 19. 79
Ibid., hlm. 30.
Masyarakat,
budaya Indonesia
Proses akulturasi
Local genius
Cendekia
wan,
rohaniaw
an,
arsitek,
seniman,
guru, dsb.
Penguasa kolonial,
pedagang, serdadu,
candekiawan
Belanda
Pengalaman
mahasiswa Indonesia
di Belanda
Lingkungan
alam Indonesia
Kebudayaan
Indis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
kelompok itu sendiri.80
Dalam peroses akulturasi dua kebudayaan tesebut, peran
penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa
Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai
apararat penguasa jajahan atau kolonial. Hasil perpaduan bahwa ciri-ciri Barat
(Eropa) tampak lebih menonjol dan dominan.81
Keadaan alam tropis Indonesia
juga menentukan terujudnya hasil karya budaya. Hal ini tampak dari bentuk
arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup, dan sebagainya.
Pada abad ke-19 keberadaan orang Belanda di Yogyakarta semakin
bertambah. Dengan hadirnya Belanda di Yogyakarta membawa pengaruh terhadap
gaya hidup, bentuk bangunan, rumah tradisional, serta pungsi ruangannya.
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan
pertemuan dua kebudayaan, yaitu kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan
Barat (Belanda) dan kebudayan Timur (Jawa), masing-masing didukung oleh etnis
berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula kemudian semakin
bercampur. Akibat percampuran kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa,
diperkaya dengan kebudayan Barat. Hal tersebut memunculkan kebudayaan baru
yang dinamakan dengan kebudayaan Indis.
Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat penghuni
kepulauan di Indonesia, khususnya keluarga keturunan Eropa (Belanda) dan Jawa.
Semula tujuan mereka untuk berdagang. Namun, demi mengamankan sektor
ekonomi dan perdagangannya, tujuan mereka berubah menjadi penguasa yang
80
Wikipedia, Akulturasi, (online) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi, diakses 29
Januari 2018 jam 17.51. 81
Djoko Soekiman, op.cit, hlm. 28.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
berdaulat. Mula-mula mereka berkuasa di daerah pesisir Utara Jawa hingga
akhirnya meluas ke seluruh Pulau Jawa dan Nusantara.
Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup
membujang para pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa istri dan
mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal tersebut mendorong
lelaki Belanda menikahi penduduk setempat, karena itu, terjadilah percampuran
darah yang melahirkan anak-anak campuran, serta menumbuhkan budaya dan
gaya hidup Belanda-Jawa, atau gaya Indis. Pada tahun 1870, Terusan Suez
dibuka. Terusan tersebut memperpendek jarak antara negeri Belanda dan
Indonesia sehingga kehadiran perempuan dari negeri Belanda banyak ke
Indonesia. Kehadiran perempuan Eropa ke Indonesia pun memperluas campuran
budaya.82
82
Ibid., hlm. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
BAB III
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDIS
DI YOGYAKARTA
A. Kehidupan Sosial Budaya Mayarakat Belanda di Yogyakarta
Awal dari kehidupan sosial masyarakat kolonial yaitu bercorak Indis yang
bersifat campuran Belanda dan Jawa. Karena banyaknya pendukung kebudayaan
tersebut kemudian berubah menjadi gaya hidup yang berorientasi ke Tanah Air di
Eropa. Dari hal tersebut masyarakat Indonesia mulai mengalami peralihan.
Peralihan tersebut berubah dari tradisional menuju bentuk modern. Tampak
adanya perubahan-perubahan sosial, yaitu lenyapnya institusi sosial tradisional
dantimbulnya istitusi sosial baru. Perubahan-perubahan sosial itu terjadi karena
timbulnya kondisi-kondisi sosial baru, baik yang berasal dari dalam maupun yang
berasal dari luar.83
Perubahan sosial yang diutamakan di sini terutama yang berasal dari luar
yang pada pokoknya ada dua hal : Pertama, birokrasi modern pemerintah kolonial
dalam abad ke-19 yang makin meluas. Kedua, timbulnya pengaruh-pengaruh barat
sebagai akibat logis dari kepentingan-kepentingan kolonial itu. Perubahan itu
terjadi di Jawa termasuk juga Daerah Istimewa Yogyakarta, dan selanjutnya
berkembang di berbagai tempat di seluruh kepulauan Indonesia.84
Masyarakat kolonial di Hindia Belanda memiliki struktur yang bersifat
(semi) feodal. Mereka mengalami modernisasi karena masyarakatnya tumbuh
83
Suratmin dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonuialisme di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Proyek IDSN, hlm. 118. 84
Ibid., hlm. 118.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
sejalan dengan perkembangan sistem produksi dan teknologi. Penyebab lainnya,
yakni adanya perkembangan dibidang pendidikan dan organisasi pemerintahan
dengan gaya Barat. Prestise golongan masyarakat Jawa yang berpendidikan barat
lambat laun menjadi makin kuat. Selanjutnya terbentuklah golongan baru
berdasarkan jenjang sosial baru, yaitu golongan intelektual Jawa atau keturunan.85
Golongan bangsawan dan kaum terpelajar, serta pegawai pemerintahan
kolonial dari berbagai tingkat yang disebut priayi adalah kelompok utama
pendukung kebudayaan Indis golongan masyarakat inilah yang pada dasarnya
menerima politik moderat. Para priyayilah yang pada waktu-waktu awal
menyadari peran mereka sebagai pembawa kemajuan di dalam masyarakat Jawa.86
Mereka bersikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Gaya barat
mulai diikuti oleh para pendukung kebudayaan Indis. Pada waktu itu orang-orang
Jawa (serta Tionghoa) mulai memotong rambut panjang mereka seperti orang
Belanda.87
Pada abad ke-19 merupakan puncak dari berkembangnya kebudayaan Indis
di Yogyakarta. Sebelumnya keberadaan mereka sempat terusik akibat perang
Jawa pada tahun 1825-1830 yang sebenarnya juga sebagai buah dari kehadiran
mereka di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro, tokoh yang memulai perang Jawa,
merasa kehidupan mereka sudah terlalu merasuk ke dalam kehidupan keraton.
Banyak bangsawan Jawa yang meniru budaya barat yang diperkenalkan oleh
masyarakat barat seperti minum-minuman keras, sebuah budaya yang tidak
disenangi oleh Pangeran Diponegoro yang teguh memegang ajaran Islam. Setelah
85
Djoko Sekiman, op.cit., hlm. 19. 86
.Ibid., hlm. 19. 87
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta, Ombak, 2004, hlm. 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
perlawanan Pangeran Diponegoro berakhir, masyarakat mulai menetap di luar
tembok benteng. Masyarakat barat mulai menetap di kawasan di sebelah timur
benteng Vredeburg. Kawasan ini dikenal sebagai Loji Kecil. Disebut Loji Kecil
untuk membedakannya dengan Loji Besar yaitu Benteng Vredeburg. Sayangnya
bangunan-bangunan di daerah ini sudah tidak ada lagi. Sekarang sudah diganti
dengan rumah-rumah baru.88
Seiring dengan perkembangan masyarakat kolonial Belanda di Yogyakarta,
maka dibangunlah berbagai sarana seperti rumah tinggal, toko, tempat rekreasi,
sekolah, rumah sakit, hotel, bank, penjaran, gereja, dan lain sebagainya. Selain
tinggal di Loji Kecil, orang-orang Belanda mulai tinggal menyebar pada kawasan
lain di kota Yogyakarta, mulai dari Bintaran, Kota Baru, Jetis, dan Lempuyangan.
Menariknya hampir tidak ada masyarakat barat yang tinggal di sebelah keraton.
Beberapa kampung di Yogyakarta ada yang namanya diambil dari nama orang
Eropa, misalnya kampung Kleringan yang namanya berasal dari nama Tuan
Klierens89
Pada awal kolonialisasi banyak terjadi perkawinan campur pada mereka
yang menimbulkan golongan Indonesia. Walaupun mendapatkan jaminan sosial
yang lebih tinggi dibanding pegawai bumi putera dalam jabatan yang sama,
golongan Indo ini menduduki jabatan rendahan. Salah satu segi yang muncul
dalam peroses tumbuhnya golongan masyarakat ialah kesempatan terjadinya
kontak itelektual antara penduduk bumiputera dan Eropa. Kalau di antara orang
88
Lengkong Sanggar, Jejak Kolonial, Kepingan Peninggalan Kolonial di Kota Yogyakarta,
(online) dalam http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2017/02/Kepingan-peninggalan-kolonial-di-
kota.html, diakses 30 Januari 2017 pukul 14.30. 89
Djoko Sekiman, op.cit., hlm. 172.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Indo ada yang memahami kebudayaan Jawa, sebaliknya dari golongan Eropa,
pengikut gerakan mason berhasil menarik beberapa bangsawan Paku Alam ke
dalam gerakannya90
Keberadaan bangsa Belanda semakin banyak setelah UU Agraria diterapkan
pada tahun 1870 yang memperbolehkan para pengusaha dan investor dari Eropa
menanamkan sahamnya di Hindia Belanda. Sistem ekonomi Belanda antara
tahun-tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme.
Maksudnya bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial,
modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di
Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di daerah-
daerah di luar pulau Jawa. Selama pada masa ini pihak-pihak swasta Belanda
maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula,
dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh
Undang-Undang Agraria (AgrarisscheI) yang dikeluarkan pada tahun 1870.91
Pada satu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani
Indonesia atas tanah mereka. Di lain pihak, UU Agraria membuka peluang bagi
orang asing, orang-orang bukan Indonesia, untuk menyewa tanah untuk rakyat
Indonesia.92
Dengan diterapkannya UU ini, maka terjadi pertumbuhan ekonomi
yang pesat. Pembangunan jalur kereta api atara Semarang dengan Vostenlanden
pada tahun 1873 membuat perekonomian di Yogyakarta semakin terbuka,
sehingga banyak orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta. Jumlah kedatangan
90
Abduracman Surjomiharjo, op.cit., hlm. 40-41. 91
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta, Balai Pustaka, 2011,
hlm. 371. 92
Ibid., hlm. 371.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
mereka semakin bayak pada masa pemerintahan Sultan HB VII pada tahun 1877-
1921.93
B. Peran Keraton Terhadap Perkembangan Kebudayaan Indis di
Yogyakarta
Keraton Yogyakarta adalah kompleks kedudukan Sultan Hamengku
Buwono selaku pemimpin dan penguasa kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Hal
ini berlangsung sejak Sultan pertama (Hamengku Buwono I) hingga Sultan
kesepuluh yang sekarang bertahta. Keraton yang terletak di pusat kota Yogyakarta
ini berperan juga sebagai cikal bakal pertumbuhan kota. Secara keruangan keraton
terletak di tengah sumbu simbolis-filosofis yang menjadi acuan perkembangan
kota. Sumbu ini terwujud dalam jalan raya yang terentang dari Tugu Pal Putih di
utara hingga panggung Krapyak di selatan. Bagunan-bagunan publik penting di
kota Yogyakarta diletakan menurut sumbu tersebut, sedangkan jalur-jalur utama
antar kota bersilangan tegak lurus dengannya.94
Secara kronologis, Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat adalah
kompleks yang pertama kali dibangun setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Setelah perjanjian ditandatangani, Sultan berserta keluarga dan pengikutnya
bersemayam di Ambarketawang dan mulai pembangunan Kraton kesultanan.
Secara tata ruang kesultanan Yogyakarta Hadiningrat terdiri atas sejumlah
kompleks yang tersusun berjajar kearah utara-selatan seturut sumbu utama kota.
93
Lengkong Sanggar, Jejak Kolonial, Kepingan Peninggalan Kolonial di Kota Yogyakarta,
(online) dalam http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2017/02/Kepingan-peninggalan-kolonial-di-
kota.html, diakses 20 Januari 2017 pukul 14.30. 94
Bambang Yudoyono, op.cit., hlm. 156.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Masing-masing kompleks berupa halaman atau pelataran yang dilingkupi oleh
tembok keliling dengan berupa bangunan yang terletak di tengah maupun
sepanjang tepinya.95
Kraton Yogyakarta sangat berperan dalam perkembangan kebudayaan Indis
karena keraton sebagai awal kota yang diawasi oleh dua kekuatan yaitu kekuatan
kolonial dan tradisional bertemu didalamnya. Sedangkan peran keraton dalam
ranah sosial dan budaya adalah sentral karena keraton adalah salah satu fokus
pendidikan budaya di mana nilai dan budaya mengalir ke bawah paling deras.
Selain itu, peran keraton dalam pelaksanaan adat dan tradisi sangat penting karena
pelaksanaan adat dan tradisi termasuk dalam pemeliharaan kekuasaan keraton itu
sendiri.96
Masuknya bangsa Barat (Belanda) ke Yogyakarta membawa
kebudayaannya sehingga mempegaruhi kebudayaan setempat yang kemudian
terjadilah percampuran kebudayaan dan memunculkan kebudayaan baru. Budaya
Belanda yang dianggap modern oleh kalangan muda-mudi telah melumpuhkan
jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia. Sebagai contoh yang
sederhana, remaja Indonesia saat ini lebih suka makan makanan seperti pizza,
donut dan lain-lain. Mereka menganggap makanan daerah seperti thiwul, gaplek,
gatot ataupun gethuk sebagai makanan yang super jadul yang hanya pantas
dimakan oleh nenek-nenek berumur 70 tahun.97
95
Ibid., hlm. 156. 96
Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 49. 97
Enye Ning Memphyis, Peran Keraton Yogyakarta (online) dalam http://enyememphyis.
blogspot.co.id/p/peran-keraton-yogyakarta-dalam.html, diakses 21 Februari 2018 pukul 16.20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Dalam keadaan seperti itulah Keraton Yogyakarta mampu menunjukkan
eksistensiannya dalam menjaga budaya-budaya leluhur dengan
keaslian bangunannya yang kental dengan nuansa Jawa. Dengan adanya
Keraton Yogyakarta budaya bangsa yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini
dapat lestari dan akhinya tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita. Sebagai orang
Indonesia kita harus mampu memperdalam wawasan kebudayaan kita sendiri
sekaligus merawatnya hingga dapat memperkaya Kebudayaan Daerah bahkan
Kebudayaan Nasional.98
C. Saluran Perkembangan Kebudayaan Indis di Yogyakarta
1. Sistem Pendidikan
Pada abad ke-19 pendidikan dan pengajaran di Indonesia (pada waktu
Hindia Belanda) masih sangat kurang. Hal ini selaras dengan politik pemerintah
pada waktu itu yang mengkehendaki rakyat Indonesia sebagai rakyat yang
terjajah, tetap bodoh dan terbelakang. Sebab apabila rakyat Indonesia diberikan
pendidikan dan pengajaran yang baik, maka dikhawatirkan akan dapat mendesak
dan menhancurkan pemerintah kolonial Belanda. Adanya perasaan dan pikiran
yang demikian itu benar-benar tertanam dalam kalbu pejabat-pejabat pemerintah
kolonial dan sangat menghantui jalan pikiranya. Karena itulah rakyat Indonesia
tetap dibiarkan bodoh dan melarat.99
98
Enye Ning Memphyis, Peran Keraton Yogyakarta (online) dalam http://enyememphyis.
blogspot.co.id/p/peran-keraton-yogyakarta-dalam.html, diakses 21 Februari 2018 pukul 16.20. 99
Bambang Suwondo, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977, hlm. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Dengan adanya perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda pada
pertengahan abad ke-19, yaitu dengan kemenangan yang dicapai oleh golongan
Liberal, maka terjadilah perubahan terhadap politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Khususnya dalam bidang Pendidikan, mulai pula diadakan, walaupun
masih dalam tingkat yang minimal. Dapat diakatakan bahwa baru pada pada tahun
1850 pemerintah Hindia Belanda mulai mencantumkan anggaran belanjanya
sebagian kecil untuk kepentingan pendidikan anak-anak Indonesia.100
Sekolah
modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta. Didirikan oleh anggota tentara
Belanda pada tahun 1832. Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian
pemerintah baru pada zaman Mullemaister menjabat residen (1882-1891). Pada
tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah partikelir di daerah Paku Alam. Para guru
terdiri dari kweekeling, yang berasal dari Opleidingscool voor Inlandsche
Onderwijzers di Probolinggo.101
Pada tahun 1890, di sebuah pendopo dalam kesultanan yang bernama
Srimanganti, sultan mendirikan sekolah dan menyatakan setiap pejabat keraton
yang akan mengantikan ayahnya haruslah mempunyai sertifikat dari sekolah itu.
Pada bulan Agustus 1890, di sekolah itu tercatat lebih dari 100 orang murid.
Sekolah yang semula diperuntukkan bagi anak para bangsawan kemudian terbuka
bagi anak abdi dalem dan disebut Eerste Klasse Schoool met de Basa Kedaton.
Setahun kemudian sekolah itu mendapat bantuan guru dari pemerintah. Pada
tahun 1891, jumlah murid di Yogykarta telah menunjukan kecenderungan menaik
dengan pesat. Ketika itu diusulkan oleh Direktur Pengajaran dan Ibadat untuk
100
Ibid. Hlm. 18. 101
Abduracman Surjomiharjo, op.cit., hlm. 55.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
menambah gedung, khususnya untuk wanita, dan untuk Yogyakarta sendiri,
sebuah sekolah kedua bagi orang Eropa atau yang dipersembahkan. Hal yang
sama juga diusulkan untuk Pekalongan. 102
Menurut kenyataan, menunjukkan bahwa dalam tahun 1900 anggaran yang
dikeluarkan untuk pendidikan dan pengajaran kepada rakyat Indonesia baru 1,1%.
Jelas bahwa walaupun sudah kurang lebih 50 tahun lamanya sejak pendidikan
pertama kali diberikan untuk itu masih sangat minim. Dengan diitroduksinya
“Politik Etika” oleh Van Deventer, di mana dalam salah satu triloginya terdapat
unsur educatie, maka masalah pendidikan bagi rakyat makin mendapat perhatian.
Semakin kompleksnya sistem pemerintah kolonial dan juga makin pesatnya
pertumbuhan perusahaan asing di Indonesia (Hindia Belanda), maka kebutuhan
akan tenaga pegawai yang sedikit terdidik makin dirasakan. Hal itulah yang
sedikit banyak ikut mendorong didirikannya sekolahan.103
Pada mulanya pemerintah kolonial mengadakan pendidikan dengan taraf
pendidikan rendah, tetapi kemudian ternyata memerlukan pula tenaga pendidik
dalam taraf menegah dan akhirnya pendidikan tinggi. Semua tingkat pendidikan
ini diadakan semata untuk memenuhi keperluan pemerintah kolonial sendiri.
Kecuali itu menurut apa yang dikatakan oleh Van Der Prijs, juga untuk
membentengi Belanda dari Volkano Islam. Pada waktu itu sekolah yang mula-
mula diperkenalkan adalah sekolah kelas dua, yang akan mendidik calon-calon
pegawai rendah dan sekolah kelas satu, yang diperuntukkan dari anak-anak
golongan masyarakat atasan. Disamping itu ada pula sekolah rendah yang khusus
102
Ibid., hlm. 56. 103
Bambang Suwondo, op.cit., hlm. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
disediakan bagi anak Eropa. Adapun mata pelajaran yang diberikan di sekolah itu
hanyalah sekedar supaya dapat membaca, menulis, dan sedikit pengetahuan
berhitung. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan
masyarakat Jawa khususnya dan keadaan rakyat Indonesia umumnya terutama
dalam lapangan pendidikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Mahlenfeld dan termuat dalam harian de
Locomotief mengatakan bahwa di pulau Jawa dari 1000 orang, rata-rata hanya 15
orang yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan turut dihitung,
jumlahnya jadi 16. Di daerah Madiun dari 1000 orang hanya 24 yang tidak buta
huruf, di Jakarta hanya 9 orang, di daerah Madura 6 orang, di daerah Tangerang 1
orang, di daerah Jatinegara 1 orang, di daerah Kerawang juga 1 orang”.104
Dari catatan di atas sungguh sangat menyedihkan. Keadaan yang demikian
itu menunjukan betapa kejamnya politik kolonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Untuk daerah Yogyakarta pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu berbeda dengan daerah-daerah lainnya.
Mengingat bahwa Yogyakarta merupakan pusat keraton maka keadaan
pertumbuhan dan perkembangan pendidikannya jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya.105
Pendidikan dalam bentuk sederhana, diberikan
orang tua pada anak-anaknya. Cara pendidikan itu kemudian mangalami bentuk
perkembangannya, misalnya dengan adanya tukar pikiran di antara sesama
mereka, juga dengan datangnya pengaruh baru yang berasal dari luar.
104
Ibid., hlm. 19. 105
Ibid., hlm. 20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Gairah guru meluas sehubungan dengan makin terbukanya pasaran tenaga
kerja untuk mengisi susunan jabatan-jabatan yang diperlukan dalam masyarakat
kolonial. Perluasan pengajaran dan hambatan-hambatan dalam mobilitas vertikal
masyarakat tumbuh bersama dengan perluasan gagasan-gagasan Barat tentang
kebebasan, hak mengatur diri sendiri, demokrasi, dan kemajuan yang mulai
melekat dalam pribadi golongan elit kota. Dalam kurun waktu yang dibicarakan
terlihat juga betapa penyelengaraan pengajaran dipengaruhi oleh, atau setidak-
tidaknya dengan mempertimbangkan, unsur-unsur tradisional yang unik maupun
oleh perkembangan umum dalam skala dunia.106
2. Sistem Teknologi Pertanian
Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat Jawa sudah mengenal teknologi
dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu,
logam, dan tanah liat. Hal tersebut tampak dari arsitektur rumah mereka yang
berelemen kayu, bangunan candi yang berelemen batu alam atau bata, alat-alat
rumah tangga dari gerabah, logam, dan kayu, serta alat upacara yang terbuat dari
kayu, batu, logam, perunggu, perak, dan emas. Bakat-bakat teknologi ini
kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa/Belanda. Setelah
terjadi akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti
pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi yang bergaya Indis.107
Pada abad ke-19 terjadi introduksi beberapa sistem teknologi besar yang
berdampak signifikan terhadap perkembangan sosial masyarakat Hindia Belanda,
terutama di pulau Jawa. Penduduk asli di Nusantara diperkirakan telah hidup
106
Ibid., hlm. 87-88. 107
Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 29-30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
bercocok tanam padi serta telah lama mengenal suatu sistem irigrasi sederhana
guna mengairi sawahnya. Kultur padi diperkirakan telah ada bersamaan dengan
perpindahan bangsa Austronesia dari Taiwan ke kepulauan Nusantara. Kultur
tersebut tentunya berawal dari penanaman padi di daerah-daerah yang mudah
digenangi air terutama dimusim hujan yaitu di daerah-daerah yang rendah dan di
rawa-rawa. Cara bertani tersebut rupanya telah dapat mencukupi kebutuhan
pangan penduduk selama berabad-abad, serta dapat mendukung pertumbuhan
jumlah penduduk yang terjadi relatif cukup pesat.108
Namun ketika produksi padi tidak lagi mencukupi kebutuhan pangan, maka
konsekuensi logis untuk menutupi kekurangan tersebut adalah dengan melakukan
ekstensifikasi daerah persawahan. Ekstensifikasi adalah perluasan areal pertanian
ke wilayah yang sebelumnya belum dimanfaatkan manusia. Sasarannya adalah ke
lahan hutan, padang rumput stepa, lahan gambut, atau bentuk-bentuk lain lahan
marginal (terpinggirkan). Perluasan areal pertanian diperlukan apabila lahan
pertanian yang tersedia dianggap tidak mampu lagi mendukung penyediaan
produksi yang diharapkan (misalnya untuk menyediakan bahan pangan bagi
penduduk suatu wilayah/negara). Resiko yang harus diambil adalah terganggunya
ekosistem asli yang alami dan potensi terdesaknya budaya penduduk asli karena
kalah bersaing dengan pendatang.109
Untuk itu daerah-daerah ladang yang terletak
108
M. Sahari Besari, Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hamabatan Inovasi, Jakarta, Selemba
Taknika, 2008, hlm. 127-128. 109
Wikipedia, Ekstensifikasi Pertanian, (online) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Ekstensifikasi
pertanian, diakses 22 November 2017 pukul 4:26.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
lebih tinggi, yang juga relatif lebih kering pun dijadikan sawah dengan cara
mengairinya dengan mengalirkan air ke sungai-sungai yang ada di sekitarnya.110
Saat memasuki abad ke-19 sebenarnya telah berlaku paradigma yang
berbeda dari yang berlaku pada saat beroperasinya VOC selama 200 tahun
sebelumnya. Pada saat itu jalan ke kepulauan rempah-rempah serta segala
kegiatan perdagangan seakan-akan merupakan barang yang sangat dirahasiakan.
Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan sensor atas berita surat ataupun pos yang
dilaksanakan oleh VOC hingga pada awal kekuasaan pemerintah kolonial. Pada
kedua abad ke-19 di Hindia Belanda juga diterapkan beberapa teknologi baru,
mengikuti perkembangan di Eropa, ysng kemudian mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan sosial masyarakat Jawa. Pada tahun 1869 Terusan Suez
secara resmi di buka. Perjalanan kapal laut dari Batavia ke Negeri Belanda yang
semula memerlukan tiga bulan mengelilingi benua Afrika menjadi hanya lima
minggu lewat Terusan Suez. Terusan tersebut seakan mungkin mendekatkan
Hindia Belanda dengan Eropa atau Negeri Belanda. Hindia Belanda pun mulai
hanyut dalam sistem perhubungan.111
Perkembangan teknologi mesin berlaku sangat pesat bersama perkembangan
Revolusi Industri. Kapal kayu telah digantikan dengan kapal yang berlampung
baja dan layar pun telah diganti dengan mesin. Perlabuhan Jayakarta (Pasar Ikan)
tidak lagi memenuhi persyaratan kapal uap. Maka Tanjung Periuk pun digali pada
tahun 1877 untuk dibangun menjadi perlabuhan di Hindia Belanda. Dengan
110
M. Sahari Besari, op.cit., hlm. 128. 111
Ibid., hlm. 138-139.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
demikian, telah terjadi introduksi teknologi modern sistem perkapalan dan
transportasi laut pada Hindia Belanda.112
Sistem teknologi pengairan sawah masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta.
Dari sudut pandang sejarah, pusat kebudayaan Jawa terdapat di Mataram sebelum
pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1755. Daerah tersebut
dinamakan daerah Negara Gung yang kemudian secara lingkaran luar adalah
daerah Manca Negara, Bagelen, pesisir utara bagian barat, pesisir utara bagian
tengah, pesisir utara bagian timur, Jawa Timur, Blambagan, Tengger, Semin, dan
Banyumas. Perbedaan dari masing-masing daerah kebudayaan ini pada
hakikatnya terletak pada perbedaan dialek bahasa. Secara umum orang Jawa
membagi bahasa dalam bahasa kromo dan ngako, kromo terbagi dalam kromo
inggil dan kromo madya. Sementara bahasa ngako adalah bahasa dari daerah-
daerah kebudayaan yang ada dan sangat berbeda-beda, bahkan acapkali tidak
saling mengerti satu sama lain. Pertanian sebagai mata pencarian utama dimiliki
orang-orang dari daerah Nagara Gung, dan sistem pertanian yang dipakai telah
berusia berabad-abad.113
112
Ibid. hlm. 139. 113
Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Sistem Teknologi, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2009, hlm. 191.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB IV
PENGARUH KEBUDAYAAN INDIS TERHADAP MASYARAKAT
TRADISIONAL YOGYAKARTA
Masuknya kebudayaan Belanda ke Indonesia membawa pengaruh yang
cukup besar dalam bidang dan unsur kebudayaan. Karena demikian besarnya
pengaruh kebudayaan Eropa tersebut terhadap kebudayaan Jawa, ketujuh unsur
universal kebudayaan utama yang dimiliki suku Jawa sepenuhnya tepengaruhi
olehnya.
A. Unsur Bahasa
Sejak akhir abad 18 sampai abad ke-20 mulai tampak dengan kuatnya peran
bahasa Melayu pasar berbaur dengan bahasa Belanda, yang bermula dari bahasa
komunikasi yang dipergunakan oleh keluarga. Bahasa Pidgin ini bagi masyarakat
Jawa dikenal dengan nama bahasa petjoek. Bahasa petjoek ini di masing-masing
daerah berbeda-beda, karena di pengaruhi oleh bahasa ibu dari masyarakat
pendukungnya. Di Batavia/Jakarta, bahasa petjoek dipengaruhi oleh bahasa
Melayu dengan bahasa Cina, di Bandung di pengaruhi oleh bahasa Sunda,
sedangkan di Jawa Tengah tentunya diwarnai dengan bahasa Jawa. Bahasa ini
sangat dominan digunakan oleh orang-orang pendukung budaya Indis. Mereka
yang ibunya Jawa dan bapaknya Belanda, biasanya sering mendengarkan bahasa
Belanda dari bapaknya. Demikian pula yang ibunya berkebangsaan Eropa atau
Indo, mereka juga akan mendengarkan bahasa Jawa dari para permbantunya dan
bahasa Belanda dari lingkungan keluarga. Akibat, mereka ini akan menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
bahasa Belanda dengan logat Jawa. Sebagai contoh adalah percakapan dibawah
ini : 114
“Hello Cici , jij fan waar?”
(Eh Cici, koe saka endi)
[Eh Cici, kamu dari mana]
“Wah, jij toe hoe toh? Ya fan school tierlek.”
(Wah, koe iku kepriye ta? Saka sekolah, mestine.)
[Wah, kamu itu gimana sih? Ya tentu saja dari sekolah.]
“Lho, kok natierlek.”
(Lho, kok mestine.)
[Lho, kok tentu saja.
“Ja natierlek, iki lho mijn tas.”
(Ya mestine, iki lho tasku.)
[Ya tentu saja, ini loh tasku.]
”Lho, met tas iku kan heef nesk.”
(Lho nggawa tas iku, kan ora apa.)
[Lho bawa tas itu, kan tidak apa.]
“Apa konniet als jij’s morgens met tas reka naar school, maar toh jij
bolos.”
(Apa ora isa nak kowe lungo esuk nggawa tas reka menyang sekolah, jebule
mbolos?)
[memang tidak bisa kalau kamu pagi-pagi bawa tasmu berangkat sekolah,
ternyata membolos?]
Di lihat dari logat bahasa tersebut, tampak bahwa masuknya budaya
Belanda ke Jawa sangat mempengaruhi kebudayaan lokal, khususnya dari unsur
bahasa bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
B. Unsur Perlengkapan Hidup
Yang dimaksud dengan perlengkapan hidup di sini adalah semua hasil
budaya yang dipergunakan untuk melindungi dan melengkapi sarana hidup
114
Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
sehingga memudahkan hidup manusia. Karya tersebut dapat berupa rumah
tempat tinggal, kelengkapan rumah tangga, pakaian, senjata, alat produksi dan alat
transportasi. 115
1. Rumah Tempat Tinggal
Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan rumah, tempat
berteduh, atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal.
Pesanggrahan rumah yang besar, mewah dalam ragam hias, penataan interior dan
eksterior yang rapi dan indah, biasanya dimiliki oleh golongan atas. Tempat
tinggal yang demikian dipergunakan untuk untuk pedoman tentang struktur
hierarki status pemilik atau penghuninya. Demikian juga mengenai perlengkapan
rumah tangga, biasanya juga memberikan gambaran bagi pengamat mengenai
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Status ini juga dapat dilihat dari
pakaian, gaya hidup dan perilaku yang lain.116
Bagi kaum Indis, bentuk perlengkapan hidup yang tampak pada bangunan
tempat tinggal adalah bangunan campuran gaya Eropa dan gaya Jawa, sehingga
menimbulkan kesan perpaduan arsitektur yang sangat serasi. Demikian pula pada
masalah interior dan eksteriornya, pakaian dan gaya hidup yang yang juga
menggambarkan perpaduan kebudayaan tersebut.
2. Kelengkapan dan Peralatan Rumah
Kelangkapan rumah tangga, seperti meja, kursi, dan lemari, merupakan
barang baru yang dikenal oleh suku Jawa setelah orang Eropa datang ke
Nusantara. Setelah itu, baru kemudian golongan bangsawan dan priayi mulai
115
Ibid., hlm. 41. 116
Ibid., hlm. 41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
menggunakan peralatan rumah tangga yang disebut meubelir. Sementara itu,
sebagian rakyat tetap menggunakan peralatan rumah tangga yang sederhana,
misalnya tikar sebagai alas duduk. Penggunaan wadhah sebagai penyimpanan
barang atau kekayaan hanya sekedarnya.117
Perabotan rumah tinggal atau meubelair yang di buat di Hindia Belanda
berbahan dasar kayu jati berkualitas baik, dengan motif bergaya Jawa, atau
bercampur dengan motif bergaya Eropa. Perabotan rumah tangga merupakan hasil
karya para pemahat Jawa, antara lain dari Jepara, Cirebon, Madura, Solo, dan
Kudus.
3. Pakaian dan Kelengkapannya
Ciri lain gaya hidup pada zaman itu yang banyak dipengaruhi oleh gaya
Eropa ialah tata busana. Disebabkan pengaruh para pembantu rumah tangga dan
para nyai, kaum perempuan Indis mengenakan sarung dan kebaya. Kain dan
kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah oleh para perempuan
Eropa, sedangkan pria mengenakan sarung dan baju takwa atau pakaian tidur
(piyama) motif batik.118
Pada umumnya gaya rumah yang terletak di wilayah
Yogyakarta dalam batasan tertentu memperlihatkan adanya pengaruh model
rumah aristokrat bumiputra. Ciri khasnya, yaitu memiliki teras yang sejuk sebagai
penganti pendapa, lingkungan yang rimbun, dan dikelilingi oleh kebun yang amat
luas.
117
Ibid., hlm. 42. 118
Ibid., hlm. 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
4. Alat Berkarya dan Berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Jawa berbagai alat untuk berkarya
atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan. Misalnya,
mesin jahit, lampu gantung, lampu gas, dan kereta tunggang yang di sebut dos-a-
dos atau sado. Sunan Surakarta menerima kereta Kyai Garuda dengan roda
berjeruji dari kompeni pada 1668 A.J. atau 1743 A.D. pemakaian kereta bukanlah
hal yang baru karena Raja Hayam Waruk penguasa Majapahit sudah
menggunakan alat pengangkut berupa pedati beroda dalam perjalanannya
berkunjung keberbagai wilayah di Jawa Timur.119
5. Kelengkapan Alat Dapur dan Jenis Makanan
Di negeri Belanda samapai sekarang banyak rumah makan yang
menyediakan berbagai jenis makanan (menu) Indis Tempo Doeloe dengan
memasang papan nama bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga
Belanda, khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari
Indonesia, menghidangkan menu Indsche rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi
soto, nasi goreng, gado-gado, nasi remes, lumpia, dan lain sebagainya. Sementara
itu, di Indonesia, masyarakat Indis, termasuk priayi Jawa, menghidangkan
makanan keluarga dengan perlengkapan dan menu campuran Eropa dan Jawa.120
C. Unsur Mata Pencarian Hidup/Sistem Ekonomi
Sebelum pertengahan abad ke-19 politik kolonial Belanda dengan abad-
abad sebelumnya yang lebih mengutamakan perdagangan. Pada pertengahan abad
119
Ibid. hlm. 45. 120
Ibid., hlm. 45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
19 ini, Belanda lebih mengutamakan penaklukan-penaklukan wilayah dari tangan
bangsa pribumi dan merebut perdagangan rempah-rempah terhadap saingannya
Portugis dan Inggris121
Pemerintah Belanda meneruskan sistem ekspolitasi dengan monopoli
setelah mengambil alih usaha VOC dalam usaha pengembang kapital dan
mendapatkan sumber bahan mentah untuk industri di negeri Belanda. Untuk
semua ini diperlukan tenaga yang cukup besar, sehingga direkrutlah tenaga-tenaga
kerja dari bangsa pribumi. Hal ini membangkitkan terjadinya unsur kebudayaan,
baik yang bersifat politik, sosial, agama dan kesenian, yang semuanya akan
mewarnai kebudayaan Indis.122
Pengaruh kebudayaan Belanda dalam kebudayaan Indonesia yang kemudian
menjadi salah satu kebudayan Indis, khususnya pada unsur kebudayaan mata
pencarian hidup tampak dari prajurit lokal yang dijadikan serdadu kolonial,
pejabat administrasi, dan pejabat administrasi pemerintah lainnya, meskipun
secara tegas dipisahkan dari pejabat-pejabat kolonial. Pendukung budaya Indis, ini
juga tampak dari lahirnya anak-anak yang dilahirkan oleh para Nyai dan menjadi
“peliharaan” orang-orang Belanda.
Nyai adalah sebutan umum di Jawa Barat, khususnya bagi wanita dewasa.
Namun, kata ini memiliki konotasi lain pada zaman kolonial Hindia Belanda.
Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu
Belanda.123
Nyai telah menjadi ibu sekaligus nenek moyang bagi para Indo. Tugas
121
Ibid., hlm. 46. 122
Ibid., hlm. 46. 123
Wikipedia, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nyai pada tanggal 22 Februari 2018 puku
9.49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
utama nyai berada di perintah dengan patuh kemauan tuannya. Nyai tidak
memiliki hak atas posisinya sendiri sebagai istri, apalagi hak atas anak yang
dilahirkan dari rahimnya. Setiap saat mereka dapat ditinggalkan begitu saja oleh
suami dan juga majikannya.124
Bahkan di kalangan ketentaraan, seorang nyai seringkali diserahkan begitu
saja kepada laki-laki Eropa lain sebelum ditinggalkan. Nasib kaum Hindia
Belanda tak urung sekadar sebagai alat pemuas tuannya. Perilaku asusila tanpa
pernah mendapatkan sanksi bisa dipertontonkan di dalam tangsi. Seorang nyai
tangsi atau yang biasa disebut moentji berperan sebagai pembantu, teman tidur,
istri, dan juga ibu bagi anak-anak mereka. Mereka menjadi moentji bisa karena
diambilalih dari rekan tentara pribumi. Atau ada pula yang memang sengaja
menawarkan diri untuk menjadi gundik bagi para serdadu yang baru datang dari
Eropa.125
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 dan berkuasanya pemerintah
Hindia Belanda, maka sejak abad ke-19 itu, terjadilah perubahan mendasar dalam
masyarakat. Perubahan yang terjadi itu misalnya dalam sistem nilai, struktur
masyarakat, relasi interpersonal dan ekonomi. Khususnya dalam masalah
ekonomi, maka pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-19 itu tetap
berpegang pada politik eksploitasi, yaitu berusaha mengeruk kekayaan daerah
jajahan sedalam-dalamnya. Bahkan sebelumnya dengan itu sampai-sampai
Menteri Jajahan Barat pada waktu itu mengibaratkan “Java sebagai gabus tempat
124
Hendra Kurniawan, Nyai dalam Pergundikan: Pendorong Munculnya Kaum Indo di Hindia
Belanda. Jurnal Historia Vitae Seri Pengetahuan dan Pengajaran Sejarah, 28 (2), hlm. 142-143. 125
Ibid., hlm. 143.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Nederland berapung”. Maksudnya Jawa adalah merupakan sumber kehidupan
bagi Nederland.126
Awal abad ke-19 kehidupan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta,
terdapat suatu kehidupan ekonomi desa yang masih sederhana di mana penduduk
tani menghasilkan barang untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.
Kebutuhan dan cara produksi mereka itu ditentukan oleh tradisi. Dalam kehidupan
ekonomi yang demikian ternyata sifat gotong royong dan tolong menolong masih
kuat dan tebal dikalangan penduduk tani. Demikian pula dalam masalah
menyewakan tanah pada umumnya masih jarang terjadi. Tetapi di Daerah
Istimewa Yogyakarta masalah persewaaan tanah sudah menjadi kebiasaan, yaitu
yang dilakukan oleh para pemegang apanage (apanage bearti tanah langguh) dari
raja-raja. Bahkan dalam tahun 1816 di daerah Yogyakarta terjadi persewaan tanah
secara besar besaran.127
Dalam kehidupan ekonomi yang sederhana itu, pedagang dan lalu lintas
masih belum begitu ramai. Penduduk tani itu pada umumnya melakukan
pertukaran hasil tanahnya di antara penduduk di dalam satu desa, antara beberapa
penduduk beberapa desa. Tentang pasar sebagai pusat perdagangan pada waktu itu
masih belum begitu banyak. Dalam suasana kehidupan ekonomi yang demikian
itu, maka faktor produksi dan hasil tanah hampir tidak diperjual belikan. Karena
itu uang hanya mempunyai peranan yang kecil sekali dalam ekonomi pada masa
itu.
126
Bambang Suwondo, op.cit., hlm. 31. 127
Ibid.,hlm 32.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Kehidupan ekonomi seperti tersebut di atas, merupakan ciri umum yang
terdapat di Jawa dan termasuk pula di DIY. Pada abad ke-19 keadaan yang
demikian itu kemudian digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
melaksanakan politik ekonominya. Dengan melalui dan menggunakan penguasa
feodal serta kepala adat, pemerintah kolonial berusaha mengeruk kekayaan dan
tenaga penduduk. Keadaan dan nasib penduduk pribumi (Indonesia) lebih buruk
dan bertambah menderita dan tatkala pemerintah kolonial melaksanakan “Politik
Tanam Paksa” atau Cultuur Stesel. Pada masa dilaksanakannya sistem Tanam
Paksa, seperti halnya daerah-daerah lain yang terkena dampak sistem ini, maka
daerah Yogyakarta tidak luput pula dari praktek-praktek Tanam Paksa.
Penduduk yang memiliki tanah diwajibkan menanami sebagian tanahnya
(1/5 dari tanahnya) dengan tanaman yang telah ditetapkan jenisnya oleh
pemerintah Belanda, yakni kopi, tebu, kapas, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi
penduduk yang tidak mempunyai tanah , harus mengerjakan “rodi” selama 6 hari
dalam satu tahun. Tetapi kenyataannya, peraturan Tanam Paksa itu tidak
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, melainkan sering terjadi penyimpangan.
Sebagai contoh, sering kali penduduk diwajibkan menanami tanahnya lebih dari
kebutuhan yang ada dengan tanam wajib. Demikian pula dengan pengerahan
tenaga rodi penduduk, kadang-kadang disamping tempat bekerja yang jauh dari
tempat tinggalnya, juga waktunya melebihi ketentuan yang ada. Oleh karena itu
pada masa dilaksanakanya Tanam Paksa, sering terjadi bencana dan bahaya
kelaparan yang banyak membawa korban manusia. Untuk daerah Yogyakarta,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
yang paling menderita dalam masa Tanam Paksa ini adalah penduduk daerah
Gunung Kidul.128
D. Unsur Kemasyarakatan/Organisasi
Kebudayaan Indis yang merupakan kebudayaan campuran dari kebudayaan
lokal dengan kebudayaan kolonial, yang tampak pada sistem kemasyarakatan
dapat dilihat dari pola hidup kaum priyayi Jawa. Banyak unsur budaya Jawa yang
mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa akibat interaksi sosial (diasuh oleh
pembantu Jawa, atau berteman dengan anak-anak priyayi Jawa), tetapi juga
sebaliknya banyak Budaya Eropa yang mempengaruhi kehidupan masyarakat
Jawa. Kenyataan ini dapat dilihat dari sistem pengajaran yang pernah didirikan di
daerah Gondang Lipuro, Yogyakarta sebagai sarana pendidikan para buruh pabrik.
Sekolah ini didirikan oleh orang Eropa/Belanda (van der Deijl, SJ) dengan
menggunakan pendekatan budaya setempat, disamping sistem pengenalan dan
pengajaran cara Barat. Budaya pribumi yang tampak pada pendidikan ini tampak
dari cara berpakaian, bahasa, logika dan sebagainya, sedangkan pengajaran cara
Barat tampak pada pola berpikir dan agama yang secara implisit mulai diterapkan
oleh Van de Dijl.129
E. Unsur Kesenian
Unsur kebudayaan Masyarakat Indis yang tampak pada unsur budaya
kesenian dapat dilihat dari beberapa karya seni, baik yang termasuk dalam seni
128
Ibid., hlm. 33-34. 129
H.B. Hery Sentosa, Reader Sejarah Kebudayaan Indonesia, Program Studi Ilmu Sejarah
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2000, hlm. 119.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kriya, seni pertunjukan (termasuk film), dan seni sastra. Pada seni kriya, tampak
pada seni ukir dekoratif, baik yang ditempatkan pada interior bangunan, maupun
pada kelengkapan meja makan. Kebangkitan seni kriya ini dimulai pada tahun
1888, setelah pada masa sebelumnya mengalami kemunduran. Pada tahun ini,
pemerintah Hindia Belanda memberikan bantuan modal bagi pengrajin
mendirikan sekolah kerajinan dan bahkan mencarikan pasaran di Eropa. Untuk
kepentingan ini, tentu saja seni kriya dan seni bangun bernuansa Eropa mulai
dikembangkan.130
Unsur kesenian yang muncul pada kebudayaan Indis tampak pada musik
tanjidor yang merupakan gabungan musik Tionghoa, Eropa musik lokal (Betawi).
Hal yang sama juga tampak dari komedi Stambul, yang biasa diangkat dari cerita
1001 malam dengan mendapat latar belakang budaya lokal. Istilah Stambul ini
juga berpengaruh pada seni musik, terutama musik keroncong, sehingga disebut
dengan istilah Stambulan. Komedi stambul ini sudah banyak yang diangkat ke
layar film, sehingga penyebaran informasi mengenai komedi dengan gaya
stambulan ini berkembang luas, bahkan tidak lagi dimonopoli oleh masyarakat
Indis saja, tetapi meluas sampai ke masyarakat pribumi.131
Salah satu hal yang menonjol dan nampak jelas dalam kehidupan seni
budaya pada abad ke-19 adalah makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat
dalam lingkungan kehidupan tradisional. Karena itu timbulah perasaan khawatir
di kalangan sementara bumiputera bahwa pengaruh kehidupan Barat itu dapat
merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Sehubungan dengan itu maka tantangan
130
Ibid., hlm. 119. 131
Ibid., hlm. 119-120.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
yang kuat terutama datang dari pemimpin-pemimpin agama, yang memandang
bahwa kehidupan Barat itu bertentangan dengan norma-norma dan ajaran agama
Islam.132
F. Ilmu Pengetahuan dan Kemewahan Gaya Hidup
Gaya hidup lebih kepada menggambarkan perilaku seseorang, yaitu
bagaimana ia hidup, menggunakan uangnya dan memanfaatkan waktu yang
diinginkannya namun bukan atas dasar kebutuhan tetapi atas dasar keinginan
untuk bermewah-mewah atau berlebihan. Orang-orang Indis yang secara nyata
mendapat pengaruh budaya Eropa, hampir memperhitungkan segala tindakan,
ataupun kegiatan mereka kegiatannya dengan manfaat atau keuangannya. Salah
satu contoh nyata adalah di setiap pembangunan pesanggrahan, atau rumah-rumah
mewah, selalu memperhatikan sumber daya alam dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan. Pesanggrahan yang dibangun biasanya dijadikan semacam
perkebunan (kopi, ulat sutera, pembangunan teropong bintan, penangkaran, dan
pembibitan pohon jati, dan lain sebagainya) guna pembangunan pengetahuan.
Hoog Edelbeid Campbuys merupakan orang pertama untuk penelitian tumbuh-
tumbuhan.133
Pembangunan pesanggrahan seperti tersebut di atas, di samping dengan
sengaja digunakan sebagai pengembangan pengetahuan biologi, pada kenyaataan
juga digunakan sebagai pengembangan tata kota. Berdasarkan laporan dari
pelancong, menunjukan disekitar Jakarta telah dibangun banyak pesanggrahan
132
Bambang Suwondo, op.cit., hlm. 25. 133
H.B. Hery Sentosa, op.cit., hlm. 120.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dengan penataan lingkungan yang sangat indah. De Bougainville yang menjadi
tamu Gubenur Jendral Van der Purra, menyatakan kekagumannya terhadap gaya
hidup masyarakat Indis, seperti yang tampak pada pesanggrahan Van der Parra.
Demikian pula komentar James Cook dari Inggris ketika singgah di pesanggrahan
Van der Parra yang juga menyampaikan kekagumannya, bahkan ia juga
berkomentar mengenai kesuburan daerah sekitar pesanggrahan.134
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan Indis menunjukan
perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan
kelompok masyarakat tradisional Jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan Indis,
seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan
bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda, ataupun budaya pribumi Jawa.
Kehidupan sosial ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan
kehidupan sosial masyarakat pribumi pada umumnya, memungkinkan mereka
memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus di dalam kompleks yang
wilayahnya khusus pula.135
Bidang pengetahuan orang-orang pribumi boleh dikatakan masih sangat
kurang, karena pada saat itu pemerintah Hindia Belanda menghendaki rakyat
Indonesia sebagai rakyat yang terjajah. Sebab apabila rakyat Indonesia diberikan
pendidikan dan pengajaran yang baik, maka dikhawatirkan menghancurkan
pemerintah kolonial Belanda. Setelah adanya perubahan politik yang terjadi di
negeri Belanda pada pertengahan abad ke-19, yaitu dangan kemenangan yang
dicapai oleh golongan liberal, maka terjadilah perubahan terhadap politik
134
Ibid., hlm. 120. 135
Djoko Soekiman., op.cit., hlm. 100.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
pemerintah kolonial Belanda. Khususnya dalam bidang pendidikan, mulai pula
diadakan meskipun masih dalam tingkat yang minimal.136
G. Unsur Religi
Unsur Religi yang tampak pada masyarakat Indis dimulai dengan adanya
proses enkulturasi, yang merupakan proses esensial dari kondisi sadar atau tidak
sadar yang digerakan oleh adat setempat. Enkulturasi sebagai suatu proses, dalam
perkembangannya berjalan melalui tiga tahapan gerakan prosesual. Pertama,
proses enkulturasi ditandai dengan pengenalan lingkungan sosial, penyesuaian
adat, serta terjalinnya relasi atau hubungan dalam interaksi sosial budaya. Kedua,
proses enkulturasi ditandai dengan adanya koeksistensi dan pluriformitas terhadap
lingkungan sekitarnya. Tahap kedua ini menempatkan kepribadian dasar sebagai
objek legitimasi enkulturasi. Segala aspirasi, sikap dan keyakinan mencerminkan
struktur mental bersama. Sedangkan tahap ketiga, sebagai tahap akhir, proses
enkulturasi diformulasikan dalam bentuk munculnya akulturasi, kesenian dan
sinkretisme agama.137
Proses enkulturasi yang berjalan baik akan memunculkan suatu bentuk
perpaduan dalam keharmonisan, sedangkan enkulturasi yang mengalami
kegagalan akan mendatangkan ketegangan antara enkulturasi dan daya cipta.
Kegagalan ini dapat terjadi apabila dalam proses berkembangnya dengan sistem
pemaksaan, tidak luwes dan tidak bebas, ataupun tidak lancar. Dampak kegagalan
ini akan mengakibatkan terjadinya konflik sosial atau adanya kesenjangan sosial
136
Bambang Suwondo, op.cit., hlm. 18. 137
H.B. Hery Sentosa, op.cit., hlm. 120.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
(social deviants). Kebudayaan ini membuktikan bahwa dalam proses enkulturasi
banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang
bersangkutan.138
Dalam membicarakan unsur religi yang tampak pada masyarakat Indis
ditekankan pada kajian teologi terhadap masyarakat pendukungnya, salah satu
contoh nyata dalam kehidupan masyarakat Indis kaitannya dengan kehidupan
religi tampak pada proses masuk dan berkembangnya agama Katolik, yang
dimulai sejak 1534 yang dilakukan oleh Simon vas di Flores dan Timor.
Sedangkan van Lith melakukan pemribumian teologi sejak tahun 1897 di Jawa,
khusunya di Yogyakarta dan sekitarnya. Sasaran program Van Lith adalah
golongan usia muda dengan mendirikan sekolah missi dan memakai cara-cara
mengajarkan agama Katolik yang disesuaikan dengan kepribadian Jawa. Proses
penyebaran agama Katolik ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti mendirikan
prasarana pendidikan, kesehatan bantuan sosial dan pembaharuan dengan
kesenian dan agama setempat.139
Salah satu contoh bentuk budaya religi yang pada mulanya merupakan salah
satu bentuk budaya Indis, meskipun akhirnya dimiliki bersama dengan masyarakat
setempat, tampak pada perpaduan seni dan agama seperti yang terjadi di Gereja
Katolik Ganjuran. Gereja ini merupakan perpaduan antara Katolik (Eropa) dan
budaya Jawa. Di dalam mempertahankan budaya lokal gereja ini tetap
mempertahankan gamelan lokal sebagai iringan lagu-lagu gerejani, figur raja-raja
Jawa yang dipatungkan sebagai gambaran tokoh-tokoh agama Katolik dan juga
138
Ibid., hlm. 121. 139
Ibid., hlm. 121.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
unsur-unsur pewayangan yang dipadukan dengan figur-figur keagamaan Kristiani
sebagai penggambaran visual tokoh suci agama Nasrani. Berdasarkan uraian di
atas, dapat dikatakan bahwa kehadiran disuatu bangsa di kepulauan Nusantara
telah memperkaya kebudayaan Indonesia. Kehadiran kebudayaan Eropa,
khusunya Belanda, telah menimbulkan kebudayaan campuran yang kemudian
disebut kebudayaan Indis.140
Kebudayaan Indis sebagai perpaduan dua kebudayaan (Indonesia dan
Eropa), mencakup tujuh unsur budaya universal. Dengan demikian kebudayaan
Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia
yang terdiri dari kebudayaan Prasejarah, Indonesia Hindu dan kebudayaan Islam
di Indonesia. Dalam bidang seni bangun/budaya artefaktual, hasil budaya ini
tampak pada bangunan-bangunan yang hingga kini masih mewarnai kota-kota
besar di Indonesia dengan gaya dan arsitektur yang khas, dan menjadi gaya tarik
tersendiri. Hasil budaya Indis yang berhubungan dengan Budaya Rohani, tampak
pada penghargaan terhadap waktu, usaha pencerdasan bangsa, kedisiplinan,
mencintai kebersihan dan lain sebagainya, meskipun pada kurun waktu terakhir
(Selama Orde Baru), kebudayaan Indis ini dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
negatif.141
140
Ibid., hlm. 121-122. 141
Ibid., hlm. 122.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
BAB V
KESIMPULAN
Setelah menelisik kebudayaan Indis di Yogyakarta pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bagian ini penulis menarik beberapa kesimpulan yang
menyangkut budaya tersebut.
1. Latar belakang munculnya kebudayaan Indis di Yogyakarta bermula dari
hadirnya Belanda di Yogyakarta membawa penjajahan. Kedatangan Belanda
di Yogyakarta membawa pengaruh terhadap gaya hidup, bentuk bangunan,
rumah tradisional, serta fungsi ruangannya. Kehadiran bangsa Belanda sebagai
penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu
kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan Barat (Belanda) dan kebudayan
Timur (Jawa), masing-masing didukung oleh etnis berbeda dan mempunyai
struktur sosial yang berbeda pula kemudian semakin bercampur. Akibat
percampuran kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa, diperkaya dengan
kebudayan Barat. Hal tersebut memunculkan kebudayaan baru yang
dinamakan dengan kebudayaan Indis. Kebudayaan baru tersebut muncul dari
sekelompok masyarakat penghuni kepulauan di Indonesia, khususnya keluarga
keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi. Semula tujuan mereka untuk
berdagang. Namun, demi mengamankan sektor ekonomi dan perdagangannya,
tujuan mereka berubah menjadi penguasa yang berdaulat. Mula-mula mereka
berkuasa di daerah pesisir Utara Jawa hingga akhirnya meluas ke seluruh
Pulau Jawa dan Nusantara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
2. Perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta dimulai dari perubahan
budaya yang ditunjukan oleh kehidupan sehari-hari masyarakat Belanda di
Yogyakarta. Perubahan budaya tersebut pertama kali merambah pada
masyarakat keraton. Saluran perkembangan kebudayaan Indis dimulai dari
bidang pendidikan dan teknologi pertanian, dari situlah perkembangan
kebudayaan Indis mengalami puncaknya pada abad ke-19.
3. Pengaruh kebudayaan Indis di Yogyakarta menyebabkan perubahan terhadap
tujuh unsur kebudayaan yang dimiliki suku Jawa. Pada bidang bahasa muncul
bahasa petjoek. Bidang peralatan dan perlengkapan hidup tampak pada
bangunan tempat tinggal adalah bangunan campuran gaya Eropa dan gaya
Jawa. Pada unsur kebudayaan mata pencarian hidup tampak dari prajurit lokal
yang dijadikan serdadu kolonial selaindari itu juga tampak dari lahirnya anak-
anak yang dilahirkan oleh para Nyai dan menjadi “peliharaan” orang-orang
Belanda. Pada sistem kemasyarakatan dapat dilihat dari pola hidup kaum
priyayi Jawa lebih merujuk pada kelompok atau kelas sosial. Pada bidang
kesenian muncul musik tanjidor. Bidang ilmu pengetahuan dan gaya hidup
lebih pada perilaku seseorang yaitu bisa memanfaatkan waktu dengan baik.
Bidang religi tampak pada penghargaan terhadap waktu, usaha pencerdasan
bangsa, kedisiplinan, mencintai kebersihan dan lain sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
DAFTAR PUSTAKA
Abduracman Surjomiharjo. 2000. Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah
Perkembangan Sosial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-1930.
Depok: Komunitas Bambu.
Ahmad Nashih Luthfi, dkk. 2009. Keistimewaan Yogyakarta yang diingat dan
dilupakan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Astrid Susanto S. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Binacipta.
Ayatrochaedi. 1988. Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Bambang Suwondo. 1977. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah.
Bernand Raho. 2004. Sosiologi - Sebuah Pengantar. Surabaya: Ledalero.
Dewi Ratna Nurhajarini, dkk. 2012. Yogyakarta dari Hutan Beringan ke Ibukota
Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta.
Djoko Soekiman. 2014. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Djoko Soekirman, Dkk. 1986. Sejarah Kota Yogyakarta. Jakarta: Departemen
Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisiaonal Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Hery Sentosa H.B. 2000. Reader Sejarah Kebudayaan Indonesia, Program Studi
Ilmu Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Hendra Kurniawan. 2014. Nyai dalam Pergundikan: Pendorong Munculnya Kaum
Indo di Hindia Belanda. Jurnal Historia Vitae Seri Pengetahuan dan
Pengajaran Sejarah, 28 (2) : 136-153.
Hiro Tugiman. 1998. Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Suharto. Bandung.
Idad Suhada. 2016. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Idi Subandy Ibrahim. 2011. Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media, dan Gaya
Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasustra.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogyakarta.
. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 2011. Sejarah Nasional Indonesia, Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
. 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Mudji Sustrisno dan Hander Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Mukhlis Paeni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia, Sistem Teknologi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Pardi Suratno. 2013. Masyarakat Jawa dan Budaya Barat: Kajian Sastra Masa
Kolonial. Yogyakarta: Adi Wacana.
Parsudi Suparlan. 1998. Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi, Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu. Bandung:
Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I.
Pudjiwati Sajogyo Ny. 1985. Sosiologi pembangunan. Jakarta: Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional.
Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sahari Besari M. 2008. Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hamabatan Inovasi.
Jakarta: Selemba Taknika.
Soempono Djojowadono H. dkk. 1990-1991. Sejarah Perkembangan
Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
Sri Margana dan Nursam M. (Ed). 2010. Kota-kota di Jawa, Identitas, Gaya
Hidup dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: Ombak.
Suhartono dan Pranoto W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta:
GrahaIlmu.
Suratmin dkk. 1990. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonuialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek IDSN.
Syahrial Syarbaini Rusdiyanta. 2009. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Widda Djuhan, M. 2015. Sosiologi Pendidikan, Ponorogo: STAIN.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Sumber Internet
Enye Ning Memphyis. 2018. Peran Keraton Yogyakarta (online) dalam http://
enyememphyis.blogspot.co.id/p/peran-keraton-yogyakartadalam.html,
diakses 21 Februari 2018.
Eprints.ung.ac.id. 2017. BAB II Landasan Teori: Pengertian Masyarakat (online)
dalam http://eprints.ung.ac.id/1307/5/2012-2-87201-231407038bab2220120
13020654.pdf, diakses 18 September 2017.
Lengkong Sanggar. 2017. Jejak Kolonial, Kepingan Peninggalan Kolonial di Kota
Yogyakarta (online) dalam http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2017/02/
Kepingan-peninggalan -kolonial-di-kota.html diakses 22 September 2017.
Wikipedia. 2017. Pura Paku Alaman (online) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/
Pura_Paku_Alaman, diakses 20 September 2017.
Wikpedia. 2017. Perjanjian Giyanti (online) dalam (https://id.wikipedia.org/wiki/
PerjanjianGiyanti, diakses 20 September 2017.
Wikipedia. 2017. Ekstensifikasi Pertanian (online) dalam https://id.wikipedia.
org/wiki/ Ekstensifikasi pertanian, diakses 22 November 2017.
Wikipedia. 2018. Nyai (online) dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Nyai, diakses
22 Februari 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
SILABUS
Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Wajib
Kelas/semester : XI/I
Alokasi waktu : 2 JP pelajaran/minggu
Kompetensi
Dasar
Materi
Pembelajaran
Kegiatan
Pembelajaran Indikator Penilaian
Alokasi
Waktu
Sumber
Belajar
3.3 Menganalisis
dampak politik,
budaya, sosial,
ekonomi, dan
pendidikan pada
masa penjajahan
bangsa Eropa
(Portugis,
Spanyol,
Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan
bangsa Indonesia
masa kini
4.3 Menalar dampak
politik, budaya,
sosial, ekonomi,
Dampak
Penjajahan
Bangsa Eropa
(Portugis,
Spanyol,
Belanda, Inggris)
bagi Bangsa
Indonesia
Politik,
Budaya
Sosial-
ekonomi,dan
Pendidikan
Membaca buku teks,
melihat gambar-
gambar kehidupan
politik,budaya, sosial,
ekonomi dan
pendidikan pada
zaman penjajahan
Eropa di Indonesia
Membuat dan
mengajukan
pertanyaan/tanya
jawab/berdiskusi
tentang informasi
tambahan yang
belum dipahami/ingin
diketahui sebagai
klarifikasi tentang
dampak politik,
3.3.1. Menjelaskan latar
belakang munculnya
kebudayaan Indis di
Yogyakarta.
3.3.2. Menjelaskan
perkembangan
kebudayaan Indis
di Yogyakarta.
3.3.3.Menjelaskan
pengaruh pengaruh
kebudayaan Indis di
Yogyakarta.
Tes
Tertulis
(Uraian)
2 JP Buku
Djoko
Soekiman.
2014.
Kebudaya
an Indis:
Dari
Zaman
Kompeni
sampai
Revolusi.
Depok:
Komunita
s Bambu.
Bambang
Suwondo.
1977.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dan pendidikan
pada masa
penjajahan
bangsa Eropa
(Portugis,
Spanyol,
Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan
bangsa
Indonesia masa
kini dan
menyajikannya
dalam bentuk
cerita sejarah
budaya, sosial,
ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa
Eropa (Portugis,
Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan bangsa
Indonesia masa kini.
Mengumpulkan
informasi terkait
dengan pertanyaan
tentang dampak
politik, budaya, sosial,
ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa
Eropa (Portugis,
Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan bangsa
Indonesia masa kini
melalui bacaan, dan
sumber-sumber lain
Menganalisis
informasi dan data-
data yang didapat
baik dari bacaan
Sejarah
Kebangkit
an
Nasional
Daerah
Istimewa
Yogyakart
a.
Yogyakart
a:
Departem
en
Pendidika
n dan
Kebudaya
an Pusat
Penelitian
Sejarah
dan
Budaya
Proyek
Penelitian
dan
Pencatata
n
Kebudaya
an
Daerah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
maupun dari sumber-
sumber terkait untuk
mendapatkan
kesimpulan tentang
dampak politik,
budaya, sosial,
ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa
Eropa (Portugis,
Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan bangsa
Indonesia masa kini
Melaporkan dalam
bentuk cerita sejarah
tentang dampak
politik, budaya, sosial,
ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa
Eropa (Portugis,
Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam
kehidupan bangsa
Indonesia masa kini
Dewi
Ratna
Nurhajari
ni, dkk.
2012.
Yogyakart
a dari
Hutan
Beringan
ke Ibukota
Daerah
Istimewa.
Yogyakart
a: Balai
Pelestaria
n Sejarah
dan Nilai
Tradision
al
Yogyakart
a.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : SMA NEGERI 4 YOGYAKARTA
Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Wajib
Kelas/semester : XI/I
Materi Pokok : Dampak Penjajahan Bangsa Eropa (Portugis, Spanyol,
Belanda, Inggris) bagi Bangsa Indonesia.
Alokasi Waktu : 2 JP (1 x Pertemuan)
A. KOMPETENSI INTI
Kompetensi Spritual yaitu: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama
yang dianutnya”. Sedangkan kompetensi sosial yaitu “Menunjukkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan proaktif, sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia”. Kompetensi spiritual dan sosial ditempuh melalui
pembelajaran tidak langsung.
KI 3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan, faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di
sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai
kaidah keilmuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui model pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw siswa dapat
menganalisis dampak politik, budaya, sosial, ekonomi, dan pendidikan pada
masa penjajahan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) dalam
kehidupan bangsa Indonesia masa kini serta menalar dampak politik, budaya,
sosial, ekonomi, dan pendidikan pada masa penjajahan bangsa Eropa dan
menyajikannya dalam bentuk cerita sejarah selain itu, dengan menggunakan
pembelajaran aktif dan bermakna siswa dapat memiliki sikap kerja sama.
Kompetensi Dasar Indikator
3.3. Menganalisis dampak politik,
budaya, sosial, ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa Eropa
(Portugis, Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam kehidupan
bangsa Indonesia masa kini.
3.3.1. Menjelaskan latar belakang munculnya
kebudayaan Indis di Yogyakarta.
3.3.2. Menjelaskan perkembangan kebudayaan
Indis di Yogyakarta.
3.3.3. Menjelaskan pengaruh pengaruh
kebudayaan Indis di Yogyakarta.
4.3. Menalar dampak politik,
budaya, sosial, ekonomi, dan
pendidikan pada masa
penjajahan bangsa Eropa
(Portugis, Spanyol, Belanda,
Inggris) dalam kehidupan
bangsa Indonesia masa kini
dan menyajikannya dalam
bentuk cerita sejarah.
4.3.1. Menalar dampak perkembangan
kebudayaa Indis dan pengaruhnya
terhadap kehidupan sosial masyarakat
tradisional di Yogyakarta abad ke-19 di
Yogyakarta abad ke-19 dalam bentuk
cerita sejarah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
D. MATERI AJAR
1. Latar belakang masuknya kabudayaan Indis di Yogyakarta.
2. Perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta.
3. Pengaruh kebudayaan Indis di Yogyakarta.
E. MODEL PEMBELAJARAN
1. Pendekatan pembelajaran : Scientific Learning
2. Model Pembelajaran : Cooperative Learning Tipe Jigsaw
3. Metode pembelajaran : Membaca, tanya jawab, diskusi, dan
penugasan.
F. SUMBER PEMBELAJARAN
Bambang Suwondo. 1977. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah.
Dewi Ratna Nurhajarini, dkk. 2012. Yogyakarta dari Hutan Beringan ke
Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta.
Djoko Soekiman. 2014. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
G. MEDIAPEM BELAJARAN
1. Alat
LCD, laptop, dan internet
2. Bahan
Power point, gambar, dan video.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
H. KEGIATAN INTI
Kegiatan Deskripsi Alokasi
Waktu
Pendahuluan Orientasi
Guru melakukan pembukaan dengan salam
pembuka dan berdoa untuk memulai
pembelajaran
Guru memeriksa kehadiran peserta didik
sebagai sikap disiplin.
Apersepsi
Guru menyuruh siswanya cerita pengalaman
dengan materi/tema/kegiatan sebelumnya,
materi di kelas sebelumnya pada kelas XI.
Motivasi
Guru memberikan gambaran tentang manfaat
mempelajari pelajaran yang akan dipelajari.
Guru memberikan motivasi kepada siswa agar
mampu bersikap positif (percaya diri)
terhadap kelompoknya dan menerima
kelompok luar/lain.
Pemberian Acuan
Menjelaskan mekanisme pelaksanaan
pengalaman belajar sesuai dengan langkah-
langkah pembelajaran Cooperative Learning
tipe jigsaw.
15 menit
Kegiatan Inti Mengamati
Guru menayangkan power point mengenai
materi yang akan disampaikan.
Peserta didik membaca buku mengenai materi
“kebudayaan Indis di Yogyakarta”
60 menit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Menanya
Dengan membaca buku text, peserta didik
diarahkan membuat pertanyaan yang
berkaitan dengan materi kebudayaan Indis di
Yogyakarta.
Guru secara singkat merespon setiap
pertanyaan yang muncul dari peserta didik
dan menegaskan kembali pentingnya topik
ini.
Mengumpulkan Informasi
Meminta siswa untuk berkelompok sesuai
dengan kelompok yang telah ditentukan oleh
guru (kelompok asal).
Membagi tugas kepada setiap siswa dalam
kelompok (Kelompok JIGSAW)
Meminta setiap siswa mempelajari materi
yang menjadi tanggungjawabnya.
Setiap siswa mendapat tugas mempelajari
materi yang sama untuk berkelompok dalam
satu kelompok untuk mendiskusikan materi
mereka (kelompok ahli)
Setiap siswa kembali dalam kelompok asal
untuk menjelaskan kepada setiap angota
kelompoknya.
Menalar/Mengasosiasi
Setiap anggota kelompok mencoba
menhubungkan dengan mengasosiasikan
tentang materi yang dibahas.
Mengkomunikasikan
Meminta untuk mempresentasikan hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
diskusinya (dipilih secara acak).
Peserta didik yang lain menyimak dan
mencatat informasi dari peserta didik yang
presentasi di depan kelas serta mengajukan
pertanyaan.
guru sebagai fasilitator meluruskan pendapat
siswa yang kurang tepat.
Guru memberikan hadiah sebagai bentuk
penhargaan terhadap kelompok yang paling
baik saat melakukan presentasi.
Kegiatan
Penutup
Guru meminta siswa merangkum materi yang
telah dipelajari sebagai pekerjaan rumah yang
bersifat individual.
Memberi pekerjaan rumah
Menutup dengan doa dan salam.
15 menit
e
n
i
t
I. PENILAIAN
1. Sikap: lembar observasi
2. Pengetahuan: tes
3. Keterampilan: makalah
Instrumen terlampir
Mengetahui
Yogyakarta, 26 Februari 2018
Dibuat Oleh
Guru Mata Pelajaran Sejarah
Rot Bol Bastian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
LAMPIRAN
1. (Lampiran I) Lembar observasi penilaian sikap (afektif)
No
Nama
Aspek Cooperative Tipe Jigsaw
yang Diamati
Jumlah
Skor
Nilai M
engk
om
un
ikasi
kan
pen
dap
at
Men
den
gark
an
pen
dap
at
tem
an
Mam
pu
ber
dis
ku
si
den
gan
baik
Mem
ber
ikan
arg
um
en
saat
dis
ku
si
Men
gh
arg
ai
pen
dap
at
tem
an
1
2
3
4
5
6
Keterangan Skor:
Masing-masing kolom diisi dengan skor:
4 = Baik Sekali
3 = Baik
2 = Cukup
1 = Kurang
Kriteria Nilai
A = 85 – 100 : Baik Sekali
B = 70 – 84 : Baik
C = 60 – 69 : Cukup
D = < 60 : Kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
2. (Lampiran II) Penilaian Aspek Pengetahuan (Kognitif)
a. Pedoman Penilaian Soal Uraian
No Soal Skor
1. Apa latar belakang munculnya kebudayan Indis di Yogyakarta? 30
2. Bagaimana perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta? 40
3. Apa pengaruh kebudayaan Indis terhadap masyarakat tradisional
Yogyakarta? 30
Jumlah 100
Kriteria Nilai
A = 85 – 100 : Baik Sekali
B = 70 – 84 : Baik
C = 60 – 69 : Cukup
D = < 60 : Kurang
b. Soal uraian dan kunci jawaban
1) Apa latar belakang munculnya kebudayan Indis di Yogyakarta?
Latar belakang munculnya kebudayaan Indis di Yogyakarta bermula dari
hadirnya Belanda di Yogyakarta membawa penjajahan. Kedatangan
Belanda di Yogyakarta membawa pengaruh terhadap gaya hidup, bentuk
bangunan, rumah tradisional, serta pungsi ruangannya. Kehadiran bangsa
Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua
kebudayaan, yaitu kebudayaan Barat dan Timur. Kebudayaan Barat
(Belanda) dan kebudayan Timur (Jawa), masing-masing didukung oleh
etnis berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula kemudian
semakin bercampur. Akibat percampuran kebudayaan tersebut,
kebudayaan Jawa, diperkaya dengan kebudayan Barat. Hal tersebut
memunculkan kebudayaan baru yang dinamakan dengan kebudayaan
Indis. Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat
penghuni kepulauan di Indonesia, khususnya keluarga keturunan Eropa
(Belanda) dan pribumi. Semula tujuan mereka untuk berdagang. Namun,
demi mengamankan sektor ekonomi dan perdagangannya, tujuan mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
berubah menjadi penguasa yang berdaulat. Mula-mula mereka berkuasa
di daerah pesisir Utara Jawa hingga akhirnya meluas ke seluruh Pulau
Jawa dan Nusantara.
2) Bagaimana perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta?
Perkembangan kebudayaan Indis di Yogyakarta dimulai dari perubahan
budaya yang ditunjukan oleh kehidupan sehari-hari masyarakat belanda di
Yogyakarta. Perubahan budaya tersebut pertama kali merambah pada
masyarakat keraton. Saluran perkembangan kebudayaan Indis dimulai dari
bidang pendidikan dan teknologi pertanian, dari situlah perkembangan
kebudayaan Indis mengalami puncaknya pada abad ke-19.
3) Apa pengaruh kebudayaan Indis terhadap masyarakat tradisional
Yogyakarta?
Pengaruh kebudayaan Indis di Yogyakarta menyebabkan perubahan
terhadap tujuh unsur kebudayaan yang dimiliki suku Jawa. Pada bidang
bahasa muncul bahasa Peijoek. Bidang peralatan dan perlengkapan hidup
tampak pada bangunan tempat tinggal adalah bangunan campuran gaya
Eropa dan gaya Jawa. Pada unsur kebudayaan mata pencarian hidup
tampak dari prajurit lokal yang dijadikan serdadu kolonial, pejabat
administrasi, dan pejabat administrasi pemerintah lainnya, meskipun
secara tegas dipisahkan dari pejabat-pejabat kolonial. Pada sistem
kemasyarakatan dapat dilihat dari pola hidup kaum priyayi Jawa lebih
merujuk pada kelompok atau kelas sosial. Pada bidang kesenian muncul
musik tanjidor. Bidang ilmu pengetahuan dan gaya hidup lebih pada
perilaku seseorang yaitu bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Bidang
religi masyarakat Indis dimulai dengan adanya proses enkulturasi ditandai
dengan adanya koeksistensi dan pluriformitas.
c. Penugasan (Makalah)
Buatlah makalah tentang masuk dan berkembangnya kebudayaan Indis di
Indonesia! (tugas individu).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
3. (Lampiran III) Rubrik Makalah (Keterampilan)
NO Nama
Ju
du
l
1-4
Daft
ar
Pu
stak
a
1-4
Rel
evan
si
1-4
Ket
epata
n
1-4
Keb
ah
asa
an
1-4
Jumlah
Skor
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan Skor:
Masing-masing kolom diisi dengan skor:
4 = Baik Sekali
3 = Baik
2 = Cukup
1 = Kurang
Kriteria Nilai
A = 85 – 100 : Baik Sekali
B = 70 – 84 : Baik
C = 60 – 69 : Cukup
D = < 60 : Kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
RINGKASAN MATERI
A. Munculnya Kebudayaan Indis di Yogyakarta
Kata Indis berasal dari bahasa Belanda, Nederlandsch Indie atau Hindia
Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara
geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie.
Istilah ini dipakai untuk membedakannya dengan kebudayaan lain, yang disebut
Nedherlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao.
Karena, kedua wilayah tersebut berbeda. Oleh karena itu, namanya sedikit
dibedakan. Penggunaan istilah Indis ini mulai muncul pada masa pemerintahan
Hindia Belanda di Indonesia oleh pendukungnya, khususnya di Jawa.
Kata Indis juga belum begitu akrab dalam benak kita, hanya orang tertentu
yang kenal dengan istilah Indis. Pada zaman kolonial Belanda nama Indis dipakai
untuk beberapa realitas masa lalu seperti Indische Partij, Indische Vereeniging,
Indische Katholike Partij atau Indische Sosial-Demokratische Vereeniging. Kata
Indis juga dikenal setelah digunakan secara tegas oleh Djoko Soekiman yang
menulis buku berjudul “Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai
Revolusi”.
Kehadiran orang Belanda sebagai penguasa di pulau Jawa, tentu saja
membawa banyak perubahan dalam masyarakat salah satunya budaya. Pada abad
ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi
kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya mereka
mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang dagangan yang berupa
rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta.
Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudian menjadi penguasa di
pulau Jawa, ikut berpengaruh pada gaya hidup, bentuk bangunan, rumah
tradisional, serta fungsi ruangannya. Alat perlengkapan rumah tangga tradisional
Jawa yang biasa digunakan masyarakat setempat juga mengalami perubahan.
Dengan demikian kebudayaan Barat (Belanda) dalam hal gaya hidup
berumahtangga sehari-hari, serta ketujuh unsur universal kebudayaan -bahasa,
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencarian hidup dan sistem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi- ikut
terpengaruh pula.
Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat penghuni
kepulauan Indonesia, khususnya keluarga keturunan Eropa (Belanda) dan Jawa.
Gaya hidup Indis juga berpengaruh pada keluarga Jawa dalam sektor pendidikan
serta pergaulan sehari-hari dalam pekerjaan dan perdagangan. Selain itu, aspek
penting lainnya dalam kebudayaan Indis adalah gaya hidup dan bangunan rumah
tinggal karena rumah tempat tinggal merupakan area kegiatan keluarga sehari-
hari.
Kehadiran orang Belanda di Indonesia sebagai penguasa di Pulau Jawa
menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat dan Timur. Kebudayaan
Barat (Belanda) dan kebudayaan Timur (Jawa), masing-masing didukung oleh
etnis berbeda pula kemudian semakin bercampur. Akibat percampuran
kebudayaan tersebut, kebudayaan lokal (Jawa) diperkaya dengan kebudayaan
Barat. Lambat laun pengaruh tersebut makin besar dan mempengaruhi berbagai
bidang dan unsur kebudayaan dalam masyarakat. Demikian besarnya pengaruh
kebudayaan Eropa tersebut terhadap kebudayaan Jawa, ketujuh unsur universal
kebudayaan utama yang dimiliki suku Jawa terpengaruhi olehnya.
Peradaban kolonial telah mendominasi kebudayaan Indonesia dan lambat
laun terjadi pembaharuan. Akan tetapi sebelum terjadi percampuran budaya ini,
peradaban Indonesia memang sudah tinggi. Masyarakat suku Jawa cukup aktif
dalam proses percampuran budaya ini sehingga budaya Jawa tidak lenyap. Peran
kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam memberi warna kebudayaan
Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu mula-mula dibawa oleh para
pedagang dan pejabat VOC yang kemudian diikuti oleh rohaniwan Protestan dan
Katolik. Peran para cendekiawan dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat
besar dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi, khususnya
setelah Politik Liberal dijalankan oleh pemerintah kolonial. Tahap berikutnya,
kaum terpelajar Indonesia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di
Belanda untuk mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka juga
sangat berperan dalam mengembangkan kebudayaan Indis di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
B. Perkembangan Kebudayaan Indis di Yogyakarta
1. Sistem Pendidikan
Pada abad ke-19 pendidikan dan pengajaran di Indonesia (pada waktu
Hindia Belanda) masih sangat kurang. Hal ini selaras dengan politik pemerintah
pada waktu itu yang mengkehendaki rakyat Indonesia sebagai rakyat yang
terjajah, tetap bodoh dan terbelakang. Sebab apabila rakyat Indonesia diberikan
pendidikan dan pengajaran yang baik, maka dikhawatirkan akan dapat mendesak
dan menhancurkan pemerintah kolonial Belanda. Adanya perasaan dan pikiran
yang demikian itu benar-benar tertanam dalam kalbu pejabat-pejabat pemerintah
kolonial dan sangat menghantui jalan pikiranya. Karena itulah rakyat Indonesia
tetap dibiarkan bodoh dan melarat
Dengan adanya perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda pada
pertengahan abad ke-19, yaitu dengan kemenangan yang dicapai oleh golongan
Liberal, maka terjadilah perubahan terhadap politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Khususnya dalam bidang Pendidikan, mulai pula diadakan, walaupun
masih dalam tingkat yang minimal. Dapat diakatakan bahwa baru pada pada tahun
1850 pemerintah Hindia Belanda mulai mencantumkan anggaran belanjanya
sebagian kecil untuk kepentingan pendidikan anak-anak Indonesia. Sekolah
modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta. Didirikan oleh anggota tentara
Belanda pada tahun 1832. Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian
pemerintah baru pada zaman Mullemaister menjabat residen (1882-1891). Pada
tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah partikelir di daerah Paku Alam. Para guru
terdiri dari kweekeling, yang berasal dari Opleidingscool voor Inlandsche
Onderwijzers di Probolinggo.
Pada tahun 1890, di sebuah pendopo dalam kesultanan yang bernama
Srimanganti, sultan mendirikan sekolah dan menyatakan setiap pejabat keraton
yang akan mengantikan ayahnya haruslah mempunyai sertifikat dari sekolah itu.
Pada bulan Agustus 1890, di sekolah itu tercatat lebih dari 100 orang murid.
Sekolah yang semula diperuntukkan bagi anak para bangsawan kemudian terbuka
bagi anak abdi dalem dan disebut Eerste Klasse Schoool met de Basa Kedaton.
Setahun kemudian sekolah itu mendapat bantuan guru dari pemerintah. Pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
tahun 1891, jumlah murid di Yogykarta telah menunjukan kecenderungan menaik
dengan pesat. Ketika itu diusulkan oleh Direktur Pengajaran dan Ibadat untuk
menambah gedung, khususnya untuk wanita, dan untuk Yogyakarta sendiri,
sebuah sekolah kedua bagi orang Eropa atau yang dipersembahkan. Hal yang
sama juga diusulkan untuk Pekalongan.
Menurut kenyataan, menunjukkan bahwa dalam tahun 1900 anggaran yang
dikeluarkan untuk pendidikan dan pengajaran kepada rakyat Indonesia baru 1,1%.
Jelas bahwa walaupun sudah kurang lebih 50 tahun lamanya sejak pendidikan
pertama kali diberikan untuk itu masih sangat minim. Dengan diitroduksinya
“Politik Etika” oleh Van Deventer, di mana dalam salah satu triloginya terdapat
unsur educatie, maka masalah pendidikan bagi rakyat makin mendapat perhatian.
Semakin kompleksnya sistem pemerintah kolonial dan juga makin pesatnya
pertumbuhan perusahaan asing di Indonesia (Hindia Belanda), maka kebutuhan
akan tenaga pegawai yang sedikit terdidik makin dirasakan. Hal itulah yang
sedikit banyak ikut mendorong didirikannya sekolahan.
Pada mulanya pemerintah kolonial mengadakan pendidikan dengan taraf
pendidikan rendah, tetapi kemudian ternyata memerlukan pula tenaga pendidik
dalam taraf menegah dan akhirnya pendidikan tinggi. Semua tingkat pendidikan
ini diadakan semata untuk memenuhi keperluan pemerintah kolonial sendiri.
Kecuali itu menurut apa yang dikatakan oleh Van Der Prijs, juga untuk
membentengi Belanda dari Volkano Islam. Pada waktu itu sekolah yang mula-
mula diperkenalkan adalah sekolah kelas dua, yang akan mendidik calon-calon
pegawai rendah dan sekolah kelas satu, yang diperuntukkan dari anak-anak
golongan masyarakat atasan. Disamping itu ada pula sekolah rendah yang khusus
disediakan bagi anak Eropa. Adapun mata pelajaran yang diberikan di sekolah itu
hanyalah sekedar supaya dapat membaca, menulis, dan sedikit pengetahuan
berhitung. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan
masyarakat Jawa khususnya dan keadaan rakyat Indonesia umumnya terutama
dalam lapangan pendidikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Mahlenfeld dan termuat dalam harian de
Locomotief mengatakan bahwa di pulau Jawa dari 1000 orang, rata-rata hanya 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
orang yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan turut dihitung,
jumlahnya jadi 16. Di daerah Madiun dari 1000 orang hanya 24 yang tidak buta
huruf, di Jakarta hanya 9 orang, di daerah Madura 6 orang, di daerah Tangerang 1
orang, di daerah Jatinegara 1 orang, di daerah Kerawang juga 1 orang”.
Dari catatan di atas sungguh sangat menyedihkan. Keadaan yang demikian
itu menunjukan betapa kejamnya politik kolonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Untuk daerah Yogyakarta pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu berbeda dengan daerah-daerah lainnya.
Mengingat bahwa Yogyakarta merupakan pusat keraton maka keadaan
pertumbuhan dan perkembangan pendidikannya jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya. Pendidikan dalam bentuk sederhana, diberikan
orang tua pada anak-anaknya. Cara pendidikan itu kemudian mangalami bentuk
perkembangannya, misalnya dengan adanya tukar pikiran di antara sesama
mereka, juga dengan datangnya pengaruh baru yang berasal dari luar.
Gairah guru meluas sehubungan dengan makin terbukanya pasaran tenaga
kerja untuk mengisi susunan jabatan-jabatan yang diperlukan dalam masyarakat
kolonial. Perluasan pengajaran dan hambatan-hambatan dalam mobilitas vertikal
masyarakat tumbuh bersama dengan perluasan gagasan-gagasan Barat tentang
kebebasan, hak mengatur diri sendiri, demokrasi, dan kemajuan yang mulai
melekat dalam pribadi golongan elit kota. Dalam kurun waktu yang dibicarakan
terlihat juga betapa penyelengaraan pengajaran dipengaruhi oleh, atau setidak-
tidaknya dengan mempertimbangkan, unsur-unsur tradisional yang unik maupun
oleh perkembangan umum dalam skala dunia.
2. Sistem Teknologi Pertanian
Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat Jawa sudah mengenal teknologi
dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu,
logam, dan tanah liat. Hal tersebut tampak dari arsitektur rumah mereka yang
berelemen kayu, bangunan candi yang berelemen batu alam atau bata, alat-alat
rumah tangga dari gerabah, logam, dan kayu, serta alat upacara yang terbuat dari
kayu, batu, logam, perunggu, perak, dan emas. Bakat-bakat teknologi ini
kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa/Belanda. Setelah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
terjadi akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti
pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi yang bergaya Indis.
Pada abad ke-19 terjadi introduksi beberapa sistem teknologi besar yang
berdampak signifikan terhadap perkembangan sosial masyarakat Hindia Belanda,
terutama di pulau Jawa. Penduduk asli di Nusantara diperkirakan telah hidup
bercocok tanam padi serta telah lama mengenal suatu sistem irigrasi sederhana
guna mengairi sawahnya. Kultur padi diperkirakan telah ada bersamaan dengan
perpindahan bangsa Austronesia dari Taiwan ke kepulauan Nusantara. Kultur
tersebut tentunya berawal dari penanaman padi di daerah-daerah yang mudah
digenangi air terutama dimusim hujan yaitu di daerah-daerah yang rendah dan di
rawa-rawa. Cara bertani tersebut rupanya telah dapat mencukupi kebutuhan
pangan penduduk selama berabad-abad, serta dapat mendukung pertumbuhan
jumlah penduduk yang terjadi relatif cukup pesat.
Namun ketika produksi padi tidak lagi mencukupi kebutuhan pangan, maka
konsekuensi logis untuk menutupi kekurangan tersebut adalah dengan melakukan
ekstensifikasi daerah persawahan. Ekstensifikasi adalah perluasan areal pertanian
ke wilayah yang sebelumnya belum dimanfaatkan manusia. Sasarannya adalah ke
lahan hutan, padang rumput stepa, lahan gambut, atau bentuk-bentuk lain lahan
marginal (terpinggirkan). Perluasan areal pertanian diperlukan apabila lahan
pertanian yang tersedia dianggap tidak mampu lagi mendukung penyediaan
produksi yang diharapkan (misalnya untuk menyediakan bahan pangan bagi
penduduk suatu wilayah/negara). Resiko yang harus diambil adalah terganggunya
ekosistem asli yang alami dan potensi terdesaknya budaya penduduk asli karena
kalah bersaing dengan pendatang. Untuk itu daerah-daerah ladang yang terletak
lebih tinggi, yang juga relatif lebih kering pun dijadikan sawah dengan cara
mengairinya dengan mengalirkan air ke sungai-sungai yang ada di sekitarnya.
Saat memasuki abad ke-19 sebenarnya telah berlaku paradigma yang
berbeda dari yang berlaku pada saat beroperasinya VOC selama 200 tahun
sebelumnya. Pada saat itu jalan ke kepulauan rempah-rempah serta segala
kegiatan perdagangan seakan-akan merupakan barang yang sangat dirahasiakan.
Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan sensor atas berita surat ataupun pos yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
dilaksanakan oleh VOC hingga pada awal kekuasaan pemerintah kolonial. Pada
kedua abad ke-19 di Hindia Belanda juga diterapkan beberapa teknologi baru,
mengikuti perkembangan di Eropa, ysng kemudian mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan sosial masyarakat Jawa. Pada tahun 1869 Terusan Suez
secara resmi di buka. Perjalanan kapal laut dari Batavia ke Negeri Belanda yang
semula memerlukan tiga bulan mengelilingi benua Afrika menjadi hanya lima
minggu lewat Terusan Suez. Terusan tersebut seakan mungkin mendekatkan
Hindia Belanda dengan Eropa atau Negeri Belanda. Hindia Belanda pun mulai
hanyut dalam sistem perhubungan.
Sistem teknologi pengairan sawah masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta.
Dari sudut pandang sejarah, pusat kebudayaan Jawa terdapat di Mataram sebelum
pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1755. Daerah tersebut
dinamakan daerah Negara Gung yang kemudian secara lingkaran luar adalah
daerah Manca Negara, Bagelen, pesisir utara bagian barat, pesisir utara bagian
tengah, pesisir utara bagian timur, Jawa Timur, Blambagan, Tengger, Semin, dan
Banyumas. Perbedaan dari masing-masing daerah kebudayaan ini pada
hakikatnya terletak pada perbedaan dialek bahasa. Secara umum orang Jawa
membagi bahasa dalam bahasa kromo dan ngako, kromo terbagi dalam kromo
inggil dan kromo madya. Sementara bahasa ngako adalah bahasa dari daerah-
daerah kebudayaan yang ada dan sangat berbeda-beda, bahkan acapkali tidak
saling mengerti satu sama lain. Pertanian sebagai mata pencarian utama dimiliki
orang-orang dari daerah Nagara Gung, dan sistem pertanian yang dipakai telah
berusia berabad-abad.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI