perlindungan hukum terhadap profesi...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER
TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SAFROWI NIM: 106045101516
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI
KEDOKTERAN TERKAITT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi
Jinayah Siyasah.
Jakarta, 2 September 2010
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (……………......) NIP. 197210101997032088
Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (……………......) NIP. 197102151997032002
Pembimbing : Prof. Dr. H.M. Abduh Malik (……………......) NIP. 150094391
Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (……………......) NIP. 195505051982031012
Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (……………......) NIP. 197102151997032002
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER
TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
(Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFROWI 106045101516
Dibawah Bimbingan
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik NIP. 150094391
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta,
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 1 September 2010
Safrowi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan
dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang
tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. HM. Abduh Malik, selaku Dosen Pembimbing skripsi.
5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan pengalaman karir kepada penulis.
i
6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan
Skripsi ini.
7. Orang tua: Abah kayan dan Umy Maleha yang sampai detik ini selalu
memberikan pelajaran hidup yang paling berharga bagi penulis yang tidak bisa
diungkapkan lewat kata-kata.
8. Kakak (Iyu) Rokayah, Hozaimah, Muhdalifah; Adik Novi & Ma’ruf…terima
kasih atas dukungan moril, terlebih materiil yang tak terhingga kepada penulis.
Mamas Witono & Sutikno, terutama untuk terkasih, motivator, dan inspirasiku:
Zaidan Fathur Rahman, Zihan Azkiyah, dan Najwa Kholisatussholiha, ini semua
kupersembahkan untuk kalian.
9. Sahabat berbagi dikala suka dan duka, diwaktu siang maupun malam Annisa
Luthfiah yang tak lekang oleh waktu (walau kau bukan milikku lagi)
10. Sahabat PMII, Komisariat PMII, DPP PPM, BEM FSH, BEMJ FSH besrta
jajarannya, KKN ‘Online’ 2009, teman angkatan 2006, 2007, 2008, 2009 FSH;
Muamalat, SAS, SJS, PMH, dan Ilmu Hukum, untuk Milki Barokah dan Abdul
Khoir, yang telah memberikan sedikit petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini,
makasih!
11. Terima kasih untuk keluarga besar PI ‘Power’ Annisa Tri Hapsari, Mahpudin,
dan Faris SA, yang sudah menyelesaikan studinya, untuk Wismoyo, Rangga, Isa,
ii
Fitroh, Chandra, Nuruzzaman, Wahyuni, Bunga, Attin, Muchsin, Fandi, Amir,
Eril, Husein, Buldan, Haris Sumirat, Aris, Kholid, Agus, Yuswandi, Ibro,
Rahman, Guruh, Rifqi, Rahmatul Hidayat, kebersamaan kita selama ini
memberikan banyak pelajaran berharga. Tetap semangat dalam menggapai cita-
cita kalian. Maaf! saya pamit duluan.
12. Untuk semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan semuanya yang selama ini
membantu mulai dari awal penulis mengemban pendidikan sampai sekarang yang
telah banyak memberikan pelajaran berharga dalam hidup ini, pengalaman serta
kasih sayang semua yang tak terhingga. Teima kasih!
Akhir kata, penulis sangat menyadari, apa yang penulis telah capai masih jauh
dari sempurna, karena tanggapan, saran, dan kritik membangun sangat diharapkan.
Tidak lupa untuk Bangsa dan Negara tercinta. AMIN!
Jakarta, 2 September 2010
Safrowi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11
D. Tinjauan Pustaka......................................................................... 11
E. Metode Penelitian ....................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 14
BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN
A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15
B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan .... 18
C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32
BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK
KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
A. Tinjauan Tentang Malpraktek..................................................... 46
B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 55
C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 61
iv
v
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI
KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK
MEDIK
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Positif .............................................................................. 66
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Islam................................................................................ 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 89
B. Saran ........................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 92
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11
E. Metode Penelitian ....................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN
A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15
B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan
1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit ........................... 18
2. Tanggungjawab Dokter......................................................... 22
a. Tanggungjawab Etik Profesi ........................................... 23
b. Tanggungjawab Hukum ................................................. 24
C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32
BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK
KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
A. Tinjauan Tentang Malpraktek..................................................... 44
1. Pengertian.............................................................................. 44
iv
v
2. Bentuk Malpraktek................................................................ 47
3. Tindakan medis yang bersifat Malpraktek............................ 49
4. Pertanggung Jawaban hukum yang bersifat Malpraktek ...... 51
B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 52
C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 58
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI
KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK
MEDIK
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Positif ................................................................ ............. 63
1. Konsep Perlindungan Hukum .............................................. 63
2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik 68
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Islam .................................................................. ............. 74
1. Pelanggaran Disipilin Etika Kedokteran .............................. 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 86
B. Saran............................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 89
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar
mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik dapat
tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas mengunjungi
dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang penderitaan
tentang jasmani, maupun rohani agar mendapatkan pengobatan yang sesuai.1
Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari
kelalaian dan kealpaan2. Perasaan takut atau khawatir itu yang dapat menjadi
salah satu sebab penting, bahwa dalam masyarakat terdapat banyak orang sakit
yaitu karena mereka segan berobat.3 Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan
tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktek medis.4 Sementara
dalam masyarakat terdapat pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja
menarik dokter untuk berperkara.5
1Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana
Dokter, (Jakarta; Erlangga, 1991), h. 223. 2M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009) 3Ibid., h, 224 4Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009). 5Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter
(Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006), h. 5
1
2
Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik
mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus
sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai subyek hukum
mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan jika
perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka dokter
tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.6
Malpraktek dalam prakteknya terkadang dikaburkan dengan apa yang
disebut dengan resiko medik. Sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah
bekerja dengan sangat profesional yaitu telah sesuai dengan standar profesi
medik, standar pelayanan medis, serta Standar Operating Procedure (SOP) masih
dituntut dengan tuduhan telah melakukan malpraktek.
Praktek kedokteran sebagai salah satu aktifitas yang melibatkan manusia,
kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter. Mudah dimengerti
karena dokter yang melakukan praktek kedokteran, bukan saja ia adalah manusia
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang terpenting lagi adalah
karena praktek kedokteran merupakan kegiatan suatu yang komplek. Praktek
kedokteran betapa pun berhati-hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan
kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya berupa kesalahan
atau kelalaian yang dimaksud.7
6Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan
Konsumen, (Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007) 7Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, (Jakarta; Ikatan Dokter Indonesia, 1990), cet. ke- I,
h. 20
3
Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami
aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan
profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.8 Dimana dalam era
globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi
yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya
kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu
menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya
kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan
pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan.9
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan
suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap
pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap
masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan
masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang
dilakukan berhasil dianggap berlebihan, padahal dokter dengan ilmu
peengetahuan dan teknologi yang dimilkinya hanya unuk penyembuhan, dan
8Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta; Widya Medika, 1997), cet. ke-I. h.
VII 9Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam transaksi Terapeutik, h. 5
4
kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan
dalam tindakan.10
Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tidaklah semulus
dengan apa yang dicita-citakan oleh para pengembang profesi kesehatan saat ini.
Ancaman pidana menghantui harapan mulia tersebut, sehingga beberapa
diantaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdian sebagai seorang
dokter.11
Sorotan masyarakat terhadap profesi kedokteran merupakan salah satu
tanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan
pengabdian profesi tersebut. Pada umumnya ketidakpuasan pasien atau
keluarganya terkait masalah sengketa pasien tindakan medik, yaitu dugaan adanya
malpraktik medik seperti:12
1. Perbuatan tercela (actus rheus)
2. Perbuatan dengan sikap batin yang buruk (mens rhea) yang terdiri atas:
a. perbuatan sengaja (intenstional) berupa aborsi tanpa indikasi medik (Pasal
349 KUHP jo Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP), Euthanasia (Pasal 344
KUHP), Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 332 KUHP), Tidak
menolong orang yang membutuhkan (Pasal 332 KUHP), Surat keterangan
10 Ibid, h. 6 11 Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V 12 “Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian,” Harian Sains, edisi; 03 Juni
2009
5
dokter yang tidak benar (Pasal 378 KUHP), Memberi keterangan yang
tidak benar di depan pengadilan.
b. kecerobohan (recklessness) berupa tindakan medik yang tidak sesuai
prosedur (lege artis) dan tanpa informed consent (persetujuan).
3. Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien.
Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian (Pasal 359 KUHP).
Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan
bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa
dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari
perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat
individual.
Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari
makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat
dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran.
Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan
dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam
KUHP.
6
Perlindungan hukum terhadap profesi dokter yang diduga melakukan
tindakan malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran,
MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin
dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak
pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau kepada
pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka
pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan
malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum.13 Di mana yang
tercantum dalam etika kedokteran ini hak untuk membela diri yaitu: dalam hal
menghadapi keluhan pasien yang tidak pernah puas terhadapnya, atau dokter
bermasalah, maka dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam lembaga
dimana ia berkerja (Rumah Sakit) dalam perkumpulan dimana ia menjadi anggota
(IDI, misalnya), atau pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.
13 M. Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999)
7
Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara, dan melindungi
kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum
senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan
IPTEK. Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak
ayat Al-qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (hifd al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi
manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.14
Kajian tentang hukum Islam yang menyangkut isu-isu kedokteran yang
bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi
bagian penting dalam substansi hukum Islam. Muhammad Tahir Azhari
menyatakan bahwa masalah-masalah kontemporer, seperti hukum kedokteran,
lingkungan, dan lain-lain melalui ijtihad dapat substansi hukum Islam,15
Hukum Islam mengkategorikan tindak pidana malpraktek medik ini dalam
jarimah al-khata’ atau tindak pidana karena kesalahan. Jarimah al-khata’ adalah
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud
untuk berbuat maksiat tetapi karena kesalahannya baik dalam kesalahan perbuatan
maupun dalam persangkaan perilaku jarimah tesebut.
Terdapat tiga unsur dalam Jarimah al-khata’:
1. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian;
14Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- III, h. 69 15Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar
Disiplin Ilmu, (Bandung; Penerbit Nuansa, 1998), cet I, h. 136
8
2. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan;
3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan matinya
korban.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dari segi hukum Pidana Islam
ditempuh dengan dua cara;16 (1). Menetapkan Hukuman berdasarkan Nash, dan
(2). Menyerahkan penetapannya kepada penguasa (Ulul Amri). Oleh karena itu
seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak melenyapkan tanpa kehendak
dan aturan Allah sendiri.
Dalam hal ini ajaran Islam memberikan petunjuk bahwa tidak ada yang
sia-sia dari sebuah usaha, bahkan Allah menilai usaha seseorang daripada hasil.
Kewajiban berusaha dengan terus memberikan pengobatan kepada si pasien
mendapatkan legitimasi yang jelas dalam Islam, dimana telah diriwayatkan dalam
sebuah Hadits:
رواه أحمد من إبن (تداوو فإن اهللا لم ينزل داءا إال انزل له شفاء )مسعود
Artinya:
“Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud)
Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat
menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti
mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi
16AW. Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004)h. 6
9
melarang berobat kepada yang bukan ‘ahlinya’, bahkan mengancam ‘siapa yang
mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia
mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien’.17
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan
dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam
KUHP.18 Dimana dalam pembatasan masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana
ketentuan-ketentuan pidana yang diatur menurut KUHP, dan menurut tinjauan
hukum Islam khususnya. Dimana yang dimaksud dengan ketentuan pidana yaitu
hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan pidana
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum, dan UU.
No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran khususnya, serta dalam ketentuan
undang-undang Bidang kesehatan
Adapun perumusannya dalam masalah ini ialah:
1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan Hukum dalam ketentuan hukum
positif dan hukum Islam?
17Hadits tersbut adalah: ضامنمن تطبب ولم يعلم منه طبه قبل ذلك فهو 18Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana ,(Bandung; Pustaka Setia, 2000)
10
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam
upaya pelayanan medis?
3. Apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa medik atau dugaan
malpraktek di lingkungan Rumah Sakit?
Beralih kepada pembatasan dan perumusan masalah diatas, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap dokter yang terkait
dugaan malpraktek medik ini?
2. Bagaimana mekanisme dan tahapan yang akan dilakukan terkait dengan
adanya dugaan malpraktek terhadap profesi kedokteran, yang mengacu pada
Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran?
Berdasarkan dari ketentuan permasalahan diatas, maka penulis membatasi
ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya pada masalah perlindungan hukum
saja terhadap dokter, dan sanksi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan menurut
KUHP, Undang-undang, dan hukum Islam.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk menemukan penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien
di Rumah Sakit
2. Untuk menemukan seberapa jauh pertanggungjawaban dokter terhadap pasien
dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit
11
3. Untuk memahami secara spesifik ketentuan sanksi pidana dalam bidang
medik.
Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi
masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan
keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para
dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.19
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa penelitian yang terdapat di Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum terdapat penelitian tentang Perlindungan
Hukum bagi profesi dokter, akan tetapi ada beberapa penelitian (skripsi) yang
sekiranya senada dengan penelitian ini yaitu tentang “Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek Menurut Hukum Positif
Dan Hukum Islam20” tetapi dari hasil penelitiannya hanya membahas tentang
perlindungan hukum terhadap korban tindak malpraktek saja menurut perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam, dan tanggung jawab dokter yang melakukan
malpraktek medik
Kemudian diantara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam
penelitian ini ialah UU. No. 29 tahun 2004, tentang Praktek Kedokteran. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Buku yang berjudul; “Penyelesaian
19“Malpraktek” Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007. 20Abdul Azis, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2006)
12
Hukum Malpraktek Kedokteran” yang membicarakan tentang sebab musabab
terjadinya kasus malpraktek kedokteran (medikal malpractice), pada lingkungan
profesi kesehatan di Rumah Sakit serta sejauh mana tanggung jawab hukum
Rumah Sakit terhadap dokter yang mengalami kasus tersebut. Disamping dalam
kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjaddi literatur dalam penelitian ini,
yang secara spesifik membicarakan segala macam tindak pidana (jarimah)
klasifikasi, dan sanksi dalam pandangan hukum Islam (fiqh jinayah.)
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Deskriftif Analisis yaitu
menggambarkan dan memaparkan secara sistematis apa yang akan menjadi objek
penelitian.21
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Penelittian Hukum
Normatif Doktriner, yaitu penelitian hukum yang berupa norma-norma, objek
kajiannya adalah bahan-bahan dasar hukum primer yang terdiri dari perundang-
undangan catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan (hukum
normatif) dan putusan hakim.22
Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, yaitu
diperoleh secara langung dari masalah-masalah yang akan diteliti dan data yang
21 Jhonny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
(Bandung; Bayu Media, 2006), Cet. ke-II 22Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 141
13
diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, diamana dalam
masalah ini perundang-undangan merupakan bahan utama yang dijadikan acuan
dalam rangka membatasi masalah yang dihadapi.23
Sedangkan data skunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan yang member penjelasan mengenai sumber data primer, dengan
mempelajari berbagai buku-buku atau jurnal, artikel majalah atau koran yang
dijadikan rujukan dalam penelitian ini, literatur, peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen resmi dan seterusnya.
Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku
pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2008.24
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian karya ini, tidak jauh berbeda dengan
penelitian-penelitian yang lainnya, dimana ada beberapa bab dan sub bab, yaitu
sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
23Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI Press, 1986), cet. ke-3 24Buku Pedoman, Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2008
14
BAB II: Tanggung Jawab, dimana dalam bab ini meliputi: makna Tanggung
Jawab secara Yuridis, diamana dalam hal ini akan dijelaskan
bagaimana tanggungjawab menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Jenis-Jenis Tanggung Jawab dalam lingkungan profesi Rumah Sakit,
yaitu: Tanggung Jawab Rumah Sakit, Dokter, dan Perawat. Kemudian
dalam sub bab ini akan dijelaskan tanggungjawab menurut syariat
Islam.
BAB III: Penyebab Terjadinya Dugaan Malpraktek Kedokteran di Rumah Sakit.
Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian dan tinjauan
tentang malpraktek. Kedua, faktor penyebab terjadinya malpraktek.
Kemudian yang ketiga, pembuktian kesalahan malpraktek.
BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Profesi Kedokteran terkait
Dugaan Malpraktek Medik, Dimana hal ini terkait dengan Hukum
Pidana positif dan Hukum Islam.
BAB V: Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Saran
BAB II
TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN
A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran. Peraturan ini bertujuan agar
dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.1 Pada bagian awal, Undang-Undang No.
29 Tahun 2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik
kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi
kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter yang telah
dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil
Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas
Kesehatan Kota atau Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan
sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.2
Istilah dan pengertian tanggungjawab bukan tumbuh secara tiba-tiba, akan
tetapi muncul dari mata rantai pengalaman krisis dunia akibat peperangan dan
1Penjelasan Undang-undang RI. No. 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran 2Budi Sampurna, S.Pf, “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran”,
Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74
15
16
kesepakatan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab di dunia untuk mengangkat
martabat manusia.3
Pengertian tanggungjawab, memang terkadang seringkali terasa sulit untuk
menerangkannya dengan tepat. Adakalanya tanggungjawab dikaitkan dengan
keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan
kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan, banyaknya bentuk
tanggunjawab ini menyebabkan terasa sulit untuk merumuskannya dalam bentuk
kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti, tetapi kalau kita amati lebih
jauh, pengertian tanggungjawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan,
kesediaan untuk melakukan dan kemampuan untuk melakukan4
Dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia, makna tanggungjawab
merupakan istilah yang menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah:
“Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagianya)”
Kemudian dalam istilah lain disebutkan, tanggungjawab mengandung arti:
keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala suatu akibat perbuatan, yang
mana dari pengertian tanggungjawab tersebut harus memiliki unsur:
1. Kecakapan
2. Beban kewajiban
3. Perbuatan
3Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magisrer Hukum
Kesehatan, 2007 4Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga, , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987). h. 245
17
Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa, unsur kewajiban mengandung
makna yang harus dilakukan, dan tidak boleh tidak dilakukan, jadi sifatnya harus
ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan mengandung segala sesuatu yang
dilakukan, dengan demikian tanggungjawab adalah keadaan cakap menurut
hukum baik orang atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban atas
segala sesuat yang dilakukan.5
Dalam pengertian hukum, tanggungjawab berarti keterikatan. Tiap
manusia, mulai dari saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai
hak dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter,
dalam melakukan suatu tindakan harus bertanggungjawab sebagai subjek hukum
pengemban hak dan kewajiban.6
Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan
masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan
dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Begitu
pula tanggung jawab hukum seorang dokter, dan dapat pula merupakan
tanggungjawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya.7
5 Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 22 6 Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Snaksi Bagi Dokter,(Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2006), cet. Ke-I, h. 2 7Ibid., h. 2-3
18
Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam
menjalankan profesinya merupakan tanggungjawaab yang harus dipenuhi dokter
yang pada dasarnya meliputi 2 (dua) pertanggungjawaban, yaitu:
1. Bidang administrasi, yang mana hal ini terdapat dalam pasal 29, pasal 30 dan
pasal 36 jo. 37, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran.
2. Ketentuan pidana, dimana perumusan pasal-pasal mengenai tanggungjawab
praktek kedokteran tercantum dalam pasal 75 s/d 80, UU. No. 29 Tahun
2004.8
B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan.
1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan suatu organisasi yang sangat unik, karena
berbaur antara padat teknologi, padat karya, dan padat moral, sehingga
pengelolaan Rumah Sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang
mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia
dalam organisasi.9
Difenisi Rumah Sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 983
Tahun 1992, Rumah Sakit adalah:
8Tidak mengikatnya beberapa ketentuan pidana dalam UU. No. 29 tahun 2004, berdasarkan
putusan MK, pada hari selasa 19 Juni 2007 yang dimohonkan oleh Anny Isfandyarie, SH, dkk. 9 Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 24
19
”Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian”.
Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
Dalam keterangan lain, difinisi Rumah Sakit dijelaskan dalam Undang-
undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dalam konsiderannya
dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Dalam keterangan pasal 1, UU. No. 44 Tahun 2009 dalam pasal ini yang
dimaksud dengan Rumah Sakit adalah:
“Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat”.
Rumah Sakit diseenggarakan berdasarkan Pancasila, dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas. Sesuai dengan UU. No. 44/
2009, pasal 2, yang berbunyi:
20
“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial”
Berdasarkan uraian diatas, maka guna meningkatkan pelayanan kesehatan
yang efisien dan efektif diperlukan suatu mutu pelayanan kesehatan, ada beberapa
poin yang terkait dengan penjelasan pasal diatas, diantaranya:10
1. Nilai kemanusiaan yaitu penyelenggaraan manajemen Rumah Sakit dilakukan
dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak
membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.
2. Etika dan Profesionalitas, bahwa propfesionalitas dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki etika profesi, sikap profesional, serta mematuhi etika
Rumah Sakit.
3. Nilai Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka memprtahankan
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4. Nilai keadilan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata, kepada setiap orang dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.
5. Persamaan hak dan Anti Diskriminasi dikatakan bahwa pelayanan Rumah
Sakit membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari
semua lapisan.
10Penjelasan atas Pasal 2, UU. No. 44 Tahun 2009
21
6. Nilai Pemerataan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus
menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
7. Nilai Perlindungan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya
memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan
peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan
keselamatan pasien.
8. Keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit selalu
mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen
risiko klinik.
9. Fungsi Sosial adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap
Rumah Sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari Rumah Sakit dalam
membantu pasien khususnya yang kurang/ tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Manajemen Rumah Sakit harus mengedepankan nilai-nilai yang terdapat
pada penjelasan pasal diatas, bahwasanya, UU. 44/ 2009 Tentang Rumah Sakit,
Bagian Ke-7 mengenai Tanggung Jawab, Pasal 46 menyebutkan bahwa: ’’Rumah
sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit’’.
Dengan demikian sesungguhnya dalam pelayanan kesehatan wajib
menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya dengan tidak
dipengaruhi oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, suku, dan ras (SARA).
22
2. Tanggungjawab Dokter
Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat diakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran
tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan mendapatkan
izin dari instutusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar
profesionaisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi.11
Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan selalu berkaitan dengan
sifat melawan hukum, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggunjawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat
menginsafi makna yang sebenarnya dilakukan olehnya, dapat menginsafi
perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masayarakat dan mampu
menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatannya tersebut.12
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
seorang dokter adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas fungsi sesuai dengan keilmuan melalui pendidikan yang
berjenjang;
2. Sesuai dengan kompetensi yang memenuhi standar tertentu;
3. Mendapat izin dari institusi yang berwenang;
4. Bekerja sesuai dengan standar profesi.
11Nusye, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, h. 31 12Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter
dengan Pasien, (Jakarta: Disdit Media, 2005), h. 41
23
Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat (11) UU. No. 29
Tahun 2004, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah
suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan
kode etik yang besifat melayani masyarakat”.
Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran
sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah
sebagai berikut:
a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi
Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan
oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu:
1) Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya,
masyarakat, dan pemerintah.
2) Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), merupakan etika kedokteran
untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap
tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi
tanggungjawabnya.
24
Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya,
sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan tindakan koreksi
berupa teguran dan bimbingan. Secara maksimal hanyalah memberikan saran
kepada lembaga terkait untuk melakukan tindakan administratif, sebagai tindakan
langkah pencegahan terhadap kemungkinan penanggulangan pelanggaran yang
sama kemudian hari atau pencegahan akan kemungkinan semakin besarnya
intensitas pelanggaran tersebut.
Akan tetapi disinilah letak perbedaan antara etika dan hukum. Sanksi
etika ditetapkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut,
sedangkan sanksi hukum ditetapkan melalui wewenang pemerintah. Hukum lebih
tegas menunjukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, sedangkan
etika lebih mengendalkan itikad baik dan kesadaran moral para pelakunya.
b. Tanggungjawab Hukum
Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu ’keterikatan’ dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya.13 Keterikatan dokter
terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan
tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi
pertanggungjawaban, yaitu:14
13Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, T.Tp.tt, h. 150 14Anny, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Op. Cit, h. 5
25
1) Tanggung Jawab Perdata
Pada mulanya, tanggung jawab seorang dokter apabila melakukan
kesalahan dalam menjalankan profesinya hanya terbatas pada tanggung jawab
yang timbul sebagai akibat adanya hubungan kontrak yang terjadi antara
kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasiennya. Dengan demikian,
tanggung jawab yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum
perdata (misalnya, pertanggung jawaban yang timbul karena wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum).
Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul
apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar
ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien.15
a) Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata)
b) Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata)
c) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366
KUHPerdata)
d) Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367
KUHPerdata).16
Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter
melakukan malpraktek dan pasien mengalami suatu cidera, dapat
menimbulkan tanggung jawab perdata bagi seorang dokter, dengan dasar
15Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bima Aksara, T.Tt), h. 5 16Ibid, h. 42
26
gugatan melakukan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, kelalaian
sehingga mengakibatkan kerugian, dan melalaikan pekerjaan sebagai
penanggung jawab, yang sanksinya lazim berupa ganti kerugian (materi)
kepada pasien (korban).
2) Tanggung Jawab Pidana
Dari dasar hukum pidana maka masalah malpraktek lebih ditekankan
pada masalah consent atau persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasif
khususnya, haruslah didasarkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya
persetujuan pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis tersebut
dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan, terlebih
lagi dalam tindakannya itu juga dilakukan pembiusan.
Sebenarnya secara yuridis-formil seorang dokter melakukan tindakan
invasif, misalnya pembedahan, telah dapat dipersalahkan melakukan tindak
pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP, namun
pasal 351 ini, tidak dapat diberlakukan terhadap dokter yang melakukan
tindakan medis bila dipenuhi syarat:
a) Adanya indikasi medis;
b) Adanya persetujan pasien;
c) Sesuai dengan standar profesi medik.17
Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya
kesalahan profesional biasanya dihubungkan dengan adanya masalah:
17Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1993), cet. Ke-2, h. 94
27
a) Kelalaian (negligence), dan
b) Persetujuan dari pasien yang bersangkutan.18
Berkaitan dengan adanya kesalahan profesional yang berupa kelalaian
(neligence), harus dilihat dengan adanya kelalaian tersebut berakibat
pertanggung jawaban pidana, terutama pertanggung jawaban pidana akibat
dari pelanggaran Informed consent.
Istilah kelalaian dalam hukum pidana identik dengan kealpaan. Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian atau kealpaan dalam konteks
malpraktek, kita harus melihat pada hukum pidana umum.
Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi:
a) Kealpaan ringan (culpa levissma), dan
b) Kealpaan berat (culpa lata).
KUHP tidak menyebutkan apa arti dari kelalaian, tetapi memperoleh
gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana
ialah:
a) Bertentangan dengan hukum
b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan
c) Akibat sebenarny adapat dihindarkan
d) Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.19
18Nanik Marianti, Op. cit., h. 8 19J. Guwandi, Kelalaian Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, h. 51
28
Dari uraian tentang unsur kelalaian yang dikemukakan oleh Jonkers
tersebut jika diterapkan dengan adanya pertanggung jawaban pidana terutama
tentang malpraktek:
a) Tidak adanya persetujuan tindakan medik terhadap pasien yang dimintakan
oleh dokter, jelas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan, artinya bahwa tanpa adanya
persetujuan tersebut seharusnya dokter dapat membayangkan akibatnya
(mislnya: pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut)
c) Akibat sebenarnya dapat dihindarkan, artinya sebenarnya dokter dapat
meminta persetujan terlebih dahulu kepada pasien. Hal tersebut untuk
menghindari sesuatu yang merugikan pasien.
d) Perbuatan dapat dipersalahkan kepadanya, artinya bahwa dengan adanya
pelanggaran kentuan informed consent maka perbuatan dokter tersebut dapat
dipersalahkan dan dimintai pertanggung jawaban.
Arrest Hoge Raad, tanggal 3 februari 1913 merumuskan definisi kelalaian
sebagai suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau kelalaian berat.20
Van Hamel menyatakan bahwa kelalaian atau kealpaan itu mengandung
dua syarat, yaitu:
a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
20Ibid., h. 52
29
Dalam praktek menentukan kelalaian atau kealpaan, dan harus dituduhkan
dan dibuktikan oleh jaksa adalah syarat kedua (tidak mengadakan penghati-hati
sebagaimana yang diharuskan oleh hukum). Sesungguhnya kalau syarat kedua ini
sudah ada maka pada umumnya syarat pertama juga sudah ada. Barang siapa
dalam melakukan suatu perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang
seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang
tertentu itu karena kelakuannya.
Alasan ini dipahami, karena syarat yang kedua objek penilaiannya
terletak pada apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa itu sendiri
(hubungan lahir). Sedangkan syarat pertama lebih menitik beratkan pada
hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul karena perbuatannya,
sesuatu hal yang sukar untuk dibuktikan oleh jaksa. Hubungan batin diperlukan
untuk dapat mempertanggungjawabkan terhadap akibat yang dilarang.
c) Tanggung Jawab Administrasi
Mengenai tanggung jawab dokter dalam segi hukum administrasi dalam
kaitannya dengan pelaksanaan informed consent maka dengan tegas telah
dinyatakan dalam pasal 13 Permenkes Nomor 585 tahun 1989 yaitu:
”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik atanpa adanya persetujuan
dari pasien tau keluarganya dapat dimintakan sanksi aministratif berupa
pencabutan surat izin praktek”.21
Selain ketentuan dalam pasal 13 permenkes tersebut, diperkuat lagi
dengan ketentuan pasal 11 UU. No 6 tahun 1963 yaitu:
21Nanik Marianti, Op, cit., h. 8
30
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut:
a) Melalaikan kewajiban
b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupu
mengingat sumpah sebgai tenaga kesehatan.
c) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang.22
Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktek karena
pelanggaran informed consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil
tindakan administratif tersebut setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik
Kedoktean (MKEK).
Diantara beberapa penjelasan tentang tanggungjawab dokter, maka
tidak akan lepas dari penjelasan tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya
dokter, antara lain:23
1) Meakukan praktek kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter
(SID) dan Surat Izin Praktek (SIP).
2) Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau
keluarganya tentang penyakitnya,
22Husen Kerbala, Op, cit., h 95
23Ibid, h. 52-54
31
3) Bekerja sesuai dengan standar profesi.
4) Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika,
hukum, agama, dan, hati nurani.
5) Menolak pasien yanga bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam keadaan
gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya
6) Menerima imbalan jasa
7) Hak membela diri
Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara
benar dan patut menurut standar profesi, standar prosedur operasional, maka
meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidak melahirkan
malpraktek kedokteran dari sudut hukum, namun apabila setelah perlakuan medis
terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan)
atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya karena perlakuan medis dokter yang
menyalahi standar profesi, maka dokter dianggap melakukan malpraktek
kedokteran. Tentu dengan beberapa syarat, yakni, tidak sembuh atau lebih parah
penyakitnya setelah perlakuan medis dari sudut standar profesi, standar prosedur,
dan prinsip-prinsip umum kedokteran.
Dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causal verband)
dari sebuah perlakuan medis oleh dokter. Jika dua syarat ini ada, berarti dokter
telah termasuk melakukan malpraktek kedokteran sehingga pasien berhak
menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut.
Apabila perlakuannya parah sampai memenuhi kreteria pidana, seperti kematian
32
atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP) maka pertanggungjawaban pidana yang
wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh
jadi pemidanaan.24
C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran Menurut Syariat Islam
Kedokteran atau sejenis kedokteran dalam bahasa Arab disebut al-Thibb.
Ungkapan ini sudah dikenal sejak zaman Nabi, dapat dijumpai dalam sejumlah
teks Hadits. Secara praktis al-Thibb berarti pengobatan fisik (al-jism) dan jiwa
(al-nafs). Arti kata al-Thibb adalah keahlian atau kepakaran dalam berbagai
bidang, maka dalam setiap pakar atau orang yang ahli dalam pekerjaan atau
sesuatu disebut Thabib. Dari sinilah maka pakar, praktisi, atau ahli kedokteran
disebut al-Thibb atau al-Thabb, jamaknya attibba’ (untuk jumlah banyak),
attibbat (untuk jumlah sedikit).25
Secara terminologis, Ibn Rusyd (w. 595 H.) mendefinisikan ‘ilm al-Thibb
sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan badan manusia dari segi
sehat atau tidaknya.26 Ibn Sina27 (980-1036 M.) mendefinisikan sebagai
24Adami Chazawi, SH, Malpraktek Kedokteran; Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,
(Malang: Bayumedia Publising, 2007), cet. Ke-I, h. 46 25Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), h. 553-554 26Muhammad al-Mukhtar, Ahkam al-Jirahat al-Thibbiyyat wa al-Atsar al-Mutarattibat
‘alaiha, dalam Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan Modern, (Thaif: Maktabat al-Shiddiq, 1993), h. 30
27Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Husain bin ‘Abd Allah bin Hasan bin ‘Ali bin Sina.
Dalam literatur Barat Ibn Sina dikenal dengan Avicenna berasal dari lidah Bahasa Latin. Lahir pada bulan Safar 370 H/ Agustus 910 M. Ia wafat pada bulan Ramadhan 426 H/ 1037 M, dalam usia 58 tahun,. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avisenna); Sarjana dan Filosof Besar Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 23-54
33
pengetahuan tentang keadaan tubuh manusia yang menyangkut kesehatan dan
gangguannya, tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan dan memulihkannya
kembali kesehatannya seperti sedia kala.28
Dalam perspektif Islam mengenai masalah tanggungjawab terdapat
beberapa hadits Nabi SAW, yang berkenaan dengan tanggungjawwab profesi
terutama profesi Kedokteran diantaranya:29
آلكم: يقول م.ص اهللا رسول سمعت يقول عمر بن اهللا عبد أن رعيته عن مسؤول و راع اإلمام رعيته عن مسؤول وآلكم راع رعية والمرآة رعيته عن مسؤول وهو أهله في راع الرجال و دهسي مال في راع والخادم رعيتها عن مسؤلة و زوجها بيته في مسؤول و أبيه مال في راع الرجال و: قال رعيته عن مسؤول و
)البخاري رواه (رعيته عن مسؤول و راع آلكم و رعبته عن
Artinya:
“Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya, Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan bertanggungjawab tentang kepemimpinannya. Khadam (pembantu) itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Kata Abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda: “Laki-laki itu pemimpin bagi harta-harta ayahnya, dan bertanggunggjawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruh adalah pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari)
28Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb, (Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.), h. 3 29Zainuddin Hamidy. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I, h. 264
34
Dalam sunan Ibn Majah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia
bertanggungjawab atas kesalahannya, sebab ia menganggap tubuh seorang dengan
kebodohannya. Sebagaimana dalam riwayat:
م .قال رسول اهللا ص: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن
)ماجه
Artinya:
“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)
Menurut al-Khattibi,30 berkenaan dengan masalah tanggungjawab profesi
kedokteran yang mengatakan:
قال الخطابي ال أعلم خالفة في المعالج إذا تعدي فتلف المريض إذا تولد آان ضامنا والمتعاطي على علما و عمال ال يعرفه متعد ف
من فعله التلف ضمن الدية و سقط عنه القود ألنه ال يستبد بذلك ته لدون إذن المريض وجناية الطبيب على القول عامة على عاق
Artinya:
“Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya tanggungjawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun begitu berpengalaman (ia melakukan terapi tanpa menimbulkan korban) maka ia dikenai tanggungjawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum qisash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri,
30Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam, (Bandung: Dakhlan, T.Th), juz. III, h.
250
35
melainkan dasar persetujuan si pasien. Menurut kebanyakan ahli ilmu, tanggungjawab dokter (berupa diyat) dibebankan kepada keluarganya.”
Anjuran belajar ilmu kedokteran secara khusus, juga tercakup dalam
perintah Nabi تداووا (berobatlah).31 Juga dalam Hadits yang artinya: “Setiap
penyakit ada obatnya”. Untuk mengetahui obat suatu penyakit jelas perlu dicari
tahu dan dipelajari, dan untuk itu perlu belajar imu kedokteran yang atau
sejenisnya. Juga tersirat dalam Hadits, ketika Nabi ditanya tentang manfaat ilmu
kedokteran, dijawabnya oleh Nabi: “Allah yang menciptakan penyakit dan
obatnya”.32
Dalam konteks bahasa Indonesia,33 istilah tabib dan dokter dibedakan.
Tabib di fahami sebagai orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara
trdisional, sedangkan dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli
dalam hal penyakit dan pengobatannya.
Dalam konteks literatur Islam tentang pengertian dari profesi
kedokteran, dijelaskan bahwa kata dokter (الطبيب), merupakan bentuk kata tansitif
31Misalnya Hadits: رواه احمد عن (واو ا الدواء فتدان اهللا عز وجل حيث خلق الداء خلق
)انس “Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, mengetahui orang yang mempunyai pengetahuan tentang itu, dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tidak menggetahuinya.” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dengan redaksi berbeda namun maksud sama, lihat pula Ahmad Ibn_Hanbal, op. cit., j. I, h. 377, 413, 443, 446, j. IV, h. 270.
32Misanya Hadits: عن جابررواه البخارى و مسلم و ابن حبان والحاآم (لكل داء داواء(
Ahmad, op. cit., j. III, h. 156
33Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 240
36
الطبيب في األصل هو الحادق باألمور و العارف بها و به سمي الطبيب الذي يعالج المريض
Artinya:
“Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap, atau ahli dalam bidang segala permasalahan, dan mengetahui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang sakit”
Sedangkan menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan dokter adalah:
صاحب علم الطبيب أو آل ماهر حادق بعلمه Artinya:
”Dokter adalah sesorang yang memiliki keahlian dibidang medis (pengobatan), dapat juga diartikan orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya”
Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, memberikan definisi dari dokter
sebagai berikut:35
الطبيب هو الماهر الحادق بعلمه
“Dokter ialah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya”
1. Pertanggungjawaban Etika
34Ibn al-Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Kairo: Daar al-Hadits, 1423 H/ 2003 M.), Juz IV, h. 556 35Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, al-Qomush al-Muhith, (Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/
1995 M), h. 101
37
Etika pengobatan dalam literatur Islam dikenal dengan Adab. Adab yang
dalam literatur Hadits dan literatur awal pasca-Islam berarti: cara yang layak,
etika yang baik, dan tata cara yang benar. Banyak karya mengenai etika
pengobatan. Buku-buku tersebut mencoba menanamkan nilai moral yang baik dan
praktis disertai dengan etika profesional dalam bidang masing-masing. Amal yang
praktis dan akhlak yang terpuji ditekankan dalam semua profesi. Kendati al-
Ghazali mengatakan bahwa kesalehan bukan menjadi syarat untuk menjadi ahli
hukum seperti ini, menurutnya, merupakan pekerjaan intelektual, kesalehan dan
akhlak terpuji membantu dalam penerimaan secara umum pendapat ahli hukum
tersebut, sedangkan akhlak akan mengurangi nilainya.36
Kesalehan dan keikhlasan seorang dokter dikenakan dikalangan
pengobatan Yunani, yang dianggap sebagai penjaga tubuh dan jiwa. Dalam hal
ini, etika dalam literatur Islam menjadi sangat penting, yaitu:
1) Menyangkut tanggungjawab etis seorang dokter terhadap pasien yang
memiliki dua dimensi dalam Islam, antara lain:
a) Hubungan antara dokter dengan pasien; keramahan, kesabaran, perhatian
serta keyakinan profesional yang diperlihatkan kepada pasien;
b) Keyakinan kuat bahwa jika dokter itu bukan orang baik dan etis, maka
pengobatan tidak akan berjalan efektif dengan mengabaikan pertimbangan
bahwa dokter yang tidak etis tentu saja akan bereputasi buruk sehingga
tidak akan berhasil.
36Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 127
38
2) Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya
jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa
merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan
moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung.37
2. Pertanggungjawaban Secara Disiplin
Pengertian disiplin kedokteran Islam adalah sejumlah aturan yang harus
diaplikasikan oleh sang dokter bila dalam penerapan keilmuanya harus patuh
terhadap sistem keilmuan kedokteran yang sudah diatur.38
Dalam pelaksanaannya para dokter harus bisa menjalankan tugasnya
dengan kompetensi, penuh rasa profesional, dan harus mengedepankan ajaran
akhlak dalam perilaku kepada pasien yang membutuhkan bantuan pengobatannya.
Pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter akan mendapatkan sanksi yang
harus diterima oleh dokter mulai dikenakan denda hingga dicabut izin praktek
oleh sejumlah ahli kedokteran yang memang ditunjuk untuk menilai perilaku dari
para dokter yang melaksanakan tugasnya.
3. Pertanggungjawaban Secara Hukum
37Ibid., h. 133 38Op. cit, h. 140
39
Pengertian pertanggungjawaban sendiri dalam hukum Islam ialah:
pembebasan seorang bersama hasil perbuatan yang telah dikerjakannya dengan
kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatannya itu.39
Adapun pertanggungjawaban dalam fikih jinayah dilandasi atas tiga
prinsip, yaitu:40
1) Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan;
2) Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dengan kata lain bahwa
pelaku memiliki pelihan yang bebas untuk melakukan atau meninggalkan
perbuatan tersebut;
3) Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan.
Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
yang bisa terbebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang
berakal fikiran dewasa dan berkemauan sendiri.
Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang
diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang
mempunyai Ahliyat al-Ada’. Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat,
artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)
39Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. Ke-IV,
h. 154 40Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 242
40
ثة عن الصبى حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ رفع القلم من ثال 42وعن المجنون حتى يفيق
Artinya:
“Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar”43
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas
orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang
mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum
dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.
Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan
tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.
Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash
terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi
kemaslahatan manusia sendiri.
41Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155 42Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-Syafi’I, (Daar al-Fikr, Juz
II), h. 267
43Aridhatul al-Ahwadzi Bisyarhi, Shahih Tirmidzi. (Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989), Bab: Hudud., h. 195
41
☺
⌧ ⌧
)36: 17/اإلسرأ ( Artinya:
“Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36)
Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung
jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.
Dalam sebuah riwayat Hadits:44
م .قال رسول اهللا ص: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن
)ماجهArtinya:
“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)
Ja’far Khadim45 menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan
mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat
kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib
44Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,
1994), juz IV, h. 198 45Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id
wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233
42
memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi
bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah (keluarga atau
ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal,
menimbulkan dua pendapat: (1) dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri
atau (2) dengan gugurnya diyat.
Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,
ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak.
Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi,
membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat
beberapa resiko hukum.46
Pertama, dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya
profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan
pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama
berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu
Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat.
Kedua, dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai
dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter
tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,
dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali
menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah
46al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:
Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
43
khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada
baitulmal.
Ketiga, dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan
terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru
dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal.
Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun
bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga dari dokter itu
sendiri.
Keempat, dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien
itu sendiri ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan,
maka ulama mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi.
sementara pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas
kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik
sesuai kemampuan yang dimilkinya.
Kelima, orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetapi melakukan
praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika
sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau
walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak
mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti
rugi kepada pasiennya.
BAB III
PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN
DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
A. Tinjauan Tentang Malpraktek
1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek dalam bahasa asing (Inggris), disebut dengan
”Malpractice”, sedangkan menurut Drs. Peter Salim, dalam The
Contemporary English Indonesia Dictonary: perbuatan atau tindakan yang
salah, malpraktek juga berarti ’praktek yang buruk’ (badpractice) yang
menunjukan pada setiap tindakan yang keliru.
Menurut Hermein Hadiati Koeswadji,1 memberikan definisi tentang
malpraktik yaitu: suatu bentuk profesional yang dapat menimbulkan luka-luka
pada pasien akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
menterapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan
pelayanan pengobatan atau perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah
yang sama.2
1Y.A. Triana Ohoiwatun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang: Bayu Media, 2007),
h. 48 2J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 22
44
45
Sedangkan menurut Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, dalam Kamus
Inggris Indonesianya, ’malpraktek’ berarti cara perbuatan yang salah. Adapun
ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan.3
Dalam bahasa Belanda, malpraktek disebut dengan istilah ”kunstfout”
(seni salah), merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan dengan sengaja
akan tetapi disini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli
dalam dunia medis dan tindakan mana yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal
(misalnya: mati, cacat karena lalai; lihat pasal 359, 360, 361 KUHP)
J. Guwandi, dalam pengertiannya merumuskan malpraktek yaitu:
1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.
3) Melanggar atau sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.4
Beberapa pengertian tentang malpraktek tersebut diatas, kiranya dapat
diperjelas dengan pengertian malpraktek, yaitu: dalam arti umum, malpraktek
adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak memenuhi standar yang ditentukan
oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah dirugikan itu, meliputi
kesalahan, pemberian diasgnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan.5
3Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bina Aksara, T,Tt), h. 37 4J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 18 5Ninik Marianti, op. cit., h. 38
46
Dengan demikian malpraktek mempunyai pengertian luas, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk,
yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi.
2. Dalam arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktek dapat terjadi dalam:
a) Menentukan diagnosis, misalnya; diagnosisnya penyakit maag, tapi
ternyata pasien sakit liver yang berbahaya.
b) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya melakukan opearsi pada
bagian mata yang kanan, akan tetapi yang dilakukan pada mata bagian
yang kiri.
c) Selama menjalankan perawatan, dan
d) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Dengan demikian malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu
menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis
sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.
Dengan tidak mengurangi pengertian tentang malpraktek yang lain, maka
sebagai perbandingan terhadap beberapa pengertian tentang malpraktek, perlu
penulis kemukakan juga rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti
yang terdapat dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 6 tahun 1963 tentang
Tenaga Kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan yang
47
lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan
administratif dalam hal sebagai berikut:
a) Melalaikan kewajiban
b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan.
c) Mengabaikan sesuatau yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau bedasarkan Undang-undang.6
Ketentuan mengenai malpraktek pada pasal 11 UU. No. 6 Tahun 1963
tersebut hampir sama dengan pengertian malpraktek yang dikemukakan oleh J.
Guwandi. Selain itu pengertian tentang malpraktek diatas dirasa telah cukup untuk
mengetahui apa itu malpraktek.
2. Bentuk Malpraktek
Sesuai dengan beberapa kategori bidang hukum, maka malpraktek
menurut DR. Soerjono Soekanto, SH. MA dan Dr. Karyono Muhammad, dapat
dikategorikan dalam beberapa bidang hukum:
1) Malpraktek dalam bidang hukum pidana antara lain:
a) Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP);
b) Menipu penderita atau pasien (pasal 378 KUHP);
6Ibid, h. 40
48
c) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka
(melanggar pasal 351, 359, 360, dan 361 KUHP);
d) Melakukan pelanggaran kesopanan (pasal 290 ayat 1, 294 ayat 2, 285, dan
286 KUHP);
e) Melakukan pengguguran tanpa adanya indikasi medis (pasal 299, 348,
349, dan 350 KUHP);
f) Membocorkan rahasia kedoktran yang diadukan oleh penderita (pasal 322
KUHP);
g) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (pasal 322 KUHP);
h) Tidak memberikan pertolonggan kepada orang yang berada dalam
keadaan bahaya maut (pasal 351 KUHP);
i) Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP);
j) Euthanasia (pasal 344 KUHP).
2) Malpraktek dalam bidang hukum perdata, antara lain dalam hal:
a) Melakukan Wanprestasi (pasal 1239 KUHPer);
b) Melakukan perbuatan yang melanggar hukum (pasal 1365 KUHPer);
c) Melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPer);
d) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 ayat 3
KUHPer).
3) Malpraktek dalam bidang hukum administrasi, antara lain:
a) Melakukan praktek tanpa izin (PP. No. 36 tahun 1966)
49
b) Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan pada
pasal 322 atau 112 KUHP (pasal 4 PP. No. 10 tahun 1966).7
Dari berbagai jenis malpraktek yang terbagi menjadi 3 bidang hukum
tersebut menunjukan bahwa malpraktek tidak hanya terjadi pada bidang hukum
tertentu saja (misalnya hukum pidana saja), akan tetapi juga dapat terjadi di semua
bidang hukum. Hal tersebut menunjukan perlu adanya peraturan di setiap bidang
hukum yang mengatur tentang malpraktek agar setiap pelanggaran atau terjadi
malpraktek pasien tidak perlu khawatir tidak ada landasan hukum untuk menjerat
kasusnya.
3. Tindakan Medis Yang Bersifat Malpraktek
Untuk dapat menilai dan membuktikan suatu perbuatan (tindakan medis)
termasuk kategori malpraktek atau tidak, biasanya dipakai empat kreteria, antara
lain:
1) Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of due
care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana
kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan (persyaratan).
Misalnya seorang dokter spesialis mempunyai tanggung jawab memberikan
standar perawatan yang lebih tinggi dari dokter umum, sesuai dengan
kedudukan status profesionalnya.
7Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, h. 41
50
2) Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). Untuk
membuktikan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran terhadap standar
perawatan yang diberikan kepada seorang pasien maka diiperlukan kesaksian
ahli dari seorang dokter yang mengerti.
3) Apakah kelalaian itu merupakan benar-benar merupakan penyebab cedera
(causattion). Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa ada tidaknya unsur
kelalaian yang dilakukan oleh dokter sehingga akibat dari kelalaian tersebut
telah mengakibatkan luka, cedera, bahkan menyebabkan kematian pasien
4) Adanya ganti rugi (damage). Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian penyebab
cedera, maka pasien berhak memeperoleh ganti rugi yang terdiri dari
pengganti biaya pengobatan, kehilangan pendapatan, kesakitan fisik, tekanan
jiwa dan frustasi.8
Dari keempat kreteria tersebut, dapat diambil garis besar mengenai
kreteria tindakan medik yang bersifat malpraktek yaitu:
1) Tindakan medik yang diberikan tidak layak dan tidak sesuai dengan standar
perawatan yang diberikan.
2) Tindakan medik yang bersifat malpraktek harus terdapat pelanggaran
kewajiban yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
3) Tindakan tersebut terdapat kelalaian yang mengakibatkan cedera, lika,
ataupun kematian.
8Ibid., h. 54
51
4) Tindakan medis yang bersifat malpraktek, didalamnya harus ada ganti rugi
jika terjadi malpraktek.
4. Pertanggung Jawaban Hukum Yang Bersifat Malpraktek
Seorang dokter hendaknya dalam melakukan tindakan medis harus sesuai
dengan standar profesi yang telah ada agar tindakan tersebut tidak merugikan
pasien, bahkan tindakan medik tanpa prosedur yang menimbulkan luka atau cacat
bahkan kematian seorang pasien tentu digolongkan ke dalam malpraktek medis
dan atas tindakannya tersebut seorang dokter dapat dituntut ke pengadilan.
Seperti yang telah diuraikan bahwa tindakan medis yang dapat
digolongkan menjadi malpraktek adalah diantaranya tindakan itu terdapat unsur:
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.
3. Melanggar sesuatu ketentuan menurut apa atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.9
Sehingga jika seorang dokter melakukan semua unsur diatas maka jelas
bahwa tindakannya tersebut tergolong malpraktek. Sebagai akibatnya dokter yang
melakukan perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban hukum atas
perbuatan yang merugikan pasien tersebut.
Adanya pertanggung jawaban hukum tersebut adalah sebagai akibat dari
dilakukannya sesuatu perbuatan yang disebut malpraktek. Malpraktek merupakan
9J. Guwandi, op.,cit, h. 18
52
perbuatan yang merugikan dilihat dari segi pasien yang menjadi korban, apapun
akibat yang timbul tindakan medik yang dilakukan dokter, jika atas tindakan itu
tidak sesuai dengan standar profesi ataupun melakukan tindakan medik yang
bukan merupakan kompetensinya, maka dokter tersebut dapat dikatakan
melakukan malpraktek medis.
B. Faktor Penyebab Dugaan Sengketa Medik
Ilmu kedokteran dalam kenyataannya telah mengalami kemajuan yang
pesat dan pengobatan terhadap suatu penyakit yang dahulu dianggap “kutukan
keturunan” sekarang sudah banyak yang dapat disembuhkan sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Namun pada masa sekarang dapat dirasakan
bahwa kegiatan para dokter untuk menyembuhkan pasien dengan suatu
pengobatan itu sering terhambat oleh sikap pasien atau keluarganya yang akan
menjadi kebiasaan untuk menuntut secara umum terhadap dokter atau rumah sakit
jika hasil pengobatannya dianggap kurang berhasil, apalagi kegagalan pengobatan
itu jika dinilai merupakan kesalahan dokter.10
Sedangkan profesi kedokteran yang mana didalam Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Prakktek Kedokteran, diartikan sebagai suatu
pekerjaan kedokteran yang dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan suatu
keilmuan dan kompetensi. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana profesi
10Yahyanto, SH. Tanggung Jawab Dokter dari Kesalahan Profesi Kedokteran, Materi Kuliah
Fakultas Hukum 19 Nopember Kolaka.
53
kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang
dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat buruk atas perbuatan
tersebut.11
Akan tetapi kebanyakan para pakar menggunkan beberapa istilah lain
dalam tindak pidana profesi kedokteran, yaitu ’Medical Malpractice’ yang dalam
bahasa Indonesia disebut juga dengan ’kelalaian medik’.12
Malpraktek merupakan suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk
bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang
suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya medis saja sehingga ditujukan
terhadap profesi lainnya. Jika ditujukan terhadap profesi medis seharusnya juga
disebut sebagai ”malpraktek medis”. Namun entah mengapa, dimana-mana
terutama mulai di luar negeri, istilah malpraktek ini selalu yang pertama-tama
diasosiasikan terhadap profesi kedokteran.13
Pada dasarnya, kelalaian merupakan salah satu sifat alami manusia yang
tidak dapat dikenakan sanksi atasnya, tetapi atas kelalaiannya tersebut
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, terutama apabila sampai
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, Hukum positif dalam hal ini berupa
hukum pidana, etik profesi, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
11Lihat Beben Mishbah, Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan
Positif, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008) 12Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, (Jakarta:
Srikandi, 2006), h. 86 13J. Guwandi, SH, Hukum Medik (Medical law), (Jakarta: FKUI, 2004), cet. Ke-I, h. 20
54
Praktek Kedokteran, maupun Hukum Kesehatan ataupun Hukum Islam
sependapat bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah delik yang harus
dipertanggungjawabkan, karena mengingat begitu dahsyatnya dampak yang
ditimbulkan kasus malpraktek medik.
Seringkali terjadi gugat menggugat antara pasien dan dokter, karena para
pihak kurang memahami hak dan kewajiban masing-masing. Gugat-menggugat
bukanlah penyelesaian yang diharapkan, kalau para pihak sadar akan hak dan
kewajibannya, maka akan timbul saling pengertian antara para pihak gugat
menggugat tidak akan muncul lagi.14
Maka, apa yang dinamakan malpraktek dalam kalangan kedokteran,
yang meliputi ‘medical negligence’, yang berakibat kerusakan fisik, mental, dan
financial, dan yang disusul dengan 3 unsur: (1). Kesalahan, (2). Kelalaian dan (3).
Kerugian bagi para pasien, dalam bidang hukum dapat disalurkan melalui
pertanggungan jawab pidana, perdata maupun sanksi administratif yang dapat
dihadapkan kepada seorang dokter.15
Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan malpraktek terjadi, yakni:
1) Dokter melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
2) Menyalahi standar,
3) Melanggar standar prosedur operasional.
14DR. Wila C. Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), cet. Ke- I, h. vii 15Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter,
(Jakarta: Erlangga, 1991), h. 63
55
Hal itu yang menjadi penyebab malpraktek yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasiennya.16
Sedangkan perbuatan melawan hukum menurut Husein Karbala,17
meliputi: Kesengajaan, kelalaian, atau kurang hati-hati. Rachmat Setiawan18
memberikan pengertian perbuatan melanggar hukum dengan menyetujui pendapat
M.A. Mugni Djojodirdjo, yang intinya: ”bahwa pada istilah melawan, melekat
kedua sifat aktif dan pasif yang menimbulkan kerugian pada orang lain”. Jika
didasarkan pada kerugian yang diderita oleh pasien atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh dokter, maka yang harus dibuktikan adalah:
1) Bertentangan dengan kewajiban profesinya
2) Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesinya
3) Berrtentangan dengan keasusilaan
4) Bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Hal-hal yang telah diuraikan diatas adalah salah satu indikator untuk
menyatakan bahwa seorang dokter atau perawat telah melakukan malpraktek atau
tidak dalam menjalankan profesinya tersebut, disini artinya hukum tidak hanya
melindungi hak-hak pasien, akan tetapi hak-hak dokter.
16Rasyid, Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur, Artikel ‘Harian Medan”, edisi: Rabu, 10
Maret 2010 17Husein Karbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993) 18Rahcmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, (Jakarta: Banacipta,
1991)
56
Hubungan hukum dokter-pasien memuat hak-hak dan kewajiban hukum
para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaupun tidak
dibuat secara formal tertulis. Pelaksanaan kewajiaban dokter selalu dibayangi
adanya resiko, baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien pelayanan dokter
dapat membawa kerugian kesehatan atau nyawa, sedangkan bagi dokter berupa
sanksi mulai dari yang ringan sampai yang berat (administrasi, pidana, dan
perdata). Bagi dokter, kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus
sesuai dengan standar umum kedokteran, walaupun pasien tidak mengerti isi
standar prosedur tersebut.
Pelanggaran terhadap standar profesi dan standar prosedur tersebut yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya malpraktek kedokteran di lingkungan
Rumah Sakit.19
Syarat tesebut merupakan perlakuan medis yang pada dasarnya adalah
perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi kedokteran, standar
prosedur operasional atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai
sebab, antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien, dan
lain-lain.
Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan
tubuh manusia, yakni luka-luka, atau nyawa yang menjadi unsur tindak pidana
tetentu.
19Adzami Chazawi, Ibid., h. 48
57
Dari beberapa keterangan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa,
malpraktek medik adalah ’kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran dilingkungannya yang
sama’, kemudian yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang
hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dengan stuasi tersebut.
Kelalaian juga diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah
standar pelayanan medik.20
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika
kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan
orang itu dapat menerimanya. Hal ini berdasarkan prinsip hukum ’De minimis
nocurat lex’, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan
merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat.
Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak
dijumpai, misalnya: melakukan pembedahan dengan maksud untuk membunuh
pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada
pasiennya tanpa adanya indikasi medik, hal ini tidak perlu dilakukan.
20M. Jusuf Hanafiyah, Malpraktek Medik, (Jakarta: EGC, 1999), h. 87
58
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
1) Dokter kurang menguasai Iptek kedokteran yang sudah berlaku umum
dikalangan profesi kedokteran,
2) Memberikan pelayanan medik dibawah standar profesi,
3) Melakukan kelalaian berat, atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
4) Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Hal tersebut diatas sangat bertentangan dengan amanat Undang-undang
Nasional tentang Kesehatan, selain itu juga bertentangan dengan amanat Undang-
undang Internasional. Hal lain sebagai salah satu penyebab banyaknya sengketa
medik yang berakibat pada dugaan malpraktek kedokteran adalah faktor
kebijakan manajemen Rumah Sakit, kebijakan-kebijakan rumah sakit seringkali
dapat menjadi pemicu dari banyaknya kasus sengketan medik.
C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik
Dalam pembuktian kesalahan, salah satu tujuannya adalah untuk
menentukan kebenaran yang meyakinkan akan dakwaan atau tuntutan itu. Dalam
pembuktian itu dibutuhkan proses unuk mencari dan menentukan kebenaran
(kebenaran materiil) yang dalam peradilan disebut sebagai kegiatan pembuktian.
Sedangkan kegiatan pembuktian tersebut untuk memperoleh kebenaran hukum
mengenai ada tidaknya kesalahan dalam malpraktek medik.
Kebenaran dalam perkara pidana, merupakan kebenaran yang disusun dan
didapatkan dari jejak, kesan, dan ceminan dari keadaan dan atau benda yang
59
didasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadan masa lalu yang
diduga menjadi perbutan pidana.
Pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk
menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diproleh melalui
ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang
dalam hubungannya dengan perkara pidana.
Peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai kekhususan dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang pidana, antara
lain apakah kelakuan dan hal-ihwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi
penganiayaan atau tidak;
2) Berkaitan dengan kenyataan yang didapat menjadi perkara pidana, antara lain;
apakah ada korban yang diabaikan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh
manusia dan bukan alam;
3) Diselenggarakan melalui peraturan hukum secara pidana, antara lain
ditentukan oleh yang berwenang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh
polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Sifat khusus dari peranan pembuktian yang demikian itu membawa
pertumbuhan hukum pembuktian untuk mendapatkan rumus-rumus yang menjadi
alat ukur dalam menyelengarakan pekerjaan pembuktian. Rumus yang menjadi
alat ukur yang sudah dikenal dalam hukum pembuktian terdiri atas:
60
1. Pada dasarnya pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan untuk memeperoleh fakta-fakta yang benar atau disebut
”bewijsgronden”
2. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan hakim untuk mendapatkan gambaran
tentang terjdinya perbuatan pidana yang sudah lampau atau yang disebut
”bewijsmiddelen”
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
sidang pengadilan atau disebut ”bewijsveoring”
4. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalam rangkaian
penilaian terbuktinya suatu dakwaan atau disebut ”bewijskracht”
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan
tentang dakwaan di muka persidangan atau disebut ”bewijslaft”, dan
6. Bukti minimum yang diperukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan
hakim atau disebut sebagai ”bewijs minimum”.21
Menurut pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
(KUHAP), alat-alat bukti terdiri atas:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat
4) Petunjuk
21Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Pertama, h. 39
61
5) Keterangan terdakwa.22
Dalam menilai kekuatan pembuktian, alat-alat bukti yang ada dikenal
beberapa sisitem atau teori pembuktiaan, diantaranya:
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Sistem pembuktiaan ini hanya berdasarkan pada alat pembuktian yang
disebut Undang-undang secara positif. Artinya jikatelah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undng-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan lagi.
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut
di Indonesia, karena katanya, ”bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran
itu”, lagipula keyakinan hakim jujur dan berpengalaman mungkin sekali
sesuai dengan keyakinan masyarakat.23
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan haikm semata.
Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
Undang-undangsecara positif. Karena pembuktian ini hanya berdasarkan pada
keyakinan hakim semata. Sistem ini tidak diterapkan karena memberikan
kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi.
Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan.
22Ibid., h. 40 23Bambang Poernomo, Op. Cit., h. 43
62
3) Sistem teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.
Sistem ini terbagi menjadi dua jurusan, yaitu sistem pembuktian
berdasarkan Undang-undang secara negatif. Keduanya punya persamaan yaitu
berdasarkan keyakinan hakim, artinya tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan hakim bahwa ia bersalah.
Perbedaannya adalah sistem yang pertama pada keyakinan hakim tapi
tidak didasarkan Undang-undang. Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, didasarkan pada aturan
pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi juga diikuti oleh
keyakinan hakim.
KUHP menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.24
Jadi pembuktian dalam kasus malpraktek dipakai sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif, sebab dalam menjatuhkan suatu
hukuman pidana terhadap dokter karena adanya pelanggaran medik,
membutuhkan pembuktian yang akurat. Pembuktian tersebuut dilakukan untuk
membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dokter dalam menjalankan
penanganan medik terutama masalah malpraktek yang dapat merugikan pasien.
24Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 232
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI KEDOKTERAN
TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
Dalam Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif
1. Konsep Perlindungan Hukum
Hukum merupakan salah satu sarana untuk mengatur, mentertibkan,
dan menyelesaikan berbagai permasalahan ditengah-tengah masyarakat
disamping sarana dan pranata sosialnya. Hermein Herdiati Koeswadji1
memandang fungsi hukum dari tiga hal pokok, yaitu: berfungsi menjaga
keamanan masyarakat, berfungsi menjalankan (menerapkan) ketertiban
peraturan perundang-undangan serta berfungsi menyelesaikan sengketa. Oleh
karena itu berfungsinya hukum banyak tergantung dan dipengaruhi oleh
system sosial budaya lainnya, yaitu ekonomi, sosial, budaya, kebiasaan (adat),
pengetahuan dan pendidikan, agama, lingkungan, politik dan sebagainya.
Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu ‘perlindungan’
dan ‘hukum’. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata perlindungan berasal dari
kata ‘lindung’2 yang berarti “berada dibalik sesuatu” dan hukum adalah
1Hermein Herdiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Jakarta: Airlangga University Press, 1984) 2Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 405
63
64
peraturan yang dibuat dan disepakati baik seacara tertulis maupun tidak
tertulis atau yang biasa disebut peraturan atau undang-undang yang mengikat
perilaku setiap masyarakat tertentu. 3
Nilai-nilai tesebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam
wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi
mencapai kesejahteraan bersama.4
Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan
pemulihan kesehatan pasien, pemerintah mendirikan atau menyelenggarakan
rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan mengattur, membimbing, membantu,
dan mengawasi rumah sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh badan
swasta.
Dalam proses pemenuhan pelayanan kesehatan oleh pasien atau
keluarganya dari para pihak medis (dokter dan perawat) yang berada di
Rumah Sakit, tidak jarang para pasien menemukan hal-hal yang kurang
menyenangkan atau memuaskan akibat perlakuan yang tidak wajar yang
dilakukan oleh dokter atau para medis yang ada. Apalagi komunikasi antara si
pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit khususnya dokter atau para
medis seperti perawat, yang didalam praktiknya masih kurang dapat perhatian,
3Daryanto, Op. cit. h. 271 4Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ tinjauan-umum-perlindungan-hukum.
65
bahkan tidak terjalin secara baik. Ditinjau dari sumpah jabatan atau profesinya
tidak sedikit telahh terjadi pelanggaran kode etik.5
Yang lebih bahaya lagi dalam memberikan pelayanan kesehatan
dimaksud, terdapat unsur kelalaian yang akibatnya merugikan pasien,
kelalaian semacam itu dalam hukum kesehatan dapat dikategorikan dengan
perbuatan malprkatek. Terhadap malpraktek yang dimaksud tentu dari aspek
hukum, seorang pasien dan atau keluarganya berhak mendapatkan
perlindungan, apakah dari segi keperdataan maupun dari segi kepentingan
publik yang bernuansa pidana atau kedua-duanya.6
Pengaturan masalah malpraktek ini disamping antisipatif agar dokter
dan para medis lainnya harus berhati-hati dalam meberikan pelayanan juga
melindungi hak-hak pasien sebagai subjek hukum di dalam sebuah Negara
yang hukum yang demokratis.
Disamping kewajibannya tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat
memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan profesinya, hal ini diatur di dalam pasal 53 ayat (1).
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya disimak adalah isi pasal 55 UU. No.
23 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa: setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”.
5Juanda, SH, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek,
(Bengkulu: T,Tt, 2001)
6Kadir Sanusi, Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter , Pasien, Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995
66
Pernyataan tersebut diperjelas lagi di dalam penjelasan pasal 56 yang
menyatakan bahwa:
“pemberian hak atas ganti kerugian merupakan upaya untuk memberikan
perlindungan bagi setiap orang atas sautu yang timbul, baik fisik, maupun non
fisik karena kesalahan atau kelalaian”.
Perlindungan hukum disini sangat penting karena akibat kelalaian atau
kesalahan mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen.
Dalam upaya kearah yang demikian sebenarnya pemerintah dalam undang-
undangnya telah mengatur hal-hal perlindungan hukum terhadap pasien maupun
juga perlindungan terhadap tenaga kesehatan, namun nampaknya dalam tataran
pelaksanaan masih banyak yang belum memahami undang-undang tersebut, hal
ini terlihat dengan adanya kesalahan prosedur atau kelalaian-kelalaian lainya yang
mengakibatkan kematian atau berupa cacat seumur hidup yang diderita oleh
pasien.
Ditinjau dari aspek hubungan fungsional, masalah malpraktek adalah
masalah yang timbul dari hubungan fungsional antara pasien dan dokter atau
tenaga medis, yang disebabkan adanya kelalaian dari pihak dokter atau tenaga
medis yang mengakibatkan korban dari pihak pasien. Perbuatan kelalaian seperti
ini penting diatur dalam rangka menjamin keselamatan dan ketenagaan dari pihak
pasien, namun demikian, perlu diingat secar prinsipil atau azas, hukum tidak
diperuntukan untuk bertindak diskriminatif oleh karenanya dalam menjalankan
67
profesi dan tugas, para dokter dan tenaga medis juga harus mendapatkan
perlindungan.
Dimana dalam pasal 53 ayat (1) UU. No. 23 Tahun 1992, merumuskan:
“Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”
Perlunya perlindungan hukum bagi profesi kedokteran dan para medis
lainnya tersebut agar dalam melaksanakan tugas dan profesinya tersebut mereka
merasa nyaman dan tidak dihantui oleh sanksi hukum serta adanya kepastian
hukum. Sebab, tanpa regulasi yang adil dan seimbang dalam rangka menjalankan
tugas yang sesungguhnya mulia tersebut dikhawatirkan akan muncul rasa
ketakutan dari pihak dokter untuk menggambil tindakan yang sangat penting
dalam kehidupan kemanusiaan.
Dasar Hukum
a. UU. No. 44 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Pasal 27, yang berbunyi:
“Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”
Pasal 29, yang berbunyi:
“Dalam hal tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi”
68
b. UU. No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Pasal 1, poin 14, yang berbunyi:
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indomesia adalah lembaga yang
berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter
dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran
gigi, dan menetapkan sanksi
Dengan demikian, bunyi pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa
peradilan profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan
oleh tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum
sebagai penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan.7
2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik
Dalam melakukan penanganan tindakan medis, dimana dokter terlebih
dahulu memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakitnya
disertai dengan resiko-resiko yang dapat timbul dari tindakan medis tersebut. Hal
ini sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ MEN.KES/ PER/ IX/
1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Peraturan tersebut mengharuskan dokter dalam melakukan tindakan medis
untuk meminta persetujuan pasien terlebih dahulu atau yang lebih dikenal dengan
istilah informed consent. Persetujuan ini dapat berbentuk lisan maupun tertulis
karena tidak ada peraturan yang baku yang mengatur tentang bentuk persetujuan
7Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pusaka
Yustisia, 2009), cet. Ke-I, h. 79
69
ini, yang lebih ditekankan lagi adalah bentuk persetujuannya terhadap tindakan
medik yang mengandung resiko yang tinggi atau besar dan invasif (tindakan
medik yang langsung dapat mempengaruhi jaringan tubuh).
Pasien diberikan informasi atau keterangan yang mencakup hal yang
berkaitan dengan penyakitnya, serta keuntungan dan kerugian atas tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap dirinya tersebut. Pemberian informasi oleh
dokter kepada pasien seputar tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
dirinya tidak terlepas dari bentuk penghormatan dokter terhadap hak kemandirian
dan hak otonom pasien. Pasien sama seperti manusia biasa yang mempunyai hak
untuk berfikir dan menentukan sendiri terhadap badan pribadinya. Misalnya
seorang pasien mempunyai hak atas kesehatan pribadinyadan menentukan sendiri
jenis pengobatan yang terbaik untuk menyembuhkna penyakitnya.
Pelaksanaan informed consent tersebut juga beroengaruh positif bagi
dokter dalam menghadapi tuntutan malpraktek atas penanganan medik yang
dilakukannya, dan dapat berguna untuk membuktikan bahwa sudah ada kesediaan
pasien untuk dilakuan suatu tindakan medik. Bahkan tujuan dari tindakan medik
tersebut tidak lain adalah hanya untuk menylamatkan nyawa pasien.
Dalam hubungannya dengan tuntunan malpraktek, apakah informed
consent dapat menjadi dasar pembelaan bagi dokter, mengingat resiko serta akibat
buruk yang timbul akibat tindakan dokter tersebut, sedangkan resiko yang akan
terjadi menimpa pasien sudah disetujui dalam informed consent.
70
Banu Hermawan, SH. Mengetakan bahwa dokter dapat menggunakan
Informed consent sebagai dasar pembelaan jika kelak dituntut oleh pasien, karena
di dalan Informed consent itu terdapat persetujuan pasien secara rela atau
memberikan wewenang kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap
dirirnya. Sedangkan Informed consent yang dibuat di Rumah sakit dalam bentuk
tertulis hanya formalits karena pada prinsipnya Informed consent yidak hanya
tertulis tetapi yang terpenting adalah persetujuan.8
Adanya persetujuan diartikan sebagai izin yang diberikan oleh pasien
kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap dirinya, sedangkan
resiko yang mungkin terjadi dokter harus tetap berusaha sesuai standar profesi
agar resiko yang mungkin terjadi tidak mengganggu kesehatan pasien9
Kemudian A.Y.G. Wibisono juga mengatakan bahwa ketika ada klaim
yang mengatakan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek, akan tetapi
belum ada pembuktian yang memperkuat adanya suatu tindakan tersebut, beliau
menyimpulkan bahwa itu bukan suatu tindakan malpraktek akan tetapi itu masih
dugaan yang mana kebenarannya harus dibuktian melalui Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) atau melalui Peradilan Profesi (MKDKI), yang mana dalam
penyelesaian sengketa ini terlebih dahulu melalui peradilan profesi dengan dasar
hukum:
8Banu Hermawan SH, dalam Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis, (Yogyakarta: FHUII, 2007), h. 112 9A.Y.G. Wibisono, M. Kes, Klinik Praktek Dokter, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus 2010
71
a. Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahin 1992, pasal 54 ayat (2) yang
berbunyi:
Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang
dimaksud ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
b. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, pasal 1
poin 14 yang berbunyi:
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang
berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi
Bunyi dasar pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa peradilan
profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh
tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum
sebagai penentu sebagai acuan penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga
profesi kesehatan. Ini sebagai bukti bahwa hukum kesehatan adalah hukum yang
berkareteristik Lex Specialis.
Tenaga profesi kesehatan harus mengembangkan dan mengetahui wajib
hukum profesi kesehatan dalam setiap tindakannya supaya terhindar dari perkara
sengketa medik, terutama standar operasional prosedur atau standar keilmuan
yang dimiliki,10 itu dapat dijadikan ukuran bahwa apa yang telah dilakukan oleh
dokter sudah sesuai dengan standar kompetensi kedoktran yang berlaku, oleh
10 A.Y.G. Wibisono, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus 2010
72
sebab itu dokter dapat terhindar dari adanya dugaan melakukan tindakan
malpraktek medik, dimana salah satu dari wajib hukum tersebut adalah Informed
consent, yang mana bertujuan untuk:
1) Perlindungan Pasien dalam segala tindakan medik;
2) Perlindungan terhadap tenaga kesehatan akan terjadinya akibat yang tidak
terduga serta dianggap merugikan pihak lain.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk kesalahan yang berupa
kesengajaan, tergantung pada sikap batin dan keadaan yang menyertai perbuatan.
Dimana di dalam KUHP terdapat hal-hal yang dapat meniadakan pidana seperti:
1) Sakit jiwa/ gila (pasal 41);
2) Ada unsur daya paksa (pasal 44);
3) Pembelaan diri terpaksa (pasal 49);
4) Peraturan perundang-undangan (pasal 50);
5) Perintah jabatan (pasal 51).
Unsur-unsur yang dapat meniadakan pidana seperti diatas juga dapat
diberlakukan terhadap dokter, tetapi alangkah baiknya dikethui bahwa dalam
yurisprudensi dan kepustakaan hukum kedokteran juga terdapat dasar peniadaan
kesalahan yang khusus berlaku dibidang kedokteran.
Seperti kita ketahui bahwa dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa,
alat bukti yang sah yang dipakai dalam hukum pidana adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa
73
Sedangkan dalam pasal 187 KUHAP diuraikan secara jelas bahwa surat
dibuat atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah. Butir C pasal itu
menyebutkan yang dimaksud dengan surat antara lain adalah surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal
atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. Dari penjelasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa formulir Informed consent dapat dijadikan alat
bukti yang sah untuk dapat membuktikan bahwa pasien telah bersedia atau setuju
untuk diadakan tindakan medis. Sehingga resiko yang timbul sudah menjadi
resiko pasien dan dokter tidak dapat dipersalahkan.
Selain sebagai alat bukti surat, Informed consent juga dapat menjadi alat
bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam pasal 186 KUHAP ayat (2), yang
menyebutkan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan surat dan
keterangan terdakwa, hal ini juga berarti Informed consent dapat dijadikan alat
bukti untuk menunjukan bukti bahwa pasien telah setuju dan informasi sudah
diberikan kepadanya sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya salah satu wajib hukum kedokteran (informed consent)
dapat dijadikan suatu pembelaan bagi dokter. Persetujuan pasien atas tindakan
dokter. Namun yang melindungi dokter terhadap tuntutan pelanggaran, maka
persetujuan tersebut hendaknya dapat dibuat dalam bentuk tertulis yang di tanda-
tangani oleh yang berhak memeberikan persetujan (form Informed consent), maka
persetujuan berbentuk tulisan dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam
pengadilan.
74
Hanya terhadap resiko yang menyatu, persetujuan dapat dijadikan sebagai
alat dasar pembelaan bagi dokter, sedangkan terhadap resiko atau akibat buruk
yang terjadi, apabila dokter tersebut lalai, maka dokter harus tetap bertanggung
jawab.
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Islam
1. Pelanggaran Disiplin Etika Kedokteran
Mengingat etika dan disiplin merupakan norma perilaku profesi yang
perlu dibebankan pada dirinya sendiri, maka penyelesaian dilakukan secara
internal dikalangan organisasi profesi kedokteran dan majelis disiplin yang
bersangkutan yang dilakukan tanpa adanya intervensi penegak hukum.
Kelalaian berupa praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar
masuk ke dalam ranah pelanggaran etika profesi tapi juaga masuk ke dalam
ranah pelanggaran disiplin profesi. Pelanggaran disiplin misalnya kelalaian
atau kesalahan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian serius
pada pasien, kurang berdedikasi terhadap pasien yang meminta pertolongan,
atau ketidakmampuan menjalankan profesi. Makanya bagi kalangan profesi
kedoktera, penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan lebih baik melalui
badan profesi bukan kepada peradilan umum, karena dianggap lebih
berdampak positif pada pelayanan kesehatan.
Dalam hal pengaturan para dokter dan praktek profesi kedokteran pada
mas kejayaan Islam dimulai sebelum masa pemerintahan Khalifah al-
75
Muqtadir dari dinasti Abbasiyah disebut departemen Hisbah (berasal dari kata
Arab hisab, yang berarti mempertimbangkan, menguji, atau menilai), yang
bertugas memperhatikan ‘moralitas publik’ menguji timbangan atau alat ukur,
menguji kualitas komoditas, kecurangan profesional dan sebagainya. Dengan
demikian funsi pengawasan yang dijalankan oleh Departemen hisbah di
seluruh kota besar, di Arab, ujian semacam ini dilakukan di Bagdad, Kairo,
dan Damaskus. Menurut seorang sejarawan Arab, Jurji Zaidan, ada jabatan
dokter kepala dalam struktur pemerintahan Arab (mungkin terdapat dalam
Departemen Hisbah), yang mengontrol pendidikan dan praktek pengobatan,
dan untuk system penilaian diserahkan kepada para Muhtasib (dewan penilai)
agar dokter mendapat predikat nilai profesionalitas.11
Bila dilihat Departemen Hisbah ini sangatlah kompleks kewenangan
yang dimilikinya mulai dari standarisasi pendidikan, pengujian hingga
melakukan pengawasan terhadap praktik kedokteran.
Adanya departemen hisbah ini sebagai bukti ternyata pemahaman
tentang aturan praktek di bidang kedokteran dalam Islam lebih awal
menciptakan situasi yang sangat kondusif bahwa penyelesaian hanya kalangan
organisasi profesi agar dampak perilaku dokter lebih positif bagi masyarakat
(self organitation determination).
11Fajrul Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis, (Bandung: Mizan, 1999), h. 116-117
76
Adapun sistem atau tata cara penegakan hukum atau tata cara pemeriksaan
bagi para dokter yang terduga melakukan pelanggaran professional masih sangat
sederhana, yaitu:
1. Pencabutan izin praktek (bagi para dokter)
2. Kewajiaban mengikuti pendidikan atau pelatiah di institusi pendidikan
(madrasah) kedokteran
3. Diserahkan pada sisitem hukum melalui pengadilan (hakim), bila dianggap
melakukan pelanggaran hukum yang berlaku.12
Namun ada sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana walaupun pada
dasarnya perbutan jarimah itu dilarang. Tetapi ada diantaranya yang
diperbolehkan dikarenakan adanya:
1. Pembelaan yang sah
2. Pendidikan
3. Pengobatan
4. Olahraga
5. Hilangnya jaminan
6. Menggunankan wewenang negara.
Salah satu sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana menurut hukum
Islam adalah adanya sebab pengobatan. Seorang dokter tidak dituntut karena
pekerjaannya dalam lapangan pengobatan. Akan tetapi karena pekerjaan lapangan
pengobatan lebih mirip pemakaian hak daripada melakukan kewajiban, maka
12Ibid., h. 118
77
timbul persoalan mengenai apakan pekerjaan dokter dapat dimintai pertanggung
jawaban jika merugikan pasien.
Sebagaimana firman Allah SWT:
)80: 26/الشعراء( Artinya:
“Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku” (QS. Assyu’ara. 26: 80)
Para Ulama sependapat bahwa akibat yang merugikan si sakit atau pasien
tidak dapat dimintakan pertanggung jwaban kepada dokter yang mengobatinya.
Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai alasannya. Imam Abu
Hanifah, mengajukan dua alasan:
1. Kebutuhan masyarakat;
2. Mendapatkan izin dari pasien atau walinya.
Dengan adanya alasan yang kedua ini dapat dijadikan alasan tentang
penerapan persetujuan dari pasien untuk dilakukannya pengobatan. Dengan
adanya kebutuhan masyarakat ini, dokter harus bebas melakukan pekerjaannya,
dan dari keizinan itu ada ia merasa bebas dari kekhawatiran untuk dituntut.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kebebasan dokter ini diperoleh karena
izin dari pasien atau walinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
kebebasan tersebut diperoleh dari pasien, walinya, dan penguasa.
Bebasnya dokter dari tuntutan ini kalau ia mempunyai syarat-syarat:
1. Ia harus benar-benar dokter.
78
2. Perbuatan tersebut dimaksudkan mengobati dengan niat yang baik.
3. Perbuatan itu dilakukan menurut aturan pengobatan.
4. Disetujui oleh pasien atau walinya.13
Seorang dokter yang melakukan malpraktek dan mengakibatkan kematian
pasiennyadapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Pembunuhan merupakan
perbuatan yang dilarang oleh ’syara’, kecuali ada yang membenarkan oleh hukum
syara’.
Dokter yang tidak mentaati perintah wajib dan melanggar standar prosedur
profesional, tidak ditentukaan oleh syara’ oleh al-Qur’an dan Hadits tentang
hukumnya. Hukumnya diserahkan pada masyarakat muslim dengan hukuman-
hukuman ta’zir. Cara menghukuminya terserah penguasa apakah dibuat suatu
undang-undang atau diserahkan kepada hakim berdasarkan kepada peristiwa
hukum yang pernah terjadi atau dengan jalan ijtihad.
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa
bagian, yaitu:
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan;
2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan;
3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan
kerusakan akhlak;
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta;
5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu; 13Marsum. Jinayat.,Op.cit., h. 172
79
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.14
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, berkaitan dengan terjadinya
malparaktek karena adanya pelanggaran prosedur operasional atau standar
profesional terdapat beberapa akibat yang dapat menjadi alasan untuk adanya
pertanggung jawabn dokter. Malpraktek karena adanya pelanggaran medis
tersebut dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’zir yang berkaitan dengan:
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan.
Adanya pelanggaran terutama pelanggaran prosedur operasional atau sttandar
profesional yang dilakukan dokter yang mana akbiat dari perbuatan dokter
tersebut pasien akhirnya cacat atau meninggal dunia, sehingga perbuatan
dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai pembunuhan.
Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati (qishas)
dimaafkan maka hukumannya diganti dengan diyat. Apabila hukuman diyat
juga dimaafkan, maka Ulil amri atau penguasa berhak menjatuhkan hukuman
ta’zir apabila hal tersebut dipandang lebih manfaat.
2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan.
Selain dianggap sebagai pembunuhan tidak adanya persetujuan tersebut juga
dapat dianggap melakukan pelukaan. Menurut Imam Malik, hukuman yang
dapat dianggap melakukan pelukaan, karena qishas merupakan hak adami
14Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I, h. 256
80
(manusia), sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat.15
Disamping itu, ta’zir dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila
qishasnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang
dibenarkan oleh syara’.
3. Jarimah yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah yang termsuk dalam kelompok ini antara lain seperti berbohong
(tidak memberikan keterangan yang benar), melanggar hak privacy orang lain
(misalnya tidak memeberikan informasi sebelum melakukan tindakan medik).
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah yang termasuk kedalam kelompok ini berkaitan dengan pelanggaran
prosedur operasional yaitu tindakan atau perbuatan lalai dalam menjalankan
tugas atau kewajiban. Seorang dokter dituntu kehati-hatian dan dituntut untuk
melaksanakan kewajibannya untuk selalu menerapkan konsep informed
consent dalam setiap tindakan medis. Dengan adanya kelalaian tersebut dapat
memperngaruhi kinerja dan tanggung jawab selaku aparat masyarakat bidang
kesehatan.
Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang
diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang
mempunyai Ahliyat al-Ada’ . Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat,
artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)
melaksanakan kewajiban. Oleh sebab itu tidak ada pertanggungjawaban pidana
15AW. Muslich., Ibid., h. 257
81
terhadap anak-anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang
kemauannya, orang yang dipaksa dan terpaksa.16
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas
orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang
mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum
dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.
Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan
tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggung jawabannya kelak.
Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash
terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi
kemaslahatan manusia sendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
☺
⌧ ⌧
)36: 17/اإلسرأ ( Artinya:
“Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36)
Bagi Abd al-Qadir Audah,17 bedasarkan ijma’ fuqaha akan bebasnya
tanggungjawab seorang dokter dari kesalahannya yang diperbuatnya harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
16Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155
82
1. Pelaku adalah bidangnya;
2. Hendaknya perbuatan itu ditunjukan untuk pengobatan dengan niat yang baik;
3. Dikerjakan sesuai dengan asas-asas ilmu kedokteran;
4. Atas persetujuan pasien atau keluarganya, dan atau pemerintah.
Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung
jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.
Dalam sebuah riwayat Hadits Nabi:18
م . صقال رسول اهللا: عن عمرو بن شعيب من أبيه عن جده قالرواه ابن (من تطبب ولم يعلم منه طبيب قبل ذلك فهو ضامن
)ماجهArtinya:
“Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah)
Adapun urusan hukumnya kewajiban memikul tanggungjawab (resiko)
bagi dokter yang bodoh atas tindakan itu, apabila dokter ini mempraktekkan ilmu
pengobatan tanpa benar-benar berpengalaman, maka ia telah merusak jiwa
dengan kebodohannya atau melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab
menurut apa yang tidak diketahui olehnya. Dengan demikian, maka ia telah
melakukan tindankan berbahaya dengan pengobatannya itu. Lalu ia wajib
memikul tanggungjawab atas perbuatannya.
17Abd al-Qodir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532 18Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,
1994), juz IV, h. 198
83
Ja’far Khadim19 menjelaskan, bahwa, apabila dokter yang mahir dan
mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat
kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter tersebut
wajib memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak
melebihi bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah
(keluarga atau ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak
ada baitulmal, menimbulkan dua pendapat: (1). dokter wajib membayar dengan
hartanya sendiri atau (2). Dengan gugurnya diyat.
Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam,
ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak.
Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi,
membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat
beberapa resiko hukum.20
1) Dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai
dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi
kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama berpendapat dokter
tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter
tersebut wajib membayar diyat.
19Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id
wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233 20al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:
Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
84
2) Dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu
kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut
tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,
dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab
Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori
jinayah khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat
pada baitulmal.
3) Dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap
pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru dalam
melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal.
Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban.
Namun bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga
dari dokter itu sendiri.
4) Dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien itu sendiri
ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama
mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi. sementara
pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas kerugian
tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik sesuai
kemampuan yang dimilkinya.
5) Orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetpi melakukan praktek yang
mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika
sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau
85
walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak
mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan
ganti rugi kepada pasiennya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan bab demi bab, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Konsep perlindungan hukum terhadap profesi kedokteran dalam kaitannya
dengan dugaan malpraktek, baik menurut hukum positif dimana disini lebih
mengacu kepada hukum kesehatan, dan kajian hukum Islam hampir sama
penerapannya, yaitu tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum
terkait dengan adanya dugaan malpraktek sepanjang ia melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta
dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
2. Kemudian mengenai perlindungan hukum dalam kajian pidana Islam telah
dipaparkan bahwa seorang dokter akan mendapatkan perlindunga hukum
selama ia memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan
ilmu kedokteran, kemudian jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien
terjadi kecelakaan, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak
dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib
membayar diyat. Namun ada sedikit perbedaan dikalangan para ulama
mengenai pertanggung jawaban hukum terhadap dokter yang melakukan
86
87
praktek yang berakibat fatal, dengan demikian apabila seorang dokter
melakukan suatu tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,akan
tetapi tidak memenuhi kesepakatan dengan pasien, maka para ulama fikih
berpendapat tidak dituntut hukum pidana, lain hal nya dengan Madzhab
Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena termasuk perbuatan
jarimah, Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat kepada baitulmal.
Lalu dokter ahli yang dalam melaksanakan pengobatan terhadap pasien
dengan ijtihadnya sendiri, maka ganti rugi dibayar oleh baitulmal kepada
keluarga korban, namun bagi Imam ibn Hambal yang membayar keluarga dari
dokter itu sendiri.
3. Adapun pertanggung jawaban dokter terhadap pasien merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan dalam hal pelayanan kesehatan yang
mengacu pada ketentuan perundang-undangan, mencakup tanggung jawab
etik, hukum, hingga administrasi, mulai dari awal pasien berobat hingga
sampai pasien tersebut sembuh, yang mana dalam melaksanakan tugas profesi
sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki, standar kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat.
4. Penyebab terjadinya dugaan malpraktek, secar garis besar hanya mengacu
pada tindakan medik yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur,
adanya kesenjangan antara hasil dengan kenyataan, melakukan tindakan
88
medis yang bertentangan dengan hak-hak pasien, dan adanya niat melawan
hukum.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang perlu sampaikan:
1. Bahwa perlu disosialisasikan hukum kesehatan kepada seluruh lapisan
masyarakat agar mereka dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban masing-
masing.
2. Bahwa perlu ditingkatkan peran aktif penegak hukum dalam menegakan
hukum kesehatan khususnya yang berkaitan dengan dugaan malpraktek.
3. Bahwa perlindungan hukum harus dilakukan secara proporsional dan
seimbang bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar terbangunnya
suasana dan kondisi yang kondusif dalam rangka mereka menjalankan tugas
dan profesinya.
4. Bahwa sikap keterbukaan, objektif, dan proporsional dari pihak Rumah sakit
sangat diharapkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap
masyarakat khususnya dalam penanganan kasus yang diduga malpraktek.
5. Bahwa hemat penulis apabila kasus-kasus tentang dugaan malparaktek ini
sepanjang masih bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, maka itu akan
lebih baik, disamping harus diselesaikan melalui jalur hukum.
DAFTAR PUSTAKA
al-Baqaiy, Yusuf Syeikh Muhammad. al-Qomus al-Muhith. Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/ 1995.
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, Depok: Gema Insani Press, 2003.
Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.
Audah, Abd al-Qodir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532
Azwar, Azrul. Kesehatan Kini dan Esok. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 1990.
Bisyarhi, Aridhatul al-Ahwadzi. Shahih Tirmidzi. Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989
Budi Utomo, Setiawan. Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Depok: Gema Insani Press, 2003.
Chazawi, Adami, Malpraktek Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, Malang: Bayumedia Publising, 2007, cet. Ke-I,
Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo, 1997.
Daud, Abu (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud. Beirut: Daar al-Fikr. juz IV, 1994.
Djazuli, Ahmad. Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian, Harian Sains, edisi: 03 Juni 2009
Elita, Rosa dan Shofie, Yusuf. Malpraktek: Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Unika Atma Jaya, 2007.
Guwandi, J. Dokter dan Rumah Sakit. Jakarta: FKUI, 1991.
Guwandi, J. Hukum Medik (Medical law). Jakarta: FKUI, 2004. cet. Ke-I.
Hamidy, Zainuddin. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
89
90
Hanafi, Ahmad. Azas-azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hanafiyah, M. Jusuf, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC, 1999
Hanafiyah, M. Jusuf. Malpraktek Medik. Jakarta: EGC, 1999.
Hariyani, Safitri. Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Disdit Media, 2005.
Hermawan, Banu ”Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis. Skipsi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007
Ibn al-Manzhur. Lisan al-‘Arabi. Kairo: Daar al-Hadits Juzz IV, 1423 H/ 2003 M.
Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam. Bandung: Dakhlan, T.Th
Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Daar al-Fikr, 1994.
Ibn Sina. al-Qanun fi al-Thibb. Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.
Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Bayu Media, 2006, Cet. ke-2
Isfandyarie, Anny dan Afandi, Fahrizal. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat. Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987.
Jayanti, Nusye. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran.Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009. cet, ke-I.
Juanda. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek. Bengkulu: T,Tp, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Karbala, Husein. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
91
Koeswadji, Hermein Herdiati. Hukum dan Masalah Medik. Jakarta: Airlangga University Press, 1984.
Malpraktek. Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007
Marianti, Ninik. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bima Aksara, T.Tt.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2008.
Mastuhu dan Ridwan, M. Deden. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Penerbit Nuansa, 1998.
Mishbah, Beben. “Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan Positif” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008.
Mochtar, M. Iqbal. Dokter Juga Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/tinjauan-umum-perlindungan- hukum.
Ohoiwatun, Y.A. Triana. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Bayu Media, 2007.
Poernomo, Bambang. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1986.
Rahman, Fajrul. Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis. Bandung: Mizan, 1999.
Rasyid, “Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur” Harian Medan, 10 Maret 2010.
Sampurna, Budi. “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran” Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74
Sanusi, Kadir. “Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter, Pasien” Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995.
Seno Adji, Oemar. Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter. Jakarta: Erlangga, 1991.
92
Seokanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Setiawan, Rahcmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Jakarta: Banacipta, 1991.
Sobur, Alex. Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Soewono, Hendrojono. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2006.
Supriadi, Willa C. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju, 2001. cet. Ke- I.
Tahido Yanggo, Chuzaimah dan Anshory, Hafidz. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.
Wawancara Pribadi dengan A.Y.G. Wibisono. Tangerang, 21 Agustus 2010
Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1981 Tentang KUHAP