permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di...
TRANSCRIPT
i
PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI
SD “SUKA ILMU” WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
Fitri Damayanti
NIM : 141134168
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini peneliti persembahkan untuk :
1. Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat, karunia, anugerah, dan
kemudahan yang Ia berikan kepadaku.
2. Orang tuaku, Bapak Sarjiyo dan Ibu Ponisah yang selalu memberikan doa,
kasih sayang, dan dukungan yang tak terhingga sampai aku ditempat ini.
3. Kakakku Risa Widhiatmaka dan Samsul Zulmihadi yang selalu
mendukungku.
4. Ibu Erlita dan Ibu Laura selaku dosen pembimbing yang selalu membantu
dan membimbingku dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Sahabat-sahabatku, Sihrumanti, Tyas, Prama, Eri dan Norman yang selalu
memberikan canda tawa dan semangat bagiku.
6. Teman-teman seperjuangan skripsi, Sihrumanti, Eri, Prama, Hera, Annisa,
Ely, Dhiana, Anin dan mbak Asti yang selalu memberikan semangat dan
bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Almamaterku Universitas Sanata Dharma, tempatku menimba ilmu dan
pengalaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
“Yang terus menerus kita kerjakan akan menjadi semakin mudah,
bukan karena secara alamiah hal itu berubah,
tetapi karena kemampuan untuk melakukannya telah meningkat.”
(Ralph Waldo Emerson)
“Susunlah semua kegagalanmu menjadi anak tangga keberhasilanmu.”
“Setiap pagi kau selalu punya dua pilihan :
melanjutkan mimpimu dalam lelap,
atau segera bangun untuk mewujudkannya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 8 Mei 2018
Peneliti
Fitri Damayanti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Fitri Damayanti
Nomor Mahasiswa : 141134168
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI
SD “SUKA ILMU” WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO”
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 8 Mei 2018
Yang menyatakan
Fitri Damayanti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH
DI SD “SUKA ILMU” WILAYAH KABUPATEN KULON PROGO
Fitri Damayanti
Universitas Sanata Dharma
2018
Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk hak bagi warga negara dalam
memperoleh pendidikan terutama bagi yang memiliki kebutuhan khusus agar
pengetahuan, bakat dan keterampilannya dapat diasah untuk masa depannya yang
lebih baik. Sekolah yang telah ditunjuk oleh dinas pendidikan untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu memperhatikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi salah satu sekolah dasar
yang ditunjuk Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo dalam
menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode
studi kasus. Peneliti mengumpulkan data dengan teknik wawancara semi
terstruktur, observasi dan dokumentasi. Permasalahan yang dihadapi SD “Suka
Ilmu” dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi adalah (1) tidak adanya
pendampingan dari guru pendamping khusus selama proses PPDB, (2) kurangnya
pendidik yang mampu menangani anak berkebutuhan khusus, (3) belum adanya
fasilitas khusus untuk anak berkebutuhan khusus, (4) tidak adanya kurikulum
adaptif, (5) bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
dan media pembelajaran yang belum sesuai dengan kebutuhan masing-masing
anak berkebutuhan khusus, dan (6) tidak adanya perbedaan evaluasi pembelajaran
dan KKM untuk anak berkebutuhan khusus.
Kata Kunci: Sekolah inklusi, penyelenggaraan pendidikan inklusi, anak
berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
LOWER GRADE INCLUSION SCHOOL PROBLEM IN “SUKA ILMU”
ELEMENTARY SCHOOL KULON PROGO REGENCY
Fitri Damayanti
Sanata Dharma University
2018
Inclusion school is one of the rights for all of citizens in obtaining
education, especially for those who have special needs in order to develop their
knowledge, talents, and skills so that they can have a better future. Schools that
have been designated by the Department of Education are expected to pay
attention to the aspect which are related to the implementation o the inclusive
education. The purpose of this research is to describe the problems faced by one
of the elementary school is that has been designated by the Department of
Education of Kulon Progo in organizing the inclusive education.
This research is a descriptive-qualitative research that using case study as
the method. The researcher collected the data by doing semi structured interview,
observation, and documentation. The problems faced by "Suka Ilmu" elementary
school in organizing the inclusive education are (1) they are not accompanied by
shadow teachers during the process of learning, (2) the lack of educators who are
able to deal with special needs students, (3) the lack of facilities for the students
with special needs, (4) there is no adaptive curriculum, (5) the materials, lesson
plans, learning activities, and media are incapable to fulfill the students’ needs,
and (6) there is no difference between the learning evaluation and minimum
mastery criteria for the students with special needs.
Keywords: inclusion school, implementation of inclusive education, children with
special needs.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas semua anugrah
serta kesempatan yang diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi
yang berjudul “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD
“Suka Ilmu” Wilayah Kabupaten Kulon Progo”. Skripsi ini dibuat sebagai
salah satu syarat kelulusan untuk memenuhi gelar Sarjana Pendidikan.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini lahir dengan adanya kekurangan dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Christiyanti Aprinastuti, S. Si., M. Pd., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.
3. Kintan Limiansih, S. Pd., M. Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.
4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., selaku dosen pembimbing I
yang telah memberikan kritik, saran, motivasi, waktu, pikiran, tenaga, dan
bantuan kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam penyusunan skripsi
ini.
5. Laurensia Aptik Evanjeli, S. Psi., M. A., selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan kritik, saran, motivasi, waktu, pikiran, tenaga, dan
bantuan kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam penyusunan skripsi
ini.
6. Kepala Sekolah SD “Suka Ilmu” di Kulon Progo yang telah memberikan
ijin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Guru Kelas I-III SD “Suka Ilmu” di Kulon Progo yang membantu dan
menjadi narasumber dalam penelitian ini.
8. Kedua orang tuaku, Bapak Sarjiyo dan Ibu Ponisah yang selalu
memberikan doa, dukungan, dan kasih sayang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
9. Kedua kakakku, Risa Widhiatmaka dan Samsul Zulmihadi yang selalu
mendukungku.
10. Sahabat-sahabatku, Sihrumanti, Tyas, Prama, Eri dan Norman yang selalu
memberikan canda tawa dan semangat bagiku.
11. Teman-teman seperjuangan skripsi, Sihrumanti, Eri, Prama, Hera, Annisa,
Ely, Dhiana, Anin dan mbak Asti yang selalu memberikan semangat dan
bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih banyak kekurangan.
Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca sekaligus menjadi sumber belajar bagi
peneliti lain yang memiliki tujuan mengembangkan pendidikan inklusi.
Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. iv
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ............................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................. x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN............................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4
E. Asumsi Penelitian ........................................................................................... 5
F. Definisi Operasional ....................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka ................................................................................................ 7
1. Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi ........................................................ 7
2. Sekolah Dasar Inklusi ............................................................................. 10
a. Pendidikan Inklusi ............................................................................ 10
b. Sekolah Dasar Inklusi ....................................................................... 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
c. Anak Berkebutuhan Khusus ............................................................. 14
d. Aspek Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi .................................... 16
3. Kelas Bawah ........................................................................................... 29
B. Penelitian yang Relevan ............................................................................... 29
C. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................................. 34
B. Setting Penelitian .......................................................................................... 35
C. Desain Penelitian .......................................................................................... 37
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 40
E. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 45
F. Kredibilitas dan Transferabilitas .................................................................. 48
G. Teknik Analisis Data .................................................................................... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Penelitian ...................................................................................... 53
B. Hasil Penelitian ............................................................................................. 55
C. Pembahasan .................................................................................................. 83
BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................... 98
B. Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 99
C. Saran ........................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101
LAMPIRAN ......................................................................................................... 104
BIOGRAFI PENELITI ........................................................................................ 165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR BAGAN
Halaman
Gambar 2.1 Bagan Literatur Map ......................................................................... 31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ................................................................................... 36
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara ............................................................................ 45
Tabel 3.3 Pedoman Catatan Anekdot .................................................................... 47
Tabel 3.4 Daftar Ceklist Dokumen ....................................................................... 48
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ........................................................... 54
Tabel 4.2 Jadwal Pelaksanaann Observasi Kelas dan Kegiatan Pembelajaran ...... 54
Tabel 4.3 Jadwal Pelaksanaan Studi Dokumentasi ............................................... 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian .......................................................................... 104
Lampiran 2 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ................................ 105
Lampiran 3 Reduksi Hasil Wawancara ................................................................ 106
Lampiran 4 Reduksi Hasil Observasi ................................................................... 142
Lampiran 5 Hasil Studi Dokumentasi ................................................................. 149
Lampiran 6 Display Data Wawancara dan Observasi ......................................... 153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab I ini, peneliti membahas tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian, dan definisi
operasional.
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia dalam menghadapi
perubahan dan perkembangan zaman, teknologi, dan budaya. Melalui
pendidikan, sumber daya manusia dapat berkembang guna menghadapi
tantangan zaman yang akan datang. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
mencantumkan tujuan Negara Indonesia, salah satunya adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tugas
dan tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 5 menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk mengeyam pendidikan yang bermutu dan warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, intelektual, mental, sosial, dan/atau potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Melalui Undang-Undang tersebut telah ditegaskan bahwa setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali bagi anak berkebutuhan
khusus. Pada kenyataannya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang
belum dapat merasakan haknya untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikan yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus dimulai
pada tahun 1948 dengan adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
yang berisi berbagai macam hak setiap individu, salah satunya adalah
pendidikan. Melalui Deklarasi ini, mulai terbentuk kesadaran masyarakat
untuk memperoleh pendidikan. Namun bagi kelompok-kelompok tertentu
misalnya yang memiliki kecacatan masih mendapat diskriminasi dalam
memperoleh pendidikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Pada tahun 1994, muncullah Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi
yang mendatangkan istilah pendidikan inklusi sebagai salah satu cara untuk
mengatasi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Di Indonesia, Pendidikan
Inklusi mulai diterapkan dengan adanya Deklarasi Bandung tahun 2004 yang
menyatakan kesiapan Indonesia menuju inklusi. Dalam Deklarasi ini, anak
berkebutuhan khusus mendapat kesamaan hak dalam berbicara, memperoleh
pendidikan, kesejahteraan, keagamaan, dan kesehatan. Selanjutnya pada
tahun 2009, muncullah Permendiknas nomor 70 tentang Pendidikan Inklusif
menyatakan semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dapat
mengikuti layanan pendidikan dalam satu lingkungan bersama dengan peserta
didik pada umumnya. Berdasarkan sejarah pendidikan inklusi tersebut, terjadi
pergeseran paradigma mengenai anak berkebutuhan khusus dalam dunia
pendidikan. Negara Indonesia menjadi lebih memperhatikan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus sendiri dapat menempuh pendidikannya di
Sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah inklusi. Sekolah luar biasa merupakan
salah satu layanan pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan khusus
dalam kelompok yang memiliki karakteristik khusus sama. Sekolah inklusi
adalah penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Meskipun akses pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus terbuka
lebar, namun kenyataan yang terjadi di Indonesia masih memprihatinkan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
anak berkebutuhan khusus yang ada di Indonesia ada sebanyak 1,6 juta
(kemdikbud.go.id). Sebanyak 159.001 anak telah mengenyam pendidikan
(nasional.tempo.co). Ini berarti bahwa baru 10% anak berkebutuhan khusus
yang merasakan pendidikan dan masih ada 90% anak berkebutuhan khusus
yang belum memperoleh pendidikan. Data ini menunjukkan bahwa masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
jauhnya harapan untuk seluruh anak berkebutuhan khusus dapat memperoleh
pendidikan yang layak.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009
pasal 4 menetapkan bahwa setiap kecamatan harus menunjuk paling sedikit
satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusi. Permendiknas ini juga menyebutkan
tujuan pendidikan inklusi adalah untuk memberikan kesempatan kepada
peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya serta untuk
mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman
dan tidak mendiskriminasi peserta didik. Diharapkan dengan adanya
peraturan ini semakin membuka kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus
untuk mengenyam pendidikan.
Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data yang diperoleh dari
penelitian yang dilakukan oleh Sabatiana (2017), di wilayah Kabupaten
Kulon Progo terdapat 26 (dua puluh enam) sekolah dasar yang
menyelenggarakan pendidikan inklusi. Jumlah sekolah tersebut sudah
menyebar ke seluruh wilayah Kabupaten Kulon Progo yang terdiri dari 12
(dua belas) kecamatan. Masing-masing kecamatan setidaknya sudah memiliki
1 (satu) sekolah dasar inklusi.
Ketika sebuah sekolah menyelenggarakan pendidikan tentunya akan
menghadapi masalah atau kendala. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Sabatiana (2017) mengenai survei penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di
wilayah Kabupaten Kulon Progo diketahui bahwa terdapat permasalahan
yang dihadapi sekolah dalam memberikan layanan pendidikan bagi peserta
didik berkebutuhan khusus. Sabatiana (2017) mengambil sampel sebanyak 11
(sebelas) sekolah dasar inklusi yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Menurut
hasil penelitian tersebut, 7 (tujuh) sekolah sudah mampu menerapkan
kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi, 3 (tiga) sekolah yang
memenuhi 7 (tujuh) aspek dan 1 (satu) sekolah dasar yang baru menerapkan 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
(enam) aspek penyelenggaraan sekolah inklusi. Hal ini menunjukkan bahwa
dua aspek yang belum dapat diterapkan oleh sekolah tersebut masih
mengalami kendala dalam penerapannya. Melalui penelitian yang telah
dilakukan Sabatiana (2017) ini, peneliti tertarik untuk lebih memperdalam
permasalahan yang dialami oleh sekolah dasar yang paling rendah dalam
menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut dengan mendeskripsikan
secara rinci sesuai dengan keadaan di lapangan. Oleh karena itu, peneliti
mengangkat judul “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD
“Suka Ilmu” Wilayah Kabupaten Kulon Progo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang
dibahas pada penelitian ini adalah bagaimana permasalahan sekolah dasar
inklusi kelas bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, peneliti telah menentukan tujuan penelitian
yaitu mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi oleh sekolah dasar inklusi
kelas bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
langsung dan tidak langsung antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
permasalahan yang dihadapi sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD
“Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah Dasar Inklusi
Melalui penelitian ini, sekolah dapat mengkaji dan melakukan
evaluasi untuk menghadapi masalah dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi kelas bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah
Kabupaten Kulon Progo. Selanjutnya sekolah dapat melakukan
tindak lanjut untuk memperbaiki dan menyelesaikan permasalahan
tersebut.
b. Bagi Guru
Guru dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi sekolah dan
melaksanakan tindak lanjut yang telah diputuskan oleh pihak sekolah
untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi.
c. Bagi Peneliti
Peneliti dapat mendeskripskan permasalahan yang dihadapi oleh
sekolah dasar kelas bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten
Kulon Progo. Peneliti juga dapat belajar mengenai aspek-aspek apa
saja yang harus penuhi dan permasalahan yang mungkin terjadi
dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi.
E. Asumsi Penelitian
Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi. Aspek-aspek tersebut menjadi standar
untuk memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus. Sabatiana
(2017) melakukan penelitian mengenai survei penyelenggaraan pendidikan
inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo dengan menggunakan 8 (delapan)
aspek dari Kustawan dan Hermawan (2013). Kedelapan aspek tersebut adalah
(1) penerimaan peserta didik baru yang mengakomodasi semua anak, (2)
identifikasi, (3) asesmen, (4) adaptasi kurikulum, (5) merancang bahan ajar
dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, (6) penataan kelas yang ramah
anak, (7) pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, serta (8)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penilaian dan evaluasi pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian
Sabatiana (2017), peneliti berasumsi bahwa SD “Suka Ilmu” belum
menerapkan beberapa aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi. Penelitian
Sabatiana menunjukkan hasil bahwa dari 11 (sebelas) sekolah dasar inklusi
yang menjadi sampel survei terdapat 4 (empat) sekolah dasar yang belum
menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi. SD “Suka
Ilmu” adalah salah satu sekolah dasar inklusi yang menjadi sampel survei, di
mana sekolah ini belum menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
permasalahan yang dihadapi SD “Suka Ilmu” dalam memberikan layanan
pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
F. Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah yang dijelaskan sebagai
berikut.
1. Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi
Permasalahan sekolah dasar inklusi adalah kendala-kendala yang
dihadapi oleh sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dalam
memberikan layanan kepada peserta didik berkebutuhan khusus dan tidak
berkebutuhan khusus.
2. Sekolah Dasar Inklusi
Sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar regular yang ditempuh
minimal selama enam tahun di mana peserta didiknya ada yang
kebutuhan khusus dan tidak kebutuhan khusus dalam kelas yang sama.
Masing-masing peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk
mengembangkan potensinya secara optimal.
3. Kelas Bawah
Kelas bawah adalah masa pendidikan yang ditempuh di sekolah dasar
yaitu kelas I (satu), kelas II (dua), dan kelas III (tiga).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini peneliti menjelaskan mengenai kajian pustaka, penelitian
yang relevan, dan kerangka berpikir.
A. Kajian Pustaka
1. Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi
Dalam memberikan layanan pendidikan pasti terdapat masalah atau
kendala yang dihadapi oleh pengelola maupun pemberi layanan pendidikan.
Terlebih lagi bagi sekolah inklusi, di mana banyak hal yang menjadi
perhatian khusus dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi dibandingkan
dengan sekolah regular.
Kustawan dan Hermawan (2013:34-36), menyebutkan beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan inklusi yaitu sebagai
berikut:
a. Adanya diskriminasi atau penolakan terhadap kelompok anak tertentu yang
berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan untuk memperoleh
pendidikan yang sama dengan kelompok mayoritas.
b. Banyaknya anak-anak cacat (berkebutuhan khusus) yang belum mendapat
akses pendidikan.
c. Kurikulum, pembelajaran, dan penilaian yang belum sesuai dengan
kebutuhan anak.
d. Proses pembelajaran yang belum memperhatikan karakter setiap anak namun
lebih menekankan pada penyelesaian program.
e. Proses pembelajaran yang sangat kompetitif, menghargai yang menang dan
tak menghiraukan yang kalah.
f. Sistem yang kaku dan seragam sehingga mengabaikan keberagaman yang
dimiliki oleh masing-masing anak.
g. Pembelajaran yang memaksakan anak, tidak menyesuaikan dengan hambatan
dan kebutuhan anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Ilahi (2013:63-67) menyebutkan permasalahan-permasalahan
pendidikan inklusi, yaitu sebagai berikut :
a. Guru yang belum bersikap proaktif dan ramah terhadap semua anak.
b. Kebijakan sekolah yang belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga
profesional, organisasi, atau institusi terkait.
c. Proses pembelajaran yang belum menggunakan sistem team teaching.
d. Sistem pengajaran yang belum tentu memberikan jaminan akan keberhasilan
anak berkebutuhan khusus dalam menangkap materi.
e. Kurangnya fasilitas dan media pembelajaran.
f. Kondisi guru yang kurang bersemangat dalam menangani anak berkebutuhan
khusus.
g. Sistem pendukung dalam pelaksanaan pendidikan inklusi yang belum
memadai.
Tarnoto (Jurnal Pendidikan, vol. 13), memaparkan permasalahan-
permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan sekolah inklusi yaitu dibagi
menjadi 7 (tujuh) kategori sebagai berikut :
a. Guru
Pemasalahan yang muncul dari kategori guru adalah kurangnya jumlah
Guru Pendamping Kelas (GPK), kurangnya kompetensi guru dalam
menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), kesulitan guru yang dialami
dalam kegiatan belajar mengajar, kurangnya pemahaman guru tentang ABK
dan sekolah inklusi, latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai, beban
administrasi yang semakin berat untuk guru, kurangnya kesabaran guru dalam
menghadapi ABK, dan kesulitan guru dalam menangani orang tua ABK.
b. Orang tua
Permasalahan yang dikeluhkan guru terkait dengan orang tua adalah
kurangnya kepedulian orang tua terhadap penanganan ABK, kurangnya
pemahaman orang tua mengenai ABK, orang tua yang merasa malu sehingga
menyekolahkan anaknya di sekolah umum, toleransi dari orang tua siswa
regular yang kurang terhadap ABK, orang tua yang kurang sabar menangani
ABK, dan pengasuhan orang tua tunggal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
c. Siswa
Permasalahan yang dikemukakan oleh guru terkait dengan siswa adalah
ABK dengan permasalahan yang berbeda-beda memerlukan penanganan yang
berbeda, ABK kesulitan dalam mengikuti materi pelajaran, ABK yang tidak
bisa mengikuti aturan sehingga mengganggu proses KBM, permasalahan
siswa regular dengan ABK, dan jumlah ABK yang melebihi batas kuota di
setiap kelas.
d. Manajemen sekolah
Permasalahan yang dikeluhkan guru mengenai manajemen sekolah
adalah belum siapnya sekolah dengan program inklusi baik dari segi
administrasinya dan Sumber Daya Manusia (SDM), proses KBM yang belum
berjalan maksimal, dan belum ada pertemuan rutin antara orang tua dan
sekolah.
e. Pemerintah
Permasalahan terkait pemerintah yang diungkapkan guru adalah
kurangnya perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pelaksanaan
sekolah inklusi, belum jelasnya kebijakan tentang pelaksanaan sekolah
inklusi, belum ada modifikasi kurikulum khusus sekolah inklusi, dan
kurangnya pelatihan kepada guru mengenai pendidikan inklusi.
f. Masyarakat
Permasalahan yang dikemukakan guru mengenai masyarakat adalah
minimnya pengetahuan masyarakat mengenai pendidikan inklusi dan ABK,
pandangan negatif masyarakat terhadap ABK dan sekolah inklusi, dan
kurangnya dukungan masyarakat terkait pelaksaan pendidikan inklusi.
g. Lain-lainnya
Pemasalahan lain yang diungkapkan oleh guru adalah kurangnya sarana
dan prasarana yang mendukung pelaksanaan inklusi, kurangnya keterlibatan
semua pihak (akademisi, tenaga ahli, guru, sekolah, orang tua, dan
pemerintah) dalam pelaksanaan sekolah inklusi, latar belakang sosial yang
mempengaruhi ABK, predikat sekolah inklusi membuat kehilangan siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
cerdas, dan belum adanya kesepahaman tentang pelaksanaan inklusi dari
berbagai pihak.
Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
permasalahan sekolah dasar inkusi adalah berbagai macam kendala atau
masalah yang dihadapi oleh sekolah dasar yang menyelenggarakan
pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Banyak sekali
permasalahan yang dihadapi sekolah inklusi dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusi. Dalam melaksanakan penyelenggaraan pendidikan inklusi
bukan berarti hanya menjadi tanggung jawab dari sekolah ataupun guru di
kelas saja, tetapi merupakan tanggung jawab dari semua pihak. Kerja sama
dari semua pihak (sekolah, guru, pemerintah, siswa, orang tua, dan
masyarakat) dapat membantu terciptanya layanan pendidikan inklusi yang
mengakomodasi setiap peserta didik dalam mengembangkan bakat dan
potensinya tanpa memandang kekurangan yang dimiliki masing-masing
peserta didik.
2. Sekolah Dasar Inklusi
Pada sub bab ini peneliti membahas mengenai pendidikan inklusi,
sekolah dasar inklusi, anak berkebutuhan khusus, dan aspek penyelenggaraan
pendidikan inklusi.
a. Pendidikan Inklusi
Aphroditta (2012:69) memaparkan mengenai pendidikan inklusi yaitu
pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama
dengan anak pada umumnya untuk mengembangkan keterampilan yang
dimilikinya. Salamanca Statement mengartikan pendidikan inklusi sebagai
berikut.
Pendidikan atau sekolah yang harus mengakomodasi semua anak tanpa
mempedulikan keadaan fisik, intektualm sosial, emosi, bahasa, atau
kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat, anak-anak
berbakat, pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-
anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang
tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat.
Salamanca Statement (dalam Kustawan dan Hermawan, 2013:8)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Kustawan dan Hermawan (2013:10), menambahkan pendidikan inklusi
adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu agar semua
individu dapat memperoleh pendidikan (education for all). Pendidikan
tersebut harus memenuhi kebutuhan pendidikan masing-masing individu
yang beragam dalam jalur utama pendidikan (pendidikan regular). O’Neil
(dalam Ilahi, 2013:27) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem
layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama dengan teman
seusianya. Pendidikan inklusi mengupayakan untuk memberikan kesempatan
yang sama kepada semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus untuk
memperoleh akses yang sama seperti anak tidak berkebutuhan khusus dalam
memperoleh pendidikan.
Ilahi (2013:27) menambahkan bahwa pendidikan inklusi sebagai
pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki
keinginan untuk mengembangkan potensi-potensinya secara optimal.
Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa, menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, pendidikan inklusi dapat
diartikan sebagai layanan pendidikan yang mengakomodasi semua anak baik
yang berkebutuhan khusus maupun tidak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh pendidikan yang sama dengan teman-teman seusianya pada
kelas yang sama. Melalui pendidikan inklusi, setiap anak berkebutuhan
khusus dapat memperoleh pelayanan pendidikan di sekolah terdekat untuk
mengembangkan bakat, potensi, dan keterampilan yang dimilikinya secara
optimal. Pendidikan inklusi mencakup layanan pendidikan serta akses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
pendidikan yang sama untuk semua anak dalam upaya memenuhi kebutuhan
masing-masing individu dengan kemampuan dan keterampilannya yang
beragam.
b. Sekolah Dasar Inklusi
Sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan enam tahun (Bafadal, 2006:3). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar menyebutkan
bahwa sekolah dasar adalah program pendidikan dasar yang ditempuh selama
enam tahun. Triwiyanto (2014) mengungkapkan bahwa sekolah dasar
merupakan salah satu bentuk pendidikan dasar. Pedoman Umum PPDB
menjelaskan bahwa sekolah dasar (SD) adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan sekolah yang menyediakan program pendidikan dasar bagi anak
usia 7 (tujuh) tahun sampai 12 (dua belas) tahun.
Peneliti menyimpulkan bahwa sekolah dasar adalah salah satu bentuk
pendidikan dasar yang diselenggarakan selama enam tahun. Sekolah dasar
merupakan tingkatan pertama yang dilalui siswa dalam menempuh pendikan.
Siswa menempuh pendidikan selama enam tahun dari usia 7 (tujuh) tahun
sampai 12 (dua belas) tahun kemudian dilanjutkan pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Sekolah dasar terdiri dari enam tingkatan kelas yang terdiri
dari kelas satu hingga kelas enam.
Sebelum peneliti membahas mengenai sekolah dasar inklusi, terlebih
dulu peneliti membahas mengenai sekolah inklusi. Ilahi (2013:87)
mengartikan sekolah inklusi sebagai sekolah regular yang
mengakomodasikan dan mengintegrasikan anak tidak berkebutuhan khusus
dan anak berkebutuhan khusus dalam program yang sama. Murtie (2014:225)
menjelaskan bahwa sekolah inklusi merupakan sekolah yang dibuat untuk
mendidik anak-anak pada umumnya, namun menyediakan tempat juga bagi
anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu didik. Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi oleh Departemen Pendidikan Nasional
Pendidikan Luar Biasa menjelaskan mengenai sekolah inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas
yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para
guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu sekolah inklusi merupakan
tempat bagi semua anak diterima menjadi bagian kelas maupun dalam
anggota masyarakat lainnya agar kebutuhan individu dapat terpenuhi.
Peneliti mengartikan sekolah inklusi sebagai sekolah regular yang
mengakomodasi anak berkebutuhan khusus dan anak tidak berkebutuhan
khusus pada program pendidikan yang sama dalam upaya mengurangi
eksklusifitas dalam kegiatan pendidikan. Program pendidikan yang diberikan
oleh sekolah inklusi disesuaikan dengan keragaman kemampuan dan
kebutuhan masing-masing peserta didik. Selain sekolah inklusi, Hermawan
(2012:56-60) mengungkapkan terdapat model layanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus lain dengan menganut sistem persekolahan yaitu
sekolah segregasi dan sekolah integrasi. Sekolah segregasi adalah sekolah
khusus untuk peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Sarana dan
prasarana yang disediakan khusus, gurunya dikhususkan untuk menangani
anak berkebutuhan khusus, serta kegiatan pembelajaran dan lingkungan
belajar khusus. Sekolah integrasi adalah sekolah regular (umum) yang
memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bersama
peserta didik tidak berkebutuhan khusus pada kelas yang sama. Sekolah
integrasi memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk
mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah umum, gurunya
merupakan guru umum, alat pembelajarannya tidak memiliki kekhususan,
serta guru menganggap anak berkebutuhan khusus bisa mengikuti
pembelajaran sebagaimana anak tidak berkebutuhan khusus sebayanya.
Peneliti telah memaparkan pendapat para ahli mengenai pendidikan
inklusi, sekolah dasar, dan sekolah inklusi. Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, peneliti merangkumnya menjadi sebuah istilah baru yaitu sekolah
dasar inklusi. Sekolah dasar inklusi adalah salah satu bentuk pendidikan dasar
yang ditempuh selama enam tahun di mana sekolah memberikan layanan
yang mengakomodasi anak berkebutuhan khusus dengan anak tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
berkebutuhan khusus tanpa memandang kekurangan dan kelebihan masing-
masing anak guna mengembangkan bakat, potensi, dan keterampilan yang
dimilikinya.
c. Anak Berkebutuhan Khusus
Membahas mengenai pendidikan inklusi tidak lengkap jika tidak
membahas mengenai anak berkebutuhan khusus, maka peneliti mencari
sejumlah informasi mengenai anak berkebutuhan khusus yaitu pengertian
anak berkebutuhan khusus dan macam-macam anak berkebutuhan khusus.
Delphie (2006:1) mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK)
merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)”
yang menandakan adanya kelainan khusus. Murtie (2014:8) memaparkan
bahwa anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak-anak yang memiliki
karakteristik berbeda, baik secara fisik, emosi, ataupun mental dengan anak-
anak yang lain seusianya. Ilahi (2013:138) menjelaskan anak berkebutuhan
khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau
permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens.
Peneliti dapat menarik kesimpulan dari ketiga tokoh yang telah
mengungkapkan pendapatnya mengenai anak berkebutuhan khusus yaitu
anak-anak yang memiliki kelainan baik secara fisik, emosi, atau mental
dibandingkan dengan anak seusianya. Kelainan yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus ini dapat bersifat sementara atau permanen, sehingga
ketika memperoleh pendidikan mereka memerlukan layanan yang berbeda.
Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda
antara satu dan lainnya, sehingga Kauffman dan Hallahan (dalam Delphie,
2006:15) mengungkapkan ada sepuluh macam anak berkebutuhan khusus
yang paling banyak mendapat perhatian guru dilihat dari karakteristik yang
dimilikinya. Delphie (2006) menjelaskan kesepuluh macam anak
berkebutuhan tersebut sebagai berikut.
1) Tunagrahita (mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya
perkembangan (child with development impairment), memiliki kesulitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
dalam belajar karena terhambat perkembangan inteligensi, mental, emosi,
sosial, dan fisik.
2) Kesulitan belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah
(specific learning disability), memiliki masalah dalam perkembangan
kognitif, emosi dan sosialnya. Anak memiliki prestasi yang rendah untuk
bidang akademik tertentu atau keseluruhan bidang akademik. Kemampuan
kognitif anak kurang mampu mengadopsi proses informasi. Perkembangan
emosi dan sosialnya sangat memerlukan perhatian.
3) Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive) memiliki ciri-ciri
yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka
mengganggu teman, sulit berkonsentrasi, sulit mengikuti perintah, dan
bermasalah dalam belajar.
4) Tunalaras (emotional or behavior disorder) memiliki hambatan emosional
atau kelainan perilaku, karakteristik suka membuat keributan secara
berlebihan dan berpotensi kearah perilaku kriminal.
5) Tunarungu wicara (communication disorder and deafness) memiliki
hambatan pendengaran dan kesulitan berkomunikasi secara lisan dengan
orang lain. Anak tunarungu wicara mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan karena tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh indera pendengaran.
6) Tunanetra (partially seing and legally blind) atau disebut dengan anak yang
mengalami hambatan dalam penglihatan memiliki hambatan untuk
menggunakan indera penglihatannya.
7) Anak autistik (autistic children) mengalami kelainan berbicara, gangguan
kemampuan intelektual dan fungsi saraf. Kelainan yang dimiliki anak autistik
meliputi kelainan bicara, kelainan fungsi saraf, intelektual, dan perilaku yang
ganjil. Anak autistik mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat
seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari
lingkungan hidupnya.
8) Tunadaksa (physical disability) memiliki kelainan pada tulang, persendian,
dan saraf yang menggerakkan otot-otot tubuhnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
9) Tunaganda (multiple handicapped) memiliki kelainan perkembangan
neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan
kemampuan pada aspek inteligensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi
masyarakat. Kelainan perkembangan ganda juga mencakup kelainan
perkembangan fungsi adaptif. Mereka umumnya memerlukan layanan-
layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus.
10) Anak berbakat (giftedness and special talents) memiliki kemampuan-
kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, fisik, dan perilaku sosial.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menjelaskan peserta
didik yang memiliki kelainan berhak mengikuti pendidikan secara inklusif
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya. Peserta didik tersebut adalah (1) tunanetra, (2) tunarungu,
(3) tunawicara, (4) tunagrahita, (5) tunadaksa, (6) tunalaras, (7) berkesulitan
belajar, (8) lamban belajar, (9) autis, (10) memiliki gangguan motorik, (11)
menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif
lainnya, (12) memiliki kelainan lainnya, dan (13) tunaganda. Aturan Menteri
Pendidikan Nasional ini menunjukkan bahwa setiap individu berhak
memperoleh layanan pendidikan, meskipun memiliki kelainan atau kebutuhan
khusus.
d. Aspek Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Menurut Kustawan dan Hermawan (2013) dalam bukunya yang
berjudul “Model Implementasi Pendidikan Inklusif Ramah Anak” terdapat 8
(delapan) aspek yang perlu diterapkan dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusif yaitu :
1) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasikan Semua
Anak
Ilahi (2013:24) mengungkapan bahwa konsep pendidikan inklusi
merupakan representasi keseluruhan aspek yang berkaitan dengan
keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
hak dasar mereka sebagai warga negara. Salah satu bentuk keterbukaan
sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dalam menerima anak
berkebutuhan khusus adalah melalui pelaksanaan penerimaan peserta didik
baru yang pelaksanaanya dilakukan sebelum tahun pelajaran baru. Pedoman
Umum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD, dan SMP
Tahun Pelajaran 2017/2018 memberikan pengertian Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB) sebagai kegiatan penerimaan calon peserta didik yang
memenuhi syarat tertentu untuk memperoleh pendidikan pada satuan
pendidikan, mengikuti suatu jenjang pendidikan atau jenjang pendidikan yang
lebih tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa menambahkan bahwa dalam
pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Ilahi (2013:24),
menjelaskan bahwa pendidikan inklusi memang mencerminkan pendidikan
untuk semua tanpa terkecuali, apakah dia mengalami keterbatasan fisik atau
tidak memiliki kemampuan secara finansial. Sependapat dengan Ilahi,
Kustawan dan Hermawan (2013:90) menyatakan bahwa guru perlu
memahami keberagaman anak dalam haknya untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu tanpa melihat perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi atau
kondisi lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti mengambil
kesimpulan bahwa penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang
mengakomodasi semua anak adalah kegiatan penerimaan calon peserta didik
tanpa memandang kelainan atau kecerdasan/bakat istimewa yang dimiliki
seseorang untuk memperoleh haknya mendapat pendidikan yang bermutu
dalam satu lingkungan pendidikan bersama dengan peserta didik lainnya.
Pada proses PPDB, pengelola sekolah perlu mempertimbangkan sumber daya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
yang dimiliki sekolah yaitu sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan,
sumber daya sarana dan prasarana, serta sumber daya biaya.
Kustawan dan Hermawan (2013:91-92), berpendapat bahwa sekolah
perlu membentuk Panitia PPDB yang dilengkapi oleh Guru Pendamping
Khusus (GPK) dan/atau konselor. Dalam proses PPDB ini perlu dilaksanakan
asesmen (asesmen awal) untuk menjaring dan menempatkan siswa
berkebutuhan khusus agar sekolah dapat mengetahui kekuatan, kelemahan,
kebutuhan dan standar awal siswa berkebutuhan khusus tersebut. Asesmen
awal ini dapat dilakukan oleh guru pendamping khusus dan/atau konselor.
Sekolah perlu menyusun panduan PPDB yang mengakomodasi peserta
didik baru berkebutuhan khusus yang berisi persyaratan dan mekanisme
penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus. Pedoman Umum Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD, dan SMP Tahun Pelajaran
2017/2018 memaparkan persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu)
adalah berusia 7 (tujuh) tahun wajib diterima sebagai peserta didik dan
berusia paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli 2017. Persyaratan
usia calon peserta didik tersebut dibuktikan dengan membawa Akta Kelahiran
atau Surat Keterangan Lahir yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang
dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
SD/MI penyelenggara pendidikan inklusi perlu mempertimbangkan
sumber daya yang dimikili sekolah dan mengalokasikan kursi/quota untuk
peserta didik berkebutuhan khusus. Pada Pedoman Umum Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) telah ditentukan jumlah peserta didik setiap
rombongan belajar untuk Sekolah Dasar (SD) paling banyak 28 (dua puluh
delapan) siswa. Kustawan dan Hermawan (2013:91) memaparkan bahwa
setiap rombongan belajar perlu mengalokasikan paling sedikit 1 (satu) peserta
didik berkebutuhan khusus dan paling banyak 3 (tiga) peserta didik
berkebutuhan khusus.
Friend dan Bursuck (2015:68) mengungkapkan ada dua sumber daya
pendidik dan tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusi yaitu guru
pendidikan umum dan guru pendidikan khusus. Guru pendidikan umum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
adalah tenaga profesional yang mengetahui paling banyak tentang keseharian,
keunggulan, serta kebutuhan dari ABK. Guru pendidikan umum atau yang
dapat disebut sebagai guru kelas inilah yang akan mengarahkan perhatian
tenaga profesional lainnya untuk lebih fokus pada ABK. Ketika guru kelas
mencurigai ada kelainan pada siswa, guru kelas akan mencatat ciri-ciri khusus
dan perilaku yang dianggap mengkhawatirkan. Guru pendidikan khusus dapat
juga disebut sebagai guru pendamping khusus. Yuwono (dalam Murtie,
2014:126), menjelaskan bahwa guru pendamping khusus adalah mereka yang
memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang anak-anak kebutuhan
khusus. Murtie (2014:126) menambahkan bahwa guru pendamping untuk
ABK biasanya memiliki latar belakang pendidikan luar biasa atau tenaga ahli
lain seperti psikolog. Idealnya satu guru pendamping khusus maksimal
menangani tidak lebih dari lima orang anak berkebutuhan khusus. Tugas
utama guru pendamping khusus adalah untuk membantu atau bekerja sama
dengan guru kelas dalam menciptakan pembelajaran yang inklusif. Sejalan
dengan Murtie, Friend dan Bursuck (2015:70) menambahkan informasi
bahwa guru pendidikan khusus memiliki tanggung jawab untuk (a) mengelola
dan mengatur layanan yang diterima seorang siswa, meliputi penyusunan dan
pelaksanaan program pendidikan individual (Individualized Education
Program/IEP), dan (b) melakukan rapat dengan guru kelas untuk memantau
kemajuan siswa, menyelesaikan persoalan yang menjadi perhatian secara
bersama-sama dengan guru kelas, dan mengoordinasikan layanan bagi siswa
ABK.
Pendidik dan tenaga kependidikan dalam sekolah inklusi perlu
mendapatkan berbagai macam pelatihan atau sosialiasi mengenai anak
berkebutuhan khusus. Hal ini berguna untuk meningkatkan kemampuan dari
sumber daya manusia yang ada di sekolah inklusi dalam upaya
menyelenggarakan pendidikan inklusi secara optimal. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesi Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa pasal 10 ayat (3) dan ayat (5)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menjelaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi
wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik
dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara inklusif.
Ayat (6) memaparkan peningkatan kompetensi sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (5) dapat dilakukan melalui: (a) Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), (b) Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), (c) Perguruan Tinggi (PT), (d) Lembaga
pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah,
Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen Agama, (e)
Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MPS, dan sejenisnya.
2) Identifikasi
Kustawan dan Hermawan (2013:93) memaparkan bahwa identifikasi
adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk
menemukan dan mengenali anak yang mengalami
hambatan/kelainan/gangguan baik fisik, intelektual, mental, emosional dan
sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan
kebutuhan khususnya. Buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (dalam
Kustawan, 2013: 93) menjelaskan bahwa identifikasi dapat diartikan sebagai
upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus dengan berbagai gejala-
gejala yang menyertainya.
Guru dapat melakukan identifikasi dengan cara mengamati atau
melakukan observasi pada gejala-gejala yang nampak yaitu berupa gejala
fisik, gejala perilaku, dan gejala hasil belajar. Tujuan guru melakukan
identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang
anak mengalami kelainan atau penyimpangan dalam pertumbuhan atau
perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Hasil
identifikasi digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran
sesuai dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk menyusun program dan
pelaksanaan intervensi/penanganan/terapi berkaitan dengan hambatannya
(Kustawan dan Hermawan, 2013:93-94).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
3) Asesmen
Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (dalam
Kustawan dan Hermawan, 2013:93) menjelaskan bahwa asesmen adalah
suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya)
untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah laku)
dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Kustawan dan
Hermawan (2013:97) menjelaskan bahwa asesmen merupakan berbagai
informasi siswa berkebutuhan khusus yang digunakan guru dalam
merencanakan sebuah pembelajaran yang efektif. Informasi tersebut
diharapkan dapat menjadi dasar dalam memberikan layanan yang berorientasi
pada kebutuhan dan karakteristik siswa. Overton (dalam Friend dan Bursuck,
2015:209) menjelaskan bahwa asesmen adalah proses pengumpulan
informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan
ketika diperlukan.
Asesmen dapat diartikan sebagai upaya penjaringan terhadap anak
yang mengalami kelainan atau penyimpangan dengan cara mengumpulkan
berbagai informasi mengenai perkembangan anak. Melalui asesmen, guru
dapat menyusun pembelajaran efektif yang berorientasi pada kebutuhan
masing-masing anak, sehingga kemampuan anak dapat berkembang secara
optimal. Friend dan Bursuck (2015:210-217) memaparkan guru dapat
berkontribusi dalam proses asesmen informasi pada enam ranah penting
pengambilan keputusan yaitu screening, diagnosis, penempatan program,
penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran, dan evaluasi program.
a) Screening
Screening meliputi keputusan untuk menentukan jika proses kemajuan
seorang siswa dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya
sehingga patut untuk menerima perubahan pengajaran atau pada akhirnya
asesmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
b) Diagnosis
Keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan
atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan hukum
bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau
tidak.
c) Penempatan program
Bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan
ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang
diterima siswa, misalnya di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber,
atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah. Tim perencana program
atau guru dapat melakukan penyesuaian program dengan kemampuan yang
dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus. Pelaksanan program ini juga
berkaitan dengan tempat pelaksanaan program lebih baik dilaksanakan di
dalam ruang kelas pendidikan umum atau ruang kelas pendidikan yang
terpisah.
d) Penempatan kurikulum
Penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang
akan dipilih untuk memulai pengajaran siswa. Informasi mengenai
penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan
pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa-siswa
penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.
e) Evaluasi pengajaran
Keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk
melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada
siswa. Keputusan ini dibuat dengan memantau kemajuan siswa secara cermat.
f) Evaluasi program
Keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan,
melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
4) Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)
Kustawan dan Hermawan (2013:107) memaparkan bahwa kurikulum
fleksibel yakni mengakomodasikan anak dengan berbagai latar belakang dan
kemampuan, maka kurikulum tingkat satuan pendidikan akan lebih peka
mempertimbangkan keragaman anak agar pembelajarannya relevan dengan
kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah reguler yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif ramah anak harus mampu mengembangkan kurikulum
sesuai dengan tingkat, perkembangan, dan karakteristik anak agar lulusan
memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesi Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa pasal 7 memaparkan bahwa
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan
peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya.
Kurikulum penting untuk menata arah dan tujuan kependidikan yang
sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan hak-haknya yang
belum terpenuhi. Setiap kurikulum yang dikembangkan hendaknya
memahami karakeristik dan tingkat kebutuhan anak dalam mengikuti proses
pembelajaran sehingga tidak terkesan mendapatkan tekanan psikologis yang
bisa mempengaruhi mental mereka. Kurikulum merupakan bagian penting
dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan tujuan anak
didik dalam lembaga pendidikan. Arah dan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai tidak bisa terlaksana dengan sendirinya tanpa adanya perencanaan
yang matang dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat
kecerdasan mereka (Ilahi, 2013:168).
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
reguler (kurikulum nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbngkan
karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi tiga macam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Pertama, anak dengan kemampuan akademik rata-rata dan di atas tinggi
disiapkan kurikulum terpadu dengan kurikulum normal atau kurikulum
modifikasi. Kedua, anak dengan kemampuan akademik sedang (di bawah
rata-rata) disiapkan kurikulum fungsional/vokasional. Ketiga, anak dengan
kemampuan akademik sangat rendah disiapkan kurikulum pengembangan
bina diri. Juga perlu disiapkan kurikulum kompensatoris, yaitu kurikulum
khusus untuk meminimalisasi barier pada setiap ABK sebelum belajar aspek
akademik. (Ilahi, 2013:171).
Kustawan dan Hermawan (2013:109) menambahkan fleksibilitas
kurikulum ini bagi anak berkebutuhan khusus tertentu misalnya bagi peserta
didik yang memiliki hambatan kecerdasan perlu mengimplementasikan dalam
bentuk Program Pembelajaran Individual (PPI). PPI merupakan program
pembelajaran yang disusun sesuai kebutuhan individu dengan bobot materi
berbeda dari kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal.
5) Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak
Guru dapat melakukan penyesuaian kegiatan pembelajaran dengan
membuat kegiatan yang interaktif sehingga setiap anak berpartisipasi penuh
dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar atau materi pembelajaran fleksibel
atau ramah anak terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus
diajarkan kepada siswa berkebutuhan khusus untuk mencapai standar
kompetensi yang telah ditetapkan. Seluruh bahan ajar untuk siswa
berkebutuhan khusus harus disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak atau
sesuai dengan jenis kelainannya (Kustawan dan Hermawan, 2013:111).
Guru harus mampu menyusun bahan ajar yang sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik dalam menyerap pengetahuan dan keterampilan
yang diajarkan. Bahan ajar atau materi untuk anak berkebutuhan khusus yang
memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler
dapat diperluas dan diperdalam dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada
di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting
untuk anak berbakat. Sementara untuk anak berkebutuhan khusus yang
memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
dapat tetap dipertahankan atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
Demikian pula untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di
bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum
sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya
atau bahkan dihilangkan bagian tertentu. (Ilahi, 2013:172-173)
Ketika mengajar di kelas tentunya guru memiliki tujuan yang ingin
dicapainya, dalam mencapai tujuan tersebut seorang guru perlu menentukan
metode apa yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Cara guru dalam
menentukan cara atau langkah dalam kegiatan pembelajaran disebut sebagai
metode pembelajaran. Ada banyak sekali metode pembelajaran yang dapat
digunakan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran, salah duanya adalah
metode ceramah dan metode tanya jawab. Hamdayama (2014:167),
menjelaskan bahwa ceramah adalah penuturan atau penerangan secara lisan
oleh guru terhadap peserta didik. Metode ceramah dapat digunakan dalam
kondisi ketika guru ingin mengajarkan topik baru pada kegiatan pendahuluan
dalam proses belajar mengajar atau ketika guru menghadapi jumlah peserta
didik yang cukup banyak. Metode ceramah memiliki kelebihan antara lain
dapat menyampaikan informasi yang banyak dalam waktu yang terbatas,
mudah dilaksanakan, dan kemudahan yang diperoleh guru ketika harus
menyampaikan materi untuk jumlah peserta didik yang besar. Metode
ceramah juga memiliki kekurangan yaitu membuat peserta didik pasif, mudah
membuat peserta didik bosan, dan kegiatan pembelajaran lebih mengandalkan
pada informasi-informasi yang diberikan oleh guru. Anita (dalam
Hamdayama, 2014:168) menuturkan bahwa ceramah yang baik adalah
ceramah yang bervariasi yang dilengkapi dengan berbagai macam media, dan
alat belajar sehingga terjadi interaksi edukatif antara peserta didik dan
pendidik.
Hamdayama (2014:170) menambahkan bahwa dalam metode
ceramah, ada kemungkinan bagi guru untuk menyisipkan pertanyaan-
pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan guru dapat digunakan untuk mengukur
pemahaman peserta didik terhadap materi yang sebelumnya telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
disampaikan. Guru dapat mengkolaborasikan metode ceramah dan metode
tanya jawab, ceramah untuk menyampaikan materi dan tanya jawab untuk
mengukur pemahaman siswa secara spontan. Menurut Yamin (2009:156)
menjelaskan bahwa metode tanya jawab tepat digunakan bila dalam
pelaksanaannya bertujuan untuk meninjau ulang pelajaran atau ceramah yang
telah lalu, menyelingi pembicaraan agar perhatian peserta didik tetap fokus,
dan mengarahkan pengamatan dan pemikiran peserta didik. Yamin
menambahkan metode tanya jawab kurang cocok untuk menilai kemajuan
peserta didik.
Ketika guru mengajar di kelas, ia perlu mempersiapkan diri dalam
upaya melaksanakan kegiatan pembelajaran. Guru perlu mengembangkan
kompetensinya agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
mengadaptasikan kurikulum dan metode mengajar yang sesuai dengan
kebutuhan dan keberagaman anak (Kustawan dan Hermawan (2013:49).
6) Penataan Kelas Ramah Anak
Penataan kelas ramah anak dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan
ruang kelas tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus dengan anak tidak berkebutuhan khusus. Everton dan
Weintein (dalam Friend dan Bursuck, 2015:285) mengemukakan bahwa
pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru
demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari
mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Pengelolaan ruang kelas
dapat meliputi (a) Penataan unsur fisik seperti penggunaan dinding, lebar
ruangan, dan pencahayaan. (b) Rutinitas ruang kelas untuk kegiatan akademis
maupun non-akademis. (c) Iklim ruang kelas atau sikap terhadap perbedaan
individual. (d) Pengelolaan perilaku, seperti peraturan kelas dan
pemantauannya (e) Pemanfaatan waktu untuk kegiatan pengajaran dan non-
pengajaran.
Friend dan Bursuck (2015:288-292) menuturkan penataan unsur fisik
yang ada di ruang kelas dapat mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi
anak yang berkebutuhan khusus dan anak yang tidak berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dan pemanfaatan
ruang kelas, meliputi area dinding, pencahayaan, penataan perabotan, serta
ruang penyimpanan. Area dinding dapat dimanfaatkan untuk menempel
dekorasi, peraturan kelas, hasil karya siswa, dan papan buletin kelas.
Pencahayaan ruang kelas baik dari jendela maupun penerangan lampu dapat
berpengaruh terhadap anak berkebutuhan khusus, misalnya untuk peserta
didik yang mengalami keterbatasan visual akan mengami kendala di ruangan
yang tidak memiliki pencahayaan bagus. Guru perlu memperhatikan
pemilihan jenis lantai dan penataan perabotan kelas perlu karena sangat
berpengaruh terhadap peserta didik yang berkebutuhan khusus. Lantai yang
licin menyulitkan anak berkebutuhan khusus yang menggunakan kursi roda
dan pergerakan bagi peserta didik yang memiliki hambatan motorik. Penataan
perabotan kelas juga perlu disusun untuk memudahkan peserta didik untuk
melakukan aktivitas pembelajaran. Ruang penyimpanan juga diperlukan bagi
peserta didik yang memiliki tambahan peralatan khusus seperti alat perekam
audio, buku braille, dan alat pembesar bagi peserta didik yang mengalami
hambatan visual.
Semiawan Cony dkk (dalam Kustawan dan Hermawan, 2013:115)
menjelaskan bahwa menciptakan suasana belajar yang menggairahkan perlu
memperhatikan pengaturan/penataan ruang kelas/belajar. Peyusunan dan
pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak didik duduk
berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa. Dalam
pengaturan ruang belajar, hal-hal yang harus diperhatikan :
a) Ukuran dan bentuk kelas
b) Bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik
c) Jumlah anak didik dalam kelas
d) Jumlah anak didik dalam setiap kelompok
e) Jumlah kelompok dalam kelas
f) Komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan
anak didik kurang pandai, pria dengan wanita).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
7) Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif
Kustawan dan Hermawan (2013:115-117) berpendapat bahwa media
pembelajaran merupakan alat bantu dalam kegiatan pembelajaran. Bagi guru
media pembelajaran sangat membantu tugasnya untuk menyampaikan pesan-
pesan atau materi pembelajaran kepada peserta didik. Media pembelajaran
harus memenuhi syarat yaitu sesuai dengan kebutuhan anak sehingga
pengetahuan yang didapat dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Media pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus juga perlu
dirancang untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan anak atau adaptif.
Media pembelajaran adaptif yaitu media pembelajaran yang disesuaikan
dengan hambatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus. Media
pembelajaran adaptif dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus karena dapat bermanfaat atau
berguna dan cocok dengan tujuan, kebutuhan, materi, kemampuan dan
karakteristik anak yang menunjang efisiensi dan efektifitas proses dan hasil
pembelajaran. Contoh penggunaan media pembelajaran adaptif adalah guru
dapat menggunakan media tiruan peta timbul Indonesia untuk memberikan
gambaran kondisi geografis Indonesia kepada anak tunanetra. Media visual
seperti poster dan gambar yang memudahkan anak tunarungu memahami
materi.
8) Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran
Kustawan (2013:118-124) menjelaskan bahwa penilaian dilakukan
untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai prestasi peserta didik
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil penilaian yang diperoleh
digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap ketuntasan belajar anak dengan
cara membandingkannya dengan kriteria ketuntasan maksimal (KKM) yang
telah ditetapkan. Hasil penilaian digunakan untuk mengevaluasi dan
memperbaiki proses pembelajaran yang telah berlangsung, menilai
kemampuan peserta didik, dan bahan penyusun laporan hasil belajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Ilahi (2013:47) memaparkan bahwa dalam sistem penilaian yang
diharapkan di sekolah inklusi adalah sistem penilaian yang fleksibel.
Penilaian disesuaikan dengan kebutuhan anak termasuk anak berkebutuhan
khusus. Guru perlu mempertimbangkan kebutuhan anak berkebutuhan khusus
dan tidak berkebutuhan khusus karena anak berkebutuhan khusus memiliki
tingkat kemampuan yang lebih rendah.
Ilahi (2013:189) menambahkan bagi anak berkebutuhan khusus, jenis
evaluasi yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan
kecerdasannya dalam menerima materi pelajaran. Pada pendidikan regular,
sekolah akan menetapkan sistem acuan yang sama untuk seluruh siswa.
Sistem acuan yang ditetapkan oleh sekolah ini dapat disebut kriteria
ketuntasan minimal (KKM). Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi lebih cocok menggunakan KKM berbeda untuk masing-masing
peserta didik. Sejalan dengan Ilahi, Kustawan dan Hermawan (2013:120)
mengungkapkan bahwa KKM bagi anak berkebutuhan khusus dapat
ditetapkan berbeda dengan KKM bagi anak tidak berkebutuhan khusus, hal
ini dikarena kemampuan yang dimiliki masing-masing anak berbeda.
Penetapan nilai KKM ini berdasarkan hasil asesmen untuk masing-masing
individu yang telah dilakukan oleh guru dan timnya.
3. Kelas Bawah
Wiyani (2014:70) membagi masa usia Sekolah Dasar (SD) menjadi
dua fase, antara lain:
a. Masa kelas rendah SD, saat peserta didik berada pada kelas 1, 2, dan 3 di
usia sekitar 6 sampai dengan 9 tahun
b. Masa kelas atas SD, saat peserta didik berada pada kelas 4, 5, dan 6 di usia
sekitar 9-13 tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
B. Penelitian yang Relevan
Berikut ini dijelaskan tiga penelitian yang relevan dengan penelitian
yang berjudul permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD “Suka
Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Tarnoto (Jurnal Pendidikan,
Vol. 13) dengan judul Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi pada Tingkat SD. Penelitian ini memiliki
keterkaitan mengenai topik penelitian yaitu menganalisis permasalahan yang
terjadi di sekolah dasar inklusi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
permasalahan-permasalahan yang dialami guru dalam penyelenggarakan
pendidikan inklusi di sekolah dasar Kota Yogyakarta. Subjek penelitian ini
adalah guru yang mengajar di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.
Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis menggunkan teknik
koding. Hasil penelitian menunjukkan ada berbagai permasalahan yang
ditemui guru dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi.
Penelitian yang dilakukan Tarmansyah (2009) dengan judul
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di SD Negeri 03 Alai Padang Utara Kota
Padang memiliki keterkaitan tentang topik penelitian yaitu menganalisis
permasalahan sekolah dasar inklusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan secara objektif tentang pelaksanaan pendidikan inklusi,
kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan inklusi dan
usaha-usaha apakah yang telah dilakukan sekolah dalam mengatasi kendala
pelaksanaan pendidikan inklusi di SD Negeri 03 Alai Padang Utara. Jenis
penelitian yang dilakukan adalah deskripsi dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di SD
Negeri 02 Alai Padang masih belum terlaksana dengan baik.
Penelitian yang dilakukan Sabatiana (2017) dengan judul Survei
Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten Kulon Progo,
relevansi penelitian ini terlihat dari topik penelitian yaitu permasalahan dalam
menyelenggarakan aspek-aspek pendidikan inklusi. Penelitian ini bertujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
untuk mengetahui sejauh mana sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon
Progo sudah menerapkan aspek-aspek pendidikan inklusi. Pendekatan yang
digunakan dalam peneltian ini adalah pendekatan kuantitatif non
eksperimental dengan metode survei cross sectional. Data diperoleh dengan
cara mengirim angket kepada 66 (enam puluh enam) guru di 11 (sebelas)
sekolah dasar inklusi. Guru yang bersedia mengisi angket dan mengirim
kembali ada 65 (enam puluh lima) orang. Hasil olah data menunjukkan
bahwa 63,63% sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo sudah
menerapkan prinsip-prinsip sekolah inklusi.
Keterkaitan antar ketiga peneltian yang telah dijelaskan di atas dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dapat diamati pada literature
map berikut ini.
Bagan 2.1 Literatur map
Ketiga penelitian tersebut membahas mengenai penyelenggaraan
pendidikan inklusi di sekolah dasar. Topik penelitian tersebut memiliki
hubungan dan dapat mendukung penelitian yang dilakukan oleh peneliti
Permasalahan Sekolah
Dasar Inklusi Kelas
Bawah di SD “Suka
Ilmu” Wilayah
Kabupaten Kulon Progo
Tarnoto (Vol. 13)
Permasalahan-
Permasalahan yang Dihadapi Sekolah
Penyelenggara
Pendidikan Inklusi
pada Tingkat SD
Sabatiana (2017)
Survei Penyelenggaraan
Sekolah Dasar Inklusi
di Wilayah Kabupaten
Kulon Progo
Tarmansyah (2009) Pelaksanaan
Pendidikan Inklusif di
SD Negeri 03 Alai Padang Utara Kota
Padang
Menganalisis
permasalahan SD inklusi di Kota
Yogyakarta
Menyurvei SD inklusi di Kab. Kulon Progo
dalam menerapkan 8
aspek penyelenggaraan
pendidika inklusi
Menganalisis permasalahan yang
dihadapi SD dalam
memberikan layanan
pendidikan inklusi
kepada ABK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
yaitu mengenai Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD
“Suka Ilmu” Wilayah Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini memiliki
kekhasan dibandingkan penelitian sebelumnya yaitu pada fokus penelitian
di mana peneliti mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh salah satu
sekolah dasar di wilayah Kabupaten Kulon Progo pada kelas bawah dalam
menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi.
C. Kerangka Berpikir
Pemerintah telah menunjuk beberapa sekolah dasar untuk
menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi. Penunjukkan menjadi sekolah
inklusi ini membuat pengelola sekolah (kepala sekolah, guru, dan
administrator) berupaya mengakomodasi anak berkebutuhan khusus untuk
mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak tidak berkebutuhan khusus.
Layanan yang diberikan oleh sekolah inklusi berbeda dengan sekolah pada
umumnya, di mana sekolah berupaya untuk tidak bersikap diskriminasi dan
menerima dengan terbuka siapapun yang akan menempuh pendidikan di
sekolah tersebut. Seperti yang tertuang pada Permendiknas nomor 70 tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa bahwa tujuan
pendidikan inklusi adalah memberikan pendidikan seluas-luasnya kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Sabatiana (2017) mengenai
survei penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon
Progo menghasilkan data bahwa terdapat 4 (empat) sekolah dasar inklusi
yang belum mampu menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Kustawan dan Hermawan (2013:90-131) menyebutkan
kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi tersebut terdiri dari
penerimaan peserta didik baru yang mengakomodasi semua anak, identifikasi,
asesmen, adaptasi kurikulum, merancang bahan ajar dan kegiatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, pengadaan
dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, serta penilaian dan evaluasi
pembelajaran. Keempat sekolah tersebut tentunya telah berupaya untuk
memberikan layanan pendidikan inklusi, namun dalam pelaksanaannya
mengalami kendala atau masalah. Peneliti akan mengkaji lebih dalam
mengenai permasalahan yang dihadapi salah satu sekolah dasar yang paling
rendah dalam menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan
inklusi.
Peneliti mengambil judul Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas
Bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitati deskriptif dengan metode studi kasus. Peneliti
akan mengumpulkan data dengan melakukan wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi. Data tersebut diolah dengan melakukan reduksi data, display
data, dan penarikan kesimpulan, sehingga peneliti dapat mendeskripsikan
permasalahan yang dihadapi sekolah dalam menerapkan kedelapan aspek
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab III ini, peneliti membahas tentang jenis penelitian yang
digunakan, setting penelitian, desain penelitian, teknik pengumpulan data,
instrumen penelitian, kredibilitas dan transferabilitas, serta teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di
SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Creswell (dalam Herdiansyah, 2012:8)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah
yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam
konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks
yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi,
serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun
dari peneliti. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menggali
permasalahan yang dihadapi oleh SD “Suka Ilmu” dalam menerapkan
kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi. Peneliti menyajikan
data dari para narasumber sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan
tanpa adanya intervensi peneliti.
Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis dari berbagai informasi yang diperoleh di lapangan. Tohirin (2012:3)
memaparkan bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang
bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah serta dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sugiyono (2014:1) menambahkan
bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
triangulasi (gabungan), analisis bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi kasus. Yin (dalam
Tohirin, 2012:20) mengungkapkan bahwa studi kasus digunakan untuk
mengetahui lebih dalam dan rinci tentang suatu permasalahan atau fenomena
yang hendak diteliti. Studi kasus dapat memberi fokus terhadap makna
dengan menunjukkan situasi mengenai apa yang terjadi, dilihat, dan dialami
dalam lingkungan sebenarnya secara mendalam dan menyeluruh. Metode
studi kasus dipilih karena peneliti ingin memaparkan permasalahan yang
dihadapi kelas bawah SD “Suka Ilmu” dalam memberikan layanan
pendidikan inklusi kepada peserta didiknya baik yang berkebutuhan khusus
maupun tidak berkebutuhan khusus. Penelitian ini mengkaji secara mendalam
mengenai masalah apa yang sekolah alami dengan melakukan wawancara
dengan narasumber, observasi lingkungan dan kegiatan sekolah, serta
melakukan studi dokumentasi.
B. Setting Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah dasar inklusi di wilayah
Kabupaten Kulon Progo. Peneliti menyamarkan nama sekolah ini dengan
sebutan SD “Suka Ilmu” untuk menjaga privasi sekolah. Pemilihan tempat
penelitian ini berdasarkan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh
Sabatiana (2017) tentang survei penyelenggaraan pendidikan inklusi di
wilayah Kabupaten Kulon Progo. Hasil survei tersebut diketahui bahwa
SD “Suka Ilmu” paling rendah dalam menerapkan kedelapan aspek
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Juni 2017 sampai dengan April 2018. Berikut
ini jadwal pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan.
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
N
o Kegiatan
Tahun 2017 Tahun 2018
Jun
Jul
Ag
s
Sep
Ok
t
No
v
Des
Jan
Feb
Mar
Ap
r
1. Permohonan ijin
2. Penyusunan proposal
3.
Pelaksanaan
penelitian
(wawanara,
observasi, dan studi
dokumentasi)
4. Pengolahan data
5. Penyusunan laporan
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru kelas bawah SD
“Suka Ilmu” yang terdiri dari guru kelas I, guru kelas II, dan guru kelas
III.
4. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah permasalahan di salah satu sekolah dasar
inklusi di wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam menerapkan kedelapan
aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi. Sekolah dasar yang menjadi
tempat penelitian adalah SD “Suka Ilmu”, dimana pada penelitian
sebelumnya sekolah ini diketahui menduduki peringkat paling rendah
dalam survei penyelenggaraan sekolah inklusi di wilayah Kabupaten
Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
C. Desain Penelitian
Creswell dan Clark (dalam Bandur, 2016:17) menjelaskan bahwa
desain penelitian mengacu pada rancangan atau rencana tindakan penelitian
yang menghubungkan kerangka filosofis penelitian dengan metode-metode
penelitian. Emzir (2012:14-17) menambahkan secara umum tahap-tahap
dalam melakukan penelitian kualitatif yaitu sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sebuah topik atau fokus
Topik penelitian biasanya diidentifikasi berdasarkan pengalaman,
observasi pada setting penelitian, dan bacaan tentang topik tersebut.
Meskipun topik ditentukan pada awal studi, fokus studi dapat ditulis
kembali selama fase pengumpulan data.
2. Melakukan tinjauan pustaka
Peneliti melakukan tinjauan pustaka untuk mengidentifikasi informasi
penting yang relevan dengan studi dan untuk menulis suatu pernyataan
penelitian (rumusan masalah). Tinjauan pustaka terus berlanjut hingga
data terkumpul dan memungkinkan peneliti mendefinisikan kembali
pertanyaan penelitian.
3. Mendefinisikan peran peneliti
Peneliti harus menetapkan tingkat keterlibatannya dengan partisipan.
Peneliti harus mampu memahami sudut pandang partisipan dalam
memandang suatu masalah.
4. Mengelola jalan masuk dan menjaga hubungan baik di lapangan
Peneliti harus menetapkan tempat penelitiannya. Ketika peneliti
memasuki tempat penelitian, dia harus mempersiapkan, memperkenalkan
dirinya kepada pengelola tempat penelitian dan menceritakan tujuan
penelitiannya. Peneliti juga memerlukan izin dari lembaga dan partisipan
dalam melaksanakan penelitian. Selama berinteraksi dengan pengelola
dan pertisipan penelitian, peneliti harus menjaga hubungan baik dengan
peka terhadap situasi, komunikasi yang dilandasi kejujuran, dan interaksi
yang tidak mengadili partisipan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
5. Memilih partisipan
Peneliti memilih partisipan yang dapat menyediakan informasi penting
yang dibutuhkan oleh peneliti, yaitu kunci untuk studi tersebut.
6. Menulis pertanyaan-pertanyaan bayangan
Peneliti merancang pertanyaan bayangan berdasarkan topik yang sudah
diidentifikasi oleh peneliti. Pertanyaan bayangan membantu peneliti
untuk tetap fokus mengumpulkan data dan memungkinkan
mengumpulkan data dalam cara yang sistematis.
7. Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum mencakup
observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Peneliti biasanya
menggunakan lebih dari satu teknik pengumpulan data untuk validasi
temuan. Sumber-sumber data yang berbeda-beda ini kemudian
dibandingkan dengan teknik lain dalam suatu proses yang disebut
triangulasi.
8. Analisis data
Data dalam penelitian kualitatif dianalisis melalui membaca dan
mereview data (catatan observasi, transkrip wawancara) untuk
mendeteksi tema-tema dan pola-pola yang muncul.
9. Interpretasi dan disseminasi hasil
Peneliti merangkum dan menjelaskan tema-tema dalam pola-pola (hasil)
dalam bentuk naratif. Intepretasi mungkin juga melibatkan diskusi
tentang bagaimana temuan studi yang berkaitan dengan temuan-temuan
pada studi sebelumnya. Lebih lanjut peneliti membagikan hasil temuan
mereka melalui jurnal, laporan, webside, dan pertemuan formal maupun
informal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Berdasarkan tahap-tahap dalam melakukan penelitian kualitatif
yang dilakukan oleh Emzir, berikut tahap-tahap yang dilakukan oleh
peneliti.
1. Mengidentifikasi sebuah topik atau fokus
Peneliti memilih topik penelitian berdasarkan hasil penelitian yang
sebelumnya dilakukan oleh Sabatiana (2017) mengenai survei
penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Kabupaten Kulon
Progo. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penelitian kali ini lebih
fokus pada permasalahan sekolah inklusi di salah satu sekolah dasar di
Kulon Progo. Nama sekolah dasar ini peneliti samarkan dengan nama SD
“Suka Ilmu”.
2. Melakukan tinjauan pustaka
Peneliti melakukan tinjauan pustaka dengan melihat jurnal, hasil
penelitian, maupun buku-buku yang mendukung dan menambah
wawasan mengenai permasalahan sekolah dasar inklusi. Peneliti
melakukan tinjauan pustaka untuk mengidentifikasi informasi penting
yang relevan dengan topik penelitian ini.
3. Mendefinisikan peran peneliti
Peneliti perlu untuk menetapkan tingkat keterlibatannya dalam proses
pengambilan data. Peneliti perlu bersikap objektif terhadap proses
pengambilan data dan hasil data yang diperoleh. Peneliti harus mampu
memahami sudut pandang partisipan dalam memberikan pandangannya.
4. Mengelola jalan masuk dan menjaga hubungan baik di lapangan
Peneliti terlebih dahulu memohon izin, memperkenalkan diri, dan
menjelaskan tujuan penelitian yang akan dilakukan kepada kepala
sekolah dan guru-guru yang ada di SD “Suka Ilmu”. Hal ini berguna agar
peneliti dapat menjaga hubungan dengan pihak sekolah yang menjadi
tempat pelaksanaan penelitian.
5. Memilih partisipan
Peneliti memilih partisipan yang dapat menyediakan informasi mengenai
penelitian yang dibutuhkan. Fokus penelitian ini adalah guru kelas bawah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
SD “Suka Ilmu”, sehingga partisipan yang dipilih oleh peneliti adalah
guru kelas I, guru kelas II, dan guru kelas III serta ditambah kepala
sekolah.
6. Menulis pertanyaan-pertanyaan bayangan
Peneliti menyusun pertanyaan yang sesuai dengan topik penelitian untuk
memudahkan peneliti tetap fokus dalam mengumpulkan data yang
dibutuhkan. Peneliti juga mengembangkan daftar pertanyaan yang
relevan sesuai dengan pedoman wawancara.
7. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Data-data yang telah
diperoleh kemudian dibandingkan dengan triangulasi data sumber, teknik
pengumpulan data, dan waktu.
8. Analisis data
Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah pengumpulan
data, reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.
9. Interpretasi dan disseminasi hasil
Peneliti merangkum dan menjelaskan hasil analisis data dalam bentuk
deskripsi.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sugiyono (2014:62) memaparkan bahwa teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan
utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang
memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi.
1. Wawancara
Moleong (dalam Herdiansyah, 2012:118), mengartikan wawancara
sebagai percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Wawancara menjadi metode pengumpulan data yang utama bagi penelitian
ini. Melalui wawancara peneliti menggali berbagai informasi secara rinci
sesuai dengan tujuan penelitian tentang permasalahan yang dihadapi oleh
SD “Suka Ilmu” dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. Peneliti
datang ke sekolah secara langsung, memohon ijin, dan menjelaskan tujuan
dilakukannya wawancara kepada narasumber. Narasumber wawancara
pada penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru-guru kelas bawah yang
terdiri dari guru kelas I, guru kelas II, dan guru kelas III. Saat narasumber
dan peneliti telah sepakat menentukan waktu dan tempat berlangsungnya
wawancara, peneliti dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk wawancara
semiterstruktur. Esterberg (dalam Sugiyono, 2014:73-74) menjelaskan ada
3 (tiga) bentuk wawancara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan
data yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan wawancara tidak
terstruktur. Esterberg mengartikan wawancara semiterstruktur sebagai
berikut.
Pelaksanaan wawancara semiterstruktur lebih bebas dibandingkan
wawancara terstruktur. Peneliti telah menyusun pedoman pertanyaan
yang dapat dikembangkan ketika pelaksanaan wawancara sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Narasumber dapat memberikan
jawaban sesuai dengan keadaan yang dialami tanpa ada ikatan
jawaban baku. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan
permasalahan yang sedang diteliti, dimana narasumber diminta
memberikan pendapat atau ide-idenya. Esterberg (dalam Sugiyono,
2014:73-74)
Wawancara semiterstruktur dipilih karena lebih memudahkan
peneliti dalam menemukan permasalahan yang dihadapi SD “Suka Ilmu”
dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. Bentuk wawancara ini lebih
fleksibel dengan tidak ada pedoman baku dalam peneliti memberikan
pertanyaan dan narasumber bebas memberikan jawaban. Meskipun
peneliti memiliki padoman pertanyaan yang berguna untuk menghindari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
pembicaraan yang menyimpang, peneliti dapat mengembangkan
pertanyaan sesuai kondisi untuk menggali tujuan penelitian lebih dalam
lagi.
Herdiansyah (2012:32), menjelaskan ciri dari wawancara semi
terstruktur adalah sebagai berikut:
a. Pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema dan alur pembicaraan.
Dengan pertanyaan terbuka, narasumber diberikan kebebasan untuk
menjawab pertanyaan tetapi peneliti dapat mengingatkan narasumber
jika jawaban yang diberikan keluar dari tema dan alur pembicaraan.
b. Kecepatan wawancara dapat diprediksi
Kecepatan dan waktu wawanara dapat diprediksi, namun peneliti
perlu mengontrol waktu wawancara agar pembicaraan tidak melebar
kepada hal-hal yang tidak penting.
c. Fleksibel, tetapi terkontrol
Pertanyaan dan jawaban yang diberikan bersifat fleksibel sesuai
dengan situasi dan kondisi alur pembicaraan. Peneliti perlu
mengontrol pertanyaan dan jawaban narasumber agar sesuai dengan
tema wawancara.
d. Ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan
dan penggunaan kata
Pedoman wawancara digunakan sebagi patokan atau kontrol dalam
alur pembicaraan. Pedoman wawancara yang digunakan tidak kaku
seperti pada wawancara terstruktur. Pada wawancara semiterstruktur,
pedoman wawancara berupa topik-topik pembicaraan yang mengacu
pada tujuan wawancara. Peneliti bebas mengembangkan pertanyaan
sesuai dengan topik dan tema yang telah ditentukan yang dapat
berguna sebagai kontrol pembicaraan.
e. Tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena
Tujuan wawancara semi terstruktur adalah untuk memahami suatu
fenomena atau permasalahan tertentu, sehingga dengan wawancara
semiterstruktur membantu peneliti untuk memahami suatu fenomena.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2. Observasi
Sudaryono dkk (2013:38) menjelaskan bahwa observasi yaitu
melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat
dari dekat kegiatan yang dilakukan. Observasi atau pengamatan
merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan
mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
Herdiansyah (2013:131) menambahkan bahwa observasi adalah suatu
proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam” perilaku
secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi itu suatu kegiatan
mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan
atau diagnosis.
Observasi digunakan oleh peneliti untuk mencari data dengan
melihat, mengamati, dan ikut merasakan kegiatan atau lingkungan yang
ada SD “Suka Ilmu”. Kegiatan observasi yang dilakukan oleh peneliti
adalah mengamati kegiatan penerimaan peserta didik baru, lingkungan
sekolah, kegiatan pembelajaran, dan kondisi ruang kelas yang ada di SD
“Suka Ilmu”. Yusuf (2014:384) mengungkapkan bahwa ada dua bentuk
observasi yaitu participant observer dan non-participation observer.
a. Participant observer
Pada bentuk observasi ini, observer (pengamat) berpartisipasi dan
terlibat dalam kegiatan yang sedang diamati. Dalam kegiatan ini,
observer berfungsi ganda yaitu sebagai peneliti yang tidak diketahui
dan dirasakan oleh anggota lain dan sebagai anggota kelompok,
peneliti berperan aktif sesuai dengan tugasnya dalam kelompok.
b. Non-participation observer
Pengamat (observer) tidak terlibat langsung dalam kegiatan kelompok
atau kegiatan yang sedang diamatinya. Tugas pengamat di sini murni
sebagai observer.
Bentuk observasi yang peneliti gunakan adalah non-participation
observer. Bentuk observasi ini dipilih karena peneliti hanya bertugas untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
mengamati lingkungan sekolah dan kegiatan pembelajaran tanpa adanya
keterlibatan peneliti dalam kegiatan tersebut.
Observasi memiliki berbagai macam metode dalam mengumpulkan
data. Herdiansyah (2012:133-141) membagi metode observasi ini dibagi
lima metode yang disesuaikan dengan tujuan dan sasaran perilaku yang
diamati. Kelima metode tersebut adalah anecdotal record, behavior
checklist, participation charts, rating scale, dan behavior tallying and
charting. Metode yang digunakan dalam observasi pada penelitian ini
adalah dengan anecdotal record. Herdiansyah (2012:133) menuturkan
bahwa dengan metode anecdotal record, peneliti hanya membawa kertas
kosong saat melakukan observasi untuk mencatat perilaku khas, unik, dan
penting yang dilakukan oleh subjek penelitian. Observer perlu mencatat
dengan teliti hal-hal yang dianggap penting setelah kejadian tersebut
terjadi. Catatan yang dibuat harus detail sesuai dengan kejadian yang
sebenarnya terjadi tanpa mengubah kronologinya. Anecdotal record dipilih
oleh peneliti karena dengan metode ini peneliti dipermudah dalam
mendeskripsikan perilaku, kejadian, atau hal-hal penting secara rinci
selama terjadinya pengamatan.
3. Studi Dokumentasi
Sudaryono dkk (2013:41) menjelaskan bahwa dokumentasi
ditujukan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian,
meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan,
foto-foto, film dokumenter, data yang relevan dengan penelitian.
Herdiansyah (2012:143) menambahkan studi dokumentasi adalah salah
satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis
dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain
tentang subjek. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan
metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil
wawancara atau observasi yang telah dilakukan oleh peneliti dapat lebih
dipercaya dengan adanya bukti-bukti dokumen yang memperkuat
pernyataan narasumber maupun hasil pengamatan peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
E. Instrumen Penelitian
Suharsimi (dalam Sudaryono dkk, 2013:30) mengartikan instrumen
pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti
dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi
sistematis dan dipermudah. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai instrumen wawancara,
pedoman catatan anekdot sebagai instrumen observasi, dan pedoman daftar
dokumen sebagai instrumen studi dokumentasi.
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara yang telah disusun oleh peneliti berfungsi sebagai
pedoman pertanyaan yang diajukan kepada narasumber agar topik
pembicaraan tidak menyimpang dari fokus penelitian. Pedoman
wawancara ini berisi pertanyaan panduan bagi peneliti untuk
memperoleh informasi mengenai permasalahan yang dihadapi sekolah
dasar inklusi dalam menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Berikut ini adalah pedoman wawancara yang
digunakan peneliti.
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara
No Prinsip Indikator Pertanyaan Pokok
1
Penerimaan
Peserta Didik
Baru (PPDB)
yang
mengakomodasi
semua anak
Menerima semua tipe
anak berkebutuhan
khusus
Tipe anak berkebutuhan
khusus seperti apa yang
diterima di sekolah ini?
Mengukur sumber
daya pendidikan dan
tenaga kependidikan
yang ada di sekolah
Apakah sekolah memiliki
konselor/psikologi/GPK
untuk mendampingi
penerimaan peserta didik
baru?
Mempersiapkan sarana
dan prasarana
Apakah sekolah telah
menyiapkan fasilitas yang
dibutuhkan untuk menerima
peserta didik baru?
Merencanakan sumber
daya biaya
Bagaimana perencanaan
sumber daya biaya yang
digunakan sekolah untuk
PPDB?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
2 Identifikasi
Mengidentifikasi tipe
anak berkebutuhan
khusus
Bagaimana cara sekolah
mengidentifikasi tipe anak
berkebutuhan khusus?
3 Assesmen
Upaya pengumpulan
informasi untuk
memantau kemajuan
pendidikan
Bagaimana cara guru untuk
memantau kemajuan hasil
belajar siswa?
Melakukan
penyaringan atau
screening
Apakah sekolah melakukan
penyaringan atau screening
secara berkala?
Melakukan diagnosis
menyangkut kelayakan
atas layanan
pendidikan khusus
Bagaimana cara sekolah
mendiagnosis kelayakan
atas layanan pendidikan
khusus?
Melakukan
penempatan program
pada anak
berkebutuhan khusus
Program apa yang diberikan
sekolah pada anak
berkebutuhan khusus?
Melakukan
penempatan kurikulum
untuk memulai
pengajaran siswa
Bagaimana guru
menerapkan kurikulum
untuk memulai pengajaran
siswa di kelas?
Melakukan evaluasi
pengajaran untuk anak
berkebutuhan khusus
Bagaimana bentuk evaluasi
pengajaran untuk anak
berkebutuhan khusus?
Melakukan evalusi
program pada anak
berkebutuhan khusus
Bagaimana pelaksanaan
evaluasi program pada anak
berkebutuhan khusus?
4
Adaptasi
Kurikulum
(Kurikulum
Fleksibel)
Menyusun kurikulum Bagaimana sekolah
merancang kurikulum yang
dapat memenuhi anak
berkebutuhan khusus?
5
Merancang
bahan ajar dan
kegiatan
pembelajaran
yang ramah
anak
Menentukan
perencanaan
pembelajaran bagi
siswa
Apakah penyusunan
perencanaan pembelajaran
di sekolah telah sesuai
dengan kebutuhan siswa?
Menentukan bahan ajar
yang terdiri dari
pengetahuan,
keterampilan, dan
sikap
Bagaimana sekolah
menentukan bahan ajar
yang mengaitkan antara
pengetahuan, keterampilan,
dan sikap?
6
Penataan kelas
yang ramah
anak
Mengelola kelas untuk
mengoptimalkan
proses belajar
mengajar
Bagaimana cara guru
memanajemen kelas untuk
mengoptimalkan proses
belajar mengajar?
Mengarahkan
pengelompokkan siswa
untuk pengajaran di
ruang kelas
Bagaimana cara guru
memposisikan siswa
berkebutuhan khusus dan
tidak berkebutuhan khusus
di kelas?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
7
Pengadaan dan
pemanfaatan
media
pembelajaran
adaptif
Memahami pentingnya
media pembelajaran
adaptif sebagai sarana
dalam pembelajaran
Apakah sekolah
mengadakan dan
memaksimalkan
penggunaan media
pembelajaran adaptif?
8
Penilaian dan
evaluasi
pembelajaran
Menentukan KKM Bagaimana sekolah/guru
menentukan KKM bagi
anak berkebutuhan khusus
dan anak tidak
berkebutuhan khusus?
Menjelaskan
karakteristik evaluasi
Bagaimana bentuk evaluasi
yang digunakan?
Menunjukkan
kegunaan kegiatan
evaluasi
Apa tujuan dari
dilakukannya kegiatan
evaluasi bagi siswa?
2. Pedoman Catatan Anekdot
Pedoman catatan anekdot digunakan sebagai panduan bagi peneliti ketika
melakukan observasi. Panduan observasi ini berisi hal-hal yang perlu
peneliti amati saat berada di lapangan agar informasi yang dibutuhkan
tidak tertinggal. Peneliti perlu mendeskripsikan hasil pengamatannya
pada tabel yang telah tersedia. Berikut ini adalah pedoman catatan
anekdot yang digunakan peneliti.
Tabel 3.3 Pedoman Catatan Anekdot
No Aspek Deskripsi Hasil Pengamatan
1. Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) yang mengakomodasi
semua anak
2. Identifikasi
3. Asesmen
4. Adaptasi kurikulum (Kurikulum
Fleksibel)
5. Merancang bahan ajar dan
kegiatan pembelajaran yang
ramah anak
6. Penataan kelas ramah anak
7. Pengadaan dan pemanfaatan
media pembelajaran adaptif
8. Penilaian dan evaluasi
pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
3. Pedoman Daftar Dokumen
Pedoman daftar dokumen digunakan oleh peneliti ketika melakukan studi
dokumen. Daftar ceklist dokumen ini dapat memudahkan peneliti untuk
menentukan dokumen apa saja yang diperlukan untuk memperkuat hasil
wawancara atau untuk menemukan informasi baru. Berikut ini adalah
pedoman daftar dokumen yang digunakan peneliti.
Tabel 3.4 Daftar Ceklist Dokumen
No Dokumen Keterangan
Deskripsi Ada Tidak
1.
Surat Keputusan Penunjukkan
Sekolah Penyelenggara
Pendidikan Inklusi (SPPI)
2. Dokumen syarat-syarat PPDB
3. Pedoman PPDB
4. Formulir PPDB
5. Susunan Kepanitiaan PPDB
6. Dokumen Hasil Asesmen
7. Kurikulum
8. RPP Kelas I
9. RPP Kelas II
10. RPP Kelas III
11. Soal Ulangan Harian Kelas I
12. Soal Ulangan Harian Kelas II
13. Soal Ulangan Harian Kelas III
14. KKM Kelas III
F. Kredibilitas dan Transerabilitas
1. Kredibilitas
Lincon dan Guba (dalam Bandur, 2016:284) menjelaskan mengenai
kredibel yang berarti bahwa peneliti dipercaya telah mengumpulkan data
yang real di lapangan serta menginterpretasikan data autentik tersebut
dengan akurat. Uji kredibilitas yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi. Sugiyono (2014:83) mengartikan istilah
triangulasi sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai pengumpulan data dan sumber data yang
telah ada.
Sugiyono (2014:127) menambahkan bahwa triangulasi terbagi
menjadi triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Triangulasi sumber dilakukan dengan mengecek data yang telah
diperoleh dengan beberapa sumber. Narasumber pada penelitian ini
adalah kepala sekolah, guru kelas I, guru kelas II, dan guru kelas III.
Peneliti melakukan tringulasi sumber dengan mengecek data yang
diperoleh dari salah satu narasumber dan narasumber lainnya. Data yang
diperoleh dari satu narasumber dapat diperkuat dengan data yang
diperoleh dari narasumber lainnya, namun ketika data yang diperoleh
dari narasumber berbeda, peneliti melakukan triangulasi teknik.
Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Triangulasi teknik
dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh peneliti dari
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Apabila hasil dari
triangulasi teknik masih menunjukkan data yang berbeda, peneliti
melakukan triangulasi waktu. Triangulasi waktu dilakukan dengan
melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain
dalam waktu atau situasi yang berbeda. Peneliti melakukan diskusi lebih
lanjut dari hasil data-data yang telah peneliti peroleh sebelumnya baik
dari triangulasi sumber maupun triangulasi teknik. Ketiga macam
triangulasi ini berguna agar data yang diperoleh dapat dipercaya
kebenarannya, dapat dipertanggungjawabkan, dan sesuai dengan kondisi
yang terjadi dilapangan.
2. Transferabilitas
Indrawan (2014:154) mengungkapkan bahwa transferability
(keteralihan) merupakan konsep validitas yang menyatakan bahwa
generalisasi suatu data penelitian dapat berlaku atau diterapkan pada
konteks lain yang berkarakteristik sama (representatif). Hal ini juga
dilakukan untuk membuktikan bahwa setiap data sesuai konteks, artinya
peneliti membuat deskripsi data secara detail dan mengembangkannya
sesuai kondisi nyata yang dihadapi. Sugiyono memberikan pendapat
mengenai transferabilitas yaitu sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Supaya orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif
sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian
tersebut, maka peneliti perlu memberikan uraian yang rinci, jelas,
sistematis, dan dapat dipercaya pada laporan yang dibuatnya.
Dengan demikian maka pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian
tersebut, sehingga dapat memutuskan dapat atau tidaknya untuk
mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat lain.
(Sugiyono, 2014:130)
Peneliti melakukan transferabilitas dengan menyajikan data yang
diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi secara
rinci sehingga pembaca dapat mengaplikasikan penelitian ini untuk
penelitian yang lain.
G. Teknik Analisis Data
Sugiyono (2014:89) mengungkapkan bahwa analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain. Teknik analisis data yang digunakan
pada peneliti adalah menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah,
2012:164-179) terdiri atas pengumpulan data, reduksi data, display data, dan
penarikan kesimpulan.
1. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Saat peneliti melakukan
wawancara dengan narasumber, apa yang diucapkan oleh narasumber
adalah data yang dapat dianalisis oleh peneliti. Ketika peneliti terjun ke
lapangan, peneliti dapat mengamati linkungan, kegiatan, dan suasana
yang terjadi di lapangan. Apa yang peneliti lihat dan rasakan dapat
menjadi data yang mendukung teknik pengumpulan data dengan
wawancara. Dokumen-dokumen yang ada di SD “Suka Ilmu” merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
data yang berguna bagi peneliti untuk mengetahui permasalahan yang
dihadapi oleh sekolah dapam menyelenggarakan pendidikan inklusi.
2. Reduksi Data
Herdiansyah (2012:165) berpendapat bahwa reduksi data adalah
proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang
diperoleh menjadi satu bentuk tulisan (script) yang akan dianalisis.
Sedangkan Sugiyono (2014:92) menjelaskan tentang reduksi yaitu
sebagai kegiatan merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari pola dan temanya,
sehingga data yang telah direduksi dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk menganalisis data
selanjutnya. Pada tahap ini peneliti memilih dan merangkum data-data
yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Peneliti melakukan pemilihan data yang sesuai dengan kebutuhan
peneliti dalam menjawab rumusan masalah.
3. Display Data
Sugiyono (2014:95) menjelaskan bahwa setelah data direduksi,
maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data atau dapat disebut
menyajikan data. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2014:95)
memaparkan penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart
dan sejenisnya. Penyajian paling sering adalah dengan teks bersifat
naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan mempermudah untuk
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan
apa yang telah dipahami.
Data yang telah peneliti rangkum pada tahap sebelumnya peneliti
gabungkan dan ditampilkan dalam sebuah tabel. Hal ini peneliti lakukan
untuk mempermudah dalam membandingkan data dan menarik
kesimpulan dari data yang telah peneliti peroleh. Dengan adanya display
data ini, peneliti dapat melihat perbandingan data hasil wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
dengan data hasil pengamatan, apakah data observasi dapat memperkuat
data wawancara.
4. Penarikan Kesimpulan
Herdiansyah (2012:178) mengungkapkan kesimpulan merupakan
tahap terakhir dalam rangkaian analisis data kualitatif menurut model
interaktif yang dikembangkan oleh Miles & Huberman. Kesimpulan
menjurus kepada jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan
sebelumnya dan mengungkapkan “apa” dan “bagaimana” dari temuan
penelitian tersebut. Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2014:99)
menyatakan bahwa langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat sementara
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti yang mendukung pada
tahap pengumpulan data. Tetapi bila kesimpulan awal didukung oleh
bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel. Sugiyono (2014:99)
menambahkan bahwa kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa
deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-
remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.
Pada tahap analisis data yang terakhir ini, peneliti menarik
kesimpulan dari berbagai macam data yang telah didapatkan. Kesimpulan
yang disusun oleh peneliti berlandaskan pada teori yang kuat sehingga
hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti menyusun
kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu
mengenai bagaimana permasalahan yang terjadi di sekolah dasar inklusi
kelas bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini peneliti menjelaskan mengenai deskripsi penelitian, hasil
penelitian, pembahasan, dan hasil temuan lain.
A. Deskripsi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode
studi kasus. Penelitian ini membahas mengenai permasalahan yang dihadapi
oleh sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. Sekolah dasar
yang menjadi tempat penelitian ini dipilih peneliti berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sabatiana (2017) dengan
judul “Survei Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi di Wilayah Kabupaten
Kulon Progo”. Penelitian yang dilakukan oleh Sabatiana bertujuan untuk
mengetahui penerapan aspek-aspek pendidikan inklusi di sekolah dasar
inklusi wilayah Kabupaten Kulon Progo. Sabatiana menyebarkan angket
untuk 11 (sebelas) sekolah dasar yang terdaftar menjadi sekolah inklusi di
Kulon Progo. Berdasarkan hasil survei terhadap 11 (sebelas) sekolah dasar
tersebut, ditemukan sekolah dasar inklusi yang menerapkan aspek pendidikan
inklusi paling rendah. Hasil Sabatiana ini kemudian digunakan peneliti
sebagai objek penelitian selanjutnya mengenai permasalahan sekolah dasar
inklusi dalam menerapkan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Sekolah dasar yang menjadi tempat peneliti mengambil data terletak di
wilayah Kabupaten Kulon Progo. Nama sekolah dasar ini peneliti samarkan
menjadi SD “Suka Ilmu” yang selanjutnya digunakan peneliti untuk
menyebutkan nama sekolah dasar tempat dilakukannya penelitian. Nama
samaran digunakan untuk menjaga privasi pihak sekolah. SD “Suka Ilmu”
adalah sekolah dasar negeri yang tetapkan menjadi sekolah dasar inklusi sejak
tahun 2012 melalui Surat Keputusan (SK) Penunjukkan Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi dengan nomor surat 400/300/KPTS/2012
yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo. Surat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Keputusan ini sekolah terima karena sebelum ditetapkan sebagai sekolah
dasar inklusi, SD “Suka Ilmu” telah memiliki dua peserta didik, salah satunya
memiliki hambatan penglihatan dan yang lain mengalami down syndrome.
Penelitian ini lebih mengkhususkan permasalahan yang terjadi di kelas
bawah SD “Suka Ilmu”. Kelas bawah terdiri dari kelas satu (I), kelas II (dua),
dan kelas III (tiga), sehingga subjek pada penelitian ini adalah kepala sekolah
dan guru-guru kelas bawah yang terdiri dari guru kelas I, guru kelas II, dan
guru kelas III. Nama asli narasumber yang ada pada penelitian ini telah
peneliti samarkan untuk menjaga privasi dari masing-masing narasumber.
Nama peserta didik yang disebutkan pada penelitian ini juga telah peneliti
samarkan dengan nama lain.
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah dengan
wawancara semi terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Sebelum peneliti
melakukan pengumpulan data, terlebih dahulu peneliti meminta izin dan
mengatur waktu antara peneliti dengan narasumber. Jadwal peneliti dalam
mengumpulkan data dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara
No Hari, Tanggal Wawancara Subjek Wawancara
1. Selasa, 4 Juli 2017 Guru Kelas I (PPDB)
2. Jumat, 27 Oktober 2017 Kepala Sekolah
3. Selasa, 7 November 2017 Guru Kelas I
4. Selasa, 7 November 2017 Guru Kelas II
5. Selasa, 7 November 2017 Guru Kelas III
6. Kamis, 8 Maret 2018 Guru Kelas I
7. Senin, 12 Maret 2018 Guru Kelas III
8. Selasa, 13 Maret 2018 Guru Kelas II
Tabel 4.2. Jadwal Pelaksanaan Observasi Kelas dan Kegiatan Pembelajaran
No Hari, Tanggal Observasi Tempat Dilakukannya
Observasi
1. Selasa, 4 Juli 2017 Ruang Guru (Pelaksanaan PPDB)
2. Selasa, 28 November 2017 Ruang Kelas I
3. Selasa, 28 November 2017 Ruang Kelas II
4. Kamis, 30 November 2017 Ruang Kelas III dan lingkungan
sekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tabel 4.3. Jadwal Pelaksanaan Studi Dokumentasi
No Hari, Tanggal Pengamatan
Dokumentasi
Tempat Pengamatan
Dokumentasi
1. Senin, 27 November 2017 Ruang Kepala Sekolah
2. Selasa, 28 November 2017 Ruang Kelas I
3. Selasa, 28 November 2017 Ruang Kelas II
4. Kamis, 30 November 2017 Ruang Kelas III
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan data dari wawancara, observasi, dan dokumentasi yang
telah dilakukan peneliti mengenai permasalahan sekolah dasar inklusi kelas
bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo dalam
menerapkan aspek-aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi diperoleh hasil
sebagai berikut :
1. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasi Semua
Anak
Syarat utama yang ditetapkan untuk menerima peserta didik baru di
SD “Suka Ilmu” adalah usia tujuh tahun dan kurang dari tujuh tahun jika
kuota masih tersedia. Pernyataann ini sesuai dengan jawaban yang
diberikan guru kelas I (satu), “kalau syarat dari Dinas itu yang pertama
usia. Usia kan minimal tujuh tahun. Tujuh tahun itu kan kalau di sini ya
satu dua ada yang tujuh tahun. Seandainya ada yang kurang dari tujuh
tahun ya diterima. Karena muridnya kurang.” (WII.GKI.07112017.1-4).
Sejalan dengan pernyataan guru kelas I (satu), guru kelas II
mengungkapkan, “Yang diterima itu yang diutamakan umur yang paling
tua, kalau udah manurun menurun, terus yang berikutnya kalau masih ada
kuotanya ya diterima semua” (WII.GKII.13032018.1-3). Guru kelas III
juga mengungkapkan bahwa syarat penerimaan peserta didik baru adalah
usia tujuh tahun. Hal ini sesuai dengan hasil studi dokumentasi yang
peneliti lakukan terhadap dokumen Pedoman Umum PPDB yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
digunakan SD “Suka Ilmu” Tahun Pelajaran 2017/2018 bahwa usia yang
wajib diterima adalah tujuh tahun dan usia enam tahun paling rendah.
Dokumen yang dibutuhkan untuk melengkapi identitas peserta didik
baru antara lain fotokopi akta kelahiran, kartu keluarga, Kartu Tanda
Penduduk (KTP) orang tua, Ijazah Taman Kanak-Kanak (TK) jika ada,
dan kartu-kartu seperti Kartu Indonesia Sehat jika ada. Guru kelas I
mengungkapkan dokumen yang perlu dikumpulkan ketika mendaftar
antara lain “… membawa syarat-syaratnya itu fotokopi Ijazah TK jika ada,
kemudian Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP orang tua…”
(WII.GKI.07112017.7-9). Sejalan dengan pernyataan guru kelas I, guru
kelas II mengungkapkan bahwa, “Syaratnya itu cuma KTP orang tua,
Akta, tapi yang terutama itu Akta.” (WII.GKII.13032018.8-9). Peneliti
juga mengamati dokumen yang diperlukan untuk syarat PPDB antara lain
adalah fotokopi akta kelahiran anak, kartu keluarga, KTP orang tua, Ijazah
TK jika anak tersebut sebelumnya bersekolah TK, dan Kartu Indonesia
Sehat jika memiliki. Peneliti juga telah melakukan studi dokumentasi
mengenai dokumen yang diperlukan sebagai syarat PPDB saat
melaksanakan observasi kegiatan PPDB di SD “Suka Ilmu”. Hasil studi
dokumentasi, diketahui bahwa memang benar dokumen-dokumen yang
sudah disebutkan sebelumnya digunakan sebagai dokumen pelengkap bagi
calon peserta didik baru yang mendaftar.
SD “Suka Ilmu” menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus
kerena sudah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Penunjukkan Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi. Peneliti sudah melihat dokumen
tersebut dengan nomor surat 400/300/KPTS/2012 yang dikeluarkan oleh
Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo. Pihak sekolah menerima
semua tipe anak berkebutuhan khusus atas anjuran yang ada pada SK
tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh guru kelas I,
“Sini semua diterima mbak, karena memang aturan dari dinas, sekolah
inklusi itu semua harus diterima. Kelainan apa saja harus diterima.”
(WI.GKI.PPDB.04072017.11-13) dan diperkuat oleh pernyataan guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
kelas III, “Kalo sini sih pokok’e siap berapa pun, apapun, diterima karena
sudah menjadi konsekuensinya karena sudah ditunjuk menjadi SD Inklusi.
Sudah dapat SK. Apa pun berkebutuhan khususnya, bentuknya siap
menerima.” (WI.GKIII.07112017.1-4)
SD “Suka Ilmu” menyusun Panitia PPDB, namun kepanitian ini
tidak diganti dari tahun ke tahun. Pembagian tugas untuk masing-masing
guru kurang jelas. Ada guru yang selalu bertugas pada bagian pendaftaran
namun ada guru yang tidak terlibat dalam proses PPDB. Hal ini
diungkapkan oleh guru kelas I, “Ada panitianya. Susunannya ada ketua,
wakil ketua, sekertaris, bendahara kemudian anggota. Hanya sederhana.
Kepanitiannya. Tiap tahun ada, walaupun orangnya sama. Biasanya saya
itu selalu dibagian pendaftaran. Supaya bisa langsung ketemu anaknya.”
(WII.GKI.07112017.14-18). Guru kelas II yang mendukung pernyataan
guru kelas I mengungkapkan “Itu ya istilahnya itu yo nek le mbentuk
bentuk… tapi ya waktu sampai sekarang itu sama, orangnya sama,
susunannya sama. Saya terus terang yo nek le ngerti ngerti tapi tidak
mengikuti kepanitiaan secara langsung.” (WI.GKII.07112017.11-14).
Serta guru kelas III yang mengungkapkan, “Biasanya untuk panitia PPDB
itu guru kelas satu, guru agama, guru olahraga, kepala sekolah. Guru lain
itu juga ada tapi jarang ngurusi, cuma yang bersangkutan aja. Nanti yang
tau kan kayak Bu Fatimah yang ngajar di kelas satu itu, yang langsung
menerima karena dia yang langsung menangani anak.”
(WII.GKIII.12032018.17-21). Saat peneliti melakukan observasi pada
kegiatan PPDB memang terlihat bahwa guru yang paling aktif melakukan
proses pendaftaran untuk menerima dan memasukkan data calon peserta
didik adalah guru kelas I. Susunan kepanitiaan PPDB ini juga tidak
mencantumkan guru pendamping khusus (GPK) atau konselor. Hal ini
peneliti ketahui dari hasil studi dokumentasi terhadap susunan kepanitiaan
PPDB yang terlihat bahwa nama Guru Pendamping Khusus (GPK) atau
konselor tidak terdaftar dalam susunan kepanitiaan yang dibuat oleh pihak
sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Panduan PPDB berasal dari dinas pendidikan, sekolah tidak
menyusun panduan PPDB. Hal ini dijelaskan oleh guru kelas I,
“Panduannya itu dari dinas.” (WII.GKI.07112017.23). Guru kelas II juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa panduan PPDB berasal dari
pemerintah, “…istilahnya yo aturannya sama dari pemerintah.”
(WI.GKII.07112017.15). Hal ini juga peneliti buktikan dengan melihat
dokumen panduan PPDB yang digunakan SD “Suka Ilmu”. Panduan ini
disusun berdasarkan pada Peraturan Kepala Dinas DIKPORA Nomor 110
Tahun 2017.
Guru Pendamping Khusus (GPK) atau konselor tidak mendampingi
proses PPDB di SD “Suka Ilmu”. Proses PPDB ini lebih mengutamakan
kehadiran guru kelas satu. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh guru kelas I, “Tidak. Saat pembelajaran biasa aja guru
pendampingnya datang satu minggu sekali. Guru kelas satu yang penting”
(WII.GKI.07112017.23-24). Guru kelas III yang menjelaskan bahwa GPK
tidak hadir saat proses PPDB, “Ndak ada. Guru pendamping khusus itu
hadirnya cuma satu minggu satu kali, cuma hari Jumat thok. Itupun kalau
hari libur dia gak datang, kan waktu penerimaan siswa baru kan hari
libur. Yo gak hadir.” (WII.GKIII.12032018.42-45). Saat peneliti
melakukan observasi kegiatan PPDB, tidak terlihat GPK, psikolog, atau
konselor yang hadir untuk melaksanakan asesmen awal terhadap peserta
didik baru yang mendaftar.
Guru kelas III mengungkapkan bahwa proses identifikasi saat PPDB
dilakukan dengan melihat isi dari formulir pendaftaran yang berisi riwayat
penyakit dan kelainan yang dimiliki oleh calon peserta didik baru. Jika
calon peserta didik baru memiliki suatu penyakit atau kelainan yang
dimiliki, orang tua akan menuliskan pada formulir pendaftaran tersebut.
“Yo memang dikasih formulir, umpamanya umur, umpamanya ada
penyakit, penyakit apa yang parah. Oh ini punya paru-paru. Ini
penglihatan agak kurang, ini kan dijelaskan di data itu.”
(WI.GKIII.07112017.25-28). Guru kelas III juga mengungkapkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
identifikasi awal anak berkebutuhan khusus saat proses PPDB dapat dilihat
dari kondisi fisiknya, misalnya dari kondisi mata dan kondisi fisik lain
yang terlihat secara kasat mata. “Tapi kalau anak ABK kan dilihat saja
dari fisiknya kan udah nampak. Kayak Mutia yang matanya sipit, ininya
lebar kan, udah ciri-ciri anak-anak… udah nampak. Nanti kalau ada….,
anak yang biasa nampak biasa” (WI.GKIII.07112017.32-35). Setelah
dilakukan identifikasi awal, guru akan mengkonsultasikan kondisi calon
peserta didik baru kepada guru lain dan kepala sekolah. Calon peserta
didik ini akan tetap diterima meskipun setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran beberapa waktu dan tidak mengalami perkembangan akan
dirujuk ke sekolah yang lebih mampu menangani ABK tersebut. Hal ini
diungkapkan oleh guru kelas I, “Yoo kalo ada yang ABK nanti konsultasi
sama yang lain. Sama kepala sekolah. Sama yang lain. Biasanya harus
diterima kerena apa takut dengan aturan. Walaupun nanti seperti yang
kemaren itu Mutia akhirnya setengah tahun di sini gak ada perkembangan
akhirnya dirujuk. Tapi kalau yang pertama harus diterima.”
(WII.GKI.07112017.25-30).
SD “Suka Ilmu” memiliki seorang Guru Pendamping Khusus (GPK)
yang ditugaskan dari dinas pendidikan, hadir ke sekolah satu minggu
sekali setiap hari Jumat. GPK ini mendampingi kelas yang memiliki anak
berkebutuhan khusus, terutama untuk mendampingi ABK di kelas tiga.
Selain itu, SD “Suka Ilmu” juga memiliki seorang guru pendamping yang
diminta oleh orang tua ABK di kelas tiga untuk mendampingi anaknya di
kelas setiap hari selama kegiatan pembelajaran. Hal ini peneliti ketahui
dari hasil wawancara dengan guru kelas I, “Kalo sekarang tinggal satu
hari, hari Jumat saja. Itu dari SLB sana… Matahari. Terus sekarang yang
Fajar itu malah dicarikan pendamping khusus dari orang tuanya yang
mbak hitam-hitam itu. Mendampingi khusus setiap hari.”
(WII.GKI.07112017.31-35). Guru kelas II yang mengungkapkan “Itu
satu. Satu aja cuma dua hari di sini, apa malah sehari yo. Oh sehari.
Masalahnya ada tugas lain. Terus ada pendamping lain itu satu. Yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
guru ABK itu bantuan dari Dinas, kalau yang satu lagi itu dari orang tua
siswa. Tapi yang dimasuki itu cuma kelas-kelas yang ada ABK. Kalau
kelas dua kan cuman agak lambat. Paling-paling cuma kelas tiga yang
didampingi ini.” (WII.GKII.13032018.20-25). Guru kelas III yang
menjelaskan “Kalau sekarang yang kelas tiga itu ada yang mendampingi,
tapi bukan guru ABK itu. Malah dia datang setiap hari tapi yang
mencarikan wali siswa.” (WII.GKII.13032018.35-37).
Guru kelas III mengungkapkan bahwa SD “Suka Ilmu” kekurangan
GPK yang dapat mendampingi ABK di kelas. Menurut keterangan guru
kelas III, pihak sekolah tidak bisa meminta tambahan GPK ke dinas
pendidikan karena jumlah GPK yang terbatas. Orang tua siswa kelas tiga
merasa anaknya memerlukan tambahan guru pendamping. Orang tua siswa
tidak dapat mengandalkan GPK yang hadir satu minggu sekali, sehingga
mencarikan seorang guru pendamping yang dapat hadir setiap hari
mendampingi anaknya. Orang tua tersebut yang memberikan gaji kepada
guru pendamping, namun guru pendamping ini tidak memiliki latar
belakang pendidikan maupun penanganan ABK. Keterangan ini peneliti
peroleh dari hasil wawancara dengan guru kelas III, “Ya kan udah dikirim
dari guru SLB itu, setiap hari Jumat aja. Jadi kita udah gak cari lagi.
Kalau kekurangan ya kekurangan, cuman kan kita mau ngusulkan juga
gak bisa karena guru GPK juga terbatas. Terbatas sekali. Ndak bisa kita
mau minta lagi. SLB itu dulu ngasih waktu seminggu dua kali aja
sekarang tinggal sekali. Kalau yang Bu Rahma ini orang tua siswa sendiri
yang mencari. Digaji sama orang tuanya. Dia lulusan PPKn itu. Buat
penanganan ABK nya juga gak bisa, cuma sebisanya aja. Dia gak ada
latar belakang penanganan ABK.” (WII.GKIII.12032018.46-54). Guru
kelas I yang menambahkan informasi, “Iya guru pendamping buat ABK
nya hanya satu. Itu yang ngasih dari Dinas. Terus yang kelas tiga itu
Fajar, orang tuanya cari sendiri untuk mendamping setiap hari. GPK nya
itu mendampingi yang kelas tiga mbak, untuk Fajar. Setiap datang kesini
nanti masuk ke kelas tiga.” (WIII.GKI.08032018.36-40).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Guru pendamping khusus yang saat ini ada di SD “Suka Ilmu”
ditunjuk oleh dinas pendidikan. Ketiga guru yang diwawancarai oleh
peneliti tidak mengetahui bagaimana proses penunjukkan atau penerimaan
GPK yang mendampingi sekolah inklusi. “Kita menerima begitu saja dari
Dinas. Kita gak tau gimana bisa ditunjuk oleh Dinas.”
(WIII.GKI.08032018.41-42) ungkap guru kelas I ketika wawancara. Dinas
pendidikan yang menunjuk atau menerima GPK untuk mendampingi SD
“Suka Ilmu” dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Guru kelas I
menambahkan informasi, “Syarat yang menentukan GPK itu dari dinas,
mbak. Jadi kita gak tau. Kalau taunya sini itu, katanya yang sudah jadi
guru di SLB Matahari.” (WIII.GKI.08032018.44-46). Guru kelas I dan II
mengungkapkan bahwa GPK yang mendampingi SD “Suka Ilmu” berasal
dari salah satu SLB yang ada di Kulon Progo. GPK tersebut mendampingi
SD “Suka Ilmu” dalam penyelenggaraan sekolah inklusi untuk memenuhi
jumlah jam mengajar. Guru kelas I memaparkan bahwa, “Itu untuk
menambah jam, kan udah dapet sertifikasi kemudian kalau hanya disana
itu jamnya kurang. Kemudian kalau disini itu nambah jam, supaya jamnya
itu genep. Untuk syarat sertifikasi.” (WIII.GKI.08032018.47-50). Sejalan
dengan pernyataan guru kelas I, guru kelas II mengungkapkan, “Itu kan
yang mencarikan itu dari Dinas. Jadi dari Dinas menunjuk guru ABK
untuk membantu sekolah ini untuk menangani anak ABK. Dia itu juga
ngajar di sekolah lain terus nunjuk sini untuk nambah jam.”
(WII.GKII.13032018.31-34).
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan jika GPK hanya
mendampingi ABK belajar di kelas, menjelaskan materi, menjelaskan apa
yang diterangkan oleh guru, dan membantu mengerjakan soal
(membacakan, membimbing). “Tugas GPKnya itu hanya mendampingi
anak ketika belajar, yo mungkin membantu tho. Kalau ada soal yang gak
bisa ya dia membantu membacakan, menjelaskan detailnya.”
(WII.GKIII.12032018.55-57) ungkap guru kelas III. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan guru kelas II, “Ya kelihatannya tidak eh, malah njuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
semata-mata hanya mendampingi.” (WII.GKII.13032018.39-40). GPK
tidak membuat RPP khusus untuk ABK. Guru kelas I mengatakan, “GPK
nya gak pernah buat RPP untuk ABK nya. Selama ini saya juga belum
pernah liat. Jadi selama ini cuman bantu-bantu di kelas mendampingi
yang ABK. Padahal aturannya juga harus buat RPP untuk yang inklusi.”
(WIII.GKI.08032018.51-54). Berdasarkan keterangan guru kelas II, guru
kelas yang membuat RPP untuk seluruh siswa baik berkebutuhan khusus
maupun tidak berkebutuhan khusus. “Belum. Nah itu, kalau RPP nya yo
sama dari guru kelas, jadi RPP nya yo sama untuk seluruh siswa.”
(WII.GKII.13032018.44-45). “Kalau RPP buat ABK yo saya gak bikin
dari sana yo tidak memberi.” (WII.GKII.13032018.46-47). Guru kelas III
menambahkan bahwa GPK juga tidak membuat program untuk ABK.
“Nggak blas. Gak mau dia disuruh itu. Padahal dari sananya itu harus
ada program, tapi dia gak pernah buat.” (WII.GKIII.12032018.61-62).
Tidak semua guru kelas bahwa SD “Suka Ilmu” memiliki
pengalaman atau ilmu untuk menangani Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). Guru kelas II mengungkapkan bahwa beliau belum pernah
mengikuti sosialisasi penanganan ABK. “Kalau pelatihan sepertinya
belum pernah ikut, kan sebetulnya saya basicnya itu di SMP atau SMA.”
(WI.GKII.07112017.49-50) “Ya karena ilmunya yang ABK kan saya
belum mempelajari,…” (WI.GKII.07112017.52-53). Begitu pula untuk
guru kelas I juga belum pernah mengikuti sosialisasi penanganan ABK,
“Iya sosialisasi penanganan anak berkebutuhan khusus. Hanya belum
semua. Yang sering itu kelas tiga, Bu Rita itu sering. Saya belum pernah.”
(WII.GKI.07112017.55-57). Hal berbeda terjadi pada guru kelas III yang
telah sering mengikuti pelatihan untuk ABK, “Yo ada, kan ikut diklat tho
mbak. Saya kalo ada pelatihan dua hari, bergiliran. Sering saya ikut.”
(WI.GKIII.07112017.54-55).
SD “Suka Ilmu” tidak menyediakan fasilitas khusus bagi siswa
berkebutuhan khusus. Fasilitas yang diberikan oleh pihak sekolah sama
untuk seluruh siswa. Hal ini diungkapkan oleh kepala sekolah, “Iya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
fasilitas khusus tidak ada.” (WI.KS.27102017.1) dan guru kelas II,
“Fasilitasnya kelihatannya sama.” (WI.GKII.07112017.55). Guru kelas
III mengungkapkan bahwa sekolah memiliki keterbatasan dalam
memberikan fasilitas khusus untuk ABK. Pihak sekolah akan mendapatkan
bantuan pegangan besi untuk berjalan yang memudahkan siswa ABK
membantu berjalan, namun bantuan tersebut belum terealisasikan. “Ndak
ada. Fasilitasnya ndak ada. Cuman kalau kita mau memberi fasilitas, kan
sekolah negeri. Terbatas tho mbak, kecuali mungkin sekolah swasta.”
(WI.GKIII.07112017.67-69) “Dulu sini tu akan menerima bantuan
fasilitas seperti tangga berjalan, sini kan ada besinya pegangan. Tapi
belum sampai sekarang.” (WI.GKIII.07112017.71-73). Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan peneliti, sekolah tidak memiliki fasilitas khusus
untuk anak berkebutuhan khusus. Semua fasilitas yang disediakan sama
untuk seluruh siswa. Lantai yang ada di SD “Suka Ilmu” masih terbuat
dari ubin. Kamar mandi siswa sama untuk seluruh siswa, tidak ada
pembedaan untuk anak berkebutuhan khusus atau tidak berkebutuhan
khusus. Tidak ada besi pegangan yang membantu anak berkebutuhan
khusus berjalan.
Guru kelas II dan III mengungkapkan bahwa sumber dana biaya
sekolah berasal dari dana BOS Pusat dan BOS tingkat daerah (BOSDA).
Hal ini terlihat dari hasil wawancara guru kelas II, “Biaya operasional
sekolah itu dari BOS Pusat, dari BOS tingkat daerah juga ada.”
(WII.GKII.13032018. 61-62) dan guru kelas III, “Dananya semuanya dari
BOS dan BOSDA.” (WII.GKIII.12032018.76). Guru kelas I menambahkan
bahwa SD “Suka Ilmu” tidak mendapat tambahan dana operasional
penyelenggaraan sekolah inklusi, “Dananya sama memakali dana BOS.
Dana BOS semua baik sekolah reguler atau sini. Kalau tambahan dana
kayaknya tidak ada. Soal dana, sekolah tidak masalah karena
kelainannya kan masih wajar, tidak membutuhkan biaya yang banyak,…”
(WII.GKI.07112017.62-65). Besarnya sumber daya biaya yang diterima
sekolah inklusi maupun sekolah reguler (umum) sama, meskipun dana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
operasional yang diterima sama namun SD “Suka Ilmu” tidak mengalami
masalah dalam memenuhi kebutuhan ABK karena kelainan yang dimiliki
ABK masih wajar yang tidak membutuhkan banyak biaya.
Sumber dana biaya sekolah untuk keperluan sekolah terutama yang
berkaitan dengan kebutuhan ABK ditanggung dari dana BOS. Kegiatan
seperti PPDB, asesmen, pengadaan media pembelajaran, evaluasi
pembelajaran (pengadaan soal) menggunakan dana BOS untuk
membiayainya. Pernyataan ini didukung dari hasil wawancara guru kelas I,
“Untuk PPDB itu gak ada eh… Yang perlu hanya blanko tho. Blanko
hanya sekedar saja. Kalau untuk biaya asesmen itu ditanggung sekolah,
juga diambilkan dari BOS. Dan tiap tahun tidak mesti… tidak mesti
mengundang asesmen. Hanya bila diperlukan saja. Biayanya juga dari
BOS. Semua biaya operasional dari BOS. Mau untuk membeli media
pembelajaran, fotokopi soal itu dari BOS.” (WIII.GKI.08032018.68-74).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh guru kelas II, “Jadi semua
pengeluaran sekolah ini ditanggung dana BOS.” (WII.GKII.13032018.67-
68).
2. Identifikasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, proses
identifikasi dilakukan oleh guru kelas. Guru melakukan identifikasi
dengan melihat kemampuan kognitif siswa dan kondisi fisik siswa itu
sendiri. Kepala sekolah mengungkapkan identifikasi kognitif siswa
dilakukan saat kegiatan pembelajaran. “Begitu guru mengajar anak-anak
yang diajarnya kan, oh ini kok sulit sekali menerima pelajaran. Terus
nanti diassesmenkan anak-anak yang lambat belajar tadi diassesmen.”
(WI.KS.27102017.3-6). Guru kelas I menyatakan proses identifikasi siswa
berkebutuhan khusus dapat dilihat berdasarkan kondisi fisiknya, “Kalo
Mutia sudah kelihatan itu, gak usah diteskan udah kelihatan memang dari
wajahnya kan sudah terlihat yang sama sedunia itu tho? Yang pesek-pesek
terus putih wajahnya. Biasanya kalau yang satu seperti down syndrome itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
sudah kelihatan dari wajahnya ya, kalo yang lambat belajar itu dari
kemampuan berpikir.” (WII.GKI.07112017.81-86). Guru kelas III juga
menambahkan informasi bahwa identifikasi ABK yang dilakukan oleh
guru dapat dilihat dari kemampuan kognitifnya, kondisi fisik dan laporan
dari orang tua mengenai kondisi anaknya. “Kan di sini ada dua macam
tho, yang lambat belajar sama yang down syndrome. Kalau yang lambat
belajar itu yo ikut pelajaran aja gak bisa, misalnya dijelaskan itu gak
nerima, hasil nilainya itu gak bisa maksimal katakanlah. Kan anak yang
belajarnya lambat nah itu nanti kok setiap ulangan gak pernah nyampai
KKM itu pun ndak pernah separuh KKM itu dideteksi anak lambat belajar.
Nanti didaftarkan ikut asesmen tes, baru ketahuan kalau dia betul-betul
anak lambat belajar. Kalau Fajar itu gak usah diasesmenkan udah masuk
inklusi itu. Sudah kelihatan dari fisiknya itu. Dan orang tuanya sendiri
sudah menyampaikan kalau anak saya inklusi.” (WII.GKIII.12032018.94-
104).
Guru kelas III mengungkapkan bahwa tujuan dari identifikasi adalah
untuk mengetahui keadaan, kemampuan, dan latar belakang anak yang
menjadi bekal bagi guru dalam menentukan cara mengajar di kelas. “Ya
untuk mengetahui keadaan siswa tho, diidentifikasi. Lha kalau kita mau
mulang kan harus tahu dulu kemampuan anak, latar belakang anak.
Pengaruh untuk cara mengajar kita. Identifikasi itu sebagai bekal kita,
sebagai pengetahuan kita.” (WII.GKIII.12032018.105-108). Guru kelas I
mengungkapkan tujuan dari identifikasi supaya anak cepat tertangani
melalui bimbingan khusus atau diserahkkan kepada GPK. “Cepat-cepat
tertangani secara tepat seandainya itu memang berkebutuhan khusus nanti
ada bimbingan khusus atau diserahkan kepada itu GPK nya.”
(WIII.GKI.08032018.89-91).
Ada berbagai macam tindakan yang dilakukan guru setelah
melakukan identifikasi terhadap siswa yang dicurigai memiliki kebutuhan
khusus. Guru kelas I mengatakan bahwa siswa yang teridentifikasi
berkebutuhan khusus perlu mendapat penanganan dari guru kelas dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
menambah waktu bimbingan individu. “Setelah identifikasi ya
tindakannya, pertama karena guru GPK nya satu yo khusus ditangani
guru kelas sendiri, terutama tambah waktu, privat sendiri. Biasanya kan
lambat belajar, karena yang paling banyak itu lambat belajar.”
(WIII.GKI.08032018.92-95). Guru perlu menyampaikan mengenai
keadaan ABK kepada kepala sekolah dan guru-guru yang lain melalui
rapat kerja atau rapat sekolah. “Itu pada waktu rapat kerja, rapat sekolah
itu disampaikan kepada kepala sekolah dan guru-guru yang lain. Anak ini
gini… anak ini gini… kemudian setiap rapat kenaikan kelas itu juga kalau
anak itu dinaikkan dengan syarat ini ini ini nanti disampaikan kepada
guru yang lebih tinggi, sebagai catatan. Ini mohon diperhatikan lebih
khusus atau ditempatkan di bangku depan, ini harus diperhatikan lebih.”
(WIII.GKI.08032018.100-106). Guru kelas II mengatakan bahwa cara
guru menyampaikan materi tetap sama seperti sebelum siswa
diidentifikasi. Jika siswa merasa kesulitan guru akan membantu
mendampingi secara pribadi. “Kalau kemarinkan ngertinya sudah
diasesmen itu, terus saya yo menyampaikan materinya yo biasa. Tapi
kalau belum bisa istilahnya itu njuk dibantu. Dibantu secara pribadi, yo
didampingi secara pribadi.” (WII.GKII.13032018.79-82). Guru kelas III
mengungkapkan bahwa setelah dilakukan identifikasi anak berkebutuhan
khusus, guru dapat menentukan acuan dalam menyampaikan materi. “Kita
bisa tahu berapa persen yang mampu berapa persen yang belum mampu,
jadi kita mau menyampaikan materi bisa menyesuaikan bisa lambat atau
cepat. Oh yang tidak mampu tujuh puluh persen, jadi kita harus pelan.
Lha kalau yang mampu hampir lima puluh persen levelnya agak
ditinggikan.” (WII.GKIII.12032018.110-114).
3. Asesmen
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan kepala
sekolah, guru kelas I, guru kelas II, dan guru kelas III dapat diketahui
bahwa sekolah melakukan proses asesmen dengan mendatangkan tim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
khusus asesmen atau psikolog. Penyelenggaraan asesmen tidak selalu di
lakukan di SD “Suka Ilmu”. Asesmen dilakukan di salah satu sekolah
kemudian sekolah lain dapat ikut mendaftarkan siswanya untuk melakukan
asesmen. “Kami tidak bisa mengasesmen. Kami memang harus
mengundang dari SLB di mana itu? Eeh daerah… atau mana itu, SLB
yang sana, yang ahlinya. Kami dulu memang mengadakan asesmen di
seluruh sekolah yang ada di (menyebutkan nama kecamatan sekolah)
kemudian tempatnya di sini. Jadi nanti sekolah-sekolah yang mempunyai
anak berkebutuhan khusus terus daftarnya di sini. Terus tempatnya di sini
waktu itu pelaksanaannya.” (WI.KS.27102017.10-16). Siswa yang
mengikuti tes asesmen adalah siswa yang telah diidentifikasi oleh guru
memiliki kebutuhan khusus. Hal ini diungkapkan oleh guru kelas II, “Ya
ada diassesmen itu. Diassesmen tapi nganu itu… petugas dari luar.”
(WI.GKII.07112017.87-88) “Tapi sekolah sini kan cuma memandang
siapa yang pantas diassesmen ini ini ini.. Tidak semuanya,…”
(WI.GKII.07112017.89-91).
Tugas guru selama proses asesmen adalah melakukan identifikasi
ABK yang akan diasesmen. Hal ini diungkapkan oleh guru kelas II, “Tapi
sebelum ada asesmen itu kita melihat anak, ini kira-kira perlu gak
diasesmen, oh ini perlu didaftar, ini tidak.” (WII.GKII.13032018.103-
105). Guru kelas III menambahkan, “Ya kalau sekolah itu sih awalnya
cuman karena anak itu dirasa tidak bisa, nah terus diikutkan assesmen.”
(WI.GKIII.07112017.140-141). Guru kelas melaporkan hasil
identifikasinya kepada kepala sekolah untuk selanjutnya ditindaklanjuti
dengan mengundang tim asesmen. “Dari guru kelas, lapor dulu nanti
kepala sekolah menindak lanjuti terus dikumpulkan seberapa, kalau
kurang dari sepuluh ya dititipkan asesmen dimana.”
(WII.GKIII.12032018.131-133). Proses asesmen sepenuhnya diserahkan
kepada tim asesmen (psikolog). Pengolahan asesmen diserahkan kepada
tim asesmen. “Tugas saya hanya lihat kelainan yang dialami anak itu.
Kira-kira anak itu kok punya kelainan atau kok berbeda dengan yang lain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
kemampuannya kok agak kurang. Baru mendatangkan psikolog untuk
asesmen. Selama proses asesmen itu langsung menyerahkan ke
psikolognya. Kan saya juga gak bisa mengasesmen. Termasuk hasilnya
yang ngolah juga psikolognya.” (WIII.GKI.08032018.111-116).
Sekolah selalu melakukan tes asesmen setiap tahun untuk siswa yang
dicurigai memiliki kebutuhan khusus jika memang pada tahun itu ada.
“Kayaknya tidak tentu itu, tapi setahun itu pasti kok. Kalau ada, kalau
memang ada yo diasesmen kalau memang anaknya gak ada yo gak
asesmen.” (WI.GKII.07112017.93-95). Tes asesmen ini hanya dilakukan
satu kali selama ABK menjadi siswa berkebutuhan khusus di SD “Suka
Ilmu”. “Tes asesmennya hanya dilakukan sekali aja. Kan buat asesmen
aja ada biayanya itu. Sampai anak itu kelas enam juga cuma dilakukan
sekali itu.” (WII.GKI.07112017.140-142). “Jadi tidak tentu terus setahun
sekali. Kan misalnya kelas satu itu belum, barang kali le daftarkan kelas
dua bisa saja. Tidak harus kelas satu saja le daftarke assesmen.”
(WI.GKII.07112017.96-99). “Tidak. Assesmennya cuma sekali itu sampai
dia kelas enam.” (WI.GKII.07112017.100).
Menurut kepala sekolah, dokumen hasil asesmen disimpan olehnya.
“Iya, sudah saya simpan.” (WI.KS.27102017.17). Guru kelas yang
mengajar siswa berkebutuhan khusus tidak mengetahui bagaimana hasil
asesmen dari masing-masing siswa di kelas yang diampunya.
“Dokumennya ada. Tapi nyimpannya dimana saya gak tau.”
(WII.GKI.07112017.117). “Yo terus terang tertulis, tapi saya belum
pernah liat dokumennya.”. (WII.GKII.13032018.106). Guru kelas III
menjelaskan bahwa dari dokumen hasil asesmen dapat diketahui tingkat
IQ ABK. Tim asesmen yang akan memutuskan siswa tersebut memiliki
kebutuhan khusus atau tidak. “Jarang liat, cuma ada nilai bahwa IQ 50.
Rata-rata kan di bawah 50 itu kan bisa masuk inklusi. Bentuknya itu hasil
IQ.” (WII.GKIII.12032018.144-145). “Kita tinggal terima hasilnya. Oh
ini dinyatakan inklusi. Ini dinyatakan tidak. Hanya itu saja.”
(WII.GKIII.12032018.147-149). Berdasarkan studi dokumen yang peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
lakukan terhadap salah satu dokumen hasil asesmen ABK di kelas III,
diketahui bahwa dokumen hasil asesmen berisi hasil perkembangan anak
dalam fisik, kognitif, dan sikap anak berkebutuhan khusus. Dokumen ini
juga menjelaskan penanganan yang dapat dilakukan oleh guru dan orang
tua atau terapi dalam meningkatkan perkembangan ABK.
Cara guru memantau kemajuan hasil belajar siswa adalah dengan
melihat perkembangan anak, ada peningkatan atau tidak. “Ya dilihat dari
itu… anaknya ini.. perkembangan anak, kemampuan anak ini. Oh anak ini
maju, sudah ada peningkatan belum. Bisa dari segi nilai.”
(WII.GKI.07112017.137-139). Pemantauan ini bisa dilihat dari
kemampuan anak dalam memahami materi saat pembelajaran, pengamatan
sikap anak dalam keseharian, dan hasil ulangan anak. “Untuk
mengumpulkan informasi perkembangan anak bisa dilihat langsung dari
anaknya, keadaan anak tiap harinya itu. Ya bisa saat pembelajarannya,
kemudian saat bergaul dengan teman juga bisa.”
(WIII.GKI.08032018.133-136). “Ya terus terang sikapnya di kelas itu
bagaimana, menganggu temannya yang lain atau tidak. Terus sudah bisa
memahami materi atau belum. Misalnya dari hasil ulangan-ulangan juga
bisa tahu bagaimana perkembangan anak.” (WII.GKII.13032018.111-
114).
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan bahwa belum pernah ada
kegiatan yang bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan layanan pendidikan
inklusi. “Uji kelayakan? Kayaknya belum. Dari awal pokoknya seperti
ini.” (WII.GKI.07112017.143). “Masalah apa itu tadi? Evaluasi layanan
ABK itu saya terus terang nganu ra ngerti ada evaluasi atau tidak.”
(WI.GKII.07112017.120-122). “Diagnosis kelayakan inklusi? Belum
pernah.” (WI.GKIII.07112017.151).
Tindakan yang dilakukan oleh guru kelas I dan II setelah anak
berkebutuhan khusus mendapat asesmen adalah melakukan bimbingan
pribadi dengan ABK, menambah waktu bimbingan, dan lebih
memperhatikan ABK. Guru kelas II mengutarakan, “Itu sama eh,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
penyampaiannya sama, kalau kurang jelas yo njuk didampingi, ditanya
yang belum jelas yang mana. Itu tambahannya yo didekati didampingi.
Kalau ngajarnya berbeda itu yo tidak.” (WII.GKII.13032018.108-110).
Cara guru mengajar di kelas sama, tidak ada perubahan dari sebelum
asesmen maupun setelah asesmen. Pernyataan ini diperkuat dari hasil
wawancara dengan guru kelas I yang mengatakan, “Setelah asesmen tidak
ada perubahan mbak. Kalau pengajarannya sama. Hanya nambah itu,
nambah waktu untuk anak berkebutuhan khusus. Kalau merubah cara
ngajarnya itu repot mbak. Anaknya kan lain-lain. Nanti yang normal
repot. Yang anak-anak biasa kan repot. Ngajarnya disamakan dengan
yang normal, hanya ditambah waktu untuk yang ABK. Tambah perhatian,
perhatian khusus.” (WIII.GKI.08032018.127-132). RPP yang dibuat oleh
guru kelas I berlaku untuk semua siswa, baik yang berkebutuhan khusus
maupun tidak berkebutuhan khusus. “…Walaupun saya sudah lihat hasil
asesmennya tapi saya masih buat RPP secara umum. Jadi untuk
keseluruhan, masih umum, lambat belajar maupun yang seperti Fajar.”
(WIII.GKI.08032018.119-124).
Masing-masing guru kelas mempunyai program-program khusus
untuk ABK yang berbeda. Guru kelas I menambah waktu belajar untuk
ABK dan memberi bimbingan ketika ABK mengerjakan soal. “Biasanya
guru langsung memutuskan untuk menambah waktu belajar lagi.”
(WIII.GKI.08032018.146-147). “…ulangan harian, ada tengah semester,
ada akhir semester. Di sini soal yang diberikan semuanya masih sama.
Hanya kalau yang berkebutuhan khusus itu dibimbing,…”
(WII.GKI.07112017.151-153). Guru kelas II melakukan pendampingan
individu ketika siswa yang lain mengerjakan latihan soal. Guru akan
mengulangi materi yang telah disampaikan. “Sama, tapi nanti ada
penambahan. Penambahannya cuman didampingi dan diperjelas.
Pendampingannya individu, yang lainnya mengerjakan latihan soal
kemudian saya mengulangi penjelasan untuk Fajar.”
(WII.GKII.13032018.125-128). Guru kelas III meminta semua siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
setiap pagi untuk mengerjakan soal yang telah disiapkan guru dari
berbagai mata pelajaran dan tanya jawab mengenai materi pelajaran. Hal
ini berguna bagi guru untuk memantau perkembangan pemahaman materi
siswa. “Pagi kan saya suruh ambil soal seperti arisan digulung. Soalnya
kan tak gulung banyak kayak arisan mulai dari IPA, IPS, PKn, Bahasa,
Bahasa Jawa, Matematika lalu dimasukkan dalam toples, kayak arisan.
Nanti anak datang ambil, masing-masing ambil satu soal. Terus nanti
dikerjakan pada kertas itu. Nanti yang banyak dapat seratus atau banyak
dapat nolnya. Bisa untuk mantau.” (WII.GKIII.12032018.153-159).
“Kalau makan siangnya saya tanya jawab, mau perkalian, kalau IPA
tanya jawab. Setelah doa terus siapa yang bisa jawab soal yang saya
berikan terus ngacung, yang bisa jawab langsung pulang dulu, yang ndak
bisa sampek terakhir lima enam anak gak bisa jawab setiap pertayaan,
apapun sulit. Nanti terus soalnya lebih dimudahkan dimudahkan sampai
dimana dia mampu. Soalnya bisa macem-mecem, bisa Matematika, IPA,
IPS, semua mapel. Jadi kan njur ketok angger sik ora iso jawab kae kae
kae ajeg.” (WII.GKIII.12032018.162-170). Guru kelas III akan
memberikan perlakukan lebih khusus untuk ABK dengan memberikan
kasih sayang, sikap lemah lembut, dan perhatian yang lebih kepada ABK.
“Jadi targetnya sama dengan siswa yang lain, cuman perlakuannya
berbeda. Perlakuannya yo seperti lebih memberi kasih sayang tersendiri,
dengan lemah lembut terus perhatiannya lebih. Misalnya sering dilihat
ditanya.” (WII.GKIII.12032018.171-174).
4. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan bahwa kurikulum yang
digunakan sama bagi anak berkebutuhan khusus dan anak tidak
berkebutuhan khusus. “Tapi masalah materi, masalah kurikulum sama.
Buku-bukunya juga sama.” (WI.GKII.07112017.136-137). Berdasarkan
keterangan guru kelas I, pihak sekolah belum mengusahakan untuk
membuat kurikulum yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
“Kalau di sini belum. Kurikulumnya masih sama untuk yang umum sama
yang ABK. Harusnya ada mbak, karena pembimbingnya tidak membuat yo
sini diam aja.” (WII.GKI.07112017.157-160). Guru kelas III menjelaskan
bahwa meskipun kurikulum yang digunakan sama, tetapi ada perbedaan
indikator bagi ABK. “Kurikulumnya sama, cuman tadi mbak yang
membedakan indikator tadi.” (WI.GKIII.07112017.175-176). Berdasarkan
hasil studi dokumentasi yang dilakukan peneliti terhadap dokumen
kurikulum SD “Suka Ilmu”, diketahui bahwa ada dua macam kurikulum
yang diterapkan yaitu Kurikulum 2013 untuk kelas I dan kelas IV serta
Kurikulum KTSP untuk kelas II, III, V, dan VI. Dokumen kurikulum
tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak melakukan modifikasi
kurikulum untuk memudahkan anak berkebutuhan khusus mengikuti
pembelajaran. Sama dengan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada
guru kelas I, II, dan III serta hasil studi dokumentasi yang dilakukan oleh
peneliti diketahui bahwa kurikulum yang digunakan berlaku sama untuk
seluruh siswa.
Menurut kepala sekolah, SD “Suka Ilmu” mengalami kesulitan
dalam merancang kurikulum yang adaptif bagi siswa karena keterbatasan
sekolah. “Seharusnya kurikulum memang perlu dirancang khusus mbak.
Tetapi memang keterbatasan kami.” (WI.KS.27102017.25-26).
Sependapat dengan pernyataan kepala sekolah, guru kelas I
mengungkapkan bahwa pihak sekolah kesulitan menyusun kurikulum
adaptif karena belum mengusahakan untuk bertanya kepada Dinas
pendidikan. “Mungkin ya mbak ya, kesulitan. Dan belum berusaha tanya
kepada dinas.” (WII.GKI.07112017.162-163). Hal berbeda diungkapkan
oleh guru kelas II bahwa sekolah tidak mengalami masalah dalam
menyusun kurikulum adaptif untuk siswa berkebutuhan khusus.
“Kelihatannya tidak ada masalah eh, ya biasa, istilahnya tidak ada yang
mengeluh, yo biasa.” (WI.GKII.07112017.138-139).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
5. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah
Anak
Semua siswa mendapatkan bahan ajar dan materi yang sama dalam
kegiatan pembelajarannya. Kepala sekolah mengungkapkan bahwa
meskipun perencanaanya sama, harus ada batasan yang ditetapkan untuk
siswa berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhannya.
“Perencanaannya sama, tapi nanti memang harus dikasih untuk yang
anak-anak LB hanya sampai sekian itu sebenarnya. Jadi harus
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Bahan ajar,
kurikulum itu sama, materinya lebih mudah maksudnya.”
(WI.KS.27102017.31-34). Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh
kepala sekolah, guru kelas I menyusun materi dan kegiatan yang sama
untuk seluruh siswa karena kelas I belum dilakukan identifikasi siswa yang
memiliki kebutuhan khusus, namun bagi siswa yang mengalami kesulitan
akan dibimbing secara khusus. “Untuk kelas satu sama. Dari materi,
kegiatan pembelajaran sama. Samanya karena kelas satu belum
diidentifikasi. Kan baru masuk mbak. Bahan ajar tidak ada penyesuaian.
Semuanya sama, hanya nanti dibimbing secara khusus.”
(WII.GKI.07112017.166-169). Sama seperti guru kelas I, guru kelas II
mengatakan bahwa bahan ajar dan materi yang digunakan sama untuk
seluruh siswa, namun jika siswa mendapat nilai di bawah KKM akan
dilakukan perbaikan dengan soal yang lebih mudah. “Sama, mbak. Materi,
buku, kurikulum dan yang lainnya itu sama. Tapi bedanya kalau nilainya
jelek, itu perbaikannya cuma perbedaannya dimudahkan.”
(WI.GKII.07112017.140-142). Hal yang sama juga terjadi untuk guru
kelas III, bahan ajar yang digunakan harus sama untuk seluruh siswa
karena penyampaian materi dilakukan bersamaan, perbedaannya adalah
seberapa mampu siswa berkebutuhan khusus menyerap pengetahuan akan
dibantu oleh guru. “Gak iso mbak, harus sama. Karena kan tetep sama,
karena apa yo…. Kita kan menyampaikan materi secara umum kan mbak,
iya sama. Cuman dia seberapa dia pandai menyerap, nah nanti dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
seberapa pandai dia menyerap kita bantu.” (WI.GKIII.07112017.185-
188). Berdasarkan hasil observasi kegiatan pembelajaran di kelas yang
telah dilakukan oleh peneliti, didapatkan hasil bahwa materi yang
diberikan untuk seluruh siswa sama, tidak ada perbedaan untuk anak
berkebutuhan khusus ataupun tidak berkebutuhan khusus. Guru kelas I
menggunakan buku siswa Kurikulum 2013 sebagai panduan bahan ajar
yang digunakan. Materi yang diberikan oleh guru berlaku sama untuk
seluruh siswa. Guru kelas II lebih memfokuskan untuk membahas soal
UAS tahun sebelumnya sebagai persiapan menghadapi UAS semester
ganjil. Pembahasan soal juga berlaku untuk seluruh siswa. Guru kelas III
memberikan 10 (sepuluh) soal latihan matematika tentang satuan. Soal
latihan ini dikerjakan oleh seluruh siswa termasuk ABK yang ada di kelas
III. Guru kelas memberikan toleransi kepada ABK untuk mengerjakan soal
sesuai dengan kemampuannya.
RPP yang digunakan oleh guru kelas II dan III sama untuk seluruh
siswa, baik yang berkebutuhan khusus maupun tidak berkebutuhan khusus.
“RPP juga sama. Terus terang cen sama eh, tidak ada bedanya.”
(WI.GKII.07112017.143). Guru kelas III menambahkan informasi bahwa
meskipun RPP yang digunakan sama, tetapi ada perbedaan jumlah
indikator untuk ABK. Perbedaan jumlah indikator ini untuk menyesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki ABK. Guru tidak boleh memaksakan
kemampuan ABK dan juga ada aturan bahwa ABK tidak boleh tinggal
kelas. “Sama. Di buat sama. Semua sama, kurikulum sama, RPP sama.
Cuman dia bisanya ngambil indikator yang mana. Makanya kita
nyampaikan misalnya tiga indikator, dia cuma mampu satu aja udah
cukup, gak dimasalahkan. Kan sudah dibilang tadi kalau anak inklusi itu
nilai seberapapun gak masalah, gak boleh ditekan. Itu kan udah aturan.
Kan gak boleh tidak menaikkan anak inklusi.” (WII.GKIII.12032018. 196-
201). Hasil dari studi dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap
RPP kelas I, RPP kelas II, dan RPP kelas III terlihat bahwa RPP yang telah
disusun berlaku untuk seluruh siswa. Dari ketiga guru yang menjadi subjek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
penelitian tidak ada yang membuat RPP khusus untuk siswa berkebutuhan
khusus dan tidak ada dokumen yang menunjukkan adanya RPP khusus
untuk ABK.
Metode mengajar yang paling banyak digunakan oleh guru kelas I,
II, dan III adalah dengan metode ceramah. Guru kelas I mengungkapkan
bahwa beliau kesulitan untuk meninggalkan metode ceramah. “Jujur saja
ya… penyampaian materinya itu masih ceramah. Harusnya tidak lho. Jadi
kan ada beberapa metode di RPP ini, tapi ya jujur saja kalau saya ini
tetep gak bisa meninggalkan metode ceramah.” (WIII.GKI.08032018.178-
181). Guru kelas II dan III menambahkan metode tanya jawab dalam
kegiatan pembelajarannya. “Yo biasanyakan yang utama ceramah.
Kadang pakai metode tanya jawab, itu utama juga. Yang pertama
ceramah, baru tanya jawab lalu baru kita ulang lagi. Kita lihat saja, kalau
guru tua itu metode yang digunakan itu gak usah dilihat yang ada di
RPP.” (WII.GKIII.12032018.202-205). Hasil observasi kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa dari ketiga
guru yaitu guru kelas I, II, dan III lebih banyak menggunakan metode
ceramah dalam menyampaikan materi, disela-sela pembelajaran guru juga
mengajukan pertanyaan kepada siswa mengenai materi yang sedang
disampaikan guru.
6. Penataan Kelas yang Ramah Anak
Cara guru dalam memanajemen kelas agar dapat melakukan proses
pembelajaran secara optimal adalah dengan melakukan bimbingan khusus
kepada siswa berkebutuhan khusus. Kepala sekolah mengungkapkan
bahwa guru kelas akan menambah jam belajar setelah pulang sekolah atau
ketika ada ujian kelas enam. “Cuma untuk anak-anak yang seperti itu oleh
guru kelasnya, anak-anak yang lain sudah pulang atau pas ada hari…
hari apa yo… umpanya kelas enem pas ujian kan ada gurunya yang tidak
mengajar itu anak yang berkebutuhan khusus itu disuruh masuk trus di
privat. Kami memberi privat.” (WI.KS.27102017.40-44). Guru kelas I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
mengoptimalkan kegiatan pembelajaran dengan berkeliling mendatangi
setiap siswa untuk membimbing individu dan menerapkan tutor sebaya
untuk membantu guru membimbing teman-temannya yang lain.
“Dibimbing khusus.” (WII.GKI.07112017.186). “Tapi kalau yang belum
kan masih bimbingan, muter. Atau nanti minta bantuan yang sudah bisa.”
(WII.GKI.07112017.187-189). Guru kelas II melakukan pendekatan
dengan bertanya materi yang belum jelas kepada siswa berkebutuhan
khusus yang ada di kelasnya dan memberikan sanksi mendidik bagi siswa
yang membuat kegaduhan, misalnya diminta untuk berpidato di depan
kelas. “Yo itu usahanya yo pendekatan itu, dalam arti lainnya tidak
didekati itu, didekati terus ditanya kesulitannya apa atau yang belum jelas
mana itu malah agak banyak itu malah agak banyak waktunya untuk
itu…” (WI.GKII.07112017.154-157). “Ya kalau ada yang rame ya
istilahnya diberi sanksi yang sifatnya mendidik. Kan nanti terus istilahnya
gak berani terlalu ramai. Ya.. contohnya kalau ada yang ramai disuruh
maju pidato atau apa.” (WI.GKII.07112017.158-160). Guru kelas III akan
mengajukan pertanyaan kepada siswa yang berbicara saat guru
menjelaskan materi. “Jadi siapa yang ngomong di kelas ditanya materi.
Kalau sudah ngomong di kelas kan berarti udah pinter. Udah nanti tenang
sendiri.” (WII.GKIII.12032018.209-211).
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa penataan tempat
duduk untuk setiap kelas diserahkan kepada guru kelas yang mengampu.
Kepala sekolah mengungkapkan tidak ada pengelompokkan untuk siswa
berkebutuhan khusus di kelas, semua berbaur dengan teman-temannya
yang lain. “Jadi satu. Enggak ada kelompok yang ini ABK ini bukan.
Cuman didampingi oleh GPK…” (WI.KS.27102017.48-49). Guru kelas I
menempatkan siswanya yang belum lancar membaca di bangku depan
untuk memudahkan guru dalam membimbing, terkadang juga membentuk
kelompok kecil dengan kemampuan siswa yang beragam. “Kadang-
kadang yang belum lancar membaca saya jadikan satu di depan-depan.
Itu untuk memudahkan mengajari. Kadang-kadang dicampur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dikelompokkan.” (WII.GKI.07112017.190-192) “Dibimbing khusus.
Biasanya yang sudah dapat itu didiamkan saja selesai dengan sendirinya,
betul semua dengan sendirinya. Tapi kalau yang belum kan masih
bimbingan, muter. Atau nanti minta bantuan yang sudah bisa.”
(WII.GKI.07112017.186-189). Hal yang sama terlihat saat peneliti
melakukan observasi di kelas I. Tempat duduk siswa disusun secara
berkelompok. Satu kelompok terdiri dari empat sampai lima siswa.
Berdasarkan pengamatan peneliti, dalam setiap kelompok ada siswa yang
sudah pandai membaca dan yang belum pandai membaca sehingga
memudahkan dalam melakukan tutor sebaya.
Guru kelas II menempatkan siswa berkebutuhan khusus terutama
siswa lambat belajar di bangku depan yang dapat memudahkan guru untuk
membimbingnya. Hal ini juga dimaksud agar siswa tidak mudah gaduh.
“Sama itu, malah justu yang ABK itu malah di depan. Tujuannya kalau
nanti mendekatinya kan gampang.” (WI.GKII.07112017.161-162).
“Biasanya depan, tujuannya biat tidak banyak rame. Kalau guru pingin
mendekati itu bisa cepet le mendekati. Kebanyakan di depan kalau yang
lambat belajar.” (WII.GKII.13032018.164-166). Sejalan dengan hasil
wawancara dengan guru kelas II, peneliti melakukan observasi di kelas
dan mendapat keterangan dari guru bahwa siswa-siswi yang diidentifikasi
mengalami lambat belajar telah ditempatkan di bangku depan agar guru
lebih mudah dalam memantau perkembangan siswa tersebut.
Guru kelas III menempatkan siswa berkebutuhan khusus di bangku
belakang karena jika di depan ia akan mengganggu temannya yang lain.
Meskipun siswa berkebutuhan khusus ditempatkan di belakang namun ia
didampingi oleh guru pendamping, sehingga menurut guru kelas III tidak
menimbulkan masalah. “Tempat duduk itu saya taruh depan sendiri,
karena anak itu sering ngompol sering buang air besar badannya juga
besar nutupi temannya, maka saya taruh belakang. Memang sebenarnya
saya salah kalau ditaruh di belakang. Nah karena ada pendamping maka
gak jadi masalah.” (WI.GKIII.07112017.212-216) “Dulu waktu belum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
ada pendampingnya Bu Rahma saya taruh di depan sendiri.”
(WI.GKIII.07112017.219-220). Sesuai dengan apa yang telah dikatakan
oleh guru kelas III, peneliti telah melakukan observasi di kelas dan melihat
bahwa anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas III duduk sendiri di
bangku belakang. Guru pendamping yang dicarikan orang tua siswa selalu
mendampingi ABK tersebut.
Peneliti melakukan observasi mengenai kondisi kelas I, II, dan III.
Lebar ruang kelas I cukup memadai untuk siswa yang berjumlah 18
(delapan belas) siswa. Ventilasi dan pencahayaan ruang kelas bagus
membuat ruang kelas tidak pengap dan gelap. Ukuran meja terlalu berat
dan besar untuk siswa kelas I, sedangkan untuk kursinya ringan dan mudah
dipindahkan. Penyusunan meja membuat siswa dan guru kesulitan untuk
bergerak karena penataannya yang terlalu dekat antara satu dengan yang
lain. Meja dan kursi yang tidak terpakai kurang tertata rapi di belakang
kelas. Sama seperti luas ruangan kelas I, luas ruangan kelas II dan III
cukup memadai untuk siswa kelas II yang berjumlah 21 (dua puluh satu)
siswa dan kelas III yang berjumlah 15 (lima belas) siswa. Ventilasi udara
baik membuat kelas tetap sejuk dan tidak pengap, namun pencahayaan di
ruang kelas II dan III kurang memadai karena cahaya matahari dari luar
tidak dapat masuk ke dalam kelas dan lampu yang tersedia hanya ada satu
lampu kecil yang belum cukup menerangi ruang kelas. Meja dan kursi
yang ada di ruang kelas II dan III, ringan dan mudah dipindahkan sehingga
tidak memberatkan siswa ketika ada aktifitas membentuk kelompok.
7. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif
SD “Suka Ilmu” belum memiliki media pembelajaran adaptif yang
menunjang kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Media pembelajaran
yang digunakan bersifat umum digunakan untuk semua siswa. Guru kelas I
mengungkapkan, “Media pembelajarannya masih umum, gak ada yang
khusus buat ABK.” (WIII.GKI.08032018.197-198). Guru kelas II dan III
juga mengungkapkan hal yang sama bahwa tidak ada media pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
khusus untuk ABK, namun guru kelas III menambahkan bahwa terkadang
guru menggunakan media gambar yang ditampilkan menggunakan HP
atau digambar oleh guru sendiri dan siswa diajak untuk mengamati benda
konkret yang sesuai dengan materi. “Kalau media pembelajaran disini itu
sama. Fajar itu gak ada bedanya dengan anak umum, kalo pakai media ya
sama dengan yang kain, gak ada media khusus. Paling kita pakek media
gambar. Kalau enggak dicarikan gambar lewat HP terus diliatkan ke
anak-anak. Atau kita gambar sendiri.” (WII.GKIII.12032018.225-229)
“Atau dengan benda yang nyata. Oh tentang tumbuhan, yo diajak keluar
kelas kalau gak ada media yang menunjang, anak disuruh bawa,…”
(WII.GKIII.12032018.233-235). Berdasarkan hasil observasi yang peneliti
lakukan, diketahui bahwa guru kelas I, II, dan III tidak menggunakan
media adaptif khusus dalam menjelaskan materi kepada ABK. Pada saat
peneliti melakukan observasi di kelas I, peneliti melihat 3 media gambar
yang tertempel di papan tulis. Ketiga gambar tersebut digunakan oleh guru
untuk menjelaskan materi mengenai kegiatan yang dapat dilakukan di saat
pagi, siang, dan sore hari. Media gambar tersebut tidak digunakan guru
pada saat peneliti melakukan observasi namun pada kegiatan pembelajaran
hari sebelumnya. Hal ini peneliti ketahui dari hasil berbincang-bincang
dengan guru setelah peneliti mengobservasi kelas I. Ketika peneliti
melakukan observasi kegiatan pembelajaran di kelas II, diketahui bahwa
guru tidak menggunakan media pembelajaran untuk menjelaskana materi.
Hasil observasi peneliti di kelas III menunjukkan hasil bahwa guru kelas
III menggunakan jari tangan untuk membantu memudahkan ABK
menghitung.
Guru kelas I dan II mengungkapkan bahwa media pembelajaran
sangat membantu siswa untuk memahami materi karena dapat memahami
secara langsung bukan dalam angan-angan. “Membantu sekali. Anak itu
secara real, secara nyata bisa langsung memahami. Tidak hanya angan-
angan saja.” (WIII.GKI.08032018.200-201). Sependapat dengan guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
kelas I, guru kelas II juga mengungkapkan bahwa media pembelajaran
dapat menambah pemahaman siswa terhadap materi ajar.
8. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran
Guru kelas I dan II mengungkapkan bahwa ada target nilai yang
harus dicapai oleh siswa yaitu nilai KKM. Nilai KKM yang ditetapkan
sama untuk seluruh siswa baik yang berkebutuhan khusus maupun tidak
berkebutuhan khusus. “Target yang dibuat itu malalui nilai KKM.
Termasuk KKM tho itu, bisa jadi target. Ya itu… secara umum untuk satu
kelas itu KKM sudah ditentukan, nah untuk yang berkebutuhan khusus itu
KKM sama hanya materinya yang diturunkan, disederhanakan.”
(WIII.GKI.08032018.217-220). Guru kelas I menambahkan meskipun
KKM yang ditetapkan sama namun ada penurunan materi untuk anak
berkebutuhan khusus. Guru kelas I menjelaskan bahwa target nilai
minimal untuk sikap adalah baik dan nilai keterampilan sama dengan nilai
KKM. “Tapi untuk kenaikan kelas yang kurikulum tiga belas itu sikapnya
minimal baik. Kalau cukup belum bisa naik. Keterampilan itu dengan
nilai, angka. Angka juga sama dengan nilai pengetahuan. Sama dengan
nilai KKM.” (WIII.GKI.08032018.223-226). Guru kelas II menjelaskan
bahwa siswa yang belum tuntas mencapai nilai KKM melakukan
perbaikan dengan soal yang dibuat lebih mudah. “Yo namanya nilai kan
itu yo sama. Nilainya yo sama, maksudnya aturan ketuntasan belajar itu
sama. KKM nya sama. Tapi nanti kok itu kurang belum tuntas terus
perbaikannyakan soalnya lebih mudah.” (WII.GKII.13032018.186-189).
Penetapan KKM sama untuk seluruh siswa, hal ini diungkapkan oleh
kepala sekolah, guru kelas I, guru kelas II dan guru kelas III. “Untuk KKM
kan sama.” (WI.KS.27102017.53). Guru kelas I menambahkan keterangan
bahwa meskipun nilai KKM disamakan, namun materinya lebih
disederhanakan. “Ya itu… secara umum untuk satu kelas itu KKM sudah
ditentukan, nah untuk yang berkebutuhan khusus itu KKM sama hanya
materinya yang diturunkan, disederhanakan.” (WIII.GKI.08032018.218-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
220). Guru kelas II mengungkapkan bahwa untuk soal ulangan perbaikan
dibuat lebih mudah. “KKM juga sama, perbedaannya ulangan perbaikan
itu dipermudah.” (WI.GKII.07112017.181-182). Guru kelas III
memberikan alasan bahwa KKM dibuat sama untuk seluruh siswa karena
materi pembelajarannya sama untuk seluruh siswa. “KKM sama. Gimana
KKM mau bedakke kalau pelajarannya aja sama.”
(WII.GKIII.12032018.242-243). Sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh guru kelas III, hasil dari peneliti melakukan studi dokumentasi juga
membuktikan bahwa KKM yang ditetapkan di kelas III sama untuk
seluruh siswa.
Bentuk evaluasi pembelajaran di SD “Suka Ilmu” menggunakan soal
yang sama untuk ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan
kenaikan kelas. Kepala sekolah menyatakan, “Evalusinya sama dengan
yang lain. Ulangan harian, ulangan tengah semester, UTS, UAS, UKK,…”
(WI.KS.27102017.63-64). Hal serupa juga diungkapkan oleh guru kelas I
dan II. Guru kelas I menambahkan informasi bahwa soal UTS dan UAS
berasal dari Dinas pendidikan, belum ada soal khusus untuk ABK
sehingga ketika mengerjakan guru perlu mendampingi ABK. “Iya soal
evaluasi UTS, UAS itu dari Dinas. Soal khusus untuk anak inklusi itu
belum ada, jadi kalau pas anak itu mengerjakan soal-soal itu ya ekstra
ditunggui, bahkan malah dibantu, malah diwarahi.”
(WIII.GKI.08032018.210-212). Hasil studi dokumentasi yang dilakukan
peneliti terhadap soal ulangan harian untuk kelas I, II, dan III diketahui
bahwa tidak ada perbedaan soal ulangan harian untuk anak berkebutuhan
khusus dan tidak berkebutuhan khusus. Semua soal yang disusun oleh guru
untuk ulangan harian berlaku sama untuk seluruh siswa. Hal ini juga sudah
peneliti pastikan dari hasil wawancara di atas.
Terdapat beberapa perbedaan penerapan dalam penilaian dan
evaluasi pembelajaran di SD “Suka Ilmu” dibandingkan sekolah pada
umumnya. Kepala sekolah mengungkapkan bahwa seharusnya soal untuk
ABK dibuat lebih mudah karena materi yang didapatkan ABK juga lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
mudah. “Soalnya memang seharusnya lebih mudah mbak. Harusnya lebih
mudah. Soalnya materinya juga lebih mudah. Seharusnya memang harus
beda. Seperti kalo ujian anak-anak yang LB memang harus beda.”
(WI.KS.27102017.65-68). Guru kelas I mengungkapkan bahwa dengan
soal evaluasi yang sama diberikan kepada anak berkebutuhan khusus dan
tidak berkebutuhan maka untuk ABK membutuhkan bimbingan lebih
khusus. “Iya oleh guru kelas, ada ulangan harian, ada tengah semester,
ada akhir semester. Di sini soal yang diberikan semuanya masih sama.
Hanya kalau yang berkebutuhan khusus itu dibimbing,…”
(WII.GKI.07112017.204-206). Guru kelas II mengungkapkan bahwa soal
evaluasi yang diberikan sama namun ketika siswa melakukan perbaikan
nilai, soal yang diberikan lebih mudah dari soal ulangan sebelumnya. “Yo
namanya nilai kan itu yo sama. Nilainya yo sama, maksudnya aturan
ketuntasan belajar itu sama. KKM nya sama. Tapi nanti kok itu kurang
belum tuntas terus perbaikannyakan soalnya lebih mudah.”
(WII.GKII.13032018.186-189). Guru kelas III memberikan informasi
bahwa penilaian dan evaluasi untuk ABK diberikan keleluasaan untuk
menyelesaikan soal ulangan sesuai dengan kemampuannya. “Sama
ulangannya. Mata pelajaran sama. Cuman kita kan sak rampunge Fajar le
garap. Oh dia mampu garap sepuluh ya sudah, sepuluh itu gak boleh
dipaksa.” (WI.GKIII.07112017.244-246).
Tujuan dilakukannya evaluasi adalah untuk mengetahui kemampuan
siswa, keberhasilan belajar mengajar, evaluasi bagi guru, memberikan
pemecahan masalah dalam kegiatan pembelajaran, dan melihat
perkembangan siswa. Guru kelas I berkata, “…untuk mengetahui
kemampuan anak ini sampai dimana. Untuk mengetahui keberhasilan
belajar mengajar juga. Berhasil atau tidaknya. Jadi guru bisa
mengevaluasi diri.” (WII.GKI.07112017.213-215). Guru kelas II
menambahkan informasi, “Ya tujuannya evaluasi kalau ada kekurangan
ya jalan keluarnya ini, kalau misalnya ini menyampaikannya ini belum
jelas terus berubah itu.” (WI.GKII.07112017.183-185). Bagi guru kelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
III, tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui perkembangan siswa, “Ya
untuk melihat perkembangan anak terutama. Mampu atau tidak.”
(WI.GKIII.07112017.255-256).
C. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di kelas bawah SD “Suka
Ilmu”, peneliti mengetahui bahwa sekolah menghadapi permasalahan dalam
menerapkan kedelapan aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk
memberikan layanan pendidikan yang optimal kepada peserta didik
berkebutuhan khususnya. Aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi
tersebut, yaitu (1) penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang
mengakomodasi semua anak, (2) identifikasi, (3) asesmen, (4) adaptasi
kurikulum (kurikulum fleksibel), (5) merancang bahan ajar dan kegiatan
pembelajaran yang ramah anak, (6) penataan kelas yang ramah anak, (7)
pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan (8) penilaian
dan evaluasi pembelajaran. Teknik pengumpulan data yang digunakan
peneliti adalah dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Peneliti
menyajikan hasil penelitian dengan membuat deskripsi secara rinci dari data
telah diperoleh sesuai dengan kategori dari kedelapan aspek penyelenggaraan
pendidikan inklusi tersebut.
SD “Suka Ilmu” adalah salah satu sekolah dasar inklusi yang ada di
Kabupaten Kulon Progo. Sekolah ini ditunjuk sebagai sekolah inklusi karena
pada mulanya sekolah pernah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus
yaitu seorang siswa tunanetra dan seorang siswa down syndrome. Pada tahun
2012, SD “Suka Ilmu” mendapat Surat Keputusan dari Dinas Pendidikan
Kabupaten Kulon Progo yang berisi penunjukkan SD “Suka Ilmu” sebagai
sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Sejak menerima SK tersebut,
terhitung mulai tahun 2012, SD “Suka Ilmu” telah memberikan layanan
pendidikan inklusi kepada peserta didiknya tanpa memilih jenis anak
berkebutuhan khusus apa yang dapat diterima di sekolah. Sekolah secara
terbuka menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus tanpa memandang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
kelainan atau kekurangan yang dimiliki oleh anak. Saat ini, di kelas bawah
SD “Suka Ilmu” ada satu peserta didik berkebutuhan khusus yang sudah
diasesmen dan telah dinyatakan memiliki karakteristik kelainan tunagrahita.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas II dan guru kelas III, masih
ada beberapa peserta didik yang teridentifikasi mengalami lambat belajar,
namun belum dilakukan asesmen.
Ketika memasuki tahun pelajaran baru, setiap sekolah perlu
mempersiapkan diri untuk menerima peserta didik baru, tanpa terkecuali bagi
SD “Suka Ilmu”. Sekolah perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan persiapan penerimaan peserta didik baru (PPDB), antara lain
persyaratan apa saja yang diperlukan bagi calon peserta didik untuk
mendaftar, panitia PPDB, panduan PPDB, sumber daya pendidik dan tenaga
kependidikan, sumber daya sarana dan prasarana, serta sumber daya biaya.
Berdasarkan hasil wawancara dan studi dokumentasi yang dilakukan
oleh peneliti, syarat utama yang ditetapkan oleh SD “Suka Ilmu” untuk
menerima peserta didik baru adalah usia tujuh tahun wajib diterima dan
kurang dari tujuh tahun jika kuota rombongan belajar masih tersedia. Hal ini
sesuai dengan persyaratan dalam Pedoman Umum Penerimaan Peserta Didik
Baru (PPDB) pada TK, SD, dan SMP Tahun Pelajaran 2017/2018 yang
menjelaskan bahwa persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu) adalah
berusia 7 (tujuh) tahun wajib diterima sebagai peserta didik dan berusia
paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli 2017. Pada tahun pelajaran
ini, SD “Suka Ilmu” mendapat 18 (delapan belas) peserta didik baru. Jumlah
ini kurang dari ketetapan yang ada pada Pedoman Umum PPDB yaitu
sebanyak 28 (dua puluh delapan) siswa untuk setiap rombongan belajar,
sehingga pihak sekolah tidak melakukan seleksi dan langsung menerima
seluruh calon peserta didik baru yang mendaftar.
Persyaratan usia calon peserta didik baru perlu dibuktikan oleh orang
tua dengan membawa dokumen akta kelahiran. Hal ini sejalan dengan
pernyataan yang ada pada Pedoman Umum PPDB yaitu persyaratan usia
calon peserta didik tersebut dibuktikan dengan membawa akta kelahiran atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
surat keterangan lahir yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang dan
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Dokumen tambahan yang dapat
disertakan untuk melengkapi identitas calon peserta didik adalah fotokopi
kartu keluarga, Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua, Ijazah Taman
Kanak-Kanak (TK) jika ada, dan Kartu Indonesia Sehat jika ada.
Hasil wawancara dengan guru kelas I, II, dan III, peneliti mengetahui
bahwa SD “Suka Ilmu” menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus,
tidak ada pengecualian tipe kebutuhan khusus tertentu akan ditolak oleh pihak
sekolah. Artinya pihak sekolah terbuka terhadap keberagaman dalam
menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus dalam haknya untuk
mendapatkan pendidikan yang sama dengan peserta didik lain. Hal senada
dengan pernyataan Kustawan dan Hermawan (2013:90) di mana menyatakan
bahwa guru perlu memahami keberagaman anak dalam haknya untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa melihat perbedaan fisik,
intelektual, sosial, emosi atau kondisi lainnya. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa menambahkan bahwa dalam pendidikan inklusi memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
Dalam pelaksanaan PPDB, sekolah perlu membentuk Panitia yang
bertugas menghimpun identitas calon peserta didik yang telah mendaftar.
Bagi penyelenggara pendidikan inklusi, kepanitiaan PPDB perlu dilengkapi
Guru Pendamping Khusus (GPK). Hasil wawancara yang dilakukan peneliti
diketahui bahwa GPK tidak pernah mendampingi pelaksanaan PPDB di SD
“Suka Ilmu”. Sehingga tidak adanya asesmen awal untuk calon peserta didik
baru yang diidentifikasi memiliki kebutuhan khusus oleh GPK atau konselor.
Sementara Kustawan dan Hermawan (2013:91-92) berpendapat bahwa
asesmen awal perlu dilakukan oleh GPK atau konselor dalam proses PPDB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
untuk menjaring dan menempatkan siswa berkebutuhan khusus agar sekolah
dapat mengetahui kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan standar awal siswa
berkebutuhan khusus tersebut. Pelaksanaan asemen awal di SD “Suka Ilmu”
dilakukan oleh guru yang hadir dengan melihat kondisi fisik dan isi dari
formulir pendaftaran yang berisi riwayat penyakit dan kelainan yang dimiliki
oleh calon peserta didik baru. GPK atau konselor sangat dibutuhkan dalam
pelaksanaan PPDB karena dengan dilakukannya asesmen sedini mungkin
akan lebih mempermudah GPK maupun guru kelas dalam menangani anak
berkebutuhan khusus yang diterima di sekolah.
SD “Suka Ilmu” memiliki satu orang Guru Pendamping Khusus (GPK)
yang ditugaskan oleh dinas pendidikan, hadir ke sekolah satu minggu sekali
setiap hari Jumat. Dinas pendidikan yang melakukan perekrutan GPK untuk
mendampingi SD “Suka Ilmu” dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi.
GPK ini berasal dari salah satu SLB yang ada di Kulon Progo. GPK tersebut
melakukan pendampingan ABK di SD “Suka Ilmu” karena di SLB tempatnya
mengajar GPK kekurangan jam mengajar, sehingga GPK menambah jam
mengajar di sekolah lain untuk memenuhi target jam mengajarnya. GPK ini
lebih banyak mendampingi anak berkebutuhan khusus di kelas III, sedangkan
di kelas atas masih ada sepuluh siswa lambat belajar yang memerlukan
pendampingan GPK. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang harus ditangani
oleh satu orang GPK tersebut tidak mencukupi dengan daya penanganan satu
orang GPK. Murtie (2014:126) menjelaskan bahwa idealnya satu guru
pendamping khusus maksimal menangani tidak lebih dari lima orang anak
berkebutuhan khusus. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Murtie,
pihak sekolah merasa kekurangan dengan jumlah satu orang GPK yang dapat
mendampingi ABK di kelas terutama dengan waktu satu minggu sekali setiap
hari Jumat. Meskipun merasa kekurangan GPK namun sekolah tidak dapat
meminta tambahan GPK kepada dinas pendidikan karena jumlah GPK yang
terbatas.
Orang tua anak berkebutuhan khusus tunagrahita yang ada di kelas III
tidak dapat mengandalkan GPK yang hadir satu minggu sekali untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
mendampingi anaknya sehingga mencarikan seorang guru pendamping yang
dapat hadir setiap hari. Guru pendamping ini tidak memiliki latar belakang
pendidikan maupun penanganan anak berkebutuhan khusus karena
pendidikan yang sebelumnya ditempuh adalah Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan. Sementara hal berbeda diungkapkan oleh Murtie
(2014:126) bahwa guru pendamping untuk ABK biasanya memiliki latar
belakang pendidikan luar biasa atau tenaga ahli lain seperti psikolog. Latar
belakang pendidikan yang dimiliki oleh guru pendamping tentunya
mempengaruhi cara guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Guru
pendamping yang memiliki latar belakang pendidikan luar bisa dapat
memberikan bantuan kepada guru kelas dengan membuat program untuk serta
dapat melakukan intervensi (penanganan) terhadap anak berkebutuhan
khusus. Hal ini tentunya akan meringankan tugas guru kelas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga guru kelas bawah diketahui
bahwa tugas GPK selama hadir di SD “Suka Ilmu” adalah mendampingi
ABK belajar di kelas yaitu menjelaskan materi, menjelaskan kembali apa
yang diterangkan oleh guru, dan membantu mengerjakan soal (membacakan,
membimbing). GPK tidak membuat RPP khusus untuk ABK. RPP yang
digunakan saat pembelajaran adalah RPP yang dibuat oleh guru kelas dan
berlaku untuk seluruh siswa. Friend dan Bursuck (2015:70) menjelaskan
bahwa guru pendidikan khusus memiliki tanggung jawab untuk (a) mengelola
dan mengatur layanan yang diterima seorang siswa, meliputi penyusunan dan
pelaksanaan program pendidikan individual (Individualized Education
Program/IEP), dan (b) melakukan rapat dengan guru kelas untuk memantau
kemajuan siswa, menyelesaikan persoalan yang menjadi perhatian secara
bersama-sama dengan guru kelas, dan mengoordinasikan layanan bagi siswa
ABK. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Friend dan Bursuck
sebelumnya, peran GPK di SD “Suka Ilmu” perlu ditingkatkan lagi untuk
membantu dan meringankan tugas guru kelas dalam menangani ABK. Guru
kelas dan GPK memerlukan kerja sama tim (team teaching) sehingga tugas
masing-masing dapat dijalankan dengan baik dan hak masing-masing anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan bakat,
potensi, dan keterampilannya dapat tercapai.
Tidak semua guru kelas bawah di SD “Suka Ilmu” memiliki
pengalaman atau ilmu dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Guru
kelas I dan II belum pernah mengikuti pelatihan ataupun sosialisasi mengenai
penanganan ABK, sedangkan guru kelas III pernah mengikuti pelatihan untuk
ABK. Bertentangan dengan keadaan di lapangan, Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
memaparkan bahwa pemerintah mengupayakan peningkatan kompetensi bagi
pendidik dan tenaga kependidikan di bidang pendidikan inklusi. Peningkatan
kompetensi tersebut memang sudah dapat diselenggarakan misalnya melalui
kegiatan diklat dan pelatihan, namun belum merata bagi semua guru sekolah
regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Sehingga terjadi
kesenjangan antar guru kelas dalam menangani anak berkebutuhan khusus
ketika GPK tidak hadir.
Kustawan dan Hermawan (2013) menyatakan bahwa dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu mempertimbangkan sumber daya
yang dimiliki sekolah yaitu sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan,
sumber daya sarana dan prasarana, serta sumber daya biaya. Sumber daya
pendidik dan tenaga kependidikan telah peneliti uraikan sebelumnya. Selain
sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, sekolah inklusi perlu
mempersiapkan sumber daya sarana dan prasarana serta sumber daya biaya.
Berdasarkan hasil observasi lingkungan sekolah dan wawancara dengan
guru, peneliti belum melihat fasilitas khusus yang disediakan oleh sekolah
untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Fasilitas yang diberikan sama untuk
seluruh peserta didik. Pemberian fasilitas yang sama untuk seluruh siswa
disebabkan karena ABK yang ada belum memerlukan fasilitas secara khusus.
Sumber daya biaya SD “Suka Ilmu” berasal dari dana BOS Pusat dan BOS
tingkat daerah (BOSDA). Dana operasional yang diperoleh sekolah sama
dengan dana yang diterima oleh sekolah regular. Dana BOS dan BOSDA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
yang diperoleh sekolah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan
operasional sekolah. Pengeluaran dana untuk kegiatan PPDB, asesmen,
pengadaan media pembelajaran, evaluasi pembelajaran menggunakan dana
BOS dan BOSDA. Meskipun dana operasional yang diterima sama dengan
sekolah regular, namun SD “Suka Ilmu” tidak mengalami permasalahan
dalam memenuhi kebutuhan ABK karena kebutuhan khusus yang dimiliki
ABK masih wajar dan tidak membutuhkan banyak biaya.
Ketika calon peserta didik sudah diterima oleh pihak sekolah, peserta
didik akan mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas. Seiring dengan
berjalannya waktu, guru dapat memiliki kecurigaan terhadap peserta didik
yang memiliki kebutuhan khusus. Kecurigaan yang dimiliki guru perlu
dibuktikan dengan identifikasi. Identifikasi di SD “Suka Ilmu” dilakukan oleh
masing-masing guru kelas. Identifikasi tersebut dapat dilakukan dengan
melihat kemampuan kognitif, kondisi fisik peserta didik, dan laporan dari
orang tua peserta didik mengenai kelainan atau kebutuhan yang dialami oleh
anaknya. Identifikasi kondisi fisik siswa berkebutuhan khusus dapat
dilakukan dengan melihat secara langsung menggunakan indera manusia
(indera penglihatan dan indera pendengaran), sedangkan identifikasi kognitif
siswa dilakukan saat kegiatan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat
Kustawan dan Hermawan (2013:93) yang menyatakan bahwa guru dapat
melakukan identifikasi dengan cara mengamati atau melakukan observasi
pada gejala-gejala yang nampak yaitu berupa gejala fisik, gejala perilaku, dan
gejala hasil belajar. Kustawan dan Hermawan (2013) menambahkan bahwa
dengan identifikasi, guru (pendidik) dan tenaga kependidikan dapat
mengupayakan pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan
kebutuhan khusus masing-masing ABK.
Tujuan dari identifikasi yang diungkapkan oleh guru kelas I dan III
adalah untuk mengetahui keadaan, kemampuan dan latar belakang anak yang
menjadi bekal bagi guru dalam menentukan cara mengajar guru di kelas serta
upaya yang dapat diusahakan oleh guru maupun GPK dalam menangani
ABK. Kustawan dan Hermawan (2013:93-94) mengungkapkan bahwa tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
guru melakukan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data
apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan dalam
pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada
umumnya. Hasil identifikasi digunakan sebagai dasar untuk menyusun
program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk
menyusun program dan pelaksanaan intervensi/penanganan/terapi berkaitan
dengan hambatannya. Sesuai dengan ungkapan Kustawan dan Hermawan,
hasil identifikasi digunakan oleh guru kelas sebagai panduan untuk menyusun
program-program khusus untuk ABK seperti menambah waktu bimbingan
individu dan guru dapat menentukan cara mengajar guru sebagai acuan
baginya untuk menyampaikan materi.
SD “Suka Ilmu” melakukan proses asesmen dengan mendatangkan tim
khusus asesmen atau psikolog. Penyelenggaraan asesmen tidak selalu
dilakukan di SD “Suka Ilmu”, asesmen dapat dilakukan di salah satu sekolah
yang ada di Kulon Pogo kemudian sekolah lain dapat ikut mendaftarkan
peserta didiknyanya untuk melakukan asesmen. Pelaksanaan asesmen ini
sesuai dengan pengertian asesmen menurut Buku Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (dalam Kustawan, 2013:93) yang
menjelaskan bahwa asesmen adalah suatu upaya seseorang (orang tua, guru
maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan
terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual,
sosial, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan
yang sesuai. Hal ini berarti bahwa sekolah telah berupaya untuk memberikan
salah satu pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus dengan
melakukan penjaringan terhadap peserta didik yang telah diidentifikasi oleh
guru kelas melalui kegiatan asesmen.
Seluruh proses dan hasil asesmen diserahkan kepada psikolog. Guru
hanya mengetahui siapa saja yang masuk daftar anak berkebutuhan khusus.
Ketiga guru kelas bawah yang peneliti wawancarai menyatakan tidak
mengetahui secara rinci hasil asesmen yang telah dilakukan. Kondisi seperti
ini tidak sesuai dengan tujuan dilakukannya asesmen yang diungkapkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Kustawan dan Hermawan (2013) bahwa asesmen merupakan berbagai
informasi siswa berkebutuhan khusus yang digunakan guru dalam
merencanakan sebuah pembelajaran yang efektif. Informasi tersebut
diharapkan dapat menjadi dasar dalam memberikan layanan yang berorientasi
pada kebutuhan dan karakteristik siswa. Sementara dalam dokumen hasil
asesmen berisi hasil perkembangan anak dalam fisik, kognitif, dan sikap anak
berkebutuhan khusus. Dokumen ini juga menjelaskan penanganan yang dapat
dilakukan oleh guru dan orang tua atau terapi dalam meningkatkan
perkembangan anak berkebutuhan khusus. Dokumen hasil asesmen ini sangat
membantu bagi guru kelas ataupun GPK dalam menyusun program ataupun
melakukan penanganan terhadap masing-masing anak berkebutuhan khusus.
Guru belum memanfaatkan hasil asesmen tersebut untuk menyusun program
pembelajaran dan penanganan yang disesuaikan dengan karakteristik serta
kemampuan masing-masing anak berkebutuhan khusus.
Guru melakukan pemantauan kemajuan hasil belajar peserta didik di
kelas dengan melihat perkembangan anak, apakah ada peningkatan atau tidak.
Pemantauan ini bisa dilihat dari kemampuan anak dalam memahami materi
saat pembelajaran, pengamatan sikap anak dalam keseharian dan hasil
ulangan anak. Hal ini telah sesuai dengan fungsi dilakukannya pemantauan
hasil belajar menurut Friend dan Bursuck (2015:209) yang menyatakan
pendapatnya bahwa pemantauan kemajuan hasil belajar yaitu proses
pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil
keputusan pendidikan ketika diperlukan.
Melihat dari hasil pemantauan kemajuan tersebut, guru membuat
keputusan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan
khusus. Layanan pendidikan yang diberikan oleh guru dapat berupa program
khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Masing-masing guru kelas
mempunyai program khusus yang berbeda untuk menangani anak
berkebutuhan khusus yang ada di kelasnya. Guru kelas I layanan untuk anak
berkebutuhan khusus dengan menambahkan waktu belajar dan memberikan
bimbingan ketika anak berkebutuhan khusus mengerjakan soal. Guru kelas II
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
melakukan pendampingan individu ketika siswa yang lain mengerjakan
latihan soal. Guru juga akan mengulangi materi yang telah disampaikan
sampai siswa memahami materi tersebut. Guru kelas III meminta semua
siswa untuk mengerjakan soal yang telah disiapkan guru dari berbagai mata
pelajaran dan melakukan tanya jawab mengenai materi pelajaran. Hal ini
berguna bagi guru untuk selalu memantau perkembangan pemahaman materi
peserta didik. Perbedaan sikap guru dalam menghadapi anak berkebutuhan
khusus dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan lebih khusus dengan
memberikan kasih sayang, kesabaran, sikap lemah lembut, dan perhatian
yang lebih kepada ABK. Sesuai dengan penempatan program yang telah
dilakukan oleh guru, Friend dan Bursuck (2015) mengungkapkan
pendapatnya mengenai penempatan program di mana tim perencana program
atau guru dapat melakukan penyesuaian program dengan kemampuan yang
dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan program ini juga
berkaitan dengan tempat pelaksanaan program lebih baik dilaksanakan di
dalam ruang kelas pendidikan umum atau ruang kelas pendidikan yang
terpisah.
Kurikulum yang digunakan oleh SD “Suka Ilmu” sama dan berlaku
untuk seluruh siswa. Kustawan dan Hermawan (2013:107) memberikan
pendapat mengenai kurikulum fleksibel yakni mengakomodasikan anak
dengan berbagai latar belakang dan kemampuan, maka kurikulum tingkat
satuan pendidikan akan lebih peka mempertimbangkan keragaman anak agar
pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah
reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif ramah anak harus
mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan,
dan karakteristik anak agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup
(life skill). Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui
bahwa pihak sekolah belum merancang kurikulum yang adaptif karena
kesulitan, adanya keterbatasan dari pihak sekolah, dan juga belum adanya
usaha untuk bertanya kepada Dinas pendidikan. Berdasarkan teori dari
Kustawan dan Hermawan yang telah dijelaskan sebelumya, dapat diartikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
bahwa SD “Suka Ilmu” belum merancang kurikulum adaptasi yang
disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak berkebutuhan khusus
sehingga pihak sekolah belum dapat memberikan layanan pendidikan inklusi
yang optimal.
Selain kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
anak berkebutuhan khusus, bahan ajar dan kegiatan pembelajaran juga perlu
disusun oleh guru sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Bahan
ajar yang disusun oleh guru kelas bawah SD “Suka Ilmu” berlaku sama untuk
seluruh peserta didik. Ilahi (2013:172-173) menjelaskan bahwa bahan ajar
atau materi bagi anak berkebutuhan khusus dapat ditentukan berdasarkan
tingkat inteligensinya. Bagi ABK yang memiliki inteligensi di atas normal
dapat diberikan materi yang lebih luas. ABK yang memiliki inteligensi
normal dapat menggunakan materi yang sama dengan sekolah regular. ABK
yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita)
materi yang diberikan dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya.
Berdasarkan apa yang telah Ilahi jelaskan sebelumnya, bahan ajar yang tidak
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak berkebutuhan
khusus membuatnya kesulitan dalam menangkap materi, terlebih lagi bagi
anak berkebutuhan khusus yang kemampuan inteligensinya di bawah normal
akan sangat kesulitan dalam menguasai materi yang seharunya diperuntukkan
untuk peserta didik yang tidak berkebutuhan khusus.
Selain menyiapkan bahan ajar, guru juga perlu mempersiapkan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP yang dibuat oleh guru kelas bawah di
SD “Suka Ilmu” sama untuk seluruh siswa. Kustawan dan Hermawan
(2013:109) mengungkapkan bahwa fleksibilitas kurikulum bagi anak
berkebutuhan khusus dapat diimplementasikan dengan membuat Program
Pembelajaran Individu (PPI). PPI merupakan program pembelajaran yang
disusun sesuai kebutuhan individu dengan bobot materi berbeda dari
kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam setting klasikal. Hal berbeda
dari apa yang diungkapkan Kustawan dan Hermawan, peneliti menemukan
data di lapangan bahwa bahan ajar dan RPP yang dibuat belum disesuaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing anak berkebutuhan
khusus. Masing-masing guru kelas dapat menyusun PPI sebagai bentuk
program layanan pendidikan inklusi kepada anak berkebutuhan khusus. Guru
pendamping khusus dapat ikut serta membantu untuk membuat PPI karena
GPK dapat menentukan langkah strategi penanganan yang tepat disesuaikan
dengan kondisi masing-masing ABK.
Metode mengajar yang paling sering digunakan oleh guru kelas bawah
SD “Suka Ilmu” dalam kegiatan pembelajarannya adalah ceramah dan tanya
jawab. Metode ceramah memiliki kekurangan yang diungkapkan oleh
Hamdayama (2014) yaitu membuat peserta didik pasif, mudah membuat
peserta didik bosan, dan kegiatan pembelajaran lebih mengandalkan pada
informasi-informasi yang diberikan oleh guru. Sedangkan menurut Yamin
(2009:156) metode tanya jawab tepat digunakan ketika meninjau ulang
pelajaran atau ceramah yang telah lalu, kembali membuat fokus peserta didik
dan mengarahkan pengamatan dan pemikiran peserta didik. Penggunaan
metode ceramah dan tanya jawab ini kurang sesuai dengan kegiatan
pembelajaran yang diharapkan oleh Kustawan dan Hermawan (2013) yaitu
guru dapat melakukan penyesuaian kegiatan pembelajaran dengan membuat
kegiatan yang interaktif sehingga setiap anak berpartisipasi penuh dalam
kegiatan pembelajaran. Metode ceramah dan tanya jawab yang digunakan
oleh guru kelas kurang menimbulkan partisipasi aktif bagi peserta didik.
Kegiatan pembelajaran lebih banyak tertuju pada guru atau bersifat teacher
center learning.
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru perlu melakukan
manajemen kelas agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara optimal.
Hal senada diungkapkan oleh Everton dan Weintein (dalam Friend dan
Bursuck, 2015:285) bahwa pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal
yang dilakukan oleh para guru demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar
yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi.
Manajemen pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru kelas bawah di SD
“Suka Ilmu” antara lain dengan melakukan bimbingan khusus kepada anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
berkebutuhan khusus dan memberikan sanksi ketika peserta didik
mengganggu proses pembelajaran
Selain dengan pengelolaan tingkah laku peserta didik, guru kelas perlu
melakukan pengelolaan tempat duduk bagi anak berkebutuhan khusus.
Penataan tempat duduk merupakan wewenang yang dimiliki oleh guru kelas
untuk mengelola kelasnya. Penataan tempat duduk untuk masing-masing
kelas di SD “Suka Ilmu” berbeda. Kepala Sekolah mengungkapkan tidak ada
pengelompokkan untuk siswa berkebutuhan khusus di kelas, semua berbaur
dengan teman-temannya yang lain. Guru kelas I menempatkan siswa yang
belum lancar membaca di bangku depan untuk memudahkan guru dalam
membimbing, terkadang membentuk kelompok kecil dengan kemampuan
siswa yang beragam agar dapat saling membimbing antar teman. Guru kelas
II menempatkan siswa berkebutuhan khusus di bangku depan agar dapat
memudahkan guru untuk membimbingnya. Guru kelas III menempatkan
siswa berkebutuhan khusus di bangku belakang karena jika di depan ia akan
mengganggu temannya yang lain. Meskipun siswa berkebutuhan khusus
ditempatkan di belakang namun ia didampingi oleh guru pendamping,
sehingga menurut Guru Kelas III tidak menimbulkan masalah. Penataan
tempat duduk yang dilakukan oleh guru kelas dapat mempengaruhi proses
pembelajaran. Hal ini juga merupakan salah satu cara pengelolaan ruang kelas
menurut Everton dan Weintein (dalam Friend dan Bursuck, 2015:285) yang
sebelumnya telah dijelaskan yaitu mengenai mengatur siswa-siswi dalam
penempatan tempat duduk. Anak berkebutuhan khusus yang ditempatkan di
bangku depan lebih mudah memusatkan perhatiannya dan dijangkau oleh
guru untuk dibimbing, hal ini juga memudahkan guru dalam memantau
perkembangan peserta didik tersebut.
Ruang kelas I, II, dan III cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran. Ventilasi udara membuat ruang kelas tetap sejuk dan tidak
pengap. Pencahayaan ruang kelas I cukup terang, namun untuk kelas II dan
III kurang karena cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam kelas dan ada
satu lampu yang membantu penerangan. Meja dan kursi di ruang kelas I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
cukup berat, namun meja dan kursi di kelas II dan III sesuai dengan
kemampuan peserta didik ketika memindahkan benda tersebut. Pengamatan
ruang kelas ini sesuai dengan apa yang Semiawan Cony dkk dalam Kustawan
dan Hermawan (2013:115) jelaskan bahwa menciptakan suasana belajar
memerlukan perhatian dalam mengatur ruang kelas. Peneliti melihat bahwa
pengaturan ruang kelas sudah sesuai dengan kebutuhan guru dalam
melaksanakan pembelajaran, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
lagi seperti pencahayaan ruang kelas dan meja serta kursi yang ada di kelas
perlu disesuaikan dengan peserta didiknya.
Ketika guru mengajar akan lebih baik jika menggunakan media
pembelajaran yang sesuai dengan materinya. Media pembelajaran adalah alat
bantu yang memudahkan bagi guru untuk menjelaskan bahan ajarnya dan
membantu siswa untuk memahami materi. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, peneliti belum melihat guru menggunakan media pembelajaran
adaptif yang membantu anak berkebutuhan khusus menangkap materi
pembelajaran. Media pembelajaran adaptif yang dimaksud adalah alat bantu
bagi siswa berkebutuhan khusus untuk memahami materi pelajaran.
Sementara Kustawan dan Hermawan (2013:115-117) menjelaskan mengenai
media pembelajaran adaptif yaitu media pembelajaran yang disesuaikan
dengan hambatan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus. Media
pembelajaran adaptif dirancang, dibuat, dipilih, dan digunakan dalam
kegiatan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus karena dapat
bermanfaat atau berguna dan cocok dengan tujuan, kebutuhan, materi,
kemampuan dan karakteristik anak yang menunjang efisiensi dan efektifitas
proses dan hasil pembelajaran. Guru kelas I dan II mengungkapkan bahwa
adanya media pembelajaran sangat membantu peserta didik dalam
memahami materi secara konkret. Berdasarkan pendapat Kustawan dan
Hermawan serta guru kelas I dan guru kelas II tersebut, diketahui bahwa
media pembelajaran adaptif dapat membantu anak berkebutuhan khusus
untuk memahami materi pelajaran terlebih lagi dengan adanya manfaat yang
dirasakan bagi guru dan peserta didik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Selama proses pembelajaran, evaluasi sangat diperlukan untuk
mengetahui keberhasilan kegiatan pembelajaran yang selama ini guru
lakukan. Dalam evaluasi, diperlukan batas penentu sebagai kriteria dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Batas penentu tersebut adalah Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). KKM yang ditetapkan oleh SD “Suka Ilmu”
berlaku sama untuk semua peserta didik baik yang berkebutuhan khusus
maupun tidak berkebutuhan khusus. Hal yang berbeda Kustawan dan
Hermawan ungkapkan mengenai penetapan KKM bagi anak berkebutuhan
khusus. Kustawan dan Hermawan (2013:120) menjelaskan bahwa KKM bagi
anak berkebutuhan khusus dapat ditetapkan berbeda dengan KKM bagi anak
tidak berkebutuhan khusus, hal ini dikarena kemampuan yang dimiliki
masing-masing anak berbeda. Jika KKM yang ditetapkan sama untuk seluruh
peserta didik akan membuat anak berkebutuhan khusus kesulitan untuk
mencapai nilai KKM tersebut, sehingga penetapan nilai KKM dapat
didasarkan pada hasil asesmen untuk masing-masing individu.
Soal evaluasi yang dibuat untuk peserta didik berkebutuhan khusus
seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak
berkebutuhan khusus karena karakteristiknya yang berbeda. Ilahi (2013:189)
menuturkan bahwa bagi anak berkebutuhan khusus, jenis evaluasi yang
diberikan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan kecerdasannya
dalam menerima materi pelajaran. Keadaan di lapangan menunjukkan hal
yang berbeda, diketahui bahwa seluruh peserta didik di kelas bawah SD
“Suka Ilmu” mendapatkan soal evaluasi pembelajaran yang sama untuk
ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Anak
berkebutuhan khusus kesulitan dalam mengerjakan soal tersebut karena tidak
sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecerdasannya, sehingga guru kelas
membantu peserta didik dengan melakukan bimbingan kepada anak
berkebutuhan khusus. Bantuan yang diberikan oleh guru adalah dengan cara
membacakan soal atau memberikan penjelasan tambahan kepada ABK.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
BAB V
KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Bab V ini membahas tentang kesimpulan peneliti, keterbatasan penelitian,
dan saran untuk penelitian selanjutnya.
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di salah satu sekolah dasar
inklusi Wilayah Kabupaten Kulon Progo. Peneliti dapat menyimpulkan
bahwa SD “Suka Ilmu” menghadapi permasalahan dalam menerapkan
delapan aspek penyelenggaraan pendidikan Inklusi. Permasalahan tersebut
terjadi pada aspek penyelenggaran pendidikan inklusi sebagai berikut:
1. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasi semua
anak
Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SD “Suka Ilmu”
tidak didampingi oleh guru pendamping khusus (GPK) atau konselor.
Pihak sekolah kekurangan pendidik yang memiliki kemampuan untuk
menangani anak berkebutuhan khusus. Jumlah GPK kurang memadai
kebutuhan SD “Suka Ilmu”. Guru kelas kurang memiliki pengalaman dan
latar belakang pendidikan yang menunjang dalam menangani anak
berkebutuhan khusus di kelas. Fasilitas khusus yang disediakan untuk
peserta didik berkebutuhan khusus belum nampak di SD “Suka Ilmu”.
2. Asesmen
Guru kelas bawah di SD “Suka Ilmu” belum memanfaatkan hasil
asesmen untuk menyusun program pembelajaran dan penanganan yang
disesuaikan dengan karakteristik serta kemampuan masing-masing anak
berkebutuhan khusus.
3. Adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel)
SD “Suka Ilmu” belum merancang kurikulum adaptif yang
disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Kurikulum yang berlaku di sekolah masih sama untuk seluruh siswa baik
yang berkebutuhan khusus maupun tidak berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
4. Merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak
Bahan ajar dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang
disusun oleh masing-masing guru kelas berlaku sama untuk seluruh
peserta didik. Guru kelas maupun guru pendamping khusus belum
membuat program pembelajaran individu (PPI) yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kecerdasan masing-masing anak berkebutuhan khsusus.
Guru kelas lebih banyak menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
sehingga kegiatan pembelajaran lebih bersifat teacher center learning.
5. Pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif
Media pembelajaran adaptif yang membantu anak berkebutuhan
khusus menangkap materi pembelajaran masih belum nampak selama
kegiatan pembelajaran berlangsung.
6. Penilaian dan evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran yang digunakan di SD “Suka Ilmu” sama
untuk anak berkebutuhan khusus maupun tidak berkebutuhan khusus.
Nilai KKM yang ditetapkan oleh sekolah berlaku sama untuk seluruh
peserta didik.
B. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyampaikan keterbatasan
penelitian sebagai berikut :
1. Peneliti tidak melakukan wawancara dengan guru pendamping khusus
(GPK) karena kesibukan GPK mengajar di sekolah luar biasa yang
diampunya.
2. Adanya kendala komunikasi antara peneliti dan narasumber yang
disebabkan oleh perbedaan pemahaman antara pertanyaan yang diajukan
peneliti dengan jawaban yang diberikan oleh narasumber sehingga proses
proses pengumpulan data dengan teknik wawancara kurang mendalam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyampaikan saran untuk
penelitian selanjutnya sebagai berikut :
1. Peneliti sebaiknya tetap berusaha untuk melakukan wawancara dengan
guru pendamping khusus (GPK).
2. Peneliti dapat melakukan diskusi lebih lanjut dengan narasumber untuk
menyamakan pemahaman mengenai topik penelitian yang sedang
dibahas sehingga peneliti dapat mengumpulkan data lebih dalam lagi
sesuai dengan tujuan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. (2014). Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung
Penggunaan Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Ahmadi, Rulam. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Ar Ruzz
Media.
Alfian. (2013). Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal Pendidikan Volume 4.
Aphroditta, M. (2012). Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak dengan
Disgrafia (Kesulitan Menulis). Yogyakarta : Javalitera.
Bafadal, Ibrahim. (2006). Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar dari
Sentralisasi menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Bandur, Agustinus. (2014). Penelitian Kualitatif Metodologi, Desain & Teknik
Analisis Data denga NVIVO10. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Delphie, Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Tunagrahita (Suatu Pengantar
Pendidikan Inklusi). Bandung: Refika Aditama.
Depdiknas. (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Jakarta: Depdiknas.
Dikpora. (2017). Pedoman Umum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada
TK, SD, dan SMP Tahun Pelajaran 2017/2018. Kulon Progo: Dikpora.
Emzir. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Friend, Marilyn dan William D Bursuck. (2015). Menuju Pendidikan Inklusi
Panduan Praktis untuk Mengajar Edisi Ketujuh. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hamdayama, Jumanta. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan
Berkarakter. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hermawan. (2012). Pengelolaan Kelas Anak Berkebutuhan Khusus. Surakarta:
UNS Press.
Ilahi, Mohammad Takdir. (2013). Pendidikan inklusif konsep dan aplikasinya.
Yogyakarta : Arr-Ruzz Media.
Indrawan, Rully dan Poppy Yaniawati. (2014). Metodologi Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan
Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Herdiasyah, Haris. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.
Herdiasyah, Haris. (2013). Wawancara, Observasi, dan Focus Groups: Sebagai
Instrumen Penggalian Data Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Kustawan, Dedy dan Budi Hermawan. (2013). Model Implementasi Pendidikan
Inklusif Ramah Anak. Jakarta: Luxima.
Maulipaksi, Desliana. (2017). Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung
Pendidikan Inklusi.
Diambil dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-
inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi diakses pada 17
November 2017.
Menteri Pendidikan Nasional. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik
yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional.
Murtie, Afin. (2014). Ensiklopedi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
Maxima.
Pemerintah Republik Indonesia. (1990). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar. Jakarta:
Pemerintah Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretaris
Negara Republik Indonesia.
Sabatiana, Rosita Cahayani. (2017). Survei Penyelenggara Sekolah Dasar Inklusi
di Wilayah Kabupaten Kulon Progo. Universitas Sanata Dharma.
Sudaryo, Gaguk Margono, dan Wardani Rahayu. (2013). Pengembangan
Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung :Alfabeta.
Tarmansyah. (2009). Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 03 Alai
Padang Utara Kota Padang. Jurnal Ilmu Pendidikan Volume IX No. 1
April 2009.
Tarnoto, Nissa. Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD. Jurnal Humanitas
Vol.13 No. 1. 50-61.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Tempo.co. (2017). Sarana Pendidikan Inklusi Harus Diperluas.
Diambil dari https://nasional.tempo.co/read/911696/sarana-pendidikan-
inklusif-harus-diperluas diakses pada 17 November 2017.
Tohirin. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan
Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.
Triwiyanto, Teguh. (2014). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wiyani, Novan Ardy. (2014). Desain Pembelajaran Pendidikan: Tata Rancang
Pembelajaran Menuju Pencapaian Kompetensi. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Yamin, Martinis. (2009). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan
Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press.
Yusuf, Muri. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran 2 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran 3 Reduksi Hasil Wawancara
REDUKSI HASIL WAWANCARA
Aspek Uraian Wawancara Kesimpulan
Penerimaan
Peserta Didik Baru
(PPDB) yang
mengakomodasi
semua anak
Uum.. kalau syarat dari dinas itu yang pertama usia. Usia kan
minimal tujuh tahun. Tujuh tahun itu kan kalau di sini ya satu
dua ada yang tujuh tahun. Seandainya ada yang kurang dari
tujuh tahun ya diterima. Karena muridnya kurang. Tapi kalau
sekolah-sekolah yang favorit seperti SD Sumber Ilmu itu harus
tujuh tahun. Kalau di sini ada yang enam setengah, enam lebih dua.
Kayaknya hanya itu. Umur. Usia. Gak boleh ngetes kemampuan.
WII.GKI.07112017.1-4
Yang diterima itu yang diutamakan umur yang paling tua,
kalau udah manurun menurun, terus yang berikutnya kalau
masih ada kuotanya ya diterima semua, kalau kuotanya habis ya
harus dipilih berdasarkan umur itu tadi. WII.GKII.13032018.1-3
Ndak ada, kecuali umur. Iya, umur tujuh tahun. Mau ini, ibaratnya
mau tuna netra, mau tuna rungu, tuna apa… kalau memang… gak
apa-apa. Syaratnya umurnya sesuai tujuh tahun. Kalau kita
sudah jadi inklusi kok menolak anak berkebutuhan khusus, kita
dipanggil dinas. WI.GKIII.07112017.15
Syarat utama yang ditetapkan untuk
menerima peserta didik di SD “Suka
Ilmu” adalah usia minimal tujuh tahun.
Hal ini sesuai dengan peraturan dari
Dinas Pendidikan yang menetapkan
batas usia penerimaan peserta didik
baru untuk Sekolah Dasar adalah tujuh
tahun. Jika kuota masih tersedia, siswa
yang belum genap berumur tujuh tahun
dapat diterima oleh sekolah.
Biasanya datang dengan orang tua, terus membawa syarat-
syaratnya itu fotokopi Ijazah TK jika ada, kemudian Akta
Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP orang tua. Itu kalau ada
kartu-kartu jaminan umpanya Kartu Indonesia Sehat. WII.GKI.07112017.7-10
Dokumen yang dibutuhkan untuk
melengkapi identitas peserta didik baru
antara lain fotokopi Akta kelahiran,
Kartu Keluarga, KTP orang tua, Ijazah
TK jika ada, dan kartu-kartu seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Syaratnya itu cuma KTP orang tua, Akta, tapi yang terutama
itu Akta. Jadi paling tidak Akta itu. Kalau yang lain itu enggak eh.
Jadi dokumen yang paling penting itu Akta Kelahiran.
WII.GKII.13032018.8-9
Kartu Indonesia Sehat jika ada.
Sini semua diterima mbak, karena memang aturan dari dinas,
sekolah inklusi itu semua harus diterima. Kelainan apa saja
harus diterima. Nanti pendampingnya menyusul. Disini ada
pendamping dua, yang satu dari SLB Mentari.
WI.GKI.PPDB.04072017.11-13
ABK saja tetap diterima asalkan umurnya cukup. Jadi selama
ini yang saya ketahui semua diterima. Jadi gak bisa milih-milih,
mau itu ABK atau enggak. WII.GKII.13032018.5-6
Kalo sini sih pokok’e siap berapa pun, apapun, diterima karena
sudah menjadi konsekuensinya karena sudah ditunjuk menjadi
SD Inklusi. Sudah dapat SK. Apa pun berkebutuhan
khususnya, bentuknya siap menerima. Dulu waktu awal pertama
menerima seperti Fajar, kan ada dua, satu Fajar satu Mutia. Itu kan
kayaknya kita takut, takutnya nanti kalau gak jadi dapat murid
karena anak yang lain, wali murid kalo melihat yang gitu kan
takutnya anak-anak dia terus gimana, tapi ternyata tidak. Mereka
yang normal aja nerima anak-anak. Jadi ndak… pokoknya ndak itu.
Setelah ditunjuk sebagai SD Inklusi, apapun siswanya apapun siap..
ya seperti waktu Fajar daftar terus yang satu Mutia. Mutia itu lebih
parah dari Fajar. Ya kita tu cuma agak tersenyum gimana karena
mau ndak mau itu sudah menjadi tugas kita, ndak papa.
SD “Suka Ilmu” menerima semua tipe
anak berkebutuhan khusus kerena sudah
mendapatkan Surat Keputusan
Penunjukkan Sekolah Penyelenggara
Pendidikan Inklusi. Pihak sekolah
menerima semua tipe anak
berkebutuhan khusus atas anjuran yang
ada pada SK tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
WI.GKIII.07112017.1-4
Ada panitianya. Susunannya ada ketua, wakil ketua, sekertaris,
bendahara kemudian anggota. Hanya sederhana.
Kepanitiannya. Tiap tahun ada, walaupun orangnya sama.
Biasanya saya itu selalu dibagian pendaftaran. Supaya bisa
langsung ketemu anaknya. Oh kira-kira ini besok anak seperti apa
itu sudah bisa ngira-ngira tho mbak. Bisa ngetes sedikit-sedikit.
Udah bisa baca apa belum. Tanya-tanya. Sekedarnya.
WII.GKI.07112017.14-18
Itu ya istilahnya itu yo nek le mbentuk bentuk… tapi ya waktu
sampai sekarang itu sama, orangnya sama, susunannya sama.
Saya terus terang yo nek le ngerti ngerti tapi tidak mengikuti
kepanitiaan secara langsung. WI.GKII.07112017.11-14
Biasanya untuk panitia PPDB itu guru kelas satu, guru agama,
guru olahraga, kepala sekolah. Guru lain itu juga ada tapi
jarang ngurusi, cuma yang bersangkutan aja. Nanti yang tau
kan kayak Bu Fatimah yang ngajar di kelas satu itu, yang
langsung menerima karena dia yang langsung menangani anak. Kalau kita ya cuma nemenin aja. WII.GKIII.12032018.17-21
Sekolah menyusun Panitia PPDB,
namun kepanitian ini tidak diganti dari
tahun ke tahun. Pembagian tugas untuk
masing-masing guru kurang jelas. Ada
guru yang selalu dibagian pendaftaran
namun ada guru yang tidak terlibat
dalam proses PPDB.
Panduannya itu dari dinas. WII.GKI.07112017.22
Yo itu… istilahnya yo aturannya sama dari pemerintah.
WI.GKII.07112017.15
Panduan PPDB berasal dari Dinas
Pendidikan, sekolah tidak menyusun
panduan PPDB.
Tidak. Saat pembelajaran biasa aja guru pendampingnya
datang satu minggu sekali. Guru kelas satu yang penting, mungkin nanti yang lain membantu kadang, yang mau, yang mau
Pada proses PPDB, SD “Suka Ilmu”
tidak didampingi oleh Guru
Pendamping Khusus (GPK) atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
membantu. WII.GKI.07112017.23-24
Tidak, ya istilahnya yang ngurusi itu cuma satu itu, guru kelas
satu, Bu Fatimah. WII.GKII.13032018.18-19
Ndak ada. Guru pendamping khusus itu hadirnya cuma satu
minggu satu kali, cuma hari Jumat thok. Itupun kalau hari
libur dia gak datang, kan waktu penerimaan siswa baru kan
hari libur. Yo gak hadir. WII.GKIII.12032018.42-45
konselor. Proses PPDB lebih
mengutamakan kehadiran guru kelas
satu.
Yoo kalo ada yang ABK nanti konsultasi sama yang lain. Sama
kepala sekolah. Sama yang lain. Biasanya harus diterima
kerena apa takut dengan aturan. Walaupun nanti seperti yang
kemaren itu Intan akhirnya setengah tahun di sini gak ada
perkembangan akhirnya dirujuk. Tapi kalau yang pertama
harus diterima. Karena takut dengan aturan. WII.GKI.07112017.25-30
Kalau pas PPDB itu yo… cuma guru sini, tapi nganu.. kan yo
dilihat yo beda itu, yang ABK yang tidak kan sudah kelihatan
beda itu. WI.GKII.07112017.16-17
Belum… Belum… Cuma nanti kan anak eeh wali kan eeh guru sini
kan memberikan formulir, terus mengisi data. Kalau ada kelainan
yang apa kan.. punya penyakit apa kan kelainan apa baru diisi
setelah… baru dikumpulkan. Yo memang dikasih formulir,
umpamanya umur, umpamanya ada penyakit, penyakit apa
yang parah. Oh ini punya paru-paru. Ini penglihatan agak
kurang, ini kan dijelaskan di data itu. WI.GKIII.07112017.25-28
Identifikasi pada saat PPDB ditangani
oleh guru kelas yang hadir dengan
melihat kondisi anak dari fisiknya dan
orang tua yang mengisi formulir tentang
kondisi, riwayat penyakit, dan
kebutuhan yang dimiliki oleh calon
peserta didik. Orang tua juga akan
mengungkapkan kelainan atau
kebutuhan anaknya kepada guru yang
ada. Guru akan mengkonsultasikan
kondisi calon peserta didik baru kepada
guru lain dan kepala sekolah, dengan
catatan akan tetap diterima meskipun
setelah beberapa lama mengikuti
kegiatan pembelajaran kemudian tidak
ada perkembangan akan dirujuk ke
sekolah yang mampu menangani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Ya ditanya nama, umur, biasanya. Terus dari TK mana, cuman itu
biasa ditanya. Ditanya udah bisa baca belum? Belum, umpamanya
ya dijawab belum. Nanti terus orang tuanya kan, Bu lare kula ini eh
ini… ini…. Disebut. Tapi kalau anak ABK kan dilihat saja dari
fisiknya kan udah nampak. Kayak Mutia yang matanya sipit,
ininya lebar kan, udah ciri-ciri anak-anak… udah nampak. Nanti kalau ada…., anak yang biasa nampak biasa, Bu dia
kebiasaannya kede, seperti kelas dua. Kidal tangannya. Terus celat.
Kalau ditanya orang tuanya yang terus menjawab, seperti itu.
WI.GKIII.07112017.32-35
Nanti kan orang tuanya sendiri yang akan mengatakan anak itu
berkebutuhan khusus atau tidak. Jadi orang tua sendiri yang
mengatakan, karena untuk kitapun siswa yang berkebutuhan khusus
harus kita terima karena sini SD Inklusi. WII.GKIII.12032018.38-
39
GPK nya kalo dulu itu rutin tiap Rabu sama Sabtu. Kalo sekarang
tinggal satu hari, hari Jumat saja. Itu dari SLB sana…
Matahari. Terus sekarang yang Fajar itu malah dicarikan
pendamping khusus dari orang tuanya yang mbak hitam-hitam
itu. Mendampingi khusus setiap hari. Tapi juga sulit. Ketok’e
sulit untuk bisa kalau Fajar. WII.GKI.07112017.31-35
Itu satu. Satu aja cuma dua hari di sini, apa malah sehari yo.
Oh sehari. Masalahnya ada tugas lain. Terus ada pendamping
lain itu satu. Yang guru ABK itu bantuan dari Dinas, kalau
yang satu lagi itu dari orang tua siswa. Tapi yang dimasuki itu
SD “Suka Ilmu” memiliki seorang
Guru Pendamping Khusus (GPK) yang
ditugaskan dari Dinas Pendidikan, hadir
ke sekolah satu minggu sekali setiap
hari Jumat. GPK ini mendampingi kelas
yang memiliki anak berkebutuhan
khusus, terutama untuk mendampingi
ABK di kelas tiga. Selain itu, SD “Suka
Ilmu” juga memiliki seorang guru
pendamping yang diminta oleh orang
tua ABK di kelas tiga untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
cuma kelas-kelas yang ada ABK. Kalau kelas dua kan cuman
agak lambat. Paling-paling cuma kelas tiga yang didampingi
ini. WII.GKII.13032018.20-25
Kalau sekarang yang kelas tiga itu ada yang mendampingi, tapi
bukan guru ABK itu. Malah dia datang setiap hari tapi yang
mencarikan wali siswa. Tapi waktu kelas dua belum ada
pendampingnya itu. WII.GKII.13032018.35-37
mendampingi anaknya di kelas setiap
hari selama kegiatan pembelajaran.
Satu…. Iya guru pendamping buat ABKnya hanya satu. Itu
yang ngasih dari Dinas. Terus yang kelas tiga itu Fajar, orang
tuanya cari sendiri untuk mendamping setiap hari. GPK nya itu
mendampingi yang kelas tiga mbak, untuk Fajar. Setiap datang
kesini nanti masuk ke kelas tiga. WIII.GKI.08032018.36-40
Kalau sekarang tidak. Masalahnya cukup. Yang berat itu di kelas
tiga, dan seminggu itu dijatah sehari, karena dia juga jadi guru di
sekolah lain. Jadi istilahnya kesini itu cuma nambah jam agar dua
puluh empat jam mengajar perminggu itu. Jadi sini juga pasrah
mau dibantu sehari atau dua hari. WII.GKII.13032018.29-30
Ya kan udah dikirim dari guru SLB itu, setiap hari Jumat aja.
Jadi kita udah gak cari lagi. Kalau kekurangan ya kekurangan,
cuman kan kita mau ngusulkan juga gak bisa karena guru GPK
juga terbatas. Terbatas sekali. Ndak bisa kita mau minta lagi.
SLB itu dulu ngasih waktu seminggu dua kali aja sekarang
tinggal sekali. Kalau yang Bu Rahma ini orang tua siswa sendiri
yang mencari. Digaji sama orang tuanya. Dia lulusan PPKn itu.
Buat penanganan ABK nya juga gak bisa, cuma sebisanya aja.
Guru kelas III mengungkapkan bahwa
SD “Suka Ilmu” kekurangan GPK yang
dapat mendampingi ABK di kelas.
Menurut keterangan guru kelas III,
pihak sekolah tidak bisa meminta
tambahan GPK ke Dinas Pendidikan
karena jumlah GPK yang terbatas.
Orang tua siswa kelas tiga merasa
anaknya memerlukan tambahan guru
pendamping. Orang tua siswa tidak
dapat mengandalkan GPK yang hadir
satu minggu sekali, sehingga
mencarikan seorang guru pendamping
yang dapat hadir setiap hari
mendampingi anaknya. Orang tua
tersebut yang memberikan gaji kepada
guru pendamping, namun guru
pendamping ini tidak memiliki tidak
memiliki latar belakang penanganan
ABK.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Dia gak ada latar belakang penanganan ABK.
WII.GKIII.12032018.46-54
Iya menerima. Kita menerima begitu saja dari Dinas. Kita gak
tau gimana bisa ditunjuk oleh Dinas. Tau-taunya Bu Sasa itu
yang bertugas mendampingi anak ABK di sekolah ini.
WIII.GKI.08032018.41-42
Syarat yang menentukan GPK itu dari dinas, mbak. Jadi kita
gak tau. Kalau taunya sini itu, katanya yang sudah jadi guru di
SLB Matahari. Yayasan tho itu bukan negeri. Gurunyapun juga
Yayasan, belum PNS. Itu untuk menambah jam, kan udah dapet
sertifikasi kemudian kalau hanya disana itu jamnya kurang.
Kemudian kalau disini itu nambah jam, supaya jamnya itu
genep. Untuk syarat sertifikasi. WIII.GKI.08032018.44-46 dan
WIII.GKI.08032018.47-50
Itu kan yang mencarikan itu dari Dinas. Jadi dari Dinas
menunjuk guru ABK untuk membantu sekolah ini untuk
menangani anak ABK. Dia itu juga ngajar di sekolah lain terus
nunjuk sini untuk nambah jam. WII.GKII.13032018.31-34
GPK yang saat ini ada di SD “Suka
Ilmu” ditunjuk oleh Dinas Pendidikan.
Ketiga guru yang diwawancarai oleh
peneliti tidak mengetahui bagaimana
proses penunjukkan atau penerimaan
GPK yang mendampingi sekolah
inklusi. Dinas Pendidikan yang
menunjuk atau menerima GPK untuk
mendampingi SD “Suka Ilmu” dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Guru kelas II dan III mengungkapkan
bahwa GPK yang mendampingi SD
“Suka Ilmu” berasal dari salah SLB
yang ada di Kulon Progo. GPK tersebut
mendampingi SD “Suka Ilmu” dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi untuk
memehuni jumlah jam mengajar.
Iya, GPK nya gak pernah buat RPP untuk ABKnya. Selama ini
saya juga belum pernah liat. Jadi selama ini cuman bantu-
bantu di kelas mendampingi yang ABK. Padahal aturannya
juga harus buat RPP untuk yang inklusi. Ya sini mau nanyakan
juga gak enak. WIII.GKI.08032018.51-54
Ya kelihatannya tidak eh, malah njuk semata-mata hanya
mendampingi. Mungkin le mendampingi sambil ketika ada
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan
jika GPK hanya mendampingi ABK
belajar di kelas, menjelaskan materi,
menjelaskan apa yang diterangkan oleh
guru, dan membantu mengerjakan soal
(membacakan, membimbing). GPK
tidak membuat RPP khusus untuk ABK.
Guru kelas yang membuat RPP yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
ulangan-ulangan ya itu, nek pas ada. Tapi nek pas gak datang ya itu
saya dekati, saya damping, njuk ada keterangan penambahan itu,
karena yang guru ABK itu hanya mendampingi saat pembelajaran
saja. WII.GKII.13032018.39-40
Belum. Nah itu, kalau RPP nya yo sama dari guru kelas, jadi
RPP nya yo sama untuk seluruh siswa. Nek penilaian yo sama,
nek nilainya kurang berhasil njuk soal dipermudah, cuman itu.
Kalau RPP buat ABK yo saya gak bikin dari sana yo tidak
memberi. Ada atau tidak terus terang saya yo tidak tanya.
WII.GKII.13032018.44-45 dan WII.GKII.13032018.46-47
Tugas GPKnya itu hanya mendampingi anak ketika belajar, yo
mungkin membantu tho. Kalau ada soal yang gak bisa ya dia
membantu membacakan, menjelaskan detailnya. Kalau kita
yang menjelaskan dia gak nerima. Katakanlah penjelasan kita bisa
diterima anak 70%, dia 10%. Nah dia yang mendetailkan apa yang
disampaikan guru kelas secara pribadi. WII.GKIII.12032018.55-57
Nggak blas. Gak mau dia disuruh itu. Padahal dari sananya itu
harus ada program, tapi dia gak pernah buat. Pernah disuruh
buat tapi malah gak suka ditanya-tanya. “Itu kan bukan
wewenangnya saya.” WII.GKIII.12032018.61-62
berlaku untuk seluruh siswa. GPK juga
tidak membuat program untuk ABK.
Iya sosialisasi penanganan anak berkebutuhan khusus. Hanya
belum semua. Yang sering itu kelas tiga, Bu Rita itu sering. Saya belum pernah. Kelas enam pernah. Kelas satu kelas dua
belum pernah. WII.GKI.07112017.55-57
Guru kelas I dan II tidak memiliki
pengalaman maupun pengetahuan
dalam menangani anak berkebutuhan
khusus. Guru kelas III sering mengikuti
pelatihan mengenai anak berkebutuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Kalau pelatihan sepertinya belum pernah ikut, kan sebetulnya
saya basicnya itu di SMP atau SMA. Tapi kemarin ada
kekurangan guru SD tahun dua ribu dua belas itu terus guru SMP
SMA itu dipindahkan di SD. Sebetulnya ya SMP SMA, tapi
diterima. Dulu bukan dari SPG. Ya karena ilmunya yang ABK
kan saya belum mempelajari, terus terang saya ndak nganu…
WI.GKII.07112017.49-50 dan WI.GKII.07112017.52-53
Yo ada, kan ikut diklat tho mbak. Saya kalo ada pelatihan dua
hari, bergiliran. Sering saya ikut. Bu Lili kan yang pertama, awal
kan baru ada Bu Lili yang pertama suruh ikut urusan inklusi itu kan
saya. WI.GKIII.07112017.64-65
khusus.
Iya, fasilitas khusus tidak ada. Kalo fasilitas khusus, mungkin
untuk tuna daksa itu mungkin. Kalo disini gak ada.
WI.KS.27102017.1
Fasilitas kayaknya belum ada. Tidak ada. Ada beasiswa mbak.
Fasilitasnya ada beasiswa. Beasiswa inklusi ada untuk yang benar-
benar berkebutuhan khusus, lambat belajar tetapi sudah masuk tes,
lulus tes dari psikolog itu. WII.GKI.07112017.58
Kelihatannya sama. Fasilitasnya kelihatannya sama. Wong
misalnya ada bantuan dari pemerintah ya tetep itu diikutkan
masalah lain itu sama. WI.GKII.07112017.55
Ndak ada. Fasilitasnya ndak ada. Cuman kalau kita mau
memberi fasilitas, kan sekolah negeri. Terbatas tho mbak,
kecuali mungkin sekolah swasta. Kalau sekolah negeri itu.. Ya
SD “Suka Ilmu” tidak menyediakan
fasilitas khusus bagi siswa
berkebutuhan khusus. Fasilitas yang
diberikan oleh pihak sekolah sama
untuk seluruh siswa. Guru kelas III
mengungkapkan bahwa sekolah
memiliki keterbatasan dalam
memberikan fasilitas khusus untuk
ABK. Pihak sekolah belum
mendapatkan bantuan pegangan besi
untuk berjalan yang memudahkan siswa
ABK membantu berjalan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
pokoknya… Kemungkinan lho ini, kalau negeri menerima anak
yang berkebutuhan khusus saya rasa sama aja. Dulu sini tu akan
menerima bantuan fasilitas seperti tangga berjalan, sini kan
ada besinya pegangan. Tapi belum sampai sekarang.
WI.GKIII.07112017.67-69 dan WI.GKIII.07112017.71-73
Biaya operasional sekolah itu dari BOS Pusat, dari BOS tingkat
daerah juga ada. Jadi ada dua BOS Pusat dan BOS daerah.
WII.GKII.13032018. 61-62
Dari BOS. Dananya semuanya dari BOS dan BOSDA.
WII.GKIII.12032018.76
Sumber dana biaya sekolah berasal dari
dana BOS Pusat dan BOS tingkat
daerah (BOSDA).
Dananya sama memakali dana BOS. Dana BOS semua baik
sekolah reguler atau sini. Kalau tambahan dana kayaknya tidak
ada. Soal dana, sekolah tidak masalah karena kelainannya kan
masih wajar, tidak membutuhkan biaya yang banyak, seperti
tuna netra itu kan banyak. Kalo tuna netra kan ada yang khusus tho.
Harus ada alat-alat khusus untuk nulis, kemudian tongkat, alat
peraga yang lain. WII.GKI.07112017.62-65
Kelihatannya tidak kok, asal dananya sama. Malah justru
kadang-kadang dari sekolah yang ada ABK nya malah dapat
bantuan itu. Dapat bantuan pendidikan itu dari pemerintah. Jadi
malah yang tidak ada yo malah tidak. Tetap diperhatikan. Jadi yo
malah justru ada penambahan. WI.GKII.07112017.57
Sama, gak ada perbedaan. Mau itu sekolah inklusi, mau biasa
dananya sama. WI.GKIII.07112017.74-75
SD “Suka Ilmu” tidak mendapatkan
tambahan dana operasional
penyelenggaraan sekolah inklusi.
Besarnya sumber daya biaya yang
diterima sekolah inklusi maupun
sekolah reguler (umum) sama. Guru
kelas I menambahkan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan ABK sekolah
tidak mengalami masalah karena
kelainan atau kebutuhan yang dimiliki
ABK masih wajar yang tidak
membutuhkan banyak biaya.
Dananya apa ya? Untuk PPDB itu gak ada eh… Yang perlu Sumber dana biaya sekolah untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
hanya blanko tho. Blanko hanya sekedar saja. Kalau untuk
biaya asesmen itu ditanggung sekolah, juga diambilkan dari
BOS. Dan tiap tahun tidak mesti… tidak mesti mengundang
asesmen. Hanya bila diperlukan saja. Biayanya juga dari BOS.
Semua biaya operasional dari BOS. Mau untuk membeli media
pembelajaran, fotokopi soal itu dari BOS.
WIII.GKI.08032018.68-74
Saya rasa dari BOS itu je. Tapi kan waktu pendaftaran itu
tidak terlalu banyak biaya, beda kalau PPDB SMP. Biaya
asesmennya juga dari sekolah. Biayanya lima puluh ribu kalau
gak salah. Tapi mendatangkan psikolog kalau itu, jadi mengundang
petugasnya. Kalau untuk siswa yang masuk itu istilahnya gak ada
biaya. Jadi semua pengeluaran sekolah ini ditanggung dana
BOS. WII.GKII.13032018.63-65 dan WII.GKII.13032018.67-68
Dari BOS juga, yang PPDB kan cuma ngisi formulir itu mbak.
Paling biayanya cuman buat fotokopi formulir aja. Asesmen itu
juga ditanggung sekolah, menggunakan dana BOS.
WII.GKIII.12032018.77-79
keperluan sekolah terutama yang
berkaitan dengan kebutuhan ABK
ditanggung dari dana BOS. Kegiatan
seperti PPDB, asesmen, pengadaan
media pembelajaran, evaluasi
pembelajaran (pengadaan soal)
menggunakan dana BOS untuk
membiayainya.
Identifikasi Sudah ketoro mbak. Biasanya guru kelas satu. Begitu guru
mengajar anak-anak yang diajarnya kan, oh ini kok sulit sekali
menerima pelajaran. Terus nanti diassesmenkan anak-anak
yang lambat belajar tadi diassesmen. WI.KS.27102017.3-6
Biasanya guru kelas. Anak ini kok sulit sekali diajarkan sudah
berkali-kali gak dong-dong, terus seperti ada anak ini udah kelas
empat sampai sekarang belum bisa membaca. Itu.. Kan ya ndak
Identifikasi yang dilakukan oleh guru
dilihat dari pengamatan fisik siswa dan
pada saat kegiatan pembelajaran di
kelas. Siswa yang mengalami kesulitan
dalam menerima pembelajaran, nilainya
tidak mencapai nilai KKM dicurigai
memiliki kebutuhan khusus. Guru
melakukan mengidentifikasi siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
wajar. Saya kan selama kelas satu sudah 20 tahun lebih itu semua
bisa membaca. Hanya satu sampai kelas empat itu gak bisa, sampek
di rumah juga dileskan itu. Padahal anak’e nek diwulang yo manut
mbak. Tapi sampai kelas empat itu belum bisa membaca. Heran
saya juga. Kalo Intan sudah kelihatan itu, gak usah di teskan
udah kelihatan memang dari wajahnya kan sudah terlihat yang
sama sedunia itu tho? Yang pesek-pesek terus putih wajahnya.
Biasanya kalau yang satu seperti down syndrome itu sudah
kelihatan dari wajahnya ya, kalo yang lambat belajar itu dari
kemampuan berpikir. Seperti Fajar yang kelainan tuna daksa itu
dari bentuk tubuhnya sudah kelihatan. Kalau jalan itu bisa
ndrinding-ndrinding, mau roboh. Kan sudah tampak.
WII.GKI.07112017.75-76 dan WII.GKI.07112017.81-86
Kalau pengamatan saya karena saya terus terang tidak
mempelajari detail masalah keilmuan ABK itu kalau
diterangkan kok tidak jelas tidak jelas. Yang lain sudah jelas
kok itu belum jelas belum jelas. Jadi kelihatannya gak bisa
mengikuti pelajaran, jadi agak lambat. Lainnya udah jelas, yang ini
sudah dua kali tiga kali diterangkan kok gak jelas jelas. Kalau dari
pengetahuan saya cuman seperti itu. WII.GKII.13032018.69-71
Fisiknya juga bisa itu. Itu yang sekarang kelas tiga itu fisiknya
aja sudah keliatan. Berbicara saja gak begitu jelas, kalau
berjalan aja gak bisa tegak, kemampuannya juga diajak
ngomong itu diam aja. Itu yang sudah saya alami.
WII.GKII.13032018.75-77
dengan melihat penampilan fisik antara
lain dari wajahnya, cara berbicara, dan
cara berjalan. Orang tua siswa yang
sudah melakukan asesmen akan
menyampaikan informasi jika anaknya
memiliki kebutuhan khusus. Siswa yang
dicurigai memiliki kebutuhan khusus
kemudian diasesmenkan oleh pihak
sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Ya itu tadi dari assesmen. Kita kan ngajar anak, kok anak ini
ndak bisa ndak bisa terus, tetep ndak bisa. Kita lapor ke kepala
sekolah. Bu anak ini ndak bisa, betul-betul ndak bisa. Nah nanti
kalau ada assesmen tes kan ada guru ABK tho. Nah nanti guru ABK
itu menginformasikan ada assesmen tes dimana, misal Kulon Progo
dimana. Nanti kita ikut daftar. Daftar anak. Entah tiga orang atau
dua orang. Tapi ya khusus paling yang berkebutuhan khusus, kalau
Fajar itu kan assesmennya sudah langsung dari nganu… udah dapat
dari itu… kan udah nanpak. Ndak usah diidentifikasi saja sudah
jelas. Tapi biasanya tetap diikutkan. WI.GKIII.07112017.80-82
Cara mengenali gejala ABK? Contohnya kayak Fajar cuman kalau
dia ikut pelajarankan gak sampai. Berarti dia kan sudah benar-benar
anak yang lambat belajar atau berkebutuhan khusus. Kalau dia
sudah nampak sekali berkebutuhan khusus kan sudah ada laporan
dari orang tua. Jadi sudah tahu yang lambat belajar. Kan di sini ada
dua macam tho, yang lambat belajar sama yang down syndrome.
Kalau yang lambat belajar itu yo ikut pelajaran aja gak bisa,
misalnya dijelaskan itu gak nerima, hasil nilainya itu gak bisa
maksimal katakanlah. Kan anak yang belajarnya lambat nah
itu nanti kok setiap ulangan gak pernah nyampai KKM itu pun
ndak pernah separuh KKM itu dideteksi anak lambat belajar.
Nanti didaftarkan ikut asesmen tes, baru ketahuan kalau dia
betul-betul anak lambat belajar. Kalau Fajar itu gak usah
diasesmenkan udah masuk inklusi itu. Sudah kelihatan dari
fisiknya itu. Dan orang tuanya sendiri sudah menyampaikan
kalau anak saya inklusi. WII.GKIII.12032018.94-104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Ya tujuannya itu agar anak bisa tertangani. Cepat-cepat tertangani
secara tepat seandainya itu memang berkebutuhan khusus
nanti ada bimbingan khusus atau diserahkan kepada itu GPK
nya. WIII.GKI.08032018.89-91
Ya untuk mengetahui keadaan siswa tho, diidentifikasi. Lha
kalau kita mau mulang kan harus tahu dulu kemampuan anak,
latar belakang anak. Pengaruh untuk cara mengajar kita.
Identifikasi itu sebagai bekal kita, sebagi pengetahuan kita.
WII.GKIII.12032018.105-108
Guru kelas III mengungkapkan bahwa
tujuan dari identifikasi adalah untuk
mengetahui keadaan anak, kemampuan
anak, latar belakang anak yang menjadi
bekal untuk guru dalam menentukan
cara mengajar. Guru kelas I
mengungkapkan tujuan dari identifikasi
supaya anak cepat tertangani melalui
bimbingan khusus atau diserahkkan
kepada GPK.
Setelah identifikasi ya tindakannya, pertama karena guru GPK
nya satu yo khusus ditangani guru kelas sendiri, terutama
tambah waktu, privat sendiri. Biasanya kan lambat belajar,
karena yang paling banyak itu lambat belajar. Itu biasanya
ditangani guru kelas sendiri-sendiri, kan tiap kelas itu pasti ada.
Satu dua pasti ada. Ho’o… pasti ada itu yang lambat belajar. Dan
yang nangani guru kelas dengan cara menambah jam, misalnya
yang lain sudah pulang yang itu ditambah waktunya.
WIII.GKI.08032018.92-95
Melapor. Iya melapor. Itu pada waktu rapat kerja, rapat sekolah
itu disampaikan kepada kepala sekolah dan guru-guru yang
lain. Anak ini gini… anak ini gini… kemudian setiap rapat
kenaikan kelas itu juga kalau anak itu dinaikkan dengan syarat
ini ini ini nanti disampaikan kepada guru yang lebih tinggi,
sebagai catatan. Ini mohon diperhatikan lebih khusus atau
ditempatkan di bangku depan, ini harus diperhatikan lebih.
WIII.GKI.08032018.100-106
Ada berbagai macam tindakan yang
dilakukan guru setelah melakukan
identifikasi terhadap siswa yang
dicurigai memiliki kebutuhan khusus.
Guru kelas I mengatakan bahwa siswa
yang teridentifikasi berkebutuhan
khusus perlu mendapat penanganan dari
guru kelas dengan menambah waktu
bimbingan individu. Guru perlu
menyampaikan mengenai keadaan ABK
kepada kepala sekolah dan guru-guru
yang lain melalui rapat kerja atau rapat
sekolah. Guru kelas II mengatakan
bahwa cara guru menyampaikan materi
tetap sama seperti sebelum siswa
diidentifikasi. Jika siswa merasa
kesulitan guru akan membantu
mendampingi secara pribadi. Guru kelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Kalau kemarinkan ngertinya sudah diasesmen itu, terus saya yo
menyampaikan materinya yo biasa. Tapi kalau belum bisa
istilahnya itu njuk dibantu. Dibantu secara pribadi, yo
didampingi secara pribadi. Tapi itu tidak terus menerus. Kalau
hanya itu yang didampingi, diatasi, diurusi nah yang lain
ketinggalan. Jadi terus terang ya cuman sebagian, tidak semua
waktu untuk mendampingi Fajar terus, nanti malah mengalahkan
yang lain. Seharusnya kan tidak disini, masalahnya kan sudah jelas
gak bisa mengikuti. WII.GKII.13032018.79-82
Yo tindak lanjutnya kalau kita udah ngajar itu coro dhene wes ngerti
celah-celah’e anak. Kita bisa tahu berapa persen yang mampu
berapa persen yang belum mampu, jadi kita mau
menyampaikan materi bisa menyesuaikan bisa lambat atau
cepat. Oh yang tidak mampu tujuh puluh persen, jadi kita
harus pelan. Lha kalau yang mampu hampir lima puluh persen
levelnya agak ditinggikan. Entah dua tiga kali pertemuan sudah
selesai. Kalau yang ndak bisa umpamanya matematika ada satu dua
tiga empat lima enam yang gak bisa ulangi lagi. Ulangi sampai
enam kali tujuh kali sampai dia bisa menemukan mengerti baru kita
tambah, yang sudah bisa, biasa kita kasih soal. Kalau enggak nanti
pribadi, dua orang atau berapa, caranya itu seperti ini. Kalau kita
sudah identifikasi anak, kita tahu mana yang lemah, mana yang
bagus. WII.GKIII.12032018.110-114
III mengungkapkan bahwa setelah
dilakukan identifikasi anak
berkebutuhan khusus, guru dapat
menentukan acuan dalam
menyampaikan materi.
Asesmen Kami tidak bisa mengasesmen. Kami memang harus
mengundang dari SLB di mana itu? Eeh daerah… atau mana
itu, SLB yang sana, yang ahlinya. Kami dulu memang
Asesmen dilakukan oleh tim asesmen
yang diundang oleh pihak sekolah yang
akan menyelenggarakan tes asesmen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
mengadakan asesmen di seluruh sekolah yang ada di
(menyebutkan nama kecamatan sekolah) kemudian tempatnya
di sini. Jadi nanti sekolah-sekolah yang mempunyai anak
berkebutuhan khusus terus daftarnya di sini. Terus tempatnya
di sini waktu itu pelaksanaannya. WI.KS.27102017.10-16
Di panggilkan.. mendatangkan psikolog. Kemudiankan dites.
Psikolognya datang hanya mungkin kalau kira-kira ada anak
yang itu… berkebutuhan khusus baru mendatangkan. Tidak
setiap tahun. Ini sudah agak lama ini. Nanti yang mendatangkan itu
guru pendamping. WII.GKI.07112017. 107-109
Ya ada diassesmen itu. Diassesmen tapi nganu itu… petugas
dari luar. Bukan dari sini. Yang mengundang itu bidang yang
ngasesmen itu. Ya sini yang mendaftarkan, njuk ngundang.
Ditesnya di sekolah sini. Tapi sekolah sini kan cuma memandang
siapa yang pantas diassesmen ini ini ini.. Tidak semuanya, kan
sudah kelihatan kalo beda dengan yang lain. WI.GKII.07112017.87-
88 dan WI.GKII.07112017.89-91
… Nah nanti kalau ada assesmen tes kan ada guru ABK tho. Nah
nanti guru ABK itu menginformasikan ada assesmen tes
dimana, misal Kulon Progo dimana. Nanti kita ikut daftar. Daftar anak. Entah tiga orang atau dua orang. Tapi ya khusus paling
yang berkebutuhan khusus… WI.GKIII.07112017.121-123
Siswanya. Bayarnya satu anak aja lima puluh ribu. Diassesmen
memang langsung. Dulu ada satu yang terakhir itu diassesmen aja
Sekolah lain dapat ikut melakukan
asesmen untuk siswanya dan mendaftar
di sekolah penyelenggara tersebut.
Siswa yang mengikuti tes asesmen
adalah siswa yang telah diidentifikasi
oleh guru memiliki kebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
numpang di Pengasih sana. Kalo assesmen kan ndak boleh
kurang dari berapa anak. Petugasnya gak mau datang.
Makanya kalau hanya satu nanti diikutkan dimana. Nanti di
Kulon Progo akan diadakan assesmen test dimana. dan
WI.GKIII.07112017.127-129
Tugas saya hanya lihat kelainan yang dialami anak itu. Kira-
kira anak itu kok punya kelainan atau kok berbeda dengan
yang lain, kemampuannya kok agak kurang. Baru
mendatangkan psikolog untuk asesmen. Selama proses asesmen
itu langsung menyerahkan ke psikolognya. Kan saya juga gak
bisa mengasesmen. Termasuk hasilnya yang ngolah juga
psikolognya. WIII.GKI.08032018.111-116
Itu kembali pada guru ABK. Terus terang yang mengurusi guru
ABK itu. Guru kelas itu tidak terlibat, cuman ngurusi yang di kelas
thok. Tapi sebelum ada asesmen itu kita melihat anak, ini kira-
kira perlu gak diasesmen, oh ini perlu didaftar, ini tidak.
WII.GKII.13032018.103-105
Dari guru kelas, lapor dulu nanti kepala sekolah menindak
lanjuti terus dikumpulkan seberapa, kalau kurang dari sepuluh
ya dititipkan asesmen dimana. Ada sekolah mana yang
mengadakan asesmen kan biasa ada informasi SD ini yang
mengasesemen, siapa yang mau ikut. WII.GKIII.12032018.131-133
Kalau proses asemen itu petugasnya dari sana mbak, kita gak
hadir. Tidak ikut berperan. Soalnya juga dari sana, semua dari
sana, bentuk soal dari sana. Hasilnyapun dua minggu atau tiga
Tugas guru selama proses asesmen
adalah melakukan identifikasi ABK
yang akan diasesmen. Guru kelas
melaporkan identifikasinya kepada
kepala sekolah untuk selanjutnya
ditindaklanjuti mengundang tim
asesmen. Proses asesmen sepenuhnya
diserahkan kepada tim asesmen
(psikolog). Pengolahan asesmen
diserahkan kepada tim asesmen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
minggu baru keluar. Lama. Kita aja saat tes gak boleh masuk.
WII.GKIII.12032018.136-139
Ya kalau sekolah itu sih awalnya cuman karena anak itu dirasa
tidak bisa, nah terus diikutkan assesmen. Anak yang bisa ikut
assesmen aja gak lolos. WI.GKIII.07112017.140-141
Iya, harus itu. Tiap tahun pasti ada asesmen untuk anak, tapi
kebetulan tahun ini untuk anak kelas satu baru mau akan saya
asesmenkan. Tapi yang kelas atasnya sudah. WI.KS.27102017.7
Tes asesmennya hanya dilakukan sekali aja. Kan buat asesmen
aja ada biayanya itu. Sampai anak itu kelas enam juga cuma
dilakukan sekali itu. WII.GKI.07112017.140-142
Kayaknya tidak tentu itu, tapi setahun itu pasti kok. Kalau ada,
kalau memang ada yo diasesmen kalau memang anaknya gak
ada yo gak asesmen. Tapi anaknya memang… yang penting belum,
yang belum assesmen itu didaftarkan. Yang sudah kelihatannya
tidak kok. Jadi tidak tentu terus setahun sekali. Kan misalnya
kelas satu itu belum, barang kali le daftarkan kelas dua bisa
saja. Tidak harus kelas satu saja le daftarke assesmen.
WI.GKII.07112017.93-95 dan WI.GKII.07112017.96-99
Tidak. Assesmennya cuma sekali itu sampai dia kelas enam.
Tapi bisa terjadi kelas satunya tidak, kelas dua atau kelas tiga bisa
terjadi. WI.GKII.07112017.100
Sekolah selalu melakukan tes asesmen
setiap tahun untuk siswa yang dicurigai
memiliki kebutuhan khusus. Tes
asesmen ini hanya dilakukan satu kali
selama ABK menjadi siswa
berkebutuhan khusus di SD “Suka
Ilmu”.
Iya, sudah saya simpan. Ada. Itu bukti assesmen itu untuk
lampiran beasiswa, harus ada bukti assesmen. WI.KS.27102017.17
Dokumen hasil asesmen disimpan oleh
kepala sekolah. Guru kelas yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Dokumennya ada. Tapi nyimpannya dimana saya gak tau. Kepala sekolah apa ya. WII.GKI.07112017.117
Yo terus terang tertulis, tapi saya belum pernah liat
dokumennya. Karena yang ngurusi guru ABK nya itu.
WII.GKII.13032018.106
Ada dokumennya, kayak kalau tes IQ itu lho. Seperti itu
bentuknya. WII.GKIII.12032018.143
Jarang liat, cuma ada nilai bahwa IQ 50. Rata-rata kan di
bawah 50 itu kan bisa masuk inklusi. Bentuknya itu hasil IQ. Kalau soal-soal buat tes nya aja dikembalikan. Jadi soalnya kalau
selesai digarap anak dibawa pulang psikolognya itu. Jadi kita cara-
cara wes tompo resik. Kita tinggal terima hasilnya. Oh ini
dinyatakan inklusi. Ini dinyatakan tidak. Hanya itu saja. Kalau
sudah nanti dilaporkan ke Dispora yang bagian SLB. Kita gak tau
hasilnya, cuma nilaiya dibawah 50 itu inklusi.
WII.GKIII.12032018.144-145 dan WII.GKIII.12032018.147-149
mengajar siswa berkebutuhan khusus
tidak mengetahui bagaimana hasil
asesmen dari masing-masing siswa di
kelas yang diampunya. Guru kelas III
menjelaskan bahwa dari dokumen hasil
asesmen dapat diketahui tingkat IQ
ABK. Tim asesmen yang akan
memutuskan siswa tersebut memiliki
kebutuhan khusus atau tidak.
Cara memantau? Ya dilihat dari itu… anaknya ini..
perkembangan anak, kemampuan anak ini. Oh anak ini maju,
sudah ada peningkatan belum. Bisa dari segi nilai. Dari segi nilai
bisa. WII.GKI.07112017.137-139
Apa ya? Untuk mengumpulkan informasi perkembangan anak
bisa dilihat langsung dari anaknya, keadaan anak tiap harinya
itu. Ya bisa saat pembelajarannya, kemudian saat bergaul
Cara guru memantau kemajuan hasil
belajar siswa dilihat dari perkembangan
anak, ada peningkatan atau tidak.
Pemantauan ini bisa dilihat dari
kemampuan anak dalam memahami
materi saat pembelajaran, pengamatan
sikap anak dalam keseharian, dan hasil
ulangan anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
dengan teman juga bisa. WIII.GKI.08032018.133-136
Ya terus terang sikapnya di kelas itu bagaimana, menganggu
temannya yang lain atau tidak. Terus sudah bisa memahami
materi atau belum. Misalnya dari hasil ulangan-ulangan juga
bisa tahu bagaimana perkembangan anak. Kemudian dilihat juga
secara fisik itu bagaimana. Peningkatannya waktu kemarin Fajar di
kelas dua itu mengganggu temannya mulai berkurang, sudah bisa
mengerjakan soal ulangan. Tapi diberi soal kok nilainya nol brarti
gak ada peningkatan itu. Ngukurnya bisa pakai nilai juga.
WII.GKII.13032018.111-114
Uji kelayakan? Kayaknya belum. Dari awal pokoknya seperti
ini. Mestinya sini layak karena sudah ditetapkan sebagai sekolah
inklusi. Itu yang menilai dinas. WII.GKI.07112017.143
Kalau itu nganu mbak, terus terang yang gurunya inklusi mbak itu.
Yang paling mendalam itu gurunya itu. Masalah apa itu tadi?
Evaluasi layanan ABK itu saya terus terang nganu ra ngerti ada
evaluasi atau tidak. Ya ada gurunya karena gurunya itu dua
sekolahan gurunya satu jadi ya tidak tiap hari kesini. Terus terang
saya tidak bisa menjawab itu. Evalusi hasilnya saya nggak ngerti.
WI.GKII.07112017.120-122
Tidak ada evaluasi program inklusi. Kalau waktu saya dulu itu
cuma didekati, didampingi, pengulangan keterangan penjelasan itu.
Tidak terus diadakan pertemuan khusus untuk membahas
perkembangan anak itu enggak. WII.GKII.13032018.129
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan
bahwa belum pernah ada kegiatan yang
bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan
layanan pendidikan inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Kayaknya enggak eh, belum pernah kayaknya. Belum pernah
kayaknya. Apa tadi? Diagnosis kelayakan inklusi? Belum pernah.
WI.GKIII.07112017.151
Tindakannya setelah melihat dokumen asesmen yo itu, secara
khusus itu, bimbingan khusus. Karena kebetulan yang disini itu
lambat belajar yo itu tadi bimbingan khusus, privat. Walaupun
saya sudah lihat hasil asesmennya tapi saya masih buat RPP
secara umum. Jadi untuk keseluruhan, masih umum, lambat
belajar maupun yang seperti Fajar. Kan harusnya yang nyusun
itu GPK, guru pendamping khusus itu untuk anak yang
berkebutuhan khusus. Tapi kayaknya untuk GPK juga belum buat.
WIII.GKI.08032018.119-124
Setelah asesmen tidak ada perubahan mbak. Kalau
pengajarannya sama. Hanya nambah itu, nambah waktu untuk
anak berkebutuhan khusus. Kalau merubah cara ngajarnya itu
repot mbak. Anaknya kan lain-lain. Nanti yang normal repot.
Yang anak-anak biasa kan repot. Ngajarnya disamakan dengan
yang normal, hanya ditambah waktu untuk yang ABK.
Tambah perhatian, perhatian khusus. WIII.GKI.08032018.127-
132
Itu sama eh, penyampaiannya sama, kalau kurang jelas yo njuk
didampingi, ditanya yang belum jelas yang mana. Itu
tambahannya yo didekati didampingi. Kalau ngajarnya
berbeda itu yo tidak. WII.GKII.13032018.108-110
Tindakan yang dilakukan oleh guru
ketika anak berkebutuhan khusus
mendapat asesmen adalah melakukan
bimbingan pribadi dengan ABK,
menambah waktu bimbingan, dan lebih
memperhatikan ABK. Cara guru
mengajar di kelas sama, tidak ada
perubahan dari sebelum asesmen
maupun setelah asesmen. RPP yang
dibuat oleh guru kelas I berlaku untuk
semua siswa, baik yang berkebutuhan
khusus maupun tidak berkebutuhan
khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Biasanya guru langsung memutuskan untuk menambah waktu
belajar lagi. Walaupun tidak diasesmenkan guru sudah tau oh anak
ini gini. Seiring berjalannya waktu, setelah beberapa hari atau
beberapa bulan. Anak ini kok angel, itu langsung ditangani. Gak
usah menanti asesmen. WIII.GKI.08032018.146-147
Guru kelas. Iya oleh guru kelas, ada ulangan harian, ada tengah
semester, ada akhir semester. Di sini soal yang diberikan
semuanya masih sama. Hanya kalau yang berkebutuhan khusus
itu dibimbing, mengerjakannya dibimbing. Dipancing-pacing
kayak gitu. Karena belum ada kurikulumnya khusus. Mungkin kalau
ada kurikulumnya khusus, penilaiannya juga khusus.
WII.GKI.07112017.151-153
Sama, tapi nanti ada penambahan. Penambahannya cuman
didampingi dan diperjelas. Pendampingannya individu, yang
lainnya mengerjakan latihan soal kemudian saya mengulangi
penjelasan untuk Fajar. WII.GKII.13032018.125-128
Makanya setiap pagikan selalu saya kasih sarapan pagi. Pagi kan
saya suruh ambil soal seperti arisan digulung. Soalnya kan tak
gulung banyak kayak arisan mulai dari IPA, IPS, PKn, Bahasa,
Bahasa Jawa, Matematika lalu dimasukkan dalam toples,
kayak arisan. Nanti anak datang ambil, masing-masing ambil
satu soal. Terus nanti dikerjakan pada kertas itu. Nanti yang
banyak dapat seratus atau banyak dapat nolnya. Bisa untuk
mantau. Pokoknya ambil satu soal, kalau udah pernah ketemu soal
itu dikembalikan ambil yang lain. Lengkap semua mapel. Ini baru
Masing-masing guru kelas memberikan
program-program khusus untuk ABK.
Guru kelas I menambah waktu belajar
untuk ABK dan memberi bimbingan
ketika ABK mengerjakan soal. Guru
kelas II melakukan pendampingan
individu ketika siswa yang lain
mengerjakan latihan soal. Guru akan
mengulangi materi yang telah
disampaikan. Guru kelas III meminta
semua siswa setiap pagi untuk
mengerjakan soal yang telah disiapkan
guru dari berbagai mata pelajaran dan
tanya jawab mengenai materi pelajaran.
Hal ini berguna bagi guru untuk
memantau perkembangan pemahaman
materi siswa. Guru kelas III akan
memberikan perlakukan lebih khusus
untuk ABK dengan memberikan kasih
sayang, sikap lemah lembut, dan
perhatian yang lebih kepada ABK.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
mau saya ganti soal baru. Hasilnya nanti dipajang di samping kelas
itu. Kalau makan siangnya saya tanya jawab, mau perkalian,
kalau IPA tanya jawab. Setelah doa terus siapa yang bisa jawab
soal yang saya berikan terus ngacung, yang bisa jawab
langsung pulang dulu, yang ndak bisa sampek terakhir lima
enam anak gak bisa jawab setiap pertayaan, apapun sulit. Nanti
terus soalnya lebih dimudahkan dimudahkan sampai dimana
dia mampu. Soalnya bisa macem-mecem, bisa Matematika,
IPA, IPS, semua mapel. Jadi kan njur ketok angger sik ora iso
jawab kae kae kae ajeg. WII.GKIII.12032018.153-159 dan
WII.GKIII.12032018.162-170
Enggak. Ditargetpun gak bisa. Jadi targetnya sama dengan siswa
yang lain, cuman perlakuannya berbeda. Perlakuannya yo
seperti lebih memberi kasih sayang tersendiri, dengan lemah
lembut terus perhatiannya lebih. Misalnya sering dilihat
ditanya. WII.GKIII.12032018.171-174
Adaptasi
kurikulum
(Kurikulum
Fleksibel)
Membedakan dengan yang umum ya? Kalau di sini belum.
Kurikulumnya masih sama untuk yang umum sama yang ABK.
Harusnya ada mbak, karena pembimbingnya tidak membuat yo
sini diam aja. Harusnya ada. Dulu waktu akreditasi juga ditanyakan
itu. “Apakah ada kurikulum inklusi?” “Belum.”
WII.GKI.07112017.157-160
Kurikulum sama. Tapi kalau misalnya ada perbaikan-perbaikan
bedanya itu yang ABK agak mudah. Bedanya itu kalau ulangan-
ulangan. Misalnya nilainya belum bagus, perbaikannya yang ABK
yang agak mudah. Pokoknya beda. Tapi masalah materi, masalah
Kurikulum yang digunakan di SD
“Suka Ilmu” masih sama untuk anak
berkebutuhan khusus dan anak tidak
berkebutuhan khusus. Berdasarkan
keterangan guru kelas I, pihak sekolah
belum mengusahakan untuk membuat
kurikulum yang sesuai untuk anak
berkebutuhan khusus. Guru kelas III
menjelaskan bahwa meskipun
kurikulum yang digunakan sama, tetapi
ada perbedaan indikator bagi ABK.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
kurikulum sama. Buku-bukunya juga sama.
WI.GKII.07112017.136-137
Kurikulumnya sama, cuman tadi mbak yang membedakan
indikator tadi. Pamanya pembelajaran Matematika, ukuran waktu,
yang penting Si Fajar tahu, “sekarang jam berapa Fajar?” “Jam
sebelas Bu Guru.” Ngertine jam sebelas ya udah jam sebelas. Nanti
dijelaskan dijelaskan, dia tahu menyebutkan jam tiga lewat lima
menit udah syukur. “Satu minggu berapa hari, Mas Fajar?” “Tujuh
kan. Sebutkan harinya!” “Senin, selasa”, pelan-pelan bisa. Dia
sudah bisa menyebutkan. Satu bulan kan tiga puluh hari, nanti
dijelaskan karena dia gak jelas ya udah. Apa yang bisa kita
terangkan. WI.GKIII.07112017.175-176
Sama. Gak ada bedanya. Kurikulumnya itu tetap sama untuk
semua. WII.GKIII.12032018.184
Kurikulum memang harus dimodifikasi dalam arti materinya
mbak. Materinya itu di apa.. diturunkan materinya seandainya
untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus itu seandainya
kalau anak yang normal harus sudah bisa menghitung sampai lima
puluh seumpamanya, untuk anak yang berkebutuhan khusus nanti
tersendiri hanya bisa menghitung sampai sepuluh katakanlah. Maka
materi diturunkan. Tetapi untuk KKM nya tetap. Seharusnya
kurikulum memang perlu dirancang khusus mbak. Tetapi
memang keterbatasan kami. Seharusnya memang seperti itu,
sudah ada contohnya. Memang membutuhkan waktu yang cukup
banyak, tenaga yang cukup banyak, pemikiran yang cukup banyak,
kompleks. Sementara kami kan pekerjaannya sudah full seperti itu
Menurut kepala sekolah dan guru kelas
I, SD “Suka Ilmu” mengalami kesulitan
dalam merancang kurikulum yang
adaptif bagi siswa karena keterbatasan
sekolah dan belum menanyakan kepada
Dinas Pendidikan. Menurut guru kelas
II, sekolah tidak mengalami masalah
dalam menyusun kurikulum adaptif
untuk siswa berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
ya nanti disesuaiakan. WI.KS.27102017.19-21 dan
WI.KS.27102017.25-26
Eem.. eem.. emm… Mungkin ya mbak ya, kesulitan. Dan belum
berusaha tanya kepada dinas. Jadikan kepala sekolah sama guru
inklusi. Mungkin belum. Hanya kurang koordinasi dengan dinas.
Tapi harusnya iya. WII.GKI.07112017.162-163
Kelihatannya tidak ada masalah eh, ya biasa, istilahnya tidak
ada yang mengeluh, yo biasa. WI.GKII.07112017.138-139
Merancang bahan
ajar dan kegiatan
pembelajaran yang
ramah anak
Iya. Iya. Perencanaannya sama, tapi nanti memang harus
dikasih untuk yang anak-anak LB hanya sampai sekian itu
sebenarnya. Jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing anak. Bahan ajar, kurikulum itu sama, materinya lebih
mudah maksudnya. WI.KS.27102017.31-34
Kelas satu? Untuk kelas satu sama. Dari materi, kegiatan
pembelajaran sama. Samanya karena kelas satu belum
diidentifikasi. Kan baru masuk mbak. Bahan ajar tidak ada
penyesuaian. Semuanya sama, hanya nanti dibimbing secara
khusus. Umpamane yang sudah lancar bisa selesai duluan, nanti
yang belum dibimbing satu-satu, mutar. Atau nanti yang sudah
lancar membaca disuruh diminta membantu yang belum itu mau
mbak. Tutor sebaya itu mau. WII.GKI.07112017.166-169
Sama, mbak. Materi, buku, kurikulum dan yang lainnya itu
sama. Tapi bedanya kalau nilainya jelek, itu perbaikannya
cuma perbedaannya dimudahkan. Cuma itu selisihnya itu.
Semua siswa mendapatkan bahan ajar
dan materi yang sama dalam kegiatan
pembelajarannya. Kepala sekolah
mengungkapkan bahwa meskipun
perencanaanya sama, harus ada batasan
yang ditetapkan untuk siswa
berkebutuhan khusus sesuai dengan
kebutuhannya. Guru kelas satu
menyusun materi dan kegiatan yang
sama untuk seluruh siswa kerena di
kelas I belum diidentifikasi siswa yang
memiliki kebutuhan khusus, namun
bagi siswa yang mengalami kesulitan
akan dibimbing secara khusus. Guru
kelas II mengatakan bahwa bahan ajar
dan materi yang digunakan sama untuk
seluruh siswa, namun jika siswa
mendapat nilai di bawah KKM akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
WI.GKII.07112017.140-142
Gak iso mbak, harus sama. Karena kan tetep sama, karena apa
yo…. Kita kan menyampaikan materi secara umum kan mbak,
iya sama. Cuman dia seberapa dia pandai menyerap, nah nanti
dalam seberapa pandai dia menyerap kita bantu. Kita bantu.
WI.GKIII.07112017.185-188
dilakukan perbaikan dengan soal yang
lebih mudah. Menurut guru kelas III,
bahan ajar yang digunakan harus sama
untuk seluruh siswa karena
penyampaian materi dilakukan
bersamaan, perbedaannya adalah
seberapa mampu siswa berkebutuhan
khusus menyerap pengetahuan akan
dibantu oleh guru.
RPP juga sama. Terus terang cen sama eh, tidak ada bedanya.
Kadang bedanya pelaksanaanya itu. Pelaksanaanya kok belum jelas-
jelas, terus didekati ditanya. Bedanya cuma itu. Lainnya sama.
WI.GKII.07112017.143
Sudah lancar. Kalau Fajar enggak, umpamanya yang lain
indikatornya lima katakanlah tiga indikator atau empat
indikator, Fajar satu indikator saja kalau sudah lancar sudah
bagus. Programnya sih sama cuman indikatornya yang
berbeda. Itukan sudah dikasih rambu-rambu dari sananya
waktu diklat. “Pamane bu guru, sing umum indikator’e telu lha
yang inklusi satu indikator ini saja mampu, bagus.”
WI.GKIII.07112017.189-193
Sama. Di buat sama. Semua sama, kurikulum sama, RPP sama.
Cuman dia bisanya ngambil indikator yang mana. Makanya
kita nyampaikan misalnya tiga indikator, dia cuma mampu satu
aja udah cukup, gak dimasalahkan. Kan sudah dibilang tadi
kalau anak inklusi itu nilai seberapapun gak masalah, gak
RPP yang digunakan oleh guru kelas II
dan III sama untuk seluruh siswa, baik
yang berkebutuhan khusus maupun
tidak berkebutuhan khusus. Guru kelas
III menambahkan informasi bahwa
meskipun RPP yang digunakan sama,
tetapi ada perbedaan jumlah indikator
untuk ABK. Perbedaan jumlah indikator
ini untuk menyesuaikan dengan
kemampuan yang dimiliki ABK. Guru
tidak boleh memaksakan kemampuan
ABK dan juga ada aturan bahwa ABK
tidak boleh tinggal kelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
boleh ditekan. Itu kan udah aturan. Kan gak boleh tidak
menaikkan anak inklusi. WII.GKIII.12032018. 196-201
Jujur saja ya… penyampaian materinya itu masih ceramah.
Harusnya tidak lho. Jadi kan ada beberapa metode di RPP ini,
tapi ya jujur saja kalau saya ini tetep gak bisa meninggalkan
metode ceramah. Apalagi kelas satu, dipancing-pancing itu bisa
mengeluarkan isi hatinya itu kan bagi anak-anak yang termasuk
anak-anak yang sudah bisa, yang terampil. Kalau enggak kan yo
melempem, kok ini gak bisa-bisa keluar walaupun sudah dipancing-
pancing. Tapi saya juga masih pancing anak-anak untuk tanya
jawab. WIII.GKI.08032018.178-181
Yo kelihatannya campuran, ada kegiatan tanya jawab ada juga
dengan metode ceramah itu. Tapi terkadang banyak
ceramahnya. Sebenarnya mau pakek metode selain ceramah tapi
terus terang alatnya gak ada. WII.GKII.13032018.148-149
Yo biasanyakan yang utama ceramah. Kadang pakai metode
tanya jawab, itu utama juga. Yang pertama ceramah, baru
tanya jawab lalu baru kita ulang lagi. Kita lihat saja, kalau
guru tua itu metode yang digunakan itu gak usah dilihat yang
ada di RPP. Kalau kita ngikuti metode di RPP gak jalan.
Bagaimana anak itu menerima itulah metode penyampaian yang
lebih mudah digunakan. WII.GKIII.12032018.202-205
Metode mengajar yang paling banyak
digunakan oleh guru kelas I, II, dan III
adalah dengan metode ceramah. Guru
kelas I mengungkapkan bahwa beliau
kesulitan untuk meninggalkan metode
ceramah. Guru kelas II dan III
menambahkan metode tanya jawab
dalam kegiatan pembelajarannya.
Penataan kelas
yang ramah anak
Dijadikan satu. Nanti kalo anak malah disendirikan nanti anak
malah, kan nggak anu tho mbak malah dhewekke itu istilahnya njuk
malah anak semakin down. Justru disamakan dengan teman yang
lain itu karena termotivasi woh aku padha yang lain. Nanti kalo
Cara guru dalam memanajemen kelas
agar dapat melakukan proses
pembelajaran secara optimal adalah
dengan melakukan bimbingan khusus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
disendirikan malah nanti membuat anak jadinya lebih minder kan.
Enggak, nggak ada. Kami tidak memberikan. Cuma untuk anak-
anak yang seperti itu oleh guru kelasnya, anak-anak yang lain
sudah pulang atau pas ada hari… hari apa yo… umpanya kelas
enem pas ujian kan ada gurunya yang tidak mengajar itu anak
yang berkebutuhan khusus itu disuruh masuk trus di privat.
Kami memberi privat. Anak-anak yang sudah pulang, oh kowe
mengko keri yo tak tuturi iki sek. Seperti itu. Gurunya seperti itu.
Gurunya banyak memberi privat pada anak-anak yang berkebutuhan
khusus. WI.KS.27102017.40-44
Kadang-kadang yang belum lancar membaca saya jadikan satu
di depan-depan. Itu untuk memudahkan mengajari. Kadang-
kadang dicampur, dikelompokkan. Itu ada empat kelompok, itu
dicampur. Ada yang sudah pinter membaca, ada yang belum. Sini
ada yang pinter. Kaya gitu. WII.GKI.07112017.190-192
Dibimbing khusus. Biasanya yang sudah dapat itu didiamkan
saja selesai dengan sendirinya, betul semua dengan sendirinya.
Tapi kalau yang belum kan masih bimbingan, muter. Atau
nanti minta bantuan yang sudah bisa. “Mbak itu temannya
diajari.” WII.GKI.07112017.186-189
Pas ngajar? Ya mengenai mengalami yo jelas mengalami, tapi saya
yo terus dengan kemampuan segitu saya tidak terus memaksa diri.
Jadi dah ngerti dengan kemampuan segitu yo udah, tapi tetep usaha.
Tetapnya tetap usaha. Yo itu usahanya yo pendekatan itu, dalam
arti lainnya tidak didekati itu, didekati terus ditanya
kepada siswa berkebutuhan khusus.
Kepala sekolah mengungkapkan bahwa
guru kelas akan menambah jam belajar
setelah pulang sekolah atau ketika ada
ujian kelas enam. Guru kelas I
mengoptimalkan kegiatan pembelajaran
dengan berkeliling mendatangi setiap
siswa untuk membimbing individu dan
menerapkan tutor sebaya untuk
membantu guru membimbing teman-
temannya yang lain. Guru kelas II
melakukan pendekatan dengan bertanya
materi yang belum jelas kepada siswa
berkebutuhan khusus yang ada di
kelasnya dan memberikan sanksi
mendidik bagi siswa yang membuat
kegaduhan, misalnya diminta untuk
berpidato di depan kelas. Guru kelas III
akan mengajukan pertanyaan kepada
siswa yang berbicara saat guru
menjelaskan materi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
kesulitannya apa atau yang belum jelas mana itu malah agak
banyak itu malah agak banyak waktunya untuk itu…
WI.GKII.07112017.154-157
Ya kalau ada yang rame ya istilahnya diberi sanksi yang
sifatnya mendidik. Kan nanti terus istilahnya gak berani terlalu
ramai. Ya.. contohnya kalau ada yang ramai disuruh maju
pidato atau apa. WI.GKII.07112017.158-160
Kalau misalnya kelas lagi rame dikasih soal, biasanya siapa yang
ngomong tak kasih soal. Jadi siapa yang ngomong di kelas
ditanya materi. Kalau sudah ngomong di kelas kan berarti
udah pinter. Udah nanti tenang sendiri.
WII.GKIII.12032018.209-211
Enggak. Jadi satu. Enggak ada kelompok yang ini ABK ini
bukan. Cuman didampingi oleh GPK itu dituturi seperti itu. Kan
ada pendampingya kan. Guru pendamping khusus itu ngajari anak-
anak, didampingilah, seperti yang ada di kelas tiga, itu didampingi
yo semampunyalah. WI.KS.27102017.48-49
Kadang-kadang yang belum lancar membaca saya jadikan satu
di depan-depan. Itu untuk memudahkan mengajari. Kadang-
kadang dicampur, dikelompokkan. Itu ada empat kelompok, itu
dicampur. Ada yang sudah pinter membaca, ada yang belum. Sini ada yang pinter. Kaya gitu. WII.GKI.07112017.190-192
Sama itu, malah justu yang ABK itu malah di depan.
Tujuannya kalau nanti mendekatinya kan gampang. Istilahnya
Penataan tempat duduk untuk setiap
kelas diserahkan kepada guru kelas
yang mengampu. Kepala sekolah
mengungkapkan tidak ada
pengelompokkan untuk siswa
berkebutuhan khusus di kelas, semua
berbaur dengan teman-temannya yang
lain. Guru kelas I menempatkan
siswanya yang belum lancar membaca
di bangku depan untuk memudahkan
guru dalam membimbing, terkadang
juga membentuk kelompok kecil
dengan kemampuan siswa yang
beragam. Guru kelas II menempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
itu malah di nganu… agak diperhatikan. WI.GKII.07112017.161-
162
Biasanya depan, tujuannya biat tidak banyak rame. Kalau guru
pingin mendekati itu bisa cepet le mendekati. Kebanyakan di
depan kalau yang lambat belajar. Kalau yang sudah lumayan itu
di belakang. Kalau di depan kan suaranya terdengar, kalau benar-
benar memperhatikan lebih jelas yang di depan. Kan tujuannya
seperti itu. WII.GKII.13032018.164-166
Tempat duduk itu saya taruh depan sendiri, karena anak itu
sering ngompol sering buang air besar badannya juga besar
nutupi temannya, maka saya taruh belakang. Memang
sebenarnya saya salah kalau ditaruh di belakang. Nah karena
ada pendamping maka gak jadi masalah. Di belakang. Harusnya
Si Fajar itu di depan. Nutupi temennya, ngrusak, umpamanya
bangku yo jadi mencot sana mencot sini. Dorong sana dorong sini,
dipancal. Makanya saya kasih belakang sendiri. Dulu waktu belum
ada pendampingnya Bu Rahma saya taruh di depan sendiri.
WI.GKIII.07112017.212-216 dan WI.GKIII.07112017.219-220
siswa berkebutuhan khusus terutama
siswa lambat belajar di bangku depan
yang dapat memudahkan guru untuk
membimbingnya. Hal ini juga dimaksud
agar siswa tidak mudah gaduh. Guru
kelas III menempatkan siswa
berkebutuhan khusus di bangku
belakang karena jika di depan ia akan
mengganggu temannya yang lain.
Meskipun siswa berkebutuhan khusus
ditempatkan di belakang namun ia
didampingi oleh guru pendamping,
sehingga menurut guru kelas III tidak
menimbulkan masalah.
Pengadaan dan
pemanfaatan media
pembelajaran
adaptif
Belum ada. Media pembelajarannya belum ada yang khusus,
yaa.. sama semua. WII.GKI.07112017.195-196
Belum. Belum. Media pembelajarannya masih umum, gak ada
yang khusus buat ABK. Media yang ada itu contohnya ada media
IPA, IPS, ada rambu-rambu lalu lintas. WIII.GKI.08032018.197-
198
SD “Suka Ilmu” belum memiliki media
pembelajaran adaptif yang menunjang
kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Media pembelajaran yang digunakan
bersifat umum digunakan untuk semua
siswa. Guru kelas III menambahkan
bahwa terkadang guru menggunakan
media gambar yang ditampilkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Oh medianya itu tidak nganu mbak, istilahnya tidak… alatnya
tho? Terus terang tidak menggunakan. WI.GKII.07112017.169-
170
Iya ndak ada. Karena juga ndak ada bantuan. Mungkin karena
ABK nya hanya satu dua itu. Jadi media buat ABK juga ndak
ada. Tapi kalau nanti sudah umpamanya hampir tiga puluh
persennya, mungkin. Kalau ndak ya seperti biasa.
WI.GKIII.07112017.221-222
Kalau media pembelajaran disini itu sama. Fajar itu gak ada
bedanya dengan anak umum, kalo pakai media ya sama dengan
yang kain, gak ada media khusus. Paling kita pakek media
gambar. Kalau enggak dicarikan gambar lewat HP terus
diliatkan ke anak-anak. Atau kita gambar sendiri. Misalnya
kalau menjelaskan bangun datar nanti saya menggunkan gambar
persegi, persegi panjang, segitiga. Nanti mereka mengamati gambar
tersebut, lalu buat menjelaskan ciri-ciri bangun datar. Misalnya
gambar bunga mawar, biasanya warnanya merah, punya duri.
Seperti itu, jadi mereka belajar dari mengamati gambar. Atau
dengan benda yang nyata. Oh tentang tumbuhan, yo diajak
keluar kelas kalau gak ada media yang menunjang, anak
disuruh bawa, misalnya bawa bunga sepatu untuk menjelaskan
mana bunga sempurna mana bunga tidak sempurna. Alat peraganya
yo ambil dari lingkungan. Gambar mungkin. Kalau tanam-tanaman
ya bawa sendiri. Daun misalnya, kan ada jenis-jenis daun yang
menjadi, menyirip. Jadi daunnya itu bawa dari rumah. Kan biasanya
anak-anak bawa daun yang beda-beda nanti dikelompokkan sesuai
menggunakan HP atau digambar oleh
guru sendiri dan siswa diajak untuk
mengamati benda konkret yang sesuai
dengan materi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
dengan ciri-cirinya. WII.GKIII.12032018.225-229 dan
WII.GKIII.12032018.233-235
Membantu sekali. Anak itu secara real, secara nyata bisa
langsung memahami. Tidak hanya angan-angan saja. Kan
barangnya benar-benar nyata. WIII.GKI.08032018.200-201
Jelas menambah, asalkan anak itu mau menggunakan. Kalau
tidak mau menggunakan yo tidak ada fungsinya.
WII.GKII.13032018.171
Guru kelas I dan II mengungkapkan
bahwa media pembelajaran sangat
membantu siswa untuk memahami
materi karena dapat memahami secara
langsung bukan dalam angan-angan.
Penilaian dan
evaluasi
pembelajaran
Target yang dibuat itu malalui nilai KKM. Termasuk KKM tho
itu, bisa jadi target. Ya itu… secara umum untuk satu kelas itu
KKM sudah ditentukan, nah untuk yang berkebutuhan khusus
itu KKM sama hanya materinya yang diturunkan,
disederhanakan. Targetnya untuk sikap… Apa ya? Untuk yang
sikap itu sudah ada kriteria A, B, C. Sangat baik, baik, cukup. Yang
untuk penilaian tho? Ho’o itu. Berdasarkan penilaian sangat baik,
baik, cukup. Tapi untuk kenaikan kelas yang kurikulum tiga
belas itu sikapnya minimal baik. Kalau cukup belum bisa naik.
Keterampilan itu dengan nilai, angka. Angka juga sama dengan
nilai pengetahuan. Sama dengan nilai KKM.
WIII.GKI.08032018.217-220 dan WIII.GKI.08032018.223-226
Yo namanya nilai kan itu yo sama. Nilainya yo sama,
maksudnya aturan ketuntasan belajar itu sama. KKM nya
sama. Tapi nanti kok itu kurang belum tuntas terus
perbaikannyakan soalnya lebih mudah. KKMnya, Silabusnya,
RPPnya sama. Tapi yang bedanya itu kalau penilaiannya belum
tuntas itu diberi soal yang mudah. WII.GKII.13032018.186-189
Guru kelas I dan II mengungkapkan
bahwa ada target nilai yang harus
dicapai oleh siswa yaitu nilai KKM.
Nilai KKM yang ditetapkan sama untuk
seluruh siswa baik yang berkebutuhan
khusus maupun tidak berkebutuhan
khusus. Guru kelas I menambahkan
meskipun KKM yang ditetapkan sama
namun ada penurunan materi untuk
anak berkebutuhan khusus. Guru kelas I
menjelaskan bahwa target nilai minimal
untuk sikap adalah baik dan nilai
keterampilan sama dengan nilai KKM.
Guru kelas II menjelaskan bahwa siswa
yang belum tuntas mencapai nilai KKM
melakukan perbaikan dengan soal yang
dibuat lebih mudah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Untuk KKM kan sama. Memang dalam penentuan KKM kan
ditentukan berdasar tiga ranah. Tentang KKM itu dari intaq artinya
dari fasilitas fasilitasnya memadai atau gak, kemudian dari
kemampuan siswa kemampuan siswanya ada yang LB mungkin
agak rendah. Kemudian yang satu berdasarkan materi. Kalo
materinya ya sulit KKM nya agak rendah, kalo materinya yang
mudah KKM nya yang tinggi. Tiga macam itu yang bisa
menentukan KKM. Jadi yang rendah juga menentukan, menentukan
dalam menentukan keputusan KKM. Jadi membuat KKM tidak
terus harus tinggi, wah ini anak-anaknya seperti ini kemampuannya.
Jadi kemampuan anak juga menentukan. WI.KS.27102017.53
KKM disamakan. WII.GKI.07112017.203
Ya itu… secara umum untuk satu kelas itu KKM sudah
ditentukan, nah untuk yang berkebutuhan khusus itu KKM
sama hanya materinya yang diturunkan, disederhanakan.
WIII.GKI.08032018.218-220
KKM juga sama. Tapi sayangnya itu, perbedaannya ulangan
perbaikan itu dipermudah. Pokoknya segalanya sama.
WI.GKII.07112017.181-182
KKM sama. Gimana KKM mau bedakke kalau pelajarannya
aja sama. WII.GKIII.12032018.242-243
Penetapan KKM sama untuk seluruh
siswa, hal ini diungkapkan oleh kepala
sekolah, guru kelas I, guru kelas II dan
guru kelas III. Guru kelas I
menambahkan keteranga bahwa
meskipun nilai KKM disamakan,
namun materinya lebih disederhanakan.
Guru kelas II mengungkapkan bahwa
untuk soal ulangan perbaikan dibuat
lebih mudah. Guru kelas III
memberikan alasan bahwa KKM dibuat
sama untuk seluruh siswa karena materi
pembelajarannya sama untuk seluruh
siswa.
Iya, otomatis sama. Evalusinya sama dengan yang lain. Ulangan
harian, ulangan tengah semester, UTS, UAS, UKK, ulangan
akhir semester atau ulangan kenaikan kelas itu.
Bentuk evaluasi pembelajaran di SD
“Suka Ilmu” menggunakan soal yang
sama untuk ulangan harian, ulangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
WI.KS.27102017.63-64
Iya soal evaluasi UTS, UAS itu dari Dinas. Soal khusus untuk
anak inklusi itu belum ada, jadi kalau pas anak itu
mengerjakan soal-soal itu ya ekstra ditunggui, bahkan malah
dibantu, malah diwarahi. WIII.GKI.08032018.210-212
Ohh itu memang KKM nya sudah ada. Terus nanti yang dilihat
hasilnya itu, lewat ulangan-ulangan itu. Baik ulangan harian,
ulangan tengah semester. WI.GKII.07112017.178-180
tengah semester, dan ulangan kenaikan
kelas. Guru kelas I menungkapkan
untuk soal UTS dan UAS berasal dari
Dinas Pendidikan, belum ada soal
khusus untuk ABK sehingga ketika
mengerjakan guru perlu mendampingi
ABK.
Soalnya memang seharusnya lebih mudah mbak. Harusnya
lebih mudah. Soalnya materinya juga lebih mudah. Seharusnya
memang harus beda. Seperti kalo ujian anak-anak yang LB
memang harus beda. WI.KS.27102017.65-68
Guru kelas. Iya oleh guru kelas, ada ulangan harian, ada tengah
semester, ada akhir semester. Di sini soal yang diberikan
semuanya masih sama. Hanya kalau yang berkebutuhan khusus
itu dibimbing, mengerjakannya dibimbing. Dipancing-pacing
kayak gitu. Karena belum ada kurikulumnya khusus. Mungkin kalau
ada kurikulumnya khusus, penilaiannya juga khusus.
WII.GKI.07112017.204-206
Sama. Tapi kalau misalnya ada perbaikan-perbaikan bedanya
itu yang ABK agak mudah. Bedanya itu kalau ulangan-
ulangan. Misalnya nilainya belum bagus, perbaikannya yang
ABK yang agak mudah. Pokoknya beda. Tapi masalah materi,
masalah kurikulum sama. Buku-bukunya juga sama.
Terdapat beberapa perbedaan penerapan
dalam penilaian dan evaluasi
pembelajaran di SD “Suka Ilmu”
dibandingkan sekolah pada umumnya.
Kepala sekolah mengungkapkan bahwa
seharusnya soal untuk ABK dibuat lebih
mudah karena materi yang didapatkan
ABK juga lebih mudah. Guru kelas I
menjelaskan bahwa dengan soal
evaluasi yang sama diberikan kepada
anak berkebutuhan khusus dan tidak
berkebutuhan maka untuk ABK
membutuhkan bimbingan lebih khusus.
Guru kelas II mengungkapkan bahwa
soal evaluasi yang diberikan sama
namun ketika siswa melakukan
perbaikan nilai, soal yang diberikan
lebih mudah dari soal ulangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
WI.GKII.07112017.173-176
Yo namanya nilai kan itu yo sama. Nilainya yo sama,
maksudnya aturan ketuntasan belajar itu sama. KKM nya
sama. Tapi nanti kok itu kurang belum tuntas terus
perbaikannyakan soalnya lebih mudah. KKMnya, Silabusnya,
RPPnya sama. Tapi yang bedanya itu kalau penilaiannya belum
tuntas itu diberi soal yang mudah. WII.GKII.13032018.186-189
Sama ulangannya. Mata pelajaran sama. Cuman kita kan sak
rampunge Fajar le garap. Oh di mampu garap sepuluh ya
sudah, sepuluh itu gak boleh dipaksa. Tapi kalau Ibunya yang
damping, ya udah Ibune nunggu, sampek diwarahi mungkin sama
Ibunya. Ditunggu sampai anak itu selesai. Kalau kita kan menurut
sananya gak boleh. Umpamanya soalnya tiga puluh, Fajar bisa
sepuluh atau lima belas sudah, ambil yang mudah-mudah.
Umpamanya nomor satu mudah, boleh Fajar kerjakan, bisa Fajar?
Terus nomor tiga kok sulit, kita lewati dulu. Ini bisa? Bisa. Nggak
masalah. Kalau saya seperti itu penerimaan saya dari sananya, tidak
boleh memaksa dan tidak boleh tidak menaikkan anak inklusi.
Apapun tetep naik. WI.GKIII.07112017.244-246
sebelumnya. Guru kelas III memberikan
informasi bahwa penilaian dan evaluasi
untuk ABK diberikan keleluasaan untuk
menyelesaikan soal ulangan sesuai
dengan kemampuannya.
Tujuan evaluasi ya…. untuk mengetahui kemampuan anak ini
sampai dimana. Untuk mengetahui keberhasilan belajar
mengajar juga. Berhasil atau tidaknya. Jadi guru bisa
mengevaluasi diri. Leh ku mulang ki berhasil po ora.
WII.GKI.07112017.213-215
Ya tujuannya evaluasi kalau ada kekurangan ya jalan
Tujuan dilakukannya evaluasi adalah
untuk mengetahui kemampuan siswa,
keberhasilan belajar mengajar, evaluasi
bagi guru, memberikan pemecahan
masalah dalam kegiatan pembelajaran,
dan melihat perkembangan siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
keluarnya ini, kalau misalnya ini menyampaikannya ini belum
jelas terus berubah itu. Begitu. WI.GKII.07112017.183-185
Tujuan evaluasi? Ya untuk melihat perkembangan anak
terutama. Mampu atau tidak. Ya yang utama itu aja mbak karena
apa yo.... Dilihat dari yang lain kan tidak ada. Terus dia mampu
mandiri atau tidaknya. Tapi setelah kelas tiga ini kayaknya
lumayan. Kalau dia mau buang air kecil sudah tau, “aku arep pipis.”
Tapi kalau BAB, kalau gak ditanya, gak…. Tapi yang utama untuk
memantau perkembangannya kira-kira mampu atau tidak. Karena
kalau kita pantau tidak mampu dan sulit itu nanti bisa dirujuk ke
SLB. Memang boleh. SLB memang menerima rujukan. Disinikan
sudah satu yang dirujuk. WI.GKIII.07112017.255-256
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Lampiran 4 Reduksi Hasil Observasi
REDUKSI HASIL OBSERVASI
Aspek Deskripsi Hasil Pengamatan Kesimpulan
Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB)
yang Mengakomodasi
Semua Anak
Observasi dilakukan pada hari selasa, 4 Juli 2017.
Panitia PPDB terdiri dari seluruh guru yang ada di SD “Suka
Ilmu”. Hal pertama yang disiapkan oleh panitia adalah
formulir pendaftaran dan ruangan untuk pelaksanaan PPDB
yaitu di ruang guru SD “Suka Ilmu”. Peneliti mengamati
bahwa pembangian tugas antar guru yang bertugas kurang
jelas. Hal ini dapat dibuktikan dengan hanya satu guru yang
terlihat aktif melakukan proses pendaftaran yaitu untuk
memasukkan data calon peserta didik.
Calon peserta didik baru datang ke sekolah didampingi
oleh orang tua atau walinya. Dokumen yang perlu diserahkan
sebagai syarat pendaftaran adalah Akta Kelahiran, Kartu
Keluarga, KTP Orang Tua, Ijazah TK (jika ada), dan Kartu
Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia Sehat (jika ada).
Petugas pendaftaran akan mengecek kelengkapan dokumen
tersebut dan menuliskan data pribadi calon peserta didik baru.
Selanjutnya, petugas memberikan formulir pendaftaran untuk
mengisi data pribadi calon peserta didik lebih rinci.
Berdasarkan kebijakan dari sekolah, formulir pendaftaran ini
dapat dikumpulkan saat hari pertama masuk sekolah.
Pada proses PPDB, peneliti tidak melihat ada Guru
Pendamping Khusus atau Konselor yang mendampingi proses
penerimaan peserta didik baru. Peneliti juga melihat tidak ada
SD “Suka Ilmu” membentuk panitia
PPDB dalam proses penerimaan peserta
didik baru namun pembagian tugas dalam
proses ini kurang jelas antara satu guru
dengan guru yang lainnya. Dokumen
yang perlu disiapkan untuk melengkapi
pendaftaran adalah Akta Kelahiran, Kartu
Keluarga, KTP Orang Tua, Ijazah TK
(jika ada), dan Kartu Indonesia Pintar atau
Kartu Indonesia Sehat (jika ada). Guru
pendamping khusus atau konselor tidak
ikut mendampingi dalam proses
penerimaan peserta didik baru serta pihak
sekolah belum melakukan identifikasi
terhadap calon peserta didik yang telah
mendaftar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
proses identifikasi anak berkebutuhan khusus dalam proses
PPDB tersebut.
Peneliti melakukan observasi fasilitas di SD “Suka
Ilmu” pada tanggal 30 November 2017. Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti, sekola tidak memiliki fasilitas khusus
untuk anak berkebutuhan khusus. Semua fasilitas yang disedia
sama untuk seluruh siswa. Lantai yang ada di SD “Suka Ilmu”
masih terbuat dari ubin. Kamar mandi siswa sama untuk
seluruh siswa, tidak ada pembedaan untuk anak berkebutuhan
khusus atau tidak berkebutuhan khusus. Tidak ada besi
pegangan yang membantu anak berkebutuhan khusus berjalan.
Fasilitas yang disediakan oleh sekolah
sama untuk selurauh siswa, tidak ada
perbedaan fasilitas untuk anak
berkebutuhan khusus atau anak tidak
berkebutuhan khusus.
Identifikasi - Tidak terlihat
Asesmen - Tidak terlihat
Adaptasi Kurikulum
(Kurikulum Fleksibel) - Tidak terlihat
Merancang Bahan Ajar
dan Kegiatan
Pembelajaran yang
Ramah Anak
Kelas I :
Observasi dilakukan pada hari selasa, 28 November
2017. Guru mengajar berdasarkan materi yang ada pada
panduan buku guru dan buku siswa Kurikulum 2013. Siswa di
kelas I masih banyak yang belum lancar membaca. Selama
peneliti melakukan observasi, kegiatan pembelajaran lebih
banyak difokuskan untuk melatih anak membaca namun guru
juga tetap memberikan materi pada siswanya.
Selama kegiatan pembelajaran, guru selalu melibatkan
siswanya. Siswa aktif menjawab ketika guru mengajukan
pertanyaan. Guru berkeliling dan mengajari siswa-siswa yang
masih kesulitan membaca. Guru juga melibatkan siswa yang
sudah pandai membaca untuk mengajari teman lainnya yang
Guru mengajar berdasarkan buku guru
dan buku siswa Kurikulum 2013.
Hambatan yang dialami guru dikelas
adalah masih banyak siswa yang belum
lancar membaca sehingga dalam kegiatan
pembelajaran lebih banyak untuk berlatih
membaca. Kegiatan pembelajaran
berlangsung interaktif. Siswa aktif
menjawab ketika guru mengajukan
pertanyaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
belum lancar membaca.
Kelas II :
Peneliti melakukan observasi di kelas II pada kamis, 30
November 2017. Kegiatan pembelajaran hari itu adalah
persiapan Ulangan Akhir Semester dengan pembahasan
bersama soal UAS tahun sebelumnya. Guru kurang
melibatkan siswa dalam pembahasan, terbukti dengan hanya
beberapa anak yang ikut menjawab soal ataupun pertanyaan
guru, siswa yang lain diam memperhatikan. Ketika guru
mengajukan pertanyaan, siswa kurang antusias menjawabnya.
Jika siswa mengetahui jawabannya ia akan bersuara, tetapi
jika tidak mengetahui jawabannya ia akan diam.
Guru terpaku di depan kelas saat mengajar, tetapi jika
ada siswa yang tidak memperhatikan pembelajaran beliau
akan menghampiri. Guru tidak menghampiri siswa yang
kesulitan ketika membahas soal bersama.
Kegiatan pembelajaran berlangsung menyenangkan. Di
kelas siswa tidak merasa tegang karena terkadang guru juga
melemparkan candaan.
Kegiatan pembelajaran fokus untuk
membahas soal UAS tahun sebelumnya
sebagai persiapan menghadapi UAS.
Kegiatan pembelajaran kurang interaktif
dan lebih banyak berpusat pada guru.
Kelas III :
Pada hari selasa 28 November 2017, peneliti melakukan
observasi kegiatan pembelajaran di kelas III. Guru
memberikan 10 soal latihan matematika tentang satuan yang
dituliskan di papan tulis. Guru mendatangi satu persatu
siswanya untuk mengecek pemahaman setiap siswa. Ketika
mengoreksi soal bersama, guru menunjuk beberapa siswa
untuk menjawab soal.
Guru melakukan pemdampingan terhadap siswa
Guru kurang interaktif dalam
menyampaikan materi, dalam kegiatan
pembelajarannya siswa kurang aktif dan
masih berpusat pada guru. Guru kelas
dibantu oleh GPK dalam penanganan
siswa berkebutuhan khusus. Guru kelas
tidak memaksakan kemampuan siswa
berkebutuhan khusus dalam meneriman
materi maupun mengerjakan tugas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
berkebutuhan khusus dengan menghampiri tempat duduknya
dan mengajari secara personal. Guru mengajari siswa tersebut
dengan pelan-pelan.
Setelah Guru Pendamping Khusus (GPK) datang,
pendampingan siswa berkebutuhan khusus diambil alih oleh
GPK. GPK ini merupakan GPK pribadi dari orang tua siswa.
Guru memberikan toleransi kepada siswa berkebutuhan
khusus untuk mengerjakan soal sesuai dengan
kemampuannya. Guru kelas maupun GPK tidak memaksakan
siswa berkebutuhan khusus untuk selalu menyelesaikan
tugasnya, namun mereka selalu mengingatkan siswa tersebut
untuk kembali mengerjakan tugas.
Guru kelas dan GPK juga memberikan pelajaran sikap
kepada siswa berkebutuhan khusus dengan selalu
mengingatkan siswa. Saat peneliti melakukan observasi, sikap
siswa tersebut yang diingatkan oleh guru adalah ketika akan
menghapus tulisan pensil di bukunya dengan ludah, sikap
duduknya kadang kurang sopan dengan menaikkan kaki ke
kursi.
Kegiatan pembelajaran berlangsung kondusif, guru
sangat tegas dan selalu mengingatkan siswanya ketika mulai
gaduh. Siswa yang sudah selesai mengerjakan soal diminta
untuk membantu temannya yang belum bisa (tutor sebaya).
Ketika guru menjelaskan materi dan ada yang belum
dimengerti, ada satu siswa yang berani bertanya.
Penataan Kelas yang
Ramah Anak
Kelas I :
Observasi penataan kelas I dilakukan pada hari selasa,
28 November 2017. Lebar ruangan kelas cukup memadai
Ruang kelas memadai dalam pelaksanaan
kegiatan pembelajaran, namun penataan
meja kurang rapi membuat siswa dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
untuk siswa yang berjumlah 18 siswa. Ventilasi dan
pencahayaan ruang kelas bagus membuat ruang kelas tidak
pengap dan gelap. Ukuran meja terlalu berat dan besar untuk
siswa kelas I, sedangkan untuk kursinya ringan dan mudah
dipindahkan.
Tempat duduk siswa disusun secara berkelompok. Satu
kelompok terdiri dari 4-5 siswa. Berdasarkan pengamatan
peneliti, dalam setiap kelompok ada siswa yang sudah pandai
membaca dan yang belum pandai membaca sehingga
memudahkan dalam melakukan tutor sebaya.
Penyusunan meja membuat siswa dan guru kesulitan
untuk bergerak karena penataannya yang terlalu dekat antara
satu dengan yang lain. Meja dan kursi yang tidak terpakai
kurang tertata rapi di belakang kelas.
guru sulit bergerak. Tempat duduk siswa
disusun berkelompok dengan kemampuan
siswa yang beragam.
Kelas II :
Observasi di kelas II dilakukan pada Kamis, 30
November 2017. Luas ruang kelas cukup memadai untuk
siswa yang berjumlah 21 siswa. Ventilasi udara baik membuat
kelas tidak terasa pengap. Pencahayaan ruang kelas kurang
terang karena cahaya matahari dari luar tidak dapat masuk ke
kelas dan lampu hanya ada 1 kurang memadai untuk
pencahayaan di dalam kelas. Meja dan kursi ringan dan
mudah dipindahkan untuk siswa kelas II.
Tempat duduk siswa disusun berbaris, terdiri dari 4
baris. Masing-masing meja ada siswa yang duduk sendiri dan
ada yang berdua dengan teman sebangku. Siswa di kelas II
belum dilakukan asesmen, namun siswa yang dicurigai
gurunya mengalami lambat belajar ditempatkan di bangku
Ruang kelas cukup memadai untuk siswa,
namun pencahayaan ruang kelas kurang
terang. Tempat duduk siswa disususn
berbaris. Siswa yang memerlukan
pendampingan lebih dibandingkan siswa
lain ditempatkan di bangku depan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
depan agar guru mudah dalam memantau perkembangan
siswa tersebut.
Kelas III :
Luas ruang kelas III cukup memadai untuk 15 siswa.
Ventilasi yang ada dikelas membuat ruangan tetap sejuk.
Pencahayaan yang ada dikelas kurang memadai, ada satu
lampu kecil di tengah ruangan sebagai penerangan. Cahaya
dari luar ruangan kurang bisa masuk ke dalam kelas. Meja dan
kursi sesuai dengan kebutuhan siswa kelas III, ringan dan
mudah dipindahkan.
Tempat duduk siswa disusun berbaris terdiri dari 4
baris. Setiap bangku berisi dua siswa. Siswa berkebutuhan
khusus duduk sendiri di bangku belakang. GPK selalu
mendampingi siswa berkebutuhan khusus tersebut.
Luas ruangan cukup memadai untuk
siswa, namun pencahayaan membuat
ruang kelas kurang terang. Tempat duduk
siswa disususn berbaris. Siswa
berkebutuhan khusus duduk sendiri di
bangku belakang. GPK selalu
mendampingi siswa berkebutuhan khusus
tersebut.
Pengadaan dan
Pemanfaatan Media
Pembelajaran Adaptif
Kelas I :
Saat dilakukan observasi pembelajaran di kelas I, guru
tidak menggunakan media pembelajaran yang memudahkan
siswa menangkap materi. Guru hanya menggunakan buku
siswa Kurikulum 2013 sebagai panduan mengajar. Di papan
tulis ada 3 buah gambar yang menunjukkan kegiatan yang
dapat dilakukan saat pagi, siang, dan sore hari. Media gambar
ini tidak digunakan guru pada saat peneliti melakukan
observasi namun pada kegiatan pembelajaran pada hari
sebelumnya.
Guru tidak selalu menggunakan media
pembelajaran adaptif dalam setiap
kegiatan pembelajarannya. Buku guru dan
buku siswa Kurikulum 2013 digunakan
sebagai panduan untuk mengajar.
Kelas II :
Saat peneliti melakukan observasi kegiatan
pembelajaran di kelas II, guru tidak menggunakan media
pembelajaran yang memudahkan siswa untuk memahami
Guru tidak menggunakan media
pembelajaran adaptif dalam menjelaskan
materi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
materi. Guru menggunakan soal-soal UAS tahun sebelumnya
yang sudah dibagikan kepada seluruh siswa.
Kelas III :
Guru menggunakan jari tangan untuk membantu
memudahkan siswa berkebutuhan khusus untuk menghitung,
sedangkan untuk GPK mengajari siswa dengan alat bantu
selembar kertas dan jari untuk membantu menghitung
penjumlahan. Ketika peneliti melakukan observasi, diketahui
bahwa siswa berkebutuhan khusus kesulitan dalam
menghitung menggunakan jari. Terkadang ketika
menyebutkan bilangan, tangannya terlambat ditekuk atau
tangannya sudah tertekuk mendahului bilangan yang akan
diucapkan.
Guru dan GPK menggunakan jari tangan
dalam memudahkkan siswa berkebutuhan
khusus memahami operasi bilangan,
namun siswa berkebutuhan khusus
mengalami kesulitan ketika menggunakan
metode hitung seperti ini.
Penilaian dan Evaluasi
Pembelajaran
Kelas I :
Tidak ada kegiatan evaluasi saat peneliti melakukan
observasi kelas.
Tidak terlihat
Kelas II :
Guru tidak melakukan penilaian maupun evalusi saat
peneliti melakukan observasi kelas.
Tidak terlihat
Kelas IIII :
Saat dilakukan observasi oleh peneliti, guru tidak
melakukan penilaian dan evaluasi pembelajaran.
Tidak terlihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
149
Lampiran 5 Hasil Studi Dokumentasi
HASIL STUDI DOKUMENTASI
No. Dokumen Keterangan
Diskripsi Ada Tidak
1. Surat Keputusan
Penunjukkan Sekolah
Penyelenggara
Pendidikan Inklusi
(SPPI)
√
Surat Keputusan Penunjukkan
Sekolah Penyelenggara
Pendidikan Inklusi (SPPI)
Dinas Pendidikan Kabupaten
Kulon Progo bernomor
400/300/KPTS/2012
2. Dokumen syarat PPDB
√
Dokumen yang diperlukan
untuk melengkapi identitas
calon peserta didik baru antara
lain fotokopi akta kelahiran,
kartu keluarga, KTP orang tua,
Ijazah TK jika ada, dan Kartu
Indonsia Sehat jika ada.
3. Panduan PPDB
√
Panduan PPDB yang
digunakan SD “Suka Ilmu”
adalah Panduan Umum PPDB
pada TK, SD, dan SMP Tahun
Pelajaran 2017/2018 menurut
Peraturan Kepala Dinas
DIKPORA Nomor 110 Tahun
2017.
Pada Panduan PPDB ini,
jadwal pelaksanaan PPDB SD
dimulai pendaftaran pada 4-6
Juli 2017. Persyaratan calon
peserta didik baru kelas I SD
adalah berusia tujuh tahun
wajib diterima dan berusia
paling rendah enam tahun pada
tanggal 1 Juli 2017. Pada
Panduan ini ada peraturan
sistem zonasi.
4. Dokumen Formulir
Pendaftaran
√
Pada dokumen formulir
pendaftaran siswa baru
berisikan identitas calon siswa,
identitas orang tua, dan asal
mula anak. Di dalam dokumen
ini ada keterangan penyakit
yang pernah diderita anak yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
150
digunakan oleh guru sebagai
asesmen awal.
5. Susunan Kepanitiaan
PPDB
√
Susunan kepanitian PPDB yang
ditunjukkan kepala sekolah
adalah susunan kepanitiaan
tahun ajaran 2016/2017. Kepala
sekolah memberikan informasi
bahwa kepanitiaan PPDB
tersebut sama setiap tahunnya.
Dalam dokumen susunan
kepanitiaan tersebut, peneliti
tidak melihat nama Guru
Pendamping Khusus (GPK),
sehingga ketika sekolah
melaksanakan PPDB, GPK
yang ada di sekolah tidak
terlibat.
6. Dokumen Hasil
Asesmen
√
Dokumen hasil asesmen berisi
hasil perkembangan anak
dalam fisik, kognitif dan sikap
siswa berkebutuhan khusus.
Dokumen ini juga menjelaskan
penanganan yang dapat
diilakukan oleh guru dan orang
tua atau terapi dalam
meningkatkan perkembangan
siswa berkebutuhan khusus.
7. Kurikulum
√
SD “Suka Ilmu” menggunakan
dua macam kurikulum.
Kurikulum 2013 untuk kelas I
dan kelas IV serta Kurikulum
KTSP untuk Kelas II, III, V,
dan VI. Dokumen kurikulum
menunjukkan bahwa sekolah
tidak melakukan modifikasi
kurikulum untuk memberikan
kemudahan bagi siswa
berkebutuhan khusus dalam
mengikuti pembelajaran.
Kurikulum yang digunakan
sama untuk seluruh siswa.
8. RPP Kelas I
√
RPP yang disusun oleh Guru
Kelas I berisi Kompetensi,
Indikator yang harus dicapai
oleh siswa, materi/bahan ajar,
langkah-langkah kegiatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
151
pembelajaran, serta penilaian.
Guru tidak menyusun RPP bagi
siswa berkebutuhan khusus,
tidak ada pembedaan indikator,
bahan ajar, langkah
pembelajaran maupun evaluasi
dalam RPP tersebut.
9. RPP Kelas II
√
RPP yang disusun Guru Kelas
II berisi kompetensi dan
indikator yang harus dicapai
oleh siswa serta langkah
pembelajarannya. Materi/bahan
ajar tidak tercantum dalam
RPP. Evaluasi yang digunakan
oleh guru tidak terlihat dalam
RPP. RPP tersebut digunakan
untuk seluruh siswa, tidak ada
perbedaan untuk siswa
berkebutuhan khusus atau tidak
berkebutuhan khusus.
10. RPP Kelas III
√
Guru Kelas III menyususn RPP
kurikulum KTSP, di dalam
RPP tersebut berisi kompetensi
dan indikator yang harus
dicapai oleh siswa, langkah
kegiatan pembelajaran serta
soal evaluasi yang digunakan
oleh guru. Materi/bahan ajar
tidak terlihat di dalam RPP.
RPP ini berlaku untuk seluruh
siswa tidak ada perbedaan bagi
siswa berkebutuhan khusus dan
siswa tidak berkebutuhan
khusus.
11. Soal Ulangan Harian
Kelas I √
Soal ulangan harian yang
disusun oleh Guru Kelas I
bersifat tematik. Soal
digunakan untuk seluruh siswa.
12. Soal Ulangan Harian
Kelas II
√
Guru Kelas II menyusun soal
ulangan untuk setiap mata
pelajaran yang digunakan
untuk mengevaluasi semua
siswa.
13. Soal Ulangan Harian
Kelas III √
Guru Kelas II menyusun soal
ulangan untuk setiap mata
pelajaran yang digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
152
untuk mengevaluasi semua
siswa baik siswa berkebutuhan
khusus dan siswa tidak
berkebutuhan khusus.
14. KKM Kelas III
√
KKM yang ditetapkan oleh
Guru Kelas III sama untuk
seluruh siswa. Dokumen KKM
tidak menunjukkan perbedaan
KKM bagi siswa berkebutuhan
khusus dan siswa yang tidak
berkebebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
1
5
3
Lampiran 6 Display Data Wawancara dan Observasi
DISPLAY DATA WAWANCARA DAN OBSERVASI
No Aspek yang Digali Wawancara Observasi
1 Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB)
yang
Mengakomodasi
Semua Anak
Syarat utama yang ditetapkan untuk menerima peserta didik di
SD “Suka Ilmu” adalah usia minimal tujuh tahun. Hal ini
sesuai dengan peraturan dari Dinas Pendidikan yang
menetapkan batas usia penerimaan peserta didik baru untuk
Sekolah Dasar adalah tujuh tahun. Jika kuota masih tersedia,
siswa yang belum genap berumur tujuh tahun dapat diterima
oleh sekolah.
SD “Suka Ilmu” membentuk panitia
PPDB dalam proses penerimaan
peserta didik baru namun pembagian
tugas dalam proses ini kurang jelas
antara satu guru dengan guru yang
lainnya. Dokumen yang perlu
disiapkan untuk melengkapi
pendaftaran adalah Akta Kelahiran,
Kartu Keluarga, KTP Orang Tua,
Ijazah TK (jika ada), dan Kartu
Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia
Sehat (jika ada). Guru pendamping
khusus atau konselor tidak ikut
mendampingi dalam proses
penerimaan peserta didik baru serta
pihak sekolah belum melakukan
identifikasi terhadap calon peserta
didik yang telah mendaftar.
Dokumen yang dibutuhkan untuk melengkapi identitas peserta
didik baru antara lain fotokopi Akta kelahiran, Kartu
Keluarga, KTP orang tua, Ijazah TK jika ada, dan kartu-kartu
seperti Kartu Indonesia Sehat jika ada.
SD “Suka Ilmu” menerima semua tipe anak berkebutuhan
khusus kerena sudah mendapatkan Surat Keputusan
Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi.
Pihak sekolah menerima semua tipe anak berkebutuhan
khusus atas anjuran yang ada pada SK tersebut.
Sekolah menyusun Panitia PPDB, namun kepanitian ini tidak
diganti dari tahun ke tahun. Pembagian tugas untuk masing-
masing guru kurang jelas. Ada guru yang selalu dibagian
pendaftaran namun ada guru yang tidak terlibat dalam proses
PPDB.
Panduan PPDB berasal dari Dinas Pendidikan, sekolah tidak
menyusun panduan PPDB.
Pada proses PPDB, SD “Suka Ilmu” tidak didampingi oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
1
5
4
Guru Pendamping Khusus (GPK) atau konselor. Proses PPDB
lebih mengutamakan kehadiran guru kelas satu.
Identifikasi pada saat PPDB ditangani oleh guru kelas yang
hadir dengan melihat kondisi anak dari fisiknya dan orang tua
yang mengisi formulir tentang kondisi, riwayat penyakit, dan
kebutuhan yang dimiliki oleh calon peserta didik. Orang tua
juga akan mengungkapkan kelainan atau kebutuhan anaknya
kepada guru yang ada. Guru akan mengkonsultasikan kondisi
calon peserta didik baru kepada guru lain dan kepala sekolah,
dengan catatan akan tetap diterima meskipun setelah
beberapa lama mengikuti kegiatan pembelajaran kemudian
tidak ada perkembangan akan dirujuk ke sekolah yang mampu
menangani.
SD “Suka Ilmu” memiliki seorang Guru Pendamping Khusus
(GPK) yang ditugaskan dari Dinas Pendidikan, hadir ke
sekolah satu minggu sekali setiap hari Jumat. GPK ini
mendampingi kelas yang memiliki anak berkebutuhan khusus,
terutama untuk mendampingi ABK di kelas tiga. Selain itu,
SD “Suka Ilmu” juga memiliki seorang guru pendamping
yang diminta oleh orang tua ABK di kelas tiga untuk
mendampingi anaknya di kelas setiap hari selama kegiatan
pembelajaran.
Guru kelas III mengungkapkan bahwa SD “Suka Ilmu”
kekurangan GPK yang dapat mendampingi ABK di kelas.
Menurut keterangan guru kelas III, pihak sekolah tidak bisa
meminta tambahan GPK ke Dinas Pendidikan karena jumlah
GPK yang terbatas. Orang tua siswa kelas tiga merasa
anaknya memerlukan tambahan guru pendamping. Orang tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
1
5
5
siswa tidak dapat mengandalkan GPK yang hadir satu minggu
sekali, sehingga mencarikan seorang guru pendamping yang
dapat hadir setiap hari mendampingi anaknya. Orang tua
tersebut yang memberikan gaji kepada guru pendamping,
namun guru pendamping ini tidak memiliki tidak memiliki
latar belakang penanganan ABK.
GPK yang saat ini ada di SD “Suka Ilmu” ditunjuk oleh Dinas
Pendidikan. Ketiga guru yang diwawancarai oleh peneliti
tidak mengetahui bagaimana proses penunjukkan atau
penerimaan GPK yang mendampingi sekolah inklusi. Dinas
Pendidikan yang menunjuk atau menerima GPK untuk
mendampingi SD “Suka Ilmu” dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Guru kelas II dan III mengungkapkan
bahwa GPK yang mendampingi SD “Suka Ilmu” berasal dari
salah SLB yang ada di Kulon Progo. GPK tersebut
mendampingi SD “Suka Ilmu” dalam penyelenggaraan
sekolah inklusi untuk memehuni jumlah jam mengajar.
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan jika GPK hanya
mendampingi ABK belajar di kelas, menjelaskan materi,
menjelaskan apa yang diterangkan oleh guru, dan membantu
mengerjakan soal (membacakan, membimbing). GPK tidak
membuat RPP khusus untuk ABK. Guru kelas yang membuat
RPP yang berlaku untuk seluruh siswa. GPK juga tidak
membuat program untuk ABK.
Guru kelas I dan II tidak memiliki pengalaman maupun
pengetahuan dalam menangani anak berkebutuhan khusus.
Guru kelas III sering mengikuti pelatihan mengenai anak
berkebutuhan khusus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
1
5
6
SD “Suka Ilmu” tidak menyediakan fasilitas khusus bagi
siswa berkebutuhan khusus. Fasilitas yang diberikan oleh
pihak sekolah sama untuk seluruh siswa. Guru kelas III
mengungkapkan bahwa sekolah memiliki keterbatasan dalam
memberikan fasilitas khusus untuk ABK. Pihak sekolah
belum mendapatkan bantuan pegangan besi untuk berjalan
yang memudahkan siswa ABK membantu berjalan.
Fasilitas yang disediakan oleh sekolah
sama untuk selurauh siswa, tidak ada
perbedaan fasilitas untuk anak
berkebutuhan khusus atau anak tidak
berkebutuhan khusus.
Sumber dana biaya sekolah berasal dari dana BOS Pusat dan
BOS tingkat daerah (BOSDA).
-
SD “Suka Ilmu” tidak mendapatkan tambahan dana
operasional penyelenggaraan sekolah inklusi. Besarnya
sumber daya biaya yang diterima sekolah inklusi maupun
sekolah regular sama. Guru kelas I menambahkan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan ABK sekolah tidak mengalami
masalah karena kelainan atau kebutuhan yang dimiliki ABK
masih wajar yang tidak membutuhkan banyak biaya.
Sumber dana biaya sekolah untuk keperluan sekolah terutama
yang berkaitan dengan kebutuhan ABK ditanggung dari dana
BOS. Kegiatan seperti PPDB, asesmen, pengadaan media
pembelajaran, evaluasi pembelajaran (pengadaan soal)
menggunakan dana BOS untuk membiayainya.
2. Identifikasi Identifikasi yang dilakukan oleh guru dilihat dari pengamatan
fisik siswa dan pada saat kegiatan pembelajaran di kelas.
Siswa yang mengalami kesulitan dalam menerima
pembelajaran, nilainya tidak mencapai nilai KKM dicurigai
memiliki kebutuhan khusus. Guru melakukan
mengidentifikasi siswa dengan melihat penampilan fisik
antara lain dari wajahnya, cara berbicara, dan cara berjalan.
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
1
5
7
Orang tua siswa yang sudah melakukan asesmen akan
menyampaikan informasi jika anaknya memiliki kebutuhan
khusus. Siswa yang dicurigai memiliki kebutuhan khusus
kemudian diasesmenkan oleh pihak sekolah.
Guru kelas III mengungkapkan bahwa tujuan dari identifikasi
adalah untuk mengetahui keadaan anak, kemampuan anak,
latar belakang anak yang menjadi bekal untuk guru dalam
menentukan cara mengajar. Guru kelas I mengungkapkan
tujuan dari identifikasi supaya anak cepat tertangani melalui
bimbingan khusus atau diserahkkan kepada GPK.
Ada berbagai macam tindakan yang dilakukan guru setelah
melakukan identifikasi terhadap siswa yang dicurigai
memiliki kebutuhan khusus. Guru kelas I mengatakan bahwa
siswa yang teridentifikasi berkebutuhan khusus perlu
mendapat penanganan dari guru kelas dengan menambah
waktu bimbingan individu. Guru perlu menyampaikan
mengenai keadaan ABK kepada kepala sekolah dan guru-guru
yang lain melalui rapat kerja atau rapat sekolah. Guru kelas II
mengatakan bahwa cara guru menyampaikan materi tetap
sama seperti sebelum siswa diidentifikasi. Jika siswa merasa
kesulitan guru akan membantu mendampingi secara pribadi.
Guru kelas III mengungkapkan bahwa setelah dilakukan
identifikasi anak berkebutuhan khusus, guru dapat
menentukan acuan dalam menyampaikan materi.
3. Asesmen Asesmen dilakukan oleh tim asesmen yang diundang oleh
pihak sekolah yang akan menyelenggarakan tes asesmen.
Sekolah lain dapat ikut melakukan asesmen untuk siswanya
dan mendaftar di sekolah penyelenggara tersebut. Siswa yang
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
1
5
8
mengikuti tes asesmen adalah siswa yang telah diidentifikasi
oleh guru memiliki kebutuhan khusus.
Tugas guru selama proses asesmen adalah melakukan
identifikasi ABK yang akan diasesmen. Guru kelas
melaporkan identifikasinya kepada kepala sekolah untuk
selanjutnya ditindaklanjuti mengundang tim asesmen. Proses
asesmen sepenuhnya diserahkan kepada tim asesmen
(psikolog). Pengolahan asesmen diserahkan kepada tim
asesmen.
Sekolah selalu melakukan tes asesmen setiap tahun untuk
siswa yang dicurigai memiliki kebutuhan khusus. Tes
asesmen ini hanya dilakukan satu kali selama ABK menjadi
siswa berkebutuhan khusus di SD “Suka Ilmu”.
Dokumen hasil asesmen disimpan oleh kepala sekolah. Guru
kelas yang mengajar siswa berkebutuhan khusus tidak
mengetahui bagaimana hasil asesmen dari masing-masing
siswa di kelas yang diampunya. Guru kelas III menjelaskan
bahwa dari dokumen hasil asesmen dapat diketahui tingkat IQ
ABK. Tim asesmen yang akan memutuskan siswa tersebut
memiliki kebutuhan khusus atau tidak.
Cara guru memantau kemajuan hasil belajar siswa dilihat dari
perkembangan anak, ada peningkatan atau tidak. Pemantauan
ini bisa dilihat dari kemampuan anak dalam memahami materi
saat pembelajaran, pengamatan sikap anak dalam keseharian,
dan hasil ulangan anak.
Guru kelas I, II, dan III mengungkapkan bahwa belum pernah
ada kegiatan yang bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan
layanan pendidikan inklusi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
1
5
9
Tindakan yang dilakukan oleh guru ketika anak berkebutuhan
khusus mendapat asesmen adalah melakukan bimbingan
pribadi dengan ABK, menambah waktu bimbingan, dan lebih
memperhatikan ABK. Cara guru mengajar di kelas sama,
tidak ada perubahan dari sebelum asesmen maupun setelah
asesmen. RPP yang dibuat oleh guru kelas I berlaku untuk
semua siswa, baik yang berkebutuhan khusus maupun tidak
berkebutuhan khusus.
Masing-masing guru kelas memberikan program-program
khusus untuk ABK. Guru kelas I menambah waktu belajar
untuk ABK dan memberi bimbingan ketika ABK
mengerjakan soal. Guru kelas II melakukan pendampingan
individu ketika siswa yang lain mengerjakan latihan soal.
Guru akan mengulangi materi yang telah disampaikan. Guru
kelas III meminta semua siswa setiap pagi untuk mengerjakan
soal yang telah disiapkan guru dari berbagai mata pelajaran
dan tanya jawab mengenai materi pelajaran. Hal ini berguna
bagi guru untuk memantau perkembangan pemahaman materi
siswa. Guru kelas III akan memberikan perlakukan lebih
khusus untuk ABK dengan memberikan kasih sayang, sikap
lemah lembut, dan perhatian yang lebih kepada ABK.
4. Adaptasi Kurikulum
(Kurikulum
Fleksibel)
Kurikulum yang digunakan di SD “Suka Ilmu” masih sama
untuk anak berkebutuhan khusus dan anak tidak berkebutuhan
khusus. Berdasarkan keterangan guru kelas I, pihak sekolah
belum mengusahakan untuk membuat kurikulum yang sesuai
untuk anak berkebutuhan khusus. Guru kelas III menjelaskan
bahwa meskipun kurikulum yang digunakan sama, tetapi ada
perbedaan indikator bagi ABK.
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
1
6
0
Menurut kepala sekolah dan guru kelas I, SD “Suka Ilmu”
mengalami kesulitan dalam merancang kurikulum yang
adaptif bagi siswa karena keterbatasan sekolah dan belum
menanyakan kepada Dinas Pendidikan. Menurut guru kelas II,
sekolah tidak mengalami masalah dalam menyusun kurikulum
adaptif untuk siswa berkebutuhan khusus.
5. Merancang Bahan
Ajar dan Kegiatan
Pembelajaran yang
Ramah Anak
Semua siswa mendapatkan bahan ajar dan materi yang sama
dalam kegiatan pembelajarannya. Kepala sekolah
mengungkapkan bahwa meskipun perencanaanya sama, harus
ada batasan yang ditetapkan untuk siswa berkebutuhan khusus
sesuai dengan kebutuhannya. Guru kelas satu menyusun
materi dan kegiatan yang sama untuk seluruh siswa kerena di
kelas I belum diidentifikasi siswa yang memiliki kebutuhan
khusus, namun bagi siswa yang mengalami kesulitan akan
dibimbing secara khusus. Guru kelas II mengatakan bahwa
bahan ajar dan materi yang digunakan sama untuk seluruh
siswa, namun jika siswa mendapat nilai di bawah KKM akan
dilakukan perbaikan dengan soal yang lebih mudah. Menurut
guru kelas III, bahan ajar yang digunakan harus sama untuk
seluruh siswa karena penyampaian materi dilakukan
bersamaan, perbedaannya adalah seberapa mampu siswa
berkebutuhan khusus menyerap pengetahuan akan dibantu
oleh guru.
Kelas I:
Guru mengajar berdasarkan buku guru
dan buku siswa Kurikulum 2013.
Hambatan yang dialami guru dikelas
adalah masih banyak siswa yang belum
lancar membaca sehingga dalam
kegiatan pembelajaran lebih banyak
untuk berlatih membaca. Kegiatan
pembelajaran berlangsung interaktif.
Siswa aktif menjawab ketika guru
mengajukan pertanyaan.
Kelas II:
Kegiatan pembelajaran fokus untuk
membahas soal UAS tahun
sebelumnya sebagai persiapan
menghadapi UAS. Kegiatan
pembelajaran kurang interaktif dan
lebih banyak berpusat pada guru.
Kelas III:
Guru kurang interaktif dalam
menyampaikan materi, dalam kegiatan
pembelajarannya siswa kurang aktif
RPP yang digunakan oleh guru kelas II dan III sama untuk
seluruh siswa, baik yang berkebutuhan khusus maupun tidak
berkebutuhan khusus. Guru kelas III menambahkan informasi
bahwa meskipun RPP yang digunakan sama, tetapi ada
perbedaan jumlah indikator untuk ABK. Perbedaan jumlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
1
6
1
indikator ini untuk menyesuaikan dengan kemampuan yang
dimiliki ABK. Guru tidak boleh memaksakan kemampuan
ABK dan juga ada aturan bahwa ABK tidak boleh tinggal
kelas.
dan masih berpusat pada guru. Guru
kelas dibantu oleh GPK dalam
penanganan siswa berkebutuhan
khusus. Guru kelas tidak memaksakan
kemampuan siswa berkebutuhan
khusus dalam meneriman materi
maupun mengerjakan tugas.
Metode mengajar yang paling banyak digunakan oleh guru
kelas I, II, dan III adalah dengan metode ceramah. Guru kelas
I mengungkapkan bahwa beliau kesulitan untuk meninggalkan
metode ceramah. Guru kelas II dan III menambahkan metode
tanya jawab dalam kegiatan pembelajarannya.
6. Penataan Kelas yang
Ramah Anak
Cara guru dalam memanajemen kelas agar dapat melakukan
proses pembelajaran secara optimal adalah dengan melakukan
bimbingan khusus kepada siswa berkebutuhan khusus. Kepala
sekolah mengungkapkan bahwa guru kelas akan menambah
jam belajar setelah pulang sekolah atau ketika ada ujian kelas
enam. Guru kelas I mengoptimalkan kegiatan pembelajaran
dengan berkeliling mendatangi setiap siswa untuk
membimbing individu dan menerapkan tutor sebaya untuk
membantu guru membimbing teman-temannya yang lain.
Guru kelas II melakukan pendekatan dengan bertanya materi
yang belum jelas kepada siswa berkebutuhan khusus yang ada
di kelasnya dan memberikan sanksi mendidik bagi siswa yang
membuat kegaduhan, misalnya diminta untuk berpidato di
depan kelas. Guru kelas III akan mengajukan pertanyaan
kepada siswa yang berbicara saat guru menjelaskan materi.
Kelas I:
Ruang kelas memadai dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran,
namun penataan meja kurang rapi
membuat siswa dan guru sulit
bergerak. Tempat duduk siswa disusun
berkelompok dengan kemampuan
siswa yang beragam.
Kelas II:
Ruang kelas cukup memadai untuk
siswa, namun pencahayaan ruang kelas
kurang terang. Tempat duduk siswa
disususn berbaris. Siswa yang
memerlukan pendampingan lebih
dibandingkan siswa lain ditempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
1
6
2
Penataan tempat duduk untuk setiap kelas diserahkan kepada
guru kelas yang mengampu. Kepala sekolah mengungkapkan
tidak ada pengelompokkan untuk siswa berkebutuhan khusus
di kelas, semua berbaur dengan teman-temannya yang lain.
Guru kelas I menempatkan siswanya yang belum lancar
membaca di bangku depan untuk memudahkan guru dalam
membimbing, terkadang juga membentuk kelompok kecil
dengan kemampuan siswa yang beragam. Guru kelas II
menempatkan siswa berkebutuhan khusus terutama siswa
lambat belajar di bangku depan yang dapat memudahkan guru
untuk membimbingnya. Hal ini juga dimaksud agar siswa
tidak mudah gaduh. Guru kelas III menempatkan siswa
berkebutuhan khusus di bangku belakang karena jika di depan
ia akan mengganggu temannya yang lain. Meskipun siswa
berkebutuhan khusus ditempatkan di belakang namun ia
didampingi oleh guru pendamping, sehingga menurut guru
kelas III tidak menimbulkan masalah.
di bangku depan.
Kelas III:
Luas ruangan cukup memadai untuk
siswa, namun pencahayaan membuat
ruang kelas kurang terang. Tempat
duduk siswa disususn berbaris. Siswa
berkebutuhan khusus duduk sendiri di
bangku belakang. GPK selalu
mendampingi siswa berkebutuhan
khusus tersebut.
7. Pengadaan dan Pemanfaatan Media
Pembelajara Adaptif
SD “Suka Ilmu” belum memiliki media pembelajaran adaptif yang menunjang kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Media pembelajaran yang digunakan bersifat umum
digunakan untuk semua siswa. Guru kelas III menambahkan
bahwa terkadang guru menggunakan media gambar yang
ditampilkan menggunakan HP atau digambar oleh guru
sendiri dan siswa diajak untuk mengamati benda konkret yang
sesuai dengan materi.
Kelas I: Guru tidak selalu menggunakan media pembelajaran
adaptif dalam setiap kegiatan
pembelajarannya. Buku guru dan buku
siswa Kurikulum 2013 digunakan
sebagai panduan untuk mengajar.
Kelas II: Guru tidak menggunakan
media pembelajaran adaptif dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
1
6
3
Guru kelas I dan II mengungkapkan bahwa media
pembelajaran sangat membantu siswa untuk memahami
materi karena dapat memahami secara langsung bukan dalam
angan-angan.
menjelaskan materi.
Kelas III: Guru dan GPK
menggunakan jari tangan dalam
memudahkkan siswa berkebutuhan
khusus memahami operasi bilangan,
namun siswa berkebutuhan khusus
mengalami kesulitan ketika
menggunakan metode hitung seperti
ini.
8. Penilaian dan
Evaluasi
Pembelajaran
Guru kelas I dan II mengungkapkan bahwa ada target nilai
yang harus dicapai oleh siswa yaitu nilai KKM. Nilai KKM
yang ditetapkan sama untuk seluruh siswa baik yang
berkebutuhan khusus maupun tidak berkebutuhan khusus.
Guru kelas I menambahkan meskipun KKM yang ditetapkan
sama namun ada penurunan materi untuk anak berkebutuhan
khusus. Guru kelas I menjelaskan bahwa target nilai minimal
untuk sikap adalah baik dan nilai keterampilan sama dengan
nilai KKM. Guru kelas II menjelaskan bahwa siswa yang
belum tuntas mencapai nilai KKM melakukan perbaikan
dengan soal yang dibuat lebih mudah. -
Penetapan KKM sama untuk seluruh siswa, hal ini
diungkapkan oleh kepala sekolah, guru kelas I, guru kelas II
dan guru kelas III. Guru kelas I menambahkan keteranga
bahwa meskipun nilai KKM disamakan, namun materinya
lebih disederhanakan. Guru kelas II mengungkapkan bahwa
untuk soal ulangan perbaikan dibuat lebih mudah. Guru kelas
III memberikan alasan bahwa KKM dibuat sama untuk
seluruh siswa karena materi pembelajarannya sama untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
1
6
4
seluruh siswa.
Bentuk evaluasi pembelajaran di SD “Suka Ilmu”
menggunakan soal yang sama untuk ulangan harian, ulangan
tengah semester, dan ulangan kenaikan kelas. Guru kelas I
menungkapkan untuk soal UTS dan UAS berasal dari Dinas
Pendidikan, belum ada soal khusus untuk ABK sehingga
ketika mengerjakan guru perlu mendampingi ABK.
Terdapat beberapa perbedaan penerapan dalam penilaian dan
evaluasi pembelajaran di SD “Suka Ilmu” dibandingkan
sekolah pada umumnya. Kepala sekolah mengungkapkan
bahwa seharusnya soal untuk ABK dibuat lebih mudah karena
materi yang didapatkan ABK juga lebih mudah. Guru kelas I
menjelaskan bahwa dengan soal evaluasi yang sama diberikan
kepada anak berkebutuhan khusus dan tidak berkebutuhan
maka untuk ABK membutuhkan bimbingan lebih khusus.
Guru kelas II mengungkapkan bahwa soal evaluasi yang
diberikan sama namun ketika siswa melakukan perbaikan
nilai, soal yang diberikan lebih mudah dari soal ulangan
sebelumnya. Guru kelas III memberikan informasi bahwa
penilaian dan evaluasi untuk ABK diberikan keleluasaan
untuk menyelesaikan soal ulangan sesuai dengan
kemampuannya.
Tujuan dilakukannya evaluasi adalah untuk mengetahui
kemampuan siswa, keberhasilan belajar mengajar, evaluasi
bagi guru, memberikan pemecahan masalah dalam kegiatan
pembelajaran, dan melihat perkembangan siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
BIOGRAFI PENELITI
Fitri Damayanti lahir di Kulon Progo, 28 Februari
1996 dari pasangan Bapak Sarjiyo dengan Ibu Ponisah.
Anak ketiga dari tiga bersaudara menempuh pendidikan
non formal di TK PKK Putra Giri lulus pada tahun 2002,
dilanjutkan dengan menempuh pendidikan formal di SD
Negeri Niten lulus pada tahun 2008, SMP Negeri 1 Wates
lulus pada tahun 2011, dan SMA Negeri 1 Wates lulus
pada tahun 2014. Peneliti melanjutkan studi S1 di Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma.
Selama menempuh pendidikan S1 di PGSD USD, peneliti mengikuti
berbagai macam kegiatan, antara lain:
1. Peserta Kuliah Umum Pendidikan Berbasis Montessori tahun 2015
2. Sebagai Anggota Divisi Acara Insipro tahun 2015
3. Peserta Seminar Kurikulum untuk Terstandarisasi (Cambridge) tahun 2016
4. Sebagai Koordinator Divisi Acara Insipro tahun 2016
5. Sebagai peserta Kuliah Umum Implementasi Kurikulum Tiga Belas di
Sekolah Dasar.
Masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma diakhiri dengan menulis
skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi
Kelas Bawah di SD “Suka Ilmu” wilayah Kabupaten Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI