permasalahan transportasi
DESCRIPTION
RandomTRANSCRIPT
PERMASALAHAN MINIMNYA ANGKUTAN UMUM DI
CIGONDEWAH HILIR, KECAMATAN BANDUNG KULON
Diajukan untuk memenuhi Tugas Perencanaan TransportasiSemester Ganjil Tahun Akademik 2013/2014
Oleh:
Nilam Shindi Dinasti U 10070312065Milla Khaerunnisa 10070312071
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTAFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG2014 M/1435 H
Interaksi Tata Guna Lahan – Sistem Jaringan TransportasiTransportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga
biasanya dianggap membentuk satu land-use transport system. Agar tata guna
lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus
terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang tidak baik tentunya akan
menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, transportasi yang tidak
melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan.
Dengan sistem transportasi atau perhubungan yang baik akan mampu
mengendalikan pergerakan manusia dan atau barang secara lancar, aman,
cepat, murah dan nyaman. Sistem transportasi melayani berbagai aktivitas,
seperti industri, pariwisata, perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain.
Aktivitas tersebut dilakukan pada sebidang lahan (industri, sawah, tambang,
perkotaan, daerah pariwisata dan lain sebagainya). Dalam pemenuhan
kebutuhan, manusia melakukan perjalanan antara tata guna tanah tersebut
dengan menggunakan sistem jaringan transportasi sehingga menghasilkan
pergerakan arus lalu lintas. Pada hakekatnya, kegiatan transportasi merupakan
penghubung 2 lokasi tata guna lahan yang mungkin berbeda tetapi mungkin pula
sama (Nasution, 2004 : 23). Mengangkut orang atau barang dari satu tempat ke
tempat lain berarti memindahkan dari satu guna lahan ke guna lahan yang lain
dan mengubah nilai ekonomi orang atau barang tersebut.
Pola sebaran geografis tata guna lahan (sistem kegiatan), kapasitas dan
lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan
volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada
jaringan transportasi akan mempunyai efek timbal balik terhadap lokasi tata guna
lahan yang baru dan perlunya peningkatan prasarana. Secara diagram
digambarkan oleh Khisty, (1990 : 10) dan Setijowarno dan Frazila (2003 : 49)
sebagai berikut :
Diagram Interaksi Guna Lahan-Transportasi
Yaitu :
a. Perubahan/peningkatan guna lahan akan membangkitkan perjalanan;
b. Meningkatnya guna lahan akan meningkatkan tingkat permintaan
pergerakan yang akhirnya memerlukan penyediaan prasarana
transportasi;
c. Pengadaan prasarana transportasi akan meningkatkan daya hubung
parsial
d. Naiknya daya hubung akan meningkatkan harga/nilai lahan
e. Selanjutnya akan menentukan pemilihan lokasi yang akhirnya
menghasilkan perubahan sistem guna lahan.
Permasalahan transportasi memang sudah sedemikian kompleksnya,
semakin lama semakin banyak jalan yang mengalami kemacetan lalu lintas yang
pada gilirannya akan mengakibatkan waktu perjalanan semakin lama.
Permasalahan transportasi bukan dominasi dari sarana dan prasarana jalan saja,
tetapi juga sebagai akibat dari alih fungsi tata guna lahan serta jumlah penduduk
yang memiliki sistem aktivitas yang beragam. Permasalahan transportasi
biasanya tumbuh lebih cepat dari upaya untuk melakukan pemecahan
permasalahan transportasi sehingga mengakibatkan permasalahan menjadi
bertambah parah dengan berjalannya waktu. Selain itu timbul dampak - dampak
negatif dari permasalahan lalu lintas yang berkaitan dengan lingkungan. Untuk
bisa memecahkan permasalahan lalu lintas perlu diambil langkah-langkah yang
berani atas dasar kajian dan langkah - langkah yang pernah dilakukan dikota-
kota lain. Dalam transportasi terdapat 5 komponen, yaitu :
a. Manusia yang memerlukan transportasi
b. Barang yang diperlukan manusia
c. Kendaraan sebagai sarana transportasi
d. Jalan sebagai prasarana transportasi
Sedangkan aksesibilitas menurut (Jayadinata, 1992 : 156) adalah suatu
ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan
berinteraksi satu sama lain dan ‘’mudah’’ atau ‘’susahnya’’ lokasi tersebut
dicapai melalui sistim jaringan transportasi (Black dalam Tamin, 2000 : 32).
Gerak manusia kota dalam kegiatannya adalah dari rumah ke tempat bekerja, ke
sekolah, ke pasar, ke toko, ke tempat hiburan, kemudahan bagi penduduk untuk
menjembatani jarak antara berbagai pusat kegiatan disebut tingkatan daya
jangkau atau aksesibilitas. Berikut merupakan bagan sistem interaksi antara Tata
Guna Lahan dengan Sistem Transportasi :
Hubungan sistem transportasi dengan tata guna lahan memang sangat
erat karena komponen tata guna lahan dan sarana dan prasarana merupakan
komponen yang exogenous, maksudnya adalah komponen dari sistem yang
dapat diubah besaran-besarannya oleh manusia. Sedangkan komponen
pergerakan lalu lintas dan karakteristiknya merupakan komponen endogenous,
yaitu komponen yang besarannya tidak dapat dirubah dari luas sistem manusia.
Besaran-besaran komponen ini merupakan hasil interaksi yang ada di dalam
sistem antara komponen-komponen sistem.
Transportasi selalu dikaitan dengan tujuan dari kegiatan perpindahan
yaitu sistem kegiatan yang dipengaruhi oleh tata guna lahan, misalnya pusat
kegiatan yang terpisah memerlukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja, ke
pasar, ke tempat rekreasi atau untuk mengangkut barang dari lokasi industri ke
pelabuhan, toko, dan sebagainya. Makin jauh lokasi satu dengan lokasi lain,
maka semakin panjang pula trasportasi yang harus dilakukan. Sebaliknya, makin
dekat lokasi satu kegiatan dengan kegiatan lain, makin pendek pula transportasi
yang harus dilakukan. Pendekatan terhadap sistem kegiatan ini sebenarnya
sangat banyak macam dan faktornya, namun yang lebih terkait pada aspek pola
tata guna lahan dalam suatu kota. Dengan konsep di atas, maka transportasi
penduduk dapat diperpendek melalui suatu penataan tata guna lahan yang
memungkinkan percampuran, sehingga masyarakat tidak harus melakukan
perjalanan jarak jauh untuk berbagai maksud dan tujuan seperti bekerja, belajar,
belanja, rekreasi, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan dengan pembangunan
unit permukiman yang tidak saja dilengkapi dengan berbagai fasilitas sosial
seperti pendidikan, perbelanjaan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya, tetapi
juga berdekatan dengan lokasi tempat kerja (lokasi perkantoran, industri, dan
lain-lain). Konsep ini akan memberikan suatu bentuk unit-unit permukiman yang
mandiri.
Seperti halnya dengan Kota Bandung yang memiliki sejuta permasalahan
transportasi didalamnya. Dimulai dengan ketersediaan sarana angkutan umum
yang meningkat seiring dengan perkembangan dan ragamnya aktivitas di Kota
Bandung. Aktivitas yang beragam seperti pergi ke sekolah, ke kantor, berbelanja,
rekreasi, akan membutuhkan waktu dan perjalanan untuk mencapai ke tempat
tujuan tersebut.
Di daerah Cigondewah Hilir misalnya, keseharian dari warga cigondewah
dalam melakukan aktivitas seperti sekolah, berbelanja ke pasar, bekerja
menggunakan sepeda motor, akan tetapi bagi masyarakat yang tidak memiliki
sepeda motor hanya menggunakan delman sebagai sarana transportasi
mencapai tempat tujuan mereka. Letak cigondewah yang cukup jauh terhadap
tempat kegiatan mereka membuat mereka harus menempuh perjalanan yang
lama juga. Delman menjadi angkutan umum andalan warga cigondewah karena
tidak adanya angkot yang dapat mengantarkan mereka ke tempat tujuan aktivitas
mereka. Jalan di cigondewah yang hanya memuat satu kendaraan dari satu arah
juga menyebabkan kemacetan yang cukup panjang dan memakan waktu lama.
Biasanya hal tersebut terjadi di pagi hari ketika banyak anak yang pergi ke
sekolah dan buruh pabrik PT. Kahatex yang bekerja pukul 06.30.
Jarak dari Cigondewah Hilir ke tempat sekolah seperti SD, SMP dan SMA
sekitar 1 km, sedangkan jarak ke Pasar Cijerah atau tempat perbelanjaan lainnya
sekitar 1 km. Banyak anak sekolah yang menggunakan delman dan kadang-
kadang ojek karena daripada mereka harus berjalan kaki dari rumah mereka
lebih baik menggunakan delman/ojek sampai ke Pasar Cijerah untuk menghemat
biaya transportasi, setelah itu mereka menggunakan angkot untuk sampai ke
sekolah. Begitu halnya dengan ibu - ibu yang ingin berbelanja ke pasar, mereka
menggunakan delman karena dengan menggunakan delman dapat diantar
hingga ke depan rumah, selain itu barang belanjaan juga tidak terlalu repot untuk
dibawa karena biasanya supir delman akan membantu membawanya.
Sayangnya di Cigondewah Hilir masih belum mampu menghadirkan
fasilitas sosial dan pelayanan umum yang dekat dengan permukiman warga. Di
Cigondewah Hilir sendiri hanya memiliki 3 SD dan rata - rata hanya warung yang
letaknya bercampur dengan permukiman warga. Selain itu, terdapat industri
minuman kemasan di Cigondewah ini yang setiap harinya ada 1 - 3 truk yang
akan memasarkan hasil produksinya ke berbagai tempat di Kota Bandung. Hal ini
yang menyebabkan rute perjalanan semakin jauh dan semakin tidak efisien juga.
Semakin jauh tempat tujuan, maka akan semakin lama waktu tempuh yang
dilakukan. Keberadaan delman yang terbatas dan tidak setiap jam ada juga
menjadi kendala transportasi di Cigondewah Hilir. Selain kendala minimnya
delman, aksesibilitas menuju Cigondewah cukup sulit, kondisi jalan yang rusak
dan hanya muat dilalui satu kendaraan membuat permasalahan sistem
transportasi di Cigondewah Hilir. Hal ini harus diperhatikan oleh pemerintah
karena apabila Cigondewah Hilir dibiarkan seperti ini terus, maka daerah ini tidak
akan berkembang dan akan mengalami kesulitan dalam kegiatan aktivitas sehari-
hari. Serta moda transportasi yang sangat minim untuk akses menuju ke tempat-
tempat yang akan di tuju.
Hanya bermodalkan delman saja tidak cukup, ditambah dengan kondisi
jalan yang rusak dan kurang memadai seharusnya membuat peran dari
pemerintah khusunya Kecamatan Bandung Kulon berfikir bagaimana cara
meningkatkan kenyamanan dan kemudahan aksesibilitas masyarakat di
Cigondewah Hilir dalam melakukan aktivitas sehari - hari. Perbaikan jalan
kampung juga menjadi strategi pertama dalam meningkatkan aksesibilitas
sebelum ke pembenahan masalah minimnya angkutan umum. Apabila kondisi
jalan sudah memungkinkan untuk dilalui 2 kendaraan, maka selanjutnya adalah
penambahan sarana angkutan umum terutama untuk jalur Cigondewah - Pasar
Cijerah - Pasar Ciroyom misalnya. Rute/ trayek yang semestinya tersedia adalah
angkutan yang melewati Jalan Cigondewah - Jl.Cijerah - hingga Jl. Cibereum,
karena ruas jalan ini merupakan koridor aktivitas kegiatan seperti Pasar Cijerah
yang terletak di Jl. Cijerah, Borma Toserba juga berada di Jl.Cijerah, pusat
pertokoan yang terletak di Jl. Cibereum. Memang sudah ada angkutan umum
yang melintas seperti di ruas jalan ini seperti angkot Caringin - Sadang Serang,
Cijerah - Sederhana dan angkot Elang - Melong Asih. Namun perlu ditambah rute
dari cigondewah menuju jalan cijerah dan cibereum agar masyarakat tidak perlu
dua kali ganti angkutan dari delman ke angkot.
Di Cigondewah ini terdapat sentra industri kain tekstil yang menyebabkan
pergerakan orang menuju ke tempat industri tersebut, sayangnya minimnya
aksesibilitas yang menyebabkan kurangnya alat transportasi. Contoh : orang A
berasal dari cibereum ingin ke cigondewah membeli kain tetapi harus naik angkot
jurusan Cijerah - Sederhana turun di pasar cijerah, kemudian untuk menuju ke
lokasi industri kain harus menggunakan delman. Sehingga tata guna lahan
pabrik industri tekstil sudah baik, karena ditempatkan di lokasi-lokasi yang
diperuntukan untuk perindustrian, tetapi tidak strategis karena sulit untuk di akses
oleh buruh pabrik karena moda transportasi yang ada sangat tidak layak. Hal itu
terjadi karena tidak adanya akses menuju pabrik industri karena jauh dari
lingkungan masyarakat, oleh karena itu banyak yang yang menggunakan moda
transportasi umum seperti delman dan ojeg. Tetapi banyak juga yang tidak
menggunakan angkutan umum namun dengan berjalan untuk lebih menghemat
biaya yang dikeluarkan tanpa menggunakan angkutan umum delman.
Panel Letak Permasalahan Transportasi Di
Cigondewah