persepsi dan harapan dokter umum rumah sakit … · persepsi dan harapan dokter umum rumah sakit...
TRANSCRIPT
PERSEPSI DAN HARAPAN DOKTER UMUM RUMAH SAKIT SWASTA DI KOTA YOGYAKARTA TERHADAP PERKEMBANGAN PERAN
FARMASIS KLINIK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Eunike
038114107
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2007
Persetujuan Skripsi
PERSEPSI DAN HARAPAN DOKTER UMUM RUMAH SAKIT SWASTA DI
KOTA YOGYAKARTA TERHADAP PERKEMBANGAN PERAN FARMASIS KLINIK
Disusun oleh :
Eunike
NIM : 03114107
Telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama
Tanggal : 23 April 2007
ii
iii
PERSEMBAHAN
One life to live for Christ my Lord, One life to do my part,
One life in which to give my all With fervency of heart.
Brandt
In everything you do, put God first and He will direct You and crown your
efforts with success. Proverbs 3:4
Be a good courage, and He shall strengthen your heart, all ye that hope in the LORD. Psalm 31:24
Kupersembahkan karya ini kepada : My Savior, TUHAN YESUS KRISTUS
Mamaku yang tercinta Keluargaku di Magelang yang kusayangi
Sahabat-sahabatku Serta Almamaterku
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 April 2007
Penulis
Eunike
v
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan ucapan syukur penulis persembahkan ke hadirat Tuhan
Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan
skripsi yang berjudul “Persepsi dan Harapan Dokter Umum Rumah Sakit Swasta di
Kota Yogyakarta Terhadap Perkembangan Peran Farmasis Klinik” dapat
terselesaikan dengan baik
Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Rumah Sakit P.K.U. Muhamadiyah, Rumah Sakit Panti Rapih dan Rumah Sakit
Bethesda yang telah memberikan ijin dan tampat sehingga penelitian ini dapat
dilakukan.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama persiapan usulan penelitian,
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. dan Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku Dosen
Penguji yang telah memberi masukan demi peningkatan hasil karya tulis ini.
5. Dokter-dokter Umum yang berpraktek di Rumah Sakit P.K.U. Muhamadiyah,
Rumah Sakit Panti Rapih dan Rumah Sakit Bethesda yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
vi
6. Mama atas perhatian, dukungan, semangat, doa, dan cinta kasihnya yang sangat
besar.
7. Papa atas kasih sayangnya selama ini.
8. Keluarga di Magelang (Mak Pien, Ik Po, Ik Lanny, Ku Lewi, Ku Liang, Ku Kong
Hien, Kim Mella, Agnes, Yosua dan Raymond) atas semangat, dukungan, doa,
perhatian dan kasih sayang yang diberikan selama ini.
9. Renny, atas kasih sayang, dukungan, semangat, doa dan air mata, serta suka dan
duka yang dibagi bersama selama ini.
10. Teman-teman Komsel Magelang (Mas Yuno, Bram, Yosy, Andrew, Boas, My
Twins (Wurie), Cisca, Acheng, Monike, Dian, Yonia, Ike, Syela, Beetha, Po2,
Victor, David, Yusak, Yoseph, Erwin, Erwan, Adie, Kris, David) untuk, doa,
semangat, keceriaan dan kebersamaan selama ini.
11. Teman-teman kost ‘Dewi’ (Ratih, Selvi, Indah, Lia, Lanny, Yohana, Anink,
Mellissa, Chika, Novi, Cie Ricka, Cie Meta, Cie Listy, Cie Maria, Tice, dll)
untuk dukungan, doa, dukungan, keceriaan dan kebersamaan yang diberikan
kepada penulis.
12. Teman-teman GPdI Magelang dan SM Elshaddai (Cie Fera, Cie Yoke, Ko
Lhank, Ko Sand, Ko Ayiem dan keluarga, Mas Poer) atas dukungan dan kasih
sayangnya.
13. David atas bantuannya mengerjakan revisi dan Wurie atas bantuannya dalam
menerjemahkan abstract.
14. Teman-teman kost ‘Wulung’ (Paulus, Roy, David, Hendra, Sigit) buat keceriaan
dan kebersamaan selama ini.
vii
15. Diah Regziana atas dukungan, bantuan dan kebersamaan selama mengerjakan
skripsi ini dari awal sampai akhir.
16. Teman-teman Fakultas Farmasi USD, khususnya kelas C dan kelompok
praktikum E atas kekompakan dan keceriaan yang diberikan.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang juga telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi
perkembangan dunia kesehatan.
Yogyakarta, 23 April 2007
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ v
PRAKATA............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL.................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... xix
INTISARI............................................................................................................... xx
ABSTRACT ............................................................................................................. xxi
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1. Perumusan masalah.................................................................................... 4
2. Keaslian penelitian ..................................................................................... 4
3. Manfaat penelitian...................................................................................... 7
B. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
BAB II PENELAAH PUSTAKA
A. Farmasis dan Peran Farmasis ........................................................................... 9
B. Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 1197/Menkes/SK/X/2004........................ 14
ix
C. Pelayanan Farmasi Klinik ................................................................................ 23
D. Keterangan Empiris.......................................................................................... 33
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................................ 34
B. Definisi Operasional Penelitian ....................................................................... 34
C. Responden........................................................................................................ 35
D. Alat Penelitian.................................................................................................. 36
E. Tata Cara Penelitian ......................................................................................... 37
F. Kesulitan Penelitian ......................................................................................... 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Dokter Umum Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta Terhadap
Peran Farmasis Klinik ...................................................................................... 47
1. Persepsi responden terhadap ruang lingkup profesi farmasi..................... 47
2. Persepsi responden terhadap orientasi pelayanan farmasis........................ 48
3. Persepsi responden terhadap keikutsertaan farmasis dalam memberi
perhatian khusus terhadap kesejahteraan pasien ........................................ 49
4. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam memantau
penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan
.................................................................................................................... 51
5. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
menganalisis efektivitas biaya ................................................................... 52
6. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam
formularium obat........................................................................................ 53
x
7. Persepsi responden terhadap komunikasi farmasi dengan dokter dan
tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah
terapi yang diberikan pada pasien .............................................................. 55
8. Persepsi responden terhadap pendokumentasian kegiatan yang
dilakukan farmasis untuk evaluasi terhadap pelayanan kesehatan ............ 56
9. Persepsi responden terhadap keterlibatan langsung farmasis dalam
perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan
farmasi dan penggunaan obat ................................................................... 57
10. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam pemberian
informasi obat kepada tenaga kesehatan lain ............................................. 58
11. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam masalah
yang berkaitan dengan penggunaan obat (drug related problem) ............. 60
12. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertangung jawab dalam
pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs monitoring) ....... 61
13. Persepsi responden bahwa farmasis tidak harus bertanggung jawab
dalam penanganan pencampuran obat suntik............................................. 64
14. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam
penanganan nutrisi parenteral ................................................................... 65
15. Persepsi responden terhadap peran farmasis dalam penanganan obat
kanker atau sitostatika ................................................................................ 66
16. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam mengakses
penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam rekam medis untuk
memantau penggunaan obat yang rasional ................................................ 68
xi
17. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam membantu
menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan memberikan masukan
pada dokter dalam peresepan ................................................................... 69
18. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam
memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien
rawat jalan .................................................................................................. 71
19. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam pelayanan
penggunaan obat dapat membantu dokter dan tenaga kesehatan lain
dalam memaksimalkan proses terapi ......................................................... 73
B. Harapan Dokter Umum Terhadap Perkembangan Peran Farmasis Klinik di
Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta ........................................................ 74
1. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam
peresepan obat............................................................................................ 74
2. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium
bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan
terapi yang tepat bagi pasien ...................................................................... 76
3. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah
dipraktekkan oleh beberapa negara-negara maju....................................... 78
xii
4. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan
dapat menuliskan hasil assasement-nya di medical record ...................... 80
5. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan
dapat bekerjasama dengan dokter spesialis................................................ 82
6. Harapan responden terhadap keterlibatan farmasis secara langsung pada
pasien bersama dokter dan tenaga kesehatan lain akan dapat membantu
dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi
pasien ........................................................................................................ 84
C. Rangkuman Pembahasan ................................................................................. 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 88
B. Saran................................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90
LAMPIRAN.......................................................................................................... 93
BIOGRAFI PENULIS ......................................................................................... 102
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kuisioner ..................................................................................... 38
Tabel 2. Jumlah Farmasis Dan Dokter Umum Yang Terdaftar di Rumah
Sakit Swasta di Kota Yogyakarta................................................ 43
Tabel 3. Profil Responden......................................................................... 44
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Usia Responden........................................................................... 46
Gambar 2. Lama Praktek Responden............................................................ 47
Gambar 3. Persepsi responden terhadap ruang lingkup profesi Farmasi..... 47
Gambar 4. Persepsi responden terhadap orientasi pelayanan farmasis......... 48
Gambar 5. Persepsi responden terhadap keikutsertaan farmasis dalam
memberi perhatian khusus terhadap ksejahteraan pasien............ 50
Gambar 6. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap pasien
rawat jalan ................................................................................... 51
Gambar 7. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
menganalisis efektifitas biaya ..................................................... 52
Gambar 8. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam formularium obat.............................................................. 54
Gambar 9. Persepsi responden terhadap komunikasi farmasi dengan
dokter dan tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam
membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien............... 55
Gambar 10. Persepsi responden terhadap pendokumentasian kegiatan yang
dilakukan farmasis untuk evaluasi terhadap pelayanan
kesehatan..................................................................................... 57
xv
Gambar 11. Persepsi responden terhadap keterlibatan langsung farmasis
dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan
pelayanan farmasi dan penggunaan obat..................................... 58
Gambar 12. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
pemberian informasi obat kepada tenaga kesehatan lain ............ 59
Gambar 13. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis masalah
yang berkaitan dengan penggunaan obat (drug related
problem) ...................................................................................... 60
Gambar 14. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertangung jawab
dalam pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs
monitoring).................................................................................. 62
Gambar 15. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam penanganan pencampuran obat suntik.............................. 64
Gambar 16. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam penanganan nutrisi parenteral........................................... 66
Gambar 17. Persepsi responden terhadap peran farmasis dalam penanganan
obat kanker atau sitostatika ......................................................... 67
Gambar 18. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam
mengakses penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam
rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional.. 68
Gambar 19. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam
membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan
memberikan masukan pada dokter dalam peresepan .................. 70
xvi
Gambar 20. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap
maupun pasien rawat jalan .......................................................... 72
Gambar 21. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam
pelayanan penggunaan obat dapat membantu dokter dan tenaga
kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi................... 73
Gambar 22. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta
memberikan saran dalam peresepan obat.................................... 75
Gambar 23. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik
maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk
memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat bagi
pasien .......................................................................................... 76
Gambar 24. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter
seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara-negara
maju............................................................................................. 79
Gambar 25. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang
terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assasement-nya di
medical record ............................................................................ 81
xvii
Gambar 26. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang
spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis
..................................................................................................... 83
Gambar 27. Harapan responden terhadap keterlibatan farmasis secara
langsung pada pasien bersama dokter dan tenaga kesehatan lain
akan dapat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya
proses terapi yang tepat bagi pasien............................................ 85
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dari Rumah Sakit Bethesda ........................ 93
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian dari Rumah Sakit Panti Rapih .................... 94
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian dari Rumah Sakit P.K.U. Muhamadiyah.... 95
Lampiran 4. Kuisioner ..................................................................................... 96
Lampiran 10. Frekuensi jawaban kuisioner oleh responden ............................. 99
xix
INTISARI
Saat ini praktek kefarmasian di rumah sakit telah mengarah ke orientasi pasien. Hal ini bertujuan untuk memaksimalken efek terapi, meminimalkan resiko, dan meminimalkan biaya pengobatan. Berdasarkan kenyataan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dokter umum terhadap peran farmasis klinik di rumah sakit swasta di kota Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional dengan rancangan penelitian deskriptif. Bahan yang digunakan adalah kuisioner yang diisi oleh dokter umum yang berpraktek pada rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta (26 responden). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram batang.
Dari penelitian ini disimpulkan responden memiliki persepsi tentang peran farmasis klinik yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu: pelayanan farmasi rumah sakit yang berorientasi kepada pasien (100%) dan bertanggung jawab dalam pemantauan penggunaan obat (96%), namun responden tidak setuju farmasis menangani nutrisisi parenteral (69%). Dalam hal mengakses riwayat pengobatan pasien (50% tidak setuju dan 46% setuju. Responden memiliki harapan tentang keterlibatan farmasis klinik dalam menentukan obat sesuai diagnosis dokter (54%) dan visitasi (81%), namun sebanyak 50% dan 69% responden, tidak setuju farmasis klinik mendampingi dokter dan memberikan saran peresepan obat serta mendiskusikan hasil pemeriksaan dengan dokter untuk menentukan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasien, namun di sisi lain 50% dan 31% setuju.
Kata kunci : persepsi, harapan, dokter umum, farmasis klinik
xx
ABSTRACT
Nowadays, pharmaceutical practice in hospitals are directed to the patient oriented. It is purposed to maximize the therapy effects, minimize the risks, and also minimize the therapy costs. Based on those facts, the research is conducted to know the perception of general practitioner to the clinical pharmacist roles in the private hospital in Yogyakarta.
The research is an observational character with a descriptive research plan. The material used is questioners that filled by the general practitioners from private hospitals in Yogyakarta (26 respondent) who willingly to fill the questioners. The achieved data analyzed by descriptive statistics in the form of percentage and presented in the form of table and (stem) diagram.
According to the research, it can be concluded the respondents perceptions about the clinical pharmacist roles that are appropriate haved conform to the Minister of Public Health decree No. 1197/Menkes/SK/X/2004 about the hospitals pharmacy services as patient oriented services (100%) and responsible in drug related problem (96%). However, respondents disagreed on the hospital pharmacists involvement in the handling of parenteral nutrition (69%) and in access patient therapy (50%), but in the other side 46% agreed. Respondents have expectations to the involvement of clinical pharmacists to determine the appropriate medicine suitable to the doctor’s diagnosis (54%) and visitation (81%). However, 50% and 69% respondent disagree on the clinical pharmacist accompany the doctor during the examination and give advices on the prescription and also to discuss the examination result together with the doctor to determine the accurate diagnosis and therapy for the patient, but in the other side 50% and 31% agreed. Key words: perception, expectation, general practitioner, clinical pharmacist
xxi
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pada saat ini, praktek profesi farmasis telah berubah dari orientasi produk
ke orientasi pasien. Pelayanan kefarmasian menuntut praktek manajemen terapi dan
konseling bagi pasien. Secara umum, farmasis harus terlibat bekerjasama dengan
dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam proses terapi seorang pasien dari aspek
pharmaceutical care (Matsumoto, Shimizu, and Fukuoka, 2003).
Cakupan praktek kefarmasian semakin meluas dari waktu ke waktu. Pada
tahun 1999, di 24 negara bagian di Amerika menyetujui suatu bentuk kolaborasi
praktek antara farmasis dan dokter, yaitu pada adanya delegasi penatalaksanaan
pasien menjadi tanggung jawab farmasis, meliputi terapi ulangan yang telah disetujui
oleh dokter sampai ke modifikasi atau inisiasi regimen terapi bagi pasien (Smith, Ray
and Shannon, 2002).
Perubahan pola pelayanan kefarmasian ini di negara-negara maju telah
lama berlangsung sedangkan di Indonesia masih sangat tertinggal bahkan sering
masih dalam tingkat wacana. Oleh karena itu sangat diharapkan profesi farmasis
yang memang bekerja dalam pelayanan kefarmasian (farmasi rumah sakit dan
farmasi komunitas) harus berani keluar dari keterkurungannya memasuki realitas
baru dalam pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004a).
Praktik kefarmasian di rumah sakit mengalami pergeseran secara bertahap.
Pergeseran tersebut meliputi paradigma teknis yang menekankan pada produk obat
1
2
dan peracikan, berubah menjadi pendekatan yang lebih berorientasi kepada
pelayanan pasien dan penanganan penyakit secara komprehensif. Salah satu
kebijakan pelayanan kesehatan menyangkut kebijakan penggunaan obat yang
rasional yaitu: tepat kualitas, tepat indikasi, tepat dosis, tepat penderita, dan tepat
harga. Termasuk juga komunikasi dan informasi terhadap pasien tentang penggunaan
obat yang efektif dan efisien dan hubungan dokter pembuat resep dan apotik/depo
yang menyerahkan obat. Menjawab tantangan ini profesi farmasi dalam pelayanan
kefarmasian di rumah sakit harus bekerja keras untuk meningkatkan profesionalisme.
Hal ini untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang
terhadap pelayanan kefarmasian yang bermutu (Yusmanita, 2002).
Proses pelayanan kesehatan di rumah sakit melibatkan kerjasama antara
farmasis dengan petugas kesehatan lain khususnya dokter. Dalam hal ini dokter
sebagai prescriber, yaitu orang yang berwenang untuk menuliskan resep untuk
pasien. Melalui peresepan inilah terjadi kerjasama antara dokter dengan farmasis
sebagai suatu health care team.
Proses kerjasama antara dokter dan farmasis ini merupakan proses yang
harus ditingkatkan terus menerus agar penggunaan obat yang menjadi tanggung
jawab bersama antar farmasis, dokter dan juga tenaga kesehatan lain memperoleh
keluaran terapi yang optimal. Farmasis memberikan jaminan bahwa obat yang
diberikan adalah obat yang benar dan diperoleh maupun diberikan dengan benar
(Anonim, 2004c).
Peran Farmasis klinik sebagai profesi yang menjalankan praktek pelayanan
kefarmasian di rumah sakit membutuhkan penerimaan profesi kesehatan lain
3
khususnya dokter sebagai suatu health care team. Dengan adanya penerimaan yang
baik dari profesi kesehatan lain diharapkan dapat terjadi kerjasama yang baik dalam
suatu health care team. Dengan adanya kerjasama dan komunikasi yang baik antara
farmasis dengan dokter dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian.
Perkembangan pelayanan farmasi klinik di Kota Yogyakarta masih cukup
lambat karena rumah sakit di Kota Yogyakarta sebagian besar belum melaksanakan
pelayanan farmasi klinik. Pada rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta yang telah
mulai melaksanakan pelayanan farmasi klinik (R.S. Bethesda, R.S. Panti Rapih dan
R.S. P.K.U. Muhamadiyah), belum semua aspek pelayanan farmasi klinik dilakukan.
Pelayanan farmasi klinik masih terbatas pada pengkajian resep, dispensing dan
pelayanan informasi obat oleh farmasis. Pihak rumah sakit juga sudah menempatkan
farmasis di bangsal-bangsal pada jam-jam tertentu. Diantara ketiga rumah sakit
tersebut ada juga farmasis yang mulai terlibat pada penanganan obat kanker maupun
obat suntik. Namun pemantauan penggunaan obat yang rasional belum maksimal dan
efektif dijalankan. Komunikasi antara farmasis dan staf medis dalam pengkajian
resep masih belum berjalan secara maksimal. Visitasi oleh farmasis pada pasien
rawat inap juga belum aktif dijalankan. Pemantauan kadar obat terapetik juga belum
dilaksanakan di rumah sakit terebut.
Berdasarkan kenyataan di atas maka perlu diidentifikasi seperti apa persepsi
dan harapan tenaga kesehatan lain, dalam hal ini dokter, tentang praktek farmasis
klinik sehingga praktek profesi farmasis klinik yang sudah ada saat ini dapat
dikembangkan dan proses kerjasama antara farmasis dan dokter dapat terjalin lebih
dinamis demi terjaminnya pelayanan kesehatan yang lebih baik.
4
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka terdapat
permasalahan yang akan diungkap melalui penelitian ini, yaitu:
a. seperti apa persepsi dokter umum rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta
terhadap peran farmasis klinik mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan
RI nomor 1197 tahun 2004 mengenai standar pelayanan farmasi di rumah
sakit khususnya pada pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat
kesehatan?
b. seperti apa harapan dokter umum rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta
terhadap perkembangan farmasis klinik di masa mendatang dalam pelayanan
kefarmasian?
2. Keaslian penelitian
Penelitian tentang Persepsi Dokter Umum terhadap Farmasi Klinik di
Rumah Sakit di Kota Yogyakarta pernah dilakukan oleh Savitri (2005) yang
menitikberatkan pada bahasan mengenai sejauh mana pengenalan dan penilaian
dokter terhadap profesi farmasis klinik serta sikap dan saran dokter terhadap
profesi farmasis klinik secara profesional. Pada penelitian ini digunakan acuan
Standar Kompetensi Farmasi di Indonesia yang disusun oleh ISFI. Lingkup
penelitian ini adalah seluruh rumah sakit baik swasta maupun pemerintah yang
ada di Kota Yogyakarta.
Nurdiati (2005) juga pernah melakukan penelitian tentang Profesi
Farmasis di Rumah Sakit dalam Perspektif Dokter Spesialis di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian ini menitikberatkan pada persepsi dokter spesialis
5
mengenai profesi farmasis di rumah sakit. Acuan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah literatur dari WHO mengenai pelayanan kefarmasian dan
Standar Kompetensi Farmasi di Indonesia yang disusun oleh ISFI. Lingkup
penelitian ini adalah seluruh rumah sakit baik swasta maupun pemerintah yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perbedaan penelitian ini dibanding penelitian yang dilakukan oleh
Savitri (2005) dan Nurdiati (2005) adalah penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh informasi mengenai persepsi dokter umum tentang peran farmasis
klinik di rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta. Penelitian ini menitikberatkan
pada bahasan mengenai peran farmasis klinik sebagai Health Care Team sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 dan untuk mengetahui harapan dokter umum di rumah
sakit swasta di Kota Yogyakarta mengenai perkembangan peran farmasis klinik
di masa mendatang dalam pelayanan kefarmasian. Perbedaan yang mendasar
pada penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya adalah acuan yang
digunakan. Pada penelitian ini digunakan acuan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004.
Perbedaan lain penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya adalah
pada penelitian ini rumah sakit yang digunakan adalah rumah sakit swasta di
Kota Yogyakarta yang memiliki minimal 2 farmasis dan telah melakukan praktek
pelayanan farmasi klinik. Pada penelitian Savitri (2005) rumah sakit yang
digunakan tidak memiliki kriteria jumlah farmasis minimal 2. Pada penelitian
Savitri (2005) menggunakan seluruh rumah sakit baik swasta maupun pemerintah
6
di Kota Yogyakarta tanpa kriteria telah melakukan pelayanan farmasi klinik.
Penelitian yang dilakukan Nurdiati (2005) rumah sakit yang digunakan adalah
seluruh rumah sakit baik swasta maupun pemerintah yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta tanpa kriteria minimal memiliki dua farmasis dan belum
melakukan pelayanan farmasi klinik, sedangkan pada penelitian ini dilakukan
pada rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta yang memiliki minimal 2 farmasis
dan telah melakukan pelayanan farmasi klinik.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Wijayanti (2005)
mengenai Persepsi Dokter tentang Peran Apoteker di Apotek di Kota Magelang.
Penelitian ini menitikberatkan pada tanggapan dokter mengenai peran apoteker di
Apotek dewasa ini. Perbedaannya adalah penelitian Wijayanti (2005) berfokus
pada peran farmasis di Apotek sedangkan penelitian yang dilakukan ini berfokus
pada peran farmasis klinik di rumah sakit.
Muijrers (2003) juga melakukan penelitian yang berjudul: “Changing
relationships: attitudes and opinions of general practitioners and pharmacists
regarding the role of the community pharmacist” yang menitikberatkan pada
persamaan dan perbedaan pendapat antara dokter umum dengan farmasis
mengenai peran farmasis komunitas.
Perbedaan penelitian ini dibanding penelitian yang dilakukan oleh
Wijayanti (2005) dan Muijrers (2003) adalah penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh informasi mengenai persepsi dokter umum tentang peran farmasis
klinik di rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta. Penelitian sebelumnya
menitikberatkan pada persepsi dokter mengenai peran farmasis komunitas.
7
Muijrers (2003) membandingkan persamaan dan perbedaan pendapat antara
dokter umum dan farmasis, sedangkan penelitian ini hanya melihat dari sudut
pandang atau persepsi dokter umum tanpa membandingkan dengan persepsi
farmasis terhadap peran farmasis klinik di rumah sakit.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran persepsi dan
harapan dokter umum rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta mengenai
perkembangan peran farmasis klinik.
b. Manfaat praktis
1) Penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk mengembangkan standar
praktek kefarmasian bagi farmasis klinik baik oleh ISFI ataupun
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2) Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan self-assessment bagi
farmasis klinik untuk peningkatan kinerja di rumah sakit.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui persepsi dan harapan dokter umum rumah sakit swasta di
Kota Yogyakarta terhadap peran farmasis klinik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui persepsi dokter umum rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta
terhadap peran farmasis klinik mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan
8
RI nomor 1197 tahun 2004 mengenai standar pelayanan farmasi di rumah
sakit khususnya pada pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat
kesehatan.
b. Mengetahui harapan dokter umum rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta
terhadap perkembangan farmasis klinik dalam pelayanan kefarmasian.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Farmasis dan Peran Farmasis
Farmasis (Apoteker) adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berhak untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
di Indonesia sebagai Farmasis (Apoteker) (Anonim, 1992).
Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia lingkup tanggung jawab
farmasis meliputi:
1. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan yang
dibutuhkan masyarakat
2. menjamin mutu keamanan obat yang diberikan dan memperhatikan hak azasi dan
keunikan setiap pribadi
3. menjamin setiap orang atau masyarakat yang menggunakan obat atau alat
kesehatan yang digunakan demi tercapainya kepatuhan penggunaan
4. memiliki tanggung jawab bersama dengan tenaga kesehatan lain dan pasien
dalam menghasilkan keluaran terapi yang optimal.
Lingkup hak dari pelayanan kefarmasian menurut Standar Kompetensi
Farmasis Indonesia meliputi:
1. hak untuk mendapatkan posisi kemitraan dengan profesi tenaga kesehatan lain
2. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum pada saat melaksanakan praktek
sesuai dengan standar yang ditetapkan
9
10
3. hak untuk mendapatkan jasa profesi sesuai dengan kewajaran jasa profesional
kesehatan
4. hak untuk berbicara dalam rangka menegakkan keamanan masyarakat dalam
aspek sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan.
Peran farmasis yang dikemukakan oleh WHO yang dikenal dengan istilah
“Seven Star Pharmacist” meliputi:
1. care giver
Farmasis sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan kinik, analitik,
teknik, sesuai peraturan perundang-undangan (Anonim, 2004c).
2. decision-maker
Farmasis mendasarkan pekerjaanya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang
efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber
daya manusia obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain
(Anonim, 2004c).
3. comunicator
Farmasis harus berada pada posisi ideal antara dokter dan pasien, karena itu
farmasis haruslah dikenal dan percaya diri saat berinteraksi dengan profesi
kesehatan lain dan publik (Anonim, 1998).
4. leader
Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengolah hasil
keputusan (Anonim 2004c).
11
5. manager
Farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran)
dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim
kesehatan (Anonim, 2004c).
6. life-long learner
Farmasis harus terus belajar sepanjang pengabdian profesinya (Anonim, 1998).
7. teacher
Farmasis bertanggung jawab untuk mendidik dan melatih farmasis generasi
mendatang (Anonim, 2004c).
Konsep seven star menjadi gambaran profil masa depan farmasis
sedangkan filosofi farmasis yaitu pharmaceutical care secara luas identik dengan
good pharmacy practice, sehingga dapat dikatakan bahwa good pharmacy practice
adalah jalan untuk mengimplementasikan pharmaceutical care (Anonim, 2004c).
Empat pilar yang disyaratkan WHO untuk pelaksanaan good pharmacy
practice adalah :
1. farmasis harus peduli terhadap kesejahteraan pasien dalam segala situasi dan
kondisi
2. kegiatan inti farmasi adalah menyediakan obat, produk pelayanan kesehatan lain,
menjamin kualitas, informasi dan saran yang memadai kepada pasien dan
memonitor penggunaan obat yang digunakan pasien
3. bagian integral farmasis adalah memberikan kontribusi dalam peningkatan
peresepan yang rasional dan ekonomis, serta penggunaan obat yang tepat.
12
4. tujuan tiap pelayanan farmasi yang dilakukan harus sesuai untuk setiap individu,
didefinisikan dengan jelas, dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua
pihak yang terkait.
(Anonim, 2004c)
Empat elemen penting yang digariskan oleh WHO dalam good pharmacy
practice adalah :
1. kegiatan yang berhubungan dengan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. penyediaan dan penggunaan obat resep dokter dan produk pelayanan kesehatan
lain.
3. Pengobatan mandiri
4. mempengaruhi peresepan dan penggunaan obat.
(Anonim, 2004c)
Empat elemen tambahan yang disarankan meliputi :
1. farmasis bekerjasama dengan tenaga kesehatan masyarakat berupaya mencegah
penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang salah yang terjadi di masyarakat
2. menilai produk obat dan produk pelayanan kesehatan lain secara profesional
3. penyebarluasan informasi obat dan berbagai aspek pelayanan kesehatan yang
telah dievaluasi
4. terlibat dalam semua tahap-tahap pelaksanaan uji klinis.
(Anonim, 2004c)
Menurut Undang-Undang no. 7 tahun 1963 tentang farmasi, pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan dan penyerahan perbekalan farmasi.
13
Sistem praktek kefarmasisn dapat diartikan sebagai bagian integral dari
sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi
jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya penyelenggaraan
pekerjaan kafarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakitbagi perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat (Anonim, 2004c).
Menurut keputusan Menteri Kesehatan R.I. no. 1027 tahun 2004 pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab
langsung profesi farmasis dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Pada Manajemen Pembangunan Kesehatan peran farmasis lebih
berhubungan dengan kepemimpinan dan manajemen kesehatan serta Peraturan
Perundang-undangan yang mendukung pembangunan kesehatan. Siapapun dan
dimanapun orang/pimpinan organisasi profesi berbicara dalam masalah kefarmasian,
intinya tidak lain adalah pelaksanaan “Pharmaceutical Care” (PC).
“Pharmaceutical Care” ada yang mengartikan “Asuhan Kefarmasian”, bisa juga
“Perhatian Kefarmasian” atau “Kepedulian Kefarmasian”. Pharmaceutical Care
adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak
tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Azwar, 2004).
Definisi dari “Kepedulian Farmasi” atau“Pharmaceutical Care” menurut
Hepler (1990) yaitu: “Pharmaceutical care is the responsible provision of drug
therapy for the purpose of achieving definite outcomes which improve the patients
Quality of Life”. Dan diterjemahkan oleh Siregar (2005) bahwa definisi
Pharmaceutical Care adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung jawab
14
yang berkaitan dengan obat, dengan maksud pencapaian hasil yang pasti dan
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Definisi dari Hepler C. D. dan Strand L. M.
inilah yang kemudian digunakan oleh ASHP (American Society of Hospital
Pharmacist Inc.)
Menurut Cipolle (1992) “Pharmaceutical Care is that component of
pharmacy practice which entails the direct interaction of the pharmacist with the
pateint for the purpose of caring for that patient’s drug-related needs”
(Pharmaceutical Care merupakan komponen praktek kefarmasian yang menuntut
adanya hubungan langsung antara farmasis dengan pasien yang bertujuan untuk
memperhatikan kebutuhan pasien yang berhubungan dengan obat).
Pelaksanaan kepedulian farmasi menunjukkan kematangan farmasi sebagai
suatu profesi klinik dan merupakan suatu perkembangan yang wajar dari banyak
kegiatan farmasi klinik yang matang dari farmasis (Siregar, 2005).
B. Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik
yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004, tujuan pelayanan farmasi adalah :
15
1. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia
2. menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi
3. melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat
4. menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
5. melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
6. mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda.
Tugas pokok pelayanan farmasi adalah :
1. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
2. menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi
3. melaksanakan KIE
4. memberikan pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi
5. melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
6. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi
7. mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi
8. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
rumah sakit.
16
Dalam prakteknya fungsi pelayanan farmasi di rumah sakit dibagi menjadi
dua, yaitu :
1. Pengelolaan Perbekalan farmasi, meliputi :
a. memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit
b. merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal
c. mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang
telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
d. memproduksi perbekalan farmasi untuk memenui kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit
e. menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku
f. menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian
g. mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah
sakit
2. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan, meliputi :
a. mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien
b. mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
alat kesehatan
c. mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan
d. memantau efektivitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan
e. memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga
17
f. memberi konseling kepada pasien/keluarga
g. melakukan pencampuran obat suntik
h. melakukan penyiapan nutrisi parenteral
i. melakukan penanganan obat kanker
j. melakukan penentuan kadar obat dalam darah
k. melakukan pencatatan setiap kegiatan
l. melaporkan setiap kegiatan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 administrasi dan pengelolaan pelayanan di rumah sakit
memerlukan adanya komunikasi yang tetap dengan dokter dan paramedis serta selalu
berpartisipasi dalam rapat yang membahas masalah perawatan atau rapat antar
bagian atau konferensi dengan pihak lain yang mempunyai relevansi dengan farmasi.
Kepala instalasi farmasi juga harus terlibat langsung dalam perumusan segala
keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
Oleh karena itu dalam pengelolaan pelayanan farmasi di rumah sakit perlu
dibentuk Panitia Farmasi dan Terapi. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi
yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi,
sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang
ada di rumah sakit dan farmasis wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga
kesehatan lainnya.
Tujuan dari Panitia Farmasi dan Terapi adalah menerbitkan kebijakan-
kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya; dan
18
melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang
berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.
Ruang lingkup Panitia Farmasi dan Terapi sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu :
1. mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya, pemilihan obat
untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara
subyektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus
meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama
2. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak
produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis
3. menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk
dalam kategori khusus
4. membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-
kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit
sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional
5. melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji
medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus-menerus penggunaan obat secara
rasional
6. mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat
7. menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis
dan perawat.
19
Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi adalah:
1. memberikan rekomendasi pada Pimpinan Rumah Sakit untuk mencapai budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional
2. mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antiboitik dan lain-lain
3. melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait
4. melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan
umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.
Dalam hal ini peran Farmasis dalam Panitia Farmasi dan Terapi diantaranya
adalah:
1. menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan
antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain
2. membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia
Farmasi dan Terapi
3. melaksanakan pendidikan dan pelatihan
4. melaksanakan pengkajian penggunaan obat.
Pada kebijakan dan prosedur pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus
mencantumkan hal-hal berikut, diantaranya: layanan perbekalan farmasi untuk pasien
rawat inap, rawat jalan, karyawan dan pasien tidak mampu; pengelolaan perbekalan
farmasi yang meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, pembuatan/produksi,
penyimpanan, pendistribusian dan penyerahan; pencatatan pelaporan dan
pengarsipan mengenai pemakaian obat dan efek samping obat bagi pasien rawat
20
inap, rawat jalan serta pencatatan penggunaan obat yang salah dan atau dikeluhkan
pasien; pemberian konseling atau informasi oleh apoteker kepada pasien maupun
keluarga pasien dalam hal penggunaan dan penyimpanan obat serta berbagai aspek
pengetahuan tentang obat demi meningkatkan derajat kepatuhan dalam penggunaan
obat; pemantauan terapi obat (PTO) dan pengkajian penggunaaan obat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004, kebijakan dan prosedur pelayanan kefarmasian di rumah
sakit meliputi:
1. pengelolaan perbekalan farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan dimulai
dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta
evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
Tujuan dari pengelolaan perbekalan farmasi adalah untuk mengelola
perbekalan farmasi yang efektif dan efisien; menerapkan farmako ekonomi dalam
pelayanan; meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi; mewujudkan
Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna; serta melaksanakan
pengendalian mutu pelayanan.
2. pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan
a. pengkajian resep
Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi
persyaratan administrasi (nama, umur, jenis kelamin dan berat badan; nama,
nomor ijin, paraf dokter; tanggal resep, ruangan/unit asal resep), persyaratan
21
farmasis (bentuk dan kekuatan sediaan; dosis dan jumlah obat; stabilitas dan
ketersediaan; aturan, cara dan teknik pengunaan), dan persyaratan klinik
(ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; duplikasi pengobatan;
alergi, interaksi dan efek samping obat kontraindikasi; efek aditif)
b. dispensing
Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan
obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem
dokumentasi.
Tujuan dari dispensing adalah untuk mendapatkan dosis yang tepat
dan aman; menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima
makanan secara oral atau emperal; menyediakan obat kanker secara efektif,
efisien dan bermutu, menurunkan total biaya obat.
c. pemantauan dan pelaporan efek samping obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.
Tujuannya adalah untuk menemukan ESO (Efek Samping Obat)
sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenali
sekali, yang baru saja ditemukan; mengenal semua faktor yang mungkin
dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya efek samping obat atau
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya efek samping obat.
22
d. pelayanan informasi obat
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh farmasis untuk
memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,
farmasis, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan pelayanan informasi obat adalah menyediakan informasi
mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah
sakit; menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat, terutama bagi Panitia/Komite Farmasi dan Terapi;
meningkatkan profesionalisme farmasis; menunjang terapi obat yang
rasional.
e. konseling
Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan
penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.
Tujuan dari konseling ini adalah memberikan pemahaman yang
benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama
obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan obat dan penggunaan obat-obat lain.
f. pemantauan kadar obat dalam darah
Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.
23
Tujuan pemantauan kadar obat dalam darah adalah mengetahui
kadar obat dalam darah, memberikan rekomendasi kepada dokter yang
merawat.
g. ronde/visite pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim
dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan visite pasien adalah untuk pemilihan obat, menerapkan
secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien,
bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
h. pengkajian penggunaan obat
Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
Tujuan pengkajian penggunaan obat adalah mendapatkan gambaran
keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter
tertentu, membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan
kesehatan/dokter satu dengan yang lain, penilaian berkala atas penggunaan
obat spesifik, menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
C. Pelayanan Farmasi Klinik
Praktik kefarmasian di rumah sakit mengalami pergeseran secara bertahap.
Pergeseran tersebut meliputi paradigma teknis yang menekankan pada produk obat
dan peracikan, berubah menjadi pendekatan yang lebih berorientasi kepada
24
pelayanan pasien dan penanganan penyakit secara komprehensif. Salah satu
kebijakan pelayanan kesehatan menyangkut kebijakan penggunaan obat yang
rasional yaitu: tepat kualitas, tepat indikasi, tepat dosis, tepat penderita, dan tepat
harga. Termasuk juga komunikasi dan informasi terhadap pasien tentang penggunaan
obat yang efektif dan efisien dan hubungan dokter pembuat resep dan apotik/depo
yang menyerahkan obat. Menjawab tantangan ini profesi farmasi dalam pelayanan
kefarmasian di rumah sakit harus bekerja keras untuk meningkatkan profesionalisme.
Hal ini untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang
terhadap pelayanan kefarmasian yang bermutu (Yusmainita, 2002a).
Pelayanan farmasi rumah sakit saat ini terdiri atas pelayanan teknik dan
non-klinik dan pelayanan farmasi klinik (Clinical Pharmacy).
1. Pelayanan Teknik dan Non-klinik
Pelayanan teknik dan non-klinik yaitu meliputi pembuatan
(manufacturing) kontrol kualitas peracikan untuk pasien rawat inap dan rawat
jalan, pengadaan, pengolahan dan distribusi obat serta alat kesehatan, dan lain-
lain (Aslam, 2003).
2. Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit (Clinical Pharmacy Services)
Istilah farmasi klinik digunakan untuk mendeskripsikan praktek
kefarmasian yang berorientasi pada pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi
kepada produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan
pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat
dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual (Aslam, 2003).
25
Istilah farmasis klinik dapat digunakan untuk mendiskripsikan seorang
farmasis yang pekerjaan utamanya berinteraksi dengan tenaga kesehatan profesional
lainnya (khususnya dokter dan perawat), mewawancara dan menilai kesesuaian
kondisi kesehatan pasien terhadap pengobatannya, membuat rekomendasi terapetik
yang spesifik, memonitor tanggapan pasien terhadap terapi obat, menjaga
keselamatan pasien (khususnya terhadap pengaruh efek obat yang tak dikehendaki),
mengkonsultasi pasien, dan menyediakan informasi obat (Aslam, 2003).
Farmasi klinik menurut Clinical Resource and Audit Group (1996)
didefinisikan sebagai ”A discipline concered with the application of pharmaceutical
expertise to help maximise drug efficacy and minimise drug toxicity in individual
patient”, yang dalam menjalankan praktek pelayananannya memerlukan
pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam memberikan pelayanan kefarmasian
pada pasien. Sedangkan menurut Hepler dan Strand (1990) Pharmaceutical Care
didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab pelaksanaan terapi obat yang bertujuan
memberi hasil akhir yang jelas dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kemudian pada tahun 1998 definisi Pharmaceutical Care ini
disempurnakan oleh Cipolle, Strand dan Morley, menjadi: Suatu praktek dimana
seorang profesi bertanggung jawab pada kebutuhan terapi obat pasien. Definisi ini
juga dipergunakan sebagai acuan terhadap pelayanan pasien yang dihasilkan oleh
praktek farmasi klinik (Aslam, 2003).
Filosofi farmasis yaitu pharmaceutical care secara luas identik dengan
good pharmacy practice, sehingga dapat dikatakan bahwa good pharmacy practice
adalah jalan untuk mengimplementasikan pharmaceutical care (Anonim, 2004c).
26
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari good pharmacy practice di rumah
sakit, jadi dapat dikatakan pula pelayanan farmasi klinik adalah jalan untuk
mengimplementasikan pharmaceutical care.
Farmasi klinik juga dapat didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan, bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan
sesuai pada pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi
terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus
(spesialisasi) dan atau pelatihan terstruktur tertentu. Keahlian ini mensyaratkan
penggunaan pertimbangan dalam pengumpulan dan intepretasi data pasien, serta
keterlibatan khusus pasien dan interaksi langsung antar profesional (Roy, 1998).
Jadi, pelayanan farmasi klinik adalah penerapan pengetahuan obat untuk
kepentingan pasien, dengan memperhatikan kondisi penyakit pasien dan
kebutuhannya untuk mengerti terapi obatnya. Pelayanan ini memerlukan hubungan
profesional dekat antara farmasis, pasien, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain.
Dengan kata lain, farmasi klinik adalah pelayanan berorientasi pasien, berorientasi
penyakit, berorientasi obat dan dalam praktik berorientasi antar disiplin (Siregar,
2005).
Pelayanan farmasi klinik sebagai bagian dari perawatan penderita yang
dilakukan oleh farmasis secara berinteraksi dengan penderita dan atau profesional
kesehatan lain, yang secara langsung terlibat dalam perawatan penderita(Siregar,
2005).
Tujuan utama pelayanan farmasi klinik adalah meningkatkan keuntungan
terap obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan
27
obat. Karena itu misi farmasi klinik adalah meningkatkan dan memastikan
kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat (Siregar, 2005).
Peranan farmasis pada masa mendatang tidak lagi cukup dengan mengelola
obat sebagai barang, melainkan harus pula ikut berperan aktif dalam proses sakit dan
sembuh pasien, melalui kompetisi profesional dalam proses kefarmasian
(Yusmainita, 2002a).
Hepler dan Strand (1990) dalam tulisannya yang berjudul "Opportunities
and Responsibilities in Pharmaceutical Care" mendiskusikan manfaat profesi
farmasis untuk menurunkan Drug Related Morbidity and Mortality (DRMM).
Mereka mengemukakan bahwa ada 3 periode perkembangan farmasi,
yaitu:tradisional, dimana farmasis menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk
Transisi, pelayanan farmasi klinik dikembangkan (inilah yang sedang dikembangkan
rumah sakit di Indonesia).
Adapun yang menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
farmasi klinik di rumah sakit Indonesia yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.436/MenKes/SK/VI/1993 tentang: Standar Pelayanan Rumah Sakit dan
Standar Pelayanan Medis.
Secara garis besar ‘ruang lingkup’ fungsi farmasi klinik adalah:
1. pemantauan terapi obat
2. kesiapan untuk membantu selepas jam kerja “siap dipanggil” (on-call)
3. konsultan keliling (mengunjungi pasien)
4. berpartisipasi dalam Komite Farmasi dan Terapi
28
5. ikut aktif dalam Penyusunan Formularium dalam rangka: merasionalkan
penggunaan obat, memajukan peresepan yang efektif dari segi biaya, mengatur
tambahan obat baru dan merumuskan pedoman bagi dokter
6. memberikan informasi tentang pemakainan obat secara finansial
7. ikut menyusun kebijakan penulisan resep
8. membuat kajian obat-obat baru
9. ikut aktif dalam pengendalian infeksi melalui: pemberian informasi obat,
pemantauan penggunaan, dan penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotika
10. pemberian informasi obat
11. audit medis dan audit klinik
12. uji coba klinik
13. tim nutrisi parenteral total
14. tim kemoterapi
15. analgesia yang dikendalikan pasien
16. pemantauan kadar obat terapetik (Teraupetic Drug Monitoring)
17. pelayanan antikoagulan
18. perawatan dan pengobatan luka
19. pencatatan riwayat pengobatan pasien
20. pengembangan alur pelayanan pengobatan sendiri
21. konseling pasien (untuk menigkatkan derajat kesehatan serta meningkatkan
pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam pemakaian obat)
22. pemantauan efek samping obat
29
23. promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit dan
perlindungan kesehatan.
(Aslam, 2003)
Filosofi pelayanan farmasi klinik menurut Prof. Nicholas Barber (cit.,
Aslam 2003), adalah bertujuan untuk memenuhi 4 hal yang berkaitan dengan proses
peresepan yang baik, yaitu: memaksimalkan efek terapetik, meminimalkan resiko,
meminimalkan biaya dan menghormati pilihan pasien. Memaksimalkan efek
terapetik meliputi efektivitas terapi, yaitu ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan
obat dan pengaturan dosis yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta mengevaluasi
terapi. Tujuan kedua yaitu meminimalkan resiko atau ketidakamanan pemakaian obat
meliputi efek samping, dosis interaksi, dan kontraindikasi. Sedang meminimalkan
biaya adalah memastikan apakah jenis obat yang dipilih paling efektif dalm hal biaya
maupun rasional, apakah terjangkau oleh kemampuan pasien maupun rumah sakit,
dan jika tidak alternatif jenis obat apa yang memberikan manfaat dan keamanan yang
sama. Dan yang terakhir adalah menghormati pilihan pasien, karena keterlibatan
pasien dalam proses pengobatan akan menentukan keberhasilan terapi. Oleh karena
itu hak pasien harus diakui dan diterima semua pihak.
Dalam proses peresepan, farmasis dapat berperan dalam tiga hal yaitu:
1. sebelum proses peresepan
Melalui pembuatan dan pemberian pengaruh terhadap kebijakan dalam
memutuskan hal yang tepat untuk dikerjakan. Hal memerlukan masukan dari
30
farmasis klinik dalam penyusunan formularium, kebijakan peresepan,
perdoman pengobatan, buletin informasi obat, evaluasi obat dan sebagainya.
2. selama proses peresepan
Mempengaruhi penulis resep dengan mempengaruhi pengetahuannya, sikap
dan prioritasnya dalam menulis resep. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi
masukan tentang praktek peresepannya dibandingkan dengan sejawatnya.
Sebagai alternatif, farmasis dapat berperan dalam proses pengambilan
keputusan dengan hadir pada saat penulisan resep atau menjadi anggota tim
multidisiplin, misalnya tim nutrisi parenteral, tim kemoterapi sitotoksik, tim
pemantauan terapi obat dan sebagainya.
3. sesudah proses peresepan
Melibatkan diri dalam mengkoreksi atau menyempurnakan kualitas peresepan.
Hal ini dapat terjadi sesaat setelah resep ditulis atau sebagai bagian proses
penatalaksanaan obat secara rutin. Farmasis dapat mengambil peran bermakna
dalam audit medis dan klinik. Pemantauan pasien dan peresepan menjadi tugas
utama farmasis klinik.
(Aslam, 2003)
Menurut Moberly (2005), pada pelayanan farmasi rumah sakit, dapat dilihat
dengan jelas keuntungan dari pemberian resep tambahan (Supplementary
Prescribing) sampai pemberian resep mandiri (Independent Prescribing) oleh
farmasis rumah sakit pada pasien. Pemberian resep tambahan didesain untuk terapi
penyakit kronis atau penyakit tidak akut. Hal ini untuk menjamin optimalnya proses
terapi pada pasien dengan penyakit kronis. Peresepan mandiri juga sangat membantu
31
farmasis rumah sakit untuk menegakkan terapi bagi pasien. Farmasis seringkali
memiliki lebih banyak gagasan mengenai obat apa yang dibutuhkan pasien untuk
dapat dibawa pulang oleh mereka daripada dokter. Maka dengan mengijinkan
farmasis untuk menuliskan resep pada pasien dengan penegakan terapi secara
independen, hal ini akan sangat membantu pasien dan dapat menjadikan perpaduan
keahlian di rumah sakit (Hospital skill mix) lebih berguna.
Perkembangan pelayanan farmasi dari product oriented menjadi patient
oriented berarti menambah beban dan tanggung jawab farmasis rumah sakit terutama
pelayanan farmasi klinik. Selain harus menguasai bidang pelayanan farmasi produk
yang berorientasi sosio-ekonomi, farmasis juga harus menguasai pelayanan farmasi
klinik di rumah sakit. Dalam melaksanakan tugas farmasis rumah sakit harus
menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas melalui pendidikan formal
atau kursus singkat. Saat ini, tidak semua rumah sakit memiliki farmasis yang
menguasai bidang farmasi klinik (Yusmainita, 2002a).
Keragaman tingkat pendidikan dan profesi, merupakan salah satu kendala
dalam pelayanan farmasi yang optimal. Berkembangnya orientasi pelayanan farmasi
dari product oriented menjadi patient oriented dalam bentuk asuhan kefarmasian
yang belum tersosialisasi dengan baik mengakibatkan sebagian besar masyarakat
rumah sakit masih menganggap profesi farmasis rumah sakit sebagai pengelola
perbekalan farmasi atau pelayanan produk saja (Yusmainita, 2002a).
Berkembangnya pelayanan farmasi yang mengarah pada asuhan
kefarmasian (farmasi klinik), merupakan peluang dan tantangan untuk farmasis di
Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi farmasis untuk menunjukkan eksistensinya
32
di bidang profesi kefarmasian karena selama ini peran tenaga farmasis lebih banyak
sebagai tenaga manajemen. Namun, hal ini juga sekaligus menjadi tantangan karena
perlu banyak belajar lagi akibat kurangnya kesiapan para farmasis, yang
dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan farmasis di Indonesia yang sangat minim
mengarah pada farmasi klinik. Selain itu, juga keengganan para farmasis menambah
ilmu di bidang farmasi klinik karena peran farmasis di rumah sakit hanya
menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk. Mereka kurang berperan dalam
monitoring penggunaan obat di ward/ruangan (Yusmainita, 2002b).
Pada umumnya, rumah sakit di Indonesia sangat jarang menempatkan
farmasisnya di ward/ruangan/bangsal. Namun, dengan berkembangnya sistem Unit
Dose Dispensing (UDD) dan asuhan kefarmasian, farmasis harus siap masuk ward
dan berinteraksi serta bekerja sama dengan dokter, perawat, dan ahli gizi. Untuk
menunjang program ini, sangat perlu sekali kebijaksanaan pimpinan rumah sakit
untuk mengkondisikan farmasis masuk ward/ruangan di rumah sakit (Yusmainita,
2002a).
Menurut ”Board of Pharmaceutical Specialties” (2007) Pelayanan farmasi
klinik dibagi dalam lima subspesialis yaitu:
1. ”nuclear pharmacy”
2. ”nutrition support pharmacy”
3. ”pharmacotherapy”
4. ”psychiatric pharmacy”
5. ”oncology pharmacy”
33
D. Keterangan Empiris
Dalam menjalankan peran farmasis klinik dalam rangka pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka farmasis akan bekerja
sama dengan profesi kesehatan yang lain antara lain dokter. Dari hasil penelitian ini
diharapkan akan diperoleh gambaran tentang persepsi dan harapan dokter umum
terhadap perkembangan peran farmasis klinik di rumah sakit swasta di Kota
Yogyakarta.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Persepsi dan Harapan Dokter Umum terhadap
Perkembangan Peran Farmasis Klinik di Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta”
termasuk jenis penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif.
Penelitian observasional menurut Pratiknya (2003) adalah penelitian yang
observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subyek menurut keadaan
yang apa adanya (in nature) tanpa ada manipulasi penelitian. Rancangan penelitian
deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian yang saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi,
1998).
B. Definisi Operasional Penelitian
1. Persepsi
Sudut pandang yang diberikan oleh responden yaitu dokter umum rumah sakit
swasta di Kota Yogyakarta untuk menilai peran farmasis klinik di rumah sakit.
2. Farmasis klinik
Farmasis yang tidak hanya melakukan pelayanan kefarmasian rumah sakit dalam
bidang manajerial, namun juga dalam bidang klinik.
34
35
3. Dokter umum
Dokter umum yang berpraktek di rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta yang
memiliki 2 farmasis atau lebih.
4. Peran farmasis klinik
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang lebih berorientasi pada pasien
daripada berorientasi pada bidang manajerial obat berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004
khususnya mengenai pelayanan Kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat
kesehatan.
5. Harapan
Harapan responden terhadap perkembangan peran farmasis klinik di masa
mendatang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, dan sebagian pertanyaan dalam kuisioner
diambil dari Farmasi Klinik (Aslam, 2003) dan artikel “Will community
pharmacist really be able to prescribe independently?” (Moberly, 2005).
C. Responden
Responden adalah dokter umum yang berpraktek di rumah sakit swasta di
Kota Yogyakarta. Kriteria rumah sakit swasta yang digunakan untuk penelitian
adalah rumah sakit yang minimal memiliki 2 farmasis dan telah melakukan
pelayanan farmasi klinik. Responden yang digunakan adalah dokter umum yang
bersedia berpartisipasi dengan mengisi kuisioner.
36
D. Alat Penelitian
Alat penelitian ini adalah kuisioner. Kuisioner dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama kuisioner berisi pertanyaan tentang karakteristik responden yang
meliputi umur, jenis kelamin, lama praktek profesi dokter dan tempat praktek.
Bagian kedua kuisioner berisi pernyataan untuk mengetahui persepsi dokter terhadap
peran farmasis klinik. Kuisioner ini terdiri dari 25 pertanyaan dengan 4 alternatif
jawaban yaitu sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS). Kuisioner ini disusun berdasarkan fungsi pelayanan farmasis klinik di
rumah sakit yang tercantum dalam SK Menkes RI No. 1197/Menkes/SK/X/2004 dan
berdasarkan harapan perkembangan farmasis klinik di masa mendatang.
Kuisioner pada penelitian ini disusun berdasarkan modifikasi skala Likert
yakni dengan mengubah 5 alternatif jawaban menjadi 4 alternatif jawaban. Menurut
Hadi (1991), kategori jawaban di tengah (Ragu-Ragu) dihilangkan berdasarkan 3
alasan. Pertama, kategori di tengah mempunyai arti ganda yang tidak diharapkan
dalam suatu instrumen, bisa diartikan belum dapat memutuskan atau memberi
jawaban, bisa juga diartikan netral ( setuju tidak, tidak setuju juga tidak). Kedua,
tersedianya jawaban di tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah,
terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabannya, ke arah
setuju atau ke arah tidak setuju. Ketiga, maksud kategorisasi 4 alternatif jawaban
adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden ke arah setuju
atau ke arah tidak setuju.
Pada penelitian ini juga digunakan sumber informasi berupa wawancara
langsung pada responden yang bersedia didampingi saat mengisi kuisioner.
37
E. Tata Cara Penelitian
1. Analisis situasi
Analisis situasi dilakukan dengan penelusuran pustaka dari buku-buku
dan penelitian sejenis. Penelusuran pustaka ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang lebih akurat mengenai permasalahan yang akan diteliti.
2. Perumusan masalah
Sebelum pembuatan kuisioner dilakukan perumusan masalah terlebih
dahulu. Pada penelitian ini dilakukan penentuan masalah yang akan diteliti
dengan melihat pustaka yang ada.
3. Penentuan subyek penelitian
Subyek uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokter umum yang
berpraktek di rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta. Kriteria rumah sakit swasta
yang digunakan untuk penelitian adalah rumah sakit yang minimal memiliki 2
farmasis dan telah melakukan pelayanan farmasi klinik. Berdasarkan hasil
wawancara langsung, rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta yang memenuhi
kriteria di atas adalah R.S Panti Rapih, R.S. Bethesda dan R.S. P.K.U. Muhamadiyah
4. Pembuatan kuisioner
Kuisioner merupakan alat pengumpulan informasi dengan menyampaikan
sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden
(Nawawi, 1998). Pembuatan kuisioner dilakukan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penyusunan kuisoner
Penyusunan kuisioner didasarkan pada fungsi pelayanan farmasis
klinik yang tercantum dalam KepMenKes R.I. No. 1197 tahun 2004 dan
38
berdasarkan harapan perkembangan farmasis klinik. Kuisioner terdiri dari 25
pertanyaan. Dari 25 pertanyaan, 19 pertanyaan mengenai persepsi terhadap
peran farmasis klinik di rumah sakit, sedangkan 6 pertanyaan mengenai
harapan terhadap perkembangan peran farmasis klinik di rumah sakit.
Kuisioner berupa pertanyaan favorable dan pertanyaan unfavorable.
Pertanyaan favorable merupakan pertanyaan yang isinya mendukung,
memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang akan diukur. Pertanyaan
unfavorable merupakan pertanyaan yang tidak mendukung, berlawanan, tidak
memihak ataupun tidak menunjukkan ciri atribut yang diukur (Hadi, 1991).
Kedua pendekatan ini digunakan untuk menghindari adanya stereotipe pada
subyek penelitian.
Tabel 1. Kuisioner Jenis
Pertanyaan No Pertanyaan
P/H F/Uf 1. Farmasis adalah sebuah profesi yang menekuni ruang
lingkup obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat dan alat kesehatan.
P F
2. Farmasis pada perkembangannya harus mulai berorientasi pada pasien lebih dari berorientasi pada produk.
P F
3. Farmasis harus memberikan perhatian pertama dan utama kepada kesejahteraan pasien dengan segala aspeknya.
P F
4. Farmasis bertanggung jawab dalam memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan.
P F
5. Farmasis bertanggung jawab dalam menganalisis efektivitas biaya.
P F
6. Farmasis tidak harus ikut bertanggung jawab dalam penyusunan formularium obat.
P Uf
7. Farmasis harus dapat berkomunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien.
P F
39
Tabel 1. Lanjutan 8. Farmasis harus mendokumentasi setiap kegiatan untuk
dilakukan evaluasi terhadap pelayanan kefarmasian. P F
9. Farmasis harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
P F
10. Farmasis bertanggung jawab dalam memberikan informasi mengenai obat kepada dokter dan perawat.
P F
11. Farmasis harus bertanggung jawab mengenai masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drugs related problem).
P F
12. Farmasis tidak bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (terapeutic drugs monitoring).
P Uf
13. Farmasis tidak harus menangani pencampuran obat suntik.
P Uf
14. Farmasis tidak harus menangani nutrisi parenteral. P Uf 15. Farmasis harus menangani obat kanker atau sitostatika. P F 16. Farmasis dapat mengakses penyakit dan riwayat
pengobatan pasien dalam rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional.
P F
17. Farmasis dapat membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan memberikan masukan pada dokter dalam peresepan.
P F
18. Farmasis tidak perlu memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan
P F
19. Keterlibatan farmasis seperti yang telah disebutkan di atas sangat membantu dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi.
P F
20. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam peresepan obat.
H F
21. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang farmasis dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat bagi pasien.
H F
22. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara maju.
H F
23. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assessment-nya di medical record.
H F
40
Tabel 1. Lanjutan 24. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang,
farmasis dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis.
H F
25. Keterlibatan farmasis secara langsung pada pasien bersama-sama dengan dokter sangat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi pasien.
H F
Keterangan :
P : Persepsi terhadap peran farmasis klinik H : Harapan terhadap perkembangan peran farmasis klinik F : Pertanyaan favorable Uf : Pertanyaan unfavorable
b. Uji validitas isi
Validitas adalah ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
menjalankan fungsi ukurnya. Artinya sejauh mana alat ukur itu mampu
mengukur atribut yang dirancang untuk mengukurnya (Azwar, 2003b).
Validitas isi adalah validitas yang mempertanyakan bagaimana
kesesuaian antara instrumen dengan tujuan dan deskripsi bahan yang
diajarkan atau deskripsi masalah yang akan diteliti (Nurgiyantoro, 2002).
Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes/kuisioner dengan analisis rasional atau lewat professional
judgment. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah
“sejauh mana pertanyaan dalam tes/kuisioner mencakup keseluruhan kawasan
isi objek yang hendak diukur” atau sejauh mana isi tes/kuisioner
mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Isi dari kuisioner tersebut
41
tidak saja harus komprehensif akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang
relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur (Azwar, 2003a).
Dalam hal ini penyusunan instrumen (kuisioner) haruslah
mendasarkan diri pada kisi-kisi yang sengaja disiapkan untuk tujuan tersebut.
Sebelum kisi-kisi dijadikan pedoman penyusunan butir-butir soal instrumen
penelitian, terlebih dahulu harus ditelaah dan dinyatakan baik. Penelaah harus
dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidang yang bersangkutan, atau
yang dikenal dengan istilah penilaian oleh ahlinya (Expert judgment)
(Nurgiyantoro, 2002).
Validitas isi tergantung pada penilaian subyektif individual.
Dikarenakan estimasi validitas ini tidak melibatkan perhitungan statistik
apapun melainkan hanya analisis rasional maka tidaklah diharapkan setiap
orang akan sependapat mengenai sejauh mana validitas isi suatu tes/kuisioner
telah tercapai (Azwar, 2003b).
Uji validitas dengan topik permasalahan mengenai farmasis klinik
harus dilakukan bersama dengan ahli mengenai farmasis klinik. Uji ini
dilakukan untuk melihat kesesuaian mengenai tujuan yang akan diukur
dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1197/Menkes/SK/X/2004.
c. Uji pendahuluan
Uji pendahuluan dalam penelitian ini adalah uji pemahaman bahasa.
Uji pemahaman bahasa ini bertujuan untuk melihat apakah tata bahasa dalam
kuisioner ini dapat dipahami maknanya oleh responden. Uji pemahaman
42
bahasa ini tidak dilakukan karena jumlah subyek penelitian yang relatif kecil.
Uji validitas isi diasumsikan sudah mewakili uji pemahaman bahasa.
d. Uji reliabilitas
Reliabilitas (reliability, keterpercayaan) menunjuk pada pengertian
apakah sebuah instrumen dapat mengukur sesuatu yang diukur secara
konsisten dari waktu ke waktu (Nurgiyantoro, 2002). Walaupun reliabilitas
mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan,
kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung
dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya.
Reliabilitas kuisioner pada penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena
pertanyaan dalam kuisioner berupa pertanyaan langsung terarah pada
informasi mengenai data yang hendak diungkap. Data yang termaksud berupa
fakta atau opini yang menyangkut diri responden. Reliabilitas hasil kuisioner
terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan
jujur seperti apa adanya (Azwar, 2003b).
5. Penyebaran dan pengumpulan kuisioner
Kuisioner disebarkan kepada dokter umum yang berpraktek di R.S Panti
Rapih, R.S. Bethesda, R.S. P.K.U. Muhamadiyah secara langsung dengan
menyertakan proposal penelitian. Responden yang digunakan adalah dokter
umum yang bersedia mengisi kuisioner. Peneliti akan mendampingi responden
selama pengisian kuisioner untuk membantu responden menjelaskan maksud dari
kuisioner yang diajukan. Namun bila kemungkinan responden tidak dapat
43
mengisi kuisioner pada saat kuisioner dibagikan, maka kuisioner akan ditinggal
selama 2-3 hari kemudian diambil lagi pada hari berikutnya. Bila responden
benar-benar tidak memungkinkan untuk ditemui karena aturan dari rumah sakit
tersebut, maka kuisioner hanya akan dititipkan pada sekretaris dokter umum
bagian UGD atau bagian pelayanan medik selama beberapa minggu, kemudian
diambil pada hari yang sudah ditentukan. Waktu penyebaran hingga
pengumpulan kuisioner dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2006.
6. Penentuan penggunaan responden
Subyek uji pada penelitian ini adalah seluruh dokter umum yang
praktek di rumah sakit swasta yang memiliki minimal 2 farmasis dan telah
melakukan pelayanan farmasi klinik di Kota Yogyakarta. Dalam hal ini
digunakan kriteria minimal memiliki dua farmasis karena dengan adanya
farmasis yang lebih dari satu, orientasi pelayanan di rumah sakit tidak hanya
orientasi pada aspek manajerial namun sudah mulai berorientasi pada aspek
klinik atau dapat dikatakan sudah mulai mempraktekan pelayanan farmasis
klinik. Responden yang digunakan adalah dokter umum yang bersedia mengisi
kuisioner.
Dalam penelitian diperoleh data 3 rumah sakit swasta yang memiliki
minimal 2 farmasis. Dari ketiga rumah sakit tersebut didapati 35 dokter umum.
Tabel 2. Jumlah Farmasis Dan Dokter Umum Yang Terdaftar di Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta
No Nama rumah sakit Jumlah farmasis Jumlah dokter umum 1. R.S. P.K.U. Muhamadiyah 7 16 2. R.S. Bethesda 9 11 3. R.S. Panti Rapih 4 8
44
Jumlah dokter umum yang bersedia mengisi kuisioner adalah sebagai
berikut ini.
Tabel 3. Profil Responden No Nama rumah sakit Jumlah dokter
umum (Populasi)
Jumlah dokter umum yang bersedia mengisi kuisioner (Responden)
1. R.S. P.K.U. Muhamadiyah 16 15 2. R.S. Bethesda 11 7 3. R.S. Panti Rapih 8 4 Jumlah total 35 26
Dari 35 dokter umum, yang bersedia berpartisipasi mengisi kuisioner
adalah 26 responden (74%). Menurut Sevilla, dkk. (1993) ukuran minimum
jumlah subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian deskriptif adalah 10%
dari populasi, namun untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum
20%. Penelitian ini telah memenuhi kriteria minimum 20% dari anggota populasi.
7. Pengolahan dan analisis data
Data yang diperoleh dikelompokkan menurut tiap-tiap pertanyaan
dalam kuisioner. Kemudian dianalisis dengan teknik analisis statistik deskripsi
menggunakan persentase. Jawaban yang sama dikelompokkan dan dijumlahkan
kemudian dihitung persentasenya dengan jumlah total 100%. Data ditampilkan
dalam bentuk tabel dan diagram batang.
F. Kesulitan Penelitian
1. kesulitan untuk bertemu responden, dikarenakan prosedur dari salah satu
rumah sakit yang tidak memperbolehkan peneliti bertemu langsung dengan
responden pada saat responden praktek di rumah sakit
45
2. ada beberapa subyek uji dalam hal ini dokter umum yang berpraktek di
rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta yang tidak bersedia mengisi
kuisioner, sehingga responden yang digunakan sangat sedikit
3. ada beberapa responden yang tidak bersedia mengisi kuisioner secara
langsung dengan didampingi oleh peneliti, sehingga peneliti tidak dapat
menjelaskan apabila responden tidak paham terhadap pertanyaan dari
kuisioner
4. ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh responden
5. beberapa responden ada yang tidak mengisi data karakteristik responden,
sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam membahas karakteristik
responden.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden yang bekerja di rumah sakit swasta di Kota
Yogyakarta meliputi usia dan lama praktek di rumah sakit tersebut. Berdasarkan
data yang diperoleh 12% responden berusia antara 20-29 tahun, 46% responden
berusia antara 30-39 tahun, 23% responden berusia antara 40-49 tahun, dan 8%
responden berusia antara 50-59 tahun. Sebagian besar responden berusia antara
30-39 tahun.
12%
46%
23%
8%11%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
20-29 tahun30-39 tahun40-49 tahun50-59 tahuntidak mengisi
Gambar 1. Usia Responden
Berdasarkan jumlah responden, sebanyak 92% responden yang bersedia
mengisi data mengenai lama praktek. Dari 92% responden yang mengisi data
lama praktek, 8% responden sudah berpraktek selama kurang dari 3 tahun, 54%
responden sudah berpraktek selama 3-6 tahun, 11% responden sudah berpraktek
selama 7-10 tahun, dan 19% responden sudah berpraktek selama lebih dari 11
tahun. Sebagian besar responden sudah berpraktek selama 3-6 tahun.
46
47
8%
54%
11%19%
8%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
< 3 tahun3-6 tahun7-10 tahun> 11 tahuntidak mengisi
Gambar 2. Lama Praktek Responden
A. Persepsi Dokter Umum Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta Terhadap Peran Farmasis Klinik
1. Persepsi responden terhadap profesi farmasis yang menekuni ruang lingkup
obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat dan alat kesehatan
Fungsi pelayanan farmasi adalah pengelolaan perbekalan farmasi dan
pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. Jadi
pelayanan farmasi di rumah sakit harus bertanggung jawab penuh pada pelayanan
obat dan alat kesehatan, yaitu dalam hal pengadaan, penyimpanan, dan
pendistribusian obat dan alat kesehatan sampai penggunaan oleh pasien.
62%
38%
0% 0% 0%
0%10%20%30%40%50%60%70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 3. Persepsi responden terhadap profesi farmasis yang menekuni
ruang lingkup obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat dan alat kesehatan
48
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62% responden sangat setuju
dan 38% responden menjawab setuju bahwa farmasis adalah sebuah profesi yang
menekuni ruang lingkup obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat
dan alat kesehatan. Responden sangat mengenal dan memahami ruang lingkup
profesi farmasis. Dalam hal ini ruang lingkup farmasi pelayanan obat tidak hanya
meliputi suplai obat dan menjamin mutu perbekalan farmasi namun juga dalam
hal pemberian informasi obat terutama pada pasien dan dokter sebagai rekan
kerja. Pelayanan obat yang dimaksud dapat meliputi aturan pakai, dosis, efek
samping, kontraindikasi dan interaksi obat serta monitoring obat.
2. Persepsi responden terhadap farmasis yang harus lebih berorientasi pada pasien
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien. Pada perkembangannya pelayanan farmasi
di rumah sakit harus lebih berorientasi pada pasien demi menjamin efektivitas
terapi. Farmasis klinik berperan penting dalam pelayanan kefarmasian dengan
terlibat langsung pada proses pengobatan pasien di rumah sakit.
42%
58%
0% 0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 4. Persepsi responden terhadap farmasis yang harus lebih
berorientasi pada pasien
49
Pada penelitian ini 100% responden setuju bahwa farmasis harus
berorientasi pada pasien lebih dari berorientasi pada produk. Responden
berpendapat bahwa pelayanan kefarmasian tidak dapat sekedar fokus pada
penyediaan dan pendistribusian obat, namun lebih pada proses pengobatan pada
pasien yang relatif tidak dapat digeneralisasikan. Tiap pasien memiliki kondisi
klinik yang berbeda-beda, sehingga pelayanan kefarmasian juga harus lebih
berorientasi pada keadaan pasien. Responden memahami bahwa dalam pelayanan
suplai obat dan perbekalan farmasi yang terjamin mutunya, farmasis harus
berfokus pada kebutuhan pasien. Pelayanan farmasi klinik yang berorientasi pada
pasien juga dapat berupa informasi obat yang tepat bagi pasien dalam hal
penggunaan obat. Hal ini untuk menjamin efektivitas maupun keamanan
penggunaan obat yaitu mencegah terjadinya adverse drug reaction, interaksi obat
yang bermakna klinik, terjadinya toksistas dan sebagainya.
3. Persepsi responden terhadap keikutsertaan farmasis dalam memberi perhatian khusus terhadap kesejahteraan pasien
Farmasis harus memberi perhatian khusus terhadap proses pengobatan
yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasis dalam hal ini farmasis
klinik perlu memperhatikan kemampuan pasien dalam melangsungkan proses
pengobatan. Tujuan utama farmasis adalah keberhasilan pengobatan bagi seluruh
pasien yang ada. Jadi farmasi harus terlibat dalam menentukan terapi yang
terjangkau bagi pasien. Farmasis harus terlibat dalam memperhatikan
kesejahteraan pasien lewat keputusan tindakan terapi yang diambil oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit, khususnya dalam bidang pelayanan obat. Tujuan
pelayanan farmasi adalah melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik
50
dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan
keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia.
31%
65%
0% 0% 4%
0%
20%
40%
60%
80%Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 5. Persepsi responden terhadap keikutsertaan farmasis dalam
memberi perhatian khusus terhadap ksejahteraan pasien
Responden (96%) setuju bahwa farmasis harus berusaha
melangsungkan terapi yang optimal bagi pasien sesuai dengan kondisi pasien dan
memperhatikan kesejahteraan pasien. Seluruh responden memiliki persepsi yang
baik mengenai peran farmasis yang terlibat langsung dalam proses terapi dengan
memperhatikan kesejahteraan pasien baik dari segi pemilihan obat, menjamin
efektivitas dan keamanan penggunaan obat dan penyesuaian biaya yang
terjangkau bagi pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan masukan
atau saran kepada dokter agar peresepan menjadi rasional baik dari segi
pengunaan maupun segi ekonomi. Farmasis juga dapat memantau pelaksanaan
terapi sehingga dapat segera menganalisis dan memberi rekomendasi apabila
terjadi permasalahan dalam penggunaan obat.
Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
(96%) menganggap farmasis sebagai rekan kerja yang sejajar dengan dokter
untuk ikut serta memperhatikan kesejahteraan pasien.
51
4. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan
Farmasis di rumah sakit, khususnya farmasis klinik berfungsi untuk
mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien, mengidentifikasi dan mengatasi
masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan, serta
memantau efektivitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan.
Farmasis harus terlibat langsung dan memantau proses pengobatan baik pada
pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Hal ini untuk memastikan proses
pengobatan yang optimal bagi pasien.
42%
54%
4%0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 6. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien
rawat jalan
Peran farmasis dalam pemantauan penggunaan obat baik pada pasien
rawat inap maupun pasien rawat jalan dirasa cukup penting bagi sebgaian besar
responden (96%). Responden memiliki persepsi bahwa farmasis dapat terlibat
langsung dalam pengobatan untuk memantau efektivitas dan keamanan
penggunaan obat pada pasien. Farmasis dapat menganalisis dan memberikan
rekomendasi apabila ada kesalahan dalam aturan pakai, dosis obat, maupun
terjadinya interaksi obat atau reaksi alergi akibat penggunaan obat. Penggunaan
52
obat yang tidak tepat indikasi juga dapat diketahui apabila farmasis terlibat
langsung dalam pemantauan penggunaan obat.
Namun 4% responden tidak setuju apabila farmasis bertanggung jawab
dalam pemantauan penggunaan obat. Hal ini dimungkinkan responden
berpendapat bahwa pemilihan dan pemantauan penggunaan obat adalah
wewenang dokter. Hal ini didukung oleh penelitian Savitri (2005) yang
menyebutkan bahwa 30% dokter tidak setuju bahwa farmasis merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang mempunyai kontribusi yang sangat
penting untuk peningkatan penggunaan obat secara rasional.
5. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam menganalisis efektivitas biaya
Farmasis harus menerapkan farmako ekonomi dalam pelayanan.
Farmasis harus terlibat dalam menentukan efektivitas biaya, baik biaya
pengadaan obat maupun alat kesehatan di rumah sakit maupun biaya pengobatan
pada pasien. Dalam hal ini farmasis klinik berperan penting untuk menganalisis
terapi yang terjangkau bagi masyarakat dan memaksimalkan efektivitas biaya
pengobatan pada pasien.
19%
66%
15%0% 0%
0%
20%
40%
60%
80%Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 7. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
menganalisis efektifitas biaya
53
Sebagian besar responden (85%) memiliki persepsi tentang peran
farmasis klinik bahwa farmasis klinik bertanggung jawab untuk menganalisis
efektivitas biaya pengobatan. Hal ini merupakan kesempatan yang baik bagi
farmasis untuk berperan dalam memberikan masukan bagi dokter mengenai
terapi yang terjangkau bagi pasien. Farmasis dapat menjadi rekan kerja yang
sejajar bagi dokter dalam hal pemilihan obat.
6. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam penyusunan formularium obat
Formularium obat adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui
oleh Panitia Farmasi dan Terapi (Anonim, 2004). Farmasis berkewajiban untuk
mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah
sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain. Faramasis harus terlibat
dalam penyusunan formularium obat karena farmasis mempelajari masalah
mekanisme kerja obat (profil farmakodinamika obat), profil farmakokinetika
obat, maupun efek samping dan tokisistas obat. Berdasarkan pengetahuan
mengenai obat tersebut farmasis harus terlibat untuk memilih obat yang terjamin
efektivitas dan keamanannya berdasarkan evidence based, sehingga dapat
diputuskan apakah obat tersebut layak untuk digunakan atau tidak
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 juga disebutkan bahwa tugas farmasis dalam Panitia
Farmasi dan Terapi adalah menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil
Ketua/Sekretaris) dan bertugas menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan
terapi, pedoman penggunaan antibiotika dan pedoman penggunan obat dalam
54
kelas terapi lain serta membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil
kesepakatan Panitia Farmasi dan Terapi.
0% 4%
69%
27%
0%
0%10%20%30%40%50%60%70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 8. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam penyusunan formularium obat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (96%)
tidak setuju apabila farmasis tidak bertanggung jawab dalam penyusunan
formularium obat. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden
memiliki persepsi yang baik terhadap peran farmasis dalam hal penyusunan
formularium obat.
Namun 4% responden menganggap bahwa farmasis tidak harus
bertanggung jawab dalam penyusunan formularium obat. Hal ini dimungkinkan
farmasis kurang menunjukkan perannya dalam memberikan informasi mengenai
obat pada dokter sebagai rekan kerja sehingga responden beranggapan bahwa
farmasis tidak dapat terlibat dalam penyusunan formularium obat. Hal ini dapat
dijadikan motivasi bagi farmasis untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuannya sehingga dapat dipercaya oleh dokter untuk terlibat dalam
penyusunan formularium obat.
55
7. Persepsi responden bahwa farmasis harus dapat berkomunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien
Farmasis harus memiliki komunikasi yang tetap dengan dokter dan
paramedis, selalu berpartisipasi dalam rapat yang membahas masalah perawatan
atau rapat antar bagian atau konferensi dengan pihak lain yang mempunyai
relevansi dengan farmasi. Kepala instalasi farmasi harus terlibat langsung dalam
perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan
penggunaan obat. Farmasis klinik harus terlibat langsung dalam membahas
masalah penentuan terapi bagi pasien. Dalam hal ini farmasis klinik dapat
memberikan masukan dalam menentukan terapi dan penggunaan obat sesuai
dengan kondisi pasien. Hal ini bertujuan untuk memantau efektivitas dan
keamanan penggunaan obat bagi pasien.
42%
58%
0% 0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 9. Persepsi responden bahwa farmasis harus dapat berkomunikasi
farmasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) setuju
bahwa farmasis harus berkomunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain,
serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien.
Hal ini menunjukkan bahwa responden membutuhkan peran farmasis klinik
56
untuk bekerjasama membahas masalah terapi dan penggunaan obat. Hal ini juga
menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi yang baik terhadap
keterlibatan langsung farmasis klinik dalam proses terapi pasien. Hasil penelitian
ini didukung oleh penelitian Savitri (2005) yang menyatakan bahwa dokter
menerima farmasis sebagai rekan kerja dalam pelayanan kesehatan, meskipun
tidak semua responden seratus persen setuju. Pada penelitian savitri (2005) juga
menunjukkan bahwa dokter dan farmasis telah mampu menjalin hubungan yang
baik. Farmasis juga mampu menguasai masalah kesehatan sehingga tidak
menemui hambatan berarti untuk berkomunikasi dengan dokter.
8. Persepsi responden terhadap pendokumentasian kegiatan yang dilakukan farmasis untuk evaluasi terhadap pelayanan kesehatan
Instalasi farmasi harus mempunyai dokumentasi yang rapi dan rinci
tentang pelayanan farmasi. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara
periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi
menunjang peningkatan mutu pelayanan (Anonim, 2004b). Dalam pelayanan
kefarmasian di rumah sakit harus ada sistem yang mendokumentasikan
penggunaan obat yang salah atau mengatasi masalah obat. Kegiatan
pendokumentasian ini digunakan untuk bahan evaluasi dan juga dapat digunakan
sebagai referensi apabila terjadi masalah penggunaan obat yang relatif sama di
kemudian hari. Dokumen ini juga dapat digunakan sebagai penunjang proses
pengobatan di rumah sakit.
57
42%
58%
0% 0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 10. Persepsi responden terhadap pendokumentasian kegiatan yang
dilakukan farmasis untuk evaluasi terhadap pelayanan kesehatan
Gambar 10 menunjukkan seluruh responden menyetujui jika di instalasi
farmasi harus ada dokumentasi yang rapi dan rinci dari pelayanan farmasi dan
dilakukan evaluasi terhadap pelayanan farmasi demi meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian. Pendokumentasian ini sangat berguna untuk
menganalisis masalah pengobatan. Apabila pasien yang bersangkutan
mempunyai keluhan lain atau harus kembali ke rumah sakit dengan keluhan yang
sama, dokumen ini dapat mendukung strategi terapi selanjutnya.
9. Persepsi responden terhadap keterlibatan langsung farmasis dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat
Pelayanan Farmasi klinik adalah pelayanan yang lebih berorientasi pada
pasien. Agar penggunaan obat dan proses terapi dapat berjalan secara optimal
maka farmasis klinik perlu terlibat langsung dalam keputusan yang berhubungan
dengan pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat. Farmasis klinik dapat
berperan serta menentukan obat dan terapi yang efektif sesuai dengan kondisi
pasien. Farmasis klinik juga dapat membantu memberi masukan pada tenaga
kesehatan lain khususnya dokter untuk memilih terapi yang tepat bagi pasien.
58
23%
73%
4% 0% 0%0%
10%20%30%40%50%60%70%80%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 11. Persepsi responden terhadap keterlibatan langsung farmasis dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan
farmasi dan penggunaan obat
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden (96%) setuju
bahwa farmasis harus harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan
yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat. Responden
memiliki persepsi yang baik terhadap peran dan keterlibatan farmasis klinik
secara langsung pada pasien, khususnya dalam penggunaan obat yang tepat bagi
pasien. Hal ini menunjukkan bahwa responden membutuhkan peran serta
farmasis klinik dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan
pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
10. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam pemberian informasi obat kepada tenaga kesehatan lain
Pelayanan rumah sakit farmasis harus melakukan penyebaran informasi
mengenai obat yang bermanfaat kepada dokter dan perawat. farmasis juga
berperan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat
kepada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain. Farmasis dapat
memberitahukan mengenai efek samping obat, interaksi obat, dosis yang tepat,
profil farmakodinamika dan farmakokinetika obat maupun kontra indikasi obat.
59
Farmasis dapat menjelaskan efektivitas dan keamanan obat berdasarkan evidence
based untuk membantu dokter dalam pemilihan obat yang tepat bagi pasien.
46% 46%
8%
0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 12. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam
pemberian informasi obat kepada tenaga kesehatan lain
Sebagian besar responden (92%) setuju bahwa farmasis harus
bertanggung jawab dalam pemberian informasi obat kepada dokter dan perawat.
Hal ini menunjukkan responden beranggapan bahwa farmasis adalah profesi yang
menekuni bidang obat bertanggung jawab dalam memberikan informasi
mengenai obat kepada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain. Hal ini juga
menunjukkan bahwa responden membutuhkan informasi mengenai obat dari
farmasis untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Namun 8% responden berpendapat bahwa farmasis tidak bertanggung
jawab dalam informasi obat pada tenaga kesehatan lain. Hal ini dimungkinkan
bahwa responden merasa sudah mengetahui mengenai informasi obat obat
sehingga tidak perlu lagi peran serta farmasis. Nurdiati (2005) menyebutkan
bahwa dokter spesialis merasa farmasis kurang menguasai ilmu kefarmasian
sehingga jawaban farmasis kurang memuaskan. Dokter spesialis tersebut merasa
lebih mengetahui masalah mengenai obat jadi tidak perlu bertanya dengan
60
farmasis. Farmasis saat ini dituntut untuk lebih lagi menguasai ilmu pengetahuan
mengenai obat dan pengobatan sehingga dapat memberikan informasi yang
lengkap dan tepat mengenai obat dan tidak lagi diremehkan oleh dokter. Farmasis
perlu membuktikan bahwa farmasis menguasai bidang obat dan pengobatan.
11. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drug related problem)
Farmasis bertanggung jawab dalam mengkaji instruksi pengobatan atau
resep pasien, mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
dan alat kesehatan, mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat
dan alat kesehatan, serta memantau efektivitas dan keamanan penggunaan obat
dan alat kesehatan. Farmasis juga berfungsi untuk mengumpulkan dan meninjau
laporan mengenai efek samping obat. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan
kegagalan terapi dan mengoptimalkan serta menjamin keamanan proses terapi.
23%
62%
15%
0% 0%
0%
10%20%30%40%50%60%70%
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 13. Persepsi responden terhadap tanggung jawab farmasis dalam masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drug related problem)
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden (85%)
memiliki persepsi terhadap peran farmasis klinik yang baik mengenai tanggung
jawab farmasis dalam masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drug
related problem). Responden menghargai peran farmasis klinik yang terlibat
61
secara langsung dalam penanganan terhadap masalah penggunaan obat pada
pasien. Farmasis klinik dapat memberikan masukan apabila terjadi masalah
dalam penggunaan obat (drug related problem).
Dengan pengetahuan yang dimiliki farmsis mengenai obat, farmasis
dapat menangani masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat. Apabila ada
obat yang ternyata tidak tepat indikasi, pemberian obat yang tidak perlu, dosis
dan aturan pakai yang tidak tepat, atau terjadi interaksi obat, kontra indikasi
maupun reaksi alergi, farmasis dapat segera melakukan analisis dan memberikan
rekomendasi mengenai masalah yang timbul akibat kesalahan penggunaan obat
tersebut. Farmasis juga dapat memberikan masukan pada dokter sebelum proses
terapi dilaksanakan sehingga dapat mencegah kesalahan terapi. Hal ini akan
menjamin keefektivitasan dan keamanan penggunaan obat.
Di sisi lain 15% responden baranggapan bahwa farmasis tidak
bertanggung jawab dalam drug related problem. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan responden beranggapan bahwa masalah terapi adalah wewenang
dokter. Farmasis harus dapat bersosialisasi dengan dokter dan menunjukkan
peran serta tanggung jawab farmasis dalam mengatasi drug related problem.
Farmasis harus membuktikan kemampuannya menganalis dan berani
memberikan rekomendasi apabila terjadi drug related problem agar peran
farmasis dapat lebih diakui oleh tenaga kesehatan lain maupun oleh masyarakat.
12. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs monitoring)
Farmasis bertanggung jawab dalam melakukan pemantauan kadar obat
dalam darah. Dengan diketahuinya kadar obat dalam darah dapat menunjang
62
proses terapi. Dengan adanya data kadar obat dalam darah efektivitas terapi atau
penggunaan obat dapat terus dipantau sehingga dapat berjalan secara optimal.
Dengan memantau kadar obat dalam darah juga dapat membantu dalam
penyesuaian dosis, aturan pakai, frekuensi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
penggunaan obat pada tiap pasien dengan kondisi fisiologis yang berbeda-beda.
0%
46%
35%
15%
4%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 14. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs monitoring)
Pada gambar 14 dapat dilihat bahwa 35% dan 15% responden
menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa farmasis tidak harus
bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs
monitoring). Namun hasil penelitian tersebut juga menunjukkan 46%
responden memiliki persepsi bahwa dalam pelayanan kesehatan perlu dilakukan
pemantuan kadar obat dalam darah untuk menunjang proses terapi yang optimal
pada pasien.
Dengan data kadar obat dalam darah dapat diketahui keefektivan
maupun keamanan bahkan toksisitas obat. Bila obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin) tidak dipantau kadar dalam darahnya akan dapat beresiko
tinggi untuk mengalami toksisitas. Maka perlu dipantau penggunaannya agar
tetap barada dalam jendela terapetik. Kondisi kesehatan maupun asupan makanan
63
kadang juga mempengaruhi kadar obat dalam darah sehingga mempengaruhi efek
obat. Dengan adanya pemantauan kadar obat dalam darah dapat dilakukan
penyesuaian dosis dan aturan pakai sehingga proses terapi dapat berjalan lebih
optimal. Farmasis dalam hal ini menekuni dan mendalami pemantauan kadar obat
dalam darah dengan ilmu pengetahuan farmakokinetika.
Namun 50% responden setuju bahwa farmasis tidak harus bertanggung
jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (therapeutic drugs monitoring).
Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil wawancara beberapa responden tidak
mengetahui bahwa kadar obat dalam darah dapat dipantau sehingga dapat
digunakan sebagai penunjang pengobatan untuk penyesuaian dosis maupun
aturan pakai. Responden juga kurang mengerti bahwa farmasis menekuni ilmu
farmakokinetika yang mempelajari bagaimana memantau kadar obat dalam darah
dan mengaplikasikannya untuk tujuan pengobatan. Hal ini juga dimungkinkan
karena pelayanan farmasi klinik dalam therapeutic drugs monitoring belum
dilakukan di ketiga rumah sakit tersebut. Untuk itu farmasis harus dapat
menunjukkan pada tenaga kesehatan lain mengenai pentingnya pemantauan
kadar obat dalam darah dan mensosialisasikan kemampuan farmasis dalam
memantau kadar obat dalam darah.
Sebagian responden menjawab tidak setuju juga dapat dikarenakan
responden kurang memahami pertanyaan dalam kuisioner. Dimungkinkan
responden menjawab setuju karena selama ini farmasis memang tidak atau belum
bertanggung jawab dalam memantau kadar obat dalam darah. Hal ini terjadi
karena peneliti mengalami kesulitan untuk mendampingi responden dalam
64
mengisi kuisioner, sehingga peneliti tidak dapat menjelaskan apabila responden
kurang mengerti mengenai pertanyaan dalam kuisioner tersebut.
13. Persepsi responden bahwa farmasis tidak harus bertanggung jawab dalam penanganan pencampuran obat suntik
Farmasis turut berperan penting dalam pencampuran obat suntik. Obat
suntik juga merupakan ruang lingkup pelayanan kefarmasian dalam hal
penggunaan obat. Dalam pencampuran obat suntik perlu diperhatikan masalah
interaksi farmasetik antar obat suntik tersebut. Dalam hal ini farmasis sebagai
profesi yang menekuni bidang obat bertanggung jawab untuk turut terlibat dalam
penanganan pencampuran obat suntik untuk mencegah resiko interaksi pada
pencampuran obat suntik yang membahayakan bagi pasien.
4%
35%
50%
11%
0%0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 15. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam penanganan pencampuran obat suntik
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden (61%) tidak
setuju bahwa farmasis tidak harus bertanggung jawab dalam dalam penanganan
pencampuran obat suntik. Hal ini menunjukkan bahwa responden menghargai
peran farmasis yang harus terlibat langsung dalam penanganan penggunaan obat
termasuk obat suntik. Pencampuran obat suntik memiliki banyak permasalahan
dalam hal farmasetik. Apabila terjadi kesalahan pencampuran obat suntik dapat
65
terjadi pengendapan, pembentukan partikel, pembentukan garam ataupun
perubahan pH. Sebagai contoh apabila obat suntik yang diberikan berupa injeksi
intra vena maka bila terjadi kesalahan pencampuran yang mengakibatkan
pembentukan partikel dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Atau
bila terjadi perubahan pH yang begitu drastis maka pada saat pengaplikasiannya
akan sangat tidak nyaman bagi pasien. Maka dari itu farmasis perlu bertanggung
jawab dalam penanganan pencampuran obat suntik.
Di sisi lain 39% responden berpendapat bahwa farmasis tidak perlu
bertanggung jawab dalam penanganan pencampuran obat suntik. Farmasis perlu
mensosialisasikan peran farmasis dalam hal penanganan pencampuran obat
suntik sehingga dokter dapat memahami fungsi keterlibatan farmasis dalam
penanganan pencampuran obat suntik.
14. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam penanganan nutrisi parenteral
Nutrisi parenteral merupakan sediaan obat yang termasuk dalam ruang
lingkup kefarmasian. Farmasis rumah sakit bertanggung jawab penuh dalam
penanganan nutrisi parenteral, baik dosis, frekuensi, maupun aturan pakai.
Farmasis dapat turut memantau apakah nutrisi yang diberikan tepat indikasi bagi
pasien. Penanganan nutrisi parenteral oleh farmasis rumah sakit ini juga berkaitan
dengan pencegahan resiko interaksi antara nutrisi parenteral dan obat lain yang
dikonsumsi pasien yang dapat mengakibatkan kegagalan terapi.
66
4%
65%
19%
4% 8%
0%10%20%30%40%50%60%70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 16. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab
dalam penanganan nutrisi parenteral
Sebagian besar responden (69%) setuju bahwa farmasis tidak harus
bertanggung jawab dalam penanganan nutrisi parenteral. Responden berpendapat
bahwa nutrisi paranteral dapat ditangani oleh tenaga kesehatan lain, tidak perlu
keterlibatan farmasis. Hal ini didukung penelitian Savitri (2005) yang
menyebutkan bahwa dokter berpendapat siapa saja dapat menangani masalah
obat dan alat kesehatan, tidak harus farmasis, sehingga peran farmasis dapat
digantikan oleh tenaga kesehatan lain. Padahal farmasis menekuni dan
mempelajari tentang farmasetik obat yang tidak dipelajari oleh tenaga kesehatan
lain. Farmasis mengetahui masalah mengenai interaksi farmasetik pada nutrisi
parenteral. Maka untuk mencegah resiko interaksi farmasetik farmasis perlu
terlibat dalam penanganan nutrisi parenteral.
15. Persepsi responden terhadap peran farmasis dalam penanganan obat kanker atau sitostatika
Farmasis bertanggung jawab menangani obat kanker atau sitostatika,
karena obat kanker termasuk obat yang berbahaya bagi pasien . Maka dari itu
penggunaannya harus dipantau baik dosis, frekuensi maupun aturan pakai agar
67
terjamin keamanannya. Obat-obat sitostatika merupakan obat yang tidak selektif
dan dapat merusak sel-sel normal. Apabila dalam penanganannya tidak dipantau
dapat membahayakan tenaga kesehatan lain maupun pasien. Maka dari itu
farmasis yang mempelajari dan menekuni bidang obat harus bertanggung jawab
dalam penanganan obat kanker/ sitostatika.
11%
73%
8%4% 4%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 17. Persepsi responden terhadap peran farmasis dalam
penanganan obat kanker atau sitostatika
Gambar 17 menunjukkan sebagian besar responden (84%) setuju bahwa
farmasis harus bertanggung jawab dalam penanganan obat kanker atau
sitostatika. Responden memiliki persepsi yang baik terhadap peran farmasis
klinik untuk terlibat langsung dalam pengobatan penderita kanker demi
menjamin efektivitas dan keamanan penggunaan obat kanker.
Di sisi lain 12% responden menyatakan tidak setuju bahwa farmasis
bertanggung jawab dalam penanganan sitostatika. Maka dari itu farmasis perlu
meningkatkan peranannya dalam tim sitostatika dan lebih banyak berdiskusi
bersama dokter mengenai penanganan sitostatika agar dokter dapat memahami
peran penting farmasis dalam hal penanganan obat kanker.
68
16. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam mengakses penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional
Fungsi dan ruang lingkup farmasis dalam pelayanan farmasi
diantaranya adalah melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit
dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan
terapi (Anonim, 2004b). Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara
terus menerus penggunaan obat secara rasional.
19%
27%
50%
0% 4%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 18. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam
mengakses penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (50%)
tidak setuju bahwa farmasis dapat mengakses penyakit dan riwayat pengobatan
pasien dalam rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional.
Responden berpendapat bahwa yang berhak untuk mengakses riwayat
pengobatan pasien dalam rekam medis adalah dokter. Padahal tujuan farmasis
mengakses riwayat pengobatan dalam rekam medis adalah untuk melakukan
assessment penggunaan obat untuk memastikan apakah obat yang digunakan
tepat dan aman. Apabila ada keluhan dari pasien atau terjadi reaksi alergi akan
lebih jelas bagi farmasis untuk menelusuri penyebabnya dan memberikan
69
rekomendasi jika diperbolehkan mengakses rekam medis. Dalam hal ini farmasis
perlu menekankan fungsi dan tugas farmasis pada tenaga kesehatan lain dan
mensosialisasikan perannya dalam mengakses rekam medis agar dokter
memahami pentingnya keterlibatan farmasis dalam mengakses riwayat
pengobatan dan mencantumkan rekomendasinya secara tertulis dalam rekam
medis.
17. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan memberikan masukan pada dokter dalam peresepan
Pekerjaan utama seorang farmasis klinik adalah berinteraksi dengan
profesi kesehatan lain (misalnya dokter dan perawat), mewawancara dan menilai
kesesuaian kondisi kesehatan pasien terhadap pengobatannya, membuat
rekomendasi terapetik yang spesifik, memantau tanggapan pasien terhadap terapi
obat, menjaga kesejahteraan pasien (khususnya dalam kaitannya dengan efek
obat yang tidak dikehendaki), mengonsultasi pasien, dan memberikan informasi
obat. Farmasi dapat berkontribusi selama proses peresepan yaitu sebelum, selama
dan sesudah resep ditulis. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah
penting yang terkait dengan obat, mengurangi resiko kesalahan penggunaan obat,
menyempurnakan informasi mengenai obat pada pasien dan meningkatkan
kepatuhan pasien mengonsumsi obat, menyempurnakan peresepan,
menyempurnakan hasil klinik, menyempurnakan efektivitas klinik,
menyempurnakan efektivitas biaya dan mempersingkat masa tinggal di rumah
sakit.
70
15%
73%
12%0% 0%
0%
20%
40%
60%
80%Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 19. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan memberikan
masukan pada dokter dalam peresepan
Pada gambar 19 sebagian besar responden (88%) setuju bahwa
farmasis dapat membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan
memberikan masukan pada dokter dalam peresepan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa responden menghargai peran farmasis klinik untuk terlibat
langsung dalam proses peresepan dengan memberikan saran mengenai peresepan.
Responden memiliki persepsi bahwa farmasis klinik dapat memberikan informasi
yang menunjang proses terapi karena farmasis adalah profesi yang menekuni
bidang obat dan ahli dalam pelayanan pengobatan. Savitri (2005) juga
menyebutkan bahwa 90% dokter mengenal dan mengakui bahwa farmasis
merupakan profesi yang menguasai bidang obat dan pengobatan. Sejumlah 93%
dokter juga mengaku bahwa farmasis adalah mitra sejajar dokter dalam
pelayanan kesehatan yang memiliki keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh
profesi lain khusunya dalam hal obat dan pengobatan.
Namun 12% responden tidak setuju. Hal ini dimungkinkan responden
merasa farmasis tidak berhak terlibat dalam menentukan terapi dan memberikan
masukan dalam peresepan karena itu sepenuhnya adalah wewenang dokter. Oleh
71
karena itu farmsis harus dapat membuktikan kemampuannya dalam hal memilih
terapi yang tepat bagi pasien agar dokter dapat menghargai peran farmasis dalam
pemberian saran mengenai peresepan sesuai dengan fungsi farmasis di rumah
sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004.
18. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan
Tujuan pelayanan farmasi diantaranya ialah melaksanakan KIE
(Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat. Farmasis bertanggung
jawab memberikan konseling atau informasi kepada pasien maupun keluarga
pasien dalam hal penggunaan dan penyimpanan obat serta berbagai aspek
pengetahuan tentang obat demi meningkatkan derajat kepatuhan dalam
penggunaan obat. Hal ini dikarenakan farmasis lebih mendalami mengenai efek
obat, efek samping, kontra indikasi, dosis dan aturan pakai dan interaksi obat
dibanding tenaga kesehatan lain. Dengan adanya konseling obat, farmasis bisa
menampung tiap keluhan pasien dan memonitoring proses pengobatan juga
memberikan saran pelaksanaan terapi yang tepat bagi pasien.
Terapi obat yang aman dan efektif seringkali terjadi apabila pasien
mempunyai pengetahuan tentang obat serta penggunaannya. Pasien yang
berpengetahuan tentang obatnya menunjukkan ketaatan yang meningkat terhadap
regimen obat yang ditulis, mengakibatkan hasil terapi yang meningkat. Hal ini
merupakan tanggung jawab farmasis. Konseling yang dilakukan farmasis ini
72
adalah suatu komponen kepedulian farmasi dan bertujuan meningkatkan hasil
terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat yang tepat (Siregar, 2005).
0%8%
65%
27%
0%0%
10%20%30%40%50%60%70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 20. Persepsi responden bahwa farmasis tidak bertanggung jawab dalam memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun
pasien rawat jalan
Sebagian besar responden (92%) tidak setuju bahwa farmasis tidak
perlu memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien
rawat jalan. Dari hasil penelitian ini menunjukkan responden beranggapan bahwa
farmasis dalam hal ini farmasis klinik dapat terlibat langsung untuk menemui
pasien, memantau pengobatan pasien dan memberikan konseling mengenai obat.
Namun 8% responden berpendapat bahwa farmasi tidak bertanggung
jawab memberikan konseling pada pasien karena informasi yang diberikan dokter
sudah cukup memadai. Hal ini didukung oleh Savitri (2005) yang menyatakan
bahwa selama ini dokter sudah mengambil alih peran penting farmasis sebagai
drug informer yang lebih dipercaya pasien. Oleh Karena itu farmasis harus mulai
aktif untuk menjalankan konseling obat pada pasien dan memonitoring
pelaksanaan terapi secara langsung pada pasien agar dapat menumbuhkan rasa
kepercayaan masyarakat terhadap peran farmasis sebagai drug informer.
73
Farmasis harus dapat membuktikan bahwa farmasis dapat memberikan konseling
yang lengkap dan tepat mengenai obat pada pasien.
19. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam pelayanan penggunaan obat dapat membantu dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi
Pelayanan farmasis klinik yang lebih berorientasi pada pasien dalam hal
penggunaan obat dan terlibat langsung pada pasien bermanfaat untuk
maksimalkan proses terapi dan meminimalkan risiko terapi. Dengan pengetahuan
mengenai obat yang ditekuni oleh farmasis klinik dapat membantu dokter dan
tenaga kesehatan lain dalam menangani pasien.
23%
77%
0% 0% 0%0%
10%20%30%40%50%60%70%80%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 21. Persepsi responden terhadap keterlibatan farmasis dalam
pelayanan penggunaan obat dapat membantu dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi
Pada gambar 21 menunjukkan bahwa seluruh responden (100%)
memiliki persepsi tentang peran farmasis klinik bahwa keterlibatan farmasis
dalam pelayanan farmasi klinik sangat membantu dokter dan tenaga kesehatan
lain dalam memaksimalkan proses terapi. Dengan keterlibatan farmasis dalam
pelayanan penggunaan obat farmasis dapat mencegah apabila ada peresepan yang
salah atau memberi masukan untuk pemilihan terapi yang jauh lebih tepat sesuai
dengan keadaan pasien. Dengan informasi yang diberikan oleh farmasis dapat
74
membantu dokter untuk memutuskan terapi yang tepat, memberikan dosis yang
tepat ataupun menyarankan bentuk sediaan yang tepat sesuai dengan kondisi
pasien sehingga proses terapi menjadi lebih maksimal.
B. Harapan Dokter Umum Terhadap Perkembangan Peran Farmasis Klinik di Rumah Sakit Swasta di Kota Yogyakarta
1. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam peresepan obat
Farmasis dapat berperan dalam proses pengambilan keputusan dengan
hadir pada saat penulisan resep atau menjadi anggota tim multidisiplin, misalnya
tim nutrisi parenteral, tim kemoterapisitotoksik, tim pemantauan terapi obat dan
sebagainya. Dalam hal ini farmasis dapat mengaplikasikan pengetahuan
terapetik, mengkorelasikan keadaan penyakit dengan pemilihan obat, dan
mengidentifikasi kontra indikasi obat. Pelayanan farmasi klinik ditujukan untuk
menyempurnakan peresepan.
Pada perkembangan ilmu kedokteran, farmakologi dan teknologi yang
berlangsung dengan pesat para dokter memerlukan bantuan dan masukan
farmasis dalam pemilihan obat. Fungsi farmasis dalam mendampingi dokter pada
saat pemeriksaan dan memberikan saran dalam peresepan obat adalah untuk
memaksimalkan efek terapetik yaitu efektivitas terapi meliputi ketepatan indikasi
pemilihan obat dan pengaturan dosis yang sesuai dengan kondisi pasien,
meminimalkan risiko meliputi efek samping, interaksi obat dan kontra indikasi
serta meminimalkan biaya sehingga terjangkau oleh kemampuan pasien.
75
8%
42%50%
0% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Menjaw ab
Gambar 22. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan
saran dalam peresepan obat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden 50% responden setuju,
namun 50% responden lain tidak setuju bahwa farmasis dapat medampingi
dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam peresepan obat. Hal ini
dikarenakan responden beranggapan itu adalah pekerjaan dan wewenang dokter.
Hal ini mungkin menimbulkan kekawatiran bahwa farmasis akan mengambil alih
tugas dan tanggung jawab dokter. Oleh karena itu farmasis harus
mensosialisasikan tugas dan peran farmasis agar dapat diterima oleh dokter.
Farmasis memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dari dokter sehingga
tidak mungkin mengambil alih tugas dokter. Farmasis merupakan patner yang
sejajar dengan dokter yang dapat membantu dokter memaksimalkan terapi dan
saling melengkapi dalam ilmu pengetahuan mengenai kesehatan. Kehadiran
farmasis jelas bukan suatu ancaman bagi dokter maupun sebaliknya. Dalam hal
ini farmasis hanya bertugas memastikan penggunaan obat yang rasional bagi
pasien dan memantau proses terapi untuk menjamin efektivitas dan keamanan
terapi.
76
2. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat bagi pasien
Farmasis dapat ikut mengiterpretasikan data pemeriksaan laboratorium,
menggunakan catatan kasus pasien untuk mengkorelasikan keadaan penyakit
dengan pemilihan obat, merekomendasi pengaturan dosis dan menyarankan
pemilihan obat yang tepat sesuai dengan kondisi pasien (Aslam, 2003). Farmasis
klinik berperan penting dalam mengetahui dan mendiskusikan kondisi penyakit
pasien agar dapat menyimpulkan terapi yang tepat bagi pasien, dalam hal ini
menyangkut pemilihan obat, dosis, aturan pakai, frekuensi, dan sebagainya.
Fungsi pelayanan farmasis klinik yang berorientasi langsung pada pasien ini
adalah untuk memaksimalkan keberhasilan proses pengobatan.
4%
27%
65%
4% 0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 23. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan
menentukan terapi yang tepat bagi pasien
Sebagian besar responden (69%) tidak setuju bahwa farmasis klinik
dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium
bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang
tepat bagi pasien. Responden berpendapat bahwa farmasis klinik tidak berhak
77
untuk mengkaji hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium serta tidak berhak
untuk menentukan diagnosis dan terapi. Responden beranggapan bahwa
penentuan diagnosis dan terapi adalah ruang lingkup dan wewenang dokter.
Padahal farmasis seperti yang telah disebutkan oleh Aslam (2003) di atas berhak
untuk mengintepretasikan data laboratorium dan catatan kasus pasien untuk
mengkorelasikan keadaan penyakit dengan pemilihan terapi yang tepat bagi
pasien. Dalam hal ini farmasis dapat diajak berdiskusi agar dapat mengerti
dengan jelas keadaan penyakit pasien dan membatu dokter dalam menentukan
terapi yang tepat bagi pasien, karena farmasis lebih mendalami mengenai
pemilihan obat. Dengan ikut terlibat dalam mengetahui diagnosis dan keadaan
penyakit pasien farmasis dapat lebih mudah memberikan rekomendasi yang
tepat. Dalam hal ini dokter yang memutuskan diagnosis, farmasis sebagai patner
berdiskusi. Jadi farmasis tidak memutuskan diagnosis. Farmasis dalam hal ini
jelas tidak mengambil wewenang dokter sebagai ahli yang berhak untuk
memutuskan diagnosis penyakit. Keikutsertaan farmasis adalah sebagai rekan
berdiskusi dan untuk mengetahui dengan jelas penyakit pasien. Keputusan
diagnosis tetap ada di tangan dokter. Jadi farmasis tidak menjadi ancaman seperti
yang dikuatirkan dokter selama ini.
Responden menjawab tidak setuju dimungkinkan karena responden
menganggap pertanyaan tersebut menyatakan bahwa farmasis dapat ikut
memutuskan diagnosis, sedangkan yang berhak untuk memutuskan diagnosis
adalah dokter. Responden dimungkinkan kurang memahami maksud dari
pertanyaan tersebut. Hal ini disebabkan kesulitan peneliti dalam mendampingi
78
responden ketika mengisi kuisioner sehingga peneliti tidak dapat menjelaskan
apabila responden kurang memahami maksud dari pertanyaan kuisioner tersebut.
Di sisi lain 31% responden setuju farmasis dapat ikut berdiskusi untuk
menentukan terapi. Dengan mengetahui kondisi penyakit dengan rinci farmasis
dapat membantu dokter untuk pemilihan obat yang tepat maupun dosis, aturan
pakai dan bentuk sediaan obat yang tepat bagi pasien. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Savitri (2005) yang menyebutkan bahwa 93% dokter berpendapat
farmasis dapat diajak berdiskusi tentang interaksi obat, dosis, penggunaan obat
yang rasional dan pemilihan obat yang tepat guna.
3. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara-negara maju
Pada pelayanan farmasi rumah sakit, dapat dilihat dengan jelas
keuntungan dari pemberian resep tambahan (Supplementary Prescribing) sampai
pemberian resep mandiri (Independent Prescribing) oleh farmasis rumah sakit
pada pasien. Pemberian resep tambahan (Supplementary Prescribing) didesain
untuk terapi penyakit kronis atau penyakit tidak akut. Hal ini untuk menjamin
optimalnya proses terapi pada pasien dengan penyakit kronis. Peresepan mandiri
(Independent Prescribing) juga sangat membantu farmasis rumah sakit untuk
menegakkan terapi bagi pasien. Farmasis seringkali memiliki lebih banyak
gagasan mengenai obat apa yang dibutuhkan pasien untuk dapat dibawa pulang
oleh mereka daripada dokter. Maka dengan mengijinkan farmasis untuk
menuliskan resep pada pasien dengan penegakan terapi secara independen, hal ini
79
akan sangat membantu pasien dan dapat menjadikan perpaduan keahlian di
rumah sakit (Hospital skill mix) lebih berguna (Moberly, 2005).
8%
46% 46%
0% 0%0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 24. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk
dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara-negara maju
Sebagian besar responden (54%) setuju bahwa farmasis dapat
menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan
oleh beberapa negara-negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa dokter memiliki
harapan yang baik terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat
menentukan obat yang tepat bagi pasien. Untuk itu farmasis harus meningkatkan
keterampilan untuk mengaplikasikan keadaan penyakit dengan pemilihan obat
serta menggunakan catatan kasus pasien agar dapat berperan secara efektif dalam
pelayanan pasien (Aslam, 2003).
Pada penelitian ini sejumlah 46% responden menyatakan tidak setuju.
Nurdiati (2005) menyebutkan bahwa 100% dokter spesialis berpendapat bahwa
farmasi tidak berhak menentukan terapi walau sesuai dengan diagnosis dokter di
rumah sakit. Menurut dokter spesialis terapi sepenuhnya wewenang dokter dan
tidak dapat dipisahkan dari diagnosis sehingga farmasis tidak berhak menentukan
terapi untuk pasien. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan hasil penelitian.
80
Pada penelitian Nurdiati 100% dokter spesialis tidak setuju farmasi dapat
menetukan terapi, sedangkan pada penelitian ini hanya 46% yang tidak setuju.
Responden (54%) mulai memiliki harapan bahwa farmasis dapat menentukan
terapi. Sebagian responden memiliki pemahaman yang terbuka mengenai peran
farmasis dan tidak menganggap farmasis sebagai ancaman bahkan berharap di
masa mendatang farmasis dapat bekerjasama dengan dokter sebagai rekan kerja
yang sejajar. Kesempatan ini dapat dipergunakan farmasis untuk lebih
meningkatkan pengetahuan mengenai obat secara khusus agar dapat
mengembangkan peran farmasis klinik yang berperan aktif dalam peresepan
sesuai dengan harapan responden. Dengan proses peningkatan pengetahuan
mengenai obat diharapkan farmasis di kemudian hari dapat membutktikan bahwa
proses terapi dapat berjalan lebih optimal apabila farmasis menentukan terapi
secara langsung sesuai diagnosis dokter.
4. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assessment-nya di medical record
Farmasis harus terlibat dalam ronde atau visite pasien. Ronde atau visite
pasien ini merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim
dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bertujuan untuk membantu pemilihan
obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, dan
menilai kemajuan pasien. Farmasis dapat memberikan hasil assessment-nya dan
memberi rekomendasi untuk menjamin penggunaan obat yang benar, melakukan
pengkajian terhadap catatan dalam medical record yang akan berguna untuk
pemberian obat. Setelah kunjungan farmasis dapat membuat catatan mengenai
81
permasalahan dan penyelesaian masalah dalam suatu buku yang dapat digunakan
oleh setiap farmasis yang berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari
pengulangan kunjungan. Buku ini dapat berupa catatan yang serupa dengan
medical record atau merupakan bagian dari medical record.
12%
69%
19%
0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
0%
Gambar 25. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik
untuk dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assassment-nya di medical record
Pada gambar 25 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (81%)
setuju bahwa farmasis dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang
terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assessment-nya di medical record.
Hal ini berbeda dengan penelitian Nurdiati (2005) dimana 56% dokter
spesialis berpendapat bahwa farmasis tidak perlu berhubungan langsung dengan
pasien karena dikawatirkan terjadi perbedaan persepsi antara informasi yang
diberikan oleh dokter dan farmasis. Sedang pada penelitian Savitri (2005) dokter
(20%) tidak setuju apabila farmasis ke bangsal-bangsal karena dikawatirkan akan
mengambil alih tugas dan tanggung jawab dokter. Padahal tugas farmasis dalam
berinteraksi langsung pada pasien adalah memastikan pasien telah mendapat
terapi yang tepat, mengawasi kepatuhan pasien menggunakan obat secara tepat,
memastikan kemajuan pengobatan pada pasien, mengetahui langsung apabila ada
82
keluhan dari pasien mengenai terapi yang diterima. Hal ini bukan untuk
mengambil alih tugas dokter melainkan dapat memberi saran pada dokter
mengenai terapi yang jauh lebih sesuai. Maka perlu juga bagi farmasis untuk
menuliskan hasil assessment-nya di medical record untuk dapat mendukung
terapi yang lebih efektif. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 juga disebutkan bahwa dalam
pelayanan kefarmasian tugas farmsis adalah melakukan visitasi bersama dengan
dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Farmasis harus lebih berani melibatkan diri dalam visitasi, pemberian
saran dalam peresepan dan memberikan assessment dalam medical record juga
meningkatkan kemampuan agar lebih dipercaya oleh dokter untuk terlibat
langsung pada pasien. Hal ini merupakan kesempatan bagi farmasis untuk
dikenal masyarakat sebagai profesi yang berperan penting dalam kesehatan.
5. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis
Dalam strategi untuk memajukan praktek farmasi klinik, kemajuan yang
dicapai tergantung dari kerja individu dengan dokter tertentu yang melihat
adanya kebutuhan dan kepentingan terhadap pelayanan farmasi klinik. Cara yang
terbaik adalah farmasis klinik mencari dan bekerja sama dengan seorang dokter
yang menaruh perhatian dan memiliki spesialisasi yang farmasis tersebut tertarik
secara khusus untuk mempelajari lebih dalam. Farmasis juga harus belajar semua
yang dapat ia pelajari tentang terapetik dan obat-obatan dalam spesialisasi
83
tersebut. Pada umumnya, setiap spesialis medis memiliki pemilihan pengobatan
sendiri.
8%
81%
11%,00% 0%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 26. Harapan responden terhadap perkembangan farmasis klinik untuk
dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (89%)
setuju bahwa pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat
dispesialisasikan agar lebih menguasai suatu bidang khusus, dan dapat
bekerjasama dengan dokter spesialis. Responden berharap di masa mendatang
farmasis klinik dapat mengalami perkembangan dan dapat berdampingan dengan
dokter spesialis untuk menangani pasien secara khusus.
Farmasis harus selalu berkembang untuk meningkatkan pengetahuan
karena penguasaan ilmu sesuai dengan kemajuan jaman akan mempermudah
komunikasi dengan dokter. Maka dari itu farmasis juga perlu untuk mengimbangi
pengetahuan dokter dengan jalan menekuni bidang spesialisasi tertentu.
Hasil penelitian juga menunjukkan sebagian kecil responden (11%)
tidak setuju apabila farmasis mendalami bidang spesialsisasi tertentu. Hal ini
dimungkinkan responden belum menganggap farmasis sebagai rekan kerja yang
sejajar sehingga tidak perlu dispesialisasikan seperti dokter. Hal ini merupakan
84
tantangan bagi farmasis untuk menunjukkan bahwa farmasis kelak dapat menjadi
rekan kerja yang sejajar bagi dokter bahkan bagi dokter spesialis.
6. Harapan responden terhadap keterlibatan farmasis secara langsung pada pasien bersama dokter dan tenaga kesehatan lain akan dapat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi pasien
Tujuan farmasi klinik adalah memaksimalkan efek terapetik,
meminimalkan resiko dan meminimalkan biaya. Pelayanan farmasi klinik dengan
keterlibatan langsung dengan pasien di bangsal rumah sakit sangat diperlukan
untuk memberikan jaminan pengobatan rasional (efektif, aman, tersedia, dan
biayanya terjangkau). Farmasis dapat memaksimalkan efek terapetik dengan
meningkatkan efektivitas terapi. Farmasis dapat membantu dokter dalam
pemilihan obat dan ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien serta mengevaluasi hasil terapi. Farmasis juga dapat
meminimalkan resiko dengan memastikan resiko yang sekecil mungkin bagi
pasien serta meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat (efek
samping, dosis, interaksi, dan kontra indikasi). Farmasis dapat membantu
meminimalkan biaya dengan menyarankan jenis obat yang paling efektif baik
dalam hal biaya maupun pengobatan yang rasional serta menyarankan jenis obat
yang terjangkau oleh kemampuan pasien.
Farmasis juga dapat menjadi patner berdiskusi dalam pemilihan terapi
yang tepat bagi pasien dan memberikan informasi mengenai obat yang lengkap
dan tepat bagi dokter sebagai bahan pertimbangan dokter dalam menuliskan
resep. Farmasis juga dapat memberi informasi pada tenaga kesehatan lain demi
menjamin efektivitas terapi. Misalnya informasi interaksi obat-makanan pada
85
perawat dan ahli gizi, informasi interaksi farmasetik pada pencampuran obat
suntik bagi perawat.
12%
88%
0% 0% 0%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sangat SetujuSetujuTidak SetujuSangat Tidak SetujuTidak Menjawab
Gambar 27. Harapan responden terhadap keterlibatan farmasis secara
langsung pada pasien bersama dokter dan tenaga kesehatan lain akan dapat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat
bagi pasien
Gambar 27 menunjukkan seluruh responden memiliki harapan terhadap
peran farmasis klinik bahwa dengan keterlibatan farmasis secara langsung pada
pasien bersama dokter dan tenaga kesehatan lain akan sangat membantu dokter
dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi pasien. Dari hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 100% responden berharap bahwa di
masa mendatang farmasis klinik mengalami perkembangan dan dapat terlibat
langsung pada pasien. Responden berpendapat bahwa dengan keterlibatan
farmasis klinik bersama dengan dokter dapat menjamin proses terapi yang tepat
bagi pasien dan meningkatkan pelayanan kesehatan. Dengan diketahuinya bahwa
responden berharap farmasis dapat terlibat langsung pada pasien, farmasis harus
lebih berani lagi terlibat di bangsal-bangsal, instalasi gawat darurat, instalasi
bedah, dan lain lain. Farmasi juga harus menunjukkan kemampuan serta belajar
lebih lagi agar dapat lebih dihargai oleh dokter maupun tenaga kesehatan lain.
86
C. Rangkuman Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan responden memiliki persepsi tentang peran
farmasis klinik yang sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi rumah
sakit yang menyatakan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit merupakan pelayanan
yang berorientasi kepada pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan
farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, namun dalam hal
keterlibatan farmasis dalam penanganan nutrisi parenteral dan dalam mengakses
penyakit maupun riwayat pengobatan pasien,69% dan 50% responden tidak setuju.
Hal ini dimungkinkan responden kurang memahami peran farmasis dalam pelayanan
penggunaan obat. Maka dari itu farmasis perlu melakukan sosialisasi mengenai peran
farmasi di rumah sakit agar peran farmasis klinik dapat lebih diterima dan dipahami
oleh dokter dan tenaga kesehatan lain terutama peran farmasis klinik yang belum
dapat dipahami dan diterima oleh dokter dan tenaga kesehatan lain.
Responden memiliki harapan tentang keterlibatan farmasis klinik dalam
menentukan obat sesuai diagnosis dokter, visitasi secara langsung pada pasien
bersama dokter akan dapat membantu menjamin terlaksananya proses terapi yang
tepat bagi pasien, namun 50% dan 69% responden tidak setuju bahwa farmasis
klinik dapat mendampingi dokter dalam pemeriksaan dan memberikan saran
peresepan obat serta mendiskusikan hasil pemeriksaan bersama dengan dokter untuk
menentukan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasien,. Hal ini dimungkinkan
karena responden merasa wewenang dan tanggung jawab responden dapat diambil
alih oleh farmasis. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi responden. Oleh karena
87
itu farmasis perlu membuktikan bahwa farmasis adalah mitra kerja dokter dalam
bidang kesehatan yang dapat bekerjasama dan membantu dokter dalam
mengoptimalkan proses terapi. Farmasis harus mengambil kesempatan yang ada
sesuai dengan harapan responden dengan terlibat lebih aktif dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Hal ini bertujuan agar farmasis dapat menunjukkan peran
dan tanggung jawab farmasis sehingga tenaga kesehatan lain dapat lebih memahami
fungsi dan peran farmasis dan tidak menganggap keberadaan farmasis sebagai suatu
ancaman namun sebagai rekan kerja yang sejajar dengan dokter.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Responden berkecenderungan setuju dengan peran farmasis klinik menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1197/Menkes/SK/X/2004
a. pelayanan farmasi rumah sakit merupakan pelayanan yang berorientasi
kepada pasien (100%)
b. pemantauan penggunaan obat (96%).
Responden tidak setuju dalam hal keterlibatan farmasis dalam:
a. penanganan nutrisi parenteral (69%)
b. dalam mengakses penyakit maupun riwayat pengobatan pasien (50%),
namun di sisi lain 46% setuju.
2. Responden memiliki harapan tentang keterlibatan farmasis klinik dalam:
a. menentukan obat sesuai diagnosis dokter (54%)
b. visitasi bersama dokter (81%).
Sebanyak 50% dan 69% responden tidak berharap bahwa farmasis klinik dapat
mendampingi dokter dalam pemeriksaan dan memberikan saran peresepan obat
serta mendiskusikan hasil pemeriksaan bersama dengan dokter untuk
memutuskan diagnosis dan terapi yang tepat bagi pasien, namun di sisi lain 50%
dan 31% setuju.
88
89
B. Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan agar:
1. dilakukan penelitian sejenis dengan tingkat populasi yang lebih luas yaitu se-
Jawa Tengah atau se-Indonesia.
2. dilakukan penelitian sejenis dengan responden yang berbeda misalnya pada
dokter spesialis atau perawat.
3. dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat menghambat
pelaksanaan pelayanan kefarmasian untuk terlibat dalam proses terapi dan terlibat
langsung di ruang perawatan.
4. dilakukan penelitian dengan berfokus pada jenis pelayanan farmasi klinik yang
telah dilakukan di rumah sakit yang akan diteliti.
5. dilakukan seminar bersama antara dokter dan farmasis secara berkala agar dokter
dapat lebih mengetahui peran farmasis klinik di rumah sakit dan dapat membuka
diri untuk bekerja sama dengan farmasis agar dapat mengoptimalkan proses
terapi di rumah sakit.
6. farmasis perlu segera memulai pelayanan kefarmasian yang berdasar atas
pelayanan farmasi klinik dan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
7. farmasis hendaknya terus mengembangkan ilmu sesuai dengan kemajuan zaman
dan sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran.
8. dapat dilakukan pengembangan dalam pendidikan kefarmasian di Indonesia
dengan membuka pendidikan spesialisasi dalam kefarmasian agar dapat
bekerjasama dengan dokter spesialis.
90
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992, Undang-Undang Kesehatan No. 23, 3-75, DepKes RI, Jakarta
Anonim, 1998, The Role of The Pharmacist, Int pharm. J., vol 12, No. 3, 82-83 Anonim, 2004a, Aktualisasi Ditjen Yanfar dan Alkes, http://www.yanfar.go.id/
diakses tanggal 07 Maret 2006 Anonim, 2004b, Keputusan Menteri Kesehatan No.1197/MENKES/SK/X/2004
Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit,1102-1140, DepKes RI, Jakarta
Anonim, 2004c, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, 14-16, ISFI, Yogyakarta ASHP, 1995, ASHP Statement on Pharmaceutical Care, 5, American Society of
Hospital Pharmacist Inc., USA Aslam M., Tan C. K., Prayitno A., 2003, Farmasi Klinis, Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, 3-25, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta
Azwar, D., 2004, Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010,
http://www.yanfar.go.id/ diakses tanggal 07 Maret 2006 Azwar, S., 2003a, Penyusunan Skala Psikologi, 5-7, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Azwar, S., 2003a, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Board of Pharmaceutical Specialties, 2007, Board of Pharmaceutical Specialties
Announces New Board and Specialty Council Member and Officers for 2007, www.activemater.com, diakses tanggal 11 Maret 2007
Cipolle R.J., Strand I.M., Morley P.C., 1992, Pharmaceutical Care: an Introduction
Kalamazoo, MI: Upjohn Company Cipolle R.J., Strand I.M., Morley P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, Mc
Craw-Hill, New York. Clinical Resource and Audit Group, 1996, Clinical Pharmacy in the Hospital
Pharmaceutical Service: A Framework for Practice, Scottish Office Depatment of Helath, Edinburgh
Hadi, Sutrisno, 1991, Analisis Butir untuk Instrumen, 21-23, Andi Offset,
Yogyakarta
91
Hepler CD, Strand LM., 1990, Opportunities and responsibilities in
pharmaceutical care. Am J Hosp Pharm. Matsumoto, Shimizu, and Fukuoka, 2003, What Doctors Expect Of A Pharmacist,s
Work-How Pharmacist Is Evaluated By Doctors, Yakugaku Zasshi, Mar; 123(3); 173-178
Moberly Tom, 2005, Will Community Pharmacist Really be Able to Prescribe
Independently?, Pharmecutical Jurnal, http://www.pharmj.org.uk/ diakses tanggal 07 Maret 2006
Muijrers, (2003), Changing relationships: attitudes and opinions of general
practitioners and pharmacists regarding the role of the community pharmacist, Pharmecutical Jurnal, http://www.pharmj.org.uk/ diakses tanggal 07 Maret 2006
Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, 31, 117, 141, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta. Nurdiati, T., 2005, Profesi Farmasis di Rumah Sakit dalam Perspektif Dokter
Spesialis di Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta
Nurgiantoro, 2002, Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 316, 319,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pratiknya A. W., 2003, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dalam Kancah Penelitian, 13, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta
Roy M.D., 1998, Basic Skills In Clinical Pharmacy Practice, 1-19, ASHP Inc., USA Savitri, R., 2005, Persepsi Dokter Umum Terhadap Profesi Farmasis Terkait Konsep
farmasi Klinik di Rumah Sakit Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta
Sevilla, C. G., Ochave, J. A., Punsalon, T. E., Regala, B. P., and Uriartc, G. G., 1993,
An Introduction to Research Methods, diterjemahkan oleh Tuwu, A., Edisi 1, 72, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Siregar, Carles J.P., 2005, Farmasi Klinik: Teori dan Penerapan, 17, EGC, Jakarta Smith, W.E., Max D.R. and David M.S., 2002, Physician’s Expectation of
Pharmacists, Am Health-Syst Pharm, 50-59.
92
Sugiyono, 2003, Statistika untuk Penelitian, cetakan ke lima, CV Alfa Beta, Bandung
Wijayanti, (2005), Persepsi Dokter tentang Peran Apoteker di Apotek di Kota
Magelang, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Yusmainita, 2002a, Pemberdayaan Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
http://www.farmasinet.com/ diakses tanggal 07 maret 2006 Yusmainita, 2002b, Perlindungan Pasien Melalui Pelayanan Asuhan Kefarmasian di
Rumah Sakit Pemerintah, http://www.farmasinet.com/ diakses tanggal 07 Maret 2006
93
94
95
96
Lampiran 4. Kuisioner
LEMBAR KUISIONER
Identitas responden
Nama : …………………………….
Alamat : …………………………….
Usia : …………………………….
Rumah sakit tempat praktek : …………………………….
Masa kerja di rumah sakit : …………………………….
Petunjuk :
Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan pendapat dan
keyakinan Anda.
Keterangan :
SS : Sangat setuju
S : Setuju
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
Respon No Pertanyaan SS S TS STS
1. Farmasis adalah sebuah profesi yang menekuni ruang lingkup obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat dan alat kesehatan.
2. Farmasis pada perkembangannya harus mulai berorientasi pada pasien lebih dari berorientasi pada produk.
3. Farmasis harus memberikan perhatian pertama dan utama kepada kesejahteraan pasien dengan segala aspeknya.
4. Farmasis bertanggung jawab dalam memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan.
97
5. Farmasis bertanggung jawab dalam menganalisis efektivitas biaya.
6. Farmasis tidak harus ikut bertanggung jawab dalam penyusunan formularium obat.
7. Farmasis harus dapat berkomunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien.
8. Farmasis harus mendokumentasi setiap kegiatan untuk dilakukan evaluasi terhadap pelayanan kefarmasian.
9. Farmasis harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
10. Farmasis bertanggung jawab dalam memberikan informasi mengenai obat kepada dokter dan perawat.
11. Farmasis harus bertanggung jawab mengenai masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drugs related problem).
12. Farmasis tidak bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (terapeutic drugs monitoring).
13. Farmasis tidak harus menangani pencampuran obat suntik.
14. Farmasis tidak harus menangani nutrisi parenteral.
15. Farmasis harus menangani obat kanker atau sitostatika.
16. Farmasis dapat mengakses penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional.
17. Farmasis dapat membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan memberikan masukan pada dokter dalam peresepan.
18. Farmasis tidak perlu memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan
19. Keterlibatan farmasis seperti yang telah disebutkan di atas sangat membantu dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi.
98
20. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam peresepan obat.
21. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang farmasis dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat bagi pasien.
22. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara maju.
23. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assessment-nya di medical record.
24. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis.
25. Keterlibatan farmasis secara langsung pada pasien bersama-sama dengan dokter sangat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi pasien.
99
Lampiran 5. Frekuensi jawaban kuisioner oleh responden
No SS S TS STS TM K 1. 62% 38% 0% 0% 0% S
2. 42%
58% 0% 0% 0% S
3. 31% 65 % 0% 0% 4 %
S
4. 42% 54 % 4 %
0% 0% S
5. 19% 66% 15%
0% 0% S
6. 0% 4% 69% 27%
0% TS
7. 42% 58%
0% 0% 0% S
8. 42% 58%
0% 0% 0% S
9. 23% 73% 4%
0% 0% S
10. 46% 46%
8% 0% 0% S
11. 23% 62% 15%
0% 0% S
12. 0% 46% 35% 15%
4% TS
13. 4% 35%
50 % 11% 0% TS
14. 4% 65% 19% 4% 8%
S
15. 11% 73% 8% 4% 4%
S
16. 19% 27% 50 %
0% 4% TS
17. 15% 73% 12% 0% 0% S
18. 0% 8% 65% 27%
0% TS
19. 23% 77%
0% 0% 0% S
20. 8% 42% 50% 0% 0% S&TS
21. 4% 27% 65% 4%
0% TS
22. 8% 46% 46% 0% 0% S
23. 12%
69% 19% 0% 0% S
24. 8%
81% 11% 0% 0% S
25. 12%
88% 0% 0% 0% S
100
Keterangan :
1. Farmasis adalah sebuah profesi yang menekuni ruang lingkup obat dan bertanggung jawab penuh pada pelayanan obat dan alat kesehatan.
2. Farmasis pada perkembangannya harus mulai berorientasi pada pasien lebih dari berorientasi pada produk.
3. Farmasis harus memberikan perhatian pertama dan utama kepada kesejahteraan pasien dengan segala aspeknya.
4. Farmasis bertanggung jawab dalam memantau penggunaan obat baik pada pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan.
5. Farmasis bertanggung jawab dalam menganalisis efektivitas biaya. 6. Farmasis tidak harus ikut bertanggung jawab dalam formularium obat. 7. Farmasis harus dapat berkomunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan
lain, serta berpartisipasi dalam membahas masalah terapi yang diberikan pada pasien.
8. Farmasis harus mendokumentasi setiap kegiatan untuk dilakukan evaluasi terhadap pelayanan kefarmasian.
9. Farmasis harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.
10. Farmasis bertanggung jawab dalam memberikan informasi mengenai obat kepada dokter dan perawat.
11. Farmasis harus bertanggung jawab mengenai masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (drugs related problem).
12. Farmasis tidak bertanggung jawab dalam pemantauan kadar obat dalam darah (terapeutic drugs monitoring).
13. Farmasis tidak harus menangani pencampuran obat suntik. 14. Farmasis tidak harus menangani nutrisi parenteral. 15. Farmasis harus menangani obat kanker atau sitostatistika. 16. Farmasis dapat mengakses penyakit dan riwayat pengobatan pasien dalam
rekam medis untuk memantau penggunaan obat yang rasional. 17. Farmasis dapat membantu menentukan terapi yang tepat bagi pasien dan
memberikan masukan pada dokter dalam peresepan. 18. Farmasis tidak perlu memberikan konseling obat baik pada pasien rawat inap
maupun pasien rawat jalan 19. Keterlibatan farmasis seperti yang telah disebutkan di atas sangat membantu
dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memaksimalkan proses terapi. 20. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat
mendampingi dokter dalam pemeriksaan serta memberikan saran dalam peresepan obat.
21. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang farmasis dapat ikut mendiskusikan hasil pemeriksaan baik fisik maupun laboratorium bersama dengan dokter untuk memutuskan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat bagi pasien.
22. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat menentukan obat sesuai dengan diagnosis dokter seperti yang telah dipraktekkan oleh beberapa negara maju.
101
23. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat ikut dalam visitasi, siap memberikan saran tentang terapi pasien dan dapat menuliskan hasil assassment-nya di medical record.
24. Pada perkembangan farmasi di masa mendatang, farmasis dapat dispesialisasikan agar dapat bekerja sesuai bidang spesialisasinya, dan dapat bekerjasama dengan dokter spesialis.
25. Keterlibatan farmasis secara langsung pada pasien bersama-sama dengan dokter sangat membantu dokter dalam menjamin terlaksananya proses terapi yang tepat bagi pasien.
SS = Sangat Setuju S = Setuju TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju TM = Tidak Mengisis K = Kecenderungan
102
BIOGRAFI PENULIS
Eunike, lahir di Kota Magelang pada tanggal 29 Januari
1985. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan
Hendy Sugianto dan Lily Lydiawati. Penulis telah
menempuh pendidikan di TK Pius X Magelang, SD
Tarakanita Magelang, SLTP Tarakanita Magelang,
SMUN 1 Magelang, dan melanjutkan di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa
kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum
Formulasi dan Teknologi Sediaan Padat dan panitia
pelaksanan PIMFI pada bulan September 2006 sebagai
sie Acara.