persepsi masyarakat lebaksiu – tegal terhadap...
TRANSCRIPT
PERSEPSI MASYARAKAT LEBAKSIU – TEGAL
TERHADAP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
Disusun Oleh:
SUTIKNO
NIM: 205044100582
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2011 M/1432 H
KATA PENGANTAR
�� ا� ا�� ��� ا�� � �ب
�ا���� � ا� �� -� 5م 6$7 � 5 ة وا�3وا�1 ‚.#ا-�,+�!� "!*�() ا & " � %$# "!� �ا�
ي "��@�ئ <�ء�� ن ا9��� F� -� �#ا 9� ا� DE9�ة ��) و,�+) ا�و7$6 ا ‚-�
� ׃� "*� ا 9 رG#ا-�و
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Ilahi Robby, Sholawat dan
salam senantiasa tercurah ke haribaan junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang
telah memberikan taufik dan hidayahnya, serta nikmat sehat, iman dan islam. Allah
SWT telah menciptakan manusia beraneka ragam, disertai dengan kelengkapan akal
pikiran sehingga menjadi manusia yang kreatif, inovatif, dan mampu memahami serta
mengamalkan norma-norma ajaran Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul : ” PERSEPSI MASYARAKAT LEBAKSIU – TEGAL
TERHADAP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN”
Alhamdullilah dalam penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih terutama orang tua tercinta, ibunda, beserta kakak dan kepada isteri dan
anak-anak yang telah memberikan motivasi, nasehat dan kontribusi sehingga dapat
selesainya pendidikan S-1 di UIN Jakarta. Semoga Allah swt memberikan balasan
dan rIzki yang tiada hentinya kepda kita semua.
Tak lupa pula, penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan
kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi dalam penulisan skrisi ini,
terutama kepada:
1. Prof. Dr. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum
2. Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA, selaku Ketua Kordinasi Teknis Al-Akhwal
Al-Syaksiyah
3. Drs. H. Ahmad Yani, MA, yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
secara intensif dan efektif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Jurusan fakultas syari’ah umumnya dan khususnya dosen jurusan
SAS atas bimbingannya hingga penulis mampu membuat dan menyelesaikan
skripsi ini.
5. Pihak perpustakaan Syaria’ah dan Hukum, yang telah memberikah fasilitas serta
kemudahan pada penulis untuk mengadakan studi perpustakaan. Dan teman-
teman yang memberikan semangat kepada penulis.
6. Dr. Halimah Ismail, selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang selalu
memberikan Didikkan yang matang sehingga tidak terkira sampai penulis berhasil
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepala Desa Lebaksiu dan para karyawan-karyawati yang telah memberikan data
masyarakat lebaksiu untuk melengkapi skripsi ini.
8. Ibunda tercinta Tuti Sukarti dan kakak-kakakku yang telah memberikan nasehat
dan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Yang tersayang isteri dan anak-anak, Nita Rochman, Nino Yoga Pratama dan
Safwatul Hadi yang telah memberikan inspirasi sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
10. H. Abdul Aziz Kamaluddin, MA, selaku pimpinan KUA kecamatan cilandak
yang telah memberikan semangat dan arahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.
11. Teman-teman semua yang telah membantu penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt, mudah-mudahan apa
yang telah penulis selesaikan dan penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini
mendapatkan ridho dari Allah Swt dan semoga skripsi ini dapat menjadi pedoman
dan manfaat. Amin
Jakarta: 20 Juni 2011 M_______ 18 Rajab 1432 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………………...6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………..7
D. Metode Penelitian…………………………………………………….7
E. Sistematika Pembahasan…………………………………………….11
BAB II KERANGKA TEORI
A. Kafa’ah dalam perkawinan………………………………………….13
1. Dasar Hukum……………………………………………………20
2. Urgensi Kafa‘ah………………………………………………....24
B. Persepsi Tentang Kafa’ah..................……………………………….31
BAB III GAMBARAN UMUM DESA LEBAKSIU KECAMATAN.
LEBAKSIU
KAB. TEGAL
A. Letak Geografis……………………………………………………..43
B. Struktur Pemerintahan………………………………………………44
C. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Lebaksiu-Tegal…………………...48
1.Sarana Ibadah……………………………………………………...48
2. Sarana Pendidikan ……………………………………………......49
3. Sarana Sosial ……………………………………………………..50
BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden…………………………………………....51
B. Pemahaman Masyarakat Desa Lebaksiu Tentang Kafa’ah………....54
C. Persepsi Masyarakat Desa Lebaksiu Tentang Pengaruh Kafa’ah......59
D. Analisis Hasil Penelitian………………………………………........65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................69
B. Saran.........................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................72
LAMPIRAN - LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu cara yang diciptakan Allah SAW untuk
mendapatkan kebahagiaan. Dalam hal ini, Nikah juga merupakan suatu perjanjian
perikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perjanjian disini bukan
sembarang perjanjian seperti perjanjian jual beli atau sewa menyewa, tapi
merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki
dan perempuan.
Kebahagian hidup merupakan salah satu cita-cita bagi semua orang dalam
kehidupannya, baik kebahagian karena keberhasilan menjalankan tugas dan
kewajibannya maupun keberhasilan dalam menghindari suatu penderitaan.
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.Sebuah
perkawinan dapat menentramkan jiwa, meredam emosi, menutup pasangan dari
segala yang dilarang Allah, mendapatkan kasih sayang suami isteri yang
dihalalkan oleh Allah. Sementara tujuan lainnya perkawinan yaitu untuk
mengembangkan keturunan, dan untuk menjaga ikatan kekeluargaan, serta
mempererat ikatan kasih sayang sesama mereka. Karena keluarga yang diikat
dengan cinta kasih adalah keluarga yang kokoh dan bahagia.1
Perkawinan merupakan kegiatan alamiah yang dilakukan oleh umat
manusia untuk tetap melestarikan keturunannya. Agama Islam menganjurkan
perkawinan, sedangkan arti perkawinan itu sendiri adalah suatu ikatan lahir dan
batin antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga yang dilangsungkan menurut ajaran syari’at Islam.
Islam diibaratkan sebagai ikatan yang sangat kuat, bagaikan ikan dengan
airnya, dan bagaikan beton bertulang yang sanggup menahan getaran gempa.
Kalau kita amati, pada awalnya mereka yang melakukan pernikahan tidak saling
mengenal dan kadang kala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan
tetapi tatkala memasuki perkawinan, mereka begitu menyatu dalam
keharmonisan, bersatu dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera
kehidupan.
Untuk mencapai kebahagian, ketenangan dan kasih sayang dalam suatu
rumah tangga, diperlukan adanyan keserasian atau keseimbangan antara kedua
belah pihak calon suami dan isteri tersebut. Keserasian dan keseimbangan
tersebut dalam hukum pernikahan Islam dikenal dengan istilah kafa’ah. Menurut
Sayyid Sabiq kafa’ah dalam penikahan berarti sederajat, sama dan sebanding.
Maksudnya adalah laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
1 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amini, 2002), hal. 7
kekayaannya. Tidaklah diragukan lagi jika kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sebanding, merupakan factor kebahagiaan hidup suami isteri dan
menjamin keselamatan laki-laki dan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan
rumah tangga2.\
Hubungan perkawinan merupakan salah satu aspek hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan
saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, Juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan
untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan lainnya. Karena perkawinan
termasuk pelaksanaan agama, maka didalamnya adanya tujuan dan maksud
mengharapkan keridhaan Allah SWT.3
Perkawinan merupakan suatu ketentuan Allah didalam menjadikan dan
menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku tanpa
terkecuali baik bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
4
Sedangkan Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7 (Bandung, PT. Alma’arif, 1981), Cet. I, hal. 36
3 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung, PT.Sinar Baru Algesindo, 1994), Cet.27, hal.375
4 Abd. Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah,(Surabaya, Bina Ilmu, 1995), hal.41
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga yang
sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.5
Tujuan keseimbangan dalam perkawinan ini memang sama dengan tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Untuk itu suami isteri perlu adanya rasa saling
membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Sejalan dengan berkembangnya zaman sekarang ini, nampaknya masih
banyak dari kalangan masyarakat kita yang terus menerus mementingkan materi
dalam menempuh perkawinan, mereka lupa bahwa ada aspek lain yang tidak
dapat, dihargai dengan nilai materi. Akan tetapi karena pada umumnya, mereka
hanya memandang pada aspek yang nyata saja dalam kehidupan ini, maka
akhirnya mereka lupa akan makna dan tujuan perkawinan itu.
Dalam menentukan pilihan terhadap calon istri atau suami, Islam telah
Menganjurkan agar kesetaraan antara calon suami dan calon istri hendaknya
dipenuhi oleh kedua belah pihak yang setara kedudukannya ditengah masyarakat,
seperti dalam segi ekonomi, intelektual, pendidikan, dan lainnya. Hal ini harus
5 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), hal. 22
diperhatikan dari sejak awal demi menjaga masa depan perkawinan kedua belah
pihak.6
Untuk dapat terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah, Islam menganjurkan agar adanya kafa’ah atau
keseimbangan antara calon suami dan calon istri. Tetapi hal ini bukanlah
merupakan suatu yang mutlaq, melainkan suatu hal yang harus diperhatikan guna
tercapainya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi. Karena pada prinsipnya
Islam memandang sama kedudukan umat manusia dengan manusia lainnya.
Kafa’ah itu sendiri mempunyai arti kesamaan, serasi, seimbang, dan
lainnya. Kalau dalam artian luas yaitu keserasian antara calon suami dan calon
istri, baik itu dalam agama, akhlak, kedudukan, keturunan, pendidikan dan
lainnya. Namun, meskipun konsep kafa’ah ini bukanlah merupakan suatu hal
yang dapat menjamin kebahagiaan keluarga, tetapi pada umumnya masyarakat
mempunyai persepsi.
Jika salah satu anggotanya akan melangsungkan perkawinan, maka sudah
menjadi keharusan pula pasangan yang akan dijadikan calon mempelainya itu
harus mempunyai kriteria-kriteria yang telah ditetapkan jauh sebelum akad
pernikahan dilaksanakan. Masyarakat beranggapan bahwa suatu rumah tangga
akan mencapai kebahagiaan apabila kriteria-kriteria tersebut ada dan dimiliki
6 Syaikh Adil Fathi Abdullah, Adab & Tuntutan Meminang, (Jakarta, Pustaka Kamil, 2004),
hal. 50
setidaknya oleh orang tua calon pasangannya dan lebih baik lagi bila dimiliki oleh
pasangan yang nantinya mendampingi kehidupan dari salah satu bagian anggota
keluarganya.
Berdasarkan pengamatan sementara, bahwasanya di Desa Lebaksiu
Kabupaten Tegal mengutamakan faktor kafa’ah sebagai pertimbangan utama
untuk melangsungkan pernikahan dengan tujuan untuk mencapai keharmonisan
rumah tangga, namun kenyataannya tidak semua masyarakat menjalankannya.
Factor kafa’ah sebagai pertimbangan utama untuk melangsungkan proses
pernikahan akan tetapi ada juga yang berakhir dengan perceraian.
Untuk lebih jelas mengetahui bagaimana masyarakat Desa Lebaksiu
Kabupaten Tegal tentang pemahaman kafa’ah dalam perkawinan dan persepsi
masyarakat tentang pengaruh dari kafa’ah itu sendiri dalam melaksanakan
pernikahan. Karena itu sangat penting untuk dikaji sebagai pedoman.
Maka penulis akan menguraikan pembahasan mengenai kafa’ah tersebut
dalam skripsi berjudul “PERSEPSI MASYARAKAT LEBAKSIU – TEGAL
TERHADAP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Kafa’ah dalam perkawinan meliputi adanya factor keturunan, kekayaan,
kecantikannya, dan factor agama. Karena permasalahan kafa’ah sangat luas, maka
dengan penelitian ini dibatasi pada beberapa masalah tentang kafa’ah dalam
perkawinan di Desa Lebaksiu-Tegal.
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka permasalahannya
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman masyarakat Lebaksiu di Desa Lebaksiu Kec.
Lebaksiu Kab.Tegal tentang kafa’ah dalam perkawinan?
2. Bagaimana persepsi masyarakat lebaksiu di Desa Lebaksiu Kec. Lebaksiu
Kab. Tegal terhadap pengaruh kafa’ah dalam perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan masalah yang dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Desa Lebaksiu Kecamatan
Lebaksiu kab.Tegal tentang kafa’ah
2. Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat desa lebaksiu kec.
Lebaksiu Kab. Tegal terhadap pengaruh kafa’ah dalam perkawinan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan metode penelitian empiris. Dilihat
dari sudut pandang sumber datanya, penelitian ini merupakan penelitian
lapangan (field research). Dilihat dari sudut pandang sifat data yang dihimpun,
penelitian ini merupakan kualitatif.7 Pendekatan kualitatif bermanfaat untuk
memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat agar semakin jelas.
Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif.8 Dilihat dari sisi adanya penerapan teknik sampling, penelitian ini
merupakan penelitian survai. Dimana penelitian survai merupakan penelitian
yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan Questionary
sebagai alat pengumpul data yang pokok.
2. Sumber Data
Ada dua jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini, yaitu data
primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung
bersumber dari responden penelitiannya, sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh melalui studi perpustakaan yang bertujuan untuk memperkuat
data. Dan diihimpun dengan teknik Questionary.
3. Pengambilan Sampel dan Subyek Populasi
a. Sampel
Sampel dalam penelitian, sebagian dari populasi yang digunakan
dalam penelitian berhubung jumlah polulasi tersebut terlalu banyak, maka
pengambilan sampel menggunakan teknik sampling acakan yang sederhana
(Simple Random Sampling).
7 Metode Penelitian Survai/editor, Marsi Singarimbun dan Sofian effendi. Rev. ed. Jakarta:
LP3ES, 1989, hal. 9-11
8 J, Supranto, Metode Penelitian dan Hukum Stastitik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hal. 183
Hal ini sampel yang gunakan dengan menyebarkan questionary
sebanyak 100 questionary terhadap responden yang akan diteliti, namun
jumlah yang tersebut ternyata 90 questionary yang bias digunakan untuk
sampel. Karena hal ini masih adanya data yang kurang lengkap dari para
responden.
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah masyarakat Desa
Lebaksiu Kecamatan Lebaksiu yang belum menikah maupun sudah menikah
berusia antara 17 s/d 50 tahun sesuai dengan daftar nama yang diperoleh dari
kantor desa dan jumlah kepala keluarga yang ada.
Questionary disebarkan kepada 100 orang responden. Questionary
memuat 20 (dua puluh) item pertanyaan (lihat lampiran), yang terdiri atas 9
(Sembilan) item pertanyaan tentang identitas asal-usul responden, 5 (lima)
item yang merupakan masalah perkawinan dan 15 (lima belas) item
pertanyaan yang merupakan indikator responden terhadap pemahaman dan
persepsi kafa’ah dalam perkawinan.
b. Populasi
Subyek populasi yang digunakan sebagai penelitian ini yaitu
masyarakat Desa Lebaksiu Kecamatan Lebaksiu Tegal yang setiap rukun
warga digunakan sebagai penelitian Angket yang telah dibuat oleh penulis.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam skripsi ini dikumpulkan dari sumbernya
dengan teknik :
a. Angket (Questionary) : Yaitu serangkaian pernyataan secara tertulis yang
disertai dengan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang dipilih oleh
responden tentang kafa’ah dalam perkawinan.
b. Inteview : Yaitu pengumpulan data dengan menggunakan Tanya jawab
yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan
penelitian. Teknik ini merupakan teknik untuk memperoleh data
demografis untuk mengetahui lebih jauh pemahaman masyarakat desa
lebaksiu kab. Tegal tentang pentingnya kafa’ah dalam perkawinan.
c. Dokumentair : Dengan teknik ini penulis dapat memperoreh data, dokumen,
serta keterang-keterangan tertulis lainnya yang dapat mendukung
keontetikan hasil interview, angket, dan juga sebagai rujukan permasalahan
yang akan dibahas.
5. Teknik Analisa Data
Data yang telah diolah diatas akan dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif, sebagai berikut :
a. Deskriptif : Yaitu menggambarkan apa adanya. Maksudnya
menggambarkan apa adanya hasil penelitian yang berkaitan dengan
pentingnya kafa’ah dalam perkawinan.
b. Kualitatif : Digunakan untuk mengetahui sejauh mana pentingnya kafa’ah
dalam perkawinan, yang diperoleh dari sumbernya, baik secara lisan
maupun tertulis, kemudian disusun secara sistematis untuk mendapatkan
gambaran yang jelas.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan atau berpedoman
kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.”
E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini dibagi kedalam lima bab pembahasan,
dan setiap babnya dibagi menjadi beberapa sub bab dengan perincian sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan Latar belakang masalah, Pembatasan dan
Perumusan masalah, tujuan Penelitian, Metode Penelitian, serta
Sistematika Pembahasan.
BAB II KERANGKA TEORI
Berisi tentang Teori Kafa’ah dalam perkawinan diantaranya Dasar
hukum, urgensi kafa’ah, Serta Teori Persepsi terhadap kafa’ah dalam
perkawinan.
BAB III GAMBARAN UMUM DESA LEBAKSIU KEC. LEBKASIU KAB.
TEGAL
Berisi tentang Letak Geografis, Struktur Pemerintahan, Sarana Ibadah,
Sarana Pendidikan, dan Sarana Sosial.
BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Karakteristik responden,
Pemahaman masyarakat desa lebaksiu tentang kafa’ah, Persepsi
terhadap pengaruh kafa’ah, Analisis hasil penelitian.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka dan Lampiran
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kafa’ah dalam perkawinan
Menurut etimologi (bahasa) kafa’ah berasal dari bahasa arab, yaitu
atauآD�ء #Dء آ آ#D- �Dآ artinya: yang sama, semacam, sepadan. Jadi kafa’ah atau
Kufu’ itu artinya adalah sepadan, sejodoh, seimbang, sederajat.9
Sayyid Sabiq mengemukakan dalam buku Fiqh Sunnahnya bahwa yang
dimaksud dengan kufu’ dalam hukum perkawinan Islam ialah sama, sederajat,
sepadan atau sebanding. Laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dengan akhlak serta
kekayaan.10
Sedangkan pengertian kufu‘ menurut istilah hukum Islam,
yaitu“keseimbangan dan keserasian antara calon isteri den calon suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melakukan perkawinan“, atau laki-
laki sepadan dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam
tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.11
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, PT. Nidakarya Agung, 1989), hal.378
10 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 7, (Bandung, PT. Alma’arifm 1981), Cet. I, hal.36
11 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003), hal.96
Kafa’ah itu sendiri merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu fiqh, dan
hal ini biasanya berlaku dalam perkawinan. Sedangkan maksud kafa’ah dalam
perkawinan adalah keserasian antara calon suami dan calon isteri, sehingga pihak-
pihak yang berkepentingan tidak keberatan terhadap perkawinan itu.12
Riwayat At Tirmidzi dari Abu Hurairah. Rasulullah saw, bersabda:
ا .�� ا� �� ذا: %�ل ر�# ا� ,$6 ا� $7 ) و�$�: �7 ا"6 ه���F %�ل
ا� �D*$# ا��� (!� 6 ا�رض و .<#� �و ،G �� �9#ن د F!) و.$�)
�F �7 د�روا� ا�(� 9( 3� 13 ا٤) ى
Artinya: Dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:”Apabila ada
orang yang baik agamanya dan akhlaknya,meminag kepada anak-anak
perempuan semua, maka kawinilah ia kepadanya, jika kalian tidak
melaksanakannya niscaya akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang
luas”.(Riwayat At Tirmidzi ).
Dalam hadist ini, titahnya ditunjukan kepada para wali agar mereka
mengawinkan perempuan-perempuan yang dikawininya kepada laki-laki
peminangnya yang beragama, amanah dan berakhlak. Jika mereka tidak mau
mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki
yang tinggi keturunannya, berkedudukan dan harta, berarti akan mengakibatkan
fitnah dan kerusakan tak ada hentinya bagi laki-laki tersebut.
12 Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,
1974), hal.69
13 Drs. H. Moh. Zuhri Dipl.Tapl, At Tirmidzi, Jilid 2, (Semarang, CV. Asy syifa, 1992), hal.
409
Kafa’ah itu sendiri bukan menjadi syarat bagi pernikahan tetapi jika tidak
dengan keridhaan masing-masing, yang lain boleh membatalkan pernikahan itu
dengan alasan tidak sekufu’(sederajat atau sepadan).14
Hasbullah Bakry menjelaskan bahwa pengertian kafa’ah ialah di antara
calon suami dengan calon isterinya setidak-tidaknya dalam tiga perkara yaitu
agama (sam-sama Islam), harta (sama-sama berharta), dan kedudukan dalam
masyarakat (sama-sama merdeka).15
Kafa’ah juga menurut istilah dikemukakan oleh Alhamdani yang
mengartikan bahwa kafa’ah sebagai penyesuaian keadaan antara si suami dengan
perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan kedudukannya
dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya.16
Kafa’ah menurut istilah juga dikemukakan oleh M. Ali Hasan yang
mengartikan kafa’ah sebagai kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan
isteri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami isteri secara mantap dalam
menghindari celaan di dalam masalah-masalah tertentu.17
Dari pengertian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
kafa’ah secara umum adalah keserasian atau kesetaraan antara calon suami
14 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung, Sinar Baru Alghesinde, 1997), Cet. 31, hal.390
15 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta, UI PREES, 1998), hal.159
16 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 15
17 M Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta, Prenada Media,
2003), hal.33
dengan calon isterinya yang akan melangsungkan perkawinan dari semua aspek,
baik itu aspek agama, kekayaan, pendidikan ataupun status sosial, atau juga dari
aspek kecantikan.
Oleh karena itu, hendaknya pihak-pihak yang mempunyai hak sekufu itu
menyatakan pendapatnya tentang calon mempelai keduanya. Sebaliknya,
persetujuan tentang sekufu ini oleh pihak-pihak yang terkait berhak dicatat,
sehingga dapat dijadikan alat bukti, seandainya ada pihak yang akan menggugat
nanti.18
Kafa’ah dalam perkawinan hanya di perlakukan bagi laki-laki bukan
perempuan, artinya orang laki-lakilah yang disyaratkan agar sekufu dengan
perempuan yang akan dikawininya, setingkat dengan perempuan dan si
perempuan tidak disyaratkan harus sepadan dengan laki-lakinya.19
Dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim, Rasul memberi pedoman dalam memilih pasangan yaitu :
��� �@�، : �!�¥ ا��� أة £ر"¢ ,$*� %�ل +�76 ا "¡ ه��Fة �7 ا�!
�ات ا�و�"�D§ � ،�@!F، و���@��، و<��3+@�� ث�� (�F ©"�� �Fاك
18 Kamal Muktar, Asas-asas Huku,m Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,
1974), hal. 75
19 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 23-24
٢ا) ,¥ روة ا�+»�رى و$39�
20
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda :“Wanita dinikahi karena empat hal: Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya(ketaatannya kepada Agama),Maka pilihlah wanita yang taat kepada
agama (ke-Islamannya),maka kamu akan bahagia.(Hadist shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sekufu, sederajat,
seimbang dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Ada beberapa faktor
di dalamnya diantaranya :
a. Keturunan
Pada dasarnya masalah keturunan bukan lagi hal yang perlu
diperdebatkan lagi karena yang demikian itu tidak lagi menjadi halangan pada
zaman sekarang ini, namun perlu diketahui sekufu dalam keturunan sudah ada
sejak dahulu.
Riwayat Abu Daud, Rasulullah saw bersabda:
F�"!� : �7 ا"� ه� �F رض ا� 7!) ان ا�!+6 ,$6 ا� $7 ) و �$� %�ل
21٢٢.)روا� ا"# داود (#اا� ) وآ�ن �� 9� " ��Gا-��#ا"�ه!�وا-��
Artinya:
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Wahai Bani Bayanah,nikahkanlah Abu Hindun, dan nikahkanlah anak
20 Zainuddin Hamidy, Shahih Bukhari, Jilid 4, (Jakarta, Widjaya, 1992), hal. 10
21 Ustadz Bey Arifin, Sunan Daud, Jilid 3, (Semarang, Asy Syifa, 1993), hal.35
perempuanmu kepada dia.Padahal Abu Hindun adalah seorang tukang
bekam”. (Riwayat Abu Daud ).
Dari keterangan diatas terlihat masih berlaku sifat keturunan dalam
kufu pada perkawinan, untuk itu jangan salah paham bahwa Rasul
mengajarkan boleh membanggakan keturunan, tetapi ini adalah hanya sebagai
pernyataan saja atau khabariyah dan bukan untuk membanggakan atau
bertafakhar atas orang lain, karena Rasul atau Islam melarang seperti itu.
b. Merdeka
Budak tidak sekufu dengan wanita merdeka, dan begitu pula laki-laki
yang dimerdekakan dengan wanita yang sejak mula merdeka, dan pula siapa
yang dahulu orang tuanya budak dengan orang yang tidak pernah dari budak,
tidak pula salah satu seorang saja dari bapak-bapaknya budak, sebabnya
adalah karena wanita merdeka jadi tercela bila berada pada tangan seorang
laki-laki budak atau dibawah yang orang tuanya jadi budak.22
Untuk itu wanita yang merdeka sejak semula atau dimerdekakan
seorang wanita yang tidak pernah terkena perbudakan, atau orang tuanya atau
kerabat yang lebih dekat kepadanya tidak pernah terkena kebudakan adalah
tidak biasa diimbangi oleh orang yang tidak seperti itu, dalam arti hubungan
dengan darah kebudakan tersebut.
c. Beragama Islam
22 Aliy As’ad, Fathul Mu’in, (Kudus, Menara Kudus, 1979), hal. 73
Kafa’ah berdasarkan keislaman ini pada dasarnya digunakan oleh
selain arab, sedangkan arab bangga dengan nasab atau keturunan merdeka,
mereka tidak berbangga dengan keislaman nenek moyang mereka.
Sedangkan orang-orang selain arab yaitu orang mawali dan ajam
mereka akan bangga dengan keIslaman leluhur mereka. Demikianlah apabila
seorang perempuan mempunyai ayah dan kakek yang Islam tidak sekufu
dengan orang yang punya ayah dan kakek bukan Islam. Seorang yang hanya
mempunyai satu
Orang tua Islam sekufu dengan orang yang hanya mempunyai satu
orang tua yang Islam. Sebab perceraian dapat dituntut oleh ayahnya atau
kakeknya, hak menuntut cerai itu tidak akan berpindah kepada selain ayah dan
kakek. Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang yang mempunyai ayah muslim
sekufu dengan perempuan yang mempunyai leluhur muslim, karena mereka
cukup dikenal dengan menyebutkan nama ayah atau kakeknya.
Jadi maksud pengertian diatas sudah jelas bahwa orang Islam yang
kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni tidak
sepadan.
d. Kekayaan
Ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menetapkan kekayaan
sebagai ukuran dari kafa’ah, sebagian menganggapnya sebagai ukuran dalam
kafa’ah. Mereka mengatakan pula sebabnya ialah karena nafkah dari rumah
tangga dari suami yang fakir tidak sama dengan nafkah dari yang kaya.
Pendapat ini dikuatkan oleh ulama Hanafiyah yang mengatakan tentang
kekayaan sebagai ukuran kafa’ah, artinya yang dianggap sekufu ialah seorang
laki-laki harus dianggap sanggup membayar mas kawin dan uang belanja
sehingga apabila tidak sanggup membayar mas kawin dan nafkah atau salah
satunya maka dianggap tidak sekufu’.23
Dari Abi Yusuf, bahwa ia menilai kufu’ itu dari kesanggupan
memberikan nafkah bukan mahar. Karena dalam urusan mahar biasanya orang
sering mengada-ada. Dan seorang laki-laki dianggap mampu memberikan
nafkah dengan melihat kekayaan ayahnya. Tentang harta, jadi ukuran kufu’
juga menjadi ukuran pendapat Ahmad. Karena kalau perempuan yang kaya
bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab
suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan jaminan anak-
anaknya.24
e. Tidak cacat
Imam syafi’i berbendapat tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran
kafa’ah, orang cacat yang memungkinkan seorang isteri menuntut fasakh,
dianggap tidak sekufu dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya
23 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 22
24 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 7, (Bandung, PT. Alma’arif, 1981), Cet, hal. 48
24 24 24 24
tidak menyebabkan fasakh, tetapi sekiranya yang akan membuat orang tidak
senang mendekatinya, seperti buta, cacat itu menyebabkan orangnya tidak
sekufu, berbeda pendapat dengan Hanafiyah dan Hanabilah mereka tidak
menganggap bersih dari cacat sebagai ukuran kafa’ah dalam perkawinan.
Jadi perempuan mempunyai hak untuk menolaknya. Karena resikonya
tentu dirasakan oleh siperempuan, bagi wali perempuan boleh mencegah
untuk kawin dengan laki-laki bule, gila, tanganya buntung atau kehilangan jari
jemarinya.
1. Dasar Hukum
Mengenai efisiensi konsep kafa’ah dalam perkawinan, menimbulkan
pengkalsifikasian pendapat para fuqaha dalam dua kelompok, perbedaan pendapat
berkaitan dengan bagaimana hukum kafa’ah Dan apakah merupakan syarat
syahnya perkawinan atau tidak, Sehingga apakah kafa’ah perlu diperhatikan atau
tidak.
Pendapat pertama, pendapat yang dipelopori oleh al-Tsauri, al-Hasan al-
Bashri dan al-Karkhy. Kafa’ah bukan merupakan syarat keabsahan sebuah
pernikahan, artinya syarat yang tidak mutlak didalam menjalankan kafa’ah dalam
perkawinan dan bukan pula syarat luzumnya. Sebuah pernikahan yang
dilangsungkan oleh suami dan isteri yang tidak sekufu’ adalah sah dan luzum
(mengikat dan tidak peluang khiyar).
Dasar hukum yang mereka gunakan adalah : Kitab Al- Qur’an surah Al
Hujarat ayat 13 :
�F F� ءل �(*�ر #ا %+�ا-6 و<*$!�� ±*#"�و�آ� و� ذ� �!�� 9.$ �س ان�@�ا�!
� ان� ان� أآ9��� 7!� ا� أ��� آ� +. � ) ١٣: ا���ات (ا� $7
Artinya:
“ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Maha Teliti“ (Al Hujarat : 13)
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah sama dan
nilai kemanusiaan juga sama serta tidak ada deskiminisasi suku bangsa, geografis
dan tradisi. Akan tetapi yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan (agama)
kepada Allah.
Pendapat kedua, Jumhur Fuqaha (empat madzhab Figh) menyatakan
bahwa kafa’ah merupakan syarat luzum sebuah pernikahan, bukan syarat sahnya
suatu perkawinan.
Dari Abdullah Ibnu Buraidah, Rasulullah saw bersabda :
ا� ,$6 ا� $7 ) +6ت (�ة ا�6 ا�!<�ء .�F�" �" �7ة�7 ا" ) %�ل
3 3() %�ل. �" ¢ � � ( *¸ : و�$� �� �© ان ا"� زو<!� ا"� ا.
©� �� �@ %� ا<�ت 9� ,!¢ ا"� و��� ارد ت ان �*$� ا�!3�ءان : ا��9ا�
25 ٢٦) روا� ا"� 9� <)( �9±�"�ء �9 ا�� ¹ ا�6 ا�
Artinya :
“Dari Abdullah Ibnu Buraidah dari bapaknya. Ia berkata: Seorang gadis datang
kepada rasulullah saw. Lalu dia berkata: Sesungguhnya ayahku mengawinkan
aku dengan anak saudaranya yaitu anak paman saya,agar dengan begitu
terangkat martabatnya. Lalu Rasulullah saw, menyerahkan urusannya
kepadanya. Dan berkata: Saya mengijinkan tindakan ayahku kepadaku. Tetapi
yang aku kehendaki yaitu memberitahu kepada kaum wanita bahwa urusan nikah
sedikitpun tidak harus diserahkan kepada bapak.” (Riwayat Ibnu Majah dengan perawinya yang shahih).
Alasan Rasio
Pernikahan harus didasarkan pada kemaslahatan bersama suami dan isteri.
Untuk mencapai kemaslahatan itu tidak mudah. Banyak hal yang harus dilakukan,
diantaranya suami isteri harus sekufu’. Akal sehat siapapun akan membenarkan
asumsi ini.
Menurut Jumhur, syarat kafa’ah menjadi gugur dengan ridhanya para
pihak yang berhak. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa syarat kafa’ah hanya
diberlakukan terhadap laki-laki saja. Tidak di berlakukan terhadap perempuan.
Artinya perempuan yang kaya, perempuan yang keturunan bengsawan, atau
perempuan yang shalih harus menikah dengan laki-laki yang sekufu dengannya.
Jika ia menikah dengan laki-laki miskin, laki-laki yang bukan keturunan
bangsawan atau lak-laki yang fasak, maka wali berhak mengajukan gugatan agar
25 Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji dkk, Sunan Ibnu Majah, Jilid 2, (Semarang, CV. Asy
Syifa, 1992), hal. 618
penikahannya itu di fasakkan menurut Hanifah dan tidak diizinkan ayah terhadap
anak gadisnya menjadi gugur, menurut Syafi,iyah. Berbeda denganlaki-laki. Laki-
laki yang kaya, laki-laki yang keturunannya bangsawan atau laki-laki yang shalih
dengan perempuan yang miskin, perempuan yang bukan keturunan bangsawan
atau perempuan yang fasiq, namun demikian, jika dipahami secara substansi
kafa’ah sebagai langkah awal untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah
dan warahmah semestinya dengan standar al-din dan al-hal diberlakukan terhadap
laki-laki dan perempuan.
Hal ini yang di isyaratkan oleh al-Qur’an surah Al-Nur ayat 26 :
©¼ � وا�»+ ¼#ن �$»+¼ +«$� ©¼ +#ن ا�»+� � وا��+ ��$� ©+ �وا��©+ �) ٢٦: ا�!#ر ... ( �$�
Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji untuk perempuan yang keji, sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik …”(Al-Nur : 26)
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa arti kafa’ah dalam sebuah
perkawinan adalah keserasian calon suami dan isteri, seperti dalam hal
kedudukannya, sebanding dalam masyarakat(status sosial) ataupun dalam hal
agama, dan juga hartanya. Dari pengertian diatas dapat dijadikan dasar, bahwa
pentingnya kafa’ah dalam sebuah perkawinan adalah :
1. Agar tidak menyesal dikemudian hari
2. Terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah
3. Untuk mencapai keberhasilan dalam hal berumah tangga.
2. Urgensi Kafa’ah
Perkawinan mempunyai tujuan yang sangat mulia, tak hanya sekedar
untuk memuaskan nafsu saja, akan tetapi ada hal-hal mulia dibalik itu.
1. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Pada tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah
manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan
aqad nikah (melalui jejang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor
menjijikan seperti homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan
diharamkan oleh Islam.
2. Untuk membentengi akhlak yang luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di
antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor
dan keji, yang
telah menurunkan dan meninabobokan martabat yang luhur, Islam
memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan, serta untuk memelihara pandangan mata dan
menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan hadist Rasulullah saw
diriwayatkan oleh bukhari muslim dari Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah
bersada :
، �� �!� رس ل ا� ,$*�.,$*� +6� 9¢ ا�!�7 7+� ا� %�ل آ!
) اF�Á��À*9ا�À+� ب �9 ا�(��ع ا�+�ءة $ (�وج � -
1��" ( $* ¢�)3F �� �9ج و�D$� �1-�$+�1وا��ء #م �و< (� (
26 ٢٧) �+»�رو39$� روا�(
Artinya:
Dari Abdulah r.a katanya dia zaman Rasulullah saw berkata :kepada kami“
Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, Kawinlah!
Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan,
tetapi yang tidak sanggup kawin, berpuasalah karena puasa itu merupakan
tameng baginya.“ (Riawayat Bukhari, Muslim).
3. Menegakkan rumah tangga yang alami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
Talaq (perceraian), Jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at
Allah. Dan dibenarkan rujuk(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup
menegakkan batas-batas Allah.
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap
muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka
26 H. Zainuddin Hamidy, Shahih Bukhari, Jilid 4, (Jakarta, Widjaya, 1992), hal. 7
ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang
ideal, yaitu: harus Kafa'ah dan shalihah.
a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit
zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam
mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan
kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama
kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur
lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat
dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan
antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina
rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut
Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang.
Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non
Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat
taqwanya. Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka
untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan
pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat
wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Nabi yang Shahih.
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita shalihah dan wanita harus
memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an Surah an- Nisa Ayat: 34
Wanita yang shalihah adalah :
�ء "�� 3�ا 9#ن 7$6 ا�!#�<�ل %ا��Ä*" 6$7 �@Ä*" ا� � "�� � و
� ا-D�#ا 9� ا9#ا �@� Ä�� % ©�$)!� ©ÅDا� ÆD� ��" � E$� © �(� وا�
� ن -À#زه� # �«� � 6 ا Ä��� <¢ �وه��واه *Å# ه�
�� واG�"#ه��@ 5 �ن اE+� Ç ��!*È#ا $7+� � ن $7 É ان � ا� آ�
� ) ٣٤: ��� ا �!3�ء( اآ+
Artinya : “ Laki-laki (Suami)itu pelindumg bagi perempuan (isteri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(Perempuan), dank arena meeka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya.Maka Perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah
dan menjaga diri ketika tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka.
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah
kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka ditempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sungguh Allah Maha tinggi, Maha besar”.(An-Nisaa : 34).
Yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat:33 diantara ciri-
ciri wanita yang Shalihah adalah:
Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang
menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj)
seperti wanita jahiliyah, Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan
mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami
dan baik dengan tetangganya maupun dengan lain sebagainya.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan
terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak [banyak keturunannya]
dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada
Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini,
rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih
di samping ibadah sedekah.
Diriwayatkan An Nasa’iy dari Abdulah Ibnu Yazid Al-Anshori
bercerita dari Abu Mas’ud r.a dari Rasulullah,dan Rasulullah saw bersabda:
ا� ,$6 +6*#د �7 ا�!�7 ا"6 39 ٽ��F ،7+� ا� "� �F�F ا�-1�ري
<¸ 7$6 ا ه$) وه#�F(3+@� آ� -© �) ,� %� ا-ÍD ا��ذا ،� %�ل$7 ) و�$
)¡F �3!27 ٢٨ )روا� ا�
Artinya :
Abdulah Ibnu Yazid Al Anshori, bercerita dari Abu Masdu r.a dari
Rasulullah saw beliau bersabda: Bila seseorang memberi nafaqah kepada
keluarganya dengan mengharap pahala dari Allah, maka baginya diberikan
pahala sedekahnya.“ (Riwayat An Nasa‘iy).
27 Ustadz Bey Arifin, Sunan An Nasa’iy, Jilid 3, (Semarang, Asy Syifa, 1993), hal. 71
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam. dan yang terpenting lagi dalam perkawinan
bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan
membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan
bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan
dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak
'Lembaga Pendidikan Islam', tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga
banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami,
diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke
jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang
bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam
Pola pikir bahwa cinta itu buta sama sekali tidak bersifat universal,
malahan cenderung mengarah pada kontrasepsi yang keliru. Keyakinan bahwa
cinta dan perkawinan itu berjalan seiring seperti kuda dengan keretanya logika
inipun tentunya perlu dipertanyakan ulang karena cinta dan perkawinan
adalah dua buah model pengalaman manusia. Yang dinamakan dengan
perkawinan adalah konsep sakral dari sebuah kontak (ijab Qobul) secara syah
yang dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan sesuai tata nilai hukum
yang berlaku, baik hukum positif maupun hukum religius. Jadi jelas
pernikahan/perkawinan merupakan sesuatu yang sakral suci dalam kehidupan
manusia. Pemilihan jodoh-menurut agama-harus melewati suatu aturan dan
berbagai pertimbangan, pertimbangan cinta bukanlah sesuatu yang harus
diprioritaskan.
Dalam perkawinan para ahli mngakui beberapa syarat yang harus
dipenuhi lebih dahulu (prerequiste) walaupun berbeda antar pendapat. Akan
tetepi secara umum semua kriteria itu di tunjukkan untuk menentukan calon
jodoh yang cocok untuk masa depannya. Konsep kesepadanan (kafa'ah) akan
melibatkan kriteria-kriteria yang lain dalam sebuah koridor yang cukup
konpleks. Kriteria itu antara lain kesederajatan sosial (Sosial equality),
Kesederajatan agama (Religius equality), kesederajatan ekonomi (Economic
equality), kesederajatan profesi (Job equality), kesederajatan pendidikan
(Education equality).28
Permasalahan tentang kesepadanan (kafa'ah) dalam perkawinan
memang merupakan problema utama dalam proses pemilihan calon jodoh.
Untuk itu konsepsi kafa'ah dalam perkawinan harus menjadi telaah yang
cukup serius bagi para calon pasangan. Berkaitan dengan itu ada 2 teori yang
28 www.Indeks, Cerita Remaja Indonesia, 2001
menarik untuk di kaji. Pertama, sesuai dengan teori Homogami (perkawinan
yang sepadan), "Seseorang cenderung menikah dengan orang lain yang berada
dalam kondisi sosial seperti mereka sendiri." Tapi di segi yang lain
menentukan perkawinan dalam perkawinan, "bukanlah semata-mata masalah
persamaan. Barangkali lebih luas dari itu, lantaran persamaan sosial mungkin
disertai dengan perbedaan-perbedaan kejiwaan. Kedua, teori Heterogami
(perkawinan antara dua orang yang memiliki kondisi yang berbeda). Mereka
menganggap bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan yang saling
melengkapi , karenanya dalam masalah perkawinan "setiap orang cenderung
memilih jodoh yang cocok. Hingga mereka bisa saling berjanji untuk
mendapatkan manfaat dan kepuasan yang maksimal."
B. Teori Persepsi Tentang Kafa’ah dalam Perkawianan
Segolongan ulama berpendapat bahwa soal kufu’ perlu diperhatikan, tetapi
yang menjadi ukuran kufu’ ialah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan dengan
ukuran keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan lain sebagainya. Jadi lelaki yang
saleh walaupun keturunannya rendah berhak kawin dengan wanita yang
berderajat tinggi. Laki-laki yang mempunyai kebesaran apapun berhak kawin
dengan wanita yang mempunyai kebesaran dan kemashuran, laki-laki fakir berhak
dengan wanita kaya raya, dengan syarat bahwa pihak lelakinya adalah seorang
muslim yamg menjauhkan dirinya dari minta-minta dan tak seorangpun walinya
yang menghalangi atau menuntut pembatalan. Jika laki-laki yang tak sama
derajatnya itu dapat menikah dengan perempuan tadi dan walinya yang meng
akadkan serta pihak perempuannya rela tetapi kalau lelakinya bukan dari
golongan orang yang berbudi luhur dan jujur dalam hidupnya dia tidak kufu’ bagi
perempuan yang shaleh jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki yang fasik,
kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia berhak
untuk menuntut pembatalan.29
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Para ulama mazdhab tentang
masalah ini. Sebagai berikut :
1. Mazhab Imam Syafi’i
Menurut Imam syafi‘i mempertimbangkan empat perkara dalam
menentukan jodoh antara laki-laki dan perempuan antara lain:
1. Suku
2. Agama
3. Merdeka
4. Status sosial
Manusia itu ada dua bagian bangsa Arab dan bukan bangsa Arab
(Ajam) bangsa arab masih dibagi dua macam: suku Quraisy dan suku yang
bukan Quraisy
Perempuan suku Quraisy hanya sederajat dengan laki-laki suku Quraisy dan
tidak saederajat dengan suku yang bukan Quraisy. Perempuan Arab yang
29 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz 7, (Bandung, PT. Alma’arif, 1981), h.37-38
bukan suku Quraisy sederajat dengan laki-laki yang bukan suku Quraisy dan
tidak sederajat bangsa bukan Arab (Ajam).
Identitas“agama“ dalam memilih jodoh, menurut syafi’i, bukan
semata-mata harus pemeluk agama Islam melainkan kadar ketaqwaan dalam
mengamalkan ajaran yang disyari’atkan agama Islam. Kadar ketaqwaan dapat
diukur dengan sebarapa ketaatan kepada Allah SWT didalam menjalankan
perintah Alla dan Rasulnya. Karena itu, perempuan yang baik dan taat dalam
menjalankan perintah agama tidak sejodoh laki-laki yang fasik, yang suka
main judi, mabuk, zina, dan sebagainya. Dan perempuan fasik memang
sejodoh dengan laki-laki fasik juga.30
Mengenai sekufu’ dari segi kemerdekaaan dapat dijelaskan bahwa
seorang budak laki-laki tidak sekufu’ dengan seorang perempuan merdeka.
Budak lak-laki yang sudah merdeka tidak sekufu’ dengan perempuan yang
merdeka dari asal. Laki-laki Kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal.
Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak sekufu’
dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab
perempuan merdeka bila kawin dengan laki-laki budak dianggap tercela.
30 M. Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004),
hal. 40
Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah
menjadi budak.31
Adapun penilaian bahwa suatu pekerjaan dianggap mulia atau
tidaknya tergantung kepada kebiasaan masyarakat setempat. Sebab ada
kalanya pekerjaan tidak terhormat disuatu tempat atau masa yang lain.
Mereka yang menganggap ukuran kufu’ berdasarkan pekerjaan adalah
berdasarkan suatu hadist yaitu dari Ibnu Umar r.a Rasulullah bersabda:
: �7 ا"6 ه��Fة رض ا� 7!) ان ا�!+6 ,$6 ا� $7 ) و�$� %�ل
� G) ا-��#ا"�ه!�،وا-�) وا� @#اآ�ن ����9 " �!"�F) داوداروا�#"(
٣٢32 rtinya:
“Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah saw bersabda:“Wahai Bani
Bayadah,nikahkanlah Abu Hindun,dan nikahkanlah anak perempuanmu
kepada dia. Padahal Abu Hindun adalah seorang tukang bekam“. (Riwayat Daud)
Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang hadist ini. Mengapa tuan
menggunakan hadist ini padahal tuan melemahkannya? Jawabannya
“Begitulah kebiasaan yang berjalan“ di dalam kitab “Al-Mughni“ dikatakan
bahwa hadist ini datang berdasarkan kebiasaan masyarakat. Karena orang
yang mempunyai pekerjaan atau mata pencarian terhormat, menganggap
sebagai suatu kekurangan jika anak perempuan mereka dijodohkan dengan
31 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 7 (Bandung, PT. Alma’arif, 1981), Cet, hal. 45-46
32 Ustdz Bey Arifin, Sunnah Daud, Jilid 3, (Semarang, Asy Syifa, 1993), hal. 35
laki-laki yang pekerjaan kasar, seperti tukang bekam, penyamak kulit, tukang
sapu, dan kuli. Karena kebiasaan masyarakat memandang pekerjaan tersebut
memang demikian, sehingga seolah-olah hal ini menunjukan nasabnya yang
kurang. Demikian pendapat Syfi’i, Muhammad Abi Yusuf dan Mazdhab
Hanafi, Ahmad dan Abu Hanifah dalam satu riwayat. 33
Mereka berkata pula bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam
membelanjakan isterinya adalah dibawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian
lainnya berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat dijadikan ukuran kufu’
karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang
berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
Argumentasi tersebut dipertegas kembali oleh Asmawi dalam
bukunya yang berjudul Nikah dalam perbincangan dan perbedaan yang
menyatakan bahwa unsur kakayaan, menurut golongan Syafe’i tidak
dimasukkan kedalam katagori sekufu’ dalam perjodohan, maka perempuan
yang kaya raya sejodoh dengan laki-laki miskin.34
2. Madzhab Imam Hambali
Mengenai kafa’ah ini Imam Hambali hampir sama pandangannya
dengan pendapat Imam Syafi’i hanya menurut Imam Hambali kafa’ah ini
33 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 7, (Bandung, PT. Alma’arif, 1981), Cet, I, hal. 47
34 M. Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004),
hal. 150
hanya ditambah dengan kekayaan. Untuk lebih jelasnya mengenai Imam
Hambali ini M. Asmawi menjelaskan bahwa dalam madzhab Hambali
perjodohan atau Sekufu’an itu diantaranya :
1. Suku bangsa
2. Agama
3. Merdeka
4. Status sosial
5. Kekayaan
Perincian dari pendapat dari Imam Hambali ini dijelaskan kembali
oleh H.S.A. Alhamdani yang menyatakan bahwa dari segi keturunan orang
arab adalah sekufu’ bagi bangsa arab, Quraisy adalah sekufu’ bagi Quraisy
lainnya. Orang arab biasa tidak sekufu’ dengan orang-orang Quraisy.35
Kemerdekaan menurut Imam Hambali seorang budak tidak pandang
sekufu’dengan orang merdeka, demikian pula orang yang pernah menjadi
budak tidak sekufu’ dengan perempuan yang ayahnya belum pernah menjadi
budak. Karena orang yang merdeka akan merasa terhina apabila hidup
bersama seorang budak atau orang yang pernah menjadi budak atau anak
bekas budak.
Kriteria agama pada dasarnya digunakan bagi selain dengan orang
arab. Sedang orang arab kafa’ahnyatidak diukur dengan keislamannya sebab
35 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 20
mereka bangga dengan nasab atau keturunan mereka tidak akan berbangga
dengan ke-Islaman nenek moyang mereka.
Sedangkan selain orang arab yaitu orang Mawali dan A’jam mereka
akan bangga dengan ke-Islaman leluhur mereka. Seorang yang hanya
mempunyai seorang tua yang Islam sekufu’ dengan orang yang hanya
mempunyai satu orang Islam, sebab perceraian dapat dituntut oleh ayahnya
atau dengan kakeknya, hak menuntut hak cerai itu tidak akan berpindah
kepada selain ayah dan kakeknya.
Tentang status sosial, apabila seorang perempuan berasal dari
kalangan orang-orang yang mempunyai kerja tetap dan terhormat tidak
dianggap sekufu’ dengan seorang yang rendah penghasilannya, apabila
penghasilannya hampir sama dari usaha yang sama dianggap tidak berbeda.
Adanya disuatu daerah ukuran tingkat tinggi dan rendahnya usaha adalah ada
dengan mengikuti adat. Dan pada suatu masa di pandang terhormat tetapi di
tempat dan di waktu lain mungkin di pandang hina.
Lebih jelasnya pembahasan yang berhubungan tentang kekayaaan
dalam masalah kafa’ah ini Imam Hambali mengemukakan bahwa orang
miskin akan menyusahkan isterinya dalam memberi belanja dan
membahagiakan anak-anaknya. Karena orang yang disebut fakir menurut
sedikit atau benyaknya kekayaan yang ia miliki seperti terhormatnya
seseorang itu karena lebih terpandang dan terhormat nenek moyangnya.
3. Madzhab Imam Hanafi
Madzhab Hanafi kafa’ah dalam pernikahan itu sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh M. Asmawi adalah dengan memperhatikan sebagai berikut:
1. Suku bangsa
2. Islam
3. Status sosial
4. Merdeka
5. Agama
6. Kaya
Masalah jodoh yang sekufu’ atau yang setingkat yang berkaitan
dengan kriteria suku bangsa dan status sosial antara pendapat Hanafi dan
Syafi’i adalah sama(tidak terdapat perbedaan). Sedangkan kriteria yang
menyangkut kekayaan, pendapat Hanafi sama dengan Hambali.
Yang terdapat sedikit perbedaan adalah kriteria yang menyangkut
dengan masakah Islam, merdeka dan agama, laki-laki muslim dan ayahnya
non muslim, menurut Hanafi, tidak sejodoh dengan perempuan muslimah
yang ayahnya juga muslim.
Tentang ke Islaman tidaklah merupakan norma sekufu bagi selain
orang arab, sedang orang kafa’ahnya tidak diukur dari keIslamannya, dan juga
mereka tidak bangga dengan keIslaman nenek moyang mereka karena
mayoritas dari mereka sendiri adalah orang Islam. Sedang orang-orang selain
orang arab yaitu orang mawali dan orang A’jam, mereka bangga dengan
keislaman leluhur mereka. Demikian apabila seorang perempuan mempunyai
ayah dan kakek yang Islam tidak sekufu dengan orang yang punya ayah dan
kakek dari bukan orang Islam.
Masalah ketaatan terhadap ajaran agama, pendapat Hanafi sama
dengan Syafi’i hanya terdapat sedikit perbedaan. Hanafi berpendapat bahwa
perempuan yang shalih dalam menjalankan perintah agama tetapi ayahnya
fasik, kemudian si ayah menikahkan anaknya dengan laki-laki fasik maka
pernikahan yang dilangsungkan tetap sah. Karena antara ayah dan menantu
sama-sama fasik.
Kriteria fasik menurut Hanafi ada dua kategori yaitu:
1. Orang yang suka mengerjakan perbuatan dosa-dosa besar secara terang-
terangan.
2. Orang yang suka mengerjakan perbuatan dosa namun sembunyi-sembunyi,
tetapi perbuatan itu diberitahukan kepada teman-temannya. Maka pemuda
itu tidak sejodoh dengan permpuan yang rajin melaksanakan sholat.36
Demikianlah pendapat madzhab Hanafi dan orang yang sependapat
dengannya tentang kafa’ah dalam perkawinan, dimana beliau menentukan ada
enam aspek yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan sekufu’ atau
tidaknya calon suami dan calon isteri.
4. Madzhab Imam Maliki
36 M. Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004),
hal. 151-152
Menurut Imam Maliki mengenai kriteria kufu’ dalam perkawinan
adalah sebagaimana yang dikutip oleh M. Asmawi hanya dua perkara yaitu:
1. Agama
2. Sehat jasmani
Kriteria agama yang diajukan Maliki sama dengan pendapat Syafi’i
dan Hambali. Dalam usaha kriteria memilih jodoh, Maliki hanya menambah
harus sama-sama sehat jasmaninya. Perempuan yang soleh tidak sederajat
dengan laki-laki yang fasikm begitu pula perempuan yang selamat dari cacat
tidak sederajat dengan laki-laki yang bercacat, seperti gila, sakit lepra, TBC,
dan sebagainya.
Adapun kekayaan, kebangsaan, status sosial dan kemerdekaan, tidak
termasuk katagori yang harus dimasukkan dalam memilih jodoh. Kriteria
yang disodorkan Maliki sangat fleksibel dan tidak ada kesan diskriminasi.
Jadi, laki-laki yang berkebangsaan Indonesia sejodoh dengan
perempuan dari bangsa Arab baik suku Quraisy maupun bukan, laki-laki
keturunan“darah biru“ sejodoh dengan perempuan dengan anak petani,
perempuan eropa sejodoh dengan laki-laki suku madura, dan sebagainya.37
Ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah, tetapi menurut mereka
kafa’ah hanya bersifat istaqamah dan budi pekerti saja. Kafa’ah bukan karena
37 M. Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004),
hal. 152-153
nasab dan keturunan, bukan perusahaan atau kekayaannya. Seorang laki-laki
shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab,
pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja
kawin dengan orang yang terhormat, seorang laki-laki miskin boleh kawin
dengan orang kaya raya, asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh
menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-lakinya tidak
sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila
perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan apabila pihak
laki-laki jelek akhlaknya ia tidak sekufu’ dengan wanita yang shalih ,
perempauan berhak menuntut fasakh apabila ia gadis dan dipaksa untuk
menikah dengan laki-laki yang fasik.
Ulama Malikiyah juga beralasan dengan firman Allah :
� �(*�ر F�اF@� ا�!�س ا-�� .$�!�� 9� ذ آ�و أ-¼6 <*$!� آ� ±*#"� و%+� -
� � أآ� 9�� 7!� ا� أ��� آ� ان #ا إن+. � ) ١٣:ا���ات(ا� $7
Artinya: “Wahai sekalian manusia, kami jadikan kamu dari jenis laki-laki dan
perempuan, kamu jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia diantara kamu
adalah yang taqwa.“(Al-Hujurat 13)
Pendapat Maliki ini sangat sesuai dengan perkembangan zaman
dimana era globalisasi ini komunikasi antara umat manusia sangat dekat dan
mudah dijangkau dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang semakin
hari semakin modern. Juga, sekat-sekat dunia sudah tidak membedakan
adanya ras untuk mengadakan suatu kerjasama yang saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Demikian juga, dalam hal pernikahan tidak terbatas
pada status ekonomi, tetesan darah biru, kaya, miskin, bahkan bisa antar
dunia38.
Persepsi tentang kafa’ah didalam perkawinan pada masyarakat Desa
Lebaksiu sangatlah perlu diperhatikan didalam menentukan pilihan bagi
seorang anak didiknya, sehingga didalam rumah tangganya mendapatkan
kebahagiaan, ketentraman dan menjadi keluarga yang diridhoi oleh Allah
SWT.
Dari pandangan madzhab tersebut diatas, bahwa masyarakat Desa
Lebaksiu tidak menyamping madzhab lain dan masih menganut aliran pada
madzhab yang kini masih diyakini dan dijalankan diIndonesia yaitu madzhab
Syafe‘i dan sedangkan madzhab Maliki dalam hal ini masih sependapat
dengan madzhab Syafe’i yang mengikutkan aspek agama dalam perkawinan,
namun hal tersebut masyarakat berpegang pada madzhab Syafe’i.
38 H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), hal. 17-18
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA LEBAKSIU KECAMATAN
LEBAKSIU KABUPATEN TEGAL
A. Letak Geografis Desa Lebaksiu
Desa Lebaksiu merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah
kecamatan Lebaksiu kabupaten Tegal. Desa yang memiliki 294.985 Ha ini,
terletak 1 km dari pusat pemerintahan kecamatan Lebaksiu, dan 6 km dari ibu
kota kabupaten Tegal. Penduduk desa lebaksiu lor 5.347 jiwa, terdiri dari laki-laki
2.509 jiwa, perempuan 2.838 jiwa, dengan jumlah KK 1.269 (keadaan tahun
2008). Desa lebaksiu adalah daerah pemukiman yang komposisi perumahannya
sudah diatur dan sudah di lengkapi dengan berbagai fasilitas sarana dan prasarana.
Batas wilayah Desa Lebaksiu Kecamatan Lebaksiu adalah sebagai berikut
:
a. Sebelah Utara : Perbatasan Desa Kajen dan Desa Dokuhlo (Kecamatan
Lebaksiu
b. Sebelah Timur : Perbatasan Desa Dermasuci dan Desa Pangkah
(Kecamatan Pangkah)
c. Sebelan Selatan : Perbatasan Desa Lebaksiu Kidul dan Desa Danawarih
(Kecamatan Lebaksiu)
d. Sebelah Barat : Desa Yamansari, Desa Lebagkowah dan Desa Kesuben
(semuanya terletak di wilayah kecamatan lebaksiu)
B. Struktur Pemerintahan
Pemerintahan kantor desa Lebaksiu dipimpin oleh seorang kepala desa
yang di pilih langsung oleh masyarakat lebaksiu yakni Drs. M. Husein dibantu
oleh 7 Perangkat desa serta dibantu 8 kepala rukun warga (RW).
Jumlah aparat pemerintahan Desa sebanyak 8 orang, terdiri dari : 1 orang
sekretaris desa (carik) yang saat ini dalam masa purna bakti, 6 karyawan
karyawati. Masing-masing menangani tugas yang diberikan oleh kepala desa, di
dalam struktur yang ada di pemerintahan desa lebaksiu terdiri beberapa kasi
dalam pelayanan masyarakat. Di antaranya:
1. Kasi Kesra
a. Surat Kelahiran
Setiap warga yang telah melahirkan diharapkan melaporkan nya ke
kantor desa guna memudahkan pendataan dan pembuatan akta kelahiran.
b. Surat Kematian
Setiap warga desa lebaksiu atau sanak keluarga yang meninggal untuk
segera melaporkannya ke kantor desa guna memudahkan pendataan.
c. Bantuan
Bentuk bantuan yang ada pada kantor desa lebaksiu berupa bantuan
yang berhububgan dengan warga baik berasal dari pemerintah maupun dari
lainnya.
2. Kasi Pemerintahan
a. Pengurusan surat tanah
Dalam pengurusan tanah di desa lebaksiu, pemerintah desa berperan
dalam menangani pengukuran tanah baik yang jual beli maupun sengketa, dan
pengukuran ulang atas pengajuan warga masyarakat serta surat-surat yang
berhubungan dengan tanah.
b. Kependudukan
Dalam sistem adminitrasi data kependudukan pemerintahan desa
lebaksiu cukup baik dan tertib. Dapat dilihat dari aktivitas para perangkat desa
dalam menangani masyarakat. Hal ini terbukti dari ketertiban pelayanan
kepada masyarakat, seperti dalam pengurusan surat-surat.
Dalam pelayanan masyarakat , pemerintah desa menekankan kepada
warga masyarakat untuk membawa surat pengantar dari Rt/Rw bila
berhubungan ke kantor desa.
c. Pembinaan Rt/Rw
Rukun tangga dan Rukun warga sangat berfungsi membantu kantor
desa dalam meningkatan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah
desa selalu mengadakan pembinaan untuk kepentingan warga masyarakat.
3. Kasi Pembangunan
Pembangunan di lingkungan pemerintahan desa lebaksiu sangat
bergantung pada anggaan pembangunan yang di salurkan oleh pemerintah
untuk pembangunan desa.
4. Kasi Trantib
Keamanan yang diterapkan oleh pemerintah desa lebaksiu untuk dapat
mengamankan ketertiban di lingkungan desa dan rukun warga diharuskan
bergilir dalam keamanan lingkungan desa
5. Kaur Umum
Pelayanan pada kaur umum menangani surat-surat masuk dan surat-
surat keluar.
6. Kaur Keuangan
Keuangan desa atau bendahara desa menangani masuk dan keluarnya
kas serta anggaran desa yang berasal dari pelayanan masyarakat maupun
pemerintah.
Tabel 3.1
Jumlah Dusun, RW dan RT
No Dusun Rukun Tangga Rukun Warga
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Watu kumpul
Kauman
Karang Moncol I
Karang Moncol II
Karang Moncol III
Krajan II
Krajan I
Kademangan
4
2
3
3
3
3
4
4
1
2
3
4
5
6
7
8
Jumlah 27 8
Sumber data : Kantor Desa Lebaksiu
C. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Lebaksiu - Tegal
1. Sarana ibadah
Desa Lebaksiu mayoritas beragama Islam dan selain agama Islam bisa
dihitung, sehingga tempat-tempat ibadah selain agama Islam tidak ada.
Sedangkan golongan yang ada di Desa lebaksiu yaitu NU dan Muhamadiyah,
tetapi masyarakat menitik beratkan kepada kerukunan hidup antar umat
beragama. Untuk mendukung terlaksananya ibadah, maka tersedia tempat ibadah
yang masing-masing Rw terdapat musholla dan fasilitas lainya.
Disamping itu sarana ibadah sering sekali digunakan untuk kegiatan
kegamaan dalam masyarakat desa Lebaksiu dengan mengadakan atau
memeperingati hari besar agama Islam yang diadakan pada masing-masing
lingkungan rukun tangga dan tingkat rukun warga.
Tabel 3.2
Jumlah Sarana Peribadatan
No Sarana Peribadatan Jumlah
1.
2.
Masjid
Musholla
2
13
Sumber Data: Kantor Desa Lebaksiu
2. Sarana Pendidikan
Fasilitas pendidikan di Desa Lebaksiu, Khususnya pendidikan dasar cukup
memadai. Ada pula jenjang sekolah untuk anak-anak di bawah umur yang ada di
Desa Lebaksiu. Adapun sarana pendidikan yang ada diantaranya :
Tabel 3.3
Jumlah Sarana Pendidikan
No SD/MI SMP/MTS SMA/ALIYAH Keterangan
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
1 3 - 1 1 - 1
Sumber Data : Kantor Desa Lebaksiu
Dari hasil data yang diperoleh di kantor desa, di ketahui bahwa disamping
pendidikan formal, Desa lebaksiu juga terdapat pendidikan non formal yaitu :
3 Lembaga kursus computer
1 Lembaga kursus Menjahit
1 Pendidikan Pondok pesantren
3. Sarana Sosial
Dari hasil laporan, bahwa dalam meningkatkan pengetahuan dan
kehidupan masyarakat terutama dalam hal kesehatan. Pada bidang kesehatan telah
dilaksanakan hal-hal sebagai berikut :
a. Mengadakan kegiatan kerja bakti dalam rangka meningkatkan kesehatan
lingkungan yang dilakukan setiap minggunya oleh kantor desa lebaksiu.
b. Mengadakan POSYANDU untuk meningkatkan gizi dan pemeliharaan
kesehatan anak, yang dilaksanakan oleh tiap-tiap RW dengan satu bulan
sekali.
c. kegiatan PKK di kantor desa Lebaksiu di adakan pertemuan ibu-ibu PKK
minggu pertama tiap bulan.. Menyalurkan bantuan dari pemerintah yang di
berikan kepada masyarakat desa lebaksiu khususnya keluarga miskin. Seperti
raskin, bantuan langsung tunai, dan lainnya yang berhububgan dengan
masyarakat.
Dari keterangan tersebut, jelas bahwa pada umumnya masyarakat Desa
Lebaksiu berperan aktif dalam bidang kemasyarakatan, ini terbukti dengan
adanya penyuluhan yang diadakan oleh puskesmas dan juga masyarakat desa
lebaksiu sendiri.
BAB IV
DESKRIPSI DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden Masyarakat Desa Lebaksiu
Pada sub bagian ini penulis mencoba mendeskripsikan karakteristik
responden dari beberapa anasir sebagai berikut : Berdasarkan usia, jenjang
pendidikan, status perkawinan yang berdasarkan kafa’ah, dan pekerjaan.
Penyajian dan uraian identitas responden diharapkan dapat memberikan gambaran
yang cukup jelas tentang karakter responden dan kaitannya dengan masalah-
masalah dan tujuan penelitian. Berikut tabel-tabel tentang responden:
Tabel 4.1
Responden Menurut Usia
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Tabel di atas dapat diketahui, bahwa usia 17 s/d 25 tahun sebanyak 35
responden dengan persentase 38.9 %, sementara usia 26 s/d 35 tahun sebanyak
22 responden dengan persentase 24.5 %, usia 36 s/d 50 tahun sebanyak 17
responden dengan persentase 18.9 % dan usia 50 tahun ke atas sebanyak 12
No Usia Frekvensi Persentase
1.
2.
3.
4.
17 s/d 25 tahun
26 s/d 35 tahun
36 s/d 50 tahun
50 tahun keatas
35
22
17
16
38.9
24.5
18.9
17.7
Total 90 100
responden dengan persentase 17.7 %. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian
besar responden berusia 17 s/d 25 tahun.
Tabel 4.2
Responden menurut Jenis Kelamin
Keterangan: Data di olah dari hasil survai lapangan
Responden yang mengisi angket terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Laki-laki terdiri dari 52 responden dengan persentase 57.7 %, sedangkan
perempuan terdiri dari 38 responden dengan persentase 42.3 %. Dari data diatas
menjelaskan bahwayang mengisi data angket yang lebih banyak lak-laki. Hal ini
dikarenakan lebih banyak responden yang tinggal di rumah.
Tabel 4.3
Responden Menurut Jenjang Pendidikan Terakhir
No Jenis Pendidikan Umum Agama Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
SD
SMP/MTs
SMA/MA
Diploma
9
14
19
9
8
9
16
7
17
23
35
15
18.9
25.5
38.9
16.7
Total 51 40 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Tabel 4.3 Menunjukkan bahwa mayoritas responden lulusan pendidikan
sekolah menengah atas (SMA) dengan persentase 38.7 %, sedangkan responden
No Jenis kelamin Frekvensi Persentase %
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
52
38
57.7
42.3
Total 90 100
yang mnyelesaikan pendiddikan diploma dengan persentase 16.7 % dan
responden dalam pendidikan nya di dominasi oleh pendidikan umum yaitu 38.9
% . Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan umum lebih di minati oleh
masyarakat desa lebaksiu.
Tabel 4.4
Responden Menurut Status Perkawinan
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa responden dengan persentase 54.4 %
berstatus menikah, sedangkan yang belum menikah dengan persentase 45.6
%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa lebaksiu sudah menikah.
Tabel 4.4
Responden Menurut Pekerjaan
No Keterangan Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
5.
Pembantu rumah tangga
Kary.Swasta
Pegawai Negeri
Pensiunan
Pedg. Kecil dan menengah
16
21
17
14
22
17.7
23.4
18.9
15.5
24.5
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Berdasarkan pekerjaan responden, ternyata responden lebih banyak
sebagai pedagang. Kecil dan menengah dengan persentase 24.5 %, persentase
No Status Pernikahan Frekvensi Persentase %
1.
2.
Nikah
Belum Nikah
49
41
54.4
45.6
Total 90 100
23.4 % adalah responden sebagai pekerja swasta, sementara itu jumlah responden
yang bekerja di sektor formal (pegawai negeri) hanya 18.9 %. Data ini
menunjukkan bahwa masyarakat desa lebaksiu mayoritas sebagai pedagang kecil
dan menengah.
B. Pemahaman Masyarakat Desa Lebaksiu Tentang Kafa’ah
Setelah penulis melakukan penelitian melalui angket (Questionary)
dengan beberapa masyarakat baik orang tua, tokoh agama dan pemuda, Penulis
mencoba memaparkan pendapat masyarakat tersebut.
Dalam penelitian tersebut diatas, masyarakat Desa Lebaksiu dengan status
pendidikannya diatas rata-rata dalam hal tentang pemahaman kafa’ah dalam
perkawinan cukup dipahami. Oleh karena itu masyarakat Desa Lebaksiu dengan
pemahamannya selalu menentukan pilihan didalam memilih pasangan calon
suami maupun calon isteri dengan konsep kafa‘ah, sehingga setiap keluarga pada
masyarakat Desa Lebaksiu merasakan kehidupan rumah tangganya menjadi
semakin tenang, juga ketentraman dalam keluarga dan masyarakat. Berikut data-
data penelitian yang telah diolah dari hasil lapangan:
Tabel 4.5
Informasi tentang pengertian kafa‘ah
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
Keluarga(kerabat)
Tokoh agama(ulama)
Teman
Buku
23
25
22
20
25,5
27,7
24,5
22,3
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Data tabel 4.5 bahwa tokoh agama (ulama) dengan persentase 27,7 %,
keluarga adalah dengan persentase 25,5 %, dengan persentase 24,5 % adalah
teman sedangkan buku dengan persentase 22,3 % digunakan sebagai informasi
penunjang. Berdasarkan dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar
informasi yang diketahui oleh masyarakat desa lebaksiu melalui para tokoh
agama dan keluarga (kerabat).
Tabel 4.6
Bagaimana Seharusnya Pernikahan Dijalankan
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
Cukup mengikuti hukum Islam
Harus sesuai dengan hukum negara
Sesuai hukum Islam dan negara
25
22
43
27,8
24,5
47.7
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Tabel diatas merupakan 47,7 % responden yang menyatakan bahwa suatu
pernikahan harus mengikuti dua ketentuan hukum, hukum Islam dan hukum
negara, responden dengan 27,5 % menilai bahwa cukup mengikuti hukum Islam .
Sementara 24,5 % responden menyatakan harus sesuai dengan hukum negara.
Berdasarkan data informasi pada tabel 4.6 bahwa mayoritas masyarakat
desa Lebaksiu masih eksistensi dengan hukum negara berdampingan dengan
eksistensi ukum Islam. Masyarakat menilai bahwa suatu pernikahan harus sesuai
dengan ketentuan hukum Islam dan juga hukum negara, masyarakat memahami
hukum negara yaitu undang-undang perkawinan dan memahami pula hukum
Islam yang kemungkinan akan muncul dikemudian hari.
Tabel 4.7
Pentingkah kafa’ah dalam perkawinan
No. Keterangan Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
Penting
Sangat Penting
Cukup Penting
Tidak penting
24
25
22
19
26,6
27,7
24,5
21,2
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Berdasarkan responden pada tabel diatas bahwa 27,7% adalah responden
yang menyatakan sangat penting , sedangkan penting dengan responden 26,6 %,
responden dengan cukup penting adalah 24,5 % dan tidak penting adalah 21,2 %.
Hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa responden menyatakan kafa’ah sangat
penting dikarenakan masyarakat desa lebaksiu mengutamakan dan mengharapkan
kafa’ah dalam perkawinan.
Tabel 4.8
Pihak yang terlibat dalam Proses Pernikahan
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
Pemerintah
Masyarakat
Tokoh agama
Keluarga
18
22
23
27
20
24,5
25,5
30
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Tabel 4.8 menunjukan bahwa yang mayoritas dengan persentase 30 %
responden adalah keluarga, para ulama dengan persentase 25,5 %, masyarakat
dengan persentase adalah 24,5 %, kemudian pemerintah dengan persentase 20 %.
Dengan ini pemahaman di dalam perkawinan yaitu keluarga dimana keluargalah
sangat berperan dalam proses perkawinan sampai terlaksananya kafa’ah didalam
melaksanakan perkawinan khususnya masyarakat desa lebaksiu.
Tabel 4.9
Pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan
No Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
Sesuai
Tidak sesuai
47
43
52,3
47,7
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel data tabel 4.9 diatas responden yang mengisi angket sesuai, dan
tidak sesuai. Responden yang memilih sesuai sebanyak 47 orang dengan
persentase 52,3 %. Sedangkan responden yang memilih tidak sesuai sebanyak 43
orang dengan persentase 47,7 %. Dengan ini statistik data diatas menunjukkan
kata jumlah yang sesuai lebih besar dari responden yang tidak sesuai dan
masyarakat desa lebaksiu telah memahami pelaksanaan kafa’ah didalam
perkawinan.
Tabel 4.10
Aspek kafa’ah dalam perkawinan
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
Agama
Keturunan
Pendidikan
Pekerjaan
29
25
19
17
32,3
27,7
21,2
18,8
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Menurut tabel diatas, 32,3 % responden mengatakan, bahwa aspek agama
sangat diutamakan, 27,7 % responden berpendapat, keturunan juga berperan, dan
21,2 % responden adalah mengatakan kekayaan, sedangkan 18,8 % responden
dengan pekerjaan.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa responden mementingkan aspek
agama dari pada aspek lainnya. Hal ini dikarenakan agama merupakan podasi
bagi setiap keluarga yang akan melaksanakan proses pernikahan yang ada pada
masyarakat desa lebaksiu, sehingga kehidupan rumah tangganya semoga
mendapat ridho dari Allah SWT dan menjadi keluarga sakinah, mawadah dan
warrahmah.
Tabel 4.11
Pihak yang menganjurkan kafa‘ah
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
Tidak ada yang menganjurkan
Dianjurkan oleh keluarga
Dianjurkan oleh tokoh Agama
30
35
25
33,4
38,9
27,7
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel diatas terlihat bahwa 38,9 % responden menyatakan,pernikahan
dengan kafa’ah dianjurkan oleh keluarga, sedangkan anjuran oleh tokoh agama
adalah 27,7 % responden.dan responden yang menyatakan tidak ada yang
menganjurkan yaitu dengan persentase 33,4 %.
Berdasarkan data diatas menyatakan bahwa anjuran untuk menjalankan
perkawinan dengan kafa’ah pada masyarakat desa lebaksiu tidak jauh dari
keluarga.Ini menunjukkan pemahaman kafa’ah pada masyarakat desa lebaksiu
telah dapat di mengerti.
C. Persepsi Masyarakat Desa Lebaksiu Tentang Pengaruh Kafa’ah
Persepsi kafa’ah dalam perkawinan yang terjadi pada masyarakat Desa
Lebaksiu, umumnya di kalangan keluarga yang mempunyai kedudukan sosial
dan ekonomi standar. Upaya untuk mengetahui persepsi tentang pengaruh kafa’ah
dalam perkawinan dengan mengumpulkan data angket (questionary) yang
dilakukan penulis dengan beberapa responden.
Persepsi mengenai pengaruh kafa’ah dalam perkawinan, masyarakat Desa
Lebaksiu dengan pemahamannya dan dengan agamanya masyarakat selalu
mempertimbangkan hal-hal tentang pengaruh yang muncul dalam setiap masalah
yang ada. Sedangkan masalah kafa’ah dalam perkawinan, pandangan masyarakat
Desa Lebaksiu mengenai hal ini masih mengikuti ajaran atau menganut madzhab
Syafe’i yang mana madzhab tersebut sudah kental dan melekat pada masyarakat
Indonesia terutama masyarakat Desa Lebaksiu khususnya.
Kafa’ah didalam perkawinan ada pengaruh yang kuat yang dapat
dirasakan masyarakat Desa Lebaksiu dengan menjalankan kafa’ah tersebut.
Terutama factor Agama, walaupun masih ada factor lain yang mungkin dapat
dijadikan persepsi. Berikut ini data penelitian yang telah penulis teliti.
Tabel 4.12
Alasan perkawinan dalam kafa‘ah
No Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
Terbinanya keluarga Islami
Tidak merugikan pihak lain
48
42
53,4
46,6
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Tabel 4.12 menunjukan responden yang menyatakan bahwa terbina
keluarga Islami sangat diharapkan dengan persentase 53,4 %, dan tidak
merugikan pihak lain menyatakan dengan persentase 46,6 %.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh kafa’ah dalam perkawianan
pada masyarakat desa lebaksiu sangat besar, sehingga masyarakat selalu
mengharapkan kehidupan rumah tangganya dapat terbina dengan akhlak yang
luhur.
Tabel 4.13
Penyebab terjadinya kafa‘ah
No Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
Faktor Budaya
Faktor Usia
Faktor Sosial
22
33
35
24,5
36,6
38,9
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel diatas bisa diketahui bahwa 24,5 % responden penyebabnya
adalah factor budaya, persentse 36,6 % responden menyatakan faktor usia,
sedangkan persentase 38,9 % adalah factor sosial.
Hal ini menggambarkan factor penyebab terjadinya kafa’ah pada
masyarakat desa lebaksiu dikarenakan factor social yang berpengaruh dalam
pelaksanaaan pernikahan ketimbang factor usia dan factor budaya.
Tabel 4.14
Penyebab factor agama terhadap Kafa’ah
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
Kebahagiaan
Ketentraman
54
36
60
40
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel diatas terlihat bahwa 60% responden menyatakan kebahagiaan
menjadi yang utama dalam kehidupan berumah tangga, sedangkan yang
menyatakan ketentraman adalah persentase 40% responden.
Jadi dapat di simpulkan bahwa pengaruh terhadap kafa’ah pada
masyarakat desa lebaksiu dalam hal ini adalah kebahagiaan itu sangat
diutamakan untuk dijadikan acuan didalam menjalankan kehidupan rumah tangga.
Tabel 4.15
Pertimbangan ka’fah dalam perkawinan
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Pesentase %
1.
2.
Menguntungkan
Untuk mencapai keharmonisan
42
48
46,7
53,3
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Menurut data diatas dapat diketahui, bahwa 53,3 % responden menyatakan
mencapai keharmonisan dapat membuat suatu keluarga terhindar dari
permasalahan yang dapat merugikan keluarga itu sendiri, dan untuk persentase
46,7 % responden menyatakan bahwa alasan tersebut menguntungkan bagi
sebagian masyarakat desa lebaksiu.
Dapat di ambil kesimpulan, dari data diatas menunjukkan bahwa
masyarakat desa lebaksiu dalam menjalankan pernikahan sangatlah
mengharapkan untuk mencapai keharmonisan didalam kehidupan rumah
tangganya.Sedangkan pengaruh kafa’ah dalam pernikahan masyarakat
mempertimbangkan dengan teliti.
Tabel 4.16
Perbedaan suku penyebab dalam pernikahan
No Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
Sangat berpengaruh
Cukup berpengaruh
41
49
45,6
54,4
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil survei lapangan
Dari tabel 4.16 dapat dilihat, bahwa 54,4 % responden menjawab bahwa
perbedaaan suku dalam menjalankan kafa’ah cukup berpengaruh antar satu
dengan suku lain, 45,6 % responden menilai bahwa perbedaan suku dalam
pernikahan pada tabel diatas menyatakan kafa’ah sangat berpengaruh dengan
suku lain (adat).
Hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan suku(adat) didalam
perkawinan tidak semua di praktekkan dalam kehidupan masyarakat, namun
masyarakat desa lebakasiu dengan hal ini tidak menjadi persoalan dalam
kehidupan bersosial pada umumnya.
Tabel 4.17
Akibat perkawinan dengan dasar kafa’ah
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
Mendatangkan kemaslahatan
Membuat kebahagiaan
Mengurangi perbedaan
38
28
24
42,2
31,2
26,6
Total 90 100
Keterangan:Data diolah dari hasil Survei lapangan
Tabel 4.17 menunjukkan bahwa responden dengan persentase 42,2 %
menyatakan kemaslahatan itu yang di harapkan, sedangkan persentase 31,2 %
responden menyatakan perkawinan dengan kafa’ah akan membuat kebahagiaa
keluarganya, dengan persentase 26,6 % menyatakan bahwa dengan kafa’ah dapat
mengurangi perbedaan dalam menyelesaikan masalah.
Dari data statistik diatas menunjukkan bahwa kemaslahatan sangat
berpengaruh dalam perkawinan karena kemaslahatan ini yang diharapkan oleh
masyarakat desa lebaksiu sehingga kehidupan rumah tangganya nanti dapat
mewujudkan keluarga yang diridhoi oleh Allah Swt.
Tabel 4.18
Kafa’ah dalam pelaksanan perkawinan
No. Alternatif Jawaban Frekvensi Persentase %
1.
2.
3.
4.
Baik
Sangat baik
Cukup
Cukup baik
29
25
19
17
32,3
27,7
21,2
18,8
Total 90 100
Keterangan: Data diolah dari hasil Survei lapangan
Tabel 4.18 diatas bahwa persentase 32,3 % adalah responden yang
menyatakan baik dalam pelaksanaannya, sangat baik adalah responden dengan
persentase 27,7 %, dengan persentase 21,2 % menyatakan cukup, dan responden
dengan persentase 18,8 % cukup baik.
Dengan ini diatas tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
pelaksanaan perkawinan dengan pengaruh kafa’ah yang ada, masyarakat desa
lebaksiu mayoritas menyatakan hal tersebut baik untuk dijalankan dan
dilaksanakan sesuai konsep kafa’ah dalam Islam.
D. Analisis Hasil Penelitian
Mengacu pada beberapa inti permasalahan yang dirumuskan pada bagian
terdahulu, permasalahan yang ada adalah: Pemahaman masyarakat tentang
kafa’ah dan persepsi masyarakat desa lebaksiu tentang pengaruh kafa’ah dalam
perkawinan.
1. Pemahaman masyarakat tentang kafa’ah dalam perkawinan
Keseimbangan antara calon suami dan calon isteri dalam perkawinan
sangatlah diutamakan agar kehidupan rumah tangganya kelak tidak ada
persoalan. Masyarakat desa lebaksiu, pada umumnya sangat berharap anaknya
mendapatkan pasangan yang seimbang atau pilihan yang sekufu, baik dari segi
agamanya, segi hartanya, segi nasabnya, segi pekerjaaannya, maupun dari segi
kecantikannya. Dari hal tersebut diatas walaupun pilihannya tidak mampu
terpenuhi, maka setidaknya ketaatan yang paling diutamakan karena sebagai
acuan pada kehidupan keluarga dan anak cucunya.
Didalam suatu pernikahan pemahaman tentang kafa’ah selalu menjadi
persoalan yang sangat mendasar oleh setiap masyarakat khususnya suatu keluarga
yang menginginkan adanya rumah tangga yang tentram. Masyarakat Desa
Lebaksiu sudah memahami aspek-aspek yang ada dalam sebuah perkawinan
untuk menuju kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah, warahmah, sehingga
masyarakat desa lebaksiu selalu peduli dengan konsep kafa’ah tersebut yaitu
melalui pemahaman agama yang telah diajarkan dalam lingkungan masyarakat.
Kedudukan seseorang dimasyarakat sangat diperlukan untuk dapat dijadikan
tauladan bagi lainnya dalam masalah pernikahan, dengan memperhatikan aspek
yang ada dalam konsep kafa’ah. Semoga dengan hal tersebut mendapatkan ridhoi
dari Allah SWT.
Dengan faktor yang ada masyarakat Desa Lebaksiu dapat menjalankan
kafa’ah dalam perkawinan dengan pemahaman yang telah dimilikinya. Oleh
karena itu dalam pernikahan lebih dilatar belakangi oleh factor agama, sehingga
factor tersebut menjadi pedoman sebagian masyarakat Desa Lebaksiu. Sehingga
masyarakat yang menjalankannya merasakan ketenangan jiwa, ketenteraman
batinnya, dan untuk membentuk keluarga yang bahagia.
Jadi, dalam pernikahan yang berdasarkan kafa’ah tersebut oleh sebagian
masyarakat masih tetap dilestarikan, walaupun dampak yang sudah mereka alami
sebelumnya. Factor agama dan ada factor lainnya dalam kafa’ah menyebabkan
sebagian masyarakat melakukan pernikahannya dengan baik dan dapat
menjalankan perkawinannya sesuai konsep agama yang telah dianjurkan oleh
Islam dan mudah-mudahan masyarakat mendapatkan kehidupan yang tentram,
mendapatkan selalu barokah dari Allah SWT amin.
2. Persepsi masyarakat tentang pengaruh kafa’ah
Persepsi yang muncul dalam lingkungan masyarakat desa Lebaksiu
tentang pengaruh kafa’ah dalam perkawinan hanyalah sebatas pandangan yang
sebagian masyarakat tingkat pengetahuan dan tingkat pemahaman cukup. Sebab
ada kekhawatiran bagi mereka apabila menikahkan anaknya dengan tidak
seimbang atau sebanding, maka sangat berpengaruh pada perkawinan anaknya
terutama keluarga dengan tingkat kedudukan sosialnya tinggi.
Pada dasarnya hal tersebut tidak menjadi persoalan dalam perkawinan,
menjadi persoalan hanya pada masyarakat pengetahuannya kurang memahami
tentang hal perkawinan. Dalam kehidupan masyarakat masalah tersebut tidak
mereka praktekkan namun pada kehidupan nyata dan ini menunjukan masyarakat
desa lebaksiu mampu untuk melaksanakan perkawinan yang sesuai syari’at Islam.
Perkawinan sekufu’ selalu diharapkan oleh semua masyarakat desa
lebaksiu yang senantiasa menjalankan kehidupan agamis dengan tuntunannya.
Hal ini berpengaruh pada kehidupan keluarga didalam mengarungi mahligai
rumah tangga yang selalu mengharapkan kebahagiaan.
Dalam masyarakat Desa Lebaksiu masih menggunakan madzhab Syafe’I
yang mana dalam menyikapi tentang keseimbangan dalam perkawinan selalu
pendapatnya. Persepsi masyarakat desa Lebaksiu mengenai pengaruh kafa’ah
didalam menjalankan perkawinan menunjukan bahwa masyarakat desa lebaksiu
melakukan pernikahan bertujuan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT dan
agar dilancarkannya perkawinan rumah tangga sampai akhir khayat.
Sesuatu hal apalagi dalam sebuah perkawinan tentunya terdapat pengaruh
yang terjadi akibat persoalan yang menyangkut hubungan suami isteri dalam satu
keluarga. Ini bahkan akan menjadi pengaruh yang bisa membuat perkawinan itu
cerai berai pada kehidupan keluarganya dan berujung dengan hak suami dan hak
isteri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pernyataan yang telah penulis paparkan serta mengacu
kepada jawaban perumusan masalah, maka dapat disimpulkan:
1. Pemahaman masyarakat desa lebaksiu kecamatan lebaksiu kabupaten tegal
tentang kafa’ah adalah hal yang perlu diperhatikan, bahkan sebagian anggota
masyarakat ada yang mengharuskan sekufu’, adapun hal ini disebabkan
karena ada anggapan bahwa kafa’ah adalah faktor yang sangat menentukan
guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Didalam
menghadapi tantangan hidup, mahligai rumah tangga haruslah ada kesamaan
pandangan antara calon suami isteri, pandangan yang sama bermula pada
persamaan agama, keturunan,harta dan persamaan latar belakang. Masyarakat
desa lebaksiu dengan pemahamannya tersebut akan menjadi suatu Persamaan
agama yang nantinya menjadi pedoman didalam masyarakat untuk menempuh
hidup berumah tangga yang damai dan sentosa.
Respon masyarakat cukup tinggi dalam memahami maupun menjalankan
kafa’ah didalam perkawinan, terbukti masyarakat menunjukkan dengan
adanya pemahaman ini masyarakat antusiasnya sangat tinggi didalam
menentukan pasangan yang akan dijadikan pendamping hidup, yang paling
utama para orang tua yang selalu mengkhawatirkan anak didiknya dalam
memilih pendamping.
2. Persepsi masyarakat desa lebaksiu tentang pengaruh kafa’ah didalam
perkawinan menunjukan bahwa masyarakat desa lebaksiu masih khawatir
dalam memilih pasangan untuk pendamping hidup dan akan mengarungi
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah. Anggapan yang ada
pada masyarakat dalam menentukan calon suami dan calon isteri tidaklah
serta merta dengan mudah mendapatkan pasangannya untuk dijadikan bakal
hidup, bahkan masyarakat mengharapkan adanya keseimbangan calon suami
calon isteri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga yang diharapkan.
Kekhawatiran tersebut nantinya tidak menjadi momok bagi orang tua dalam
menikahkan anaknya.
Dengan adanya pengaruh kafa’ah yang timbul dalam pernikahan, anggapan
tentang hal tersebut masyarakat langsung merespon dan memahami betapa
pentingnya pengaruh tersebut. Adanya keinginan dan persepsi yang kuat,
maka masyarakat desa lebaksiu senatiasa menjaga tradisi perkawinan yang
berdasarkan kafa’ah sehingga hal itu harus dijalankan masyarakat dengan
pemahaman yang telah ditanamkan oleh para orang tua terdahulu.
B. Saran
1. Kepada umat Islam pada umumnya dan khususnya kepada masyarakat desa
lebaksiu hendaknya dalam melaksanakan perkawinan tidak keluar dari jalur
hukum yang ditetapkan oleh syari’at. Perbedaan dalam segi harta, keturunan,
dan lainnya, bukanlah masalah dalam perkawinan asalkan jangan berbeda
aqidah. Karena Islam tidak mengatur perkawinan beda agama dan Islam
sangat erat dengan norma-norma agama yang selalu menjadi pintu utama
dalam menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam syari’at Islam.
2. Kepada umat Islam Pada umumnya dan kepada masyarakat desa lebaksiu
pada khususnya hendaknya memandang masalah kafa’ah didalam Òarim
perkawinan Islam, harus mengetahui aspek dan norma yang terpenting pada
pendapat fuqaha.
3. Hendaknya kepada calon suami isteri mengetahui benar bahwa yang
berhubungan dengan hal suatu perkawinan, juga mengenai hakekat, tujuan
serta hikmah perkawinan, itu akan tercapai suatu keluarga sakinah,mawaddah,
dan warahmah yang diridhoi Allah SWT.
4. Saya berharap agar para remaja yang akan memilih pasangan untuk dijadikan
pendamping hidup, sekiranya dapat memilih dan mencari yang sekufu’
sehingga dalam perkawinan dapat terwujud rumah tangga yang bahagia, kekal
sampai akhir hayat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Al-Hamdani, H.S.A, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 2002
Abdillah, Syaikh Abdil Fathi, Adab dan Tuntunan Meminang, Jakarta, Pustaka
Kamil, 2004
As’ad, Aliy, Fathul Mu’in, Menara Kudus, 1979
Azharuddin Latif, Ahmad, Dkk, Pengantar Fiqh, Jakarta Pusat Studi Wanita, 2005
Asmawi, M, Nikah Dalam Perbincangan dan perbedaan, Darussalam, Yogyakarta,
2004
Bakry, Abdullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta, UI PREES, 1998
Bey, Arifin, Ustadz, Dkk, Sunan Daud Jilid 3, Semarang, Asy Ayifa, 1993
Bey, Arifin, Ustadz, Dkk, Sunan An Nasai’y Jilid 3, Semarang, Asy Syifa, 1993
Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya
Dipl Tafl, Zuhri, Moh, H, Drs, Dkk, At Tirmidzi, Jilid 2, Semarang, Asy Syifa, 1992
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Bogor, Kencana, 2003
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta, Prenada
Media, 2003
Hamidy, Zainuddin, H, Shahih Bukhari, Jilid 4, Jakarta, Widjaya, 1992
Jaelani, Abd Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya, Bina Ilmu, 1995
Muktar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan
Bintang, 1974
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung, PT. Sinar Baru Algesinda, 1994
Soemiyati, Ny, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta,
Sabiq, Sayyid, Terjemah Fiqh Sunnah Juz 7, Bandung, PT. Alma’arif, 1981
Yusuf, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, PT. Nidakarya, Agung, 1989
Shonhaji, Abdullah, H, Dkk, Al Ustadz, Sunan Ibnu Majah, Jilid 2,Semarang, Asy
Syifa,
1992
Yusuf, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, PT. Nidakarya, Agung, 1989