pertanggungjawaban firma hukum terhadap …digilib.unila.ac.id/47265/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PERTANGGUNGJAWABAN FIRMA HUKUM TERHADAP KERUGIAN
YANG DIDERITA OLEH KONSUMEN JASA HUKUM (KLIEN) DALAM
PEMBERIAN JASA HUKUM
(Skripsi)
Oleh:
GIBRAN MOHAMMAD
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2018
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN FIRMA HUKUM TERHADAP KERUGIAN
YANG DIDERITA OLEH KONSUMEN JASA HUKUM (KLIEN) DALAM
PEMBERIAN JASA HUKUM
Oleh:
Gibran Mohammad
Profesi advokat merupakan profesi terhormat dan disebut dengan istilah officium nobile. Kemuliaan profesi ini berusaha dijaga sedemikian rupa oleh organisasi-organisasi profesi advokat. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Biasanya dalam praktek, advokat menjalankan tugasnya dengan bersekutu dengan advokat lain dalam sebuah firma hukum guna melaksanakan kepentingannya menjadi penasihat hukum bagi konsumen jasa hukum yang disebut klien berdasarkan ikatan perjanjian jasa hukum dan perjanjian kuasa. Namun ketika klien merasa tidak puas atau merasa menderita kerugian yang disebabkan oleh pemberian jasa hukum dari firma hukum, firma hukum dapat dijatuhi sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi etik. Berdasarkan hal tersebut maka isu hukum yang akan saya teliti dalam penulisan ini adalah bagaimana hubungan hukum dalam pemberian jasa hukum dan bagaimana tanggung jawab firma hukum terhadap kerugian klien. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum (data) hasil pengolahan untuk penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, logis, dan efektif. Hasil penelitian ini yaitu hubungan hukum dalam pemberian jasa hukum terlahir melalui dua perikatan, yakni perjanjian jasa hukum dan perjanjian kuasa, adapun tanggung jawab firma hukum terhadap kerugian klien mencakup wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, serta sanksi etik yang dilandaskan Kode Etik Advokat. Perjanjian yang disepakati oleh firma dan klien dapat menimbulkan sengketa apabila di kemudian hari klien merasa dirugikan.
Kata Kunci : Firma Hukum, Jasa Hukum, Klien.
PERTANGGUNGJAWABAN FIRMA HUKUM TERHADAP KERUGIAN
YANG DIDERITA OLEH KONSUMEN JASA HUKUM (KLIEN) DALAM
PEMBERIAN JASA HUKUM
Oleh
Gibran Mohammad
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada era Orde Baru dan merupakan
anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Budiman
Sanjaya, S.H., M.Si. dan Ibu dr. Endriana Svieta Lubis, Sp.Ok.
Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Al Ikhlas kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 11 Jakarta hingga tahun 2007, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 80 Jakarta hingga tahun 2010, Sekolah Menengah Atas
Negeri 26 Jakarta hingga tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui seleksi penerimaan
SBMPTN.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan
kemahasiswaan, seperti sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung (BEM FH Unila). Sebelum bergabung dalam BEM
FH Unila, penulis bersama Havez Annamir dan Edius Pratama melahirkan sebuah
klub dialektika mingguan dan menyebutnya sebagai Lentera Merah. Penulis
pernah mengikuti Karya Latih Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum
Bandarlampung (KALABAHU LBH Bandarlampung), penulis juga aktif dalam
kegiatan penelitian sebagai asisten peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik
dan Hak Asasi Manusia (PKKP-HAM Fakultas Hukum Unila). Pada tahun 2015,
penulis menjadi delegasi dari Fakultas Hukum Universitas Lampung dalam
Simposium Hukum Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (SHN
FHUI). Penulis juga pernah menulis jurnal internasional dengan judul Education
as a Primary Tool of Human Rights Enforcement and National Development pada
Juni 2017 dalam International Conference on Law, Economics, and Education.
MOTO
“Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
(Pramoedya Ananta Toer dalam buku Rumah Kaca)
“Ijazah adalah bukti bahwa seseorang pernah sekolah, bukan bukti bahwa ia
pernah berpikir.”
(Rocky Gerung)
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsiku ini kepada:
Kedua orang tuaku, Ibu dr. Endriana Svieta Lubis, Sp.Ok. dan Bapak Budiman
Sanjaya, S.H., M.Si., yang telah mencintaiku dan merangkul segala
kekuranganku. Jika aku diberi kesempatan lahir kembali, aku akan tetap memilih
terlahir dari rahim yang sama.
SANWACANA
Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Firma Hukum terhadap
Kerugian yang Diderita oleh Konsumen Jasa Hukum (Klien) dalam
Pemberian Jasa Hukum” diajukan guna memenuhi gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Hamzah, S.H, M.H., selaku Pembimbing I. Penulis ucapkan terima
kasih atas segala kebaikan serta kebijaksanaan beliau dalam memberikan
bimbingan penelitian ini. Belum pernah penulis temui seorang dosen yang
dapat memahami psikologi mahasiswa seperti beliau;
2. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., selaku Pembimbing II. Sesungguhnya
beliau adalah salah satu dosen Hukum Perdata paling paripurna yang pernah
penulis temui;
3. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., selaku Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
Sesungguhnya kekaguman penulis kepada beliau akan terus tumbuh;
4. Ibu Diane Eka Rusmawati, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah
memberikan saran penyusunan skripsi, kritik, serta arahan yang membangun
terhadap skripsi ini;
5. Bapak Dr. Hieronymus Soerja Tisnanta, S.H., M.H. yang telah penulis anggap
sebagai ayah ideologis, penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya dan
setulus-tulusnya kepada beliau. Sungguh beliau merupakan manusia
paripurna;
6. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik, yang telah
penulis anggap seperti ibu akademis, penulis ucapkan terima kasih atas segala
kebaikan beliau;
7. Abang Chandra Muliawan, S.H., M.H., seorang penegak hukum dan pembela
HAM LBH Bandarlampung yang akan selalu menjadi guru bagi penulis
sampai kapanpun, bahkan hingga kata “kapan” hilang dari peradaban, penulis
mengucapkan terima kasih dan memohon maaf sebesar-besarnya karena
penulis telah terlampau sering mencuri ilmu beliau;
8. Seluruh Dosen dan Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas
Lampung, dan Bagian Hukum Keperdataan. Terkhusus Ibu Yanti yang telah
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumit administratif dengan sabar dan
tekun;
9. Adindaku Amarylis Puan Nabila Sanjaya, teruslah mencintaiku seperti engkau
mencintai darah dan dagingmu sendiri;
10. Sasqia Avila dan Bunda Lila, penulis mengucapkan terima kasih atas segala
dukungan moral yang telah mereka berikan dan telah bersedia untuk tetap
setia berada di sisi penulis hingga hari ini;
11. Seluruh jajaran presidium Upil Sapto 2013 yang tidak bisa penulis sebutkan
satu-persatu;
12. Adam Bagaskara, S.Sos., terima kasih, bruv, karena telah mengenalkanku
pada Jean-Paul Sartre kala itu;
13. Hari Putra Pamungkas, Dennis Eka Pratama, M. Arief Koenang, Firmandes
Sisko, Roberto Pandiangan, Ade OKY, Reza Torio Tamba, Faishal Baqir, Dea
Zulfikar, serta semua teman-teman angkatan 2013 seperjuangan yang telah
setia dan berbaik hati kepada penulis namun penulis lupa menuliskannya,
sesungguhnya ucapan ini hanya tinta hitam di atas kertas dan tidak berarti apa-
apa dibandingkan dengan segala kebaikan teman-teman;
14. Fadhlan Syaiful Ghazi, Aziz Al Khairi, Angga Putra Bayu Nugroho, Adli
Rafdi Hafiz, Fernandus Immanuel, Jeki Leonar Andika Tampubolon, Zulfa
Aulia STG, Bida, Mpok Nopah, Bang Andi, Ncang Rama, dan Ncang Rian,
penulis ingin mengucapkan terima kasih karena telah banyak sekali membantu
melancarkan keperluan dan mobilitas penulis serta selalu mengingatkan
penulis bahwa skripsi adalah sebuah tugas yang harus dituntaskan dengan
matang.
15. Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unila. Bagaimanapun juga,
penulis banyak mendapatkan pelajaran berharga dari himpunan ini. Yakin
usaha sampai;
16. Seluruh jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung Periode 2015/2016, terima kasih telah mempercayakan amanah
kepada penulis selama satu periode penuh sebagai Kepala Dinas Kajian dan
Penelitian;
17. Keluarga Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-
HAM) FH Unila, terutama Bapak Dr. HS. Tisnanta SH., M.H., Bapak Dr. FX.
Sumarja, S.H., M.H., Bapak Fathoni S.H., M.H., dan rekan-rekan lainnya,
terima kasih untuk segala ilmu dan kebersamaan beberapa tahun ini;
18. Pramoedya Ananta Toer dan Jean-Paul Sartre. Terima kasih telah membuka
mata hatiku melalui Tetralogi Buru-mu, Pram. Juga, terima kasih, Sartre,
karena telah menyadarkanku bahwa kebebasan adalah kutukan.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam
mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandarlampung, 5 Oktober 2018
Penulis
Gibran Mohammad
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak i
Sampul Dalam iii
Halaman Persetujuan iv
Halaman Pengesahan v
Halaman Pernyataan vi
Riwayat Hidup vii
Moto ix
Halaman Persembahan x
Sanwacana Xi
Daftar Isi Xv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Permasalahan ......................................................................................... 3
C. Ruang Lingkup ........................................................................................ 4
1. Ruang Lingkup Keilmuan................................................................ 4
2. Ruang Lingkup Pembahasan .......................................................... 4
D. Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
E. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 5
1. Kegunaan Teoritis ............................................................................ 5
2. Kegunaan Praktis ............................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Jasa Hukum dan Perjanjian Kuasa ........................................... 6
1. Profesi Advokat sebagai Pemberi Jasa Hukum ................................... 6
2. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Jasa Hukum .............................. 9
3. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Kuasa Khusus ........................... 10
B. Perbuatan Melawan Hukum ...................................................................... 18
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum .............................................. 18
2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum ........................................... 22
3. Unsur Kesalahan dan Kelalaian dalam Perbuatan Melawan Hukum.. 23
C. Firma ......................................................................................................... 25
1. Pengertian Firma ................................................................................. 25
2. Proses Pendirian Firma ....................................................................... 27
3. Firma sebagai Subjek Hukum ............................................................. 29
D. Hukum Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ................................... 31
1. Hukum Pembuktian secara Umum...................................................... 31
2. Beban Pembuktian Perkara Perdata .................................................... 31
E. Kerangka Pikir .......................................................................................... 32
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 35
B. Tipe Penelitian .......................................................................................... 36
C. Pendekatan Masalah .................................................................................. 36
D. Sumber Data dan Jenis Data ..................................................................... 37
E. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 39
F. Metode Pengolahan Data .......................................................................... 39
G. Analisis Data ............................................................................................. 39
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum dalam Pemberian Jasa Hukum.................................... 41
1. Perjanjian Jasa Hukum ....................................................................... 41
1.1 Para Pihak (Firma Hukum dan Klien) .......................................... 42
1.2 Prestasi dan Wanprestasi Perjanjian Jasa Hukum ........................ 44
2. Perjanjian Kuasa ................................................................................ 47
2.1 Sifat Pemberian Kuasa ................................................................. 47
2.2 Terjadinya Pemberian Kuasa ....................................................... 49
2.3 Kewajiban Penerima dan Pemberi Kuasa .................................... 50
2.4 Berakhirnya Pemberian Kuasa ..................................................... 52
B. Tanggung Jawab Firma Hukum terhadap Kerugian Klien ....................... 54
1. Kedudukan Advokat dalam Firma Hukum ........................................ 54
2. Tanggung Jawab Firma Hukum atas Wanprestasi dalam Perjanjian
Jasa Hukum ........................................................................................ 61
2.1 Hak Imunitas Advokat ................................................................ 63
2.2 Sanksi Undang-Undang yang dapat Disamakan dengan Sanksi
Etik sebagai Pertanggungjawaban Firma Hukum ....................... 65
3. Malpraktek serta Korelasinya dengan Perbuatan Melawan Hukum .. 67
3.1 Breach of Contract ....................................................................... 68
3.2 Law of Tort ................................................................................... 68
3.3 Negligence .................................................................................... 71
V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 78
B. Saran .......................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Profesi advokat dalam terminologi Latin disebut dengan Officium Nobile, yang
bermakna profesi terhormat. Penyematan istilah tersebut bukan sekadar kiasan
delusional, karena sebagai public defender dalam konteks penegakan hukum dan
keadilan, kemuliaan profesi ini berusaha dijaga sedemikian rupa oleh organisasi-
organisasi profesi advokat. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.1 Jasa hukum adalah jasa yang
diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan hukum klien.2
Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum
dari Advokat.3 Hal tersebut senada dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang menerjemahkan konsumen sebagai setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan, sehingga klien dapat dikatakan sebagai konsumen.
1 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
3 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2
Hubungan hukum antara klien sebagai penerima jasa (konsumen) dan pengacara
sebagai pemberi jasa diikat dengan sebuah kontrak yakni perjanjian jasa hukum
yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Lingkup kegiatan bantuan
hukum meliputi pembelaan, perwakilan, baik di luar maupun di dalam pengadilan,
pendidikan, penelitian dan penyebaran gagasan.4 Apabila di kemudian hari
pengacara mengakibatkan kerugian bagi klien baik karena tidak melaksanakan
atau lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam kontrak,
klien dapat menuntut pengacaranya.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari
keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak
fundamental mereka di depan hukum. Advokat dalam menjalankan tugas
profesinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(UU Advokat). Advokat organisasi profesi yang memiliki kode etik dengan
membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada
setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya. Selain itu, kode etik profesi
advokat ini terlahir untuk melindungi masyarakat dari perilaku yang tidak patut
dari advokat, seperti pergeseran ideologi dalam praktik penegakan hukum yang
dilakukan advokat dari Officium Nobile menuju ke komersialisasi layanan bantuan
dan jasa hukum.
4
Bambang Sugono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 8.
3
Pergeseran ini menyebabkan perubahan perilaku advokat dalam menjalankan
profesinya, bukan hanya faktor intern dari advokat sendiri yang menyebabkan
perilaku kriminogen muncul, melainkan faktor ekstern yang turut menentukan.5
Perilaku advokat akan mempengaruhi kinerjanya dalam melakukan pemberian
jasa hukum, artinya advokat yang menjadikan kliennya lahan komersial maupun
perilaku sejenis, dapat dikenakan sanksi etik, dan bahkan sanksi hukum. Sanksi
tersebut merupakan konsekuensi logis sejak hukum berlaku, karena hukum
mengatur peranan dari para subjek hukum yang berupa hak dan kewajiban.6
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti, mengkaji, dan
menganalisis perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian jasa
hukum dan selanjutnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul
“Pertanggungjawaban Firma Hukum terhadap Kerugian yang Diderita oleh
Konsumen Jasa Hukum (Klien) dalam Pemberian Jasa Hukum”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini ada beberapa
masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Beberapa
masalah tersebut sebagai berikut :
1. Bagaimanakah hubungan hukum dalam pemberian jasa hukum?
2. Bagaimanakah tanggung jawab firma hukum terhadap kerugian klien?
5 journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1186, diakses pada 12 Februari 2018
pukul 20:00 WIB.
6 Wahyu Sasongko, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Universitas Lampung,
Bandarlampung, 2011, hlm. 53.
4
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian materi penelitian ini adalah pertanggungjawaban firma
hukum terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen jasa hukum (klien) dalam
pemberian jasa hukum yang mana termasuk dalam bidang ilmu hukum
keperdataan (ekonomi), khususnya hukum perlindungan konsumen.
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup kajian materi penelitian ini adalah pertanggungjawaban firma
hukum terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen jasa hukum (klien) dalam
pemberian jasa hukum yang mana termasuk dalam bidang ilmu hukum
keperdataan (ekonomi), khususnya hukum perlindungan konsumen.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah mengkaji bagaimana
pertanggungjawaban firma hukum terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen
jasa hukum (klien) dalam pemberian jasa hukum dengan pokok bahasan dalam
penelitian ini antara lain:
a. Hubungan hukum dalam pemberian jasa hukum.
b. Tanggung jawab firma hukum terhadap kerugian klien.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitan ini meliputi:
1. Memperoleh analisis lengkap, rinci, dan sistematis mengenai hubungan hukum
dalam pemberian jasa hukum.
2. Memperoleh analisis lengkap, rinci, dan sistematis mengenai tanggung jawab
firma hukum terhadap kerugian klien.
5
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini mencakup
kegunaan teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan dasar
pengembangan pengetahuan, khususnya ilmu di bidang hukum ekonomi
khususnya mengenai hukum perlindungan konsumen.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan penelitian ini secara praktis adalah:
a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan penambah pengetahuan hukum
bagi penulis mengenai ilmu bidang hukum ekonomi khususnya hukum
perlindungan konsumen.
b. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak khususnya bagi mahasiswa Bagian
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
membutuhkan referensi untuk digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan
berkaitan dengan permasalahan hukum dengan pokok bahasan hukum
perlindungan konsumen khususnya mengenai pertanggungjawaban firma
hukum terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen jasa hukum (klien)
dalam pemberian jasa hukum.
c. Sebagai salah satu syarat akademik bagi penulis untuk menyelesaikan studi
pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Jasa Hukum dan Perjanjian Kuasa
1. Profesi Advokat sebagai Pemberi Jasa Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.7 Advokat dalam
negara hukum merupakan sebuah profesi di bidang hukum, di Indonesia, advokat
sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Advokat adalah pihak yang
terlibat dalam hukum sebagai profesi untuk membela dan mendampingi dan
konsultan bagi mereka yang membutuhkan.
Profesi pada hakekatnya adalah pekerjaan tetap yang berwujud karya pelayanan
yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidang ilmu
tertentu yang pengembangannya dihayati sebagai panggilan hidup dan
pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai tertentu yang dilandasi semangat
pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar pada
penghormatan dan upaya menjunjung tinggi martabat manusia.8 Peraturan tentang
profesi advokat di Indonesia, dikenal dengan nama Reglement of de Rechtterlijke
organisatie en het Belaid der Justitie in Indonesia (S. 1847 No. 23 yo S. 1848 No.
7 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
8 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 8.
7
57). Peraturan tersebut dengan segala perubahan dan penambahannya, antara lain
menyebutkan advokat adalah Procereur.
Profesi advokat merupakan jabatan yang mulia, keberadaannya sudah cukup lama
di Indonesia. Pemberian nama jabatan yang mulia diberikan karena aspek
kepercayaan dari pemeberi kuasa atau klien yang dijalankannya untuk
mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknyadi forum yang telah
ditentukan. Advokat sebagaimana resmi profesi dalam sistem peradilan kira-kira
pertama ditemukan dalam ketentuan susunan kehakiman dan kebijaksanaan
mengadili.
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran nilai, ide, dan cita
untuk menjadi sebuah tujuan hukum yakni keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai
yang terkandung didalamnya haruslah diwujudkan menjadi realitas yang nyata.
Eksistensi hukum menjadi nyata jika nilai-nilai moral yang terkandung dalam
hukum dapat diimplementasikan dengan baik.9 Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara hukum,
kekuasaan tertinggi lembaga peradilan berada pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi yang bebas dari segala campur tanga
pengaruh dari luar, oleh karena itu diperlukan adanya profesi advokat yang bebas,
mandiri, dan bertanggung jawab pula untuk terselenggaranya suatu peradilan yang
jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan.
Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam
menegakkan hukum telah dijamin dalam Undang-Undang Republik Indonesia
9 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing Yogyakarta, 2009, hlm. vii.
8
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 ayat (1) pada bagian ketentuan
umum undang-undangn tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang
ini. Adapun yang dimaksud dengan bantuan hukum berdasarkan Pasa 1 ayat (2)
adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepetingan hukum kita.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat
telah mengatur hubungan antara advokat dengan klien dan hubungan advokat
dengan teman sejawat. Adapun hubungan antara advokat dengan klien diatur
dalam Pasal 4 kode etik advokat yaitu:
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian
dengan jalan damai
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan
klien perkara yang sedang diurusnya
c. Advokat tdak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang
ditangani akan menang
d. Dalam menetukan besarnya honorarium, advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak
perlu
f. Advokat harus menolak perkara yang menurut pertimbangannya tidak ada
dasar hukumnya
9
g. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan
oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah
berakhirnya hubungan antara advokat dengan klien.
Di samping hubungan advokat dengan klien, diatur pula hubungan antara advokat
dengan teman sejawat, yang diatur dalam Pasal 5 kode etik profesi advokat, yaitu:
a. Hubungan antara teman sejawat advokat harus dilandasi sikap saling
menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berpapasan satu sama lain
dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak
sopan baik secara lisan maupun tertulis
c. Keberatan-keberatan terhadapa tindakan teman sejawat yang dianggap
bertentangan dengan kode etik advokat harus diajukan kepada Dewan
Kehormatan untuk diperiksa dan tdak dibenarkan untuk disiarkan melalui
media massa atau cara lain
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman
sejawat
e. Apabila klien hendak mengganti advokat, maka advokat yang baru hanya
dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian
kuasa advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi
kewajibannya apabila masih ada, terhadap advokat semula.
2. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Jasa Hukum
Hubungan hukum dalam konteks perikatan dimaksudkan untuk membedakan
Perikatan sebagai yang dimaksud oleh pembuat undang-undang dengan hubungan
10
yang timbul dalam lapangan moral dan kebiasaan, yang memang juga
menimbukan adanya kewajiban (kewajiban moral atau sosial) untuk dipenuhi,
tetapi tidak dapat dipaksakan pemenuhannya melalui sarana bantuan hukum. Jadi
di sana memang ada timbul semacam perikatan, tetapi lain dengan kata yang kita
maksud. Sanksi pelanggarannya didasarkan atas ―rasa penyesalan‖ atau
―pengucilan dari pergaulan sosial‖.
Pada perikatan (hukum), kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya secara
sukarela – dengan baik dan sebagaimana mestinya – maka kreditur dapat meminta
bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia memenuhi
kewajibannya, sekalipun seringkali bukan merupakan executie riil.10
Kontrak
sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain
menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil.11
3. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Kuasa Khusus
Kepercayaan merupakan hal pokok yang menjadi dasar hubungan klien-
pengacara. Klien mempercayakan masalah hukumnya kepada pengacara, agar
pengacara dapat mewakili mereka mengurus segala kepentingan hukum guna
memenuhi rasa keadilan bagi mereka (klien).
Hubungan kepercayaan klien ini diwujudkan dalam beberapa hal yang harus
dipenuhi oleh klien terhadap pengacaranya dalam menyelesaikan suatu kasus.
Pertama, pemberian surat kuasa, dimana surat kuasa ini sebagai dasar bagi
pengacara untuk bertindak mewakili kepentingan hukum kliennya dalam
10
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hlm.
13. 11
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana, Jakarta 2011, hlm. 47.
11
berhubungan dengan pihak ketiga. Surat kuasa ini menjabarkan batasan-batasan
yang dapat dilakukan seorang pengacara. Kedua, klien berkewajiban memberikan
segala informasi yang benar, yang berhubungan dengan permasalahan hukum
yang dihadapi kepada pengacaranya agar pengacaranya dapat mengurus masalah
tersebut secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki
oleh pengacara.
Ketiga adalah kewajiban bagi klien untuk membayar honorarium kepada
pengacara yang telah melaksanakan tugasnya. Namun dalam hal tertentu
adakalanya seorang pengacara tidak membebankan biaya apapun kepada kliennya
bila kliennya itu berasal dari golongan masyarakat yang tidak mampu dan
memerlukan bantuan hukum. Kesadaran untuk menolong masyarakat tidak
mampu inilah yang membuat profesi pengacara merupakan profesi yang mulia di
mata masyarakat (officium nobile).
Hubungan antara klien dengan pengacaranya biasanya dituangkan dalam bentuk
suatu kontrak. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak
serta lingkup kerja yang harus dilakukan oleh pengacara. Didalam Kontrak
tersebut juga bisa diatur mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di
kemudian hari antara klien dengan pengacaranya, tentang uang jasa dan kerugian
yang mungkin ditanggung oleh klien.
Klien dapat menuntut pengacaranya apabila dikemudian hari pengacara tersebut
tidak melaksanakan atau lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
12
ditentukan dalam kontrak sehingga akhirnya mengakibatkan kerugian bagi klien.
Begitu juga sebaliknya (ps.1365 dan 1366 KUH Perdata).12
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUH Perdata).13
Orang
yang telah diberikan kuasa (ia dinamakan ―juru kuasa‖ atau ―kuasa‖ saja)
melakukan perbuatan hukum atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga
dikatakan bahwa ia mewakili si pemberi kuasa.14
Kuasa diwajibkan selama ia beum dibebaskan, melakukan kuasanya, dan ia
menanggung segala biaya, kerugian, dan bunga yang sekiranya dapat timbul
karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan
menyelesaikan urusan yang sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi
kuasa meninggal, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu
kerugian.15
Subjek dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima
kuasa. Yang menjadi pokok perjanjian pemberian kuasa adalah dapat satu atau
lebih perbuatan hukum dalam hukum harta kekayaan.16
Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu
kepentingan tertentu atau lebih (pasal 1975 KUH Perdata). Dalam surat kuasa
12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1834/perjanjian-jasa-pengacara-terhadap-
klien-, diakses pada tanggal 12 Februari 2018, pukul 15:48. 13
R Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 140. 14
Ibid, hlm. 141. 15
Ibid, hlm. 146. 16
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2004, hlm. 85.
13
khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan
oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat
kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.
Surat kuasa khusus tidak dapat dipindahkan ke pihak lain karena merupakan salah
satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa, yaitu hak substitusi,
sebagaimana diatur dalam pasal 1803 KUH Perdata. Hak substitusi tersebut
memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan kewenangannya
sebagai penerima kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai penggantinya.
Jadi, kata-kata ―Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya kepada
pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya‖ bukan menunjukkan bahwa surat
kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa penerima
kuasa tidak boleh menunjuk orang lain untuk menggantikannya melaksanakan
kuasa tersebut.
Pasal 1796 KUH Perdata menyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan
dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Pasal
ini selanjutnya menjelaskan bahwa untuk memindahtangankan benda-benda, atau
sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Surat kuasa umum
hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan,
untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya
boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat
kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
14
Perjanjian pemberian kuasa atau lastgeving diatur dalam pasal 1792 sampai
dengan pasal 1819 KUH Perdata. Pasal 1792 KUH Perdata, berbunyi :
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam perjanjian pemberian kuasa, salah satu hal penting yang harus diperhatikan
adalah sifat pemberian kuasa. Pasal 1793 KUH Perdata, menyatakan bahwa kuasa
dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di
bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan
suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh si kuasa.
Dengan demikian, sebagaimana tersebut dalam ketentuan pasal tersebut,
pemberian kuasa dapat terjadi dengan cara lisan atau dengan tertulis, dalam
bentuk surat, akta bawah tangan, maupun akta otentik (akta notaris).
Pasal 1794 KUH Perdata mengatur bahwa pemberian kuasa terjadi dengan cuma-
cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir,
upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si kuasa tidak boleh meminta upah yang
lebih daripada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali. Sehingga menurut
ketentuan pasal 1794 KUH Perdata tersebut, perjanjian pemberian kuasa
(lastgeving) dapat terjadi dengan cuma-cuma tanpa imbalan upah, ataupan dengan
imbalan upah. Apabila pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan imbalan upah,
maka besaran upah tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian yang disepakati
15
oleh pemberi kuasa (lastgever) dengan penerima kuasa (lasthebber) atau
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pada asasnya perjanjian pemberian kuasa terjadi, pada saat seseorang (lastgever)
menyuruh orang lain (lasthebber) untuk melakukan perbuatan hukum guna
kepentingan dirinya. Dalam hal demikian, terdapat pengecualian, pemberian kuasa
tidak dapat dilakukan, terutama berkaitan dengan hal-hal yang sangat pribadi,
misalkan membuat surat wasiat (testamen) atau waris dan dalam hal hukum
keluarga, seperti tugas sebagai suami istri.
Pemberian kuasa ditinjau dari persoalan yang dapat diberi kuasa (dikuasakan),
dapat terjadi dalam dua hal, yaitu :
Pemberian kuasa khusus, maksudnya dalam bidang tertentu saja. Dala hal ini
penerima kuasa tidak boleh bertindak melebihi wewenang yang telah diberikan.
Pemberian kuasa umum, maksudnya dalam segala macam kepentingan atau
perbuatan pengurusan.
Sedangkan pemberian kuasa berkaitan dengan pemindah-tanganan benda-benda,
penjaminan (menghipotikkan) benda tetap, pembuatan perjanjian perdamaian, dan
perbuatan yang sifatnya dilakukan oleh pemilik sendiri, bentuk pemberian kuasa
harus secara tegas dan dibuat secara tertulis. Demikian itu sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan pasal 1796 KUH Perdata, yang berbunyi :
Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindah-tangankan benda-benda atau
untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian,
16
ataupun sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik,
diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Perjanjian pemberian kuasa dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu :
Perwakilan secara langsung. Penerima kuasa dalam bertindak memberitahukan
kepada pihak ketiga bahwa ia berbuat atas suruhan orang lain.
Perwakilan secara tidak langsung. Penerima kuasa tidak memberitahukan kepda
pihak ketiga bahwa ia disuruh pemberi kuasa, tetapi ia bertindak keluar terhadap
pihak ketiga, seolah-olah untuk kepentingannya sendiri.
Dua bentuk perjanjian pemberian kuasa dapat berupa perjanjian kuasa dalam arti
sempit, yaitu perjanjian pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam pasal
1792 KUH Perdata, dan perjanjian pemberian kuasa dalam arti luas, yaitu
termasuk juga meliputi tindakan yang sifatnya mewakili kepentingan orang lain,
seperti tindakan orang tua atau wali terhadap anak, tindakan guru terhadap murid,
tindakan suami terhadap istri, dan lain-lain.
Lahirnya perjanjian pemberian kuasa tersebut dapat terjadi karena, pertama,
perjanjian, yaitu yang terjadi karena kesepakatan pihak pemberi kuasa dengan
penerima kuasa, dan kedua, undang-undang, yaitu karena adanya faktor
pengertian pemberian kuasa dalam arti luas seperti dimaksud di atas.
Teori penguasaan atau voltmacht adalah suatu pemberian kuasa yang merupakan
sumber kekuasaan untuk mewakili kepentingan orang lain dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum.
17
Kewajiban pemberi kuasa diatur dalam pasal 1807 sampai dengan pasal 1811
KUH Perdata, yang pada garis besarnya adalah wajib memenuhi perikatan yang
dibuat oleh penerima kuasa, kecuali di luar tugas yang diberikannya,
mengembalikan uang muka dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa dan membayar upah penerima kuasa, meskipun tugas penerima kuasa
tersebut tidak berhasil, memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita
penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasa, kecuali hal-hal yang merupakan
kelalaian atau kekurang hati-hatian, membayar bunga atas uang muka yang
dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai hari dikeluarkannya uang muka
tersebut.
Pasal 1813 KUH Perdata, menyatakan bahwa pemberian kuasa berakhir dengan
ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian
kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si
pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pernikahannya si perempuan yang
memberikan atau menerima kuasa.
Menurut ketentuan pasal 1813 KUH Perdata tersebut, perjanjian pemberian kuasa
akan berakhir apabila :
1. Ditarik kembali kuasa tersebut oleh pemberi kuasa.
2. Penerima kuasa atau pemberi kuasa meninggal dunia.
3. Pemberi kuasa atau penerima kuasa berada di bawah pengampuan (curatele).
4. Pemberi kuasa atau penerima kuasa pailit.17
17
Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Material, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 74
18
B. Perbuatan Melawan Hukum
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari Bahasa Belanda disebut dengan
istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari
wanprestasi kontrak. Kata tort berasal dari bahasa Latin orquer atau tortus, dalam
bahasa Prancis, seperti kata wrong dalam Bahasa Inggris yang berasal dari Bahasa
Prancis (wrung) yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Penafsiran Perbuatan Melawan Hukum dalam arti sempit adalah bahwa kita baru
mengatakan ada onrechtmatige daad, kalau:
- Ada pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang;
- Tindakan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.18
Namun ada beberapa keberatan terhadap pendapat yang sempit (Perbuatan
Melawan Hukum dalam arti sempit). Pendapat yang sempit ternyata telah
menimbulkan banyak ketidakpuasan di antara para sarjana maupun para pencari
keadilan, karena dianggap sebagai sebab dari jatuhnya keputusan-keputusan yang
tidak patut/adil.19
Salah satu keputusan yang oleh para sarjana sering dikemukakan sebagai contoh
adalah Keputusan H.R. 24 November 1905, yang dikenal dengan nama Keputusan
Prospectus (Prospectus Arrest). Duduk perkaranya kurang lebih adalah sebagai
berikut: seseorang telah mengemukakan keadaansuatu Perseroan Terbatas dalam
suatu prospektus, yang diedarkan kepada masyarakat, tidak sesuai dengan
18
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang Bagian
Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 149. 19
Ibid., hlm. 152.
19
keadaan yang sebenarnya, yaitu dengan melebih-lebihkan, dengan maksud
mengundang publik untuk turut serta dengan membeli andilnya.
Ada yang termakan tulisan tersebut, lalu membeli saham perseroan itu dan
kemudian menderita rugi. Si pembeli menuntut ganti rugi dari orang yang
memberikan keterangan yang tidak benar itu, tetapi oleh H.R. ditolak, dengan
alasan antara lain, bahwa memang benar dipandang dari sudut moral ada
kewajiban pada orang untuk berhati-hati dalam memberikan advis-advis finansial,
namun kelalaian yang demikian bukanlah merupakan pelanggaran kewajiban
hukum dan oleh karena itu orang yang memberikann advis finansial tak dapat
dituntut ganti rugi berdasarkan tindakan melawan hukum.20
R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatige daad sebagai perbuatan
melanggar hukum. Menurutnya perkataan ―perbuatan‖ dalam rangkaian kata-kata
―perbuatan melanggar hukum‖ dapat diartikan positif melainkan juga negatif,
yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja dapat dikatakan
melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu bertindak.
Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat ―aktif‖ yaitu orang yang diam saja,
baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar, bahwa ia
dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan tubuhnya
seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak dari
pengertian ―perbuatan‖ kini pun ada. Perkataan ―melanggar‖ dalam rangkaian
kata-kata ―perbuatan melanggar hukum‖ yang dimaksud bersifat aktif, maka
menurut beliau perkataan yang paling tepat untuk menerjemahkan
20
Ibid., hlm. 153-154.
20
onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena istilah perbuatan
melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang
pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan
hukum adat.21
Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian dikenal
dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai sperti apa
yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec honeste vivere,
alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum adalah hidup
secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya.
Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar Arrest HR
31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang
dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang
lain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan
dan kesusilaan yang diterima di masyarakat.22
Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat
pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
21
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000,
hlm. 1. 22
https://ninyasminelisasih.com/2012/05/31/perbuatan_melawan_hukum/#_ftnref2, diakses
pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 01:11 WIB.
21
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 maka dalam
melakukan gugatan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Adanya suatu perbuatan,yaitu Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh
perbuatan si pelakunya.
b. Perbuatan yang melanggar Hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak
subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.
c. Ada kesalahan, bisa karena kesengajaan atau karena kealpaan. Kesengajaan
maksudnya ada kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari
perbuatannya itu akan merugikan orang lain. Kealpaan berarti ada perbuatan
mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau
teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain23
Namun demikian
adakalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan,
misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak sehat
pikirannya (gila).
d. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, maksudnya, ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang
muncul.
e. Ada kerugian, kerugian berupa materil/imateril.
Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu
kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau
mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu
23
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 3.
22
kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi
terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.24
2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum atau onrechtmatige daad diatur dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW), dalam
Buku III BW, yang berbunyi, ―Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.‖ Selanjutnya, sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 1365 BW, bahwa suatu Perbuatan Melawan
Hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan;
2. Perbuatan tersebut melawan hukum;
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
4. Adanya kerugian bagi korban; dan
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan-perbuatan dengan kerugian.
Perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
menurut Rosa Agustina diperlukan 4 syarat, yakni:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
24
Ibid.
23
Mencermati perluasan dari unsur ―melanggar hukum‖ dari Pasal 1365 BW
tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal
―keranjang sampah‖.25
3. Unsur Kesalahan dan Kelalaian dalam Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, undang-undang, dan
yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku PMH harus mengandung unsur
kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu,
tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab
berdasarkan kepada pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika
dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan yang dimaksud,
hal tersebut tidaklah didasari atas pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tetapi didasarkan pada undang-undang lain.
Salah satu syarat untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan onrechtmatige
daad seperti Pasal 1365 adalah adanya unsur ―salah/schuld‖, yang perlu diingat
adalah bahwa unsur salah di sini – dalam Pasal 1365 – adalah unsur yang harus
ada kaitannya dengan tuntutan ganti rugi, bukan dalam rangka untuk menetapkan
adanya tindakan melawan hukum.
Unsur ―kesalahan/schuld‖ di sini adalah sesuatu yang tercela, yang berkaitan
dengan perilaku dan akibat perilaku si pelaku, yaitu kerugian, perilaku, dan
kerugian mana dapat dipertanggungjawabkan kepadanya; jadi perilaku dan akibat
perilaku yang onrechtmatig itu harus dapat dipersalahkan kepada si pelaku. Ini
sengaja dikemukakan, karena kata ―schuld‖ dalam Bahasa Belanda mempunyai
25
Op. Cit., Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 117.
24
berbagai arti, seperti antara lain sebagai lawan dari ―kesengajaan/opzet‖. Dalam
hukum pidana, apakah orang yang melakukan tindak pidana melakukannya
dengan sengaja (ada opzet) atau karena kelalaian (schuld), mempunyai akibat
yang lain, tetapi dalam Hukum Perdata, sepanjang mengenai besarnya ganti rugi
(sebagai akibat tindakan yang melawan hukum) tidak ada pengaruhnya.26
Oleh karena pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mensyaratkan
adanya unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka
perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan
dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
a. adanya unsur kesengajaan;
b. adanya unsur kelalaian (negligence, culpa); dan
c. tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.
Kata ―kesalahan‖ dalam arti sempit – yang biasa juga disebut ―kelalaian‖ –
berkaitan erat dengan masalah perbuatan yang ―dapat dihindari‖ dan ―seharusnya
berbuat lain‖; ada atau tidaknya unsur ―kelalaian‖ berpengaruh besar dalam
permasalahan onrechtmatige daad. Mengenai apakah orang itu ―bisa berbuat lain‖
berkaitan erat dengan sifat onrechtmatig dari perbuatannya. Kalau yang
bersangkutan tak dapat berbuat lain – dengan perkataan lain menghadapi
overmacht – maka si pelaku tidak dapat dikatakan melakukan onrechtmatige
26
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang Bagian
Pertama, Op. Cit., hlm. 238-239.
25
daad, sekalipun perbuatannya memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur formal
onrechtmatige daad dalam rumusan yang luas.
Sesudah diketahui bahwa si pelaku bisa berbuat lain, maka selanjutnya masih
harus dipertanyakan apakah ia ―seharusnya‖ berbuat lain? Di sini
permasalahannya sudah lain, di sini yang dipertanyakan apakah perbuatan seperti
itu bisa dipersalahkan kepada dan kaenanya dipertanggungjawabkan kepada si
pelaku? Masalah ―seharusnya berbuat lain‖ juga mempunyai kaitan dengan
masalah ―apakah ia tahu atau seharusnya tahu‖bahwa perbuatannya onrechtmatig
dan menimbulkan akibat yang merugikan orang lain.27
C. Firma
1. Pengertian Firma
Persekutuan firma merupakan salah satu organisasi bisnis, dimana dilakukan
perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan kerjasama dengantujuan
memperoleh keuntungan bersama. Pendirian firma harus resmi, artinya harus
dibuat di depan Notaris dan terdaftar di pengadilan. Oleh karena itu pendirian
firma lebih sulit dibandingkan dengan perusahaan perorangan. Setiap anggota
firma harus menyerahkan seluruh atau sebagian kekayaannya kepada perusahaan
dan harus tercantum dalam akte pendirian organisasi, dibuat di hadapan notaris,
didaftarkan di Pengadilan, diumumkan di Berita Negara. Organisasi firma
memperoleh keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan berbandingan yang telah
disetujui bersama oleh anggota firma, sedangkan apabila terjadi kerugian, maka
27
Ibid., hlm. 240-241.
26
seluruh anggota firma harus menanggung secara bersama-sama, dan bilamana
perlu dengan seluruh kekayaan pribadinya.
Pada firma, kepribadian para sekutu yang bersifat kekeluargaan sangat
diutamakan. Hal ini dapat dimaklumi karena sekutu dalam persekutuan firma
adalah anggota keluarg ataupun teman sejwat, yang bekerja sama secara aktif
menalankan perusahaan mencari keuntungan bersama dengan tanggung jawab
bersama secara pribadi.28
Berdasarkan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
Persekutuan Firma adalah persekutuan yang diadakan untuk menjalankan suatu
perusahaan dengan memakai nama bersama.
Persekutuan Firma merupakan bagian dari persekutuan perdata, maka dasar
hukum persekutuan firma terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 KUHD
dan pasal-pasal lainnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
terkait. Dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan firma harus
didirikan dengan akta otentik tanpa adanya kemungkinan untuk disangkalkan
kepada pihak keiga bila akta itu tidak ada.
Pasal 23 KUHD dan Pasal 28 KUHD menyebutkan setelah akta pendirian dibuat,
maa harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana firma tersebut
berkedudukan dan kemudian akta pendirian tersebut harus diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia.29
28
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010, hlm. 89. 29
Adi Samadani, Dasar-dasar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2013, hlm. 46.
27
2. Proses Pendirian Firma
Firma adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama (pasal 16 KUHD). Adapun persekutuan perdata adalah
perjanjian dengan nama dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk menyetorkan
sesuatu kepada persekutuan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau
keuntungan (pasal 1618 KUHPerdata) berdasarkan definisi tersebut, dapat
dinyatakan bahwa persekutuan itu disebut firma apabila mengandung unsur-unsur
pokok berikut ini:
a. Persekutuan perdata (pasal 1618 KUH Perdata);
b. Menjalankan perusahaan (pasal 16 KUHD);
c. Dengan nama bersama atau firma (pasal 16 KUHD);
d. Tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan (pasal 18
KUHD).30
Firma (Fa) artinya nama bersama. Penggunaan nama bersama untuk nama
perusahaan dapat dilakukan dengan cara berikut ini:
a. Menggunakan nama seseorang sekutu, misalnya Fa Haji Tawi;
b. Menggunakan nama seseorang sekutu dengan tambahan yang menunjukan
anggota keluarganya, misalnya Fa Ibrahim Aboud and Bros;
c. Menggunakan nama bidang usaha perusahaan, misalnya Fa ayam buras;
d. Menggunakan himpunan nama sekutu secara singkat, misalnya Fa Astra
(sengkatan Ali, Sumarni, Tontowi, Rafi‘ah, dan Astaman);
e. Menggunakan nama lain, misalnya Fa Sumber Jaya.31
30
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Op. Cit., hlm. 88 31
Ibid.
28
Berdasarkan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Persekutuan Firma
adalah persekutuan yang diadakan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan
memakai nama bersama. Menurut pendapat lain, Persekutuan Firma adalah setiap
perusahaan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah nama
bersama atau firma sebagai nama yang dipakai untuk bergabung bersama-sama.
Persekutuan Firma merupakan bagian dari persekutuan perdata, maka dasar
hukum persekutan firma terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan pasal-pasal lainnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang terkait.
Dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan firma harus didirikan
dengan akta otentik tanpa adanya kemungkinan untuk disangkalkan kepada pihak
ketiga bila akta itu tidak ada. Pasal 23 KUHD dan Pasal 28 KUHD menyebutkan
setelah akta pendirian dibuat, maka harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri dimana firma tersebut berkedudukan dan kemudian akta pendirian tersebut
harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Selama akta
pendirian belum didaftarkan dan diumumkan, maka pihak ketiga menganggap
firma sebagai persekutuan umum yang menjalankan segala macam usaha,
didirikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas serta semua sekutu berwenang
menandatangani berbagai surat untuk firma ini sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 29 KUHD.32
Sekutu yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk menjalankan tugas pengurus harus
ditentukan dalam akta tersendiri dan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan
32
Jimmy Hasoloan, Pengantar Ilmu Ekonomi, Deepublish, Yogyakarta, 2010, hlm. 33.
29
negeri setempat serta diumumkan dalam tambahan berita Negara. Hal ini penting
supaya pihak ketiga dapat mengetahui siapa yang menjadi pengurus yang
berhubungan dengannya.
Dalam anggaran dasar atau akta penempatan pengurus ditentukan juga bahwa
pengurus berhak bertindak atas nama firma (pasal 17 KUHD). Jika tidak ada
ketentuan, setiap sekutu dapat mewakili firma yang mengikat juga para sekutu
lain sepanjang mengenai perbuatan bagi kepentingan firma (pasal 18 KUHD).
Akan tetapi, kekuasaan tertinggi dalam firma ada di tangan semua sekutu. Mereka
memutuskan segala masalah dengan musyawarah berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar firma.33
3. Firma sebagai Subjek Hukum
Hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja jika diartikan dalam artinya yang luas
maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses, (processes) yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataaan.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum, kata Cicero. Karena itu menurut
Sudiman Kartohadiprodjo suatu unsur pokok dalam hukum ialah bahwa hukum
itu adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia.34
Subjek hukum merupakan salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang
dipelajari oleh teori hukum, karena itu pertanyaan apa subjek hukum juga
33
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Op. Cit., hlm. 90-91. 34
Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 1.
30
merupakan persoalan teori hukum yaitu teori dari hukum positif, artinya teori
yang hanya dapat diuraikan bertalian dengan hukum positif.35
Subjek hukum adalah hanya orang, yaitu manusia (person), maka dari itu
manusia adalah subjek hukum, namun ketentuan demikian itu belumlah
memenuhi tuntutan batasan definisi yang lengkap dan tepat. Karena sebagaimana
dimaklumi, bahwa gejala-gejala dari hal yang sehari-hari disebut subjek hukum
menurut kenyataannya dalam masyarakat ialah tidak hanya terbatas pada orang
saja, tetapi juga ada hal lain yaitu yang disebut badan hukum (rechtspersoon).36
Firma, dalam hal ini, tidak dapat dikatakan sebagai Badan Hukum, namun firma
(partnership) adalah suatu usaha bersama antara dua orang atau lebih yang
dimaksudkan untuk menjalankan suatu usaha di bawah suatu nama bersama.
Perusahaan firma ini di awal penyebutan namanya sering disingkat dengan ―Fa‖.37
Meskipun bukan Badan Hukum, namun para partner dalam Firma memiliki sistem
tanggung jawab tersendiri. Terhadap setiap tindakan yang dilakukan untuk dan
atas nama firma, maka yang bertaggung jawab secara hukum adalah para persero
itu secara renteng untuk seluruh utang (jointly and severally) dari firma tersebut
tanpa melihat siapakah di antara persero tersebut yang secara riil melakuka
tindakan tersebut. Ini adalah wajar mengingat suatu firma bukanlah suatu badan
hukum, sehingga tidak ada kekayaan yang khusus disisihkan untuk berbisnis,
35
Ibid, hlm. 5. 36
Ibid, hlm. 6-7. 37
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 42-43.
31
tetapi harta yang dipergunakan untuk berbisnis adalah harta pribadi para persero
tersebut.38
D. Hukum Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
1. Hukum Pembuktian secara Umum
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit,
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan
kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran relative
atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari
kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi kesulitan.39
2. Beban Pembuktian Perkara Perdata
Salah satu bagian penting dalam sistem hukum pembuktian perkara perdata adalah
beban pembuktian (bewijstlast/burden of proof). Kepada pihak mana dipikulkan
beban pembuktian apabila timbul suatu perkara, keliru memikulkan beban
pembuktian dapat menimbulkan kesewenangan terhadap pihak yang dibebani, dan
memberi keuntungan gratis kepada pihak yang lain. Untuk menghindari kesalahan
pembebanan pembuktian yang tidak proporsional, perlu dipahami prinsip dan
praktik yang berkenaan dengan penerapannya.
38
Ibid, hlm. 43-44. 39
John J. Cound, cs. Civil Procedure: Cases and Material, West Publishing, St. Paul Minn,
1985, hlm. 867.
32
Berbicara mengenai beban pembuktian, menyangkut langsung dengan masalah
pembagian beban pembuktian. Masalah apa saja yang dibebankan pembuktiannya
kepada penggugat, dan bagian mana yang menjadi beban tergugat. Supaya tidak
terjadi praktik pembebanan yang merugikan salah satu pihak, harus dipedomani
dua prinsip berikut.40
a. Tidak bersikap berat sebelah; dan
b. Menegakkan risiko alokasi pembebanan.
E. Kerangka Pikir
Keterangan:
Hubungan hukum antara konsumen jasa hukum (klien) dengan pelaku usaha jasa
hukum (firma) melahirkan hak dan kewajiban. Ada dua hubungan hukum yang
mengikat konsumen jasa hukum dengan pelaku usaha jasa hukum dalam
40
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 518.
Pelaku Usaha Jasa
Hukum
Konsumen Jasa Hukum
Kewajiban Hak
Sengketa
PMH/Wanprestasi Malpraktek
PN Sanksi Etik
33
pemberian jasa hukum. Pertama, perjanjian jasa hukum yang disepakati oleh
firma hukum dan klien. Kedua, perjanjian kuasa yang diberikan oleh klien kepada
advokat dari firma hukum terkait yang ditunjuk sebagai kuasa.
Hubungan hak dan kewajiban tersebut dapat terjadi sengketa, yang merupakan
salah satu fokus penelitian ini. Penyelesaian sengketa antara firma hukum dengan
klien dapat diselesaikan melalui pengadilan dengan delik Perbuatan Melawan
Hukum atau Wanprestasi maupun di luar pengadilan dengan sanksi etik.
34
III. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya. Untuk itu diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta
hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.41
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, megembangkan, atau
menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh
sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti
memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada. Menguji
kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragu-ragukan
kebenarannya.42
Menurut Soerjono Soekanto penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisa, dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Analisa
dapat dilakukan secara metodologis berarti berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti berdasarkan tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
41
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,
hlm. 39. 42
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Salatiga, 1982,
hlm. 15.
35
kerangka tertentu.43
Tujuan dari penelitian diantaranya mendapatkan pengetahuan
tentang suatu gejala, sehingga dapat merumuskan masalah dan dapat merumuskan
hipotesa, untuk menggambarkan secara lengkap karakteristik suatu keadaan dari
perilaku, memperoleh data mengenai hubungan gejala dengan gejala lainnya dan
dapat menguji hipotesa yang berhubungan dengan sebuah akibat.44
Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Hal ini tidaklah
selalu metodologi penelitian yang digunakan berbagai ilmu pengetahuan
mempunyai identitas masing-masing, sehingga pasti akan ada berbagai perbedaan
identitas masing-masing, sehingga pasti akan ada berbagai perbedaan. Atas dasar
hal-hal tersebut di atas, metodologi penelitian hukum juga memiliki ciri-ciri
tertentu.45
Berdasarkan segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi tiga tipe yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif-
empiris atau normatif-terapan, dan penelitian hukum empiris.46
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum.
Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 42. 44
Ibid., hlm. 9. 45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, 2006, hlm. 1. 46
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hlm. 52.
36
yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap
orang.47Penelitian ini mengkaji isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL. dengan bahan-bahan pustaka dan perundang-
undangan yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian hukum deskriptif
bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi)
lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat
tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu
yang terjadi dalam masyarakat.48 Penelitian ini diharapkan mampu untuk
memberikan informasi secara lengkap dan jelas mengenai perlindungan terhadap
para konsumen yang kehilangan kendaraan khususnya sepeda motor di area
perparkiran dan juga mengenai mencantuman klausula baku yang dilarang oleh
Undang-Undang.
C. Pendekatan Masalah
Dalam membahas dan memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini penulis
menggunakan jenis metode pendekatan kasus (case approach) dengan tipe studi
normatif yudisial49 yang mengkaji isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL. Metode pendekatan kasus ini dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang di
47
Ibid. 48
Ibid, hlm. 50. 49
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT.Citra
Aditya Bakti, hlm. 149
37
hadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang tetap.50 Pendekatan kasus
dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah
hukum dalam praktek hukum. Dalam menggunakan prendekatan kasus, yang
perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan hukum yang
digunakan hakim untuk sampai kepada putusannya.51
D. Sumber Data dan Jenis Data
Berdasarkan permasalahan dan pendekatan masalah yang digunakan maka
penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan. Sedangkan jenis datanya
adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui bahan pustaka dengan cara
mengumpulkan diri berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Data sekunder terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
secara umum atau bagi para pihak berkepentingan seperti Putusan Majelis
Hakim dan Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengen
penelitian ini, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata)
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT
SEL.
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 93. 51
Ibid., Hlm 119.
38
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu badan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yaitu berupa literatur hukum berupa literatur-
literatur mengenai penelitian ini, meliputi buku-buku hukum, hasil karya dari
kalangan hukum, dan lainnya yang berupa penelusuran internet, jurnal surat
kabar, dan makalah.52
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi,
petunjuk maupun penjelasan tentang bahan primer dan bahan hukum
sekunder. antara lain berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum,
media massa serta pencarian melalui website.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara
membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundangan-
undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.53
b. Studi Dokumen
52
Sri Mamudji, dkk., Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, UI Press, Jakarta, 2006, hlm.
12. 53
Ibid., hlm. 81-83.
39
Studi dokumen yaitu berupa pengkajian informasi tertulis mengenai hukum
yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak
tertentu. Studi dokumen dalam penelitian ini adalah dengan mengkaji putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL.
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya pengolahan data yang
diperoleh digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti.
F. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan data yaitu proses meneliti kembali data yang diperoleh dari
berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi putusan. Hal tersebut dilakukan
untuk mengetahui apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah
benar, dan sudah sesuai dengan masalah.
b. Rekonstruksi Data yaitu menyusun ulang data secara manual, berurutan, logis,
sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
c. Sistematika Data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika
bahasan berdasarkan urutan masalah.54
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu menafsirkan data dan hasilnya
diuraikan dalam bentuk kalimat secara teratur, runtun, logis, efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis kemudian ditarik
54
Ibid., hlm. 126.
40
kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari
permasalahan yang dibahas.55
55
Ibid., hlm. 127.
78
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan hukum antara firma hukum dengan klien dalam pemberian jasa
hukum memiliki dua cabang, pertama, hubungan hukum yang lahir dari
perjanjian jasa hukum antara firma hukum dengan klien, dan yang kedua
adalah hubungan hukum antara advokat yang ditunjuk oleh firma hukum
sebagai penerima kuasa dengan klien sebagai pemberi kuasa.
Kedua hubungan hukum tersebut memiliki relasi yang terpisah namun tetap
berkesinambungan, dalam hal ini jika terjadi wanprestasi di kemudian hari.
Seperti dalam gugatan yang dilayangkan oleh Sumatra Partners LLC
(Putusan No. 410/PDT.G/2013/PN. JKT SEL.) kepada Firma Hukum
ABNR, yang mana para para pengurus firma dijadikan Tergugat sementara
para advokat yang menerima kuasa dijadikan Turut Tergugat.
2. Tanggung jawab firma hukum terhadap kerugian yang diderita klien, dalam
konteks keperdataan, dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Namun apabila dikerucutkan dengan melihat
perjanjian sebagai kausa dari kerugian yang diderita klien, maka
penyebabnya hanyalah wanprestasi. Adapun malpraktek advokat bukan
merupakan tanggung jawab firma, karena sanksi etik dibebankan kepada
79
advokat secara pribadi. Meski demikian, advokat memiliki hak imunitas
dengan batasan-batasan tertentu seperti yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan terkait.
B. Saran
Berdasarkan permasalahan yang telah teliti oleh penulis dalam penelitian ini,
maka penulis mencoba memberikan saran berkaitan dengan pertanggungjawaban
firma hukum terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen jasa hukum (klien)
dalam pemberian jasa hukum. Adapun saran dari penulis, yaitu:
1. Firma Hukum
Perjanjian yang disepakati oleh firma hukum sebagai pemberi jasa hukum dan
konsumen jasa hukum (klien) sebagai penerima jasa hukum meliputi
perjanjian jasa hukum dan perjanjian pemberian kuasa, pemisahan ini
membuat persoalan menjadi semakin kompleks apabila di kemudian hari
klien merasa dirugikan. Namun perlu diingat bahwa advokat memiliki hak
imunitas dalam menjalankan pekerjaannya, tentu dengan batasan-batasan
yang telah diatur di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat dan diperluas dengan Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013.
2. Konsumen Jasa Hukum (Klien)
Ketelitian konsumen jasa hukum (klien) dalam memilih firma hukum untuk
dijadikan kuasa hukum benar-benar diperlukan, diharapkan bahwa ketelitian
itu dapat menjamin klien untuk mendapatkan advis hukum yang memuaskan
keperluannya, namun hal ini perlu dilakukan guna mengantisipasi langkah-
langkah hukum yang akan dilakukan di kemudian hari. Namun apabila klien
80
telah merasa dirugikan oleh firma hukum, jangan ragu untuk melaporkannya
pada Dewan Kehormatan dan/atau melayangkan gugatan wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdulhay, Marhainis. 1984. Hukum Perdata Material. Jakarta: Pradnya Paramita.
Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia.
Ali, Chidir. 1999. Badan Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.
Badrulzaman, Miriam Darus. 1996. KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Bandung: Penerbit Alumni.
Cound, John J. cs. 1985. Civil Procedure: Cases and Material. St. Paul Minn:
West Publishing.
Fuady, Munir. 2005. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Global, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
………, 2010. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung:
PT. Citra Adiyta Bakti.
Harahap, Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika.
Hasoloan, Jimmy. 2010. Pengantar Ilmu Ekonomi, Yogyakarta: Deepublish.
Hernoko, Agus Yudha. 2011. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana.
H.S. Salim. 2004. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2003. Pokok-Pokok Etika Profesi
Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Lubis, K Suhrawardi. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Mamudji, Sri, dkk. 2006. Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: UI Press.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian hukum. Jakarta: Kencana.
Muhammad, Abdulkadir. 1997. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
…………..., 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
..................., 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pannett, Alan. 1997. Law of Torts (8th Edition). London: Pitman Publishing.
Prodjodikoro, Wirjono. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Mandar
Maju.
Raharjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum di Indonesia: Suatu Tinjauan
Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.
Samadani, Adi. 2013. Dasar-dasar Hukum Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Sasongko, Wahyu. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Universitas Lampung:
Lampung.
Satrio, J. 1993. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang Bagian
Pertama. Bandung:Citra Aditya Bakti.
..........., 1999. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni.
Shidarta. 2003. Hukum Perlindungan Kosumen. Grasindo: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum. Salatiga: Ghalia
Indonesia.
............, 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali.
Subekti, R. 1992. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Bandung: Mandar Maju.
.........., 1997. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Susanto, Budi. 1992. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis. Yogyakarta:
Kanisius.
Wahyuningdyah, Kingkin. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Melalui Larangan Pencantuman Klausula Baku, Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 1 No.2.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. 1996. Etika Profesi Hukum, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Wright, Richard W. 1985. Causation in Tort Law. California: California Law
Review.
B. Peraturan Perundang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 410/PDT.G/2013/PN.JKT SEL.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
C. Lain-lain
http://bhp.co.id/2016/11/01/pengacara-antara-firma-dan-persekutuan-perdata/
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab%202.pdf
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1834/perjanjian-jasa-pengacara-
terhadap-klien-
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17824/kantor-advokat-antara-firma-
dan-persekutuan-perdata-
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a5cd64c0dbd8/batasan-hak-imunitas-
advokat--begini-pandangan-ahli
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4336/seputar-profesi-pengacara-
(pengertian-senior-lawyer,-associate,-dan-junior-lawyer)
journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1186
The American Heritage Dictionary of the English Language 3rd
Edition. 1992.
Boston: Houghton Mifflin.