pertarungan ideologi dan kekuasaan dalam...
TRANSCRIPT
Pertarungan Ideologi dan Kekuasaan dalam Ruang Social
Media
Didik Haryadi Santoso
Pendahuluan
“Dialog Antara NII, HTI, Khalifatul Muslimin dan
Hizbullah”. Nama grup facebook ini cukup panjang setara
dengan panjang harapan penggagas grup tersebut untuk
menyatukan berbagai macam ideologi dalam Islam. Berbagai
macam latar ideologi dan politik masuk dan bergabung dalam
grup ini. Grup facebook “Dialog Antara NII, HTI, Khalifatul
Muslimin dan Hizbullah” ini menawarkan ruang diskusi yang
memungkinkan setiap orang yang bergabung untuk berdialog
bahkan berdebat tentang berbagai ragam masalah tentang
ideologi. Grup facebook NHKH, demikian penulis singkat,
bukan saja merupakan online religion yang menawarkan
informasi tentang keagamaan di internet akan tetapi juga
menawarkan praktek religion online berupa praktek atau
pengalaman beragama melalui internet.
Melalui kekuatan sosial media, tidak sedikit grup-grup
yang lahir dan hadir untuk menawarkan berbagai macam
pandangan ideologi, baik ideologi berbasis agama maupun
berbasis politik. Grup “Liberalisme”misalnya, meskipun grup
tersebut menyatakan tidak berafiliasi dan mendukung
siapapun namun ia lupa bahwa dengan membawa kata
“Liberalisme” pun sejatinya sudah merupakan afiliasi pada
ideologi tertentu khususnya liberal. Contoh lain tentang
praktek beragama pada level perdebatan pengetahuan
diantaranya yaitu grup facebook “Debat Fair Ahlussunah
Syiah”. Grup itu saling membuka ruang untuk menceritakan
kedua pandangan ideologi keagamaan ahlussunah dan syiah.
Meskipun pada kenyataannya, ideologi atau pandangan yang
satu seringkali mendominasi pandangan yang lainnya.
Sebagaimana yang terjadi juga pada grup “IndoneSyiah” yang
penuh dengan pertarungan antar berbagai macam ideologi
khususnya ideologi keagamaan.
Demikian pula halnya pada grup “Dialog Antara NII,
HTI, Khalifatul Muslimin dan Hizbullah” yang membuka ruang
kontestasi ideologis lintas batas ruang dan waktu. Disatu sisi
grup “Dialog Antara NII, HTI, Khalifatul Muslimin dan
Hizbullah” ini menjadi ruang demokratis karena membuka
peluang kepada siapapun yang ingin bergabung, berinteraksi
dan berkomunikasi. Namun, disisi yang lain tidak jarang grup
tersebut menjadi ruang praktek dominasi baik antara
penggagas “jamaah muslimin” dengan massa ideologis,
maupun dengan audien virtual yang hanya sebatas ingin
mencari informasi tentang keagamaan.
Menarik untuk dikaji lebih jauh mengingat grup ini
selain menjadi sarana negosiasi juga menjadi sarana
kontestasi antar ideologi dan kekuasaan yang terhubung
lintas jaringan dalam grup tersebut. Bagaimana kontestasi
ideologi dan kekuasaan dalam grup facebook “Dialog Antara
NII, HTI, Khalifatul Muslimin dan Hizbullah”? Setidaknya
pertanyaan tersebut menjadi benang merah dalam tulisan ini.
Social Media dan Komunitas Virtual
New media lahir dan hadir menjadi jembatan
penghubung antar individu ke dalam jaringan. Interaksi yang
diterjalin berdimensi borderless lintas batas ruang dan waktu.
Terry Flew memaparkan bahwa new media mencakup
berbagai macam bentuk konten media berupa data, teks,
suara, gambar, video yang terkombinasi dan terintegrasi serta
terdistribusikan secara lintas jaringan. (Terry Flew, 2004:
XVIII).
Berbagai macam bentuk konten dan interaksi dalam
new media kemudian melahirkan banyak ragam bentuk
wadah-wadah interaksi baru semisal social media. Social
media menjadi salah satu tren komunikasi dan interaksi
dewasa ini. Facebook dan twitter merupakan contoh riil
bagaimana social media merupakan wadah interaksi dan
komunikasi yang cukup digandrungi oleh sebagian besar
pengguna new media. Jejaring sosial semisal Faceboook,
Twitter, Linkedln dan Google+ misalnya, merupakan situs
jejaring sosial yang paling banyak dikunjungi.1
Jane Burns (2013) dalam tulisannya “The Benefit of
Social Networking Services” memaparkan bahwa beberapa
dimensi berkaitan dengan jejaring sosial diantaranya yaitu:
konektivitas, interaktivitas dan kreativitas. Selain itu, jejaring
sosial juga merupakan wadah atau sarana yang
1 Berdasarkan kalkulasi ComScore.com, Facebook dikunjungi
792.999.000 pengunjung, Twitter 167,903,000, Linkedln 94,823,000 dan Google+ 66,756,000.
memungkinkan setiap individu mengekspresikan diri,
memperkuat hubungan interpersonal dan menumbuhkan rasa
memiliki serta lahirnya identitas kolektif. Telaah Jane Burns
mengenai layanan jejaring sosial ini mengarah kepada
bagaimana tentang daya guna dan daya dukung jejaring
sosial dalam kaitannya dengan manfaat bagi individu-individu
pengguna. Tidak hanya itu, ia juga menitik beratkan kajiannya
tentang bagaimana konektivitas, interaktivitas serta kreativitas
yang lahir dan hadir dalam ruang jejaring sosial. Termasuk
empowerment atau pemberdayaan audien yang terlibat aktif
didalamnya.
Keterlibatan aktif para individu dalam social media
tersebut membuka ruang baru yang saling terhubung lintas
jaringan. Individu-individu ini kemudian membentuk semacam
komunitas virtual. Komunitas virtual ini merupakan komunitas
yang bersama-sama membayangkan kedekatan dan
kebersamaan mereka dalam satu ruang yang sama. Sebuah
komunitas yang bertumpu tidak pada satu kesatuan fisik
melainkan berbasis virtual. Komunikasi yang dirintis pun
memiliki karakteristik komunikasi yang termediasi. Artinya,
interaksi antara pengirim pesan, penerima pesan dan pesan
tersampaikan melalui jembatan teknologi digital virtual.
Komunikasi yang termediasi ini kemudian yang menjadikan
perubahan karakteristik masyarakat, dari masyarakat yang
homogen menjadi masyarakat yang heterogen. (Jan Van
Dijk,2006:33)
Interaksi masyarakat lintas batas ruang dan waktu
tersebut pada titik tertentu tidak lepas dari praktek-praktek
dominasi. Dominasi disini merujuk pada arti penguasaan satu
pihak yang lebih kuat kepada pihak lain yang lebih lemah.
Praktek dominasi ini dapat terjadi tidak hanya pada ranah
politik, namun ekonomi, budaya bahkan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Dominasi dalam terminologi Horkheimer dan
Adorno mengacu pada kegemaran masyarakat barat dalam
melihat dan mengelola dunia, termasuk alam, sebagai objek
yang harus dikuasai untuk kepentingan manusia (Ben
Agger,2006:170). Pandangan Horkheimer dan Adorno ini
cenderung menyeluruh atas berbagai dimensi politik,
ekonomi, budaya, sosial dan lain sebagainya. Berbeda halnya
dengan terminologi dominasi ala Karl Max yang hanya menitik
beratkan dominasi pada sektor ekonomi saja dalam bentuk
wajah kapitalisme.
Bagi Adorno, tiap-tiap individu atau person dapat
sepenuhnya menguasai objek baik alam maupun orang lain
dengan cara menguasai lewat sains atau dengan
memanipulasi objek secara sosial dan teknologis (Ben Agger,
2006:173). Lebih jauh ia paparkan bahwa kerja-kerja taktis
strategis pun dapat dipangkas hanya dengan melakukan
penguasaan atas teknologi.
Modal Sosial, Kultural & Modal Ideologis Grup NHKH
Lahir dan hadirnya grup NHKH tidak jauh berbeda
dengan grup-grup lain yang serupa, misalnya memiliki isu
sentral dan fokus tema dalam setiap pembahasannya,
memiliki cita-cita yang sama dan saling ingin menjadi
produsen sekaligus konsumen atas informasi yang diupload.
Jumlah anggota grup NHKH ini terbilang cukup besar yaitu
mencapai 27.621 anggota
(www.facebook.com/groups/dialogterbuka/ Diakses pada
tanggal 21 Juni 2014). Angka ini terus bertambah seiring
dengan munculnya isu-isu atau wacana yang sedang
berkembang seperti wacana tentang ISIS (Islamic State of
Irak & Syria). Dalam pengamatan penulis, dalam dua minggu
rata-rata penambahan anggota baru mencapai 1.700an
anggota baru.
Gambar 1. Foto Sampul Grup Facebook NHKH
Dalam menumbuhkembangkan produktifitas tentang
wacana keagamaan, grup NHKH merintisnya melalui dua
jalan sekaligus. Pertama dengan memproduksi wacana
melalui kajian-kajian dengan mengoptimalkan berbagai
sumber ilmu termasuk kiai, ulama, buku dan hasil-hasil
pertemuan yang sejalan dengan ideologi yang hendak
dikembangkan. Kedua, rintisan modal sosial dan kultural
berlanjut menjadi gerakan virtual yang dapat diibaratkan
dengan efek bola salju, semakin kebawah semakin
membesar. Masyarakat bawah yang haus akan pengetahuan
tentang keagamaan semisal tentang khilafah, perlahan-lahan
tergiring masuk kedalam grup serta mengkonsumsi berbagai
macam informasi yang disajikan dalam grup tersebut. Efek
gelembung massa tersebut pada muaranya menjadi salah
satu kekuatan modal sosial dan modal kultural grup NHKH.
Selain kekuatan modal sosial dan modal kultural,
modal lain yang tidak kalah penting ialah modal ideologis.
Modal ideologi ini dapat diartikan tentang bagaimana
keinginan para pendiri grup berbentuk tata nilai dan cita-cita.
Tentu tata nilai dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak
berdirinya grup NHKH semisal cita-cita tentang khilafah dan
cita-cita tentang islam yang satu. Modal ideologis inilah yang
juga menjadi salah satu tali pengikat para pendukung cita-cita
grup NHKH.
Modal ideologis dalam grup NHKH tidak hanya
berhenti pada sistem tata nilai dan cita-cita NHKH melainkan
berlanjut pada modal simbol. Tidak dapat dipungkiri bahwa
simbol-simbol agama turut menjadikan grup NHKH bertambah
besar. Simbol-simbol agama disini tidak sekedar dimaknai
sebagai atribut visual dan virtual semata melainkan
berkembang ke arah tentang bagaimana membaca
produktifitas wacana sebagai simbol dari kekuatan modal
yang dimiliki oleh grup NHKH.
Namun demikian, diantara sekian banyak modal
yang dimiliki, baik modal sosial, modal kultural maupun modal
ideologis, grup NHKH juga dijembatani oleh modal virtual
dengan berbagai macam kepentingan dan kebutuhan. Modal
virtual inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung
antara audien pengkonsumsi konten dan aktor produsen
konten. Tanpa itu, keduanya tidak akan bertemu dan modal-
modal yang dimiliki oleh grup NHKH hanya menjadi imajinasi
yang berada pada etalase pemikiran individu.
Grup Facebook NHKH: Antara Realitas Empirik dan
Realitas Virtual
Melalui kekuatan teknologi virtual, grup facebook
NHKH tidak hanya mengaburkan batasan ruang dan waktu
melainkan cukup mampu meleburkan dimensi-dimensi sosial
budaya dan ideologi agama kedalam bentuk baru bernama
ruang virtual. Berbagai macam pandangan ideologi yang ada
didefinisikan ulang kedalam ruang virtual tersebut.
Pemaknaan ideologi keagamaan khususnya Islam,
tidak difokuskan pada satu sisi pandangan melainkan diracik
serta dipadupadankan menjadi satu tawaran konsep ideologis
yang satu. Konsep jama’ah misalnya, tidak lagi dimaknai
dalam artian yang sempit dan sektoral melainkan merupakan
gabungan dari berbagai macam pandangan ideologis
meskipun penyatuan pandangan tersebut sangat imajinatif
bahkan cenderung spekulatif. Penyatuan berbagai macam
ideologi kelompok atau golongan ini tampak dalam gambar
berikut ini.
Gambar 2. Konsep “Jama’ah” dalam Grup Facebook
NHKH(www.facebook.com/Dialog Antara NII, HTI, Khalifatul
Muslimin dan Hizbullah. Diakses pada tanggal 29-06-2014)
Gambar diatas merupakan konsepsi jama’ah yang
digagas dalam grup NHKH. Sebuah impian tentang
penggabungan berbagai macam ideologi. Konsepsi pada
gambar diatas tentu belum atau bahkan tidak dapat
ditemukan dalam realitas empirik. Namun, dalam realitas
virtual semua gagasan dan konsepsi tentang penggabungan
tersebut menjadi teramat sederhana. Kompleksitas antara
sunni dan syi’ah, antara NU dan Muhammadiyah yang rumit
tercitrakan menjadi sederhana, sesederhana mengupload
gambar kedalam ruang virtual.
Percepatan dan kecepatan teknologi virtual
memungkinkan kompleksitas ideologi, ruang dan waktu
menjadi terkompresi atau terjadi pemampatan. David Harvey
dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition”
mengistilahkannya sebagai time and space compression.
Kompleksitas ruang, waktu, ideologi dan interaksi antar
kelompok menjadi terkompresi seakan-akan sederhana. Hal
inilah yang kemudian menumbuhkembangkan para
pengkonsumsi simbol dalam grup tersebut menjadi
semacama cita-cita bersama tentang gambaran jama’ah yang
dapat menampung seluruh aliran atau golongan.
Cita-cita imajinatif tentang penyatuan antar kelompok
atau golongan tersebut perlahan membentuk semacam
komunitas imajiner. Sebagaimana yang digagas oleh Benedict
Anderson tentang lahir dan hadirnya berbagai macam
kelompok yang membayangkan kebersamaan mereka. Titik
bedanya hanya pada isu & objek pembahasan yaitu antara
nations dengan ruang virtual. Oleh karenanya, komunitas
dalam grup NHKH lebih cenderung diistilahkan sebagai
komunitas virtual imajiner. Sebuah komunitas yang dapat
menyatuan lintas ideologi keagamaan, serta borderless lintas
batas ruang dan waktu. Kekuatan borderless tersebut turut
membuka ruang penggiringan audien virtual dari ruang virtual
satu ke ruang virtual yang lain. Pada titik ini, konsepsi-
konsepsi yang digagas grup NHKH tidak hanya berhenti pada
satu cita-cita imajinatif sebagaimana yang dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya, melainkan terus berkembang
melintasi perdebatan antara pro dan kontra. Ditengah-tengah
riuh rendah itu lahir dan hadirlah berbagai macam bentuk
tawaran gagasan baru tentang ideologi-ideologi aliran dalam
Islam.
Gambar 3. Hasil posting salah satu anggota grup
Apakah penyatuan lintas ideologi itu ada dalam
realitas nyata empirik bukanlah menjadi daya gerak dan daya
dorong dari grup ini. Yang terpenting adalah konsepsi itu lahir
dan hadir dalam realitas virtual maya. Hal ini yang pada
muaranya memunculkan pertarungan-pertarungan wacana
keagamaan yang instan dan pragmatis.
Pragmatisme Ruang Ideologi Keagamaan
Dalam grup facebook NHKH, wacana tentang
keagamaan diproduksi, didistribusikan sekaligus dikonsumsi
dipelbagai macam ruang berbasis virtual. Kreativitas produksi,
distribusi dan konsumsi wacana itu berlangsung dalam ruang
virtual dengan silang sengkarut pertarungan ideologis
didalamnya. Bagi Ben Agger, kecenderungan manusia
postmodern tersebut terrefleksikan dalam pengelolaan ulang
teknologi guna mengekspresikan kreativitasnya masing-
masing (Ben Agger,2006:176).
Audien-audien dalam grup NHKH menempatkan
sains dan teknologi sebagai alat yang dapat mendominasi
alam virtual dan manusia khususnya audien virtual maya.
Tentu alam yang dimaksud disini berupa alam ruang virtual
yang merupakan aset berharga bagi penyebarluasan ideologi-
ideologi beserta ragam kepentingannya. Dalam
perkembangannya, grup NHKH menjadi semacam panggung
kontestasi dalam meraup kepentingan masing-masing
kelompok. Kelompok satu berjuang menyebarkan pengaruh
dengan landasan ideologisnya, sementara kelompok lain
bertahan, juga dengan landasan ideologis yang diyakininya.
Relasi tersebut tumbuh dan berkembang dalam ruang
kekuatan modal sosial, modal kultural, modal ideologis dan
modal ilmu pengetahuan. Bagi Theodore Adorno (1972) relasi
ini dapat dimaknai sebagai relasi yang mengerikan atau
“petrified relation”. Pada akhirnya, relasi yang pada mulanya
bersifat dialogis dan dialektis bergeser menjadi relasi yang
saling kuasa dan menguasai.
Dalam ruang virtual bentukan grup NHKH, masing-
masing mencari titik lemah lawan sekaligus mencari
pembenaran-pembenaran kelompok yang didukungnya
melalui teks dan wacana keagamaan dalam ruang virtual.
Teks dan wacana tersebut membantu “mensimulasikan”
berbagai kenyataan ideologi agar tampak lebih nyata, bahkan
lebih nyata daripada kenyataan aslinya. Ini yang kemudian
diistilahkan oleh Jean Baudrillard sebagai simulacrum atau
simulasi. Bagi Baudrillad, dalam simulasi, realitas tercerabut
dari akar rujukannya, dimana tidak ada realitas yang
diwakilinya melainkan realitas dirinya sendiri. Mengenai
kaitannya dengan realitas dan citra, setidaknya dalam konteks
grup NHKH memiliki 4 (empat) kemungkinan fase relasi
antara citra dan realitas diantaranya yaitu pertama, citra
sebagai refleksi dari realitas, kedua, citra menyembunyikan
atau menutupi realitas, ketiga citra yang absen dari realitas
dan terakhir citra yang tidak berhubungan dengan realitas
apapun. (Meenakshi Gigi Durham & Douglas M.Kellner,
2006:456). Dalam konteks grup NHKH, dialektika yang terjadi
didalam grup tersebut disatu sisi masuk kedalam fase
pertama, disisi yang lain masuk kedalam fase ketiga atau
keempat. Silang sengkarut antara citra dan realitas ini
konsekuensi logisnya ialah membuat audien kehilangan garis
pembeda antara realitas dan simulasi. Dunia hyperrealitas
pun tak dapat dihindarkan. Bagi Baudrillard, dunia
hyperrealitas ini seratus persen terdapat dalam dunia simulasi
(Goerge Ritzer,2003:163).
Dalam grup NHKH, setiap pengguna berimajinasi
dan kesadaran manusia terkolonialisasi. Bagaimana mungkin,
setiap komentar-komentar yang kontra akan selalu diserang
habis-habisan dengan menggunakan doktrin golongan.
Seakan-akan ideologi yang diusung adalah ideologi yang
paling benar dan yang lain salah. Semisal, grup itu
menggagas ideologi A serta mempertahankannya, maka
ideologi B,C,D atau yang selain ideologi A termasuk kafir,
tidak mendukung islam, anti Islam dan lain sebagainya.
Ruang dialog menjadi seakan-akan tertutup meskipun ruang
virtual membuka selebar-lebarnya interaksi dialog bagi
siapapun saja, kapanpun dan dimanapun. Pada posisi ini,
pertanyaan sederhana yang kemudian muncul adalah apakah
lahir dan hadirnya grup NHKH dalam ruang virtual berbentuk
ruang yang demokratis atau justru menjadi ruang praktek
dominasi? Baik dominasi atas ruang virtual maya maupun
dominasi kesadaran para pengguna.
Penutup
Tidak mudah membaca praktek dominasi dalam
masyarakat postmodern, khususnya praktek domniasi dalam
ruang virtual. Terlebih jika praktek dominasi ruang virtual itu
lahir dan hadir dalam bentuk pertarungan ideologi dan kuasa.
Keduanya melahirkan berbagai macam konsekuensi logis
yang tidak hanya kompleks melainkan juga instan dan
pragmatis.
Dalam konteks pertarungan ideologi dan kuasa dalam
grup “Dialog antara NII, HTI, Khalifatul Muslimin dan
Hizbullah”, berbagai macam bentuk modal bercampur baur,
baik modal sosial, modal kultural, modal ideologis, maupun
modal teknologi. Melalui modal teknologi berbasis virtual,
realitas empirik bergeser menjadi realitas virtual. Realitas
ideologis dalam dunia empirik yang rumit kompleks berubah
menjadi realitas ideologis virtual yang sederhana berdasarkan
imajinasi masing-masing audien virtual. Audien virtual
kemudian mengkonsumsi teks dan wacana yang ditawarkan
sebagaimana kecenderungan masyarakat postmodern yang
gemar mengkonsumsi teks, wacana dan simbol. Kemudian
teks, wacana dan simbol yang masuk kedalam ruang virtual
bernama grup NHKH itu menjadi semacam jembatan yang
mensimulasikan realitas ideologi menjadi lebih nyata daripada
kenyataan asli berdasarkan cita-cita audien pengguna.
Audien yang tergabung dalam realitas virtual itu
kemudian secara perlahan membentuk semacam komunitas
virtual imajinatif. Sebuah komunitas virtual lintas batas ruang
dan waktu yang membayangkan secara bersama-sama
tentang kebersamaan dan cita-cita mereka. Meskipun
interaksi imajinatif itu bukan tanpa pertarungan, baik secara
ideologis maupun kuasa antara kelompok satu dengan
kelompok yang lain. Praktek dominasi dalam grup tersebut
tidak hanya berbentuk dominasi dalam ruang virtual maya
melainkan juga praktek dominasi pada kesadaran para audien
virtual. Para audien tidak lagi dapat membedakan antara
realitas empirik dengan realitas virtual, antara realitas hasil
rujukan dengan realitas hasil citra luaran, antara distingsi
dengan imaji dan seterusnya.
Pada posisi ini, dialektika dalam grup NHKH tidak lagi
menjadi ruang dialektika lintas ideologi semata, melainkan
menjadi arena pertarungan antar ideologi dan kekuasaan
yang instan dan pragmatis. Pada akhirnya, nama grup tidak
lagi cocok bernama “Dialog antara NII, HTI, Khalifatul
Muslimin dan Hizbullah” melainkan lebih cocok berganti nama
menjadi “Dominasi antara NII, HTI, Khalifatul Muslimin dan
Hizbullah”.
DAFTAR PUSTAKA
Agger Ben.(2006). Critical Social Theories: An Introduction. London:Oxford University Press Anderson Benedict.(2001). Imagined Communities
Komunitas Komunitas Terbayang, Insist Press: Yogyakarta.
Baudrillard Jean.(1993). The Transparancy of Evil: Essays On Extreme Phenomena. London: Verso.
Baudrillard Jean.(2004). Masyarakat Konsumsi.
Penerj. Wahyunto, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Burns Jane, Collin Philippa.(2009). The Benefit of Sosial Networking Services. Sydney, Literatur Review.
Flew Terry.(2004). New Media An Introduction. United Kingdom: Oxford University Press.
Gigi Durham Meenakshi & M.Kellner Douglas.
(2006). Media & Cultural Studies. UK:
Blackwell Publishing.
Horkheimer Max & Adorno Theodore. (1972).
Dialectic of Enlightenment. Harder and Harder: New York
Ritzer George.(2003). Teori Sosial Postmodern, Penerj. Muhammad Taufiq, Yogyakarta: Juxtapose And Publication Study Club & Kreasi Wacana.
Van Dijk Jan.(2006). The Network Society. London: Sage Publication.