pertempuran ambarawa
TRANSCRIPT
PERTEMPURAN AMBARAWA
Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan
berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu terjadi antara pasukan
TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukkan sekutu Inggris.
Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang sesudah mendaratnya
Brigade Artileri dari divisi India ke-23 di Semarang pada atanggal 20 Oktober 1945.
Pihak Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk
mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda yang berada di penjara Ambarwa
dan Magelang. Akan tetapi kedatangan pasukan sekutu Inggris diikuti oleh orang-
orang NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26
Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi
pertempuran pasukan TKR dengan pasukan gabungan sekutu Inggris dan NICA.
Insiden itu berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethell datang ke
Magelang tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan
memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah persetujuan itu
diantaranya berisi:
1. Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk
melindungi dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War And
Interneers atau tawanan perang dan interniran sekutu). Jumlah pasukan
sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu.
2. Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia –
Sekutu
3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang
berada di bawahnya.
Pihak sekutu ternyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 November 1945
di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor
Sumarto dan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan sekutu yang
berada di Magelang ditarik ke Ambarawa. Namun, tanggal 22 November 1945
pertempuran berkobar didalam kota dan pasukan sekutu melakukan pengeboman
terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Pasukan TKR bersama dengan pasukan pemuda dari Boyolali, Salatiga,
Kartsura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang
rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang
pasukan TKR dari divisi V/Purwokerto dibawah pimpinan Imam Androngi
melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dan berhasil menduduki
desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang sebelumnya diduduki sekutu.
Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya disusul 3
batalyon dari Yogyakarta, yaitu Batalyon 10 Divisi III dibawah pimpinan mayor
Soeharto, Batalyon 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono dan Batalyon Sugeng.
Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba
mematahkan pengepungan dengan mengancam kedudukan pasukan dari belakang
dengan tank-tanknya. Untuk menghindari jatuhnya korban, pasukan mundur ke
Bendano. Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin oleh M Sarbini, Batalyon
dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu.
Para komandan pasukan kemudian mengadakan rapat koordinasi yang
dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghasilkan pembentukan
komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang.
Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara, sektor selatan,
sektor barat, dan sektor timur. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan
TKR dari Purwokerto yaitu Letnan Kolonel Isdimin gugur dan digantikan oleh
Kolonel Soedirman. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR. Pasukan
sekutu Inggris terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945, yang
merupakan garis pertahanan terdepan.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengambil prakarsa
untuk mengumpulkan masing-masing komandan sektor. Akhirnya colonel Soedirman
mengambil suatu kesimpulan bahwa pasukan musuh telah terjepit dan untuk itu perlu
dilaksanakan serangan terakhir. Serangan direncanakan pada tanggal 12 Desember
1945 pukul 04.30 dipimpin oleh masing-masing komandan yang akan melakukan
serangan secara mendadak dari semua sektor. Adapun keberadaan badan-badan
perjuangan dapat menjadi tenaga cadangan.
Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak menuju
sasaran masing-masing. Dalam waktu setngah jam pasukan TKR berhasil mengepung
musuh didalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng
Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambawara. Kota Ambarawa dikepung
selama empat hari empat malam. Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh
meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini
mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh
menguasai Ambarawa mereka dapat mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah
yaitu Surakarta, Magelang, dan terutama Yogyakarta yang menjadi pusat kedudukan
markas tertinggi TKR.
''SEJARAH PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945''
Latar Belakang :
Peristiwa 10 November, Peristiwa Heroik Arek Suroboyo
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak
tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10
November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang
pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi
Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap
kolonialisme.
Kronologi Penyebab Peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat
tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing
tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang
sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta,
kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke
Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas
keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang,
membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini
memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat
Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut
makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran
bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru /
Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial,
sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada
sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera
Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para
pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap
Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan
kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang
sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus
sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa
lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia
berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera
Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini
Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman
tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas
hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman
kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama
Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan
kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak
memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya
Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan
tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut
memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris
untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang
ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan
pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10
November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan
menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris
(Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House
of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak
Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat
timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang
berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari
Tom Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain
alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang
gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia).
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah
kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk
menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian,
massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung;
kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika
Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan
gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit
sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-
meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang
mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya
dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada
di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk
pertanyakan “
Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor
Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua
pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan
senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat
tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum
tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu
itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai
pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah
dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang
menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran
tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya,
dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank,
dan kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam
dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di
seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam
pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam
serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya
bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda
Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat
perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah
serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama
serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah
serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan
masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu
patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai)
sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari
minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara
spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar
ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya
jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah
600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut
telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah
dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil
yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari
Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
PEMBANTAIAN WESTERLING
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan
rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale
Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan
Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency
(penumpasan pemberontakan).
Latar belakang
Sementara Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di daerah-daerah di luar Jawa
dan Sumatera, tetap terjadi perlawanan sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak
pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di
Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan
penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda
sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan
tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung
Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa
apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus
melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor dan Kepala
Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden memanggil seluruh
pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di
Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Raymond
Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan
semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan
penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang
dipandang perlu.
Pada tanggal 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang
terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar.
Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus
tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak bulan
Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak
keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946, memimpin
120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di Mattoangin. Di
sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan)
dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening
van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi
Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan
mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku
pedoman resmi untuk Counter Insurgency.
Pemberlakuan keadaan darurat
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal
Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah
Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan
oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya
memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai
teroris, perampok atau pembunuh.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di
Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi,
Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan
Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, pada
tanggal 16 dan 17 Februari di desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga
di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para
"ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk
dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan
pembunuhan.
Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh"
yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan
secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena
berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk
kemudian dibunuh.
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-
alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan,
bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya,
sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung
Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan
kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah,
yang tetap setia kepada Belanda.
Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah
peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara
semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef
Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam
Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam
Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain,
direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah
menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang
turut digiring ke tempat tersebut.
Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul
Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya
Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala
Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan
Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi
Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung
Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu
Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI),
Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai
kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala
Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI),
dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan
Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis
Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas.
Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara
bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah
saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
Pasca operasi militer
Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat
diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali
Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger -
VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan
Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik militer mau
pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung
tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST
tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair
Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers
Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul
untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap
sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan
Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus
tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke
Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada
tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST
(Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling
memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya
menjadi Kapten.
Korban
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda
hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan
kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang
dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi
Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat
Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan
Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh
pasukannya "hanya" 600 orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan
pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang
dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil
Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya
bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan
Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam
kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga
sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian
etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu
diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court
(ICC) di Den Haag, Belanda.
PERJANJIAN RENVILLE (ADVERSE AGREEMENTS)
Latar belakang
Setelah jepang menyerah terhadap sekutu bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan 17 agustus. Namun kabar yang terdengar
kemerdekaan Indonesia tidak begitu saja diakui. Belanda datang kembali untuk
menduduki Indonesia dengan menumpang kapal inggris, yang seharusnya bertujuan
mengakui kemerdekaan Indonesia. Momentum itu lebih kita kenal dengan Agresi
Militer Belanda I. Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa
dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947
sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan
Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product". Namun agresi militer itu di
tentang oleh dunia internasional melalui dewan keamanan PBB yang di usulkan
India, Australia dan Negara-negara Liga Arab. Pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite untuk menengahi konflik antara Indonesia dan
Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for
Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi
Tiga Negara (KTN). KTN beranggotangan Australia yang dipilih oleh Indonesia,
Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Perjanjian Renville
Ketiga negara tersebut menyelesaikan masalah Indonesia dengan cara
diplomasi. Atas kesepakatan bersama maka diadakan perjanjian renville. Perundingan
dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara
(KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Perjanjian renville ditandatangani pada tanggal 17 Februari
1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS
Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan
Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Disaksikan
Komisi Tiga Negara, Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh
Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Apa yang membuat perundingan Renville tampak timpang dan menyesakkan dada?
Tak lain adalah isi dari perjanjian tersebut.
1. Penghentian tembak-menembak.
2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan
Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
3. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara
Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
4. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya
kepada pemerintahan federal sementara.
6. Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong harus ditarik ke daerah
Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis
Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki
Belanda.
Dampak Bagi Indonesia
1. Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS)
melalui masa peralihan. Sebelum Republik Indonesia Serikat terbentuk, Belanda
berdaulat penuh atas seluruh wilayah Indonesia
2. Indonesia kehilangan sebagian besar daerah kekuasaannya. Selain itu, Wilayah RI
makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda
3. Pihak RI harus mengambil pasukannya yang berada di daerah kekuasaan Belanda
dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah RI
4. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan pemimpin RI yang mengakibatkan
jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara ke Belanda
5. Perekonomian Indonesia diblokade oleh Belanda.
Kejadian pra dan pasca Perjanjian Renville
Saya akan menuliskan kembali tentang kronik revolusi Indonesia selama
bulan Januari tahun 1948. Sumber dari buku, Kronik revolusi Indonesia: 1948 - Oleh
Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. Semoga
bermanfaat.
Pada awal Januari 1948, Bung Tomo ikut menentang Pemerintah Hatta yang
dianggapnya lemah menghadapi Belanda. Bung Tomo pun mengadakan rapat-rapat
raksasa. Ucapannya yang terkenal waktu itu: “Sekali berontak, tetap berontak!”
2 Januari 1948, pihak Belanda di Surabaya membentuk panitia untuk menentukan
status Jawa Timur.
3 Januari 1948, utusan “daerah-daerah” dan “negara-negara” berkumpul di
Jakarta untuk membicarakan kemungkinan membentuk pemerintah interim.
6 Januari 1948, para menteri Belanda - L.J.M. Beel, W. Drees, dan J.A. Jonkman
meninggalkan Jakarta menuju negeri Belanda.
8 Januari 1948, Republik Indonesia (RI) mengundang Perdana Menteri Negara
Indonesia Timur (NIT) untuk berkunjung ke Yogyakarta
9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia
agar segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas, dan menarik TNI dari
daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta.
11 Januari 1948, Komisi Tiga Negara (KTN) datang di Yogyakarta untuk
bertukar pikiran dengan para pemimpin Republik, a.l. tentang kemungkinan
menghentikan permusuhan Indonesia-Belanda.
13 Januari 1948:
o Perundingan di Kaliurang antara KTN dan Pemerintah Republik Indonesia
menghasilkan ‘Notulen Kaliurang’ yang menyatakan bahwa Republik
Indonesia tetap memegang kekuasaan atas daerah yang dikuasai padawaktu
itu.
o Pada waktu menyerahkan pokok-pokok prinsip, tambahan dari konsepsi dan
penjelasan KTN mengenai Notulen Kaliurang, anggota KTN dari Amerika,
Dr. Frank Graham, mengatakan: “You re what you are.”
o Delegasi Indonesia terdiri dari a.l. dari Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Jenderal Sudirman.
o Sepulang menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, Suripno yang
mendapat instruksi dari Presiden Sukarno melakukan perundingan-
perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia, a.l.
dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS
mengakui RI dan akan membuka hubungan konsuler. Instruksi tersebut
bertanggal 25 Desember 1947. (Antara, 13 Agustus 1948)
15 Januari 1948, Masyumi menarik menteri-menterinya dari Kabinet Amir
Sjarifuddin karena tidak setuju dengan “gencatan dan prinsip-prinsip politik yang
diterima oleh Pemerintah Amir.” Mundurnya Masyumi dari Kabinet diikuti
dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Yogyakarta, yang menuntut
pengunduran Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri, menuntut pembentukan
kabinet presidentil, dan menolak Amir menjadi Perdana Menteri.
17 Januari 1948, Persetujuan Renville antara Belanda dan Indonesia
ditandatangani di atas kapal Amerika “Renville” yang berlabuh di Teluk jakarta.
Penanda-tangan dari pihak Indonesia adalah Perdana Menteri AmirSjarifuddin
disaksikan oleh H.A. Salim, Dr. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo dan anggota
delegasi lainnya. Setelah penandatanganan ini dilakukanperundingan politik yang
teratursecara bergiliran di Kaliurang dan jakarta. Waktu itu jenderal S.H. Spoor
sudah mendesak kepada pemerintahnya untuk melancarkan aksi militer kedua
terhadap Republik. Sekali ini kekuasaan Republik harus dihancurkan secara
definitif melalui serangan langsungterhadap Yogyakarta, demikian Spoor dalam
notanya. Persetujuan Renville terdiri atas:
- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik, dan
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN
Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan
persetujuan Linggarjati, dan menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang
bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-
daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi yang
dilakukan Belanda dengan ketat.Persetujuan menimbulkan reaksi keras di kalangan
Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir
Sjarifuddin.
19 Januari 1948, Instruksi penghentian tembak menembak dikeluarkan oleh
pihak Indonesia maupun Belanda.
22 Januari 1948, Republik Indonesia mengakui Negara Indonesia Timur
(NIT) sebagai Negara Bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS) yang akan
dibentuk nanti.
23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin menyerahkan mandat kepadaPresiden
Sukarno, dan Presiden menugaskan kepadaWakil Presiden Mohammad Hatta
untuk membentuk Kabinet.
Negara Madura terbentuk, dengan Wali Negara terpilih R.A.A Tjakraningrat. Negara
boneka ini kemudian diresmikan pada tanggal 20 Februari 1948 berdasarkan dekrit
Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. H.J. van Mook. Dalam rangkaian
peresmian tersebut, Tjakraningrat berpidato dengan hadirnya mantan Gubernur Jawa
Timur Van der Plas dan Jenderal Mayor Baay, dan memeriksa barisan kehormatan.
24 Januari 1948, Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) dan Sarekat Mahasiswa
Indonesia (SMI) berfusi menjadi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
26 Januari 1948, Front Demokrasi Rakyat (FDR) terbentuk, terdiri dari PKI,
Partai Sosialis, PBI, Pesindo, dan SOBSI. Salah seorang pemimpinnya adalah
Amir Sjarifuddin.
29 Januari 1948, Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri Kabinet ke-VII
RI dengan program:
1. menyelenggarakan Persetujuan Renville
2. mempercepat terbentuknya RIS
3. rasionalisasi
4. pembangunan
Untuk program nomor 3,4, dan hal-hal yang menyangkut pemuda dan
masyarakat pemuda dibentuk kementerian baru: Kementerian Pembangunan
dan Pemuda.
31 Januari 1948, menurut rencana, pada hari ini dilangsungkan Kongres
Pemuda ke-III (sesudah Proklamasi) di Yogyakarta, tapi dengan keputusan
sidang Presidium Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI)
tanggal 17 Desember 1947, Kongres ditunda sampai keadaan memungkinkan.
PERJANJIAN RENVILLE
Perjanjian Renville
Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang terjadi guna untuk
menghentikan Agresi Militer Belanda I. Perjanjian ini terjadi di sebuah kapal
Amerika yang bernama Renville yang perundingannya dimulai pada tanggal 8
Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948. Perjanjian ini juga terjadi atas
desakan dari dewan keamanan PBB yang mendesak agar dihentikannya konflik
tembak menembak antara Indonesia dan Belanda. Untuk hal ini kemudian Dewan
keamanan PBB membentuk komisi yang dinamakan Komisi Tiga Negara. (KTN)
sejak agustus 1947. Komisi ini bertugas untuk mencari dan meminta pendapat dari
Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketanya. (Soetanto, 2006:101)
Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN
ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika
Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland
dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham. (Poesponegoro, 2008:220)
Perjanjian Renville ini terjadi di atas kapal Amerika yang berlabuh di Teluk
Jakarta. Tempat ini dipilih oleh Indonesia dan Belanda karena dianggap sebagai
tempat yang netral. Delegasi yang dikirim Indonesia untuk perjanjian ini adalah, Mr.
Amir Sjarifuddin, Ai Sastroamidjojo, dr Tjoa Siek len, Sutan Sjahrir, H.A. Salim, Mr.
Nasrun, dan dua anggota cadangan yaitu Ir. Djuanda dan Setiadjit yang disertakan
dengan 32 penasihat. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir
Widjojoatmojo, Mr. H.A.L. van Vredenburgh, Dr. P.J. Koets, Mr. Dr. Ch. R.
Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran Kartanegara, Mr. Masjarie, Thio
Tjiong, Mr. A.H. Ophuyzen, dan A. Th. Baud. (2008:221)
Dengan melalui proses yang sangat panjang akhirnya perjanjian pun
ditetapkan pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun isi dari perjanjian itu adalah:
1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan
Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara
Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya
kepada pemerintahan federal sementara.
5. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia
dalam RIS dan Pemilu untuk membentuk dewan konstituante RIS. (Pakan,
2002:262)
Dari kelima butir isi peresetujuan Renvile, maka sangat jelas, bahwa
perjanjian Renville itu jauh lebih buruk bagi Republik Indonesia dibandingkan
dengan perjanjian Linggarjati yang sudah buruk dan melecahkan kemerdekaan
Indonesia.
Dampak politik Perjanjian Renville
Setelah kabinet amir Sjarifuddin menerima persetujuan Renville, kembali
parta-partai politik menentangnya. Masyumi yang merupakan pendukung utama
kabinet, menaarik kembali menteri-menterinya. Tindakan ini diambil karena
masyumi berpendapat bahwa Amir Sjarifuddin menerima begitu saja persetujuan
tersebut atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN. Tindakan Masyumi
ini diikuti oleh PNI. Sebagai hasilsidang Dewan partai tanggal 18 januari 1948, PNI
menuntut supaya kabinet Amir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. PNI
menolak persetujuan Renville karena persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas
kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir yang hanya didukung oleh Syap
Kiri tidak berhasil dipertahankan, dan pada tanggal 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin
menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. (Pakan, 2002:263)
Setela kabinet Amir Sjarifuddin jatuh, presiden menunjuk wakil Presiden
Moh. Hatta untuk membentuk kabinet baru. Hatta berusaha membentuk kabinet
dengan mengikutsetakan semua partai dalam kabinet untuk menggalang persatuan
Nasional. Pada sayap kiri ditawarkannya tiga kursi tanpa portofolio. Akan tetapi
sayap kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan menteri pertahanan. Namun hatta
tidak bisa mengabulkannya sebab akan ditentang oleh masyumi. Sehingga pada
akhirnya pada tanggal 31 Januari 1948 kabinet Hatta diumumkan dengan Hatta
sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. (Poeponegoro, 2008:232)
Amir Sjarifuddin yang tersingkir dari pemerintahan melancarkan oposisi
terhadap kabinet Hatta. Ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
merupakan gabungan partai dan organisasi kiri, yaitu partai Sosialis (PS), Partai
Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia (Persindo), Serikat Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). FDR menuntut
kabinet Hatta dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Parlementer. Mereka juga
menuntut persetujuan Renville yang di arsiteki oleh Amir Sjarifuddin untuk
dibatalkan, perundingan dengan Belanda dihentikan, dan seluruh milik asing di
nasionalisasikan tanpa ganti rugi. (2008:233)
Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan sebuah perundingan tindak lanjut dari
semuaperundingan yang telah ada. KMB dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 sampai
2November 1949 di Den Haag, Belanda. Perundingan ini dilakukan untuk meredam
segalabentuk kekerasan yang dilakukan oleh Belanda yang berujung kegagalan pada
pihakBelanda. KMB adalah sebuah titik terang bagi bangsa Indonesia untuk
memperolehpengakuan kedaulatan dari Belanda, menyelesaikan sengketa antara
Indonesia-Belanda,dan berusaha menjadi negara yang merdeka dari para penjajah.
Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda,
danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini
paradelegasi yang hadir dalam KMB:
a. Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.
b. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
c. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
d. UNCI diwakili oleh Chritchley.
Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi
tersebut. Berikut merupakan hasil KMB:
a. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
b. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
c. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah
pengakuan kedaulatan RIS.
d. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda
yang dikepalai Raja Belanda.
e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa
korvet akan diserahkan kepada RIS.
f. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang
TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa
paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan
bagibangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa
Indonesia,sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia. Berikut merupakan
dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia:
a. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
b. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.
c. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
d. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum
diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih
berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari
NKRI.
KONFERENSI MEJA BUNDAR
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan sebuah perundingan tindak lanjut
dari semuaperundingan yang telah ada. KMB dilaksanakan pada 23 Agustus 1949
sampai 2November 1949 di Den Haag, Belanda. Perundingan ini dilakukan untuk
meredam segalabentuk kekerasan yang dilakukan oleh Belanda yang berujung
kegagalan pada pihakBelanda. KMB adalah sebuah titik terang bagi bangsa Indonesia
untuk memperolehpengakuan kedaulatan dari Belanda, menyelesaikan sengketa
antara Indonesia-Belanda,dan berusaha menjadi negara yang merdeka dari para
penjajah.
Tokoh yang terlibat
Delegasi Indonesia : Drs.Moh Hatta
Delegasi Beland : Mr.Van Maarseveen
Delegasi BFO : Sultan Hamid II
Hasil konferensi
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan
bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda
sebagai kepala Negara
Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang
sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi
dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat
sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-
ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan
kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember
1949 Rancangan Piagam Penyerahan Kedaulatan.
Pengakuan Kedaulatan
Pada tanggal 16 Desember 1949 terpilih sebagai presiden RIS yang dilantik
pada tanggal 17 Desember 1949 di bangsal SitiHinggil,Keraton
Yogyakarta.sedangkan Drs.Moh Hatta dilantik sebagai Wakil Prsiden RIS pada
taggal 20 Desember 1949 Sesuai hasil KMB, pada tanggal 27 Desember 1949 di
Indonesia dan Negeri Belanda diadakan upacara pengakuan kedaulatan dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RIS.
Upacara di Negeri Belanda dilaksanakan serta ditandatangani oleh Ratu
Yuliana dari pihak Belanda dan Drs.Moh Hatta dari Indonesia. Begitu juga di
Indonesia diadakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.Pihak
Belanda diwakili oleh Mr.Lovink(Wakil Tinggi Pemerintah Belanda) dan dari pihak
Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dengan pengakuan kedaulatan itu berakhirlah kekuasaan Belanda atas Indonesia dan
brdirilah negara Republik Indonesia Serikat.Sehari setelah pengakuan kedaulatan ,ibu
kota negara pindah dari Yogyakarta ke Jakarta.Kemudian dilangsungkan upacara
penurunan bendera Belanda, Merah-Putih-Biru dan dilanjutkan pengibarab bendera
Indonesia, Merah-Putih
Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau konfrensi meja bundar
antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag Belanda
memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara RIS / Republik Indonesia
Serikat. Negara republik indonesia serikat memiliki total 16 negara bagian dan 3
daerah kekuasaan ditetapkan tanggal 27 desember 1949. Tujuan dibentuknya negara
RIS tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat Indonesia dan melemahkan
pertahanan Indonesia.
1. Daerah Kekuasaan RIS 1 mencakup :
- Negara Pasundan
- Republik Indonesia
- Negara Jawa Timur
- Negara Indonesia Timur
- Negara Madura
- Negara Sumatera Selatan
- Negara Sumatera Timur
2. Daerah Kekuasaan RIS 2 meliputi :
- Negara Riau
- Negara Jawa Tengah
- Negara Dayak Besar
- Negara Bangka
- Negara Belitung
- Negara Kalimantan Timur
- Negara Kalimantan Barat
- Negara Kalimantan Tenggara
- Negara Banjar
- Negara Dayak Besar
Pembentukan RIS
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno
menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet
Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi
berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan
Kerajaan Belanda
PERISTIWA MEDAN AREA
A. Latar Belakang Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 november 1945, pasukan Sekutu dibawah pimpinan
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang dikuti oleh
pasukan NICA. Brigadir ini menyatakan kepada pemerintah RI akan
melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di
luar Kota Medan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan
kembali dan dipersenjatai.
Latar belakang pertempuran Medan Area, antara lain:
1. Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
2. Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana
merah putih.
3. Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
4. Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang
papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas
Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
B. Proses Terjadinya Pertempuran Medan Area
Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan baru diumumkan
secara resmi di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945 oleh Mr. Teuku Muhammad
Hasan selaku Gubernur Sumatera. Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan AFNEI
dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan
pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk
mengambil alih pemerintahan.
Kedatangan pasukan AFNEI disambut baik oleh pemerintah RI karena
pemerintah RI menghormati tugas AFNEI di Indonesia.
Namun dibalik itu, sehari setelah AFNEI mendarat di Belawan, pasukan AFNEI
mendatangi kamp-kamp tawanan untuk membebaskan tawanan perang yang
kebanyakan orang Belanda. Tawanan yang dibebaskan itu, kemudian dipersenjatai
dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di Medan.
Operasi-operasi militer Inggris semakin intensif dilaksanakan dan kantor
gubernur terpaksa dipindahkan ke kantor walikota. Markas Divisi II TKR
dipindahkan pula ke Pematang Siantar. Demikian pula laskar-laskar pemuda
memindahkan markasnya masing-masing ke luar Kota Medan untuk mengadakan
konsolidasi. Pasukan laskar masih bertempur tanpa adanya kesatuan komando,
maupun koordinasi. Lambat laun mereka menyadari kelemahan ini setelah
beberapa kali menderita kerugian.
Atas perakasa dewan pertahanan daerah, maka diundang para komandan
laskar untuk berunding di Tebing Tinggi selama 2 hari pada tanggal 8-10 Agustus
1946 untuk membahas masalah perjuangan. Akhirnya mereka sepakat membentuk
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (KRLMA). Konsekuensinya dari
pembentukan komando ini, laskar-laskar dibebaskan dari organisasi induknya
masing-masing. Kapten Nip Karim dipilih sebagai Komandan dan Marzuki Lubis
sebagai Kepala Staf. Markas Komando berada di Two Rivers. KRLMA terdiri dari
5 batalyon dan 1 kompi istimewa dengan pembagian wilayah dan tanggung jawab
pasti.
Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941
disetujui untuk mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di
Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat ialah
Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah kota
Matsum yang akan jadi sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan akan
bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan.
Hari "H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran
pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A
resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian
Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan
menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen
laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan,
kuburan China dan Jalan Binjei.
Patut diketahui, bahwa beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan
Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan
kita menyerang mereka. Gerakan-gerakan batalyon-batalyon resimen Laskar
Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan
Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan kita membalas tembakan dan
berhasil menghentikannya.
Sementara itu Inggris menyerang seluruh Medan Selatan. Pertempuran jarak
dekat berkobar di dalam kota. Pada keesokan harinya Kota Matsum bagian timur
diserang kembali. Pasukan Inggris yang berada di Jalan Ismailiah berhasil dipukul
mundur.
Sementara pertempuran berlangsung, keluar perintah pada 3 November
1946, gencatan senjata diadakan dalam rangka penarikan pasukan Inggris dan pada
gencatan senjata itu dilakukan, digunakan untuk berunding menentukan garis
demarkasi. Pendudukan Inggris secara resmi diserahkan kepada Belanda pada
tanggal 15 November 1946.
Tiga hari setelah Inggris meninggalkan Kota Medan, Belanda mulai
melanggar gencatan senjata. Di Pulau Brayan pada tanggal 21 November, Belanda
merampas harta benda penduduk dan pada hari berikutnya Belanda membuat
persoalan lagi dengan menembaki pos-pos pasukan laskar di Stasiun Mabar, juga
Padang Bulan ditembaki.
Pihak laskar membalas. Kolonel Schalten ditembak ketika lewat di depan
pos Laskar. Belanda membalas dengan serangan besar-besaran di pelosok kota.
Angkatan Udara Belanda melakukan pengeboman, sementara itu di front Medan
Selatan di Jalan Mahkamah kita mendapat tekanan berat, tapi di Sukarame gerakan
pasukan Belanda dapat dihentikan.
Pada tanggal 1 Desember 1946, pasukan kita mulai menembakkan mortir ke
sasaran Pangkalan Udara Polonia dan Sungai Mati. Keesokan harinya Belanda
menyerang kembali daerah belakang kota. Kampung Besar, Mabar, Deli Tua,
Pancur Bata dan Padang Bulan ditembaki dan dibom. Tentu tujuannya adalah
memotong bantuan logistik bagi pasukan yang berada di kota. Tapi walaupun
demikian, moral pasukan kita makin tinggi berkat kemenangan yang dicapai.
Karena merasa terdesak, Belanda meminta kepada pimpinan RI agar
tembak-menembak dihentikan dengan dalih untuk memastikan garis demarkasi
yang membatasi wilayah kekuasaan masing-masing. Dengan adanya demarkasi
baru, pasukan-pasukan yang berhasil merebut tempat-tempat di dalam kota,
terpaksa ditarik mundur.
Selagi kita akan mengadakan konsolidasi di Two Rivers, Tanjung Morawa,
Binjai dan Tembung, mereka diserang oleh Belanda. Pertempuran berjalan
sepanjang malam. Serangan Belanda pada tanggal 30 Desember 1946 ini benar-
benar melumpuhkan kekuatan laskar kita. Daerah kedudukan laskar satu demi satu
jatuh ke tangan Belanda. Dalam serangan Belanda berhasil menguasai Sungai
Sikambing, sehingga dapat menerobos ke segala arah.
Perkembangan perjuangan di Medan menarik perhatian Panglima
Komandemen Sumatera. Ia menilai bahwa perjuangan yang dilakukan oleh
Resimen Laskar Rakyat Medan Area ialah karena kebijakan sendiri. Komandemen
memutuskan membentuk komando baru, yang dipimpin oleh Letkol Sucipto.
Serah terima komando dilakukan pada tanggal 24 Januari 1947 di Tanjung
Morawa. Sejak itu pasukan-pasukan TRI memasuki Front Medan Area, termasuk
bantuan dari Aceh yang bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area
Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA) mengadakan
konsolidasi, disusun rencana serangan baru terhadap Kota Medan. Kekuatannya
sekitar 5 batalyon dengan pembagian sasaran yang tepat. Hari "H" ditentukan 15
Februari 1947 pukul 06.00 WIB. Sayang karena kesalahan komunikasi serangan
ini tidak dilakukan secara serentak, tapi walaupun demikian serangan umum ini
berhasil membuat Belanda kalang kabut sepanjang malam. Karena tidak memiliki
senjata berat, jalannya pertempuran tidak berubah. Menjelang Subuh, pasukan kita
mundur ke Mariendal. Serangan umum 15 Februari 1947 ini adalah serangan besar
terakhir yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang di Medan Area.
Sampai menjelang Agresi Militer ke I Belanda, yang mana pasukan RI di
Medan Area berjumlah 7 batalyon dan tetap pada kedudukan semula yang
membagi Front Medan Area atas beberapa sektor, ialah Medan Timur, Medan
Selatan, Medan Barat dan Medan Utara. Begitu pula membagi Medan atas 4 sektor
yang sama, dan dengan demikian mereka langsung berhadapan dengan pasukan
kita.
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda ke I, Belanda melancarkan
serangannya terhadap pasukan RI ke semua sektor. Perlawanan terhadap Belanda
hampir 1 minggu dan setelah itu pasukan-pasukan RI mengundurkan diri dari
Medan Area.
PERJANJIAN ROEM-ROYEN
Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari
serangkaian perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju
pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember
1949. Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan
Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia di Hotel Des Indes,
Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan
Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa
masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den
Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan
kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX
terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku
Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah
Republik Indonesia).
Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai
wakil ketua. Anggota-anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr.
Supomo, Mr. Latuharhary, dan disertai oleh lima orang penasihat. Sedangkan
Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr.
N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat.
Negosiasi kesepakatan berjalan lambat, Indonesia menuntut pengembalian
pemerintah RI ke Yogyakarta disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah
tertentu dari pihak Belanda. Sedangkan belanda menuntut perang grilya di hentikan
dan segera dilaksanakan KMP (Konfrensi Meja Bundar)
Hasil pertemuan ini adalah:
1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
2. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
3. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat
sesuai perjanjian Renville pada 1948
2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar
sukarela dan persamaan hak
3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban
kepada Indonesia
4. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara
Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota
sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian
Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948
menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11
Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan
tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.