pertimbangan hukum dalam permenkumham no. 10 …
TRANSCRIPT
PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PERMENKUMHAM NO. 10
TAHUN 2020 TENTANG ASIMILASI DAN INTEGRASI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
DISUSUN OLEH:
RIANSYAH
NIM: 11160430000066
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
“PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PERMENKUMHAM NO. 10
TAHUN 2020 TENTANG ASIMILASI DAN INTEGRASI”
SKRISPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (SH).
Oleh:
RIANSYAH
NIM: 111604300000066
Dibawah Bimbingan
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
NIP. 197412132003121002
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
i
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Nama : Riansyah
NIM : 11160430000066
Judul : Pertimbangan Hukum Dalam PERMENKUMHAM NO. 10
TAHUN 2020 Tentang Asimilasi dan Integrasi.
Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal
....... 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu Syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H) pada program studi Perbandingan Madzhab.
Jakarta, ..............,... 2020
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 197608007 200312 1 001
MUNAQASYAH EXAMINATION COMMITTEE
Ketua : Hj. Siti Hanna., S.Ag., Lc., MA. (. ................... )
Sekretaris : Hidayatulloh, M.H. (. ................... )
Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. (. ................... )
Penguji I : Hidayatulloh, M.H. (. ................... )
Penguji II : Indra Rahmatullah,S.H.I., M.H. (. ................... )
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya diajukan untuk memenuhi satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau merupakan
hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, ........... 2021
RIANSYAH
NIM: 111604300000066
iii
iv
ABSTRAK
Riansyah. NIM: 11160430000066, Pertimbangan Hukum Dalam
PERMENKUMHAM NO. 10 TAHUN 2020 Tentang Asimilasi dan
Integrasi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1442
H/2021 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, menjelaskan
dan menganalisa tentang kebijakan yang ada di dalam Permenkumham No.
10 Tahun 2020 berdasarkan perspektif hukum islam dan hukum positif.
Hasil pembahasan menjawab permasalahan yang ada dalam kebijakan
pemerintah dalam membebaskan warga binaan di tengah pandemi Covid-19
yang banyak menuai kontroversi di masyarakat. Kebijakan pembebasan
warga binaan merupakan solusi yang bersifat sementara dan langkah
tersebut dinilai tidak akan cukup untuk mencegah penyebaran dan penularan
Covid-19 pada fasilitas lembaga pemasyarakatan yang berstatus Over
Capacity. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa Kebijakan
pengeluaran dan pembebasan warga binaan melalui proses asimilasi dan
integrasi lebih banyak mengandung unsur mudhorot nya dibandingkan
dengan unsur masalahat nya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya warga
binaan yang kembali berulah pasca menerima program asimilasi dan
integrasi.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan (Library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan
menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang- undang, buku-buku,
majalah, artikel, website, serta kasus yang berhubungan dengan tema
penelitian.
Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi
pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan
memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Kata kunci : Kebijakan, Asimilasi, integrasi, Covid-19 dan warga
binaan.
Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
Daftar Pustaka : Dari Tahun 1984 s/d Tahun 2020, terdiri dari 19
Buku, 10 Jurnal ilmiah, dan 11 Web.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur atas kehadirat Allah. SWT yang telah
memberikan karunia dan hidayahnya hinga saat ini kita semua masih bisa
meraskan nikmat Iman, Islam, dan Ikhsan. Tak lupa ribuan salawat dan
salam tertuju kepada baginda besar Nabi Muhammad. SAW yang telah
membawa cahaya kebaikan dari gelapnya dunia ini.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga sudah
sepantasnya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
amat besar kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.Ag., Selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para
Wakil Dekan beserta jajarannya.
3. Siti Hanna, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
juga kepada Hidayatulloh,M.H., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
4. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Dosen pembimbing sekaligus
orang tua saya selama menuntut ilmu di Ciputat dan sosok dosen yang
pertama kali saya temui di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bersedia
memberikan arahan serta bimbingannya untuk lulus di program studi
Perbandingan Mazhab. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam membimbing, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan tepat
waktu.
5. Keluarga Dangau, kaka-kaku tercinta wa Anih, wa Yati, bi Anti,
mang Darul, mang Uus, teh Eva, teh Evi, Teh Eri, aa Ridwan yang
selalu memberikan semangat dan doanya.
vi
6. Kakanda Zikri Gousul, kaka sekaligus teman yang selalu bersedia
memberikan saran dan diskusi.
7. Teman-teman Kosan BTK MLBB, Wahyudi, Osamah, Farhan
syarif, Arlen, Ilal hamdi, Risang, dan Hasan yang telah
memfasilitasi, membantu, menemani, membuat kopi dan lain
sebagainya hingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Keluarga besar Program Studi Perbandingan Mazhab yang selalu
memberikan semangat dalam menyelesaikan perkuliahan, semoga
silaturahmi kita tetap terjalin.
9. Seluruh Kader HMI KOMFAKSY Cabang Ciputat yang telah
membangun dinamika keilmuan yang memperluas wawasan dan
ilmu-ilmu baru diluar kampus.
10. Keluarga besar ROMBES yang telah membantu saya untuk
berproses bersama di setiap momen khusunya Enoy, Murtadi, Kije,
Fahri, Fahmi, Farhan, Iksir, Diah, Fauzi, Evi, Mila, Herman,
Wahyudi, Rifaldi, Reihan, Alifta, Albana, Reval, dan teman-teman
lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
11. Teman-Teman Kosan Muslim, yang selalu menemani dimasa kuliah
dan mengisi hari-hari selama di Ciputat. Terkhusu ibu kost bi
Nasroh, bapak Isa, Tufel, Ridwan, Reihan, Haris, Thorik, Aan,
Fajrin dan teman-teman lainnya.
12. Keluarga Besar IKPM Ciputat yang sudah bersama-sama
melebarkan sayap Gontor di UIN Jakarta.
13. Keluarga Besar Prestigious UIN Jakarta yang selalu mengajak hal-
hal positif selama berkuliah di UIN Jakarta.
14. Ayahanda tercinta Bapak Firmansyah dan Ibunda tercinta Ibu Yanti,
ananda ucapkan ribuan terima kasih kepada kalian berdua yang
telah memberikan doa-doa terbaik, dedikasi terbaik,
memperlakukan ananda sebaik mungkin dan memberikan
pendidikan sebaik-baiknya dari sejak ananda lahir sampai sekarang,
untuk kalian berdua skripsi ini ananda persembahkan.
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................................... 6
D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
E. Review Studi Terdahulu ...................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ............................................................................................... 10
G.Sistematika Penulisan ........................................................................................ 12
BAB II KERANGKA TEORI ............................................................................ 14
A.Teori Maslahat ..................................................................................................... 14
B Teori Kemudhorotan ..............................................Error! Bookmark not defined.
C. Teori Pemidanaan ............................................................................................... 19
D.Teori Rehabilitasi ............................................................................................... 20
BAB III PERATURAN KEMENTRIAN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA, NOMOR.10 TAHUN 2020 ............................................................ 27
A.Latar Belakang Dikeluarkan Kebijakan PERMENKUMHAM No. 10 Tahun
2020 Ditengah Pandemi Covid-19 ....................................................................... 27
B. Kebijakan Pembebasan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 Melalui Program Asimilasi. ................... 34
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PERMENKUMHAM NO. 10 TAHUN 2020
DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF .................................................................................... 43
A.Ketidaksesuaian Tujuan Permenkumham No. 10 Tahun 2020 Berdasarkan
Fakta di Lapangan. ................................................................................................. 43
B. Analisis Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No. 10 Tahun
2020 Dalam Teori Maslahat. ................................................................................. 47
viii
C. Analisis Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No. 10 Tahun
2020 Dalam Teori Adhororu Yuzalu. .................................................................. 50
D.Analisis Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No.10 Tahun
2020 Dalam Teori Pemidanaan. ........................................................................... 51
E. Analisis Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No.10 Tahun
2020 Dalam Teori Rehabilitasi. ............................................................................ 53
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 60
A.Kesimpulan ......................................................................................................... 60
B. Saran-saran .......................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang tertera dalam
pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh karenanya semua warga negaranya memiliki hak yang sama di
mata hukum (Equality Before The Law). Oleh karenanya setiap warga
negara harus patuh dan tunduk kepada aturan hukum yang ada di Negara
Republik Indonesia. Di dalam sistem hukum di Indonesia terdapat beragam
sistem hukum yang salah satunya adalah hukum pidana, yang tidak lain
memiliki tujuan memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok
dalam masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sebagai warga negara.
Di dalam hukum pidana terdapat aturan yang mengikat kepada perbuatan
yang membuat individu atau kelompok harus me pertanggung jawabkan nya
bila memenuhi unsur di dalamnya.1
Sedangkan dalam Islam dikenal dengan istilah Fiqih Jinayah yang
mana di dalamnya menjelaskan tentang suatu ketentuan hukum pidana yang
dilakukan oleh seorang mukalaf atau orang yang dibebani kewajiban, yang
didapatkan dari hasil pemahaman dalil-dalil yang terperinci di dalam Al-
Qur’an dan Hadis. Tujuannya sendiri untuk mewujudkan suatu tata kelola
negara yang aman tenteram, dan sejahtera. Sehingga bisa tercapai suatu
keserasian, keseimbangan dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara antara satu sama lainnya. Hal ini tentu sejalan dengan ketentuan
1 Amir Ilyas,”Asas-Asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggung
Jawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan)”, (Yogyakarta: rangkang education Yogyakarta dab
PuKAP- Indonesia), h.1-2.
2
hukum yang ada di Indonesian yang tujuannya adalah keamanan, keadilan
dan kepastian hukum.2
Indonesia adalah negara yang menganut aliran hukum Eropa
Kontinental atau sering disebut dengan Civil Law sehingga dalam
konsepnya lebih mengedepankan kodifikasi suatu aturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Maka menurut peraturan yang berlaku di
Indonesia terdapat beberapa jenis sistem hukuman pokok yang termaktub di
dalamnya diantaranya adalah:
1. Pidana mati (death penalty)
Pidana ini merupakan jenis pidana yang terberat dari semua
pidana yang diancamkan kepada para pelaku kejahatan yang sama
beratnya, misalnya adalah pembunuhan berencana hal ini diatur
dalam Pasal 340 KUHP, pencurian dengan kekerasan yang diatur
dalam Pasal 365 Ayat 4 dan masih banyak contoh kasus lainnya.
2. Pidana penjara (imprisonment)
Sejatinya bentuk hukuman ini berbentuk pembatasan
kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang di dalam nya terdapat
dua unsur yaitu pemenjaraan dan kurungan. Adapun hukuman
penjara lebih berat daripada kurungan karena klasifikasi nya
diancamkan kepada berbagai kejahatan sedangkan hukuman
kurungan didapatkan karena unsur kelalaian individu tersebut.
Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup.
Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 12 KUHP.
3. Hukuman Kurungan
Sejatinya hukuman kurungan lebih ringan daripada hukuman
penjara. Lebih ringan di sini dapat diartikan kedalam pekerjaan yang
diwajibkan selama di dalam penjara dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum dalam masa hukumannya
2 Rahmatiah hl, “Remisi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (studi perbandingan hukum
pidana islam dan hukum pidana nasional), Jurnal adabiyah, Vol.17 Nomor 2 /2017 h.145.
3
sehari-hari, misalnya tempat tidur, selimut dan lain-lain. Hukuman
kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit satu hari
dan paling lama satu tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 18 KUHP.
4. Hukuman Denda.
Hukuman ini diancamkan pada pelaku yang melanggar,
diancamkan pada pelaku kejahatan yang terkadang menjadi
alternatif atau kumulatif.
Hukuman pidana penjara atau yang biasa dikenal dengan lembaga
pemasyarakatan adalah salah satu bentuk dari pelaksanaan sanksi yang
diberikan kepada narapidana yang melakukan suatu perbuatan melawan
hukum sesuai keputusan hakim. Hukuman lembaga pemasyarakatan sendiri
menghilangkan ruang gerak seseorang yang sebenarnya memiliki tujuan
melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan. Hukuman Lembaga
pemasyarakatan sendiri dianggap setimpal dengan apa yang telah diperbuat
si pelaku tindak pidana yang apabila negara tidak memberikan hukuman
yang setimpal kepada pelaku tindak pidana maka negara telah melakukan
suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Di dalam penjara atau biasa yang dikenal dengan istilah lapas, para
narapidana mendapatkan binaan, baik berupa pembinaan moril maupun
pembinaan keahlian kerja yang bertujuan memperbaiki mental dan perilaku
narapidana untuk mampu menjadi pribadi yang lebih baik di kala kembali
ke lingkungan masyarakat. Akan tetapi hal ini tidak semudah kenyataannya
narapidana terkadang sulit untuk dibina kembali kepribadiannya maka
dibuatlah sistem remisi yang bertujuan agar narapidana bersedia mengikuti
proses pembinaan sesuai dengan tujuan lembaga pemasyarakatan.
Pemberian asimilasi menjadi salah satu motivasi bagi para
narapidana untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Pemberian
asimilasi sendiri merupakan perintah dari Pasal 9 Undang-Undang No.12
Tahun 1995 yang mengatur perihal asimilasi. Asimilasi diberikan oleh
Presiden melalui Kementerian Hukum dan HAM yang menjelaskan
4
bahwasanya Menteri dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah terkait
guna terselenggaranya pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan agar bisa di terima kembali dan dapat berbaur dengan baik
di dalam lingkungan masyarakat pasca selesainya masa binaan.3
Sejak 14 Maret 2020 Indonesia menyatakan sikap bahwasanya
wabah virus Covid-19 adalah bencana berskala Nasional yang harus di
tangani dengan serius.4 Dari sinilah pemerintah banyak mengeluarkan
kebijakan-kebijakan baru yang dinilai terlalu terburu-buru oleh sebagian
masyarakat, namun ada juga yang beranggapan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dianggap cepat dan sigap dalam menangani
wabah nasional ini.
Sejak melandanya wabah virus covid-19 di Indonesia pemerintah
mengadakan pemberian asimilasi massal melewati program asimilasi dan
integrasi guna mengurangi penyebaran wabah virus tersebut di dalam lapas.
Hal ini diatur dalam Pasal 23 Permenkumham Nomor. 10 Tahun 2020 yang
diterbitkan pada 30 Maret 2020. Dari mulai diterbitkannya Permenkumham
No. 10 Tahun 2020 sampai dengan Agustus 2020, sudah 40.388 (empat
puluh ribu tiga ratus delapan puluh delapan) narapidana yang dibebaskan
yang terdiri dari 37.790 melalui program asimilasi dan sebanyak 783 adalah
narapidana anak. Sedangkan dalam program integrasi terdiri dari 1776
warga binaan dan 39 sisanya adalah anak. Program asimilasi dan integrasi
ini akan terus berlangsung sampai berhentinya status kedaruratan wabah
virus Covid-19 di Indonesia. Sebagaimana penerimaan asimilasi dan
integrasi ini diberikan kepada narapidana yang sudah menjalankan 2/3 masa
pidananya sedangkan untuk anak ½ dari masa pidananya sampai dengan
tanggal 31 Desember 2020. Namun program asimilasi tersebut tidak berlaku
3 Indonesia. Undang-Undang tentang pemasyarakatan, (INDONESIA, 1995) UU No.12
Tahun 1995.
Ely alawiyah jufri, Adil, “Pelaksanaan asimilasi narapidana di Lembaga pemasyarakatan
terbuka Jakarta” Jurnal Hukum Vol.8 No. 1 h.2-3.
4 Mohamad Anwar, “Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah PSBB Pandemi
corona”, (ADLAH Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol.4 no.1. 2020), h. 102.
5
kepada narapidana yang melakukan tindak pidana luar biasa seperti
terorisme dan korupsi.5
Ironisnya dalam upaya penanggulangan wabah Covid-19 yang
dilakukan oleh pemerintah banyak menimbulkan permasalahan baru, dari
meningkatnya angka kejahatan selama diterapkannya PSBB yang mencapai
11 persen peningkatan angka kejahatannya. Lebih ironisnya kejahatan yang
ada selama PSBB berlangsung pelakunya kebanyakan merupakan para
mantan eks narapidana yang baru saja dikeluarkan pada 30 maret 2020 lewat
program asimilasi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM,
yang kebanyakan pelakunya berulah kembali karena faktor ekonomi.6
Oleh karena itu perlu adanya studi lebih mendalam perihal kebijakan
pemerintah di dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tentang asimilasi
dan integrasi masalah ditegah pandemic Covid-19 dengan berbagai macam
pandangan sudut hukum. Dan salah satu hukum yang relevan dan tak lekang
dimakan oleh Zaman adalah Hukum Islam Oleh karena itu, Peneliti
mengajukan skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hukum Dalam
PERMENKUMHAM NO. 10 TAHUN 2020 Tentang Asimilasi dan
Integrasi”. Tujuan penelitian ini untuk mencari tahu lebih dalam dan
menganalisis secara sistematis guna memperbanyak referensi dan
pandangan penelitian terkait kebijakan yang diambil oleh Kementerian
Hukum dan HAM apakah sudah sejalan dengan pemikiran Hukum Islam.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Penjabaran masalah yang tertera dalam latar belakang
penulisan, maka penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:
5 Hisyam Ikhtiar, “Analisi kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana di masa covid-19”
(Jakarta: LBHM IDPC, 2020), h. 12.
6 Mohamad Anwar, “Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah PSBB Pandemi
corona”, (ADLAH Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol.4 No.1. 2020), h. 102.
6
a. Apakah penerapan Permenkumham No. 10 Tahun 2020 sudah
tepat guna penanggulangan wabah Covid-19.
b. Bagaimana pertimbangan kebijakan Permenkumham No. 10
Tahun 2020 menurut Hukum Islam.
c. Apa dampak positif dan negatif dari kebijakan Permenkumham
No. 10 Tahun 2020.
d. Adakah persamaan kebijakan Permenkumham No.10 Tahun
2020 dengan kaidah-kaidah dalam Hukum Islam.
e. Apakah Permenkumham No. 10 Tahun 2020 sudah menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia khususnya dalam ruang lingkup
warga binaan.
f. Apakah tujuan dikeluarkannya Permenkumham No. 10 Tahun
2020 sudah menjawab permasalahan Over capacity pada
lembaga pemasyarakatan.
g. Apakah Permenkumham No. 10 Tahun 2020 sudah
mempertimbangkan evektifitasnya di dalam masyarakat secara
filosofis, yuridis dan sosiologis.
h. Apakah Permenkumham No. 10 Tahun 2020 sudah sejalan
dengan nilai-nilai yang ada pada Pancasila.
i. Apakah Permenkumham NO. 10 Tahun 2020 sudah sejalan
dengan teori rehabilitasi warga binaan.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan yang ada dalam masalah
Lembaga pemasyarakatan dan kaidah Ushul Fiqih, peneliti berusaha
untuk mengerukutkan permasalahannya kepada dampak pembebasan
warga binaan dan pandangan Ushul Fiqih di dalam rumusan masalah.
Oleh karenanya perlu adanya pembatasan masalah untuk mempermudah
penulis dalam fokuskan kajian ilmiah yang kemudian akan dituangkan
dalam bentuk skripsi. Maka penulis membatasi kajian hanya dalam
7
ruang lingkup Permenkumham Nomor. 10 tahun 2020 tentang syarat
pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
2. Rumusan Masalah
Masalah utama yang akan di bahas dalam turus pembahasan
penelitian ini tertuju pada dampak dari pembebasan 35676 narapidana
dan urgensi nya menurut Ushul Fiqih. Berdasarkan latar belakang yang
terlampir dalam tulisan ini maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut:
Bagaimana Pertimbangan Hukum PERMENKUMHAM No. 10
Tahun 2020 yang dikeluarkan di tengah pandemi Covid-19 menurut
Hukum Islam dan Hukum Positif.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan dan manfaat yang
diperoleh dari hipotesis penelitiannya. Maka hendaknya dalam
merumuskan tujuan penelitian, penulis harus berpegang teguh kepada
permasalahan yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dampak positif dan negatifnya permenkumham
No.10 Tahun 2020.
b. Untuk menguji kemaslahatan permenkumham No.10 Tahun 2020
terkait kemaslahatan, mana yang lebih didahulukan menurut
pandangan Ushul Fiqih terkait kaidah Maslahat.
c. Untuk menguji kemaslahatan Permenkumham No. 10 Tahun 2020
terkait dampak dhoror manakah yang lebih besar menurut kaidah
Adhororu Yuzalu.
Dapat disimpulkan secara garis besar manfaat penelitian ini kedalam
dua arah:
8
2. Manfaat secara Teoritis:
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca
tentang asimilasi dan integrasi serta pandangan hukum islam
didalamnya.
b. Sebagai literatur tambahan bagi peneliti lain untuk mempertajam
pisau bedah penelitiannya, khususnya di bidang asimilasi dan
integrasi.
3. Manfaat secara Praktis:
a. Sebagai bahan kajian dan diskusi publik terkait pemahaman
permenkumham No. 10 Tahun 2020 dalam perspektif hukum islam.
b. Menjadi sumbangsih pemikiran bagi akademisi, pemerintah dan
masyarakat terkait pembebasan narapidana yang diatur di
Permenkumham No. 10 Tahun 2020.
E. Review Studi Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang pernah ditulis oleh peneliti
lainnya dan menghindari adanya kata plagiarisme, maka penulis me-review
karya tulis ilmiah yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan
yang diangkat oleh penulis.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa karya tulis ilmiah
terdahulu, diantaranya:
1. Jurnal karya Ely Alawiyah Jufri, PELAKSANAAN ASIMILASI
NARAPIDANA DILEMBAGA PEMASYARAKATAN TERBUKA
JAKARTA. Jurnal ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan
asimilasi di lembaga pemasyarakatan terbuka Jakarta dan membahas
perbedaan pelaksanaan asimilasi di lapas terbuka dan tertutup. Hal yang
membedakan karya tulis ilmiah ini dengan tema yang di angkat penulis
terdapat pada objek penelitiannya yang mana penulis meneliti
PERMENKUMHAM No. 10 Tahun 2020 sedangkan dalam karya tulis
ilmiah ini meneliti PERMENKUMHAM No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007.
Perbedaan yang kedua terletak di dalam kondisi dikeluarkannya
9
PERMENKUMHAM, yang mana penulis meneliti peraturan yang
dikeluarkan di tengah Pandemi Covid-19.
2. Jurnal karya Novedy Suoth, dkk. KEBERHASILAN ASIMILASI
DALAM MERUBAH KARAKTER NARAPIDANA DI BALAI
PEMASYARAKATAN KELAS DUA MANADO. Jurnal ini membahas
tentang gambaran umum dan khusus tentang keberhasilan proses
asimilasi, mengintegrasikan narapidana dalam masyarakat di kantor balai
pemasyarakatan kelas II Manado. Hal yang membedakan karya tulis
ilmiah ini degan tema yang di angkat penulis terletak dalam tujuan
penelitian yang mana penulis bertujuan menguji PERMENKUMHAM
No. 10 Tahun 2020 dengan hukum islam dan hukum positif sedangkan
karya tulis ilmiah ini hanya meneliti dampak keberhasilan merubah
karakter yang diperoleh dari sistem asimilasi yang dilakukan di lembaga
pemasyarakatan kelas dua Manado. Perbedaan yang kedua terletak di
PERMENKUMHAM yang di jadikan objek penelitian, yang mana
penulis meneliti PERMENKUMHAM No. 10 Tahun 2020 sedangkan
karya tulis ilmiah ini menggunakan PERMENKUMHAM No. 21 Tahun
2013 sebagai objek analisisnya.
3. Jurnal karya Mai Yudiansyah, PEMBERIAN ASIMILASI BAGI
NARAPIDANA SEBAGAI PENERAPAN UNDANG-UNDANG
PEMASYARAKATAN PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KELAS II A PADANG. Jurnal ini membahas tentang bagaimana
pelaksanaan pembinaan, penanggulangan hambatan asimilasi, dan
prospek penerapan asimilasi terhadap narapidana dalam tahap asimilasi
di lembaga pemasyarakatan kelas II A Padang. Hal yang membedakan
karya tulis ilmiah ini dengan tema yang di ambil oleh penulis terdapat
pada objek penelitian, yang mana penulis meneliti PERMENKUMHAM
No.10 Tahun 2020 sedangkan karya tulis ilmiah ini meneliti
PERMENKUMHAM No. M. HH-01.OT.03.01 Tahun 2014 sebagai
objek penelitiannya. Perbedaan yang kedua terletak pada tujuan
penelitian, penulis bertujuan untuk menjadikan objek penelitian sebagai
10
pertimbangan hukum yang akan di kaji oleh dua sudut hukum, yaitu
hukum islam dan hukum positif sedangkan pada karya tulis ilmiah ini
lebih condong kepada pembahasan peningkatan produktivitas kerja
sistem asimilasi.
4. Jurnal karya Febriana Putri Kusuma, IMPLIKASI HAK-HAK
NARAPIDANA DALAM UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA
DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN. Jurnal ini membahas
tentang HAM dan perlindungan bagi narapidana, yang di dalamnya
membahas hak-hak narapidana yang tertera berdasarkan pasal 14 ayat 1
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 dan membahas tata cara dan
syarat pemberian hak-hak tersebut yang diatur di peraturan pemerintah
Nomor. 28 tahun 2006. Hal yang membedakan karya tulis ilmiah ini
dengan tema yang di angkat oleh penulis terletak pada objek penelitian,
yang mana penulis meneliti PERMENKUMHAM No.10 Tahun 2020
sedangkan pada karya tulis ilmiah ini menjadikan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 dan peraturan pemerintah No. 28 Tahun 2006
sebagai objek penelitiannya.
F. Metode Penelitian
Suatu Penelitian ilmiah dapat dipertanggung jawabkan
keabsahannya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang
tepat. Maka metode menjadi prosedur utama atau cara-cara memperoleh
pengetahuan sesuatu dengan langkah sistematis atau penyusunan dan
pembagian kerja agar dapat memahami objek yang akan menjadi sasaran
peneliti dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.7 Berlandaskan hal yang
termaktub di atas penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam membedah
permasalahan ini adalah jenis penelitian normatif yuridis, yang mana
7 Rosady Ruslan, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindopersada, 2010), h. 24.
11
penelitian ini memuat deskripsi penelitian dari sumber hukum yang
tertulis.8 Penelitian ini juga bersifat kepustakaan yang mana bahan
kajian tambahannya berasal dari buku-buku terkait yang membuat
penelitian ini menjadi relevan dengan topi yang akan dikaji.9
2. Sumber Data
Untuk sumber data yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah
ini penulis membagi menjadi tiga bagian yaitu data primer, data
sekunder, dan data Tersier. Pertama adalah data primer yakni sumber
asli yang diperoleh secara langsung. Sumber primer dapat berupa arsip
ataupun naskah asli. Kedua adalah data sekunder yang merupakan
sumber data pendukung bersifat perantara berasal dari buku-buku,
literatur, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Ketiga adalah sumber data tertier yang berisi informasi yang didapat
dari pihak ketiga sebagai penunjang dari data primer dan sekunder,
misalnya pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian tersebut
ataupun dari kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan data yang berkaitan dengan penelitian.
a. Data Primer.
b. Data Sekunder.
c. Data Tersier.
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi pustaka adalah upaya pengidentifikasian secara sistematis dan
melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat
informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian
yang akan dilakukan.10Bentuk penelitian yang dipakai penulis adalah
deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atau
merumuskan permasalahan sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada
8 Fahmi Muhammad Ahmadi, Zaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-1,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010), h.10.
9 P. Joko Subagio, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h.109.
10Ahmadi, M Fahmi dan Arifin Jaenal, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat: LP. UIN
jakarta, 2010),h. 17.
12
dikaitkan dengan norma yang ada, untuk mendapatkan saran-saran
dalam mengatasi masalah tertentu.11
4. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan penelitian ini penulis menggunakan
teknik penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada buku
pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2019.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulis dalam penyusunan skripsi, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini membahas tentang Latar Belakang, Identifikasi
Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Studi Terdahulu, Landasan Teori, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KERANGKA TEORI
Pada bab ini akan dijelaskan kerangka teori tentang asimilasi dan
integrasi di tengah pandemi Covid-19 yang kebijakannya diatur dalam
PERMENKUMHAM Nomor. 10 Tahun 2020 yang diterbitkan pada tanggal
30 Maret 2020. Maka penulis akan mengkaji dengan dua konsep teori
hukum yang terdiri dari kaidah Ushuliyah yang akan dipertajam dengan
Kaidah Maslahat dan Kaidah Adhororu Yuzalu dan kaidah hukum positif
secara Vertikal dengan pendekatan Undang-Undang yang akan dipertajam
dengan Teori Pemidanaan dan Teori Rehabilitasi.
11 Suteki, Metodologi Penelitian Hukum, (Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2018), h. 137.
13
BAB III: PERATURAN KEMENTRIAN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA, NOMER.10 TAHUN 2020
Dalam bab ini menjelaskan tentang objek penelitian yang akan
dibahas meliputi pembahasan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan
melalui peraturan ini.
BAB IV: ANALISIS PERMENKUMHAM NO.10 TAHUN 2020 DALAM
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Dalam bab ini menjelaskan tentang analisis terhadap
PERMENKUMHAM tentang asimilasi dan integrasi massal yang meliputi
manfaat dan kekurangan dikeluarkan peraturan ini secara hukum positif dan
pandangan hukum islam.
BAB V: PENUTUP
Dalam bab ini tertera hasil akhir yang diperoleh oleh penulis yang
berisi kesimpulan penelitian dan saran terhadap objek penelitian sesuai
dengan pokok pembahasan yang dikaji oleh penulis.
14
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Teori Maslahat
Maslahat berasal dari bahasa Arab Solaha-Yasluhu menjadi Sulhan atau
Maslahatan yang memiliki arti mendatangkan kebaikan. Selain masalahat
dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau
manfaat.12
1. Pembagian Maslahat
Berdasarkan pengertian yang tertera di atas maslahat dibagi
kedalam beberapa segi diantaranya adalah:
a. Dari segi keberadaan maslahat menurut syara’
1) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahat yang
mendapat dukungan oleh syara’, yang mana terdapat
dukungan dalil dari maslahat tersebut.
2) Maslahat al-Mulghah, yaitu maslahat yang mendapat
pertentangan dari syara’, karena konsepnya
bertentangan dengan dalil syara’.
3) Maslahah Mursalah, yaitu maslahat yang tidak
mendapat dukungan maupun penolakan oleh syara’.
Kemaslahatan ini terbagi menjadi dua kelompok,
yakni maslahah al-ghariban, yaitu maslahat yang
asing dan tidak ada sama sekali dukungan dari
syara’. Kedua adalah maslahah al-mursalah, yaitu
12Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), h. 43-45.
Khairu Umam, Ushul Fiqih l, cet.1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 135.
Satria Effendi, Ushul Fiqih, cet.7, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 135-136.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia,Cet.1, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984), h. 844.
Asnawi, Perbandinagn Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101.
15
maslahat yang tidak didukung oleh sekumpulan
makna nash (ayat atau hadits).
b. Dari segi kandungan maslahat
1) Maslahat al-Ammah, yaitu maslahat yang besifat
umum dan menyangkut kepentingan orang banyak.
2) Maslahat al-Khassha, yakni masalah yang bersifat
individual atau pribadi yang berhubungan dengan
kebaikan individu tersebut, seperti pemutusan
hubungan pernikahan seseorang yang dinyatakan
menghilang.
c. Dari segi berubah atau tidaknya maslahat
1) Maslahat al-Tsabitah, yakni suatu kemaslahatan
yang memiliki sifat tetap dan tidak mengalami
perubahan sampai akhir zaman.
2) Maslahat al-Mutagayyirah, yakni maslahat yang
mengalami perubahan berdasarkan tempat, zaman,
dan subjek hukum.13
2. Tingkatan-Tingkatan Maslahat
Para ahli Ushul menyepakati bahwasanya syari’at islam
bertujuan untuk memelihara lima hal (Maqashid al-Syari’ah) yakni:
Memelihara agama, Memelihara jiwa, Memelihara akal,
Memelihara keturunan, dan Memelihara harta.14
Dari kelima tingkatan tersebut para ulama menggolongkan
maslahat menjadi tiga tingkatan berdasarkan pandangan syar’i dan
dalil-dalil nash guna menjaga maqashid al-syari’ah. Pertama adalah
tingkatan maslahah dharuriyah yang cakupannya bersifat esensial
bagi kehidupan manusia. Kedua maslahah hajiyyah ialah segala
13 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), h. 52-57. 14 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islamiyyi,(Suria: Dar al-Fikri,1985), vol.2, cet.1,
h. 755.
16
sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya,
agar hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat sehinga
terhindar dari kemelaratan. Ketiga adalah maslahah tahsiniyah yang
mencakup kebutuhan hidup manusia sebagai pelengkap dan untuk
lebih menyejahterakan kehidupan manusia.
3. Kehujjahan Maslahat
Para jumhur ulama fiqih menganggap bahwasanya maslahat
adalah dalil syari’i yang menjadi suatu pfondasi utama dalam
penerapan legislasi hukum islam, pemberian suatu produk fatwa,
dan dalam ruang lingkup peradilan. Begitupun para sahabat,
menjadikan maslahat sebagai patokan dan sandaran utama dalam
melegislasikan hukum islam.15
4. Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah
Dalam menggunakan kaidah masalahat haruslah berhati-hati,
tidak mengkedepankan nafsu, dan kepentingan yang terselubung.
Maka ada tiga macam syarat dalam mempergunakan kaidah
maslahat mursalah, yaitu:
a. Maslahah haruslah nyata dan bukan tergolong kepada maslahah
yang mengada-ngada. Selain itu maslahah haruslah sesuai
dengan rasio yang mudah diterima oleh semua orang dengan
tujuan mengambil manfaat (jalbu manfa’ah) dan mencegah
madharat (daf’u madharrah) dan jangan sampai maslahat
tersebut mengandung manfaat saja tapi juga harus
menyeimbangkan aspek madharatnya.
b. Maslahah itu diciptakan untuk kepentingan umum bukan
kepentingan perorangan atau individu, yang mana landasan
utama dalam pertimbangan dan pengambilan hukum harus
berdasarkan aspek sosial.
15 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), h. 57-72.
17
c. Pembentukan hukum kemaslahatan yang diambil tidak
berlawanan dengan tatanan hukum atau dasar yang telah
ditetapkan nash dan ijma.16
Maka menurut penulis pentingnya mengadopsi kaidah ini dalam
mengambil keputusan PERMENKUMAM No. 10 Tahun 2020
karena konteksnya mencakup kepentingan orang banyak, bukan
hanya untuk kepentingan individu ataupun suatu golongan
kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan kelompok lainnya.
B. Teori Kemudhorotan
Adhororu Yuzalu memiliki arti dalam bahasa Indonesia:
“Kemudaratan itu hendaklah dihilangkan”. Kaidah ini sejatinya diambil dari
Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw. Kaidah ini
tertera dalam Firman Allah Swt surat Al-Baqarah ayat 173 yang isinya
sebagai berikut:
فمن اضطر م عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الل ير غ إنما حر
غفور رحيم إ باغ ول عاد فل إثم عليه ن الل
Artinya: “Sesungguhnya Allah Swt hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging. babi dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.2 al- Baqarah:
173).17
Kemudian dalam sabdanya Rasulullah Saw, mengatakan:
ولضرار ضرر ل
16 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), h.72-75.
17 https://tafsirweb.com/660-quran-surat-al-baqarah-ayat-173.html.
18
Artinya: “Tidak boleh membuat kemudhorotan dan membalas
kemudhorotan”.
Kaidah ini sangatlah penting dalam pembinaan hukum Islam,
khususnya dalam menghindari bermacam-macam kemudhorotan yang
ada dalam kehidupan masyarakat. Dari penjabaran kaidah diatas
tentunya banyak kaidah lain yang dihasilkan dari kaidah di atas.
Diantaranya adalah kaidah yang berbunyi:
رر يدفع بقدر الإمكان .1 الض
Ad’Dhororu Yudhfau Biqodhri Al-Imkani memiliki makna dalam bahasa
Indonesia yang artinya: kemudhorotan harus dicegah sedapat mungkin.
رر ل يزال بالضرر .2 الض
Kaidah Ad’ Dhororu La’ Yuzalu Bi Ad-Dhorori memiliki arti dalam
bahasa Indonesia: “Kemudhorotan itu tidak dapat dihilangkan dengan
kemudhorotan yang lain”.18
قدم على جلب المصالح درء المفاسد م .3
Dar’u Al-Mafasid Muqoddamu Ala Jalbi Al-Masolih, kaidah ini
memiliki arti dalam bahasa Indonesia: “Menolak kerusakan harus
didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan”.19
هماإذا تعارض مفسدتان روعي أعظم .4 هما ضررا بارتكاب أخف
Iza Ta’arodho Mafsadatani Ru’iyya A’dzomuha Dhororon Bi
Irtika’bi Akhofihima, kaidah ini memiliki arti dalam bahasa Indonesia
yang artinya adalah: “Apabila ada dua kerusakan berlawanan, maka
haruslah dipelihara yang lebih berat mudharatnya dengan melakukan
yang lebih ringan dari keduanya”. Dalam kaidah ini, dijelaskan bahwa
bila ada suatu perbuatan yang mengandung dua kemafsadatan atau
18 Duski Ibrahim, “Al-Qawaid Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih)” (Palembang: CV.
Amanah, 2019), h.84.
Jaih Mubarok, “Kaidah Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 151-152.
19 Duski Ibrahim, “Al-Qawaid Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih)” (Palembang: CV.
Amanah, 2019), h.84.
19
kerusakan, maka hendaknya memilih kemafsadatan yang lebih ringan
dari keduanya.20
C. Teori Pemidanaan
1. Teori Hukuman
Sejatinya hukuman ditunjukkan terhadap pribadi orang yang
melakukan pelanggaran pidana. Hukuman atau sanksi yang dianut
dalam hukum pidana membedakan hukum pidana dengan bagian hukum
lainnya, yang mana hukum pidana memiliki tujuan untuk memelihara
keamanan, kenyamanan hidup yang lebih teratur. Namun ada
perdebatan beberapa pakar dalam dasar diadakannya hukuman tersebut,
yang kemudian muncul tiga teori, yakni teori imbalan
(absolut/vergeldingstheorie), teori maksud atau tujuan
(relatieve/doeltheorie), dan teori gabungan (verenigingstheorie).
Masing-masing penganut teori tersebut memiliki dasar dan argumen
dalam penjatuhan hukuman.
a. Teori Imbalan (absolut/vergeldingstheorie)
Menurut teori ini kejahatan adalah landasan utama dalam
menentukan suatu hukuman. Karenanya kejahatan itu sendiri
telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalan
nya si pelaku juga harus diberi penderitaan. Para tokoh yang
menganut aliran teori ini diantaranya adalah Immanuel Kant,
Hegel, Herbart, Stahl, dan Jean Jacques Rousseau.
b. Teori Maksud atau Tujuan (relatieve/doeltheorie)
Dalam teori ini dijelaskan bahwasanya jatuhnya suatu
hukuman yang di tetapkan adalah untuk memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan yang
diperbuat. Tujuannya adalah untuk memberikan keidealan
dalam hukuman sebagai alat pencegahan kejahatan (Prevensi).
20 Duski Ibrahim, “Al-Qawaid Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih)” (Palembang: CV.
Amanah, 2019), h.85-86.
20
c. Teori Gabungan (verenigingstheorie)
Pada dasarnya teori ini terdiri dari gabungan kedua teori
diatas yang mana keduanya mengajarkan bahwa penjatuhan
hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib ruang
lingkup bermasyarakat dan memperbaiki perilaku si pelanggar
norma hukum tersebut. 21
D. Teori Rehabilitasi
Dalam kamus psikologi, rehabilitasi dapat didefinisikan sebagai
restorasi (perbaikan atau pemulihan) pada keadaan normal, atau pemulihan
keadaan seseorang dengan tujuan kembali kepada status yang paling
memuaskan yang pernah menderita suatu penyakit mental.22
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rehabilitasi
dapat didefinisikan sebagai pemulihan kepada keadaan, nama baik yang
semula, perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas orang-
perorangan atau individu agar menjadi suatu manusia atau pribadi yang
berguna dan memiliki kedudukannya kembali di masyarakat.23
Bila dilihat dalam kamus konseling, rehabilitasi dapat didefinisikan
sebagai proses atau dinamika pemrograman kembali kesehatan suatu mental
atau kemampuan yang telah hilang kemudian dipola kembali untuk
membetulkan hasil-hasil dari masalah- masalah emosional dan
mengembalikan suatu kemampuan yang telah hilang.24
Berdasarkan dari definisi yang ada penulis mengambil inti subtansi
yang tertera dalam definisi rehabilitasi sebagai langkah atau jalan untuk
memperbaiki diri menuju pribadi yang fitrah sebagaimana manusia
semestinya, agar bisa kembali diterima dalam kehidupan masyarakat.
21 Leden Marpaung, “Asas Teori Praktik Hukum Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 107. 22 J.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.
425.
23 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, (Jakarta, Cet. 3, Edisi Ketiga, 2005), h. 940.
24 Sudarsono, Kamus Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 203.
21
1. Teori Pemberian Hukuman Perehabilitasian.
Untuk membahas teori tentang rehabilitasi penulis bertolak ukur
secara mendalam dengan pemikiran yang diutarakan oleh Jeremy
Bentham yang menyatakan bahwa hukum harus mampu mendatangkan
kemanfaatan bagi setiap individu. Sejatinya manusia akan bertindak
guna mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaan. Maka untuk mengukur baik-buruknya suatu perbuatan
manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan
kebahagiaan atau tidak.25
Seyogianya hukum harus mengedepankan aspek kebahagiaan yang
maksimal bagi setip manusia, yang merupakan standar etik dan yuridis
dalam kehidupan sosial. Hak-hak individu tersebut hendaknya harus
dilindungi dalam kerangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.26
Pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa
kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi ambang batas dari hukuman
yang dibutuhkan dan pemidanaan seseoang hanya bisa diterima apabila
ia bisa memberikan harapan bagi tercegah nya kejahatan yang lebih
besar.27
Suatu kesalahan atau tindakan kejahatan berdasarkan pandangan ini
merupakan suatu penyakit sosial yang disintegrative dalam masyarakat.
Menurut pandangan utilitarianism, hukuman adalah bentuk suatu jalan
untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si pelaku atau
terhukum. Sejatinya segala bentuk hukuman berfungsi mengobati
(poena medicinalis) atau merehabilitasi apa dan siapa yang sudah
menjadi korban tindakan kejahatan. Selain itu, hukuman berfungsi
melindungi masyarakat dari kejahatan. Jadi hukuman di sini tidak hanya
25 Lili rasjidi dan ira thania rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2002), h. 60.
26 Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri. (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, 2004), h. 280.
27 Lili rasjidi dan ira thania rasjidi, Pengantar Filsafat, h. 61.
22
bersifat kuratif terhadap kejahatan yang terjadi, tapi juga berfungsi
sebagai preventif.
Teori rehabilitasi sering juga disebut sebagai teori reparasi
(reparation). Teori ini berasumsi bahwa penjahat merupakan orang sakit
yang memerlukan pengobatan. Layaknya dokter yang menuliskan resep
obat, penghukum (hakim) harus menjatuhkan hukuman yang
diprediksikan paling efektif untuk membuat para pelaku kejahatan
kembali menjadi pribadi yang baik.
Bertentangan dengan retribusi yang lebih menekan pada unsur
persamaan ancaman pidana berdasarkan derajat perbuatan, melainkan
rehabilitasi memusatkan perhatian pada karakteristik suatu individu dari
pelaku kejahatan yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan
campur tangan pihak lain. Secara logis penyembuhan individu ini harus
konsisten dengan bentuk pemidanaan tak tentu yang memberi
keleluasaan kepada hakim untuk memberikan pengurangan pidana
sesuai dengan diskresi nya (keputusan Hakim) untuk membebaskan atau
menghukum pelaku demi masa depannya.28
2. Sasaran Rehabilitasi
Sejatinya manusia adalah sasaran atau objek kajian fokus suatu
rehabilitasi secara utuh, yang berkaitan dengan gangguan pada mental,
spiritual dan moral (ahlaq).
a. Mental.
Hal-hal yang paling berkaitan dengan akal, pikiran
dan ingatan atau proses berasosiasi menggunakan akal,
pikiran dan ingatan adalah mental.29
b. Spiritual.
Sasaran rehabilitasi yang tak kalah penting dari jiwa
adalah spiritual yakni sesuatu yang berhubungan dengan
28Lidya Suryati.W,”Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga
Permasyarakatan”Jurnal Negara Hukum, Vol.3, No.2, 2012, h. 206.
29 Zakiyah Daradjat, Kesehatan Psikologi Islam, Hajimas Agung, (Jakarta, 1998), h. 16.
23
masalah rukhiyah, jiwa, religius, atau segala sesuatu yang
memiliki kaitan dengan agama, keimanan, kesalehan, dan
berkaitan dengan nilai-nilai transendental.
c. Moral (akhlak).
Sasaran selanjutnya adalah moral atau yang biasa
dikenal dengan akhlak, yaitu. Suatu keadaan pada jiwa
manusia yang melekat erat yang melahirkan suatu
perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses
pemikiran, dan pertimbangan atau sikap mental, watak yang
terjabarkan dalam bentuk: berpikir, berbicara, bertingkah
laku, dan sebagainya, sebagai ekspresi jiwa.30
Berdasarkan uraian yang tertera diatas penulis
mengambil kesimpulan bahwa objek rehabilitasi terdiri dari
mental, spiritual dan moral (akhlak).
3. Teori Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Konsep Rehabilitasi
Menurut Saharjo untuk sampai kepada pemahaman suatu fungsi
pembinaan Lembaga Pemasyarakatan yang ada dalam teori falsafah
pembinaan narapidana, sejatinya kita perlu pemahaman lanjutan terkait
awal dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan
narapidana yang telah banyak membawa perubahan fungsi. Pada
mulanya lembaga pemasyarakatan adalah sebagai tempat pembalasan
bagi para pelaku tindak pidana yang kemudian berganti sebagai tempat
pembinaan dan rehabilitasi. Dalam dinamika bentuk pembinaan yang
diterapkan bagi narapidana meliputi berbagai hal diantaranya:
a. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan
antara pembina dan yang dibina yang berfungsi sebagai
pendekatan persuasif antara pembina dan warga binaan.
b. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah
tingkah laku melalui keteladanan.
30 Sodiq Salahuddin Chaery, Kamus Istilah Agung, (Jakarta: CV. Slentarama, 1983), h. 20.
24
c. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis, berfungsi
untuk memunculkan kebiasaan baik dibawah alam sadar dan
tanpa adanya tekanan.
d. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama,
berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran
hukum, keterampilan, mental spiritual yang bertujuan
membentuk pola pikir yang mandiri dan berintegritas tinggi
yang didasari nilai-nilai kesadaran, kemandirian dalam
beragama, berbangsa dan bernegara.31
4. Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners (SMR) dan
Konsep Pemasyarakatan.
Melalui Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, masyarakat internasional
secara bersama-sama telah bersepakat dan berkomitmen untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia dengan tidak memandang
status sosial yang ada pada setiap individu manusia itu sendiri, meskipun
ia adalah seseorang (narapidana) yang sedang dirampas
kemerdekaannya namun harus tetap memiliki hak-haknya yang wajib
dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Setiap orang yang sedang dirampas
hak kemerdekaannya wajib diperlakukan secara manusiawi dengan
menghormati martabat yang melekat padanya sebagai manusia. Sistem
pemasyarakatan yang ada harus tetap memiliki suatu tujuan utama,
yakni memperbaiki dan melakukan suatu rehabilitasi sosial dalam
memperlakukan seorang narapidana dengan baik dan berstandar
kemanusiaan.32
Untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi warga binaan ada beberapa
prinsip dasar mengenai perlakuan terhadap narapidana yang diatur
31 Ismail Pettanase, “Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan”, (Jurnal
Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Volume. 17 No.1.2019), h. 60.
Josefina Mareta, “Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana Terorisme”,
(Jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid.47, No.4. 2018), h. 348-349.
32 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Pelaksanaan Standard, h. 24.
25
dalam SMR diantaranya, diadakan pemisahan kategori dilakukan
dengan memperhatikan beberapa unsur dan klasifikasi warga binaan.
Kemudian ditentukan akomodasi yang sesuai dan tepat yang layak bagi
warga binaan dan instalasi kebersihan harus memadai agar setiap warga
binaan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang lazim dengan
cara yang bersih dan layak. Selain itu harus disediakan pakaian dan
tempat tidur yang sesuai dan tepat bagi warga binaan. Kemudian
makanan yang diberikan kepada warga binaan harus diberikan makanan
bernilai gizi yang memadai untuk kesehatan dan disajikan dengan
baik.33
Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan
sistem yang baik dalam memperlakukan narapidana di lembaga
pemasyarakatan Indonesia didasari pada falsafah pembinaan narapidana
yang dicetuskan oleh Sahardjo yang mana di dalamnya dirumuskan
beberapa Konsep Pemasyarakatan: Pertama, pengayoman dan
memberikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya
sebagai warga negara yang baik dan berguna. Kedua menjatuhi
hukuman pidana bukan sebagai tindakan balas dendam dari negara.
Satu-satunya derita yang diambil dari narapidana hanya kehilangan
kemerdekaannya dan untuk mencapai jalan menuju tobat, tidak dapat
dicapai dengan menggunakan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan.
Selanjutnya Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih
buruk/jahat daripada sebelum masuk lembaga pemasyarakatan dan
selama kehilangan kemerdekaan bergeraknya para warga binaan tidak
boleh diasingkan dari masyarakat. Selanjutnya pekerjaan yang diberikan
kepada para warga binaan tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau
hanya diperuntukkan bagi kepentingan negara sewaktu saja dan
pembinaan dan bimbingan harus berdasarkan norma-norma yang ada
33 P.A.F. Lamintang dan theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2017) h. 35.
26
pada Pancasila. Karena setiap orang atau individu warga binaan adalah
manusia sehingga harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah
tersesat.
Warga binaan hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaannya dalam waktu tertentu. Maka dari itu, perlu diusahakan
supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan
hidup keluarga yang menjadi tanggungannya dengan disediakan
pekerjaan ataupun dimungkinkan bekerja dan diberikan upah dari setiap
pekerjaannya. Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya
disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun
diberi kesempatan kemungkinan mendapat pendidikan di luar lembaga
pemasyarakatan.
Untuk pembinaan dan bimbingan para warga binaan maka perlu
disediakan sarana yang diperlukan. Perlu didirikan LP-LP baru yang
sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan.34
34 Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta:
Kereasi Wacana, 2005). h. 143-148.
Petrus Irawan Panjaitan, Radisman Saragih, “Presepsi Anggota Masyarakat Mengenai
Resosialisasi Dan Rehabilitasi Mencegah Bekas Narapidana Menjadi Residivist”, (Jurnal Hukum
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta), h. 226-227.
Lidya Suryati.W,”Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga
Permasyarakatan”, (Jurnal Negara Hukum, Vol. 3, No.2, 2012), h. 209-210.
27
BAB III
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
NOMOR. 10 TAHUN 2020
A. Latar Belakang Dikeluarkan Kebijakan PERMENKUMHAM No. 10
Tahun 2020 di Tengah Pandemi Covid-19
Sejak 14 Maret 2020 Indonesia menyatakan sikap bahwasanya wabah
virus Covid-19 adalah bencana berskala Nasional yang harus ditangani
dengan serius.35 Dengan demikian banyaknya kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk menanggulangi wabah ini, salah satunya adalah kebijakan
terkait warga binaan untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-
19 di dalam lembaga pemasyarakatan yang diatur dalam Permenkumham
No. 10 Tahun 2020 terkait asimilasi dan integrasi. Hal ini diatur dalam Pasal
23 Permenkumham Nomor.10 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 30 Maret
2020.
Sedangkan saat ini, kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia dari
dahulu selalu dilaporkan mengalami over capacity. Pada Nopember 2018,
dilaporkan ada 269.846 orang yang ditahan, padahal daya tampung yang
tersedia pada saat itu seharusnya hanya untuk 130.512 orang saja.36
Sebagai langkah pencegahan penyebaran virus Covid-19, Kementerian
Hukum dan HAM mengeluarkan surat edaran bernomor
M.HH.PK.01.01.01- 04, yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung,
Jaksa Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia. Sebagaimana subtansi
nya berisi penolakan kegiatan pelayanan kunjungan dan penerimaan
tahanan baru di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan terhitung
sejak tanggal 18 Maret 2020, termasuk juga permohonan penundaan
35 Mohamad Anwar, “Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah PSBB Pandemi
corona”, (ADLAH Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol.4 no.1. 2020), h. 102.
36 Zuhri. M, Covid 19: Asimilasi dan Integrasi, Tata Laksana Permenkumham No. 10
Tahun 2020, diakses melalui: https://lampung.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/penyuluhan-
hukum/2884-covid-19-asimilasi-dan-integrasi-tata-laksana-permenkumham-no-10-tahun-2020.
Pada: 16 Maret 2021.
28
kegiatan sidang yang harus dihadiri tahanan. Selanjutnya, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020
tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui
Asimilasi dan Integrasi dan mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian
Asimilasi dan Hak Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan
Perundang-Undangan. Pasal 5 Undang-Undang tersebut menetapkan
pembentukan peraturan Perundang-Undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang baik,
meliputi: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan,
kedayagunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 Huruf d Undang-Undang
tersebut ditegaskan apa yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan”
bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang- undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kemudian pada Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang tersebut, diatur bahwa
rancangan Undang- Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden, atau Dewan Perwakilan Daerah harus disertai naskah akademik.
Bila kodifikasi dan tata cara pembuatan Undang-Undang merujuk
kepada amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang
No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dan mempertimbangkan aspek efektivitas di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Maka perlu kiranya suatu peraturan
Menteri yang secara hierarki berada dibawah Undang-Undang harus
mempertimbangkan hal yang sama dalam pembentukannya.
29
Secara aspek yuridis, Permenkumham No. 10 Tahun 2020 mengacu
pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang telah beberapa kali
mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012,
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu,
Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan Keputusan
Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19), Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia No. 03 Tahun 2018 jo. Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia No. 18 Tahun 2019 jo. Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia No. 6 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang
Bebas dan Cuti Bersyarat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 282), Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 29
Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan tersebut diberlakukan
dengan pertimbangan wabah virus Covid-19 ditetapkan sebagai bencana
Nasional non-alam dan karena Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah
institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sangat rentan terpapar
virus Covid-19, sehingga dilakukan untuk upaya untuk menyelamatkan
tahanan maka perlu dilakukan pengeluaran dan pembebasan melalui
program asimilasi dan integrasi upaya penanggulangan wabah virus Covid-
19 di ruang lingkup lembaga pemasyarakatan.37
37 Lihat konsideran “Menimbang” Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020.
30
Termaktub secara jelas dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020
di dalam Bab III diberi judul pemberian pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan cuti bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak
pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan
hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan trans nasional terorganisasi,
warga negara asing. Sebagaimana yang tertera dalam judul tersebut
dijelaskan bahwasanya program asimilasi tidak diperuntukkan kepada
semua narapidana, melainkan ada beberapa golongan dari tindak pidana
tertentu yang tidak dapat menikmati program asimilasi tersebut. Hemat
penulis kebijakan yang dikeluarkan Permenkumham No. 10 Tahun 2020
tidak sejalan dengan apa yang ada di dalam Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, yang telah dirubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
No. 99 Tahun 2012.
Menanggapi hal ini Yasonna H. Laoly, selaku Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, menyampaikan keinginannya dalam dengar pendapat
bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 1 April 2020, untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan yang mengatur perihal pemberian remisi. Sebagaimana
yang termaktub dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012
menetapkan narapidana mendapatkan remisi dengan syarat berkelakuan
baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan. Dalam hal ini
pemerintah tidak memberlakukan pemberian remisi melalui penerapan
program asimilasi dan integrasi kepada narapidana teroris, narapidana
koruptor dan narapidana narkotika.
Tentunya Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 ini justru
memperketat aturan tentang yang ada terkait pemberian remisi, asimilasi
dan pemberian bebas bersyarat bagi narapidana terorisme, narkotika dan
prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
31
negara, kejahatan HAM yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya, dengan beberapa syarat:
1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana korupsi.
3. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta
menyatakan ikrar untuk setia terhadap NKRI dan janji tidak akan
mengulangi lagi perbuatannya.
4. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika hanya berlaku
terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 tahun.
Dalam hal ini perubahan yang diusulkan terdiri dalam empat hal,
yaitu pengecualian kepada: Pertama, warga binaan narkotika yang memiliki
masa hukuman 5 sampai 10 tahun dan setidaknya telah menjalani 2/3 dari
masa tahanannya, diberikan kebijakan untuk melaksanakan asimilasi di
rumah, jumlahnya diperkirakan mencapai angka 15.442 orang. Kedua,
pemberian kebebasan kepada warga binaan tindak pidana korupsi yang
berusia di atas 60 tahun dan setidaknya telah menjalani 2/3 masa hukuman,
jumlahnya ada sekitar 300 orang. Ketiga, pembebasan untuk warga binaan
tindak pidana khusus yang tengah mengalami penyakit kronis, setidaknya
telah menjalani 2/3 masa hukuman. Keempat, pembebasan bagi warga
binaan dari Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 53 orang yang tengah
menjalani masa hukuman di penjara Indonesia.38 Tentunya hal ini banyak
38 Tubagus Achmad, ed. Nurlayla Ratri, “Tidak Merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012,
Pemerintah Tak Beri Remisi Napi Koruptor, Teroris dan Narkoba”, JatimTimes.com, 05 April 2020.
https://www.jatimtimes.com/baca/212170/20200405/113800/tidak-merevisi-pp-nomor-99-tahun-
2012- pemerintah-tak-beri-remisi-napi-koruptor-teroris-dan-narkoba, diakses 06 Desember 2020.
32
menuai kritikan tajam, terkhusus revisi yang akan memberikan pembebasan
kepada narapidana tindak pidana korupsi.
Secara aspek filosofis, dilihat dari putusan hakim yang menjatuhkan
suatu pidana kepada terdakwa sejatinya tidak dimaksudkan untuk
merendahkan martabat manusia. Sekalipun putusan itu merampas suatu
kebebasan narapidana akan tetapi sejatinya putusan yang dikeluarkan oleh
hakim tidak menjadikan warga binaan kehilangan hak-hak asasinya yang
lain. Sejatinya penjatuhan suatu putusan pidana bertujuan untuk:
1. Langkah pencegahan dilakukannya tindak pidana dengan penegakan
norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan dan pembimbingan
yang bertujuan menjadi pribadi yang baik dan berguna setelah
menjalani masa binaannya.
3. Menyelesaikan suatu konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana,
hal ini bertujuan untuk memulihkan keseimbangan, serta
mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.
4. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.
Kondisi lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas membuat
warga binaan sangat rentan terinfeksi virus Covid-19, hal ini tentu dapat
menyebabkan tujuan pembinaan warga binaan tidak dapat tercapai. Karena
gagalnya suatu proses rehabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan
dengan melihat potensi dapat terjadinya kematian massal. Hal ini tentu
menciderai dan merendahkan martabat narapidana sebagai manusia.
Membiarkan terjadinya over capacity saja jelas sudah menciderai martabat
kemanusiaan, apalagi bila lembaga pemasyarakatan berubah menjadi
kuburan massal akibat wabah Covid-19.
Tercatat sejak 30 Maret 2020 sampai dengan Agustus 2020, sudah
40.388 (empat puluh ribu tiga ratus delapan puluh delapan) warga binaan
yang dibebaskan. Terdiri dari 37.790 melalui program asimilasi dan
sebanyak 783 adalah narapidana anak. Sedangkan dalam program integrasi
33
terdiri dari 1776 warga binaan dan 39 sisanya adalah anak. Program
asimilasi dan integrasi ini akan terus berlangsung sampai berhentinya status
kedaruratan wabah virus Covid-19 di Indonesia. Sebagaimana penerimaan
asimilasi dan integrasi ini diberikan kepada narapidana yang sudah
menjalankan 2/3 masa pidananya sedangkan untuk anak ½ dari masa
pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Namun program
asimilasi tersebut tidak berlaku kepada narapidana yang melakukan tindak
pidana luar biasa seperti terorisme dan korupsi.39
Dikeluarkannya kebijakan ini bukan tanpa adanya alasan dan
pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, melainkan dengan
banyaknya pertimbangan di berbagai aspek, baik di dalam aspek
kemanusiaan dan social terkait kondisi lapas yang melebihi kapasitas dan
sangat tidak layak dihuni. Dimana di dalam satu selnya para warga binaan
saling berhimpitan satu sama lainnya yang menjadi momok menakutkan
bagi para narapidana dalam menyebar luasnya wabah virus Covid-19 di
dalam tahanan, apalagi banyak narapidana yang sudah berusia diatas 60
tahun dan sudah melaksanakan 2/3 masa tahanannya. Poin-poin diatas juga
lah yang menjadi pertimbangan Menteri Hukum dan HAM Republik
Indonesia, Yasona Laoly dalam melakukan asimilasi massal di tengah
pandemi Covid-19 di tanah air.40
Akan tetapi upaya penanggulangan wabah Covid-19 yang dilakukan
oleh pemerintah banyak menuai permasalahan baru, dari meningkatnya
angka kejahatan selama diterapkannya PSBB yang mencapai sebelas persen
peningkatan angka kejahatannya. Ironisnya kejahatan yang ada selama
PSBB berlangsung pelakunya kebanyakan merupakan para mantan eks
warga binaan yang baru saja dikeluarkan pada 30 Maret 2020 lewat program
asimilasi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM, yang
39 Hisyam Ikhtiar, “Analisi kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana di masa covid-
19” (Jakarta: LBHM IDPC, 2020), h. 12. 40 Nur Rohim Yunus, “Kebijakan covid-19 bebaskan narapidana dan pidanakan pelanggar
PSBB”, (ADALAH bulletin hukum dan keadilan, Vol. 4 Nomor 1 T.2020), h. 2-3.
34
kebanyakan pelakunya berulah kembali karena faktor ekonomi dan lain
sebagainya.41
B. Kebijakan Pembebasan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Permenkumham No.10 Tahun 2020 Melalui Program
Asimilasi.
Sebagai salah satu upaya pencegahan dan penyelamatan warga binaan
dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA), dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dari
penyebaran COVID-19, dilaksanakan pengeluaran dan pembebasan melalui
program asimilasi. Kebijakan ini termaktub dalam Permenkumham No.10
Tahun 2020 di dalam Bab II yang di dalamnya membahas pemberian
asimilasi bagi narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang
berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, warga negara asing.
Pertimbangan Permenkumham 10 Nomor 10 Tahun 2020 dikeluarkan
Menkumham Yasonna Laoly karena menimbang beberapa hal diantarnya
adalah:
1. Bahwa Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak,
dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah institusi tertutup yang
memiliki tingkat hunian tinggi, sangat rentan terhadap penyebaran dan
penularan Covid-19.
2. Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana Nasional non-alam, perlu
dilakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan terhadap tahanan
dan warga binaan pemasyarakatan yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah
Tahanan Negara.
41 Mohamad Anwar, “Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah PSBB Pandemi
corona”, (ADLAH Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol.4 no.1. 2020), h.102.
35
3. Bahwa untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana dan
anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan
Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, perlu dilakukan
pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi untuk
pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam poin
satu, dua, dan tiga, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak
Integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19 di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Asimilasi sendiri adalah proses pembinaan narapidana dan anak yang
dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak dalam kehidupan
masyarakat. Program ini terdiri dari cuti mengunjungi keluarga yakni,
program pembinaan untuk memberikan kesempatan kepada narapidana dan
anak untuk berasimilasi dengan keluarga dan masyarakat.
Pada pasal 2 ayat 1 Bab ini dijelaskan bahwasanya asimilasi narapidana
dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan Bapas.
Kemudian pada ayat 2, narapidana yang dapat diberikan asimilasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi beberapa syarat
diantaranya berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani
hukuman disiplin dalam kurun waktu enam bulan terakhir, kedua aktif
mengikuti program pembinaan dengan baik, dan ketiga telah menjalani
minimal 1⁄2 (setengah) masa pidananya.
Sedangkan di dalam pasal 3 ayat 1 asimilasi anak dilaksanakan di rumah
dengan pembimbingan dan pengawasan Bapas. Kemudian pada ayat 2
menjelaskan kriteria dan syarat bagi anak yang dapat diberikan asimilasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Diantaranya adalah berkelakuan baik
yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam
kurun waktu tiga bulan terakhir, kedua aktif mengikuti program pembinaan
36
dengan baik, dan ketiga telah menjalani masa pidana paling singkat tiga
bulan.
Selain itu Pada pasal 4 syarat pemberian asimilasi sebagaimana
dimaksud Permenkumham No.10 Tahun.2020 Pasal 2 dan Pasal 3
dibuktikan dengan melampirkan beberapa dokumen seperti Foto kopi
kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan,
bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan atau melaksanakan subsider pengganti denda dijalankan
di rumah dalam pengawasan oleh Kejaksaan dan Balai Pemasyarakatan.
Kemudian melampirkan laporan perkembangan pembinaan yang
ditandatangani oleh Kepala Lapas, salinan register F dari Kepala Lapas,
salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas, dan surat pernyataan dari
narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum.
Tata cara pemberian asimilasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5
ayat 1 dijelaskan bahwasanya pemberian asimilasi dilaksanakan melalui
sistem informasi pemasyarakatan. Lalu pada ayat 2 dijelaskan tentang
sistem informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi. Antara unit
pelaksana teknis pemasyarakatan, Kantor wilayah, dan Ditjen PAS.
Kemudian pada ayat 3 dalam hal pemberian asimilasi melalui sistem
informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kebijakan ini
tidak dapat dilakukan oleh Kepala lapas/LPKA terkait memberikan
asimilasi secara manual, lebih lanjut pada pasal 6 diatur tatacara petugas
pemasyarakatan mendata narapidana dan anak dalam mendapat hak
asimilasi dan hak integrasi.
Pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan petugas pemasyarakatan mendata
narapidana dan anak yang akan diusulkan mendapatkan asimilasi.
Kemudian pada ayat 2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan terhadap syarat pemberian asimilasi dan kelengkapan dokumen.
37
Dan pada ayat 3 kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2
wajib di mintakan setelah tujuh hari narapidana dan anak berada di
Lapas/LPKA. Sementara itu, pada ayat 4 mengenai kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib dipenuhi paling lama pertama 1/3
masa pidana sejak narapidana berada di Lapas. Adapun 3 bulan sejak anak
berada di LPKA.
Selain itu pada Pasal 7 ayat 1 mengatur tim pengamat pemasyarakatan
Lapas/LPKA merekomendasikan usulan pemberian asimilasi bagi
narapidana dan Anak kepada Kepala Lapas/LPKA berdasarkan data
narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat. Sebagaimana bunyi ayat
2, dalam hal Kepala Lapas/LPKA menyetujui usulan pemberian asimilasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Kepala Lapas/LPKA menetapkan
pemberian asimilasi. Selanjutnya pada ayat 3, dalam hal Kepala
Lapas/LPKA menerbitkan surat keputusan secara manual. Maka Kepala
Lapas/LPKA mengirimkan salinan keputusan dan rekapitulasi kepada
kantor wilayah yang kemudian kantor wilayah mengirimkan salinan
keputusan dan rekapitulasi Lapas/LPKA kepada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, seperti bunyi yang tertera dalam pasal 7 ayat 4.
Adapun pada Pasal 8 Bab II Permenkumham No. 10 Tahun. 2020 bagian
ketiga tata cara pemberian asimilasi. Bunyi pasal tersebut, bahwa
narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika, psikotropika hanya berlaku pada narapidana yang
dipidana dengan pidana penjara di bawah 5 tahun.
A. Kebijakan Pembebasan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 Melalui Program Integrasi.
Sebagai salah satu upaya pencegahan dan penyelamatan warga binaan
dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA), dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dari
penyebaran Covid-19, dilaksanakan pengeluaran dan pembebasan melalui
38
program integrasi. Kebijakan ini termaktub dalam Permenkumham NO.10
Tahun 2020 didalamnya membahas pemberian pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan cuti bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak
pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan
hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi,
warga negara asing.
Integrasi sendiri terdiri dari pembebasan bersyarat, cuti menjelang
bebas, dan cuti bersyarat adalah program pembinaan untuk
mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat
setelah memenuhi beberapa persyaratan dan kriteria yang telah ditentukan.
Perihal pemberian pembebasan integrasi bagi narapidana yang melakukan
tindak pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor
narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan
kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi, warga negara asing.
Pada Pasal 9 bagian kesatu umum menjelaskan pembebasan bersyarat
dan cuti menjelang bebas dapat diberikan kepada narapidana yang telah
memenuhi beberapa syarat diantaranya:
1. Telah menjalani masa pidana paling se singkat-singkatnya 2/3 (dua per
tiga), dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut, dan paling sedikit 9
bulan.
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sesingkat-singkatnya
9 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana.
3. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat.
4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana
selama narapidana dalam masa binaan.
39
Lalu pada Pasal 10 Pemberian Cuti Bersyarat dapat diberikan kepada
narapidana yang telah memenuhi beberapa syarat. Ada 4 syarat harus
dimiliki narapidana tersebut diantaranya:
1. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3, dengan ketentuan 2/3
masa pidana tersebut paling sedikit 6 bulan.
2. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 6 bulan
terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana.
3. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat.
4. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana
selama narapidana dalam masa binaan.
Sedangkan pada Pasal 11 dijelaskan, pembebasan bersyarat dapat
diberikan kepada anak yang sedang menjalani pidana penjara di LPKA yang
telah memenuhi kriteria:
1. Anak tersebut telah menjalani masa pidana paling sedikit 1/2 masa
pidana.
2. Anak itu berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat
3 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 1/2 masa pidana.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 yang berbunyi: Bahwa syarat
pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11
dibuktikan dengan kelengkapan beberapa dokumen.
1. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan.
2. Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala
Lapas/LPKA.
3. Salinan register F dari Kepala Lapas/LPKA.
4. Salinan daftar perubahan dari Lapas/LPKA.
40
5. Surat pernyataan dari narapidana/anak tidak akan melakukan perbuatan
melanggar hukum.
Sebagaiana yang tertera dalam Pasal 13 ayat 1 mengatakan pemberian
pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat
dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan. Lalu pada ayat 2,
sistem informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit
Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Ditjen PAS.
Pada Pasal 14 ayat 1, bahwa petugas pemasyarakatan mendata
narapidana dan anak yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti
Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB). Sedangkan pada ayat 2,
pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap syarat
pemberian PB, CMB, dan CB dan kelengkapan dokumen.
Kemudian dijelaskan Pada pasal 15 ayat 1 bahwa Tim pengamat
pemasyarakatan Lapas/LPKA merekomendasikan usul pemberian PB,
CMB, dan CB bagi narapidana dan anak kepada Kepala Lapas/LPKA,
berdasarkan data narapidana dan anak yang telah memenuhi persyaratan.
Sementara itu, pada pasal 15 ayat 2 disebutkan dalam hal Kepala
Lapas/LPKA menyetujui usul pemberian PB, CMB, dan CB sebagaimana
dimaksud pada ayat 1. Kepala Lapas/LPKA menyampaikan usul pemberian
PB, CMB, dan CB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Kantor Wilayah. Kemudian di verifikasi oleh Dirjen PAS Verifikasi
PB, CMB, dan CB Narapidana-Anak. Hal ini dijelaskan di Pasal 16 bahwa
Direktur Jenderal PAS melakukan verifikasi usul pemberian PB, CMB, dan
CB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2.
Mekanisme selanjutnya sebagaimana yang tertera pada pasal 17 ayat 1,
dalam hal Direktur Jenderal PAS menyetujui usul pemberian PB, CMB, dan
CB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Direktur Jenderal atas Nama
Menteri menetapkan keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti
41
Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Masih di dalam pasal 17 ayat 2,
Bahwa keputusan pemberian PB, CMB, dan CB sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 disampaikan kepada Kepala Lapas/LPKA. Untuk diberitahukan
kepada narapidana atau anak dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Wilayah. Sedangkan di dalam pasal 17 ayat 3, diatur keputusan pemberian
PB, CMB, dan CB sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dicetak di
Lapas/LPKA. Dengan tanda tangan elektronik Direktur Jenderal atas Nama
Menteri.
Selanjutnya pada pasal 18, 19, dan 20 diatur sikap tanggung jawab
jajaran Ditjen PAS menjalankan Permenkumham No.10 Tahun. 2020. Pasal
18 berbunyi bahwa Kepala Lapas/LPKA bertanggung jawab terhadap
kebenaran, keabsahan dan kelengkapan dokumen usulan pemberian PB,
CMB, dan CB. Dibuktikan dengan surat pertanggungjawaban keabsahan
dokumen. Selanjutnya di dalam Pasal 19 berisi ketentuan bahwa Kepala
Bapas bertanggung jawab terhadap pembimbingan dan pengawasan
terhadap narapidana dana anak yang sedang menjalani PB, CMB, dan CB.
Kemudian Bunyi pasal 20, dalam hal Kepala Lapas/LPKA dan Kepala
Bapas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 tidak
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Menteri dapat menjatuhkan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada pasal 21 dan 22 mengatur ketentuan pemberian asimilasi, PB,
CMB, dan CB kepada narapidana di Lapas dan Rutan. Pasal 21 berbunyi
ketentuan mengenai pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan cuti bersyarat berlaku secara mutatis mutandis
terhadap narapidana yang berada pada rumah tahanan negara. Pasal 22
mengatur narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika. Hanya berlaku pada
narapidana yang dipidana dengan pidana penjara di bawah 5 tahun.
42
Sedangkan pada Pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat mengatur syarat
narapidana yang mendapat Permenkumham No.10 Tahun.2020 sampai
waktu berlakunya. Pada Pasal 23 ayat 1 berbunyi Peraturan Menteri ini
berlaku bagi narapidana yang tanggal 2/3 masa pidananya dan anak yang
tanggal 1⁄2 masa pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
Sedangkan pada ayat 2 berbunyi bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan dan berakhir sampai dengan masa kedaruratan
terhadap penanggulangan Covid-19 yang ditetapkan pemerintah berakhir.
43
BAB IV
KEBIJAKAN PERMENKUMHAM NO. 10 TAHUN 2020 DI MASA
PANDEMI COVID-19 DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Ketidaksesuaian Tujuan Permenkumham No. 10 Tahun 2020
Berdasarkan Fakta di Lapangan.
Kebijakan pembebasan warga binaan sendiri bertujuan untuk
menekan laju penyebaran Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan.
Dikarenakan Over Capacity dalam lembaga pemasyarakatan
memperlihatkan kekhawatiran dan bukan hal yang main-main. Jumlah lapas
dan rutan yang ada di Indonesia mencapai 528 dengan kapasitas sebanyak
130.512 orang. Sedangkan jumlah penghuni lapas mencapai 269.846 orang,
hal tersebut mengakibatkan Over Capacity mencapai 107%.42
Warga binaan yang telah mendapatkan kebebasan di lembaga
pemasyarakatan melalui program asimilasi dan integrasi didasarkan pada
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. 10 Tahun
2020, pada akhirnya mereka akan kembali berbaur dengan masyarakat.
Namun pada kenyataannya masyarakat Indonesia sendiri terkadang kurang
bisa menerima keberadaan mereka kembali di lingkungannya. Hal ini
dikarenakan masyarakat khawatir terjadi tindak kejahatan kriminal terulang
lagi dilingkunganya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ulah warga
binaan melakukan kejahatan tindak kriminal yang dilakukan kembali oleh
para warga binaan.
Jenis kejahatan yang dilakukan pun beragam, berdasarkan
pemaparan pihak kepolisian sejumlah kasus kriminal seperti kekerasan,
pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor
(curanmor), penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, hingga pencabulan
42 Zuhri. M, Covid 19: Asimilasi dan Integrasi, Tata Laksana Permenkumham No 10
Tahun 2020, diakses melalui: https://lampung.kemenkumham.go.id/pusat-informasi/penyuluhan-
hukum/2884-covid-19-asimilasi-dan-integrasi-tata-laksana-permenkumham-no-10-tahun-2020.
Pada: 16 Maret 2021.
44
terhadap anak dan motifnya pun beragam, ada yang sakit hati, ada narkoba
dan ada ekonomi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga pemuda yang terlibat kasus
pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) di wilayah hukum Kepolisian
Resor Kota Manado. Dalam kasus tersebut, empat orang diamankan, yakni
AM (23), MM alias Fer (24), ES alias Erik (20) dan AR alias Rian (19).
Tiga nama terakhir merupakan warga binaan lembaga pemasyarakatan yang
mendapat asimilasi Covid-19. Keempatnya ditangkap berdasarkan laporan
polisi atas kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) yang terjadi di
beberapa tempat di Manado dan Minahasa. Modus operandi yang dilakukan
yakni pelaku mengincar sepeda motor dengan cara berkeliling di
pemukiman warga. Ketika mendapatkan target, pelaku mematahkan kunci
setang dan menyalakan sepeda motor dengan merusak kunci kontak. Empat
sepeda motor berhasil diamankan, dan para pelaku diancam dengan Pasal
363 ayat (2) dan Pasal 480 ayat (1) dengan hukuman maksimal tujuh tahun
penjara.
Selanjutnya di daerah Surabaya, dua orang eks warga binaan yang
baru bebas setelah mendapatkan program asimilasi, Bahri (25) dan Yayan
(23), kembali diamankan polisi karena terlibat dalam kasus penjambretan
yang terjadi di Jalan Darmo Surabaya. Kepada polisi mereka mengaku nekat
melakukan aksi penjambretan itu karena untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sementara itu di daerah Bali, seorang warga binaan yang baru bebas
juga ditangkap aparat karena menjadi kurir ganja. Di Makassar, seorang eks
warga binaan juga kembali ditangkap karena mencuri empat bungkus rokok
dan uang tunai Rp 150.000 di sebuah warung. Meski jumlahnya tidak
banyak, tetapi kelakuan sebagian eks warga binaan yang menerima program
asimilasi dan integrasi seolah tidak kapok dan hal inilah yang membuat
masyarakat geram. Ulah eks warga binaan yang ketahuan kembali menjadi
kurir narkoba hingga kelakuan napi yang terlibat dalam aksi penjambretan
di sejumlah lokasi, memang membuat banyak pihak was-was sekaligus
marah.
45
Contoh selanjutnya eks warga binaan yang kembali berulah
diantaranya seorang warga binaan asimilasi Lapas Kelas IIA Pontianak
berinisial GR berusia 23 tahun. Dilaporkan Antara, ia bersama dua
tersangka lain, MT dan ES, mencuri ponsel. "GR ini baru mendapat
asimilasi pada 6 April. Mulai 8 April atau dua hari setelah bebas sudah
mencuri lagi," kata Direktur Reskrimum Polda Kalbar Kombes Pol Veris
Septiansyah. GR tak hanya beraksi sekali, bahkan sampai empat pencurian
setelah bebas.
Lalu ada pula kasus pembobolan mini market di Duren Sawit,
Jakarta Timur yang dilakukan empat tersangka, salah satunya merupakan
eks warga binaan yang mengikuti program asimilasi. Residivis berinisial
AR (42) tersebut, tutup usia usai ditembak polisi di Tanjung Priok, Jakarta
Utara, empat hari setelah membobol mini market. Dia baru keluar dari lapas
di Bandung, sebelumnya (ditahan) di Salemba, kemudian dipindahkan ke
Bandung dan mengikuti program asimilasi.43
Contoh kasus lainnya adalah enam warga binaan asimilasi dari
Lapas Kelas II A Padang dan Lapas Kelas II B Pasaman Barat yang
kebanyakan melakukan tindak pidana pencurian. Pertama, YA (22). Ia
ditangkap pada 7 Mei di Depan SPBU Sawahan, Kecamatan Padang Timur,
Padang, karena diduga menjadi dalang sindikat pencurian kendaraan
bermotor dan serangkaian aksi pembegalan di Padang. Ia, yang dilepas dari
Lapas pada 2 April setelah menjalani hukuman dalam kasus pencurian,
kemudian ditembak polisi pada bagian kaki karena berupaya melarikan diri
sewaktu hendak ditangkap.
Kedua, Firdaus (26). Ia di ringkus sebab diduga mencuri gawai milik
tetangganya di Air Tawar Barat, Kecamatan Padang Utara, Padang, 14
April. Ketiga, Mardinata (26). Ia di ciduk pada 20 April lantaran diduga
mencuri hp di Plaza Andalas Padang. Ia ditembak polisi karena berupaya
melawan dan melarikan diri. beberapa waktu yang lalu.
43 https://tirto.id/eks-napi-program-asimilasi-jokowi-kembali-berulah-apa-penyebabnya-
ePvS,diakses pada: 9 februari 2021 18:00.
46
Ketiga, PD (33). Ia dibekuk pada 24 April karena diduga menusuk
seorang pemuda di bekas bangunan Matahari lama, Padang, 23 April.
Sebelumnya, dia menjalani hukuman dalam kasus pencurian laptop.
Keempat, NA (30). Ia ditangkap pada 30 April lantaran diduga
membakar rumah keluarga istrinya di Batipuh Panjang, Kecamatan Koto
Tangah, Padang. Ia bebas dari Lapas Kelas II B Pasaman Barat. Ia
merupakan residivis kasus narkoba dan pencurian sejak 2013. Dalam
rentang 2015 hingga 2019 ia terlibat dalam berbagai aksi pencurian.44
Kelima, tersangka bernama Haris Lubis (24), warga Jalan Denai Gg
Sugeng Nomor 4 Mandala Kecamatan Medan Denai terpaksa ditembak
polisi karena berusaha kabur. Ia, kembali berulah dengan merampok
seorang perempuan di jalan. Pelaku begal ini sendiri adalah warga binaan
dengan program asimilasi tanggal 14 April 2020 yang sebelumnya di
ringkus dengan kasus yang sama, peristiwa perampokan terjadi pada 2 Mei
2020 di Kompleks Perumahan Veteran Desa Medan Estate. Korban yang
dirampok bernama RH Kusuma warga Jalan Terusan Dusun II Bandar Setia
Kecamatan Percut Sei Tuan Deli Serdang.45
Selanjutnya untuk contoh kasus pembunuhan ada di daerah Medan,
polisi meringkus tiga orang tersangka kasus pembunuhan seorang pekerja
salon bernama Elvina (21) warga Jalan Pukat, Kecamatan Percut Seituan.
Jenazah Elvina ditemukan dalam kondisi terbakar dan di mutilasi lalu
dimasukkan ke dalam kardus. Dalam kasus ini dua tersangka adalah eks
warga binaan yang baru dibebaskan lewat program asimilasi yakni J (22)
warga jalan Duku, Komplek Cemara Asri, Kecamatan Percut Seituan dan
M (22) warga Jalan Tembung. Kemudian tersangka lain berinisial TS (56)
yang merupakan ibu dari tersangka, J.46
44 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200509221641-12-501666/ulah-enam-napi-
asimilasi-di-padang-begal-hingga-bakar-rumah/diakses pada: 7 Februari 2021 19:00.
45 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200508164207-12-501392/merampok-lagi-
usai-bebas-napi-asimilasi-didor-di-medan/ diakses pada: 8 februari 2021.
46 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200508181209-12-501440/napi-asimilasi-
di-medan-diduga-bunuh-dan-mutilasi-korbandiakses pada: 9 February 2021 22:00.
47
Sesuai instruksi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, warga
binaan yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas diancam
akan diberi sanksi berat. Jika napi yang mendapatkan kebebasan lebih awal
melalui program asimilasi berulah lagi, mereka diancam akan dimasukkan
ke straft cell (sel pengasingan). Bahkan saat selesai masa pidananya, mereka
juga diancam akan diserahkan ke polisi untuk diproses tindak pidana yang
baru.
Apakah ancaman hukuman yang berat itu efektif mencegah warga
binaan tidak mengulang kembali tindakan kriminal nya. Tampaknya tidak,
bagi sebagian eks warga binaan, berbagai ancaman hukuman yang lebih
berat tidak membuat mereka benar-benar jera. Ancaman hukuman yang
berat itu tidak membuat sebagian warga binaan berpikir ulang saat hendak
melakukan tindak kejahatan seperti sebelumnya.
Perlu Persiapan di tengah meluasnya wabah Covid-19 yang nyaris
tak terbendung, keputusan Kementerian Hukum dan Ham untuk
mempercepat pembebasan sejumlah warga binaan dengan pertimbangan
mengurangi risiko tertular virus Covid-19 sebetulnya patut di apresiasi.
Dasar memberikan asimilasi dan integrasi pada puluhan ribu warga binaan,
adalah alasan kemanusiaan terhadap penghuni lembaga pemasyarakatan
yang melebihi kapasitas di tengah pandemi Covid-19. Akan tetapi
masalahnya, sekadar membebaskan dan mengurangi jumlah warga binaan
yang Over Capacity di berbagai lembaga pemasyarakatan, tentu beresiko
menimbulkan masalah sosial baru jika tidak dipersiapkan langkah-langkah
antisipatif.
B. Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No. 10 Tahun
2020 Dalam Teori Maslahat.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Yasonna Laoly selaku Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia salah satu alasan dikeluarkannya
Permenkumham No. 10 Tahun 2020 adalah aspek kemanusiaan. Berbicara
kemanusiaan tentu saja berbicara kemaslahatan umum, maka bagi penulis
48
teori Maslahat sangat relevan dipakai sebagai tolak ukur ketepatan
dikeluarkannya Permenkumham No. 10 Tahun 2020. Penulis mengambil
teori Maslahat sebagai tolak ukur suatu produk hukum yang melibatkan
kepentingan orang banyak.
Bila dilihat dari tingkatan-tingkatan maslahat yang ada dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 di dalam hukum islam penulis merujuk
kepada kacamata teori Maslahah dharuriyah (primer), Maslahah Hajiyyah
(sekunder), dan Maslahah Tahsiniyah (penyempurna). Pertama adalah
tingkatan maslahah dharuriyah yang cakupannya bersifat esensial bagi
kehidupan manusia, maka dari itu mutlak adanya terwujud kehidupan
manusia yang maslahat baik urusan ukhrowi maupun duniawi, maslahah ini
mencakup dari kelima unsur Maqashid al-Syari’ah. Bila dilihat dari
tingkatan maslahah dharuriyah dapat dilihat jelas bahwasanya
Permenkumham No.10 tahun 2020 sepenuhnya harus memenuhi kelima
unsur dalam Maqashid al-Syari’ah yakni memelihara Agama, Jiwa, Akal,
Keturunan, dan Harta.
Sedangkan menurut analisis penulis tidak adanya pertimbangan
kelima unsur menjaga Maqashid al-Syari’ah di dalam kebijakan
Permenkumham No.10 Tahun 2020, karena warga binaan yang dikeluarkan
melalui program asimilasi dan integrasi dikhawatirkan akan mengancam
kelima unsur yang ada di dalam Maqashid al-Syari’ah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan data yang disajikan penulis di dalam poin A, dimana eks
warga binaan banyak yang berulah kembali dan membuat resah masyarakat.
Kedua Maslahah Hajiyyah ialah segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan pokok manusia dalam hidupnya, agar hidup bahagia dan
sejahtera di dunia maupun di akhirat sehinga terhindar dari kemelaratan.
Lebih tepatnya maslahat ini diperuntukkan hanya untuk mengurangi
kesulitan yang ada pada manusia pada dirinya sendiri. Bila dilihat dari
Maslahah Hajiyyah terlihat jelas bahwasanya hadirnya Permenkumham No.
10 tahun 2020 harus memeper timbangkan unsur materil sebagaimana yang
termaktub dalam Maqashid al-Syari’ah.
49
Sedangkan menurut analisis penulis kebijakan yang ada didalam
Permankumahm No.10 Tahun 2020 belumlah mempertimbangkan aspek
materil yang ada, baik untuk keberlangsungan hidup warga binaan pasca
keluar dari lembaga pemasyarakatan maupun keselamatan materil bagi
masyarakat yang ada diluar lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan minimnya lapangan pekerjaan di tengah anjloknya
ekonomi di masa pandemic Covid-19 yang menjadi salah satu pemicu
warga binaan nekat berulah kembali untuk memperjuangkan kelangsungan
hidupnya. Selain itu tidak adanya tabungan yang disiapkan warga binaan
pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan.47 Hal ini juga didukung
dengan catatan Polri Kombes Ahmad Ramadhan melalui telekonferensi,
hari selasa tanggal 12 Bulan Mei Tahun 2020 tercatat sebanyak 106 warga
binaan yang dikeluarkan melalui program asimilasi dan integrase berulah
kembali dalam aksi kejahatan.
Tingkatan ketiga adalah Maslahah Tahsiniyah yang mencakup
kebutuhan hidup manusia sebagai pelengkap dan untuk lebih
menyejahterakan kehidupan manusia. Namun sejatinya jika maslahat ini
tidak terpenuhi tidak akan menimbulkan suatu kemudharatan dan
kebinasaan hidup. Kendati demikian Permenkumham No. 10 Tahun 2020
harus mempertimbangkan kemuliaan akal, akhlak, dan tata tertib pergaulan
(muamalah).48
Sedangkan menurut analisis penulis kebijakan yang diatur dalam
Permenkumham No. 10 Tahun 2020 justru akan merusak akhlak, akal dan
pergaulan warga binaan yang sudah dibina di dalam lembaga
pemasyarakatan. Dengan dibaurkan nya warga binaan secara massal di
lingkungan masyarakat yang belum siap menerima kehadiran warga binaan
dengan tanpa disediakannya lapangan pekerjaan untuk mereka, besar
kemungkinan mereka akan kembali terjebak di dalam tekanan yang sama
47Annissha Azzahra Wurnasari, Marshela Duta Larasati, Regita Fortunata, Aris Prio Agus
Santoso, Dampak Asimilasi Narapidana Terhadap Maraknya Kriminalitas Di Tengah Pandemi
Covid-19, Seminar Nasional & Call For Paper, Hubisintek. 2020, h. 23-24.
48 Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh, (Makasar: Yayasan al-Ahkam:1998) h.1.
50
karena dipaksa bersaing dengan masyarakat untuk melangsungkan
kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kasus warga binaan yang
berulah kembali bersama rekannya yang dulu pernah bebas dan
melaksanakan aksi tindak kriminal yang sama.
C. Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No. 10 Tahun
2020 Dalam Teori Adhororu Yuzalu.
Adhororu Yuzalu memiliki arti dalam bahasa Indonesia:
“Kemudaratan itu hendaklah dihilangkan”. Di dalam kaidah ini tentunya
banyak kaidah yang dihasilkan. Kaidah-kaidah yang dihasilkan dari kaidah
ini sangatlah penting untuk dijadikan tolak ukur pertimbangan hukum
Permenkumham No.10 Tahun 2020, khusunya dalam menghindari
bermacam-macam kemudharatan yang ada dalam Permenkumham No.10
Tahun 2020 yang berimplikasi langsung ke dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karenanya, penulis akan meneliti pertimbangan kebijakan yang ada
dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020 dengan kaidah-kiadah Adhororu
Yuzalu yang selaras dengan objek penelitain yang ada.
Di dalam Kaidah Ad’ Dhororu La’ Yuzalu Bi Ad-Dhorori dijelaskan
bahwasanya suatu kemudhorotan tentunya tidak boleh dicegah dengan suatu
kemudhorotan lainnya. Dari landasan kaidah ini dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya kemudhorotan yang ada dalam masalah over capacity, yang
dikhawatirkan akan mempermudah penyebaran wabah Covid-19 di dalam
lembaga pemasyarakatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan
dikeluarkannya warga binaan dalam program asimilasi dan integrasi yang
kedudukannya menimbulkan suatu ancaman yang baru bagi masyarakat
dalam konteks maqhashid al-syari’ah yang meliputi pemeliharaan Agama,
Jiwa, Akal, Keturunan, dan Harta. Hal ini juga diperkuat oleh kaidah dar’u
al-mafasid mukoddamu ala jalbi al-masolih yang mana subtansi di
dalamnya mengedepankan pencegahan kemudhorotan daripada
mendatangkan suatu kemaslahatan. Kemudian dipertegas dalam kaidah iza
ta’arodho mafsadani ru’iyya adzohuma dhororon bi irtika’bi akhofihima
51
yang mana subtansi di dalamnya menyarankan untuk memilih dampak
kemudhorotan yang lebih kecil dampak dan risikonya.
Selain itu warga binaan yang menerima program asimilasi dan
integrasi tentunya tidak menutup kemungkinan bisa terpapar virus Covid-
19, bahkan risiko terpapar nya warga binaan akan jauh lebih besar
dibandingkan mereka yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Karena mereka tentunya akan lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat
dibandingkan di dalam lembaga pemasyarakatan. Tentunya hal ini
merupakan suatu permasalahan yang baru yang ditimbulkan dari kebijakan
yang termaktub dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020.
Menurut analisis penulis dari temuan kasus yang ada selama
berlangsungnya program asimilasi dan integrasi di masa pandemic Covid-
19, exs warga binaan lebih cenderung menimbulkan permasalahan baru dan
meningkatkan catatan kriminalitas berbanding terbalik sebelum
dilaksanakannya program asimilasi dan integrasi secara massal di tengah
pandemic Covid-19. Hal ini dapat dibuktikan dengan catatan tindak
kejahatan di Indonesia pada Maret 2020 mengalami kenaikan sebanyak
11,08% pasca pembebasan napi dalam program asimilasi.49
Jadi sebisa mungkin kemudhorotan yang ada dalam setiap kebijakan
yang diambil oleh pemerintah hendaknya dapat meminimalisir dampak
kemudhorotan yang ada. Hal ini diperjelas dalam kaidah Ad’Dhororu
Yudhfau Biqodhri Al-Imkani. Subtansi yang ada dalam kaidah ini adalah
sebisa mungkin kemudhorotan harus dicegah.
D. Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No.10 Tahun
2020 Dalam Teori Pemidanaan.
Bila dilihat dari Teori Pemidanaan, sistem pemasyarakatan yang ada
adalah beberapa rangkaian dari bentuk penegakan hukum yang bertujuan
agar warga binaan dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
49 https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/307145/polisi-data-napi-penerima-
program-asimilasidiakses pada: 15 February 2021 22:00.
52
dengan harapan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali kedalam ruang lingkup masyarakat, dapat turut aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup kembali secara wajar sebagai Warga
Negara yang baik dan bertanggung jawab.50 Sebagaimana yang termaktub
dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, sudah tepat bila narapidana disebut sebagai “warga
binaan.”
Jika tidak ada upaya yang dianggap cukup untuk melakukan
pencegahan penularan virus Covid-19, hal ini akan mencederai Pasal 1
angka 5 Undang-Undang No.12 Tahun 1995, dimana narapidana bukan lagi
warga binaan tetapi menjadi warga pembinasaan. Jika hal ini tidak ditangani
secara serius tentunya dapat dianggap penambahan hukuman tambahan bagi
narapidana (over punishment), bentuk hukuman penjara yang sedang
dijalani seakan-akan ditambah dengan hukuman psikologis berupa teror
penyakit dan kematian.
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, termaktub bahwasanya warga binaan bukan saja objek
melainkan juga subjek yang jelas tidak ada bedanya dari manusia lainnya
yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat
dikenakan hukuman pidana, sehingga tidak harus diberantas. Sebagaimana
mestinya hal yang harus diberantas adalah faktor- faktor yang menjadi
penyebab warga binaan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan pidana.
Pemidanaan sendiri adalah suatu upaya untuk menyadarkan warga
binaan agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikan fitrahnya sebagai
warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-
nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga akan tercapai suatu kehidupan
masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Dimana lembaga pemasyarakatan
50 konsideran Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
53
lah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman dan
pembinaan untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi,
dan terintegrasi sebagaimana yang dijelaskan di dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Karena besar
kemungkinan warga binaan akan berubah di dalam proses pembinaan
lembaga pemasyarakatan sehingga setelah selesai menjalani hukumannya,
warga binaan akan menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini
tentu tidak akan pernah tercapai bila di lembaga pemasyarakatan terjadi
wabah penyakit, bukan hanya karena wabah Covid-19 saja, tetapi juga
karena semua jenis wabah penyakit, yang harus dihindarkan terjadi di
lembaga pemasyarakatan.
Namun pada kenyataannya kebijakan yang diambil pemerintah
melaui program asimilasi dan integrasi secara massal di dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 kurang efektif dalam penanggulangan
wabah Covid-19 bagi warga binaan. Bahkan terkesan hanya mengambil
jalan pintas dan membiarkan warga binaan berkeliaran di tengah wabah
Covid-19 tanpa mempertimbangkan tujuan pemidanaan yang mana warga
binaan seharusnya dibina agar menyesali perbuatannya agar tercapai suatu
kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Hal ini dapat
dibuktikan dengan banyaknya warga binaan yang kembali berulah pasca
menerima program asimilasi dan integrasi.
E. Pertimbangan Kebijakan Penerbitan Permenkumham No.10 Tahun
2020 Dalam Teori Rehabilitasi.
Rehabilitasi sering disebut sebagai teori reparasi dan dapat
didefinisikan sebagai pemulihan kepada keadaan, nama baik yang semula,
perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas orang-perorangan
atau individu agar menjadi manusia atau pribadi yang berguna dan memiliki
kedudukannya kembali di masyarakat.51
51 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, (Jakarta, Cet. 3, Edisi Ketiga, 2005), h. 940
54
Oleh karena itu penulis mengadopsi teori rehabilitasi sebagai pisau
penelitian untuk menganalisis kebijakan Permenkumham No. 10 Tahun
2020 apakah bisa dikatakan sebagai kebijakan yang tepat guna memberikan
rehabilitasi kepada warga binaan lembaga pemasyarakatan.
Bila dilihat dari teori tujuan rehabilitasi, Permenkumham No.10
Tahun 2020 di dalam batang tubuh kajian konsideran yang termaktub, tidak
samasekali mempertimbangkan asas tujuan dilaksanakannya rehabilitasi
warga binaan, tetapi hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Hal ini
jelas membuat Permenkumham No.10 Tahun 2020 terlihat lemah dari segi
pembinaan warga binaan, sebagai mana pelaksanaan pembinaanya di dalam
lapas saja masih dinyatakan kurang efektif untuk meningkatkan mental,
spiritual dan Moral warga binaan. Kurangnya pertimbangan hal-hal ini di
dalam Permenkumham No.10 Tahun 2020 seakan menjadi bukti kegagalan
produk hukum yang ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya warga
binaan yang kembali berulah karena masih kurangnya binaan mental,
spiritual dan akhak.
Kemudian bila dilihat dari teori fungsi kelembagaan rehabilitasi
Permenkumham No. 10 Tahun 2020 seakan mengurangi tupoksi keempat
poin fungsi pembinaan lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan bersebrangannya teori pelaksanaan pembinaan sebagaimana yang
tertera di dalam pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 1, asimilasi warga binaan yang
seharusnya dibina di dalam lembaga pemasyarakatan dialihkan
pelaksanaannya menjadi di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan
Bapas.
Hal ini jelas sulit direalisasikan dan menurunkan kualitas pembinaan
yang biasanya dilakukan secara intens, dengan melihat lebih banyaknya
jumlah warga binaan yang dibebaskan tidak sebanyak tenaga pengawas
lembaga pemasyarakatan ditambah kendala sulitnya pengawasan di tengah
wabah Covid-19. Pemberian program asimilasi dalam Permenkumham No.
Lidya Suryati.W, “Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga
Permasyarakatan”, (Jurnal Negara Hukum, Vol.3, No.2, 2012), h. 206.
55
10 Tahun 2020 itu sendiri melemahkan proses pembinaan dan pengawasan
warga binaan sebagaimana yang termaktub di dalam fungsi lembaga
pemasyarakatan itu sendiri.
Selanjutnya di dalam teori Standard Minimum Rules for The
Treatment of Prisoners (SMR) dan Konsep Pemasyarakatan dijelaskan
tentang beberapa prinsip dasar mengenai perlakuan terhadap warga binaan
diatur dalam SMR diantaranya seperti: Pemisahan kategori dilakukan
dengan memperhatikan beberapa unsur dan klasifikasi, akomodasi, pakaian
dan tempat tidur yang layak, dan makanan setiap warga binaan harus
diberikan makanan bernilai gizi yang memadai untuk kesehatan dan
disajikan dengan baik.52
Analisis yang didapat dari teori SMR, Permenkumham No. 10
Tahun 2020 bukan lah sebuah jawaban relevan dari permasalahan yang ada
dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang statusnya mencapai
kapasitas berlebih atau biasa dikenal dengan istilah Over capacity.
Sedangkan di dalam konsideran yang termaktub dalam Permenkumham No.
10 Tahun 2020, belum membahas permasalahan inti yang ada dalam
lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Oleh karena itu penulis berasumsi
bahwasanya kebijakan pemerintah yang termaktub dalam Permenkumham
No.10 Tahun 2020 belumlah menjadi kebijakan yang tepat dalam
menanggulangi permasalahan yang ada.
Permenkumham No. 10 Tahun 2020 bila dilihat dari kacamata teori
konsep lembaga pemasyarakatan di Indonesia pun masih belum cukup
menjawab per masalahan dan probelmatika yang ada. Kerangka berfikir ini
Penulis dapatkan dari kacamata falsafah pembinaan warga binaan yang
dicetuskan oleh Sahardjo yang di dalamnya dirumuskan sepuluh Konsep
Pemasyarakatan, diantaranya yaitu:
Pertama, mengayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat
menjalankan peranannya sebagai warga negara yang baik dan berguna.
52 P.A.F. Lamintang dan theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika,2017) h. 35.
56
Bekal hidup ini tidak hanya berupa finansial dan materi, melainkan lebih
condong kepada bentuk menta, fisik (kesehatan), keahlian, keterampilan,
sehingga membuat orang yang sejatinya mempunyai kemampuan yang
potensial dan efektif bisa menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum
lagi dan berguna bagi pembangunan negara.
Sedangkan kebijakan yang termaktub dalam Permenkumham No.10
Tahun 2020 belumlah menjawab permasalahan yang ada, karena warga
binaan yang dikeluarkan dalam program asimilasi dan integrasi secara
massal belum lah terpenuhi unsur bekal hidup di dalamnya. Besar
kemungkinan warga binaan yang belum terpenuhi bekal hidupnya baik
secara finansial maupun materi akan kembali berulah pasca menerima
program asimilasi dan integrasi. Hal ini terbukti dengan banyaknya eks
warga binaan yang kembali berulah pasca menerima program asimilasi dan
integrasi yang termaktub dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020.
Kedua, menjatuhi hukuman pidana bukan sebagai tindakan balas
dendam dari negara. Satu-satunya derita yang boleh diambil dari narapidana
hanya kehilangan kemerdekaannya. Jadi sangatlah bertolak belakang
dengan kebijakan pemerintah yang diatur dalam Permenkumham No.10
Tahun 2020 jika satu-satunya hukum yang boleh diambil dari warga binaan
kemudian dikembalikan kembali. Tentu kebijakan ini terkesan menciderai
teori pemidanaan.
Ketiga, Untuk mencapai jalan menuju tobat, tidak dapat dicapai
dengan menggunakan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kebijakan
yang termaktub dalam Permenkumham No.10 Tahun 2020 belumlah
menjawab secara keseluruhan bila dilihat dari kacamata teori ini, bahkan
terkesan kontradiktif kedalam pencapaian kata tobat karena kurangnya
bimbingan dan pengawasan warga binaan diluar lembaga pemasyarakatan.
Oleh karena itu pemilihan warga binaan yang akan menerima program
asimilasi dan integrasi hendaknya terseleksi dari pemahaman dan
mengaplikasikan norma-norma hidup dan kehidupan, bukan dari aspek
kejahatan yang pernah diperbuatnya.
57
Keempat, negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih
buruk/jahat daripada sebelum masuk kedalam lembaga pemasyarakatan.
Oleh karenanya, kebijakan pemerintah yang diatur melalui Permenkumham
No.10 tahun 2020 harus menjadi pertimbangan yang matang terkait
keberlanjutan hidup warga binaan pasca keluar dari lembaga
pemasyarakatan. Menurut analisis penulis, kebijakan yang ada dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 sendiri sebagaimana yang termaktub
belum mempertimbangkan hal ini kedalam kebijakan yang diatur. Hal ini
dapat dibuktikan dengan warga binaan yang kembali berulah pasca
mendapatkan keringanan hukuman melalui program asimilasi dan integrasi.
Kelima, selama kehilangan kemerdekaan bergeraknya para warga
binaan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Arti tidak boleh diasingkan
dari teori ini adalah, bukan geographical atau physical tidak diasingkan,
hingga mereka tidak asing dari masyarakat dan kehidupan bermasyarakat.
Melainkan suatu sistem pemasyarakatan yang didasarkan pada pembinaan
yang community centered, serta berdasarkan inter-aktivitas dan
interdiciplinair approach antar unsur-unsur pegawai, masyarakat dan warga
binaan. Maka dengan diadakannya kebijakan pemerintah melalui program
asimilasi dan integrasi yang termaktub dalam Permenkumham No.10 Tahun
2020 secara langsung merusak sistem community centered yang
berdasarkan inter-aktivitas dan interdiciplinair approach.
Keenam, pekerjaan yang diberikan kepada para warga binaan tidak
boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan
negara sewaktu saja. Potensi kerja yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
haruslah dianggap sebagai satu potensi yang integral dengan potensi
pembangunan nasional. Sedangkan dalam kebijakan pemerintah yang
dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi yang termaktub dalam
Permenkumham No.10 Tahun 2020 hanya mengatur perihal kebebasan atau
pembauran warga binaan kedalam ruang lingkup masyarakat saja, tanpa
adanya pertimbangan perihal lapangan pekerjaan untuk warga binaan yang
mendapatkan program asimilasi.
58
Ketujuh, Pembinaan dan bimbingan harus berdasarkan norma-
norma yang ada pada Pancasila. Jika proses bimbingan sebagaimana yang
termaktub di dalam Permenkumham No. 10 Tahun 2020 belum samasekali
berpedoman kepada norma-norma yang ada dalam Pancasila, karena
menciderai beberapa norma yang ada dalam Pancasila itu sendiri. Hal ini
terlihat pada norma kemanusiaan yang adil dan beradab, dan norma keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang termaktub dalam sila ke dua dan
ke lima. Di dalam Permenkumham No.10 Tahun 2020 terlihat jelas pada
judul besar bab dua dan tiga yakni, pemberian asimilasi atau integrasi
(pemberian bebas bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat) bagi
narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme,
narkotika, dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisir, warga negara asing. Hal ini jelas
menciderai sila kedua, yang mana setiap manusia atau warga negara berhak
mendapatkan keadilan yang sama jika landasan dasar dikeluarkan kebijakan
ini berlandaskan asas kemanusiaan.
Kedelapan, setiap orang atau individu warga binaan adalah manusia
sehingga harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat.
Mengeluarkan warga binaan secara massal di dalam kondisi negara yang
sedang tidak stabil bukan termasuk kedalam perbuatan yang memanusiakan
manusia. Karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah seolah
mengkesampingkan hak warga binaan untuk hidup layak dan normal pasca
menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu kebijakan
yang diambil terkesan tidak relevan dan tidak menjadi solusi dengan
kebutuhan proses pembinaan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan.
Kesembilan, warga binaan hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaannya dalam waktu tertentu. Maka dari itu, perlu diusahakan
supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup
keluarga yang menjadi tanggungannya dengan disediakan pekerjaan
ataupun dimungkinkan bekerja dan diberikan upah dari setiap pekerjaannya.
59
Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga
pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun diberi kesempatan
kemungkinan mendapat pendidikan di luar Lembaga pemasyarakatan.
Di dalam konsep pemasyarakatan ini termaktub secara jelas
bahwasanya harus adanya jaminan pekerjaan dan pendidikan pasca
menyelesaikan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sedangkan
di dalam kebijakan Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tidak diatur dan
tidak memperhatikan aspek ini, bahkan Negara di claim bisa menghemat
anggaran pengeluaran negara sebesar 260 Miliar Rupiah. Sebagaimana
mestinya dengan dana sebesar ini seharusnya pemerintah dapat mendirikan
lembaga pemasyarakatan baru dan lebih layak guna mendukung proses
pembinaan bagi warga binaan.
Kesepuluh, untuk pembinaan dan bimbingan para warga binaan
maka perlu disediakan sarana yang diperlukan. Perlu didirikan LP-LP baru
yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan. Di dalam
teori konsep pemasyarakatan ini seolah mempertegas dan memperjelas
permasalahan yang ada sekaligus memperjelas langkah kebijakan yang
diambil pemerintah yang termaktub dalam Permenkumham No. 10 Tahun
2020 sangatlah tidak relevan dan tidak tepat dengan permasalahan yang ada.
Dalam menganalisa kebijakan Pemerintah terkait Permenkumham No.10
Tahun 2020 bahwasanya untuk menanggulangi over capacity dan
pencegahan perluasan wabah Covid-19 di ruang lingkup lembaga
pemasyarakatan adalah dengan memperlayak dan memperbanyak kembali
lembaga pemasyarakatan sebagaimana yang dijelaskan dalam teori
pemasyarakatan.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan hasil penelitian yang disusun secara
sistematis bab demi bab, maka penulis menarik beberapa kesimpulan
sebagai jawaban dari perumusan masalah sebagai berikut:
1. Di keluarkannya Permenkumham No.10 Tahun 2020 bila berkaca
pada tingkatan maslahat yang diukur dengan Maqashid al-Syari’ah,
Permenkumham No.10 Tahun 2020 belum menjadi solusi yang
tepat, karean selain sifat penanggulangannya yang sementara,
kebijakan yang ada tidak sejalan dengan Maslahah Dharuriyah,
Maslahah Hajiyyah, dan Maslahah Tahsiniyah dimana unsur
kemudhorotannya lebih besar daripada unsur kemaslahatannya. Hal
ini dikhawatirkan bisa mengancam pemeliharaan Agama, Jiwa,
Akal, Keturunan, dan Harta. Sebagaimana semestinya suatu produk
hukum seharusnya membawa kemaslahatan tanpa mengganggu
kemaslahatan orang lain.
2. Berdasarkan pada teori yang ada dalam Teori Adhororu Yuzalu
dapat ditarik kesimpulan umum bahwasanya Permenkumham No.10
Tahun 2020 lebih banyak mengandung unsur kemudhorotannya dari
pada mendatangkan suatu manfaat secara umum. Karena
kemudhorotan yang ada didalam lembaga pemasyarakatan bisa
diatasi dengan solusi lain yang lebih tepat dan di dalam hukum islam
tidak dibenarkan menyelesaikan suatu masalah dengan masalah
lainnya.
3. Secara aspek Yuridis Permenkumham No.10 Tahun 2020 mengacu
pada UU No. 12 Tahun 1995, UU No. 11 Tahun 2012, PP No. 32
Tahun 1999, PP No. 99 Tahun 2012, Perpres No. 44 Tahun 2015,
Perpres No. 17 Tahun 2018, Keppres No. 9 Tahun 2020, Keppres
61
No. 7 Tahun 2020, Permenkumham No. 03 Tahun 2018 jo.
Permenkumham No. 18 Tahun 2019 jo. Permenkumham No. 6
Tahun 2016, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
282, Permenkumham No. 29 Tahun 2015. Secara aspek filosofis
Permenkumham No.10 Tahun 2020 mengacu pada keselamatan
warga binaan yang rentan terpapar Virus Covid-19 karena kondisi
lapas yang Over Capacity, sehinga warga binaan yang sedang
menjalani hukuman masih harus menanggung tekanan psikologis
berupa teror penyakit dan teror kematian, maka warga binaan akan
dapat mengalami over punishment, dan istilah warga binaan pada
Pasal 1 angka 5 UU No.12 Tahun 1995 yang sejatinya harus dibina
dan di jaga hak asasinya sebagai manusia.
4. Dengan dikeluarkannya warga binaan bila dilihat dari kacamata
teori rehabilitasi, Permenkumham No. 10 Tahun 2020 bukanlah
suatu solusi. Karena warga binaan yang seharusnya dibina dan
diperbaiki kedalam kondisi yang jauh lebih baik di dalam lembaga
pemasyarakatan, harus dibiarkan berbaur secara massal di tengah
masyarakat. Hal ini tentu berakibat akan kurangnya pengawasan
warga binaan secara intens yang membuat warga binaan kembali ke
dalam jeratan kriminalitas bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan, antara lain:
1. Pemberian asimilasi dan integrasi secara massal di masa pandemic
Covid-19 bukanlah menjadi solusi yang tepat. Pertama, tidak ada
jaminan bahwasanya warga binaan akan terbina secara maksimal
diluar lembaga pemasyarakatan. Kedua, tidak terpenuhinya unsur
keadilan sebagai sesama manusia dalam pembebasan warga binaan
melalui program asimilasi dan integrasi. Langkah yang tepat yang
menjadi solusi dan kebutuhan warga binaan agar terealisasikannya
pembinaan sebagaimana yang diharapkan adalah memperbanyak
62
lembaga pemasyarakatan di setiap daerah guna pencegahan over
capacity yang ada dalam lembaga pemasyarakatan dan
memanusiakan manusia.
2. Membuat tabungan warga binaan dari hasil pekerjaannya di dalam
lembaga pemasyarakatan, guna bekal dan modal bagi warga binaan
pasca keluarnya dari dalam lembaga pemasyarakatan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Fahmi. M, dan Zaenal Arifin Metode Penelitian Hukum. Ciputat: LP. UIN
Jakarta, 2010.
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqhi al-Islamiyyi, Vol.2, Cet.1, Suria: Dar al-Fikri,
1985.
Anwar, M. Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah PSBB Pandemi
corona. ADLAH Buletin Hukum Dan Keadilan, Vol.4 no.1. 2020, p. 102,
2020.
Asmawi, Perbandinagn Ushul Fiqih, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006
Azzahra Wurnasari, Annissha Dkk. Dampak Asimilasi Narapidana Terhadap
Maraknya Kriminalitas Di Tengah Pandemi Covid-19, Seminar Nasional
dan Call For Paper, Hubisintek.2020.
Caplin,J.P. Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Daradjat, Zakiyah. Kesehatan Psikologi Islam, Jakarta: Hajimas Agung, 1998.
Effendi, Satria. Ushul Fiqih, Cet.7, Jakarta: Kencana, 2005.
Halim, Devina dan Diamanty Meiliana. Kompas.com dengan judul "Polri Catat
106 Napi Asimilasi Covid-19 Kembali Lakukan Tindak Pidana", diakses
pada Kamis, 03 Desember 2020, Pukul 20:44 dari:
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/14423261/polri-catat-106-
napi-asimilasi-covid-19-kembali-lakukan-tindak-pidana.
Ibrahim, Duski.“Al-Qawaid Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih)” Palembang:
CV. Amanah, 2019.
Ikhtiar, Hisyam. (Analisi kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana di masa
covid-19) ,Jakarta: LBHM IDPC, 2020.
Indonesia. Undang-Undang Pemasyarakatan UU NO 12 tahun 1995. Di akses
melalui: http://bphn.go.id/data/documents/95uu012.pdf.
64
Indonesia. Peraturan pemerintah tentang pembinaan dan pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah “ NO.31 Tahun 1999 dan
NO.32, 1999.
Indonesia, CNN. Yasonna laoly diminta dengarkan warga soal pembebasan napi
koruptor. Retrieved from CNN INDONESIA 07 April 2020., Artikel
diakses pada hari Jumat, 15 Mei 2020. Pukul 13:42 WIB. melalui:
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200407065627-32
491026/yasonna-diminta-dengarkan-warga-soal-pembebasan-napi-
koruptor.
Irawan, Petrus Panjaitan, dan Radisman Saragih. “Presepsi Anggota Masyarakat
Mengenai Resosialisasi Dan Rehabilitasi Mencegah Bekas Narapidana
Menjadi Residivist”, Jurnal Hukum Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
Jufri, E. A. Pelaksanaan asimilasi narapidana di lembaga pemasyarakatan terbuka
Jakarta. ADIL, Jurnal Hukum Vol 8 No1, 1-26, 2016-2017.
Lamintang, P.A.F. dan theo Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika,2017.
Mareta, Josefina. “Rehabilitasi Dalam Upaya Deradikalisasi Narapidana
Terorisme”, Jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid.47, No.4. 2018.
Mubarok, Jaih. “Kaidah Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi”, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Mukri Aji, Ahmad. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran
Hukum Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Pettanase, Ismail. “Pembinaan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan”,
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang,
Volume. 17, No.1.2019.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, Cet. 3, Edisi Ketiga, 2005.
65
Rahmatilah,HL. Remisi dalam tindak pidana pembunuhan (studi perbandingan
hukum pidana islam dan hukum pidana nasional). Jurnal adabiyah Vol.17
Nomor 2/2017, 143, 2017.
Rasjidi, Lili dan Ira thania rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 2002.
Rozie, Fachrur. "Per 8 April 2020, Sudah 35.676 Narapidana Dibebaskan untuk
Cegah Corona Covid-19”.Liputan6.com, Jakarta, 08 April 2020. Diakses
pada jumat, 15 Mei 2020, pukul 14:04 WIB, Melalui:
http://m.liputan6.com/news/read/4222446/per-8-april-2020-sudah-35676-
narapidana-dibebaskanuntuk-cegah-corona-covid-19.
Ruslan, R. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindopersada, 2010.
Ruth Thertina, Martha. “Kebijakan Penjara-penjara Dunia di Tengah Pandemi
Corona”, Katadata.co.id, 9 April 2020. Diakses 05 Desember 2020, melaui:
https://katadata.co.id/berita/2020/04/09/kebijakan-penjara-penjara-dunia-
di- tengah-pandemi-corona.
Salahuddin Chaery, Sodiq. Kamus Istilah Agung, Jakarta: CV. Slentarama, 1983.
Sapdih, N. Metode penelitian pendidikan. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2012.
Satu, A. b. Cegah covid 19 kemenkumham telah bebaskan 35676 napi dan anak.
Retrieved from Berita Satu.com. Diakses pada 15 Mei 2020 melalui:
http://amp.beritasatu.com/nasional/nasional/618267-cegah-covid19-di-
lapas-kemenkumham-telah-bebaskan-35676-napi-dan-anak, 15 MEI 2020.
Sujatno, Adi. Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
HAM RI, 2004.
Suryati, Lidya W.”Rehabilitasi Narapidana Dalam Overcrowded Lembaga
Permasyarakatan”, Jurnal Negara Hukum, Vol.3, No.2, 2012.
Steki. Metodologi Penelitian Hukum. Depok: PT. Rajagrafindo Persada. 2018.
66
Sudarsono. Kamus Konseling, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997
Taufik, Mohammad Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia,
Yogyakarta: Kereasi Wacana, 2005.
Tafsirweb. " Quran Surat Al-Baqarah Ayat 173”, Artikel diakses pada 11 Oktober
2020 dari https://tafsirweb.com/660-quran-surat-al-baqarah-ayat-173.html
Tafsirweb. " Quran Surat Al-Baqarah Ayat 195”, Artikel diakses pada 11 Oktober
2020 dari https://tafsirweb.com/660-quran-surat-al-baqarah-ayat-195.html
Tafsirweb. " Quran Surat Al-An'am ayat 145”, Artikel diakses pada 11 Oktober
2020 dari https://tafsirweb.com/660-quran-surat-al-an'am-ayat-195.html
Tafsirweb. " Quran Surat Al-Qashhash Ayat 77”, Artikel diakses pada 11 Oktober
2020 dari https://tafsirweb.com/660-quran-surat-al-qashhash-ayat-77.html
Tim detikcom, “Gaya Yasonna Tak Masalah Hadapi Gugatan Napi Asimilasi
Berulah”, detikNews, 28 April 2020. Diakses pada 06 Desember 2020,
melalui: https://news.detik.com/berita/d-4993873/gaya-yasonna-tak-
masalah-hadapi-gugatan-napi- asimilasi-berulah.
Tubagus, Achmad, ed. Nurlayla Ratri, “Tidak Merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012,
Pemerintah Tak Beri Remisi Napi Koruptor, Teroris dan Narkoba”,
JatimTimes.com, 05 April 2020. Diakses 06 Desember 2020. Melaui:
https://www.jatimtimes.com/baca/212170/20200405/113800/tidak-
merevisi-pp-nomor-99-tahun-2012-pemerintah-tak-beri-remisi-napi-
koruptor-teroris-dan-narkoba.
Yurdiansyah, M. Pemeberian asimilasi bagi narapidana sebagai penerapan undang-
undang permasyarakatan pada lapas kelas ll A Padang. Unes Journal of
swara justisia volume 2, Issue 3,oktober 2018, 2, 2018.
Yunus, N. R. Kebijakan covid-19 bebaskan narapidana dan pidanakan pelanggar
PSBB. Nur Rohim Yunus, “Kebijakan covid-19 bebaskan ADALAH
bulletin hukum dan keadilan, Vol 4 Nomor 1 T.2020, pp. 2-3.2020
Umam, Khairu. Ushul Fiqih l, cet.1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
67
Warson Munawir,Ahmad, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia,Cet.1, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1984.