perubahan filosofi perencanaan melalui pendekatan berpikir...
TRANSCRIPT
1
Perubahan Filosofi Perencanaan Melalui Pendekatan Berpikir Strategis
dalam Kerangka Kerja KLHS Oleh
Sri Hidayat1, 1 Fungsional Perencana Pada Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel
Email : [email protected]
Hp : 085255929708
PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan suatu wilayah
kadang mengabaikan aspek lingkungan. Lebih
banyak pada peningkatan nilai ekonomi dan
terwujudnya implementasi nilai-nilai sosial.
Memang benar aspek lingkungan biofisik juga
dipertimbangkan seperti dalam penetapan zona
regulation, terdapat wilayah kawasan lindung
sebagai area penyangga kualitas lingkungan dan
kawasan budidaya sebagai zona pengembangan
berbagai kegiatan. Namun lebih hanya pada
pendekatan sainstis yang sifatnya formalitas atau
pelengkap secara administrasi dalam dokumen
perencanaan ruang. Belum terintegrasi sebagai
pertimbangan pembangunan berkelanjutan dalam
pengambilan atau keputusan kebijakan, rencana
dan program (KRP).
Para perencana dalam praktek
mengembangkan suatu wilayah akan berangkat
dari pertimbangan ekonomi, selanjutnya
bagaimana wilayah itu ditata dengan
menempatkan berbagai rencana kegiatan pada
ruang yang terbatas diikuti dengan penyediaan
infrastruktur yang memadai. Pada tahap
selanjutnya para perencana akan
mempertimbangan kondisi sosiologi spasial dari
wilayah yang direncanakan, sehingga tidak sedikit
dalam perencanaanya mereka harus menyediakan
ruang untuk menjaga agar interaksi sosial dapat
berjalan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Jika tidak,
pada kesempatan tertentu mereka akan
mengembangkan ruang sesuai dengan nilai-nilai
sosiologi yang dianut masyarakat setempat.
Menjadi pertanyaan kemudian, kapan aspek
lingkungan dipertimbangan?. Sebagian memahami
bahwa aspek lingkungan biofisik telah
dipertimbangkan pada saat penyediaan
infrastruktur atau pada saat menyediakan ruang-
ruang hijau dari wilayah atau kota yang
direncanakan. Perilaku merencanakan
pembangunan yang mempertemukan isu-isu
ekonomi, sosial dan lingkungan itu dikenal dengan
suistanability development.
Berpikir secara silo antara aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan kadang dipertemukan pada
kontra produktif kepentingan. Satu sisi
pertumbuhan ekonomi diharapkan, sementara
disisi lain kualitas lingkungan menjadi semakin
memburuk. Pada titik ini, mulailah perencana
berpikir tentang daya dukung dan daya tampung
wilayah yang direncanakan. Pendekatan dampak
dalam AMDAL ditapak proyek kemudian
dipercaya sebagai solusi. Pada prakteknya
AMDAL terbatas untuk memberikan solusi pada
permasalahan yang lebih luas, diluar tapak proyek.
Disadari bahwa permasalahan ditapak juga terkait
dengan permasalah wilayah secara umum. Pada
level ini isu ekonomi, sosial dan lingkungan tidak
lagi memiliki batas yang jelas sehingga semua,
satu dengan yang lainnya saling terkait membentuk
isu strategis kewilayahan. Akhirnya instrumen
kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)
dipandang sebagai kebutuhan untuk menjawab
2
keterbatasan AMDAL (Noble dan Nwanekezie,
2016). Evaluasi pada kebijakan, rencana, dan
program (KRP) kewilayahan tentu tidak dapat
dilaksanakan melalui praktek AMDAL di tapak
proyek, sehingga pada prakteknya KLHS
dilaksanakan sebagai AMDAL yang diperluas atau
filosofi AMDAL yang diadopsi untuk
mengevaluasi KRP. Pada implementasinya KLHS
banyak dilaksanakan melalui kajian dampak (basic
impact) KRP sebagaimana prinsip AMDAL pada
level provek. Umumnya kajian dampak yang
dilakukan hanya bersifat jangka pendek dan
menyelesaikan permasalahan secara bagian
perbagian. Sementara permasalahan yang dihadapi
saling terkait satu dengan lainnya yang berinteraksi
dan saling berpengaruh dalam satu sistem yang
dinamis dan sifat jangka panjang. Penyelesaian
masalah secara parsial-parsial dan tidak
menyentuh pada akar masalah, disadari tidak
strategis pada evaluasi KRP. Hanya dengan
menempatkan filosofi kajian dampak untuk
mengevalusi KRP dianggap belum strategis.
Banyak pengalaman praktek KLHS tidak
memberikan dampak perbaikan pengambilan
keputusan, kecuali KLHS hanya menjadi dokumen
formal. Sementara pada sisi lain KLHS diharapkan
dapat menjadi instrument yang membantu
rumusan dan pelaksanaan strategi inisiatif KRP
dan bahkan memainkan peran politik dalam
pengambilan keputusan (Partidario, 2015).
Pada akhirnya KLHS dalam konteks
pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat
mengatasi beberapa keterbatasan pada AMDAL-
Proyek, termasuk kebutuhan untuk lebih proaktif
pertimbangkan dampak lingkungan potensial pada
awal pengambilan keputusan serta menghadapi
dampak kumulatif dan mengatur arah yang lebih
baik pada penyusunan KRP. Oleh karena itu
diperlukan pendekatan baru dari KLHS yang
dulunya bersifat tradisional (basic impact) menuju
pendekatan strategic thingking. KLHS nantinya
dapat bertujuan untuk membantu memahami
konteks pengembangan KRP dan strategi
implementasinya serta metode penilaiannya.
Selain itu juga digunakan untuk menilai pilihan
yang layak bagi keberlanjutan lingkungan untuk
mencapai tujuan akhir (Partidario, 2012).
Untuk itulah artikel akan ini menguraikan
bagaimana rekonstruksi teori menjelaskan
perubahan paradigma perencanaan saat ini yang
tidak hanya pada perubahan prosesnya namun
esensi perubahan pada filosofi berpikirnya
(tradisional-modern). Pada akhirnya praktek
perencanaan yang lebih baik dapat diwujudkan
khususnya dalam kerangka kerja KLHS.
PEMBAHASAN
1. Proses Perencanaan
Perencanaan pada hakekatnya adalah suatu
proses terus menerus (continuous) dan berulang
(cyclical) di dalam mengambil suatu keputusan
yang terbaik. Dalam rangka mencapai keputusan
yang ”terbaik” maka dia harus rasional yang
tercermin dari rangkaian aktifitas-aktifitas yang
dikelompokkan ke dalam tahapan-tahapan yang
saling terkait, sistematis dan teratur (Conyers &
Hills, 1984). Keputusan yang rasional tersebut baik
ditinjau dari sisi ”proses” ataupun ”hasil” diartikan
sebagai suatu upaya untuk mendapatkan sesuatu
yang maksimum dengan usaha (in put) tertentu.
Ditinjau dari sisi hasil rasionalitas diartikan dengan
masukan (in put) usaha yang seminimal mungkin
untuk mendapatkan keluaran (out put) semaksimal
mungkin. Adapun dari sisi proses pendekatan
rasionalitas di dalam pembuatan keputusan
dijelaskan oleh Carley dalam Conyer dan Hills
(1984) melalui serangkaian urutan tahapan
kegiatan sebagai berikut:
1. Menemukenali dan merumuskan masalah
(problem identification and definition)
2. Mengelompokkan dan mengorganisasikan
tujuan-tujuan (goals), nilai-nilai (values), dan
sasaran-sasaran (objectives) yang terkait
dengan masalah
3. Menemukenali berbagai alternatif tindakan
(alternative courses of action) untuk menjawab
3
masalah atau mewujudkan sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan
4. Memperkirakan berbagai dampak sebagai
akibat (consequencies) dari masing-masing
alternative tindakan dan kemungkinan dari hal
itu akan terjadi
5. Membandingkan dari akibat-akibat yang akan
terjadi dari pilihan-pilihan tindakatan dalam
kaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan
6. Memilih suatu tindakan yang berakibat paling
dekat dengan tujuan dan sasaran atau yang
paling dapat menjawab masalah. Tentu saja
pilihan tersebut juga yang paling
menguntungkan: yang bisa dilihat dari sisi hasil
yang lebih baik dari keluaran biaya yang sama
atau dari sisi hasil yang sama dari pengeluaran
biaya yang paling ringan (kecil).
Dalam kaitan dengan perencanaan ruang
Burkholder, Chupp, & Star (2003) menekankan
sisi lain dari proses rasional di atas bahwa
perencanaan ruang merupakan sebuah proses
pembelajaran sosial (social learning process)
dimana warga (penduduk) dan pemangku
kepentingan lainnya belajar bersama tentang ruang
mereka, merumuskan visi bersama, dan
mengembangkan strategi-strategi untuk
mewujudkan hal itu dan menjaga keberlanjutannya
dalam waktu yang lama atau jangka panjang (long
term strategic planning). Adapun secara fisik,
produk dari kegiatan perencanaan tersebut adalah
pada akhirnya menghasilkan sebuah Dokumen
Rencana (plan) yang selanjutnya menjadi acuan
bersama dalam mendorong dan mengarahkan
investasi sosial dan ekonomi di masa yang akan
datang. Tentu saja secara umum tujuan yang
diharapkan adalah menuju pembangunan ruang
yang lebih sehat, asri, serasi, produktif,
berkelanjutan dan sebagainya.
Perkembangan perencanaan ini
menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi
semakin penting peranannya dalam perencanaan,
dimana pada era dibawah paradigma modernisasi,
aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan
sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan
fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat
dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang
dapat berlaku disemua lokasi (bersumber
rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
valid dalam perencanaan), maka pada era post-
modern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat
lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen,
dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks
dimana mereka melakukan interaksi sosial.
Karenanya perencana harus memahami bagaimana
interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek
tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini
perencanaan akan sulit untuk berhasil. Karena
kehidupan kemasyarakatan tidak dapat dipandang
homogen, maka pengertian publik pun tidak dapat
dianggap tunggal yang diwakili oleh perencana
(yang umumnya bekerja pada pemerintah), yang
dapat menentukan apa yang terbaik bagi
masyarakat. Makna publik tentunya harus
dipahami sebagai sesuatu yang plural, beraneka
ragam, apa yang disebutkan oleh Sandercock
(1998) sebagai multiple publik. Menyadari
keberagaman masyarakat, maka pengetahuan
bagaimana publik yang beragam tersebut
berinteraksi (interaksi sosial), memberi ruang bagi
diskusi tentang arti penting modal sosial (social
capital, sebagai produk dari interaksi sosial) dalam
perencanaan.
2. Perkembangan Prespektif Perencanaan
Berdasarkan sejarah, pengenalan teori
perencanaan berkembang pada saat terjadinya
perencanaan kota modern dalam konsep: Garden
City, City Beautiful, dan Public Health Reforms
(Allmendinger, 2001). Teori perencanaan itu
sendiri merupakan subjek studi yang sulit
difahami, Karena di dalamnya akan
menggambarkan berbagai disiplin ilmu yang
semakin dibahas akan memberi peluang
pengembangan yang semakin terbuka lebar. Ada
4
pertanyaan utama dalam teori perencanaan yaitu:
aturan apa yang dapat diterapkan dalam
perencanaan untuk mengembangkan kota atau
wilayah di antara hambatan politik, sosial, dan
ekonomi? Jawabannya bukan pada membangun
sebuah model perencanaan, tapi lebih pada
bagaimana praktek perencanaan yang berbasis
pada karakteristik masyarakat di mana
perencanaan itu akan diterima dan dilaksanakan
(Saraswati, 2006).
Selama dekade 1970 hingga 1980an, muncul
keprihatinan terhadap keterbatasan dan validitas
informasi, data serta metode kuantitaf yang sering
dihubungkan dengan positivisme sebagai
paradigma yang berlaku saat itu. Paradigma
positivisme yang menurunkan pemahaman
kebenaran ilmiah melalui proses penelitian
kuantitatif memang telah berlaku sejak abad ke-19,
sehingga metode ilmiah menjadi berkonotasi
positivis. Positivisme mengangap adanya dunia
obyektif, yang kurang lebih dapat segera
digambarkan dan diukur oleh metode ilmiah, serta
berupaya untuk memprediksikan dan menjelaskan
hubungan sebab-akibat di antara variable-variable
utamanya secara kuantitatif. Metode positivistik
ini dikritik sebagai menghilangkan konteks dari
pemaknaan dalam proses pengembangan ukuran
kuantitif terhadap fenomena faktual yang diteliti
(Lincoln dan Guba, 2000).
Oleh sebab itu, muncul pemikiran-pemikiran
baru dalam teori perencanaan yang mengarah pada
komunikatif rasionalitas yang dituangkan dalam
berbagai konsep yang salah satunya digagas oleh
Habermas dengan Communicative Rationality,
Forester melalui Communicative Planning Theory.
Healey dengan Collaborative Planning, dan
Allmendinger dengan Postmodern Planning nya
(Almendinger, 2002).
Jika dilakukan periodesasi mengenai
perjalanan teori perencanaan, maka ada dua alur
besar teori perencnaan, yaitu instrumental
rasionalitas dan komunikatif rasionalitas.
Instrumental rasionalitas merupakan konsep-
konsep pemikiran pada era Pra Modern Planning
dan Modern Planning Theory, sedangkan
komunikasi rasionalitas berada pada era Post
Modern Planning Theory. Dalam typologinya,
teori perencanaan ini berada pada filisofi Positivist
dan Postpositivist (Almendinger, 2002).
Konsep perencanaan komunikatif dan
kolaboratif yang dituangkan dalam tipologi
postmoderen tersebut, telah banyak membicarakan
tentang bagaiman melakukan kolaborasi antara
“knowledge of science” dengan “practical
reasoning” dalam suatu perencanaan yang lebih
berpihak pada kepentingan masyarakat banyak,
tidak hanya berpihak pada kelompok yang mampu
melakukan ‘lobby’ dengan pihak pengambil
keputusan saja. Perencanaan komunikatif dan
perencanaan kolaboratif merupakan kritik
terhadap Pemerintah dan Group Pelobi Bisnis
dalam kapasitas dan kompetensi pemerintah lokal,
melalui keadilan alokasi ruang, pelibatan
masyarakat dalam proses perencanaan, outcome
dalam perbaikan lingkungan hidup, keberpihakan,
dan perhatian terhadap perilaku masyarakat dalam
suatu lingkungan perumahan.
Konsep komunikatif, khususnya perencanaan
kolaboratif yang digagas oleh Haley (1987)
berawal dari pengalamannya dalam pengendalian
pembangunan ruang kota dalam bidang property
dengan konsern utama pada land-use dan land
development.
Perencanaan dengan pendekatan keruangan
(spatial plan) pada awalnya dipandang sebagai
penerapan desain fisik pada lingkungan
pemukiman (Friedman, 1987; Taylor, 1998).
Meski perubahan ke perencanaan modern dimulai
seiring dengan proses pencerahan di Eropa
(Sandercock, 1998 dan Friedman, 1987); Taylor
(1998) melihat bahwa penerapan tradisi othogonal
design ini masih tetap dominan setelah revolusi
industri sampai dengan setelah perang dunia
kedua, dimana sampai dengan tahun 60-an,
perencanaan lebih dipandang sebagai suatu
penerapan seni pada desain fisik. Perubahan besar
5
pertama terjadi di era 60-an, yang disebut Taylor
(1998) sebagai perubahan dari morphological
conception of space kepada sociological
conception of space. Mulai disadari bahwa
perencanaan tidak mungkin dilaksanakan hanya
dengan melihat aspek physical design saja,
perencanaan berkenaan dengan suatu sistem dari
aktivitas yang saling berkaitan yang meliputi social
life dan economic activities (sebagai content) dan
aspek physic (sebagai container). Perubahan besar
yang terjadi pada era 60-an bermuara pada
penerapan rasionalitas dan pendekatan sistem
dalam merencanakan kehidupan yang lebih baik
bagi masyarakat, dapat dipandang sebagai
kulminasi dari proses pencerahan. Penerapan
rasionalitas dalam perencanaan dipandang sebagai
cara terbaik dalam membangun kehidupan
masyarakat yang stabil, daripada hanya
menyerahkan pada mekanisme budaya dan
keyakinan semata. Seiring dengan perkembangan
proses pencerahan, rasionalitas yang diandalkan
pada era ini adalah berakar pada paradigma
modernisasi, yang mengedepankan objektivitas
dalam mendapatkan keilmuan dan tentunya harus
bersifat bebas nilai (value free). Karena
penggunaan pengetahuan yang objektif dan
rasional ini hanya dapat dipercayakan kepada para
ahli, maka perencanaan pada era ini lebih
menekankan pada perencanaan yang dilakukan
oleh negara sebagai aktor utama. Model
perencanaan dengan aras epistemologi
modernisasi ini, oleh Sandercock (1998)
disebutkan sebagai Heroic Model6, dimana model
perencanaan ini dibangun dengan lima pilar, yaitu:
(1) Rasionalitas; (2) Kekomprehensipan; (3)
Metode ilmiah; (4) Keyakinan pada masa depan
yang diarahkan oleh Negara; dan (5) Keyakinan
pada kemampuan perencana untuk mengetahui apa
yang terbaik buat publik.
Jelaslah disini bahwa pergeseran dari
perencanaan yang hanya bersifat desain
lingkungan pemukiman kepada perencanaan
modern, telah menempatkan aspek sosial dan
ekonomi sebagai faktor yang penting dalam
perencanaan. Cakupan perencanaan telah menjadi
luas, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat
yang dipandang sebagai suatu sistem. Pengambilan
keputusan yang rasional dan pendekatan sistem
yang dominan pada paradigma modernisasi ini,
menyerahkan proses perencanaan kepada para
perencana, yang menerapkan metode ilmiah yang
objektif dan dipandang universal. Perencana
tersebut bertindak atas nama masyarakat dan
kehidupan sosial pun dipandang sebagai homogen.
Perencanaan dibawah paradigma modernisasi,
menggiring masyarakat pada kondisi krisis, yang
oleh Friedman dalam Sandercock (1997) bahwa
masyarakat (khususnya di Amerika) pasca
industrialisasi ditandai dengan dua krisis, yaitu
krisis nilai yang berawal dari runtuhnya
absolut/kemutlakan dibawah modernisasi dan
krisis pada proses mengetahui (a crisis of
knowing), yang direfleksikan oleh munculnya
konflik antara pengetahuan para ahli dan
pengetahuan personal yang didapat dari
pengalaman. Perbedaan antara pengetahuan dari
sisi teori yang dipergunakan oleh perencana dan
pengetahuan yang ada di masyarakat yang
bersumber dari pengalaman semakin menjauh,
karena terjadinya polarisasi menuju pada dua
kutub ini. Salah satu kelemahan RCP adalah bahwa
perencanaan disusun oleh para ahli dengan asumsi
bahwa apa yang mereka rencanakan sesuai dan
yang terbaik untuk masyarakat, akan tetapi
masyarakat sendiri tidak berfungsi sebagaimana
dipersepsikan oleh perencana (Brooks, 2002).
Adanya gap antara pengetahuan perencana dengan
masyarakat sebagai klien dari perencanaan ini,
memperkuat bukti bahwa dalam perencanaan
terdapat banyak cara, sudut pandang, nilai dan
kepentingan yang mewarnai proses perencanaan,
dan terkadang perbedaan tersebut tidak dapat
dipertemukan.
Hal ini menandai pergeseran dari penerapan
rasionalitas instrumental dari paradigma
modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di
6
bawah paradigm post modern oleh Healey (1987)
disebut sebagai communicative turn in planning.
Perubahan paradigma modern menuju post-
modern ini berpengaruh besar terhadap pemikiran
dan praktek perencanaan, Sandercock (1998)
dengan menggunakan model perencanaan heroic,
melihat perubahan yang terjadi dalam perencanaan
meliputi: pertama, terjadi pergeseran dari
instrumental rationality ke comunicative
rationality. Kedua, perencanaan tidak lagi
dipandang secara eklusif konsen terhadap
integrative, comprehensive dan pengkoordinasian
tindakan, tetapi mengarah pada negosiasi, politis
dan perencanaan terfokus. Ketiga, perencanaan
tidak lagi didominasi oleh engginering mindset,
yang berakar pada positivist science yang penuh
dengan permodelan kuantitatif dan analisis, tetapi
mulai diakui banyak pengetahuan lainnya yang
sesuai dengan perencanaan, seperti hermeneustic,
action research, feminist dll. Keempat,
perencanaan tidak lagi sepenuhnya diarahkan oleh
negara, tetapi mulai tumbuh praktek perencanaan
yang berbasis masyarakat dimana perencana
berperan sebagai enabler dan fasilitator. Terakhir,
perencanaan tidak lagi dipandang beroperasi untuk
kepentingan publik yang dirumuskan oleh
perencana, tetapi perencanaan adalah untuk
multiple publik atau publik yang heterogen. Oleh
karenanya model-model perencanaan di era post
modern yang berkembang adalah model
perencanaan yang menekankan perlunya proses
dialog (komunikasi), partisipasi, kolaborasi dan
penciptaan konsensus. Friedman dalam
Sandercock (1998), menekankan bahwa perlunya
proses mutual learning untuk menjembatani antara
pengetahuan teoritik dari perencana dengan
pengetahuan praktis dari masyarakat melalui
model perencanaan yang ia sebut sebagai
transactive planning. Dengan menggunakan
perspektif teori tindakan komunikatif (theory of
communicative action dari Habermas), beberapa
teori menekankan pentingnya proses interaktif
melalui komunikasi, menekankan perlunya
memahami keunikan dari suatu lokasi
perencanaan, dan perlunya pendekatan yang lebih
bersifat kualitatif. Model perencanaan yang
muncul dari perspektif ini adalah seperti
Collaborative Planning dari Healey (1987),
Consensus Planning dari Innes (1995), dan
Planning as shaping attention dari Forester (1989).
Perkembangan perencanaan ini
menggambarkan bahwa aspek sosial menjadi
semakin penting peranannya dalam perencanaan,
dimana pada era dibawah paradigma modernisasai,
aspek sosial dipandang sebagai satu kesatuan
sistem yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan
fisik. Bila pada era ini kehidupan sosial dilihat
dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum, yang
dapat berlaku disemua lokasi (bersumber
rasionalitas yang menerapkan metode ilmiah
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
valid dalam perencanaan), maka pada era post-
modern, kehidupan kemasyarakatan tidak dapat
lagi dipandang sebagai sesuatu yang homogen,
dimana kehidupan masyarakat terikat pada konteks
dimana mereka melakukan interaksi sosial.
Karenanya perencana harus memahami bagaimana
interaksi sosial yang terjadi pada suatu kontek
tertentu dalam menyusun rencana, tanpa hal ini
perencanaan akan sulit untuk berhasil.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami
bahwa perencanaan awalnya dilakukan hanya
berdasarkan pendekatan fisik keruangan,
selanjutnya perencanaan berkembang melibatkan
pertimbangan aspek sosial dan ekonomi. Hal ini
didasarkan pada penerapan rasionalitas dan
pendekatan sistem. Era ini dikenal dengan era
modernisasi dalam perencanaan. Selanjutnya
perencanaan era post-modern, dimana penerapan
rasionalitas instrumental dari paradigma
modernisasi kepada rasionalitas komunikatif di
bawah paradigm post modern oleh Healey (1987)
disebut sebagai communicative turn in planning
diimplementasikan. Pada era ini munculah teori-
teori perencanaan yang menekankan pentingnya
proses interaktif melalui komunikasi.
7
3. Perencanaan Partisipatif
Sebagai suatu proses pembelajaran bersama
(social learning process) maka dia harus dilakukan
secara partisipatif. Pengertian partisipasi sendiri
memiliki banyak perspektif. Partisipasi
masyarakat dapat ditinjau dari dua sudut pandang
(Abers, 2000) pemberdayaan masyarakat (people
empowerment) dan dari sudut pandang instrumen
(instrumental participation). Dari sudut pandang
pemberdayaan masyarakat partisipasi dilihat
sebagai proses politik yang pada akhirnya dapat
membuka akses masyarakat dalam pengambilan
keputusan atau memperkuat posisi masyarakat
agar dapat memiliki kekuatan (borgeinig power)
yang seimbang dengan pemangku kepentingan
yang lain untuk ikut serta di dalam proses
pengambilan keputusan. Sedangkan sudut pandang
instrument pemahaman partisipasi diletakkan pada
pelibatan masyarakat sebagai pengguna akhir (end
user) untuk ikut berkontribusi dalam proses
pembangunan artinya masyarakat pengguna akhir
yang berkepentingan akan bahu membahu
menggali dan memobilisasi segala sumber daya
yang dimilikinya untuk membantu mewujudkan
tujuan pembangunan atau memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Dari uraian dua pandangan di atas Manaf
(2007) berpendapat bahwa salah satu ciri atau
prinsip pokok dari pendekatan partisipatif adalah
pemberian wewenang yang lebih besar kepada
masyarakat sebagai pengguna akhir (end user)
untuk mengelola sumber daya (resources)
pembangunan yang tersedia secara lebih mandiri
(autonomous). Adapun untuk mengukur partisipasi
atau pemberian wewenang kepada di dalam
mengelola sumberdaya pembangunan tersebut
banyak peneliti hingga kini masih menggunakan
tangga partisipasi yang diusulkan Arnstein (1969)
sebagai kerangka untuk melakukan analisis. Bagi
Arnstein partisipasi berkaitan dengan konsep relasi
kekuasaan antara satu aktor dengan aktor yang lain
dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam proses partisipasi tidak cukup hanya
menjelaskan mengapa keputusan itu dibuat (tanpa
melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan
itu sendiri) apalagi hanya menginformasikan
keputusan tersebut saja kepada penerima manfaat.
Kekuasan di dalam pengambilan keputusan di
antara aktor–aktor ini harus didasari atas adanya
persetujuan atau kesepakan dari semua aktor
tersebut. Sehingga secara umum dia membagi tiga
tingkatan partisipasi: pertama, tingkatan tertinggi
dia sebut dengan tingkatan kekuasaan penuh di
tangan rakyat (degree of citizen power); kedua
tingkatan partisipasi simbolik (degree of
tokenism), dan ketiga tingkatan manipulasi
partisipasi atau tidak ada partisipasi (degree of
manipulation or non-participation).
Pada tingkatan kekuasaan penuh di tangan
rakyat (degree of citizen power) Arstein membagi
lagi ke dalam sub kategori tingkatan: Pertama,
masyarakat yang selama ini terabaikan (the have-
not) mendapatkan kedaulatan penuh dalam
penyusunan perencanaan, mengabil keputusan
atau membuat kebijakan dan mengelola program
(citizen control). Kedua, masyarakat memiliki
otoritas yang lebih besar karena mereka mayoritas
dalam sebuah komite pengambilan keputusan
utama (delegated power). Mereka memiliki
delegasi (suara) mayoritas dan mampu menjamin
akuntabilitas pelaksanaan keputusan. Ketiga
kekuasaan terdistribusi sebagai hasil negosiasi
antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan
(partnership). Tanggungjawab perencanaan dan
pembuatan keputusan dibagi secara sederajat
berdasarkan hasil negosiasi di dalam komite
bersama (community stakeholder council).
Sementara pada kategori kedua tingkatan
partisipasi simbolik (degree of tokenism) Arstein
membagi lagi ke dalam sub kategori tingkatan:
pertama tingkatan kooptasi dimana posisi
masyarakat lebih lemah di dalam pengambilan
keputusan. Hanya orang-orang yang terpandang
(tokoh masyarakat) yang bisa diajak bicara
dilibatkan di dalam komite. Disini masyarakat
8
seolah-oleh dilibatkan dalam perencanaan akan
tetapi mereka pada hakekatknya tidak punya hak
suara dalam mengambil keputusan. Sifatnya
sebagai “Stempel Karet” saja (placation). Kedua,
masyarakat mulai tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan akan tetapi mereka hanya
diposisikan sebagai teman untuk diajak bicara atau
memberikan masukan. Biasaya masyarakat
dilibatkan secara fisik seperti di dalam
mengumpulkan data dan iformasi pembangunan,
mengawasi pelaksanaan dari segala kegiatan yang
telah ditetapkan oleh pihak luar. Partisipasi
masyarakat hanya sebatas mengahdiri pertemuan-
pertemuan dengar pendapat akan tetapi pertemuan
ini biasanya hanya bersifat seremonial saja
(consultation). Ketiga tingkat partisipasi yang
paling rendah. Masyarakat tidak lagi diajak
berdialog dua arah akan tetapi mereka hanya
diberikan berbagai sosialisasi dan atau informasi
dari satu arah saja (informing).
Selanjutnya pada kategori ketiga tingkatan
manipulasi partisipasi atau tidak ada partisipasi
(degree of non-participation). Tujuan pendekatan
ini adalah untuk mengobati (therapy) karena
masyarakat dianggap lemah, tidak berdaya,
sebagai sumber masalah. Pada tingkatan ini
masyarakat dianggap objek bukan subjek
pembangunan. Dan subkategori terakhir adalah
tidak hanya tergolong non partisipasi bahkan bisa
disebut penyalahgunaan makna partisipasi. Pada
tingkatan ini semua usulan perencanaan dibuat dan
ditentukan dari atas (top down). Dalam hal ini
penentu kebijakan melakukan berbagai bentuk
kegiatan dengan tujuan seolah-olah keputusan
diambil sudah melalui proses pelibatan masyarakat
secara demokratis sehingga keputusan tersebut sah
dan legitimate (manipulation).
4. Perencanaan Kolaboratif
Beberapa pendekatan perencanaan, yaitu
perencanaan transaktif (Friedman, 1973),
perencanaan kolaboratif (Healey, 1996),
perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,
1997), perencanaan deliberatif partisipatif
(Forester, 2000), dan perencanaan konsensus
(Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang relatif
sama dalam hal menekankan pentingnya
kerjasama dengan didasari komunikasi
antarpemangku kepentingan. Proses kerjasama
tersebut akan berlangsung dengan baik jika
terdapat komunikasi dalam bentuk dialog
didalamnya. Dalam perencanaan transaktif, dialog
yang terjadi adalah life dialogue, yang dipertegas
oleh Innes dan Booher (1997) sebagai authentic
dialogue. Dalam hal ini, setiap aktor yang duduk
bersama saling menghargai, empati, terjadi
hubungan timbal balik dan saling menguntungkan.
Dengan demikian, dialog hanya akan terjadi jika
para pemangku kepentingan berpartisipasi dan
duduk bersama dalam memecahkan permasalahan.
Partisipasi sendiri hanya akan terjadi jika mereka
memiliki kepentingan dan memiliki kesempatan
untuk menyuarakan kepentingannya, dan
partisipasi tersebut hanya akan terjadi jika ada
saling ketergantungan dan kepercayaan.
Kerjasama melalui dialog dan partisipasi
diarahkan pada pembentukan konsensus (Woltjer,
2000; Innes, 1996). Proses yang memuat aktivitas
dialog, partisipasi, dan berorientasi kepada
keputusan bersama, terangkum dalam suatu proses
kolaboratif. Dengan demikian, dalam suatu
pendekatan perencanaan berbasis komunikasi,
terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaan
kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998).
Proses kolaboratif merupakan suatu proses
adaptive system dimana pendapat-pendapat yang
berbeda dari berbagai pihak yang akhirnya
menghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash
(2008) berupaya memetakan suatu model yang
menggambarkan bagaimana proses kolaboratif
terjadi. Proses kolaboratif menurut model ini
terdiri dari berbagai tahapan yaitu dimulai dari
adanya dialog secara tatap muka (face-to-face
dialogue), membangun kepercayaan (trust
building), membangun komitmen terhadap proses
(commitment to the process), berbagi pemahaman
9
(shared understanding), dan kemudian
terbentuknya hasil sementara (intermediate
outcome). Tahapan ini merupakan suatu siklus
sehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya.
Innes dan Booher (2010) mengembangkan model
DIAD Network Dynamic untuk memerlihatkan
bahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaring
kolaboratif dimana terdapat keragaman, saling
ketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Hal
ini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratif
memiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agen
berada dalam situasi mampu untuk saling
memenuhi kepentingan masing-masing dan
menyadari adanya saling ketergantungan diantara
mereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik
(authentic dialogue) dimana komunikasi
mengalirmelalui jejaring secara akurat dan dapat
dipercaya diantara para peserta. Dalam dialog
otentik, terdapat timbal balik (reciprocity),
hubungan (relationship), pembelajaran (learning),
kreatifitas (creativity), dan menghasilkan adaptasi
dari sistem yang ada. Hal ini berarti bahwa para
peserta (aktor) berbicara mewakili kepentingan
kelompoknya, saling menghormati, dan berbicara
dengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkan
kepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantara
para aktor.
Dengan memperhatikan bagaimana proses
kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana
terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus
didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses
kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat
(Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)
Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan
(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006;
Woltjer,2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah
citizen power seperti dikekukakan dalam tangga
partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada
umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam
masyarakat yang sudah menjalankan sistem
demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada
kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008;
Dengan memerhatikan bagaimana proses
kolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimana
terjadi dialog otentik yang berorientasi consensus
didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proses
kolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat
(Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)
Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan
(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,
2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizen
power seperti dikekukakan dalam tangga
partisipasi menurut Arnstein (1969). Pada
umumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalam
masyarakat yang sudah menjalankan sistem
demokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana ada
kesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008).
Proses kolaboratif akan dapat berjalan dengan
baik dengan partisipasi aktif masyarakatnya
diwakili oleh aktor-aktor yang
memiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya
dapat terjadi di negara-negara maju dan sudah
demokratik. Dengan melihat prasyarat di atas,
maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudah
terwujud pada masyarakat yang memiliki tingkat
partisipasi masyarakat yang rendah, serta
kepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisi
seperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakat
tertentu, umumnya di negara-negara berkembang.
Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan
masalah budaya dan tingkat Pendidikan
masyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalam
mengikuti proses perencanaan pembangunan
masih terdapat banyak kelemahan terutama
melalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dan
konsep pembangunan yang partisipatif perlu
dirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh
(Djoeffan, 2002).
Inti kegiatan pada tahap ini adalah
membangun kolaborasi perencanaan, dimana antar
berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan
pelaku usaha/swasta) dapat saling terbuka berbagi
informasi, melakukan dialog dan konsultasi, dan
bersepakat terhadap aturan bangunan setempat dan
pokok-pokok perencanaan dan pembangunan. Para
pemangku kepentingan tersebut kemudian
10
berupaya menyusun berbagai pengaturan yang
diperlukan, dan melembagakannya melalui
organisasi masing-masing untuk mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik (good governace).
Dasar pijakannya tetap konsisten
pada pelembagaan nilai-nilai luhur (value based
development), prinsip-prinsip kepemerintahan
yang baik (good governance), serta prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) (Manaf, 2011).
5. Konsep Strategi Dalam Perencanaan
Pendekatan strategic thingking (berpikir
strategis) dalam perencanaan menjadi pilihan saat
ini yang diyakini dapat membuka rute-rute yang
mungkin untuk mewujudkan sebuah keberlanjutan
dimasa akan datang dari pembangunan yang
dilaksanakan saat ini. Perkembangan pendekatan
strategic thingking tidak dapat dipisahkan dari
teori-teori klasik sebelumnya. Salah satu teori
klasik strategis adalah teori strategi perang
menurut Sun Tzu. Menurut Sun Tzu terdapat 5 hal
yang sangat menentukan kemenangan dalam
sebuah peperangan. Hal pertama adalah
kemampuan untuk memahami dan menilai situasi
yang ada. Hal kedua adalah memahami kapan dan
bagaimana pasukan akan diturunkan dalam sebuah
pertempuran atau peperangan. Hal ketiga ialah
betapa pentingnya memiliki bawahan yang
memiliki visi yang sama. Hal keempat adalah
memikirkan serta menyusun sebuah perencanaan
yang matang. Hal terakhir ialah mengenai
kecakapan jenderal yang dimiliki dalam sebuah
peperangan. Selain 5 hal di atas, Sun Tzu juga
mengemukakan 5 faktor penting yang menentukan
kemenangan dalam perang. Faktor pertama adalah
politik. Faktor penting selanjutnya adalah faktor
cuaca. Faktor ketiga merupakan medan yang
berarti jarak, dan mengacu pada kemudahan atau
kesulitan medan untuk dihadapi. Faktor keempat
dan kelima berturut-turut adalah doktrin dan
komandan perang. Doktrin perlu dipahami sebagai
penyelenggaraan suatu organisasi yakni tentara.
Kemudian perlu dipahami pula sebagai suatu hal
yang memadukan para perwira dan prajurit yang
berbeda pangkat, dibutuhkan kombinasi dari
kualitas, kebijakan, dan keberanian seorang
komandan (Tzu, 1998:20). Namun, secara lebih
jauh, Sun Tzu menyatakan bahwa kemenangan
yang sejati adalah sebuah kemenangan tanpa
berperang. Mengapa kemenangan terbaik adalah
kemenangan tanpa berperang? Karena peperangan
hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Oleh karena itu, Sun Tzu berasumsi
bahwa strategi diplomasi merupakan salah satu
cara yang terbaik dalam menyelesaikan sebuah
konflik (Van Cleverd, 2000). Mengapa diplomasi?
Karena melalui diplomasi, pihak-pihak yang
berkonflik dapat menghindari pertumpahan darah
dengan adanya berbagai solusi yang dapat menjadi
sebuah jalan tengah bagi semua pihak yang
berkonflik. Bagi Sun Tzu, peperangan adalah
sebuah jalan terakhir ketika berbagai negosisasi
dan diplomasi yang dilakukan menemui sebuah
jalan buntu.
Strategi bagi Sun Tzu adalah sebuah
kombinasi dari wisdom, tradisi, idealisme, filosofi
dan unsur-unsur seni di dalamnya. Menurutnya,
setiap bidang kehidupan manusia memerlukan
sebuah strategi demi tercapainya tujuan tertentu
sebab strategi merupakan seni dalam berpikir
untuk menilai, merencanakan, dan melakukan aksi
yang benar dalam mewujudkan tujuan yang
hendak dicapai. Karenanya, Sun Tzu juga
mengutarakan arti penting strategi itu sendiri :
“Not in winning every battle, but in defeating the
enemy without ever fighting. The highest form of
warfare is to attack strategy itself.” (Tzu dan
Minford, 1990). Terdapat 3 inti dari strategi yang
dipaparkan oleh Sun Tzu. Pertama, ketahuilah
musuhmu juga dirimu. Hal ini mencerminkan
betapa pentingnya sebuah informasi. Kedua,
lumpuhkan lawan tanpa perkelahian karena Sun
Tzu mengutamakan pengukuran momen yang
tepat untuk melakukan penyerangan. Ketiga, fokus
11
pada kelemahan lawan bukan pada kelebihannya
karena merencanakan serangan pada titik lemah
akan lebih efektif dibandingkan dengan
memaksakan tenaga pada kekuatan yang besar
(Tzu, 1994: 6-26). Teori strategi yang digagas oleh
Sun Tzu merupakan grand teori yang dikemudian
harinya melahirkan berbagai teori-teori tentang
strategi.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat 4
(empat) teori tentang strategi yang masing-masing
memiliki asumsi tersendiri untuk menjelaskan
peristiwa yang menyangkut tentang strategi.
Keempat teori tersebut adalah Classical,
Evolutionary, Processual, dan Systemic. Teori
Klasik menekankan pada perencanaan dalam suatu
strategi, Evolutionary theory menekankan pada
keterbukaan dan tetap menjaga low cost.
Processual theory beranggapan bahwa strategi
bersifat dinamis dan biasanya terlahir secara
spontan dari langkah-langkah atau tindakan yang
telah dilakukan. Sedangkan Systemic Theory lebih
melihat bahwa strategi berhubungan dengan
sosiologi dan perilaku manusia.
Teori yang pertama ialah classical theory atau
Teori Klasik yang muncul pada tahun 1960-an di
dasarkan pada tradisi militer dimana didunia
internasional merupakan suatu keadaan yang
anarkis serta menganggap bahwa keberadaan
jenderal sangat diperlukan sebagai penentu
keputusan. Karena ditentukan oleh pemikriran
jenderal maka cenderung menekankan pada
perencanaan maka tersirat adanya analisis rasional,
pemisahan konsep dari eksekusi dan komitment
pada maksimalisasi keuntungan atau profit
(Whittington, 2001 : 11). Selain bidang militer
pemikiran teori kalsik juga mengacu pada ekonomi
dimana adanya pandangan teori klasik dalam
kontrol strategi terletak pada manajer atas
sedangkan implementasi dibebankan pada manajer
operasional yang memiliki divisi khusus.
Layaknya jenderal, manajer juga menyusun
rancangan yang matang dan bersifat jangka
panjang dengan mempertimbangkan pula segala
kemungkinan yang akan terjadi, resiko yang
mungkin timbul serta rumusan pemecahan
masalah. Sehingga teori klasik menekankan pada
kemampuan manajer dalam optimalisasi strategi
untuk mendapatkan keuntungan yang besar secara
rasional. Namun manajer atas memiliki tanggung
jawab utama dalam memastikan bahwa strategi
untuk mencapai sebuah kesesuaian yang efektif
atau sejalan antara kapabilitas sumberdaya
organisasi dengan lingkungan eksternal sehingga
mampu mengeksploitasi kesempatan yang ada.
Tahun 1960-an terdapat tiga pemikir yang sangat
mempengaruhi teori ini yaitu, Alfred Chandler,
Igor Ansoff, dan Alfred Sloan. Mereka
memberikan tiga point penting dalam kesuksesan
pembuatan suatu strategi bisnis, dimulai dari
melakukan analisis rasional, memisahkan konsep
dan pelaksanaan, dan komitmen untuk
mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya.
(Whittington,2001:11). Jadi dalam teori klasik
tersirat adanya spesialisasi kerja secara rasional
untuk mencapai keuntungan.
Teori yang kedua ialah proccessual theory
yang muncul pada tahun 1970-an, berbeda dengan
teori klasik dimana teori ini menganggap strategi
lebih pada sebuah seni dan menekankan pada
negosiasi dan tawar menawar. Dengan
kompleksitas dunia maka strategi suatu proses
yang berkelanjutan dan adaptif (Mintzberg dalam
Whittington, 2001 : 23). Hal inilah yang
menjadikan teori processual mengesampingkan
analisis rasional karena membatasi fleksibilitas
strategi dan mengurangi pencapaian kesuksesan.
Pendukung dari teori ini percaya bahwa
pembelajaran sebagai alat yang efektif dalam
mengembangkan strategi dalam kehidupan yang
tergolong sulit dan berubah-ubah. Oleh karena itu
teori prosesual ini adalah proses belajar dan
beradaptasi secara tiba-tiba dengan penyesuaian
lingkungan.
Teori yang ketiga ialah systemic Theory yang
muncul pada 1980-an. Asumsi dari teori ini
berbeda dengan teori klasik, perbedaanya ialah
12
bagaimana bertahan dalam situasi yang ada
(Whittington, 2001:16). Dalam bidang bisnis teori
sistemik ini sendiri berpandangan bahwa kegiatan
ekonomi tidak dapat dipisahkan dari hubungan
sosial seperti keluarga, negara atau agama. Faktor-
faktor sosial mempengaruhi cara dan menentukan
strategi apa yang cocok untuk menghadapi
keadaan. Hal ini sinkron dengan ucapan
Henderson yakni keselamatan bisnis dalam
lingkungan yang kompetitif bergantung pada
pembedaan strategi. (Henderson dalam
Whittington, 2001 : 18). Jadi dalam kondisi yang
sama aktor harus memiliki strategi yang berbeda
oleh karena itu terciptanya kompetisi di pasar
menjadikan banyak aktor untuk bersaing hingga
pada akhirnya aktor yang kuat akan tetap bertahan
dan aktor yang lemah tersingkirkan. Selain itu
penganut teori sistemik beranggapan bahwa dalam
pendekatan sistemik, organisasi tidak hanya terdiri
dari individu tetapi kelompok-kelompok sosial
dengan kepentingan. Variabel teori sistemik adalah
bersaing dengan kelas dan profesi, bangsa dan
negara, keluarga dan gender. Teori ini menganut
pemikiran strategi yang fleksibel dalam meraih
keuntungan karena keformalan seperti teori klasik
akan membuat stagnan dalam menanggapi evolusi
dunia. Sehingga pembuatan strategi tidak harus
menunggu kehadiran manajer.
Teori yang terakhir ialah evolutionary theory
atau teori evolusi yang muncul pada tahun 1990-
an. Teori evolusi tudak bergantung kepada
keterampilan manajemen puncak dalam upaya
perencanaan strategi dan atau untuk bertindak
secara rasional. Pemikiran teori evolusi tidak
terlalu bergantung pada pemikiran manajer,
didasari suatu keyakinan bahwa pasar dengan
sendirinya akan menentukan maksimalisasi laba,
bukan akibat pemikiran manajer. Berbeda dengan
teori klasik, dalam teori evolusi suatu persaingan
tidak diatasi dengan perhitungan terpisah, akan
tetapi dengan suatu perjuangan secara terus
menerus untuk mampu bertahan hidup (survive) di
kehidupan yang sesungguhnya. Esensi dari teori
evolusi sebenarnya adalah prinsip biologis seleksi
alam sebagaimana yang digagas oleh Charles
Darwin bahwa yang tidak mampu bertahan, maka
akan tersingkir. Sedangkan kaitannya dengan
pemikiran strategis, hal ini dijelaskan sebagai
suatu kondisi yang memungkinkan pihak-pihak
dengan performa terbaik akan bertahan dan
mengalir bersama arus kemajuan, sedangkan yang
lemah akan berangsung-angsur keluar dari pasar.
Pendekatan Klasik berdasarkan pendapat
Mintzberg (dalam Whittington 2001: 15)
menyatakan bahwa strategi berasal dari proses
pemikiran yang kuat dari dalam diri. Yang mana
strategi dihasilkan dari decision making yang
kemudian dapat diimplementasikan. Perumusan
strategi harus melalui analisis rasional yang
kemudian menghasilkan rencana-rencana untuk
penentuan tujuan jangka panjang (Whittington,
2001:13). Pendekatan Proses yang mana menurut
teori proses suatu strategi itu dibuat, dan bukan
dipilih (Whittington, 2001:23). Pendekatan ini
menjelaskan bahwa strategi muncul dari
kekacauan keadaan. Selain itu, pendekatan proses
menekankan pada sikap indivu untuk menerapkan
strategi dalam organisasi sehingga strategi dapat
diterapkan dalam kehidupan setiap harinya.
Pendekatan Sistemik, pendekatan ini memiliki
perbedaan dengan tiga pendekatan yang lainnya.
Menurut Shrivastava (1986 dalam Whittington,
2001:30) hal ini dikarenakan pendekatan ini
memasukkan unsur sosiologi di dalamnya.
Pendekatan ini dibuat atas dasar pertimbangan
sosial seperti struktur masyarakat. Selain itu,
struktur masyarakat yang ada dimungkinkan
mengubah tujuan awal dari seseorang, yang
kemudian berakibat pada penyesuaian kembali
atau perubahan strategi yang telah disusun untuk
mencapai tujuan. Apabila struktur sosial telah
tertanam diperlukan strategi yang efisien secara
sosiologis struktur sosial yang telah tertanam kuat
sulit untuk diubah (Whittington, 2001:10).
Sedangkan pendekatan evolusioner memberikan
gambaran bahwa kemampuan untuk survive atau
13
tetap bertahan hidup merupakan kunci dalam
sebuah kompetisi, (Whittington, 2001:17).
Keempat teori diatas memiliki titik temu yang pada
dasarnya menyatakan bahwa strategi itu
bergantung pada kepemimpinan, pilihan yang
dibuat, jalur yang mungkin, dan adaptif terhadap
kondisi yang berubah. Hal ini telah diuraikan
dalam teori strategi menurut Partidario (2012),
yang menyatakan bahwa strategi adalah sarana
yang dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai
tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah
visi, yang menampung jalur dalam kondisi yang
berubah.
Berdasarkan teori strategi menurut Partidario
tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi itu harus
memuat sesuatu yang akan diwujudkan pada waktu
yang berjangka panjang. Sesuatu yang akan
diwujudkan itu dinyatakan sebagai visi. Dalam
perjalanannya mewujudkan visi tersebut, strategi
harus mampu menyediakan jalur-jalur yang
mungkin untuk sebuah kondisi yang berubah. Pada
dasarnya strategi harus mampu mengarahkan
sarana yang dikehendaki sehingga tetap fokus pada
visi yang dibangun ketika menghadapi kondisi
yang berubah dalam perjalanan mewujudkan visi.
Visualisasi konsep strategi tersebut diperlihatkan
pada gambar dibawah ini :
Gambar 1. Visualisasi Konsep Strategi,
Partidario (2012)
Konsep strategi dalam teori ini sejalan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mintzberg
(1994), bahwa strategi tidak dimaksudkan untuk
menemukan apa yang mungkin terjadi di masa
mendatang tetapi untuk merencanakan dan
mengarahkan tindakan yang dapat membuat
rute/jalur yang mungkin untuk masa depan yang
diinginkan.
6. Determinasi Teori Sistem Pada Konsep
Strategi dalam Perencanaan.
Merujuk pada teori strategi yang telah
diungkap sebelumnya, mengarahkan pada upaya
memahami konsep berpikir dalam sistem. Teori
Kearifan, Russel Ackhoff (1989) telah menyatakan
bahwa sistem bukanlah hasil penjumlahan dari
perilaku masing-masing bagian; sistem adalah
produk interaksi dari masing-masing bagian. Teori
ini menerangkan bahwa dalam berpikir sistem
bagian-bagian tidak dapat dilihat secara terpisah,
akan menjadi berarti ketika bagian-bagian tersebut
telah berinteraksi. Kaitannya dengan konsep
strategi bahwa sarana yang dikehendaki sebagai
keputusan strategis tidak diambil dari informasi-
informasi yang terpisah, namun informasi tersebut
harus dibuat berinteraksi untuk menghasilkan
pengetahuan yang selanjunya melahirkan kearifan.
Kearifan itu menjadi keputusan yang penting
dalam konsep strategi.
Gambar 2. Teori Kearifan, Russel Ackhoff (1989)
Teori kearifan ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Triarko Nurlambang, (2016)
14
tentang piramida dari data menuju keputusan. Data
tidak dapat langsung menjadi keputusan, namun
ada tahapan proses dari data menjadi informasi,
informasi menjadi pengetahuan, pengetahuan
menjadi kearifan, dan kearifan menjadi keputusan.
Data hanya berisikan signal-signal tentang
kenyataan, belum dapat diketahui sesuatu.
Selanjutnya data akan mengungkap hubungan
setelah menjadi informasi. Selanjutnya informasi
mula terorganisir sifatnya, terstruktur dan
bermanfaat. Informasi akan membentuk pola yang
selanjutnya melahirkan pengetahuan. Pengetahuan
sifatnya kontekstual dan dapat disintesis.
Selanjutnya pengetahuan akan mengungkap
prinsip-prinsip masa lalu, tentang apa yang
terbaik. Tentang yang terbaik itu adalah kearifan
atau hikmah berupa pemahaman terpadu yang
dapat dilaksanakan. Pada akhirnya tindakan apa
yang dipilih untuk mewujudkan masa depan itulah
keputusan. Keputusan pada dasarnya merupakan
perubahan pergerakan. Gambaran piramida dari
data menuju keputusan diperlihatkan pada gambar
3.
Dalam konsep strategi yang sebelumnya
diuraikan, dinyatakan bahwa terdapat sarana yang
dikehendaki yang bertujuan untuk mencapai
tujuan jangka panjang yang di dorong oleh sebuah
visi. Implementasi dari penetapan sarana yang
dikehendaki itulah yang dijelaskan dalam teori-
teori perencanaan. Teori perencanaan mulai
berkembang pesat setelah terjadinya revolusi
industri sebagai akibat adanya respon
industrialisasi dan urbanisasi. Degradasi
lingkungan yang terjadi membuat pakar kota
menginginkan suatu reformasi Hal ini merupakan
sebuah perubahan yang sangat besar dalam
kehidupan kota. Revolusi industri sendiri telah
menciptakan kota-kota industri baru yang
sebelumnya tidak ada yaitu terjadi perpindahan
penduduk dari daerah pertanian ke daerah industri.
Lalu kota itu sendiri menjadi kepentingan yang
sangat besar bagi buruh, karena penduduk yang
pindah dari desa ke kota tidak memiliki
pengetahuan tentang industri baru atau kebutuhan
sosial dan teknis untuk hidup di kota. Setelah itu,
mulai muncul sebuah gagasan dari Patrick Geddes
tentang analisa terperinci dari pola pemukiman dan
lingkungan ekonomi lokal yang merupakan awal
dari lebih berkembangnya sebuah teori
perencanaan. Teori perencanaan mengalami
perkembangan pada 3 dimensi reformasi yaitu
reformasi politik, sosial, dan lingkungan.
Gambar 3. Piramida Data Menjadi Keputusan,
(2016).
Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan
berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun
dalam perkembangannya perencanaan tidak
dikembangkan berdasarkan teori perencanaan,
tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang
sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai
usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan
kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu ini sangat
diperlukan dalam merencanakan sebuah kota,
karena daam teori perencanaan membahas definisi,
pemahaman konteks, praktek-praktek, dan proses-
proses dalam perencanaan kota, dan bagaimana
pertumbuhannya dari asal-usul sejarah dan
kebudayaan masing-masing. Secara umum dari
KEPUTUSAN Perubahan Pergerakan
15
berbagai defenisi menurut teori, perencanaan
adalah serangkaian proses penentuan tindakan
masa depan yang disertai pertimbangan yang logis
dan kontinu untuk memanfaatkan sumber daya
yang ada semaksimal mungkin guna mencapai
tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian
dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini
menegaskan bahwa konsep strategi itu berada
diatas perencanaan. Berarti memahami konsep
strategi mengharuskan untuk memahami konsep
perencanaan, namun memahami konsep
perencanaan saja tidak memadai untuk memahami
konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi
tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk
fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa
menentukan bentuk yang jelas.
Pada hakikatnya, ilmu teori perencanaan
berkaitan erat dengan perencanan kota. Namun
dalam perkembangannya perencanaan tidak
dikembangkan berdasarkan teori perencanaan,
tetapi sebaliknya teori perencanaan berkembang
sebagai kelanjutan dari pengalaman mengenai
usaha manusia mengatasi keadaan lingkungan
kehidupannya. Oleh karena
itu, ilmu ini sangat diperlukan
dalam merencanakan sebuah
kota, karena dalam teori
perencanaan membahas
definisi, pemahaman konteks,
praktek-praktek, dan proses-
proses dalam perencanaan
kota, dan bagaimana
pertumbuhannya dari asal-
usul sejarah dan kebudayaan
masing-masing. Secara umum
dari berbagai defenisi menurut
teori, perencanaan adalah
serangkaian proses penentuan
tindakan masa depan yang
disertai pertimbangan yang
logis dan kontinu untuk memanfaatkan sumber
daya yang ada semaksimal ungkin guna mencapai
tujuan tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dipahami bahwa perencanaan merupakan bagian
dari implementasi konsep teori strategi. Hal ini
menegaskan bahwa konsep strategi itu berada
diatas perencanaan. Berarti memahami konsep
strategi mengharuskan untuk memahami konsep
perencanaan, namun memahami konsep
perencanaan saja tidak memadai untuk memahami
konsep strategi yang lebih luas. Konsep strategi
tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk
fokus pada persoalan tertentu, seiring tanpa
menentukan bentuk yang jelas.
7. Ruang Lingkup Keberlanjutan Dalam
Konsep Strategi.
Konsep strategi juga berkaitan dengan teori
keberlanjutan. Hal ini dapat dipahami karena
dalam konsep strategi terdapat upaya mengarahkan
tindakan yang dapat membuat rute/jalur yang
mungkin untuk masa depan yang diinginkan.
Menurut Gibson (2005), keberlanjutan pada
dasarnya sebuah konsep terpadu dan hasil irisan
antara kepentingan dan inisiatif ekologi, sosial dan
ekonomi.
Gambar 4. Konsep Keberlanjutan Menurut
Gibson, (2005)
16
Teori Keberlanjutan menuntut pemikiran
terintegrasi di mana semua aspek kehidupan
dipertimbangkan dalam hubungan satu
sama lain. Dimana masyarakat dibantu
untuk mengambil keputusan dan
kekuasaan atas perubahan di lingkungan
mereka ini dapat bertindak sebagai katalis
untuk membantu menciptakan koneksi
baru di dalam masyarakat, melepaskan
energi dan mengembangkan potensi, yang
dapat mengubah kondisi ekonomi serta
sosial. Pada akhirnya teori keberlanjutan
sebagai irisan kepentingan sosial, ekonomi
dan ekologi menjadi kurang dapat
dipahami bila dikaitkan dengan pendekatan
berpikir dalam sistem sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya dalam teori
kearifan. Bahwa keberlanjutan itu bukan
merupakan penjumlahan dari bagian-bagian sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Namun interaksi dari
bagian-bagian itu. Irisan bukanlah interaksi yang
sesungguhnya namun hanya upaya menghubung-
hubungkan melalui penanganan dampak jangka
pendek pada permasalahan yang dihadapi saat ini.
Belum menjadikan visi dimasa yang akan datang
sebagai fokus yang akan dicapai, kemudian
merunut kekondisi saat ini dan melangkah
perlahan-lahan dengan menetapkan jalur yang
mungkin untuk mewujudkan visi. Pada akhirnya
keberlanjutan itu harus diarahkan oleh konsep
strategi. Dimana sarana yang dipilih harus tetap
mampu mengarahkan pada rute atau jalur yang
mungkin untuk mewujudkan kondisi masa akan
datang yang diinginkan.
Keberlanjutan itu diwujudkan, mulai dengan
tujuan akhir di kepala, kemudian mundur dari titik
visi ke masa kini. Selanjutnya bergerak selangkah
demi selangkah menuju visi tadi. Konsep ini
menjelaskan bahwa betapapun kondisi berubah
selalu ada rute atau jalur kembali untuk
mewujudkan visi. Bukan hanya fokus pada upaya
mengurangi dampak atau pengaruh jangka pendek
dari pilihan sarana-sarana yang mungkin jadi telah
menyimpang dari rute atau jalur yang mungkin
untuk mewujudkan visi.
Gambar 5. Visualisasi Keberlanjutan Dalam
Kerangka Konsep Strategi
8. Perubahan Filosofi Berpikir dalam Konsep
Perencanaan.
Definisi perencanaan sebagai disiplin sangat
luas, mulai dari yang pragmatikal seperti
perencanaan adalah apa yang perencana lakukan
(Vicker dalam Alexander: 1992) sampai pada skala
yang luas. Meski bervariasi, terlihat bahwa fokus
utama dari perencanaan adalah orientasi tentang
masa depan dan cara-cara atau metode untuk
mencapainya. Walau perencanaan berorientasi ke
masa depan, perencanaan juga berorientasi pada
masa sekarang. Berorientasi pada masa depan,
berarti melakukan pemikiran tentang kondisi masa
sekarang sebagai hasil dari masa lalu, dan melihat
kemungkinan apa yang bisa dicapai pada masa
depan (Dempster, 1998). Karenanya, merencana
berarti melakukan pemikiran tentang kondisi
sekarang dan lalu melihat kemungkinan yang dapat
dicapai pada masa depan, dan menyusun rangkaian
tindakan untuk mewujudkan apa yang dipikirkan.
Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa
pada tataran general dan abstrak, perencanaan
adalah menyusun apa yang kita pikirkan ke dalam
17
tindakan, sebagaimana yang disimpulkan
Friedman (1987) bahwa perencanaan adalah upaya
untuk menghubungkan pengetahuan ilmiah dan
teknis kepada tindakan-tindakan di domain publik.
Dalam melihat bentuk-bentuk perencanaan
sebagai upaya mewujudkan apa yang dipikirkan
dalam tindakan nyata (to link knowledge and
action) ini, beberapa teori berfokus pada bentuk
kegiatan, seperti pengambilan keputusan
(Conyers, 1984; Faludi dalam Almendinger 2002),
sedangkan sebagian teori lainnya berfokus pada
proses (Brooks, 2001; Healey, 1987; Forester,
1989).
Dalam perkembangannya teori perencanaan
diatas hanya fokus pada perkembangan prosesnya.
Pada era post-modern teori-teori perencanaan telah
mengadopsi pendekatan berpikir dalam sistem,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Teori
Kearifan, Russel Ackhoff (1989). Komponen
dalam perencanaan telah diberdayakan dalam
pengambilan keputusan. Namun teori-teori
perencanaan tersebut belum mengakomodir
konsep strategi atau belum berada pada wilayah
berpikir strategis. Hal ini dikarenakan
perkembangannya hanya pada proses melalui
pelibatan multipihak dalam perencanaan.
Perencanaan masih dipandang pada bagaimana
mencari kajian dampak melalui upaya melihat ke
belakang (backwards looking), kemudian
mengkaji dampak dari nilai yang sudah ada, dan
memperbaiki situasi. Sementara esensi dari pola
pikir untuk menciptakan konteks keberlanjutan
pada perencanaan melalui upaya melihat kedepan
(forward looking), membuka peluang,
mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan. Oleh
karena itu perencanaan hari ini tidak hanya
dikembangkan pada prosesnya namun juga pada
filosofi berpikirnya. Berpikir strategis akan
menambah rantai nilai pada perencanaan yang
dilakukan. Berpikir strategis menuntut untuk
berpikir kreatif dan ketidakstabilan, berpikir
kompeksitas, berpikir dalam sistem. Menciptakan
konteks untuk pembangunan berkelanjutan yang
bertujuan pada pengintegrasian isu-isu sosial dan
lingkungan dalam penyusunan strategi dan
membantu perumusan jalan/jalur menuju
keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh
kebijakan, rencana dan program (Partidário, 2007).
9. Kerangka Kerja KLHS.
Kerangka kerja KLHS dengan pendekatan
strategic thingking dipercaya menjadi pilihan
untuk memfasilitasi model perencanaan yang lebih
strategis dan sistemik (Vicente dan Partidario,
2006). Dalam model berpikir strategis KLHS
dimaksudkan untuk membantu memahami konteks
pembangunan, mengindetifikasi dengan tepat,
mengetahui akar masalah, membantu menemukan
opsi yang layak untuk lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan dalam rangka
mencapai strategi objektif. Mekanisme
dilaksanakan melalui berpikir dalam sistem, proses
pengambilan kebijakan, berbagi pengetahuan,
jaringan antara stakeholder, dialog, kerjasama
antar-sektoral dan pemerintah. Latar belakang
scientific tidak akan dikembangkan dalam proses
ini, namun prinsip-prinsip utama scientific menjadi
model dalam pendekatan ini, yaitu :
• Aksi strategis yang dihasilkan merupakan hasil
dari siklus pengambilan keputusan, sangat
terkait dengan formulasi kebijakan dan
dikembangkan dalam konteks proses
perencanaan serta pengembangan program.
• Strategis adalah karakteristik dari keyakinan
akan ketidakpastian dan model aksi sebagai
fungsi dari munculnya kejadian tak terduga
pada jalur yang dipilih.
• Kompleksitas dari sistem alam dan sosial
menuntut untuk memperhatikan kedua
prespektif sistem tersebut dan mengakui bahwa
perilaku sistem tidak bias diketahui hanya
dengan mengetahui unsur-unsur yang
membangun sistem.
18
Sebuah peristilahan baru adalah penting untuk
mengubah prespektif dari berpikir strategis dengan
berpikir dampak pada evaluasi program.
Kebanyakan istilah yang digunakan dalam
AMDAL yaitu dampak, baseline, dan mitigasi
yang kesemuanya terkait untuk proyek berpikir
pada dimensi fisik serta pendekatan deskriptif yang
biasa dalam AMDAL. Berpikir strategis
melibatkan nilai, tidak terstruktur secara fisik,
namun lebih fokus pada kolaborasi berdasarkan
dialog dan pemikiran jangka panjang. Oleh Karena
itu terminologi yang digunakan pada KLHS harus
menggambarkan perbedaan dengan AMDAL.
Adapun istilah baru yang digunakan pada KLHS
berpikir strategis adalah sebagai berikut :
Terminologi
Tradisional
AMDAL
Model Strategis
Dalam KLHS
Mengapa
digunakan
peristilahan
tersebut
Pelingkupan Faktor Penting
Pengambilan
Keputusan
Memastikan diskusi
pengambilan
keputusan fokus
pada permasalahan
tidak melebar pada
persoalan
lingkungan yang
luas.
Fase
Perencanaan
Jendela Keputusan Kunci yang penting
saat KLHS
memberikan hasil
yang lebih baik
bukan hanya
bersifat normatif.
Baseline Konteks dan
Kecenderungannya
Melakukan analisis
yang sifatnya lebih
dinamis bukan
hanya mengetahui
kondisi saat ini.
Alternatif Opsi Strategis Opsi jalur strategis
untuk memenuhi
objektifitas bukan
hanya pilihan
operasional
Dampak Peluang dan
Resiko
Penilaian yang
lebih dinamis dan
berupa pilihan yang
lebih baik dari pada
hanya
mempertimbangkan
efek dari
terbatasnya pilihan.
Mitigasi Pedoman
(perencanaan,
manajemen)
Mengasumsikan
perubahan dan
peningkatan dimasa
yang akan datang
bukan hanya
mengurangi
bahaya.
KLHS bukan hanya tentang studi teknis.
Namun KLHS juga tentang bagaimana mengatur
platform untuk dialog antar stakeholder dan proses
fasilitasi dalam pengambilan keputusan. Terdapat
setidaknya empat komponen yang berkontribusi
dalam model KLHS strategic thingking :
• Komponen Teknis. Meliputi pengetahuan para
pakar atau ahli dan studi khusus untuk
mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan
pengetahuan tentang hal-hal perioritas dan isu
strategis. Menentukan perioritas, analisis trend,
penilaian, pedoman tindak lanjut yang akan
dilaksanakan bersama, termasuk pilihan
stakeholder yang akan dilibatkan dalam tim,
sumber informasi yang tersedia, teknis dan
metode yang digunakan. Komponen teknis juga
harus menyediakan metode komunikasi yang
dipilih untuk menggerakkan berbagai
stakeholder pada saat mengambil keputusan
penting dalam proses perencanaan.
• Komponen Proses. Sangat vital dalam
membangun dialog antara KLHS dengan proses
pengambilan keputusan sebagai suatu siklus.
KLHS harus dipastikan lebih fleksibel dan
mampu beradaptasi pada banyak kasus.
Hubungan antara proses KLHS dan proses
perencanaan serta proses penyusunan program
dipastikan melalui jendela keputusan, tata
aturan pemerintahan yang diadopsi untuk
mengintegrasikan proses yang ada.
• Komponen Kelembagaan. Komponen ini
penting untuk memahami peran kelembagaan
dalam pengambilan keputusan. Hal ini terkait
dengan analisis hubungan kelembagaan dan
perubahannya, sesuai dengan kebutuhan atau
akibat dari dinamika kebijakan dan
19
meningkatkan kapasitas kebijakan yang
dihasilkan sebagai ukuran keberhasilan
pelaksanaan KLHS. Hubungan antara
kelembagaan dapat berlangsung secara formal
dan nonformal. Untuk hubungan yang sifatnya
formal diharapkan dapat meningkatkan
responsibilitas, kapasitas keputusan, tata aturan
yang digunakan dalam pengambilan keputusan,
termasuk juga kerangka hukum dan peraturan.
Analisis kelembagaan juga diperlukan untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih tanggung
jawab, kesenjangan, dan posisi yang tidak tepat
serta memberdayakan inisiasi yang sifatnya
sukarela.
• Komponen Komunikasi dan Pelibatan
Multipihak. Komunikasi penting dilakukan
untuk mengetahui sumber informasi yang tepat,
jaringan dan pelibatan publik. Hal ini akan
memungkinkan terjadinya pertukaran
pengetahuan, berbagi prespektif, merumuskan
pendapat, dan mengintegrasikan visi dengan
membangun partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan penting.
KESIMPULAN
Perkembangan teori perencanaan telah
mengarah dari alur instrumental rasionalitas ke
alur komunikatif rasionalitas, yaitu suatu
pemahaman bahwa perencanaan perlu melibatkan
berbagai aspek yang terlibat di dalam perencanaan,
termasuk di dalamnya adalah masyarakat sebagai
bagian penting dalam proses perencanaan. Teori
perencanaan sebagai suatu perspektif, ternyata
telah mengantarkan perlunya pelibatan masyarakat
dalam perencananaan melalui berbagai bentuk
konsep baik teoritis maupun praktek, seperti
partisipatif dan colaboratif.
Namun perkembangan teori perencanaan
tersebut hanya pada prosesnya tidak mengubah
keseluruhan pada filosofinya. Perencanaan masih
dipandang pada bagaimana mencari kajian dampak
melalui upaya melihat ke belakang (backwards
looking), kemudian mengkaji dampak dari nilai
yang sudah ada, dan memperbaiki situasi.
Sementara esensi dari pola pikir untuk
menciptakan konteks keberlanjutan pada
perencanaan melalui upaya melihat kedepan
(forward looking), membuka peluang,
mengeksplorasi nilai baru belum diwujudkan.
Berpikir strategis akan menambah rantai nilai
pada perencanaan yang dilakukan. Berpikir
strategis menuntut untuk berpikir kreatif dan
ketidakstabilan, berpikir kompleksitas, berpikir
dalam sistem. Menciptakan konteks untuk
pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada
pengintegrasian isu-isu sosial, ekonomi dan
lingkungan dalam penyusunan strategi dan
membantu perumusan jalan/jalur menuju
keberlanjutan, bukan sekedar melihat pengaruh
kebijakan, rencana dan program.
Oleh karena itu perencanaan harus melibatkan
pendekatan berpikir strategis. Pendekatan yang
tidak hanya dimaksudkan untuk menemukan apa
yang mungkin terjadi di masa mendatang tetapi
untuk merencanakan dan mengarahkan tindakan
yang dapat membuat rute/jalur yang mungkin
untuk masa depan yang diinginkan. Kerangka kerja
KLHS dengan pendekatan strategic thingking
dipercaya menjadi pilihan untuk memfasilitasi
model perencanaan yang lebih strategis dan
sistemik di era-modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, J.,1996. Sharing the city: community
participation in urban management
(1sted.). London: Earthscan Publication
Ltd.
Akadun., 2011. “Revitalisasi Forum Musrenbang
sebagai Wahana Parttisipasi Masyarakat
dalam Perencanaan Pembangunan”,
MIMBAR, Jurnal Sosial dan
Pembangunan, Vol. XXVII,No.2
(Desember 2011): hal. 183-191
‘Terakreditasi’ SK Dikti No.
20
64a/DIKTI/Kep/ 2010.
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mim
bar/article/view/327. Diunduh pada
tanggal 8 September 2013
Allmendinger, Philip, 2002, Toward Post-
Positivist Typology of Planning Theory,
SAGE Publication, 1 (1). 77-99.
Alexander, Ernest (1996), After Rationality:
Towards a Contingency Theory of
Planning, dalam Mandelbaum et.al.eds,
(1996), Explorations in Planning Theory,
Rutgers, The State University of New
Jersey, New Jersey.
Burkholder, S. H., Chupp, M., & Star, P.(2003).
Principles of spasial planning for
community development. Cleve and:
Maxine Goodman Levin College of Urban
Affairs.
Conyers, D., 1984. “Perencanaan Sosial di Dunia
Ketiga, Suatu Pengantar” (Susetiawan,
Trans.). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Conyers, D., & Hills, P., 1984. An introductionto
development planning in the Third Wolrd.
New York: John Wiley & Sons Ltd.
Day, C., & Parnell, R., 2003. Consensus Design:
Socially inclusive process. Oxford:
Architectural Press.
Djoeffan, S., 2002. “Strategi Partisipasi
Masyarakat dalam Perencanaan
Pembangunan di Indonesia”. MIMBAR,
Jurnal Sosial dan Pembangunan, 18,
mar.http://ejournal.unisba.ac.id/index.php
/mimbar/article/view/63>. Diunduh pada
tanggal 18 Januari 2014.
Ernawi, I. S., 2010. Morphology – Transformasi
dalam Ruang Perkotaan yang
Berkelanjutan. Paper presented at the
Seminar Nasional “Morfologi –
Transformasi Dalam Ruang Perkotaan
Yang Berkelanjutan”.
Forester, John, 1989, Planning in The Face of
Power, University of California Press
California.
Friedman John, 2003, Why Do Planning Theory?,
Planning Theory vol. 2(1): 7-10, Sage
Publications, London.
Friedman, John, 1987, Planning in The Public
Domain, Princeton University Press,
Okford.
Healey, P., 2006. Collaborative Planning: Shaping
Places in Fragmented Societies. New
York: Palgrave Macmillan.
Hanzhang, Tao. 1998. “General Tao Hanzhang’s
Commentary on the Art of War, dalam Sun
Tzu, the Art of War. Hertfordshire:
Wordworth Classic of World Literature,
pp. 63-130.
Keraf, A., Sonny. “Etika Lingkungan”. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G., 2000. “Paradigmatic
controversies, contradictions, and
emerging confluences”. In N. K. Denzin &
Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of
qualitative research (2nd ed., pp. 163-188).
London: Sage Publications.
Partidário, M., 2012. Strategic Environmental
Assessment Better Practice Guide-
methodological guidance for strategic
thinking in SEA. Lisboa, Portugal:
Portuguese Environment Agency and
Redes Energéticas Nacionais SA.
Partidário, M.R., 2003. STRATEGIC
ENVIRONMENTAL ASSESSMENT
(SEA) current practices, future demands
and capacity-building needs. International
21
Association for Impact Assessment IAIA
Training Courses.
Partidário, M.R., 2007. Scales and associated
data—What is enough for SEA needs?.
Environmental Impact Assessment
Review, 27(5), pp.460-478.
Partidário, M.R. and Arts, J., 2005. Exploring the
concept of strategic environmental
assessment follow-up. Impact Assessment
and Project Appraisal, 23(3), pp.246-257.
Saraswati, 2006. “Kearifan Budaya Lokal Dalam
Prespektif Teori Perencanaan”, Jurnal
PWK Unisba.
Soerjodibroto, G., 2007. Upaya menuju tata ruang
yang efektiv: masalah dan tantangan.
Paper presented at the Seminar Tata Ruang
UNDIP Semarang.
Sufianti, E., dkk, 2012. “Proses Kolaboratif dalam
Perencanaan Berbasis Komunikasi Pada
Masyarakat Non Kolaboratif”. Mimbar.
Volume 29, Nomor 2, Desember 2013, hal.
133-144.
Saragih, T.M, 2011. ”Konsep Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan
Kawasan”. Jurnal Sasi. Volume 17, Nomor
3, Juli-September 2011, 11-20.
Sofyan, A., 2007. Mengkritisi Perencanaan
Pembangunan, Online:
(https://khazanaharham.
wordpress.com/2007/09/04/menkritisi-
perencanaan-pembangunan), diakses 27
Juli 2017.
Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Tzu, Sun, 1998. the Art of War. Hertfordshire:
Wordworth Classic of World Literature,
pp. 10- 53
Tzu, Sun and John Minford, 2002. “the Art of
War”, New England Review, Vol. 23, No.
3, pp. 5-28.
Van Creveld, Martin. 2000. “Chinese Military
Thought”, dalam the Art of War: War and
Military Thought. New York: Harper
Collins Books, pp.22-41.
Wee, Chow-Hou. 2006. Sun Tzu Art of War.
Jakarta: BIP.
Whittington, Richard. 2001. “Theories of
Strategy”, dalam What is Strategy –and
does it matter?, London: Thompson, pp. 9-
40.