perubahan konsumsi dan pengeluaran rumah …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/msu_1.pdf ·...

17
1 PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS 1999 – 2005 1 Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 1616 ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan Indonesia menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga. Fakta empiris tentang pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan tersebut selanjutnya akan dikaitkan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga di perdesaan. Analisis dilakukan secara deskriptif analitik dengan menggunakan data Susenas 1999, 2002 dan 2005 yang bersumber dari BPS. Hasil analisis menunjukkan bahwa di perdesaan selama 1999-2005: (1) proporsi rumah tangga rentan dan rawan pangan, bermata pencaharian pertanian serta kelompok yang tergolong berpendapatan rendah (miskin) jumlahnya cukup besar dan cenderung meningkat. Upaya penanganan untuk peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan perlu diprioritaskan pada kelompok tersebut; (2) terjadi peningkatan pendapatan (nominal) rumah tangga namun secara riil cenderung menurun; dan (3) terjadi perubahan konsumsi dan pengeluaran pangan pokok dan mengarah pada mie/terigu, meningkatnya konsumsi dan pengeluaran untuk makanan jadi dan rokok (tembakau+sirih), konsumsi energi dan protein masih kurang dari standar kecukupan terutama pada kelompok rumah tangga kurang dan rawan pangan serta kelompok berpendapatan rendah. Saran yang direkomendasikan adalah (1) pemanfaatan lahan terlantar untuk pengembangan dan perluasan areal umbi-umbian dan palawija di perdesaan dengan melibatkan secara aktif kelompok rentan dan rawan dan berpendapatan rendah untuk meningkatkan ketersediaan pangan, kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan; (2) pemantauan terhadap kualitas dan keamanan pangan terhadap industri makanan terutama untuk menjamin keamanan pangan makanan jadi yang dikonsumsi agar masalah kerawanan pangan dan kemiskinan tidak diperparah oleh masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi makanan jadi. emikian halnya tentang konsumsi rokok (tembakau+sirih), sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan perlu terus diintensifkan. Kata kunci: konsumsi, pengeluaran, rumah tangga, derajat ketahanan pangan, perdesaan PENDAHULUAN Pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga umumnya berbeda antar agroekosistem, antar kelompok pendapatan, antar etnis atau suku dan antar waktu. Struktur pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan rumah tangga. Dalam hal ini rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif dibanding rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah (Rachman, HPS, 2001). 1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 November 2008

Upload: trandan

Post on 30-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS 1999 – 20051

Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 1616

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan Indonesia menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga. Fakta empiris tentang pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan tersebut selanjutnya akan dikaitkan dengan upaya peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga di perdesaan. Analisis dilakukan secara deskriptif analitik dengan menggunakan data Susenas 1999, 2002 dan 2005 yang bersumber dari BPS. Hasil analisis menunjukkan bahwa di perdesaan selama 1999-2005: (1) proporsi rumah tangga rentan dan rawan pangan, bermata pencaharian pertanian serta kelompok yang tergolong berpendapatan rendah (miskin) jumlahnya cukup besar dan cenderung meningkat. Upaya penanganan untuk peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan perlu diprioritaskan pada kelompok tersebut; (2) terjadi peningkatan pendapatan (nominal) rumah tangga namun secara riil cenderung menurun; dan (3) terjadi perubahan konsumsi dan pengeluaran pangan pokok dan mengarah pada mie/terigu, meningkatnya konsumsi dan pengeluaran untuk makanan jadi dan rokok (tembakau+sirih), konsumsi energi dan protein masih kurang dari standar kecukupan terutama pada kelompok rumah tangga kurang dan rawan pangan serta kelompok berpendapatan rendah. Saran yang direkomendasikan adalah (1) pemanfaatan lahan terlantar untuk pengembangan dan perluasan areal umbi-umbian dan palawija di perdesaan dengan melibatkan secara aktif kelompok rentan dan rawan dan berpendapatan rendah untuk meningkatkan ketersediaan pangan, kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan; (2) pemantauan terhadap kualitas dan keamanan pangan terhadap industri makanan terutama untuk menjamin keamanan pangan makanan jadi yang dikonsumsi agar masalah kerawanan pangan dan kemiskinan tidak diperparah oleh masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi makanan jadi. emikian halnya tentang konsumsi rokok (tembakau+sirih), sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan perlu terus diintensifkan.

Kata kunci: konsumsi, pengeluaran, rumah tangga, derajat ketahanan pangan, perdesaan

PENDAHULUAN

Pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga umumnya berbeda antar

agroekosistem, antar kelompok pendapatan, antar etnis atau suku dan antar waktu.

Struktur pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat

kesejahteraan rumah tangga. Dalam hal ini rumah tangga dengan pangsa pengeluaran

pangan tinggi tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif

dibanding rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah

(Rachman, HPS, 2001).

1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN

PERDESAAN”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 November 2008

2

Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu

faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga. Dari sisi norma gizi

terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar

dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Dalam ukuran energi dan protein masing-

masing dibutuhkan 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari (WKNPG, 2004).

Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan berpengaruh

terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang

kekurangan konsumsi pangan dalam jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita)

akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Pemahaman terhadap

perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga berguna untuk memahami

kondisi kesejahteraan rumah tangga, tingkat dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi

serta perubahan yang terjadi. Bappenas (2007) melaporkan bahwa salah satu bidang

yang belum mengarah pada pencapaian MDGs di Indonesia adalah bidang gizi. Masalah

gizi yang dihadapi seorang individu terkait erat dengan pola konsumsi rumah tangga.

Adalah fakta bahwa proporsi jumlah penduduk Indonesia yang ada di wilayah

perdesaan lebih tinggi (56.88 %), dan kemiskinan juga lebih tinggi (63,52 %) dibanding

wilayah perkotaan (BPS, 2007). Oleh karena itu, pemahaman terhadap perubahan pola

konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan diharapkan bermanfaat bagi

pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi khususnya terkait dengan ketahanan

pangan dan pengentasan kemiskinan.

Berdasar latar belakang tersebut tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perubahan

pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan Indonesia menurut derajat

ketahanan pangan rumah tangga. Fakta empiris tentang pola konsumsi dan pengeluaran

rumah tangga di perdesaan tersebut selanjutnya akan dikaitkan dengan upaya

peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga di perdesaan.

METODA PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Dalam pengambilan keputusan rumah tangga, alokasi pengeluaran untuk

konsumsi dibatasi oleh tingkat pendapatan yang dimiliki rumah tangga. Magrabi, et al

(1991) mengelompokkan kebutuhan konsumsi rumah tangga menjadi dua kelompok

yaitu kebutuhan konsumsi pangan (KF) dan konsumsi non pangan (KNF). Dengan

asumsi pendapatan rumah tangga seluruhnya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi (tabungan atau saving = 0), maka total pengeluaran rumah tangga (TE) =

pendapatan rumah tangga (IC). Dalam kondisi demikian, alokasi pengeluaran rumah

tangga secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

TE = IC = KF + KNF (1)

KF = Pi Qi untuk i = 1,2, ………..n (2)

KNF = Pj Qj untuk j = 1,2, ………k (3)

3

Apabila persamaan di atas dituliskan dalam bentuk pangsa, diperoleh persamaan

berikut:

SKF = KF/TE (4)

SKNF = KNF/TE (5)

SKF + SKNF = 1.0 (6)

dimana Pi dan Pj adalah harga dari komoditas i dan j untuk i j , Qi dan Qj menunjukkan

jumlah komoditas i dan j yang dikonsumsi, SKF adalah pangsa pengeluaran pangan,

SKNF adalah pangsa pengeluaran non pangan, dan TE adalah total pengeluaran rumah

tangga yang digunakan sebagai proksi dari pendapatan rumah tangga.

Mengingat pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat

bertahan hidup secara sehat, maka seseorang akan mengalokasikan pengeluaran untuk

pangan terlebih dahulu, berikutnya mengalokasikan untuk pengeluaran non pangan.

Secara empiris terbukti bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga semakin rendah

pangsa pengeluaran untuk pangan (Pakpahan et al, 1993; Rachman dan Suhartini, 1996;

Ariani, et al, 2000, Rachman, HPS, 2001). Hal ini secara teoritis ditunjukkan oleh

adanya hukum Working yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara

pangsa pengeluaran pangan dengan pengeluaran total (pendapatan) rumah tangga

(Pakpahan et al, 1993). Berdasar kerangka pemikiran seperti itu pangsa pengeluaran

pangan sering dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur (secara relatif)

tingkat kesejahteraan rumah tangga.

Undang-undang Pangan No 7 tahun 1996 pada Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa

ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata

dan terjangkau. Di tingkat rumah tangga, ketahanan pangan paling tidak dipengaruhi

oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat pendapatan atau daya

beli. Tingkat pendapatan dipengaruhi oleh jumlah dan produktivitas tenaga kerja rumah

tangga, aset yang dikuasai (lahan pertanian khususnya) dan jenis pekerjaan. Sementara

itu daya beli ditentukan oleh besarnya pendapatan rumah tangga dan tingkat harga-

harga pangan. Daya beli rumah tangga yang didekati dari pangsa pengeluaran pangan

dan tingkat konsumsi pangan yang diukur dalam satuan energi akan menentukan tingkat

(derajat) ketahanan pangan rumah tangga. Oleh karena itu analisis perubahan konsumsi

dan pengeluaran rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga di

perdesaan diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan perumusan kebijakan pangan

dan gizi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga di perdesaan.

Cakupan Analisis

Perubahan konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan dianalisis

menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga khususnya pada kelompok rumah

tangga yang tidak tahan pangan dilakukan pada kurun waktu 1999 – 2005. Sebelum itu

diungkapkan perkembangan sebaran derajat ketahanan pangan rumah tangga di

4

Indonesia menurut wilayah, tipe daerah, jenis pekerjaan utama dan kelompok

pendapatan. Perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga dikelompokkan

untuk pangan dan non pangan; dan khusus untuk konsumsi pangan dirinci menurut

beberapa jenis pangan penting.

Selain itu, akan dianalisis perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah

tangga di perdesaan untuk makanan jadi dan untuk rokok/tembakau/sirih. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan adanya beberapa temuan dan informasi yang

menyebutkan bahwa kelompok rumah tangga miskin mengalokasikan pengeluaran

untuk kedua kelompok pengeluaran tersebut pada porsi yang cukup tinggi. Pengeluaran

untuk makanan jadi di perdesaan menunjukkan perubahan pola konsumsi ke arah pola

pengeluaran rumah tangga di wilayah perkotaan. Sementara itu tingginya porsi

pengeluaran untuk rokok padahal tingkat konsumsi pangan menurut norma gizi belum

terpenuhi akan berdampak pada kondisi kesehatan rumah tangga. Hal tersebut akan

dianalisis secara empiris dalam tulisan ini.

Metoda Analisis

Analisis pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga dilakukan secara deskriptif

analitik melalui tabel-tabel analisis. Untuk melihat perubahan pola konsumsi dan

pengeluaran rumah tangga, analisis dilakukan pada tiga periode yaitu tahun 1999, 2002

dan 2005. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan rumah tangga di perdesaan

menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga. Pengelompokan rumah tangga

menurut derajat ketahanan pangan dilakukan dengan mengadopsi metode yang

dilakukan oleh Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell, D. et al (2000).

Jonsson and Toole (1991) dalam Maxwell, D. et al (2000) mengklasifikan derajat

ketahanan pangan rumah tangga ke dalam 4 (empat ) kategori yaitu (1) tahan pangan;

(2) kurang pangan; (3) rentan pangan, dan (4) rawan pangan. Pengelompokan tersebut

didasarkan pada pertimbangan aspek gizi dan ekonomi. Dari aspek gizi diukur dalam

pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dalam satuan energi dan dari aspek ekonomi

diukur dari pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga.

Secara rinci pengelompokan rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Derajat ketahanan pangan rumah tangga menurut tingkat konsumsi energi dan pangsa pengeluaran pangan

Pangsa pengeluaran pangan rumah tanggaKonsumsi energi ekivalen dewasa Rendah (≤60 persen) Tinggi (> 60 persen)Cukup (> 80 % syarat kecukupan energi)

Tahan Pangan Rentan Pangan

Kurang (≤ 80 % syarat kecukupan energi)

Kurang Pangan Rawan Pangan

Sumber : diadopsi dari Jonsson and Toole (1991) dalam Maxwell, D. et al (2000)

5

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian merupakan data hasil survei rumah

tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu data Survei Sosial

Ekonomi Nasional (Susenas). Data yang dianalisis adalah data Susenas tahun 1999,

2002, dan 2005, di mana jumlah contoh Susenas setiap tahun adalah 68 000 rumah

tangga. Jenis data yang dianalisis meliputi data modul konsumsi (kuantitas dan nilai)

pangan yang dilakukan rumah tangga selama seminggu yang lalu dari periode survei

dilakukan. Analisis dalam setahun dilakukan dengan mengalikan tingkat konsumsi

dalam satu minggu dengan mengalikan jumlah minggu dalam setahun (dikalikan 52).

Sementara untuk konsumsi non pangan, pengeluaran yang dilakukan rumah tangga

selama sebulan, enam bulan atau satu tahun yang lalu tergantung jenis pengeluaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan

Perkembangan sebaran rumah tangga di Indonesia menurut derajat ketahanan

pangan menunjukkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang tergolong rentan

pangan memiliki pangsa yang paling besar di antara empat ketegori yang ada. Hal

tersebut terjadi pada tahun 1999, 2002 dan 2005 dengan besaran lebih dari 40 persen.

Kondisi serupa terjadi di daerah perdesaan dengan proporsi lebih dari 50 persen, bahkan

pada tahun 2002 mencapai sekitar 60 persen (Gambar 1). Berdasar kategori yang ada,

kelompok rentan pangan adalah rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi cukup

namun memiliki pangsa pengeluaran pangan yang tinggi. Hal ini dapat diinterpretasikan

bahwa kelompok rumah tangga tersebut relatif kurang sejahtera (miskin) namun dapat

memenuhi konsumsi energi. Dalam hal demikian peningkatan ketahanan pangan

kelompok rumah tangga tersebut perlu dicermati lebih lanjut dari segi kualitas

konsumsi.

Gambar 1. Perkembangan distribusi rumah tangga di Indonesia menurut derajat ketahanan pangan dan tipe daerah, 1999, 2002 dan 2005

6

Kondisi di daerah perkotaan menunjukkan pola yang berbeda, proporsi rumah

tangga tahan pangan merupakan porsi tertinggi dan cenderung meningkat antar waktu.

Searah dengan itu, proporsi rumah tangga yang tidak tahan pangan (kurang pangan,

rentan pangan dan rawan pangan) di perkotaan cenderung menurun. Fakta tersebut

menunjukkan pentingnya memberikan prioritas penanganan masalah ketahanan pangan

di daerah perdesaan.

Apabila dibedakan menurut wilayah (Jawa – luar Jawa), terlihat bahwa pola

daerah luar Jawa serupa dengan daerah perdesaan dimana proporsi rumah tangga yang

tergolong rentan pangan merupakan porsi terbesar (43 – 57 persen). Sementara itu pola

yang ada di Jawa mendekati pola yang ada di daerah perkotaan, di mana proporsi rumah

tangga yang tahan pangan tertinggi dan cenderung meningkat antar waktu (Gambar 2).

Dengan dua gambaran distribusi rumah tangga menurut tipe daerah dan wilayah

tersebut menunjukan bahwa prioritas penanganan masalah ketahanan pangan perlu

diarahkan pada wilayah perdesaan khususnya di wilayah luar Jawa.

Gambar 2. Perkembangan distribusi rumah tangga di Indonesia menurut derajat ketahanan pangan dan wilayah, 1999, 2002 dan 2005

Dengan mengelompokkan rumah tangga menurut tingkat pendapatan (diproksi

dengan pengeluaran total rumah tangga) menurut klasifikasi Bank Dunia (40 persen,

terendah sebagai kelompok pendapatan rendah, 20 persen tertinggi sebagai kelompok

pendapatan tinggi, dan 40 persen di antaranya sebagai kelompok pendapatan sedang),

gambaran sebaran rumah tangga di Indonesia menurut derajat ketahanan pangan rumah

tangga dapat dilihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa pada rumah tangga dengan

pendapatan rendah proporsi rumah tangga yang tahan pangan relatif kecil (enam persen

pada tahun 1999 menjadi 15 persen di tahun 2005), sementara itu pada rumah tangga

dengan pendapatan tinggi proporsi rumah tangga tahan pangan porsinya relatif besar

7

yaitu sekitar 60 persen tahun 1999, 2002 dan 2005. Fakta tersebut menunjukkan

kondisi ketahanan pangan antar kelompok pendapatan yang sangat timpang.

Penanganan masalah ketahanan pangan dengan focus dan prioritas pada kelompok

berpendapatan rendah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan kelompok

rumah tangga berpendapatan rendah dan pada gilirannya mampu menurunkan tingkat

kesenjangan tersebut.

Gambar 3. Perkembangan distribusi rumah tangga di Indonesia menurut derajat ketahanan pangan dan kelompok pendapatan, 1999, 2002 dan 2005

Dengan membedakan sumber mata pencaharian rumah tangga, terlihat bahwa

rumah tangga dengan jenis pekerjaan utama di sektor pertanian memiliki porsi rumah

tangga rentan pangan dengan proporsi terbesar (sekitar 60 persen) dengan besaran yang

relatif tetap antara tahun 1999-2005. Sementara itu untuk rumah tangga dengan jenis

pekerjaan utama non-pertanian, persentase rumah tangga yang rentan pangan

menempati porsi tertinggi hanya terjadi tahun 1999, kemudian pada tahun 2002 dan

2005 presentase rumah tangga yang tahan pangan menunjukkan porsi terbesar (Gambar

4). Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga non-pertanian memiliki kecepatan

meningkatkan ketahanan pangan yang lebih baik dibanding rumah tangga pertanian.

Ironis memang, bahwa produksi pangan yang dihasilkan oleh rumah tangga pertanian

ternyata tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga pertanian lebih baik dari

rumah tangga non-pertanian. Dalam hal demikian, masalah akses dari sisi fisik (masalah

distribusi) dan ekonomi (daya beli) merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan

ketahanan pangan rumah tangga di perdesaan.

Terkait dengan upaya mengatasi kelaparan (meningkatkan ketahanan pangan) dan

menurunkan kemiskinan di perdesaan, FAO (2006) menekankan pentingnya upaya

khusus di sektor pertanian dan perdesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

8

Investasi di sektor pertanian dan perdesaan merupakan prasyarat untuk menurunkan

kemiskinan di perdesaan.

Gambar 4. Perkembangan distribusi rumah tangga di Indonesia menurut derajatketahanan pangan dan jenis pekerjaan utama, 1999, 2002 dan 2005

Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga di Perdesaan

Peningkatan pendapatan rumah tangga (diproksi dengan tingkat pengeluaran total)

secara absolut ternyata tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan rumah

tangga (diproksi dari pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran) yang

bersangkutan. Hal ini terlihat pada data di perdesaan di semua kelompok rumah tangga.

Dalam hal ini walaupun tingkat pendapatan secara absolut (nominal) meningkat namun

secara riil tidak menunjukkan peningkatan bahkan cenderung menurun. Dalam hal

demikian adalah wajar apabila pangsa pengeluaran untuk pangan masih relatif tinggi,

kalaupun ada penurunan relatif kecil (Tabel 2 dan Gambar 5). Sesuai dengan kategori

yang dilakukan, rumah tangga tahan pangan dan kurang pangan rata-rata memiliki

pangsa pengeluaran pangan kurang dari 60 persen dan lebih rendah dari pengeluaran

untuk non pangan. Sedangkan pada rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan rata-

rata mengalokasikan pendapatannya lebih dari 70 persen untuk pangan.

9

Tabel 2. Perkembangan tingkat pendapatan rumah tangga di perdesaan menurut derajat ketahanan pangan (Rp/kapita/bulan), tahun 1999, 2002, 2005

Derajat Ketahanan PanganKelompok Pendapatan TP KP RtP RwPRendah

1999 - Nominal 87,192 80,202 80,774 68,493- Riil 141,193 129,873 130,798 110,912

2002 - Nominal 114,546 103,962 107,263 92,800- Riil 143,285 130,046 134,175 116,083

2005 - Nominal 134,110 117,553 126,394 107,115- Riil 134,110 117,553 126,394 107,115

Sedang1999 - Nominal 137,887 129,021 129,912 119,460

- Riil 223,284 208,927 210,370 193,4442002 - Nominal 176,870 167,362 171,061 159,915

- Riil 221,246 209,353 213,980 200,0382005 - Nominal 221,804 208,846 212,296 201,214

- Riil 221,804 208,846 212,296 201,214Tinggi

1999 - Nominal 291,789 247,004 222,129 247,417- Riil 472,501 399,979 359,698 400,649

2002 - Nominal 371,937 353,943 292,903 302,415- Riil 465,256 442,747 366,392 378,291

2005 - Nominal 493,635 449,593 410,804 411,832- Riil 493,635 449,593 410,804 411,832

Total1999 - Nominal 216,157 127,604 124,688 77,853

- Riil 350,029 206,633 201,910 126,0692002 - Nominal 255,537 149,209 166,139 108,395

- Riil 319,651 186,646 207,823 135,5912005 - Nominal 324,877 187,520 210,386 132,671

- Riil 324,877 187,520 210,386 132,671Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, 2005 (diolah)Keterangan: TP = Tahan Pangan; KP = Kurang Pangan; RtP = Rentan Pangan; RwP = Rawan Pangan

Harga riil menggunakan tahun dasar 2005

Gambar 5. Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di perdesaan menurut derajat ketahanan pangan, tahun 1999, 2002 dan 2005

10

Penelaahan lebih lanjut pada pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga rentan

pangan dan rawan pangan di perdesaan menunjukkan beberapa hal berikut. Pada rumah

tangga rentan pangan, pengeluaran untuk beras walaupun secara absolut cenderung

meningkat namun pangsanya menurun dari sekitar 33 persen tahun 1999 menjadi 23

persen tahun 2005 (Tabel 3). Penurunan pangsa pengeluaran untuk beras sebagai

sumber karbohidrat secara signifikan diikuti oleh meningkatnya alokasi pengeluaran

untuk mie dan terigu, sementara itu untuk konsumsi jagung walaupun secara absolut

porsi pengeluarannya meningkat namun pangsa perubahannya relatif kecil. Hal ini

menunjukkan terjadinya perubahan pola konsumsi pangan pokok di perdesaan bahkan

pada kelompok rentan pangan. Hasil analisis Martianto dan Ariani (2005) menyebutkan

bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok khususnya di wilayah

perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi dimana peran jagung dan

umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras digantikan oleh mie.

Mengingat bahan baku mie/terigu berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi

domestik, maka peningkatan konsumsi mie/terigu secara signifikan dalam dekade

terakhir memerlukan upaya khusus untuk menekan laju peningkatan konsumsi

mie/terigu dengan meningkatkan ketersediaan pangan substitusi terigu bersumber

pangan lokal disertai promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan

pangan lokal.

Tabel 3. Perkembangan pengeluaran pangan rumah tangga rentan pangan di pedesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002 dan 2005

1999 2002 2005Jenis pangan

Rp/kap/bln % Rp/kap/bln % Rp/kap/bln %

1. Beras 27,704 32.53 29,831 28.00 29,938 22.67

2. Jagung 587 0.94 986 1.12 968 0.94

3. Kedele 1,393 1.63 1,615 1.48 2,076 1.49

4. Telur 2,470 2.45 3,454 2.75 4,402 2.78

5. Daging ayam 1,399 1.23 2,505 1.76 3,715 2.04

6. Daging sapi 494 0.40 680 0.45 651 0.32

7. Minyak goreng 3,497 3.88 3,899 3.47 5,335 3.72

8. Gula 3,044 3.35 3,779 3.34 5,271 3.68

9. Mie 347 0.35 542 0.44 2,896 1.86

10. Terigu 217 0.20 301 0.24 591 0.36

11. Susu 811 0.70 1,290 0.89 2,385 1.32

Total pangan 92,833 100.00 118,631 100.00 151,432 100.00Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, 2005 (diolah)

Untuk jenis pangan yang lain, pangsa pengeluaran relatif tetap untuk minyak

goreng dan gula, sementara untuk telur, daging ayam dan susu cenderung meningkat

selama 1999 – 2005. Pada periode yang sama, pangsa pengeluaran untuk kedele dan

daging sapi cenderung menurun. Penurunan pangsa pengeluaran pangan sumber protein

11

nabati (kedele) dan hewani (daging sapi) tidak mengkawatirkan karena pengeluaran

untuk sumber protein yang lain (daging ayam, telur dan susu) cenderung meningkat.

Namun demikian, seberapa besar tingkat konsumsi untuk masing-masing jenis pangan

tersebut perlu dicermati lebih lanjut.

Kelompok rumah tangga rawan pangan memiliki pola pengeluaran pangan yang

serupa dengan rumah tangga rentan pangan dengan besaran pengeluaran secara absolut

dan pangsa yang relatif lebih rendah (Tabel 4). Demikian halnya kecenderungan adanya

pergeseran pangan pokok yang mengarah pada meningkatnya konsumsi mie/terigu juga

terjadi secara signifikan pada kelompok rumah tangga rawan pangan.

Tabel 4. Perkembangan pengeluaran pangan rumah tangga rawan pangan di perdesaan menurut jenis pangan, tahun 1999, 2002 dan 2005

1999 2002 2005Jenis pangan

Rp/kap/bln % Rp/kap/bln % Rp/kap/bln %

1. Beras 17,552 33.13 19,017 27.86 18,649 22.37

2. Jagung 741 1.74 880 1.53 815 1.24

3. Kedele 998 1.86 1,123 1.62 1,263 1.45

4. Telur 1,319 2.16 1,966 2.52 2,559 2.68

5. Daging ayam 404 0.63 904 1.04 1,241 1.18

6. Daging sapi 177 0.23 327 0.35 192 0.16

7. Minyak goreng 2,097 3.86 2,466 3.49 3,258 3.71

8. Gula 1,960 3.53 2,448 3.40 3,383 3.86

9. Mie 179 0.32 299 0.41 1,611 1.68

10. Terigu 64 0.11 135 0.19 252 0.25

11. Susu 280 0.42 494 0.57 1,029 0.96

Total pangan 57,093 100.00 75,826 100.00 93,882 100.00Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, 2005 (diolah)

Dilihat secara kuantitas, pola konsumsi pangan rumah tangga di perdesaan

khususnya kelompok rentan dan rawan pangan searah dengan pola pengeluaran rumah

tangga (Tabel 5). Tingkat konsumsi beras rumah tangga rentan dan rawan pangan di

perdesaan cenderung menurun dan secara umum lebih rendah dibanding rataan

konsumsi beras di tingkat nasional. Peningkatan kuantitas konsumsi mie dan terigu

meningkat cukup tajam pada periode 2002 – 2005. Pada rumah tangga rentan pangan

konsumsi mie sebesar 0.93 kg/kap/th di tahun 2002 menjadi 3.90 kg/kap/th (sekitar 4

kali lipat) tahun 2005. Pada periode yang sama pada rumah tangga rawan pangan hal

tersebut meningkat dari 0.33 kg/kap/th menjadi 2.15 kg/kap/th (hampir 7 kali lipat).

Sekali lagi fakta tersebut mengindikasikan pentingnya penekanan atau setidaknya

pelambatan laju peningkatan konsumsi mie agar ketergantungan pangan berbahan baku

impor dapat dikurangi dan dapat diimbangi dengan peningkatan ketersediaan pangan

berbahan baku pangan local. Pengembangan produksi dan diversifikasi produk umbi-

umbian merupakan alternatif yang perlu ditempuh.

12

Tabel 5. Tingkat konsumsi pangan rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan di perdesaan menurut jenis pangan (kg/kap/th), tahun 1999, 2002 dan 2005

1999 2002 2005Jenis pangan

RtP RwP RtP RwP RtP RwP

1. Beras 127.75 80.96 123.26 77.56 123.41 72.89

2. Jagung 4.86 6.01 6.75 5.20 6.33 4.55

3. Kedele 3.07 2.14 3.65 2.45 3.82 2.21

4. Telur 3.34 1.81 4.78 2.73 5.77 3.40

5. Daging ayam 1.39 0.41 2.27 0.82 3.20 1.08

6. Daging sapi 0.30 0.11 0.32 0.15 0.26 0.08

7. Minyak goreng 7.86 4.62 8.80 5.44 9.46 5.53

8. Gula 9.99 6.41 11.00 7.11 10.59 6.74

9. Mie 0.64 0.33 0.93 0.50 3.90 2.15

10. Terigu 0.75 0.22 1.07 0.48 1.79 0.75

11. Susu 0.43 0.16 0.61 0.24 0.98 0.43Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, 2005 (diolah)Keterangan: RtP = Rentan Pangan; RwP = Rawan Pangan

Menarik untuk disimak adalah pola pengeluaran untuk makanan jadi dan

tembakau (rokok) + sirih. Ternyata kelompok rumah tangga rentan dan rawan pangan

mengalokasikan pengeluaran untuk makanan jadi secara absolut maupun persentase

relatif tinggi dan cenderung meningkat antar waktu masing-masing sekitar sembilan

persen di tahu 1999 menjadi lebih dari 12 persen pada tahun 2005 (Tabel 6). Hal ini

menunjukkan adanya pergeseran pola makan rumah tangga perdesaan (bahkan pada

kelompok rentan dan rawan pangan) yang mengarah pada pola konsumsi penduduk

perkotaan. Berkembangnya sektor informal di bidang makanan dan meningkatnya

partisipasi tenaga kerja wanita di pedesaan diduga mendorong perubahan konsumsi

yang mengarah pada pola makan di luar rumah. Hal ini tidak menjadi masalah apabila

pengawasan dan kontrol terhadap kualitas dan keamanan pangan jajanan (terutama di

sektor informal) dapat dilakukan dengan baik.

Hal menarik lain tentang pola pengeluaran rumah tangga di perdesaan khususnya

pada kelompok rawan pangan adalah tingginya alokasi pengeluaran untuk tembakau

(rokok) dan sirih dan cenderung meningkat selama 1999 – 2005 (Tabel 6). Pada tahun

2005 alokasi pengeluaran untuk tembakau+sirih sekitar sembilan persen meningkat

menjadi sekitar 14 persen pada rumah tangga rawan pangan, padahal untuk kelompok

yang tahan pangan pengeluaran tersebut hanya sekitar 8 - 9 persen. Dengan tingkat

pendapatan yang relatif rendah, kelompok rawan pangan perlu melakukan realokasi

pengeluraan pada konsumsi pangan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan

mereka. Mengingat merokok dari segi kesehatan tidak direkomendasikan, maka

edukasi, sosialisasi dan advokasi tentang bahayanya merokok bagi kesehatan pada

kelompok rawan pangan perlu dilakukan secara lebih intensif.

13

Tabel 6. Pengeluaran untuk makanan jadi dan tembakau + sirih rumah tangga rawan dan tahan pangan di perdesaan, tahun 1999, 2002 dan 2005.

Rawan pangan Tahan panganJenis pengeluaran

1999 2002 2005 1999 2002 2005

Makanan jadi

- Rp/kap/bln 6,587 8,853 13,804 11,206 15,438 25,387

- % 9.28 9.75 12.24 10.78 11.66 15.56

Tembakau + sirih

- Rp/kap/bln 5,676 12,071 14,585 7,643 11,021 14,592

- % 8.82 13.85 13.91 7.46 8.28 8.66Sumber: BPS, Susenas 1999, 2002, 2005 (diolah)Keterangan: TP = Tahan Pangan; RwP = Rawan Pangan

Perubahan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga di Perdesaan

Tingkat konsumsi energi (dan protein) merupakan suatu ukuran yang umum

digunakan untuk melihat pencapaian tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 1998 (LIPI,

1998), rekomendasi konsumsi energi dan protein rata-rata penduduk Indonesia adalah

2100 Kkal/kap/hari dan 48 gram/kap/hari (dalam analisis ini digunakan untuk

membandingkan tingkat konsumsi data Susenas tahun 1999 dan 2002), sementara itu

WKNPG tahun 2004 (LIPI, 2004) merekomendasikan konsumsi energi sebesar 2000

kkal/kap/hari dan protein 52 gram/kap/hari (dalam analisis ini digunakan untuk

membandingkan tingkat konsumsi data Susenas tahun 2005).

Keragaan tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga di perdesaan menurut

derajat ketahanan pangan dan kelompok pendapatan dapat disimak pada Gambar 6 dan

Gambar 7. Untuk konsumsi energi, secara rataan penduduk perdesaan telah memenuhi

standar kecukupan, namun untuk kelompok pendapatan rendah dan rumah tangga

kurang dan rawan pangan konsumsi energinya masih kurang dari standar kecukupan

yang direkomendasikan (≤ 80 persen dari anjuran). Sumber utama konsumsi energi

umumnya berasal dari pangan sumber karbohidrat (Badan Ketahanan Pangan, 2008;

Ariani, et al. 2000). Dalam hal demikian konsumsi pangan sumber karbohidrat bagi

kelompok rawan pangan dan kurang pangan serta kelompok yang berpendapatan rendah

masih perlu ditingkatkan. Peningkatan konsumsi pangan sumber karbohidrat selayaknya

tidak hanya bertumpu pada beras namun diarahkan pada pangan lokal sesuai potensi

wilayah setempat (jagung dan umbi-umbian).

Untuk konsumsi protein, umumnya telah melebihi standar kecukupan kecuali

kelompok kurang pangan dan rawan pangan serta yang berpendapatan rendah.

Konsumsi protein dapat diperoleh dari pangan nabati maupun hewani. Pada kondisi

pendapatan terbatas, pilihan konsumsi protein yang berasal dari pangan nabati (padi-

padiam, umbi-umbian, minyak dan lemak, kacang-kacangan, gula, sayur, buah dan

pangan lainnya) yang relatif lebih murah merupakan pilihan yang bisa dilakukan.

Namun demikian mengingat pangan protein hewani juga dibutuhkan dalam konsumsi

14

pangan ideal (PPH-Pola Pangan Harapan), dalam jangka panjang peningkatan daya beli

dan pendapatan rumah tangga melalui perluasan kesempatan kerja dan peluang

berusaha di wilayah perdesaan perlu dilakukan.

Gambar 6. Perkembangan tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga perdesaanmenurut derajat ketahanan pangan, tahun 1999, 2002 dan 2005.

Gambar 7. Perkembangan tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga perdesaan menurut kelompok pendapatan, tahun 1999, 2002 dan 2005.

15

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasar temuan empiris yang telah dibahas sebelumnya, secara umum dapat

disimpulkan bahwa selama periode 1999 – 2005 telah terjadi perubahan pola konsumsi

dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan. Beberapa perubahan pola konsumsi dan

pengeluaran pangan yang terjadi di perdesaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kelompok rumah tangga di perdesaan yang perlu mendapat prioritas penanganan

untuk peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan adalah kelompok yang

rentan dan rawan pangan, bermata pencaharian utama di sektor pertanian serta

kelompok yang tergolong berpendapatan rendah (miskin). Kelompok tersebut di

perdesaan jumlahnya cukup besar dan cenderung meningkat. Perubahan konsumsi

dan pengeluaran pangan pokok pada kelompok rumah tangga tersebut mengarah

pada pangan berbahan baku impor (mie/terigu).

2. Konsumsi energi dan protein rumah tangga perdesaan yang masih kurang dari

standar kecukupan yang direkomendasikan adalah pada kelompok rumah tangga

kurang dan rawan pangan serta kelompok berpendapatan rendah. Walaupun ada

peningkatan antar waktu, tingkat konsumsi energi dan protein kelompok rumah

tangga tersebut masih belum memenuhi standar kecukupan.

3. Pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga rawan pangan dan berpendapatan

rendah untuk makanan jadi maupun tembakau+sirih cukup tinggi dan cenderung

meningkat, bahkan melebihi kelompok tahan pangan di perdesaan. Fenomena ini

perlu mendapat perhatian serius. Masalah merokok lebih diduga lebih disebabkan

oleh dorongan psikologis walaupun hal itu berbahaya bagi kesehatan.

4. Peningkatan kesejahteraan kelompok penduduk yang tergolong rentan pangan dan

rawan pangan serta berpendapatan rendah (miskin) memerlukan upaya yang serius

dan terancang secara baik, konsisten dan berkelanjutan. Hal ini karena masalah

kemiskinan dan rawan pangan pada kelompok masyarakat tersebut diduga

merupakan masalah alamiah (natural poverty/natural food insecurity). Simatupang

(2006) menyebutkan bahwa kerawanan pangan akibat kemiskinan alamiah adalah

masalah ketahanan pangan yang paling sukar diatasi.

Saran

1. Perubahan konsumsi dan pengeluaran pangan pokok pada kelompok rumah tangga

rentan dan rawan pangan, bekerja di pertanian dan berpendapatan rendah yang

mengarah pada pangan berbahan baku impor (mie/terigu) perlu mendapat perhatian

serius. Pemanfaatan lahan terlantar dengan melibatkan kelompok rumah tangga

tersebut melalui pengembangan dan perluasan areal tanam komoditas pangan umbi-

umbian dan palawija sesuai potensi wilayah setempat diharapkan dapat

meningkatkan ketersediaan pangan, kesempatan kerja, pendapatan dan

16

kesejahteraan rumah tangga di perdesaan. Upaya tersebut perlu diikuti dengan

pengembangan industri pengolahan pangan substitusi terigu di perdesaan.

2. Fenomena meningkatnya alokasi pengeluaran dan konsumsi makanan jadi bagi

kelompok rawan pangan dan berpendapatan rendah berimplikasi pada pentingnya

pemantauan terhadap kualitas dan keamanan pangan terhadap industri makanan

terutama pada jenis-jenis makanan yang umum dikonsumsi masyarakat di wilayah

perdesaan. Hal ini untuk menjamin keamanan pangan makanan jadi yang

dikonsumsi penduduk rawan pangan dan miskin di perdesaan agar masalah

kerawanan pangan dan kemiskinan yang dihadapi penduduk perdesaan tidak

diperparah oleh masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi makanan jadi.

Demikian halnya tentang konsumsi rokok (tembakau+sirih), sosialisasi, edukasi dan

advokasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan perlu terus diintensifkan.

3. Strategi yang efektif untuk mengatasi masalah rawan pangan yang akar masalahnya

pada kemiskinan alamiah ialah dengan mengurangi penduduk melalui penurunan

pertumbuhan alamiah atau menekan tingkat kelahiran dan migrasi penduduk ke luar

daerah. Selain itu, karena masalah tersebut proporsinya lebih banyak terjadi di

perdesaan, maka peningkatan produktivitas pertanian melalui investasi di pertanian

dan perdesaan menjadi prasyarat untuk mengatasi kerawanan pangan dan

kemiskinan di perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. H.P. Saliem, S.H. Hartini, Wahida, M.H. Sawit. 2000. Dampak KrisisEkonomi terhadap Konsumsi Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian

Badan Ketahanan Pangan, 2008. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2007. Berita Resmi Statistik. No.38/07/Th.X.2007. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Bappenas. 2007. Kita Suarakan MDGs Demi Tercapainya di Indonesia. Laporan Pencapaian MDGs di Indonesia. Bappenas dan United Nations. Jakarta

FAO. 2006. The State of Food Security in The World. FAO. Rome.

http://www.fao.org/docrep/009/a750e00.htm. diakses 8 November 2008.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI “Pangan dan Gizi Masa Depan: Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa, Serpong, 17 - 20 Pebruari 1998.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004.

17

Magrabi, F.M., Y.S. Chung, S.S. Cha, and S.J. Yang .1991. The Economics of Household Consumption. Praeger Publisher. New York.

Martianto, D dan M. Ariani. 2005. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Dalam Dekade Terakhir. Info Pangan dan Gizi. Edisi Khusus. Vol XV.No. 2. Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Gizi Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan. Jakarta

Maxwell, D., C. Levin, M.A. Klemesu, M. Ruel, S. Moris, and C. Ahiadeke. 2000. Urban Livelihoods and Food and Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI Research Report 112. IFPRI in Collaboration with The Noguchi Memorial Institute for Medical Research and The World Health Organization.

Pakpahan, A., H.P. Saliem dan S.H. Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rachman, HPS, 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rachman, HPS dan S.H. Suhartini. 1996. Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi: 15 (2):36-53. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.

Simatupang, P. 2006. Kebijakan dan Strategi Pemantapan Ketahanan Pangan Wilayah. Makalah Pembahas pada Seminar Nasional ”Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian Sebagai Penggerak Ketahanan Pangan Nasional”. Kerjasama Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian NTB dan Universitas Mataram, 5-6 September 2006.