perubahan pola penguasaan tanah dan gerakan protes petani

11
PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN MUNCULNYA GERAKAN PROTES PETANI PADA MASA KOLONIAL Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. Oleh TSABIT AZINAR AHMAD NIM S860209113 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

Upload: tsabit-azinar-ahmad

Post on 13-Jun-2015

3.218 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

1

PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH

DAN MUNCULNYA GERAKAN PROTES PETANI PADA MASA KOLONIAL

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah

Kapita Selekta Sejarah Indonesia Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.

Oleh TSABIT AZINAR AHMAD

NIM S860209113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

Page 2: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

2

PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN MUNCULNYA GERAKAN PROTES PETANI

PADA MASA KOLONIAL

Tsabit Azinar Ahmad

Pendahuluan

Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarkat agraris yang

memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan

tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah

bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan

komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman

perdagangan.

Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah

“sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha

wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat

Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela

meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini

menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat

pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival),

kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sudijono Sastroatmodjo,

2007:28)

Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya

mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan

gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan

tanah maupun pemerintah (Soegijanto Padmo, 2000:1). Permasalahan tanah ini

pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis,

yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan

revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.

Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Contoh

kasus gerakan protes petani karena masalah tanah adalah seperti gerakan protes

petani di Desa Patik, Ponorogo pada November 1885. Gerakan tersebut bertujuan

menghapuskan pajak-pajak atas tanah. Salah satu penyebab munculnya gerakan

Page 3: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

3

ini adalah masalah penarikan pajak tanah oleh Belanda (Ong Hok Ham, 1991: 59).

Selain itu ada pula gerakan petani di Cilegon, Banten pada 1888. Sartono

Kartodirdjo menjelakan bahwa gerakan ini salah satunya disebabkan masalah

sosial ekonomi, yakni masalah konflik atas hak-hak tanah antara penduduk

dengan pemerintah Hindia Belanda. Permasalahan seperti penghapusan tanah-

tanah kerajaan, penghapusan tanah-tanah pusaka, serta penarikan pajak atas tanah

merupakan salah satu penyebab gerakan protes petani di Banten tahun 1888

(Kuntowijoyo, 2008:44). Kemudian ada pula gerakan protes petani di Klaten

tahun 1959-1965 karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada

akhirnya memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah RI

dalam bidang agraria (Soegijanto Padmo, 2000). Masalah tentang tanah dengan

demikian menjadi salah satu permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan

secara ekstrem dapat dinyatakan bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah

sejarah tentang tanah, meliputi penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas

dan tanggung jawab pengelola tanah, dan sebagainya. Tulisan ini secara ringkas

mencoba untuk menjelaskan hubungan antara perubahan pola penguasaan tanah

terhadap munculnya gerakan protes petani pada masa kolonial.

Penguasaan Tanah Masa Kolonial

Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah

masuhnya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan

Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 terjadilah

perubahan-perubahan pola penguasaan tanah pertanian. Penguasaan tanah oleh

raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan

penguasaan pribadi.

Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC

mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami

pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC. Ketika terjadi

Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah

Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara

saja (Wasino, 2005: 19). Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan,

Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan

Page 4: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

4

Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana,

Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan,

Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi secara

umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat.

Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di

Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada

tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa

jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda

mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-

perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang

sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual

kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian

ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal

Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi

agraria dengan nama Land Rent System (Sistem Sewa Tanah). Ide perubahan ini

banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India.

Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh

pemerintahan tradisional dan VOC (Wasino, 2005: 5).

Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles berpatokan pada tiga azas, yakni

(1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan

petani berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut

pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3)

pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai

penyewa, petani wajib membayar sewa tanah (Marwati Djoned Poesponegoro dan

Nugroho Notosusanto [ed], 1984:90).

Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan

karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu

tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa

menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles

yang singkat (Wasino, 2005:6).

Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa

mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang

Page 5: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

5

pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan

Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran (Djuliati Suroyo, 2000: 46).

Daerah Kedu berkembang menjadi kawasan eksloitasi kolonial.

Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasaan tanah terjadi setelah

perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro

daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai

ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Hal

ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong

akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan

Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah

atas daerah mancanegara (Suhartono, 1991:75).

Kawasan mancanegara terbagi atas dua wilayah, yakni mancanegara barat

dan mancanegara timur. Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan

Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma,

Jabarangkah, Pamerden, Wora-wari,Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara,

Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga,

serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah mancanegara timur meliputi

Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace,

Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba,

Brebeg, Jagaraga.

Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh

pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya.

Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan

kedudukan hokum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor

produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa

ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan

bahwa tanah adalan milik negara (Wasino, 2005:6).

Dalam pelaksanaan tanam paksa ada beberapa hal yang menarik, yakni

pemulihan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bêkêl tetapi di bawah

kendali pemerintah kolonial. Selain itu semua penduduk memperoleh tanah

garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah

tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal

Page 6: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

6

dari tanah para sikêp yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan

kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan

numpang membuka areal baru di desa setempat. Karena semua penduduk telah

mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan

kerja bhakti (Iwan Nurdin, 2007).

Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan

tanah. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan

dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting oleh W.B. Bergsma, ada

beberapa pola penguasaan tanah pertanian di kalangan masyarakat, yakni milik

perorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen

bezit), dan tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden) (Kano, 1984: 42-63).

Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem

liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini

nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria

pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria

pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini

memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk

perkebunan. Di sini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom)

termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan

mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan

konsesi kepada para penguasa swasta asing.

Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai

peraturan tentang penguasaan tanah di Jawa. Pada tahun 1885 dikeluarkan

Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam

paksa. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan

kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya

jika ¾ warga desa menyetujuinya.

Kemudian pada 19 Januari 1909 Gubernur Jenderal van Heutz segera

memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Reorganisasi ini mulai

berjalan dengan beberpa tahap yakni penghapusan sistem apanage pada kurun

1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi

tanah-tanah perkebunan (Suhartono, 1991: 96). Dengan demikian, di daerah

Page 7: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

7

Surakarta penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggunduh (pinjam

sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan

hak andarbe (milik) secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-

tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui

persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern (Suhartono, 1991:

101).

Pada tahun 1930, dikeluarkan Regeringsomlagvel No. 30318 tanggal 17

Oktober 1930. Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai

dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan

syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan

Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas

pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak dengan

pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.

Pada masa kolonial dikenal pula sebutan tanah partikelir. . Tanah-tanah

partikelir itu terjadi sebagai hasil penjualan oleh Belanda, sejak zaman VOC

sampai perempat pertama abad XIX. Di tanah-tanah yang dimiliki swasta itu,

pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak (tjuke) dan layanan (tenaga kerja)

pada para petani di atasnya, sehingga kalau pajak dan layanan itu berlebihan dan

memberatkan menimbulkan gejolak (Kuntowijoyo, 2008: 101). Tanah partikelir

terdapat di sekitar Batavia di sebagaian besar daerah pedalaman antara Batavia

dan Bogor, dan di daerah Banten, Krawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya

(Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto [ed], 1984: 283).

Tanah partikelir kemudian tidak hanya dikuasai oleh kumpeni atau

kemudian pemerintah kolonial, tatapi juga oleh para tuan tanah. Hal ini karena

terjadi pengalihan hak atas tanah partikelir kepada pada tuan tanah baik melalui

pemberian ataupun penjualan.

Pada tahun 1915 di Jawa terdapat 582 tanah partikelir yang meliputi luas

tanah sekitar 1,3 juta bau (1 bau = 0,8 hektar) dan dengan penduduk sebanyak

sekitar 1,8 juta jiwa (Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto

[ed], 1984: 284). Sebagian besar tanah itu dimiliki oleh persekutuan usaha

bersama, oleh tuan-tuan tanah bangsa Eropa yang tinggal di luar Indonesia dan

oleh orang-orang Cina.

Page 8: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

8

Tanah Partikelir dan Protes Petani

Sartono dalam bukunya yang berjudul Protest Movements in Rural Java: A

Study of Agrarian Unrests in The Nineteenth and Twentieth Centuries

menjelaskan bahwa ada beberapa toplogi gerakan petani. Tipe-tipe itu adalah anti

penghisapan (anti-extortion), gerakan mesianistis, gerakan revivalisme, dan

gerakan sektarian, dan gerakan lokal Sarekat Islam. Akan tetapi, gerakan petani

yang berkaitan dengan perubahan penguasaan tanah pada masa kolonial yang

akan diangkat dalam tulisan ini lebih mengarah pada gerakan anti penghisapan

(anti-extortion).

Gerakan anti penghisapan (anti-extortion) merupakan gerakan yang terjadi

di tanah partikelir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari BelandaAgitasi

kaum petani yang timbul di tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal XX

merupakan suatu gejala historis darimasyarakat petani probumi. Pada umumnya

hampir semua kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir itu merupakan

akibat dari adanya pungutan pajak yang tinggi dan tuntutan pelayanan kerja yang

berat terhadap kaum petani daerah itu.

Para tuan tanah yang menguasai tanah partikelir senantiasa melakukan

eksploitasi dengan cara menarik hasil secara langsung, mengumpulkan uang sewa,

dan bagian panen, dan ada pula yang memungut pajak beserta tenaga kerja dari

petani-petani yang menanami tanah tersebut. Para tuan tanah dapat bertindk

sewenang-wenang seperti memaksakan sefala macam kehendaknya, menuntut

penyeahan tenaga kerja, serta mengusir para petani apabila mereka tidak dapat

membayar hutangnya atau memenhi pekerjaan yang diminta, serta membayar

pajak sebagaimana mestinya.

Salah satu contoh gerakan petani dalam melawan tuan tanah adalah gerakan

yang terjadi di Ciomas pada tahun 1886. Perisiwa ini merupakan suatu

pertentangan antara petani, tuan tanah dan pemerintah, dan dengan jelas

menampilkan situasi yang ricuh. Gerakan ini terjadi ketika di Jawa Barat

kepemimpinan gejolak Ciomas direkrut dari petani sendiri. Salah satu

pemimpinnya adalah Apan. Apan berperan sebagai imam mahdi dan menyerukan

perang suci. Pimpinan yang lain, Mohamad Idris, memakai gelar panembahan

yang merupakan tipikal gerakan messianisme.

Page 9: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

9

Sebelum memuncaknya perlawanan di daerah Ciomas terjadi eksploitasi

yang sangat meningkat setelah para tuan tanah berusaha mengintensifkan

produksiyna untuk kepentingan pasaran di luar desa. Di Ciomas merebak berbagai

kerusuhan yang disebabkan oleh penarikan cukai yang berlebihan. Selain itu

terjadi ketidakadilan yang berhubungan dengan praktik perbudakan, seperti

mewajibkan petani mengangkut hasil panen milik tuan tana dari sawah dengan

jarak yang jauh. Selain itu ada pula adanya praktik kerja paksa terhadap

masyarakat, adanya kewajiban-kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi, adanya

penyitaan terhadap aset ketika tidak memenuhi kewajiban, adanya perluasan

penguasaan tanah, pengawasan penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan

kayu. Kemudian ada pula kewajiban bagi wanita dan anak-anak untuk bekeja

seama sembilan hari setiap bulannya (Marwati Djoned Poesponegoro dan

Nugroho Notosusanto [ed], 1984: 286-287).

Situasi tersebut akhirnya memunculkan situasi yang buruk sampai ahirnya

memunculkan situasi konflik yang tajam. Selain itu, adanya hal-hal tersebut

meyebabkan terjadinya migrasi sekitar 2000 orang ke luar wilayah untuk

menghindari pajak dan timbulnya penolakan para petani untuk bekerja paksa di

perkebunan kopi. Ketidakpuasan itu kemudian meletus sebagai perlawanan yang

terbuka dan yang penuh kekerasan.

Pada bulan Februari 1886 camat Ciomas terbunuh, kemudian di bawah

pimpinan Idris pada 19 Mei 1886 daerah Ciomas selatan berhasil diduduki.

Kemudian sehari setelah itu terjadi pembunuhan terhadap kalangan tuan tanah.

Selain di Ciomas, ada pula gerakan anti tuan tanah di daerah tangerang pada

1924. Latar belakang gerakan anti tuan tanah di Tangerang Tahun 1924

dipengaruhi oleh keadaan Tangerang pada tahun 1924, yaitu penindasan yang

dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina yang

semakin membuat penduduk pribumi menjadi menderita dan dirugikan. Gerakan

anti tuan tanah di Tangerang merupakan gerakan radikal dalam persaingan untuk

memperoleh dukungan dan kesetiaan kaum tani di daerah Tangerang melawan

Pemerintah Kolonial Belanda dan tuan-tuan tanah Cina. Gerakan petani di

Tangerang berkembang dengan rasa-rasa identitas kepribumian tentang

kemerdekaan, kebebasan dan persamaan untuk masyarakat di Tangerang. Setelah

Page 10: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

10

terjadi gerakan anti tuan tanah petani di Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin

Bapak Kajah, tanggal 10 Februari 1924 pemerintah kolonial Belanda menjadi

bingung. Oleh pemerintah kolonial Belanda gerakan petani ini disimpulkan

sebagai gerakan ratu adil yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial , politik

sebagai faktor kondisional dalam masyarakat petani di tanah partikelir Tangerang

sebagai penyebab munculnya gerakan petani di Tangerang untuk menuntut

pengembalian tanah partikelir dari tangan orang-orang Cina (Marwati Djoned

Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto [ed], 1984).

Dari penjelasan di atas, tampak terlihat bahwa terjadi proses perubahan

struktur masyarakat seperti hilangnya persekutuan hidup di dalam desa. Pada

tanah partikelir tuan tanah melakukan ekspoitasi terhadap tanah dan petani yang

hidup di daerahnya. Selain itu, terjadi proses hilangnya persekutuan hidup di

dalam desa. Di tanah partikelir terbentuk kehidupan organisasi desa yang lepas

dan meletakkan para tuan tanah menjadi lebih kuat dalam kedudukan yang

berkuasa, serta menguatkan cengkeramannya atas kaum petani. Pada tanah

partikelir tidak ada lagi hubungan patron-klien berdasar pada hubungan yang

bersifat mutualisme, tetapi beralih pada aspek komersialisasi pertanian.

Penutup

Perubahan pola penguasaan tanah dengan munculnya tanah-tanah yang

dikuasai oleh para tuan tanah dengan demikian secara tidak langsung telah

mengubah pola dan struktur masyarakat yang menganut sistem patron-klien yang

berinteraksi secara mutualisme. Perubahan yang cepat yang ditambah dengan

adanya sistem-sistem baru telah menyebabkan para petani menjadi objek

eksploitasi, sehingga hal ini menjadi alasan yang memunculkan gerakan petani

dalam melawan tuan tanah.

Page 11: Perubahan Pola Penguasaan Tanah Dan Gerakan Protes Petani

11

Daftar Pustaka

Djulianti, A.M Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Iwan Nurdin. 2007. Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa. Dalam

http://ppijkt.wordpress.com/ (diunduh 2 April 2009) Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa

Pada Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm 28-85.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notsusanto (et.al). 1984. Sejarah

Nasional Indonesia Jilid IV. Jakara: Balai Pustaka. Ong Hok Ham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan

LP3ES. Soegijanto Padmo. 2000. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-

1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Sudijono Sastroatmodjo. 2007. “’Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, Regulasi

Tanah dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas Mahasiswa. Edisi 79 tahun 2007. Hlm. 28-35.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta

1830 -1920. Yogyakarta: Tiara Wacana. Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan

Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press