perubahan standar masa

3
PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDH Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa 'iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok. Apabila masa 'iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu. Apabila seorang wanita memulai hitungan masa 'iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka 'iddahnya berubah menjadi 'iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12] PENUTUP Perlu diketahui bersama bahwa selama masa 'iddah, hendaknya wanita atau isteri yang ditalak raj’i tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin dari suami tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman : اَ ّ ل َ نْ جُ رْ خَ ي اَ لَ وَ ّ ن ه ت وُ يُ بْ ن مَ ّ نُ ه وُ ج رْ خُ ي اَ ل ْ مُ كَ ّ بَ رَ َ ّ وُ قَ ّ ت َ و َ ةَ ّ د عْ ل وُ صْ حَ 1 َ وَ ّ ن ه تَ ّ د ع لَ ّ نُ ه وُ ق ّ لَ طَ فَ اءَ س ّ لن ُ مُ تْ قَ ّ لَ ط َ ذ ُ ّ ي بَ ّ لن اَ هُ ّ تَ 1 اَ ب ً رْ مَ 1 َ F ك لٰ َ ذJ َ دْ عَ تُ K ث دْ حُ يَ َ ّ َ ّ لَ عَ ل ي رْ دَ ا بَ ل ُ هَ سْ قَ تَ مَ لَ T طْ دَ قَ ف َ ّ َ وذُ دُ حَ ّ دَ عَ تَ بْ نَ مَ و َ ّ ُ وذُ دُ حَ F كْ ل بَ و ٍ ةَ ن ّ ^ نَ بُ مٍ هَ K س ج اَ ق تَ ن^ ي تْ 1 اَ بْ نَ 1 Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu 'iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh

Upload: sehun

Post on 16-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

perubahan

TRANSCRIPT

Page 1: Perubahan Standar Masa

PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDHApabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa 'iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.

Apabila masa 'iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.

Apabila seorang wanita memulai hitungan masa 'iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka 'iddahnya berubah menjadi 'iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12]

PENUTUPPerlu diketahui bersama bahwa selama masa 'iddah, hendaknya wanita atau isteri yang ditalak raj’i tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin dari suami tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

د� د�و د� ك� ل� ت كو � ة� ك� ي� ك� د� ة� ك� ت� ك�ا ت� ك� �ت ل�ا ك� �ل �ك� ك �ا �ت! ك� ل" د# ل$ ك� ك�ا كو ك � ت% ت د�و د� ل� ت� ك � د' د"و ت# ل$ د ك�ا � ل( د* ك � ك+ ك, ك � �ل �د.و ك �كو � ك/ ك � ت0 لل � �د1و ل� �ك� كو ك � ت% ت ك � ت0 تل ك � د' د.و ي� ك2 ك3 ك4 ك5ا ي� �ل د( د6 ل. ك � ك7 �ك8 �ت! د 9 ت� ك � �ل ك%ا د � �ك� ك�ا �ر# ل� �ك� ك� تل ذك8 ك� ل0 ك� د> ت� ل= د� ك, ك � �ل ك < ك0 كل ت+ي ل� ك ك�ا � د, ك5 ل� ك@ ك( ك� Aك ل� ك. ك3 ت, ك � �ل ك� د�و د� ك � ك0 ك6 ك� ل� ك� كو � ت, ك � �ل

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu 'iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. [at-Thalaq/65:1].

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Mengapa demikian, karena status istri padanya belum hilang, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi wanita dan sebagian status dari sisi suami. Hal ini akan lengkap kembali bila saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila wanita tersebut berada dalam status tidak diceraikan, maka tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, karena kadang suami membutuhkannya sementara istri sedang berada di luar rumah. Kadang ketidaksukaan suami terhadap istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu dalam hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam shahihain dan yang lainnya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ت, ت@ ل8 ت!ا ت� ك �ا �ت! د� ت' كCا ك%ا د" لو Dك كو Eك د1و ك �ل �ك� ت/ �ك� ل# Fك ل� تل د < ت= ك� ك�ا

Seorang wanita tidak boleh berpuasa (sunat) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.

Page 2: Perubahan Standar Masa

Apabila (ketentuan) ini berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah yang paling agung, lalu bagaimana dengan keluar ? Apabila kamu bisa memahami ini, maka kamu akan tahu tidak sepantasnya bagi wanita di masa 'iddah talak raj’i untuk keluar kecuali dengan izin suaminya.[13]

Demikian sebagian hukum mengenai masa 'iddah semoga yang sedikit ini bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]_______Footnote[1]. Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304)[2]. al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah, 5/383[3]. Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304[4]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561-562.[5]. Lihat Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561[6]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420[7]. Zâdul Ma’âd, 5/609[8]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.[10]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392[11]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393[12]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393[13]. Sailul Jarrar 2/388