perulangan tsunami yang sangat bervariasi dalam 7400 tahun ... · dari gempa bumi- gempa bumi besar...
TRANSCRIPT
1
Perulangan tsunami yang sangat bervariasi dalam
7400 tahun sebelum Tsunami Samudera Hindia
2004a
Charles M. Rubin1,2*, Benjamin P. Horton1, 2, 3, Kerry Sieh1,2, Jessica E. Pilarczyk4,
Patrick Daly1, Nazli Ismail5, Andrew C. Parnell6
Kedahsyatan Tsunami Samudera Hindia 2004 terlewatkan dari perhatian masyarakat pesisir dan
para peneliti kebencanaan, sampai peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Serangkaian penelitian
yang dilakukan pada cekungan Samudera India menemukan adanya bukti-bukti tsunami pada
masa pra-sejarah, tetapi waktu dan interval perulangan dari kejadian-kejadian demikian tidak
jelas. Pada penelitian ini kami menyajikan bukti perulangan stratigrafi endapan tsunami pra-
sejarah yang luar biasa dalam 7400 tahun dari sebuah gua pantai di Aceh, Indonesia. Rekaman ini
menunjukan setidaknya terdapat 11 bukti tsunami pada masa pra-sejarah yang melanda pantai
Aceh antara 7400 sampai 2900 tahun yang lalu. Rentang waktu rata-rata antara satu kejadian
dengan kejadian tsunami berikutnya adalah sekitar 450 tahun yaitu dari interval yang terlama,
periode dorman sampai 2000 tahun, hingga beberapa kali kejadian tsunami yang berulang dalam
rentang satu abad. Meskipun terdapat bukti bahwa kemungkinan gempabumi yang berpotensi
tsunami di Propinsi Aceh relatif tinggi, interval-interval perulangan variabel ini menyiratkan
bahwa periode dorman dengan tanpa kejadian yang sangat lama memungkinkan terjadi
gempabumi-gempabumi pada megathurst Sunda sebesar kejadian tsunami Samudera Hindia
2004.
aDiterjemahkan dari: Rubin, C., Horton, B., Sieh, K., Pilarczyk, J., Daly, P., Ismail, N., and Parnell,
A. Highly variable recurrence of tsunamis in the 7,400 years prior to the 2004 Indian Ocean tsunami. Nature Communications, 16019 doi:10.1038/ncomms16019.
1Earth Observatory of Singapore, Nanyang Technological University, 639798 Singapore.
2Asian School of the Environment, Nanyang Technological University, 639798, Singapore.
3Department of Marine and Coastal Sciences, Rutgers University, New Brunswick, NJ 08901.
4Division of Marine Science, University of Southern Mississippi, Stennis Space Center,
Mississippi 39529. 5Department of Physics/Geophysics, Faculty of Mathematic and Natural
Sciences, Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia. 6School of Mathematics and
Statistics, Insight Centre for Data Analytics, University College Dublin, Belfield, Dublin 4, Ireland.
Lebih dari 2 juta umat manusia diperkirakan
meninggal akibat bencana gempabumi dan
tsunami pada abad ke-21 ini1. Meskipun
perkembangan ilmu dalam bidang geodesi dan
seismologi juga telah dapat memberikan
pemahaman kepada kita tentang pola-pola
rupture dari gempa-gempa besar, namun
demikian kerusakan yang diakibatkan oleh
Tsunami Tohoku 2011 dan Tsunami Samudera
Hindia 2004 menyadarkan kita bahwa perkiraan
potensi gempabumi dan tsunami pada
hakikatnya masih belum memadai. Waktu
perulangan tsunami-tsunami besar tersebut
dapat terjadi dalam rentang waktu ratusan
hingga ribuan tahun2-5 dan informasinya tidak
semua diperoleh dalam rekaman sejarah atau
melalui kegiatan penggalian2-3. Pemahaman yang
sangat rinci tentang rentang waktu dan
perulangan kejadian tsunami-tusnami besar
sangat dibutuhkan dalam melakukan kajian
kerentanan pada masyarakat pesisir.
Gempabumi Sumatra-Andaman telah
memicu tsunami dahsyat yang meluluh-lantakan
Asia Tenggara dan Asia Selatan5-6. Pada saat itu
tidak ada rekaman sejarah yang dapat dijadikan
contoh untuk rupture sepanjang 1500 km yang
terjadi di sepanjang megathrust Sunda5 dengan
slip melebihi 20 m6-7. Dalam satu dekade sejak
tsunami Samudera Hindia, pengkajian untuk
perkiraan perulangan gempabumi dan potensi
tsunami yang terjadi pada masa pra-sejarah
masih sukar untuk dipahami. Sebagian besar
rekontruksi genangan tsunami pada masa
lampau didasarkan pada penentuan anomali
lapisan-lapisan pasir pada lingkungan yang
berenergi rendah, seperti rawa-rawa air payau
atau air tawar, danau-danau di pinggir pantai,
atau tanah sengkedan8-9. Kejadian tsunami-
tsunami purba dipelajari berdasarkan rekaman-
rekaman geologis yang diperoleh di pantai utara
Sumatra10-12, Thailand13-17, Kepulauan Andaman18,
Sri Lanka19, India timur20, dan Maladewa21, akan
tetapi timeline rekontruksinya terbatas atau
sepotong-sepotong, terhalangi oleh masalah
kelestarian rekaman, pengerjaan ulang, dan
minimnya tempat yang memungkinkan
tersimpanya endapan22.
Kami memperkenalkan gua-gua di pinggir
pantai sebagai lingkungan pengendapan yang
baru untuk rekontruksi rekaman-rekaman
tsunami. Dari itu kami menunjukan rekaman
5000 tahunan endapan tsunami secara
berkesinambungan dari sebuah gua pantai di
Sumatra, Indonesia (Gambar 1). Pada Gambar 1
Gambar 1 Keadaan tektonik dan beberapa rupture
dari gempa bumi- gempa bumi besar sepanjang
megathrust Sunda. Bagian berwarna merah muda adalah perkiraan area rupture dari Gempa Bumi Samudera Hindia
20046. Bagian berwarna merah adalah perkiraan area
rupture gempa bumi Nias-Simeulue 200560
. Bagian
berwarna oranye dan hijau menandakan area gempa bumi
1881 dan 1907. Lingkaran kuning menunjukan lokasi gempa bumi 2002, 2008, dan 2010. Garis tegas menggambarkan
lintasan patahan-patahan utama secara umum dikutip dari Singh et al.
61. Pivot line menunjukan lokasi pengangkatan
dan penurunan dasar laut selama gempa bumi 20045.
Pergerakan relatif lempeng diadopsi dari Prawirodirdjo and Bock
62
ditampilkan perulangan yang tidak teratur
sebanyak 11 kejadian tsunami antara 7400
sampai 2900 tahun yang lalu. Rekaman endapan
sedimen di dalam gua tersebut menunjukan
bahwa rupture pada megathrust Sunda
bervariasi antara yang besar (yang
membangkitkan Tsunami Samudera Hindia
2004) dan yang slip lebih kecil. Kronologi dari
kejadian-kejadian tersebut menunjukan bahwa
telah terjadi perulangan beberapa kejadian
tsunami kecil dalam periode yang sangat singkat,
diikuti dengan periode akumulasi strain yang
sangat lama dan diikuti oleh kejadian tsunami-
tsunami besar. Data yang diperoleh dari gua
tersebut menujukan bahwa tsunami 2004 adalah
tsunami besar yang terbaru dalam satu
rangakaian tsunami-tsunami yang dahsyat yang
pernah terjadi paling kurang sejak awal Holosen
dan tersirat bahwa sangat memungkinkan terjadi
tsunami serupa di Samudera Hindia pada waktu-
waktu mendatang. Endapan-endapan sedimen
yang tersimpan di gua pantai tersebut
Projections of fatalities due to catastrophic earthquakes andtsunamis will likely exceed 2 million lives in the twenty-firstcentury1. Advances in geodesy and seismology have
contributed to our understanding of rupture patterns of largeearthquakes, but the devastation caused by the 2011 Tohoku-okiand the 2004 Indian Ocean tsunamis make it clear that estimatesof earthquake size and tsunami potential are woefully inadequate.The repeat times of such giant tsunamis can occur centuriesto millennia apart2–5 and are not fully captured in historicaland instrumental records2,3. A more refined understanding ofthe long-term variations in timing and recurrence of gianttsunamis is essential for producing realistic vulnerabilityassessments for coastal communities.
The great Sumatra–Andaman earthquake triggered a tsunamithat devastated south and southeast Asia5,6. At the time, there wasno known historic precedent for the 1,500 km rupture of the Sundamegathrust5, with slip exceeding over 20 m (refs 6,7). In the decadesince the Indian Ocean tsunami, the search for prehistoric estimatesof earthquake recurrence and tsunami potential remains elusive.Most reconstructions of past tsunami inundation are based onidentifying anomalous beds of sand in low-energy environments,such as salt and freshwater marshes, coastal lakes or swales8,9.Prehistoric tsunamis have been identified using such geologicalrecords from northern Sumatra10–12, Thailand13–17, AndamanIslands18, Sri Lanka19, Eastern India20 and the Maldives21, but thetimeline of their reconstructions is limited or fragmentary,hindered by preservation problems, reworking and a lack ofaccommodation space22.
We identify coastal caves as a new depositional environmentfor reconstructing tsunami records and present a 5,000 yearrecord of continuous tsunami deposits from a coastal cave inSumatra, Indonesia (Fig. 1), which shows the irregular recurrenceof 11 tsunamis between 7,400 and 2,900 years BP. Thesedimentary record in the cave shows that ruptures of the Sundamegathrust vary between large (which generated the 2004 IndianOcean tsunami) and smaller slip failures. The chronology ofevents suggests the recurrence of multiple smaller tsunamiswithin relatively short time periods, interrupted by long periodsof strain accumulation followed by giant tsunamis. The datademonstrates that the 2004 tsunami was just the latest in asequence of devastating tsunamis stretching back to at least theearly Holocene and suggests a high likelihood for future tsunamisin the Indian Ocean. The sediments preserved in the costalcave provide a unique opportunity to refine our understandingof the behaviour of the Sunda megathrust, as well as study indetail the sedimentology and hydrological characteristics oftsunami deposits.
ResultsGeologic setting. The coastal cave site is located along thenorthwestern coast of Aceh Province near the village of Lhong,35 km south of Banda Aceh (Fig. 2). This segment of the Sundamegathrust (Fig. 1) slipped as much as 20 m during the 2004rupture6,7 and produced nearly 1 m of subsidence. The 2004tsunami inundated the cave and removed vegetation off the verysteep limestone cliff to a height of B24 m above mean tidal level(MTL) which was over 10 m above the top of the cave entrance(Fig. 2). The cave entrance is 100 m back from the swash zone witha rock sill at its entrance that sits 1 m above mean tidal level(Fig. 2). The cave extends nearly 120 m into the cliff. We excavatedsix trenches at the rear of the cave (Fig. 2) and found sedimentarysequences up to 2 m thick above a limestone basement.
2004 tsunami deposit. The 2004 tsunami deposited a sand bed inall trenches, which was 20–43 cm thick. The 2004 tsunami sand
bed is laterally continuous, well-sorted, composed of fine tovery fine grained sand. In the trench nearest the cave entrance(Trench 6), the 2004 tsunami sand bed has three pulses ofcoarse material followed by subsequent fining upwards sequences(Fig. 3; Supplementary Fig. 1; Supplementary Tables 1 and 2).Basal rip-up clasts, lenticular laminations and fragments ofweathered cave chalk are common in the 2004 sand bed in alltrenches. The 2004 sand bed contains abundant, pristineforaminifera, mostly of benthic subtidal origin23, but with anotable planktonic offshore presence. Organic debris, transportedinto the cave by the tsunami and guano from the insect-feedingbats (Microchiroptera) that inhabit the cave, littered the surface ofthe 2004 tsunami deposit. The basal contact of the 2004 deposit isan erosional unconformity.
Prehistoric tsunami deposits. Beneath the 2004 tsunami deposit,we found an additional 11 sand beds (A–K) that we interpret astsunami deposits (Fig. 4). The 11 sand beds consist ofwell-sorted, normally graded, very fine sand to silt with a sharpbasal contact. There is no evidence of unconformities in thestratigraphic sequences from the trench-wall exposures(Supplementary Figs 1 and 2). Sand beds G–J have thin deposits(2–7 cm), whereas sand bed F has the thickest deposit (23 cm).Some of the sand beds have a rip-up clast-rich lower portionand a lenticular-laminated upper portion. The rip-up clasts arevery similar to the deposits that underlie them. Large detritalweathered fragments of cave chalk are preserved in the sand beds.Foraminifera are abundant, in particular in sand beds I–K (Fig. 5;Supplementary Tables 3 and 4). The provenance of theforaminifera ranges from intertidal to subtidal to offshore23.A large percentage of the foraminiferal assemblage in each sandbed is pristine (Fig. 5).
Su
nd
am
eg
at h
r us t
0 200 km100
1881(~7.9)
2005 (8.6)1861(~ 8.5)
1907(~7.6)
2004 (9.2)
Sunda plate
Indian plate53mm per year
Figure 2
N
Su
ma
t r a
2002 (7.2)2008 (7.3)2010 (7.2)
Malaysia
Pi v
ot
li n
e
98°E96°E94°E92°E
8°N
6°N
4°N
2°N
Coastalcave
Figure 1 | Tectonic setting and ruptures of major earthquakes along theSunda megathrust. The pink patch is the estimated rupture area of the2004 Indian Ocean earthquake6. The red patch is the estimated rupturearea of the 2005 Nias–Simeulue earthquake60. Orange and green patchesshow the area of the 1881 and 1907 earthquakes. Yellow circles show thelocation of the 2002, 2008 and 2010 eathquakes. Solid lines depict primaryfaults generalized from Singh et al.61. Pivot line shows location of uplift andsubsidence of the seafloor during the 2004 earthquake5. Relative platemotion is from Prawirodirdjo and Bock62.
ARTICLE NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019
2 NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications
3
memberikan peluang kepada kami untuk
mengkaji lebih detail lagi pemahaman kita
terhadap aktivitas megathrust Sunda. Di
samping itu, endapan tersebut juga dapat
dijadikan untuk karakteristik sedimentologi dan
hidrologi dari endapan tsunami secara detail.
Hasil
Kondisi geologi. Gua pantai yang dikaji
terletak di pantai barat laut Provinsi Aceh,
Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar,
dengan jarak sekitar 35 km ke selatan dari Banda
Aceh (Gambar 2). Dalam rangkaian Megathrust
Sunda (Gambar 1), pada segmen ini terjadi slip
20 m selama rupture 20046-7 dan menyebabkan
penurunan tanah hampir 1 m. Tsunami 2004
menggenangi gua tersebut dan menyapu
vegetasi yang tumbuh pada tebing batu gamping
yang curam sampai ketinggian 24 m di atas rata-
rata ketinggian pasut (MTL), yaitu mencapai 10
m dari atas pintu masuk gua (Gambar 2). Pintu
masuk gua terletak 100 meter dari zona
hempasan pantai dengan satu batuan besar pada
pintu masuknya pada ketinggian 1 m di atas MTL
(Gambar 2). Ruang gua tersebut terbentang
hampir 120 m masuk ke dalam tebing. Kami telah
melakukan eskavasi enam buah parit pada
bagian belakang gua (Gambar 2) dan
menemukan urut-urutan pelapisan sedimen
dengan ketebalan sampai 2 m di atas dasar gua
yang terbentuk dari batu gamping.
Endapan tsunami 2004. Endapan tsunami
2004 tersimpan pada semua parit dengan
ketebalan 20 – 43 cm. Lapisan pasir tsunami
2004 berkesinambungan secara lateral, sangat
terpilah, terbentuk dari ukuran butiran pasir
halus sampai dengan sangat halus. Pada parit
dekat pintu masuk gua (Parit 6), lapisan pasir
tsunami mempunyai tiga kali perulangan material
kasar yang diikuti oleh sekuensi pasir yang
semakin halus ke bagian atas (Gambar 3;
suplamentari Gambar 1; suplementari Tabel 1 dan
2). Klastis rip-up dasar, laminasi lentikuler dan
fragmen-fragmen kapur gua yang terlapukan
banyak ditemukan dalam lapisan pasir tsunami
2004 pada semua parit. Lapisan pasir 2004
banyak mengandung foraminifera yang masih
utuh, sebagian besar berasal dari subtidal benthic23, tetapi dengan kehadiran plankton
lepas laut yang sangat jelas. Debris organik,
terangkut ke dalam gua bersamaan dengan
tsunami, dan guano berupa sisa serangga yang
dimakan oleh kelelawar (Microchiroptera) yang
menghuni gua, menutupi permukaan endapan
tsunami 2004. Kontak dasar dari endapan
tsunami 2004 dalam bentuk ketidakselarasan
erosional.
Endapan-endapan tsunami purba. Di
bawah endapan tsunami 2004, kami menemukan
lagi 11 lapisan pasir (A-K) yang kami
interpretasikan sebagai endapan-endapan
tsunami purba (Gambar 4). Kesebelas lapisan
pasir tersebut terbentuk dari material yang
sangat terpilah, bergradasi normal, berupa pasir
sangat halus dan lanau dengan kontak yang
sangat tajam pada bagian dasar. Tidak terdapat
bukti ketidakselarasan dalam sekuensi stratigrafi
dari dinding parit yang dibuka (Suplementari
Gambar 1 dan 2). Lapisan G-J mempunyai
endapan-enadapan yang tipis (2 sampai 7 cm),
sedangkan lapisan pasir F mempunyai endapan
yang paling tebal (23 cm). Sebagian dari lapisan
pasir tersebut banyak mengandung klastis rip-up
pada bagian bawah dan laminasi lentikuler pada
bagian atas. Pecahan klastis tersebut sangat
sama dengan endapan yang terletak di
bawahnya. Banyak fragment detrital terlapukan
dari kapur gua tersimpan di dalam lapisan pasir
tersebut. Keberadaan foraminifera melimpah,
khususnya dalam lapisan pasir I – K (Gambar 5;
Suplementari Tabel 3 dan 4). Foraminifera
tersebut berasal dari area intertidal (zona
pasang-surut), subtidal (zona yang terkena
hempasan ombak dan daerah di bawah pasang
tertinggi dan surut terendah), sampai dengan
laut lepas23. Persentasi terbesar kumpulan
foraminifera dalam setiap lapisan pasir adalah
utuh (Gambar 5).
Lapisan-lapisan interkalasi. Lapisan-
lapisan yang banyak mengandung organik
ditemukan ditemukan antara 11 lapisan pasir
tersebut (A – K), mencerminkan kejadian
akumulasi sedimen yang sangat lambat selama
jeda antar-kejadian satu tsunami ke tsunami
berikutnya. Lapisan organik tersebut umumnya
terlaminasi sangat bagus dan memiliki rentang
ketebalan dari <1 mm sampai 9 cm (Gambar 4;
Suplementari Gambar 1 dan 2). Lapisan
interkalasi tersebut terbentuk dari pasir, teraduk
oleh tetesan air secara periodik dari atas diding
gua pada saat hujan lebat dan oleh lubang galian
serangga. Organik-organik tersebut sepertinya
Gambar 2 Peta menunjukan lokasi-lokasi penelit ian dan topografi dari gua. (a) Lokasi gua dan tanah tertimbun pasir tsunami dari pantai barat laut Propinsi Aceh
12. (b) Fotografi pintu masuk gua dan garis potongan tsunami
2004 yang masih terlihat pada pepohonan. Garis potongan tersebut sekitar 10 m di atas pintu masuk gua. (c) Peta topografi
gua pantai. (d) Peta menunjukan lokasi eskavasi di gua pantai. (e) Profile topografi dari zona swash ke gua pantai.
Gambar 3 Endapan tsunamani Samudera Hindia 2004. Fotografi yang menunjukan tiga urutan endapan pasir berbutir kasar dan semakin ke bagian atas terlihat pada Parit 6. Sampel ukuran butir dari endapan 2004 yang diambil
dari Parit 6 ditampilkan pada Lampiran Tabel 3. Lihat Gambar 2 untuk lokasi Parit 6.
Intercalated beds. Organic-rich beds are found between the 11sand beds (A–K), reflecting slow sediment accumulation duringintervals between tsunamis. The organic beds are commonlyfinely laminated and range in thickness from o1 mm to 9 cm(Fig. 4; Supplementary Figs 1 and 2). The intercalated bedsconsist of sands, reworked by periodic drips of water throughthe cave ceiling during periods of high precipitation andinsect burrowing. The organics were likely produced by the sameprocesses that produce organic debris on the surface of the 2004tsunami and have been broken down by post-depositional
processes. Foraminifera are absent or in low abundances with afragmented and abraded assemblage of intertidal to subtidalto offshore species (Fig. 5), further suggesting the intercalatedbeds are reworked from the tsunami sand beds A–K. Inmany intercalated beds, we found small, pristine and fragilechalk florets.
Four mud beds appear between sand beds B–H with thicknessesup to 25 cm (Figs 4 and 5; Supplementary Figs 1 and 2). Theupper contact of the mud beds is sharp and locally eroded,consistent with the presence of rip-up clasts within the overlying
T1
T4
T2T5T6
A’
T1= Trench 1
‘A
0
20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 m
MTL
A Swashzone Berm Cave entrance
Coastal cave site
0 10 km
95.50°95.33°95.16°
5.16°
5.33°
5.50°
S u m a t r a
Entrance to coastal cave
2 0 0 4 t r i m l i n eCave
Hei
ght
(m)
Figure C
Pulot
Seungko Meulat
Banda Aceh
Figure D
0 20 m 0 10 m
Cr e s t
Cr e s t
50 cm
30 cm
0 cm
50 cm70 cmN
a
N
N
b
c d
e
1 m
2 m
0
T1
MTL
Limit of accommodation space
A
A’
Figure 2 | Map showing site locations and topography of the cave site. (a) Location of coastal cave site and buried soils from the northwestern coastof Aceh Province12. (b) Photograph of the coastal cave entrance and the 2004 trim line. The trim line is about 10 m above the entrance to the cave.(c) Topographic map of the coastal cave site. (d) Map showing excavations in the coastal cave. (e) Topographic profile from the swash zone tothe coastal cave.
0 25 cm
Fin
ing
upw
ards
Fin
ing
upw
ards
Fin
ing
upw
ards
25 cm
C o ars e p u ls e 1
C o ar s e p u ls e 2
C o ar s e p u ls e 3
Figure 3 | 2004 Indian Ocean tsunami deposit. Photograph showing three coarse pulses and fining upwards sequences exposed in Trench 6. Grain sizesamples for the 2004 deposit collected from Trench 6 are shown in Supplementary Table 3. See Fig. 2 for location of Trench 6.
NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019 ARTICLE
NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications 3
Intercalated beds. Organic-rich beds are found between the 11sand beds (A–K), reflecting slow sediment accumulation duringintervals between tsunamis. The organic beds are commonlyfinely laminated and range in thickness from o1 mm to 9 cm(Fig. 4; Supplementary Figs 1 and 2). The intercalated bedsconsist of sands, reworked by periodic drips of water throughthe cave ceiling during periods of high precipitation andinsect burrowing. The organics were likely produced by the sameprocesses that produce organic debris on the surface of the 2004tsunami and have been broken down by post-depositional
processes. Foraminifera are absent or in low abundances with afragmented and abraded assemblage of intertidal to subtidalto offshore species (Fig. 5), further suggesting the intercalatedbeds are reworked from the tsunami sand beds A–K. Inmany intercalated beds, we found small, pristine and fragilechalk florets.
Four mud beds appear between sand beds B–H with thicknessesup to 25 cm (Figs 4 and 5; Supplementary Figs 1 and 2). Theupper contact of the mud beds is sharp and locally eroded,consistent with the presence of rip-up clasts within the overlying
T1
T4
T2T5T6
A’
T1= Trench 1
‘A
0
20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 m
MTL
A Swashzone Berm Cave entrance
Coastal cave site
0 10 km
95.50°95.33°95.16°
5.16°
5.33°
5.50°
S u m a t r a
Entrance to coastal cave
2 0 0 4 t r i m l i n eCave
Hei
ght
(m)
Figure C
Pulot
Seungko Meulat
Banda Aceh
Figure D
0 20 m 0 10 m
Cr e s t
Cr e s t
50 cm
30 cm
0 cm
50 cm70 cmN
a
N
N
b
c d
e
1 m
2 m
0
T1
MTL
Limit of accommodation space
A
A’
Figure 2 | Map showing site locations and topography of the cave site. (a) Location of coastal cave site and buried soils from the northwestern coastof Aceh Province12. (b) Photograph of the coastal cave entrance and the 2004 trim line. The trim line is about 10 m above the entrance to the cave.(c) Topographic map of the coastal cave site. (d) Map showing excavations in the coastal cave. (e) Topographic profile from the swash zone tothe coastal cave.
0 25 cm
Fin
ing
upw
ards
Fin
ing
upw
ards
Fin
ing
upw
ards
25 cm
C o ars e p u ls e 1
C o ar s e p u ls e 2
C o ar s e p u ls e 3
Figure 3 | 2004 Indian Ocean tsunami deposit. Photograph showing three coarse pulses and fining upwards sequences exposed in Trench 6. Grain sizesamples for the 2004 deposit collected from Trench 6 are shown in Supplementary Table 3. See Fig. 2 for location of Trench 6.
NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019 ARTICLE
NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications 3
Gambar 4 Unit-unit stratigrafi gua pantai dan
lapisan-lapisan pasir tsunami. (a) Unit-unit stratigrafi menunjukan ke-11 lapisan pasir tsunami (A - K)
dan endapan tsunami 2004. Angka-angka yang berwarna merah merujuk pada sampel radiokarbon (Tabel 1). (b)
Fotomosaik Parit 1 menujukan lokasi kesebelas lapisan pasir
tsunami, A – K. Lihat Gambar 2 untuk lokasi Parit 1.
dihasilkan oleh proses yang sama dengan
tumpukan organik di atas permukaan endapan
tsunami 2004 dan telah dirusak oleh proses-
proses setelah pengendapan. Tidak terdapat
foraminifera atau jika ada dalam jumlah yang
sangat sedikit dengan kumpulan yang
terfragmentasi dan terabrasi berasal dari spesies
zona intertidal sampai pada subtidal dan laut
lepas (Gambar 5), selain itu juga menunjukan
bahwa lapisan-lapisan interkalasi tersebut
terbentuk ulang dari lapisan-lapisan pasir
tsunami A – K. Dalam beberapa lapisan
interkalasi, kami menemukan sedikit chalk floret
yang utuh dan rapuh.
Empat lapisan lumpur terdapat antara
lapisan-lapisan pasir B – H dengan ketebalan
sampai 25 cm (Gambar 4 dan 5; Suplementari
Gambar 1 dan 2). Kontak bagian atas dari
lapisan-lapisan lumpur ini sangat tegas dan telah
mengalami pengikisan secara lokal, konsisten
dengan keberadaan runtuhan klastis dalam
lapisan pasir tsunami di atasnya. Dalam dua
lapisan lumpur terdapat foraminifera dalam
jumlah yang tidak banyak, didominasi oleh
kumpulan-kumpulan intertidal (Gambar 5;
Suplementari Tabel 3 dan 4). Akan tetapi, tidak
terdapat foraminifera dalam kedua lapisan
lumpur yang lainnya, ini menandakan bahwa
proses pengendapannya berasal dari kolam air
tawar yang ada di dalam gua. Kapur gua utuh
ditemukan di dalam beberapa lapisan lumpur
tersebut, in menunjukan bahwa proses
pengendapan terjadi dalam kondisi energi
rendah.
Batas-batas Kronologi. Kami menentukan
accelerator mass spectrometry (AMS) umur
radiokarbon detrital arang kayu dan keseluruhan
moluska yang terdapay di dalam, di bawah dan di
atas lapisan-lapisan pasir (Gambar 6; Tabel 1).
Kami menginterpretasikan sampel yang berasal
dari atas dan bawah untuk membatasi umur
maksimum dan minimum dari waktu
pengendapan lapisan pasir. Fragmen-fragmen
arang kayu dari lapisan yang banyak
mengandung sisa-sisa organik pada dasar
sekuensi sedimentari menhghasilkan umur
maksimum dari 7.672 – 7.588 tahun BP untuk
lapisan pasir A. Arang kayu dari sebuah lapisan
lumpur (5.583 – 5.331 tahun BP) adalah umur
maksimum untuk lapisan pasir F. Cangkang
kerang utuh dalam lapisan pasir F memberikan
umur sekitar 5.258 – 4.552 tahun BP. Arang kayu
menghasilkan umur sekitar 3.362 – 3.246 tahun
BP dan 3.363 – 3.245 tahun BP, masing-masing
untuk lapisan pasir G dan H. Umur arang kayu
tsunami sand beds. In two mud beds foraminifera are present inlow abundances, dominated by , intertidal assemblages (Fig. 5;Supplementary Tables 3 and 4). However, foraminifera are absentin the other two mud beds, suggesting deposition by freshwater
ponding in the cave. Pristine cave chalk is found in some mudbeds, further supporting deposition in low-energy conditions.
Chronological constraints. We obtained accelerator massspectrometry (AMS) radiocarbon ages on pieces of detritalcharcoal and whole molluscs from within, below and above thesand beds (Fig. 6; Table 1). We interpret the two bracketing datesas maximum and minimum ages for the timing of sand beddeposition. Fragments of charcoal from an organic-rich bed at thebase of the sedimentary sequence yield a maximum age of 7,672–7,588 years BP for sand bed A. Charcoal from a mud bed (5,583–5,331 years BP) is the maximum age for sand F. A pristinemollusc shell within the sand bed F provide an age of 5,258–4,552years BP. Charcoal yield ages of 3,362–3,246 years BP and 3,363–3,245 years BP for sand beds G and H, respectively. Multiplecharcoal dates from sand beds I, J and K provide age ranges of3,366–3,221 years BP, 3,464–3,068 years BP and 2,975–2,772years BP, respectively.
DiscussionCoastal caves have not previously yielded prehistoric records oftsunamis. Indeed, the cave’s sheltered location and absenceof human activity suggest that these sand beds represent thebest-preserved and most complete tsunami history for the IndianOcean between 7,400 and 2,900 years BP. The cave’s interiorprotects the tsunami deposits from erosion. The rock sill near thecave entrance (Fig. 2) mitigated the erosional impact of tsunamisthat are found at elevations beneath the sill. However, depositsabove the rock sill are vulnerable to scouring from subsequentevents. The cave’s location also disfavours sand bed deposition orre-working by intense storms12,14. Exposure to tropical cyclonesis limited due to the lack of Coriolis force near the equator24,25.In addition, the track of any tropical cyclones that originate inIndian Ocean will move towards India, Bangladesh or Myanmarwithout producing a storm surge in Sumatra14,26. Althoughtropical cyclones do strike eastern Thailand, they dissipate aftercrossing the Malay Peninsula and Sumatra before movingoffshore along Sumatra’s west coast (for example, tropicalstorm Vamei in 2001 (refs 27,28)).
The stratigraphic and microfossil data of the 11 prehistoricsand beds (A–K) resemble the 2004 tsunami as well as tsunamideposits described elsewhere. Rip-up clasts at the base ofsand beds and sharp basal contacts suggest erosion occurred atthe beginning of the tsunami inundation as the surgeentered the cave. Normally graded sand beds indicate settlingfrom suspension following tsunami inundation in the cave9,29.The normal grading suggests that each bed resulted from a single(rather than multiple) instance of the cave filling with water anddraining. The foraminifera assemblage of the sand beds weredominated by intertidal to subtidal to offshore species.Marine foraminifera often dominate tsunami deposits becauseof the landward transport and deposition of scoured marinesediment23,30. The taphonomic (or surface) condition of indivi-dual foraminifera distinguishes the tsunami sand beds and theintercalated beds (Fig. 5). The foraminifera of the tsunami sandbeds is predominantly pristine suggesting the foraminifera wereentrained from a protected subtidal substrate31,32.
We have also identified cave chalk weathering as a newindicator of tsunami inundation. Large fragments of weatheredcave chalk are preserved in the sand beds. These fragments mostlikely fell from the cave ceiling and were weathered due toabrasion by tsunami transport. In contrast, we found pristine andfragile chalk florets in the organic and mud beds.
Holocene relative sea-level reconstructions from the Indo-Pacificregion are characterized by a mid-Holocene sea-level high stand of
t1183/82
other sandorganic-rich sandother sand
t6 (72)other sand
other sandorganic-rich sand
other sand
Organic — rich grey to black sand
T1
t6
t8 (74)t9
T2
Muddy clayMuddy clay
A
B
C
D
E
F
GHIJ
K
2004
Sand A
Sand B
Sand C
Sand D
Sand E
Sand F
Sand GSand HSand ISand J
Sand K
2004
Mud - tanto brown
Sand — very fine to fine grey sand
Bedrock
Other sand — very fine brown to red sand
cm
0 20 40
Centimeters along trench wall
a
b
1
2
15
3
14*
13
12
11
456 7
8 910
14C detrital charcoal
14C bivalve
0
20
40
60
80
100
120
140
14C gastropod
* Projected from other trench wall
Figure 4 | Coastal cave stratigraphic units and the tsunami sand beds.(a) Stratigraphic units showing the 11 tsunami sand beds (A–K) and the2004 tsunami deposit. Red numbers refer to the radiocarbon samples(Table 1). (b) Photomosaic of Trench 1 showing location of the 11 sand beds,A–K. See Fig. 2 for location of Trench 1.
ARTICLE NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019
4 NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications
6
Gambar 5 Stratigrafi dan bukti mikrofosil yang menandakan kejadian-kejadian tsunami. Panah-panah vertikal menunjukan pasir yang berbutur semakin halus ke bagian atas dan panah-panah horisontal menunjukan
urutan pasir kasar. Rata-rata ketebalan dari unit-unit yang diambil tampilan vertikal Parit 1, dinding-dinding parit A, B, C, dan
D. Ukuran butir dari Lampiran Tabel 1; data foraminifera dari Lampiran Tabel 2.
dari lapisan pasir I diperoleh sekitar 3.366 –
3.221 tahun BP, lapisan J sekitar 3.464 – 3.068
tahun BP, dan lapisan K sekitar 2.975 – 2.772
tahun BP.
a few decimetres to several metres33,34, but the presence or absenceof such a highstand may be controlled by local tectonic processes35.A record of buried soils from the northwestern coast of AcehProvince suggest that relative sea-level rose during the early andmid-Holocene from ! 5 m at B7,900 years BP to ! 1.6 m atB5,700 years BP12. Relative sea-level was below present until atleast 3,800 years BP. In the late Holocene, relative sea-levelstabilized within 0.4 m of modern sea-level12,22,33. This graduallong-term relative sea-level rise without a mid-Holocene highstand
created a time-window for tsunami deposits and intercalated bedsto aggrade without a significant interruption in sedimentation36
(Fig. 7).The cave probably contained stratigraphic evidence of recent
historic tsunamis from 2,900 years BP to the 2004 Indian Oceantsunami that have been identified elsewhere in the region10,14, butthese were most likely removed by subsequent tsunamisinundating the cave as indicated by the erosional unconformitybeneath the 2004 deposit (Figs 4 and 7; Supplementary Fig. 1).
A
Str
atig
raph
ic th
ickn
ess
(cm
)
1,500 3,000
1,500 3,000
No. individualsper 1 cm3
No foraminifera
For
amin
ifera
lta
xono
my
For
amin
ifera
lta
phon
omy
Concentration offoraminifera
Planktic
SubtidalIntertidal
Pristine
Fragmented
Abraded
2004 tsunami
B
C
D
E
F
GH
I
J K
w
w
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Stratigraphy Grainsize Event # Evidence for tsunami
S:
R:
F:
L:
F L Co ChS R Fu Cp
w
p Pristine
Weathered
None
Cave chalk
Co:
Ch:
Fu:
Cp:
Stratigraphy
Rip up clast
Faulting
Liquefaction
Collapse pit
Channelling
Fining upward
Coarse pulse
Breccia
Laminated organic sandand guano
Sand — very fine to fine grey sand
Other sand — very fine brown tored sand
Mud — tan to brown
Cav
e ch
alk
taph
onom
y
8
12
11
10.110
98.38.2
7.1
5.3
5.1
4.1
3.2
2.2
1.3
1.1
1
6
7.2
2
8.1
2.1
7.3
10.2
5.5
5.2
4
1.4
5
3
1.2
5.4
3.1
Unconformity
Unit #
p
p
w
w
p
w
w
w
w
w
w
wp
X
X
X
p
Figure 5 | Stratigraphic and microfossil evidence for tsunamis. Vertical arrows show fining upwards sand and horizontal arrows indicate coarse sandpulse. Average thickness of units taken from Trench 1 vertical exposures, trench walls A, B, C and D. Grain size from Supplementary Table 1; foraminiferadata from Supplement Table 2.
NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019 ARTICLE
NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications 5
7
Gambar 6 Model Bayesian menunjukan waktu dari kejadian-kejadian tsunami (a) Kami menggunakan
model Bayesian bias untuk lapisan-lapisan pasir A – K yang secara simultan mengkalibrasi semua umur radiokarbon, menggabungkan prinsip superposisi dan batasan dari rentang umur, yang mana terletak antara atau di luar rentang umur
tsunami secara langsung (lihat pada bagian metode). Model tersebut cocok menggunakan pendekatan Markov chain Monte
Carlo55,63
. Umur radiokarbon dikalibrasi dengan Calib rev. 6.0.053
, rentang umur muncul dengan 95.4% HDR (standar deviasi ~2), di mana tahun ‘sebelum sekarang’ (BP) adalah tahun-tahun sebelum 1950 A.D. (Tabel 1). (b) Ketebalan sedimen dari
lapisan-lapisan pasir dan endapan tsunami Samudera Hindia 2004. Ketebalan stratigrafi tersebut adalah ketebalan rata-rata melintang 29 bagian vertikal dari Parit 1 penampang A dan C (Lampiran Tabel 5).
Pembahasan
Gua-gua pantai sebelumnya belum pernah
dimanfaatkan untuk kajian rekaman tsunami
purba. Lokasi gua pantai ini yang terlindung dan
ketiadaan aktivitas manusia menjamin bahwa
lapisan-lapisan pasir di dalam gua ini terawetkan
dengan baik dan menyajikan rekaman sejarah
gempa yang lengkap untuk Samudera Hindia
antara 7.400 dan 2.900 tahun BP. Interior gua
tersebut melindungi endapan-endapan tsunami
dari proses erosi. Bongkahan batu mendatar
dekat dengan pintu masuk gua (Gambar 2)
menjaga pengaruh erosi yang terjadi akibat
tsunami yang lapisan pengendapannya terdapat
di bawah ketinggian batu pada pintu masuk gua
tersebut. Akan tetapi endapan-endapan yang
berada di atas bongkah batu ini sangat rentan
untuk terkikiskan dari kejadian-kejadian
setelahnya. Letak dan posisi gua tersebut juga
The missing stratigraphic record coincides with the continuedaggradation of the nearby coastal plain12. Stratigraphical recordsof late Holocene tsunamis are generally restricted to environ-ments with sufficient accommodation space, such as interveningcoastal swales between ridges10,14, estuaries and ponds whereoverwash deposits are protected from erosion by rapid growth ofvegetation or deposition of sediment36.
Independent evidence for tsunami inundation in the cavecomes from stratigraphy of nearby coastal lowlands12,37. Threecoseismic subsidence events and seven tsunamis between B7,500and 3,800 years BP are documented in the stratigraphy of thewest coast of northern Sumatra12. During this time interval,the cave sequence preserves an identical number of tsunamis(that is, sand beds A–G; Fig. 6 and Table 1). Offshore of Sumatra,Patton et al.38 identified 11 deep-sea turbidites along theAndaman–Aceh slip patch between B6,500 and 2,700 yearsBP. Although the number of events is the same, the timing of theevents is different. The deep-sea turbidite record does not capturethe tightly clustered tsunamis (sand beds G–J) and the large gapin time between tsunamis F and G. The discrepancies suggest thatruptures along the Sunda megathrust do not always trigger bothtsunami deposits and turbidites.
Since the 2004 tsunami, considerable evidence for prehistorictsunamis has been obtained from sites around the IndianOcean13–16,18,20,21,39–43. However, studies with time spanscomparable to the cave are restricted to Sri Lanka19 and theMaldives21. In southern Sri Lanka, Jackson et al.19, identifiedseven tsunami sand beds between B6,700 and 2,400 year BP.Klostermann et al.21 identified three tsunami sand beds betweenB5,600 and B2,900 years BP in the Maldives. However, thesefar-field records do not capture the tightly clustered tsunamis(sand beds G–J) and have events that span the large gap in timebetween tsunami sand beds F and G. The far-field seismic sourcesfor these tsunamis are uncertain. For example, slip along themegathrust near the Andaman–Nicobar Islands are potentialseismic sources for tsunamis in Sri Lanka and the Maldives44.In addition, the faults along the southern coast of Pakistanare potential seismic sources for tsunamis in the Maldives44.The immediate proximity of the cave to the Sunda megathrustprovides a more reliable indicator of tsunamis generated byruptures of the megathrust than far-field records.
The chronology from accelerator mass spectrometry (AMS)radiocarbon ages from the sand beds of the coastal cave and thestratigraphy of the nearby coastal lowlands12,37, combined within a
K
7,5007,0006,5006,0005,5005,0004,5004,0003,5003,000Age (years BP)
J
I
H
G
F
E
D
C
B
A
Dated tsunami (this study)
Known, undated tsunami14
Dated buried soil14
Dated, known tsunami14
3025201550
HGFEDCBA
IJK
2004
San
d la
yers
Stratigraphic thickness (cm)10
ab
2,164 year gap
Clusteredtsunamis
Figure 6 | Bayesian model showing timing of tsunamis. (a) We use a custom Bayesian model for sand beds A–K that simultaneously calibrates allradiocarbon dates, incorporates the law of superposition and the constraints of limiting dates, which lie between or beyond the range of the directly datedtsunamis (Methods section). The model is fitted using a Markov chain Monte Carlo approach55,63. Radiocarbon ages calibrated with Calib rev. 6.0.0(ref. 53), age ranges appear with 95.4% highest density region (HDR) (B2 s.d.), where years ‘before present’ (BP) is years before A.D. 1950 (Table 1). (b)Sediment thickness of the sand beds and the 2004 Indian Ocean tsunami deposit. The stratigraphic thickness is the average thickness across 29 verticalsections in Trench 1 Faces A and C (Supplementary Table 5).
ARTICLE NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019
6 NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications
8
Gambar 7. Model endapan tsunami di bagian dalam gua. Model kami menunjukan perkembangan
tempat pengendapan dan akumulasi tumpukan lapisan-lapisan tsunai A – K dan tsunami Samudera Hindia 2004 di
dalam gua pantai tersebut.
tidak memungkinkan terjadinya pengendapan
atau pengerjaan ulang sedimen pasir akibat dari
angin badai12,14. Paparan terhadap siklon tropis
sangat terbatas karena kecilnya gaya koriolis
pada kawasan dekat karis khatulistiwa24,25. Selain
itu, jejak-jejak siklon tropis yang berasal dari
Samudera Hindia biasanya bergerak menuju
kawasan India, Bangladesh atau Myanmar tanpa
menghasilkan gelombang badai di Sumatera14,26.
Meskipun siklon-siklon tropis ada yang melanda
bagian timur Thailand, siklon tersebut akan
melemah ketika memotong Semenanjung Malaya
dan Sumatera sebelum bergerak ke laut lepas
sepanjang pantai barat Sumatera (yaitu siklon
tropis Vamei pada tahun 200127, 28).
Data stratigrafi dan microfossil dari 11 lapisan
pasir tsunami purba (A – K) menyerupai tsunami
2004 dan endapan tsunami yang dipelajari pada
tempat-tempat lain. Runtuhan klastis pada dasar
lapisan pasir dan kontak yang tajam dengan
dasar menandakan bahwa terjadi erosi pada
tahap awal genangan tsunami ketika arus masuk
ke dalam gua. Lapisan-lapisan pasir yang
tergradasi normal menunjukan bahwa terjadi
pendiaman genangan setelah tsunami masuk ke
dalam gua9,29. Grading normal menunjukan
bahwa setiap lapisan dihasilkan dari satu kali
proses masuk dan keluarnya air di dalam gua
(bukan proses berkali-kali). Kumpulan
foraminifera dari lapisan-lapisan pasir tersebut
didominasi oleh spesies-spesies dari intertidal,
subtidal sampai laut lepas. Foraminifera marin
sering mendominasi endapan-endapan tsunami,
karena transportasi ke darat dan pengendapan
kikisan sedimen laut23,30. Keadaan taphonomic
(permukaan) dari setiap foraminifera
membedakan lapisan-lapisan pasir tsunami dan
lapisan-lapisan interkalasi (Gambar 5).
Foraminifera dari lapisan-lapisan pasir tsunami
tersebut umumnya masih utuh menunjukan
foraminifera tersebut masuk dari subtrat subtidal
yang terlindungi31,32.
Kami juga mengidentifikasikan kapur gua
yang terlapukan sebagai indikator baru genangan
tsunami. Pecahan-pecahan besar dari kapur gua
terlapukan awet dalam lapisan-lapisan pasir
tersebut. Pecahan-pecahan ini umumnya jatuh
dari langit-langit gua dan terlapukan karena
abrasi oleh transpor tsunami. Sebaliknya kami
menemukan pecahan kapur yang utuh dan rapuh
dalam lapisan-lapisan lumpur dan organik
tersebut. Bayesian framework (Fig. 6; Methods section), provides thechronology of tsunamis between 7,400 and 2,900 years BP(Table 1). The chronology suggests an average recurrence interval
of 456 years between 7,400 and 2,900 years BP with a largeuncertainty (95% C.I. 1–2,210) (Fig. 6; Supplementary Table 7). Asimilar average recurrence interval (600–900 years) was estimatedfrom the nearby coastal lowlands of northwestern Aceh Provincebetween 7,400 and 3,800 years BP12. The tsunami record from SriLanka19 suggested an average recurrence interval of B360 yearsbetween 6,600 and 4,200 year BP.
The tsunami record from the cave, however, indicates a dramaticvariation in recurrence interval. Between 7,400 and 5,500 years BP,the recurrence interval for tsunamis A to F was 681 years (95% C.I.11–2,222) (Fig. 6). But after 5,500 years BP, the coastal cave has anage gap of 2,164 years (95% C.I. 1,997–2,247) between tsunamisF and G. Four tightly clustered tsunamis (G–J) occurred between3,400 and 3,300 years BP with an average recurrence interval of 16years (95% C.I. 0–55). The most recent tsunami (K) recorded in thecoastal cave occurred at 2,900 years BP, with a recurrence intervalof 426 years (95% C.I. 357–505). Although the time span of thenorthern Simeulue coral microatoll record is limited to the lastmillennium, it shows a similar large variation of recurrenceintervals from 56 years to B550 years39.
There is a correlation between the thickness of tsunami sandbeds and recurrence intervals in the cave (Fig. 6). The thinner sandbeds (G–J) have the smallest recurrence intervals and werepreceded by the largest age gap between tsunamis (Suppleme-ntary Fig. 4). The thickest sand bed (F) preceded the large age gap,with a thickness similar to the 2004 tsunami sand bed. Althoughvariations of offshore sediment availability or lateral shorelinechanges might play a role in the thickness of tsunami beds45, wesuggest that the thickness of the sand beds may reflect the size ofslip along the megathrust. It is possible that sand bed F wasdeposited by a giant tsunami produced by a large slip that wasfollowed by a very long dormant, interseimic period withsubstantial strain accumulation. Subsequently, partial, smaller slipfailures occurred in rapid succession between 3,400 and 3,300 yearsBP, producing sand beds G–J. The very long dormant periodsuggests that the Sunda megathrust is capable of accumulating largeslip deficits between earthquakes. Such a high slip rupture wouldproduce a substantially larger earthquake than the 2004 event.
The dramatic variation in tsunami recurrence intervals suggests acontinuum of recurrence behaviour from large slip ruptures (2004tsunami and sand bed F), earthquake super cycles or doubletearthquake2,4,11,39 to smaller slip failures (for example, sand bedsG–J) similar to the October 2010 Mentawai tsunamigenicearthquake (Fig. 1). Variations in recurrence may result fromtemporal changes in coupling or locking depth, or very long-termslow non-tsunamigenic slip events46,47. If thickness of the tsunamideposit (Fig. 6) reflects slip and the size of the slip patch, thethickness of the 2004 tsunami deposit implies a long dormant perioduntil the next large slip event. Slow non-tsunamigenic slip eventsmight predominate during such long periods of quiescence andprecede clustering smaller slip failures along the megathrust. Theremarkable variability of recurrence suggests that regional hazardmitigation plans should be based upon the high likelihood of futuredestructive tsunami demonstrated by the cave record and otherpaleotsunami sites, rather than estimates of recurrence intervals.
MethodsField methods and data collection. The evidence for prehistoric tsunamis isderived principally from stratigraphic relations found in six trench-wall exposuresand other smaller pits in the cave. The stratigraphy is visually striking, because of astrong contrast in colour between alternating beds of sand, mud and laminatedorganic sand (Supplementary Figs 1 and 2).
We identified and described stratigraphic units in Trench 1 and the trench wallswere mapped from high-resolution photos of the vertical surfaces. The alternatingbeds of sand, clay and laminated organic sand allow stratigraphic correlation ofindividual beds within the trench-wall exposure (Supplementary Figs 1 and 2). Wedivided the stratigraphy into 12 units, from Unit 1, which is the oldest and deepest,
Today
2004 tsunami
Removal of last ~2,900 years BP of accumulation due to scouring
~2,900 years BP
Maximum accommodation
space
Tsunamideposition
Beginning of
tsunami record
Tsunami~7,400 years BP
Scouring
Cavecollapse
RSL below present and waves unable to reach cave
Tsunami>7,400 years BP
Cave sill
2004 tsunami deposit
Figure 7 | Model of tsunamis deposits in cave interior. Our model showsthe development of accommodation space and the accumulation of stackedtsunami beds A–K and the 2004 Indian Ocean tsunami in the coast cave.
NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019 ARTICLE
NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications 7
9
Rekontruksi permukaan laut relatif Holosen
dari kawasan Indo-Pacific dicirikan oleh
permukaan laut tertinggi pada pertengahan
Holosen dalam beberapa desimeter sampai
beberapa meter33-34, tetapi ada atau tidaknya
ketinggian permukaan tersebut dipengaruhi oleh
proses-proses tektonik lokal35. Rekaman tanah
humus yang terpendam dari pantai barat laut
Aceh menunjukan bahwa permukaan air laut
relatif meningkat selama awal sampai
pertengahan Holosen dari -5 m pada ~7.900
tahun BP sampai -1,6 m pada ~5700 m BP12.
Permukaan laut relatif pada masa itu di bawah
kondisi sekarang hingga 3800 tahun BP. Pada
akhir Holosen, permukaan air laut relatif
terstabilkan dalam 0,4 m dari permukaan air laut
sekarang12, 22, 33. Kenaikan permukaan laut relatif
secara perlahan dan sangat lama ini dengan
tidak terbentuk suatu time-window untuk
endapan-endapan tsunami dan lapisan-lapisan
interkalasi tanpa gangguan sedimentasi yang
signifikan pada pertengahan Holosen36 (Gambar
7).
Pada gua tersebut barangkali terdapat bukti
stratigrafi dari tsunami-tsunami yang lebih baru
terjadi dari 2900 tahun BP sampai tsunami 2004
yang telah diidetifikasi pada tempat-tempat lain
di kawasan tersebut10,14, tetapi endapan tersebut
sepertinya telah terkikis oleh serangkaian
genangan tsunami di dalam gua tersebut seperti
yang ditunjukan oleh adanya ketidak-selarasan
erosional di bawah endapan 2004 (Gambar 4 dan
Gambar 7; Suplementari Gambar 1). Stratigrafi
yang hilang ini bersesuaian dengan sambungan
agradasi di bagian pantai yang dekat dengan
lokasi12. Rekaman-rekaman stratigrafi dari
tsunami-tsunami akhir Holosen umumnya
terbatas pada ruang akomodasi yang memadai,
seperti lahan yang rendah yang terdapat di
antara gundukan bukit kecil di sekitar pantai10,14,
estuari-estuari dan kolam-kolam yang
memungkinkan endapan-endapannya terlindungi
dari erosi oleh pertumbuhan vegetasi yang cepat
dan pengendapan sedimen36.
Bukti independen untuk genangan tsunami di
dalam gua berasal dari stratigrafi dataran rendah
pantai terdekat12,37. Tiga kejadian penurunan
tanah setelah gempa bumi dan tujuh tsunami
antara 7.500 dan 3.800 tahun BP terekam dalam
stratigrafi pada pantai barat bagian utara
Sumatera12. Selama rentang waktu ini, urutan
endapan di dalam gua mengawetkan suatu
jumlah kejadian tsunami yang identik (yaitu
lapisan pasir A sampai G; Gambar 6 dan Table 1).
Bagian lepas pantai Sumatra, Patton et al.38
mengidentifikasikan 11 turbiditas laut dalam
sepanjang slip patch Andaman-Aceh antara
6.500 dan 2.700 tahun BP. Meskipun jumlah
kejadiannya sama, tetapi waktu-waktu
kejadiannya berbeda. Rekaman turbiditas dari
laut dalam tidak menggambarkan secara jelas
kelompok-kelompok tsunami (lapisan pasir G –
J) dan jeda yang sangat lama antara tsunami F
dan G. Perbedaan-perbedaan ini menunjukan
bahwa rupture yang terjadi sepanjang
megathrust Sunda tidak selalu memicu endapan-
endapan tsunami dan turbiditas.
Sejak tsunami 2004, bukti yang dapat
dianggap sebagai bukti tsunami purba telah
diidentifikasi dari berbagai tempat di sekitar
Samudera Hindia13-16, 18, 20-21, 39-43. Akan tetapi,
kajian-kajian dengan rentang waktu yang
sebanding dengan temuan di gua tidak dapat
dibandingkan dengan temuan Sri Lanka19 dan
Maladewa21. Di selatan Sri Lanka, Jackson et al.19,
mengidentifikasikan tujuh lapisan pasir tsunami
antara 6.700 sampai 2.400 tahun BP.
Klostermann et al.21 mengidentifikasikan tiga
lapisan pasir tsunami antara 5.600 dan 2.900
tahun BP di Maladewa. Akan tetapi, rekaman dari
kawasan yang agak jauh dari Aceh ini tidak
menunjukan secara jelas kelompok-kelompok
tsunami tersebut (lapisan pasir G-J) dan
mempunyai kejadian-kejadian yang dalam
rentang jeda waktu yang sangat lama antara
lapisan pasir tsunami F dan G. Sumber-sumber
seismik jauh untuk tsunami-tsunami tersebut
tidak jelas. Sebagai contoh, slip sepanjang
megathrust dekat kepulauan Andaman-Nicobar
berpotensi sebagai sumber gempa bumi untuk
tsunami yangg terjadi di Sri Lanka dan
Maladewa44. Selain itu, patahan-patahan
sepanjang pantai selatan Pakistan juga
berpotensi sebagai sumber-sumber gempa bumi
untuk tsunami-tsunami di Maladewa. Pendekatan
langsung dari temuan gua terhadap Megathurst
Sunda memberikan indikator yang lebih
terpercaya untuk tsunami-tsunami yang
dihasilkan oleh ruptures megathurst
dibandingkan dengan rekaman-rekaman dari
yang sumber jauh.
Kronologi dari penntuan umur radiokarbon
dengan menggunakan accelerator mass
spectroscopy (AMS) dari lapisan-lapisan pasir
gua pantai dan stratigrafi dataran rendah pantai
terdekat12,37, tergabung dalam kerangka
10
Bayesian (Gambar 6; pada bagian Metode)
menghasilkan kronologi tsunami-tsunami antara
7.400 dan 2.900 tahun BP (Tabel 1). Dari
kronologi tersebut dapat disimpulkan bahwa
interval perulangan rata-rata 456 tahun antara
7.400 dan 2.900 tahun BP dengan
ketidakpastian terbesar (95% C.I. 1-2210)
(Gambar 6; Supplementari Tabel 7). Interval
perulangan rata-rata yang serupa (600-900
tahun) diprediksikan dari dataran rendah pantai
terdekat di barat laut Propinsi Aceh antara tahun
7.400 dan 3.800 tahun BP12. Rekaman tsunami
dari Sri Lanka19 menunjukan interval perulangan
rata-rata sekitar 360 tahun antara 6.600 dan
4.200 tahun BP.
Rekaman tsunami dari gua menunjukan
variasi yang dramatis dari interval
perulangannya. Antara 7.400 dan 5.500 tahun
BP, interval perulangan untuk tsunami-tsunami A
sampai F adalah 681 taun (95% C.I. 11-2222)
(Gambar 6). Tetapi setelah 5.500 tahun BP, gua
pantai tersebut mempunyai jeda umur dari 2.164
tahun (95% C.I. 1997-2247) antara tsunami F dan
G. Empat kelompok tsunami (G-J) terjadi antara
3.400 dan 3.300 tahun BP dengan interval
perulangan rata-rata 16 tahun (95% C.I. 0-55).
Tsunami terbaru (K) terekam di gua pantai
tersebut terjadi pada 2.900 tahun BP, dengan
interval perulangan 426 tahun (95% C.I. 357-
505). Meskipun bentang waktu dari rekaman
microatoll koral di utara Simeulue terbatas pada
akhir millenium, rekaman tersebut menunjukan
variasi besar yang serupa dengan interval
perulangan dari 56 tahun sampai 550 tahun39.
Terdapat korelasi antara ketebalan lapisan-
lapisan pasir tsunami dan interval-interval
perulangan di dalam gua (Gambar 6). Lapisan
pasir yang paling tipis (G ke J) mempunyai
interval-interval perulangan terkecil dan diawali
oleh jeda umur antara tsunami-tsunami tersebut
(Supplementari Gambar 4). Lapisan pasir yang
paling tebal (F) didahului jeda masa yang besar,
dengan ketebalan serupa dengan lapisan pasir
tsunami 2004. Meskipun variasi keberadaan
sedimen lepas pantai atau perubahan garis
pantai lateral dapat berperan dalam ketebalan
lapisan-lapisan tsunami tersebut45, kami
berkesimpulan bahwa ketebalan lapisan-lapisan
pasir tersebut dapat mencerminkan ukuran slip
sepanjang megathrust. Kemungkinan bahwa
lapisan pasir F terendapkan oleh tsunami besar
yang dihasilkan oleh suatu slip yang besar yang
diikuti dengan masa dormansi yang sangat lama,
periode inter-sesimik dengan akumulasi strain
yang memadai. Kemudian, secara parsial, slip
failures terjadi dalam perselingan yang cepat
antara 3.400 dan 3.300 tahun BP, menghasilkan
lapisan-lapisan pasir G-J. Periode dorman yang
paling lama menunjukan bahwa megathrust
Sunda mampu mengakumulasikan defisit slip
besar di antara kejadian-kejadian gempa bumi.
Rupture slip besar seperti itu dapat menimbulkan
gempa bumi yang secara substansial lebih besar
dari kejadian 2004.
Variasi yang dramatis dalam interval-interval
perulangan tsunami tersebut menunjukan
serangkaian sifat perulangan dari slip ruptures
besar (tsunami 2004 dan lapisan pasir F), yaitu
siklus gempa bumi super atau gempa bumi
doublet2,4,11,39 ke slip failures lebih kecil (seperti
lapisan pasir G-J) yang serupa dengan gempa
bumi berpotensi tsunami di Mentawai tahun
2010 (Gambar 1). Variasi dalam perulangan
dapat dihasilkan dari perubahan temporal dalam
kedalaman kopling atau locking, atau kejadian
slip yang tidak berpotensi tsunami yang sangat
panjang dalam waktu lama46-47. Jika ketebalan
endapan tsunami (Gambar 6) merefleksikan slip
dan ukuran slip patch tersebut, ketebalan
endapan tsunami 2004 menunjukan bahwa
periode dormansi yang panjang hingga kejadian
slip besar berikutnya. Kejadian-kejadian slip tak
berpotensi tsunami yang lama dapat
mendominasi selama periode tanpa kejadian
yang panjang tersebut dan mendahului kluster
slip failures kecil pada megathrust. Variabilitas
yang luar biasa dari perulangan tersebut
menunjukan bahwa perencanaan mitigasi bahaya
secara regional harus didasarkan pada peluang
terbesar kejadian bencana tsunami pada masa
depan seperti yang ditampilkan pada rekaman
gua dan tempat-tempat paleotsunami lainnya,
dari pada didasarkan pada perkiraan interval
perulangan.
Metodologi
Metode lapangan dan koleksi data.
Bukti untuk tsunami-tsunami purba pada
dasarnya diturunkan dari hubungan-hubungan
stratifigrafi yang ditemukan pada singkapan
pada enam dinding parit dan lubang bor kecil
lainnya yang digali di dalam gua. Stratigrafi
tersebut terlihat secara jelas, sebab kuatnya
kontras warna antara berbagai lapisan pasir,
11
lumpur, dan pasir bercampur organik (Supplementari Gambar. 1 dan 2).
Kami telah mengidentifikasikan dan
mendiskripsikan satuan-satuan stratigrafi dalam
Parit 1 dan dinding parit tersebut dipetakan dari
foto-foto beresolusi tinggi dalam bentuk
permukaan vertikal. Perubahan lapisan-lapisan
pasir, lempung, dan pasir organik terlaminasi
memudahkan korelasi stratigrafi dari masing-
masing lapisan di dalam singkapan dinding parit
tersebut (Supplementari Gambar 1 dan 2). Kami
bagi stratigrafi tersebut dalam 12 unit, dari Unit 1,
yaitu unit tertua dan terdalam yang terendapkan
di atas batuan dasar berupa batu gamping di
dalam gua tersebut, sampai Unit 12, yaitu unit
termuda yang terletak di bawah endapan pasir
Tsunami 2004 (Gambar 5). Sampel-sampel
kolom diambil secara melintang tiap batas
pelapisan stratigrafi, yang menyajikan sampel untuk ukuran butir, mikrofosil, dan kronologi.
Data topografi didasarkan pada pengukuran
total station pada tahun 2011 dan 2012 (Gambar
2). Eskavasi keenam parit di dalam gua dilakukan
pada tahun 2011 dan 2012. Kami melakukan
pengukuran sedimentologi dan stratigrafi di lapangan.
Lapisan-lapisan Pasir Tsunami. Kami
menggunakan beberapa garis bukti stratigrafi
yang yang berasal dari tsunami untuk lapisan-
lapisan pasir A sampai K, termasuk hubungan
stratigrafi, litologi, derajad pemilahan, struktur-
struktur internal, seperti lapisan dengan ukuran
butir semakin halus ke atas, klatis rip-up lumpur,
ketajaman kontak-kontak stratigrafi, uniformitas
dalam ketebalan lapisan dan kontinuitas lateral
dari lapisan-lapisan8,48-50. Selain itu, kami
menggunakan fitur sekunder seperti likuifaksi,
bedding-plane faults (décollements), dan
patahan normal yang barangkali terpicu dari
guncangan seismik8.
Kami menganalisis kumpulan-kumpulan
foraminiferal (Gambar 5; Supplementari Tabel 3
dan 4) dari sebagian besar unit-unit untuk
mengkomfirmasikan genangan air laut dan
mengindikasikan asal luapan pasir32. Selain itu
kami menggunakan taphonomy uji foraminifera51
untuk mengungkapkan keadaan deposisional dan
post-depositional (Supplementari Gambar 3;
Supplementari Tabel 3 dan 4). Analisis
foraminiferal tersebut dapat membantu
memperjelas asal pasokan sedimen dan
membantu identifikasi pasir tsunami dalam
berbagai setting lingkungan.
Kami menggunakan taphonomy kapur gua
sebagai indikator baru untuk lingkungan
pengendapan. Kapur gua tersebut ditemukan
dalam unit-unit sedimentari yang sepertinya
jatuhan dari langit-langit gua karena proses
pelapukan. Kapur tersebut terjadi dalam dua
bentuk: (1) kecil, rapuh, dan bongkahan floret
utuh; dan (2) fragmen-fragmen bulat detrital
yang tidak mempunyai struktur floret yang bagus
(Supplementari Gambar 3). Karena florets
tersebut tidak menunjukan bukti transpor air
(seperti bentuk bundar), kami menyimpulkan
bahwa florets halus tersebut terbatas pada
lapisan-lapisan pasir tidak diendapkan oleh
tsunami. Sebaliknya, fragmen-fragmen kapur
bundar hanya ditemukan dalam lapisan-lapisan
pasir yang dihasilkan oleh tsunami. Kami percaya
bahwa fragmen-fragmen bundar tersebut
disebabkan oleh peristiwa abrasi gelombang-gelombang tsunami.
Data ukuran butir dan ketebalan dapat
digunakan untuk membandingkan sedimen-
sedimen tsunami 2004 dengan lapisan-lapisan
pasir purba (Gambar 5 dan 6; Supplementari
Tabel 1). Selain itu, kecenderungan tekstur butir
yang semakin halus ke atas pada beberapa
lapisan pasir tsunami menunjukan bawah
deposisi terjadi oleh gelombang tsunami
(Gambar 5; Supplementari Tabel 1). Mengikuti
aliran air tinggi mula-mula, penurunan kecepatan
aliran dapat menyebabkan lapisan-lapisan pasir
terendapkan dalam bentuk grading, ukuran butir
cenderung semakin ke atas semakin halus9, 52.
Sebagai contoh, sepanjang pantai Aceh, lapisan
pasir tsunami 2004 merekam jelas urut-urutan
endapan pasir yang semakin halus ke atas52,
demikian juga dengan lapisan pasir tsunami
2004 yang tersimpan di dalam gua pantai.
Sampel-sampel untuk foraminifera, kapur gua,
dan analisis ukuran butir berasal dari Parit 1 dan
4 (Gambar 5; Supplementari Tabel 1, 2, 3, dan 4).
Umur radiokarbon. Kami mengumpulkan
fragmen-fragmen detrital batubara dari tujuh
unit stratigrafi (Unit 1, 5, 8, 9, 10, dan 11), dan dua
gastropoda utuh dari Unit 6. Umur radiokarbon
dapat menentukan waktu kejadian tsunami;
umur radiokarbon yang terkalibrasi dapat
membatasi waktu kejadian tsunami-tsunami
tersebut. Detrital batubara dan gastropoda diambil dari unit-unit tersebut untuk ditentukan
Tabel 1. Analisis radiokarbeom dari arang dan cangkang-cangkang kerang. Sampel-sampel diurutkan berdasarkan urutan stratigrafi. Rentang-rentang umur terkalibrasi (tahun BP) pada 95.4% HDR, menggunakan Calib rev.
6.0.053
dan nilai ΔR dari 15 ±119 untuk pengaruh resevoir laut54
. Ketidakpastian analitik adalah 1s dan merefleksikan total ketidakpastian pengukuran tersebut. Umur kejadian bergabung dengan umur-umur radiokarbon AMS dari lapisan-lapisan pasir gua pantai dan stratigrafi dataran rendah dekat bantai
12, 37, dalam kerangka Bayesian. Batas-batas kepercayaan 5%
sampai 95% ditampilkan pada tabel. *UBS, tanah terpendam bagian atas; MBS, tanah terpendam bagian bawah; LBS, tanah terpendam bagian bawah; umur-umur dariurutan stratigrafi dalam Kelsey et al.
12
umur radiokarbon dan dianalisis oleh GNS, Rafter
Radiocarbon Laboratory, New Zealand (Tabel 1).
Kami mengkalibrasikan umur radiokarbon
dengan Calib rev. 6.0.053. Umur terkalibrasi
dengan 95.4% HDR (simpangan standar ~2), nilai
tahun BP dihitung berdasarkan tahun sebelum
1950 (Tabel 1). Juga, kami mengkoreksi umur-
umur cangkang gastropoda untuk efek reservoir
marin menggunakan nilai ΔR 15 ± 11954 untuk
memperhitungkan keadaan bahwa air Samudera
Hindia menujukan pengurangan substansi 14C
akibat pergerakan arus ke atas (upwelling).
Untuk lebih membatasi kronologi, kami
menganalisa lapisan-lapisan guano organik yang
dihasilkan dari kelelawar pemakan serangga yang
menghuni gua pantai. Kami melakukan sampling
enam lapisan yang kaya organik pada stratigrafi
tipis mendatar (3-6 mm). Meskipun analisa
radiokarbon tersebut menunjukan lapisan-
lapisan pasir gelap secara keseluruhan berasal
dari pertengahan akhir Holosen, terdapat tiga
umur radiokarbon yang tidak konsisten dengan
posisi stratigrafi. Kami menyimpulkan bahwa
perbedaan umur guano disebabkan oleh: (1)
sample mengandung campuran organik yang
tidak diketahui variabel umurnya, dan
merepresentasikan umur rata-rata dari sampel
tersebut; dan (2) perlokasi air tanah sepanjang
rekahan dalam gua gamping tersebut,
menyebabkan pengaruh eksogen, karbon yang
lebih tua masuk ke dalam lapisan-lapisan
organik.
Model umur kedalaman Bayesian. Kami
menerapkan model umur kedalaman Bayesian
terhadap ke-19 umur radiokarbon dari gua pantai
tersebut dan dataran rendah pantai terdekat12.
Umur radio karbon tersebut juga secara
resting on the limestone bedrock of the cave, through Unit 12, which is theyoungest unit that underlies the 2004 Indian Ocean tsunami sand bed (Fig. 5).Column samples were taken across each stratigraphic interface, providing samplesfor grain size, microfossil and chronology.
Topographic data were based on a total station survey in 2011 and 2012 (Fig. 2).Excavation of six trenches within the cave interior was conducted in 2011 and2012. We made measurements of sedimentology and stratigraphy in the field.
Tsunami sand beds. We use several lines of stratigraphic evidence that point to atsunami origin for sand beds A–K that includes stratigraphic relations, lithology,degree of sorting, internal structures, such as fining upwards beds, rip-up clasts ofmud, sharpness of stratigraphic contacts, uniformity in bed thickness and lateralcontinuity of beds8,48–50. In addition, we use secondary features such asliquefaction, bedding-plane faults (decollements) and normal faults that areperhaps triggered by seismic shaking8.
We analysed foraminiferal assemblages (Fig. 5; Supplementary Tables 3 and 4)from most units to confirm marine inundation and indicate the provenance of theoverwash sands32. In addition, we used foraminiferal test taphonomy51 to revealdepositional and post-depositional environmental conditions (SupplementaryFig. 3; Supplementary Tables 3 and 4). The foraminiferal analyses helpconstrain sediment provenance and help identify tsunami sands in a variety ofenvironmental settings.
We used the taphonomy of cave chalk as a new indicator of the environmentof deposition. The cave chalk found in the sedimentary units most likely fell fromthe cave ceiling due to weathering. The chalk occurs in two forms: (1) small, fragile,pristine florets; and (2) large detrital rounded fragments that do not have adelicate floret structure (Supplementary Fig. 3). Since the florets do not showevidence of water transport (for example, rounding), we suggest that the delicateflorets are limited to sand beds not deposited by tsunamis. In contrast, the roundedchalk fragments are only found in sand beds that were produced by a tsunami. Webelieve the rounding of the fragments is due to abrasion by the tsunami waves.
Grain size and thickness data allows comparison of the 2004 tsunami sedimentswith the prehistoric sand beds (Figs 5 and 6; Supplementary Table 1). Further, thegeneral fining upwards trends in many tsunami beds suggests deposition bytsunami waves (Fig. 5; Supplementary Table 1). Following an initial high waterflow, a decreased flow velocity often causes sand beds to deposit in graded,fining upwards sequences9,52. For example, along the Aceh coastline, the2004 tsunami sand bed records distinct fining upwards sequences of sanddeposition52, similar to the 2004 tsunami sand bed preserved in the coastal
cave. Samples for foraminifera, cave chalk and grain size analyses are fromTrenches 1 and 4 (Fig. 5; Supplementary Tables 1, 2, 3 and 4).
Radiocarbon dating. We collected detrital charcoal fragments from sevenstratigraphic units (Units 1, 5, 8, 9, 10 and 11), and two intact gastropods fromUnit 6. The radiocarbon ages constrain ages of tsunamis; calibrated radiocarbonages helped constrain the timing of tsunamis. Detrital charcoal and gastropodswere collected from units for radiocarbon dating and were analysed by GNS, RafterRadiocarbon Laboratory, New Zealand (Table 1).
We calibrated radiocarbon ages with Calib rev. 6.0.0 (ref. 53). The calibrated ageranges appear with 95.4% HDR (B2 standard deviations), where years ‘beforepresent’ (BP) is years before A.D. 1950 (Table 1). Also, we corrected the ages of thegastropod shells for the marine reservoir effect using a DR value of 15±119(ref. 54) to account for the fact that Indian Ocean waters show substantial 14Cdepletion due to upwelling.
To further constrain chronology, we analysed the organic guano beds derivedfrom insect-feeding bats that occupy the coastal cave. We sampled six organic-richbeds along thin stratigraphic horizons (3–6 mm). Although the radiocarbonanalyses indicate the dark sand beds are broadly mid-late Holocene in age, threeradiocarbon dates are not consistent with stratigraphic position. We suggest thatthe discrepancies of the bulk guano dates are due to: (1) bulk samples containing anunknown mixture of organic material of variable age, and representing an averageage of the sample; and (2) groundwater percolating along cracks in the limestonecave, and introducing exogenous, old carbon into the organic beds.
Bayesian age-depth model. We apply a Bayesian age-depth model to 19radiocarbon dates from the coastal cave and the nearby coastal lowlands12.The radiocarbon dates either directly date a tsunami or provide maximum orminimum age limits for a tsunamis (Fig. 6; Table 1) (Supplementary Tables 6and 7). Our Bayesian modelling approach provides control over the model fittingprocess and flexibility in the modelling assumptions. The code is available athttps://github.com/andrewcparnell/tsunamis.
We use the following notation to build our model. yi is the calendar age oftsunami i, where i runs from 1 to 11. These are the parameters we are mostinterested in estimating. Together, we write these values as y. xij is the directradiocarbon date j of tsunami i, where j¼ 1,y,ni with ni the number of direct datesfor tsunami i. These values have associated fixed 1-sigma errors sij. Note, that forsome tsunamis there are no direct dates, in which case ni¼ 0. Thus, while we have13 direct dates in total, five tsunamis are without direct dates. Together, we write
Table 1 | Radiocarbon analyses of charcoal and shells.
Sandlayer
No. Unit Materialdated
Laboratorycode
14C age(1r error)
d13C Calibrated(95.4% HDR)
Age of event(years BP)
Notes
K 1 11 Charcoal MnL-12-4D-1 2,822±20 " 25.47 2,862–2,975 2,815–2,916 Age of K2 11 Wood MnL-12-1D-5 2,725±20 " 26.22 2,772–2,859 Age of K
J 3 10.1 Charcoal MnL-12-1A-3 2,965±20 " 26.71 3,068–3,236 3,270–3,341 Age of J4 10.1 Charcoal MnL-12-4A-1 3,065±20 " 25.38 3,219–3,356 Age of J5 10.1 Charcoal MnL-12-1C-2ii 3,093±21 " 25.85 3,260–3,370 Age of J6 10.1 Charcoal MnL-12-1C-2i 3,210±21 " 25.89 3,383–3,464 Age of J7 10 Charcoal MnL-12-1C-1 3,217±21 " 28.06 3,269–3,396 Age of J
I 8 9 Charcoal MnL-12-4C-2 3,085±21 " 26.24 3,252–3,366 3,278–3,346 Age of I9 9 Charcoal MnL-12-1C-3 3,069±20 " 26.95 3,221–3,358 Age of I
H 10 8.2 Charcoal MnL-12-4A-2 3,078±21 " 28.45 3,245–3,363 3,287–3,353 Age of HG 11 8 Charcoal MnL-12-4C-4 3,077±20 " 26.17 3,246–3,362 3,304–3,363 Age of G
UBS* Wood SM 11 13A 182 3,540±30 " 29.74 3,717–3,902 Maximum age of GF 12 6 Gastropod MnL-12-4-5 4,666±43 " 9.75 4,552–5,258 5,357–5,575 Age of F
13 6 Bivalve MnL-12-4-12 4,638±43 "9.38 4,513–5,231 Age of F14 5.4 Charcoal MnL-12-1D-4 4,742±23 " 26.78 5,331–5,583 Maximum age of F and
minimum age of EE 5,480–5,770D MBS* Wood PU 07 04 265 5,090±40 " 28.30 5,743–5,917 5,578–5,866 Maximum age of D and
minimum age of CC 5,857–6,680B LBS* Wood PU 07 03 426 6,060±40 " 25.80 6,791–7,142 6,083–6,915 Maximum age of B and
minimum age of AA 15 1.1 Charcoal MnL-12-1C-5 6,788±26 7,588–7,672 7,324–7,529 Maximum age of A
LBS* Wood SM 11 13 490 6,560±35 7,424–7,558 Maximum age of A
LBS, lower buried soil; MBS, middle buried soil; UBS, upper buried soil.Samples are listed in stratigraphic order. Calibrated age ranges (year BP) at 95.4% HDR, using Calib rev. 6.0.0 (ref. 53) and a DR value of 15±119 for the marine reservoir effect54. Analytical uncertaintiesare 1s and reflect the total uncertainty in the measurement. The age of event combines the AMS radiocarbon ages from the sand beds of the coastal cave and the stratigraphy of the nearby coastallowlands12,37, within a Bayesian framework. The 5–95% confidence limits are shown.*UBS; MBS; LBS; dates from stratigraphic sequences in Kelsey et al.12
ARTICLE NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019
8 NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications
13
langsung memberikan informasi umur tsunami
atau batas umur maksimum dan minimum dari
suatu tsunami (Gambar 6; Tabel 1)
(Suplementari Tabel 6 dan 7). Pendekatan
pemodelan Bayesian yang kami gunakan dapat
mengontrol proses model fitting dan fleksibelitas
dalam asumsi pemodelan tersebut. Koding
program yang digunakan tersedia pada https://github.com/andrewcparnell/tsunamis.
Kami menggunakan notasi berikut untuk
mengembangkan model . 𝜃! adalah umur
kalender dari i, dimana i bergerak dari 1 ke 11. Ini
merupakan parameter-parameter yang sangat
penting dalam estimasi tersebut. Bersamaan
dengan itu, kami menulis nilai-nilai ini sebagai θ.
𝑥!" adalah umur radiokarbon langsung j dari
tsunami i, di mana 𝑗 = 1,… , 𝑛! dengan 𝑛! jumlah
umur langsung untuk tsunami i. Nilai-nilai ini
mempunyai 1-sigma errors 𝜎!". Catatan, bahwa
untuk beberapa tsunami tidak ada umur
langsung, di mana kasus 𝑛! = 0. Maka, secara
total kami mempunyai 13 umur langsung, lima
tsunami tanpa umur langsung. Bersamaan
dengan itu, kami menuliskan nilai-nilai ini sebagai
x. 𝜃!∗ adalah umur kalender dari batas umur yang
terletak antara tsunami i dan i+1. Data tersebut
merupakan parameter gangguan. Bersamaan
dengan itu, kami menuliskan nilai ini sebagai
θ∗. 𝑥!"∗ adalah umur radiokarbon batas j terletak
antara tsunami i dan i+1. Nilai-nilai ini
mengasosiasikan sebagai fixed 1-sigma errors
𝜎!"∗ . Di sini 𝑗 = 1,… , 𝑛!∗, di mana 𝑛!∗ merepresentasikan jumlah umur batasan untuk
tsunami i. Seperti di atas, sebagian nilai ini
adalah 0. Bersamaan dengan itu, kami
menuliskan nilai-nilai ini sebagai 𝑥∗. 𝛾! adalah
umur kalender menggeser batas waktu yang
memberikan umur tsunami maksimum dari
tsunami i. Nilai-nilai ini merupakan parameter
gangguan yang kami tuliskan bersama sebagai γ.
𝑥!"∗∗ adalah umur radiokarbon terbatas j untuk
tsunami i, memberikan bukti suatu umur
maksimum. Nilai-nilai ini diasosiasikan fixed 1-
sigma errors 𝜎!"∗∗. Di sini 𝑗 = 1,… , 𝑛!∗∗, di mana n!∗∗ merepresentasikan jumlan umur terbatas untuk
tsunami i. kembali, beberapa nilai-nilai 𝑛!∗∗ adalah
0, kami hanya mempunyai tiga umur demikian.
Bersama itu juga kami menuliskan nilai-nilai ini
sebagai 𝑥∗∗. Catatan bahwa nilai terkalibrasi dari
umur radiokarbon 𝑥!"∗∗ adalah 𝜃! + 𝛾!, yaitu umur
kalender dari tsunami dengan pergeseran yang
menunjukan berapa tua umur radiokarbon di luar
tsunami itu sendiri. 𝑟(𝜃) adalah kurva kalibrasi
IntCal13 yang mempunyai distribusi probabilitas
𝑟 𝜃 ∼ 𝑁(𝜇 𝜃 , 𝜏! 𝜃 ). Kami mengasumsikan
bahwa 𝜇() dand𝜏!() sebagai fungsi-fungsi yang
diketahui.
Tujuan keseluruhan kami adalah mendapatkan distribusi posterior:
yang berhubungan dengan distribusi gamma
dengan rata-rata 200 dan simpangan 200.
Sementara distribusi ini menyebar, dimana
sangat informatif untuk umur maksimum.
Distribusi tersebut berkaitan dengan probabilitas
95% bahwa umur maksimum tidak lebih dari 600
tahun lebih tua tsunami yang ingin dikaji.
Model kami cocok dengan Markov chain Monte
Carlo menggunakan langkah Metropolis-Hastings
untuk semua parameter karena urutan umur
tsunami diperumit oleh distribusi awalnya55.
Model tersebut sensitif terhadap nilai-nilai awal
dari parameter-parameter disebabkan oleh
batasan orde, oleh karena itu kami mensimulasi
nilai-nilai yang sesuai dengan mengkalibrasi
umur secara individual, dan mensampling dari
distribusi-distribusi ini dengan batasan ekstra
dalam pengorderan. Kami menjalankan model
tersebut dengan berbagai nilai awal yang
berbeda, dan memeriksa konvergensi dengan
menggunakan plot trace dan diagnostik
konvergensi Geweke55. Model akhir yang
dihasilkan setelah iterasi 1 juta, pengangkatan
100000 untuk suatu burn-in period, dan
menjaganya hanya setiap iterasi ke-450.
Lapisan Pasir Tsunami 2004. Lapisan
pasir Tsunami 2004 memiliki ketebalan antara
20 sampai 43 cm yang terukur pada singkapan-
singkapan diding parit (Gambar 3; Supplementari
these values as x. y!i are the calendar ages of limiting dates lying between tsunamisi and iþ 1. They are nuisance parameters. Together, we write these values as y! . x!ijis a limiting radiocarbon date j lying between tsunamis i and iþ 1. These valueshave associated fixed 1-sigma errors s!ij . Here j ¼ 1; . . . ; n!i , where n!i representsthe number of limiting dates for tsunami i. As above, some of these are 0. Together,we write these values as x! . gi are the calendar age shifts of the limiting dates whichprovide a maximum age of tsunami i. They are nuisance parameters which wewrite together as g. x!!ij is a limiting radiocarbon date j for tsunami i, providingevidence of a maximum age. These values have associated fixed 1-sigma errors s!!ij .Here j ¼ 1; . . . ; n!!i ; where n!!i represents the number of limiting dates fortsunami i. Again, some of the n!!i values are 0, as we have only three such dates.Together we write these values as x!! . Note that the calibrated value of aradiocarbon age x!!ij is yiþ gi, that is, the calendar age of the tsunami plus a shiftindicating how much older the radiocarbon date is beyond that of the tsunamiitself. r(y) is the IntCal13 calibration curve which has the probability distributionr(y)BN(m(y),t2(y)).We assume that both m() and t2() are known functions.
Our overall goal is to find the posterior distribution:
p y;y!;g x;x!;x!!; rjð Þ /Yn
i¼1
Yni
j¼1
p xij yij! "
&Yn
i¼1
Yn!i
j¼1
p x!ij y!i
##$ %
&Yn
i¼1
Yn!!i
j¼1
p x!!ij yi; gij$ %
&p yð Þ&p gð Þ;
ð1Þ
where
xij yi ' N m yið Þ;s2ij þ t2 yið Þ
$ %### ð2Þ
x!ij y!i ' N m y!i
! "; s!ij$ %2
þ t2 y!i! "& '#### ð3Þ
x!!ij yi; gi ' N m yi þ gið Þ; s!!ij$ %2
þ t2 yi þ gið Þ& '#### ð4Þ
are the likelihood terms. The prior distribution p(y) is set to enforce theordering of the dates:
p yð Þ y14y!14y24y!24 . . . 4y11! "
; ð5Þwhere I is an indicator function. The prior distribution on the excesses gi is the
only informative prior in the model. We use:
gi ' Ga 1; 0:005ð Þ; ð6Þ
which corresponds to a gamma distribution with a mean of 200 and a s.d. of 200.While this distribution is diffuse, it is informative for the maximum ages. Thedistribution corresponds to a 95% probability that the maximum ages are no morethan 600 years older than the tsunami they are aiming to represent.
Our model is fitted with Markov chain Monte Carlo using Metropolis-Hastingssteps for all parameters since ordering the tsunami dates was complicated by theirprior distribution55. The model is sensitive to starting values of the parameters dueto the ordering constraint, so we simulate suitable values by calibrating datesindividually, and sampling from these distributions with an extra restriction on theordering. We run the model with multiple different starting values, and checkconvergence using trace plots and the Geweke convergence diagnostic55. The finalmodel run created 1 million iterations, removing 100,000 for a burn-in period andthen keeping only every 450th iteration.
2004 tsunami sand bed. The 2004 tsunami sand bed ranges from about 20 to43 cm in thickness in trench-wall exposures (Fig. 3; Supplementary Figs 1 and 2). Itis a light grey, normally graded fine to very fine sand (mean¼ 2.7F; %sand¼ 91.9%), with abundant laminations, some of which can be traced more thana metre.
In Trench 6, the 2004 tsunami sand bed records three distinct beds (Fig. 3),delineated by three pulses of coarse material followed by subsequent finingupwards sequences (Fig. 3; Supplementary Table 1). We interpret each combinedcoarse pulse and fining upwards sequence as individual tsunami waves. The firstcoarse pulse at the base of the 2004 sand (41–42 cm) is marked by an influx of fineto medium sand (mean¼ 2.1F; % sand¼ 94.1%), which fines upwards until 34 cm(mean¼ 2.7F; % sand¼ 90.6%). The second coarse pulse occurs from 31–33 cm(mean¼ 2.3F; % sand¼ 95.6%) and fines slightly up to 24 cm (mean¼ 2.7F; %sand¼ 92.5%). The final coarse pulse is located between 22 and 24 cm(mean¼ 2.5F; % sand¼ 96.3%), and fines upwards to a very fine sand(mean¼ 3.7F; % sand¼ 74.0%) at the top of the sequence (0–1 cm).
Rip-up clasts, consisting of organic-rich granules, wood and shells are common,especially in the lower part of the 2004 deposit. Abundant (2,500–3,246 individualsper 1 cm3) foraminifera that are predominantly pristine (41–52%) and sourcedfrom subtidal (52–58%), intertidal (33–38%) and offshore (for example, planktic)(8–14%) environments are present, as are weathered fragments of cave chalk(Fig. 5, Supplementary Fig. 3; Supplementary Table 4). The 2004 sand has thehighest diversity foraminiferal assemblage, with Pararotalia sp., Amphistegina sp.and Calcarina sp. dominating. A sharp and erosional contact marks the boundarybetween the 2004 tsunami sand and the underlying Unit 11. The erosional removalof pre-2004 sediment is variably preserved in trenches and on the cave walls asalternating remnants of sand and organic-rich sand.
Unit 1 sand bed A. The lowest stratigraphic unit (Unit 1) above the limestone cavefloor is an irregular, laminated, dark, organic layer. Overlying the Unit 1 organiclayer is fine sand (Unit 1.1; mean¼ 3.0F; % sand¼ 77.4%) that does not containforaminifera or cave chalk. Unit 1.2 is discontinuous marine-influenced clay(grain size data not available) that pinches out toward the corner of Trench 1. Theclay bed contains relatively low numbers of foraminifera (20 individuals per 1 cm3).The species assemblage is dominated by intertidal (71%) and subtidal (29%)species, with a paucity of planktic and deeper-dwelling benthic foraminifera. Thetaphonomic assemblage is dominated by abraded (52%) and fragmented (48%)individuals, with no pristine individuals present (Fig. 5; Supplementary Table 1).Unit 1.2 is devoid of cave chalk.
Unit 1.2 is overlain by a 5.4 cm thick fine sand (Unit 1.3; mean¼ 2.9F;% sand¼ 74.9%) with sparse laminations and abundant rip-up clasts derived fromthe underlying clay. The lower stratigraphic contact between Unit 1.3 and theunderlying clay is sharp (B2 mm), along an erosional and irregular surface. On thebasis of the abundance of rip-up clasts, we interpret Unit 1.3 as the oldest tsunamibed, labelled Sand Bed A. Unit 1.3 sand contains a low number of foraminifera(21–62 individuals per 1 cm3) consisting predominantly of subtidal (38–58%) andintertidal (41–62%) species. The assemblage is dominated by the subtidal speciesEpinoides sp., Cibicides lobatulus and Pararotalia spp., with a near absence ofplanktics. Individual foraminifera were both abraded (68–77%) and fragmented(14–30%), with only 2–9% in pristine condition (Fig. 5; Supplementary Table 3).Overlying Unit 1.3 (sand bed A) is a laminated, dark, organic layer (Unit 1.4;mean¼ 2.3F; % sand¼ 85.0%); the contact between the units is gradational over afew centimetres.
Angular fragments of detrital charcoal from Unit 1.1 yielded a calibrated agerange of 7,650–7,510 cal. years BP (Table 1), which we interpret as the maximumage of Sand Bed A or Unit 1.3.
Unit 2 sand bed B. Units 2.0 and 2.1 consist of a dark, red to brown sand withlaminations of varying thickness. The grain size is fine sand (Units 2 and 2.1:mean¼ 2.6F; % sand¼ 85.1%). The units contain abundant delicate (pristine) cavechalk florets (Fig. 5; Supplementary Fig. 3) that suggest a non-tsunami source forthe sand. These units have moderate abundances of foraminifera (68–94 indivi-duals per 1 cm3), and are dominated by intertidal species (55–66%), which aremostly abraded (49–58%) and fragmented (31–34%) (Fig. 5; SupplementaryTables 3 and 4), and probably reworked from Sand Bed A (Unit 1.3).
Overlying Unit 2.1 is a B6 cm thick fining upwards, fine to very fine sand(Unit 2.2; mean¼ 3.5F; % sand¼ 75.2%; Supplementary Fig. 1; SupplementaryTable 1). Along the base of Unit 2.2, pebble-sized clay rip-up clasts are abundant.Locally, Unit 2.2 grades into a thin, discontinuous dark sand. Unit 2.2 containsweathered cave chalk and moderate abundances of foraminifera (76–89 individualsper 1 cm3) from subtidal (41–47%) and intertidal (51–59%) environments(Fig. 5; Supplementary Tables 3 and 4). Unlike the underlying Unit 2.1foraminiferal-bearing sediments, species within Unit 2.2 (Fig. 5) include thedeeper-dwelling Lagena sp., and Operculina ammonoides. The rip-up clasts, normalgrading and the presence of subtidal foraminifera and weathered cave chalk in Unit2.2 imply deposition by a tsunami (sand Bed B). However, the foraminiferalassemblage of sand bed B, unlike most other candidate tsunami sand beds in thecave sequence, is mostly fragmented (47–55%), and contains only minorabundances of pristine individuals (9–12%). The contact between Unit 2.2 and theoverlying Unit 3 clay is sharp (B2 mm), but irregular.
Unit 3 sand bed C. The base of Unit 3 consists of a 3.6 cm thick marine-influencedclayey mud (mean¼ 4.2F; % clay¼ 11.9; % silt¼ 34.7). Although in lowabundance (32–55 individuals per 1 cm3), the presence of foraminifera fromintertidal (46–51%) and subtidal (49–54%) environments, many of which werepristine (43–45%), implies deposition in a quiet intertidal environment. Cave chalkat the bottom of Unit 3 is absent, but present as pristine florets at the top. OveryingUnit 3 is a 9.2 cm thick, slightly normal graded, fine sand (Unit 3.1: mean¼ 2.0F; % sand¼ 87.5%) which grades into a massive to faintly laminated fine sand overa few centimetres (Unit 3.2; mean¼ 2.5F; % sand¼ 85.9%) (Fig. 5; SupplementaryTable 1). The base of Unit 3.1 contains abundant pebble-sized angular rip-up clastsfrom underlying mud (mean¼ 4.2F; % sand¼ 53.3%). Scouring of Unit 3clayey mud before deposition of Unit 3.1 is clear in several places in Trench 1. Thesand of Units 3.1 and 3.2 contains weathered cave chalk and abundant (146–412individuals per 1 cm3) foraminifera that are predominantly pristine (32–41%) andfrom subtidal (46–61%), intertidal (37–45%) and planktic (2–9%) environments(Fig. 5; Supplementary Table 3). Dominant species include Elphidium craticulatum,Cibicides lobatulus and Epinoides repandus. The abundance of rip-up clasts,graded bedding, subtidal foraminifera and weathered cave chalk suggests atsunami origin for Units 3.1 and 3.2, labelled Sand Bed C. Overlying Unit 3.2 isa laminated fine organic-rich sand (Unit 4: mean¼ 2.3F; % sand¼ 90.2%) thatis devoid of foraminifera and cave chalk, and has a sharp (B2 mm) but irregularcontact.
Unit 4 sand bed D. The base of Unit 4 consists of a 4-cm thick, laminated,organic-rich sand. The laminations are clear but discontinuous, and vary fromblack to dark red-brown. Thickness also varies markedly, from o1–12 cm. The
NATURE COMMUNICATIONS | DOI: 10.1038/ncomms16019 ARTICLE
NATURE COMMUNICATIONS | 8:16019 | DOI: 10.1038/ncomms16019 | www.nature.com/naturecommunications 9
14
Gambar 1 dan 2). Warnanya abu-abu cerah, butir
pasir berukuran dari halus sampai sangat halus
(rata-rata = 2.7 Φ; % pasir = 91.9%), dengan
laminasi melimpah, sebagian di antaranya dapat ditelusuri lebih dari satu meter.
Pada parit 6, lapisan pasir tsunami 2004
merekam tiga lapisan yang berbeda (Gambar 3),
terdelineasi oleh tiga pengendapan material
kasar diikuti oleh urutan material yang semakin
ke atas semakin halus. (Gambar 3;
Supplementari Tabel 1). Kami
menginterpretasikan setiap kombinasi
pengendapan material kasar dan urutan material
yang semakin halus ke atas tersebut sebagai
satu gelombang tsunami. Pengendapan material
kasar yang pertama pada bagian dasar pasir
tsunami 2004 (41 – 42 cm) ditandai oleh
pengendapan pasir yang berukuran halus sampai
yang berukuran menengah (rata-rata = 2.1 Φ; %
pasir = 94.1%), butiran pasir tersebut semakin
halus ke atas hingga 34 cm (rata-rata = 2.7 Φ; %
pasir = 90.6%). Pengendapan butiran kasar yang
kedua terjadi pada kedalaman 31 – 33 cm (rata-
rata = 2.3 Φ; % pasir = 95.6%), dan semakin
menghalus sampai ke 24 cm (rata = 2.7 Φ; %
pasir= 92.5%). Pengendapan kasar yang terakhir
terletak antara 22 dan 24 cm (rata-rata = 2.5 Φ;
% pasir = 96.3%), dan ukuran butir yang halus ke
atas sampai ukuran sangat halus (rata-rata = 3.7
Φ; % pasir = 74.0%) pada bagian atas lapisan (0
- 1 cm).
Pecahan batuan klastis, umumnya terdiri dari
butiran-butiran yang kaya dengan organik, kayu,
dan cangkang-cangkang kerang, khususnya pada
bagian bawah lapisan tsunami 2004. Kelimpahan
foraminifera (2500 – 3246 buah per 1 cm3) yang
umumnya masih utuh (41 – 52 %) dan berasal
dari kawasan subtidal dekat pantai (52 – 58%),
intertidal (33 – 38%), dan lepas pantai (misalnya
plankton) (8 -14%), seperti halnya fragmen
pelapukan dari kapur gua (Gambar 5,
Supplementari Gambar 3; Supplementari Tabel
4). Pasir tsunami 2004 mempunyai kumpulan
foraminifera yang sangat beragam, dengan
dominasi Pararotalia sp., Amphistegina sp., dan Calcarina sp.. Kontak erosaional dan sangat
tajam menanandai batas antara pasir tsunami
2004 dan unit 11 yang berada di bawahnya.
Pengikisan erasional endapan sebelum 2004
tersimpan secara bervariasi di dalam parit-parit
dan pada dinding-dinding gua sebagai bentuk
perselingan lapisan pasir dan pasir yang kaya dengan organik.
Unit 1 Lapisan Pasir A. Unit stratigrafi
paling bawah (Unit 1) di atas dasar gua batu
gamping tersebut tidak beraturan, terlaminasi,
gelap, dan lapisan organik. Di atas lapisan
organik Unit 1 adalah pasir halus (Unit 1.1; rata-
rata = 3.0 Φ; % pasir = 77.4%) yang tidak
mengandung foraminifera atau kapur gua. Unit
1.2 adalah lempung yang dipengaruhi oleh laut
yang diskontinyu (data ukuran butir tidak
tersedia) yang menyempit ke arah sudut Parit 1.
Lapisan lempung tersebut mengandung jumlah
foraminifera yang relatif rendah (20 buah per 1
cm3). Kumpulan spesies didominasi oleh spesies
intertidal (71%) dan subtidal (29%), sedikit
plankton dan foraminifera bentos yang berasal
dari tempat yang lebih dalam. Kumpulan
taphonomi didominasi oleh yang terabrasi (52%)
dan terfragmentasi (48%), tidak ada satu pun
yang utuh (Gambar 5; Tabel S1). Unit 1.2 tidak
terdapat kapur gua.
Unit 1.2 ditutupi oleh pasir halus setebal 5.4
cm (Unit 1.3; rata-rata = 2.9 Φ; % pasir = 74.9%)
dengan laminasi jarang dan banyak pecahan
klastis yang berasal dari lempung di atasnya.
Kontak stratigrafi terendah antara Unit 1.3 dan
lapisan lempung di atasnya sangat tajam (~2
mm), sepanjang permukaan yang tidak teratur
dan tererosi. Berdasarkan dari kelimpahan
pecahan klastis, kami menginterpretasikan Unit
1.3 sebagai lapisan tsunami yang paling tua,
disebut sebagai Lapisan Pasir A. Unit 1.3
mengandung jumlah foraminifera rendah (21 –
62 buah per cm3) umumnya terdiri dari spesies
subtidal (38 – 58%) dan intertidal (41 – 62%).
Kumpulan tersebut didominasi oleh spesies
subtidal Epinoides sp., Cibicides lobatulus, dan
Pararotalia spp., dengan tidak ada plankton yang
dekat. Setiap foraminifera baik yang terabrasi
(68 - 77%) maupun yang terfragmentasi (14 -
30%), dengan hanya 2 - 9% yang keadaannya
masih utuh (Gambar 5; Supplementari Tabel 3).
Unit 1.3 di atasnya (lapisan pasir A) adalah
terlaminasi, gelap, lapisan organik (Unit 1.4; rata-
rata = 2.3 Φ; % pasir = 85.0%); kontak antara
unit-unit tersebut terlihat secara gradasi dalam
beberapa centimeter. Fragmen-fragmen angular
dari butiran arang detrital dari Unit 1.1
menghasilkan rentang umur 7650 - 7510 tahun
yang lalu (Tabel 1), yang kami interpretasikan
15
sebagai umur maksimum dari Lapisan Pasir A atau Unit 1.3.
Unit 2 Lapisan Pasir B. Unit 2.0 dan 2.1
terdiri dari pasir berwarna gelap, merah sampai
coklat dengan laminasi dalam berbagai
ketebalan. Ukuran butir adalah pasir halus (Units
2 dan 2.1: rata-rata = 2.6 Φ; % pasir = 85.1%; Unit
32: rata-rata = 2.5 Φ; % pasir = 89.6%). Unit-unit
tersebut mengandung banyak floret kapur gua
utuh (Gambar 5; Supplementari Gambar 3) yang
memberikan ide bahwa berasal dari pasir bukan
karena tsunami. Satuan ini mempunyai
kelimpahan foraminifera moderat (68 – 94 buah
per 1 cm3), dan didominasi oleh spesies intertidal
(55 – 66%), yang umumnya terabrasi (49 –
58%) dan terfragmentasi (31 – 34%) (Gambar 5;
Supplementari Tabel 3 dan 4), dan kemungkinan
terjadi reworked dari Lapisan Pasir A (Unit 1.3).
Unit 2.1 di atasnya memiliki ketebalan sekitar
6 cm yang semakin halus ke bagian atas, antara
pasir halus dan sangat halus (Unit 2.2; rata-rata =
3.5 Φ; % pasir = 75.2%; Supplementari Gambar
1; Supplementari Tabel 1). Sepanjang bagian
dasar Unit 2.2 banyak terdapat pecahan klastis
lempung berukuran pebble. Secara lokal, Unit 2.2
menjadi tipis, pasir gelap tak kontinu. Unit 2.2
mengandung kapur gua yang terlapukan dan
kelimpahan foraminifera yang menengah (76 –
89 buah per 1 cm3) dari lingkungan subtidal (41 –
47%) dan intertidal (51 – 59%) (Gambar 5;
Supplementari Tabel 3 dan 4). Tidak seperti
sedimen foraminifera Unit 2.1, spesies-spesies
dalam Unit 2.2 (Fig. 5), termasuk Lagena sp., dan
Operculina ammonoides berasal dari tempat
dalam. Pecahan klastis tersebut, grading normal
dan kehadiran foraminifera subtidal dan kapur
gua terlapukan di dalam Unit 2.2 menunjukan
bahwa terendapkan oleh tsunami (Lapisan Pasir
B). Namun demikian, kumpulan foraminifera
tersebut dari lapisan pasir B sebagian besar
terfragmentasi (47 – 55%) dan mengandung
hanya sedikit kelimpahan individual utuh (9 –
12%), tidak seperti lapisan-lapisan tsunami
lainnya di dalam urutan gua tersebut. Kontak
antara Unit 2.2 dan lempung Unit-3 di atasnya tajam (sekitar 2 mm) tetapi tidak teratur.
Unit 3 Lapisan Pasir C. Bagian dasar dari
lumpur lempungan yang terpengaruh oleh laut
setebal 3,6 cm (rata-rata = 4.2 Φ; % lempung =
11.9; % lanau = 34.7). Meskipun dalam jumlah
yang sedikit (32 - 55 buah per 1 cm3), kehadiran
foraminifera dari lingkungan intertidal (46 - 51%)
dan subtidal (49 - 54%), yang sebagian besar
adalah utuh (43 – 45%), menunjukan deposisi
dalam lingkungan pasang-surut yang tenang.
Tidak terdapat kapur gua pada bagian dasar Unit
3, tetapi hadir dalam bentuk florets utuh pada
bagian atas. Ketebalan overlaying Unit 3 adalah
9.2 cm, grade agak normal, pasir halus (Unit 3.1:
rata-rata = 2.0 Φ; % pasir = 87.5%) yang
tergradasi dalam pasir halus terlaminasi dari
yang masif sampai yang sedikit mencapai
ketebalan beberapa centimeter (Unit 3.2; rata-
rata = 2.5 Φ; % pasir = 85.9%) (Gambar 5;
Supplementari Tabel 1). Bagian dasar Unit 3.1
mengandung banyak pecahan klastis angular
berukuran pebble dari lumpur di bawahnya (rata-
rata = 4.2 Φ; % pasir= 53.3%). Pengikisan dari
lempung-lumpur Unit 3.0 sebelum deposisi Unit
3.1 adalah jelas pada beberapa tempat di Parit 1.
Pasir pada Unit 3.1 dan Unit 3.2 mengandung
kapur gua terlapukan dan kaya dengan
foraminifera (146 – 412 buah per 1 cm3) yang
didominasi foraminifera utuh (32 - 41%) dan dari
lingkungan subtidal (46 – 61%), intertidal (37 -
45%) dan plankton (2 - 9%) (Gambar 5;
Supplementari Tabel 3). Spesies-spesies
dominan termasuk Elphidium craticulatum,
Cibicides lobatulus, dan Epinoides repandus.
Kelimpahan pecahan klastis, bedding tergradasi,
foraminifera subtidal, dan kapur gua terlapukan
menunjukan bahwa berasal dari tsunami untuk
Unit 3.1 dan Unit 3.2, disebutkan sebagai Lapisan
Pasir C. Unit 3.2 ditutupi oleh laminasi pasir yang
kaya organik (Unit 4: rata-rata = 2.3 Φ; % pasir =
90.2%) tanpa foraminifera dan kapur batu, dan
memiliki ketajaman batas (~2 mm) tetapi tidak teratur.
Unit 4 Lapisan Pasir D. Bagian dasar Unit 4
terdiri dari pasir ketebalan 4 cm yang terlaminasi
dan kaya organik. Laminasi tersebut jelas tetapi
tidak kontinyu, dan bervariasi dari warna hitam
sampai merah kecoklatan gelap. Ketebalan juga
sangat bervariasi, kurang dari 1 cm sampai 12
cm. Pasir tersebut mengandung foraminifera dan
kapur gua yang dalam jumlah yang tidak banyak.
Di atas Unit 4 adalah pasir halus setebal 3 cm
(Unit 4.1; rata-rata = 2.5 Φ; % pasir = 86.8%;
Gambar 5, Supplementari Tabel 1). Kontak
stratigrafi antara pasir halus Unit 4.1 dan Unit 4
di bawahnya sangat tajam (hanya beberapa mm
saja), sepanjang permukaan yang tidak teratur.
16
Unit 4.1 mengandung jumlah foraminifera yang
sedikit (19 buah per 1 cm3). Sebagian besar telah
mengalami abrasi (78%) dan terfragmentasi
(22%) serta tidak ada satu pun yang msaih utuh.
Kehadiran foraminifera berasal dari intertidal
(83%; Ammonia convexa, Ammonia parkinsoniana) atau subtidal (17%; Pararotalia sp.) (Gambar 5; Supplementari Tabel 4). Tidak
ditemukan kapur gua dari Unit 4.1. Berdasarkan
kehadiran pasir halus, dengan kontak erosional
pada dasar dan foramninifera subtidal dalam Unit
4.1, kami menyimpulkan secara spekulatif bahwa
unit ini merupakan lapisan tsunami, dinamakan
Lapisan Pasir D (Supplementari Gambar 1). Di
atas Unit 4.1 adalah lempung berlumpur (Unit 5)
dengan kontak yang tajam (~2 mm) tetapi tidak
teratur.
Unit 5 Lapisan Pasir E. Unit 5 terdiri dari
lempung-lumpur non-marin yang ekstensif.
Ketebalan lempung-lumpur tersebut adalah 11
cm, tetapi ketebalannya bervariasi antara 4 cm
sampai 15 cm. Lempung yang masif mengandung
kapur gua utuh, tetapi tidak ada foraminifera dan
sepertinya seperti endapan oleh kolam di dalam
gua yang disebabkan oleh periode peningkatan
curah hujan. Kontak bagian atas dari lempung
tersebut adalah sangat halus dan menunjukan
hanya minor, bukti lokal dari erosi. Di atas
lempung berlumpur tersebut adalah lapisan pasir
sangat halus yang masif setebal 3 cm (Unit 5.1;
rata-rata = 3.4 Φ; % pasir = 72.9%) yang
memiliki kumpulan foraminfera sangat sedikit
(35 – 42 individuals per 1 cm3; Gambar 5,
Supplementari Tabel 1 dan 3). Foraminifera
tersebut sangat terabrasi (63 - 66%) dan
umumnya dari lingkungan intertidal (Ammonia parkinsoniana, and Elphidium advenum) (56 -
62%). Pada Unit 5.1 tidak terdapat kapur gua.
Berdasarkan kehadiran pasir dan foraminifera
marin yang masif, kami yakin bahwa Unit 5.1
(disebut Lapisan Pasir E) merepresentasikan
endapan dari tsunami. Ketidakhadiran pecahan
batuan klastik dari lempung di bawahnya
menunjukan bahwa aliran air di dalam gua sangat
lemah, sehingga tidak mampu menggerus
lempung di bawahnya. Sebagai tambahan, adalah
sangat sukar untuk menjelaskan bagaimana
lapisan pasir masif tersebut dapat terdeposisi
dari proses-proses lain di dalam gua. Di atas Unit
5.1 adalah pasir yang sangat halus, terlaminasi,
setebal 3 cm yang bervariasi dari warna hitam,
lamina yang banyak guano sampai lamina
anorganik yang coklat kemerah-merahan (Unit
5.2: rata = 4.0 Φ; % pasir = 58.3%). Sepanjang
bukaan dinding parit, pasir halus yang tipis dan
masif (Unit 5.3: tidak ada data ukuran butir)
menutupi Unit 5.1. Pasir halus tersebut
mengandung pecahan batuan klastis, dan
mengandung fragment-fragmen kapur gua yang
utuh dan sangat sedikit jumlah (2 buah per cm3)
dari foraminifera yang terabrasi (100%),
merepresentasikan reworking dari unit-unit yang
lebih tua. Kontak antara Unit 5.1 (lapisan pasir E)
dan penutup unit-unit tesebut tidak teratur. Di
atas pasir halus yang tipis dan kaya organik
tersebut (Unit 5.2) adalah lapisan-lapisan
lempung-lumpur non-marine paling tebal yang
tampak dalam urutan sedimen gua (Units 5.4 dan
5.5; tidak tersedia data ukuran butir)
(Supplementari Ganmbar 1 dan 2). Kombinasi
lapisan-lapisan tersebut memiliki rentang
ketebalan sampai 25 cm. Lempung-lumpur
tersebut terdeferensiasi dalam dua unit terpisah
berdasarkan pada warnanya: bagian atas
lempung-lumpur tersebut (yaitu Unit 5.3) adalah
lebih gelap (banyak mengandung organik) dari
pada bagian bawah dari lempung tersebut (Unit
5.4). Kedua unit tersebut tidak mengandung
foraminifera dan sepertinya terdeposisi oleh
proses yang sama yang membentuk Unit 5. Unit-
unit tersebut tidak banyak mengandung kapur
gua.
Fragment-fragmen arang detritus dari
penutup Unit-5.4 lempung-lumpur menghasilkan
kalibrasi rentang umur dari 5583 - 5331 tahun BP
, yang mana kami interpretasikan sebagai umur
minimum lapisan pasir E.
Bukti lebih lanjut dari lipatan sekunder Unit
5.1 dan Unit 5.2 dan pemotongan unit-unit ini
sepanjangn bagian atas lempung-lumpur Unit-5.3
memberikan ide bahwa getaran tanah lokal
(Supplementari Gambar 2c). Berdasarkan
kontinuitas stratigrafi intak dari Unit 5.3 dan Unit
5.4, getaran tanah harusnya terjadi sebelum pengendapan Unit 5.3.
Unit 6 Lapisan Pasir F. Di atas unit-unit
lempung-lumpur adalah urutan dua lapisan pasir
setebal 23 cm dengan pecahan batuan klastis
serta foraminifera subtidal dan plankton.
Lapisan-lapisan pasir Unit 6 merupakan yang
paling tebal pada Parit 1 dan 4 (Gambar 6b;
Supplementari Gambar 1 dan 2; Supplementari
Tabel 5). Ketebalannya mencapai 30 cm pada
Parit 1 sampai dengan 20 cm pada Parit 4. Pasir
17
terbawah dari Unit 6 adalah pasir halus yang
masif (rata-rata = 2.9 Φ; % pasir = 78.9%)
dengan limpahan pecahan batuan klastis
berukuran pebble dan cobble dari bagian bawah
Unit 5.4 dan Unit 5.5 (Supplementari Gambar 1
dan 2; Supplementari Tabel 1 dan 2). Pasir masif
tersebut tergolong dalam pasir halus terlaminasi
(rata-rata = 2.7 Φ; % pasir = 87.3%). Kontak
antara Unit 6 dan lapisan bawah lempung-lumpur
(Unit 5.5) tajam dan erosional dengan ketebalan
lebih dari beberapa centimeter. Unit 6
mengandung foramninifera subtidal (43 - 68%),
intertidal (18 - 53%) dan planktic (4 - 14%) (198 -
296 buah per 1 cm3) (Gambar 5; Supplementari
Tabel 3 dan 4) dengan dominasi kelompok
Elphidium advenum, Calcarina spp., dan
Operculina ammonoides. Sedangkan pasir
bagian bawah Unit-6 mengandung fragmen
kapur gua terlapukan dan pasir bagian atas tanpa
fragmen tersebut. Kelimpahan pecahan klastis,
lapisan bersusun tergradasi, foraminifera
subtidal, dan kapur gua terlapukan menunjukan
bahwa lapisan tersebut berasal dari tsunami, Unit
6 disebut Lapisan Pasir F. Seperti halnya unit-
unit pasir lainnya yang merepresentasikan
endapan-endapan tsunami, termasuk endapan
tsunami 2004, sebagian besar foraminifera
umumnya utuh (41 – 69%). Di atas Unit 6
(Supplementari Gambar 1 dan 2; lapisan pasir F)
adalah pasir organik hitam dengan ketebalan
kurang dari 2 cm yang tergolong dalam pasir
abu-abu heterogen yang terlaminasi (Unit 7).
Kontak antara Unit 6 dan penutup Unit 7
tersebut besifat tajam (hanya dalam beberapa milimeter saja) dan tidak teratur.
Dua cangkang gastropoda utuh dari Unit 6
menghasilkan rentang umur terkalibrasi anatar
5231 - 4515 tahun BP dan 5258 - 4552 tahun BP,
yang kami interpretasikan sebagai umur Lapisan Pasir F.
Unit 7 Lapisan Pasir G. Di bawah Unit 7.1
adalah pasir halus organik hitam dengan
ketebalan 1,5 cm (Unit 7: rata-rata = 2.6 Φ; %
pasir = 89.4%) dengan laminasi diskontinyu.
Ketebalannya bervariasi dari beberapa milimeter
sampai sekitar 5 cm. Kontak antara Unit 7 dan
Unit 7.1 di atasnya adalah tajam (~2 mm)
sepanjang permukaan erosional. Unit 7.1 terdiri
dari pasir halus terlaminasi secara tidak teratur
(rata-rata = 3,0 Φ; % pasir = 79.8%) yang
memiliki rentang ketebalan dari 1 sampai 4 cm.
Ukuran butir pasir Unit 7.1 semakin halus ke atas
dari pasir halus pada bagian dasar (rata-rata =
2.6 Φ; % pasir = 85.1%) sampai pasir sangat
halus pada bagian atas (rata-rata = 3.6 Φ; %
pasir = 72.8%; Supplementari Gambar 2;
Supplementari Tabel 1 dan 2). Unit 7.1
mengandung kapur gua terlapukan dan
foraminifera (93 - 105 buah per 1 cm3) yang
umumnya utuh (65 - 82%) dan subtidal (71 -
77%; Supplementari Gambar 2; Supplementari
Tabel 4). Pararotalia sp., dan Cibicides spp.
mendominiasi kumpulan foraminifera. Pada
beberapa tempat , laminasi pasir halus
dipertegas oleh mineral-mineral berat. Grading
normal, kehadiran foraminifera subtidal dan
kapur gua terlapukan menunjukan bahwa proses
deposisi oleh tsunami (Fig 5; lapisan pasir G).
Lapisan pasir G (Unit 7.1) dilapisi oleh lempung-
lumpur tipis (Unit 7.2: rata-rata = 4.5 Φ; %
lempung = 14.7; % lanau = 34.6) yang
diskontinyu secara lateral. Unit 7.2 tanpa
kehadiran foraminifera dan fragmen-fragmen
kapur gua. Kontak tersebut bergradasi di atas beberapa milimeter.
Unit 8 Lapisan Pasir H. Penutup lempung-
lumpur (Unit 7.2) adalah pasir masif setebal ~4,5
cm yang semakin halus ke bagian atas dari pasir
halus pada bagian dasar (Unit 8; rata-rata = 2.3
Φ; % pasir = 82.3%) sampai dengan pasir sangat
halus pada bagian atas (rata-rata = 3.8 Φ; %
pasir = 71.7%; Supplementari Gambar 2;
Supplementari Tabel 1 dan 2). Fragmen-fragmen
terlapukan dari kapur gua ukuran diameternya
mencapai beberapa cm juga terdapat di dalam
pasir Unit-8. Unit 8 mengandung foraminifera
dengan kelimpahan menengah (55 - 62
individuals per 1 cm3) yang umumnya secara
eksklusif berasal dari lingkungan subtidal (98 –
100%), 39 - 44% di antaranya utuh (Fig. 5;
Supplementary Table 3 and 4). Spesies dominan
termasuk Lagena sp., Operculina ammonoides,
dan Pararotalia stellate dari tempat yang lebih dalam.
Kelimpahan lapisan bersusun (graded
bedding), foraminifera subtidal, dan kapur gua
terlapukan menunjukan berasal dari endapan
tsunami untuk Unit 8, disebut lapisan pasir H
(Supplementari Gambar 1 dan 2). Di atas Unit 8
atau lapisan pasir H adalah lapisan lempung-
lumpur yang tipis (Unit 8.1: rata-rata = 4,6 Φ; %
pasir = 53.5%) yang hanya terlihat pada Parit 4.
Kontak antara Unit 8.1 dan bagian bawah lapisan
18
pasir H (Unit 8.1) tidak teratur, tetapi tajam di atas beberapa milimeter.
Unit 8.2 terdiri dari pasir halus masif
terlaminasi (rata = 3,2 Φ; % pasir = 82.9%). Unit
8.2 tanpa kehadiran foraminifera dan kapur gua.
Unit 8.3 terdiri dari pasir-lumpur organik
berwarna abu-abu dan gelap dengan ketebalan
tipis (rata-rata = 5.7 Φ; % pasir = 19.8%),
ketebalan sekitar 2 cm. Pasir-lumpur organik
hitan mengandung kapur gua utuh dan
foraminifera dalam jumlah yang sedikit (20 buah
per 1 cm3) yang umumnya terabrasi (96%)
berasal dari lingkungan intertidal (55%) dan
subtidal (45%). Kontak antara Unit 8.2 dan lapisan bawah pasir Unit-9 tajam dan tak teratur.
Bukti lanjut yang diperoleh dari keberadaan
patahan normal yang memotong dari Unit 1
sampai Unit 7 (Supplementary Fig. 1e), bahwa
sesar terjadi sebelum pengendapan Unit 8 atau lapisan pasir H.
Fragment-fragmen arang detritus dari Unit 7
menghasilkan rentang umur terkalibrasi antara
3362-3246 tahun BP, yang kami interpretasi
sebagai umur lapisan pasir H.
Unit 9 Lapisan Pasir. Unit 9, mengandung
pasir halus yang masif dan terang (rata-rata = 2.3
Φ; % pasir = 86.3%), ketebalan mencapai 3 cm,
dengan fragmen-fragmen detritus kapur gua
terlapukan, khususnya pada setengah bagian
atas unit tersebut (Supplementari Gambar 2;
Supplementari Tabel 4). Juga terdapat fragmen-
fragmen angular dari detritus arang. Laminasi
lemah juga terdapat, khususnya pada bagian
dasar unit tersebut. Namun demikian, Unit 9
secara lokal mengisi gerusan kecil memotong
underlying pasir-lumpur Unit 8.3. Ini menunjukan
erosi minor sebelum deposisi. Foraminifera
melimpah (256 buah per 1 cm3), dan umumnya
spesies subtidal (58%) (Pararotalia stellata,
Epinoides repandus, and Cibicides refulgens);
sekitar 44% dari kumpulan foraminifera tersebut
adalah utuh (Gambar 5; Supplementari Tabel 3
dan 4). Kehadiran pasir halus, foramninifera
subtidal, dan kapur batu terlapukan menunjukan
bahwa deposisi oleh tsunami, diberi nama
Lapisan Pasir I (Gambar 5; Lapisan Pasir I). Pasir
Unit-9 (lapisan pasir I) ditutupi oleh lapisan
organik berwarna hitam, ketebalan hanya
beberapa mm (Unit 9.1: tidak ada data ukuran
butir), dengan kotak yang tajam. Kumpulan
foraminifera yang kurang melimpah (4 buah per 1
cm3) terdiri dari yang terbarasi (82%), intertidal
(54%), dan subtidal (46%) dan ditemukan
fragment-fragmen utuh kapur gua dalam unit ini,
dan berasal dari lapisan pasir I di bawahnya (Unit
9). Fragment-fragmen arang detrital dari Unit 9
menghasilkan dua rentang umur terkalibrasi,
yaitu 3358 - 3221 tahun BP dan 3366 - 3252
tahun BP, umur ini kami interpretasikan sebagai
umur Lapisan Pasir I. Sebagai tambahan,
fragmen-fragmen arang detrital dari bagian atas
pasir Unit 9 menghasilkan rentang umur
terkalibrasi 3363- 3245 tahun BP, umur tersebut
kami interpretasikan sebagai umur maksimum
Lapisan Pasir I.
Bukti lanjut dari pemotongan Unit-unit 8.1,
8.2, and 8.3 menunjukan patahan paralel lapisan
sepanjang bagian atas Unit 8 (Supplementary
Fig. 1c). pelipatan sekunder dari unit-unit ini di
atas patahan paralel lapisan menunjukan bahwa
displasmen terjadi setelah deposisi Unit 8.3 tetapi sebelum deposisi Unit 9 (Lapisan Pasir I).
Unit 10 Lapisan Pasir J. Unit 10 adalah
lapisan tipis pasir sangat halus (rata-rata = 3.2 Φ;
% pasir = 75.6%) dengan laminasi merah-coklat.
Unit 10 mengandung kumpulan foraminifera
(86% spesies intertidal) dengan kelimpahan kecil
(9 buah per 1 cm3) dan terlapukan (76%
terfragmen dan 24% terkikis), dengan fragmen-
fragmen kapur gua utuh. Unit ini
merepresentasikan akumulasi guano kelelawar
dan pasir teremobilisasi dari pasir Unit 9 yang
mendasarinya. Bagian atas pasir sangat halus
berwarna merah Unit 10 tersebut, sepanjang
kontak yang tajam, adalah pasir tipis (2 cm)
halus masif (Unit 10.1; rata-rata = 2.8 Φ; % pasir
= 85.9%; Supplementari Gambar 1 dan 2;
Supplementari Tabel 1 dan 2), dengan
kelimpahan fragmen kapur gua terlapukan
berukuran pebble. Pasir Unit 10.1 mengandung
kelimpahan foraminifera (190 buah per 1 cm3)
yang umumnya utuh (53%) dan berasal dari
lingkungan subtidal (51%) dan intertidal (45%),
dengan kehadiran spesies plankton hanya dalam
jumlah persentasi yang kecil (4%; Supplementari
Gambar 2; Supplementary Tabel 3 dan 4).
Spesies dominan termasuk Ammonia parkinsoniana, Elphidium craticulatum, dan
Heterolepa sp. Kontak dengan Unit 10 di
bawahnya adalah tajam. Berdasarkan kehadiran
pasir sangat halus dan tersortasi bagus dan
foraminifera subtidal, kami menyimpulkan bahwa
Unit 10.1 (Gambar 5; diberi nama lapisan pasir J)
19
merepresentasikan deposisi hasil dari tsunami.
Di atas Unit 10.1 (lapisan pasir J) adalah pasir
halus, organik, masif berwarna dari hitam ke
coklat gelap (Unit 10.2; rata-rata = 2.5 Φ; % pasir
= 87.8%). Unit 11 telah terkikis dari semua
penampakan pada parit-parit yang lain. Unit 10.2
adalah pasir halus, organik, masif, dan berwarna
dari hitam ke coklat gelap dengan ketebalan
sekitar 1,5 cm, yang merepresentasikan
akumulasi guano kelelawar dan remobilisasi pasri dari Unit 10.1.
Fragmen-fragmen arang detrital dari Unit 10.1
menghasilkan umur terkalibrasi dari: 3464 - 3383
tahun BP, 3370 - 3260 tahun BP. BP, 3356 - 3219
tahun BP, 3236 - 3068 tahun BP. Umur
terklaibrasi ini merepresentasikan umur lapisan
pasir J. sebagai tambahan, fragmen-fragmen
arang detrital dari Unit 10 menghasilkan rentang
umur terkalibrasi 3396 - 3269 tahun BP,
sehingga umur tersebut kami interpretasikan
sebagai umur maksimum lapisan pasir J.
Unit 11 Lapisan Pasir K. Unit 11 adalah
lapisan setebal 8,4 cm berurutan semakin ke
atas semakin halus dari ukuran pasir medium
(Unit 11; rata-rata = 1.9 Φ; % pasir = 95.5%) pada
bagian dasar sampai pada ukuran pasir halus
(rata-rata = 2.4 Φ; % pasir = 94.3%) dengan
banyak laminasi pada bagian atas
(Supplementari Gambar 1 dan 2; Supplementari
Tabel 1 dan 2). Unit tersebut mengandung
banyak pecahan klastis yang dihasilkan dari Unit
10.2 di bawahnya. Bagian paling atas pasir
sangat halus terlaminasi dan hampir tidak
terlihat pada galian-galian yang lain karena
proses erosi, tetapi terdapat pada penampakan
Parit 1 (Supplementari Gambar 1). Fragmen-
fragmen kapur gua terlapukan terdapat
melimpah dan rentang berukuran sampai 3 cm.
Unit 11 juga berlimpah foraminifera (1976 - 2485
buah per cm3) dan 49 - 55% dari foraminifera
tersebut masih utuh. Spesies Subtidal adalah
dmoniminan (48 – 61%) yaitu (Pararotalia sp.,
Asterorotalia sp., and Epinoides repandus)
dengan kehadiran plankton foraminifera, tetapi
dalam jumlah yang sedikit (9 – 14%; Gambar 5,
Supplementari Tabel 3 dan 4 ). Berdasarkan
pada grading normal, kelimpahana pecahan
klastis, dan foraminifera subtidal, kami
menyimpulkan bahwa lapisan pasir ini
merepresentasikan endapan tsunami (Gambar 4;
dinamakan sebagai lapisan pasir K). Lapisan
pasir K (Unit 11) dipisahkan dari pasir halus (Unit
12: tidak ada data ukuran butir) terlaminasi, tipis
dan berwarna hitam sampai abu-abu oleh suatu
lapisan tidak selaras erosional. Unit 12 adalah
breksi pebble berpasir halus dengan tertutupi
pasir organik yang hitam tak teratur. Klastis
berkisar sampai panjangnya 10 cm dan
umumnya tidak teratur.
Fragmen-fragmen arang detrital dari Unit 11
menghasilkan dua rentang umur terkalibrasi
yaitu 2859 – 2772 tahun BP dan 2975 – 2862
tahun BP. Kami menginterpretasikan rentang
umur ini sebagai umur lapisan pasir K.
Analisis ukuran butir. Kami telah
menganalisa ukuran butir pada resolusi 1 cm
dengan peralatan Malvern MS 3000 laser particle
size analyzer (mengukur ukuran butir sampai
1800 µm). Sebelum dianalisa, kami telah
menghilangkan material-material organik dengan
hidrogen perosida 30% dan karbonat dengan
asam hidroklorik 10%. Setelah itu, kami
membiarkan sampel-sampel tersebut mengurai
dalam larutan sodium heksametafosfat selama 24 jam.
Kami menghitung nilai-nilai ukuran butir
dengan Wentworth-Phi scale56, menggunakan
metode the average of three runs. Diskripsi
ukuran butir untuk setiap interval sampling
menggunakan metode yang didefinsikan oleh
Blott dan Pye57 dan memperhitungkan rata-rata
(rata-rata ukuran butir), mode (ukuran butir
dominan), simpangan (derajad sorting), dan
persentase lempung, lanau, dan pasir. Kami
menunjukan kedalaman dari awal urutan
kekasaran dan urutan butir yang semakin halus ke bagian atas pada Gambar 5.
Analisis Foraminifera dan kapur gua.
Kami menguji 42 sampel dari Unit 1 sampai Unit
12 untuk foraminiferal taxa (Supplementari Tabel
8) dan taphonomi (kondisi permukaan dari uji
foraminifera). Taxonomi foraminifera membatasi
asal dari ekologi dan taphonomi dapat
menentukan waktu tinggal dan sejarah
transportasi. Untuk anlisis foraminifera dan
kapur gua, kami mengsub-sampel-kan setiap
lapisan 5 cm3, melakukan ayakan basah material
pada >63 µm, pengeringan pada 25°C, dan
mengujinya di bawah mikroskop binokular.
Ayakan smpel yang telah kering dipisahkan untuk
menentukan hitungan sekitar 300 foraminifera
per sample58. Untuk setiap sampel, jumlah total
forminifera yang ada dalam 5 cm3 (konsentrasi
20
total) dihitung sebagai persentasi setiap spesies
yang ada (kelimpahan). Taksonomi foraminifera
mengikuti Loeblich dan Tappan59. Selanjutnya
foraminifera dikategorikan merujuk pada
keadaan taphonomik yang diuji seperti yang
didefinsikan oleh Pilarczyk and Reinhardt51, yaitu
individual yang utuh yaitu yang secara
taphonomi tidak berubah; individual terabrasi
yaitu yang tepinya telah bulat atau korosi; dan
individual terfragmen yaitu yang telah pecah
dengan sisinya angular (Supplementari Gambar
3). Dalam setiap sampel, kami dokumentasikan
kehadiran atau ketidak-hadiran kapur gua. Pada
sampel yang terdapat kapur gua maka kami
kategorikan kondisi permukaan setiap fragmen
kapur gua apakah utuh atau terlapukan.
Fragmen-fragmen yang utuh adalah kecil, rapuh,
dan memiliki struktur floret baru; fragmen-
fragmen yang terlapukan berukuran besar, lebih halus/bulat, dan tidak memiliki struktur floret.
Ketersediaan Data. Data dan code-code
pemodelan yang telah berkontribusi dari hasil
yang dilaporkan tersedia pada corresponding author berdasarkan permintaan.
Referensi
1 Holzer, T. & Savage, J. Global earthquake
fatalities and population. Earthq. Spectra
29, 155-175 (2013).
2 Satake, K. & Atwater, B. F. Long-term
perspectives on giant earthquakes and
tsunamis at subduction zones. Annual Rev. Earth Planet. Sci. 35, 349-374
(2007).
3 Lay, T. & Kanamori, H. Insights from the
great 2011 Japan earthquake. Phys. Today 64, 33 (2011).
4 Sieh, K. et al. Earthquake supercycles
inferred from sea‐level changes recorded
in the corals of West Sumatra. Science
322, 1674-1678 (2008).
5 Meltzner, A. J. et al. Uplift and subsidence
associated with the great Aceh-Andaman
earthquake of 2004. J. Geophys. Res. 111,
B02407 (2006).
6 Chlieh, M. et al. Coseismic slip and
afterslip of the great Mw 9.15 Sumatra-
Andaman earthquake of 2004. Bull.
Seismol. Soc. Am. 97, s152-s173 (2007).
7 Surarya, C. et al. Plate-boundary
deformation associated with the great
Sumatra-Andaman earthquake. Nature
440, 46-51 (2006).
8 Martin, M. & Bourgeois, J. Vented
sediments and tsunami deposits in the
Puget Lowland, Washington –
differentiating sedimentary processes.
Sedimentology 59, 419-444 (2011).
9 Jaffe, B. E. et al. Identification and
interpretation of tsunami deposits from
the June 23, 2001 Peru tsunami.
Proceedings of the International Conference on Coastal Sediments 2003.
[World Scientific Publishing Corp and East
Meets West Productions, Corpus Christi,
TX, USA] (2003).
10 Monecke, K. et al. 1,000 year sediment
record of tsunami recurrence in northern
Sumatra. Nature 455, 1232-1234 (2008).
11 Sieh, K. et al. Penultimate predecessors of
the 2004 Indian Ocean tsunami in Aceh,
Sumatra: Stratigraphic, archeological, and
historical evidence. J. Geophys. Res. 120,
1-18 (2015).
12 Kelsey, H. M. et al. Accommodation space,
relative sea level and the archiving of
paleoearthquakes along subduction
zones. Geology 43, 675-678 (2015).
13 Harper, S. B. Bedded shell deposit at Ao
Nang, Krabi Province, southern Thailand:
A record of a prehistoric tsunami event or
extreme storm event or neither. Abstract Volume of the Geological Society of America 37, (2005).
14 Jankaew, K. et al. Medieval forewarning of
the 2004 Indian Ocean tsunami in
Thailand. Nature 455, 1228-1231 (2008).
15 Brill, D. et al. OSL dating of tsunami
deposits from Phra Thong Island,
Thailand. Quat Geochronol. 10, 224-229
(2012).
16 Brill, D. et al. Local inundation distances
and regional tsunami recurrence in the
Indian Ocean inferred from luminescence
dating of sandy deposits in Thailand. Nat. Hazards Earth Syst. Sci. 12, 2177-2192
(2012).
21
17 Gouramanis, C. et al. High-frequency
coastal overwash deposits from Phra
Thong Island, Thailand. Sci. Rep. 7,
doi:10.1038/srep43742 (2017).
18 Malik, J. N. et al. Geological evidence for
two pre-2004 earthquakes during recent
centuries near Port Blair, South Andaman
Island, India. Geology 39, 559-562 (2011).
19 Jackson, K. et al. Holocene Indian Ocean
tsunami history in Sri Lanka. Geology. 42,
859-862 (2014).
20 Rajendran, C. P., Rajendran, K, Andrade,
V. & Srinivasalu, S. Ages and relative sizes
of pre-2004 tsunamis in the Bay of Bengal
inferred from geological evidence in the
Andaman and Nicobar Islands. J. Geophys. Res. 118, 1345-1362 (2013).
21 Klostermann, L., Gischler, E., Storz, D. &
Hudson, J. H. Sedimentary record of late
Holocene event beds in a mid-ocean atoll
lagoon, Maldives, Indian Ocean: Potential
for deposition by tsunamis. Mar. Geol. 348, 37-43 (2014).
22 Dura, T. et al. The role of Holocene relative
sea-level change in preserving records of
subduction zone earthquakes. Curr. Clim. Change. Rep. doi:10.1007/s40641-016-
0041-y (2016).
23 Hawkes, A. D. et al. Sediments deposited
by the 2004 Indian Ocean tsunami along
the Malaysia-Thailand Peninsula. Mar. Geol. 242, 169-190 (2007).
24 Anthes, R. (ed). Tropical Cyclones: The Evolution, Structure and Effects.
American Meteorological Society, (1982).
25 McBride, J. L. Tropical cyclone formation.
In Global Perspectives on Tropical Cyclones. (ed Elsberry, L.) Geneva: WMO
693, 63-105 (1995).
26 Murty, T. S. & Flather, R. A. Impact of
storm surges in the Bay of Bengal. J. Coast. Res. 12, 149-161 (1994).
27 Chang, C. P., Liu, C. H. & Kuo, H. C.
Typhoon Vamei: an equatorial tropical
cyclone formation. Geophys. Res. Lett. 30, 1151-1154 (2003).
28 Grandau, F. & Engel, G. Annual Tropical Cyclone Report. U.S. Naval Pacific
Meteorology and Oceanography
Center/Joint Typhoon Warning Center
(2002).
29 Goff, J., Chagué-Goff, C., Nichol, S., Jaffe,
B. & Dominey-Howes, D. Progress in
palaeotsunami research. Sed. Geol. 243,
70-88 (2012).
30 Mamo, B., Strotz, L. & Dominey-Howes, D.
Tsunami sediments and their
foraminiferal assemblages. Earth-Sci. Rev. 96, 263-278 (2009).
31 Glenn-Sullivan, E. C. & Evans, I. The
effects of time-averaging and taphonomy
on the identification of reefal sub-
environments using larger foraminifera:
Apo Reef, Mindoro, Philippines. Palaios 16, 399-408 (2001).
32 Pilarczyk, J. E. et al. Microfossils in coastal
environments as indicators of
paleoearthquakes, tsunamis, and storms.
Palaeogeogr. Palaeoclimatol. Palaeoecol. 413, 144-157 (2014).
33 Horton, B. P., Gibbard, P. L, Milne, G. M.,
Morley, R. J. & Purintavaragul, C.
Holocene sea levels and
palaeoenvironments, Malay-Thai
peninsula, southeast Asia. Holocene 15,
1199-1213 (2005).
34 Meltzner, A. J. et al. Half-metre sea-level
fluctuations on centennial timescales
from mid-Holocene corals of Southeast
Asia. Nat. Commun. DOI:10.1038/ncomms14387 (2017).
35 Briggs, R. et al. Persistent elastic behavior
above a megathrust rupture patch: Nias
Island, West Sumatra. J. Geophys. Res. 113, 1-28 (2008).
36 Peters, R., Jaffe, B. & Gelfenbaum, G.
Distribution and sedimentary
characteristics of tsunami deposits along
the Cascadia margin of western North
America. Sediment. Geol. 200, 372-386
(2007).
37 Grand Pre, C. A. et al. Stratigraphic
evidence for an early Holocene
earthquake in Aceh, Indonesia. Quat. Sci. Rev. 54, 142-151 (2012).
38 Patton, J. R. et al. A 6,600 year
earthquake history in the region of the
2004 Sumatra-Andaman subduction zone
22
earthquake. Geosphere 11, 2067-2129
(2015).
39 Meltzner, A. J. et al. Coral evidence for
earthquake recurrence and an A.D. 1390–
1455 cluster at the south end of the 2004
Aceh-Andaman rupture. J. Geophys. Res. 115, 1-46, B10402 (2010).
40 Prendergast, A., Cupper, M. L., Jankaew,
K. & Sawai, Y. Indian Ocean tsunami
recurrence from optical dating of tsunami
sand sheets in Thailand. Mar. Geol. 295-
298, 20-27 (2012).
41 Rajendran, C. P. et al. Evidence of ancient
sea surges at the Mamallapuram coast of
India and implications for previous Indian
Ocean tsunami events. Current Science
91, 1242-1247 (2006).
42 Rajendran, C. P. et al. Geoarchaeological
evidence of a Chola-period tsunami from
an ancient port at Kaveripattinam on the
southeastern coast of India.
Geoarchaeology 26, 867-887 (2011).
43 Rhodes, B. P., Kirby, M. E., Jankaew, K. &
Choo-wong, M. Evidence for a mid-
Holocene tsunami deposit along the
Andaman coast of Thailand preserved in a
mangrove environment. Mar. Geol. 282,
255-267 (2011).
44 Okal, E. & Synolakis, C. Far-field tsunami
hazard from mega-thrust earthquakes in
the Indian Ocean. Geophys. J. Int. 172,
995-1015 (2008).
45 Witter, R. C., Kelsey, H. M. & Hemphill-
Haley, E. Pacific storms, El Nino and
tsunamis: competing mechanisms for
sand deposition in a coastal marsh,
Euchre Creek, Oregon. J. Coast. Res. 17,
563-583 (2001).
46 Peng, Z. & Gomberg, J. An integrated
perspective of the continuum between
earthquakes and slow-slip phenomena.
Nat. Geosci. 3, 599-607 (2010).
47 Wallace, L. M., Beavan, J., Bannister, S. &
Williams, C. Simultaneous long-term and
short-term slow slip events at the
Hikurangi subduction margin, New
Zealand: Implications for processes that
control slow slip event occurrence,
duration, and migration. J. Geophys. Res. 117, 1-18 B11402 (2012).
48 Atwater, B.F. & Moore, A.L. A tsunami
about 1000 years ago in Puget Sound,
Washington. Science 258, 1614-1617
(1992).
49 Nelson, A. R., Shennan, I. & Long, A. J.
Identifying coseismic subsidence in tidal‐wetland stratigraphic sequences at the
Cascadia subduction zone of western
North America. J. Geophys. Res. 101,
6115-6135 (1996).
50 Sawai, Y., Namegaya, Y., Okamura, Y.,
Satake, K. & Shishikura, M. Challenges of
anticipating the 2011 Tohoku earthquake
and tsunami using coastal geology.
Geophys. Res. Lett. 39, L21309 (2012).
51 Pilarczyk, J. E. & Reinhardt, E. G. Testing
foraminiferal taphonomy as a tsunami
indicator in a shallow arid system lagoon:
Sur, Sultanate of Oman. Mar. Geol., 295-
298, 128-136 (2012).
52 Moore, A., Nishimura, Y., Gelfenbaum, G.,
Kamataki, T. & Triyono, R. Sedimentary
deposits of the 26 December 2004
tsunami on the northwest coast of Aceh,
Indonesia. Earth Planets Space 58, 253-
258 (2006).
53 Reimer P. J., Bard, E., Bayliss, A. & Beck,
J. W. IntCal13 and Marine13 Radiocarbon
Age Calibration Curves 0–50,000 Years
cal BP. Radiocarbon 55, 1869-1887
(2013).
54 Southon, J., Kashgarian, M., Fontugne, M.,
Metivier, B. & Yim, W. W.-S. Marine
reservoir corrections for the Indian Ocean
and Southeast Asia. Radiocarbon 44, 167-
180 (2002).
55 Brooks, S., Gelman, A., Jones, G., Meng,
X.L. (eds) Handbook of Markov Chain Monte Carlo. CRC Press (2011).
56 Krumbein, W.C. Size frequency
distributions of sediments. J. Sediment. Petrol. 4, 65-77 (1934).
57 Blott, S. J. & Pye, K. Gradistat: a grain size
distribution and statistics package for the
analysis of unconsolidated sediments.
Earth Surf. Proc. Land. 26, 1237-1248
(2001).
23
58 Patterson, R. et al. Relative utility of
foraminifera, diatoms and macrophytes
as high resolution indicators of paleo-sea
level in coastal British Columbia, Canada.
Quat. Sci. Rev. 24, 2002-2014 (2005).
59 Loeblich, A. R. & Tappan, H. Foraminiferal Genera and Their Classification. Van
Nostrand Rienhold Co. New York (1987).
60 Briggs, R. et al. Deformation and slip along
the Sunda megathrust in the great 2005
Nias-Simeulue earthquake. Science 35,
1897-1901 (2006).
61 Singh, S. C. et al. Seismic evidence of
bending and unbending of subducting
oceanic crust and the presence of mantle
megathrust in the 2004 Great earthquake
rupture zone. Earth Planet. Sci. Lett. 321,
166-176 (2012).
62 Prawirodirdjo, L. & Bock, Y. Instantaneous
global plate motion model from 12 years
of continuous GPS observations. J. Geophys. Res. 109, 1-15 B08405 (2004).
63 Bronk Ramsey, C. Deposition models for
chronological records. Quaternary. Sci. Rev. 27, 42–60 (2008).
Ucapan Terimakasih
Penelitian ini didukung oleh the National
Research Foundation Singapore and the
Singapore Ministry of Education under the
Research Centers of Excellence initiative (grant
M443B50147), National Science Foundation
award (EAR #0809392, 0809417, 0809625) dan
the Asia Research Institute and National
University of Singapore. Kami berterimakasih
pada Simon Engelhart, Andrea Hawkes, Harvey
Kelsey, Jedrzej (Yen) Majewski, Adam Switzer,
dan Christopher Vane untuk diskusinya yang
sangat membantu dan dukungan lapangan dari
Y. Ramayati, Aceh Heritage Community dan T.
Djubiantono, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional. Akhirnya,
kami berterimakasih pada masyarakat pada
kawasan yang terdampak dengan gempa bumi
atas kemauannya membagi data-data observasi
yang mereka miliki.. Tulisan ini merupakan suatu
kontribusi terhadap PALSEA2 (Paleo-Constraints
on Sea-Level Rise 2) dan terhadap International
Geoscience Programme (IGCP) Project 639, ‘Sea
Level Change from Minutes to Millennia’.
Penelitian ini melibatkan Earth Observatory of
Singapore kontribusi no. 144. Penelitian ini
didukung oleh the National Research Foundation
Singapore dan the Singapore Ministry of
Education di bawah inisiatif the Research
Centres of Excellence.
Author Contributions
C.M.R. memantau semua aspek penelitian dan
memimpin pekerjaan lapangan. C.M.R., B.P.H.,
K.S., J.P. and P.D. membantu arahan intelektual
penelitian ini. C.M.R., B.P.H, K.S., P.D. dan N.I.
membantu pekerjaan lapangan. N.I. dan P.D.
menyediakan dukungan logistik untuk pekerjaan
lapangan. C.M.R., B.P.H., K.S., J.P. dan P.D
menyelesaikan analisa stratigrafi, sedimentologi,
foraminifera dan/atau radiokarbon. A.P. dan
B.P.H. melaksanakan analisis statistik Bayesian
untuk geokronologi. Beberapa bagian dari
manuskrip dat/atau suplemen ditulis oleh semua
penulis. Semua penulis mereview manuskrip ini.
Informasi Tambahan: Informasi
supplementary menyertai tulisan ini pada
www.nature.com. Informasi pencetakan ulang
dan izin tersedia pada www.nature.com/reprints.
Koresoponden dan permintaan material dapat
dialamatkan pada [email protected]