piercing corporate

141
PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)  T E S I S Oleh RUSTAMAJI PURNOMO 067011006/M.Kn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2 0 0 8 RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Upload: alexander-orakhelashveli

Post on 05-Mar-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

piercing corporate veilbusiness law

TRANSCRIPT

Page 1: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 1/141

PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL

PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal

dan PT. Bank Perkembangan Asia) 

T E S I S 

Oleh

RUSTAMAJI PURNOMO

067011006/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 2: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 2/141

PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL 

PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal

dan PT. Bank Perkembangan Asia) 

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh 

RUSTAMAJI PURNOMO

067011006/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 3: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 3/141

JUDUL TESIS : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE

CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN

TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal

dan PT. Bank Perkembangan Asia)

NAMA MAHASISWA : RUSTAMAJI PURNOMO 

NOMOR POKOK : 067011006

PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, S.H.)

Ketua

(Dr. T.Keizerina Devi A.,S.H,CN,M.Hum) (Chairani Bustami,S.H,SpN,M.Kn.)Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., M.Sc)

Tanggal Lulus : 5 Februari 2008

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 4: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 4/141

 

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE

VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus

PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia) 

Nama : RUSTAMAJI PURNOMO

Nomor Pokok : 067011006

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Sanwani Nasution, S.H.

Ketua

Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum Chairani Bustami, S.H., M.Kn

Anggota Anggota

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 5: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 5/141

Telah diuji pada

Tanggal : 5 Februari 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H.

Anggota : 1. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum

2. Chairani Bustami, S.H.,SpN, M.Kn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,MS,CN

4. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 6: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 6/141

 

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 7: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 7/141

ABSTRAK

Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara hartakekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang saham, sehingga para

 pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang

dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian

 badan hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya sesuai ketentuanPasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Namun tidak tertutup kemungkinan

hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas apabila terbukti perseroan terbatas

didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untukmemenuhi tujuan pribadinya, melalui prinsip  piercing the corporate veil. Dalam

 penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah dalam hal yang bagaimanakahdoktrin  piercing the corporate veil  dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas, bagaimana penerapan doktrin  piercing the corporate veil  dalam UUPT, dan

 bagaimana analisis atas penerapan doktrin  piercing the corporate veil  pada kasus

antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal.Dalam metode penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum

normatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data berasal

dari data sekunder yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library

 Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan

atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas dalam hal adanya fakta-fakta yang

menyesatkan, terjadinya penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang

saham minoritas, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung dengan itikad baik (Tekwaadetrouw  atau bad faith) yang memanfaatkan

 perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Penerapan teori  piercing the

corporate veil  ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab

hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan saja, tetapi dapat juga dimintakanterhadap pemegang saham. Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia

dengan PT. Djaya Tunggal, Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin piercing

the corporate veil sehingga direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan, tetap

dapat dimintakan pertanggungjawabannya.Disarankan agar prinsip Piercing The Corporate Veil  ini lebih dipertegas

 pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007. Selain itu jugaagar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu orang

Komisaris independen dan pengelolaan bank harus diformulasikan sesuai dengan

 prinsip-prinsip good corporate governance. Perjanjian kredit antara debitor dengan

 pihak Bank sebaiknya jangan dibuat dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi

i

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 8: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 8/141

dibuat secara notaril yang berupa akta notaris sehingga dapat dikontrol oleh Bank

Indonesia.

Kata Kunci : Doktrin piercing the corporate veil 

Perseroan Terbatas

ii

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 9: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 9/141

ABSTRACT

A company is a legal entity which is different and separated from thestockholders of a limited liability company. The main characteristic of a corporation

is that there is a separation between the assets of the corporation and the personal

assets of the stockholders, so that the stockholders are not liable individually to the

agreement made in the name of the corporation and also not liable to the loss of thecorporation that exceeds the value of the shares they have submitted in accordance

with the stipulation of Article 3 paragraph (1) Act No 4 of the year 2007 concerning

Limited Liability Company. However, there is a possibility of nullifying the liabilityof the Limited Liability Company, that is when there is an evidence that there has

 been a confusion between personal property of the stockholders and the assets of thelimited liability company so that the limited liability company is established only as ameans for the stockholders to fulfil their personal aim. By following the principle of

 piercing the corporate veil in the Corporation Act, the stockholders’ liability which

was originally limited may become unlimited in certain cases. In this study, the problems are in which case the doctrine of piercing corporate veil can be applied at a

limited liability company, how is the application of the doctrine of piercing the

corporate veil in the Act of Limited Liability Company, and how is the analysis of the

application of the doctrine of piercing the corporate veil in the case between BankPerkembangan Asia (PT. Asia Development Bank) and P.T. Djaya Tunggal.

In the method of this study, the kind of study is the study of normative law, by

using normative juridical approach. The data source comes from secondary data, thatis by studying the primary and secondary corporations. Data collection is carried out

 by library research, that is gathering the data by studying the literary material or

secondary data. Furthermore, the data is analyzed qualitatively.From this study, it is concluded that the Doctrine of Piercing the Corporate Viel

is applicable in the Limited Liability Company in case there are misleading facts,

there has been deceipt and injustice and to protect a minority of stockholders, the

stockholders concerned, either directly or indirectly with bad faith (tekwaadetrouw)makes use of the company only for personal interest. The application of the theory of

 piercing the corporate veil into the performance of a company causes the legal

responsibility not only to be demanded from the company but can also be charged to

the stockholders. In the credit case between PT. Bank Perkembangan Asia and PT.Djaya Tunggal, the Court of Justice had correctly used the doctrine of piercing the

corporate veil so that in this case the management and Board of directors assupervisors of the company, are still accountable, as their action has been in

contradiction with the principle of fiduciary duty and also in contradiction with the

articles of association of the company, which not only causes a loss to the company

 but also as loss to the other stockholder. It is suggested that the principles of piercingthe corporate veil be regulated more emphatically in one of acts of Act Number 40 of

iii

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 10: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 10/141

the year 2007. Beside that, each of company in Indonesia obliged to appoint at least

one independent supervisor and in banking arrangement should be formulated by

using the good corporate governance principles. The credit agreement should bemade in notarial agreement so that it can be controlled by Bank Indonesia.

Keywords : The Doctrine of piercing the corporate veil

Limited Liability Company

iv

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 11: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 11/141

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan karena izin-

 Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat yang

harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis ini adalah “PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE

CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT.

Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)”.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,

dorongan moril, masukan dan saran, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan

tesis ini tepat pada waktunya. Ucapkan terima kasih khususnya penulis sampaikan

kepada yang terhormat Bapak Pembimbing: Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H.,

Ibu Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum., dan Ibu Chairani Bustami,

S.H., SpN, M.Kn, atas kesediaannya membantu dalam memberikan bimbingan dan

 petunjuk serta arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat

 bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang

maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN serta Bapak Notaris Syahril Sofyan,

v

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 12: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 12/141

S.H., M.Kn yang telah memberikan masukan-masukan terhadap penyempurnaan

tesis ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1.  Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B. M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris beserta seluruh Staf

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan pendidikan ini.

2.  Para Ibu dan Bapak Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya

 para Ibu dan Bapak Dosen di Magister Kenotariatan.

3.  Teman-teman di Sekolah Pascasarjana Program Kenotariatan USU yang telah

memberikan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Secara tulus ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan

kepada kedua orang tua tercinta dan kakak-kakakku yang tersayang yang dengan

 penuh kesabaran dan kasih sayangnya kepada Penulis untuk mencurahkan perhatian

dalam penulisan tesis ini.

Medan, 5 Februari 2008

Penulis

Rustamaji Purnomo

vi

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 13: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 13/141

RIWAYAT HIDUP

 Nama : Rustamaji Purnomo

Tempat/Tanggal lahir : Medan / 20 Agustus 1982

Status : Belum Nikah

Pekerjaan : Pegawai

Alamat rumah : Jl. Pemuda Baru II No.19 Medan

Telepon : 061-4158328

Pendidikan :

1.  SD Sutomo di Medan, lulus tahun 1994.

2.  SMP Sutomo di Medan, lulus tahun 1997.

3.  SMA Sutomo di Medan, lulus tahun 2000.

4. 

Sarjana Hukum Universitas Dharma Agung di Medan, lulus tahun 2006.

Motto : Bekerja Sambil Belajar, Belajar Sambil Bekerja.

Hobby : Membaca, diskusi dan olahraga.

vii

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 14: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 14/141

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................. iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. v

RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………......... viii

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………........ 1

A.  Latar Belakang ……………………………………………….. 1

B.  Perumusan Masalah ..……………………………………….... 6

C.  Tujuan Penelitian …………………………………………….. 7

D.  Manfaat Penelitian …………………………………………. 7

E. 

Keaslian Penelitian …………………………………………... 7

F.  Kerangka Teori dan Konsepsional …………………………... 10

G.  Metode Penelitian ……………………………………………. 40

H.  Sistematika Penulisan ............................................................... 42

BAB II : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE

VEIL PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS ....................

45

A.  Pertanggungjawaban Terbatas Pengurus Perseroan ................ 45

B.  Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi ........................... 51

C.  Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada

Perusahaan Terbatas ............................................................... 61

BAB III : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE

viii

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 15: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 15/141

VEIL DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN

TERBATAS ................................................................................. 71

BAB IV : ANALISIS ATAS PENERAPAN DOKTRIN  PIERCING

THE CORPORATE VEIL  PADA KASUS ANTARA BANK

PERKEMBANGAN ASIA DAN PT. DJAYA TUNGGAL .....

 

94

A.  Posisi Kasus ............................................................................ 94

B.  Analisis Kasus ........................................................................ 103

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 121

A.  Kesimpulan ............................................................................. 121

B.  Saran ....................................................................................... 122

DAFTAR PUSTAKA …………..…………………………………………...... 124

LAMPIRAN ………………………………………………………………..….. 127

ix

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 16: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 16/141

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Perseroan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah dari

 pemegang saham perseroan terbatas itu. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity)

yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi

hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi

 bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Ciri utama suatu badan hukum adalah

adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang

saham. Dengan demikian, para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara

 pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak

 bertanggung jawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham yang telah

dimasukkannya.

Perseroan Terbatas mempunyai ciri utama yaitu Perseroan Terbatas

merupakan subjek hukum yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya

membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham,

anggota Direksi dan Komisaris, yaitu sebesar saham yang dimasukkanya ke dalam

Perseroan tersebut.

Pasal 40 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan

 bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab untuk lebih daripada

 jumlah penuh saham-saham itu. Kemudian hal yang sama juga ditegaskan dalam

1

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 17: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 17/141

  2

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT) bahwa pemegang saham perseroan

terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas

nama perseroan terbatas dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan

terbatas melebihi saham yang dimilikinya. Dalam penjelasannya dinyatakan dalam

ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT yang mempertegas ciri perseroan bahwa

 pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atau seluruh saham

yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT ini, seandainya suatu

 perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta

kekayaan perseroan terbatas ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang

 perseroan terbatas, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk

menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan terbatas tersebut. Akan

tetapi, hukum perseroan terbatas pada umumnya, termasuk UUPT Indonesia,

menentukan pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab

tersebut, yang dalam hukum perseroan prinsip ini dinamakan dengan doctrine

 piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.

Akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya

tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut:

a.  Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak

terpenuhi;

 b.  Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk

kepentingan pribadi;

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 18: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 18/141

  3

c.  Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. 

Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

utang perseroan.1 

Dalam ilmu hukum dikenal "doktrin keterbatasan tanggung jawab" dari

suatu badan hukum. Maksudnya, “secara prinsipil, setiap perbuatan yang

dilakukan oleh suatu badan hukum hanya badan hukum sendiri yang bertanggung

 jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai

saham yang dimasukkannya”.2 Hal ini berarti bahwa harta kekayaan pribadi para

 pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan

yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan.

Penyingkapan tirai perusahaan atau dalam bahasa Inggris disebut  piercing

the corporate veil, hampir dalam semua sistem hukum modern dikenal teori ini.

Hanya saja yang berbeda adalah derajat pengakuan dan variasi dari aplikasinya.

Perbedaan tersebut disebabkan baik oleh ”tradisi hukum dari negara yang

 bersangkutan, yakni apakah dari tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi Hukum Eropa

Kontinental Pranas, atau tradisi hukum Eropa Kontinental Jerman. Ataupun

karena perbedaan penafsiran dan pengalaman hukum di negara yang

1 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas2  Munir Fuady, I, 2002,  Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 125

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 19: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 19/141

  4

 bersangkutan”.3  Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor

40 Tahun 2007, mulailah hukum Indonesia mengakui doktrin  piercing the

corporate veil  (penyingkapan tirai perusahaan) ini sampai batas-batas tertentu,

yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang

sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.

Menurut UUPT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa

dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab

 perseroan terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti

 bahwa terjadi pembauran antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta

kekayaan perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata

sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan

 pribadinya. Dengan dianutnya prinsip atau asas  piercing the corporate veil

(penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan, pertanggungjawaban

hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas

dalam hal-hal tertentu.

Dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia, terdapat sejumlah kasus

yang menyangkut doktrin  piercing the corporate veil  ini. Sejumlah kasus telah

diajukan ke pengadilan dan pengadilan telah menyingkap tabir perseroan.

Walaupun demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham

tetap kuat tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada direksi atau

3 Munir Fuady, II, 2002,  Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya

 Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 20: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 20/141

  5

 pemegang saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar

 bahwa perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari

 pemegang saham”.4 

Dalam menyingkap atau merobek cadar perseroan ini ( piercing the

corporate veil)  pengadilan memperhatikan substansi atau kenyataan praktis pada

 bentuk formal dari perseroan terbatas tersebut. Dalam banyak kasus, pengadilan

menyingkap tabir perseroan bilamana pemegang saham dengan sengaja atau

sebaliknya mempergunakan perseroan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan

tertentu atau untuk menghindari kewajiban-kewajiban. “Dalam hal terdapat

kemungkinan penyalahgunaan bentuk perseroan, pengadilan dapat menganggap

 perseroan hanya atau semata-mata selubung (cloak ) atau kepura-puraan (sham)

dan pengadilan akan menyingkap tabir perseroan”.5 

Salah satu contoh kasus yang menggunakan doktrin penyingkapan tirai

 perusahaan ( piercing the corporate veil)  ini adalah kasus perjanjian kredit antara

PT Djaya Tunggal dengan Bank Perkembangan Asia. Dalam kasus ini, ternyata

 pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor) adalah sama

dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor). Pada saat

 pemberian kredit direksi PT. Bank Perkembangan Asia dijabat oleh personalia

yang sama dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian kredit yang disalurkan oleh

4 Chatamarrasjid Ais, I, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum

Perusahaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 15  Ibid , hal. 14

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 21: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 21/141

  6

PT. Bank Perkembangan Asia adalah merupakan kredit yang diberikan kepada

 perusahaan yang termasuk dalam grup PT. Bank Perkembangan Asia itu sendiri.

Dalam pemberian kredit tersebut terdapat penyalahgunaan kekuasaan dari

 pihak pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal dimana

kreditor dan debitornya adalah sama sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian

 bagi pihak lain/pihak ketiga. Oleh karena berdasarkan Pasal 45 ayat (1) KUH Dagang

 pengurus PT tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas

 perikatan yang dibuat oleh PT, maka dengan berdasarkan doktrin penyingkapan tirai

 perusahaan ( piercing the corporate veil), pertanggungjawaban terbatas (limited

liability) dari suatu perseroan terbatas dapat dibebankan kepada para pengurusnya.

B.  Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

 beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1.  Dalam hal yang bagaimanakah doktrin  piercing the corporate veil  dapat

diterapkan pada suatu perseroan terbatas?

2.  Bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT ?

3.  Bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus

antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal ?

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 22: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 22/141

  7

C.  Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat

dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1.  Untuk mengetahui dalam hal yang bagaimana doktrin piercing the corporate veil 

dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas.

2.  Untuk mengetahui penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT.

3.  Untuk mengetahui analisis atas penerapan doktrin  piercing the corporate veil 

 pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal.

D.  Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai

 berikut:

1.  Secara teoretis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya bidang hukum

 perusahaan serta menambah khasanah perpustakaan.

2.  Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran

 bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai doktrin  piercing the corporate veil 

 bagi para praktisi hukum maupun akademisi.

E. 

Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan

khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 23: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 23/141

  8

 penelitian yang menyangkut masalah “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate

Veil  Pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank

Perkembangan Asia)”.

Akan tetapi ada beberapa penelitian tesis yang dilakukan oleh:

1.  Erlina, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian “Tanggung

Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”. Dalam

 penelitian tersebut permasalahan yang diajukan adalah:

a.  Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab direksi perseroan.

 b.  Bagaimanakah pengaturan ultra vires dalam melindungi perusahaan dan pihak

ketiga.

c.  Bagaimanakah gerak pelaksanaan tanggung jawab direksi dalam tindakan

ultra vires.

2.  Halida Rahardini, mahasiswa progam Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian

“Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Perseroan

Terbatas”. Dalam penelitian tersebut penelitian tersebut permasalahan yang

diajukan adalah:

a. 

Bagaimanakah kriteria untuk menentukan bahwa direktur telah melanggar

 prinsip fiduciary duty ?

 b.  Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kepailitan suatu

 perseroan terbatas ?

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 24: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 24/141

  9

c.  Bagaimanakah tanggung jawab seorang direktur dalam hal terjadinya

kepailitan terhadap perseroan yang dipimpinnya ?

3.  Yindika Lawrance, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2007 dengan judul penelitian

“Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas Terhadap Perjanjian-Perjanjian

yang Dibuat Sebelum Perseroan Terbatas Berbadan Hukum”, dengan topik

 permasalahannya adalah:

a.  Bagaimana kedudukan dan tanggungjawab yuridis dari pendiri PT sebelum

PT memperoleh status badan hukum ?

 b.  Bagaimana kekuatan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh pendiri PT

sebelum PT memperoleh status badan hukum ?

c.  Bagaimana tata cara pengalihan tanggung jawab pendiri PT terhadap

 perjanjian-perjanjian yang dibuat pada tahap sebelum PT memperoleh status

 badan hukum menjadi tanggung jawab persero ?

Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian di atas, terdapat

 perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian

 penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 25: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 25/141

  10

F.  Kerangka Teori dan Konsepsional

1. 

Kerangka Teori

1.1 Organ-organ Perseroan Terbatas

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(selanjutnya disingkat dengan UUPT), dibentuk dalam era globalisasi. Oleh

karena itu, terdapat berbagai doktrin hukum yang mempengaruhi isi dari UUPT

tersebut, termasuk doktrin hukum dari negara Common Law System.

Try Widiyono mengatakan bahwa :

Badan hukum sebagai subyek hukum berhubungan dengan subyek hukum

lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat dialamatkan

kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan hukumtersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap

merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demikian,

direksi merupakan salah satu organ perseroan dari bad an hukum itumempunyai hubungan dan tanggung jawab intern perseroan.

Hubungan hukum intern perseroan disini maksudnya adalah “hubungan

hukum antara pemegang saham, RUPS, Komisaris dan Direksi”.7  Secara intern,

 perseroan terbatas sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta

 berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1.   peraturan perundang-undangan yang berlaku

2.  anggaran dasar perseroan

6  Try Widiyono, 2005,  Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan,

Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT , Ghalia Indonesia,

Jakarta, hal. 297  Ibid  

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 26: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 26/141

  11

3.  doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.8 

Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan

 pemegang saham, direksi, dan komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab

masing-masing. “Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan

(imperare), apa yang dilarang ( prohibere), serta apa yang diperbolehkan ( permittere)

kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi”.9 

Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri.

Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Oleh karena

itu diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan

 perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perseroan. “Orang-

orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus perseroan ini, dalam

Undang-Undang Perseroan Terbatas disebut dengan istilah ”organ perseroan”.10

 

Masing-masing organ dalam perseroan memiliki tugas dan wewenang yang

 berbeda-beda dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan perseroan.

Seperti disebutkan di atas, dalam perseroan terbatas terdapat 3 (tiga) organ,

yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. RUPS

(algemene vergardering van aandeelhourders) adalah ”lembaga yang mewadahi para

 pemegang saham (stockholder , aandeelhourder ) dan merupakan organ perseroan

yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang kewenangan yang tidak

8  Ibid , hal. 309  Ibid  10  Gunawan Widjaja, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 20

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 27: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 27/141

  12

diserahkan kepada Direksi dan Komisaris”.11

 Kemudian Direksi ( Board of Direktor ,

BoD) merupakan ”organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan

 perseroan ( fiduciary duty), mewakili perseroan baik di dalam, maupun di luar

 pengadilan berdasarkan Anggaran Dasar (intra vires)”.12

  Sedangkan Komisaris

( Board of Commisioner , BoC atau  Board of Trustee) adalah ”organ perseroan yang

 bertanggung jawab melakukan pengawasan baik secara umum maupun khusus serta

memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan”.13

 

1)  Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang

 paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan perseroan. RUPS

memiliki segala kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris

 perseroan. RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala macam keterangan

yang diperlukan yang berkaitan dengan kepentingan dan jalannya perseroan.

Kewenangan tersebut merupakan kewenangan eksklusif (exclusive

authority) yang tidak dapat diserahkan kepada organ lain yang telah

ditetapkan dalam UUPT dan Anggaran Dasar”. Wewenang eksklusif yangditetapkan dalam UUPT akan ada selama UUPT belum diubah. Sedangkan

wewenang eksklusif dalam Anggaran Dasar yang disahkan atau disetujui

Menteri Kehakiman dapat diubah melalui perubahan Anggaran Dasarsepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UUPT.

 14 

11  Umar Kasim, 2005, Tanggung Jawab Korporasi Dalam Hal Mengalami Kerugian,

Kepailitan atau Likuidasi, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VII, http://www.nakertrans.go.id

/majalah_buletin/info_hukum/vol2_v_ii_2005/Tanggung_jawab_Korporasi.php12  Ibid13  Ibid14 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 78. Lihat juga Rachmadi Usman, 2004,  Dimensi Hukum

Perusahaan Perseroan Terbatas, PT. Alumni, Bandung, hal. 129

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 28: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 28/141

  13

Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang

dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk

 berbagai maksud dan tujuan diantaranya ialah menyetujui atau menolak:

a.  Rencana perubahan Anggaran Dasar;

 b.  Rencana penjualan asset dan pemberian jaminan hutang;

c.  Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris;d.  Laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi;

e.  Pertanggungjawaban direksi;

f.  Rencana penggabungan, pelebur an dan pengambilalihan;

g.  Rencana pembubaran perseroan.15

 

2)  Direksi

Keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan.

Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin

ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi

 perseroan terbatas sangat penting.16

 

Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan

direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas, direksi merupakan badan

 pengurus perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak dan berwenang

untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di

dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas pengurusan dan

 jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan.17

 

15 Rachmadi Usman, 2004,  Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT. Alumni.

Bandung, hal. 13116 Try Widiyono, Op Cit , hal. 717 Lihat Pasal 1 angka 5  jo. Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 29: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 29/141

  14

Kemudian dari rumusan Pasal 92 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan

Terbatas dapat diketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan

 pengurusan perseroan adalah direksi. Setiap anggota direksi wajib dengan itikad

 baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha

 perseroan. “Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi

 bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan”.18

 

Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memberikan suatu ketentuan

lebih lanjut mengenai makna pengurusan perseroan oleh direksi. Fred B.G.

Tumbuan dalam “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan

RUPS Perseroan Terbatas” yang dikutip Gunawan Widjaja, mengatakan bahwa:

Kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan oleh undang-undang

kepada direksi untuk kepentingan perseroan sebagai badan hukum yang

mempunyai eksistensi sendiri selaku subjek hukum mandiri (Persona

standi in judicio). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, dir eksi perseroan terikat pada kepentingan perseroan sebagai badan hukum.

19 

“Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang

melaksanakan fungsi pengurusan perseroan”.20

  Pada prinsipnya ada 2 (dua)

fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:

1.  Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin

 perusahaan. Fungsi manajemen ini dalam hukum Jerman disebutdengan Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan

18 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 2119  Ibid, hal. 2120 Teori ini disebut dengan organ theory. Teori ini merupakan salah satua teori mengenai

kewenangan bertindak badan hukum yang paling banyak dianut dewasa ini. Ibid,  hal.2

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 30: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 30/141

  15

2.  Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam

dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan

menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengantransaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan

untuk kepentingan perseroan. Fungsi re presentasi ini dalam hukum

Jerman disebut dengan Vertretungsmacht.21

 

Keberadaan dan fungsi direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT

dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:

1)  Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat

umum pemegang saham, direksi dan komisaris.

2)  Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ perseroan

yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan

 perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili

 perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan

ketentuan anggaran dasar.

3)  Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, kepengurusan perseroan

dilakukan oleh direksi.

4)  Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi bertanggung jawab

 penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan

serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

5) 

Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi wajib

dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk

kepentingan dan usaha perseroan.

21 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 32

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 31: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 31/141

  16

Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan

 penuh,  dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh

Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan

Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam

Anggaran Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya.

Selama Direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires),

maka sudah selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara

 pribadi, walaupun Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :

a.  Seorang tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjaditanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada

dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).

 b.  Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain

untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawabtentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau

 bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk manaorang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata).

Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar

 perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari

 perbuatan Direksi tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan.

Hal inilah yang dimaksud dengan doktrin businees judgement rule.

Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan,

yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh

Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh atau sebagai tindakan

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 32: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 32/141

  17

 perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap

tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar

 perseroan.

Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan

ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang

 bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan

sebagai berikut:

a. 

 Intravires dan Ultravires

Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan,

sedangkan ultravires diartikan sebagai "bertindak melebihi

kewenangannya".22

 

Berkaitan dengan intravires dan ultravires, Fred B.G. Tumbuan

sebagaimana dikutip oleh Try Widiono menyatakan bahwa :

 Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit

tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dantujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar

kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT).  

Ultra Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada 

hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi

ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur

dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksuddan tujuannya.

23 

Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya menyatakan:

Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar

kapasitas (capaciy)  perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan

22 Try Widiono, Op Cit , hal. 4323  Ibid , hal. 43

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 33: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 33/141

  18

tujuan perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris,

suatu tindakan ultr a vires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan

 pokok perusahaan.

24

 

“Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal

demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan”.25

 Dalam hal

ini ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires

 perseroan, yaitu :

1. 

Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang

 berada di luar maksud dan tujuan perseroan.2.  Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang

diberikan kepadanya berdasarkan  ketentuan yang berlaku,

termasuk anggaran dasar perseroan.26

 

“Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu

 perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai

dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau

tidak”.27

 Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh

anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab

sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik

 pidana maupun perdata.

Sampai seberapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah

menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan sehingga dapat

24 I.G. Ray Widjaya, 2000, Hukum Perusahan, Megapoin, Jakarta, hal. 22725 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 2226  Ibid , hal. 2227 Try Widiono, Op Cit , hal. 44

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 34: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 34/141

  19

dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari

kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia usaha.

b. 

Fiduciary duty

Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena

itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan,

maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian.

“Pendelegasian wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola

 perseroan terbatas lazim disebut sebagai fiduciary duty”.28

 

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu

hubungan  fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya,

yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu

”seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of

care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya

dengan ”derajat yang tinggi” (high degree)”.29

 

Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak

atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang

diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran

dasar perseroan. “Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar

kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti

28  Ibid , hal. 829 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 49

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 35: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 35/141

  20

direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan

 perseroan”.

30

 

Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's

Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja

menyatakan bahwa:

 In applying the general equitable principle to company directors, four

separate rules have emerged. These are:

(1) 

That directors must act in good faith in what they believe to be thebest interest of the company;

(2) 

That they must not exercise the powers conferred upon them for

 purposes different from those for which they were conferred;

(3) 

That they must not fetter their discretion as to how they shall act;

(4) 

That, without the informed consent of the company, they must not

 place themselves in a position in which their personal interests or

duties to other persons are liable to conflict with their duties.31

 

Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam

menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:

a)  Bertindak dengan itikad baik;

 b)  Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan

kepentingan dari pemegang saham semata-mata;c)  Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai

dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan

tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksitidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit

ruang lingkup geraknya sendiri;

d)  Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan

 benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengankepentingan direksi.

32 

30 Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 2331  Ibid , hal. 2332  Ibid , hal 23-24

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 36: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 36/141

  21

Menurut Gunawan Widjaja bahwa “Pada dasarnya direksi merupakan

organ "kepercayaan" perseroan yang akan bertindak mewakili perseroan

dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan dan

kepentingan perseroan”.33

 Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut,

ada 2 (dua) hal yang dapat dikemukakan yaitu:

a)  Direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good faith);

 b)  Direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan

kepentingannya (duty of care and skill).34

 

Selanjutnya Gunawan Widjaja menjelaskan bahwa :

Tugas dan tanggung jawab direksi tersebut di atas merupakan tugas dantanggung jawab direksi sebagai suatu organ yang merupakan tanggung

 jawab kolegial sesama anggota direksi terhadap perseroan. Direksi tidak

secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan. Ini berartisetiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih

anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya. Namun ini tidak

 berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di antara anggota

direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.

35 

Dengan demikian,  fiduciary duty   dari direksi perseroan dimaksudkan

adalah :

Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di

mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great

trust ) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith), loyalitas yang tinggi (high

degree of loyalty), kejujuran yang tinggi (high degree of honesty), serta

33  Ibid , hal. 2434  Ibid, hal. 24-2535  Ibid , hal. 25

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 37: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 37/141

  22

kepedulian dan kemampuan yang tinggi (high degree of car e and skill)

dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut”.36

 

Jadi, dengan  fiduciary duty  ini, di pihak direksi dia harus mempunyai

itikad baik yang tinggi dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan

tugasnya, sementara di pihak perusahaan harus mempunyai kepercayaan

yang besar kepada direksinya.

Dengan demikian, apabila misalnya direksi hanya menjalankan

tugasnya dengan penuh kehatian-hatian, atau itikad baik, atau loyalitas saja

(tidak dalam keadaan lalai atau negligence), belumlah sampai dikatakan

 bahwa dia telah menjalankan  fiduciary duty. ”Untuk sampai dikatakan

 bahwa dia sudah menjalankan  fiduciary duty, maka kepedulian dan

kemampuan (duty of care and skill), atau itikad baik, atau loyalitas tersebut

haruslah dengan "derajat yang tinggi" (high degree)”.37

 

Dengan demikian, seorang direksi sungguhpun sudah cukup hati-hati

(dalam arti tidak lalai atau negligence) dalam menjalankan tugasnya, masih

 belum cukup kuat untuk dikatakan bahwa dia terbebas dari tanggung jawab

hukum seandainya dengan tindakan-tindakannya tersebut ada pihak yang

dirugikan. Sebaliknya, manakala seorang direktur suatu perseroan tidak

menjalankan tugasnya secara cukup hati-hati (due care) terhadap

 perusahaannya, maka dia sudah dapat dimintakan tanggung jawabnya

secara hukum, meskipun menurut teori  fiduciary duty , batas tanggung

36 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 5137  Ibid , hal. 51

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 38: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 38/141

  23

 jawab hukum lebih dari sekadar menjalankan tugas dengan kehati-hatian

saja. Dengan kata lain, hati-hati saja secara hukum masih belum cukup.

c.  Tugas mempedulikan (duty of care)

Tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan dari direksi adalah

duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan

hukum (onrechtmatige daad), dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat

secara hati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian (negligence) yang

merugikan pihak lain.38

 

Menurut Pasal 97 ayat (1) UUPT, direksi bertanggungjawab penuh atas

 pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Dalam

ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa “Direksi menjalankan

 pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud

dan tujuan perseroan”. Sejalan dengan ketentuan Pasal 97 UUPT, oleh Pasal

97 ayat (2) UUPT ditentukan bahwa “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan

 penuh tanggung jawab”. Dengan kata lain, “tugas dan kewajiban direksi yang

ditentukan dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT, yaitu melakukan kepengurusan

 perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

 perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung

 jawab”.39

 

38  Ibid39 Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 425

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 39: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 39/141

  24

Berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT, terdapat 2 (dua)

unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direksi perseroan dalam

menjalankan tugas kepengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 92 ayat (1) UUPT yaitu :

a.  Kepentingan dan tujuan/usaha perseroan;

 b.  Itikad baik dan penuh tanggung jawab.

“Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif,

artinya harus dipenuhi kedua-duanya”.40

 

Apa yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tersebut,

dalam UUPT baik dari pasal-pasalnya maupun penjelasannya tidak

memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud atau kandungan dari konsep

itikad baik dan penuh tanggung jawab itu. Namun di Negara-negara yang

menganut common law system acuan yang digunakan adalah standard of care 

atau standar kehati-hatian. “Apabila direksi telah bersikap dan bertindak

melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah melanggar

duty of care-nya”.41

 

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 92 UUPT, direksi tidak boleh

melakukan kegiatan yang sekalipun dilakukan demi kepentingan perseraon

tetapi tidak sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana ditentukan dalam

Anggaran Dasar perseroan. Misalnya suatu perseroan yang dalam Anggaran

40  Ibid  41  Ibid , 426-427

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 40: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 40/141

  25

Dasarnya ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan real estate  tetapi

ternyata direksi melakukan kegiatan bisnis ekspor. Sekalipun kegiatan ekspor

yang dilakukan direksi sangat meguntungkan perseroan, tetapi tetap direksi

melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Sebaliknya, sekalipun direksi melakukan

kegiatan di bidang real estate  sesuai tujuan perseroan sebagaimana ditentukan

dalam Anggaran Dasar perseroan, tetapi apabila kegiatan tersebut adalah untuk

keuntungan perusahaan lain, misalnya perusahaan dimana direksi memiliki

kepentingan sebagai salah satu pemegang saham perseroan tersebut, maka

direksi juga dianggap melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Dengan kata lain,

ketentuan Pasal 92 UUPT mewajibkan direksi melakukan kegiatan

kepengurusan perseroan bukan saja kegiatan yang sejalan dengan kepentingan

 perseroan, tetapi juga harus sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana

ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Dari ketentuan Pasal 92 UUPT itu pula

dapat diketahui bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan

tugasnya itu.

Beberapa prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care  dari direksi

adalah sebagai berikut:

a.  Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap direksi berlaku

standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut:a)  Selalu beritikad baik.

Contoh dari perbuatan-perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik itu adalah :

1.  Perseroan membeli barang atau properti dari pihak lain dengan

harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 41: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 41/141

  26

2.  Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain

dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya.

Sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi daritransaksi itu, atau

3.  Apabila direksi dari suatu lembaga kredit, seperti misalnya

 bank atau perusahaan pembiayaan (multi finance company),telah memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak

melakukan analisis yang baik sesuai dengan ketentuan

 perundang-undangan yang berlaku dimana sekalipun

 permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak ( fesible), tetapidireksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut

memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh

nasabah dan ternyata kemudian kredit menjadi macet yang

sangat merugikan bank atau lembaga pembaiayaan itu.4.  Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula

memperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka

memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianyadilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan yang

dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan

lain dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyaikepentingan.

 b)  Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang

dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent

 person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang

dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.

c)  Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis(reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best

interest) dari perseroan.

 b.  Secara hukum, seorang direktur perseroan tidak akan bertanggung jawab semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan (mere errors

of judgement ). Bahkan, asalkan dia beritikad baik dan cukup berhati-

hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada direksi,

sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurangkomprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatuhonest mistake yang dilakukan oleh direksi masih dapat ditoleransi oleh

hukum. Bahkan, hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap keputusan direksi. Hal ini

sesuai pula dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam "teori

keputusan bisnis" (business judgement rule).

c.  Secara hukum, seorang direktur tidak diharapkan tingkat keahlian(degree of skill) kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 42: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 42/141

  27

wajar dari orang yang sama pengetahuan dan sama pengalaman

dengannya, atau yang dalam bahasa hukum populer dengan istilah

degree of skill that may reasonably be expected from a person of hisknowledge and experience.

d.  Terhadap tugas-tugas direksi yang dapat didelegasikan kepada

 bawahannya, maka berlaku asumsi hukum bahwa pihak bawahan telahmelakukan tugasnya secara jujur (kecuali ada kecurigaan sebaliknya).

e.  Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala dia gagal

dalam mengarahkan ( failure to direct ) bawahannya dan jalannya

 perusahaan.

f.  Direksi akan bertanggungjawab secara hukum manakala dia

mengetahui, membantu atau ikut melakukan tindakan yang

 bertentangan dengan hukum, sungguhpun hal tersebut semata-mata

untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya.42 

Dalam teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari

direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:

a)  Syarat prosedural

Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari

suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh

 perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Disamping itu, direksi juga harus selalu mendapatkan informasi yang

lengkap (well informed) terhadap perseroannya.

 b)  Syarat substantif

Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care)

terhadap seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil

keputusan perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak

 berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar

optimal. Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) darikeputusan tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi

yang ada, yang oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di

luar tindakan direksi yang dibenarkan oleh hukum.43

 

42 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 50-5143  Ibid , hal. 49-50

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 43: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 43/141

  28

d. 

 Business Judgment Rule

Selain doktrin duty of care, terdapat juga doktrin lain yang disebut  Business

 Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat beberapa ahli hukum

dianggap) telah memberikan kelegaan karena “duty of care  telah menimbulkan

kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota direksi perseroan”.44

 

Untuk mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepada direksi,

 berdasarkan prinsip  fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan yang

menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan, direksi

tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar

kemampuan maksimal direksi. Oleh karena itu, “untuk melindungi

ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka

direksi dilindungi oleh doctrine business judgements rule”.45

 

Menurut Try Widiono :

Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan

segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin

selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah

kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroantidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil

keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur

manusiawinya. Doctrine business judgements rule memberikan perlindungankepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh

suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.46

 

44 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 3745 Try Widiono, Op Cit , hal. 4646  Ibid, hal. 46-47 

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 44: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 44/141

  29

“Konsep  Business Judgment Rule  mencegah pengadilan-pengadilan

mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh direksi yang diambil dengan

itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat

dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang

menguntungkan perseroan”.47

 

Sutan Remi dalam makalahnya yang berjudul "Tanggung Jawab Pribadi

Direksi dan Komisaris" menyatakan bahwa :

Menurut business judgment rule,  pertimbangan bisnis (business

 judgment) para anggota direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atauditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota direksi

tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena

telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) olehanggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru,

kecuali dalam hal-hal tertentu.  Business judgment rule adalah "a

 presumption that in making a business decision, the directors of

corporation acted on an informed basis in good faith and in a honest

belief that the action was taken in the best interest of the company.

Bentuk perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak

dilindungi oleh business judgment rule sangat penting diketahui olehmasyarakat dan hakim.

48 

Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment)

seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila

 pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud),

menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan

 perbuatan yang melanggar hukum (illegality).49  Sementara itu, beberapa

47 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 3748 Sutan Remi Sjahdeni, 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”.  Jurnal

Hukum Bisnis, Volume 14, Juli, hal. 10149  Ibid, hal. 101

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 45: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 45/141

  30

 pengadilan yang lain berpendapat bahwa “seorang direktur yang dalam

mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak

dilindungi oleh business judgment rule,  jika kerugian tersebut merupakan

akibat kelalaian berat (gross  negligence)  anggota direksi yang

 bersangkutan”.50

 

Perlindungan business judgment rule dikatakan tidak berlaku bagi

anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh

direksi diketahui bahwa direksi tersebut telah berupaya mengedepankan

kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat

transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian,

“ judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai

"discretionary exercises of power on behalf of the corporation" yang

merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan

kepentingan (conflict of interest)”.51

 

Dengan demikian, dengan diberlakukannya prinsip  Business Judgment

 Rule , terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga

 bahwa direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik

untuk keuntungan perseroan, wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.

3)  Komisaris

50  Ibid, hal 101-10251 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 40

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 46: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 46/141

  31

“Organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan

atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan

 perseroan adalah komisaris”.52

  Keberadaan komisaris dalam suatu perseroan

menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat dengan

KUHD) bukanlah suatu keharusan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 44 ayat

(1) KUHD. Sebaliknya keberadaan komisaris dalam UUPT dinyatakan dengan

tegas sebagai salah satu organ perseroan yang bertugas untuk melakukan

 pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada

direksi dalam menjalankan perseroan.53

  Dengan demikian ”komisaris berfungsi

sebagai pengawas dan penasehat direksi, sehingga keberadaannya merupakan

suatu keharusan”.54

 

Walaupun tanggung jawab Direksi demikian besar sebagai pemegang

 prokurasi ( procuratie houder ) dari RUPS dan harus bekerja secara profesional

(selaku duty of  skill and care), bukan berarti bahwa Komisaris tidak mempunyai

tanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadi

kerugian atas perseroan, karena selain Komisaris bertugas mengawasi

kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat

kepada Direksi, juga apabila dalam anggaran dasar telah ditetapkan pemberian

kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada

Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, maka

52 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 25353 Lihat Pasal 108 ayat (1) UUPT54 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 193

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 47: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 47/141

  32

dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris tersebut,

Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang

dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.

1.2 Doktrin Piercing The Corporate Veil  

Pada dasarnya pertanggungjawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris

dalam perseroan berbadan hukum adalah terbatas. Namun pertanggungjawaban

tersebut tidak berlaku mutlak. “Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum

dijadikan sebagai vihicle  untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma

hukum”.55

  Oleh karena itu, timbul suatu prinsip yaitu  piercing the corproate veil,

yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang

saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas.

Doktrin  piercing the corporate veil  tidak diatur dalam kitab Undang-undang

Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD), tetapi diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan

 bahwa “sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya

terbatas pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas

tanggung jawab tersebut dapat ditembus ( piercing)”.56

  “Prinsip  piercing the

corporate veil  ini hanya dikenal dan berkembang dalam konsep hukum perseroan

55 Try Widiyono, Op Cit , hal. 3056  Munir Fuady I , Op Cit . 61

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 48: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 48/141

  33

negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System,

yang kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum perseroan Indonesia”.

57

 

Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab dari pemegang saham dikenal

dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam Bahasa Indonesia selalu

diartikan “menyingkap tabir atau cadar perseroan”.58

 Tabir atau cadar yang disingkap

dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham

yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.

Dalam Black’s Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan

sebagai berikut:

Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual

immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g.

when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine

which holds that the corporate structure with its attended limited liability of

stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however,

may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or

the remedying of injustice.Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau

 pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktifitas perusahaan: misalnyaketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang

ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab

terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang

saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalammasalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan

 pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi

hukuman.59

 

57 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 15258  Ningrum N. Sirait, 2006,  Modul Hukum Perusahaan, Program Studi Magister Ilmu

Hukum, USU, Medan, hal. 6859 Henry Campbell Black, 1990, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, St Paul, Minn

West Publising Co, hal. 1033, dalam Ningrum N. Sirait, Ibid , hal. 68, lihat juga Chatamarrasjid Ais,

Op Cit , hal. 8, lihat jugaTri Widiyono, Op Cit , hal. 31

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 49: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 49/141

  34

  Secara harfiah istilah  piercing the corporate veil  diartikan “mengoyak/

menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.

60

  Sedangkan dalam ilmu hukum

 perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan:

Suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk

membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas

 perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan

hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnyadilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.

61 

Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari

 perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers”

dan “managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab

terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka.

Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah

mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil).

“Biasanya teori  piercing the corporate veil  ini muncul dan diterapkan ketika ada

kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut”.62

 

Doktrin  piercing the corporate veil  ini bertujuan untuk menghindari hal-hal

yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang

atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu

transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau

 perbuatan melawan hukum.

60 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 861  Ibid  62  Ibid  

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 50: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 50/141

  35

Beberapa contoh fakta yang secara universal teori  piercing the corporate veil 

ini dapat diterapkan antara lain sebagai berikut:

1.  Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil).

2.  Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.3.  Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.

4.  Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan

 badan hukum perseroan.5.  Terjadi transfer modal/asset kepada pemegang saham.

6.  Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak

dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.

7.  Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan.

8. 

Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi.

9.  Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping.Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan dengan

dana milik pribadi pemegang saham.

10. Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawabyang lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban

kebakaran, pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang

terpisah-pisah untuk setiap taxi yang dimilikinya.11. Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-

olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan asset yang

 banyak, mengingat pemegang sahamnya memang memiliki asset yang

 besar.12. Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar, kecenderungannya

untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan

tunggal.

13. Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego  (kadang-kadang disebutsebagai instrumentally, dummy  atau agent ) dari pemegang saham yang

 bersangkutan.

14. Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum(openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan

hal-hal yang tidak pantas (improper conduct ).

15. 

Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi kriminal(quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana

untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.63

 

63  Ibid , hal. 9-10

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 51: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 51/141

  36

Kriteria dasar dan universal agar suatu  piercing the corporate veil  secara

hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:

1.  terjadinya penipuan;

2.  didapatkan suatu ketidakadilan;

3.  terjadinya suatu penindasan (oppression);

4.  tidak memenuhi unsur hukum (illegality);

5.  dominasi pemegang saham yang berlebihan;

6.   perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.64

 

1.3  Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil  oleh Pengadilan

Hal yang mendasar dalam hukum perusahaan adalah bahwa pengadilan

memperlakukan sebuah korporasi sebagai sebuah lembaga yang sah, terpisah dan

 pemegang saham yang nyata/jelas. Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban pemegang

saham umumnya terbatas kepada sejumlah uang yang diinfestasikan dalam dunia

usaha (perusahaan). Penyekatan dari pemegang saham, dikenal sebagai

“pertanggungjawaban terbatas”, adalah salah satu dari alasan utama untuk bergabung

dalam sebuah perusahaan. Tentu saja, pemegang saham mendapatkan keuntungan

dari peraturan pertanggungjawaban terbatas, bahkan jika tujuan satu-satunya dari

 penggabungan adalah untuk menghindari pertanggungjawaban. Lebih jauh lagi, hal

ini adalah” pendirian sebuah korporasi yang pantas untuk mendapatkan satu-satunya

asset yang berharga untuk korporasi dan kelanjutan bisnis”.65

 

64  Ibid , hal. 1065 Peter A. Antonucci, “Piercing The Corporate Veil”, http://www.proquest.com, diakses 24

September 2007

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 52: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 52/141

  37

Dalam hukum perusahaan, tanggung jawab pemegang saham biasanya hanya

sebatas pembayaran saham yang dikeluarkan oleh pemegang saham. Karena alasan

itulah maka kewajiban perseroan/perusahaan untuk memegang saham terbatas

tersebut, dan modal saham tidak dibayar. Sejak itulah korporasi yang dipimpin oleh

orang lain, mengatur hukum bahwa individu-individu (para pemegang saham) tidak

akan dikenakan tanggung jawab dalam perseroan/perusahaan, maupun kewajiban

dalam pembayaran hutang perusahaan yang diakibatkan oleh perusahaan/perseroan

 bahkan jika mereka memutuskan bahwa hal itu tidak sah, setidaknya begitulah sistem

 peradilan yang sah yang telah dipertimbangkan dalam mengatasi masalah ini sampai

 pada hari ini, dan juga pendapat pengadilan juga membuktikan bahwa terjadi

 pemisahan keberadaan antara perusahaan dan pemegang saham.66

 

Umumnya, “kendali berlebihan” tidak dibenarkan pada suatu perusahaan.

Dalam banyak kasus, juga sudah digugat bahwa hal itu “pada dasarnya tidak wajar”

untuk menembus selubung perseroan/perusahaan tanpa peraturan atau dengan maksud

tertentu. Untuk membuat peraturan tersebut, pengadilan sudah menguji beberapa

faktor untuk menentukan apakah hal tersebut akan tidak sah pada dasarnya untuk

mengijinkan para pemegang saham menikmati keterbatasan tanggung jawab dalam

 perusahaan/perseroan secara terpisah. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. 

Pada saat apakah, perusahaan/perseroan atau korporasi yang barumenerima keuntungan yang cukup, berdasarkan pada resiko yang dapat

diduga, hutang usaha dan tanggung jawab ?

66  Romelio Hernandez, Merigo, Hurtado S.C, Piercing The Corporate Veil in Mexico,

http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 53: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 53/141

  38

 b.  Apakah pemegang saham turut campur pada asset-asset usaha yang

 berharga ?

c. 

Apakah campur tangan pemegang saham masuk dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan sedikit atau banyak

 pertimbangan, yaitu dimana jika, perusahaan membayar dalam jumlah

yang lebih banyak kepada pemegang saham atau pemegang sahammenerima lebih sedikit dari laba yang dihasilkan oleh perusahaan ?

d.  Apakah pemegang saham terlibat dalam aktivitas yang melanggar

hukum atau undang-undang (penipuan), dan apakah perusahaan/ perseroan terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh pemegang

saham ?

e.  Apakah pemegang saham wajib meminta penjelasan hak perwakilan

kepada kreditor, seperti apakah masalah dagang telah dijamin oleh

lembaga perusahaan dalam jumlah kecil atau besar ?f.  Apakah pemegang saham ikut campur tangan secara jelas dalam

kontroversi perusahaan dengan pihak kreditor?g.  Apakah pemegang saham bertanggung jawab melindungi kejahatan yang

dilakukan oleh perusahaan ?

h.  Apakah pemegang saham memperoleh hasil dari kegiatan monopoli?i.  Apakah pemegang saham dapat terhindar dari hutang perusahaan secara

sah (legal)?67

 

Perusahaan harus menyadari faktor-faktor yang menjadi pertimbangan

 pengadilan dalam hal penentuan apapun untuk menembus penyelubungan korporasi,

dan kemudian perusahaan harus melakukan pengamatan melalui pemegang saham

mereka supaya dapat terhindar dari perangkap yang akan menunjuk para pemegang

kepada penembusan penyelubungan korporasi terutama dalam konteks

 pertanggungjawaban kasus-kasus produksi.

Di negara-negara Common Law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat,

 banyak pengadilan yang menerapkan teori Piercing the Corporate Veil  untuk

 perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan

67  Ibid

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 54: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 54/141

  39

“agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian

 juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen”

 perusahaan holding-nya.68

 

Kasus Smith, Stone & Knight v. Birmingham yang diputuskan dalam tahun

1939 di Inggris, memberikan beberapa kriteria yuridis agar secara hukum dapat

dianggap bahwa anak perusahaan merupakan agen dari perusahaan holding, sehingga

teori  piercing the corporate veil  dapat diterapkan kepada perusahaan holding.

Kriteria-kriteria tersebut adalah :

a.  Apakah keuntungan diberlakukan sebagai keuntungan dari perusahaanholding;

 b.  Apakah proses pelaksanaan dikendalikan oleh perusahaan holding;c.  Apakah perusahaan holding  merupakan ”kepala dan otak” (head and

brain) dari bisnis anak perusahaan;

d.  Apakah perusahaan holding mengatur ”the adventure”;e.  Apakah keuntungan dibuat dengan keahlian dan pengarahan dari

 perusahaan holding;

f.  Apakah per usahaan holding  selalu mengontrol dan mempengaruhi anak

 perusahaan.69

 

2.  Kerangka Konsepsional

Penelitian ini mengambil judul “Penerapan  Doktrin Piercing The Corporate

Veil  pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank

Perkembangan Asia)”. Pengertian dari judul penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. 

Penerapan yaitu pemasang; pengenaan perihal mempraktekkan.70 

68 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 1669  Ibid70 Dani K, 2002, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Putra Harsa, Surabaya, hal. 599

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 55: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 55/141

  40

 b.  Doktrin Piercing The Corporate Veil yaitu doktrin menyingkap tabir atau cadar

 perseroan, yaitu diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham

sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

c.  Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,

didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan

dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.71

 

G.  Metode Penelitian

1.  Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu “penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder atau

disebut juga penelitian kepustakaan”.72

  Dalam melakukan penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau disebut juga dengan

 penelitian hukum doktrinal. “Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud

untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi

 peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai

teori”.73

 

71 Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas72  Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif , PT. Radja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 1073  Ronny Hanitijo Soemitro, 1990,  Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal. 11

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 56: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 56/141

  41

Dalam penelitian ini, penelitian hukum dipergunakan untuk menemukan

 peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penerapan doktrin  piercing the

corporate veil pada suatu perseroan terbatas sehingga hakim dalam menangani kasus

 perjanjian kredit tersebut dapat memintakan pertanggungjawaban persero dan

menembus/mengoyak pertanggungjawaban terbatas para persero yang biasanya

sangat sulit ditembus.

2.  Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan bahan studi kepustakaan (library research),

data-data dalam penelitian ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-

 buku, makalah dan dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan. Data-data

dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh

melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dengan mempelajari:

a. 

Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi, dokumen, dan lain-lain yang berhubungan dengan doktrin piercing

the corporate veil. 

 b.  Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi penjelasan terhadap bahan-bahan

hukum primer, ulasan hukum dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti.

3.  Metode Pengumpulan Data

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 57: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 57/141

  42

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi

kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan

 penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum

 primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah

hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan

 perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan

 penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau

karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

Sedangkan bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4.  Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah

diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi

sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari

seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir

dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

H.  Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

 Bab I   adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya

 penelitian ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu dalam hal yang bagaimanakah

doktrin  piercing the corporate veil  dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas;

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 58: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 58/141

  43

 bagaimana penerapan doktrin  piercing the corporate veil  dalam UUPT; dan

 bagaimana analisis atas penerapan doktrin  piercing the corporate veil  pada kasus

antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal. Selanjutnya diikuti

dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian. Kemudian diikuti

dengan kerangka teori dan konsepsional yang terdiri dari orgran-organ perseroan

terbatas, doktrin piercing the corporate veil, penerapan doktrin piercing the corporate

veil  di pengadilan. Selanjutnya yang terakhir dari bab ini adalah metode penelitian

yang terdiri dari spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data, alat

 pengumpulan data dan analisis data.

 Bab II  memberikan penjelasan penerapan doktrin  piercing the corporate veil 

 pada suatu perseroan terbatas, yang terdiri dari pertanggungjawaban terbatas

 pengurus perseroan, tanggung jawab dan kewenangan direksi dan penerapan doktrin

 piercing the corporate veil pada perusahaan terbatas.

 BAB III   memberikan penjelasan tentang penerapan doktrin  piercing the

corporate veil dalam undang-undang perseroan terbatas.

 Bab IV   memberikan penjelasan tentang analisis atas penerapan doktrin

 piercing the corporate veil pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT.

Djaya tunggal, yang terdiri dari posisi kasus dan analisis penerapan doktrin  piercing

the corporate veil.

 Bab V  merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini yang terdiri

dari kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang merupakan topik

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 59: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 59/141

  44

 pembahasan dalam penelitian ini, dan saran yang merupakan sumbang saran penulis

atas penelitian ini.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 60: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 60/141

BAB II

PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS

A.  Pertanggungjawaban Terbatas Pengurus Perseroan

Suatu perseroan berbeda dengan suatu persekutuan yang bukan merupakan

suatu legal entity  dan tidak terpisah dari para sekutu yang menjadi anggota

 persekutuan itu. Perseroan adalah legal entity  yang berbeda dan terpisah dari

 pemegang saham perseroan tersebut. Sebagai suatu legal entity  yang terpisah dari

 pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak

sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas

namanya sendiri. ”Para pemegang saham bukan merupakan pihak dari perjanjian

yang dibuat oleh perseroan dengan pihak lain. Oleh karena itu pemegang saham juga

tidak berhak memaksa pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya yang ditentukan

dalam perjanjian itu”.74

 

Dengan demikian, antara para pemegang saham dan perseroan merupakan

 pihak yang terpisah. Para pemegang saham tidak dapat dituntut untuk melunasi

hutang-hutang perseroan, walaupun dirinya adalah pemiliknya. Sebab sebelumnya

 para pemegang saham sudah mengadakan perjanjian yang isinya bahwa masing-

masing pihak telah memisahkan atau melepaskan sebagian harta kekayaan milik

74 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 147-148

45

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 61: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 61/141

  46

 pribadinya dari harta kekayaan perseroan yang dipisahkan dari harta kekayaan milik

 pribadinya. Dengan dipisahkannya harta kekayaan milik pribadi para pemegang

saham dan harta milik perseroan, maka tanggung jawab para pemegang saham hanya

sebatas pada harta kekayaan milik pribadinya yang dimasukkan pada perseroan.

Dengan kata lain, para pemegang saham tidak berkewajiban untuk melunasi hutang-

hutang perseroan jika hasil penjualan harta kekayaan perseroan masih belum

mencukupi. Demikian pula pihak ketiga tidak dapat menuntut para pemegang saham

untuk memenuhi kewajiban perseroan seandainya harta kekayaan perseroan tidak

mencukupi.

Pada suatu badan hukum dikenal doktrin keterbatasan tanggung jawab.

Artinya secara prinsip ”setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu badan

hukum, hanya badan hukum sendiri yang bertanggungjawab. Para pemegang saham

tidak bertanggungjawab kecuali sebatas saham yang dimasukkannya”.75

  Hal ini

 berarti harta kekayaan pribadi para pemegang saham tidak ikut

dipertanggungajawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh badan

hukum yang bersangkutan. Dengan demikian para pemegang saham tidak

 bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum

dan juga tidak bertanggungjawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham

yang telah dimasukkannya. Prinsip ini dinamakan dengan ”the doctrine of separate

75  Ibid , hal. 149

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 62: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 62/141

  47

legal personality of a company  atau the principle of the company’s separate legal

 personality, yang disingkat dengan doctrine of separate corporate personality”.

76

 

Persoalan tanggung jawab terbatas pemegang saham ini, pada awalnya

memunculkan kontroversi. Sebagian ahli hukum dan para praktisi bisnis berpendapat

 bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham ini bersifat

mutlak/absolut. Artinya dalam segala keadaan pemegang saham hanya

 bertanggungjawab sebatas jumlah saham yang telah diambilnya. Sebagian ahli hukum

dan praktisi bisnis berpendapat bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para

 pemegang saham sifatnya tidak absolut/mutlak. Artinya dalam keadaan-keadaan

tertentu para pemegang saham dimungkinkan bertanggungjawab secara pribadi atas

 perikatan atau kerugian yang dialami perseroan. Hal ini berdasarkan pada

 pertimbangan bahwa jika pertanggungjawaban terbatas tersebut bersifat absolut,

maka perseroan terbatas sebenarnya merupakan kedok usaha yang dipakai pemegang

saham untuk menghindari resiko kerugian yang timbul sebagai akibat keterlibatannya

dalam perseroan.

Secara hukum, tanggung jawab dari sebuah perusahaan dapat dibedakan

sebagai berikut:

1.  Tanggung jawab hukum dari suatu perseroan yang tidak berbentuk badan

hukum.

76  Ibid  

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 63: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 63/141

  48

“Apabila suatu perusahaan tidak berbentuk badan hukum, misalnya

 perusahaan dalam bentuk firma, usaha dagang biasa (sole  proprietorship) ,

maka tidak ada harta yang terpisah yang merupakan harta perseroan tersebut .

Akan tetapi yang ada hanyalah harta dari pemilik perusahaannya”.77

 Karena

itu, secara hukum, tanggung jawab hukumnya juga tidak terpisah antara

tanggung jawab perseroan dengan tanggung jawab pribadi pemilik perusahaan.

Dengan demikian, jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh atau atas

nama perseroan (yang bukan badan hukum), dan terjadi kerugian bagi pihak

ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik perusahaan untuk

 bertanggungjawab secara hukum, termasuk meminta agar harta benda pribadi

dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang. Hal ini merupakan konsekuensi

dari ketentuan hukum yang menyatakan bahwa seluruh harta benda seseorang

menjadi tanggungan bagi hutang-hutangnya sebagaimana diatur dalam Pasal

1131 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2.  Tanggung jawab hukum dari suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum.

Bagi perseroan yang berbentuk badan hukum seperti perseroan terbatas,

koperasi, dan lain-lain, maka “secara hukum pada prinsipnya harta bendanya

terpisah dari harta benda pendirinya pemiliknya. Karena itu, tanggung jawab

secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan

77 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 2

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 64: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 64/141

  49

yang berbentuk badan hukum tersebut”.78

  Jadi, misalnya suatu perseroan

terbatas melakukan suatu perbuatan dengan pihak lain, yang

 bertanggungjawab adalah perseroan tersebut dan tanggung jawabnya sebatas

harta benda yang dimiliki oleh perseroan tersebut. Harta benda pribadi pemilik

 perseroan/pemegang sahamnya tidak dapat disita atau digugat untuk

dibebankan tanggung jawab perseroan tersebut. Ini adalah prinsip yang

 berlaku umum dalam keadaan normal.

Pengakuan prinsip keterpisahan tanggung jawab antara perusahaan selaku

 badan hukum dengan pemegang saham sebagai pribadi sudah merupakan hal yang

 berlaku umum dalam sistem hukum manapun. Dalam sistem hukum Indonesia hal

tersebut diakui secara tegas oleh Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut

”Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan

yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian

 perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya”.

Ketentuan tentang keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan

dengan pribadi pemegang saham tersebut mempertegas ciri dari suatu perseroan

terbatas bahwa pemegang saham hanya bertanggungjawab sebesar nilai saham

yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Namun dalam hal-

hal tertentu, hukumpun terkadang tidak memegang teguh pada prinsip

78  Ibid , hal. 2-3

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 65: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 65/141

  50

keterpisahan tanggung jawab antara badan hukum dengan pihak- pihak lain

tersebut. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT bahwa dalam hal-

hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan

terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud adalah:

a.  Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidakterpenuhi;

 b.  Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk

kepentingan pribadi;

c. 

Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawanhukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d.  Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan,

yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk

melunasi utang perseroan.

Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang

dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi percampuran

harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan sehingga

 perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham

untuk memenuhi tujuan pribadinya, sebagaimana disebutkan dalam huruf d.79

 

Berlakunya doktrin separate corporate personality  yang menegaskan

 bahwa antara perseroan sebagai legal entity  dan para pemegang saham dari

 perseroan itu terdapat suatu ”tabir” (veil) pemisah yang dalam hukum perusahaan

”tabir” tersebut disebut dengan corporate veil. Dalam teori hukum perseroan,

dalam keadaan tertentu tabir tersebut dapat disingkap oleh hakim. Artinya apabila

79 Penjelasan umum atas Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 66: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 66/141

  51

terjadi atau terdapat keadaan yang dimaksud, hakim dapat memutuskan agar

 pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi sampai kepada harta

 pribadinya kepada kreditor perseroan yang dirugikan oleh perbuatan hukum yang

dilakukan oleh perseroan.

Penyingkapan corporate veil itu disebut dengan piercing the corporate veil 

atau lifting the corporate veil. Artinya dalam hal-hal tertentu keterbatasan

tanggung jawab pemegang saham itu tidak berlaku.

B.  Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi

Pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis

 penghasilannya ditetapkan oleh RUPS. Namun dalam Anggaran Dasar dapat

ditetapkan bahwa wewenang RUPS dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS.

1.  Tanggung jawab direksi

Menurut Munir Fuady :

Pada prinsipnya, direksi bertanggungjawab secara pribadi tidak hanya

terhadap tindakannya yang dilakukannya dalam kapasitasnya sebagai

 pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yangdilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan. Bahkan

dalam kedudukannya sebagai direktur, dalam hal-hal tertentu, direksi

 bertanggungjawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri,melainkan juga atas tindakan direktur lainnya, atau bahkan sampai batas-

 batas tertentu direksi bertanggungjawab juga atas tindakan orang lain yang

 bukan direktur yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan.80

 

80 Munir Fuady, Op cit , hal. 73

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 67: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 67/141

  52

Selanjutnya Munir Fuadi mengatakan “Apabila oleh direksi dilakukan

secara sah perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai direksi perusahaan

tersebut, dalam artian bukan dalam kapasitasnya selaku pribadi, maka dalam hal

yang demikian direksi tersebut telah melakukan tindakan untuk dan atas nama

 perusahaan. Sehingga, tindakan yang demikian telah merupakan tindakan

 perusahaan”.81

 

Pada prinsipnya, setiap konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan, baik

atau buruk, akan dipikul sendiri oleh perseroan tersebut. Namun demikian,

undang-undang mengenal juga beberapa pengecualian. Walaupun tindakan

tersebut merupakan tindakan perseroan, akan tetapi terdapat kemungkinan bukan

 perusahaan yang bertanggungjawab, tetapi pihak lainnya. Misalnya direktur secara

 pribadi ataupun secara renteng.

Tanggung jawab direksi dapat dibedakan dalam :

1)  Tanggung jawab internal, yang meliputi tugas dan tanggung jawab direksi

terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan; dan2)  Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung

 jawab direksi kepada pihak ketiga yang  berhubungan hukum langsung

maupun tidak langsung dengan perseroan.82

 

a.  Tanggung jawab direksi dalam Perseroan Terbatas

Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk

kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun

81  Ibid82 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 112

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 68: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 68/141

  53

di luar pengadilan. Jadi “selain bertanggungjawab penuh atas pengurusan, direksi

 juga bertindak mewakili perseroan ( persona standi in judicio). Dalam

menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota

direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab ( full

responsibility)”.83

  Namun apabila tidak demikian, maka setiap anggota direksi

 bertanggungjawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau

lalai dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan

kepadanya.

 b.  Tanggung jawab direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan

Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan

 pemegang saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan

hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT. Setiap kesalahan

atau kelalaian anggota direksi dalam melaksanakan kewajibannya terhadap

 perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak kepada pemegang

saham untuk:

1)  Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlahsepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk

dan atas nama prseroan terhadap direksi perseroan, yang atas

kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action);

2)  Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas

nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atassetiap keputusan atau tindakan direksi perseroan yang merugikan

 pemegang saham.84

 

83 I.G. Rai Widjaya, Op cit , hal. 21584 Gunawan Widjaja, Op cit , hal. 70

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 69: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 69/141

  54

c.  Tanggungjawab kepada pihak ketiga

Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud

dalam kewajiban direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap

 pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat

mempengaruhi kekayaan perseroan.

Kewajiban-kewajiban itu adalah:

1)  Dalam hal perseroan ingin mengadakan pengurangan atas modal

dasar, modal dikeluarkan, ataupun modal disetor dari perseroan;2)  Dalam hal perseroan bermaksud untuk melakukan penggabungan,

 peleburan dan pengambilalihan;3)  Dan bagi :

(a) Perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengerahan

dana masyarakat;(b) Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang;

(c) Perseroan terbuka.

direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungantahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum

 perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh Rapat Umum Pemegang

Saham Tahunan. Dan segera setelah disahkan oleh rapat, diumumkan

untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk perseroan terbatasterbuka, direksi perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap

maksud dan rencana penyelenggaraan Rapat Umum PemegangSaham.

85 

Ketentuan tersebut di atas tidak menutup adanya kemungkinan

 permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan oleh

 pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para

 pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut di atas, direksi berkewajiban

85  Ibid , hal. 66-67

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 70: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 70/141

  55

untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara benar dan

akurat.

d.  Tanggungjawab renteng antara sesama anggota direksi perseroan

Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di

kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur

dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara

 perusahaan dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi

oleh hukum "dianggap" (fiksi) ada kontrak pemberian kuasa.86

  Karena itu,

hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan

antara "trustee" dengan "beneficiary" seperti dalam sistem  Anglo Saxon.87

 

Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang kuasa tidak boleh

 bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh

kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar

 perusahaan yang bersangkutan. Apabila direktur bertindak melampaui

wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, direktur tersebut ikut

 bertanggungjawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan

kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta

86 Munir Fuady, III, 1996,  Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 9387 Munir Fuady, IV, 1994,  Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 59

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 71: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 71/141

  56

 perusahaan (harta pailit), maka direksipun ikut bertanggungjawab secara

renteng.

88

 

Dalam Pasal 14 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwa :

Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status

 badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi

 bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung

renteng atas perbuatan hukum tersebut.

Terhitung sejak saat pengesahan, para pendiri perseroan terbatas tidak

lagi bertanggungjawab secara tidak terbatas atas tiap perikatan yang dibuat

untuk dan atas nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang

terbatas pada nilai seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan

tersebut belum diperoleh, maka para pendiri (dan sekalian pengurusnya)

 bertanggungjawab sepenuhnya secara tanggung renteng atas setiap perbuatan

hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Ketiadaan

 pengesahan itu tidak meniadakan perseroan yang hendak dibentuk, hanya

saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak terbatas.

Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh

kalangan ahli hukum, status hukum dari perseroan terbatas dalam pendirian

diperlakukan sama dengan atau sebagaimana layaknya suatu persekutuan

dengan firma, dimana para pengurus bertindak selaku kuasa dari para pendiri

dalam menjalankan kegiatan atau usaha perseroan. Dengan ini berarti bahwa

88 Munir Fuady, III, Op cit , hal. 93

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 72: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 72/141

  57

selama harta kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh

kewajiban perseroan (dalam pendirian) tersebut, maka para pendiri (dan

 pengurus) bertanggung jawah secara pribadi untuk memenuhi seluruh

kewajiban yang belum terlunasi.89

 

2.  Kewenangan direksi

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari

landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 (dua) prinsip

dasar yaitu kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya ( fiduciary duty) dan

 prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of

skill and care).90

 Kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati

dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.

Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi berat bagi direksi,

karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.

Suatu perbuatan hukum sangat bergantung pada dipenuhi atau tidaknya

kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut.

Kewenangan ini digolongkan ke dalam kewenangan yang berdasarkan pada:

a.  Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi;

 b.  Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi

kuasa;

89 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 11290 Chatamarrasjid Ais, I, Op cit , hal. 71

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 73: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 73/141

  58

c.  Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku yang

 berwenang berdasarkan jabatannya tersebut.

91

 

Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi penting, terutama apabila

dihubungan dengan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif

sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian dan lazimnya peraturan perundang-

undangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi

syarat subjektif ini, dengan ancaman kebatalan (dapat dibatalkan) setiap saat, selama

masa daluarsa masih belum terlewati dan atau dalam perjanjian ini tidak diratifikasi

lebih lanjut. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan

 perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yang syarat subjektifnya tidak

terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 KUH Perdata.92

 

Menurut Sutjipto sebagaimana dikutip oleh Rchmadi Usman, bahwa :

Pimpinan perseroan berikut usaha-usahanya berada di tangan Direksi.

Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakupdalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana

dimuat dalam anggaran dasarnya. Dengan demikian, Direksi adalah organmelalui mana perseroan mengambil bagian dalam lalu lintas hukum sesuai

dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini pula yang menjadi sumber

kewenangan Direksi untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan- perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain, mewakili

 perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Kepengurusan oleh Direksi

ini tidak terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin sehari-hari. Direksi berwenang dan wajib mengambil inisiatif dan membuat rencana

masa depan perseroan dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan

 perseroan. Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan perseroan merupakan batas ruang lingkup kecakapan bertindak perseroan. Dalam kaitan ini perlu

diperhatikan bahwa kewenangan Direksi untuk melakukan perbuatan hukum

91  Ibid, hal. 11892  Ibid , hal. 118-119, lihat juga Gunawan Widjaja, Op cit , hal. 74-75

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 74: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 74/141

  59

atas nama perseroan tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas

disebut dalam maksud dan tujuan perseroan, melainkan juga meliputi

 perbuatan-perbuatan lainnya, yakni perbuatan-perbuatan yang menurutkebiasaan, kewajaran dan kepatutan dapat disimpulkan dari maksud dan

tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan-

 perbuatan tersebut tidak secara tegas disebutkan di dalam rumusan maksuddan tujuan perseroan.

93 

3.  Batas kewenangan direksi

Besarnya kewenangan yang diberikan kepada direksi tidak berarti

kewenangan direksi tanpa batas. Kewenangan direksi dibatasi oleh kewenangan

 bertindak secara intern, baik yang bersumber pada doktrin hukum maupun yang

 bersumber pada peraturan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.94

 

Batasan tersebut antara lain adalah adanya doktrin ultravires, yang

menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan di luar kewenangan

dari direksi. Apabila direksi telah melanggar ketentuan kewenangannya

sebagaimana telah dinyatakan dalam anggaran dasar, maka direksi telah

melanggar asas ultravires  dan dengan demikian harus bertanggungjawab

sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang berhubungan usaha dengan

 perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memperhatikan ultravires. 

Misalnya, dalam anggaran dasar disebutkan bahwa dalam melakukan

 perjanjian kerja sama tertentu dengan pihak lain harus mendapatkan izin

tertulis dari RUPS. Dalam kenyataannya, direksi tersebut membuat perjanjian

93 Rachmadi Usman, Op cit , hal. 16694 Try Widiono, Op cit , hal. 8

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 75: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 75/141

  60

kerja sama tertentu tanpa memperoleh izin dari RUPS, maka perjanjian kerja

sama dengan pihak lain tersebut tetap sah, tetapi secara intern, direksi berarti

telah melanggar doktrin ultravires.

Pembatasan-pembatasan kewenangan direksi ditegaskan dalam UUPT

antara lain pada:

(a) Pasal 2 UUPT, bahwa harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan

usaha yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

ketertiban umum dan atau kesusilaan;

(b) Pasal 92 ayat (1) UUPT, yaitu dalam mengurus perseroan harus untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

(c) Pasal 97 ayat (1) UUPT, yang intinya harus ada itikad baik dan bertanggung

 jawab dalam pengurusan perseroan;

(d) Direksi tidak berwenang mewakili perseroan dalam hal terjadinya konflik

kepentingan (conflict of interest );

(e) Pasal 102 UUPT, yaitu adanya perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang

harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari komisaris dan atau RUPS

yang diatur dalam anggaran dasar.

Perbuatan hukum perseroan terbatas yang tidak sesuai dengan cakupan

kewenangan yang telah diuraikan di atas (perbuatan ultravires), maka tanggung

 jawab pemegang saham, direksi, dan komisaris menjadi tidak terbatas karena telah

melampaui kewenangannya. Bagi pemegang saham, menjadi tidak terbatas dalam

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 76: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 76/141

  61

hal yang dinyatakan pada Pasal 3 ayat (2) UUPT. Namun demikian, atas perbuatan-

 perbuatan direksi tanpa persetujuan dari RUPS atau komisaris tetap sah dan

mengikat dengan pihak ketiga, namun tanpa mengurangi tanggung jawab direksi

atas potensi kerugian. Namun, untuk membuktikan adanya perbuatan ultravires

tersebut tidak mudah. Dalam hal terjadi perbuatan hukum direksi yang demikian

dan pemberi persetujuan (komisaris dan atau RUPS) setuju atas tindakan direksi itu,

maka yang bersangkutan dapat melakukan ratifikasi. Di samping itu, berdasarkan

asas  piercing the corporate veil atau lifting the veil  bahwa tanggung jawab

 pemegang saham yang semula terbatas atas saham yang dimilikinya menjadi tidak

terbatas.

C.  Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perusahaan Terbatas

Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, doktrin  piercing the

corporate veil  ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip keterpisahan

tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dengan pemegang sahamnya,

walaupun secara de jure  seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu

 perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukan. Cadar

yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak. Dengan

demikian ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut

 bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan oleh

dan atas nama perseroan itu sendiri.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 77: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 77/141

  62

I.G. Rai Widjaya mengatakan bahwa “Tanggung jawab terbatas dari

 pemegang saham bisa hapus atau hilang dalam hal-hal tertentu”.

95

  Hal-hal tertentu

tersebut maksudnya antara lain apabila terbukti “terjadi pembauran harta kekayaan

 pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan, sehingga perusahaan

didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk

memenuhi tujuan pribadinya”.96

 

Menurut Chatamarrasjid :

Apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang

saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi

tujuan pribadinya, maka dalam keadaan demikian para pemegang saham,

direksi dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan prinsip  piercing the corporate veil  harus bertanggungjawab dengan harta

 pribadinya dan  atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana

maupun perdata.97

 

Menurut I.G. Rai Widjaya, terjadinya  piercing the corporate veil  atau lifting

the veil adalah sebagai berikut :

1)  Persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.2)  Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw  atau bad faith)

memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.3)  Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau

4)  Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan

menjadi tidak cuk up untuk melunasi utang perseroan atau PT (Pasal 3

ayat (2) UUPT).98 

95 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 14596  Ibid , hal. 145-14697 Chatamarrasjid Ais, Op Cit , hal. 498 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 146

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 78: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 78/141

  63

Dengan demikian pemegang saham “dalam keadaan tertentu” bisa saja

kehilangan “kekebalan” atas tanggung jawab terbatasnya, atau dengan kata lain ia

harus bertanggungjawab penuh secara pribadi. Beberapa hal yang terhadapnya dapat

diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah :

a.  Permodalan yang tidak layak;

 b.  Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;

c.  Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan;

d.  Adanya  unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan

hukum.99

 

Dalam hubungannya dengan tanggung jawab perusahaan holding  (holding

company)100

, doktrin piercing the corporate veil melihat tanggung jawab perusahaan

holding tersebut dari 2 (dua) sisi yaitu:

a.  Tanggung jawab perusahaan pengontrol sebagai induk perusahaan dalam suatu

kelompok usaha; dan

 b. 

Tanggung jawab perusahaan holding sebagai pemegang saham.

Dengan menerapkan doktrin  piercing the corporate veil, tanggung jawab

 perusahaan holding  sebagai induk perusahaan dalam suatu kelompok usaha, dapat

terjadi terhadap 3 (tiga) hal yaitu jika terdapat fakta-fakta yang menyesatkan, jika

terjadi penipuan/ketidakadilan, dan jika bertujuan untuk melindungi pemegang saham

minoritas.

99 Munir Fuady I, Op Cit, hal. 61-62100 Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company,  parent company, atau

controlling company. Yang dimaksud dengan perusahaan holding  adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau

lebih perusahaan lain tersebut. Lihat Munir Fuady I, Ibid , hal. 83

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 79: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 79/141

  64

a.  Fakta-fakta yang menyesatkan

Perusahaan holding akan bertanggungjawab terhadap anak perusahaan jika

terdapat fakta-fakta yang menyesatkan pihak lain. Fakta-faktamenyesatkan ini berupa kegagalan dalam memisahkan secara nyata

apakah suatu peristiwa itu disebabkan oleh tindakan anak perusahaan atau

induk perusahaan. Misalnya apabila ada percampuran antara usaha bisnis, pegawai atau asset perusahaan holding dengan anak perusahaan.

 b.  Penipuan atau ketidakadilan

Jika terdapat penipuan atau ketidakadilan dalam hubungan dengan peran

 perusahaan holding, maka doktrin  piercing the corporate veil selayaknyadiberlakukan, sehingga perusahaan holding  harus mempertanggung-

 jawabkan perbuatan yang menguntungkannya yang dilakukan secara tidak

layak oleh anak perusahaannya.

c. 

Perlindungan pemegang saham minoritas

Untuk melindungi pemegang saham minoritas dari kesewenangan para

 pemegang saham mayoritas, doktrin piercing the corporate veil dalam hal-

hal tertentu layak diberlakukan. Misalnya jika terjadi transfer keuntungan

yang diperoleh anak per usahaan kepada perusahaan holding  atau kepadaanak perusahaan lainnya.

101 

Doktrin  piercing the corporate veil, selain diterapkan khusus terhadap

 perusahaan holding, diterapkan juga terhadap setiap para pemegang saham dari suatu

 perusahaan, apakah pemegang saham tersebut merupakan suatu badan hukum atau

 bukan. Tetapi penerapannya terhadap pemegang saham seperti itu sulit diberlakukan

 jika pemegang sahamnya adalah investor publik pada suatu perusahaan publik. Satu

dan lain hal mengingat status dari pemegang saham publik hanya sebagai investor

semata-mata. Jadi bukan sebagai pemilik perusahaan dalam arti yang sebenarnya.

Dengan demikian hubungan antara pemegang saham publik dengan perusahaan

tersebut relatif renggang.

101  Ibid , hal. 64

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 80: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 80/141

  65

Penerapan doktrin piercing the corporate veil terhadap para pemegang saham

setidak-tidaknya dapat dilakukan dalam 4 (empat) hal, yaitu ”jika tidak diikutinya

formalitas tertentu, jika badan-badan hukum terpisah hanya secara artifisial, jika ada

hubungan kontraktual, dan jika ada perbuatan melawan hukum atau tindak

 pidana”.102

 

a.  Pie

ntang ada atau tidaknya misleading  atau kebingungan terhadap

 pih

  terlaksana sehingga dapat

odal atau pengisian saham;

rcing the corporate veil tidak mengikuti formalitas tertentu

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tidak mengikuti formalitas tertentu

yang seharusnya dilakukan sebagai suatu perusahaan dimana sasaran dari doktrin

 piercing the corporate veil bukan hanya melindungi para pihak atau pihak ketiga,

tetapi lebih merupakan sanksi agar formalitas tertentu dari perusahaan diikuti

dalam praktek. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa untuk dapat menerapkan

doktrin  piercing the corporate veil  dalam kasus seperti ini, tidak diperlukan

 pembuktian te

ak ketiga.

Di antara formalitas dalam perusahaan yang tidak 

diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah:

a)  Tidak tuntasnya formalitas dalam proses pendirian usaha;

 b)  Tidak melaksanakan pemilihan board , rapat-rapat dan sebagainya;

c)  Gagal dalam pengkontribusian m

d) 

Pemegang saham terlalu banyak mencampuri bisnis perusahaan/ pengambilan keputusan bisnis;

102 Munir Fuady I, Op Cit , hal. 64

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 81: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 81/141

  66

e)  Kegiatan pribadi dengan kegiatan perusahaan dicampuraduk seperti

ad 103

anya pinjaman (loan) yang informal.

 b.  Pie

 

corporate veil  akan cenderung

membebankan tanggung jawab hukum kepada seluruh business entity  tersebut,

 bukan terhadap pemegang saham secara pribadi.

c. 

yai hubungan kontraktual tersebut dapat dianggap telah

rcing the corporate veil terhadap badan-badan hukum yang terpisah secara

artifisial

Dalam hal seperti ini yang sebenarnya terjadi adalah terdapatnya suatu

business entity tunggal, tetapi dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa badan hukum

yang terpisah secara artifisial. Misalnya walaupun terdapat beberapa perusahaan

yang saling berhubungan, tetapi bisnis dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga

tidak ubahnya seperti dilakukan oleh satu unit perusahaan saja. Dalam kasus

seperti ini, pemberlakuan prinsip  piercing the

Piercing the corporate veil berdasarkan hubungan kontrak

Dalam hal suatu perusahaan terlibat secara kontraktual dengan pihak ketiga,

doktrin  piercing the corporate veil  dapat diterapkan, yaitu dalam hal terjadinya

“keadaan tidak lazim” dari aktifitas suatu perusahaan sehingga tanggung jawab

yuridisnya seharusnya dibebankan kepada para pemegang saham. Tanpa

kehadiran elemen “keadaan tidak lazim”, maka akan sulit bagi pihak ketiga untuk

menarik pihak pemegang saham untuk bertanggungjawab yuridis secara pribadi

 berlandaskan prinsip piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan pihak ketiga

yang mempun

 103  Ibid , hal. 65, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit , hal. 11

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 82: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 82/141

  67

“me

diperdaya untuk bertransaksi dengan pihak ketiga;

yaitu tentang

/atau atas nama pribadi

 pemegang saham;

Perusahaan dioperasikan tidak dengan cara-cara normal, misalnya samasekali tidak pernah membuat untung sebagaimana mestinya, atau semua

d.  Piercing the corporate veil  atas dasar perbuatan melawan hukum atau tindak

egang saham seharusnya tetap

nya dalam hal-hal sebagai berikut:

Jika perusahaan dibentuk khusus untuk melakukan hal-hal yang berbahaya,

misalnya untuk melakukan ledakan-ledakan tertentu.105

 

ngasumsi resiko” ketika melakukan transaksi dengan perusahaann yang

 bersangkutan.

“Keadaan tidak lazim” dimaksud dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

a)  Pihak ketiga

 b)  Tindakan bisnis pemegang saham membingungkan,

apakah sektor keuangannya dilakukan untuk dan

atau perusahaan. Misalnya transaksi perusahaan selalu dibayar dengancek pribadi;

c)  Permodalan perusahaan tidak dinyatakan dengan benar;

d)  Adanya jaminan pribadi dari

e

dana perusahaan disedot oleh pemegang saham tanpa melihat

kepentingan perusahaan.104

 

 pidana

Jika perbuatan melawan hukum (tort ) terjadi, walaupun dilakukan oleh

 perusahaan, sampai batas-batas tertentu pem

 bertanggungjawab berdasarkan doktrin piercing the corporate veil. Hal ini dapat

terjadi misal

a)  Jika perusahaan berbisnis dengan skala besar sementara modalnya sangat

kecil;

 b

 104  Ibid , hal. 66, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit, hal. 13105  Ibid

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 83: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 83/141

  68

 

e. 

ang dapat

a dengan menerapkan prinsip  Instrumentality Rule,

h satu di antara unsur-unsur sebagai berikut:

usahaan induk;

2)  Penggunaan kontrol oleh perusahaan untuk melakukan kecurangan( fraud ), ketidakjujuran, dan tindakan tidak fair  lainnya;

106

  perusahaan, penerapan  piercing the

cor 

a. 

Piercing the corporate veil  dalam hubungan holding company  dan anak

 perusahaan

Dalam beberapa kasus di Amerika, untuk dapat menerapkan doktrin  piercing

the corporate veil, sehingga terhadap suatu perusahaan atau seseor 

dimintakan tanggung jawabny

yaitu apabila terdapat sala

a.   Express Agency, atau

 b.   Estoppel, atau

c.   Direct Tort , atau

d.  Dapat dibuktikan adanya 3 (tiga) unsur berikut:

1)  Pengontrolan anak perusahaan oleh per 

3)  Adanya kerugian yang disebabkan ( proximate causation) oleh breach

of duty dari perusahaan pengontrol.  

Masih dalam hubungan dengan grup

 porate veil dapat dilakukan misalnya, dalam kasus-kasus sebagai berikut:107

 

Adanya fakta-fakta yang menyesatkan

Jika terdapat fakta-fakta yang menyesatkan yang ada hubungannya dengan

 perusahaan holding  dengan anak perusahaannya, maka walaupun suatu

106 Robert Charles Clark, 1986, “Corporate Law”, Little Brown and Company, Boston, USA,hal. 72-73 dalam Munir Fuady I, Op Cit , hal. 62, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit , hal. 14

107 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 14-15

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 84: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 84/141

  69

 perbuatan hukum dilakukan oleh anak perusahaan, ada kemungkinan

 perusahaan holdingnya ikut dimintakan tanggung jawabnya secara hukum

 berdasarkan teori  piercing the corporate veil. Fakta yang menyesatkan adalah

ketidaktegasan antara kegiatan yang dilakukan oleh induk perusahaan dengan

kegiatan yang dilakukan dengan anak perusahaan. Contoh dari tindakan/fakta

hal adanya percampuradukan antara

 b. 

 puan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh anak perusahaan

maka perusahaan holding juga

c. 

erusahaan holding. Misalnya tindakan yang

merugikan pihak pemegang saham minoritas adala jika terjadi transfer

yang menyesatkan tersebut adalah dalam

usaha bisnis, pegawai atau asset dari perusahaan holding  dengan anak

 perusahaan.

Terjadinya penipuan dan ketidakadilan

Jika terjadi peni

sehingga menguntungkan perusahaan holding,

dapat dimintakan tanggung jawabnya berdasarkan doktrin  piercing the

corporate veil.

Untuk melindungi pemegang saham minoritas

Dalam hubungan dengan perusahaan holding, sangat mungkin dilakukan

tindakan-tindakan yang berakibat timbulnya kerugian bagi pemegang saham

minoritas. Untuk pihak pemegang saham minoritas perlu diberikan

 perlindungan hukum, yang dalam hal ini dilakukan dengan menerapkan teori

 piercing the corporate veil, yaitu dengan memintakan juga

 pertanggungjawaban dari pihak p

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 85: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 85/141

  70

keuntungan yang diperoleh anak perusahaan kepada perusahaan holding atau

kepada anak perusahaan lainnya.

Selain 3 (tiga) hal tersebut diatas, beberapa fakta yang dapat dicurigai

sehingga dapat menyebabkan pemberlakukan teori  piercing the corporate veil 

ecil;

an

h.  Perusahaan holding menggunakan asset anak perusahaan seperti assetnya

sendiri;i.  Pihak eksekutif anak perusahaan lebih memperhatikan kepentingan

 perusahaan holding daripada kepentingan anak perusahaan.108

 

terhadap perusahaan holding atas perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaannya

adalah seb gai berikut :

h

a

a.  Perusahaan olding dan anak perusahaan mempunyai pengurus, komisaris

dan pegawai yang sama; b.  Anak perusahaan mempunyai modal yang sangat k 

c.  Perusahaan holding  membayar gaji, upah, kerugian dan pengeluar 

lainnya dari anak perusahaan;d.  Perusahaan holding  memiliki seluruh atau hampir seluruh saham anak

 perusahaan;

e.  Perusahaan holding membiayai anak perusahaan;f.  Anak perusahaan mempunyai bisnis hanya dengan perusahaan holding;

g.  Anak perusahaan tidak mempunyai asset lain kecuali asset yang dialihkan

dari perusahaan holding;

108  Ibid , hal. 15-16

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 86: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 86/141

BAB III

PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dibentuk

dalam era globalisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila berbagai

doktrin hukum mempengaruhi isi dari UUPT di atas, termasuk doktrin hukum

dari negara common law system. Sehubungan hal tersebut, maka dalam

 pembahasan tanggung jawab direksi perseroan terbatas akan dikaitkan dengan

doktrin-doktrin hukum, terutama yang telah diwujudkan dalam pasal-pasal pada

UUPT.

Badan hukum sebagai subyek hukum yang berhubungan hukum dengan

subyek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat

dialamatkan kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan

hukum tersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap

merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demikian, direksi

yang merupakan salah satu organ perseroan dari badan hukum itu mempunyai

hubungan dan tanggung jawab secara intern perseroan. Dimaksudkan, hubungan

hukum intern perseroan dalam buku ini adalah hubungan hukum antara

 pemegang saham, RUPS, komisaris, dan direksi.

71

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 87: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 87/141

  72

 

Secara intern, perseroan yang berbentuk perseroan terbatas itu sendiri

sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-

hal sebagai berikut:

a.  Peraturan perundang-undangan yang berlaku

 b.  Anggaran dasar perseroan

c.  Doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.109

 

Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan

 pemegang saham, direksi, dan komisaris, yang sekaligus meletakkan tanggung jawab

masing-masing. Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan

(imperare), apa yang dilarang ( prohibere), serta apa yang diperbolehkan

( pemittere) kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi.110

 

Berkaitan dengan tanggung jawab dan hubungan intern perseroan tersebut,

terdapat beberapa doktrin hukum penting dalam corporate law. Doktrin hukum ini

sangat erat dengan pertanggungjawaban para pemegang saham, komisaris, dan

direksi. Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan

hukum perseroan yang lebih komprehensif, dengan mengacu pada doktrin hukum

yang berlaku universal, juga sekaligus sebagai warning kepada para pemegang

saham, komisaris, dan direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak

untuk memanfaatkan doktrin hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan.

109 Tri Widiono, Op cit , hal. 30110  Ibid  

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 88: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 88/141

  73

 

Chatamarrasjid Ais mengatakan bahwa “Apabila terbukti bahwa telah terjadi

 pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan,

sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan

 pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya”.111

 

Dalam keadaan demikian, maka para pemegang saham, direksi dan

komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan

 berdasarkan prinsip di atas harus bertanggungjawab sampai dengan harta

 pribadinya dan atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun

 perdata.

Oleh karena itu, secara luas dapat diartikan bahwa termasuk pelanggaran

doctrine piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini:

a.  Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian perseroan

sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu direksi tidak

melakukan permintaan pengsahan/persetujuan/pelaporan, pendaftaran dan

 pengumuman sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPT.

 b.  Pemegang saham bertanggungjawab sampai harta pribadi, jika melakukan

 perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT, juga

 pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (6), Pasal 12, dan Pasal 13 UUPT, yaitu:

(1) 

 persyaratan perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak

terpenuhi;

111  Chatamarrasjid Ais, II, 2000,  Menyingkap Tabir Perseroan, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 4

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 89: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 89/141

  74

 

(2)   pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata

untuk kepentingan pribadi;

(3)   pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

(4)   pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan,

yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk

melunasi utang perseroan;

(5)  setelah perseroan disahkan pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang

dan dalam waktu 6 bulan setelah itu, pemegang saham tetap 2 (dua)

orang, maka pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas

segala perikatan atau kerugian perseroan dan atas permohonan pihak

yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan

tersebut;

(6)   perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk kepentingan

 perseroan sebelum memperoleh status badan hukum, tetapi perbuatan

hukum tersebut oleh perseroan:

a) 

tidak secara tegas dinyatakan diterima semua perjanjian yang

dibuat oleh pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri

dengan pihak ketiga;

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 90: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 90/141

  75

 

 b)  tidak menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang

timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau orang lain yang

ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas

nama perseroan;

c)  tidak mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang

dilakukan atas nama perseroan.

Kewenangan perseroan mengukuhkan perbuatan hukum tersebut berada

 pada RUPS. Dalam hal RUPS belum dapat diselenggarakan, maka

 pengukuhan dilakukan oleh seluruh pendiri, pemegang saham dan

direksi. Selama belum dikukuhkan, baik karena perseroan tidak jadi

didirikan atau disahkan atau karena perseroan tidak melakukan

 pengukuhan, maka perseroan tidak terikat.

(7)  Perolehan saham yang tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal

37 ayat (3) yang menyatakan, direksi secara tanggung renteng

 bertanggungjawab atas semua kerugian yang diderita pemegang saham

yang beritikad baik, yang timbul akibat batal demi hukum sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2).

(8)  Dokumen perhitungan tahunan yang disediakan tidak benar

sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (3), yaitu dalam hal dokumen

 perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 91: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 91/141

  76

 

menyesatkan, anggota direksi dan komisaris secara tanggung renteng

 bertanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.

(9)  Direksi tidak melaksanakan,  fiduciary duty yang diberikan oleh

 perseroan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT.

(10) Dalam hal kepailitan yang diakibatkan kesalahan direksi, yaitu diatur

dalam Pasal 104 ayat (2), yang menyatakan, dalam hal kepailitan

terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan

tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka

setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas

kerugian tersebut.

(11) Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT, yaitu

tidak mempunyai itikad baik, tidak berhati-hati dan tidak

 bertangyungjawab dalam menjalankan tugas pengawsan dan pemberian

nasehat kepada Direksi.

Sebagai perbandingan dan sekaligus sebagai pelengkap dari pendapat di

atas, di bawah ini dikemukakan pendapat mengenai penerapan teori  piercing the

corporate veil, secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

a.  Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu.

 b. 

Badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial.

c.  Berdasarkan hubungan kontraktual.

d.  Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 92: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 92/141

  77

 

e.  Hubungan dengan holding company dan anak perusahaan.112

 

Berkaitan dengan perusahaan yang tidak mengikuti formalitas tertentu, dapat

diartikan sama dengan pendapat yang telah dijelaskan di atas, yakni persyaratan

 perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Termasuk

formalitas tertentu ini adalah tidak dijalaninya prosedur tata cara pengangkatan

direksi dan atau komisaris, penyetoran modal yang tidak sesuai, dan lain-lain.

Badan hukum yang terpisah secara artifisial dimaksudkan bahwa perusahaan

yang sebenarnya adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut dibagi ke dalam

 beberapa perseroan yang terpisah. Walaupun secara formal suatu perseroan sebagai

 badan hukum berdiri sendiri, tetapi hakikatnya beberapa perseroan tersebut menjadi

satu kesatuan. Oleh karena itu, tanggung jawabnya menjadi satu kesatuan dan

saling mengkait.

Penerapan masalah ini dalam UUPT sangat sulit untuk diungkap, satu lain

hal, di Indonesia menganut hukum kontinental, di mana dalam penegakannya lebih

condong pada positivisme hukum. Sedangkan doktrin piercing the corporate veil

 bersumber pada anglo saxon.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-

 batas tertentu mengakui berlakunya teori  piercing the corporate veil ini,

sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Sebagaimana diketahui juga bahwa

 penerapan teori  piercing the corporate veil  ke dalam tindakan suatu perseroan,

112 Munir Fuady, I, Op cit, hal. 10-11

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 93: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 93/141

  78

 

menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan

tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban

hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan menurut

Munir Fuady “Penerapan teori  piercing the corporate veil dalam

 pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ

 perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris”.113

 

Karena itu pula, maka Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40

Tahun 2007 mengakui teori  piercing the corporate veil  dengan membebankan

tanggung jawab kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1)  Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Pemegang Saham.

2)  Beban Tanggung jawab Dipindahkan ke Pihak Direksi.

3)  Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Komisaris.114

 

a. 

Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Pemegang, Saham

Seperti telah dijelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia prinsip

kemandirian badan hukum dari suatu perseroan terbatas diakui secara tegas

oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, lewat Pasal 3

ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Pemegang saham perseroan tidak

 bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama

113 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 17114  Ibid

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 94: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 94/141

  79

 

 perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham

yang dimilikinya”

Keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan dengan pribadi

 pemegang saham tersebut lebih mempertegas ciri dari suatu perseroan terbatas

di mana pemegang saham bertanggungjawab secara terbatas, yakni hanya

 bertanggungjawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi

harta kekayaan pribadinya.

Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak. Sebab ada banyak

kekecualian dari ketentuan tersebut. Pengecualin tersebut mengisyaratkan

 bahwa memang Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007

mengakui dokirin  piercing the corporate veil  itu. Kekecualian tersebut,

khususnya yang membebankan tanggung jawab kepada pihak pemegang

saham dapat dikategorikan sebagai berikut:

1)  Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas

 Nomor 40 Tahun 2007.

Pasal 3 ayat (2) dari UUPT mengintrodusir tanggung jawab

 pemegang saham dari suatu perseroan terbatas dalam 4 (empat) hal

 berikut:

(a) 

Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidakterpenuhi. Dalam hal ini pihak pemegang saham (dalam

tampilannya sebagai pendiri/promotor) perusahaan yang

 bertanggungjawab sampai dengan disahkannya badan hukum

 perseroan oleh Menteri Kehakiman. Dan, setelah itu, tanggung jawab beralih kepada pihak direksi sampai dengan pendaftaran dan

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 95: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 95/141

  80

 

 pengumuman. Setelah pendaftaran dan pengumuman, maka yang

 bertanggungjawab hanyalah perseroan yang bersangkutan, kecuali

ada alasan untuk diterapkan teori piercing the corporate veil karenaalasan-alasan lain.

(b)  Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

(c)  Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan.(d)  Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan

 perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak

cukup untuk melunasi hutang-hutang perseroan.115

 

Dalam hal terjadi pembauran antara kekayaan perseroan dengan

kekayaan pribadi, maka pihak pemegang saham bertanggungjawab secara

 pribadi. Dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya

tanggung jawab terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain

apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi

 pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan

didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham

untuk memenuhi tujuan pribadinya.

2)  Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas

 Nomor 40 Tahun 2007

Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu perseroan terbatas,

 pemegang saham minimal harus berjumlah 2 (dua) orang. Jumlah 2 (dua)

orang dari pemegang saham ini sampai kapan pun haruslah

115  Ibid , hal. 19

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 96: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 96/141

  81

 

dipertahankan oleh perseroan.116

 Ketentuan yang mewajibkan perseroan

terbatas memiliki minimal 2 (dua) orang pemegang saham tersebut tidak

 berlaku jika perseroan terbatas tersebut:

a.  seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau

 b.   perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan

 penjaminan, lembaga peyimpanan dan penyelesaian dan lembaga lain

sebagaimana diatur dalam UU Pasar Modal.117

 

Bagaimana halnya jika dalam perjalanannya, suatu perseroan terbatas

karena hal apa pun akhirnya hanya mempunyai 1 (satu) orang pemegang

saham. Maka dalam hal ini, dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak

saat mulai terjadinya 1 (satu) orang pemegang saham, pemegang saham

seorang diri tersebut haruslah mengalihkan sebagian saham-sahamnya

kepada pihak lain. Dalam hal ini tidak ada batas minimal dari

 pengalihan. Jadi, 1 (satu) saham saja yang dialihkan itu sudah cukup.

Bagaimana jika setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut, pemegang

saham masih saja 1 (satu) orang. Dalam hal yang demikian, berlakulah

teori  piercing the corporate veil itu. Artinya, yang bertanggungjawab

terhadap pihak ketiga bukan hanya perseroan, melainkan juga pribadi

 pemegang saham tersebut. Dalam hal ini, menurut Munir Fuady ”Atas

116 Pasal 7 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas117 Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 97: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 97/141

  82

 

 permohonan dari pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat

membubarkan perseroan tersebut”.

118

 

3)  Ketentuan dalam pasal-pasal lainnya dari Undang-Undang, Perseroan

Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

Selain dari pasal-pasal seperti tersebut di atas, masih terdapat hal-hal

lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung

 jawab hukum ke pundak pemegang saham, meskipun tanggung jawab

tersebut sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suatu perseroan

terbatas, yang nota bene  merupakan suatu badan hukum (legal entity).

Dalam kelompok ini termasuk tindakan-tindakan dalam 5 (lima) kategori

sebagai berikut:

(a)  Tidak menyetor modal

Pemegang saham tidak melaksanakan tugasnya untuk menyetor

modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang

sahamnya pada saat pengesahan oleh Menteri Kehakiman, atau pada

saat saham dikeluarkan lebih lanjut. Apabila tindakan tersebut

merugikan perusahaan atau pihak ketiga, maka doktrin  piercing  the

corporate veil layak diterapkan.

118 Munir Fuady, II, Op cit. hal. 20

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 98: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 98/141

  83

 

(b)  Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan apabila terjadi

 pencampuradukan antara urusan perusahaan dengan urusan pribadi,

sehingga tanggung jawab pribadi pemegang saham yang

 bersangkutan dapat dimintakan. Contoh pencampuradukan antara

urusan-urusan perseroan dengan urusan pribadi adalah:

a.  Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi

 b.  Aset milik perseroan diatasnamakan pribadi

c.  Pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang

 jelas.

(c)   Alter Ego

Teori  piercing the corporate veil  juga layak diterapkan kepada

 pemegang saham manakala pihak pemegang saham terlalu dominan

dalam kegiatan perusahaan tersebut melebihi dari peran pemegang

saham yang sepantasnya. Dengan demikian, dalam hal ini perusahaan

hanya berfungsi sebagai "instrumen" mencari untung pribadi dari

 pihak pemegang sahamnya. Dalam hal ini, perseroan tersebut

dikatakan sebagai alter ego  (kadang-kadang disebut juga sebagai

instrumentality, dummy atau agent ) dari pemegang saham yang

 bersangkutan.119

 

119 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 22

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 99: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 99/141

  84

 

Hanya saja, pemakaian kata "agent " di sini kurang pada tempatnya.

Sebab jika dibilang bahwa perseroan hanya merupakan agen dari

 pemegang saham, hal ini berarti pihak perseroan sebagai agen

mestinya mempunyai kewenangan untuk mengikat pihak prinsipal

(pemegang saham) dengan pihak ketiga. Padahal, kewenangan

tersebut tidak terdapat pada perusahaan, meskipun perusahaan

tersebut merupakan alter ego  atau instrumen dari pemegang

sahamnya.

(d)  Jaminan Pribadi dari Pemegang Saham

Apabila pihak pemegang saham memberikan jaminan pribadi bagi

kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya, berarti

 pihak pemegang saham memang menginginkan untuk dibebankan

tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh

 perseroan tersebut. Sehingga dengan sendirinya, pihak pemegang

saham ikut bertanggungjawab manakala adanya gugatan dan pihak

ketiga atas kerugian yang terbit dari kegiatan yang digaransi tersebut.

Kapan dan sejauhmana pihak pemegang saham bertanggungjawab,

 bergantung pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Ini

adalah salah satu contoh penerapan doktrin  piercing the corporate

veil secara kontraktual.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 100: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 100/141

  85

 

(e)  Permodalan yang Tidak Layak

Permodalan yang tidak layak. misalnya modal terlalu kecil padahal

 bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban pemegang

sahamlah yang harus menyetor tambahan modal dan ketidaklayakan

 permodalan ini menimbulkan suatu transfer tanggung jawab dari

 pemegang saham kepada pihak kreditur. Ini sama sekali tidak fair.

 Namun demikian, selain pemegang saham yang bertanggungjawab

sampai batas-batas tertentu, pihak direksi juga dapat dimintakan

tanggung jawabnya dalam hal ini.

b.  Beban Tanggung Jawab Dipindahkan Kepada Pihak Direksi

Pada prinsipnya dan secara klasik, dengan diterapkannya teori piercing

the corporate veil, maka pihak pemegang sahamlah yang biasanya dimintakan

tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan. Akan tetapi,

dalam tersebut, beban tanggung jawab dipindahkan juga dari perseroan kepada

 pihak lainnya selain pemegang saham. Misalnya, beban tanggung jawab

tersebut dipindahkan ke pundak direksi atau komisaris.

Dalam hal tanggung jawab direksi akibat penerapan teori  piercing the

corporate veil  ini, dari segi yang lain dapat juga dilihat sebagai akibat

 penerapan doktrin  fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan. Menurut UU

Perseroan Terbatas, teori  piercing the corporate veil  dapat diterapkan yang

dapat menyebabkan pihak direksi yang bertanggungjawab atas kegiatan yang

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 101: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 101/141

  86

 

dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab direksi karena penerapan teori

 piercing the corporate veil insi dilakukan dalam hal-hal berikut:

(a)  Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.

Prinsip  fiduciary duty  bagi direksi ini bersumber dari Pasal 97 ayat

(2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Pasal 97

ayat (2) tersebut yang menyatakan “Setiap anggota direksi wajib dengan

itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk

kepentingan dan usaha perseroan”. 

Apabila direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan

kewajiban  fiduciary duty tersebut, yaitu tidak dengan itikad baik dan

 bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya,

maka pihak direksi bertanggungjawab secara pribadi.120

 

Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 bahkan

mengatur lebih jauh dengan memberikan kewenangan mengajukan

gugatan, melalui teori  piercing  the corporate veil  bukan hanya kepada

 pihak ketiga yang dirugikan oleh perseroan, melainkan juga kepada

 pemegang saham perseroan yang dalam hal ini pemegang saham tersebut

 bertindak untuk dan atas nama perseroan, minimal 1/10 (satu persepuluh)

dari seluruh saham dengan suara yang sah.121 

120 Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas121 Pasal 97 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 102: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 102/141

  87

 

(b)  Perusahaan belum melakukan pendaftaran dan pengumuman.

Suatu perusahaan sudah menjadi badan hukum sejak disahkan

anggaran dasarnya oleh Menteri Kehakiman.122

  Akan tetapi, sampai

dengan pengesahan dari Menteri Kehakiman tersebut, sungguhpun badan

hukumnya sudah eksis, tetapi badan hukum tersebut belum berlaku

kepada pihak ketiga sebelum perusahaan tersebut didaftarkan dalam

daftar perusahaan, dan diumumkan dalam berita negara. Karena itu,

sebelum pendaftaran dan pengumuman, tetapi setelah anggaran dasar

disahkan, maka yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan

oleh perseroan bukanlah pihak perseroan tersebut dan bukan juga

 pemegang saham, melainkan yang bertanggungjawab adalah direksi yang

 bersangkutan, berdasarkan teori  piercing the corporate veil.

(c)  Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.

Direksi berkewajiban untuk menyediakan perhitungan tahunan

 perseroan yang benar. Apabila laporan tahunan tersebut ternyata tidak

 benar (dengan pembuktian biasa), maka direksi bersama dengan komisaris

 bertanggungjawab secara renteng, berdasarkan doktrin  piercing the

corporate veil.123

 

 Namun dalam hal ini UU Perseroan Terbatas memberikan

 pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang

122 Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas123 Pasal 69 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 103: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 103/141

  88

 

 bersangkutan. Sebab, menurut Pasal 97 ayat (5) UUPT, para anggota

direksi atau komisaris dibebaskan dari tanggung jawabnya tersebut

apabila dapat membuktikan :

a.  Keadaan yang bersangkutan bukan karena kesalahan atau

kelalaiannya.

 b.  Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian

untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

c.  Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun

tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan

kerugian, dan

d.  Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau

 berlanjutnya kerugian tersebut.

Dengan demikian bisa saja ada anggota direksi atau dewan komisaris

yang harus bertanggungjawab secara hukum, tetapi dewan komisaris

atau ada juga anggota direksi yang lain yang dapat membuktikan tidak

 bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.

(d)  Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.

Apabila suatu perseroan pailit, maka tidak serta merta (tidak demi

hukum) pihak direksi harus bertanggungjawab secara pribadi. Agar pihak

anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadi ketika suatu

 perusahaan pailit, haruslah memenuhi semua syarat sebagai berikut:

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 104: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 104/141

  89

 

1)  Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari

direksi (dengan pembuktian biasa).

2)  Untuk membayar hutang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah

diambil terlebih dahulu dari asset-asset perseroan. Bila asset

 perseroan tidak mencukupi, barulah diambil asset direksi pribadi.

3)  Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast ) bagi

anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan

 perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelalaiannya.

Anggota direksi bisa saja harus bertanggungjawab secara hukum

 jika perusahaan pailit, tetapi ada juga anggota direksi yang lain yang

dapat membuktikan tidak bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.

(e)  Permodalan yang tidak layak.

Permodalan yang tidak layak, misalnya modal terlalu kecil padahal

 bisnis perusahaan adalah besar. Dalam hal ini, selain pemegang saham

yang berkewajiban menyetor saham yang harus bertanggungjawab, pihak

direksi juga bertanggungjawab secara hukum, mengingat direksi sebagai

 pihak eksekutif dari perseroan dapat menimbang-nimbang kegiatan mana

yang cocok untuk perseroan. Akan tetapi, apabila direksi tidak mempunyai

 pilihan, misalnya suatu perusahaan memang dimaksudkan untuk

melakukan kegiatan yang besar-besar saja, maka direksi wajib untuk tidak

melaksanakan kegiatan perseroan tersebut, kecuali dilakukan penambahan

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 105: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 105/141

  90

 

setoran modal oleh pemegang saham. Dengan perkataan lain, manakala

modal perseroan tidak cukup layak untuk menunjang suatu kegiatan, maka

kegiatan tersebut wajib untuk tidak dilakukan oleh direksi tersebut. Pihak

 pemegang saham baru akan bertanggungjawab jika ketidaklayakan

 permodalan tersebut akibat kesalahan pemegang saham. Misalnya, modal

yang seharusnya disetor, tetapi tidak disetor, atau tidak disetor secara

 benar.

(f)  Perseroan beroperasi secara tidak layak.

Apabila suatu perseroan beroeprasi secara tidak layak, maka hal ini

akan merugikan pihak ketiga atau bahkan merugikan pihak pemegang

saham. Dalam hal ini menurut Munir Fuady ”yang bertanggungjawab

adalah pihak direksi sebagai pihak eksekutif dalam suatu perseroan.

Kecuali apabila direksi telah menjalankan tugasnya dengan benar sesuai

dengan prinsip-prinip bisnis yang layak (bussiness judgement rule)”.124

 

c.  Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Komisaris

Dalam beberapa hal, pemberlakuan teori  piercing the corporate veil 

 juga berlaku bagi komisaris. Artinya, dalam hal-hal tertentu pihak komisaris

secara pribadi pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang

sebenarnya dilakukan oleh perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak

 pemegang saham dan pihak direksi, maka pihak komisaris merupakan pihak

124 Munir Fuady, Op cit , hal. 27

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 106: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 106/141

  91

 

yang paling sedikit dikejar oleh teori  piercing the corporate veil  ini. Pihak

komisaris merupakan target akhir (the last target)  dari penerapan teori

 piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang

 pihak komisaris dalam perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain

halnya pihak direksi misalnya, yang mempunyai tugas mewakili dan

menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang saham sebagai pemilik

 perusahaan/investor sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memberlakukan

 juga teori  piercing the corporate veil  ini kepada komisaris, yakni dalam hal-

hal sebagai berikut:

a.  Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan

Prinsip  fiduciary duty  bagi komisaris ini bersumber dari Pasal 114

ayat (2) UUPT yang menyatakan: ”Setiap anggota Dewan Komisaris

wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam

menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan

Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”.

Apabila komisaris bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan

kewajiban  fiduciary duty  tersebut, yakni tidak dengan itikad baik dan

 bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya,

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 107: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 107/141

  92

 

maka pihak komisaris bertanggungjawab secara pribadi, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 114 ayat (3) UUPT.

Dalam Pasal 114 (terhadap komisaris) tidak ditemukan adanya

ketentuan seperti dalam Pasal 97 ayat (2) yang berlaku untuk direksi. Hal

ini sebenarnya sama sekali bukan karena pihak komisaris dianggap tidak

 bertanggungjawab atau kurang tanggung jawabnya. Absennya ketentuan

seperti Pasal 97 ayat (2) dalam Pasal 114 lebih disebabkan komisaris

dianggap bertanggungjawab secara kolegial (sehingga disebut "dewan"

komisaris) sehingga dianggap merupakan satu kesatuan, tanpa membeda-

 bedakan masing-masing anggota dewan komisaris tersebut.

Karena itu, berbeda dengan direksi, maka bagi masing-masing

anggota dewan komisaris tidak mempunyai hak untuk pembuktian

terbalik sehingga jika dewan komisaris sudah dianggap bersalah, seluruh

anggota dewan komisaris juga terikut.

 b.  Dokumen perhitungan tahunan tidak benar

Penerapan teori  piercing the corporate veil  juga dibenarkan kepada

komisaris, artinya, dalam hal-hal tertentu, pihak komisaris secara pribadi

 pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenarnya

dilakukan oleh perseroan. Dalam hal ini kegiatan yang berhubungan

dengan perhitungan tahunan yang tidak benar. Apabila laporan tahunan

tersebut ternyata tidak benar, (dengan pembuktian biasa), maka direksi

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 108: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 108/141

  93

 

 bersama dengan komisaris bertanggungjawab secara renteng, berdasarkan

doktrin  piercing the corporate veil (Pasal 69 ayat (3) UUPT). Dalam

 penjelasan umum Pasal 69 ayat (3) dijelaskan bahwa laporan keuangan

yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari

aktiva, kewajiban, modal dan hasil usaha dari perseroan. Direksi dan

Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan keberadan isi

laporan keuangan perseroan.

Akan tetapi, dalam hal ini UU Perseroan Terbatas memberikan

 pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang

 bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (4).

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 109: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 109/141

BAB IV

ANALISIS ATAS PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THECORPORATE VEIL PADA KASUS ANTARA PT. BANK

PERKEMBANGAN ASIA DAN PT. DJAYA TUNGGAL

A.  Posisi Kasus

Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT. Djaya

Tunggal sebanyak 3 (tiga) tahap yaitu:

1.  Perjanjian kredit No. 58A/KR/BPA/VI/1983 sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus

 juta) dengan jangka waktu satu tahun yaitu dari 1 Juni 1983 s/d 1 Juni 1984

dengan bunga 2,1% (dua koma satu persen). Jangka waktu kredit ini kemudian

diperpanjang lagi selama satu tahun sehingga jatuh tempo pada 1 Juni 1985.

2.  Perjanjian kredit No. 60A/KR/BPA/VI/1983 sebesar Rp. 550.000.000,- (lima

ratus lima puluh juta), dengan jangka waktu satu tahun yaitu sejak 1 Juni 1983 s/d

5 juni 1984 dengan bunga 2,1% (dua koma satu persen).

3.  Perjanjian kredit No. 06/KR/BPA/I/1984, jangka waktunya 1 tahun yaitu sejak 16

Januari 1984 s/d 16 Januari 1985.

Perjanjian kredit tersebut diberikan dengan jaminan tanah HGB No. 39 dan tanah

HGB No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaya Tunggal.

Ketika seluruh pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, ternyata debitor PT

Djaya Tunggal tidak dapat membayar semua pinjamannya kepada Bank tersebut,

dengan alasan perusahaan PT. Djaya Tunggal telah berhenti beroperasi dan menderita

94

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 110: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 110/141

  95

kerugian 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga PT. Djaya Tunggal menyatakan

dirinya tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada Bank tersebut, debitor dalam

keadaan insolvensi.

Ternyata pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor)

adalah sama dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor).

Secara diam-diam presiden komisaris PT. Djaya Tunggal telah mengalihkan hak

kepemilikan dua bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit tersebut kepada pihak

ketiga Jahya Paedjokerto dengan Akta Notaris/PPAT Samadi No. 12, tanggal 5 Maret

1986. Ternyata kemudian Notaris/PPAT Samadi tersebut telah habis masa

 jabatannya, sehingga akta pemilikan hak tersebut menjadi persoalan keabsahannya.

Bank kemudian meminta kepada Kantor Agraria untuk memblokir

 pengeluaran sertifikat kedua bidang tanah, HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang telah

menjadi jaminan kredit Bank yang hutangnya belum dibayar oleh debitor PT. Djaya

Tungal tersebut. Setelah diteliti ternyata kedua sertifikat HGB tersebut telah habis

masa berlakunya. Dan pada saat itu atas permohonan pihak ketiga (Jahya) yang

memperoleh hak dari presiden komisaris, pihak Kantor Agraria sedang memproses

 penerbitan sertifikat baru kedua bidang tanah HGB tersebut yang habis masa

 berlakunya dan masih terikat sebagai jaminan hutang PT Djaya Tunggal kepada Bank

Perkembangan Asia. Kekalutan yang melada Bank Perkembangan Asia ini

menyebabkan persoalannya ditangani oleh Bank Indonesia dengan mengubah

susunan pengurus Bank Perkembangan Asia tersebut.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 111: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 111/141

  96

  Karena merasa dirugikan dalam masalah pinjaman kredit belum dibayar oleh

direktur PT. Djaya Tunggal (wanprestasi); dan pelepasan dua bidang tanah sertifikat

HGB No. 39 dan No. 40 yang terikat sebagai jaminan kreditnya PT. Djaya Tunggal

oleh salah seorang pengurusnya (Lee Darmawan) merupakan perbuatan yang

melawan hukum, maka pihak PT. Bank Perkembangan Asia mengajukan gugatan

 perdata di Pengadilan Negeri terhadap para Tergugat :

1)  PT. Djaya Tunggal

2)  Tan Sri Junaida

3)  Koesnaen

4)  Lee Darmawan

5)  Harry Kianto

6)  Jahya

7)  Samadi ex Notaris PPAT Bogor

8)  Walikota Bogor/Kepala Kantor Agraria Bogor.

Penggugat, PT. Bank Perkembangan Asia dalam gugatan tersebut mengajukan

tuntutan (petitum) yang pokoknya sebagai berikut:

-  Melarang Tergugat VIII Kantor Agraria menerbitkan sertifikat baru sebagai

 pengganti sertifikat HGB No. 39 dan No. 40 yang telah berakhir masa

 berlakunya.

-  Menghukum Tergugat/siapapun saja yang mendapat hak, membayar denda

Rp. 100 ribu perhari, bila lalai memenuhi putusan ini.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 112: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 112/141

  97

-  Meletakkan sita jaminan kepada dua bidang tanah atas nama PT. Djaya

Tunggal tersebut di atas.

Atas gugatan Bank tersebut diatas, pihak Tergugat mengajuklan eksepsi yang

menyatakan bahwa pihak Penggugat dalam gugatannya telah mencampuradukkan

antara tuntutan wanprestasi dengan tuntutan perbuatan melawan hukum. Eksepsi ini

ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan bahwa tidak ada larangan dalam Hukum

Acara – HIR untuk mengajukan dua macam tuntutan: wanprestasi dan perbuatan

melawan hukum dalam satu surat gugatan.

Para Tergugat I s/d V memberi tanggapannya bahwa mereka mengakui bahwa

Tergugat I, PT. Djaya Tunggal mempunyai hutang kepada Penggugat seperti yang

disebut dalam Surat Gugatan, dan PT. Djaya Tunggal telah tidak aktif lagi, menderita

kerugian 75% dari jumlah modal dan tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada

Bank (insolvensi). Perusahaan telah bubar.

Hutang tersebut adalah hutang PT. Djaya Tunggal dan menjadi tanggung

 jawab PT. Djaya Tunggal, sebatas harta kekayaan yang dimilki oleh PT tersebut. Para

Tergugat II s/d V secara pribadi tidak harus dimintai tanggungjawab untuk

membayar secara tanggung renteng terhadap hutang PT. Djaya Tunggal tersebut.

Dengan alasan tersebut, para Tergugat menolak gugatan yang diajukan oleh

Penggugat.

Dalam gugatan rekonspensi Tergugat VI berdalil bahwa Penggugat

Rekonpensi (Tergugat asal VI) telah mengajukan permohonan sertifikat baru atas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 113: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 113/141

  98

tanah negara sesuai dengan prosedurnya yang mana akibat perbuatan Penggugat asal

(Bank), maka Penggugat Rekonpensi menderita kerugian keuntungan yang

diharapkan dari partner dagangnya.

Majelis hakim pada Pengadilan Negeri yang mengadili perkara ini dalam

 putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya adalah sebagai berikut:

Tergugat I, PT. Djaya Tunggal mengakui meminjam uang pada penggugat

yang dituangkan dalam Perjanjian kredir seluruhnya berjumlah Rp.

5.502.293.038.04,- Namun Tergugat I tidak membayar hutangnya tersebut kepada

Penggugat. Hal ini membuktikan bahwa PT. Djaya Tunggal telah wanprestasi.

PT. Djaya Tunggal menderita kerugian 75% dari modalnya dan tidak mampu

lagi membayar hutangnya (insolvensi) menurut Pasal 47 ayat (2) KUH Dagang,

 perusahaan ini menurut hukum menjadi bubar. PT. Djaya Tunggal merupakan suatu

 badan hukum diatur dalam pasal 36 s/d 56 KUH Dagang. Perusahaan yang dinyakan

insolvensi seharusnya malalui prosedur hukum yang ditentukan dalam Undang-

undang Kepailitan (Failessement Verardening). Prosedur tersebut tidak pernah

dilakukan oleh PT. Djaya Tunggal.

Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) KUH Dagang, para Pengurus Perseroan

Terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh PT

tersebut. Tergugat IV, Lee Darmawan selaku Presiden Komisaris PT. Djaya Tunggal

tidak mempunyai wewenang untuk melepaskan dua bidang tanah milik PT. Djaya

Tunggal kepada pihak ketiga (Yahya). Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 12 Akta

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 114: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 114/141

  99

Pendirian PT. Djaya Tunggal. Pelepasan dan pelimpahan tanah-tanah tersebut melalui

Akta No. 12 yang dibuat oleh Notaris/PPAT Samadi, (Tergugat VII) adalah tidak sah,

karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. Karena itu syarat Pasal 1365

KUH Perdata tidak dapat dipenuhi.

Penggugat Rekonpensi terbukti bersama-sama dengan Tergugat Konpensi

melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat Konpensi dan

menimbulkan kerugian bagi Penggugat Konpensi (Bank). Karena itu gugatan

Rekonpensi tersebut harus ditolak.

Akhirnya Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan sebagai berikut :

1)  Menolak gugatan dalam petitum Primair

2)  Mengabulkan gugatan dalam petitum Subsidair

3)  Menyatakan sita jaminan tanah sertifikat HGB No. 39 dan HGB No. 40 atas

nama PT. Djaya Tunggal, adalah sah dan berharga.

4)  Menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pinjam Uang No. 58, No. 60, No.

06/KR/BPA/84.

5)  Menyatakan Tergugat I, PT. Djaya Tunggal berhutang kepada Penggugat Rp.

5.502.293.038.84.

6)  Menyatakan PT. Djaya Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada

Penggugat.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 115: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 115/141

  100

7)  Menyatakan Tergugat II, III, IV, V, VI, VII melakukan perbuatan melawan

hukum (onrechmatige daad ) dan menyatakan Tergugat VIII melakukan

 perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (onrechmatige overheids daad ).

8)  Menyatakan batal Akta No. 12 yang dibuat oleh Tergugat VII Samadi.

9)  Menghukum Tergugat I, PT. Djaya Tunggal untuk mengembalikan seluruh

 pinjamannya berikut bunganya Rp. 5.502.293.038.84.

10) Menghukum Tergugat II, III, IV, V, VI, VII untuk membayar ganti kerugian

Rp. 100.000.000,- secara tunai kepada Penggugat. Menghukum Tergugat VIII

untuk mematuhi putusan ini.

Pengadilan Tinggi

Para Tergugat menolak putusan Pengadilan Negeri tersebut dan mengajukan

 pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim Banding dalam putusannya

memberi pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:

Menurut UU No. 5 Tahun 1960 jo Keppress No. 32/Thn 1979, sertifikat tanah

HGB No. 39 dan HB No. 40 keduanya atas nama PT. Djaya Tunggal, terbukti sudah

 berakhir masa berlakunya, sehingga statusnya menjadi ”tanah negara” sejak tanggal

24 September 1980. Dengan demikian Tergugat I, sudah tidak mempunyai hubungan

hukum dengan tanah-tanah sengketa tersebut. Karena itu sertifkat tanah HGB No. 39

dan HGB No. 40 tersebut sudah tidak dapat digunakan sebagai jaminan hutang.

Menurut Hakim Banding, setiap perjanjian pinjam-meminjam uang dengan

 jaminan hak atas tanah, maka perjanjian tersebut harus dibuktikan dengan suatu akta

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 116: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 116/141

  101

hipotik yang dibuat di hadapan PPAT dan berdasdar PP No. 10 Tahun 1961 Pasal 19

 jo PMA No. 15 Tahun 1961 harus didaftarkan pada Kantor Agraria.

Oleh karena Perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan tanah tersebut

tidak berdasar pada ketentuan hukum yang berlaku, maka harus dinyatakan batal

demi hukum, sehingga permohonan Tergugat VI/Jahya Paedjokerto untuk

memperbaharui sertifikat HGB tersebut sudah memenuhi persyaratan hukum yang

 berlaku. Selanjutnya Hakim Banding berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan

Hakim Pertama sudah benar dan tepat dan harus dikuatkan.

Mahkamah Agung RI

PT. Bank Perkembangan Asia menolak putusan Pengadilan Tinggi tersebut

dan mengajukan pemeriksaan kasasi. Menurut Majelis Mahkamah Agung bahwa

 pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi adalah bertentangan dengan hukum.

Pengadilan Tinggi tidak perlu menyatakan perjanjian batal demi hukum. Perjanjian

harus dinyatakan tetap sah dan mengikat kedua belah pihak, hanya PT. Bank

Perkembangan Asia (Pemohon Kasasi) telah kehilangan tanah yang dijadikan

 jaminan sehingga dapat dinyatakan perjanjian pinjam-meminjam uang anatar para

 pihak adalah tanpa jaminan tanah.

Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat

kasasi, dalam putusannya berpendapat bahwa putusan Judex facti Pengadilan Tinggi

salah menerapkan hukum, sehingga putusannya harus dibatalkan. Majelis Mahkamah

Agung berpendapat bawha telah terbukti oleh Judex Facti, bahwa pengurus PT. Djaya

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 117: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 117/141

  102

Tunggal (Tergugat I) adalah sama dengan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia

(Penggugat) sebelum Bank ini diambil alih oleh Bank Indonesia, karena kalah

dalam kliring.

Pemberian kredit oleh PT. Bank Perkembangan Asia (Penggugat) kepada

PT. Djaya Tunggal (Tergugat) tersebut, merupakan kredit yang diberikan kepada

Perusahaan yang didirikan dan termasuk PT. Bank Perkembangan Asia sendiri.

Dengan demikian pada diri Tergugat I, (PT. Djaya Tunggal) dan Penggugat

(Bank), pada saat terjadi pemberian kredit, bersatu pada diri Tergugat II s/d V.

Pemberian kredit dari Penggugat Bank kepada PT. Djaya Tunggal, suatu

 perusahaan yang dimiliki oleh Bank tersebut, menimbulkan dugaan adanya

 persengkongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I, II, III, IV, V dengan

 penggugat (Bank). Kasus yang demikian itu menurut ajaran hukum termasuk

sebagai : extension de passip  atau "Piercing the Corporate" (Lefting The

Corporate Veil)  yakni : Pembatalan pertanggungjawaban (limited liability) dari

suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dibebankan kepada para pengurusnya, apabila

tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama PT tersebut

mengandung persengkongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian

kepada pihak lain.

Dalam kasus ini, para Tergugat II s/d V sebagai Pengurus "PT Bank

Perkembangan Asia" dan sekaligus juga pengurus PT. Djaya Tunggal (Tergugat I)

dengan bersekongkol dan beritikad buruk, meminjamkan uang kepada

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 118: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 118/141

  103

 perusahaannya sendiri tanpa credit analysis  dan benda jaminannya (tanah HGB

 No.39 dan 40) yang diketahui sudah habis masa waktunya. Kerugian yang diderita

oleh Bank (Penggugat), tidak hanya dibebankan kepada PT. Djaya Tunggal

(Tergugat I) saja, akan tetapi meliputi para pengurusnya, Tergugat I s/d V secara

tanggung renteng.

Tanah HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang sudah berakhir masa berlakunya

itu sudah menjadi tanah negara, jauh sebelum perjanjian kredit ditandatangani

sehingga tanah ini tidak sah sebagai barang jaminan. Tindakan pemberian hak

 baru oleh Tergugat VIII (Kantor Agraria) kepada tergugta VI (Jahya) atas tanah ex

HB No. 39 adalah sah, karena Kantor Agraria yang memberikan hak atas tanah

tersebut. Tanah tersebut telah menjadi tanah negara (Keppres No. 32 tahun 1979)

dan sesuai dengan fungsi dan kewenangan pejabat agraria setempat.

Tentang gugatan Rekonpensi yang ternyata tidak memenuhi syarat formil

gugatan, yaitu karena petitumnya tidak diperinci dan hanya berbentuk ”ex aquo et

bono”, sehingga gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.

B.  Analisis Kasus

Kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit antara pihak kreditor

(PT. Bank Perkembangan Asia) dengan debitornya (PT. Djaya Tunggal). Dalam

ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “Suatu

 perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih”. Dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut dapat dilihat

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 119: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 119/141

  104

 bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.

Hal ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau

lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas

 prestasi tersebut.

Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan

dilahirkan karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Ditegaskan bahwa setiap

kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait

dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti

“perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam

 bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak

dalam hubungan hukum tersebut”.125

 

Menurut Yahya Harahap, perjanjian atau Oveerenskomt   mengandung

 pengertian “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih

yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.126

  Sedangkan

menurut R. Subekti, perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

125  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 17

126 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 6

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 120: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 120/141

  105

suatu hal”.127

 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian menerbitkan perikatan. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan

adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana

 pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain yang berkewajiban

memenuhi tuntutan itu”.128

  R. Subekti mengartikan perikatan sebagai “suatu

 perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang

satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi

tuntutan itu”.129

  Sedangkan menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja

“perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam huungan hukum perikatan

tersebut”.130

 

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian

itu menerbitkan perikatan, perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber-

sumber lain (undang-undang).

Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal

tertentu; dan suatu sebab yang halal.

127 R. Subekti , 1976, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1

128  Ibid  129  Ibid130 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Loc cit  

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 121: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 121/141

  106

Dua syarat yag pertama adalah syarat yang menyangkut subjeknya yang

disebut syarat subjektif dan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Suatu

 perjanjian yang mengandung cacat dari segi subjeknya, maka tidak selalu

menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya (nietig), tetapi memberi

kemungkinan untuk dimintakan kebatalannya (vernietigbaar ). Sedangkan

 perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut

adalah batal demi hukum.131

 

Jika diperhatikan dari perjanjian antara pihak PT. Djaya Tunggal dan

PT. Bank Perkembangan Asia, maka perjanjian tersebut adalah sah dan

mengikat kedua belah pihak, oleh karena syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi. Hanya

saja objek perjanjian tersebut menjadi hapus, karena berakhirnya masa HGB

kedua tanah yang digunakan sebagai jaminan tersebut. Oleh karenanya adalah

keliru putusan Hakim Banding yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut

 batal demi hukum, oleh karena objek dari perjanjian itu adalah nyata adanya,

dan adalah benar apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan

 Negeri dan Mahkamah Agung bahwa perjanjian itu adalah sah dan mengikat

kedua belah pihak. Walaupun akta tersebut tidak berupa akta otentik, namun

 berupa akta di bawah tangan, namun berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata bahwa

 perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain,

131 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 163-164

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 122: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 122/141

  107

sehingga perjanjian tersebut adalah sah dan merupakan bukti bahwa PT. Djaya

Tunggal berhutang kepada PT. Bank Perkembangan Asia.

Perjanjian antara para pihak dalam kasus ini merupakan perjanjian

kredit perbankan. Dalam mengucurkan kreditnya, suatu bank harus berpegang

 pada beberapa prinsip, khususnya prinsip kehati-hatian. Pihak Bank (PT. Bank

Perkembangan Asia) memberikan pinjaman kredit dalam jumlah besar kepada

PT. Djaya Tunggal yang termasuk dalam group Bank tersebut, dimana proses

 pemberian kredit ini ternyata tanpa analisa kredit. Dalam mengucurkan kredit oleh

suatu bank maka harus dilakukan dengan berpegang pada beberapa prinsip sebagai

 berikut:132

 

a)  Prinsip Kepercayaan

Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka dalam pemberian kredit hendaknya selalu dibarengi oleh kepercayaan, yakni

kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor

sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar

kembali kreditnya. Tentunya untuk dapat memenuhi unsur kepercayaanini, oleh kreditor mestilah dilihat apakah calon debitor diberikan

 berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap pemberian suatukredit. Karena itu timbul prinsip lain yang disebut prinsip kehati-

hatian.

 b)  Prinsip Kehati-hatianPrinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari

 prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan

 prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini maka berbagai fungsiusaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri, Bank

Indonesia maupun oleh pihak luar.

132 Munir Fuady, V, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer , PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

hal. 21-26

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 123: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 123/141

  108

c)  Prinsip 5 C

Prinsip 5 C adalah singkatan dari unsur-unsur Character, Capacity,

Capital, Condition dan Collateral. (1) Character  (kepribadian)

Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum

memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakterkepribadian/watak dari calon debitornya. “Kepribadian, moral dan

kejujuran dari calon nasabah perlu diperhatikan sehubungan untuk

mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik,yang timbul dari perjanjian yang akan diadakan”.

133  Karena itu,

sebelum kredit dikucurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah

misalnya calon debitor yang bersangkutan berkelakuan baik, dan

tidak terlibat tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya.

(2) 

Capacity (kemampuan)Seorang calon debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya,

sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk melunasihutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak

diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend

 bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kredit jugasemestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya itu karena

kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan

 biaya peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya dipastikan akansemakin membaik.

(3) Capital (modal)Capital adalah “modal usaha dari calon nasabah yang telah 

tersedia/telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit”.134

 Permodalan dari suatu debitor juga merupakan hal yang harus

diketahui oleh calon kreditornya. Karena permodalan dankemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai

korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi,

masalah likuidasi dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.

(4) Condition (kondisi)

Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakanfaktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan,

terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitor.

133 Edi Putra The’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty, 1989,hal. 12

134  Ibid , hal. 13

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 124: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 124/141

  109

(5) Collateral (agunan)

Dalam pemberian kredit, fungsi agunan sangat penting. Jaminan ini

 bersifat sebagai jaminan tambahan karena jaminan utama kreditadalah kepribadian calon nasabah dan kemampuan usahanya.

d)  Prinsip 5 P

Dalam pemberian kredit, selain prinsip 5 C juga terdapat prinsip 5 Pyang merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment,

Profitability dan Protection.

(1)  Party (para pihak)Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap

 pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus

memperoleh suatu "kepercayaan" terhadap para pihak, dalam hal

ini debitor. Bagaimana karakternya, kemampuannya dan lain

sebagainya.(2)  Purpose (tujuan)

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditor. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk

hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income

 perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar- benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang diperjanjikan

dalam suatu perjanjian kredit.

(3)  Payment (pembayaran)Sumber pembayaran kredit dari calon debitor juga harus

diperhatikan, apakah cukup tersedia atau cukup aman sehingga

dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan

tersebut dapat dibayar kembali oleh debitor yang bersangkutan.Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit

nanti, debitor punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatantersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

(4)  Profitability (perolehan laba)

Unsur perolehan laba oleh debitor tidak kurang pula pentingnyadalam suatu pembayaran kredit. Untuk itu, kreditor harus dapat

 berantisipasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan

mampu menutupi pembayaran kembali kredit, cash,flow dansebagainya.

(5)  Protection (perlindungan)

Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaandebitor. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau

 jaminan perusahaan (corporate guarantee) atau jaminan pribadi

( personal guarantee) pemilik perusahaan adalah penting dan harus

diperhatikan. Terutama untuk berjaga jaga sekiranya terjadi hal-haldi luar prediksi semula.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 125: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 125/141

  110

e)  Prinsip 3 R

Yang dimaksud dengan prinsip 3R adalah singkatan dari  Returns,

 Repayment, dan Risk Bearing Abil ity.(1)   Returns (hasil yang diperoleh) Returns merupakan hasil yang akan diperoleh oleh debitor, dalam

hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasioleh kreditor. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk

membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, di

samping membayar keperluan perusahaan yang lain misalnyauntuk membayar cash flow, kredit lain jika ada dan lain-lain.

(2)   Repayment (pembayaran kembali)

Kemampuan membayar dari pihak debitor tentu saja harus

dipertimbangkan. Apakah kemampuan membayar tersebut sesuai

dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akandiberikan itu.

(3)   Risk Bearing Abil ity (kemampuan menanggung resiko)Selain itu juga perlu diperhatikan sejauh mana terdapatnya

kemampuan debitor untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal

terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jikadapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus

diperhatikan apakah jaminan dan/atau asuransi barang atas kredit

sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut.

Dari kelima prinsip tersebut, prinsip kehatian-hatian sangat penting

yang dikenal dengan  prudential banking. Prinsip kehati-hatian atau prudential

banking didasarkan pada Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang

menyatakan, bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuidasi,

rentabilitas solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank

serta wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian.135

 

135 Try Widiono, Op cit , hal. 106

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 126: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 126/141

  111

Undang-undang Perbankan tidak mengatur mengenai pengertian prinsip

kehati-hatian itu, tetapi apabila dilihat sebagian produk peraturan yang berkaitan

dengan perbankan, terdapat kata-kata yang intinya pelaksanaan dan atau

kebijakan bank harus berpedoman kepada prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-

hatian ini erat hubungannya dengan doktrin fiduciary duty.  Namun demikian,

tidak berarti UUPT tidak menganut prinsip kehati-hatian ini.

Prinsip kehati-hatian adalah prinsip universal dalam tindakan apa pun,

 baik disebut atau tidak. Sekalipun UUPT tidak menyebut secara tekstual,

tetapi dengan mengadopsi prinsip  fiduciary duty, hakikatnya prinsip kehati-

hatian ini juga dijadikan landasan dalam UUPT. Prinsip kehati-hatian yang di

dalamnya terdapat duty of care and skill memiliki standard of care, yaitu:

a.   itikad baik (good of faith);

 b.   loyalitas yang tinggi (hight degree of loyality); 

c.   kejujuran (honesty); 

d. 

 peduli (care);

e.  kemampuan/kecakapan (skill);

f.   peduli terhadap pelaksanaan hukum (care of law enforcement).136

 

Seseorang dikatakan memiliki  fiduciary capacity  jika bisnis yang

ditransaksikannya atau uang/properti yang ditangani bukan miliknya atau bukan

untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang

lain tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang besar

(great trust ) kepadanya. Sementara itu, pihak yang diberi kepercayaan wajib

136  Ibid , hal. 107

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 127: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 127/141

  112

mempunyai itikad yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan

tugasnya.

137

 

Antara pihak yang mempunyai kapasitas  fi duciary  ( fi duciary

capasity) dengan pihak yang diasuhnya atau yang harta bendanya diurus,

terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan  fi duciary relati on 

yaitu suatu hubungan yang timbul dari hubungan  fiduciary  secara

teknikal maupun hubungan informal yang timbul pada saat seorang

 percaya (trust ) atau bergantung (rely) kepada orang lain. Dalam hal ini

seorang percaya (trust ) kepada orang lain, dimana orang lain tersebut

 berti ndak dengan iti kad baik (good faith) dan dengan penghormatan yang

 baik (due regard ) dan fair kepada kepentingan orang lain tersebut.

Dilihat dari prinsip  fiduciary duty   di atas, maka dalam kasus ini direksi

telah melakukan pelanggaran atas prinsip-prinsip  fiduciary duty, dimana direksi

telah dengan itikad buruk mengalihkan hak kepemilikan 2 (dua) bidang tanah

sebagai jaminan kredit. Sedangkan bank merupakan badan hukum yang

menghimpun dana masyarakat, dimana masyarakat mempercayakan dananya pada

 pihak bank, sehingga dalam hal ini direksi/komisaris dituntut untuk bertindak

sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal

92 UUPT, dan dalam kasus ini dapat diketahui bahwa direksi melanggar asas

 fiduciary duty  secara disengaja, bukan karena kesalahannya. Oleh karenanya

137 Munir Fuady, II, hal. 78

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 128: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 128/141

  113

 berdasarkan prinsip  piercing the corporate veil, direksi dapat dimintakan

 pertanggungjawabannya.

Menurut hukum di Amerika, tanggung jawab direktur secara pribadi

tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, tetapi untuk

dibebankan tanggung jawab, direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal

 berikut ini terhadap tindakan perusahaan:

a.  direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau

 b.  direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau

c.  ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.138

 

Pengurus PT. Djaya Tunggal adalah sama dengan pengurus PT. Bank

Perkembangan Asia, yaitu :

a.  Presidan Direktur : Tan Sri Junaida

 b.  Direktur : Koesnaen

c.  Presiden Komisaris : Lee Darmawan

d. 

Komisaris : Herry Kianto

Dari kasus ini, terjadi rangkap jabatan antara pengurus PT. Bank

Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian pada saat

 perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasikan oleh Dewan Direksi dan

Dewan Komisaris kedua badan hukum tersebut, maka telah menyatu pada masing-

masing pengurus tersebut.

138 Munir Fuady, IV, Op cit , hal. 58

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 129: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 129/141

  114

Perbuatan direktur PT. Bank Perkembangan Asia merupakan suatu perbuatan

yang beritikad buruk yang menyebabkan pailitnya perusahaan. Dalam pengadaan

kredit/pinjaman kepada PT. Djaya Tunggal oleh PT. Bank Perkembangan Asia, maka

sesungguhnya hal ini sudah menyalahi hukum, karena direktur PT. Bank

Perkembangan Asia adalah sama dengan direksi PT. Djaya Tunggal, sehingga terjadi

apa yang disebut dengan conflict of interest  (konflik kepentingan). Akan tetapi pihak

direksi PT. Bank Perkembangan Asia mengizinkan dan memberikan kredit/pinjaman

kepada PT. Djaya Tunggal yang merupakan perusahaan yang mereka kuasai pula.

Keputusan Hakim Agung yang menyatakan bahwa pihak direksi/ komisaris

 berdasarkan prinsip  piercing the corporate veil  dapat dimintakan

 pertanggungjawabannya, sehingga ia tidak dapat berlindung dibalik asas

 pertanggungjawan terbatas direksi, adalah benar.

Dalam putusan majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi

 bahkan di Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa sanksi/hukuman hanya dibebankan

kepada direksi, sedangkan komisaris tidak dikenakan hukuman. Hal ini tentu saja

tidak adil, karena walau bagaimanapun komisaris juga mempunyai kewenangan di

 perseroan tersebut. Selain itu juga patut diduga bahwa komisaris juga mengetahui

adanya perjanjian kredit tersebut dan pihak penerima kredit merupakan anak

 perusahaan PT. Bank Perkembangan Asia. Oleh karenanya patutlah apabila pihak

komisaris juga harus ikut bertanggungjawab atas kerugian atau kepailitan bank.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 130: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 130/141

  115

Seharusnya dewan komisaris juga harus bertanggungjawab karena komisaris

 bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan

nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan adalah komisaris sebagaimana

diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT. Walaupun dalam UUPT tidak terdapat suatu

 pasal khusus yang mengatur tentang tanggung jawab Komisaris dalam hal terjadinya

kerugian atau pailit atas perseroan terbatas tersebut, akan tetapi Komisaris wajib

dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan

dan usaha perseroan.139

 

Dalam Pasal 114 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa ”Dewan Komisaris

 bertanggung jawab atas pengawasan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal

108 ayat (1)”. Dalam ketentuan Pasal 108 ayat (1) disebutkan bahwa Dewan

Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan

 pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberikan

nasihat kepada direksi”.

Pengawasan dan pemberian nasehat dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT

dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

 perseroan. Dalam penjelasan Pasal 108 ayat (2) UUPT dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan ”untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

 perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh

Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk

139 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit , hal. 443

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 131: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 131/141

  116

kepentingan perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan

 perseroan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT menentukan bahwa ”Setiap

anggota Dewan Komsiaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung

 jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nesehat kepada direksi

untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”.

Ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT ini merupakan prinsip duty of care, yang harus

dipatuhi oleh dewan komisaris. Sebagaimana prinsip duty of care dari seorang direksi

maka, apabila Dewan Komisaris telah melanggar prinsip tersebut dengan demikian

 juga dapat dikenakan hukuman. Dewan Komisaris juga ikut bertanggung jawab

secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya.

Walaupun Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan namun tidak

 berarti komisaris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak dapat dimintai

 pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerugian atas perseroan. Dalam ketentuan

Pasal 114 ayat (3) UUPT dibebankan kewajiban kepada anggota komisaris, maka

secara implisit hukum juga memberikan sanksi apabila kewajiban itu dilanggar. Jika

dalam anggaran dasar diberikan kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan

 persetujuan kepada Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu, maka dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 132: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 132/141

  117

tersebut, Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang

dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.

Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalain dewan Komisaris

dalam melakukan pengawasan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan

 perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan

tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung

 jawab dengan anggota Direksi atau kewajiban yang belum dilunasi.

Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya

apabila dapat membuktikan :

a.  Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b.  Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian

untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

 perseroan;c.  Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan

kepailitan, dan

d. 

Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinyakepailitan.

140 

Dewan Komisaris dalam kasus ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 115

ayat (3) UUPT. Kepailitan yang terjadi atas PT. Bank Perkembangan Asia juga

disebabkan kurang atau tidak adanya pengawasan dari Dewan Komisaris terhadap

direksi, khususnya dalam pemberian kredit. Selain itu juga adanya rangkap jabatan

 pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal menjadi suatu

indikasi tidak dijalankannya tugas dan fungsi Dewan Komisaris dengan baik yang

140 Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 133: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 133/141

  118

dikarenakan adanya benturan kepentingan di dalamnya dimana Dewan Komisaris PT.

Djaya Tunggal juga merupakan Dewan Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia,

yang pada pada akhirnya menimbulkan kepailitan.

Oleh karenanya dalam suatu perseroan sehausnya ada 1 (satu) orang atau

lebih komisaris independen dan 1 (satu) orang komisasir utusan, yang dapat diatur

dalam Anggaran Dasar Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 UUPT.

Komisaris independen ini diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang

tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota

Dewan Komisaris lainnya. Dalam Pedoman Tata Kelola Perseroan yang Baik (Code

of Good Corporate Governance), Komisaris Independen adalah Komisaris dari

 pihak luar. Dengan demikian Komisais independen ini dapat melakukan tugas,

fungsi dan wewenangnya dalam melakukan pengawasan dan memberikan nesehat

kepada Direksi dalam menjalankan pengurusan perusahaan.

Menurut Bismar Nasution bahwa :

Istilah good corporate governance  dapat juga mencakup segala aturan

hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat

mempertanggungjawabkan kegiatanya di hadapan pemegang saham dan publik. Selain itu, istilah good corporate governance  juga dapat mengacu

 pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, atau mengacu pada

keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit istilah good corporate

governance dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik

dewan direksi, termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan

hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegangsaham, yang didasarkan pada pendangan bahwa dewan direksi merupakan

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 134: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 134/141

  119

 perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan

dikelola demi kepentingan pemegang saham.141

 

Sesuai dengan prinsip good corporate governance ini maka dalam pemberian

kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan

tanggung jawab, sehingga sumber kredit dapat menjadi stabil dan dipercaya

sekaligus mencegah timbulnya resiko yang berlebihan.

Jika dilihat dari pertimbangan hukum majelis hakim agung yang

menggunakan prinsip  piercing the corproate veil  dalam penerapan kasus ini,

merupakan suatu hal yang tidak lazim. Hal ini dikarenakan pada saat diputuskannya

kasus ini yakni tahun 1989, undang-undang perseroan belum ada di Indonesia,

hanya ada KUH Dagang yang mengatur tentang perusahaan yang tidak mengenal

adanya  prinsip piercing corporate veil ini. Hal ini merupakan suatu kemajuan

dalam peradilan di Indonesia, karena Bismar Nasution mengatakan bahwa:

Kepercayaan terhadap pengadilan akan sangat tergantung pada pelayanan

hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan harusdapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan” (the

last bastion of justice). Untuk itu hakim harus aktif dalam melakukan

 penemuan hukum sekaligus menciptakan kewibawaan hukum melaluikepastian hukum.

142 

Prinsip piercing corporate veil hanya dikenal dalam Common Law System,

tidak dalam Civil Law System. Dalam sistem civil law, sumber hukumnya terdiri

141  Bismar Nasution, I, 2007,  Hukum Kegiatan Ekonomi I , Books Terrance & Library,

Bandung, hal. 158142  Bismar Nasution, II, 2004,  Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan

 Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas

Hukum USU, 17 April 2004, hal. 19

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 135: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 135/141

  120

dari Statues, Regulation  dan Customs. Statues  adalah merupakan undang-undang,

sedangkan regulation  merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya telah

melalui power delegation dari legislatif kepada eksekutif. Sumber ketiga yaitu

customs adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalama masyarakat yang tidak

dituangkan dalam bentuk tertulis (non statory law). Adapun alasan

 pengkualifikasian kebiasaan ke dalam sumber hukum dengan syarat kebiasaan itu

merupakan representasi hukum dengan catatan tidak ada statue dan regulasi yang

 bertentangan dengannya (custom).143

 

Apabila sumber hukum hanya terbatas pada konstitusi, undang-undang

regulasi, dan kebiasaan sebagai konsekuensi terhadap posisi dan kewenangan hakim

hanya sebatas “menerapkan hukum” maka tidak dimungkinkan hakim merujuk pada

referensi atau sumber lain, seperti pendapat, tulisan para pakar hukum terkemuka

dan keputusan pengadilan sebelumnya (stare desicis).

Oleh karena itu, mejelis hakim agung dalam memutuskan kasus ini

menerapkan prinsip stare decisis  yang dianut dalam common law system  dimana

hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya dapat menggunakan referensi

dari pakar hukum terkemuka mengenai perseroan terbatas dan dengan

menggunakan prinsip  piercing the corporate veil  ini, pertanggungjawaban hukum

dapat dibebankan kepada direksi yang telah mengakibatkan kepailitan pada PT.

Bank Perkembangan Asia.

143 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 68

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 136: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 136/141

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal

 berikut ini :

1. 

Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas

(PT. Djaya Tunggal) dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya

 penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang saham minoritas,

 pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith) memanfaatkan perseroan

semata-mata untuk kepentingan pribadi, Pemegang saham yang bersangkutan

terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau

 pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung

secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup

untuk melunasi utang perseroan atau PT.

2.  Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas

tertentu mengakui berlakunya teori  piercing the corporate veil ini. Penerapan

teori  piercing the corporate veil  ke dalam tindakan suatu perseroan,

menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan

tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban

121

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 137: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 137/141

  122

 

hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan,

 penerapan teori  piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga

membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain

seperti direksi atau komisaris

3.  Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal,

Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin  piercing the corporate veil 

sehingga dalam kasus ini direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan,

tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya, oleh karena perbuatannya telah

 bertentangan dengan prinsip  fiduciary duty  dan juga bertentangan dengan

anggaran dasar perusahaan, yang tidak saja merugikan perusahaan tetapi ikut

merugikan pemegang saham lainnya.

B.  Saran

1. 

Disarankan agar Prinsip Piercing The Corporate Veil  ini lebih dipertegas

 pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara hakim

dapat melakukan penerobosan atas tanggung jawab terbatas direksi yang sulit

ditembus oleh pengadilan. Para hakim seharusnya lebih menambah pengetahuan

dan keahlian dalam menangani kasus-kasus dalam bidang hukum perusahaan,

yang lebih banyak memakai asas-asas hukum yang berasal dari anglo saxon

system. 

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 138: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 138/141

  123

 

2.  Agar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu

orang Komisaris independen oleh karena jabatan Komisaris independen ini dapat

mencegah agar tidak terjadi rangkap pimpinan seperti PT. Djaya Tunggal dan PT.

Bank Perkembangan Asia ini. Dalam pengelolaan bank harus diformulasikan

sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance  agar kualitas

 pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi bank sekaligus menjaga

kepercayaan masyarakat.

3.  Perjanjian kredit antara debitor dengan pihak Bank sebaiknya jangan dibuat

dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi dibuat secara notariel yang berupa

akta notaris sehingga dapat dikontrol oleh Bank Indonesia. Hal ini tentunya dapat

meminimalisir terjadinya kecurangan ataupun itikad buruk dari para pihak.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 139: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 139/141

DAFTAR PUSTAKA

I.  Buku-buku

Ais, Chatamarrasjid. I. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual

 Hukum Perusahaan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

. II. 2000.  Menyingkap Tabir Perseroan. PT. Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St Paul. Minn

West Publising Co.

Clark, Robert Charles. 1986. Corporate Law., Little Brown and Company. Boston.

USA.

Fuady, Munir. I. 2002.  Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. PT.

Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. II. 2002.  Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan

 Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. III. 1996.  Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. IV. 1994.  Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Fuady, Munir. V. 1996.  Hukum Perkreditan Kontemporer . PT Citra Aditya Bakti.Bandung.

Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung.

K, Dani. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Pada Umumnya. PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

124

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 140: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 140/141

  125

 Nasution, Bismar. I. 2007.  Hukum Kegiatan Ekonomi I . Books Terrance & Library.

Bandung.

 Nasution, Bismar. II. 2004.  Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan

Pembangunan Ekonomi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetapdalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum USU. 17 April 2004.

Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1. PT.

Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sirait, Ningrum N. 2006.  Modul Hukum Perusahaan. Program Studi Magister Ilmu

Hukum. USU. Medan.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif . PT. Radja Grafindo Persada.

Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.  Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Subekti , R. 1976. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.

Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.  PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

The’Aman, Edi Putra. 1989. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis,Liberty.Yogyakarta.

Usman, Rachmadi. 2004.  Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas.  PT.Alumni. Bandung.

Widiyono, Try. 2005.  Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan)

Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan

 Doktrin Hukum dan UUPT . Ghalia Indonesia. Jakarta.

Widjaja, Gunawan. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.

RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS

(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.

Page 141: Piercing corporate

7/21/2019 Piercing corporate

http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 141/141

  126

Widjaya, I.G. Ray. 2000. Hukum Perusahan. Megapoin. Jakarta.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

II.  Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang

 Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

III.  Majalah/Jurnal

Majalah Varia Peradilan Tahun XIV Nomor 160, Januari 1999

Sjahdeni, Sutan Remi 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”.