plagiat merupakan tindakan tidak terpujirepository.usd.ac.id/31664/2/136322001_full.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
WACANA PEMBENTUKAN IDENTITAS NASIONAL NEGARA TIMOR
LESTE DALAM PENGGUNAAN MULTI-BAHASA DI MEDIA MASSA
(Analisis Wacana Kritis atas Penggunaan Empat Bahasa dalam
Harian “Suara Timor Lorosae”)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar
Master Humaniora (M. Hum.)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh :
Jolni Delila Ora
136322001
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Motto
SEBAB BAGI ALLAH
TIDAK ADA YANG MUSTAHIL
(Lukas 1 : 37)
Jangan Tidur, Jangan Duduk, Jangan Berdiri,
‘Tetapi Berjalanlah’
Karena Dengan Berjalan
Anda Mengetahui Banyak Hal.
(Yulius Seran Bria, 2001)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Persembahan
Tesis ini ku persembahkan untuk Suamiku Tercinta
Willibrodus Manek
serta Kedua Orang Tuaku
Bapak Felipus Ora & Mama Sarlina Ora Rensini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Keinginan penulis untuk mengkaji identitas nasional Negara Timor Leste
merupakan sebuah keinginan yang sudah lama terpendam. Bermula dari
kunjungan penulis ke Timor Leste pada tahun 2009. Setiap bertemu dengan
teman-teman mahasiswa yang datang ke rumah, kami selalu berbincang soal
penggunaan bahasa yang dipakai di negara tersebut, baik dalam bidang
pendidikan dan semua aspek kehidupan yang terkait di dalamnya termasuk media
massa. Beberapa di antara mereka yang menyatakan, ‗kami tidak jelas‘ ―Identitas
kami tidak jelas‖, ‗kami tidak tahu bahasa apa yang harus kami pakai karena
pemerintahan kami mengakui empat bahasa.‘ Percakapan semacam ini
memunculkan ketertarikan dan keinginan penulisan yang kuat untuk meneliti
fenomena multi-bahasa tersebut lebih jauh lagi. Maka, proses belajar di program
Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya menjadi kesempatan penulis menggali lebih
dalam bagaimana identitas nasional dibangun melalui bahasa.
Dalam penulisan tesis ini banyak kendala yang dihadapi, tetapi berkat campur
tangan Tuhan, keluarga, pembimbing dan sahabat-sahabat maka karya tulis ini
dapat diselesaikan. Untuk itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
Petama, rasa hormat dan terimakasih saya untuk Romo Dr. G. Budi
Subanar, S.J selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan
dan bimbingan kepada penulis, yang sering menghilang berbulan-bulan, tetapi
Romo tetap menanti kedatangan penulis untuk bimbingan serta dengan sabar
mengoreksi kesalahan–kesalahan saya dalam penulisan. Namun hal tersebut
menjadi dorongan yang berharga bagi penulis untuk belajar dan belajar agar
bangkit dari keterpurukan dan mengetahui hal yang tidak tahu menjadi tahu dalam
proses penyelsaian tesis. Terimakasih kepada Romo Dr. Budi Susanto,SJ yang
sudah memberikan arahan dan masukan kepada penulis agar tetap
mempertahankan tema penulisan tesis. Terimakasih kepada Ibu Devi atas
arahannya dan menyempurnakan tulisan-tulisan serta konsep-konsep dalam
penulisan tesis ini. Terimakasih kepada seluruh Bapak/Ibu dosen yang telah
membagikan ilmu selama masa perkuliahan. Terimakasih pada Mbak Desi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
setia melayani kami dalam administrasi kampus dan urusan perkuliahan serta
pembayaran SPP selama berada di IRB.
Kedua, rasa terimakasih penulis ucapkan pada Kepala Redaksi Surat
Timor Lorosae, Maun Dominggus Saldanha yang sudah meluangkan waktu
memberikan informasi melalui wawancara yang berlangsung dua kali demi
melengkapi data dalam penelitian ini. Terimakasih juga untuk saudara Yohanes
Manhitu sebagai pengamat bahasa Tetun Timor Leste dan penulis Kamus Tetun-
Indonesia, Indonesia-Tetun dan Kamus Indonesia-Portugis, Portugis-Indonesia,
yang sudah memberikan sumbangan pikiran lewat wawancara dalam kelengkapan
data penulisan tesis ini. Ketiga, terimakasih kepada Mbak Rosa, dan Kak
Aurelius Teluma yang selalu bersedia menjadi pembimbing di luar kampus yang
selalu meluangkan waktu setiap minggu untuk mendiskusikan tesis ini dan
memberikan arahan, masukan, sumbangan pikiran yang begitu berharga dalam
proses penyelesaian tesis. Terimakasih untuk Kak Willy, Nona Ut dan Maun
Rolin yang sudah membantu dalam proses penerjemahan teks-teks yang dipakai
dalam kelengkapan data tesis ini.
Terakhir pada suami tercinta yang sudah mengijinkan saya melanjutkan
studi serta mendukung penuh secara moril dan materiil seluruh proses dan tahapan
penyelesaian studi ini. Terimakasih kepada orang tua, adik-adik serta keluarga
besar atas dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan studi. Bagi teman-teman
senior dan teman seangkatan 2013 di IRB (Pak Riwi, Pak Alfons, Pak Efraim,
Romo Koko, Mas Noel, Felo, Bang Phomat, Daeng Umar, Umi, Ce Anne, Hans,
Cahyo, Vina, Mas Padmo, Mas Andre, Mas Anto) yang sama-sama saling
menyemangati, berbagi dan menguatkan menyelesaikan tesis. Tidak lupa juga
untuk Jimi, Novi, Dina, Lalu, Lolya, Ina, Kak Nita & Excel terimakasih untuk
persahabatan dan keceriaan yang diberikan. Akhirnya kepada semua pihak yang
sudah berpartisipasi dan memberikan sumbangsih untuk seluruh perjalanan studi
penulis, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya.
Yoyakarta, 2018
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................... iv
LEMBARAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................................................. v
PERSEMBAHAN ............................................................................................. vi
MOTTO ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
ABSTRAK ....................................................................................................... xiii
ABSTRACT..................................................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN, GAMBAR, GRAFIK DAN TABEL............................... xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 9
D. Pentingnya Penelitian .................................................................................. 9
E. Tinjauan Kepustakaan .................................................................................. 12
F. Kerangka Teoritis ......................................................................................... 16
1. pascakolonialisme Identitas Nasional, Nasionalisme, ............................ 16
2. Bahasa dan Identitas Nasional ............................................................ 23
3. Media Massa dan Identitas Nasional .................................................. 27
G. Metode Penelitian .......................................................................................... 29
1. Jenis Penelitian ........................................................................................ 32
2. Fokus Penelitian ...................................................................................... 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
3. Subyek dan Informan Penelitian .............................................................. 33
4. Sumber Data ........................................................................................... 33
H. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 34
I. Analisis Data .................................................................................................. 35
J. Sistematika Penulisan .................................................................................... 36
BAB II
LATAR HISTORIS, BUDAYA DAN POLITIK BAHASA
DALAM PERGULATAN IDENTITAS NASIONAL TIMOR LESTE .............. 38
A. Bangsa dan Negara Timor Leste dalam Lintasan Sejarah .............................. 38
1. Kayu Cendana dan Perjumpaan dengan Orang Cina .............................. 39
2. Pusaran Kolonialisme Eropa (dan Indonesia) ........................................ 41
3. Pergulatan Identitas Nasional dalam Masa Kolonial Portugis ............... 46
4. Invasi Indonesia atas Timor Leste (1975-1999) .................................. 48
5. Kemerdekaan Timor-Leste 1999 ......................................................... 49
B. Kondisi Sosio-Kultural dan Politik Bahasa untuk Konstruksi Identitas
Nasional Timor Leste ................................................................................. 51
1. Suku dan Bahasa .................................................................................. 51
2. Politik Bahasa Sebelum Kemerdekaan 1999 ....................................... 52
3. Politik Bahasa Sesudah Tahun 1999 .................................................... 56
C. Rangkuman ..................................................................................................... 60
BAB III
WACANA IDENTITAS NASIONAL DALAM PENGGUNAAN MULTI-
BAHASA DI SURAT KABAR ―SUARA TIMOR LOROSAE‖ ....................... 62
A. Identitas Nasional Timor Leste dalam Teks Multi Bahasa Harian Suara Timor
Lorosae ………………................................................................................ 63
1. Porsi Penggunaan Dalam Harian Suara Timor Lorosae ......................... 63
2. Artikel STL Tentang Bahasa dan Identitas Nasional Timor Leste…….. 70
B. Praktek Wacana Identitas Nasional Timor Leste dalam Penggunaan Multi-
Bahasa Media Massa ………………………………............................... 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
1. Sejarah dan Profil Singkat Harian Suara Timor Lorosae ..................... 77
2. Data Pembaca Sur atKabar Suara Timor Lorosae ……..………......... 82
C. Praktek Sosio-budaya dalam Fenomena Penggunaan Multi-bahasa di Media-
Massa ……………………………………………………………………… 83
1. Sistem dan Kondisi Media Massa di Timor Leste ……………………. 83
2. Pertimbangan Redaksi STL Tentang Penggunaan Multi-bahasa di Media-
Massa ……………………………………………………………............ 91
D. Rangkuman .................................................................................................... 95
BAB IV
PASCAKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL
TIMOR LESTE DALAM FENOMENA MULTI-BAHASA DI MEDIA
MASSA ……………………………………………………............................... 97
A. Multi-bahasa Sebagai Dominasi Wacana Kolonial dalam Proses Pembentukan
Identitas Nasional Timor Leste .................................................................... 98
1. Dominasi Bahasa Portugis dan Bahasa-bahasa Kekuasaan ………… 100
2. Dominasi Bahasa Indonesia : Antara Indoktinasi dan Bahasa Pendidikan
…………………………………………………………………………...102
3. Pemilihan Bahasa Nasional Sebagai Pertarungan Wacana Kolonial di
Timor Leste …………………………………………………………… 103
B. Multi Bahasa Media Massa : Potret Dilema Identitas Nasional Timor Leste
dalam Pusaran wacana Kolonialisme dan Kapitalisme ………………….. 108
1. Media Massa dan Identitas Nasioal Timor Leste dalam Kolonialisme
Portugis ………………………………………………………………… 111
2. Media Massa dan Identitas Nasional Pada Masa Pendudukan Indonesia
…………………………………………………………………………. 116
3. Media Massa dan Kontruksi Identitas Nasional Timor Leste Pasca
Kemerdekaan …………………………………………………………. 121
C. Rangkuman .................................................................................................. 125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB V
PENUTUP .......................................................................................................... 128
A. Kesimpulan ……………………………………………………………….. 129
1. Multi Bahasa di Timor Leste Sebagai Domiinasi Wacana Kolonialisme
……………………………………………………………………............... 129
2. Multi-bahasa Media Massa: Sebagai Cermin Pergulatan Identitas Nasional
Timor Leste dalam Era Globalisas.............................................................. 133
3. Timor Leste: Negara-Bangsa Tetun Multilingual ......................................... 135
B. Saran ............................................................................................................. 137
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 139
LAMPIRAN....................................................................................................... 145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
WACANA PEMBENTUKAN IDENTITAS NASIONAL NEGARA TIMOR
LESTE DALAM PENGGUNAAN MULTI-BAHASA DI MEDIA MASSA
(Analisis Wacana Kritis atas Penggunaan Empat Bahasa dalam
Harian “Suara Timor Lorosae”)
Jolni Delila Ora
ABSTRAK
Identitas nasional dibangun oleh dan melalui bahasa. Dinamika
penggunaan bahasa dalam suatu negara dapat mencerminkan dinamika dan pola
pembangunan identitas nasional negara-bangsa tersebut. Politik bahasa menjadi
salah satu instrumen penting dari konstruksi identitas nasional.
Sebagai sebuah negara yang baru merdeka di abad ke-20, pembangunan
identitas nasional berbasis politik kebahasaan merupakan hal begitu penting dan
hangat bagi negara-bangsa Timor Leste (TL). Sementara itu, secara faktual,
politik bahasa TL tampak dalam penggunaan multi-bahasa oleh warganya dalam
banyak aspek. Karena itu, penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan
menggambarkan dinamika konstruksi identitas nasional bangsa TL melalui
wacana politik multi-bahasa sebagaimana tertuang dalam teks media massa.
Metode yang digunakan adalah analisis wacana kritis Fairclough. Teks
yang dikaji adalah wacana tertulis dalam Suara Timor Lorosae (STL) sebagai
surat kabar terbesar di Timor Leste, edisi Mei 2017, yang menggunakan empat
bahasa dalam setiap edisinya yakni bahasa Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa: 1) politik bahasa Timor Leste
dibangun di atas kondisi multilingualisme masyarakat karena faktor sejarah politik
dan kebudayaan yang begitu panjang. Bahasa Tetun dan Portugis dipilih sebagai
bahasa resmi untuk menekankan peran keduanya sebagai bahasa perjuangan
kemerdekaan, kedekatan kultural dengan Gereja Katolik dan negara pengguna
bahasa Portugis di dunia serta untuk memperkuat identitas Timor-Portugis.
Sedangkan pengakuan keberadaan bahasa Indonesia dan Inggris sebagai
penyambung dua generasi warga TL dan kemudahan relasi dengan dunia
internasional. 2) Fenomena multi-bahasa dalam media massa pertama-tama
merupakan pemanfaatan kondisi multi-bahasa dalam masyarakat TL untuk
kepentingan industri media dan jembatan antar generasi. 3) Sekalipun demikian,
media massa di Timor Leste memberi tempat lebih istimewa pada penggunaan
bahasa Tetun. Selain faktor historis Tetun sebagai lingua franca, hal ini
mengungkapkan adanya kecenderungan upaya untuk memperkuat identifikasi
identitas nasional TL dengan bahasa dan budaya Tetun.
Kata-kata kunci: Timor Leste, identitas nasional, multi-bahasa, politik bahasa,
media massa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
THE DISCOURSE OF TIMOR LESTE’S NATIONAL IDENTITY
BUILDING THROUGH THE USE OF MULTI-LANGUAGES IN THE
MASS MEDIA
Jolni Delila Ora
ABSTRACT
National identity is built by and through the language. The dynamics of
the using of languages within a country can reflect the dynamics and the patterns
of its national identity development. The politics of language became one of the
important instruments for national identity construction.
As the newest independent country in the twentieth century, the
development of a national identity based on the politics of language was so
important for Timor-Leste. Factually, the politics of language of Timor Leste was
manifested in the using of multi-languages by its citizens in many aspects.
Therefore, this study aims to reveal and describe the dynamics of national identity
construction of Timor Leste through the multi-lingual political discourse as was
embodied in the texts of the mass media.
The method of this research is Fairclough‘s critical discourse analysis. The
analyzed texts were taken from Suara Timor Lorosae (STL) as the largest
newspaper in East Timor, especially from May 2017 edition, which used four
languages in each edition namely Tetun, Portuguese, Indonesian and English.
The results reveal that: 1) East Timorese language politics is built within
the condition of multilingualism of society due to the long history of politics and
culture. Tetum and Portuguese were chosen as the official language to emphasize
their role as the language of the struggle for independence, their cultural closeness
with the Catholic Church and their closeness with Portuguese language country in
the world and also to strengthen the identity of Timor-Portuguese. While the
recognition of the existence of Indonesian and English as a splicing of two
generations of TL citizens and the ease of relations with the international world.
2) Primarily, the multi-lingual phenomenon in mass media is the the
commodification practice of multi-lingual conditions in Timor Leste society for
the benefit of the media industry and the intergenerational bridging. 3)
Nevertheless, the mass media in Timor-Leste provided a special place for the
using of Tetun. In addition to Tetun's historical factors as a lingua franca, this
suggests a tendency to strengthen the identification of Timor Leste‘s national
identity with Tetunese language and culture.
Keywords: Timor Leste, national identity, multi-lingual, language politics, mass
media
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR BAGAN, GAMBAR, GRAFIK & TABEL
Bagan:
Bagan 1. Bagan 1. Tiga Dimensi dan Tahapan CDA menurut Fairclough ......... 31
Gambar:
Gambar 1. Peta Etno-Linguistik Timor ………………………………………… 52
Gambar 2. Contoh halaman depan & belakang harian STL (17 Mei 2017) ........ 81
Gambar 3. Contoh halaman isi (hlm.11 & 14) harian STL (17 Mei 2017) ......... 81
Grafik:
Grafik 1. Jumlah Artikel STL Mei 2017 Menurut Bahasa yang Digunakan........ 67
Grafik 2. Perbandingan jumlah pembaca koran dan majalah
di Timor Leste tahun 2011.................................................................................... 82
Grafik 3. Kemampuan publik STL dalam membaca dengan bahasa-bahasa …... 92
Tabel:
Tabel 1. Porsi penggunaan bahasa pada rubrik STL edisi Mei 2017 .................. 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekapitulasi Jumlah Artikel & Bahasa yang Digunakan Harian STL
Edisi Mei 2017
Lampiran 2. Teks Artikel Berita & Opini tentang Identitas Nasional Timor Leste
dalam STL Edisi Mei 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Sekarang TNI: Tentara Nasional Indonesia)
AJTL : Asosiasi Jurnalist Timor Leste
ANTL : Agencias Notisias de Timor Leste
(Kantor Berita Timor Leste)
APODETI : Associacao Popular Demokratica Timorrense
(Asosiasi Demokratis Rakyat Timor)
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations (Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara)
ASDT : Associacao Sosial Demokratica Timorrense
CCI : Content Creative Indonesia
CDA : Critical Discourse Analis
CPLP : Comunidade dos Paises de Linguage Portuguese (Komunitas
Bangsa-bangsa Berbahasa Portugis)
CSR : Corporate Social Responsibility
ETO TV : Esperansa Timor Oan
FALINTIL : Forcas Armadas de Libertacao Timor Leste (Angkatan
Bersenjata Pembebasan Nasional Timor Leste)
FRETELIN : Frente Revolusionario de Timor Leste (Front Revolusi
Kemerdekaan Timor Leste)
GMN TV : Gropu Media Nacional Televicao
IFJ : International Federation Of Jurnalis ( Federasi Jurnalis
Internasional)
INL : Instituto Nacional de Linguistica
KOTA : Klibur Oan Timor Asuwain (Asosiasi Perwira Orang Timor)
LUSA : Kantor berita Portugis
LPDS : Lembaga Pers Dr. Soetomo
LPPM : Lembaga Pendidikan Pengembangan Menejemen
PN : Parlamen Nasional
RDTL : Republik Demokratica de Timor Leste
RTL : Radio Timor Leste
RTTL : Radio Televisao Timor Leste
RTP : Radio Televisao Portugal
RUU : Rancangan Undang-Undang
SJTL : Sindicatos dos Jurnalis de Timor Leste
STL : Suara Timor Lorosa‘e
STL TV : Televisi Suaara Timor Lorosa‘e
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
STL CORP : Suara Timor Lorosae Corporation
STT : Suara Timor Timur
Trabalhista : Partai Buruh
TLPU : Timor Leste Pers Union
TV-TL : Televiciao Timor Leste
TV-E : Televisiao Edukasaun
TT : Timor Telecom
UNAMET : United Nations Missions in East Timor (Misi Perserikatan
Bangsa-bangsa di Timor-Timur)
UDT : Uniao Demokratica Timorense (Uni Demokratika Timor)
UNDP : United Nations Development Program
UNMIT : United Nations Itegrated Mission In Timor Leste
UNTAET : United Nations Transitional Administration for East Timor
UNTL : Universidade Nasional Timor Leste
VOA : Voice of America
VOC : Vereenigade Ostindische Compagnie
(Serikat Dagang Hindia Belanda)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena penggunaan multi-bahasa tampak begitu mencolok dalam hampir
semua bidang kehidupan masyarakat Timor Leste. Saat ini, dapat dikatakan bahwa
kebanyakan warga Timor Leste menggunakan setidaknya empat bahasa dalam
kehidupan sehari-hari yakni bahasa Tetun, bahasa Portugis, bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia. Menariknya, penggunaan multi-bahasa tersebut tidak hanya dalam
percakapan lisan informal antar pribadi sehari-hari tetapi juga pada bidang-bidang
formal seperti di sekolah, kampus dan kantor-kantor pemerintah. Bahkan, salah satu
fakta lain yang sangat menarik adalah bahwa sejumlah media massa cetak maupun
elektronik di Timor Leste menggunakan multi-bahasa dalam konten mereka.
Dua surat kabar harian terbesar di Timor Leste yakni Timor Post dan Suara Timor
Lorosae menggunakan empat bahasa, yaitu bahasa Tetun, bahasa Portugis, bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia dalam setiap terbitannya. Begitu pula dengan sejumlah
radio dan stasiun televisi di Timor Leste. Media-media massa elektronik ini juga
menggunakan empat bahasa tersebut dalam berbagai jenis isi siarannya. Dengan kata
lain, fenomena penggunaan multi-bahasa pada masyarakat Timor Leste mencakup
komunikasi antar pribadi maupun komunikasi formal melalui media-media
komunikasi massa konvensional seperti surat kabar, radio dan televisi.
Secara politis, negara Timor Leste sebenarnya telah memilih bahasa Portugis dan
bahasa Tetun sebagai bahasa resmi negara. Artikel 13 alinea 1 dari Konstitusi negara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Timor Leste telah menetapkan bahwa ―Bahasa Portugis dan Bahasa Tetun adalah
bahasa ofisial (bahasa resmi) Republik Demokratik Timor Leste.‖1 Artinya, hanya
kedua bahasa tersebut yang seharusnya menurut hukum negara menjadi bahasa yang
dipakai secara formal di ruang publik termasuk di media massa. Sekalipun demikian,
upaya untuk menjadikan kedua bahasa tersebut menjadi ―merakyat‖ bukanlah perkara
mudah bagi negara yang secara resmi baru menjadi Republik Demokratik Timor
Leste sejak 20 Mei 2002.
Usaha pemerintah Timor Leste untuk menjadikan bahasa Portugis dan bahasa
Tetun dapat diterima serta digunakan secara massif dan luas bagi warganya telah
dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui dunia pendidikan. Bahkan sekolah
pernah diliburkan selama sembilan bulan karena persoalan penggunaan bahasa resmi
kenegaraan ini2. Anak-anak sekolah diliburkan karena guru-guru diberikan
kesempatan untuk mengikuti kursus Bahasa Portugis. Menurut kebijakan pendidikan
Timor Leste, kurikulum tingkat pendidikan dasar dan menengah (setara SD, SMP,
SMU di Indonesia) wajib menggunakan bahasa Portugis dan bahasa Tetun.
Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi, tidak ada kewajiban untuk
menggunakan kedua bahasa resmi tersebut. Akibatnya, di perguruan tinggi Timor
Leste, penggunaan bahasa dalam komunikasi lisan maupun tulisan tampak seolah
bercampur-baur. Yang terjadi adalah bahasa Tetun hanya digunakan sebagai bahasa
1 Majelis Konstituante Timor Leste. 2002. Undang-Undang Dasar Republik Demokratis Timor Leste,
Terjemahan Tidak Resmi. 2 Dionisio Duarte Savio. 2012. ―Timor Leste: Libur 9 Bulan Karena Bahasa‖,
http://lidahibu.com/2012/05/19/Timor-leste-libur-9-bulan-karana-bahasa. Diakses pada 4 Januari 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
ucap sedangkan bahasa Indonesia dan bahasa Portugis (tetapi jarang sekali)
digunakan sebagai bahasa tulisan.
Sampai sekarang, praktik semacam ini masih ditemui di seluruh perguruan
tinggi negeri dan swasta yang ada di Timor Leste dengan alasan bahwa dosen-dosen
tidak bisa berbahasa Portugis dan hanya bisa berbahasa Tetun dan Indonesia,
sedangkan bahasa Portugis sulit untuk dipelajari dan hanya orang-orang tertentu saja
yang bisa menggunakan bahasa Portugis tetapi harus melalui proses pelatihan bahasa
(kursus bahasa Portugis). Buku-buku yang dipakai dalam proses perkuliahan pun
semuanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, namun dalam penyampaian
materi akan diterjemahkan dalam bahasa Tetun.
Kesulitan untuk menggunakan bahasa resmi (Tetun dan Portugis) di dunia
pendidikan tinggi Timor Leste kian tergambar jika dicermati pula pola penyebaran
para mahasiswanya yang kelak menjadi pendidik dan tenaga terdidik di Timor Leste.
Menurut Horta (2012), dari sekitar satu juta jiwa penduduk Timor Leste ada sekitar
26% penduduk Timor Leste yang menggunakan bahasa Indonesia dan 13%
menggunakan bahasa Portugis dan selebihnya menggunakan bahasa Tetun dan
bahasa-bahasa daerah lainnya. Bahkan, jumlah pengguna bahasa Indonesia di Timor
Leste bisa bertambah lagi, karena ada 6000 pelajar Timor Leste yang saat ini belajar
di Indonesia.3
3 Ramos Horta dalam presentasinya di Action Asia Peace Builder Forum ke-4 di Excelcior Resort di
Kota Dili pada 21 September 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Fenomena penggunaan multi-bahasa dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat termasuk dalam praktik komunikasi melalui media massa tersebut
melahirkan begitu banyak pertanyaan dan topik jika dihadapkan dengan konstruksi
identitas nasional negara Timor Leste. Para ahli berpendapat bahwa setiap bangsa
perlu memiliki identitas bahasa sebagai bahasa nasional; penduduk yang tidak
mempunyai bahasa sendiri hanyalah setengah dari bangsa-bangsa di dunia (Davies
dalam Fishman, 1972: 4). Dalam mayoritas Negara Pasca kolonial bahasa kolonial
menjadi bahasa Nasional. Sejak abad ke-19 identitas bahasa dan bangsa telah menjadi
unsur penting di dalam perjuangan suatu kelompok sebagai bangsa. Semangat
kebangsaan berpengaruh besar terhadap penentuan dan penyebaran bahasa nasional
dan telah menancapkan tingkat lingua franca sebagai bahasa bersama yang bukan
milik siapa pun secara khusus. Bahasa menjadi identitas induk yang tumbuh dalam
konteks sosial dan berfungsi dalam interaksi politik untuk menciptakan sebuah
realitas dinamik dari komunitas yang tercerai berai kedalam satu kesatuan
kebangsaan; dari komunitas yang terjajah menjadi komunitas yang mampu
menyuarakan kemerdekaan. Bahkan masyarakat tersebut bertumbuh dari komunitas yang tanpa
identitas bersama menjadi komunitas dengan identitas pemersatu yang menjadi dasar
berkembangnya interaksi dan relasi nasional.
Menurut Kroskrity (2000:112), identitas tidak diberikan tetapi dibentuk melalui
proses deliberasi, strategi manipulasi dan kesadaran nyata.4 Hal tersebut meliputi
penggunaan dan pandangan bahasa sebagai tindakan sosial, dengan demikian
4 Paul Kroskrity, ―Identity‖, 2000. Journal of Linguistic Antropology, Vol. 9, Issue 1-2, page 111-114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
perspektif identitas yang dikemukakan menunjukkan aspek penggunaan bahasa
sebagai kesengajaan untuk melakukan pembentukan nasionalitas bangsa serta sebagai
sebuah kesadaran nyata dan membentuk identitas bersama. Bahasa lahir dan hidup
bersama masyarakatnya.
Pemerintah Timor Leste menyadari pentingnya keberadaan bahasa nasional
sebagai unsur sentral pembentuk identitas nasional. Hal itu terlihat dari langkah-
langkah politik yang telah ditempuh melalui Konstitusi Negara dan kebijakan
pendidikan nasional. Selain itu, pemerintahan Presiden Jose Ramos-Horta dengan
gencar mewacanakan pentingnya bahasa nasional sebagai bagian dari identitas
nasional melalui berbagai kegiatan budaya termasuk memproduksi sebuah film
singkat yang merangkum kompetisi penulisan tentang bahasa nasional yang berjudul
Ha’u Nia Lian, Ha’u Nia Rai (Bahasaku, Negaraku).5
Dalam konteks masyarakat Timor Leste, kebijakan politik bahasa dengan
menjadikan bahasa Tetun dan bahasa Portugis sebagai bahasa resmi negara tidak
serta merta menunjukkan bahwa identitas nasional Timor Leste adalah Tetun dan
Portugis. Kerry Taylor-Leech (2008), profesor linguistik pada Macquarie University,
Australia yang memfokuskan penelitiannya pada politik bahasa di Timor Leste dalam
artikel berjudul ―Language and Identity in East Timor‖ berpandangan bahwa
sekalipun telah ada berbagai kebijakan politik bahasa, pembangunan identitas bangsa
5 Kristy Sword Gusmao, 2011, Timor Leste: Language and Identity in Southeas Asia’s Newest Nation.
Hlm. 28.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Timor Leste tetap memerlukan langkah-langkah budaya yang lebih inklusif dan setara
bagi semua kelompok budaya di Timor Leste.6
Gagasan Taylor-Leech di atas dapat diterima jika dihadapkan dengan fakta
adanya multikulturalisme masyarakat Timor Leste dan sejarah panjang politik-
kebudayaan negara tersebut. Banyak ahli menyebutkan bahwa setidaknya terdapat
lebih dari 30 bahasa lokal yang digunakan di negara Timor Leste selain dua bahasa
resmi dan bahasa Indonesia serta bahasa Inggris (bdk. Gusmao, 2011: 28; bdk.
Taylor-Leech, 2008: 155). Bahasa-bahasa daerah lainnya tersebut misalnya bahasa
Bekis, Bunak, Dawan, Tataluku, Galdi, Hubun, Ida Laka, Kawaimina, Kemak,
Lovaia, Makalero, Makasae, Mambai, Tokodede dan Wetarese. Secara historis,
keberadaan Timor Leste yang kurang lebih sekitar 500 tahun sebagai koloni Portugis
dan 24 tahun sebagai salah satu provinsi dari Indonesia yang gencar membumikan
bahasa Indonesia. Bahasa Tetun dinomorduakan serta melarang bahasa Portugis
menjadi unsur yang tak terelakan dari adanya fenomena multi-bahasa di tengah
kehidupan sehari-hari maupun formal masyarakat Timor Leste.
Berdasarkan berbagai kenyataan dan pemikiran yang menjadi latar belakang di
atas, penulis pun mengamini pernyataan Thomas Ricento sebagaimana dikutip
Taylor-Leech di atas, bahwa perdebatan tentang kebijakan bahasa bukan hanya
perkara bahasa. Di balik fenomena tersebut, tersimpan berbagai pergulatan lain
dengan unsur terbesarnya adalah perkara identitas. Begitu pula dengan fenomena
6 Kerry Taylor-Leech, 2008, ―Language and Identity in East Timor‖, Language Problem & Language
Planning 32: 2 (2008), 153-180.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
penggunaan multi-bahasa dalam konteks bahasa pada media massa, di mana hingga
kini media massa masih diakui memiliki pengaruh besar bagi warga sebuah negara
bahkan lintas negara. Terdorong oleh realitas semacam inilah, maka penulis mengkaji
fenomena penggunaan multi-bahasa dalam konten media massa di Timor Leste yang
berkaitan dengan proses konstruksi identitas nasional negara Timor Leste.
Media massa yang dianalisis adalah surat kabar harian Suara Timor Lorosae
(STL). Pemilihan STL didasarkan pada dua alasan pokok. Pertama, alasan ekonomi-
politik yaitu bahwa STL merupakan surat kabar dengan oplah terbanyak yakni
sebanyak 3000 eksemplar (jika ada isu hangat dapat mencapai 5000 eksemplar setiap
hari).7 Menurut A. Lin Newman and Jean du Toit (2002), STL yang dimiliki oleh
pihak swasta ini disebut sebagai media dengan sistem manajemen terbaik di Timor
Leste. Begitupula hasil survei oleh United Mission in Timor Leste (UNMIT) tahun
2011 juga menempatkan STL sebagai surat kabar terkemuka di Timor Leste.8 Selain
itu, dalam era konvergensi media maupun bisnis media, STL menjadi grup media
komersial terbesar di bawah Suara Timor Lorosae Corporation (STL Corp.) yang
memiliki harian STL, STL TV (didirikan sejak 22 Oktober 2009), radio, STL online,
Nuno Malau Printing, Tatoli Naroman Foundation dan Dili Post.
Alasan kedua adalah alasan hitorisitas dan politik kebudayaan. STL merupakan
bentuk baru dari surat kabar Suara Timor Timur (STT) yang terbit dan beredar
selama masa kekuasaan Indonesia atas Timor Leste, tepatnya sejak 1 Februari 1993.
7 Sejumlah data tentang profil STL ini diambil dari website STL (versi online STL): https:/suara-timor-
lorosae.com/profil/. Diakses 5 Desember 2017. 8 UNMIT, 2011. Timor Leste Media and Communication Survey. Dili: UNMIT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Hingga menjelang kemerdekaan, STT sebagai media milik swasta dipandang sebagai
media oposisi pemerintah saat itu. Akibat gejolak politik yang hebat menyongsong
referendum, STT sepenuhnya berhenti terbit pada 4 September 1999. Pasca
referendum, STT ―lahir kembali‖ dengan nama baru Suara Timor Lorosae yang resmi
terbit kembali pada tanggal 31 Juli 2000. Pemilik STL tetap mempergunakan kata
bahasa Indonesia ―Suara‖ pada nama STL dengan tujuan untuk merawat kisah sejarah
STL serta untuk memberikan kontribusi nyata bagi akselerasi dan motivasi proses
rekonsiliasi yang menjadi agenda besar pemerintah Timor Leste dan komunitas
internasional pada awal masa kemerdekaan.9 Akhirnya secara faktual, untuk
kepentingan sejarah dan komersilnya, STL pun mempergunakan empat bahasa dalam
isi surat kabarnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, tema penelitian ini adalah politik identitas
nasional di balik penggunaan multi-bahasa media massa di Timor Leste. Penelitian
ini diharapkan menyingkap dinamika konstruksi identitas nasional Timor Leste dalam
penggunaan empat bahasa yaitu bahasa Tetun, Indonesia, Portugis dan Inggris dalam
surat kabar Suara Timor Lorosae.
9 Ibid. Pernyataan tersebut tertulis dalam profil dalam portal online STL.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kebijakan politik bahasa di Timor Leste diterapkan dalam rangka
mengkonstruksi identitas nasional negara Timor Leste?
2. Mengapa media massa di Timor Leste menggunakan multi-bahasa?
3. Identitas nasional negara Timor Leste seperti apa yang terbentuk melalui
penggunaan multi-bahasa di media massa?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika kebijakan politik
bahasa di Timor Leste dalam rangka mengkonstruksi identitas nasional
negara Timor Leste.
2. Penelitian ini dilakukan untuk memahami peran dan pengaruh penggunaan
multi-bahasa dalam media massa Timor Leste dalam dinamika konstruksi
identitas nasional negara Timor Leste.
D. Pentingnya Penelitian
Mengingat sejarah politik Timor Leste yang lebih dari 450-an tahun
dalam pengaruh kolonialisme Portugis, lalu sekitar 24 tahun dalam kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Indonesia, sementara di dalam negeri merupakan masyarakat multikultur, maka
kajian tentang politik identitas sangat diperlukan.10
Menurut peneliti, dari
perspektif kajian budaya, terdapat wacana pascakolonial yang perlu segera
dipahami dan diuraikan untuk memahami dan menggambarkan identitas nasional
bangsa Timor Leste. Sebagaimana dinyatakan oleh Ania Loomba, wacana
kolonialisme tidak menuliskan dirinya di atas halaman kosong sejarah suatu
kelompok masyarakat melainkan dalam interaksi dengan kondisi prakolonial
maupun pascakolonial masyarakat tersebut.11
Dengan demikian, kajian yang
menggali dan menghubungkan fenomena masyarakat Timor Leste pasca
kemerdekaan dengan kondisi-kondisi selama dan sebelum kolonialisme perlu
untuk segera dilakukan.
Salah satu fenomena kultural pascaklonialisme di Timor Leste adalah
penggunaan multi-bahasa dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Timor
Leste termasuk di media massa. Karena itu, penelitian ini mendalami keterkaitan
antara penggunaan multi-bahasa oleh media massa dengan konstruksi identitas
nasional Timor Leste. Dalam konteks negara baru seperti Timor Leste, menurut
hemat peneliti, kajian tentang politik identitas merupakan hal yang penting
bahkan mendesak untuk dapat memperoleh gambaran yang utuh tentang
masyarakat Timor Leste sebagai satu bangsa. Paradigma baru logika identitas
10
Michael Leach, 2017. Nation-Building and National Identity in Timor Leste. New York: Routledge.
Hlm. 2017. 11
Ania Loomba, 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta:
Bentang Budaya, hlm. 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
adalah masyarakat ada dan terbentuk karena adanya aneka perbedaan yang saling
berinteraksi dan berkomunikasi.12
Alasan penting lainnya, bahwa bahasa sebagai alat komunikasi dan juga
sebagai simbol identitas bangsa Timor Leste ternyata tidak tunggal. Kondisi
multi-bahasa tersebut digunakan dan terus diproduksi melalui media massa yang
dalam zaman modern merupakan sarana dengan pengaruh yang sangat kuat
secara sosial, politik dan budaya. Sementara itu, sejauh penemuan peneliti,
penelitian yang mendalam tentang identitas nasional dengan mengkaji fenomena
bahasa dalam media massa di Timor Leste belum ada.
Untuk itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk
kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis, yaitu:
1. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan konsep
tentang kaitan antara kondisi multi-bahasa dalam media massa maupun
keseharian masyarakat dengan pembentukan dan keberlangsungan identitas
nasional negara Timor Leste.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
berarti bagi pemerintah Timor Leste dalam upaya-upaya untuk mewujudkan
bahasa nasional yang kosmopolitan sekaligus menjadi pembentuk identitas
nasional.
12
St. Sunardi. Tanpa Tahun. Penelitian Studi Humaniora: Beberapa Pertimbangan dalam Persiapan
Penelitian. Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. Hlm.
19-20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
E. Tinjauan Kepustakaan
Berikut ini merupakan gambaran singkat tentang isi, cakupan dan metodologi
beberapa kajian tentang politik identitas khususnya perihal konstruksi identitas
nasional negara-bangsa Timor Leste yang telah dibuat oleh sejumlah peneliti tentang
Timor Leste. Secara khusus akan diuraikan tentang penelitian yang membahas
fenomena multi-bahasa dalam kaitan dengan pembangunan identitas nasional negara
Timor Leste. Uraian ini bermaksud memberikan gambaran relasi sekaligus
kekhususan penelitian tesis penulis dibandingkan dengan karya-karya yang telah ada
tersebut.
Pertama, sebuah buku yang ditulis oleh John E. Joseph dengan judul Language
and Identity: National, Ethnic, Religious.13
Inti gagasan Joseph dalam buku ini adalah
bahwa identitas dibangun (constituted) dalam dan melalui bahasa. Dengan kata lain,
identitas pertama-tama merupakan fenomena bahasa. Secara khusus, rangkuman dan
diskusi yang ringkas namun padat tentang korelasi antar bahasa dan identitas nasional
dirangkum oleh John E. Joseph dalam bab ke-5 bukunya di bawah judul ―Language
in National Identities‖ (halaman 92- 131). Buku ini merupakan sebuah hasil studi
pustaka lapangan, namun studi kepustakaannya yang luas dapat memberikan dasar-
dasar teoretis tentang hubungan antara bahasa dan identitas nasional sebuah bangsa
yang menjadi kajian utama penelitian penulis ini.
13
Joseph, John E. 2004. Language and Identity: National, Ethnic, Religious. New York: Palgrave
Macmillan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Kedua, sebuah buku yang ditulis oleh Michael Laech yang berjudul Nation-
Building and National Identity In Timor Leste.14
Buku yang diterbitkan pada awal
tahun 2017 ini dapat disebut sebagai buku terbaru tentang pembangunan identitas
nasional Timor Leste. Leach mengkaji sejarah pembentukan bangsa (nation-building)
dan identitas nasional Timor Leste atau disebutnya dengan ‗ide tentang sebuah
komunitas nasional Timor Leste‘ (idea of an East Timorese ‘national’ community).15
Untuk memenuhi tujuan di atas maka Leach memakai pendekatan kronologis
tentang sejarah, ciri pembentukan rasa kebangsaan dan identitas nasional.
Menurutnya, sejarah pembentukan bangsa Timor Leste dapat dibagi ke dalam dua
babak besar. Babak pertama mencakup dua periode. Pertama, kebangkitan nasional
sebagai tanggapan akan kolonialisme Portugis selama 450 tahun, seperti yang terjadi
pada negara-negara bekas jajahan lain di dunia. Periode ini memuncak dengan
pernyataan kemerdekaan pada akhir 1975. Kedua, nasionalisme sebagai resistensi
atau perlawanan terhadap penguasaan oleh Indonesia (1975 - 1999). Menurutnya,
semangat nasionalisme periode ini merupakan evolusi atau masih mirip dengan
semangat dekolonialisme pada periode sebelumnya. Puncak periode ini adalah proses
penentuan nasib sendiri (self-determination) pada tahun 2000.
Babak kedua pasca kemerdekaan yang sekaligus merupakan proses nation-
building dan state-building oleh Leach dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode
pasca restorasi kemerdekaan (2002 - 2005) yang ditandai dengan dinamika negosiasi
14
Michael Leach, 2017. Op.cit. 15
Ibid. hlm.2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
antar elit politik, antar generasi kaum nasionalis, serta antar komunitas politik
tradisional yang terdiri dari para elit suku-wilayah yang berhadapan dengan
komunitas politik modern yakni kaum urban pendukung demokrasi. Periode pertama
ini ditangani oleh UNTAET (United Nations Transitional Administration in East
Timor) atau Administrasi Sementara PBB di Timor Timur. Kedua, periode krisis
bahkan kegagalan pembentukan bangsa yang ditandai oleh drama konflik politik-
militer pada April-Mei 2006 hingga konsolidasi antar elit sampai tahun 2012. Ketiga,
kebangkitan ciri baru nasionalisme sejak perayaan hari kemerdekaan tahun 2015
hingga sekarang yang tampak dengan usaha untuk membangun rasa nasionalisme
Timor Leste dari kisah tentang perlawanan ke soal nilai-nilai pembangunan nasional
dan melupakan konflik masa lalu.
Dengan demikian, Leach meneliti sejarah perdebatan dan konflik atas isu-isu
identitas nasional, sejarah nasional, warisan budaya, kebijakan bahasa, dan hubungan
antar wilayah yang berbeda, generasi, dan kelompok bahasa di Timor Leste. Leach
menggunakan pendekatan interdisipliner. Buku ini berpendapat bahwa pembangunan
bangsa (nation-building)- dalam arti menciptakan kondisi untuk kohesi sosial,
stabilitas politik dan pembentukan identitas - adalah dimensi yang diabaikan dari
proses membangun negara pasca-kemerdekaan Timor-Leste.
Karya Leach ini menjadi referensi yang sangat kaya bagi penelitian ini
khususnya terkait konsep bangsa, negara, nasionalisme dan identitas nasional dalam
konteks sejarah Timor Leste. Sekalipun demikian, karya Leach ini belum membahas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
perihal pembangunan identitas nasional pada periode terkini dan sehari-hari
khususnya melalui penggunaan bahasa pada media massa di Timor Leste.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Kerry Taylor-Leech dengan judul
―Language and Identity in East Timor: The Discourse of Nation Building‖ yang
dimuat dalam jurnal Language Problems & Language Planning 32: 2 (2008: 153-
180). Penelitian ini menggunakan metode etnografi yang berfokus pada pendapat
warga Timor Leste terkait kebijakan politik bahasa Timor Leste yang menjadikan
bahasa Tetun dan Portugis sebagai bahasa resmi negara. Latar belakang utama
penelitian ini adalah opini Australia dan Indonesia di media massa terkait pemilihan
bahasa Portugis dan Tetun sebagai bahasa ofisial Timor Leste. Melalui pers, Australia
dan Indonesia menggiring opini agar Timor Leste memilih bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dengan alasan bahwa kedua bahasa terutama
bahasa Portugis dibenci oleh publik. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
kebijakan bahasa ini lebih dilatari oleh faktor politis yakni membedakan diri dari
Australia yang berbahasa Inggris dan Indonesia sebagai bekas negara yang
―menginvasi‖ Timor Leste sehingga pemilihan kedua bahasa tersebut menjadi tanda
kebangkitan kembali (reinvigoration) bahasa Portugis dan Tetun. Penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa begitu kecil ketidaksukaan (less hostility) publik terhadap
kedua bahasa ofisial tersebut sekalipun publik pada saat bersamaan menggunakan
juga bahasa Inggris dan Indonesia. Untuk itu, sebagai rekomendasi, pemerintah
Timor Leste perlu menggunakan pendekatan kultural yang lebih inklusif agar bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menjadi bahasa pemersatu dan bagian dari identitas nasional bagi beraneka macam
suku yang mendiami Timor Leste.
Penelitian Kerry Taylor-Leech ini memberikan informasi penting tentang
persepsi warga Timor Leste tentang pemilihan bahasa ofisial negara. Sekalipun
menyinggung peran pers, namun pers yang dijadikan objek kajian adalah pers
Australia dan Indonesia. Dengan demikian, belum ada kajian yang mempersoalkan
bagaimana peran pers di dalam negara Timor Leste sendiri terhadap pembentukan
identitas nasional negara yang warganya menggunakan lebih dari dua bahasa ini.
Sementara itu, penelitian ini bertujuan menggambarkan peran media massa di Timor
Leste dalam pembentukan identitas nasional.
F. Kerangka Teoritis
Kajian budaya dengan berpusat pada analisis atas konstruksi identitas nasional di
balik penggunaan multi-bahasa pada media massa dalam sebuah negara yang pernah
dijajah setidaknya berpijak pada tiga konsep penting yakni pascakolonialisme dan
identitas nasional, bahasa dan identitas nasional, serta media massa dan identitas
nasional.
1. Pascakolonialisme, Identitas Nasional, dan Nasionalisme
Terdapat sejumlah pandangan dan pendapat tentang identitas nasional.
Nasionalisme, dan pembangunan identitas nasional. Memberikan definisi dan kaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
antara ketiga konsep tersebut dapat menjadi langkah pertama memahami kerangka
teori penelitian ini.
a. Kajian Pascakolonialisme
Kajian pascakolonialisme adalah studi kritis atas kondisi masyarakat
pascakolonial yaitu relasi antara penjajah dengan yang dijajah dan periode setelah
penjajahan.16
Sebagaimana gagasan Loomba,17
kondisi masyarakat pascakolonial
tidak seluruhnya merupakan akibat dari sejarah kolonialisme. Bagi Loomba, sejarah
masyarakat pascakolonial tidak terpisahkan dari sejarah prakolonial dan masa
kolonial. Maka menurut Barker, dalam kajian budaya, istilah pascakolonial merujuk
pada wacana kolonial itu sendiri atau merujuk pada dunia (kenyataan) baik selama
dan setelah masa kolonisasi Eropa. Kajian pascakolonialisme berusaha menggali
perihal bagaimana relasi-relasi kolonial dan setelahnya dibentuk melalui
representasi.18
Loomba menguraikan bahwa kolonialisme berasal dari kata bahasa Latin colonia
yang berarti ―tanah pertanian‖ atau ―pemukiman‖.19
Namun proses pembentukan
pemukiman tersebut bukan berupa pertemuan antar rakyat yang sepadan melainkan
berupa hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam sejarah
manusia, antara penduduk lama setempat dengan pendatang baru. Kadang-kadang,
pembentukan koloni baru tersebut ditandai dengan usaha membubarkan komunitas
16
Chris Barker, 2014, Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius, hlm.211. 17
Loomba, Op.cit., hlm.23 18
Chris Barker, 2014. Op.cit., hlm. 211. 19
Loomba, Op.cit., hlm.1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
yang sudah ada, lalu membentuk kembali dengan berbagai upaya seperti
perdagangan, penjarahan, perbudakan bahkan pembunuhan. Dengan demikian,
kolonialisme bisa didefinisikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan
harta benda rakyat lain.
Sepanjang sejarah, kolonialisme dalam arti yang demikian, bukan hanya
dipraktikkan oleh bangsa-bangsa Eropa tetapi juga bangsa lain seperti kekaisaran
Romawi, kekaisaran Mongol, dan Kerajaan Inca. Namun menurut Loomba, terdapat
dua ciri kolonialisme modern yang berbeda dengan cara terdahulu yaitu: 1) bahwa
daerah koloni tidak saja harus membayar upeti tetapi juga sistem dan struktur sosial-
ekonomi dan politiknya dirombak demi kepentingan kolonialnya; 2) daerah-daerah
koloni dipaksakan untuk menjadi pasar yang mengkonsumsi produk negara induk.
Dalam konteks budaya, kolonialisme modern ditandai dengan konstruksi budaya
yang diarahkan untuk mengadopsi budaya kulit putih secara global. Dalam arti yang
demikian, kolonialisme dapat dikatakan masih terus berjalan, sehingga tidak hanya
menunjuk pada konteks penaklukan bangsa Eropa pada abad ke-18 dan 19.
Dengan karakteristik yang demikian, maka kolonialisme bukan saja merupakan
fenomena masa lampau melainkan wacana, wacana kolonial, yang masih bekerja
dalam masyarakat bekas koloni. Maka sebagaimana disimpulkan oleh Barker, ―Teori
pascakolonial mengeksplorasi wacana-wacana pascakolonial dan posisi-posisi subjek
dalam keterkaitannya dengan tema ras, bangsa/kebangsaan, subjektivitas, kekuasaan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
sub-altern, hibriditas dan kreolisasi.‖20
Dalam penelitian ini, multi-bahasa pada media
massa Timor Leste dipandang sebagai bagian dari wacana kolonialisme dan
pascakolonialisme.
b. Identitas Nasional
Dalam konteks kajian budaya (cultural studies), identitas nasional adalah
bentuk identifikasi imajiner tentang negara-bangsa yang diekspresikan melalui simbol
dan wacana yang beraneka ragam.21
Maka bangsa bukan saja merupakan formasi
politis tetapi juga sistem representasi budaya di mana identitas nasional terus-
menerus direproduksi lewat tindakan diskursif. Dengan kata lain, identitas nasional
adalah cara menyatukan keanekaragaman budaya dengan memahami dan
menerimanya sebagai suatu kesatuan secara menyeluruh. Identitas nasional
melibatkan representasi dan identifikasi dari pengalaman-pengalaman bersama serta
sejarah yang diceritakan lewat cerita lisan, karya sastra, budaya pop dan media.
Identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang dikumpulkan lewat berbagai simbol
dan ritual; ―Jadi identitas nasional secara intrinsik terkait dengan, dan dibentuk oleh,
bentuk-bentuk komunikasi.‖22
20
Chris Barker, 2014. Ibid., hlm. 211. 21
Chris Barker, 2014. Ibid. hlm. 187-188. 22
Ibid, hlm. 188.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
c. Bangsa (Nation) dan Nasionalisme
Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities (1991)
mendefinisikan bangsa sebagai satu komunitas politik yang dibayangkan (an
imagined political community), yang terbatas (limited) dan berdaulat (sovereign).23
Istilah dibayangkan (imagined) ini penting, mengingat bahwa anggota dari bangsa
tersebut kebanyakan belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada saat yang
sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada dalam suatu
kesatuan komunitas tertentu.
Nasionalisme merupakan paham atau ideologi terkait bangsa atau nation
tersebut. Salah satu tujuanperjuangan kaum nasionalis yang terutama adalah
pembentukan negara bangsa (nation state) . Menurut Hertz (1996: 47) nasionalisme
sekaligus merupakan ideologi sebuah negara dan satu bentuk tingkah laku dari suatu
bangsa.24
Nasionalisme sebagai ideologi dibentuk berdasarkan gagasan bangsa dan
membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bagi negara karena berfungsi untuk
mengikat semua kelas warga bangsa, menyatukan mentalitas warga bangsa, dan
membangun atau memperkokoh pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang
diambil oleh negara. Nasionalisme merupakan salah satu alat perekat kohesi sosial
untuk mempertahakan eksistensi negara dan bangsa. Semua negara dan bangsa
23
Benedict Anderson, 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. Revised Edition. London & New York: Verso. Hlm. 6. 24
Herz, F. 1966. Nationality in History and Politics. London: Routledge and Kegan Paul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
membutuhkan nasionalisme sebagai faktor yang membentuk dan menjaga kesatuan
komunitas politiknya.
Nasionalisme telah menjadi hal yang penting bagi perjuangan-perjuangan
dekolonisasi di dunia ketiga. Said mengatakan bahwa sejalan dengan hambatan
bersenjata di berbagai tempat pada abad ke 19 seperti Algeria, Irlandia dan Indonesia,
ada juga usaha-usaha yang patut dipertimbangkan yang ada dalam hambatan secara
kultural hampir di semua tempat. Usaha-usaha tersebut adalah tuntutan-tuntutan
identitas para kaum nasionalis dalam bidang politik, dunia asosiasi dan partai politik
yang mempunyai tujuan yang sama yaitu pengakuan diri dan kemerdekaan nasional.25
Menurut Anderson nasionalisme adalah nilai legal yang paling universal
dalam kehidupan politik pada zaman kita.26
Ernst Gellner dan Benedict Anderson
mempertahankan nasionalisme sebagai satu-satunya bentuk organisasi politik yang
sesuai dengan kondisi sosial dan intelektual dunia moderen di mana pemeliharaan
kebudayaan sejenis ini yang mutlak tinggi (karena terpelajar) memerlukan
perlindungan dari sebuah bangsa. Bangsa itu sendiri adalah produk sekular yang
radikal dan hasil imajinasi modern.27
Artinya, konsep tentang bangsa merupakan
bagian dari dinamika pemikiran kaum terpelajar modern. Sementara itu, Fanon juga
mengedepankan kapasitas nasionalisme sebagai upaya menyaring pengalaman
terdominasi yaitu nasionalisme untuk merespon kekerasan kolonialisme dengan
25
Leela Gandhi, 2006. Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terj. Qalam:
Yogyakarta. Hlm 131 26
Anderson, op.cit., hlm.1 27
Leela Gandhi, Op.cit., hlm. 132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
memperbesar solidaritas vertikal antara kaum tani, pekerja, pemilik modal, pemilik
tanah feodal dan kaum borjuis. Menurutnya, masyarakat yang dijajah telah
kehilangan hak asasinya ketika hidup di arena permusuhan yang luas. Karena itu,
harus dihasilkan suasana ketenangan untuk membersihkan dan memurnikan wajah
bangsa.
d. Konstruksi Identitas Nasional
Menurut Leach, konstruksi idenitas nasional atau pembangunan bangsa (nation-
building) merupakan proses-proses kultural yang membentuk komunitas politik yang
kohesif atau terpadu untuk mendukung perkembangan dan fungsi dari sebuah
negara.28
Pembangunan bangsa mencakup pengembangan komunitas, pembentukan
identitas dan integrasi nasional melalui kebijakan bahasa, pengembangan kurikulum
pendidikan sejarah dan kewarganegaraan, mengelola warisan-warisan kebudayaan,
pembangunan suatu sistem media nasional serta menghubungan negara dengan
warganya melalui gerakan penghapusan buta huruf bagi warganya.
Konstruksi identitas nasional dapat disebut sebagai proyek identitas nasional.
Proyek identitas merupakan upaya penciptaan sejumlah narasi tentang diri yang
mengaitkan persepsi kita tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan.29
Proyek
identitas dibuat berdasarkan pikiran tentang siapa diri kita dalam ruang lingkup masa
lalu dan masa sekarang sekaligus mau menjadi apa kita di masa depan, dan masa
depan yang diharapkan.
28
Leach, Michael. 2017. Op.cit. hlm. 9. 29
Barker, 2014. Op.cit., hlm.136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2. Bahasa dan Identitas Nasional
Bahasa dianggap penting untuk memahami budaya karena dua alasan yang
salin terkait ini yaitu: pertama, bahasa adalah medium khas dan khusus di mana
makna-makna budaya dibentuk dan dikomunikasikan; dan kedua, bahasa adalah
sarana dan medium primer yang lewatnya kita membentuk pengetahuan tentang diri
kita sendiri dan tentang dunia sosial kita.30
Dengan kata lain, dalam kaitan dengan
identitas umumnya dan identitas nasional khususnya, bahasa di satu sisi merupakan
medium khas di mana identitas dibentuk dan dikomunikasikan, di sisi lain bahasa
menjadi medium primer yang lewatnya kita membangun pengetahuan tentang
identitas kita.
Identitas dibangun (constituted) dalam dan melalui bahasa. Dengan kata lain,
identitas pertama-tama merupakan fenomena bahasa. Kira-kira, demikianlah tesis
utama John E. Joseph dalam bukunya ini. Secara eksplisit, Joseph menuliskan garis
besar isi bukunya ini pada bagian penutup, yang mengatakan bahwa, bagaimana
identitas nasional, etnis, dan agama dibangun melalui bahasa dan bagaimana
sebaliknya.31
Terdapat beragam pandangan tentang relasi antar identitas nasional dengan
bahasa nasional. Menurut Joseph, hal ini merupakan konsekuensi dari arti kata
‗bangsa‘ (nation) yang yang secara intrinsik bersifat ambigu. Di satu sisi dipahami
sebagai yang berkaitan dengan aspek kelahiran (nation-by-birth) atau keturunan
30
Barker, 2014. Op.cit. hlm. 151. 31
Joseph, 2004. Op.cit., hlm. 224.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
sementara di sisi lain, kata bangsa dipahami sebagai hasil proses konstruksi sebuah
negara (teritori tertentu oleh pemerintahan tertentu). Kedua paham ini akan selalu ada
dan tidak dapat disatukan (really coalesce). Sekalipun demikian, dalam proses
pembentukan identitas nasional, para ilmuwan sosial, politik maupun bahasa
menyetujui bahwa bahasa (yang lalu disebut bahasa nasional) merupakan dasar
pertama (primary foundation) dari pembentukan ideologi nasional.32
Menurut Joseph, nasionalisme modern bukanlah hal yang baru berkembang
pada abad modern tetapi merupakan kelanjutan dari gagasan identitas nasional yang
berkembang sejak awal abad sejarah. Kitab Kejadian bab 10 (Kejadian 10),
merupakan bukti rekaman sejarah lisan tentang relasi identitas nasional bangsa Ibrani,
di mana identitas seseorang dikaitkan dengan tanah yang ditempatinya.
Secara umum, para ahli sejarah menyebut bahwa paham nasionalisme secara
luas berkembang pada masa Revolusi Amerika (1776-1781) dan Revolusi Perancis
(1789-1793) di mana konsep nasionalisme dilihat sebagai sebuah realitas politik.
Sekalipun demikian, proses perkembangan tersebut dipahami secara berbeda oleh
para ilmuwan. Menurut Elie Kedouri sebagaimana dikutip Joseph (hlm.96),
nasionalisme merupakan sebuah doktrin yang diperkenalkan di Eropa pada awal abad
ke-19. Doktrin tersebut singkatnya berbunyi, bahwa kemanusiaan secara alamiah
dibagi menjadi bangsa-bangsa, dan bangsa-bangsa diketahui melalui karakteristik
tertentu yang dapat dipastikan, dan bahwa tipe pemerintahan yang legitim hanyalah
pemerintahan nasional bangsa itu sendiri (national self-government).
32
Ibid. Hlm. 92.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Karl Marx (1818-1813) melihat nasionalisme secara berbeda yakni dalam
konteks perbedaan kelas sosial; bahwa keberadaan bangsa-bangsa, sebagaimana
agama dan kapitalisme, merupakan cara kaum borjuis melindungi dan mengelola
kepentingannya. Lawan pendapat Marx ini adalah Hans Kohn, yang menyebut bahwa
nasionalisme pertama-pertama merupakan suatu keadaan pikiran (a state of mind),
suatu tindakan kesadaran yang sejak Revolusi Prancis menjadi populer.
Menurut Joseph, karya Dante Alighieri De vulgari eloquentia yang ditulis
tahun 1306 tetapi baru dapat diterbitkan tahun 1529 karena menggunakan bahasa
Latin yang lebih ―vulgar‖ atau yang ―sehari-hari‖, ―pasaran‖, yang tidak sesuai
dengan grammatica bukan saja menjadi cikal-bakal bahasa Italia tetapi menjadi
contoh awal di mana sebuah sub bahasa yang lebih sering dipakai dalam percakapan
sehari-hari dapat menjadi dasar bangunan sebuah bangsa politis. Dalam konteks ini,
sebuah bahasa pertama-tama menjadi ‗bahasa nasional‘ karena menjadi sesuatu yang
―common to all” bukan kesetiaanya pada grammatica.
Ilmuwan Jerman, Johann Gottlieb Fichte, yang menyebut bahwa definisi
sebuah bangsa yang paling jelas adalah dari bahasanya karena sebuah bangsa
terbentuk karena adanya batasan-batasan internal alamiah (internal boundaries) yang
terdapat dalam kelompok tersebut terutama kesamaan bahasa (dalam Joseph, 2004:
110). Fichte menjelaskan, mereka yang memiliki kesamaan bahasa ini dengan mudah
berkumpul sehingga memiliki kekuatan yang semakin besar untuk terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
mempertahankan keberadaan dan kesamaan di antara mereka dengan semakin jelas
saling mengerti satu sama lain.
Bagaimana bahasa menjadi identitas nasional? Bagi Renan dan kemudian
memuncak dalam karya Humbolt yang mengikuti pandangan ilmuwan Jerman era
Romantik, bahwa struktur sebuah bahasa telah fix pada momentum ‗ditemukan‘
sehingga manusia dengan sendirinya terkoneksi satu sama lain. Gagasan Renan
tersebut lalu menjadi jelas dalam pemikiran Anderson tentang nasionalisme sebagai
imagined community; yang menjelaskan bahwa bahasa nasional dapat dikatakan
sebagai ‗pemberian‘, anugerah (a given) yang ketika ditemukan, digunakan dan
disebarluaskan menjadi katalisator nasionalisme yang paling mendasar dan utama,
termasuk untuk memperluas ‗mitos nasional‘ (baca: sejarah nasional) yang menjadi
unsur pengikat sebuah bangsa.
Sekalipun demikian, peran bahasa nasional sebagai unsur dasar nasionalisme
tersebut tidak terjadi secara alamiah, melainkan secara diskursif. Pendapat ini
diungkapkan oleh Hosbawm (dalam Joseph, 119), bahwa sekalipun bahasa nasional
merupakan primordial foundation of national culture and the matrices of the national
mind, tetapi keberlangsungannya terbentuk secara dialektis, melalui standarisasi yang
terus diperbarui.
Dengan demikian, Joseph menyimpulkan, bahwa bahasa nasional lebih
merupakan property dari kaum intelektual nasionalis daripada pengguna biasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Karena itulah, bahasa nasional tidak saja diajarkan dalam dunia pendidikan, tetapi
juga perlu dilengkapi dengan ideologi linguistiknya.33
3. Media Massa dan Identitas Nasional
Media massa merupakan lembaga-lembaga komunikasi massa seperti surat
kabar, majalah, televisi, radio dan industri film yang memproduksi dan mendistribusi
teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas kapitalis.34
Media massa berfungsi sebagai penyedia informasi, hiburan, pendidikan dan
pengawasan sosial-politik. Secara umum, media massa dipahami dalam arti teks
(program), relasinya dengan audiens, ekonomi-politik (industri dan organisasi) serta
pola dan makna budaya yang disumbangkan dan dibentuk olehnya. Dengan kata lain,
peran dan kedudukan media massa dalam dunia sosial, politik dan budaya sebuah
bangsa dapat dilihat pada teks, hubungannya dengan publik pembaca atau pemirsa,
sistem organisasi dan industrinya (ekonomi-politik) serta budaya yang diusung
sebuah media massa
Dengan demikian, media massa memiliki peran, fungsi bahkan pengaruh tidak
saja bagi individu tetapi juga bagi komunitas sosial, lembaga masyarakat, hingga
negara dan institusi-institusinya. Dalam perspektif kajian budaya, selain hal-hal
fungsional di atas, media massa memiliki peran yang lebih mendalam yakni sebagai
pembentuk dan penyebar luas ideologi-ideologi bahkan hingga membentuk hegemoni
33
Joseph, Op.cit., hlm. 121. 34
Barker, 2014. Op.cit. hlm. 165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
budaya.35
Sekalipun saat ini media massa tidak lagi sebagai saluran terkuat pembawa
nilai-nilai budaya dan ideologi tertentu serta memiliki kekuasaan untuk
mempengaruhi audiens, namun kedudukan media sebagai sumber atau rujukan untuk
menciptakan makna bagi audiensnya masih begitu kuat. Dalam kadar tertentu, media
massa masih ―menyumbangkan sesuatu mengenai pola-pola budaya menyangkut
ruang, waktu dan rutinitas kita.‖36
Ketika menganalisis kelahiran dan perkembangan nasionalisme dalam konteks
masyarakat Eropa serta dalam dunia kapitalisme, Anderson berpendapat bahwa
teknologi mesin cetak mendorong berkembangnya bahasa nasional sebagai sarana
komunikasi antar anggota bangsa, sehingga komunitas yang besar itu saling
mengenal satu sama lain sebagai satu bangsa. Struktur dasar dua bentuk
pembayangan yang pertama berkembang di Eropa di abad delapan belas: novel dan
surat kabar, merupakan bentuk wahana yang menyediakan cara-cara teknis
―mewujudkan‖ jenis komunitas terbayang yang adalah suatu bangsa. 37
Anderson berpendapat bahwa peran kapitalisme cetak terlihat sangat
menonjol dalam proses transformasi sosial di benua Amerika. Meski sama-sama
berasal dari satu bangsa dan beragama yang sama (Katolik), orang-orang Spanyol
yang tinggal di benua Amerika terbagi-bagi dalam banyak negara, seperti Argentina,
Meksiko, Uruguay, dan Paraguay. Berbeda dengan orang-orang Inggris yang tinggal
di benua Amerika yang hanya terbagi dalam dua negara: Kanada dan Amerika
35
Chris Barker, Op.cit., hlm. 166. 36
Ibid. 37
Benedict Anderson, 1991. Op.cit., hlm. 61.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Serikat. Menurut Anderson, ―kegagalan‖ orang-orang Spanyol di Amerika dalam
menghasilkan nasionalisme Pan-Amerika-Spanyol secara permanen menunjukkan
tingkat perkembangan kapitalisme dan teknologi pada akhir abad kedelapan belas,
sekaligus mencerminkan ketertinggalan ―lokal‖ kapitalisme dan teknologi Spanyol
berkaitan dengan ruang lingkup administratif kemaharajaannya. Dengan kata lain,
sejarah nasionalisme bangsa-bangsa menunjukkan bahwa pers atau media massa
memiliki peran yang sangat besar dalam memperluas kesadaran sebagai satu
komunitas politik oleh karena meluasnya penggunaan bahasa yang sama.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis atau Critical
Discourse Analysis (CDA) menurut Norman Fairclough. Bagi Fairclough, bahasa
dalam konteks studi kritis (critical language studies) harus dipahami sebagai wacana
(discourse) yakni sebagai praktik sosial yang dipengaruhi oleh struktur sosial.38
Karena itu wacana yang tampak secara ideologis dibentuk oleh pola relasi kekuasaan
(power relations) yang ada dalam institusi-institusi sosial maupun dalam masyarakat
secara keseluruhan. Pada saat bersamaan, wacana tersebut mempengaruhi struktur
sosial tersebut sehingga terjadi kesinambungan dan perubahan sosial.39
Dengan kata
lain, wacana itu bersifat konstitutif yang berkontribusi mengkonstruksi identitas
sosial, hubungan sosial, sistem pengetahuan dan makna.
38
Norman Fairlclough. 1989. Language and Power. London & New York: Longman, hlm. 17 39
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Metode CDA versi Fairclough mengenal tiga dimensi dalam menganalisa
wacana yaitu; teks, praktik wacana,dan praktik sosial. Praktik wacana
mempersoalkan seperti apa produksi dan konsumsi teks tersebut. Pertama, teks, yaitu
semua yang mengacu ke wicara, tulisan, grafik, dan kombinasinya atau semua bentuk
linguistik teks (khasanah kata, gramatika, syntax, struktur matafora, retorika). Kedua,
praktik diskursif, yaitu semua bentuk produksi dan konsumsi teks. Fokusnya
diarahkan pada cara pengarang teks mengambil wacana dan genre yang ada dengan
memperhatikan bagaimana hubungan kekuasaan dimainkan. Ketiga, praktik sosial
biasanya tertanam dalam tujuan, jaringan dan praktik budaya sosial yang luas. Dalam
dimensi ini, sudah mulai masuk pemahaman intertekstual, peristiwa sosial di mana
kelihatan bahwa teks dibentuk oleh dan membentuk praktik sosial. Model tiga
dimensi CDA menurut Fairclough dapat digambarkan seperti di bawah ini:40
40
Norman Fairclough. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow:
Pearson, hlm. 98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Proses Produksi
TEKS
Proses Interpretasi
PRAKTIK DISKURSIF
Praktik SOSIO-BUDAYA
[Situasional, Institusional & Sosial]
Bagan 1. Tiga Dimensi dan Tahapan CDA menurut Fairclough
Sedangkan untuk teks mempersoalkan tuturan, pencitraan, hingga visual yang
ditampilkan. Ada beberapa piranti yang diperhatikan pada analisis teks seperti berikut
ini; hubungan antara penutur, bagaimana identitas dikonstruk melalui bahasa dan
aspek-aspek tubuh, metafora, kata, dan tata bahasa. Sementara pada analisis praktik
sosial yang menjadi perhatian yaitu pertama, mengeksplorasi hubungan antara
praktik kewacanaan dan tatanan wacana, kedua, mengekplorasi tujuan praktik
kewacanaan tersebut dalam kaitannya dengan konteks sosial dan budaya.
Sebagaimana tergambar di atas, ketiga dimensi di atas secara praktis
dilakukan dengan tiga langkah atau tahapan yakni deskripsi, interpretasi dan
eksplanasi. Secara singkat, Fairclough menjelaskan ketiga langkah sebagai berikut:41
1) Deskripsi merupakan tahap yang berkaitan dengan hal-hal formal dari teks.
41
Fairclough, 1989. Op.cit. hlm. 26
EKSPLANASI [Makro]
Analisis Sosial
INTERPRETASI [Meso]
Analisis Produksi
DESKRIPSI [Mikro]
Analisis Teks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2) Interpretasi berfokus pada pemaknaan terhadap hubungan antar teks dan
interaksi di mana teks dilihat sebagai hasil sebuah proses produksi dan
menjadi sumber dari proses interpretasi.
3) Eksplanasi merupakan langkah yang berfokus pada hubungan antara interaksi
dan konteks sosial dengan determinasi sosial dari proses produksi dan
interpretasi serta efek-efek sosialnya.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analisis wacana kritis menurut Norman Fairclough.
Akan tetapi, penelitian ini terbatas pada dimensi analisis teks. Karena data yang
dieksplorasi terkait representasi teks yang mengkonstruksi identitas warga Timor
Leste dan terlebih khusus pada kota Dili. Salah satu teks yang representatif adalah
surat kabar harian Suara Timor Lorosae sebagai surat kabar terbesar di Timor Leste
dan tersebar luas di kota Dili.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah sesuatu hal yang dikaji dalam penelitian.
Penelitian ini berfokus pada wacana konstruksi identitas nasional Timor Leste
yang terungkap melalui dinamika politik bahasa nasional dan praktik sehari-hari
warga secara luas yang direpresentasikan oleh penggunaan multi-bahasa pada
media massa besar di Timor Leste. Dengan demikian, obyek kajian dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
penelitian ini adalah teks yang dihasilkan oleh media massa di Timor Leste
khususnya surat kabar Suara Timor Lorosae dalam kaitannya dengan pergulatan
konstruksi identitas nasional negara Timor Leste.
3. Subjek dan Informan Penelitian
Sebagai penunjang sumber data penelitian berupa teks media massa, surat
kabar Suara Timor Lorosae, subjek lain yang diwawancarai sebagai informan antara
lain:
a) Kepala Redaksi Harian Surat Kabar ―Suara Timor Lorosae‖ yang berjumlah 1
orang.
b) Pakar dan peneliti bahasa Tetun dan Portugis serta bahasa lainnya di Timor
Leste dalam hal ini bapak Yohanes Manhitu, penulis dua kamus besar Tetun-
Indonesia, Indonesia-Tetun, dan Portugis-Indonesia-Indonesia Portugis.
4. Sumber Data
Data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau
tempat penelitian.. Data primer penelitian ini adalah teks surat kabar Suara Timor
Lorosae edisi bulan Mei 2017 di mana bulan Mei menjadi bulan yang berkaitan
dengan nasionalisme Timor Leste (bulan kemerdekaan). Sementara data sekunder
adalah data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
yang terdiri dari buku, artikel koran/majalah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, hasil
penelitian, catatan komunitas, buletin dan dokumen-dokumen lainnya.
5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap:
1) Tahap pertama dilakukan di kota Dili sebagai ibukota negara Timor Leste
untuk observasi lapangan, wawancara dengan pihak redaksi Suara Timor
Lorosae dan pengumpulan teks harian STL. Waktu penelitian tahap pertama
ini adalah bulan Mei – Juli 2017. Bulan Mei dipilih karena merupakan
bulan perayaan kemerdekaan Timor Leste (tanggal 20 Mei).
2) Tahap kedua dilaksanakan di Dili dan Yogyakarta pada bulan Februari –
April 2018 untuk memperdalam informasi dan analisis melalui wawancara
mendalam dengan pimpinan STL melalui surat elektronik serta dengan
pengamat bahasa Timor Leste yang kini berdiam di Yogyakarta.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan
beberapa metode antara lain :
a) Analisis teks kualitatif dengan mencermati unsur isi gagasan dan unsur grafis
pada teks surat kabar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
b) Metode wawancara dengan para informan untuk mendapatkan tambahan
informasi dalam rangka memaknai dan menjelaskan konteks teks.
c) Kajian kepustakaan dengan menggali informasi dari buku, jurnal maupun
artikel lain yang relevan dan otoritatif untuk memperkaya data penelitian.
d) Dokumentasi berupa kliping teks dan gambar yang berkaitan dengan
penggunaan multi-bahasa di Timor Leste umumnya dan pada media massa
khususnya.
7. Analisis Data
Untuk menganalisis data pada dimensi teks, Fairclough menawarkan kerangka
analisis yang meliputi lima langkah. Adapun lima langkah itu sebagai berikut:
1) Fokus pada suatu ketidakberesan sosial dalam aspek semiotiknya.
2) Identifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosial.
3) Mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu membutuhkan ketidakberesan
sosial tersebut.
4) Mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-
hambatan.
5) Merefleksikan dengan kritis pada analisis 1-4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
H. Sistematika Penulisan
Tesis dengan judul Wacana Pembentukan Identitas Nasional Negara Timor
Leste dalam Penggunaan Multi-Bahasa di Media Massa, terbagi dalam lima bab.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian,
tinjauan kepustakaan, kerangka teoritis, metodologi penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua berisi uraian tentang gambaran multikulturalitas Timor Leste, latar
belakang sejarah dan politik bahasa di Timor Leste dahulu hingga kini untuk
menjelaskan bagaimana kebijakan nasional terkait penggunaan bahasa serta
fenomena penggunaan multi-bahasa dalam hidup sehari-hari masyarakat Timor Leste.
Bab ketiga berisi tentang gambaran penggunaan multi-bahasa dalam media
massa di Timor Leste khususnya dalam surat kabar Suara Timor Lorosae (STL).
Gambaran ini terdiri dari profil umum media massa di Timor Leste dan profil STL,
gambaran temuan data pada dimensi teks tentang penggunaan multi-bahasa dalam
media massa di Timor Leste. Gambaran tekstual tersebut lalu dikaitkan dengan
dimensi praktik wacana baik dalam hubungan konteks internal surat kabar STL
(kebijakan redaksi), dengan politik bahasa oleh negara, serta oleh kondisi sosial,
ekonomi, politik dan budaya warga Timor Leste sebagai masyarakat pembaca atau
audiens.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Bab keempat adalah pembahasan dan refleksi sistematis dengan perspektif
kajian budaya atas temuan tentang wacana penggunaan multi-bahasa dalam media
massa di Timor Leste. Pembahasan dilakukan dengan mendiskusikan hasil temuan
pada bab sebelumnya dengan teori-teori kajian budaya tentang pascakolonialisme,
relasi antara bahasa dan identitas nasional. Terdapat beberapa poin penting yang
dibahas antara lain: 1) fenomena multibahasa Timor Leste sebagai dominasi wacana
kolonial; 2) multi bahasa media massa di Timor Leste sebagai mutualisme wacana
kolonialisme dan kapitalisme; 3) idealisme bahasa Tetun sebagai resistensi kompetisi
wacana kolonial dan wacana kapitalisme global.
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang
menawarkan sumbangan pemikiran terkait fenomena konstruksi identitas nasional
negara Timor Leste melalui penggunaan multi-bahasa dalam media massa di Timor
Leste serta saran untuk penelitian lain yang akan mengambil topik idenitas nasional
Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
BAB II
LATAR HISTORIS, BUDAYA DAN POLITIK BAHASA
DALAM PERGULATAN IDENTITAS NASIONAL TIMOR LESTE
Bab kedua ini menguraikan sejarah, kondisi sosial-budaya dan dinamika
politik bahasa yang berkaitan dengan pembentukan identitas nasional negara Timor
Leste. Gambaran ini dapat menjadi latar atau konteks sosial-budaya dan politik dari
dinamika penggunaan multi-bahasa dalam media massa di Timor Leste yang menjadi
fokus kajian penelitian ini.
A. Bangsa dan Negara Timor Leste dalam Lintasan Sejarah
Bukti arkeologis terbaru yang diperoleh dari hasil penggalian di situs gua
Lene Hara, Timor Leste menunjukkan bahwa daratan ini telah dihuni manusia
modern sekitar 42.454 - 42.450 tahun yang lalu.42
Temuan ini mengkonfirmasi
sejumlah temuan arkeologi yang dibuat oleh Ian Glovers yang mengadakan begitu
banyak penelitian arkeologis di wilayah Timor Leste tahun 1966-1967 sebagai bagian
dari disetrasinya yang menyatakan bahwa pulau Timor bagian timur (Timor Leste
sekarang) kemungkinan besar merupakan rute migrasi manusia modern sekitar
40.000 tahun lalu yang membentuk masyarakat di Australia dan Melanesia.43
42
Sue O‘Connor, et al., 2010, Cave Archipelago and Sampling Issues in the Tropics:
A Case Study from Lene Hara Cave, a 42,000 Year Old Occupation Site in East Timor, Island
Southeast Asia. Australian Archeology, Number 71, December 2010. 43
Glover, I. 1986. Archaeology in Eastern Timor, 1966-67. Canberra: RSPAS, Australian National
University, hlm.4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Tanpa mengabaikan temuan-temuan arkeologis tentang kondisi geologis dan
gambaran peradaban purba di Timor Leste, dalam konteks kajian budaya sebagai
perspektif utama tesis ini, penjabaran tentang sejarah bangsa Timor Leste dimulai
sejak ―perjumpaan‖ manusia Timor dengan manusia di luar Timor sebagaimana yang
dapat dilacak dalam sumber-sumber sejarah dunia di mana rekaman tertuanya adalah
perjumpaan masyarakat Timor dengan para pedagang dari Cina dan bangsa Asia
lainnya terutama India dan Arab.44
1. Kayu Cendana dan Perjumpaan dengan Orang Cina
Menurut sumber sejarah tertulis, bangsa lain yang lebih awal berinteraksi
dengan penduduk Timor adalah para pedagang Cina yang membeli kayu cendana
(santalum album L) yang merupakan salah satu komoditi yang paling mahal dan
menguntungkan pada zaman perdagangan kuno tersebut. Sekalipun cendana putih
bukan merupakan pohon khas Timor karena terdapat pula di pulau Solor dan Sumba
serta pulau-pulau tertentu di Pasifik, tetapi jumlahnya yang berlimpah dengan
mutunya yang tinggi membuat cendana Timor diyakini oleh para sejarahwan sebagai
alasan dimulainya hubungan bangsa lain dengan penduduk Timor.45
44
Penulis memakai istilah ―perjumpaan‖ untuk menunjukkan posisi, interaktivitas (dialogis) antar
penduduk yang mendiami Pulau Timor dengan bangsa-bangsa lain yang semula mengadakan
perdagangan dengan mereka; sebelum watak imperialisme bangsa Eropa mengubah polanya menjadi
―penaklukan‖; serta untuk membedakan dengan istilah ―penemuan Timor‖ dalam bab ke-2 karya
Geoffrey C. Gunn. 500 Tahun Timor Lorosae. 2005. Terj. Nugroho Katjasungkana,dkk. Dili &
Nagasaki; Sa‘he Institute for Liberation (SIL)& Nagasaki University. Sekalipun demikan, sumber
informasi utama periodisasi dan data-data lainnya diambil dari bab 2 karya C. Gunn tersebut. 45
Gunn, Op.cit. hlm. 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Sumber tertulis dari Cina yang menyebut keberadaan Timor adalah laporan
tahun 1225 dari Inspektur Perdagangan Luar Negeri Cina yakni Chau-Ju-Kua yang
mengatakan bahwa pulau Timor (disebut dengan Kih-ri Tinwu) merupakan sebuah
pulau yang berlimpah-ruah kayu wangi cendana. Bahkan dalam pembacaan Roderich
Ptak atas naskah-naskah dinasti Ming khususnya dalam naskah Tao-i chin-lueh
(ditulis sekitar tahun 1350) diungkapkan dengan jelas bahwa, ―gunung-gunung Timor
tidak menumbuhkan tanaman lain selain kayu cendana yang berlimpah ruah‖, yang
diperdagangkan dengan perak, besi, gelas dan kain, dan setidaknya memiliki dua
belas tempat pelabuhan di mana para pedagang Cina ini melakukan pendaratan. Tao-i
chin-lueh juga menyebutkan adanya pedagang-pedagang selain Cina yang terlibat
dalam perdagangan dengan orang Timor pada masa itu yakni pedagang Jawa, India
dan Arab yang membawa barang-barang dari Barat.46
Naskah Cina lainnya tanpa penulis yakni Feng Hsiang Sung atau ―Angin Baik
untuk Pengiring‖ yang ditulis sekitar tahun 1430 juga menyebutkan bahwa dari 100
perjalanan yang tercatat, Timor merupakan tujuan paling selatan dari perjalanan
perdagangan Cina masa itu. Naskah ini juga menyebutkan sejumpah tempat
persinggahan baik pada pantai utara maupun selatan pulau Timor, dari barat hingga
ke ujung timur.
Catatan di atas menjadi petunjuk bahwa pada waktu itu, sebelum kedatangan
bangsa Portugis abad ke-16, telah berlangsung perdagangan langsung antar orang
Cina maupun bangsa Asia lainnya dengan penduduk Timor. Sekalipun demikian,
46
Roderich Ptak, dalam Gunn, Op.cit., hlm. 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
menurut para sejarahwan, kontak dengan bangsa Cina tersebut hanya berlangsung
dalam konteks perdagangan dan hanya berlangsung di daerah pesisir pantai tempat
pendaratan serta tidak dalam jangka waktu yang lama.47
Bersamaan dengan
kemunduran dinasti Ming dan menguatnya penguasaan jalur perdagangan oleh
bangsa Portugis di laut Cina Selatan awal abad ke-16, catatan tentang perjumpaan
dengan bangsa Cina dan sesama Asia ini tidak lagi ditemukan. Sekalipun demikian,
tidak berarti bahwa para pedagang Cina tidak lagi ada sejak kedatangan Portugis di
jalur perdagangan Timor. Mereka tetap terlibat dalam perdagangan bersama Portugis.
2. Pusaran Kolonialisme Eropa (dan Indonesia)
Pada tanggal 15 Agustus 1511, armada Portugis di bawah pimpinan Afonso
d‘Albuquerqe berhasil menaklukkan Kesultanan Malaka setelah tiga tahun
sebelumnya menaklukkan Goa di India. Penaklukan ini menjadi momentum
terpenting bagi Portugis waktu itu untuk memasuki dan dan menguasai jalur langsung
menuju tempat asal rempah-rempah di Maluku. Diperkirakan, nama pulau Timor
mulai dikenal ketika Portugis memasuki Malaka bahkan bisa saja sebelum itu
mengingat cendana telah menjadi salah satu barang dagangan terpentig baik di
Malaka maupun di Goa. Sekalipun demikian, tidak ada dokumen sejarah yang
menyebutkan bahwa tidak lama setelah penaklukan tersebut, Portugis berlayar
mencapai Pulau Timor secara langsung.
47
F.J. Ormeling, The Timor Problem, J.B. Wolters Gronigen/Djakarta: MJG, 1956, hlm.96; Gunn,
Op.cit., hlm. 78.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Berdekatan dengan tahun penaklukan Malaka tersebut, nama Timor disebut
dalam peta yang dibuat oleh Francisco Rodrigues tahun 1513 dengan catatan
tambahan ―onde nasce o sandal‖ (tempat di mana tumbuh kayu cendana) serta
digambarkan pula dalam Atlas Miller tahun 1519. Rodrigues adalah salah satu
perwira bersama Francisco Serrao dan Fernao Magalhaes yang berangkat dari Malaka
pada November 1511 menuju pusat rempah-rempah di Maluku di bawah pimpinan
pahlawan pengepungan Malaka yakni Antonio de Abreu. Setibanya di Maluku,
Serrao ditinggal, sementara Abreu dan Rodrigues meneruskan perjalanan kea rah
barat daya menyusuri pantai kelompok pulau Wetar, Timor, Alor dan Solor.
Sekalipun demikian, pada kurun waktu tersebut tidak ada bukti sejarah yang kuat
bahwa armada Portugis tersebut telah mendarat di pulau Timor. Menurut Sejarahwan
Portugis, Armando Cortesao dan Humberto Leitao, armada Rodrigues ini tidak
menyinggahi Timor tetapi langsung berlabuh di Solor.48
Nama pulau Timor pertama kali disebut dalam sejarah pelayaran dan
perdagangan Portugis dalam sepucuk surat oleh Rui de Brito Patalim kepada Raja
Manuel yang bertanggal 2 Januari 1514.49
Sementara utusan Portugis (Apocothery)
pertama ke Cina, Tome Pires, mencatat nama Timor dalam Suma Oriental pada tahun
1515, ―antara pulau Solor dan Bima yang merupakan jalur menuju ke sana‖, dan
bahwa kapal-kapal jung pergi ke sana untuk mencari cendana.50
Sementara itu, nama
Timor dalam konteks perdagangan Malaka-Timor paling pertama disebut dalam
48
Dalam Gunn, Op.cit., hlm. 81 49
Patalim, dalam Gunn., Ibid. 50
Pires, dalam Gunn., hlm.81.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
sepucuk surat yang ditulis oleh Jose Fogasa tahun 1516 dari Malaka kepada Raja
Manuel. Ekspedisi ini dikenal berhasil membawa banyak cendana ke Malaka.
Dokumen-dokumen awal tersebut tidak ada yang secara khusus menyebutkan
tindakan penaklukan atas Timor oleh Portugis yang biasanya ditandai dengan
pendirian padrao atau monumen batu maupun traktat perjanjian tertentu. Menurut
Gunn,51
jika dilihat dari kredibilitas sumbernya, maka catatan sejarah Antonio
Pigaffeta yang menulis di atas kapal Victoria (satu-satunya kapal yang selamat dari
perjalanan Magalhaes mengelilingi dunia) tentang pendaratan di Timor dapat
dikatakan merupakan hari perjumpaan langsung bangsa Portugis dengan Timor.
Pendaratan itu terjadi pada tanggal 26 Januari 1522 di desa Amabau (Ambeno) di
dekat Batugade, di pantai tengh utara Timor dengan kapal Victoria dalam perjalanan
ke pulau-pulau Maluku dan Filipina.
Seperti yang telah dijelaskan, ekspedisi pertama Portugis pada tahun 1515
setelah penaklukan Malaka yang melewati kepulauan Nusa Tenggara Timur saat ini,
akhirnya memilih pulau Solor sebagai tempat pendaratan untuk berlindung dari angin
badai pada musim hujan, Desember-Januari, sekaligus menjadi benteng pertahanan
dari berbagai gangguan terutama dari pedagang pesaing dari Bugis-Makassar. Solor
menjadi pusat segala aktivitas perdagangan, politik penaklukan hingga penyebaran
agama Katolik oleh Portugis di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur sekarang
termasuk di Timor. Dengan demikian, pembicaraan tentang aktivitas Portugis sejak
51
Ibid. hlm.83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
awal kedatangannya di Timor perlu dilihat dalam kaitan dengan keseluruhan
aktivitasnya di Solor-Flores.
Untuk itu, menurut Gunn52
, dalam kaitan dengan kehadiran Portugis di Timor,
periodisasi dimulai dengan terbentuknya masyarakat Katolik di Solor-Flores tahun
1515. Periode kedua dimulai pada tahun 1695 bangkitnya kekuasaan oleh mahkota
Portugal di Lifau di kantong Oecussi. Periode ketiga dimulai dengan pemindahan ke
timur ibukota yakni dari Lifau ke Dili tahun 1769; periode keempat bermula tahun
1836 dengan adanya sejumlah kebijakan rasionalisasi administratif yang
menghubungkan Timor dengan Goa dan Makau.
Selain memiliki benteng utama di Solor, Portugis juga memiliki sebuah
benteng kecil di Kupang, Timor. Namun pada tanggal 17 Januari 1613, benteng di
Solor yang menjadi pusat kegiatan Portugis di kepulauan NTT (sekarang) berhasil
direbut oleh armada VOC Belanda di bawah pimpinan Apollonius Schotte.
Akibatnya, sejumlah besar orang Portugis meninggalkan Solor; sebagian berpindah
ke Larantuka, sebagian lagi ke Timor dan ada yang kembali ke Malaka. Setelah
berhasil menaklukkan Solor, maka VOC Belanda dengan leluasa memasuki pula
wilayah Timor dan terlibat dalam persaingan hingga peperangan lebih dari 50 tahun
untuk mendapatkan monopoli atas perdagangan cendana di pulau Timor.
Peperangan antara Portugal dan negeri Belanda untuk memperebutkan Timor
berlanjut setelah VOC Hindia-Belanda, menaklukkan sebuah benteng kecil di
Kupang. VOC dan Portugal menandatangani perjanjian Den Haag pada 12 Juni 1642
52
Gunn, Op.cit., hlm. 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
untuk menghindari persaingan. Salah satu isinya adalah bahwa pulau Timor dan
pulau Sulawesi terbuka bagi orang Belanda dan orang Portugis. Pada tahun 1661
perjanjian baru diadakan di Den Haag antara negeri Belanda dan Portugal setelah 50
tahun konflik kekuasaan di wilayah Timor dan kepulauan Nusa Tenggara.
Konflik Belanda-Portugis atas perdagangan kayu cendana Timor, secara
sporadis berlangsung hingga tahun 1755, ketika keduanya membagi pulau Timor
menjadi dua bagian: bagian barat menjadi milik Belanda dan bagian timur menjadi
milik Portugis dengan pusatnya di Dili. Perundingan lanjutan pada tahun 1846,
menghasilkan kesepakatan baru di mana Portugal mempertukarkan wilayah Flores
dengan sebuah daerah enklave Oecusse di Timor. Sejak zaman itu, negeri Belanda
menguasai pulau Flores dan Portugal menguasai wilayah Oecusse di Timor Barat.
Dalam perjanjian antara Portugal dan negeri Belanda pada tahun 1904-1914, Portugal
menguasai pulau Timor bagian timur, yang dinamakan Timor Portugis (yang
sekarang adalah Timor-Leste) dan negeri Belanda menguasai bagian barat, yang
dinamakan Timor Belanda (yang sekarang adalah bagian propinsi Nusa Tenggara
Timur, Negara Indonesia).
Perlu diketahui bahwa terganggunya kepentingan Portugis di Kupang dan
sekitarnya akibat kekalahan dari Belanda maupun gangguan kerajaan lokal yang
bekerja sama dengan Belanda maupun yang memiliki kepentingan sendiri membuat
pelabuhan di Lifau, Oecusse menjadi semakin penting bagi Portugis. Lifau, Oecusse
akhirnya menjadi pusat kedudukan Portugis di Timor yang terhubung dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
kekuasaan Portugis di Macau dan Goa. Namun pusat kedudukan Portugis ini tergusur
dari Lifau pada tahun 1769 karena pemberontakan Francisco da Hornay II, sehingga
Gubernur Portugis mengungsi ke Dili yang setelahnya menjadi pusat kedudukan
Portugis di Timor. Pada tahun 1896 Timor menjadi koloni tersendiri langsung di
bawah Portugal yang diselingi dengan pendudukan Jepang 1941-1945.
Pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945, Timor dipersatukan
oleh tentara pendudukan dengan pusatnya di Kupang dan di Dili. Pada waktu itu
perbatasan tidak diberlakukan lagi. Namun setelah Jepang menyerah kepada tentara
sekutu pada tahun 1945, Timor dikembalikan dan perbatasan antara Timor Portugis
dan Timor Belanda kembali berlaku. Gubernur Ferreira de Carvalho kembali
memimpin propinsi Timor Portugis. Sejumlah kelemahan Portugis dalam menangani
koloninya, dimerdekakannya beberapa koloni Portugis seperti Angola dan
Mosambique serta munculnya kesadaran untuk berpemerintahan sendiri mendorong
sejumlah tokoh yang tergabung dalam partai Fretelin memproklamasikan
kemerdekaan Timor Leste tahun 1975. Namun, beberapa hari kemudian, terjadilah
penaklukan oleh Indonesia dan menjadikan wilayah bekas koloni Portugis ini sebagai
provinsi Indonesia yang ke-27.
3. Pergulatan Identitas Nasional dalam Masa Kolonial Portugis
Para sejarahwan Timor Leste menegaskan bahwa kesadaran akan identitas
nasional Timor Leste bermula sebagai reaksi terhadap pendudukan kolonialisme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Portugis selama lebih dari 400 tahun dan terutama terhadap invasi dan penguasaan
oleh Indonesia selama 25 tahun.53
Selama masa pendudukan Portugis, terjadi begitu banyak pemberontakan oleh
sejumlah tokoh lokal mulai dari orang pribumi yang ―diportugiskan‖ (Topasse atau
Portugis Hitam) maupun para liurai atau raja-raja lokal. Pemberontakan pertama
yang tercatat sejarah adalah pemberontakan Francisco da Hornay, pemimpin pasukan,
seorang Topasse di Lifau, Oecusse yang memaksa penguasa Portugis di Timor
memindahkan pusat kekuasaan ke Dili. Pemberontakan ini merupakan perlawanan
(baca: ketidaksukaan) terhadap para utusan penguasa Portugis dari Macau yang
ditunjuk untuk memimpin Lifau dan menjadikannya bawahan Gubernur di Macau.
Para Topasse ini beragama Katolik dan berjanji setia pada Portugis tetapi tidak mau
dikekang oleh para wakil Portugis karena mengurangi penguasaan mereka atas
perdagangan cendana di Lifau dan sekitarnya.
Pemberontakan terbesar yang kadang-kadang disebut sebagai benih ―proto-
nasionalis‖ karena melibatkan bukan saja para liurai tetapi juga sebagian anggota
kelompok letrado (kelompok terpelajar-bisa baca-tulis yang biasanya peranakan
Portugis-Timor ataupun keturunan para liurai) adalah Pemberontakan Manufahi atau
Pemberontakan Boaventura yang berlangsung pada tahun 1911-1912. Pemberontakan
53
Damien Kingsbury, ―National Identity in Timor Leste: A Brief Comparative Study‖, 2009, hlm.139;
Claire Rawnsley, ―East Timor: National Identity, History and Culture Wars‖, Paper, dipresentasikan
dalam Biennial Conference of the Asian Studies of Australia di Melbourne 1-3 Juli 2008; Taylor-
Leech, Op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
ini dalam khazanah politik identitas Timor Leste diangkat terutama oleh Partai
Fretilin sebagai patron gerakan anti-kolonialisme di Timor Leste.
4. Invasi Indonesia atas Timor Leste (1975-1999)
Partai FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente atau
Front Revolusi Kemerdekaan Timor-Leste) memproklamirkan kemerdekaan dari
Portugal pada tanggal 28 November 1975. Xavier do Amaral menjadi presiden
pertama, dan Nicolão dos Reis Lobato menjadi presiden kedua. Di pihak lain,
sesudah dua hari, pada 30 November 1975, empat partai lainnya, yaitu partai União
Democrática Timorense (UDT, Uni Demokratis Ti mor), Associação Popular
Democrática Timorense (APODETI, Asosiasi Demokratis Rakyat Timor), Klibur
Oan Timor Asuwain (KOTA, Asosiasi Perwira Orang Timor), dan Trabalhista (Partai
Buruh) dengan perjanjian Balibo atas nama rakyat Timor menyatakan bahwa Timor
Portugis merdeka dan ingin bergabung dengan bangsa dan Negara Republik
Indonesia. Tujuh hari kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975 pulau Timor diinvasi
Republik Indonesia dan nama Timor Portugis diganti menjadi Timor Timur, sebagai
propinsi termuda Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disahkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan ketetapan No. 7/MPR/1976.
Pada bulan Mei 1998, wajah politik Indonesia berubah karena krisis ekonomi,
gerakan reformasi, demokratisasi, dan merosotnya peranan Tentara Nasional
Indonesia yang melemahkan posisi tawarnya (bargaining position) di arena politik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Indonesia. Menurut Conceição Savio (2002:2-7), pada tanggal 27 Januari 1999
Presiden B.J. Habibie mengambil keputusan politik untuk menyelesaikan masalah
Timor Timur untuk selama-lamanya, dengan menawarkan opsi bagi rakyat Timor
Timur untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum dengan dua opsi,
yaitu: tetap bergabung dengan Indonesia atau kemerdekaan.54
Pada tanggal 5 Mei
1999 Pemerintah Indonesia, Pemerintah Portugal dan Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa bersepakat untuk membentuk suatu badan di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa supaya masalah Timor Timur diselesaikan. Pada tanggal 22 Mei
tahun 1999, Dewan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk
United Nations Mission in East Timor (UNAMET, Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa
di Timor Timur) untuk menjalankan referendumnya yang diselenggarakan pada
tanggal 30 Agustus 1999. Pada tanggal 4 September UNAMET mengumumkan hasil
referendum, yaitu kemerdekaan dari Republik Indonesia.
5. Kemerdekaan Timor-Leste 1999
Pada tanggal 25 Oktober 1999, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa memutuskan, berdasarkan bab VII dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
untuk membentuk satu badan yang mengambil alih pemerintahan transisi yang
dinamakan United Nations Transition Administration for East Timor (UNTAET,
Pemerintah Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa) di bawah pimpinan Sérgio Vieira
54
E. da Conceição Savio, 2002. Posisi Hegemonik UNTAET dalam Upaya resolesi Konflik Timor
Lorosae Pasca Jajak Pendapat Periode 1999-2002. MA Thesis, Parahyangan Catholic University.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
de Melo (Conceição Savio, 2002:9).55
Kemudian pada tanggal 20 Mei 2002 Timor-
Timur menjadi Negara secara resmi dengan nama Timor-Leste. Timor-Leste menjadi
negara termuda di Asia Tenggara dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa
yang ke-191. Nama resmi dalam bahasa Portugis ialah Timor-Leste, dalam bahasa
Tetun ialah Timor-Lorosa‘e. Istilah Leste dalam bahasa Portugis dan Lorosa’e dalam
bahasa Tetun berarti ‗Timur‘.
Mari bim Amude Alkathiri adalah seorang muslim yang menjadi Perdana
Menteri pertama di Timor-Leste yang mayoritasnya beragama Katolik. Setelah
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerahkan kekuasaan pada 2002, presiden pertama
adalah Kay Rala Xanana Gusmão yang sebenarnya nama samarannya waktu masih
gerilyawan di hutan; nama aslinya adalah José Alexandre Gusmão. Presiden kedua
adalah José Ramos-Horta dan Presiden ketiga adalah Taur Matan Ruak (nama aslinya
José Maria de Vasconcelos). Pada masa Presiden Jose Ramos-Horta dan Presiden
Taur Matan Ruak, Kay Rala Xanana Gusmão menjadi Perdana Menteri.
Timor-Leste melepaskan diri dari Indonesia, tetapi masih sangat bergantung
pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya berhubungan dengan keamanan, dan
pada sejumlah negara donor internasional berhubungan dengan pembangunan
ekonomi, infrastruktur, penataan sistem administrasi pemerintahan, sistem hukum
dan pendidikan.
55
E. da Conceição Savio, 2002. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
B. Kondisi Sosio-Kultural dan Politik Bahasa untuk Konstruksi Identitas
Nasional Timor Leste
1. Suku dan Bahasa
Penduduk Timor-Leste merupakan campuran antara suku bangsa Melayu dan
Melanesia. dan sebagian kecil penduduk ada keturunan Portugis. Penduduk Timor-
Leste memperlihatkan ciri fisik Negrito dan Melanesia (Barros, 1993:25).56
Penduduk
di daerah pegunungan mempunyai ciri fisik seperti kulit kehitam-hitaman, sedang
penduduk daerah yang berdekatan dengan pantai memperlihatkan ciri fisik Melayu
dengan kulit coklat, rambut lurus dan tubuh tinggi. Timor-Leste memiliki sekitar 12
kelompok etnis yang masing-masing mempunyai bahasa tersendiri. Bahkan secara
faktual diperkirakan terdapat 30 bahasa lokal di samping dua bahasa ofisial dan dua
bahasa lain yang tidak ofisial namun dipakai dalam keseharian yakni bahasa
Indonesia dan Inggris.57
Komunitas bahasa terbesar adalah komunitas bahasa Mambai, Tetun,
Makasae dan bahasa Fataluku.58
Secara umum dapat dikatakan bahwa orang Timor-
Leste sekurang-kurangnya menguasai tiga bahasa: bahasa ibu mereka, bahasa Tetun
sebagai lingua franca dan bahasa Indonesia. Dibandingkan dengan Singapura dan
negara India Tamilnadu, bilingualisme, atau multilingualisme dalam hal ini, di
56
J. de Barros, 1993. Khasanah Budaya, Profile dan Prospek Peluang Investasi di Timor Timur.
Jakarta: Penerbit Anjungan Daerah Timor-Timur. 57
Taylor-Leech, Op.cit.,; Kirsty Sword Gusmao, loc.cit.hlm.111; lihat pula: Country Watch, 2017.
East Timor: 2017 Country Review, hlm. 174. Dapat diakses di laman www.countrywatch.com. 58
Aone van Engelenhoven, 2006. Ita-nia Nasaun Oin-ida, Ita-nia Dalen Sira Oin-seluk ―Our Nation is
One, Our Languages are different‖. Language Policy in East Timor. Dalam: P. Castro Seixas & A. van
Engelenhoven (Eds.), Diversidade Cultural na Construção da Nação e do Estado em Timor-Leste.
Porto: Edições da universidade Fernando Pessoa, 106-131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Timor-Leste berhubungan dengan latar belakang individu penutur. Di kota seperti
Dili, misalnya, seseorang mungkin fasih dalam bahasa Tukudede − bahasa ayahnya,
bahasa Makasai − bahasa ibunya, dan tentu saja dalam bahasa Tetun-Prasa, bahasa
daerah Dili. Juga mungkin bahwa orang ini menguasai suatu bahasa keempat yang
dituturkan oleh kakek-neneknya, misalnya bahasa Mambae. Peta penggunaan bahasa
lokal di Timor Leste dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 1. Peta Etno-Linguistik Timor (McWilliam & Traube, 2011: x)
2. Politik Bahasa Sebelum Kemerdekaan 1999
Taylor-Leech (2009) menjelaskan bahwa ketertarikan awal Portugis terhadap
bahasa lokal (Tetun) semata-mata untuk mendukung penyebaran agama Katolik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
antara penduduk Timor Portugis.59
Kemudian pada abad ke-20, kebijakan kolonial
berfokus pada penciptaan populasi berbahasa Portugis yang memandang dirinya
sebagai bangsa Portugis. Jadi sebenarnya upaya studi bahasa Tetun waktu itu
bermaksud menyesuaikan militer Portugis dengan bahasa lingua franca local yaitu
bahasa Tetun.
Engelenhoven (2006) menjelaskan bagaimana kebijakan bahasa kolonial
Portugis menciptakan sebuah ‗diglosia yang diperluas‘60
di Timor Portugis, tempat
bahasa lokal berfungsi sebagai versi yang rendah, sedangkan bahasa Portugis
berfungsi sebagai versi yang tinggi dalam domain formal seperti administrasi,
edukasi dan agama (Katolik).61
Perpindahan administrasi dari Lifau di Oecusse ke
Dili pada tahun 1769 memungkinkan munculnya bahasa Tetun sebagai lingua franca
untuk komunikasi antar etnis. Versi bahasa Tetun ini terutama digunakan di pasar
(sehingga namanya Tetun-Prasa ‗Tetun pasar‘ atau Tetun-Dili) dan berbeda dari
bahasa Tetun tradisional (misalnya Tetun-terik) karena ketidakadaannya ragam
bahasa khusus untuk urusan ritual. Maka penggalakan bahasa Tetun-Dili dengan
pengorbanan bahasa Tetun ‗tradisional‘ menciptakan situasi bahasa ritual dikeluarkan
dari masyarakat kolonial Timor Portugis ke dalam eksklusivitas kelompok
ethnolinguistik. Kebijakan Portugis yang menomorduakan bahasa Tetun ini kurang
59
K. Taylor-Leech, 2009. ―The language situation in Timor-Leste.‖ Current Issues in Language
Planning Vol 10, No 1, hlm 1-68. 60
Diglosia adalaha suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian-pembagian fungsional atas variasi-
variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat
perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non formal. 61
Aone van Engelenhoven, 2006. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
lebih berlanjut sampai tahun 1975 ketika Timor-Portugis melalui partai FRETILIN
memproklamirkan kemerdekaannya.
Engelenhoven (2006) menjelaskan bagaimana persepsi diri terkini masyarakat
Timor berkembang di kalangan intelektual gerakan perlawanan selama pendudukan
Indonesia. Hal ini dapat menjelaskan bahwa filsafat Mauberisme terhadap demokrasi
sosial oleh Ramos-Horta sangat mirip filsafat Marhaenisme terhadap penindasan
bangsa seperti yang diperkembang oleh Sukarno, presiden pertama Republik
Indonesia. Pilihan bahasa Tetun-Dili sebagai model bahasa nasional memperlihatkan
alasan yang sama dengan pilihan bahasa Melayu – yang namanya diganti menjadi
bahasa Indonesia − sebagai bahasa nasional Indonesia. Baik bahasa Melayu dan
bahasa Tetun-Dili ada sejarah panjang sebagai lingua franca dan seperti bahasa
Melayu, bahasa Tetun-Dili tidak terkait dengan kelompok etnis tertentu. Sedangkan
bahasa Melayu sudah ada tradisi sastra yang mengkonsolidasikan posisinya sebagai
bahasa nasional, bahasa Tetun-Dili tidak ada tradisi seperti itu.
Selama pendudukan Indonesia 1976-1999, Timor Timur sebagai provinsi
termuda Republik Indonesia menganut filsafat Negara Pancasila dengan prinsip
ketiga, Persatuan Indonesia, sebagai salah satu prinsip yang paling penting. Bahasa
Indonesia didefinisikan dalam filsafat Negara sebagai tanda resmi identitas kesatuan
Indonesia, dan bahkan ditentukan sebagai bahasa tunggal dalam kehidupan
masyarakat di Timor bagian timur yang namanya diganti menjadi Timor Timur,
propinsi ke-27 Republik Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Seperti penghapusan bahasa Belanda dari masyarakat Indonesia dulu,
pemerintah Indonesia melarang penggunaan bahasa Portugis dalam masyarakat
Timor Timur sebagai sisa penjajahan. Hull (1999) menjelaskan bahwa karena strategi
asimilasi kultural pemerintah kolonial Portugis, bahasa Portugis telah menjadi bagian
integral kehidupan masyarakat Timor Portugis, sedangkan bahasa Belanda tidak
pernah mencapai posisi yang sebanding di Hindia-Belanda. Oleh karena itu, selama
pendudukan Indonesia, Bahasa Indonesia diupayakan untuk menggantikan bahasa
Portugis sebagai bahasa liturgi dalam misa Katolik Roma.62
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gereja Katolik Timor Timur saat itu
yang langsung di bawah administrasi Vatikan pada tahun 1977, karena pengunduran
diri uskup Portugis José Joaquim Ribeiro, memungkinkan penerus sementaranya di
Timor Timur, uskup Martinho da Costa Lopes, mengatur supaya Vatikan mengakui
bahasa Tetun daripada bahasa Indonesia, sebagai bahasa liturgi resmi di propinsi baru
(Lennox, 2000). Maka pada bulan Oktober 1981, Vatikan secara resmi mengijinkan
bahasa Tetun digunakan sebagai bahasa Liturgi Gereja Katolik di Timor Leste.
Menurut Peter Carey (1995: 2-3), pemilihan bahasa Tetun dan bukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa Liturgi ini menjadikan bahasa Tetun terangkat perannya
bukan saja sebagai lingua franca tetapi juga ―bahasa nasional‖ orang Timor Leste.63
62
G. Hull, 1999. ― Indonesia and East Timor: The Cultural Factors of Incompatability.‖ Studies in
Languages and Cultures of East Timor, Vol. 2, hlm. 55-67. 63
Peter Carey, 1995. ―Introduction: The Forging od a Nation: East Timor‖ dalam Carey, Peter & G.
Carter Bentley (Eds.), East Timor at the Crossroads: The Forging of A Nation, New York: Social
Science Research Council, University of Hawai‘i Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Berdasarkan kondisi di atas, Engelenhoven (2006) menyimpulkan bahwa
larangan Indonesia untuk memakai bahasa Portugis membuatnya menjadi bahasa
perlawanan bawah tanah, sedangkan fungsi liturgis bahasa Tetun membuatnya
menjadi bahasa perlawanan ‗di atas tanah‘.64
3. Politik Bahasa Sesudah Tahun 1999
Selama Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (Transitional
Administration of the United Nations/UNTAET) (1999-2002), kebijakan politik
bahasa yang pada awalnya dikembangkan dalam program FRETILIN mulai
diberlakukan. Walaupun pada awalnya cuma bahasa Portugis diakui sebagai bahasa
resmi di negara baru Timor-Leste, terus dengan cepat bahasa Tetun-Dili diusulkan
sebagai model untuk Tetun Ofisiál ‗bahasa Tetun resmi‘, yang menciptakan sebuah
kerangka pengakuan kedua bahasa sebagai bahasa resmi dalam Konstitusi.
Engelenhoven (2006) menyebutkan tiga persyaratan diglosia berkaitan yang
melemahkan status resmi Tetun Ofisiál: 1) warisan sastra, 2) prestise, 3) stabilitas.
Untuk mengatasi bahaya tersangka penolakan Tetun Ofisiál sebagai bahasa resmi,
Menteri Pendidikan waktu itu, Dr. Filomeno Abel Jacob mendirikan Instituto
National de Linguística (INL, ‗Institut Nasional Linguistik‘) yang tugas utamanya
adalah standarisasi bahasa Tetun-Dili ke Tetun Ofisiál. INL merancang sebuah
ortografi standar, ortografia patronizada ‗ejaan standar‘, yang pada tingkat
pemerintah menjadi ortografi resmi untuk bahasa Tetun resmi dan secara default
64
Engelenhoven, 2006. Op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
menjadi dasar semua ortografi yang akan dikembangkan untuk semua bahasa
nasional. 150 Tahun inovasi ejaan bahasa Tetun yang dihasilkan dalam ortografia
patronizada adalah cara Timor-Leste untuk memenuhi persyaratan warisan sastra
(Instituto Nacional de Linguística, 2002)
Persyaratan prestise dipenuhi oleh publikasi kamus monolingual pertama
bahasa Tetun tahun 2005 oleh INL. Sebelumnya sudah terbit dua kamus monolingual
bahasa Tetun yaitu, Kamus Tetun-Inggris Standar oleh Hull (2000)65
dan Dicionário
Tetum-Português atau Kamus Tetun – Portugis (2000) oleh Costa.66
Meskipun INL
berusaha menghasilkan kamus monolingual dan berbagai jenis daftar kata bilingual
(antara lain Disionáriu Malaiu-Tetun ‗Kamus Melayu-Tetun‘1 untuk guru dan dosen
universitas), sampai sekarang ini tidak ada standar tata bahasa resmi yang diterbitkan
oleh INL.
Menurut Hull dan Eccles (2001), ortografia patronizada maupun karya
keduanya Tetum Reference Grammar telah memenuhi persyaratan untuk dapat
memberikan standar baku bagi pengembangan bahasa Tetun.67
Beragam ejaan Tetun
– yang mencerminkan tradisi ejaan Portugis dan Indonesia – secara resmi ditolak.
Setiap ejaan alternatif, di samping yang diusulkan dalam ortografia patronizada,
dianggap sebagai ‗tulisan campuran‘ sedangkan pelafalan alternatif yang ada,
terutama untuk kata pinjaman Portugis, dijelaskan oleh Hull dan Eccles (2001)
65
G. Hull, 2000. Standard Tetun-English Dictionary. Sydney: Allen & Unwin. 66
Costa, L. 2000. Dicionário de Tetum-Português. Lisboa: Colibri. 67
Hull, G. & L. Eccles, 2001. Tetum Reference Grammar. Sydney: Sebastião Aparício da Silva
Project/Dili: Instituto Nacional de Linguística.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
sebagai varian basilek, sedangkan pelafalan asli Portugis merupakan varian akrolek.
Varian berikutnya juga diidentifikasi sebagai Tetun literáriu ‗bahasa Tetun sastra‘
yang digunakan dalam konteks liturgi Gereja Katolik.
Satu karya penting lainnya dalam sejarah terkini perkembangan bahasa Tetun
sebagai bahasa nasional Timor Leste adalah terbitnya kamus Kamus Indonesia-Tetun,
Tetun-Indonesia yang ditulis oleh Yohanes Manhitu tahun 2007.68
Penting dan
strategisnya kehadiran kamus karya Manhitu ini ditegaskan dalam pernyataan Aone
van Engelenhoven ketika menuliskan resensi atas kamus tersebut:69
Buku ini adalah kamus bahasa Tetun pertama yang diterbitkan di Indonesia
setelah Timor Timur lepas dari Indonesia menjadi republik Timor Lorosa‘e
pada tahun 2001... Dibandingkan dengan kamus (atau daftar kata) yang terbit
sebelumnya, karya Yohanes Manhitu ini memperlihatkan kemajuan yang
berarti dalam dunia perkamusan bahasa Tetun dan bahasa Indonesia. Itu dapat
diamati dengan banyaknya lema yang dimuat: kira-kira 8.830 lema.
Sebetulnya, jumlah ini harus dibagi dua karena menyangkut baik bagian
Tetun-Indonesia maupun bagian Indonesia-Tetun. Namun, walaupun begitu
jumlahnya tetap melebihi jumlah lema di karya-karya leksikografis
sebelumnya.... Cara Manhitu mengetengahkan dan menangani ejaan Tetun
yang baku di dalam kamusnya memperlihatkan bahwa penyusun ini
mengetahui segala permasalahannya (lihat Engelenhoven 2006)... Kamus ini
merupakan terbitan baru yang dapat menggantikan kamus dari Hull dan
Pollard (2002), yang sekarang ini masih banyak digunakan oleh para guru SD,
SMP, dan SMU di Timor Lorosa‘e. Saya juga menganggap terbitnya kamus
ini sebagai sebuah tanda nyata dari membaiknya komunikasi antara kedua
negara yang bersangkutan.
Ketakutan pada ‗skenario Filipina‘ (Engelenhoven & Naerssen), yang
masyarakatnya tidak mengaku pilihan satu bahasa lokal (misalnya bahasa Tagalog)
68
Yohanes Manhitu, 2007. Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 69
Aone van Engelenhoven, 2008. Resensi Buku. Dalam Wacana Vol. 10, No. 2, Oktober 2008, Jurnal
FIB Universitas Indonesia, hlm. 355-356.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
atas yang lain sebagai bahasa nasional, mengakibatkan penerimaan semua bahasa
lokal yang diidentifikasi oleh INL sebagai bahasa nasional. Konsekuensinya, di
samping tugasnya untuk membakukan bahasa Tetun resmi, INL juga ditugaskan
untuk mendorong semua bahasa nasional. Perhatian secara khusus diberikan pada
bahasa Fataluku di Lautém dan bahasa Baikenu di Oecusse, karena distrik ini telah
diakui sebagai daerah tempat bahasa Tetun belum diintroduksi. Sedangkan
komunikasi resmi terbatas pada bahasa Portugis dan bahasa Tetun, orang distrik ini
diberi kesempatan untuk berbicara bahasa Fataluku atau bahasa Baikenu sebagai
gantinya.
Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sama-sama diakui sebagai ‗bahasa kerja‘
dalam Konstitusi, meskipun yang belakangan secara resmi ‗dihapuskan setahap demi
setahap‘ dari kehidupan masyarakat Timor-Leste (Hull, 2002). Masalah utama adalah
bahwa bahasa Indonesia masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari utamanya di
universitas dan Sekolah Menengah Atas, karena sebagian besar guru dan dosen
dididik dalam bahasa Indonesia di lembaga pendidikan Indonesia. Karenanya, INL
mengadakan workshop ortografi untuk guru dan wartawan di seluruh negara.
Status resmi bahasa Portugis dan bahasa Tetun berimplikasi bahwa kedua
bahasa perlu diterapkan dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan politik bahasa
yang melarang penggunaan bahasa Portugis dalam masyarakat selama pendudukan
Indonesia seperti dijelaskan di atas, menyebabkan situasi kekurangan guru bahasa
Portugis. Sebagai anggota Komunitas Negara-Negara Berbahasa Portugis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
(Comunidade dos Países da Língua Portuguesa, CPLP), sesama anggota seperti
Portugal dan terutama Brasilia segera bereaksi dengan mengirimkan materi kursus
bahasa Portugis dan guru. Begitu, bahasa Portugis menjadi mata pelajaran wajib di
sekolah dasar dan menengah.
C. Rangkuman
Data arkelogis menyebutkan bahwa daratan Timor Leste mulai dihuni
manusia sekitar 40.000 tahun silam. Sementara catatan historis mengisahkan bahwa
karena hasil kayu cendananya yang melimpah membuat masyarakat Timor Leste
berjumpa dengan pedagang-pedagang Cina pada abad ke-14 dan para pedagang
beserta misionaris Portugis pada abad ke-16. Secara kultural, terdapat sekitar 12 etnis
dan sekitar 30 bahasa lokal. Penduduk Timor-Leste merupakan campuran antara suku
bangsa Melayu dan Melanesia. dan sebagian kecil penduduk keturunan Portugis.
Portugis menjadi bangsa yang paling lama menguasai Timor Leste (sekitar
450 tahun) dan diikuti oleh Indonesia (sekitar 24 tahun). Selama penguasaan
Portugis, bahasa Tetun digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) untuk
mempermudah hubungan perdagangan dengan Portugis dan etnis lainnya, serta
untuk mempermudah penyebaran agama Katolik oleh para misionaris. Sekalipun
demikian, bahasa Tetun diperlakukan sebagai bahasa kelas dua atau bahasa
percakapan semata. Hanya bahasa Portugis yang dianggap sebagai bahasa resmi baik
dalam hidup keagamaan, pendidikan maupun administrasi kenegaraan hingga tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
1975 sebelum pendudukan oleh Indonesia. Sementara itu, selama pendudukan
Indonesia, bahasa Portugis dilarang keras untuk dipergunakan dalam segala bidang.
Hanya bahasa Indonesia yang diajarkan dalam dunia pendidikan, pemerintahan,
perdagangan bahkan dalam keagamaan. Sedangkan bahasa Tetun kembali menempati
status kelas dua seperti pada masa Portugis. Sekalipun demikian, ketika Vatikan
memilih bahasa Tetun (bukan Indonesia) sebagai bahasa Liturgi Gereja Katolik pada
Oktober 1981, bahasa Tetun semakin kuat kedudukannya bahkan secara praktis
menjadi bahasa ‗nasional‘ yang digunakan untuk menyebarkan semangat perlawanan
kepada Indonesia.
Kondisi multi-kultur dan sejarah panjang politik kebahasaan di Timor Leste
tersebut menjadikan masyarakat Timor Leste menjadi masyarakat multi-lingual atau
pengguna beberapa bahasa. Kondisi multi-bahasa ini mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan termasuk sistem media massa yang berperan besar dalam proses
perkembangan identitas nasional. Kaitan antara kondisi multi-bahasa, dinamika
konstruksi identitas dan sistem media massa di Timor Leste akan dibicarakan pada
bab berikut tulisan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
BAB III
WACANA IDENTITAS NASIONAL DALAM PENGGUNAAN MULTI-
BAHASA DI SURAT KABAR “SUARA TIMOR LOROSAE”
Menurut perspektif Fairlcough, wacana mencakup teks, praktik wacana dan
praktik sosio-budaya. Dalam konteks kajian terhadap fenomena penggunaan multi-
bahasa di harian STL, wacana identitas nasional Timor Leste terkandung dalam teks
yakni konten dan strukturnya, praktik wacananya yakni dalam sistem media massa di
Timor Leste, serta praktik sosio-budayanya yakni konteks sosial, politik dan budaya
yang melatarbelakangi dan mendukung terlaksananya praktik penggunaan multi-
bahasa dalam harian STL khususnya dan media massa di Timor Leste umumnya.
Untuk itu, akan digambarkan dahulu realitas teks penggunaan multi-bahasa
pada aspek historis, sistem pengaturan rubrik, kebijakan redaksi, serta isi surat kabar
STL yang relevan dengan topik penelitian. Setelah itu dijabarkan praktik wacana
berupa sistem media di Timor Leste. Sub bagian terakhir adalah wacana identitas
dalam praktik sosial-budaya terkait multi-bahasa media massa Timor Leste yakni
kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang mempengaruhi penggunaan multi-
bahasa dalam media massa Timor Leste. Dari ketiga lapisan wacana ini dapat
terungkap aneka relasi kekuasaan yang membentuk wacana identitas nasional Timor
Leste melalui penggunaan multi-bahasa di media massa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
A. Identitas Nasional Timor Leste dalam Teks Multi-Bahasa Harian STL
Teks dalam analisis wacana mempersoalkan tuturan, pencitraan, hingga
visual yang ditampilkan. Dalam konteks teks harian STL, unsur-unsur tekstual yang
berkaitan dengan identitas nasional dalam fenomena multi-bahasa, tampak dalam
porsi penggunaan setiap bahasa dalam masing-masing edisi, serta distribusi
penggunaan setiap bahasa dalam rubrik-rubrik, dan konstruksi gagasan tentang
nasionalisme dalam artikel berita maupun opini.
1. Porsi Penggunaan Multi-Bahasa dalam Harian STL
Harian STL menggunakan empat bahasa dalam setiap edisinya yaitu bahasa
Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris. Sekalipun demikian, porsi penggunaan
bahasa-bahasa tersebut berbeda satu sama lain, baik secara keseluruhan maupun
penempatannya pada rubrik-rubrik yang ada. Secara singkat, rubrik-rubrik tersebut
dijelaskan demikian :
1) Halaman depan (Headline)
Halaman depan STL berisi berita-berita penting yang menjadi sorotan edisi
STL hari bersangkutan. Halaman depan STL dibuat berwarna (full colour)
dan rata-rata terdapat empat artikel. Sekalipun demikian, hampir semua artikel
tersebut tidak tuntas pada halaman depan, tetapi masih bersambung pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
halaman lainnya. Sejauh pengamatan penulis terhadap STL edisi Mei 2017,
semua artikel pada halaman depan STL memakai bahasa Tetun.
2) Sidade Dili (Kota Dili)
Rubrik ini berisi berita-berita aktual dalam bidang apa saja yang terjadi atau
yang berhubungan dengan warga kota Dili sebagai ibukota negara Timor
Leste. Artikel-artikel dalam rubrik Sidade Dili juga seluruhnya berbahasa
Tetun dan mengambil porsi 1-2 halaman.
3) Ekonomia (Ekonomi)
Berisi berita-berita ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kebanyakan artikel di rubrik ini berbahasa Tetun, namun beberapa di
antaranya memakai bahasa Indonesia. Porsi untuk rubrik ini adlah 1-2
halaman.
4) Edukasaun (Pendidikan)
Rubrik ini berisi berita-berita dalam bidang pendidikan, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Kebanyakan artikelnya berbahasa Tetun namun cukup
banyak pula yang memakai bahasa Indonesia. Porsinya 1-2 halaman koran.
5) Jeneru (Gender)
Rubrik ini berisi berita yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak
perempuan. Porsinya mencakup 1-2 halaman. Terdapat berita berbahasa Tetun
dan Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
6) Saude no Labarik (Kesehatan dan Anak)
Rubrik ini berisi berita tentang kesehatan masyarakat dan kesejahteraan anak-
anak. Porsinya mencakup 1-2 halaman. Terdapat berita berbahasa Tetun dan
Indonesia.
7) Munisipiu (Kabupaten atau Distrik)
Rubrik ini berisi berita tentang berbagai peristiwa di distrik atau kabupaten-
kabupaten Timor Leste. Semua artikelnya berbahasa Tetun.
8) STL
Rubrik ini merupakan rubrik dengan jumlah halaman paling banyak (3-4
halaman). Rubrik STL berisi aneka berita sosial politik dalam negeri yang
tidak menjadi sorotan edisi STL hari bersangkutan. Semua beritanya ditulis
dalam bahasa Tetun.
9) ASEAN
Rubrik ini memuat berita tentang peristiwa-peristiwa di negara-negara
anggota ASEAN. Kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia tetapi kadang
terdapat bahasa Malaysia (Melayu Malaysia). Porsi rubrik ini antara 1-2
halaman.
10) CPLP
Rubrik ini memuat berita yang berkaitan dengan negara-negara anggota
CPLP. Bahasa yang digunakan adalah Portugis dengan porsi 1 – 2 halaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
11) Internasional
Rubrik ini memuat berita-berita dunia internasional. Hampir semua artikel
berbahasa Inggris dengan porsi 1-2 halaman.
12) Desportu
Rubrik ini berisi berita olah raga baik nasional maupun internasional. Hampir
semua artikelnya berbahasa Indonesia dengan porsi tetap yakni 2 halaman.
13) Opiniaun (Opini)
Ini adalah rubrik opini yakni artikel ilmiah populer karya para penulis dari
luar wartawan STL. Artikel dalam rubrik ini ada yang berbahasa Tetun,
Portugis, Indonesia maupun Inggris. Porsinya 1 halaman.
14) Ksolok (Hiburan)
Rubrik ini berisi berita dunia hiburan dan artis nasional maupun internasional.
Hampir semua artikelnya berbahasa Indonesia dengan porsi 1 halaman.
15) Cover Belakang
Cover belakang berwarna (full colour) dan berisi kolom tokoh dan peristiwa.
Terdapat satu karangan khas (feature) tentang tokoh inspiratif (nasional
maupun internasional) serta tulisan singkat tentang beberapa tokoh lain.
Bahasa yang digunakan adalah Tetun dan Indonesi.
Penulis juga menghitung jumlah artikel dan memetakan penggunaan keempat
bahasa (Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris) dalam semua rubrik harian STL edisi
bulan Mei 2017. Menurut hasil perhitungan penulis, secara keseluruhan terdapat 1160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
artikel baik berita maupun opini (non iklan) yang diterbitkan harian STL edisi Mei
2017 dengan porsi penggunaan bahasa berbeda-beda. Grafik berikut ini
menggambarkan pemetaan jumlah artikel STL edisi Mei 2017 berdasarkan bahasa
yang digunakan.
Grafik 1. Jumlah Artikel STL Mei 2017 Menurut Bahasa yang Digunakan
Grafik di atas menunjukkan bahwa dari 1160 artikel non iklan dalam harian
STL edisi Mei 2017, sebanyak 54% atau 629 artikel ditulis dalam bahasa Tetun,
sebanyak 33% atau 378 artikel dalam bahasa Indonesia, sebanyak 9% atau 102 artikel
dalam bahasa Portugis, dan sebanyak 4% atau 51 artikel ditulis dalam bahasa Inggris.
Dengan kata lain, lebih dari separuh artikel dalam harian STL edisi Mei 2017 ditulis
dalam bahasa Tetun, diikuti oleh bahasa Indonesia, bahasa Portugis dan terakhir
bahasa Inggris.
Tetun
54%
Portugis
9%
Indones
ia
33%
Inggris
4%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Porsi penggunaan bahasa yang berbeda tersebut tidak berlaku untuk semua
rubrik. Perhitungan lanjutan menunjukkan bahwa terdapat rubrik yang sepenuhnya
berisi artikel berbahasa Tetun atau bahasa lainnya, serta ada rubrik yang berisi
artikel-artikel dengan bahasa yang berbeda. Gambaran tentang porsi dan penempatan
keempat bahasa rubrik-rubrik STL diuraikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Porsi penggunaan bahasa pada rubrik STL edisi Mei 2017
Berdasarkan data-data yang tergambar dalam grafik 2., dan tabel 1 di atas,
beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain:
No Rubrik Jumlah Artikel Menurut
Bahasa yang Digunakan Total
Tetun Portugis Indonesia Inggris
1 Headline
(Halaman depan) 100 100
2 Sidade Dili 73 73
3 Ekonomia 42 21 63
4 Edukasaun 56 15 71
5 Jeneru 73 12 85
6 Saude no Labarik 29 24 53
7 Munisipiu 82 82
8 STL 124 124
9 ASEAN 12 78 90
10 CPLP 101 101
11 Internasional 51 51
12 Desportu 7 121 128
13 Opiniaun 13 1 27 41
14 Ksolok 5 60 65
15 Cover belakang 13 59 72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
1) Lebih dari separuh artikel dalam harian STL menggunakan bahasa Tetun.
Penggunaan bahasa Tetun tampaknya lebih ditonjolkan di mana seluruh (100%)
artikel pada halaman depan (headline) memakai bahasa Tetun. Bahasa Tetun juga
digunakan secara total untuk berita seputar kota Dili maupun distrik-distrik Timor
Leste sebagaimana tampak dalam rubrik Sidade Dili dan STL, serta untuk berita
tentang dalam rubrik Munisipiu. Rubrik Ekonomia, Edukasaun, Jeneru dan Saude
no Labarik berisi artikel berbahasa Tetun dan Indonesia tetapi jumlah artikel
berbahasa Tetun lebih banyak daripada berbahasa Indonesia. Dalam pengamatan
lanjutan,70
artikel berbahasa Indonesia pada rubrik-rubrik tersebut berisi berita
ekonomi, pendidikan dan lainnya yang terjadi di Indonesia baik yang berkaitan
dengan warga Timor Leste maupun tidak berkaitan. Sedangkan yang berbahasa
Tetun merupakan berita tentang peristiwa ekonomi, pendidikan dan sebagaianya
yang terjadi di Timor Leste. Dengan demikian, STL tampak mengutamakan
penggunaan bahasa Tetun khususnya untuk dua hal yaitu pertama, bentuk dan
struktur koran; kedua, isu-isu dalam negeri Timor Leste baik politik, sosial,
ekonomi, kriminalitas dan sebagainya.
2) Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang paling banyak digunakan dalam
artikel-artikel harian STL. Bahkan, rubrik yang berisi berita ringan seperti
olahraga dan dunia hiburan (entertainment) yakni rubrik Desportu, Ksolok dan
halaman belakang hampir seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia. Dengan
70
Pengamatan lanjutan yang dimaksud adalah pencermatan peneliti secara langsung saat menghitung
dan membaca isi secara sekilas selama proses penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kata lain, berita-berita ringan dan menghibur dalam harian STL menggunakan
bahasa Indonesia. Corak penggunaan bahasa Indonesia yang berbeda dalam STL
tampak rubrik yang isinya lebih ―serius dan formal‖ yaitu berita ASEAN dan
kolom Opini. Bahkan, dalam pengamatan lanjutan,71
beberapa opini berbahasa
Indonesia yang dimuat oleh STL diambil sepenuhnya dari opini yang diterbitkan
oleh surat kabar Indonesia seperti Pos Kupang, Timor Express, dan Media
Indonesia.
3) Bahasa Portugis hanya digunakan dalam rubrik CPLP serta sangat kecil porsinya
dalam rubrik Opiniaun.
4) Bahasa Inggris juga hanya digunakan dalam rubrik Internasional sekalipun sejauh
pengamatan penulis ditemukan pula penggunannya dalam kolom Opiniaun.72
2 Artikel STL tentang Bahasa dan Identitas Nasional Timor Leste
Selain struktur rubrik dan kebijakan tim redaksi STL, fenomena multi-bahasa
dan kaitannya dengan identitas nasional Timor Leste dalam harian STL juga dapat
dilihat dalam konstruksi artikel STL yang memiliki tema bahasa dan konstruksi
indentitas Timor Leste. Menurut observasi peneliti, terdapat tiga artikel STL edisi
Mei 2017 yang membahas dan memberitakan perihal bahasa dan pembangunan
identitas Timor Leste. Satu artikel adalah artikel berita halaman depan (headline),
71
Khusus artikel dalam kolom opini, peneliti memiliki catatan tersendiri berkaitan dengan artikel-
artikel yang diambil langsung dari surat kabar Indonesia tersebut (lihat lampiran yang berisi
perhitungan lengkap artikel STL edisi Mei 2017). 72
Penulis sempat melihat ada artikel rubrik Opiniaun berbahasa Inggris tetapi bukan dalam edisi Mei
2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
artikel tajuk rencana yang diberi nama kolomnya Husi Ami (Dari Kami) dan satu
artikel opini. Ketiga artikel tersebut antara lain:
1) Estudantes Tenke Aprofunda Lian Portugues (Pelajar Harus Mempelajari Bahasa
Portugis): merupakan berita headline STL edisi 5 Mei 2017 sebagai hasil
reportase wartawan STL, Natalino T.da Costa dan Jacinta Sequeira atas
peringatan Hari Kebudayaan Portugis (Loron Portugues no Kultura) yang jatuh
setiap tanggal 5 Mei. Judul berita tersebut merupakan bagian dari pidato presiden
Timor Leste ke-3 Taur Matan Ruak di UNTL (Universidade Nasional Timor
Leste).
2) Funsionamentu Estadu, Unidade Nasional, & Establidade Nasaun (Fungsi
Pemerintah, Persatuan Nasional dan Stabilitas Negara); merupakan Tajuk
Rencana STL, Husi Ami, (Dari Kami) pada edisi 23 Mei 2017 (Tersa, 23 Maiu
2017). Selain isinya sesuai tema, tajuk ini merupakan tajuk dalam rangka
menyambut presiden ke-4 Timor Leste yang baru saja terpilih dalam pemilu 2017.
Selain itu, secara tematik, teks ini merupakan tajuk rencana edisi STL yang terbit
persis sesudah perayaan Hari Kemerdekaan Timor Leste ke-15 (20 Mei 2017).73
3) Mensagem Aos Cogressistas (Pesan untuk Kongres); merupakan opini pada STL
edisi 18 Mei 2017. Penulisnya adalah Domcarlos Filipe Ximenes Belo, Uskup
Emeritus Keuskupan Dili, Penerima Nobel Perdamaian 1996, salah satu tokoh
penting dalam sejarah kemerdekaan Timor Leste.
73
Sebagai hari Libur Nasional, maka STL juga tidak terbit pada hari perayaan kemerdekaan Timor
Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Beberapa kalimat dan paragraf dari ketiga artikel di atas secara eksplisit
maupun implisit mengungkapkan wacana keterkaitan antara penggunaan bahasa
dengan konstruksi identitas nasional pada khususnya dan pembangunan negara pada
umumnya. Jalinan sejumlah kalimat dan paragraf ketiga artikel di atas merupakan
bentuk wacana yang dibingkai (framing) oleh harian STL tentang identitas nasional
Timor Leste terkait pemilihan dan penggunaan bahasa ofisial. Berdasarkan analisis
atas beberapa kalimat dan paragraf ketiga artikel di atas, harian STL edisi Mei 2017
(yang merupakan bulan perayaan hari kemerdekaan Timor Leste) menempatkan
problem multi-bahasa dan kebangsaan Timor Leste dalam dua bingkai besar, yaitu:
1) Kondisi multi-bahasa atau tepatnya dwi-bahasa Tetun dan Portugis sebagai
wacana politik politik kenegaraan Timor Leste. Wacana ini tampak jelas dalam
kutipan pernyataan Presiden Taur Matan Ruak pada perayaan Hari Kebudayaan
Portugis bahwa kedwibahasaan Tetun dan Portugis adalah amanat konstitusi
negara yang harus dilaksanakan. Paragraf pertama (lead) STL pada berita
Estudantes Tenke Aprofunda Lian Portugues (edisi 5 Mei 2017) merupakan
kutipan pidato presiden Taur Matan Ruak:
Prezidente Republika Taur matan Ruak apela ba estudante sira atu
aprofunda lian Portugues ho diak, tanba konsagra ona iha konstituisaun
nuudar lian ofisial inklui tetum.
―Ita nia estadu hili ona lian tetun no portugues sai hanesan lian ofisial, nee
konsagra ona iha konstitusaun, tan nee hau husu estudante sira tenke
aprende lian portugues ho diak, tanba Portugues nuudar lingua ofisial
Timor-Leste.
[Presiden Republik taur Matan Ruak menyampaikan kepada para
mahasiswa untuk mempelajari bahasa Portugis dengan baik karena sudah
dicantumkan dalam kontitusi sebagai bahasa nasional termasuk Tetun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
―Pemerintah kita telah memilih bahasa Tetun dan Portugis sebagai bahasa
nasional. Maka saya mohon kepada para mahasiswa agar harus
mempelajari bahasa Portugis dengan benar karena bahasa portugis
merupakan bahasa nasional Timor Leste]
Kutipan di atas menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Portugis merupakan
kewajiban sebagai warga negara Timor Leste. Secara politis, kewajiban
penguasaan dwi-bahasa ini juga menjadi sarana untuk menyatukan warga Timor
Leste dari berbagai latar belakang suku. Keanekaragaman suku di Timor Leste
sekaligus menunjukkan keanekaragaman bahasa dan dialek. Karena itu, bahasa
nasional menjadi sarana untuk menyatukan agar menjadi satu warga negara Timor
Leste. Pandangan ini dikemukakan oleh pengganti presiden Taur Matan Ruak,
Fransisco Guteres Lu-Olo, sebagaimana dirangkum oleh STL dalam tajuk rencana
edisi 23 Mei 2017:
Nudar Chefe Estado, Fransisco Guterres Lu-Olo antes nee, hatudu ona
ninia vizaun no misaun ba povu katak, nia Prezidenti da republika ba
povu tomak. Nia konsege hatudu ninia esperitualidade mos klaru.
Nudar Chefe Estado, nia sei laharee ba lingua, parpol, ema nia rasa,
etiku, no relijiaun. Maibe tenki konsidera ema hotu nudar sidadaun no
povu nasaun ida nee.
[Sebagai kepala negara, Fransisco Guterres Lu-Olo telah menunjukkan
visi dan misinya untuk seluruh masyarakat bahwa ia adalah presiden
Republik untuk seluruh rakyat. Konsekuensinya jelas, bahwa sebagai
Kepala Negara, ia tidak membedakan mereka menurut bahasa, partai
politik, ras, etnis dan agama. Ia harus memperlakukan semua orang
sebagai warga negara ini.]
2) Kondisi multi-bahasa Tetun dan Portugis sebagai wacana pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan kemajuan negara Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Bingkai wacana ini tampaknya menjadi wacana paling kuat dan menonjol saat ini
terutama karena dua problem mendasar yang dihadapi dunia pendidikan Timor
Leste terkait bahasa. Problem pertama, bahwa sekalipun bahasa tetun Dili dapat
dipahami diseluruh wilayah, namun bahasa tersebut masih digunakan sebatas
sebagai bahasa percakapan sehari-hari sehingga belum memiliki standar ejaan
yang baku. Karena itu, warga masih menemui kesulitan jika menggunakannya
sebagai bahasa tertulis dan bahasa ilmu pengetahuan. Kedua, bahwa masih
sangat sedikit dari keseluruhan jumlah penduduk Timor Leste baik di kalangan
terdidik maupun tidak terdidik yang menguasai bahasa Portugis.
Kuatnya wacana identitas nasional dan konteks penggunaan bahasa dalam
dunia pendidikan di Timor Leste tergambar dalam teks berita STL Estudantes
Tenke Aprofunda Lian Portugues (edisi 5 Mei 2017):
Nia hatutan lian portugues nuudar instrumentu neebe bele lori timor
oan sira konese area balu liu liu ba iha kestaun siensia tenologia nian,
tan nee lian portugues nesesariamente ba timor oa sira espesialmente
estudantes tenke aprende no domina diak liu.
[Beliau (presiden Taur Matan Ruak-Pen.) menyampaikan bahwa
bahasa portugis merupakan instrumen yang dapat membawa putera-
puteri bangsa untuk mengenal sebagian ruang lingkup terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga bahasa portugis
sangat dibutuhkan oleh putera-puteri Timor khususnya para
mahasiswa agar belajar dan mendalaminya dengan sebaik mungkin.]
Secara khusus, harian STL juga memuat opini Uskup Emeritus Keuskupan
Dili Dom Carlos Filipe Ximenes Belo yang berjudul Mensagem aos Cogresistas
(Pesan untuk Kongres) yang secara khusus diminta oleh Menteri Pendidikan
Timor Leste (Ministro da Educacao da RDTL), Dr. Antonio dan Conceicao. Opini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
tersebut memuat usulan atau imbauan seorang tokoh nasional yang dihormati
sekaligus Orang Timor (como timorense) kepada Kongres RDTL yang akan
bersidang menyusun agenda pemerintahan lima tahun kedepan. Dengan kata lain,
opini Uskup Belo tersebut dapat dilihat sebagai agenda yang sangat perlu
dijadikan agenda nasional Timor Leste. Uskup Belo mengajukan tiga saran
(sugestoes) yaitu, 1) Intensifikasi dan peningkatan pengajaran bahasa resmi:
Portugis dan Tetum (A intensificação e a melhoria no ensino das línguas oficiais:
Português e Tétum); 2) Pengajaran dan penerapan sains dan teknologi (O ensino
e implementação da ciência e tecnologia); 3) Pelaksanaan pendidikan kejuruan (A
implementação do ensino profissional).
Uskup Belo menempatkan pendalaman dan peningkatan pembelajaran bahasa
Tetun dan Portugis pada urutan pertama sebagai tanda bahwa agenda tersebut
adalah yang terpenting. Selain itu, penekanan agenda tersebut diperlihatkan
Uskup Belo dengan memberikan penjelasan yang lebih konkrit tentang
pelaksanaan agenda tersebut. Berikut ini adalah kutipan penjelasan Uskup Belo
dalam opininya di STL tersebut:
1ª- O ensino das duas línguas oficiais:
a) Quanto à língua portuguesa: o seu uso deveria ser obrigatória não só
nas salas de aulas, mas também no pátio e no ambiente escolar. Que se
criem oportunidades para os timorenses falarem, cantarem e
exprimirem-se em Português em todas as circunstâncias.
b) Quanto à língua nacional Tétum: Seria aconselhável pedir ao
Governo e o Parlamento a publicação de um decreto para a
padronização do Tétum. Que em todo o território nacional vigore um
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
só padrão quanto à seja um só padrão quanto à grafia e quanto à
pronúncia. Eu ouso sugerir que o Tétum desenvolvido pelo Instituto da
Linguística da Universidade nacional seja obrigatório para todos. E
que se crie uma Academia da Língua Tétum com as seguintes funções:
a preservação e pureza da língua Tétum; o acompanhamento da
evolução da língua; a autoridade apara aprovar o uso de novos termos.
Sugere-se que essa Academia, criada e aprovada e reconhecida pelo
Governo, seja á única instituição válida em Timor-Leste.
Que se dê maior promoção ao cultivo da literatura Tétum: tanto em
prosa como em poesia. Que se dê maior apreço e valorização aos
timorenses que se dedicam em estudar preservar as tradições dos
antepassados: para será necessário apoiar aqueles e aquelas que se
dedicam à antropologia, à etnologia, à literatura oral.
[1- Pengajaran dua bahasa resmi:
a) Adapun bahasa Portugis: penggunaannya harus wajib tidak hanya di
ruang kelas, tetapi juga di halaman dan di lingkungan sekolah. Bahwa
seharusnya ada kesempatan bagi orang Timor untuk berbicara,
bernyanyi dan mengekspresikan diri mereka dalam bahasa Portugis
dalam semua keadaan.
b. Bahasa nasional Tetun: Disarankan agar Pemerintah dan Parlemen
menerbitkan keputusan tentang standarisasi bahasa Tetun. Bahwa di
seluruh wilayah nasional harus berlaku standar tunggal untuk ejaan
dan pelafalan. Saya berani menyarankan agar bahasa Tetun yang
dikembangkan oleh Institut Linguistik UNTL adalah wajib bagi
semua. Dan bahwa Akademi Bahasa Tetun dibuat dengan fungsi-
fungsi berikut: preservasi kemurnian bahasa Tetun; memonitor
perkembangan bahasa; sebagai otoritas untuk menyetujui penggunaan
ketentuan baru.
Disarankan bahwa Akademi ini, dibuat dan disetujui dan diakui oleh
Pemerintah sebagai satu-satunya lembaga yang sah di Timor-Leste.
Promosi yang lebih besar untuk pengembangan Sastra Tetum:
sebanyak dalam prosa seperti dalam puisi. Penghargaan yang lebih
besar harus diberikan kepada orang Timor yang berdedikasi untuk
mempelajari tradisi leluhur mereka: perlu untuk mendukung mereka
yang mendedikasikan diri mereka untuk antropologi, etnologi dan
sastra lisan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Dari isi teks diatas yang diasampaikan oleh Uskup Belo dalam Opini STL,
menunjukan bahwa kedua bahasa resmi yakni Tetun dan Portugis masih dalam taraf
proses kontruksi identitas bagi warga Timor Leste, terutama dalam proses
pengembangan pendidikan di Timor Leste.
B. Praktik Wacana Identitas Nasional Timor Leste dalam Penggunaan Multi-
Bahasa Media Massa
Praktik wacana berkaitan dengan semua bentuk produksi dan konsumsi teks.
Fokusnya diarahkan pada cara pengarang teks mengambil wacana dan genre yang ada
dengan memperhatikan bagaimana hubungan kekuasaan dimainkan.
Gambaran tentang produksi dan konsumsi penggunaan multi-bahasa dalam sistem
media massa di Timor Leste dapat dijabarkan melalui aspek historis, alasan dan
tujuan serta kondisi audiens yang memengaruhi penggunaan multi-bahasa dalam
media massa Timot Leste (STL).
1. Sejarah dan Profil Singkat Harian Suara Timor Lorosae74
Surat kabar harian STL merupakan bentuk kelahiran baru dari harian Suara
Timor Timur (STT). Suara Timor Timur diterbitkan pertama kali pada tanggal 1
Februari 1993 di bawah pimpinan Salvador Ximenes. Edisi perdana STT memuat
berita dan kajian pengadilan terhadap Xanana Gusmao yang akhirnya terpilih sebagai
Presiden pertama Timor Leste. Sebagai koran yang terbit di provinsi ke-27 Republik
74
Sebagian besar profil dan sejarah singkat STL ini diterjemahkan dan diolah dari profil resmi yang
terdapat pada website STL yaitu http://suara-timor-lorosae.com/profile; diakses pada 8 Desember
2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Indonesia kala itu, STT terikat juga kebijakan otoritarian Presiden Soeharto. Namun,
ketika Presiden Soeharto lengser pada bulan Mei 1998 dan digantikan oleh Habibie,
STT memanfaatkan keterbukaan dengan menyajikan berita-berita yang selama
beberapa tahun tidak pernah diberitakan. STT meliput pasukan Falintil dan
memberitakan kekuatan Falintil yang selama zaman Soeharto terlalu dikecilkan
keberadaannya.
Ketika Habibie menawarkan opsi untuk merdeka atau otonomi, STT banyak
memberitakan kekuatan pro kemerdekaan di samping memuat pula keberadaan pro
otonomi. Keberimbangan pemberitaan ini bila dicemati dapat menjadi petunjuk kuat
bagi pengamat politik untuk memprediksi masa depan Timor Timur dengan akurat.
Sekalipun demikian, pada 3 September 1999 STT berhenti terbit karena pergolakan
politik di Timor Leste yang mengakibatkan hancurnya semua fasilitas perkantoran
STT. Sesudah referendum yang dimenangkan oleh pihak pro kemerdekaan, STT lahir
kembali dengan nama Suara Timor Lorosae dengan edisi pertama terbit pada 31 Juli
2000..
Saat ini, surat kabar STL adalah bagian dari sebuah korporasi media terbesar
di Timor Leste yakni Suara Timor Lorosae Corporation (STL Corp.) yang berdiri
pada Februari 2012. STL Corp. membawahi Surat Kabar STL, STL TV, STL Radio
FM, STL Online, Dili Post, Timor Journalism Training Center, dan Nuno-Malau
Printing. Sebagaimana sebuah korporasi, STL Corp. memiliki lembaga tanggung
jawab sosial (CSR) yaitu Yayasan Timor Tatoli Naroman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Sebagai perusahaan media terbesar, STL Corp. memiliki dua buah gedung
megah di daerah Surik Mas Dili dengan sumber daya manusia yang sebagian besar
terlatih. Dalam website STL tertulis bahwa perusahaan media ini mengirim para
jurnalisnya untuk mendapatkan pelatihan formal kepada beberapa institusi partner di
Indonesia seperti LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo) dan LPPM Jakarta. Terdapat
juga program internship di harian Kompas, Koran Tempo dan Majalah Tempo di
Jakarta, Harian Pikiran Rakyat di Bandung dan Radar Bali di Denpasar. Partner
pendidikan dan pelatihan jurnalis STL lainnya adalah LUSA (Kantor Berita
Portugis), VOA (Voice of America), TransTv Jakarta, CCI (Content Creative
Indonesia), Colegio Sao Jose Print Journalism, Sao Miguel College TV Journalism,
dan Timor Telecom.
Surat kabar STL tetap mempertahankan kata ―Suara‖ pada namanya karena
alasan sejarah kelahiran surat kabar tersebut. Perannya yang besar pada awal
pendiriannya terutama pemberitaannya tentang dinamika sosial politik menjelang
referendum membuat STL (sebelumnya STT) menjadi media lokal yang banyak
dikutip oleh media-media internasional. Sekalipun demikian, di atas kata ―Suara‖
disematkan frasa bahasa Portugis A Voz da yang berarti ―suara dari‖ sehingga dapat
dibaca juga A Voz de Timor Lorosae atau suara Timor Lorosae. Lorosae adalah kata
bahasa Tetun yang berarti ‗matahari terbit‘ atau Timur, sehingga secara harafiah, arti
nama STL identik dengan nama sebelumnya, STT.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Semboyan STL saat ini adalah Mata Dalan ba Sociedade Livre (Pedoman
menuju Masyarakat Bebas) yang bercita-cita menjadi surat kabar yang mencerahkan
masyarakat berdasarkan saling menghormati, demokrasi, hak-hak asasi manusia,
toleransi dan nilai-nilai budaya Timor Leste. Pada awal berdirinya, moto STL (saat
itu masih STT) adalah Unity and Development (Persatuan dan Pembangunan). Pada
penerbitan kembali, Juli 2000, harian STL menggunakan format 16 halaman dengan
ukuran 75x57 cm dan 8 kolom.
Saat ini, tahun 2017, harian STL memiliki 24 halaman dengan rata-rata
jumlah oplah 3000 eksemplar sehari, dan dapat mencapai 5000 eksemplar pada
moment tertentu.75
Dari jumlah tersebut, sebanyak 800 eksemplar diberikan kepada
pemerintah Timor Leste sesuai kesepakatan antara pemerintah dan STL untuk
disebarluaskan kepada para aparat pemerintahan di wilayah pedesaan.. Sedangkan
pembaca terbanyak STL adalah warga yang berdiam di kota Dili sebagai ibu kota
negara sekaligus sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar di Timor Leste.
Untuk memperjelas gambaran bentuk, ukuran dan desain grafis harian STL, berikut
ini adalah contoh gambar halaman depan dan halaman belakang serta halaman lain di
tengahnya:
75
Namun menurut catatan Kedutaan Besar RI di Dili, sebelum krisis politik dan keamanan yang terjadi
April-Mei 2006 yang lalu, STL (dan Timor Post) memiliki oplah atau tiras sekitar 1,500 eksemplar
per hari, namun saat ini hanya sekitar 1,000 sampai 1,200 saja
(https://www.kemlu.go.id/dili/id/berita-agenda/Pages/MediaTL.aspx)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Gambar 2. Contoh halaman depan & belakang harian STL (Edisi 17 Mei 2017)
Gambar 3. Contoh halaman isi (hlm.11 & 14) harian STL (Edisi 17 Mei 2017)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
2. Data Pembaca Surat Kabar Timor Lorosae
Saat ini, STL masih merupakan surat kabar yang paling besar di Timor Leste
karena memiliki oplah paling banyak dan jumlah pembaca paling besar. Menurut
survei tahun 2011 terhadap media dan komunikasi di Timor Leste oleh United
Nations Integrated Mission in Timor-Leste (UNMIT), STL merupakan surat kabar
yang dibaca oleh sekitar 44% dari seluruh pembaca surat kabar di Timor Leste.
Secara lengkap, ditunjukkan pada grafik di bawah ini:
Grafik 2. Perbandingan jumlah pembaca koran dan majalah
di Timor Leste tahun 201176
Besarnya jumlah pembaca STL sebagaimana temuan UNMIT di atas begitu
menjadi petunjuk bahwa konten atau isi harian STL memiliki pengaruh yang cukup
besar bagi warga Timor Leste. Maka, sebagai warga masyarkat pembaca yang sering
mengkonsumsi atau membaca surat kabar STL yang beredar luas di Timor leste,
76
Sumber Grafik: UNMIT, 2011,Timor Leste Media and Communication Survey. Dili: UNMIT, hlm.
51.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
adalah untuk mengetahui perkembangan apa saja yang terjadi di Negara tersebut.
Terutama berita-berita yang terkait secara khusus dengan perkembangan ekonomi
politik di kota dili dan distrik-distrik serta berita-berita internasional secara umum.
Topik-topik yang di gemari oleh pemabaca adalah, topik berupa pembangunan Timor
Leste, berita olahraga dan Entertaiment, (hiburan).
C. Praktik Sosio-Budaya dalam Fenomena Penggunaan Multi-Bahasa di Media
Massa
Praktik sosial biasanya tertanam dalam tujuan, jaringan dan praktik budaya
sosial yang luas. Dalam dimensi ini, sudah mulai masuk pemahaman intertekstual,
peristiwa sosial di mana kelihatan bahwa teks dibentuk oleh dan membentuk praktik
sosial. Dalam konteks wacana yang tersusun dalam media massa STL, praktik sosio-
budaya tampak dalam sistem media negara Timor Leste, sistem pengelolaan oleh
institusi media STL dan berbagai pola penerimaan atau penggunaan oleh publik atau
pembaca dan pemirsa.
1. Sistem dan Kondisi Media Massa di Timor Leste
Sistem merupakan suatu kesatuan yang tersusun atas bagian-bagian atau
komponen-komponen yang saling bergantung serta berhubungan satu sama lainnya
dan masing-masing komponen itu juga berdiri dan berfungsi sendiri namun saling
berkaitan demi tercapainya suatu tujuan yang telah ditentukan (Rachmadi, 1990: 8).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Pers merupakan bagian (subsistem) yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi. Sistem
komunikasi dapat dilihat sebagai bagian dari sistem yang lebih besar. Pada umumnya
orang melihat sistem pers dikaitkan dengan bentuk sistem sosialnya dan selalu
dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang ada atau bentuk negara di mana
sistem pers itu berada.
Dengan kata lain, sistem pers atau media massa dapat dipahami sebagai
tatanan, cara, metode pola dan mekanisme kerja dari bagian-bagian yang membentuk
suatu totalitas komunikasi manusia melalui media massa.77
Secara sederhana, yang
dimaksud dengan sistem media massa Timor Leste adalah relasi saling terhubung
antar regulasi, mekanisme pengelolaan oleh pemilik dan jurnalis, dan tanggapan atau
penggunaan oleh pembaca atau audiens yang adalah warga negara Timor Leste.
Arti sistem media massa yang demikian menunjukkan bahwa sistem media
massa sangat identik dengan sistem sosial. Rumusan lainnya, sistem media massa dan
sistem sosial itu terintegrasi bakna ibarat ―dua sisi mata uang.‖78
Dengan kata lain,
karakter sistem media massa dipengaruhi oleh karakter sistem sosial yang
melingkupinya, dan sebaliknya sistem media massa dapat mempengaruhi sistem
sosial, politik, budaya dan keagamaan.
Timor Leste baru mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya pada tahun 2002.
Dengan demikian, sistem media massa di Timor Leste termasuk masih sangat baru
77
Pengertian sistem media massa ini diturunkan dari pengertian sistem komunikasi sebagaimana
diuraikan dalam Anwar Arifin, 2011, Sistem Komunikasi Indonesia, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, hlm.33-34. 78
Ibid, hlm.33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
jika dibandingkan dengan negara lain termasuk Indonesia. Sekalipun demikian,
kebebasan pers di Timor Leste pada tahun 2017 adalah yang terbaik di Asia.79
Lembaga Indeks Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Index) menempatkan
kebebasan pers di Timor Leste pada peringkat 98 dari 180 negara. Posisi ini jauh di
atas negara lain di Asia termasuk Indonesia yang berada di peringkat 124.
Secara konstitusional, jaminan kebebasan berpendapat (freedom of speech)
yang mencakup kebebasan pers di Timor Leste, tertuang dalam pasal 40 dan 41
Undang-Undang Dasar Republik Demokratik Timor Leste. Secara lengkap, rumusan
kedua pasal itu adalah:
Pasal 40 (Kebebasan Mengeluarkan Pendapat dan Kebebasan Informasi)
1. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat serta
hak untuk memberikan informasi serta untuk diberitahu informasi secara
tidak memihak.
2. Penggunaan hak kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan atas
informasi tidak dapat dibatasi oleh jenis penyensoran apapun.
3. Penggunaan hak dan kebebasan yang disebut dalam pasal ini akan diatur
oleh undang-undang, berdasarkan kewajiban untuk menghormati UUD
dan martabat manusia.
Pasal 41 (Kebebasan Pers dan Media Massa)
1. Kebebasan pers dan media massa lainnya terjamin.
2. Kebebasan pers terdiri atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan daya
cipta para wartawan, akses pada sumber-sumber informasi, kebebasan
editorial, perlindungan kemandirian dan kerahasiaan profesional, serta hak
untuk menerbitkan surat kabar, terbitan-terbitan dan sarana penyiaran
yang lain.
3. Monopoli atas media massa adalah dilarang.
4. Negara akan menjamin kebebasan dan kemandirian media umum dari
kekuasaan politik dan ekonomi.
79
Seperti dikutip dalam https://m.suara.com/wawancara/201705/22/070000/ramos-horta-jdi-korban-
hoax-dan-nasib-jurnalis-timor-leste. Diakses 10 Januari 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
5. Negara akan menjamin adanya suatu dinas radio dan televisi umum yang
tidak memihak, guna, antara lain, melindungi dan menyebarluaskan
budaya dan nilai tradisional Republik Demokratis Timor Leste serta
menjamin kesempatan bagi pengungkapan pendapat yang berbeda-beda.
6. Stasiun-stasiun radio dan televisi hanya bisa beroperasi dengan surat ijin,
sesuai dengan undang-undang.
Bunyi kedua pasal UUD Timor Leste di atas menunjukkan bahwa sistem pers
di Timor Leste bersifat bebas dengan sedikit pembatasan. Sekalipun demikian,
perkembangan regulasi di bidang komunikasi di Timor Leste berkembang cukup
lambat terutama yang berkaitan dengan pers.80
Pada waktu pemerintahan transisi oleh
UNTAET, badan PBB ini merancang dan membangun sebuah pelayanan penyiaran
publik (Public Broadcasting Service of East Timor) berdasarkan UU No. 6/2002
dengan terwujudnya lembaga penyiaran pemerintah Radio Timor Leste (RTL) dan
Televisiao Timor Leste (TVTL).
Pemikiran untuk segera merancang sebuah UU Pers begitu berkembang ketika
parlemen Timor Leste memberlakukan kode hukum pidana yang baru pada tahun
2009. Sebenarnya proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pers
Timor-Leste, dimulai sejak awal 2005. Namun, rancangan UU yang sebagian besar
pasalnya bermaterikan kriminalisasi dan defamasi itu, menuai kritik dari kalangan
asosiasi dan organisasi nasional, regional bahkan internasional.81
Institusi pers yang
aktif kala itu adalah organisasi-aliansi journalist seperti Asosiasi Jurnalist Timor
Leste (AJTL) dan Timor Leste Press Union (TLPU). Kedua organisasi journalist ini
80
UNESCO, 2011, Assessment of Media Development in Timor-Leste, hlm.4-5. 81
Dinamika pro-kontra dalam proses penyusunan UU Pers Timor Leste ini dapat dibaca pada portal
Asosiasi Pers Asia Tenggara (SEAPA): https://www.seapa.org/rancangan-uu-geliat-politik-dan-
kebebasan-pers/ ; diakses 7 Desember 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
bersama Sindacatos dos Journallitas de Timor Leste (SJTL) dalam Kongres Nasional
Jurnalist 27 Oktober 2013 berhasil melahirkan dan mensahkan adanya Kode Etik
Jurnalistik.
Di tahun 2008, penyusunan rancangan UU Pers kembali dilakukan dengan
mendapat dana dari UNDP (United Nations Development Program). Namun, karena
masih adanya sejumlah pasal yang menyangkut kriminalisasi dan defamasi,
rancangan UU tersebut kembali menuai protes dari kalangan asosiasi jurnalis
nasional, regional maupun internasional. Federasi Jurnalis Internasional atau
International Federation of Journalists (IFJ), misalnya, pernah melayangkan surat
protes kepada Presiden Timor-Leste waktu itu, Xanana Gusmão untuk membatalkan
pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Dan, setelah mempertimbangkan sejumlah
alasan dari Asosiasi Jurnalis Timor Lorosa‘e (AJTL) dan IFJ, Presiden Xanana
Gusmão akhirnya membatalkan pengesahan RUU tersebut.
Dua tahun kemudian (2010), pemerintah melalui Sekretaris Negara urusan
Komunikasi Sosial Timor-Leste kembali mengundang perwakilan dari sejumlah
asosiasi jurnalis dan media nasional untuk kembali mempersiapkan rancangan UU
Pers Timor-Leste. Sebuah tim kecil, yang terdiri atas lima orang yang mewakili
asosiasinya masing-masing, dibentuk, yang dikenal dengan sebutan Team Five. Hasil
kerja Team Five selanjutnya melahirkan 26 pasal pada RUU Pers. Yang jadi masalah,
penambahan sejumlah pasal yang dilakukan oleh Komisi A Parlamen Nasional, sama
sekali tanpa sepengetahuan asosiasi media di Timor-Leste. Terbetik kabar, pada pasal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
22 yang mengatur tentang komposisi Dewan Pers telah terjadi perubahan yang
signifikan. Perubahan pada pasal 22 ini bertolak belakang dengan konsep awal Team
Five. Asosiasi jurnalis dan sejumlah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) telah
menyatakan menolak komposisi Dewan Pers versi Parlamen Nasional.
Akhirnya, Undang-undang Pers (Komunikasi Sosial) Lei No. 5/2014 dapat
disahkan pada 19 Nopember 2014.82
Pemerintah juga menjadi inisiator lahirnya
Statuta Dewan Pers dalam Dekrit-Lei No. 25/2015 yang disahkan pada 5 Agustus
2015. Pada tanggal 10 Mei 2016 dilantiklah lima orang anggota Dewan Pers oleh
Parlemen Nasional yang dipimpin oleh Presiden Parlemen Nasional, Aderito Hugo
da Costa yang sebelumnya juga dikenal sebagai wartawan dan pemilik media cetak
nasional.
Statuta Dewan Pers No. 25/2015 tanggal 5 Agustus 2015 mengamanatkan
agar Parlemen Nasional (PN) Timor Leste 15 Maret 2016 memilih dan menetapkan
Virgilio da Silva Guterres dan Paulo Adriano da Crus Araujo sebagai wakil Parlemen
Nasional di Dewan Pers. Dengan demikian maka genaplah jumlah lima orang
anggota Dewan Pers. Sementara tiga orang anggota Dewan Pers lainnya yaitu Hugo
Fernandes, Jose Ximenes dan Fransisco Belo akhir Nopember 2015 yang lalu oleh
Asosiasi Pemilik Media, Asosiasi Jurnalis Timor Leste dan Timor Leste Press Union
telah memilih, memverifikasi dan uji public calon-calon anggota Dewan Pers di tiga
82
Berita dan ulasan tentang pembentukan Dewan Pers Timor Leste ini dapat dibaca dalam Petrus
Suryadi Sutrisno, ―Timor Leste Memiliki Dewan Pers‖, dalam https://m.jpnn.com/news/timor-
leste-miliki-dewan-pers?page=2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
lokasi yang berbeda melalui suatu proses seleksi ketat berjalan secara langsung,
bebas, terbuka dan demokratis serta procedural.
Institusi Pers Timor Leste dalam waktu dekat akan bertambah lagi dengan
kehadiran Kantor Berita Timor Leste (Agencias Noticias de Timor Leste) yang
―embrio‖nya sudah memperoleh Surat Keputusan Dewan Menteri Pemerintah RDTL
bulan Pebruari 2016. Dan dari Kantor Berita Timor Leste tersebut nantinya akan
muncul cikal bakal Pusat Data dan Informasi Nasional, Pusat Produksi Dokumentasi
dan Film Negara, Lembaga Pelatihan dan Pengembangan Komunikasi Terapan dan
Lembaga Pendapat Umum.
Saat ini, terdapat dua surat kabar besar di Timor Leste yakni yang beroplah
1000-1500 eksemplar per hari yang menggunakan tiga sampai empat bahasa83
. Kedua
harian itu adalah Suara Timor Lorosae (STL) dan Timor Post (TP). STL
menggunakan bahasa Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris. TP menggunakan
bahasa Tetun, Portugis dan Indonesia. Selain kedua koran besar ini, ada pula tiga
harian lainnya tetapi hanya menggunakan bahasa Tetun dan Portugis yaitu Diario
Nacional, Timoroman dan Independente.
Selain itu, ada dua surat kabar mingguan yang menggunakan dua bahasa pada
setiap terbitannya yaitu The Dilli Weekly dan Time Timor. The Dilli Weekly
83
Informasi tentang keberadaan media massa di Timor Leste ini diolah penulis dari beberapa sumber
online antara lain: https://www.kemlu.go.id/dili/id/berita-agenda/Pages/MediaTL.aspx;
https://m.jpnn.com/news/wartawan-timor-leste-raimundos-oki-magang-di-australia. Selain itu,
sumber informasi lainnya adalah hasil pengamatan penulis ketika berkunjung ke Timor Leste serta
wawancara dengan beberapa mahasiswa Timor Leste yang sedang menempuh kuliah di Yogyakarta
pada bulan November 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
menggunakan bahasa Tetun dan Inggris serta Time Timor menggunakan bahasa
Tetun dan Indonesia. Sedangkan media cetak lain yang hanya menggunakan bahasa
Tetun adalah mingguan Jurnal Nacional Diario, mingguan A Voa Da Cultura, dan
mingguan Klaak.
Untuk media massa elektronik, Timor Leste memiliki satu stasiun radio-
televisi milik pemerintah yaitu Radio-Televisao Timor Leste (RTTL). Pada awal
mulanya RTTL merupakan radio dan televisi UNTAET dari tahun 1999 hingga 2002
yang merupakan fasilitas bagi masyarakat Timor-Leste dengan program-program
mengenai keberadaan PBB sebagai administrasi transisi di TL. Pada tanggal 20 Mei
2002 sempat dipecah menjadi dua badan administrasi yang masing-masing mengelola
radio dan televisi secara terpisah namun pada tahun 2005 digabungkan lagi menjadi
satu institusi yang dikenal dengan nama Radio Televisão Timor-Leste (RTTL)
sebagai lembaga penerangan nasional. Siaran TVTL yang menggunakan bahasa
Tetum hanya ditayangkan dari jam 07.00-09.00 di pagi hari dan di sore hari mulai
pukul 20.00-21.00. Di luar waktu-waktu tersebut, TVTL me-relay siaran/program
acara dari Radio dan Televisi Portugal (RTP).
Sedangkan stasiun televisi swasta di Timor Leste memiliki jangkauan siaran
yang cukup luas yaitu Televisi Suara Timor Lorosae (STL TV), Grupo Media
Nacional TV atau GMN TV, TVE dan ETO TV. Mayoritas tayangan beberapa
televisi swasta ini berisi berita dan musik dengan menggunakan bahasa Tetun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Sekalipun demikian, beberapa acara hiburan di ketiga stasiun televisi swasa ini me-
relay juga acara hiburan yang berasal dari stasiun televisi swasta di Indonesia.
Sementara itu, selain satu stasiun radio pemerintah di atas, terdapat pula
beberapa radio swasta lainnya seperti Radio Timor Kmanek, Radio Falintil, Radio
Kibur FM 102, Radio Rakambia, Radio Suara Timor Lorosae serta radio-radio
komunitas yang pada umumnya dikelola oleh beberapa LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat). Hampir semua stasiun radio ini menggunakan bahasa Tetun dalam
siarannya.
Sekalipun memiliki jaringan stasiun televisi sendiri (milik pemerintah dan
swasta), tidak banyak tayangan hiburan yang disiarkan oleh stasiun-stasiun tersebut.
Faktanya, warga Timor Leste masih menonton sejumlah tayangan hiburan seperti
sinetron dari beberapa stasiun televisi swasta Indonesia yang dapat di-relay dengan
menggunakan perangkat parabola.
2. Pertimbangan Redaksi STL tentang Penggunaan Multi-Bahasa
Menurut Domingos Saldanha,84
Pemimpin Redaksi STL, penggunaan empat
bahasa ini dilakukan karena negara Timor Leste secara politik mengakui empat
bahasa. Karena itu, setiap wartawan STL sebisa mungkin menguasai keempat bahasa
tersebut setidaknya dua bahasa dikuasai secara fasih. Secara khusus, terkait
banyaknya penggunaan bahasa Indonesia dalam konten STL, Domingos Saldanha
mengungkapkan alasan demikian:
84
Wawancara dengan Domingos Saldanha di Dili pada tanggal 24 Juli 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Dalam konstitusi RDTL, bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa kerja. Karena
itu, STL memilih empat bahasa sekaligus yaitu Tetun, Portugis, Inggris dan
Indonesia. Dasar pertimbangannya adalah masalah pasar saja. Karena masih
banyak masyarakat Timor Leste yang paham dan mengerti bahasa Indonesia.85
Pendapat pimpinan harian STL tersebut dengan jelas mengungkapkan bahwa
alasan pasar atau ekonomi menjadi pertimbangan dasar STL menggunakan empat
bahasa dalam setiap edisinya. Hal ini sesuai dengan keberadaan STL sebagai sebuah
lembaga bisnis atau perusahaan besar berbentuk korporasi. Dalam konteks
manajemen bisnis media, kepentingan ekonomi untuk dapat memenuhi biaya
produksi serta mendapatkan keuntungan atau profit sebanyak-banyaknya merupakan
alasan paling mendasar bagi STL untuk menggunakan empat bahasa yang dikenal
publik Timor Leste. Dengan empat bahasa tersebut, STL bisa menjangkau lebih
banyak pembaca sehingga oplah STL tetap berjumlah besar bahkan diharapkan
meningkat. Alasan bisnis redaksi STL tampaknya sesuai dengan temuan survey
UNMIT tahun 2010 yang menyatakan bahwa masih sangat besar jumlah pembaca
surat kabar di Timor Leste yang dapat membaca berita dalam bahasa Indonesia.
Berikut ini adalah grafiknya:
85
Wawancara tertulis melalui situs jejaring sosial dengan Domingos Saldanha, Pemimpin Redaksi
STL, pada tanggal 26 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Grafik 3. Kemampuan publik STL dalam membaca dengan bahasa-bahasa
Pertimbangan pasar pembaca STL sebagaimana diungkapkan oleh pimpinan
redaksi STL yang secara tidak langsung didukung oleh hasil survei UNMIT tahun
2010 di atas, berkaitan pula dengan fakta bahwa begitu banyak pula generasi muda
Timor Leste mengenyam pendidikan tinggi di berbagai kampus di Indonesia. Kelak
jika mereka telah kembali ke Timor Leste, kaum terdidik inilah yang menjadi salah
satu kelompok yang menjadi target pembaca STL. Domingos Saldanha
mengungkapkan:
Ada ribuan orang Timor yang sedang belajar di universitas di Indonesia. Jadi,
sekalipun tidak lagi diajarkan di Timor Leste, bahasa Indonesia tidak hilang di
Timor. Pada akhirnya tergantung pada mekanisme pasar saja karena orang-
orang itu pasti mengerti bahasa Indonesia.86
Selain faktor pasar, penggunaan bahasa Indonesia dalam porsi yang cukup
banyak di harian STL juga dipengaruhi oleh faktor kemampuan sumber daya manusia
yang dimiliki oleh STL. Sebagai bentuk kelahiran baru dari harian Suara Timor
86
Wawancara tanggal 26 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Timur yang terbit saat Timor Leste masih sebagai bagian dari wilayah Indonesia,
maka para pimpinan dan wartawan STL lebih menguasai bahasa Indonesia sebagai
bahasa untuk menulis dibandingkan bahasa lainnya. Para pimpinan redaksi maupun
wartawan lain yang kini bergabung hampir semuanya adalah lulusan dari sekolah
menengah dan universitas yang menggunakan bahasa Indonesia. Saldahna
menjelaskan:
Saat ini, STL memiliki sekitar 30 wartawan. Semuanya bisa berbahasa Tetun
dan Indonesia, dan hanya sedikit yang bisa menulis dalam bahasa lain. Kolom
opini dan ASEAN kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia karena akses
ke internet lebih gampang karena petugas yang mengakses tersebut hanya
mengerti bahasa Indonesia.87
Kedua alasan di atas seolah menunjukkan bahwa urusan penggunaan bahasa,
terutama bahasa Indonesia yang dalam konteks politik Timor Leste dianggap bahasa
penjajah, hanya persoalan bisnis media dan pengaturan sumber daya manusia dalam
perusahaan media STL. Pertimbangan rasa nasionalisme orang Timor Leste bukan
menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan redaksi STL dalam hal
penggunaan empat bahasa dalam kontennya. Dalam wawancara, Saldanha
mengungkapkan bahwa masalah nasionalisme bergantung pada kedewasaan
individual masyarakat Timor Leste, bukan tergantung pada bahasa. Menurutnya,
hingga tahun 2017, belum ada teguran dari pemerintah maupun publik pembaca yang
mempersoalkan penggunaan multibahasa hanya karena alasan yang berkaitan dengan
nasionalisme.88
87
Wawancara tanggal 26 Maret 2018. 88
Wawancara tanggal 26 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
D. Rangkuman
Sistem media massa di negara Timor Leste termasuk sistem yang bebas atau
yang menjamin kebebasan pers dalam wilayahnya. Kenyataan tersebut terlihat dalam
indeks kebebasan pers yang diterbitkan oleh Freedom House. Sekalipun demikian,
media massa di Timor Leste baru saja memiliki perangkat hukum dan organisasi
seperti undang-undang dan lembaga negara khusus yang berkaitan dengan pers.
Memenuhi tuntutan kondisi sosial masyarakat pembaca, sejumlah besar media
massa di Timor Leste menggunakan lebih dari satu bahasa dalam setiap edisinya.
Harian STL sebagai harian terbesar di Timor Leste menggunakan empat bahasa yaitu
Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris. Secara struktural atau pengaturan rubrik dan
bahasa artikel, harian STL paling banyak menggunakan bahasa Tetun dan Indonesia
dibandingkan dengan kedua bahasa lain yakni Portugis dan Inggris. Alasan
terkuat STL (dan media massa lainnya) lebih banyak menggunakan bahasa Tetun dan
Indonesia adalah persoalan bisnis media yakni tuntutan pasar bahwa kebanyakan
warga Timor Leste pembaca media cetak khususnya kaum terpelajar lebih menguasai
bahasa Tetun dan Indonesia.
Agenda penggunaan bahasa untuk konstruksi identitas nasional Timor Leste
bukan menjadi ideologi dominan harian STL. Sekalipun demikian, media massa di
Timor Leste tetap membingkai dan meletakkan wacana konstruksi identitas melalui
penguasaan dan pendalaman kedua bahasa nasional sebagai wacana yang penting
baik dalam konteks politik maupun dalam konteks pendidikan dan pembangunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
bangsa. Proses pembingkaian itu tampak pada penulisan berita atau peliputan yang
detil maupun dalam opini tentang agenda pembelajaran dan pengembangan bahasa
nasional Timor Leste.
Kaitan antara politik bahasa dan fenomena multi-bahasa media massa dengan
konstruksi identitas nasional Timor Leste akan dibahas pada bab berikut tulisan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
BAB IV
PASCAKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL
TIMOR LESTE DALAM FENOMENA MULTI-BAHASA MEDIA MASSA
Bab sebelumnya telah menguraikan teks, praktik wacana dan konteks sosio-
budaya dari tiga lapisan wacana identitas nasional Timor Leste dalam fenomena
multi-bahasa media massa. Selanjutnya, bab ini merupakan refleksi sistematis penulis
dengan perspektif pascakolonialisme tentang keterkaitan antara wacana identitas
nasional melalui politik bahasa dan fenomena multi-bahasa dalam konten media
massa di Timor Leste sebagaimana telah digambarkan pada dua bab sebelumnya.
Menurut penulis, dalam perspektif pascakolonialisme, setidaknya terdapat tiga hal
yang dapat menguraikan kaitan antara fenomena multi-bahasa di Timor Leste dengan
wacana kolonialisme. Pertama, fenomena multi-bahasa sebagai dominasi wacana
kolonial dalam proses pembentukan identitas nasional Timor Leste. Kedua, fenomena
multi-bahasa media massa sebagai dominasi wacana kolonialisme-kapitalisme
terhadap perkembangan identitas nasional Timor Leste. Ketiga, standarisasi bahasa
Tetun sebagai praktik resistensi wacana kolonialisme dan rekonstruksi identitas
nasional Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
A. Multi-bahasa sebagai Dominasi Wacana Kolonial dalam Proses
Pembentukan Identitas Nasional Timor Leste
Dapat dikatakan, identitas kebahasaan yang tampak dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Timor Leste adalah multilingualisme, di mana warga mengenal
bahkan menggunakan setidaknya empat bahasa dalam komunikasi harian mereka di
berbagai konteks. Fenomena multi-bahasa ini dapat dilihat sebagai kondisi yang
―sudah ada‖ karena berbagai faktor kultural dan sejarah, tetapi juga faktor sejarah
politik pra kemerdekaan, hingga sesudah kemerdekaan. Dalam perspektif kajian
pascakolonial, kondisi multi-bahasa dalam masyarakat Timor Leste merupakan
wacana kolonial yang masih terus bekerja secara dominan dan mempengaruhi
pembentukan identitas nasional Timor Leste.
Menurut Thomas dan Wareing, identitas apa pun seseorang, sekelompok
orang maupun sebuah institusi dibentuk dan dinegosiasikan sepanjang perjalanan
melalui bahasa yang digunakan.89
Maka perubahan maupun dinamika yang
ditunjukkan dalam bahasa yang digunakan mencerminkan perubahan dan dinamika
identitas komunitas tersebut. Sekalipun demikian, dalam konteks negara Timor Leste,
kondisi nyata fenomena kebahasaan bangsa Timor Leste yakni multi-bahasa atau
multilingualisme tersebut merupakan akibat dari interaksi yang tidak berimbang
antara bangsa kolonial dengan warga kesukuan yang mendiami Timor Leste.
89
Linda Thomas & Shan Wareing, 2007, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 224.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Fakta bahwa Timor Leste sebagai negara multi-bahasa tersebut ditunjukkan
oleh temuan beberapa peneliti internasional tentang Timor Leste. Data yang cukup
kuat ditunjukkan oleh penelitian longitudinal Michael Leach tahun 2010. Leach
membuat survei tentang pemetaan penguasaan bahasa oleh penduduk Timor Leste
pada tahun 2002, 2007 dan 2010.90
Leach menemukan bahwa pada tahun 2002,
sebanyak 95% respondennya fasih berbahasa Tetun, 2,5% fasih berbahasa Portugis,
87% fasih berbahasa Indonesia, dan 10% fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 2007,
Sebanyak 94% fasih berbahasa Tetun, 8% fasih berbahasa Portugis, 84% fasih
berbahasa Indonesia, dan 8% fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 2010, 90% fasih
berbahasa Tetun, 8% fasih berbahasa Portugis, 78% fasih berbahasa Indonesia, dan
10% fasih berbahasa Inggris.
Temuan Leach ini menunjukkan bahwa sekalipun dalam persentase yang
berbeda, namun jumlah pengguna keempat bahasa tersebut tidak banyak berubah
dalam kurun waktu 2002 – 2010. Hasil survei Leach memperjelas bahwa secara
faktual, Timor Leste merupakan sebuah negara multilingual. Yohanes Manhitu,
penulis kamus Tetun-Indonesia, Indonesia-Tetun menulis, ―Di dalam masyarakat
multibahasa seperti di Timor-Leste, bilingualisme dan multilingualisme boleh
dipandang sebagai hal yang lumrah.‖91
90
Leach, 2010. Op. Cit. 229-230. 91
Manhitu, ―Bahasa Tetun: Bahasa Resmi Termuda di Planet Kita‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Menurut perspektif pascakolonialisme, proses dan struktur dominasi wacana
kolonialisme yang tampak dalam fenomena multi-bahasa di Timor Leste dapat
diuraikan dalam beberapa poin berikut ini:
1. Dominasi Bahasa Portugis atas Bahasa-bahasa Kesukuan
Secara tradisional, masyarakat Timor Leste merupakan masyarakat yang
terdiri dari banyak suku dan bahasa. Jika dengan kategori etnisitas, sekitar 78 persen
adalah etnis Timor (Timorese) dan 20 persen etnis Indonesia (Indonesia), 2 persen
Cina, dan kurang dari 1 persen etnis Portugis.92
Menurut sensus yang dibuat oleh
Kementerian Keuangan Timor Leste tahun 2010, terdapat sekitar 30 bahasa dan suku
yang tersebar di seluruh distrik Timor Leste. Dari semua bahasa daerah tersebut,
bahasa Tetun Prasa atau Tetun Dili merupakan bahasa lokal dengan jumlah pengguna
sehari-hari terbanyak yaitu sebanyak 37% dari penduduk Timor Leste, disusul oleh
Mambae (13%), Makasae (10%), Tetun Terik (6%), Baikenu dan Kemak (6%), dan
Bunak (5%). Pengguna bahasa lokal lainnya berada di bawah 4%. 93
Selain bahasa yang berbeda, masing-masing suku dibedakan menurut asal-
usul nenek moyang dan keterikatan pada wilayah tinggal, tanah atau kampung
kelahiran.94
Dengan begitu, keberadaan suku-suku tersebut masih berperan besar
dalam hidup bermasyarakat baik sehari-hari maupun dalam konteks dunia sosial-
92
Country Watch, 2017. East Timor: 2017 Country Review, hlm. 174. Dapat diakses di laman
www.countrywatch.com. 93
Dalam Catharina Williams-van Klinken & Rob Williams, 2015. ―Mapping the mother tongue in
Timor Leste: Who Spoke what where in 2010?‖, Dili Institute of Technology. 94
McWilliam & Traube, 2011. Op.cit. hlm. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
politik kekuasaan. Hal ini ditunjukkan dengan masih kuat peran kepala suku atau
yang dituakan dalam suku sebagai pemimpin opini hingga penilai dan pemberi
keputusan terkait perkara sosial, politik, budaya bahkan ekonomi. Maka tidak
mengherankan bahwa dalam surveinya tentang unsur-unsur yang membentuk idenitas
nasional Timor Leste, Michael Leach mencantumkan unsur kesetiaan pada adat suku-
suku tradisional Timor Leste.95
Secara historis-politis, kondisi multi-bahasa di Timor Leste saat ini tak lepas
dari sejarah panjang bangsa ini berelasi dengan bangsa lain di dunia terutama
keterkaitan historisnya dengan bangsa Portugis dan Indonesia. Menurut Taylor-
Leech, sekalipun Portugis dan Indonesia memiliki kebijakan dan praktik yang
berbeda di Timor Leste, namun keduanya memiliki implikasi yang sama bahwa
penggunaan bahasa merupakan bagian dari strategi kedua negara untuk proses
asimilasi sosial dan budaya.96
Pada masa kolonialisme Portugis, perwakilan
pemerintah Portugis di Timor Leste menetapkan bahasa Portugis sebagai bahasa
resmi administrasi atau bahasa ―negara‖ serta bahasa agama yakni bahasa yang
digunakan dalam tradisi agama Katolik. Bahasa Portugis pun dipelajari para murid di
sekolah milik para pastor seperti seminari-seminari. Karena itu, bahasa Portugis
menjadi seperti bahasa kaum elit pemerintahan di Timor Leste. Sementara itu, bahasa
Tetun dan sejumlah bahasa daerah lainnya hanya sebagai bahasa percakapan antar
penduduk setempat sebagai penggunanya.
95
Leach, 2010, Op.cit. 96
Taylor-Leech, Op.cit., hlm.154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
2. Dominasi Bahasa Indonesia: Antara Indoktrinasi dan Bahasa Pendidikan
Sementara itu, selama pendudukan oleh Indonesia, terjadi indoktrinasi
ideologi Pancasila dan keharusan penggunaan bahasa Indonesia dimasukkan dalam
kurikulum ataupun aturan-aturan baku dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan
sekolah. Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia,
sehingga kakek-kakek maupun nenek-nenek bisa berbahasa Indonesia walau hanya
sebatas memahami dan mengunakan beberapa kata saja.
Pemerintahan Soeharto melarang penggunaan bahasa Portugis dalam
percakapan sehari-hari. Bahasa Portugis benar-benar terkubur selama pendudukan
oleh Indonesia. Anehnya, pemerintahan Soeharto tidak melarang penggunaan bahasa
Tetun secara lebih meluas, selain bahasa Indonesia. Bahkan ketika Gereja Katolik di
Timor Leste diijinkan oleh Vatikan pada tahun 1981 untuk merayakan Ekaristi dalam
bahasa Tetun, pemerintah Indonesia kala itu tidak menentangnya. Sekalipun
demikian, bahasa Tetun tidak pernah dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Akibatnya, buku-buku dalam bahasa Tetun jarang ditemukan, kecuali Alkitab dan
beberapa buku dan diktat gereja yang diterjemahkan dalam bahasa Tetun oleh para
pastor. ―Bahasa Tetun yang sudah membudaya ini menjadi kurus oleh ulah penjajah,
dan para linguis butuh waktu lebih untuk menata bahasa ibu tersebut.‖97
97
Duarte Savio. 2012., op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
3. Pemilihan Bahasa Nasional sebagai Pertarungan Wacana Kolonial di Timor
Leste
Politik bahasa yang dilakukan baik oleh Portugis maupun Indonesia tersebut
ternyata berdampak besar dalam proses pembentukan komunitas politik Timor Leste.
Kebanyakan tokoh pejuang kemerdekaan Timor Leste lahir dan mengenyam
pendidikan berbahasa Portugis. Sementara itu, generasi berikutnya setelah para
pejuang ini dibesarkan dalam dominasi bahasa Indonesia di Timor Leste. Maka
terjadilah apa yang disebut oleh Peter Carey sebagai jurang pemisah linguistik
(linguistic gap) antara generasi tua dan muda yang memiliki implikasi politik pada
masa mendatang.98
Generasi tua atau para pejuang kemerdekaan lebih menguasai
bahasa Portugis dan tidak lancar (tidak mau) berbahasa Indonesia, dan sebaliknya
generasi berikutnya bisa berbahasa Indonesia tetapi tidak bisa berbahasa Portugis.
Menurut para pakar Timor Leste, salah satu penyebab konflik antar warga dan
dengan pemerintah Timor Leste yang heboh pada tahun 2006 disebabkan oleh
besarnya frustrasi kaum muda Timor Leste yang tidak bisa berbahasa Portugis
sementara bahasa pemerintahan menggunakan bahasa Portugis.99
Maka oleh faktor
bahasa, berbagai pucuk pimpinan politik Timor Leste adalah mereka yang lebih tua
(berbahasa Portugis) sementara yang muda tidak dapat berpartisipasi karena tidak
bisa berbahasa Portugis.
98
Peter Carey, ―The Forging of Nation: East Timor‖, dalam Carey & Bentley (Eds.), 1995. East Timor
at The Crossroads: The Forging of A Nation. Honolulu: University of Hawai Press, hlm. 3. 99
Michael Leach, 2010; Leach & Kingsbury, 2013, ―Introduction: East Timorese Politics in
Transition‖, dalam Leach, Michael and Kingsbury, Damien, (eds.), 2012, The politics of Timor-
Leste : democratic consolidation after intervention, Cornell University Press, Ithaca,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Menurut Leach, pemilihan bahasa Portugis dan Tetun sebagai bahasa ofisial
dan pengakuan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa kerja
(working language) merupakan hasil kompromi Timor Leste terhadap kebutuhan
untuk membedakan diri dari Indonesia melalui bahasa yang digunakan selama masa
perlawanan dan kebutuhan untuk tetap terbuka serta berelasi dengan Indonesia
sebagai tetangga terdekat dan dengan komunitas internasional.100
Bagi para pemimpin pertama Timor Leste yang merupakan para pejuang
kemerdekaan, bahasa Portugis merupakan penanda (signifier) paling penting untuk
membedakan eksistensi bangsa Timor Leste dari Indonesia yang dulu mencaplok
negara mereka. Selain itu, sebelum meluasnya bahasa Tetun tahun 1980-an, bahasa
Portugis menjadi bahasa yang mampu mempersatukan kaum terdidik Timor Leste.
Pada konteks saat ini, bahasa Portugis menjadi sarana ampuh bagi Timor Leste untuk
terhubung dengan dunia internasional bahkan membentuk negara-negara sekutu
dengan negara-negara pengguna bahasa Portugis di dunia melalui CPLP (Komunitas
Bangsa-bangsa Berbahasa Portugis). Pasal 8 UUD RDTL ayat 3 dengan jelas
menyatakan relasi istimewa antara negara pengguna bahasa Portugis tersebut,
―Republik Demokratis Timor Leste akan tetap menjalin ikatan istimewa dengan
negara-negara yang berbahasa resmi Portugis.‖ Yohanes Manhitu, penyusun Kamus
Portugis-Indonesia, Indonesia-Portugis (2015) menjelaskan demikian:101
100
Leach, 2007. ―Talking Portuguese: China and East Timor‖. Arena Magazine (Fitzroy, Vic), No. 92,
Dec 2007-Jan 2008: 6-8. 101
Wawancara dengan Yohanes Manhitu di Yogyakarta, 15 April 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Kalau bahasa Portugis kita juga tahu bahwa orang Portugis tiba di Timor pada
tahun 1515, dan kemudian masuk ke Timor Barat, dan Lifau dan pindah ke
Dili pada tahun 1679 dan selama itu bahasa Portugis tetap digunakan sebagai
bahasa resmi, dan bahasa pemerintahan. Selama masa Timor Leste menjadi
bagian Indonesia, bahasa Portugis dilarang. Sekalipun ada pelarangan itu
bahasa Portugis tetap memainkan peranan penting sebagai bahasa perjuangan.
Jadi berita laporan keluar, diplomasi, terutama di Amerika dan Portugal
bahasa Portugis memiliki peranan penting. Dan faktor itulah yang di anggap
sebagai pembeda. Artinya suatu saat, ketika di masa depan Timor Leste atau
Timor Portugis merdeka mereka akan menggunakan ―Bahasa Portugis‖ dan
ternyata terbukti. Bahwa memilih bahasa Portugis dan menggunakannya
mereka berbeda. Sehingga kemudian dalam Konstitusi mereka, pasal 13 ayat
1 menetapkan dengan jelas behwa bahasa resmi di Timor Leste adalah Bahasa
Tetun dan Bahasa Portugis. Jadi alasannya supaya lebih bersifat historis. Jadi
kita harus paham kadang-kadang orang menyamakan begitu saja apa yang
terjadi di Indonesia dan Timor Leste tidak sama. Politik kebahasaan Belanda
tidak sama dengan politik kebahasaan Portugal. Memang tidak sama, orang
Belanda tidak akan mengajarkan dan mengharuskan masyarakat koloni untuk
menggunakan bahasa itu. Justru mereka lebih memilih untuk mengedepankan
bahasa Melayu, sedangkan bahasa Belanda dianggap sebagai bahasa kaum
elite. Tapi kalau bahasa Portugis, di Timor Portugis waktu itu menjadi bahasa
yang sangat umum, walaupun jumlah penggunanya tidak banyak, terbatas
hanya kaum terdidik, tapi setiap kaum elit pasti bisa. Bahkan ibu-ibu pada
zaman saya masih kecil bahasa Portugisnya sangat bagus. Itu alasannya. Jadi
alasannya lebih banyak ke alasan historis. Jadi dengan memilih kedua banhasa
itu, sudah melalui aspirasi mereka, sebagai negara baru.
Sementara itu, bahasa Tetun juga menempati posisi yang sama sebagai bahasa
perlawanan terutama setelah tahun 1975 di mana bahasa Portugis dilarang keras
bahkan hendak dihilangkan secara sistematis dari Timor Leste melalui penerapan
bahasa Indonesia dalam semua aspek. Penggunaan Tetun oleh Gereja Katolik di
Timor Leste sebagai bahasa liturgi sejak tahun 1981 menjadi momentum besar bagi
para pejuang kemerdekaan untuk menjadikan bahasa Tetun sebagai ―bahasa
persatuan dan perjuangan‖. Bahkan, dalam waktu singkat, karena meluas dan
populernya bahasa Tetun (Prasa/Dili) dalam perayaan-perayaan Gerejani, maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Gereja Katolik atau menjadi orang Katolik menjadi bagian dari cara orang Timor
Leste masa pendudukan Indonesia untuk membangun identitasnya sebagai bangsa
Timor Leste yang berbeda dari orang Indonesia (yang mayoritas beragama Islam)
sekaligus melihat Gereja Katolik Timor Leste sebagai bagian dari perjuangan
kemerdekaan Timor Leste.102
Konstitusi RDTL pasal 11 ayat 2 menulis dengan jelas,
―Negara mengakui dan menghargai peranan Gereja Katolik dalam proses
pembebasan negara Timor Leste.‖ Penjelasan singkat dan sederhana disampaikan
oleh Yohanes Manhitu, penyusun Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia (2007)
sebagai berikut:
Kalau alasan memilih bahasa Tetun itu, karena, jauh sebelum Timor Leste
terbentuk orang Portugis sendiri tahu bahwa bahasa yang paling luas
penggunaannya di bagian Timor adalah, bahasa ―Tetun‖ dengan dialek-
dialeknya. Itup un kita sama-sama tahu bahwa jumlah penggunaan bahasa
terbesar dengan jumlah pengguna paling banyak adalah bahasa Dawan dan
bahasa Tetun. Kemudian orang Portugis memilih bahasa Tetun dan
menyederhanakannya menjadi ―Tetun Prasa‖ dan kemudian pada dasarnya
Tetun Prasa, menjadi Tetun Nasional atau Tetun Resmi. Itu punya alasan
yang kuat bahwa bahasa yang paling mudah digunakan menjadi perantara atau
―Lingua Franca‖ di Timur bagian Timur adalah bahasa Tetun. Setelah
meninggalkan Timor Barat pada tahun 1679. Dan juga kemudian ada satu
program penting yang mendukung itu adalah program literasi ―Partai Fretelin‖
pada tahun 1975, ketika itu untuk membangkitan nasionalisme dan
mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di Timur Portugis. Pada saat itu
mereka memilih ―Bahasa Tetun‖. Dan itu juga tentu saja didukung penuh oleh
Gereja Katolik sekitar tahun 1980an mulai menggunakan bahasa Tetun
sebagai bahasa liturgi ketika bahasa Portugis dilarang.103
102
Secara rinci, peranan Gereja Katolik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Timor Leste dapat
dibaca dalam Chris Lundry, ―Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme di Timor
Leste‖, WASKITA: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol.III, No.2, Nov.2006: 177-195. Salatiga:
UKSW. 103
Wawancara dengan Yohanes Manhitu di Yogyakarta, 15 April 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Dua bahasa lain yaitu Indonesia dan Inggris disebut sebagai bahasa kerja dan
dipergunakan sejauh ―masih perlu‖ sebagaimana bunyi Konstitusi RDTL Pasal 159,
―Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris merupakan bahasa-bahasa kerja yang
digunakan dalam Pemerintahan Umum bersamaan dengan bahasa-bahasa resmi,
selama dianggap masih perlu‖. Terkait bahasa Indonesia, keperluan terhadap bahasa
ini menguat pada masa permulaan pelaksanaan pemerintahan Timor Leste secara
mandiri pasca penyerahan dari badan PBB UNTAET tahun 2006. Pada masa tersebut,
gejolak besar dalam negeri Timor Leste terjadi karena gesekan yang terjadi soal
kesempatan bekerja antara generasi tua yang dapat menguasai bahasa Portugis
dengan generasi yang lebih muda yakni para pelajar dan mahasiswa yang turut
memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste namun tidak bisa berbahasa Portugis.
Pengakuan akan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja menjadi
penengah antara kedua generasi tersebut maupun generasi yang akan datang di mana
sebagian besar generasi muda Timor Leste melanjutkan pendidikan tinggi di
Indonesia.
Terkait pengakuan akan penggunaan bahasa Inggris, selain karena menjadi
bahasa operasional selama pemerintahan sementara oleh badan yang dibentuk PBB
pasca referendum, bahasa Inggris diakui karena menjadi sarana bangsa Timor Leste
dalam membangun relasi dengan dunia internasional terutama Australia yang menjadi
tetangga terdekat sekaligus yang paling berperan baik langsung maupun tidak
langsung pada masa sebelum maupun sesudah kemerdekaan Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi multi-bahasa yang kini
menjadi salah satu ciri utama bangsa Timor Leste merupakan suatu kondisi hasil
dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya sepanjang sejarahnya sekaligus pilihan
sebagai sebuah negara merdeka untuk membentuk dan merawat integrasi komunitas
politiknya baik ke dalam negeri maupun keluar negeri. Kondisi yang diamini, dipilih
dan dihidupi itu dengan sangat jelas, singkat dan padat terungkap dalam semboyan
mereka dalam bahasa Tetun: Ita-nia nasaun oin-ida, ita-nia dalen sira oin-seluk;
artinya: bangsa kami satu, bahasa-bahasa kami berbeda.104
B. Multi-bahasa Media Massa: Potret Dilema Identitas Nasional Timor Leste
dalam Pusaran Wacana Kolonialisme dan Kapitalisme
Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajiner tentang negara-bangsa
yang diekspresikan melalui simbol dan wacana yang beraneka ragam.105
Identitas
nasional melibatkan representasi dan identifikasi dari pengalaman-pengalaman
bersama serta sejarah yang diceritakan lewat cerita lisan, karya sastra, budaya pop
dan media. Identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang dikumpulkan lewat
berbagai simbol dan ritual yang dikomunikasikan. Dengan kata lain, cara dan bentuk
berkomunikasi antar warga satu komunitas bangsa merupakan ekspresi dari identitas
bersama (nasional) bangsa tersebut.
104
Aone van Engelenhoven, 2006. ―Ita-nia nasaun oin-ida, ita-nia dalen sira oin-seluk, ’Our Nation is
One, Our Languages Are Different’; Language Policy in East Timor” dalam Paulo Castro Seixas dan
Aone van Engelenhoven (Red.), Diversidade Cultural na Construcao da nacao e do Estado em Timor-
Leste, Porto: Publicacoes UFP, hlm.104-132. 105
Chris Barker, 2014, Op.cit,, hlm. 187-188.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Kajian atas teks media massa di Timor Leste khususnya harian STL
menunjukkan bahwa wacana kolonialisme bekerja dalam dan melalui penggunaan
multi-bahasa media massa baik pada tataran teks, praktik wacana maupun konteks
sosio-budaya. Dalam konteks Timor Leste, menurut Leach, pembangunan identitas
nasional melalui persoalan bahasa dan media massa atau sistem komunikasi, tidak
saja bertujuan melahirkan satu identitas bersama dan memfungsikan negara, tetapi
sebagai negara bekas jajahan dan negara post-konflik, proses konstruksi identitas
tersebut sekaligus bertujuan kohesi sosial dan kestabilan politik.106
Singkatnya,
kebijakan bahasa dan pembangunan sistem komunikasi di negara Timor Leste
merupakan bagian pokok dari proses kultural untuk menciptakan identitas nasional
sebagai bangsa Timor Leste.
Media massa merupakan lembaga-lembaga komunikasi massa seperti surat
kabar, majalah, televisi, radio dan industri film yang memproduksi dan mendistribusi
teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas
kapitalis.107
Media massa berfungsi sebagai penyedia informasi, hiburan, pendidikan
dan pengawasan sosial-politik. Secara umum, media massa dipahami dalam arti teks
(program), relasinya dengan audiens, ekonomi-politik (industri dan organisasi) serta
pola dan makna budaya yang disumbangkan dan dibentuk olehnya. Dengan kata lain,
peran dan kedudukan media massa dalam dunia sosial, politik dan budaya sebuah
bangsa dapat dilihat pada teks, hubungannya dengan publik pembaca atau pemirsa,
106
Leach, 2017, Op.cit., 5; Leach, 2012: 220. 107
Barker, 2014. Op.cit. hlm. 165-166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
sistem organisasi dan industrinya (ekonomi-politik) serta budaya yang diusung
sebuah media massa.
Dengan demikian, refleksi tentang peran dan kedudukan media massa dalam
dinamika konstruksi identitas nasional Timor Leste dapat dilakukan dari konteks
historis, teks (struktur dan isi harian STL), relasi dengan audiens, pola-pola
kebudayaan yang diusung, serta sistem ekonomi-politik atau organisasi dan industri
medianya. Dalam konteks ini, relasi dengan audiens dan kondisi kulltural yang khas
yakni multilingualisme dilihat sebagai satu kesatuan aspek yang menentukan
dinamika media massa di Timor Leste.
Media massa memiliki peran, fungsi bahkan pengaruh tidak saja bagi individu
tetapi juga bagi komunitas sosial, lembaga masyarakat, hingga negara dan institusi-
institusinya. Dalam perspektif kajian budaya, selain hal-hal fungsional di atas, media
massa memiliki peran yang lebih mendalam yakni sebagai pembentuk dan penyebar
luas ideologi-ideologi bahkan hingga membentuk hegemoni budaya.108
Sekalipun
saat ini media massa tidak lagi sebagai saluran terkuat pembawa nilai-nilai budaya
dan ideologi tertentu serta memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi audiens, namun
kedudukan media sebagai sumber atau rujukan untuk menciptakan makna bagi
audiensnya masih begitu kuat. Dalam kadar tertentu, media massa masih
―menyumbangkan sesuatu mengenai pola-pola budaya menyangkut ruang, waktu dan
rutinitas kita.‖109
108
Chris Barker, Op.cit., hlm. 166. 109
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Sekalipun demikian, peran yang besar dari media massa tersebut dalam
sebuah negara-bangsa memiliki relasi timbal-balik dengan sistem politik, sosial dan
kebudayaan yang sedang berlangsung dalam negara tersebut. Dengan demikian,
dalam konteks peran dan kedudukan media massa dalam proses konstruksi identitas
nasional bangsa Timor Leste dapat ditelusuri melalui kehadiran, peran dan aktivitas
institusi-institusi media massa terutama dalam kurun waktu perjuangan kemerdekaan
Timor Leste hingga saat ini.
1. Media Massa dan Identitas Nasional Timor Leste dalam Kolonialisme
Portugis
Menurut Leach, kesadaran berbangsa Timor (Timorese) mulai terlihat dan
berkembang ketika munculnya benih-benih gerakan anti kolonialisme Portugal pada
awal tahun 1970-an hingga memuncak dalam perjuangan melawan pendudukan
(baca: penjajahan) oleh Indonesia sejak tahun 1975. Bahkan menurut Leach, gerakan
nasionalis (the nationalist movement) pada tahun 1974-1975 merupakan suatu
perkembangan dan pergeseran yang sangat pesat dan tepat untuk membingkai
kembali (reframe) kritik terhadap kolonialisme Portugis menuju satu-satunya fokus
perjuangan yakni neokolonialisme Indonesia.110
Menurut Gunn, kebijakan wakil
Portugis di Timor-Portugis tahun 1960-an untuk memperluas pendidikan bagi orang-
orang setempat menjadi pedang bermata ganda bagi Portugis. Betapa tidak, filsafat
pendidikan baru yang diperkenalkan terutama ide pembebasan dari Paulo Freira,
110
Leach, 2017, Op. Cit., hlm. 9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
melahirkan generasi kaum terdidik baru yang memiliki semangat anti-kolonial, anti-
Portugis.
Pada saat itu, media yang menjadi sarana perjuangan dan publikasi gerakan
nasionalis yang baru bertumbuh ini adalah surat kabar milik Gereja Katolik Timor
Leste yakni Seara dan sisipan dwi-mingguannya yakni Boletim Eclesiastico da
Diocese de Dili.111
Dalam situasi politik yang represif masa pemerintahan Gubernur
Lemos Pires, hanya terbitan Gereja Katolik ini yang tidak terkena undang-undang
sensor pemerintah. Melalui media ini, tokoh-tokoh nasionalis yang merupakan
lulusan seminari di Dare seperti Nicolau Lobato, Jose Ramos Horta, Francisco Xavier
do Amaral, Domingos de Oliviera, Mari Alkatiri, Francisco Borja da Costa dan
Manuel Carrascalao menyumbangkan tulisan mereka tentang masalah-masalah sosial
politik. Media cetak tersebut bahkan memungkinkan sekelompok kaum nasionalis,
beberapa dari mereka telah menkasikan gerakan-gerakan nasionalis di jajahan
Portugis di Afrika waktu diasingkan, untuk bertemu secara rahasia. Gencarnya tulisan
berciri anti-kolonial dalam media Siera tersebut akhirnya mendorong PIDE (Policia
Internacional de Defesa do Estudo) atau polisi rahasia Portugis menutup paksa surat
kabar tersebut pada tanggal 10 Februari 1973.
Sekalipun ditutup, ide-ide anti-kolonialisme yang telah disebar melalui surat
kabar Gereja Katolik selama beberapa tahun tersebut telah meluas. Sejumlah tokoh
nasionalis akhirnya membentuk ASDT (Associacao Sosial Democratica Timorense)
pada tanggal 20 Mei 1974 di bawah pimpinan Jose Ramos Horta yang menjadi cikal
111
Gunn, Op.cit., hlm. 410; Lundry, 2006: 180-181.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
bakal partai politik FRETELIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente)
yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste lepas dari Portugis. Manifesto
pertama ASDT menyerukan penolakan terhadap kolonialisme, partisipasi segera
orang Timor dalam pemerintahan lokal, melawan korupsi, diakhirinya diskriminasi
rasial dan hubungan baik dengan negara tetangga.112
ASDT menjadi kelompok politik
pertama di Timor Leste yang menggunakan juga bahasa Tetun dalam pertemuan-
pertemuan mereka selain bahasa Portugis.113
Partai FRETELIN menjadikan bahasa Portugis sebagai bahasa nasional tetapi
juga turut mengembangkan bahasa Tetun. Sebagai partai yang didirikan oleh para
nasionalis terdidik, partai politik ini melangkah jauh lebih maju daripada partai lain
dalam mengembangkan kebudayaan dan kesadaran politik masyarakat tradisional.
Terinspirasi oleh filsafat pendidikan Paulo Freire asal Brasil, partai ini menjadikan
pendidikan yang terorganisir bagi masyarakat yang berbeda-beda sebagai langkah
politik yang mutlak dan segera diambil. FRETILIN lalu melakukan program
pemberantasan buta huruf di beberapa desa pada Januari 1975. Bahkan partai ini
menciptakan sosok Orang Maubere, simbol orang Timor ideal, yang sederhana, kelas
bawah tetapi tangguh memperjuangkan kebenaran dan kemerdekaan. Upaya
memberantas buta huruf dan menyebarluaskan figur Maubere tersebut dilakukan
secara sistematis dengan menyusun sebuah buku pelajaran membaca dalam bahasa
Tetun yang berjudul Rai Timor, Rai Ita Nian atau Tanah Timor, Tanah Air Kita.
112
Ibid., hlm.411. 113
Hellen Hill dalam Gunn, Ibid., hlm. 414.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Bahkan, FRETILIN mengorganisir para pemuda di kota kedalam wadah Brigada
Revolucionaria (Brigade Revolusioner) yang diutus ke desa-desa untuk menularkan
kesadaran politik yang baru sebagai Orang Timor.
Partai FRETILIN memperkuat politik kebudayaan mereka melalui
Departemen Informasinya yang salah satu pimpinanannya adalah Jose Alexander
Gusmao (Kay Rala Xanana), dengan menerbitkan sebuah surat kabar mingguan yang
diberi nama Timor Leste: Jornal do Povo Mau Bere.114
Mingguan milik FRETILIN
ini pertama kali terbit pada awal September 1975. Mingguan ini menggunakan bahasa
Portugis dan Tetun dalam artikel-artikelnya sehingga memperluas penggunaan bahasa
Tetun sebagai bahasa perantara (lingua franca) yang bersifat revolusioner bagi warga
Timor Leste kala itu. Salah satu hal penting yang dilakukan mingguan Timor Leste
adalah menjadikan peristiwa deklarasi kemerdekaan Angola pada edisi tanggal 8 dan
15 November 1975. Timor Leste juga memuat tanggapan FRETILIN terhadap
persitiwa tersebut dan memberitakan bahwa sudah ada tiga puluh negara di dunia
yang telah mengakui kemerdekaan Angola tersebut. Tidak hanya berita, Mingguan
milik FRETILIN tersebut juga memuat puisi-puisi revolusioner (poesia
revolucinaria) dari tokoh-tokoh nasionalis Timor seperti Francisco Borja da Costa,
Eugenio Salvador Pires dan Jose Alexandre Gusmao (Xanana).
Sebelum pemberitaan tentang deklarasi kemerdekaan Angola tersebut,
FRETILIN dihebohkan oleh aksi penyusupan (gerilya tertutup) tentara Indonesia
(ABRI) melalui Operasi Seroja yang berubah menjadi invasi pada awal Oktober
114
Gunn, Ibid.,hlm. 420-421.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
1975. Bahkan lima awak televisi asing (Portugis, Selandia Baru, Inggris dan
Australia) yang saat itu meliput operasi tersebut di wilayah Maliana dan Balibo
terbunuh oleh pasukan penyerbu tersebut pada tanggal 16 Oktober 1975. Ratusan
warga Timor Leste terbunuh. Berita utama sebuah surat kabar Portugis, Diario de
Noticias, memuat berita penyerangan tersebut sebagai berita utama dengan judul
―Pasukan Pro-Indonesia Membantai Penduduk Timor Leste‖. Sementara Mingguan
Timor Leste menanggapi persitiwa tersebut dengan membneri judul berita, Indonesia:
bastiao do imperialisme americano atai Indonesi: Benteng Imperialisme Amerika
sebagai tuduhan keras kepada militer Indonesia sebagai pelayan kepentingan
Amerika.
Menghadapi persitiwa tersebut, FRETILIN meminta Dewan Keamanan PBB
tanggal 24 November 1975 untuk campur tangan mengingat gempuran Indonesia
semakin sering terjadi. Namun kelambanan PBB, kegagalan bantuan Portugis dan
mendesaknya situasi akhirnya mendorong FRETILIN mengambil keputusan berani:
mengumumkan kemerdekaan Timor Leste secara sepihak pada tanggal 28 November
1975. Tetapi seperti yang telah diketahui, sembilan hari pasca deklarasi kemerdekaan
tersebut, tepatnya tanggal 7 Desember 1975, pada pukul 04.30 pagi waktu setempat,
ribuan pasukan Indonesia berkekuatan lengkap darat, laut dan udara melakukan
invasi terbuka, menyerbu dan membombardir Dili dan sekitarnya. Gunn menulis,
―Tragedi Timor ialah bahwa kekerasan dilancarkan terhadap bangsa yang sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
lahir pada hari pertamanya oleh invasi Indonesia...‖115
Pembantain lanjutan terjadi.
Semua yang dianggap sebagai FRETILIN dilenyapkan.
Kalah oleh persenjataan dan jumlah personil, FRETILIN yang diwakili oleh
sayap militernya FALINTIL (Forcas Armadas de Libertacao Timor-Leste—Angkatan
Bersenjata Pembebasan Nasional Timor Leste) menyingkir ke pegunungan dan
hutan-hutan dan mengubah strategi perang menjadi semacam perang gerilya yang
didukung oleh penduduk-penduduk pedesaan. Dalam kaitan dengan media massa
FRETILIN, invasi Indonesia ini mengakhir mingguan Timor Leste tetapi tidak
dengan radionya. Sebuah radio FRETILIN terus mengudara di gunung-gunung
sampai akhir dasawarsa 1980-an.116
2. Media Massa dan Identitas Nasional pada Masa Pendudukan Indonesia
Selama masa pendudukan Indonesia terutama pada kurun waktu 1975-1990-
an, Timor Leste yang saat itu berstatus provinsi Indonesia ke-27 dinyatakan tertutup
dari media massa non pemerintah baik dalam negeri apalagi luar negeri. Maka cukup
sulit menelusuri peran media massa pada periode ini dalam konteks perkembangan
kebangsaan Timor Leste. Sekalipun demikian, di kalangan pejuang kemerdekaan,
selebaran terutama dalam bahasa Portugis (yang dilarang keras penggunaannya) dan
bahasa Tetun masih ditebarkan untuk terus menggalang dukungan warga dan
memertahankan semangat para pejuang yang ada. Sementara itu, satu hal yang begitu
115
Gunn, Ibid., hlm. 444. 116
Gunn, Ibid. Hlm.420.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
membantu perjuangan tokoh nasionalis Timor Leste adalah bahwa saluran
komunikasi keluar Timor Leste bahkan ke dunia masih terbuka melalui jaringan
Gereja Katolik. Terutama, setelah pergantian bahasa Liturgi dari Portugis ke bahasa
Tetun menjadi medium dan momentum baru menularkan semangat dan pesan-pesan
perjuangan untuk merdeka. Para Uskup dan Pastor terus mengirimkan sejumlah
laporan terkini soal kondisi sosial, politik dan ekonomi di wilayah Timor Leste.
Uskup Belo, dalam suratnya kepada Sektretaris Jenderal PBB tanggal 6 Februari
1989 mengungkapkan dengan sangat padat dan mendalam kondisi yang
memprihatinkan di Timor Leste, ―We are dying as a People and as a Nation” (Kami
sedang sekarat sebagai umat manusia dan sebagai suatu bangsa)!117
Setelah tahun 1990-an, kondisi media di Timor Leste lebih terbuka seiring
dengan semakin menghangatnya kondisi politik di Timor Leste akibat perlakuan
pelanggaran HAM dan aksi militer Indonesia lainnya mulai disoroti dunia
internasional. Sekalipun demikian, peran militer Indonesia masih sangat kuat dalam
memantau isi pemberitaan media cetak dan elektronik di Timor Leste. Media massa
di Timor Leste berada dalam dinamika politik yang makin panas ini. Salah satu media
massa besar yang terlibat adalah harian Suara Timor Timur (pendahulu Suara Timor
Lorosae—STL). Kondisi media massa (STT) dalam konteks konflik politik tersebut
117
Dalam Carey, Op.cit, hlm.1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
tergambar dalam ringkasan kisah pengalaman salah seorang mantan wartawannya,
Irawan Saptono, sebagai berikut:118
...
Meledak insiden Universitas Timor Timur. Situasi Dili genting. Ribuan
pemuda bersiap-siap membantu mahasiswa. Penguasa militer Dili meminta
STT menulis berita dari sumber kepolisian. Hari pertama aksi, ketika insiden
pecah, STT memuat versi polisi. Hari kedua STT diundang di kantor kepala
wilayah kepolisian Timor Timur. Ismunarno dan saya yang datang. Di sana
sudah menunggu Haribowo, sejumlah perwira menengah angkatan darat,
kepala wilayah kepolisian, dan sejumlah koresponden media.
Pertemuan dipimpin Haribowo. Ada Johny Lumintang, ada sejumlah
komandan sektor, Komandan Satuan Tugas Penerangan (Satgaspen) Korem
Timor Timur, Mayor Laedan Simbolon, dan komandan Satuan Tugas Intelijen
Kopassus, Kolonel Sugiarto. Berita STT hari itu dipuji-puji oleh mereka yang
hadir. Haribowo membandingkannya dengan berita untuk peristiwa yang
sama yang ditulis harian Pos Kupang yang ada di tangannya. Pos Kupang,
salah satu anggota jaringan media daerah milik Kelompok Kompas Gramedia,
yang terbit di Kupang. Jadi masih saudara dengan STT. Pos Kupang menulis
dengan judul ―Bentrokan di Dili, Tiga Mahasiswa Tewas.‖ Edisi hari yang
sama untuk peristiwa itu, STT menulis berita berjudul ―Kapolwil Timtim:
Tidak Ada Korban Tewas.‖ Ada yang tak diketahui para tentara itu, kecuali
Mayor Simbolon yang hanya bisa berungut-sungut, bahwa berita yang dimuat
Pos Kupang sebenarnya berita STT yang tidak bisa dimuat.
...
Esok harinya, kami tetap tak berani menurunkan berita versi sendiri.
...
Dua berita yang dimuat STT tentang peristiwa itu memperoleh protes dari
Universitas Timor Timur. Pastor Broto Wiyono S.J., sang rektor menelepon.
―STT berat sebelah. Kami punya versi tentang peristiwa itu. Apakah bisa
disiarkan?‖ tanya Romo Broto.
...
Kami mengundang Romo Broto ke kantor, berdiskusi panjang lebar tentang
kesulitan dengan pihak militer yang kami hadapi. Romo Broto orang yang
enak diajak bicara, penuh humor, dan tidak gampang marah. Dia bisa
118
Irawan Saptono, ―Surat Kabar di Tengah Kecamuk‖, dalam Pantau, 2 Juli 2001; dapat diakses pada
laman https://www.pantau.or.id/?/=d/32. Penulis mengutip langsung dengan memotong beberapa
paragrafnya dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang peran, ketegangan
dan dinamika (pekerja) media pada masa pergolakan menuju kemerdekaan Timor Leste dari
pendudukan Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
mengerti situasi sulit yang kami hadapi. Lalu, kami memberi saran agar
universitas membuat konferensi pers perihal insiden tiga hari di kampus itu
dari sudut pandang universitas. Dari sanalah STT bisa bersiasat memuat versi
universitas. Romo Broto setuju.
Kami memuat hasil konferensi pers itu dan memuat kronologi kejadian versi
universitas. Pemuatan ini memancing kemarahan militer Indonesia. Seorang
perwira penerangan menelepon. Kami menjawab kemarahan itu dengan
sebuah kalimat, ―Universitas menggunakan hak jawabnya yang selama
pemberitaan tentang insiden kami diabaikan.‖ Johannes Haribowo mencari-
cari saya dan Ismunarno. Kami menghilang beberapa saat.
...
Kisah wartawan STT di atas menunjukkan bahwa pada masa puncak konflik
pejuang nasionalis Timor Leste melawan militer Indonesia pada tahun 1993 – 1999,
media massa di Timor Leste berusaha bertahan pada posisi sebagai bagian dari tugas
jurnalisme untuk memberitakan peristiwa secara objektif. Sekalipun demikian,
tekanan yang kuat dari militer baik Indonesia maupun pejuang kemerdekaan Timor
Leste membuat media massa di Timor Leste kadang-kadang diam dan menurut. STT
sebagai koran terbesar saat itu berusaha untuk bertahan dalam idealisme jurnalistik
hingga berakhir dengan penghancuran kantor redaksi beserta seluruh fasilitas
percetakan dan penerbitannya. El Chy (nama pena), salah seorang tim redaksi STT
menuliskan pengalamannya dalam blognya:119
Dalam 1997/1998 beberapa telepon yang yang nadanya teror terhadap STT,
sering terjadi. Bahkan menurut pemimpin perusahaan, Domingos Saldanha,
dirinya pernah dipanggil oleh Gubernur Abilio dan memperingatkan dia
bahwa secepatnya STT memecat dua wartawan STT masing-masing Aderito
119
El Chy, ―Suka Duka Koran Suara Timor Timur‖
http://sergapntt.mlblogs.com/2012/03/13/suka-duka-koran-suara-timor-timur/. Diakses tanggal 15
Januari 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Hugo da Costa dan Metha Guterres, dengan alasan bahwa kedua wartawan itu
tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah. Selain itu kedua wartawan
itu, kata Abilio, sering memuat berita-berita yang dikutip oleh kantor-kantor
berita asing tentang kelaparan, penganiayaan terhadap masyarakat serta kasus-
kasus kolusi Abilio dengan keluarga Cendana.
―Kalau ingin Pemda berlangganan STT dan kita mau damai, STT harus
pecat dua wartawan itu. Mereka berdua ingin menjadi wartawan idealis,
susahlah kalau di Timtim,‖ kata Domingos mengutip pernyataan Abilio ketika
itu. Namun dihadapan Abilio, Domingos menolak untuk memecat kedua
wartawan tersebut dengan alasan bahwa STT masih membutuhkan kedua
wartawan itu.
Karena merasa STT sudah tidak diajak berkompromi dengan Pemda,
Abilio dengan dukungan Pangab Wiranto menerbitkan harian baru yaitu
Novas. Penerbitan harian itu target utamanya adalah untuk mematikan STT.
Tapi usaha untuk mematikan STT hanya sia-sia, karena semakin hari STT
mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat termasuk Falintil.
....
Tanggal 17 April: Diadakan pengukuhan milisi Aitarak di depan kantor
Gubernur. Hadir dalam pengukuhan itu antara lain Gubernur Timtim,
Danrem, Kapolda dan semua pejabat baik sipil maupun militer. Sekitar pukul
09.00 WITA 8 orang asing mendatangi redaksi STT dengan menyanyakan
keberadaan wartawan STT Metha Guterres. Pukul 11.00 Wita, beredar kabar
bahwa STT akan diserang oleh kelompok BMP sehingga 2 wartawan STT
setelah bersepakat dengan rekan-rekan wartawan lain memutuskan untuk
meninggalkan Timtim dengan menumpangi Merpati tujuan Denpasar.
Namun pada pukul 12.00 sebelum Merpati take off terdengar kabar bahwa
kantor STT sudah diobrak-abrik oleh kelompok BMP dengan dipimpin Joao
Tavares. Selain kantor STT, target para milisi adalah kantor CNRT,
Kediaman Manuel Carrascalao dan kantor Yayasan HAK. Pada malam
harinya terjadi bentrokan antara milisi pro-otonomi dengan kelompok pro-
kemerdekaan yang menewaskan beberapa orang.
Bahkan penyerangan hingga pengrusakan kantor STT merupakan bagian dari
skenario aparat keamanan. Saat terjadi perusakan kantor STT, aparat
kepolisian memberi respon sekadarnya saja. Aparat bergerak mendatangi TKP
saat kantor STT telah hancur
Dua kisah di atas menjelaskan bagaimana kondisi sosial politik suatu wilayah
atau negara saling memmpengaruhi dengan kegiatan jurnalistik media massa. Dua
sumber di atas juga menjelaskan bahwa pada masa akhir kekuasaan Indonesia atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Timor Leste, selain STT dan beberapa surat kabar lokal, terdapat juga sejumlah
media massa asing berbahasa Indonesia seperti tiga stasiun radio yang paling terkenal
BBC London, ABC Australia dan Radio Hilversum Belanda.
3. Media Massa dan Konstruksi Idenitas Nasional Timor Leste Pasca
Kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan Timor Leste, media massa di Timor Leste menghadapi
tantangan yang berbeda yakni rekonsiliasi pasca konflik, pembangunan kebudayaan
hingga tuntutan bisnis media yang penuh dengan persaingan. Koran yang paling
pertama terbit sesudah kemerdekaan adalah Timor Post. Koran ini didirikan oleh eks
wartawan STT pro kemerdekaan yang pulang dari pengungsian dengan dukungan
dana dari UNTAET di bawah pimpinan Hugo da Costa, salah seorang mantan
wartawan STT yang dahulu terang-terangan pro kemerdekaan. Pada tanggal 25 Mei
2000, menyusul lahir harian STL. Muncul pula media cetak lain seperti tabloid
Lalenok yang berbahasa Tetun. Muncul pula majalah Talitakum yang merupakan
majalah bawah tanah yang diterbitkan oleh organisasi pemuda Timor Leste di
Yogyakarta. Pasca kemerdekaan, majalah ini dibawa kembali ke Dili oleh para
penggiatnya.
Pada saat ini, telah terbit sejumlah media cetak bahkan yang juga memiliki
media elektronik seperti STL. Tantangan baru yang dihadapi saat ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
persaingan industri media; bisnis. Pernyataan Saldanha, pimpinan harian STL,120
bahwa faktor terpenting yang melatarbelakangi penggunaan empat bahasa dalam
harian STL adalah kebutuhan pasar (audiens) menunjukkan besarnya pengaruh
ekonomi dalam dinamika media massa di Timor Leste. Selain itu, adalah fakta bahwa
institusi media massa merupakan salah satu institusi bisnis. Bahkan STL kini telah
berkembang menjadi sebuah korporasi media terbesar di Timor Leste yang telah
memiliki semua jenis media baik surat kabar, radio, televisi bahkan penerbitan dan
percetakan modern. Karena itu, hukum ekonomi berlaku pula dalam kegiatan
jurnalistik media massa di Timor Leste.
Sekalipun demikian, di tengah persaingan industri media tersebut, dalam
konteks konstruksi kebangsaan sebagai bangsa Timor Leste, satu hal yang terlihat
sama dan menonjol adalah besarnya porsi penggunaan bahasa Tetun dalam setiap
jenis media massa di Timor Leste, cetak maupun elektronik. Besarnya perhatian pada
keberadaan dan penggunaan bahasa Tetun ini memberikan pesan yang kuat bahwa
Tetun kini tidak saja sebagai bahasa perantara (lingua franca) tetapi juga menjadi
simbol identitas bersama sebagai bangsa Timor Leste. Hal ini tampaknya sejalan
dengan politik kebudayaan yang digagas oleh FRETILIN bersamaan dengan
kelahirannya sebagai gerakan dan organisasi politik di Timor Leste pada tahun 1973
silam.
Proyek identitas nasional bangsa Timor Leste melalui bahasa dan
penggunaannya dalam media massa menurut hemat penulis adalah soal memperkuat
120
Lihat hasil wawancara pada Bab 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
dan mempercepat proses pembakuan tata bahasa Tetun dan pengajarannya secara
sistematis dan massif. Sekalipun demikian, keberadaan Timor Leste sebagai bangsa
multilingual juga perlu untuk terus dipertahankan untuk menjaga dan memperluas
jejaring dengan negara-negara tetangga dan dunia internasional. Pandangan Yohanes
Manhitu, penulis kamus dan pengamat bahasa tetun dan Portugis di Timor Leste
memberikan pendapat yang meyakinkan sebagai berikut:121
Kembali kepada keinginan yang kuat, terutama keinginan politik para
pengambil kebijakan. Karena pada saat ini juga belum ada kestabilan
penggunaan ejaan standar. Contoh saja bahasa Indonesia dengan ejaan yang
cukup panjang, dan ejaan saja bisa berubah. Tapi perlu ada upaya atau
keinginan yang kuat untuk menggunakan satu ejaan dulu, dalam jangka waktu
teretentu atau menguji apakah ejaan ini memang layak dipakai? Ejaan
Ortografia Patronizada yang disahkan 2004 belum digunakan sampai saat ini
secara menyeluruh. Itu menjadi persoalan karna kita tidak bisa menjamin
masa depan sebuah bahasa tulis, kalau tidak punya ejaan yang stabil. Karna
ejaan ini menjamin sebuah keselamatan konsep dalam sebuah bahasa tulis.
Saya dalam penulisan kedua kamus itu saya buat ejaan standar karna saya
konsisten. Karna supaya ada orang yang Tanya kenapa kenapa ejaan ini
dipakai seperti ini saya buat ejaan seperti itu karna saya warga Negara lain
tidak masalah, tapi untuk apa saya buat ejaan sendiri kalau ejaan standar
sudah disahkan. Artinya bahwa ejaan itu adalah kedaulatan sebuah bangsa,
sebuah Bahasa.
...
Bahasa Tetun adalah bahasa Timor yang paling maju dan terdepan, itu saja
yang masih seperti ini padahal punya kekuatan politis, dan kekuatan historis,
kekuatan budaya pokoknya cukup banyak. Kalau mau bahasa Tetun maksimal
tulislah dalam bahasa Tetun, memang bahasa butuh konsistensi. Artinya
penggunaan bahasa itu harus sampai total, tidak boleh sistem loncat-loncat,
loncat sana loncat sini. Bahasa daerah sekalipun harus digunakan secara total,
untuk bahasa Tetun dan Portugis misalnya kata ‗ajuda‘ tolong (potugis) untuk
percakapan sehari-hari dan ‗tulun‘ tolong (Tetun) hanya digunakan saat
berdoa saja. Ada banyak pilihan. Kalau mereka konsisten maka 10 atau 20
tahun kedepan sudah membaik. Bahasa Tetun tidak sampai kematangan kalau
121
Wawancara dengan Yohanes Manhitu di Yogyakarta, 15 April 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
tidak ada keinginan untuk konsisten karena bahasa Tetun merupakan bahasa
yang masa depannya terjamin dari bahasa yang lain.
...
[Terkait bahasa media massa]
Saya ikuti betul itu media STL yang namanya sudah diterjemahkan dalam
bahasa Portugis, A VOS A TIMOR. Timor Leste memiliki banyak keunikan
apalagi bahasa. Di Timor Leste untuk keberadaan empat bahasa itu hal biasa
bagi semua orang, artinya dalam rumah saja orang sudah menggunakan empat
bahasa merupakan hal yang umum, bahkan lebih dari 4 bahasa. Tapi kembali
ke media juga ( pasar) daya beli berapa banyak, kalau diterbitkan dalam
bahasa Inggris orang akan beli? Nah kadang-kadang seperti itu.
Bagi warga masyarakat Timor Leste penggunaan multi-bahasa dalam kehidupan
sehari-hari baik di media Massa maupun dalam pedidikan Tinggi merupakan hal
yang wajar, karan sebagai bekas Negara Kolonial, maka bahasa-bahasa colonial tetap
di pilih dan dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Penggunaan multi-bahasa sangat
mempengaruhi proses perkembangan kedua bahasa resmi, yakni bahasa Tetun dan
bahasa Portugis yang kurang berkembang di tengah masyarakat warga Timor Leste.
Sampai saat ini penggunaan bahasa dalam dunia pendidikan masih menjadi proses
dalam pembentukan identitas warga Timor Leste, karena penggunaan banyak bahasa
ditengah masyarakat yang membuat bahasa Tetun dan Portugis kurang berkembang
dengan baik. Status bahasa Tetun prasa (Tetun-Dili) yang sampai saat ini, begitu
banyak mengadopsi bahasa Portugis karena kurangnya kata kerja pasif dari bahasa
Tetun sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
C. Rangkuman
Menurut perspektif pascakolonialisme, fenomena multi bahasa media massa
di Timor Leste menunjukkan masih berkembangnya dominasi wacana bangsa
kolonial. Proses konstruksi identitas nasional Timor Leste sebagai negara termuda
saat ini melalui proses kebahasaan secara politis maupun praktis di media massa
memiliki sejarah dan dinamika yang khas. Secara konkrit sejak dalam massa
penjajahan Portugis apalagi saat ini, Timor Leste merupakan negara-bangsa berciri
multi-lingual. Artinya, setiap warga Timor Leste setidaknya menggunakan lebih dari
dua bahasa dalam keseharian hidupnya yakni bahasa sukunya, bahasa Tetun atau
bahasa Portugis atau bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Fakta multi-bahasa
sebagaimana ditunjukkan dalam hasil survei Leach tahun 2006 dan 2010 merupakan
suatu kondisi yang tak terhindarkan sehingga menjadi latar belakang segala proses
politik yang berkaitan dengan bahasa termasuk penentuan bahasa resmi negara dan
bagaimana memperlakukan bahasa lainnya yang masih digunakan warganya.
Konstitusi negara Timor Leste memilih bahasa Tetun dan Portugis sebagai
bahasa resmi karena memiliki sejarah sebagai bahasa perjuangan dan perlawanan,
serta mengakui keberadaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa
kerja, menunjukkan bahwa secara politis, multilingualisme bukan saja kondisi yang
sudah ada tetapi juga pilihan politis negara-bangsa Timor Leste. Kondisi dan pilihan
menjadi bangsa multi-lingual tersebut juga mempengaruhi praktik kebahasaan dari
media-media massa yang ada di Timor Leste saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Secara teoretis, media massa memiliki peran besar dalam proses pembentukan
dan pemeliharan berbagai proses kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan
sebuah bangsa. Hal ini terjadi karena sistem dan dinamika yang terjadi dalam praktik
jurnalisme media massa mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh sistem dan
dinamika politik dari negara bersangkutan. Dalam konteks sejarah kebangsaan Timor
Leste, media massa yang pernah ada di Timor Leste terutama yang dimiliki Gereja
Katolik seperti Siera dan surat kabar FRETILIN, Timor Leste, menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari proses kelahiran dan penyebaran rasa kebangsaan sebagai Orang
Timor untuk membebaskan diri dari Portugis maupun kelak dari Indonesia.
Dinamika jurnalisme harian STT, dan majalah-majalah bawah tanah seperti
Talitakum maupun radio-radio asing selama tahun 1990-an menggambarkan
bagaimana media massa bertindak dalam tekanan sistem politik yang sedang
memanas.
Sekalipun demikian, pada era pasca kemerdekaan, kedudukan media massa
dalam konteks pembangunan identitas nasional sebagai bangsa Timor Leste memiliki
tantangan yang semakin kompleks yakni dalam tegangan antara menjadi bagian dari
pihak yang menciptakan dan merawat ikatan sosial antar warga dan tuntutan
mengatasi tekanan ekonomi dalam pusaran bisnis industri media massa. Maka
tampaklah bahwa media massa di Timor Leste mengambil langkah-langkah
jurnalisme yang khas di antaranya adalah menggunakan format dan konten yang
multi-bahasa. Ada media yang memakai bahasa Tetun dan Portugis, dan yang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
bahkan menggunakan empat bahasa yakni Tetun, Portugis, Indonesia dan Inggris.
Alasan terkuat dari perspektif pemilik media terkait bentuk multi-bahasa adalah untuk
memenuhi selera pasar atau audiens.
Sekalipun demikian, ada pula hal lain yang menjadi temuan penulis berdasar
konteks sejarah dan pendapat para narasumber yaitu bahwa format multi-bahasa
tersebut dapat menjadi sarana penghubung antar generasi yang kini aktif dalam
dinamika sosial-politik di Timor Leste yakni generasi tua yang menguasai bahasa
Portugis dan Tetun, dan generasi muda yang menguasai bahasa Tetun dan Indonesia.
Format multi-bahasa menjadi bagian dari proyek pembangunan identitas nasional
karena secara tak langsung menjadi pemelihara kohesi sosial antar warga negara
Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
BAB V
PENUTUP
Penelitian ini berusaha mengungkapkan dan menggambarkan dinamika
konstruksi identitas nasional bangsa Timor Leste melalui wacana multi-bahasa dalam
teks media massa dengan perspektif pascakolonialisme. Secara khusus wacana
tersebut terbaca dalam teks surat kabar harian Suara Timor Lorosae yang
menggunakan empat bahasa sekaligus dalam setiap edisinya yakni bahasa Tetun,
Portugis, Indonesia dan Inggris.
Sebagaimana pemikiran John E. Joseph dalam karyanya Language and
Identity: National, Ethnic, Religious (2004), identitas nasional dibangun oleh dan
melalui bahasa sehingga persoalan identitas nasional merupakan persoalan
kebahasaan. Gagasan ini senada dengan gagasan Anderson (1991) yang melihat
kebangkitan kesadaran nasional sebagai bagian tak terpisahkan dari kehadiran bahasa
perantara (lingua franca) yang meluas dan berkembang oleh hadirnya mesin dan
media cetak. Negara-bangsa sebagai komunitas terbayang (imagined community)
diperbesar, diperluas dan diperkuat oleh adanya media cetak yang memuat informasi
dengan bahasa perantara. Maka sebagaimana Barker (2014) meringkas, bahwa
identitas nasional merupakan simbol yang dibentuk, dipelihara dan dikembangkan
melalui bahasa dan bentuk-bentuk komunikasi tertentu.
Mengikuti pandangan ketiga tokoh di atas, maka dapat dikatakan bahwa
fenomena penggunaan bahasa sehari-hari karena dorongan kebijakan (politik) bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
maupun karena kebutuhan praktis dapat menjadi cermin dinamika proses
perkembangan pembangunan identitas sebuah negara-bangsa. Penggunaan bahasa
dalam media massa menjadi salah satu bentuk paling nyata dan penting dari
penggunaan bahasa yang praktis dan dibutuhkan tersebut. Karena itu, fenomena
penggunaan bahasa di media massa dapat mencerminkan pola dan dinamika
pembentukan dan perkembangan identitas nasional sebuah negara-bangsa. Berikut ini
adalah beberapa kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini serta saran penulis
bagi peneliti lainnya yang berniat membahas topik yang sama.
A. Kesimpulan
Sejarah dan dinamika politik bahasa dan fenomena kebahasaan terkini dalam
konten media massa dan Timor Leste mengungkapkan dinamika dan pola konstruksi
identitas nasional negara-bangsa Timor Leste. Berikut ini merupakan beberapa
kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian dengan metode analisis wacana kritis
terhadap teks multi-bahasa harian STL bulan Mei 2017.
1. Multi-bahasa di Timor Leste sebagai Dominasi Wacana Kolonialisme
Dalam perspektif kajian pascakolonial, kondisi multi-bahasa dalam
masyarakat Timor Leste merupakan wacana kolonial yang masih terus bekerja secara
dominan dan mempengaruhi pembentukan identitas nasional Timor Leste. Kondisi
nyata multi-bahasa atau multilingualisme tersebut merupakan akibat dari interaksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
yang tidak berimbang antara bangsa kolonial dengan warga kesukuan yang mendiami
Timor Leste. Baik Portugis maupun Indonesia menempatkan bahasa-bahasa lokal di
Timor Leste sebagai bahasa ―kelas dua‖ dan menempatkan bahasanya sendiri sebagai
bahasa pemerintahan dan pendidikan.
Politik bahasa yang dilakukan baik oleh Portugis maupun Indonesia tersebut
ternyata berdampak besar dalam proses pembentukan komunitas politik Timor Leste.
Kebanyakan tokoh pejuang kemerdekaan Timor Leste lahir dan mengenyam
pendidikan berbahasa Portugis. Sementara itu, generasi berikutnya setelah para
pejuang ini dibesarkan dalam dominasi bahasa Indonesia di Timor Leste. Maka
terjadilah apa yang disebut oleh Peter Carey sebagai jurang pemisah linguistik
(linguistic gap) antara generasi tua dan muda yang memiliki implikasi politik pada
masa mendatang termasuk politik bahasa media-media massa di Timor Leste.
Politik bahasa Timor Leste merupakan salah satu upaya politik kebudayaan
yang penting untuk merekonstruksi bahkan menegaskan kembali identitas bangsa
Timor Leste sebagai bangsa yang berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya terutama
Indonesia. Identitas khas tersebut adalah bahwa Timor Leste merupakan bangsa
Timor-Portugis. Indentitas orang Timor-Portugis tersebut ditunjukkan dengan
pemilihan bahasa Tetun dan Portugis sebagai bahasa nasional.
Keberadaan bahasa Tetun dan Portugis menjadi simbol yang sangat kuat
untuk memberikan pesan bahwa Timor Leste memiliki sejarah politik dan
kebudayaan tersendiri sehingga layak berdiri sebagai negara sendiri yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
akar budaya lokal sekaligus mempunyai relasi internasional. Bahasa Tetun sebagai
lingua franca yang lahir dalam relasi antar suku dan kelompok di Timor Leste
menjadi simbol yang mampu membuat warga Timor Leste memiliki imajinasi bahwa
mereka memiliki satu budaya lokal bersama. Inilah budaya yang lahir di tanah Timor
Leste, sehingga penduduk yang berdiam dari berbagai suku (dan bahasa) di tanah
Timor Leste layak menyebut diri mereka sebagai orang Timor Leste (Timorese).
Sementara itu, bahasa Portugis menjadi penghubung orang Timor Leste
dengan dunia luar terutama agama Katolik sebagai sebuah sistem budaya yang
dibawa orang Portugis namun berperan besar dalam perkembangan peradaban
(pendidikan), pertumbuhan kesadaran nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan
Timor Leste di tingkat internasional. Peran pendidikan dan penghubung dengan
komunitas internasional malah masih sangat dibutuhkan bangsa Timor Leste hingga
saat ini untuk mengatasi keterbatasan bahasa Tetun sebagai bahasa yang masih
bersifat lokal dan belum bisa digunakan sebagai bahasa ilmiah.
Selain itu, baik bahasa Tetun maupun Portugis dalam arti tertentu merupakan
bahasa perjuangan kemerdekaan khususnya selama pendudukan oleh Indonesia.
Menurut Anderson, sekalipun terkesan terlambat,122
pertumbuhan dan penyebaran
kesadaran berbangsa Timor Leste begitu pesat dan bersifat khas. Begitu pesatnya
perkembangan nasionalisme (baca: identitas nasional) Timor Leste dipengaruhi oleh
kehadiran pendudukan Indonesia melalui TNI (dulu ABRI) yang mengurus Timor
122
Leach (2017) juga menyebut nasionalisme Timor Leste merupakan nasionalisme yang terlambat
(late nationalisme) karena baru muncul setelah 450 tahun dalam kekuasaan Portugis, serta menjadi
koloni atau jajahan Portugis yang paling akhir menyatakan kemerdekaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Leste dengan cara-cara represif. Indonesia berusaha ―mengindonesiakan‖ penduduk
Timor Leste melalui kewajiban menganut satu agama resmi di Indonesia,
menerapkan bahasa Indonesia pada semua bidang terutama melalui kurikulum
pendidikan. Namun, justru cara ini mempercepat pembentukan kesadaran sebagai
sebuah komunitas politik yang berbeda karena masyarakat Timor Leste menyadari
perbedaan sejarahnya sebagai komunitas politik Timor-Portugis yang berbeda dengan
Indonesia yang berada di bawah penguasaan Belanda. Karena itu, mayoritas
penduduk memilih beragama Katolik yang menjadi agama mayoritas penduduk
Portugis serta memiliki hubungan langsung ke Vatikan. Bersamaan dengan ini,
pengakuan Vatikan terhadap bahasa Tetun sebagai bahasa resmi dalam Liturgi Gereja
Katolik di Timor Leste menjadikan afiliasi kultur lokal (Tetun) dengan agama
Katolik dan negara Portugis semakin solid.
Sekalipun demikian, politik bahasa dengan memilih Tetun dan Portugis
sebagai bahasa resmi negara tidak dapat menghindari adanya kondisi sosial-budaya
yang terbentuk selama 25 tahun pendudukan Indonesia. Dilarang kerasnya bahasa
Portugis, tidak masuknya bahasa Tetun dalam kurikulum pendidikan, serta gencar
dan wajibnya penggunaan bahasa Indonesia melahirkan satu generasi warga Timor
Leste yang menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi pemerintahan
dan pendidikan. Maka tak terhindarkan, bahwa pasca kemerdekannya, kondisi multi-
bahasa di Timor Leste menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik bahasa Timor
Leste hingga bidang-bidang lainnya termasuk dunia media massa di Timor Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
2. Multi-bahasa Media Massa: Cermin Pergulatan Identitas Nasional Timor
Leste dalam Era Globalisasi
Tampak dari luar, fenomena multi-bahasa dalam konten media massa
mencerminkan kondisi multi-lingualisme masyarakat Timor Leste. Namun, jika
ditafsirkan kembali fenomena multi-bahasa tersebut dengan pola dan dinamika politik
bahasa serta dengan hasil analisis wacana teks media massa di Timor Leste maka
terdapat satu kesimpulan yang lebih mendalam lagi. Kesimpulan tersebut adalah,
bahwa fenomena multi-bahasa media massa di Timor Leste merupakan tanda yang
konkrit adanya pergulatan indentitas nasional Timor Leste yang sengit melalui
industri budaya (industri media) ketika berhadapan dengan kondisi ekonomi politik
dalam negeri maupun global.
Pergulatan identitas berkaitan dengan: apakah berupaya mempertahankan dan
memperbesar ―identitas lama‖ yakni yang menyatu dengan tradisi-tradisi lokal
(bahasa Tetun) dan berkultur (beragama) Katolik (Portugis) yang memiliki semangat
nasionalis atau berusaha merelatifkan unsur-unsur sejarah dan budaya lokal tersebut
lalu berfokus pada penyesuaian diri dengan tuntutan ekonomi-politik baik lokal
maupun internasional (industri media dan kapitalisme global). Sebagaimana
pemikiran Anderson bahwa kesadaran berbangsa atau nasionalisme berkembang dan
meluas oleh karena peran media cetak dan relasinya dengan kapitalisme, maka proses
yang mirip terjadi pula dalam sejarah pembentukan dan perkembangan nasionalisme
bangsa Timor Leste. Politik kebudayaan partai FRETILIN tahun 1974 dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
memberantas buta aksara melalui buku pelajaran berbahasa Tetun serta pemanfaatan
media cetak milik Gereja Katolik, Siera yang berbahasa Portugis berdampak nyata
pada munculnya kesadaran sebagai orang Timor Leste yang berbeda dengan saudara-
saudaranya di Timor Barat maupun Indonesia keseluruhan.
Sekalipun demikian, pada zaman ini, media massa lebih tampak sebagai
sebuat lembaga ekonomi yaitu industri media. Maka sistem media massa sangat kuat
dipengaruhi oleh dinamika dunia bisnis atau ekonomi. Namun pada saat bersamaan,
sistem media massa dalam sebuah negara berkaitan erat dengan sistem politik, sosial,
ekonomi dan budaya dalam negara tersebut. Dengan demikian, struktur manajemen
media-media massa di Timor Leste hingga sampai pada konten atau isinya juga
berkaitan erat dengan kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya di Timor Leste.
Dalam pergulatan semacam ini, kondisi multi-bahasa yang khas dari masyarakat
(audiens) Timor Leste akhirnya diupayakan sedemikian agar menjadi hal yang dapat
menunjang kepentingan bisnis media massa. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan konten multi-bahasa dalam produk medianya.
Sekalipun demikian, patut dicatat bahwa penelitian ini juga menunjukkan
bahwa sebagian besar konten atau isi media massa di Timor Leste ditulis dan
disampaikan dalam bahasa Tetun. Singkatnya, bahasa Tetun (Prasa/Dili) merupakan
bahasa yang paling banyak digunakan oleh media massa Timor Leste. Dengan
demikian, bahasa Tetun memiliki posisi yang lebih istimewa dalam keseharian hidup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
masyarakat Timor Leste. Tampaknya, di balik keistimewaan bahasa Tetun ini
terdapat makna tertentu terkait dinamika konstruksi identitas nasional Timor Leste.
3. Timor Leste: Negara-Bangsa Tetun Multilingual?
Berdasarkan kajian atas sejarah politik bahasa dan analisis wacana teks media
massa, dapat dikatakan bahwa keistimewaan bahasa Tetun berdasar pada sejumlah
faktor antara lain praktis-historis, historis-kultural dan historis-politis. Secara praktis-
historis, bahasa Tetun merupakan lingua franca atau bahasa perantara yang telah
memungkinkan warga Timor Leste sejak berabad-abad silam berinteraksi dagang
antar penduduk lokal yang berbeda suku dan bahasa maupun dengan bangsa lain
seperti Cina dan Portugis. Secara historis-kultural, bahasa Tetun menjadi istimewa
sejak digunakan dalam ritual keagamaan Katolik sebagai agama ―dari luar‖123
yang
pertama kali diajarkan kepada penduduk lokal baik secara terbatas pada para
misionaris awal hingga memuncak ketika secara resmi disetujui Vatikan sebagai
bahasa liturgi tahun 1981. Dijadikannya Tetun sebagai bahasa Liturgi bukan saja
mempermudah penyebaran dan pemahaman umat pada ajaran Katolik tetapi juga
mendekatkan bahkan menyatukan agama Katolik dengan tradisi lokal atau budaya
warga Timor Leste kala itu.
123
Sebutan ―dari luar‖ hanya untuk memperjelas bahwa sebelum kehadiran agama Katolik yang
dibawa oleh misionaris Portugis, penduduk lokal sudah memiliki ―agama asli‖ berupa kepercayaan
pada kekuatan transenden, roh-roh termasuk roh nenek moyang (sering disederhanakan sebagai praktik
animisme dan dinamisme).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Sementara itu, secara politis-historis, bahasa Tetun merupakan ―bahasa
perlawanan‖ baik pada era memprotes bahkan melawan kolonialisme Portugis
maupun melawan pendudukan Indonesia. Hal tersebut tampak begitu jelas dalam
proyek kebudayaan partai FRETILIN sejak awal pembentukannya tahun 1974 bahkan
sampai ―menciptakan‖ figur Maubere sebagai representasi orang Timor Leste yang
ideal. Bahasa Tetun adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan; bahasa perjuangan.
Bahkan, dengan pengakuan Tetun sebagai bahasa Liturgi, maka penggunaan bahasa
Tetun meluas sehingga pesan-pesan perlawanan dan nasionalisme pun lebih mudah
dan luas tersebar.
Dengan hal ini, selain peran penting para pejabat Gereja Katolik dalam
perjuangan, penggunaan bahasa Tetun dalam liturgi juga dapat dilihat sebagai
―bersatunya‖ perjuangan nasionalisme Timor Leste dengan misi Gereja Katolik di
Timor Leste. Bahkan dengan sangat tegas, Ben Anderson menyatakan bahwa
pemilihan bahasa Tetun, bukan bahasa Indonesia, oleh pimpinan Gereja Katolik
sebagai bahasa liturgi memiliki efek nasionalisasi yang sangat dalam karena
keputusan tersebut untuk pertama kalinya mengangkat bahasa Tetun dari posisi
sebagai lingua franca menjadi ―bahasa Timor Leste‖; memadukan agama dengan
identitas.124
Maka tak mengherankan bahwa dalam survei yang dibuat oleh Leach,
124
Benedict Anderson. 2001. ―Imagining East Timor‖, Lusotopie 2001 : 233-239. Artikel ini pertama
kali dimuat dalam Arena Magazine, 4, April-May 1993 berdasarkan artikel Anderson yang menjadi
sebuah bahan kuliah di Monash University tahun 1992. Dapat diakses pada laman
http://www.arena.org.au. Pernyataan lengkapnya, ―Moreover, the decision of the Catholic hierarchy in
East Timor to use Tetum, not Indonesian, as the language of the Church, has had profoundly
nationalizing effects. It has raised Tetum from being a local language or lingua franca in parts of East
Timor to becoming, for the first time, the language of « East Timorese » religion and identity.‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
unsur ‗berbicara bahasa Tetun‘ dan ‗beragama Katolik‘ oleh para mahasiswa Timor
Leste sama-sama dipandang sebagai unsur yang paling penting untuk menunjukkan
identitas nasional Timor Leste baik pada tahun 2002, 2007 maupun 2010.125
Berdasarkan fenomena isi media dan faktor-faktor historis keistimewaan
bahasa Tetun serta keseriusan upaya pemerintah Timor Leste membuat standar dan
mengembangkan bahasa Timor Leste, maka penulis menangkap kesan bahwa bahasa
Tetun tampaknya dikembangkan sebagai bahasa resmi paling utama. Sementara itu,
mengingat bahasa bagi orang Timor Leste identik dengan suku, maka Tetun
tampaknya perlahan-lahan diperlakukan sebagai sebuah identitas secara nasional.
Terdapat alasan untuk mengatakan bahwa identitas nasional Timor Leste adalah
negara-bangsa Tetun; ―Ke-timorleste-an‖ identik dengan bahasa dan budaya Tetun.
B. Saran
Penelitian ini berbasis wacana tertulis yaitu teks multi-bahasa harian STL
edisi Mei 2017. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah negara
baru, topik konstruksi identitas nasional Timor Leste memiliki begitu banyak
dimensi. Dalam aspek politik bahasa, terjadi tegangan antara mempertahankan unsur-
unsur budaya lokal termasuk bahasa Tetun dengan kebutuhan menjadi negara yang
ikut berpartisipasi dalam dunia global melalui penggunaan bahasa Portugis, Indonesia
125
Leach, 2012. Op.cit. Secara detil: tahun 2002 sebanyak 83%, tahun 2007 sebanyak 86% dan tahun
2010 sebanyak 86% responden menganggap ‗berbicara Tetun‘ sebagai unsur terpenting dari identitas
sebagai bangsa Timor Leste; dan tahun 2002 sebanyak 81%, 2007 sebanyak 84% dan tahun 2010
sebanyak 78% menganggap unsur ―menjadi Katolik‖ sebagai unsur terpenting sebagai bangsa Timor
Leste.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
dan Inggris. Terkait sistem media massa, desakan kepentingan ekonomi mendorong
industri media melakukan komodifikasi terhadap fakta multi-bahasa di tengah
masyarakat Timor Leste.
Untuk itu, disarankan agar peneliti lain dapat menggunakan pendekatan
ekonomi-politik untuk memotret pengaruh faktor-faktor ekonomi yang
mempengaruhi proses penggunaan bahasa dalam media-media di Timor Leste.
Pendekatan ekonomi-politik dapat memperdalam temuan penelitian ini terutama
untuk memetakan aktor-aktor yang kini berperan penting dalam proses-proses
kebudayaan untuk membangun identitas nasional Timor Leste. Selain itu, pendekatan
ekonomi-politik diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana kekuatan ekonomi-
politik global dalam proses industri budaya di Timor Leste sebagai sebuah negara
yang baru merdeka di era globalisasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. Benedict. 2001. ―Imagining East Timor‖, Lusotopie 2001: 233-239.
Artikel ini pertama kali dimuat dalam Arena Magazine, 4, April-May 1993
berdasarkan artikel Anderson yang menjadi sebuah bahan kuliah di Monash
University tahun 1992. Dapat diakses pada laman http://www.arena.org.au.
________________ 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism. Revised Edition. London & New York: Verso.
Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Terj. B. Hendar Putranto. Yogyakarta:
Kanisius
Barros, J. De. 1993. Khasanah Budaya, Profile dan Prospek Peluang Investasi di
Timor Timur. Jakarta: Penerbit Anjungan Daerah Timor-Timur.
Belo, Domcarlos Filipe Ximenes. 2017. ―Mensagem Aos Cogressistas‖. Opini. Suara
Timor Lorosae, 18 Mei 2017.
Carey, Peter. 1995. ―Introduction: The Forging od a Nation: East Timor‖ dalam
Carey, Peter & G. Carter Bentley (Eds.), East Timor at the Crossroads: The
Forging of A Nation, New York: Social Science Research Council,
University of Hawai‘i Press.
Costa, L. 2000. Dicionário de Tetum-Português. Lisboa: Colibri.
Country Watch, 2017. East Timor: 2017 Country Review. Dapat diakses di laman
www.countrywatch.com.
El Chy. 2012. ―Suka Duka Koran Suara Timor Timur‖,
http://sergapntt.mlblogs.com/2012/03/13/suka-duka-koran-suara-timor-
timur/. Diakses tanggal 15 Januari 2018.
Engelenhoven, Aone van. 2008. Resensi Buku. Dalam Wacana Vol. 10, No. 2,
Oktober 2008, Jurnal FIB Universitas Indonesia, hlm. 355-356.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
____________________.2006. ―Ita-nia nasaun oin-ida, ita-nia dalen sira oin-seluk,
‘Our Nation is One, Our Languages Are Different‘; Language Policy in East
Timor‖ dalam Paulo Castro Seixas dan Aone van Engelenhoven (Eds.).
Diversidade Cultural na Construcao da nacao e do Estado em Timor. Porto:
Edições da universidade Fernando Pessoa.
Erwin, Muhamad. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditama.
Fairlclough, Norman. 1989. Language and Power. London & New York: Longman.
_________________. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of
Language. Harlow: Pearson.
Gandhi. Leela, 2006. Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terj
Yogyakarta: Qalam.
Glover, I. 1986. Archaeology in Eastern Timor, 1966-67. Canberra: RSPAS,
Australian National University.
Gunn, Geoffrey C. 2005. 500 Tahun Timor Lorosae. Terj. Nugroho Katjasungkana,
Agung Anom, Mateus Gonsalves, Dili & Nagasaki: Sa‘he Institute for
Liberation (SIL) & Nagasaki Univesity
Gusmao, Kristy Sword. Tanpa tahun. ―Timor Leste: Language and Identity in
Southeast Asia‘s Newest Nation.‖
Herz, F. 1966. Nationality in History and Politics. London: Routledge and Kegan
Paul.
_______.2000. Standard Tetun-English Dictionary. Sydney: Allen & Unwin.
______. 1999. ― Indonesia and East Timor: The Cultural Factors of Incompatability.‖
Studies in Languages and Cultures of East Timor 2, 55-67.
Hull, G. & L. Eccles, 2001. Tetum Reference Grammar. Sydney: Sebastião Aparício
da Silva Project/Dili: Instituto Nacional de Linguística.
Joseph, John E. 2004. Language and Identity: National, Ethnic, Religious. New
York: Palgrave Macmillan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Kammen, Douglas. 2003. Master-Slave, Traitor-Nationalist, Opportunist-Oppressed:
Political Metaphors In East Timor.
Kerry Taylor-Leech, 2008, ―Language and Identity in East Timor‖, Language
Problem & Language Planning 32: 2 (2008), 153-180.
Kingsbury, Damien. 2009. ―National Identity in Timor Leste: A Brief Comparative
Study‖, 2009, tanpa penerbit.
Kroskrity, Paul. 2000. ―Identity‖, Journal of Linguistic Antropology, Vol. 9, Issue 1-
2, page 111-114.
Leach, Michael. 2017. Nation-Building and National Identity in Timor Leste. New
York: Routledge.
____________.2012. ―Longitudinal change in East Timorese tertiary student attitudes
to national identity and nation building, 2002-2010.‖ Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, Vol. 168, no. 2-3 (2012), pp. 219-252. URL:
http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv
___________. 2010; Leach & Kingsbury, 2013, ―Introduction: East Timorese Politics
in Transition‖, dalam Leach, Michael and Kingsbury, Damien, (eds.), 2012,
The politics of Timor-Leste : democratic consolidation after intervention.
Ithaca: Cornell University Press.
____________.2007. ―Talking Portuguese: China and East Timor‖. Arena Magazine
(Fitzroy, Vic), No. 92, Dec 2007-Jan 2008: 6-8.
Lundry, Chris. 2006. ―Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme di
Timor Leste‖, WASKITA: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol.III,
No.2, Nov.2006: 177-195. Salatiga: UKSW
Majelis Konstituante Timor Leste. 2002. Undang-Undang Dasar Republik
Demokratis Timor Leste, Terjemahan Tidak Resmi.
Manhitu, Yohanes. 2015. Kamus Bahasa Portugis-Indonesia dan Indonesia-
Portugis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_______________.2007. Kamus Indonesia-Tetun, Tetun – Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
O‘Connor, Sue, et al.2010. Cave Archipelago and Sampling Issues in the Tropics:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
A Case Study from Lene Hara Cave, a 42,000 Year Old Occupation Site in
East Timor, Island Southeast Asia. Australian Archeology, Number 71,
December 2010.
Ormeling F.J. 1956. The Timor Problem, dalam J.B. Wolters Gronigen/Djakarta:
MJG
Rawnsley, Claire. 2008. ―East Timor: National Identity, History and Culture Wars‖,
Paper, dipresentasikan dalam Biennial Conference of the Asian Studies of
Australia di Melbourne 1-3 Juli 2008.
Saptono, Irawan.2001. ―Surat Kabar di Tengah Kecamuk‖, dalam Pantau, 2 Juli
2001; dapat diakses pada laman https://www.pantau.or.id/?/=d/32.
Savio, Dionisio Duarte. 2012. ―Timor Leste: Libur 9 Bulan Karena Bahasa‖, Diakses
dari http://lidahibu.com/2012/05/19/Timor-leste-libur-9-bulan-karana-bahasa
diakses Juli 2017.
Savio, E. da Conceição. 2002. Posisi Hegemonik UNTAET dalam Upaya resolesi
Konflik Timor Lorosae Pasca Jajak Pendapat Periode 1999-2002. MA Thesis,
Parahyangan Catholic University.
Sunardi, St. Tanpa Tahun. Penelitian Studi Humaniora: Beberapa Pertimbangan
dalam Persiapan Penelitian. Manuscript. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Sutrisno, Petrus Suryadi. 2017. ―Timor Leste Memiliki Dewan Pers‖, dalam
https://m.jpnn.com/news/timor-leste-miliki-dewan-pers?page=2 diakses 7
Desember 2017.
Taylor-Leech, Kerry. 2009. ―The language situation in Timor-Leste.‖ Current Issues
in Language Planning 10, 1, 1-68.
_________________. 2008. ―Language and Identity in East Timor‖, Language
Problem & Language Planning 32: 2 (2008), 153-180.
Thomas. Linda & Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Terj.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
UNESCO. 2011. Assessment of Media Development in Timor-Leste. New York:
UNESCO.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
UNMIT. 2011.Timor Leste Media and Communication Survey. Dili: UNMIT.
Williams-van Klinken, Catharina & Rob Williams, 2015. ―Mapping the mother
tongue in Timor Leste: Who Spoke what where in 2010?‖, Dili Institute of
Technology.
Artikel surat kabar & internet
Estudantes Tenke Aprofunda Lian Portugues, Artikel headline STL edisi 5
Mei 2017.
Funsionamentu Estadu, Unidade Nasional, & Establidade Nasaun. Husi Ami
(Tajuk Rencana) STL, 23 Mei 2017 (Tersa, 23 Maiu 2017).
https://m.suara.com/wawancara/201705/22/070000/ramos-horta-jdi-korban-
hoax-dan-nasib-jurnalis-timor-leste. Diakses 10 Januari 2018.
https://www.seapa.org/rancangan-uu-geliat-politik-dan-kebebasan-pers/ ;
diakses 7 Desember 2017.
https://www.kemlu.go.id/dili/id/berita-agenda/Pages/MediaTL.aspx
https://m.jpnn.com/news/wartawan-timor-leste-raimundos-oki-magang-di-
australia.
https://m.suara.com/wawancara/201705/22/070000/ramos-horta-jdi-korban-
hoax-dan-nasib-jurnalis-timor-leste. Diakses 10 Januari 2018.
https://www.seapa.org/rancangan-uu-geliat-politik-dan-kebebasan-pers/ ;
diakses 7 Desember 2017.
https://www.kemlu.go.id/dili/id/berita-agenda/Pages/MediaTL.aspx.
https://m.jpnn.com/news/wartawan-timor-leste-raimundos-oki-magang-di-
australia.
http://suara-timor-lorosae.com/profile; diakses pada 8 Desember 2017.
Hasil Wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Wawancara pertama dengan Domingos Saldanha, Pemimpin Redaksi STL di
Dili pada tanggal 24 Juli 2017.
Wawancara kedua tertulis melalui situs jejaring sosial dengan Domingos
Saldanha, Pemimpin Redaksi STL, pada tanggal 26 Maret 2018.
Wawancara dengan Yohanes Manhitu di Yogyakarta, 15 April 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
L A M P I R A N
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Lampiran 1. Rekapitulasi Jumlah Artikel & Bahasa yang Digunakan Harian STL
Edisi Mei 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
Lampiran 2. Teks Artikel Berita & Opini tentang Identitas Nasional Timor Leste dalam
STL Edisi Mei 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI