pneumo ko niosis

8
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 503 Pneumokoniosis Agus Dwi Susanto Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Abstrak: Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran napas terhadap partikel debu. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Mediator inflamasi yang pal- ing banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)- α, Interleukin-(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)- β. Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak di seluruh dunia. Ada tiga kriteria mayor dalam diagnosis pneumokoniosis: pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis disertai dengan periode laten, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi, dan tidak dapat diidentifikasi penyakit lain sebagai penyebab. Klasifikasi International Labour Organization (ILO) digunakan untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus. Tata laksana pneumokoniosis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengurangi kelainan ataupun menghentikan progresivitas pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. J Indon Med Assoc. 2011;61:503-510. Kata kunci: pneumokoniosis, patogenesis, diagnosis, tata laksana

Upload: aze-andrea-putra

Post on 30-Nov-2015

92 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pneumo Ko Niosis

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 503

Pneumokoniosis

Agus Dwi Susanto

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

Abstrak: Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi

debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. Reaksi utama

akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Faktor utama yang berperan pada patogenesis

pneumokoniosis adalah karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran

napas terhadap partikel debu. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar

memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Mediator inflamasi yang pal-

ing banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-

α, Interleukin-(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-

β. Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis

terbanyak di seluruh dunia. Ada tiga kriteria mayor dalam diagnosis pneumokoniosis: pajanan

yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis

disertai dengan periode laten, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi,

dan tidak dapat diidentifikasi penyakit lain sebagai penyebab. Klasifikasi International Labour

Organization (ILO) digunakan untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus.

Tata laksana pneumokoniosis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada

pengobatan yang efektif untuk mengurangi kelainan ataupun menghentikan progresivitas

pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. J Indon Med Assoc.

2011;61:503-510.

Kata kunci: pneumokoniosis, patogenesis, diagnosis, tata laksana

Page 2: Pneumo Ko Niosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011504

Pneumoconiosis

Agus Dwi Susanto

Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/

Persahabatan Hospital, Jakarta

Abstract: Pneumoconiosis is an occupational lung disease caused by dust deposition in the lungs

and the reaction of lung parenchim towards it. The major reaction caused by dust deposition in the

lungs is fibrosis. Major factors contributing to pathogenesis of pneumoconiosis were dust particle

characteristic, amount, duration of exposure and airway response to dust particle. Citotoxicity of

dust particle to alveolar macrophage has important role in pathogenesis of pneumoconiosis. The

inflammatory mediators which play major role in pathogenesis of pneumoconiosis includes tumor

necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor and transforming

growth factor (TGF)-β. Silicosis, asbestosis and coal worker pneumoconiosis are the most

frequent types of pneumoconiosis around the world. There are three major criteria in the diagno-

sis of pneumoconiosis: history of exposure with mineral dust that is possible to cause pneumoco-

niosis with laten period of exposure, specific appearance of the disease especially radiologic

abnormality and no other cause can be identified. International Labour Organization (ILO)

classification is used for radiologic interpretation for diffuse parenchimal abnormality. Manage-

ment of pneumoconiosis is symptomatic treatment. There is no effective treatment known to cause

regression of abnormality or stop progressivity of pneumoconiosis. Prevention is most important

action in pneumoconiosis. J Indon Med Assoc. 2011;61:503-510.

Keywords: pneumoconiosis, pathogenesis, diagnosis, management

Pneumokoniosis

Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula

pada kesehatan. Industri menimbulkan polusi udara baik di

dalam maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempe-

ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas

dan paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu,

gas ataupun asap yang timbul dari proses industri.1

Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat

kerja, terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah

yang mengancam para pekerja. Data World Health Organi-

zation (WHO) tahun 1999 menunjukkan bahwa terdapat 1,1

juta kematian oleh penyakit akibat kerja di seluruh dunia, 5%

dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang

dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work-

related and occupational respiratory disease (SWORD)

menunjukkan pneumokoniosis hampir selalu menduduki

peringkat 3-4 setiap tahun.2

Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia

mengenal proses penambangan mineral. Berbagai jenis debu

mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis.3-5 Debu asbes

dan silika serta batubara merupakan penyebab utama

pneumokoniosis. Debu mineral lainnya dapat juga me-

nyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampak

secara klinis dan radiologis setelah pajanan debu ber-

langsung 20-30 tahun. 2,5

Definisi

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu

“pneumo” berarti paru dan “konis” berarti debu. Terminologi

pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk menggam-

barkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi

debu mineral.3 Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan

berbagai keadaan berikut:6,7

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik

seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah

(stannosis)

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoko-

niosis batubara

3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti

kapas (bisinosis)

Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan

dengan inhalasi debu anorganik. Definisi pneumokoniosis

adalah deposisi debu di dalam paru dan terjadinya reaksi

jaringan paru akibat deposisi debu tersebut.4,8 International

Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokonio-

sis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan

debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap

debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru

adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada

kelainan reaksi non-neoplasma akibat debu tanpa me-

Page 3: Pneumo Ko Niosis

Pneumokoniosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011 505

masukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan

pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat

terjadi akibat pajanan debu dalam jangka lama.3

Epidemiologi

Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap

negara di dunia. Data SWORD di Inggris tahun 1990-1998

menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di

Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993

sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-

1999 sebesar 61%.9 Jumlah kasus kumulatif pneumokonio-

sis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan sampai

tahun 2008 mencapai 10 963 kasus.10 Di Amerika Serikat,

kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami

penurunan, pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 2 531 kasus

kematian.11

Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara

merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di Aus-

tralia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus

pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis

dan 6% pneumokoniosis batubara.12 Prevalensi pneumoko-

niosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat

dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya

kandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut.

Studi surveilans yang dilakukan di Michigan, Amerika

Serikat, antara tahun 1987 hingga 1995 menunjukkan bahwa

60% lebih dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah

bekerja selama minimal 20 tahun menderita silikosis. Tahun

1 ,1 5

3 ,1

9 ,8

1 ,71 ,5

5

0 ,5

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 0

% k

as

us

pn

eu

mo

ko

nio

sis

D a r m a n to

( B a tu b a r a ,

1 9 8 9 )

O S H C e n te r

( T a m b a n g

b a tu , 1 9 9 0 )

B a n g u n d k k

( T a m b a n g

b a tu , 1 9 9 8 )

K a s m a r a

( Pa b r ik s e m e n ,

1 9 9 8 )

O S H C e n te r

( K e r a m ik ,

2 0 0 0 )

Pa n d u d k k

( Pa b r ik p is a u

b a ja , 2 0 0 2 )

D a m a y a n t i d k k

( Pa b r ik s e m e n ,

2 0 0 5 )

Gambar 1. Beberapa Data Penelitian Pneumokoniosis di Indonesia

1996 silikosis dilaporkan terjadi pada 60 orang dari 1072 pekerja

pabrik mobil. Risiko penyakit ini meningkat seiring dengan

lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak 12% pekerja

dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menderita silikosis.9

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia

belum ada. Data yang ada adalah penelitian-penelitian berskala

kecil pada berbagai industri yang berisiko terjadi pneumoko-

niosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan prevalensi

pneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8% (gambar 1). Penelitian

Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan

prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%.13 Data

penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu

menemukan kasus pneu-mokoniosis sebesar 3,1%. Penelitian

oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu di

Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%.14

Kasmara (1998) pada pekerja semen menemukan kecurigaan

pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH center tahun 2000 pada

pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%.15

Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002

menemukan 5% gambaran radiologis yang diduga pneumoko-

niosis. Damayanti et al. pada pabrik semen menemukan

kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.13

Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Debu adalah aerosol yang tersusun dari partikel-partikel

padat yang bukan termasuk benda hidup. Respons jaringan

tubuh seseorang terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain sifat fisik, kimia dan faktor

Page 4: Pneumo Ko Niosis

Pneumokoniosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011506

pejamu.4,7,17 Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat

pajanan debu. Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar

debu rata-rata di udara dan waktu pajanan terhadap debu

tersebut.3,4,16

Sifat fisik

Beberapa sifat fisik agen/bahan yang terinhalasi sangat

mempengaruhi respons jaringan paru. Keadaan fisik seperti

bentuk partikel uap atau gas, ukuran dan densitas partikel,

bentuk dan kemampuan penetrasi mempengaruhi sifat migrasi

dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh,

contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan silika

menyebabkan reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti

mangan dan berrylium mempunyai efek sistemik. Gas dan

uap yang relatif tidak larut seperti nitrogen oksida terinhalasi

sampai saluran napas kecil sedangkan yang larut seperti

amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di hidung

dan nasofaring. Sifat higroskopis partikel meningkatkan

ukurannya bila melalui saluran napas bawah. Sifat elek-

triksitas partikel juga menentukan letak deposisi di saluran

napas.

Sifat Kimia

Beberapa sifat kimia yang penting adalah sifat asam

atau basa, interaksi atau ikatan dengan substansi lain, sifat

fibrogenisitas dan sifat antigenisitas. Sifat asam atau basa

suatu bahan berhubungan dengan efek toksik pada silia,

sel-sel dan enzim. Beberapa bahan mempunyai kecen-

derungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan

jaringan. Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai

efek sistemik sedangkan komponen fluorin mungkin

mempunyai efek lokal dan sistemik. Sifat fibrogenisitas

merupakan sifat suatu bahan menimbulkan fibrosis jaringan.

Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi

jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan

asbes. Contoh debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur,

karbon dan timah. Sifat antigenisitas merupakan sifat bahan

untuk dapat merangsang antibodi, contohnya spora jamur

bila terinhalasi dapat merangsang respons imunologi.

Faktor Pejamu (host)

Faktor pejamu (host) berperan penting pada respons

jaringan terhadap agen/bahan terinhalasi. Gangguan sistem

pertahanan paru alami seperti kelainan genetik akan

mengganggu kerja silia, kecepatan bersihan dan fungsi

makrofag. Kecepatan dan rerata bersihan adalah karakteristik

bawaan. Gangguan sistem pertahanan paru didapat

contohnya karena obat-obatan, asap rokok, temperatur dan

alkohol mempengaruhi fungsi silia dan fungsi makrofag.

Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru

mempengaruhi pola pernapasan yang pada akhirnya

mempengaruhi deposisi agen/bahan terinhalasi. Keadaan

imunologi contohnya alergi atau atopi mempengaruhi

respons terhadap suatu agen.

Mekanisme Deposisi Partikel di Saluran Napas

Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas

dan paru dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu,

waktu pajanan, rerata pernapasan dan volume tidal. Kon-

sentrasi debu yang berhubungan dengan pneumokoniosis

diperkirakan >5000o/cc udara.4 Debu yang mudah dihirup

berukuran 0,1 sampai 10 mikron.7 Deposisi partikel debu di

saluran napas dan paru terjadi melalui mekanisme impaksi,

sedimentasi dan difusi atau gerak Brown.

Impaksi

Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak

dapat berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat

hal tersebut banyak partikel tertahan di mukosa hidung, far-

ing ataupun percabangan saluran napas besar. Sebagian

besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm tertahan di

nasofaring. Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel

tertahan di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah

arah.4,18

Sedimentasi

Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap

sesuai dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel

berukuran sedang (1-5 mm). Umumnya partikel tertahan di

saluran napas kecil seperti bronkiolus terminal dan bronkiolus

respiratorius.4,18 Debu ukuran 3-5 mikron akan menempel pada

mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu

respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru.

Mekanisme terjadi karena kecepatan aliran udara sangat

berkurang pada saluran napas tengah.4,7 Sekitar 90% dari

konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan dari alveoli,

10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan

pneumokoniosis.7,17

Difusi

Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan

aliran udara. Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil.

Debu dengan ukuran 0,1 mm sampai 0,5 mm keluar masuk

alveoli, membentur alveoli sehingga akan tertimbun di dinding

alveoli (gerak Brown).4,7,18

Mekanisme Pertahanan Paru terhadap Partikel Terinhalasi

Sebagian besar debu yang terinhalasi akan difiltrasi oleh

saluran napas atas atau dibersihkan oleh silia di saluran napas

besar.5 Pada prinsipnya sistem pertahanan tubuh terhadap

partikel atau debu yang terinhalasi terdiri atas tiga sistem

pertahanan yang saling berkaitan dan bekerja sama yaitu:

l Garis pertahanan pertama adalah filtrasi mekanik udara

inspirasi di saluran napas atas dan bawah.4,17 Filter

saluran napas atas terdiri atas rambut-rambut dan lipatan

mukosa (konka) yang menimbulkan turbulensi udara

sehingga partikel tertahan di saluran napas atas.5

Efektivitas filtrasi tersebut menentukan deposit partikel

Page 5: Pneumo Ko Niosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011

Pneumokoniosis

507

pada saluran napas. Reseptor saluran napas berperan

dalam menimbulkan konstriksi otot polos bronkus

terhadap iritasi kimia dan fisik, menurunkan penetrasi

partikel dan gas berbahaya serta mencetuskan bersin

dan batuk.4,17

l Garis pertahanan ke-2 yaitu cairan yang melapisi saluran

napas dan alveoli serta mekanisme bersihan silia

(bersihan mukosiliar). Cairan tersebut berfungsi sebagai

pertahanan fisik dan kimia berisi bahan yang mempunyai

sifat bakterisidal dan detoksifikasi.4,17 Mekanisme

bersihan mukosiliar (mukus disekresi oleh sel goblet dan

kelenjar submukosa) membuat partikel dikeluarkan

kembali ke laring dan akhirnya ditelan.5

l Garis pertahanan ke-3 adalah pertahanan spesifik paru

yang terbagi atas 2 sistem utama yaitu imunitas humoral

(produksi antibodi) dan imunitas seluler (limfosit T).4,17

Makrofag merupakan sistem pertahanan seluler yang

membersihkan semua partikel kecil. Makrofag alveolar

membersihkan partikel yang terdeposit dengan meka-

nisme fagositosis.5

Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneu-

mokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh

khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.

Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan

menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumoko-

niosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveo-

lar memegang peranan penting dalam patogenesis pneu-

mokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik

dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan

partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandungan

besi juga merupakan hal yang terpenting pada patogenesis

pneumokoniosis.2

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons

makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi

paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses

selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel

debu.2 Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut

aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik

cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran

utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas

bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan

saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fi-

brosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.

Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert

dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan

reaksi jaringan yang minimal.6,7 Debu inert akan tetap berada

di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena

umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis

lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di

dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke

bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu

yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis

makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut

yang diikuti dengan fibrositosis.2 Menurut Lipscomb,2

partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk

mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu

respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibro-

blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak

berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor

Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet

derived growth factor dan transforming growth factor

(TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting

untuk proses fibrogenesis.5 Mediator makrofag penting yang

bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan, pengum-

pulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah2:

l Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.

l Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis

terhadap leukosit.

l Sitokin IL-1, TNF-α, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang

berperan dalam fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis

pneumokoniosis. Pappas2 merangkum sitokin yang diha-

silkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu

yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibro-

sis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor

fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta

faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping

proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih

penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila

partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer

ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang

masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya

integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan

makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses

fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk

dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag

interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke

kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me-

diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang

dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1

menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko-

niosis.2

Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang

terjadi pada pneumokoniosis.2 Debu silika dan asbes

mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim

dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari

silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan

makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara.

Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada

pajanan debu campuran.6,7 Empat gambaran respons patologi

terlihat pada pneumokoniosis yaitu fibrosis interstisial, fi-

brosis nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema

fokal dan pembentukan makula.4

Page 6: Pneumo Ko Niosis

Pneumokoniosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011508

Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu

penyebabnya, pajanan asbes menyebabkan asbestosis, debu

silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara menye-

babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.3 Secara

ringkas beberapa yang dikategorikan pneumokoniosis

berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada tabel 1.

Diagnosis

Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan

hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang

dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama,

pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai

dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan

periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan

anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan

kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta

kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan

kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis

Tabel 1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu

Penyebabnya3,5,8,19

Jenis debu Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batubara Pneumokoniosis batubara

Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Timah Stanosis

Talk Talkosis (talc pneumoconiosis)

Aluminium Aluminosis

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu antimony Antimony pneumoconiosis

Debu mineral barite Baritosis

(barium sulfat)

Debu karbon Pneumokoniosis karbon

Debu polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC

Debu polyvinylpyrrolidine Thesaurosis

(PVP)

Debu bakelite Pneumokoniosis bakelite

Titanium oksida Pneumokoniosis titanium

Zirkonium Pneumokoniosis zirkonium

Silicon carbide Carborundum pneumoconiosis

Hard metal Tungsten carbide pneumoconiosis

(hard metal disease)

Nylon flock Flock Worker’s Lung

Debu campuran

- Campuran silika dan besi Silikosiderosis (Hematite pneumo-

coniosis)

- Silikat (campuran silikondi- Silikatosis

oksida, magnesium, alumi-

nium oksida, kalsium )

- Slate (campuran mica, Slate-workers pneumoconiosis

feldspar, crystalline quarts)

- Kaolin (partikel multilayer Pneumokoniosis kaolin

mengandung aluminium hi-

droksida dan silikon oksida)

- Mica (aluminium dan pota- Mica pneumoconiosis

sium silikat)

seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas

saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah

pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada

kelainan radiologi dapat membantu menen-tukan jenis

pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta

abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumoko-

niosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumoko-

niosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang

menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan

mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti

sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau inter-

stitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan

penyakit kolagen vaskular.5

Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk

membantu dalam diagnosis pneumokoniosis yaitu

pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis

debu penyebab.

Pemeriksaan Radiologi

lllll Foto Toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar

menurut International Labour Organization (ILO) untuk

interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang

terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epide-

miologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk mem-

bantu interpretasi klinis.3 Perselubungan pada pneumoko-

niosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan halus dan

kasar. Klasifikasi standar ILO tersebut dapat dilihat pada tabel

2.20

lllll Computed Tomography (CT) scan

Computed tomography (CT) scan bukan merupakan

bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi.

Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara indi-

vidual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang

terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau

menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaam

dengan opasiti yang ada.5 High resolution CT (HRCT) lebih

sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi

abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan

pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada

pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high at-

tenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi

bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bron-

kiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperatte-

nuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis,

pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat

opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan

pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus

pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine branching

lines dan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis

menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan in-

tralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey

comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran

Page 7: Pneumo Ko Niosis

Pneumokoniosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011

Tabel 2. Klasifikasi ILO Gambaran Radiologi Pneumokoniosis20

Gambaran radiologi Deskripsi

Perselubungan halus

Bercak kecil bulat

p Diameter sampai 1,5 mm

q Diameter 1,5 - 3 mm

r Diameter 3-10 mm

• Bercak kecil ireguler/tidak beraturan

s Diameter sampai 1,5 mm

t Diameter 1,5 - 3 mm

u Diameter 3-10 mm

Kerapatan Kerapatan berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona yang terkena

0/- 0/0 0/1 Kategori 0 - tidak terlihat perselubungan lingkar kecil atau kerapatan kurang dari kategori 1

1/0 1/1 1/2 Kategori 1 - terlihat perselubungan lingkar kecil dengan jumlah relatif sedikit

2/1 2/2 2/3 Kategori 2 - terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil. Corakan paru tidak terlalu jelas

3/2 3/3 3/4 Kategori 3 - banyak terlihat perselubungan lingkar kecil. Corakan paru sebagian atau keselu-

ruhan tidak jelas

Perselubungan kasar

A Satu perselubungan dengan diameter 1-5 cm atau beberapa perselubungan dengan diameter

masing-masing lebih dari 1cm, tetapi bila tiap perselubungan dijumlahkan maka tidak

melebihi 5 cm

B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak dibandingkan kategori A

dengan jumlah luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas

C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya melebihi luas lapangan paru kanan atas

atau sepertiga lapangan kanan

HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan

tidak spesifik, masing-masing mempunyai karakteristik

sendiri.21

Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu

studi epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagno-

sis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru

memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan

pemeriksaan kapasitas difusi (DLco),5 namun tidak selalu

tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai

hendaya yang telah terjadi.3,5 Pada pneumokoniosis dapat

ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi

obstruksi, restriksi ataupun campuran.3 Sebagian besar

penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber-

hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di

parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang

luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi.10,22

Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan

konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan

pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok

pada populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah

obstruksi yang terjadi karena efek debu terinhalasi atau efek

rokok.8

Analisis Debu Penyebab

Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti

pajanan bahan di lingkungan kerja dengan analisis bahan

biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi

transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu

mineral atau produk metabolismenya.3 Pemeriksaan BAL

membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan BAL

dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu

kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop

elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes

dan asbestos body (AB) pada pemeriksaan BAL.5,23 AB adalah

bahan yang terbentuk secara intraselular dan berasal dari

satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat

asbes. Penemuan AB menjadi stándar baku emas penegakkan

diagnosis asbestosis.23 Pada silikosis, makrofag yang

ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin

lama riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin

banyak ditemukan makrofag tersebut. Selain itu, nodul

silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi

silikosis.23,24

Tata Laksana

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi,

menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya

dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya

terbatas hanya pengobatan simptomatik.3 Tidak ada

pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi

kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokonio-

sis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting.

Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah

dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus

dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk

pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat

untuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab

masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan

509

Page 8: Pneumo Ko Niosis

Pneumokoniosis

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 12, Desember 2011

seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat dilakukan bila

dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

dan pence-gahan infeksi dengan vaksinasi dapat diper-

timbangkan.5

Daftar Pustaka

1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. In:

Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B,

editor. Pulmonologi klinik. 1st Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

1992. p. 05-42.

2. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi.

In: Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara,

et al. Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru

Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin; 2003. p. 183-216.

3. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason

RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of

Respiratory Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;

2005. p. 1748-82.

4. Morgan WKC. The depotition and clearance of dust from the

lungs. Their role in etiology of occupational lung disease. In:

Morgan WKC, Seaton A, editors. Occupational lung disease. 3rd

ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p. 111-26.

5. Demedts M, Nemey B, Elnes P. Pneumoconioses. In: Gibson GJ,

Gedder DM, Costales U, Sterk PJ, Cervin B, editor. Respiratory

Medicine. 3rd ed. London: Elsevier Science; 2003. p. 675-92.

6. Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Muray, Nadel, editor. Text-

book of respiratory medicine. 1st Ed. Philadelphia: WB Saunders

Company; 1988. p. 1556-92.

7. Yunus F. Pneumokoniosis. Paru. 1994;22-8.

8. Mapel D, Coultas D. Disorders due to minerals other than silica,

coal and asbestos and to metals. In: Hendrick DJ, Burge PS,

Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the

lung: recognition, management and prevention. 1st ed. London:

WB Saunders Company: 2002. p. 163-90.

9. Meredith S, Blanc PD. Surveillance: clinical and epidemiological

perspectives. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A.

Occupational disorders of the lung; Recognition, management,

and prevention. London: WB Saunders; 2002. p. 7-24.

10. Liang ZX, Wong O, Fu H, Hu TX, Xue SZ. The economic burden

of pneumoconiosis in Cina. [Cited 2009 Feb. 8]. Available from:

www.ocenvmed.com.

11. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Changing

patterns of pneumoconiosis mortality-United States, 1968-2000.

MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004;53:627-32.

12. Smith DR, Leggat PA. 24 years of pneumoconiosis mortality

surveillance in Australia. J Occup Health. 2006; 48:309-13.

13. Menaldi Rasmin. Kedokteran respirasi, pemahaman sebuah

perjalanan. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar

tetap dalam bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

FKUI. FKUI: Jakarta: 2008.

14. Bangun U, Widjaya M. Analisis epidemiologis pneumokoniosis

berdasarkan X ray paru klasifikasi standar international labour

organization (ILO) pada pekerja tambang batu P.T. A di Bandung

Jawa Barat [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1998.

15. National and Occupational Safety and Health Center. Pneumo-

coniosis in Indonesia. Presented at: The ILO/OSH Center na-

tional training workshop. Prevention of pneumoconiosis. Using

the ILO International Classification of radiographs of pneumo-

coniosis, 2000. Jakarta, 19-22 November 2007.

16. Peter JM, Murphy RL, Ferris BG, Buryess WA. Pulmonary func-

tion in shippyard welders. Arch Environt Health. 1993;6:26-8.

17. Gregory J. A survey of pneumoconiosis at a Sheffield steei foundry.

Arch Environt Health. 1993;6:29-34.

18. West JB. Enviromental and other diseases. In: West JB. Pulmo-

nary pathopysiology. The essentials. 6th ed. Baltimore: Lippincott

Williams & Wilkins; 2003. p. 123-41.

19. Morgan WKC. Other pneumoconiosis. In: Morgan WKC, Seaton

A. Occupational lung disease. 3rd Ed. Philadelphia: WB Saunders

Company; 1995. p. 407-56.

20. International Labour Organization. Guidelines for the use of the

ILO International Classification of Radiographs of pneumoco-

niosis. Revised edition 2000. Geneva; International Labour Of-

fice, 2002.

21. Akira M. High-resolution CT in evaluation of occupational and

environmental disease. Rad Clin North Am. 2002;40:1-13.

22. American Association for Respiratory Care. AARC Clinical prac-

tice guideline: single breath carbon monoxide diffusing capacity-

1999 update. Respir Care. 1999;44:539-46.

23. Cordeiro CR, Jones JC, Alfaro T, Ferreira AJ. Bronchoalveolar

lavage in occupational lung diseases. Semin Respir Crit Care Med.

2007;28:504-13.

24. Christman JW, Emerson RJ, Graham WGB, Davis GS. Mineral

dust and cell recovery from the bronchoalveolar lavage of healthy

vermont granite workers. Am Rev Resp Dis. 1985;132:393-9.

IAKM/FS

510