politik ekonomi belanda terhadap lampung pada...
TRANSCRIPT
POLITIK EKONOMI BELANDA TERHADAP LAMPUNG
PADA TAHUN 1800-1942
TESIS
Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh
gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
Oleh:
Yuli Kristian
NIM: 21160221000003
MAGISTER SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim, segala puji bagi Allah, Rabb
Semesta Alam yang telah mengaruniakan nikmat kepada penulis
berupa kesempatan memasuki dunia keilmuan dan memberi
kekuatan dalam menuntaskan penulisan tesis yang merupakan
bagian dari kewajiban sebagai mahasiswa pada Program Magister
Sejarah dan Kebudayaan Islam di Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hadirnya
karya ini tidak sekadar sebagai pemenuhan syarat formal bagi
gelar Magister Humaniora, tapi lebih jauh untuk meningkatkan
kapasitas diri sebagai pembelajar sejarah dan menangkap makna
dari peristiwa.
Tesis yang saya beri judul “Politik Ekonomi Belanda
terhadap Lampung pada tahun 1800-1942” bertujuan
merekonstruksi strategi kolonialis membangun hegemoni melalui
serangkaian kebijakan ekonominya atas Bumi Lada, Lampung,
negeri yang berpemerintahan marga-marga. Upaya hegemonik
yang dilakukan sejak berdirinya Hindia Belanda hingga
kedatangan Jepang yang mengambil alih kuasa, dimulai dengan
penguasaan teritorial sampai mengungkungi para penguasa
tradisional.
Beralih ke balik layar, penulisan karya ini tidak terlepas
dari dukungan orang-orang hebat dan kuat yang turut menguatkan
penulis sejak mula hingga purna. Maka di kesempatan ini, penulis
menghaturkan penghargaan dan rasa terimakasih kepada:
iii
1. Saiful Umam, M.A., Ph.D., selaku dekan Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Amelia Fauzia, M.A., Ph.D., selaku ketua Program Magister
Sejarah dan Kebudayaan Islam.
3. Muknin Suprayogi, M.Si., selaku sekretaris Program
Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam.
4. Dr. Awalia Rahma, M.A., selaku pembimbing sekaligus
“pendukung” yang totalitas mencurahkan waktu, tenaga, dan
pikirannya dalam berdiskusi dan memberi saran, baik secara
online maupun menampung kehadiran penulis dengan keluh
kesahnya di pertemuan nyata, serta memberi jalan pada
penemuan sumber-sumber sejarah bagi penulisan ini.
5. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag., sebagai penguji I yang
telah menyampaikan pandangan, kritik, saran, dan diskusinya
sejak WIP hingga sidang promosi.
6. Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A., sebagai penguji II yang
telah menyampaikan pandangan, kritik, saran, dan diskusi
kepada penulis untuk membuka lebih luas cakrawala
pemikiran sejak sidang komprehensif hingga promosi.
7. Prof. Dr. Budi Sulistiono, Prof. Dr. Dien Madjid, Prof. Dr.
Sudarnoto Abdul Hakim, Dr. Abdul Chair, Dr. Halid, M.Ag,
Dr. Frans Sayogie, Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag., Dr.
Zakiya Darajat, dan Dr. Darsita Suparno, selaku para dosen
pengampu berbagai mata kuliah yang telah memberikan
banyak ilmu dan diskusi ilmiahnya semasa penulis
menempuh studi pada Program Magister SKI.
iv
8. Para sahabat inspiratif, kompetitif, dan suportif Magister
Sejarah dan Kebudayaan Islam Angkatan 2016.
9. Para sahabat inspiratif Magister Bahasa dan Sastra Arab
Angkatan 2016.
10. Warga kosan Ciamik dan para sahabat sepanjang pergaulan
yang selalu memberi dukungan.
11. Adinda tersayang, Miranti Ratna Dewi yang selalu ada dan
membantu dengan penuh perhatian dan ketulusan.
Menjadikan Mas-nya ini punya kekuatan tambahan dan
ketenangan, bahwa perjuangan ini pasti akan dituntaskan.
12. Penghormatan penuh takzim kepada kedua orangtua ter-
segalanya, Bapak Milwani dan Mamak Larasati, untuk
keduanya hasil perjuangan ilmiah ini kupersembahkan. Di
tengah keterbatasan, ada sebuah janji sekaligus tekad yang
saya ikrarkan di hadapan keduanya empat belas tahun lalu,
“jika harus merangkak demi tingginya ilmu, maka akan ku
tempuhi itu”, dan ini adalah bagian dari ejawantahnya.
Akhirnya, semoga karya ini bernilai manfaat bagi
keilmuan dan siapapun yang berminat pada kajian ini, serta
menjadi wasilah kebaikan bagi penulis. Aamiin.
v
ABSTRAK
Yuli Kristian, Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung pada
Tahun 1800-1942.
Tesis ini bertujuan mengungkap strategi yang ditempuh
Belanda untuk menguasai Lampung dalam bidang ekonomi yang
meliputi sektor produksi, distribusi, konsumsi, dan
ketenagakerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis
menggunakan metode sejarah yang dipadupadankan dengan
pendekatan politik dan ekonomi. Sumber primer yang digunakan
meliputi arsip, koran, majalah, dan studi pustaka dari hasil
penelitian yang mendukung sebagai sumber sekunder.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa langkah yang
ditempuh Belanda dalam menguasai bidang ekonomi dilakukan
dalam dua fase: pertama, akuisisi teritori yang prosesnya sudah
berjalan sejak masa VOC untuk membangun hegemoni politik,
kedua, melakukan eksploitasi dan membangun hegemoni
ekonomi melalui strategi politik ekonomi yang diterapkan di
keempat sektor tersebut yang ujungnya berpengaruh pada
dimensi sosio-kultural bagi masyarakat Lampung hingga saat ini.
Kata kunci: ekonomi, politik, Lampung, kolonial, Belanda.
vi
ABSTRACT
Yuli Kristian, Dutch Economic Politics toward Lampung in
1800-1942.
This thesis aims to uncover the strategies implemented by
the Dutch to dominate Lampung in the economic field which
includes production, distribution, consumption, and employment
sectors. To achieve this goal, the author uses historical methods
combined with politics and economics approaches. The primary
sources historical include archives, newspapers, magazines, and
literature studies from the results of research that supports
secondary sources.
The findings indicate that the steps taken by the Dutch in
dominating the economic field were carried out in two phases:
first, the acquisition of territory whose process has been going on
since the VOC era to build political hegemony, second, to
exploit and build economic hegemony through political economy
strategies that are applied in the four sectors whose ends affect
the socio-cultural dimension for the people of Lampung today.
Keywords: economics, politics, Lampung, colonial, Dutch.
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................................... i
Abstrak ..................................................................................... v
Daftar Isi ................................................................................... vii
Daftar Tabel .............................................................................. xi
Daftar Grafik ............................................................................ xiii
Daftar Istilah ............................................................................. xiv
BAB I
Pendahuluan ........................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 12
C. Batasan Masalah ............................................................... 13
D. Rumusan Masalah ............................................................. 13
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 14
F. Sistematika Penulisan ....................................................... 15
BAB II
Metodologi .............................................................................. 17
A. Metode Penelitian ............................................................. 17
B. Landasan Teori ................................................................... 22
C. Kajian Pustaka .................................................................. 37
D. Kerangka Berpikir ............................................................. 43
BAB III
Prakondisi Lampung Menuju Kolonialisme Belanda ........ 45
A. Kondisi Geografis Lampung ............................................. 45
B. Kondisi Demografi Lampung ........................................... 49
C. Mengenal Sosial Budaya Tanoh Lampung ....................... 52
1. Pengelompokan Orang Lampung ................................ 54
2. Falsafah Hidup Orang Lampung ................................. 56
3. Pengaruh Sosial Budaya
terhadap Kolonialisasi Belanda ................................... 60
D. Model Pemerintahan Lokal di Lampung .......................... 64
BAB IV
Akuisisi dan Hegemoni Belanda atas Lampung .................. 71
viii
A. Akuisisi Teritori ................................................................ 71
1. Penyerahan (Cessie) Lampung di Masa VOC ............ 71
2. Penaklukan (Conquest) Lampung oleh Belanda ......... 75
a. Daerah Munculnya Perlawanan .......................... 76
1) Embrio Perlawanan di Pesisir Selatan
Bagian Timur ................................................ 78
2) Embrio Perlawanan di Pesisir Selatan
Bagian Barat ................................................. 81
b. Upaya Resistensi Lampung ................................ 83
1) Persiapan Perlawanan ................................... 84
2) Penggalangan Persekutuan ........................... 87
3) Eskalasi Perang dan Perundingan Damai ..... 87
c. Ekspedisi Militer Belanda
dan Sketsa Perang Lampung ............................... 90
B. Hegemoni Politik dan Ekonomi ......................................... 96
1. Peran Lembaga Ilmiah dalam Penguatan Hegemoni .. 96
2. Politik: Penataan Sistem Administrasi Pemerintahan . 101
3. Ekonomi: Penataan Perekonomian Lampung ............. 107
a. Sentralisasi Distrik Lampung .............................. 107
b. Teluk Betung sebagai Ibukota
Administrasi dan Ekonomi ................................. 109
c. Potensi dan Hambatan Pembangunan Ekonomi . 111
d. Lampung dalam Regionalisasi Perekonomian
Sumatera Selatan ................................................. 113
BAB V
Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung
pada Tahun 1800-1942: Saluran Eksploitasi ....................... 117
A. Penerapan Politik Ekonomi di Lampung .......................... 117
1. Cultuurstelsel (1830-1870) ......................................... 117
2. Ekonomi Liberal (1870-1900) .................................... 119
3. Politik Etis (1900-1942) .............................................. 124
B. Saluran Eksploitasi Kolonial ............................................. 126
1. Politik Ekonomi di Sektor Produksi ............................ 126
a. Budidaya Lada pada Masa Cultuurstelsel
hingga Liberal ....................................................... 127
1) Lahan dan Metode Budidaya .......................... 129
2) Manajemen Pemasaran .................................. 137
b. Budidaya Karet dan Kopi
pada Masa Politik Liberal ..................................... 142
ix
1) Budidaya Karet ............................................... 142
2) Budidaya Kopi ................................................ 151
3) Budidaya Karet dan Kopi oleh Perusahaan
Swasta Belanda ............................................... 155
c. Peningkatan Produksi Beras
pada Masa Politik Etis .......................................... 165
2. Politik Ekonomi di Sektor Distribusi .......................... 167
a. Jalan Raya ............................................................. 169
1) Pembangunan Infrastruktur Jalan .................... 169
2) Pembangunan Jalan
dan Wilayah yang Dihubungkan ..................... 171
b. Moda Transportasi Kereta Api .............................. 173
1) Alasan Pentingnya Mengadakan Jaringan
Kereta Api ....................................................... 173
2) Peraturan Penggunaan Jasa dan Tarif ............. 178
c. Pelabuhan .............................................................. 180
1) Kebijakan Pelayanan Koneksi
antar-Wilayah .................................................. 183
2) Volume Arus Barang dan Penumpang ............ 185
3. Politik Ekonomi Sektor di Konsumsi ......................... 187
a. Konsumsi Beras .................................................... 187
b. Impor Garam Berdasarkan Kebijakan Monopoli .. 190
c. Konsumsi Barang dan Jasa Mewah ...................... 194
d. Penarikan Pajak ..................................................... 196
BAB VI
Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung
pada Tahun 1800-1942: Ketenagakerjaan
dan Dampaknya ..................................................................... 199
A. Klasifikasi Perusahaan di Lampung .................................. 199
B. Hubungan Perkembangan Perusahaan
dan Kebutuhan Tenaga Kerja ............................................ 200
1. Jenis Tenaga Kerja ...................................................... 202
2. Pemenuhan Pasokan Tenaga Kerja
dengan Kolonisasi ....................................................... 206
3. Jenis Kolonisasi .......................................................... 210
a. Kolonisasi Pertanian ............................................. 211
b. Kolonisasi Perusahaan .......................................... 219
C. Dampak Sosial-Ekonomi .................................................. 225
1. Status Penggunaan Tanah bagi Kolonisasi ................. 226
x
2. Posisi Kolonisasi di antara Sistem Marga ................... 227
3. Perbedaan Kebijakan Kolonisasi Dalam
dan Luar Marga ........................................................... 231
BAB VII
Penutup ................................................................................... 234
A. Kesimpulan ....................................................................... 234
B. Saran ................................................................................. 240
xi
Daftar Tabel
1. Data sebaran penduduk berdasaran suku bangsa
per wilayah ..................................................................... 50
2. Data pertumbuhan penduduk berdasarkan suku bangsa 51
3. Data jumlah penduduk ................................................... 51
4. Klasifikasi marga yang diakui Pemerintah Belanda ...... 103
5. Luas area garapan kebun lada ........................................ 130
6. Transaksi lada ................................................................ 135
7. Ekspor lada dalam beberapa tahun ................................. 141
8. Perbandingan ekspor kopi dari residensi
di Sumatera Selatan ........................................................ 154
9. Perusahaan perkebunan di Lampung tahun 1892-1914 . 157
10. Jumlah tanaman karet dan kopi perusahaan ................... 163
11. Jumlah hasil panen ......................................................... 163
12. Sumbangsih perusahaan perkebunan di Lampung
terhadap produksi Hindia Belanda ................................. 164
13. Arus keluar masuk beras hasil program irigasi .............. 167
14. Tahapan pembangunan dan pengoperasian
jalur kereta api ................................................................ 177
15. Peraturan angkutan barang dan tarif moda kereta api ..... 179
16. Ikhtisar angkutan barang dan penumpang ..................... 179
17. Volume angkutan barang per pelabuhan ........................ 185
18. Volume angkutan penumpang per pelabuhan ................ 186
19. Konsumsi beras berdasarkan volume impor ................... 189
20. Nilai pasokan garam pemerintah .................................... 192
21. Ragam konsumsi lainnya berdasarkan nilai impor ........ 193
22. Jumlah kepemilikan kendaraan ...................................... 194
xii
23. Jumlah rumah sampai tahun 1920 .................................. 195
24. Perbandingan jumlah penduduk Sumatera Selatan
yang melaksanakan ibadah haji ...................................... 195
25. Pendapatan pemerintah dari sektor pajak........................ 197
xiii
Daftar Grafik
1. Penurunan ekspor karet Kebo dari residensi
di Sumatera Selatan ........................................................ 145
2. Penurunan luas lahan dan produksi karet Kebo
di Jawa dan Madura ....................................................... 146
3. Perbandingan total ekspor kopi rakyat dan perusahaan
dari residensi di Sumatera Selatan ................................. 154
xiv
Daftar Istilah
Afdeling Sebuah wilayah administratif pada masa
pemerintahan Hindia Belanda setingkat
kabupaten yang dikepalai seorang asisten
residen.
Bandar Nama jabatan dari sultan Banten bagi
pemimpin komunitas migran di Lampung
yang terlibat dalam perdagangan lada.
Hak Octrooi Disebut juga hak piagam, yakni hak-hak
istimewa yang diberikan pemerintah Belanda
kepada VOC.
Janggolan Iuran masyarakat untuk penghasilan bagi
pamong desa.
Jenjen/Jenang Perwakilan sultan Banten di Lampung yang
bertugas menghimpun hasil bumi untuk
dikirim ke Banten.
Kebuayan Tempat pemusatan berkumpulnya kerabat
yang berasal dari satu pertalian darah atau
keturunan, istilah tersebut juga dikenal dengan
paksi (kesatuan buay inti atau klan).
Keratuan Persekutuan hukum adat. Yang dimaksud
dengan istilah ratu ialah penguasa wilayah
tanah dan lingkungan kekerabatan adat.
Keresidenan (Ejaan lama: karesidenan) sebuah wilayah
administratif pada masa pemerintahan Hindia
Belanda yang dikepalai seorang residen.
xv
Marga Institusi genealogis teritorial yang
menjalankan pemerintahan adat dengan asas
kekerabatan.
Negara Rendah (Belanda: de Lage Landen; Prancis: les Pays-
Bas) adalah istilah bagi wilayah pesisir di
Eropa Barat yang terdiri dari Belanda, Belgia,
dan delta sungai Rhine, Meuse, Scheldt, dan
Ems.
Pax Neerlandica motto Belanda yang ingin menguasai seluruh
wilayah Indonesia dan menjadikannya sebagai
satu kesatuan dengan Kerajaan Belanda.
Pasirah/Pesirah Kepala pemerintahan marga (Belanda:
margahoofd) di Sumatera bagian Selatan.
Penyimbang Anak laki-laki tertua yang mewarisi
kedudukan dan tanggung jawab keluarga,
kerabat, dan kebuayan.
Peppung Musyawarah adat yang dilakukan oleh para
penyimbang marga.
Perwatin/Proatin Para penyimbang adat/dewan adat/tokoh adat/
pimpinan adat. Perwatin memiliki hak dan
kewajiban memimpin segala aktivitas
pemerintahan adat atau urusan yang
berhubungan dengan hippun/peppung adat.
Piil Pesenggiri Rasa harga diri yang merupakan nilai sosial
sebagai tatanan moral dan pedoman dalam
bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
xvi
Seba Kunjungan politik menghadap sultan Banten
untuk memberikan pengakuan dan kesetiaan.
Staatsblad lembaran negara yang merupakan referensi
pemuatan publikasi dari segala bentuk
pengumuman, ordonansi, dan reglement.
Tiyuh Tempat tinggal beberapa komunitas suku
(klan).
VOC Vereenigde Oostindische Compagnie
(Perusahaan Hindia Timur Belanda).
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya ungkapan “semahal lada” tidak cukup sekadar
digambarkan sebagai sesuatu yang menunjukkan betapa
berharganya komoditas tersebut, tetapi jauh lebih kompleks
dengan menggelarkan kisah bagaimana kekuatan Belanda dan
Eropa lainnya berjuang untuk menjangkau negeri penghasilnya
dan menguasai jalur niaganya. Jauh Belanda datang dari negara
rendah (de Lage Landen) di barat Eropa setelah Spanyol menutup
pelabuhan Lisbon bagi mereka. Dengan mengibarkan semangat
harapan mereka berlayar melintasi Semenanjung Harapan,
menyisir pesisir barat Sumatera dan membelah Selat Sunda untuk
menyandarkan armadanya di ujung barat Pulau Jawa, negeri
Banten namanya.
Kekayaan negeri-negeri di belahan timur dunia yang
selama ini hanya sebagai cerita indah bagi Belanda, kini Cornelis
de Houtman menjadi saksi mata. Mata yang akhirnya dijadikan
cara pandang bangsanya untuk menjadikan Nusantara dalam
kuasanya, menyingkirkan pesaing ekonominya sesama Eropa,
dan menjadikan para penguasa pribumi beserta rakyatnya sebagai
tumbal eksploitasi dalam kampanye Pax Neerlandica.
Untuk mewujudkan Nusantara menjadi kesatuan dalam
lingkup negeri Belanda, lika-liku taktiknya sudah dimulai oleh
VOC yang bergerak seolah begitu perkasa dari Maluku hingga
Jayakarta dengan hak Octroi-nya, menggembosi kekuasaan para
sultan, bila perlu disingkirkan. Semua itu untuk satu tujuan, yakni
2
menguasai dan mengontrol simpul-simpul perdagangan rempah
di bawah monopsoni dan menjualnya secara monopoli demi
keuntungan yang berlimpah.1
Keuntungan yang berlimpah membuat VOC layaknya
sarang lebah, menyimpan manisnya madu yang membuat
beberapa pihak berburu bagi kepentingan pribadi, maka jadilah ia
lahan korupsi. Ditambah lagi besarnya biaya operasional untuk
kekuasaannya yang makin luas dan membungkan berbagai
penentangan dari para penguasa tradisional, membuat kondisi
finansial mereka melemah, dan pada tahun 1799 akhirnya
menyerah. Keadaan terus diperparah, di negeri induk perang
melawan ekspansi Napolen sedang berkecamuk, dan
pemberontakan Belgia pada tahun 1830 menuntut merdeka makin
membuat pemerintah Belanda berada di ambang kebangkrutan
negara.
Ketika situasi politik Belanda perlahan stabil, tidak serta
merta perbaikan ekonomi menunjukkan hasil. Kemerdekaannya
dari Prancis belum dapat mengembalikan kemakmuran dan
kekuatan. Peristiwa-peristiwa negara bagian memiliki efek paling
merugikan pada kemakmuran fisik negara, dan keuangan terus
memburuk meskipun semua upaya untuk mencapai “rasio yang
lebih baik antara pengeluaran dan pendapatan”. Sehingga
mustahil bagi orang yang belum tahu untuk membuat perhitungan
apakah masa depan akan memberikan hari yang lebih baik atau
1 Singgih Tri Sulistiyono, “Dinamika Kemaritiman dan Integrasi
Negara Kolonial”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed.), Indonesia
dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2012), hlm. 93.
3
justru lebih banyak beban yang memberatkan.2 Demikian juga
kondisi finansial pemerintah Hindia Belanda yang otomatis
terdampak. Untuk mengentaskan masalah itu, diangkatlah
Johannes van den Bosch sebagai gubernur jenderal yang baru
pada tahun 1830, yang berhasil meyakinkan Raja Willem I untuk
memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel di Hindia bagi tanaman
ekspor sebagai obat mujarab bagi defisit struktural.
Terdapat dua alasan yang digaungkan oleh Bosch untuk
mendukung kebijakannya yang memiliki akar historis dari
merkantilisme abad ke-17 dan 18 itu. Pertama, karena pengusaha
swasta Belanda dengan modal yang diperlukan dan semangat
kewirausahaan yang kurang, oleh karena itu keterlibatan
pemerintah dalam proses budidaya akan diperlukan untuk
memperluas basis pendapatan. Kedua, petani Jawa pada dasarnya
tidak responsif terhadap insentif keuntungan dari peluang ekspor.
Maka mereka harus dibujuk, jika tidak dipaksa, untuk
mengalokasikan seperlima dari tanah mereka, atau seperlima dari
tenaga mereka, untuk penanaman tanaman ekspor. Akhirnya
terbukti bahwa penerapan Cultuurstelsel di Jawa menjadi
kebijakan fiskal yang jenius,3 yang sanggup menggemukkan
kembali postur kas Belanda yang kurus.
2 R.A.S. Piccardt, De Geschiedenis van het Cultuurstelsel in
Nederlandsch-Indie, (Amsterdam: Stoomdrukkerij Loman, Kirberger, & van
Kesteren, 1873), hlm. 69. 3 Thee Kian Wie, “Colonial Extraction in the Indonesian Archipelago:
a Long Historical View”, dalam Ewout Frankema dan Frans Buelens (ed.),
Colonial Exploitation and Economic Development, the Belgian Congo and the
Netherlands Indies Compared, (New York: Routledge, 2013), hlm. 45.
4
Tercatat bahwa hasil dari kebijakan ini melampaui semua
harapan. Terjadi peningkatan total berat ekspor mencapai 161,7
juta kilogram pada tahun 1840 setelah sebelumnya hanya 36,4
juta kilogram di tahun 1830. Hal tersebut mendongkrak nilai
ekspor dari Jawa yang semula berjumlah 11,3 juta gulden pada
tahun 1830 dan melesat enam kali lipat dalam kurun sepuluh
tahun yang menyentuh angka 66,1 juta pada tahun 1840.
Kesuksesan ini juga terlihat dari geliat persentase ekspor Jawa
yang ditujukan ke Belanda dari sebesar 66% di awal penerapan
Cultuurstelsel menjadi rerata 83% di rentang tahun 1841-1850
dan terus tumbuh hingga di atas angka 90% pada periode selepas
1861.4
Di balik profit yang terus digenjot dari program itu,
ternyata menimbulkan masalah sosial di Hindia, terutama soal
kesejahteraan. Di sisi lain, di Belanda muncul tuntutan kebebasan
untuk berinvestasi dan beroperasi di Hindia Belanda dari
kalangan pengusaha swasta. Hal tersebut setelah mendapati fakta
bahwa usaha budidaya tanaman ekspor melalui tanam paksa di
Jawa begitu menguntungkan, ditunjang dengan perkembangan
teknologi transportasi dan komunikasi yang revolusioner di paruh
kedua abad ke-19, semakin membuka peluang bagi penetrasi
modal swasta untuk membangun bisnisnya di wilayah lain di
Nusantara.5
4 C. Fasseur, The Cultivation System and Its Impact on the Dutch
Colonial Economy and the Indigenous Society in Nineteenth-Century Java,
dalam C.A. Bayly dan D.H.A. Kolff (ed.), Two Colonial Empires, (Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, 1986), hlm. 137. 5 Thee Kian Wie, Colonial Extraction..., hlm. 49.
5
Sesuai semangat zaman, ketika arus liberalisme menguat,
Pemerintah merespon kondisi itu dengan perlahan mengurangi
perannya dalam perintah budidaya paksa tanaman eskpor dan
membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk mengambil
peran tersebut, utamanya Belanda. Bersamaan dengan kebebasan
kapitalistik itu, sambil secara gradual terus terjadi perluasan
pengaruh Belanda di luar Jawa, yang puncaknya adalah
penaklukan teritorial dan penerapan cara produksi kapitalis untuk
ekspor ketika investor swasta mengikutinya setelah administrator
kolonial berhasil dibentuk di wilayah yang baru tunduk.6
Akibatnya, selama tahun 1860-an dan 1870-an muncul
rezim kolonial baru, yakni para pengusaha swasta yang
mengelola perkebunan besar menggunakan tenaga kerja dan
tanah bebas. Sampai taraf tertentu, kondisi itulah yang diharapkan
oleh para reformer liberal pada tahun 1810-an dan 1820-an, tetapi
hal itu tidak terwujud pada saat itu akibat rendahnya harga
pertanian, buruknya pengembangan institusi, dan masalah
informasi. Keahlian untuk menjalankan perkebunan belum ada
dan kurangnya modal; keduanya berkembang secara bertahap
selama penerapan Cultuurstelsel yang bisa disebut sebagai
“proses pembelajaran”.7
Sampai akhir abad ke-19, Agrarischewet telah menjadi
landasan bagi lancarnya gerak pemodal mengungkungi daerah
6 Howard Dick, (et al.), The Emergence of a National Economy: an
Economic History of Indonesia, 1800–2000, (New South Wales: Allen &
Unwin, 2002), hlm. 91. 7 Jan Luiten van Zanden and Daan Marks, An Economic History of
Indonesia, 1800-2010, (New York: Routledge, 2012), hlm. 73.
6
luar Jawa dengan perusahaannya. Melalui itu, kembali
pemerintah kolonial menikmati keuntungan di masa-masa
kemajuan ekonomi. Namun di tengah kemajuan itu ternyata
makin menjerumuskan rakyat pribumi pada kemelaratan, maka
ada sebagian kalangan yang menyerukan perlunya negeri induk
untuk meningkatkan kesejahteraan koloninya dengan kebijakan
pembangunan sebagai bentuk balas budi yang dikenal dengan
Politik Etis yang resmi ditetapkan pada tahun 1901.8
Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina berpidato yang
kemudian menjadi titik awal dari serangkaian reformasi yang
fokus pada pengenalan layanan kesejahteraan yang bertujuan
untuk meningkatkan ekonomi dan standar hidup pribumi.
Realisasi dari kebijakan itu meliputi penelitian pertanian modern
dan layanan penyuluhan, peningkatan pembiayaan infrastruktur,
irigasi, pendidikan, dan pelayanan medis, serta kebijakan yang
bertujuan untuk menstabilkan pasar beras dan mengatur pasar
modal pedesaan.9
Sekalipun konsep tersebut nampak akan memuliakan
pribumi, kenyataan tetap memperlihatkan cerita yang berbeda.
Upaya-upaya mensejahterakan tersebut tetap disadap untuk
memuluskan kepentingan pemerintah kolonial dan pengusaha,
utamanya di luar Jawa. Pada akhirnya memang tak ada yang lebih
penting bagi kolonialisme selain tujuannya sendiri. Corak boleh
8 Jan Luiten van Zanden and Daan Marks, An Economic History...,
hlm. 76. 9 Jan Luiten van Zanden and Daan Marks, An Economic History...,
hlm. 76.
7
berubah, tetapi keberadaannya tetap merupakan tangan-tangan
eksploitatif yang akan selalu mencari celah.
Dalam konteks kolonialisme, eksploitasi dapat diartikan
sebagai praktik dan prosedur yang memfasilitasi ekstraksi sumber
daya tanpa kompensasi yang memadai untuk masyarakat koloni
dan lingkungan alam mereka. Sedangkan ekstraksi kolonial
sendiri berkaitan dengan hasil, yaitu transfer sumber daya bernilai
ekonomi dari masyarakat pribumi ke masyarakat metropolitan.
Dan hampir setiap aspek ekstraksi itu melibatkan komponen
gabungan dari pemaksaan, penghancuran, dan produksi. 10
Menurut Frankema dan Buelens, terdapat berbagai saluran
bagi transfer sumber daya ekonomi, yakni alienasi tanah,
pengerahan tenaga kerja, penanaman paksa, monopoli
perdagangan, perpajakan yang berlebihan dengan beragam
varian, dinas militer, dan lain sebagainya.11
Dan agar
memudahkan saluran-saluran itu bekerja secara efektif, Belanda
telah dan akan terus melakukan hegemoni dengan mereformasi
struktur sosial, ekonomi, dan politik lokal tempat eksploitasi
dilancarkan.
Itulah taktik dan berbagai saluran yang digunakan
Belanda selama menjajah Indonesia. Namun demikian pola
tersebut tidak serampangan dan digunakan secara seragam untuk
semua daerah yang telah ditaklukannya. Hal demikian karena
10 Ewout Frankema dan Frans Buelens (ed.), Colonial Exploitation
and Economic Development, the Belgian Congo and the Netherlands Indies
Compared, (New York: Routledge, 2013), hlm. 02. 11
Ewout Frankema dan Frans Buelens (ed.), Colonial Exploitation...,
hlm. 02.
8
setiap wilayah dengan komunitasnya memiliki corak tersendiri.
Secara karakter kewilayahan, misalnya ada yang berbentuk
daratan luas, ada pula yang berpulau-pulau, dan juga aspek
lainnya. Hal ini berkaitan dengan sumber daya yang akan
diekstrasi. Sedangkan untuk komunitas, terdapat masyarakat
kompleks yang berpemerintahan tunggal, monarki, dan
sentralistik. Di sisi lain ada juga masyarakat sederhana yang
hanya tersusun atas komunitas hukum adat dengan sistem kepala
suku berazas primus inter pares.
Di pusat-pusat komunitas yang telah mencapai keadaban
tinggi sebagaimana monarki berbentuk kesultanan dan
sebagainya, Belanda yang telah berhasil menaklukan dan
menguasai pusat politik agar dapat mengendalikan bidang-bidang
penting, utamanya ekonomi di seluruh negeri, dapat saja dengan
tetap mendudukkan pengusa lokal yang telah terkooptasi, ataupun
membubarkannya dan dijadikan pemerintahan kolonial langsung.
Kesultanan Palembang dan Banten misalnya, Belanda
tetap mendelegasikan kekuasaan pada sultan pilihannya untuk
tetap menjalankan pemerintahan di bawah kendali Belanda, yang
dengan itu kehendak Belanda untuk memperolah keuntungan
ekonomi dapat terwujud. Lain cerita dengan Kesultanan Melayu
di Sumatera Timur hingga Semenanjung Malaya, sebuah entitas
politik yang penuh intrik antar beberapa pihak yang masing-
masing mempunyai power. Beberapa penguasa politik yang
mengklaim absah berdasarkan silsilah harus berhadapan dengan
aksi saling dukung berdasarkan etnisitas yang memiliki kekuatan
9
dan pemain di bidang perekonomian.12
Sehingga ketika Belanda
berhasil menundukkan kesultanan, tidak secara otomatis bidang
ekonomi berhasil dipegang, karena kekuatan ekonomi tidak
sepenuhnya di tangan sultan, tetapi juga para elit saudagar Bugis
di lingkaran kekuasaan.
Adapun Lampung, sebuah wilayah dengan masyarakat
yang masih sahaja. Sistem sosial-politik yang sederhana, hanya
mengenal model kepemimpinan berdasarkan silsilah yang paling
tua di antara anggota didapuk sebagai kepala marga. Dan di
wilayah ini, terdiri atas banyak pemerintahan marga yang tidak
saling bersatu untuk membentuk unit politik yang lebih besar.13
Malahan kerap membangun kemitraan yang sub-ordinatif dengan
kekuatan politik besar dari luar seperti Kesultanan Banten dan
Palembang untuk kepentingan ekonomi. Bahkan atas nama
kepentingan ekonomi juga, mereka tidak masalah bekerjasama
dengan orang-orang Eropa, sebagaimana dengan Inggris di
wilayah barat Lampung, dan Belanda di daerah Tulang Bawang
hingga Lampung Utara dan Timur.
Belanda sendiri sudah berminat dengan wilayah ini -
karena lada- sejak masih dalam pengaruh kekuasaan Banten.
Untuk itu ia dapat menggunakan Banten demi kepentingannya.
Namun ketika Banten hancur, tidak semua marga itu kemudian
tunduk pula terhadap Belanda, karena sejatinya kekuasan Banten
lebih tepatnya hanya menyangkut bidang ekonomi, utamanya
12 Anwar Syair, dkk., Sejarah Daerah Riau, (Jakarta: Depdikbud,
1977), hlm. 88-89. 13
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen in Zuid Sumatra
en Javanentransmigratie, (Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1936), hlm. 3.
10
aturan produksi dan distribusi lada. Itu pun dikuasai tidak dengan
tentara atau senjata, tetapi dengan imbal jasa berupa perkakas
simbolik, pangkat, atau gelar-gelar kebangsawanan saja.
Lantas jika tidak ada kekuasaan politik besar yang tunggal
untuk seluruh Lampung hingga takluknya Banten, bagaimana
cara Belanda menguasai wilayah ini dan mengeksploitasi
kekayaannya? Hal itulah yang menarik dari Lampung. Sebuah
wilayah yang tidak mudah tunduk walau tanpa adanya kesatuan
politik sebagaimana kesultanan-kesultanan yang independen di
Nusantara. Dengan jumlah penduduk yang sedikit dalam satuan
komunitas lokal yang terpencar di bawah pemerintahan marga,
Lampung justru masih sanggup bertahan bahkan setelah kedua
tetangga pusat politiknya, yakni Kesultanan Banten dan
Palembang tumbang.
Setelah Lampung pernah merasakan kekuatan VOC di
masa pengaruh Banten dengan sistem lerevansi, butuh waktu
lebih dari setengah abad bagi Belanda untuk membangun otoritas
yang stabil di wilayah ini sejak Daendels mengeluarkan
maklumat bahwa wilayah bekas kekuasaan Banten diambil alih
secara otomatis dengan berakhirnya kesultanan tersebut dan
diletakkan di bawah kendali pemerintahan langsung pada tahun
1808. Hal itu karena terjadinya perlawanan rakyat secara maraton
yang baru berhasil dipadamkan pada tahun 1865.
Terlepas dari gejolak politik di internal Belanda, ketika
kekuasannya dikembalikan oleh Inggris dan van den Bosch
menerapkan tanam paksa yang fokus dan begitu menguat di Jawa,
Lampung juga turut sempat sedikit merasakan dalam bentuk
11
penanaman lada. Namun ketika pemerintah Hindia mulai begitu
serius menggarap daerah luar Jawa dengan kebijakan liberalnya,
Lampung kini dijadikan sebagai salah satu basis penting
pembangunan ekonomi Belanda di Sumatera melalui pembukaan
lahan untuk disewa oleh pengusaha Eropa.
Sangat jelas kebijakan itu memerlukan lahan yang luas
dan jumlah tenaga kerja yang besar, tidak saja bagi perusahaan,
tetapi juga untuk pembangunan infrastruktur pendukungnya.
Kisah sukses perdana kebijakan ini dipelopori oleh pengusaha
swasta, bernama Jacob Nienhuys, pendiri perkebunan tembakau
di Sumatera Timur pada tahun 1863 setelah memperoleh konsesi
lahan dari Sultan Deli seluas 1000 bouw. Namun, tidak seperti
mudahnya mendapat tanah yang luas di tempat itu, ternyata untuk
memperoleh tenaga kerja ia mengalami kesulitan karena
penduduknya yang jarang. Maka untuk mendapatkannya ia
mengirim tenaga kerja dari daerah padat penduduk seperti etnis
Tionghoa baik dari Malaya dan Tiongkok, orang India, dan Jawa
sebagai kuli kontrak.14
Bergeser ke selatan, ketika kekuasaan Belanda atas pulau
Sumatera secara perlahan juga terbangun di wilayah Lampung
yang tidak bersultan, lantas bagaimana kebijakan liberal
diterapkan di antara marga-marga pemilik hak ulayat untuk
disewa tanahnya? Jika di Sumatera Timur punya sistem kuli
kontrak yang legendaris, maka Lampung yang juga berpenduduk
14 Thee Kian Wie, Colonial Extraction..., hlm. 49-50. J.J. van
Klaveren, The Dutch Colonial System in the East Indies, (Den Haag: M.
Nijhoff, 1953), hlm. 127.
12
jarang, bagaimana formatnya dan darimana tenaga kerja
diperoleh untuk menjalankan usahanya?
Untuk mendukung semua itu, secara politis Belanda
melakukan perombakan pada lembaga-lembaga oleh administrasi
kolonial, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
wakil-wakil lokal yang terpaksa atau terkooptasi. Di antaranya
ialah penihilan pemerintahan marga secara de jure, dan di masa
kemudian mereformasi aspek komunitas serta pemerintahan
marga tersebut. Sedangkan di sisi ketenagakerjaan, dilakukan
dengan format program kolonisasi untuk pertama kalinya di
Hindia Belanda yang dilaksanakan oleh pemerintah dan juga
swasta. Yang selanjutnya justru kolonisasi itu menjadi pemberi
warna baru pada tatanan sosio-kultural dan keragaman
demografis Lampung hingga saat ini.
Memperhatikan pemaparan di atas, maka penelitian ini
menjadi menarik dan diperlukan, serta menawarkan kekhasan
dalam khasanah kajian strategi Belanda mengeksploitasi
kekayaan salah satu wilayah di Nusantara yang tak bersultan,
yakni Bumi Lada, dengan politik ekonominya di berbagai bidang
sebagai saluran ekstraktif atas negeri berpemerintahan marga-
marga.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat
diidentifikasi beberapa masalah berikut ini:
1. Strategi Belanda menguasai Lampung.
13
2. Langkah eksploitatif Belanda atas kekayaan sumberdaya
Lampung.
3. Politik ekonomi Belanda terhadap Lampung pada tahun
1800-1942.
C. Batasan Masalah
Penulis memberi batasan masalah pada penelitian ini
hanya dalam bidang ekonomi lantaran bidang tersebut merupakan
fondasi dari tujuan dan keberlangsungan kolonialisme. Adapun
untuk batasan temporal ialah rentang tahun 1800 sampai 1942,
namun untuk keperluan analisis menampilkan sebuah genesis,
maka akan dilihat juga masa-masa sebelumnya. Penetapan tahun
1800 sebagai permulaan ketika tegaknya pemerintahan Belanda
di Indonesia, walaupun Daendels baru memasukkan Lampung
dalam kekuasaan Belanda secara langsung pada tahun 1808
secara otomatis setelah takluknya Banten, dan diangkat pejabat
asisten residen yang berkedudukan di Teluk Betung pada 1817.
Sedangkan untuk akhir batasan temporer ialah ketika Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942.
Berdasar uraian pada latar belakang dan memperhatikan
cukup banyak masalah yang timbul akan memperluas lingkup
pembahasan, maka pada penelitian ini saya batasi pada politik
ekonomi Belanda terhadap Lampung pada tahun 1800-1942.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas,
rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini ialah
14
bagaimana politik ekonomi Belanda terhadap Lampung pada
tahun 1800-1942?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami,
dan menjelaskan bagaimana kebijakan yang ditempuh Belanda
untuk menguasai Lampung dalam bidang ekonomi dan kondisi
Lampung yang menjadi penghambat laju penguasaan oleh
Belanda.
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan akan
bermanfaat untuk memacu semangat penelitian dan menambah
khasanah penulisan tentang sejarah Lampung, khususnya
Lampung dalam proses mempertahankan kedaulatan saat
bersinggungan dengan kekuatan asing Barat, dalam hal ini
Belanda. Dari sisi luar Lampung, dapat memberi ruang
pengetahuan tentang upaya Belanda memperlakukan wilayah ini
terutama dalam penguasaan dan pembangunan ekonomi, sejak
kedatangan hingga berdaulat penuh dengan berbagai kebijakan
politik ekonominya. Demikian pula diharapkan ke depannya
dapat menjadi bahan pertimbangan, bahkan dapat dikembangkan
lebih lanjut serta referensi terhadap penelitian sejenis.
Adapun dalam tataran praktis hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi sejarah dan kekhasan
Lampung dalam kerangka sejarah nasional di masa kolonialisme.
Juga dapat mengenali bagaimana sejarah nilai-nilai sosial yang
15
dikemas dalam filosofi Piil Pesenggiri15
masyarakat Lampung
yang patriotik dan akomodatif diterapkan terhadap peluang,
tantangan, dan hambatan dari luar untuk dapat dikenali,
diwariskan, dan dilanjutkan guna menghadapi dinamika zaman.
Di sisi ekonomi, agar dapat mengidentifikasi potensi Lampung
yang dapat dan telah dikembangkan sepanjang sejarah, baik oleh
masyarakat maupun pemerintah kolonial.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan kajian, tesis ini ditulis dalam lima
bab yang masing-masing saling berkaitan. Adapun sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama adalah Pendahuluan. Bab ini berisi Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Bab Kedua adalah Metodologi. Bab ini berisi Metode
Penelitian, Landasan Teori, Kajian Pustaka, dan Kerangka
Berpikir.
Bab Ketiga adalah Prakondisi Lampung Menuju
Kolonialisme Belanda. Bab ini berisi Kondisi Geografis
Lampung, Kondisi Demografi Lampung, Sosial Budaya Tanoh
Lampung, dan Model Pemerintahan Lokal Lampung.
15 Penjelasan lebih lanjut mengenai falsafah masyarakat Lampung
terdapat dalam Bab III.
16
Bab Keempat adalah Akuisisi dan Hegemoni Belanda
atas Lampung. Bab ini berisi Akuisisi Teritori, dan Hegemoni
Politik dan Ekonomi.
Bab Kelima adalah Politik Ekonomi Belanda terhadap
Lampung pada Tahun 1800-1942: Saluran Eksploitasi. Bab
ini berisi Politik Ekonomi di Sektor Produksi, Politik Ekonomi di
Sektor Distribusi, Politik Ekonomi di Sektor Konsumsi, dan
Sektor Pajak.
Bab Keenam adalah Politik Ekonomi Belanda
terhadap Lampung pada Tahun 1800-1942: Bidang
Ketenagakerjaan dan Dampaknya. Bab ini berisi Klasifikasi
Perusahaan di Lampung, Hubungan Perkembangan Perusahaan
dan Kebutuhan Tenaga Kerja, dan Dampak Sosial-Ekonomi.
Bab Ketujuh adalah Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan
dan Saran.
17
BAB II
METODOLOGI
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian sejarah. Menurut Gilbert J. Garragan, dalam
Daliman, metode sejarah adalah seperangkat asas dan aturan yang
sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis,
dan menyajikan sintesis secara tertulis hasil yang dicapai.16
Hal
itu bermakna sebagai upaya rekonstruksi terhadap peristiwa masa
lalu.
Dalam memperoleh sumber sejarah, penulis menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data/sumber. Teknik pendukung
dalam pengumpulan data penelitian ini adalah teknik studi
pustaka dan teknik dokumentasi.
Teknik studi pustaka adalah cara pengumpulan data dan
informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang
terdapat di ruangan perpustakaan, misalnya koran, catatan-
catatan, kisah-kisah sejarah, dokumen, dan sebagainya yang
relevan dengan penelitian.17
Menurut pendapat lain teknik studi
kepustakaan dilaksanakan dengan cara mendapatkan sumber-
sumber data yang diperoleh dari perpustakaan, yaitu dengan
mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan masalah
16 A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ombak,
2012), hlm. 27-28. Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, hlm. 29-55. 17
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia, 1977, hlm. 8.
18
yang diteliti.18
Di sini penulis juga melakukan penelusuran digital
terhadap beberapa website seperti delpher.nl, archieve,
universiteitleiden.nl, nla.gov.au, dan lainnya. Teknik
pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mempelajari buku-
buku dalam usaha memperoleh beberapa teori maupun argumen
yang dikemukakan oleh para ahli terkait masalah yang diteliti.
Sedangkan teknik dokumentasi ialah cara mengumpulkan
data melalui sumber tertulis terutama berupa arsip-arsip dan
termasuk juga buku-buku, teori, dalil-dalil, atau hukum-hukum
dan lain-lain, yang berhubungan dengan masalah yang akan
diteliti.19
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, teknik
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, majalah, surat kabar, agenda, dan
sebagainya.20
Dari sisi sumbernya, peneliti menggunakan sumber
primer, baik berupa arsip maupun surat kabar dan media
informasi lainnya yang sezaman. Sedangkan sumber sekunder
juga diperlukan untuk mendukung, yakni dengan mencarinya
pada buku-buku literatur, jurnal ilmiah, surat kabar, dan dokumen
yang sesuai serta mampu menunjang dan relevan dengan
penelitian ini.
Berlandaskan metode sejarah seperti di atas, maka peneliti
melakukan tahapan penelitian yang meliputi pencarian dan
menghimpun sumber, mengkritisi sumber yang dihimpun,
18 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan..., hlm. 133.
19 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan..., hlm. 134. 20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993, hlm. 188.
19
memahami dan menganalisis serta menafsirkan fakta, dan
akhirnya merekonstruksi fakta menjadi sintesis kisah sejarah
yang sistematis dan kronologis secara tertulis.
Dalam tataran operasional, penelitian saya mulai dengan
mencari serta mengumpulkan sumber sejarah, baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Sumber primer yang digunakan
meliputi arsip, koran, majalah, dan biografi tokoh-tokoh Belanda
dan Lampung yang berperan atau terlibat dalam peristiwa yang
didapat dari kantor arsip, tokoh adat Lampung, dan website-
website Belanda. Adapun sumber sekunder adalah hasil analisa
terhadap sumber sejarah yang telah dilakukan pihak lain, baik
berupa buku, majalah, dan jurnal ilmiah.
Sebagai contoh beberapa sumber berupa buku yang
dijadikan rujukan utama antara lain, yaitu: Zuid Sumatra
Economisch Overzicht, De Pepercultuur in de Buitenbezittingen,
Eerste Zuid Sumatra Conferentie, dan Perubahan Rejim dan
Dinamika Sosial di Banten: Masyarakat, Negara, dan Dunia
Luar Banten 1750-1830. Untuk majalah ialah Economisch
Statistische Berichten dalam berbagai tahun terbit sesuai
kebutuhan. Sedangkan jurnal utama ialah Bijdragen tot de Taal,
Land, en Volkenkunde van Nederlandsch Indie.
Setelah sumber terkumpul, kegiatan peneliti selanjutnya
adalah melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang didapat
untuk menguji apakah sumber tersebut valid atau tidak, serta
layak dan menunjang kegiatan penelitian yang dilakukan. Jenis
kritik dilakukan dengan kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern
bertujuan melihat derajat orisinalitas sumber. Sedangkan kritik
20
intern bertujuan meneliti kebenaran isi dari sumber yang
diperoleh.
Sebagai contoh tahapan ini ialah mengkritisi kebanyakan
penulisan sejarah Raden Intan II, dinyatakan bahwa ia tewas
dikeroyok oleh kelompok Raden Ngerapat dan tentara Belanda,
namun pada memoar Weitzel, seorang kapten ajudan dalam
ekspedisi militer di Lampung, bertanggal 12 Oktober 1856
dinyatakan bahwa tentara Belanda tidak dapat ikut serta dalam
pertemuan itu agar Raden Intan II tidak merasa curiga. Terlebih
ada perbedaan keinginan antara Raden Ngerapat dengan Belanda.
Belanda menginginkan Raden Intan II dalam kondisi hidup agar
dapat diadili, sedangkan Raden Ngerapat berkehendak hanya
akan menyerahkan jenazah Raden Intan II kepada Belanda.
Setelah melakukan kritik sumber, peneliti melakukan
penafsiran berbagai fakta yang diperoleh untuk memberi makna
dan penjelasan agar menjadi rangkaian yang logis untuk
selanjutnya dilakukan pembentukan konsep dan generalisasi
sejarah. Sebagai contoh dalam tahapan ini ialah dari data-data
statistik yang ada menunjukkan penggunaan lahan yang sangat
massif untuk perusahaan perkebunan menjadikan Belanda sukses
membangun ekonomi berbasis ekspor untuk kemajuan negeri
induk.
Hal lainnya ialah pada pembangunan infrastruktur yang
kompleks dibangun oleh Belanda hanyalah bermanfaat secara
signifikan bagi perkembangan ekonomi mereka dibanding
pribumi, baik dengan alasan distribusi maupun penghancur
dinding isolasi. Selanjutnya, pengerahan tenaga kerja dari Jawa
21
dengan dalih solusi bagi kepadatan pun nyatanya menjadi
jawaban atas krisis sumber daya kuli di Lampung. Hal itu tidak
hanya karena pribumi Lampung yang sedikit, tapi juga
keengganan mereka menjadi buruh.
Langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah
melakukan penyusunan hasil interpretasi dan merekonstruksi
fakta menjadi sintesis kisah sejarah yang sistematis dan
kronologis secara tertulis. Hasil penelitian direkonstruksi secara
berurut mulai dari upaya Belanda melakukan kolonialisme di
Lampung dengan langkah perolehan wilayah melalui cessie dan
conquest, membangun hegemoni politik, dan akhirnya menguasai
dan membangun ekonomi Lampung untuk kepentingan kolonial
dengan berbagai langkah politik ekonominya.
B. Landasan Teori
1. Teori Kolonialisme
Tesis ini mengkaji salah satu aktivitas kolonialis dalam
bidang ekonomi pada sebuah bangsa, yakni Belanda terhadap
Lampung. Membahas kolonialisme adalah membincangkan
proses, sebagaimana dinyatakan oleh Matthew Craven bahwa
kolonialisme bukan hanya tentang mendapatkan sesuatu sebagai
properti, tetapi tentang mengubah sesuatu menjadi properti.21
Kolonialisme Belanda bukan hanya menguasai Indonesia sebagai
properti, tapi mengolah Negeri ini, dan Lampung khususnya agar
21 Matthew Craven, “Colonialism and Domination”, dalam
Fassbender, Bardo, dan Peters, (ed.), Oxford Handbook of the History of
International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 888.
22
menjadi properti bagi mereka. Untuk itu diperlukan pijakan teori
mengenai kolonialisme yang meliputi definisi, pola, karakteristik,
dan tipologinya.
Sebagai sebuah fenomena sosial politik dengan riwayat
panjang dalam sejarah, tentu sudah banyak definisi mengenai
kolonialisme. Chris Kortright menyatakan bahwa kolonisasi
didasarkan pada doktrin hierarki budaya dan supremasi.
Menurutnya kolonialisme adalah dominasi oleh pusat
metropolitan yang memerintah wilayah yang jauh melalui
penempatan pemukim. Karakteristik kolonialisme ialah dominasi
politik dan hukum atas masyarakat, hubungan ketergantungan
ekonomi dan politik, dan melembagakan ketidaksamaan ras dan
budaya. Untuk memaksakan kekuatan dominasi, mereka
melakukan penyerangan, perampasan tenaga kerja dan sumber
daya, penjara dan pembunuhan. Perbudakan pribumi dan tanah
mereka adalah tujuan utama penjajahan.22
Jurgen Osterhammel melalui bukunya Colonialism: A
Theoretical Overview, berusaha mengenali kolonialisme dari asal
kata dalam tiga bentuk derivatifnya, yakni kolonisasi adalah
proses akuisisi teritorial; koloni ialah jenis tertentu dari organisasi
sosial politik; dan kolonialisme yaitu sistem dominasi.23
Jadi
kolonialisme adalah suatu sistem dominasi dengan jalan
22 Chris Kortright, Colonization and Identity, diakses dari
theanarchhistlibrary.org pada 20 Oktober 2018. 23
Michael D. Callahan, Review of Osterhammel, Jurgen,
Colonialism: A Theoretical Overview, diakses dari H-Diplo, H-Net Reviews
pada 20 Oktober 2018.
23
mengakuisisi dan membentuk suatu tatanan organisasi sosial
politik pada wilayah yang dikuasai.
Ronald J. Horvath menyatakan bahwa kolonialisme
merupakan dominasi dalam bentuk kontrol oleh individu atau
kelompok atas wilayah dan perilaku individu-individu kelompok.
Kolonialisme juga sebagai bentuk eksploitasi, dengan penekanan
pada variabel ekonomi, dan sebagai proses perubahan budaya.
Adapun dominasi sendiri berkaitan erat dengan konsep
kekuasaan.24
Berbicara mengenai pola terbentuknya kolonialisme,
menurut Horvath hal itu mengacu pada dominasi kelompok dan
bukan pada hubungan sosial dan proses di antara kumpulan
individu di tingkat keluarga atau klan. Terdapat dua tipe dominasi
kelompok, yaitu antar-kelompok dan intra-kelompok. Kriteria
yang digunakan untuk membedakan keduanya adalah
homogenitas atau heterogenitas budaya. Dominasi antar-
kelompok mengacu pada proses dominasi dalam masyarakat
dengan budaya heterogen, sedangkan dominasi intra-kelompok
merujuk pada kultur yang homogen.25
Setelah dominasi maka perlu dilihat ada tidaknya
sejumlah pemukim/koloni permanen yang signifikan. Bagian ini
akan membedakan antara kolonialisme dengan imperialisme.
Kolonialisme mengacu pada bentuk dominasi antar-kelompok di
mana pemukim dalam jumlah yang signifikan bermigrasi secara
24 Ronald J. Horvath, “A Definition of Colonialism”, dalam Jurnal
Current Anthropology, Vol. 13, No. 1, (February 1972), hlm. 46. 25
Ronald J. Horvath, “A Definition of Colonialism..., hlm. 46.
24
permanen ke koloni dari kekuatan kolonisasi, sedangkan
imperialisme jika pun ada kolonis permanen jumlahnya kecil.26
Berdasarkan pola hubungan antara kekuatan koloni
dengan yang didominasi, terbentuk tiga klasifikasi yang menjadi
tipologi kolonialisme sebagai berikut:27
1. Eksterminasi (extermination), penjajahan dengan
pembasmian atau memusnahkan bangsa terjajah.
2. Asimilasi (assimilation), terjadi hubungan dalam bentuk
transfer budaya dari penjajah kepada terjajah.
3. Keseimbangan Relatif (relative equilibrium), yakni
kolonialis tidak memusnahkan atau mengasimilasi pribumi.
Kolonialis dan penduduk asli dapat hidup berdampingan atau
terpisah. Tetapi dalam kedua kasus, ketiadaan akulturasi atau
pembasmian bukan bermakna tidak ada perubahan budaya
yang terjadi. Inilah tipe kolonialisme Belanda di Indonesia.
Dari sudut pandang pemikir Marxis yang berlandaskan
perkembangan kapitalisme, mereka membagi dua periode
kolonialisme, yaitu kolonialisme awal pra-kapitalis dan
kolonialisme modern yang didirikan berdampingan dengan
kapitalisme di Eropa Barat. Kolonialisme modern melangkah
lebih jauh dengan tidak sekadar mengeksploitasi kekayaan negeri
terjajah, tetapi juga merestrukturisasi ekonomi negara-negara
tersebut, menarik mereka ke dalam hubungan yang kompleks
dengan negara mereka sendiri, sehingga ada aliran sumber daya
manusia dan alam antara negara-negara jajahan dan kolonial.
26 Ronald J. Horvath, “A Definition of Colonialism..., hlm. 47.
27 Ronald J. Horvath, “A Definition of Colonialism..., hlm. 47.
25
aliran ini bekerja di kedua arah -budak dan buruh kontrak serta
bahan baku diangkut untuk memproduksi barang di metropolis,
atau di lokasi lain untuk konsumsi metropolitan, tetapi koloni
juga menyediakan pasar bagi barang-barang Eropa-.28
Merujuk kepada definisi, terdapat suara bulat yang
menunjukkan bahwa karakter kolonialisme ialah berbagai bentuk
eksploitasi terhadap sumber daya koloninya. Istilah eksploitasi
kolonial dapat diartikan sebagai kebijakan dari kekuatan kolonial
yang dirancang untuk untuk menguntungkan ekonomi
metropolitan, khususnya melalui pengiriman modal, baik milik
pemerintah atau swasta, dapat pula melalui pengamanan bahan
baku dan pasar baru untuk barang-barang diproduksi dalam
negeri. Landes (1961) menghubungkan eksploitasi kolonial
dengan pemaksaan, yang mengarah pada kerja buruh dengan
upah lebih rendah atau pembelian produk dengan harga lebih
rendah daripada yang didapat di pasar bebas.29
Definisi lebih lanjut dari eksploitasi kolonial menyangkut
beban perpajakan. Walaupun penguasa pra-kolonial juga
menerapkan sistem pajak, kolonialisme menggantikan satu
bentuk pemangsaan fiskal dengan yang lain. Pengenaan pajak
tunai sering digunakan sebagai alat untuk memaksa pembudidaya
pribumi ke dalam pasar tenaga kerja atau untuk memproduksi
28 Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York:
Routledge, 2000), hlm. 3. 29
Anne Booth, “Varieties of Exploitation in Colonial Settings: Dutch
and Belgian Policies in Indonesia and the Congo and their Legacies”, dalam
Ewout Frankema dan Frans Buelens (ed.), Colonial Exploitation and
Economic Development: The Belgian Congo and the Netherlands Indies
Compared, (New York: Routledge, 2013), hlm. 61.
26
tanaman untuk dijual. Masih menurut Landes, ketika para pekerja
dipaksa menjadi pekerja upahan untuk membayar pajak, tingkat
upah dimanipulasi untuk menguntungkan para majikan
perusahaan-perusahaan besar yang berdomisili di metropolis
kolonial. Jika mereka menanam tanaman untuk dijual, harga
sering tertekan di bawah tingkat pasar dunia oleh pajak ekspor
atau regulasi pemasaran.30
2. Teori Penguasaan Wilayah
Langkah pertama kolonialisme adalah penguasaan atas
wilayah untuk memperoleh sumber daya yang dicari dan
dikuasai. Menurut Margaret Moore, istilah wilayah atau teritori
berasal dari kata territorium dalam bahasa Latin, yang terdiri dari
terra yang berarti „bumi‟, dan akhiran torium yang menunjukkan
„tempat terjadinya‟. Jadi teritori adalah bagian dari bumi tempat
terjadinya atau berlakunya kedaulatan. Moore berpendapat bahwa
gagasan modern tentang wilayah/teritori terkait erat dengan
otoritas yurisdiksi atas domain geografis dan politik yang
mendalam.31
Dalam hal menguasai wilayah ada beberapa teori tentang
cara memperolehnya. Cara-cara tradisional dari proses perolehan
kedaulatan atas suatu teritori berasal dari hukum Romawi.
Sejarah mencatat dasar dari teori pengambialihan hak atas suatu
wilayah ini dipinjam dari doktrin pengalihan hak barang
30 Anne Booth, “Varieties of Exploitation in Colonial Settings..., hlm.
61. 31
Margaret Moore, A Political Theory of Territory, (New York:
Oxford University Press, 2015), hlm. 15.
27
(property) milik hukum Romawi.32
Selain itu penjelajahan dari
bangsa Eropa ke Amerika pada sekitar tahun 1492 sedikit banyak
memberikan cikal bakal formasi dari standar internasional
terhadap akuisisi.
Bangsa Eropa dengan kekuatan yang dimilikinya
membentuk standar dari proses akuisisi dengan cara membentuk
skema keuntungan timbal balik, yang mana pada dasarnya
memberikan keuntungan kepada bangsa Eropa itu sendiri.
Demikian juga Belanda dalam mengeruk keuntungan di tanah
koloninya dilakukan dengan jalan penguasan wilayah di
Indonesia.
Mendasarkan dari pendapat Lindley, bahwa terdapat
pihak-pihak atau subjek hukum internasional yang memiliki
kapasitas untuk melakukan akuisisi dan melaksanakan kedaulatan
terhadap wilayah. Pihak tersebut yaitu individu, korporasi atau
perusahaan berbasis piagam (charter), koloni, dan negara atau
liga negara.33
Korporasi adalah ciptaan negara yang diberi hak istimewa
dalam hal monopoli perdagangan, atau eksploitasi industri atas
tanah dalam wilayah tertentu, hak istimewa ini sering
digabungkan dengan kekuasaan dan tugas pemerintah. Dibentuk
dengan mekanisme penanaman saham dalam permodalan untuk
tujuan mendapatkan dividen. Model ini telah terbukti menjadi
instrumen yang meletakkan daerah-daerah besar ke dalam
32 M.F. Lindley, The Acquisition and Government of Backward
Territory in International Law, (London: Longmans, Green and Co. Ltd.,
1926), hlm. 286. 33
M.F. Lindley, The Acquisition..., hlm. 83.
28
kekuasaan negara, dan dengan cara ini mereka telah
dimanfaatkan oleh kekuatan kolonial dunia. Dalam hal
kolonialisasi di Indonesia, perusahaan/korporasi yang melakukan
hal tersebut adalah VOC dengan hak Octroi-nya, dan kemudian
dialihkan kepada penguasaan oleh negara, yakni Belanda.
Adapun dua cara yang digunakan oleh Belanda untuk
menguasai wilayah Lampung adalah:
a. Penyerahan (Cessie)
Cessie merupakan pemberian hak atas suatu wilayah
kedaulatan antara satu negara dengan negara lain yang dilakukan
dengan sebuah perjanjian damai hasil sebuah peperangan antara
keduanya. Cara ini dapat disebut juga sebagai pengalihan
kedaulatan atas wilayah melalui sebuah perjanjian antara penjajah
dengan perwakilan penduduk asli wilayah tersebut.
Proses cesi dapat saja dilakukan oleh penguasa pribumi;
atau oleh kedaulatan yang maju, seperti negara modern, dapat
pula oleh siapa wilayah tersebut telah diperoleh sebelumnya. Satu
cesi dapat mencakup seluruh kedaulatan atas wilayah; atau hanya
mencakup sebagian dari kedaulatan, seperti dalam kasus di mana
kedaulatan eksternal diserahkan oleh seorang kepala pribumi atau
penguasa negara dengan imbalan perlindungan. Dapat juga
dengan jalan pertukaran, penjualan, atau hadiah.34
Cara demikian didasarkan atas prinsip bahwa hak
pengalihan wilayah kepada pihak lain adalah atribut fundamental
dari kedaulatan suatu negara. Penyerahan suatu wilayah mungkin
34 M.F. Lindley, The Acquisition..., hlm. 166.
29
dilakukan secara sukarela atau dapat saja dilaksanakan dengan
paksaan akibat peperangan yang diselesaikan dengan sukses oleh
negara yang menerima penyerahan wilayah tersebut.35
b. Penaklukan (Conquest)
Penaklukan merupakan tindakan yang kejam (savage) dan
agresif. Namun kenyataannya banyak praktik-praktik agresi
militer pada akhirnya diterima oleh sebagian besar komunitas
internasional melalui pengakuan (recognition). Sejarahnya, pada
abad ke 19 tidak ada satupun kebiasaan internasional yang
membatasi hak negara untuk berperang, dengan begitu
penaklukan dan penggunaan kekerasan merupakan sesuatu yang
pasti (inevitably) diperbolehkan oleh hukum internasional
klasik,36
tanpa memperhatikan keadian atau ketidakadilan dari
tindakan tersebut.
Penaklukan pada akhirnya berhasil diakui sebagai suatu
proses pendudukan wilayah secara sah terjadi apabila perang
telah usai, pemenang telah ditentukan, dan terbuka baginya untuk
mencaplok sebagian atau seluruh wilayah. Hal tersebut
merupakan implikasi dari teori bahwa penguasaan suatu wilayah
tertentu yang ditaklukan mulai efektif ketika tidak ada
35 Adijaya Yusuf, “Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif dalam
Perolehan Wilayah: Perspektif Hukum Internasional”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, No. 1 Tahun XXXIII, (Januari-Maret 2003), hlm. 17. 36
Lukmanul Hakim Lubis, The Acquisition of a Territory: “Modes,
History and the International Practices, diakses dari
fh.unpad.ac.id/file/2017/01/Tulisan-2.pdf, pada 12 April 2018.
30
kemungkinan atau kesempatan pun dari negara yang ditaklukkan
untuk dapat kembali meraih wilayahnya.37
3. Teori Hegemoni
Setelah berhasil menguasai wilayah, maka langkah
selanjutnya ialah membangun kekuasaan atas realitas non-fisik
yang juga sangat berpengaruh bagi berlangsungnya kolonialisme.
Realitas yang akan dikuasai tersebut dapat saja meliputi domain
politik, ekonomi, sosial budaya, ideologi, pendidikan dan lain
sebagainya. Untuk mengenali kekuasaan tersebut dari pihak
penjajah terhadap terjajah, di sini saya gunakan konsep
hegemoni.
Hegemoni itu sendiri adalah kekuatan atau dominasi yang
dimiliki oleh kelompok sosial atas orang lain, yang merujuk pada
kondisi "saling ketergantungan asimetris" hubungan politik-
ekonomi-budaya di antara negara-bangsa atau perbedaan di
antara kelas-kelas sosial dalam suatu bangsa. Definisi lain
menurut Stuart Hall, hegemoni adalah dominasi dan sub-ordinasi
dalam hubungan yang terstruktur oleh kekuasaan. Hall
melanjutkan, bahwa kelas dominan menetapkan batas mental dan
struktural dalam kelas-kelas sub-ordinat “hidup” dan memahami
sub-ordinasi mereka sedemikian rupa untuk mempertahankan
dominasi.38
37 M.F. Lindley, The Acquisition..., hlm. 160-161.
38 James Lull, Media, Communication, Culture: A Global Approach,
(Cambridge: Polity Press, 2000), hlm. 33-34.
31
Adapun konsep hegemoni Gramsci menurut Gwynn
Williams adalah sebuah tatanan mengenai cara hidup dan
pemikiran tertentu yang dominan, yakni adanya satu konsep
realitas tersebar di seluruh masyarakat dalam semua manifestasi
institusionalnya, memberi informasi dengan semangat, semua
rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip-prinsip agama dan politik, dan
semua hubungan sosial, khususnya dalam konotasi intelektual
dan moral mereka.39
Ada tiga konsep pokok dalam teori hegemoni Gramsci,
yaitu ekonomi (economy), masyarakat politik (political society),
dan masyarakat sipil (civil society).40
Pertama, ekonomi adalah
konsep yang diartikan sebagai cara produksi yang dominan dalam
masyarakat yang terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial
produksi. Kedua, masyarakat politik merupakan tempat
berlangsungnya birokrasi dan munculnya monopoli negara atas
cara-cara kekerasan.41
Istilah tersebut merujuk kepada hubungan
koersif yang mewujud dalam berbagai lembaga negara, seperti
angkatan bersenjata, polisi, penjara, dan kelengkapan lainnya.
Selain tindakan koersif, negara juga berperan membangun
konsensus melalui pendidikan dan fungsi kelembagaan. Ketiga,
masyarakat sipil adalah arena berlangsungnya persetujuan,
39 Joseph A. Woolcock, “Politics, Ideology, and Hegemony in
Gramsci‟s Theory” Jurnal Social and Economic Studies, Vol. 34, No. 3,
(September 1985), hlm. 204. 40
Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (ed.), Selections from
the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, (New York: International
Publishers, 1971), hlm. 262. 41
Walter L. Adamson, Hegemony and Revolution. Antonio Gramsci’s
Political and Cultural Theory, (California: University of California Press,
1980), hlm. 170.
32
hegemoni, dan pengarahan, dalam oposisi konseptual terhadap
negara (masyarakat politik) yang merupakan tempat paksaan,
kediktatoran, dan dominasi. Karenanya, masyarakat sipil
sekaligus merupakan medan politik tempat kelas dominan
mengatur hegemoni dan domain di mana partai-partai dan
gerakan-gerakan oposisi berorganisasi, memenangkan sekutu dan
membangun kekuatan sosial mereka.42
Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, akan terlihat bahwa
Belanda berupaya membangun dominasinya atas masyarakat
Lampung, baik dengan langkah koersif ketika ada perlawanan
atau kekacauan dan penciptaan keteraturan, serta pencapaian
konsensus yang terpaksa diterima pribumi yang belum mampu
membangun kembali daya kontra-hegemoni pasca ditaklukkan
pada tahun 1856. Bentuk hegemoni Belanda atas Lampung ialah
bidang politik melalui penguasaan dan pengintegrasian
pemerintahan marga ke dalam format pemerintahan Hindia
Belanda, serta kemudian bidang ekonomi dengan lahirnya
regulasi di berbagai sektornya.
4. Teori Politik Ekonomi
Regulasi merupakan hasil dari kehendak politik yang lahir
dari konsensus berbagai elemen pemangku kepentingan dalam
masyarakat. Berbicara masalah regulasi di bidang ekonomi
berarti mengaitkan politik dan ekonomi. Kaitan keduanya dapat
dilihat dari kekuatan politik dan ekonomi yang sangat berperan
42 David Forgacs (ed.), The Antonio Gramsci Reader: Selected
Writings 1916-1935, (New York: New York University Press, 2000), hlm. 224.
33
dalam interaksi strategis di antara berbagai kepentingan di setiap
proses pembuatan kebijakan. Bahkan sampai disebut bahwa
kolaborasi antara politik dan ekonomi adalah jantung dari
pembuatan kebijakan publik. Hal itulah yang menjadi inti dari
konsep yang dikenal sebagai "politik ekonomi" (political
economy/political economics).43
Secara arti kata, politik ekonomi berasal dari gabungan
kata dalam bahasa Yunani, yaitu politikos - negara, sosial; oikos -
rumah tangga atau manajemennya; dan nomos - aturan atau
hukum, maka secara luas dapat diartikan sebagai “hukum
manajemen negara”.44
Adapun definisi politik ekonomi secara
istilah adalah suatu strategi, kebijakan, dan program ekonomi
atau lebih sederhana disebut kebijakan ekonomi. Kebijakan
ekonomi tersebut merupakan suatu keputusan politik, yang
didasarkan pada pertimbangan rasionalitas ekonomi.45
Istilah politik ekonomi pertama kali digunakan oleh
merkantilis Prancis, Antoine de Montchrestien dalam karyanya
berjudul Treatise of Political Economy pada tahun 1615, yang
berisi rekomendasi tentang bagaimana menjalankan ekonomi
negara dan melipatgandakan kekayaan negara. Walaupun
43 Pendekatan penggunaan istilah yang sesuai pertama kali disebut
political economy, tetapi kemudian dikenal sebagai political economy atau
political economics. Dalam Agnes Benassy-Quere, et.al., Economic Policy:
Theory and Practice, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 04.
Gordon C. Rausser, Johan Swinnen, dan Pinhas Zusman, Political Power and
Economic Policy: Theory, Analysis, and Empirical Applications, (New York:
Cambridge University Press, 2011), hlm. 03. 44 Sergei Ilyin dan Alexander Motylev, What is Political Economy?
(Moscow: Progress Publishers, 1986), hlm. 104. 45
Didik J. Rachbini, Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi
Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 43.
34
kemudian terus terjadi perkembangan, namun istilah politik
ekonomi pada periode merkantilisme pada dasarnya adalah aturan
tentang pengelolaan urusan negara. Merkantilisme sendiri
merupakan paham yang meyakini pentingnya peran perdagangan
bagi perekonomian, dan emas serta uang merupakan bentuk
utama dari kekayaan.46
Analisis politik ekonomi berupaya menjelaskan pemilihan
dan implementasi kebijakan publik. Kaitan ini dalam proses
pembuatan kebijakan sebagai fungsi birokrasi pemerintah dan
tindakan para pemangku kepentingan. Kelompok-kelompok
kepentingan sebagai agen yang mewakili pemangku kepentingan
adalah unit analisis. Dalam proses pembuatan kebijakan,
kelompok-kelompok kepentingan bersaing dengan memanfaatkan
segala kemampuan sumber daya materi dan non-materi untuk
memproduksi tekanan yang dapat mempengaruhi rancangan dan
implementasi kebijakan secara taktis. Setelah kebijakan
dirancang dan atau selanjutnya berhasil diimplementasikan,
proses dimulai dengan penilaian pemenang dan yang kalah.
Beberapa kelompok memikul beban kebijakan publik, dan
kelompok lain dapat menuai keuntungan dari kebijakan
tersebut.47
Formulasi politik ekonomi dalam sejarahnya adalah
kerangka “teori negara,” atau dalam bentuknya yang paling awal,
kerangka “politik ekonomi radikal”. Di sini, kekuatan politik
46 Sergei Ilyin dan Alexander Motylev, What is Political Economy?...,
hlm. 103-104. 47
Gordon C. Rausser, Johan Swinnen, and Pinhas Zusman, Political
Power and Economic Policy:..., hlm. 4.
35
memainkan peran penting. Kelompok kepentingan dibentuk oleh
dua kelas: kelas kapitalis dominan dan kelas pekerja. Dalam versi
yang paling sederhana, kelas dominan atau pemilik modal
menggunakan kekuatan politik mereka untuk mengendalikan
sumber daya negara. Kelas dominan mentransfer kekayaan ke
dirinya sendiri melalui pemerintah dengan berbagai mekanisme
kelembagaan.48
Berdasarkan teori di atas, hegemoni ekonomi yang
dibangun melalui ketetapan regulasi, berkaitan dengan penerapan
prinsip ekonomi yang dianut oleh Belanda. Prinsip-prinsip
tersebut lahir dari kontestasi para pemangku kepentingan di
negeri induk, yang titik simpulnya adalah agar tanah koloni dapat
mentransfer kekayaan besar bagi mereka melalui pemerintahan
Hindia Belanda dengan segala perangkat dan kelembagaannya.
Berbagai bentuk dan perubahan kebijakan ekonomi yang
pernah diterapkan di Lampung yang juga mengikuti kebijakan
nasional merupakan gambaran adanya persaingan dan berlakunya
pengaruh pemangku kepentingan dengan segala kekuatan
mereka, baik secara politik di gedung parlemen, maupun kapital
dalam wajah korporasi dan investasi. Kebijakan yang
dimunculkan itu secara berurut ialah Cultuurstelsel, Liberal, dan
Politik Etis.
Kebijakan eksploitatif pertama ialah Cultuurstelsel yang
merupakan rumusan pemikiran dari kalangan konservatif dengan
menitikberatkan peran negara pada penguasaan langsung
48 Gordon C. Rausser, Johan Swinnen, and Pinhas Zusman, Political
Power and Economic Policy:..., hlm. 11.
36
ekonomi. Paradigmanya menjadikan tanah koloni lebih berdaya
guna dan menyelamatkan krisis finansial negeri induk. Pada masa
ini, komoditi di Lampung yang menjadi andalan untuk terus
diproduksi guna kepentingan ekspor ialah lada.
Kebijakan selanjutnya yakni ekonomi Liberal yang
dikonsep oleh kapitalis dalam arus liberalisme. Peran negara
dalam ekonomi pada periode ini mulai disusutkan, ia tidak lagi
menjadi operator melainkan sebagai administrator pencipta
regulasi yang menarik peran swasta untuk menggerakkan roda
perekonomian di tanah koloni dengan kekuatan modalnya. Modal
yang diinvestaikan di Lampung melalui sistem sewa tanah
mewujud dalam pembentukan perusahaan-perusahaan yang
berbasis perkebunan dengan karet dan kopi sebagai komoditas
utama.
Di akhir masa terdapat Politik Etis yang merupakan hasil
pengkritisan terhadap kebijakan terdahulu dengan cita-cita
idealnya ditujukan sebagai bentuk balas budi kepada pribumi.
Melalui tiga kebijakan utama yang diproyeksikan akan
berpengaruh langsung pada kesejahteraan pribumi, -emigrasi,
irigasi, edukasi- Lampung dipilih menjadi lokasi realisasi dan
tujuan perdana dari program emigrasi dengan nama kolonisasi
(kolonisatie) yang diikuti program irigasi.
C. Kajian Pustaka
Penulis mencoba mencari dan menemukan beberapa karya
ilmiah yang memiliki objek kajian setipe atau bersinggungan
dengan permasalahan yang akan diteliti. Tidak banyak hasil
37
kajian yang memfokuskan Lampung masa kolonial dalam bentuk
spesifik dan utuh, lebih sering dijumpai periode tersebut hanya
disinggung yang merupakan bagian dari keluasan isi kajian,
sebagaimana misalnya buku Sejarah Daerah Lampung. Maka
penulis menemukan beberapa karya yang membicarakan tentang
sejarah Lampung pada masa kolonialisme yang lebih banyak
menyoroti aspek ekonomi, politik, dan konflik. Karya tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Perkebunan dan Perdagangan Lada di Lampung Tahun 1816-
1942.49
Karya ini ditulis oleh Laelatul Masroh yang mengkaji
sejarah Lampung sebagai salah satu wilayah yang produksi
ladanya dipertahankan karena lada hitam lampung termasuk
komoditi yang terbaik. Petani lada diwajibkan untuk menjual
produknya kepada pemerintah kolonial melalui kepala-kepala
marga. Lada merupakan komoditi wajib untuk ditanam namun
dalam skala yang kecil. Wilayah produksi lada dibatasi untuk
menjaga harga lada. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
kemunduran dan kemajuan perdagangan lada di Lampung yaitu
penyakit tanaman, kesalahan dalam mengelola, hama, dan
digantikan dengan tanaman ekspor lainnya. Dalam
pengembangan perkebunan, pemerintah membutuhkan karyawan
49 Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada di Lampung
Tahun 1816-1942”, Jurnal Sejarah dan Budaya, Tahun ke-9, No. 1, (Juni
2015), hlm. 64-78.
38
yang terdidik sehingga memunculkan sekolah-sekolah di berbagai
wilayah di Lampung.
2. Perdagangan Lada di Lampung dalam Tiga Masa 1653-
1930.50
Kajian tersebut ditulis oleh Iim Imadudin. Masih sama
seperti judul pertama, yakni fokus dalam bidang kebijakan
ekonomi. Artikel ini mengungkap dinamika perdagangan lada di
Lampung dalam tiga sistem politik. Dan gambaran terjadinya
perebutan pengaruh di kawasan tersebut tercipta dalam pola
dominasi dan subordinasi. Lampung sebagai penghasil lada
berada dalam pengaruh Banten, VOC, dan pemerintah Hindia
Belanda. Dengan demikian, tidak terhindarkan berlangsungnya
eksploitasi ekonomi di dalam hubungan tersebut.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dinamika
perdagangan lada di Lampung tidak terlepas dari berbagai pihak
yang bersaing. Para pemainnya adalah Kesultanan Banten, VOC,
dan pemerintah Hindia Belanda. Namun, tidak dapat
dikesampingkan peranan elit lokal Lampung. Memudarnya
perdagangan lada, selain karena faktor internal, seperti tidak
optimalnya pemeliharaan kebun lada, juga disebabkan
menurunnya permintaan dari pasar internasional. Faktor
monopoli perdagangan lada oleh kekuatan asing turut
50 Iim Imadudin, “Perdagangan Lada di Lampung dalam Tiga Masa
(1653-1930)”, Jurnal Patanajala, Vol. 8, No. 3, (September 2016), hlm. 349-
364.
39
menghancurkan sistem perdagangan lada yang telah berlangsung
cukup lama.
3. Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih terhadap
Kolonialisme Belanda di Lampung Tahun 1850-1856 M.51
Penelitian tersebut merupakan karya Binti Fadilah Arfi
berupa kajian yang membahas gerakan perlawanan Keratuan
Islam Darah Putih terhadap kolonialisme Belanda di Lampung
Selatan tahun 1850-1856 M. Keratuan Islam Darah Putih
merupakan salah satu penguasa di Lampung yang mempunyai
hubungan darah dengan kesultanan Banten.
Pembahasan tentang gerakan perlawanan ini merupakan
kelanjutan dari penelitian yang sudah ada dengan memfokuskan
tahun 1850-1856 M sebagai proses dan memuncaknya gerakan
perlawanan masyarakat Islam serta berakhirnya pemerintahan
Islam yang ada di Lampung, yaitu Keratuan Islam Darah Putih.
Selain itu perlawanan Keratuan Islam Darah Putih pada tahun
1850-1856 ini merupakan perlawanan dalam skala besar yang
melibatkan sebagian masyarakat Banten dan Lampung.
Pembahasan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi
beberapa hal penting. Pertama, keadaan Lampung sebelum terjadi
perlawanan Keratuan Islam Darah Putih, kedua proses terjadinya
gerakan perlawanan Keratuan Islam Darah Putih, mulai dari
51 Binti Fadilah Arfi, “Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih
terhadap Kolonialisme Belanda di Lampung Tahun 1850-1856 M”, Jurnal
Juspi, Vol. 1, No. 1, (2017), hlm. 87-111.
40
persiapan hingga terjadinya perang, dan ketiga, dampak yang
dihasilkan dari gerakan perlawanan.
4. Sungai Tulang Bawang dalam Perdagangan Lada di
Lampung pada Periode 1648 hingga 1914.52
Karya yang ditulis oleh Gregorius Andika Wibowo ini
mengkaji pasang surut peran sungai Tulang Bawang sebagai jalur
transportasi dalam perdagangan komoditas lada di Lampung
sejak masa kekuasaan Banten hingga Hindia Belanda. Di situ
diuraikan peran penting sungai pada periode puncak keramaian
hingga perjalanan menuju kesurutan karena digerus oleh
kehadiran sarana transportasi modern melalui jalur darat berupa
jalan raya dan rel kereta api yang dibangun oleh pemerintah
Belanda di Sumatera Selatan. Untuk jalur Lampung sendiri
dimulai dari Teluk Betung hingga Martapura.
5. Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan di Karesidenan
Lampung pada Periode 1856 hingga 1930.53
Karya Gregorius Andika Wibowo dalam jurnal ini
memiliki titik singgung yang erat dengan tesis yang saya tulis,
terutama pada sisi pembangunan dan aktivitas ekonominya.
Sedangkan perbedaannya nampak pada upaya dominasi politik
dan implementasi kebijakan bagi perkembangan ekonomi.
52 Gregorius Andika Wibowo, “Sungai Tulang Bawang dalam
Perdagangan Lada di Lampung pada Periode 1648 hingga 1914”, Jurnal
Masyarakat dan Budaya, Vol. 19, No. 2, (2017), hlm. 253-268. 53
Gregorius Andika Wibowo, “Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan
di Karesidenan Lampung pada Periode 1856 hingga”, dalam Jurnal Patanjala,
Vol. 10, No. 2, (Juni 2018), hlm. 431-446.
41
Ia mendeskripsikan aktivitas ekonomi dan perdagangan di
Lampung yang ditopang oleh sektor produksi perkebunan dan ada
sedikit pertambangan sebagai alternatif. Untuk membangkitkan
aktivitas itu dibuatlah kebijakan pemberian konsesi kepada
penguasaha dan diberi jaminan perlindungan, sehingga
mendorong eksploitasi ekonomi yang terstruktur dan turut
membuka pusat-pusat ekonomi baru di wilayah Lampung.
Terhadap banyak kendala pada sektor transportasi bagi
perdagangan, pemerintah membangun sejumlah infrastruktur dan
pelayanan pelayaran oleh KPM. Sedangkan untuk menangani
kekurangan tenaga kerja pada masa ekonomi tinggi, pelaksanaan
program koloniasasi adalah langkah yang menjadi solusi.
6. Pembangunan Irigasi Way Tebu sebagai Kebijakan Etis
Pemerintah Kolonial Belanda di Pringsewu Tahun 1927.54
Kajian lainnya tentang Lampung dengan nuansa ekonomi
ialah sejarah pembangunan irigasi Way Tebu yang ditulis oleh
Karsiwan pada tahun 2013. Karya ini menguraikan seluk-beluk
pentingnya membangun infrastruktur penunjang pertanian berupa
pengairan terkait peningkatan produksi beras yang merupakan
salah satu tujuan dari pelaksanaan program kolonisasi
berdasarkan konsep trias politica-nya Politik Etis.
Kehadiran para kolonis Jawa di Lampung memberi warna
pada budidaya padi melalui sistem sawah yang sebelumnya
54 Karsiwan, Pembangunan Irigasi Way Tebu sebagai Kebijakan Etis
Pemerintah Kolonial Belanda di Pringsewu Tahun 1927, diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/1631, pada tanggal 8
November 2018.
42
memang tidak diterapkan di wilayah ini. Sistem sawah yang
membutuhkan lahan luas dan pengairan secara kontinyu, telah
mendorong pemerintah kolonial membangun sarana dan
penyediaan area untuk dibuka. Sarana yang dibangun tersebut
berupa irigasi di daerah Pringsewu dan Tanggamus yang diberi
nama Way Tebu. Sebagaimana diharapkan, akhirnya Lampung
berhasil meningkatkan produksi beras, bahkan terjadi surplus
untuk dikirim ke luar secara perdana pada tahun 1936.
43
D. Kerangka Berpikir
Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung (1800-1942)
Permasalahan
Metodologi
Temuan
Bagaimana politik ekonomi
Belanda terhadap Lampung?
Kolonialisme
Pendekatan:
Ekonomi dan Politik
Teori
Penguasaan Wilayah
Hegemoni
Prakondisi Lampung
menuju kolonialisme
Cessie
Conquest
Politik:
Penataan administrasi
pemerintahan
Ekonomi:
Kebijakan
perekonomian
Produksi Distribusi Konsumsi Ketenagakerjaan
Hasil
Politik Ekonomi
Lada,
Karet,
Kopi,
Beras.
Sarana:
Jalan raya,
Kereta api,
Pelabuhan
Beras,
Garam,
Barang dan
jasa mewah
Pemenuhan
tenaga kerja
dengan program
kolonisasi.
44
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dimulai dari
kehendak Belanda menguasai Lampung yang sangat potensial
dengan prinsip kolonialismenya. Untuk itu Belanda menerapkan
strategi dalam mengakuisisi wilayah dan membangun hegemoni
dalam bidang politik dan ekonomi. Kedua langkah tersebut
mulanya dijalankan dengan perolehan wilayah terlebih dahulu,
selanjutnya disusul dengan hegemonisasi secara beriringan
mengingat proses penguasaan atas wilayah Lampung berlangsung
dalam waktu yang panjang. Cara untuk memperoleh wilayah
ialah dengan cessie dan conquest, yang di dalamnya tergambar
pula sebuah reaksi dari masyarakat Lampung yang menjadi daya
hambat bagi laju penguasaan. Setelah kekuasan politik atas
wilayah stabil, maka dilanjutkan dengan membangun dominasi
ekonomi dalam berbagai sektornya melalui kebijakan politik
ekonomi.
45
BAB III
PRAKONDISI LAMPUNG MENUJU KOLONIALISME
BELANDA
A. Kondisi Geografis Lampung
Bentang alam Lampung menyediakan jalan panjang bagi
kemajuan sekaligus tantangan untuk wilayah ini. Sebagaimana
muncul dan majunya peradaban di banyak kawasan yang bermula
dari interaksi manusia dengan lingkungannya. Demikian juga
kemajuan Lampung hingga didominasinya wilayah ini oleh
kekuatan luar tidak terlepas dari konsekuensi geografisnya.
Wilayah Lampung secara posisi dan topografi dapat
dikatakan cukup menunjang bagi prasyarat berkembangnya
peradaban. Dalam hal posisi, wilayah ini sangat strategis, yakni
berada di ujung selatan Sumatera dan berhadapan dengan Pulau
Jawa yang merupakan tempat dari banyak tumbuhnya pusat
politik, ekonomi, dan budaya. Salah satu yang terdekat ialah
Kesultanan Banten. Sedangkan di utaranya ialah pusat-pusat
perkembangan negara kerajaan Melayu Sumatera dan
Semenanjung Malaya, dengan jirannya ialah Kesultanan
Palembang. Di kemudian waktu interaksi antara Palembang dan
Banten berubah menjadi rivalitas hingga perang untuk
memperebutkan Lampung.
Berbatasan dengan Selat Sunda di selatan, Laut Jawa di
timur, dan Samudera Hindia di pesisir baratnya, semua itu
merupakan jalur komersil Nusantara dan dunia, dengan Selat
46
Sunda sebagai gerbang utamanya menuju timur jauh,55
dimana
lalu lintas dunia berjalan, menjadikan Lampung dilirik serta
ditarik dalam arus ekonomi global.
Hal demikian terjadi sejak masa pra-aksara, Hindu-Budha,
Islam, hingga kolonialis Eropa. Yang disebut terakhir
sebagaimana Portugis tahun 1518-1520,56
dan kemudian Inggris
di pesisir barat Lampung pada 1713 yaitu Silebu/Krui. Lalu
akhirnya Belanda, yang juga sebelumnya pernah membentuk rute
baru bagi Eropa di pesisir barat Sumatera ke Selat Sunda demi
menghindari Portugis di Selat Malaka.
Dalam hal topografi, dataran tinggi dan pegunungan yang
curam dari rangkaian Bukit Barisan berada di sisi barat. Dihiasi
pesisir berlekuk membentuk teluk-teluk yang nyaman bagi
berlabuhnya kapal di sebelah tenggara,57
sedangkan dataran
rendah yang disebut “tanah tenggelam” oleh pegawai VOC
meliputi hampir setengah wilayah terdapat di bagian timur hingga
utara Lampung58
dilengkapi dengan mengalirnya sungai-sungai
besar yang bercabang, beranak dan membuahkan kesuburan,
55 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral: Resistance
and Pacification in Lampung during the 18th and 19th Centuries”, Southeast
Asia-Culture and History, No. 19, 1990, hlm. 88 56
Supangat, dkk., Sejarah Perkembangan Pemerintah di Lampung...,
hlm. 74 57
M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: Het Vervoer
over Water, (Weltevreden: Zuid Sumatra Land en Nijverheids Vereeniging,
1917), hlm. 03. 58
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 32
47
yang melalui itu kebudayaan masyarakat Lampung membentuk
coraknya.59
Beberapa sungai besar yang menjadi arena mengalirnya
kehidupan masyarakat Lampung ialah Way Tulang Bawang, Way
Sekampung, Way Seputih, Way Jepara, dan Way Mesuji di
bagian timur, serta Way Semangka di bagian barat.60
Sebagaimana Gusti Asnan menyatakan bahwa keberadaan Bukit
Barisan di sebelah barat menimbulkan perbedaan topografis yang
kontras antara barat dan timur Sumatera, menjadikan sungai-
sungai yang mengalir di sebelah timur umumnya besar, panjang,
dalam, dan berair tenang sehingga dapat dilayari hingga ke
pedalaman.61
Demikian pula dengan sungai-sungai besar tersebut
di atas.
Salah satu sungai yang berperan dalam sejarah Lampung
bahkan Sumatera adalah Sungai Tulang Bawang. Sungai yang
terletak di pantai timur Lampung ini telah memainkan peran
penting sejak kemunculan kerajaan Tulang Bawang sekaligus
59 Sejarah masyarakat Lampung dalam membentuk kesatuan sistem
adat dan pemerintahan berdasar pada aliran sungai yang mereka lalui dan
tempati atau menjadi tapal batas wilayah dan membentuk tata nama, misalnya
Lampung Pubian yang sejarahnya nenek moyang mereka menyusuri Way
Pengubuan hingga hulu Way/Sungai Pubian dan mereka bemukim di
sekitarnya. Maka mereka mengidentifikasi kelompoknya dengan nama sungai
tersebut. 60
Budi Wiryawan dkk., Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung,
(Bandar Lampung: Pemda Propinsi Lampung, 1999), hlm. 2. 61
Gusti Asnan, Perspektif Geografis Jaringan
Pelayaran/Perdagangan Sumatera (Indonesia Bagian Barat), Makalah
disajikan pada Konferensi Nasional Sejarah X di Jakarta pada 7-10 November
2016. Hlm. 4.
48
kota pelabuhan Menggala dan perdagangan komoditas bagian
pedalaman, khususnya lada hingga masa kolonial.62
Dikelilingi oleh laut hampir di semua sisinya kecuali
bagian utara, maka menjadikan Lampung memiliki beragam
kenampakan alam perairan seperti teluk dan pantai yang
menunjang aktivitas kehidupan khas pesisir. Teluk Lampung dan
Teluk Semangka merupakan dua wilayah yang difungsikan untuk
membentuk komunitas politik dan ekonomi. Misalnya di Teluk
Lampung dengan pendirian Kampung Negeri sebagai kedudukan
Kebandaran Balak Marga di Teluk Betung dan pelabuhannya
yang menghadap Selat Sunda,63
yang terkenal sebagai mata rantai
pelayaran dan niaga di Nusantara bagian barat, dari masa
Kesultanan Banten hingga Belanda.
Di bawah kekuasaan Belanda, wilayah Lampung memiliki
batas-batas administratif sebagai berikut: bagian utara berbatasan
dengan Karesidenan Palembang (Distrik Komering Ilir), sebelah
timur dengan Laut Jawa, di selatan dengan Selat Sunda, barat
dengan Karesidenan Bengkulu (Distrik Krui) dan Karesidenan
Palembang (Distrik Belalau dan Komering Ulu). Perbatasan
tersebut sesuai dengan Keputusan Pemerintah 1 Juni 1824 No. 18
(Staatsblad 1824, No. 27).64
62 Gregorius Andika Wibowo, “Sungai Tulang Bawang..., hlm. 254.
63 Zafran Febriadi, Tinjauan Historis Masuk dan Berkembangnya
Islam di Teluk Betung, diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/2655, pada tanggal 04
Juli 2017. 64
F. G. Steck, “Topographische en Geographische Beschrijving der
Lampongsche Districten”, Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en
49
B. Kondisi Demografi Lampung
Kondisi geografi yang menyediakan modal bagi kemajuan
kehidupan sebagaimana di atas menjadikan tanah Lampung
sebagai rumah harapan bagi penduduk asli maupun pendatang.
Para pendatang melihat wilayah yang subur dan strategis ini
cocok untuk menjadi arah migrasi dengan tujuan pemenuhan
ekonomi. Di lain sisi, tuan rumah pun memiliki sikap mental
yang terbuka dan penerimaan yang baik terhadap kedatangan
orang luar. Sehingga terjadilah interaksi yang dalam perjalanan
waktu membentuk corak dan komposisi demografis.
Hal ini penting dilihat karena demografi akan
berpengaruh kepada laju perkembangan ekonomi. Sebagaimana
diketahui bahwa jumlah penduduk Lampung yang sedikit
menjadikan daerah ini cenderung mengalami pelambatan karena
kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola alamnya.
Sehingga kelak Belanda mempertimbangkan wilayah ini untuk
tujuan program kolonisasi.
Selanjutnya, dengan keberadaan para pendatang dari
berbagai suku bangsa di Nusantara dan bangsa asing, demografi
Lampung menunjukkan dinamisasinya. Dinamika itu nampak
dalam komposisi, jumlah, dan sebarannya. Secara jumlah,
penduduk selalu mengalami peningkatan, hal itu disebabkan oleh
tingkat fertilitas, booming ekonomi awal abad ke-20, dan migrasi,
terlebih ketika pemerintah Hindia Belanda mengadakan program
kolonisasi penduduk Jawa yang dimulai pada tahun 1905.
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 8ste Deel, Nieuwe Volgreeks, 4e Deel,
1862, hlm. 70.
50
Secara komposisi, di luar orang Lampung terdapat juga
suku-suku Nusantara lain seperti Melayu, Minangkabau, Banten,
Jawa, dan Bugis. Sedangkan bangsa asing terdapat orang
Tiongkok, Arab, dan Eropa. Dalam hal sebaran penduduk, lebih
banyak terkonsentrasi di daerah pemukiman dan pusat ekonomi
di tepian sungai atau pantai yang meliputi Teluk Betung, Tulang
Bawang, Sekampung, Seputih, dan Semangka. Pada tahun 1860,
data menunjukkan komposisi dan sebaran penduduk di Lampung
sebagai berikut:65
Tabel 1: Data sebaran penduduk berdasarkan suku bangsa per
wilayah.
Daerah Suku
Lampung
Suku
lainnya
Tiong
hoa
Arab Total
T. Betung 15.274 370 47 - 15.691
T. Bawang 23.383 468 4 - 23.855
Seputih 17.862 72 - 2 17.936
Sekampung 7.078 326 - - 7.404
Semangka 9.841 37 1 - 9.879
Dalam perkembangan lebih lanjut, data yang berhasil
dihimpun menunjukkan pertambahan komposisi dan jumlah
65 F. G. Steck, “Topographische en Geographische Beschrijving der
Lampongsche Districten”, Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 8ste Deel, Nieuwe Volgreeks, 4e Deel,
1862, hlm. 108.
51
penduduk yang signifikan, namun tidak dijabarkan wilayah
sebarannya. Sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini:66
Tabel 2: Data pertumbuhan penduduk berdasarkan suku bangsa
Tahun 1912
Pribumi Eropa Tiongkok Arab Lainnya Total
157.781 146 1.186 103 3 159.219
Tahun 1920
Pribumi Eropa Bangsa asing lainnya Total
229.608 600 3.695 233.903
Dari semula Lampung merupakan wilayah dengan jumlah
penduduk yang masuk dalam kategori minim jika dibanding
daerah Sumatera lainnya. Namun sebagaimana yang lain, di sini
juga terus terjadi peningkatan sepanjang tahun. Pertumbuhan
jumlah penduduknya secara keseluruhan dapat dilihat dari data
berikut ini:
Tabel 3: Data jumlah penduduk67
Tahun Jumlah Tahun Jumlah
1854 82.967 1895 136.688
1870 107.725 1900 141.364
1875 116.067 1905 156.518
66 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914, Afl. X, Deel 1, lampiran 1. Statistisch Kantoor, Statistisch Jaar
Over icht van Nederlandsch-Indi -Statistical Abstract for the Netherlands
East-Indies, (Buitenzorg: 1928), hlm. 10. 67
H. Frijlink, Nieuw Handboek der Aardrijkskunde, (Amsterdam:
Hendrik Frijlink, 1858), hlm. 269. Statistisch Kantoor, Statistisch jaar
Overzicht, hlm. 10. J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht...,
hlm. 101.
52
1880 125.400 1917 171.572
1885 118.550 1920 233.903
1890 127.300 1930 359.950
C. Mengenal Sosial Budaya Tanoh Lampung
Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai macam suku
bangsa dan kebudayaan yang hidup tersebar di gugusan pulau-
pulau, dari Sabang sampai Merauke. Salah satu suku bangsa di
Indonesia adalah Lampung, yang darinya dijadikan nama
propinsi. Daerah Lampung berubah menjadi Propinsi dari
sebelumnya karesidenan setelah memisahkan diri dari Propinsi
Sumatera Selatan pada tanggal 18 Maret 1964 berdasarkan UU
No. 14 tahun 1964. Daerah Lampung yang beragam adat dikenal
dengan semboyan "Sang Bumi Ruwa Jurai" atau "Rumah Tangga
Dua” (asal) keturunan yaitu penduduk asli dan penduduk
pendatang. Penduduk pendatang sebagian besar berasal dari
Jawa, Bali dan suku Sumatera lainnya. Penduduk asli disebut
Ulun Lampung yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi
dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat Lampung yang
beradat Pepadun dan masyarakat Lampung yang beradat
Peminggir atau Saibatin.
Asal usul orang Lampung adalah dari Sekala Berak yaitu
kerajaan yang letaknya di dataran tinggi Belalau, sebelah selatan
danau Ranau yang secara administratif kini berada di kabupaten
53
Lampung Barat.68
Orang Lampung memiliki sruktur hukum adat
tersendiri. Memiliki bahasa dan juga merupakan salah satu suku
bangsa yang mengembangkan aksara yang disebut Had
Lampung.
Orang Lampung atau yang bisa disebut ulun Lampung
adalah masyarakat beradat Lampung yang tinggal di daerah yang
bertepatan di ujung pulau Sumatera. Ulun Lampung menurut adat
istiadat adalah ulun Lampung yang beradat Pepadun dan ulun
Lampung yang beradat Saibatin serta ulun Lampung asli yang
berasal dari keturunan sekala berak yang berbudaya dan
berbahasa Lampung.
Saibatin merupakan sebutan kepada salah satu suku asli
Lampung yang berasal dari Sekala Berak, kemudian menyebar ke
wilayah pantai yang bermula dari pesisir barat hingga ke selatan
ujung Pulau Sumatera. Sedangkan yang menyebar di wilayah
pedalaman mengikuti alur sungai disebut Lampung Pepadun.
Dilihat dari segi geografis penyebarannya, orang
Lampung Pepadun bermukim daerah-daerah pedalaman seperti
Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang, serta Pubian.
Sementara Lampung Saibatin pada umumnya menempati daerah
pesisir sepanjang Teluk Betung, Teluk Semaka, Krui, Belalau,
Liwa, Pesisir, Rajabasa, Melinting, dan Kalianda. Namun ada
pula yang tinggal di luar Propinsi Lampung, yakni Komering dan
Ranau di Sumatera Selatan, serta Cikoneng di Banten.
68 Abdullah, dkk., Kamus Bahasa Lampung-Indonesia, (Bandar
Lampung: CV. Setiadji, 2008), hlm. 210.
54
1. Pengelompokan Orang Lampung
Ulun Lampung membuat sistem penamaan mereka
berdasarkan area sungai yang ditempuh dalam perjalanan dan
batas wilayah regional permukiman leluhurnya. Berikut ini
pengelompokannya:69
1. Pubian Telu Suku,
2. Abung Sewo Mego
3. Tulangbawang Mego Pak
4. Waykanan
5. Sungkai
6. Belalau/Krui
7. Peminggikh Semangka
8. Peminggikh Pemanggilan
9. Peminggikh Teluk
10. Melinting
11. Meninting
12. Komering/Kayuagung
13. Ranau/Muaradua
14. Cikoneng/Banten
Berikut ini pembagian suku Lampung berdasarkan beberapa
indikator:
a. Berdasarkan sistem adat
Kelompok adat Pepadun
a. Pubian Telu Suku
69 Sayuti Ibrahim, Buku Handak II: Mengenal Adat Lampung Pubian,
Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1995), hlm. 7-8.
55
b. Abung Sewo Mego
c. Tulangbawang Mego Pak
d. Waykanan
e. Sungkai
Kelompok adat Saibatin
a. Belalau/Krui
b. Peminggikh Semangka
c. Peminggikh Pemanggilan
d. Peminggikh Teluk
e. Melinting
f. Meninting
g. Komering/Kayuagung
h. Ranau/Muaradua
i. Cikoneng/Banten
b. Berdasarkan dialek bahasa
Dialek Api/A
a. Belalau/Krui
b. Peminggikh Semangka
c. Peminggikh Pemanggilan
d. Peminggikh Teluk
e. Melinting
f. Meninting
g. Komering/Kayuagung
h. Ranau/Muaradua
i. Cikoneng/Banten
j. Pubian Telu Suku
56
k. Waykanan
l. Sungkai
Dialek Nyow/O
a. Abung Sewo Mego
b. Tulang Bawang Mego Pak
2. Falsafah Hidup Orang Lampung
Ulun Lampung memiliki adat istiadat dan kebudayaan
yang lengkap serta masih terjaga dan terus diwariskan secara
turun temurun. Salah satu yang sangat penting ialah ulun
Lampung memiliki falsafah hidup yang disebut dengan Piil
Pesenggiri (rasa harga diri) yang merupakan nilai sosial sebagai
tatanan moral dan pedoman dalam bersikap, bertingkah laku dan
bertindak yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Piil berasal dari kata fiil dalam bahasa Arab, yang artinya
perilaku, dan Pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa
besar, tahu diri, mengerti hak dan kewajiban sehingga senantiasa
dapat hidup secara logis, etis dan estetis.70
Piil Pesenggiri merupakan konsep besar dari satu
kesatuan tata nilai yang saling berkait untuk membentuk karakter
ideal orang Lampung. Adapun unsur-unsur pembentuknya terdiri
dari: Juluk Buadek (bernama bergelar), Nemui Nyimah (terbuka
tangan/santun), Nengah Nyappur (hidup bermasyarakat), Sakai
70 Abdul Syani, Falsafah Hidup Masyarakat Lampung sebuah
Wacana Terapan, diakses dari
http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/02/falsafah-hidup-masyarakat-
lampung-sebuah-wacana-terapan/, pada 28 Juli 2018
57
Sambayan (tolong menolong/gotong royong) dan berpedoman
pada Titie Gemattei adat.71
Menurut Abdul Syani, uraian dari nilai-nilai Piil
Pesenggiri adalah sebagai berikut:72
a. Juluk Buadek
Secara etimologis Juluk Buadek (gelar adat) terdiri dari
kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna;
Juluk adalah nama panggilan keluarga yang diberikan waktu
mereka masih muda atau belum menikah, dan Adek bermakna
gelar/nama panggilan adat seorang yang sudah menikah melalui
prosesi pemberian gelar adat yang dilakukan dalam suatu upacara
sebagai media peresmiannya. Sebagai contoh nama gelar yang
diberikan ialah Pengiran, Dalom, Batin, Tumenggung, Radin,
Minak, dan Kimas.
Juluk Buadek merupakan konsep yang melekat pada tiap
pribadi, maka selayaknya tiap insan penyandang wajib menjaga
nama baik tersebut dalam segala tindak tanduk dalam pergaulan
di masyarakat dan menjadikannya sebagai identitas serta sumber
motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat
menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya
dalam setiap perilaku dan karyanya.
71 Sabaruddin, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir Dailek
O/Nyow dan Dialek A/Api, (Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, 2012), hlm.
24. 72
Abdul Syani, Falsafah Hidup Masyarakat Lampung...,
58
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu,
kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau
mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda
“simah”, kemudian menjadi kata kerja “nyimah” yang berarti
suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-
nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan,
suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan
kemampuan.
Nemui-Nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan
untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta
silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu
keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap
menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis
selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan
kewajaran.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah
menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan
nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja
nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat
diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat, dan toleran
antar sesama.
Nengah Nyappur mengandung nilai menjunjung tinggi
rasa kekeluargaan yang diaplikasikan dalam bentuk mampu dan
mau bersosialisasi dengan semua pihak dengan tidak memandang
59
perbedaan strata, suku, agama, dan golongan. Sikap luwes
tersebut akan menyuburkan jiwa yang toleran dan semangat
kerjasama.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang
atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang
bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung
menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau
untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa
tanpa mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong
royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub.
Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa
partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan
pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Akhirnya, keempat unsur Piil Pesenggiri tersebut
dilandasi oleh konsep Titie Gemattei. Titie Gemattei terdiri dari
kata titie dan gemattei. Titie berasal dari kata titi yang berarti
jalan, dan gemattie berarti lazim atau kebiasaan leluhur yang
dianggap baik. Wujud titie gemattei secara konkrit berupa norma
yang disebut kebiasaan masyarakat adat yang terbentuk atas dasar
kesepakatan masyarakat adat melalui suatu forum khusus (rapat
perwatin adat/keterem).
Titie gemattei berisi keharusan, kebolehan, dan larangan
yang melahirkan norma hukum (cepalo) untuk berbuat dalam
60
penerapan semua elemen Piil Pesenggiri. Memperhatikan proses
normatif hubungan sosial titie gemattei ini, maka dalam
penerapannya senantiasa fleksibel mengikuti tuntutan perubahan
kebutuhan dan zaman.
3. Pengaruh Kondisi Sosial Budaya terhadap Penguasaan
Belanda
Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam dan
sosialnya membentuk tata nilai yang kemudian dikristalisasi
menjadi sistem norma bagi komunitasnya. Sistem norma yang
ditransformasikan dalam segala perilaku dengan berbagai
atributnya membentuk corak sosial budaya. Maka sejatinya itulah
yang menjadi rujukan ideal bagi masyarakat si empunya nilai.
Demikian pula bagi ulun Lampung, nilai sosial budaya
yang dijunjung tinggi itu dijadikan pedoman hidup baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat sekaligus. Namun
dalam prakteknya, sistem nilai kerap diwarnai tafsir yang bias
dengan kepentingan pribadi, terlebih sekalipun terdapat indikator,
tapi tak memiliki standar pasti seperti apa penerapan yang
dikatakan ideal itu. Dalam keadaan demikianlah, pihak asing
menemukan celah untuk menyusupkan agendanya.
Beberapa kasus yang akhirnya menjadi jalan pintas bagi
terbangunnya kekuasaan eksternal, baik itu Banten dan kemudian
Belanda tanpa senjata terkait dengan kondisi sosial budaya dan
dipadu motif lainnya antara lain ialah pemahaman dan penerapan
konsep piil sebagai harga diri serta keterbukaan dan penerimaan
terhadap orang luar.
61
Pertama, sebagai gambaran bahwa keadaan ini telah
terjadi jauh hari sebelum kedatangan Belanda. Adalah penerapan
konsep piil sebagai harga diri untuk kepentingan gengsi dan
status sosial di tengah masyarakat telah mendorong petinggi-
petinggi atau kepala marga di Lampung untuk seba demi
menyampaikan pengakuan atas supremasi Sultan Banten, yang
imbalannya mereka diakui kedudukannya sebagai pemimpin
kelompoknya dan diberi embel-embel gelar kebangsawanan
dengan syarat mengirim lada dalam jumlah tertentu, lalu kepala
marga diberi piagam terukir di tembaga dan beragam hadiah
simbolik yang menaikkan privilege bagi pemiliknya.73
Segera tidak hanya kepala marga, bagi siapapun yang
sanggup mempersembahkan sejumlah lada, maka akan
memperoleh keistimewaan-keistimewaan yang sama. Akhirnya,
tak ada jalan lain selain mereka berlomba-lomba menanam lada
untuk ditukarkan dengan keharuman nama dan merayakan harga
diri dengan gelar yang mendapat pandangan mata dari rekan
senegaranya.74
Jadi selain perkara ekonomi, juga motivasi harga
diri yang kemudian memicu gesekan internal tak dapat dihindari.
Kondisi demikian terus berlanjut hingga masa Belanda.
Sebagai contoh kasus yang disampaikan oleh Ratu Melinting ke-
XVIII, Bapak Rizal Ismail menceritakan bahwa ada kebiasaan
yang “agak berbeda” dalam masyarakat Lampung untuk
73 H.D. Canne, “Bijdrage tot de Geschiedenis der Lampongs”,
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land, en Volkenkunde, Deel XI, Vierde Serie,
1862, hlm. 515. 74
H.D. Canne, “Bijdrage tot de Geschiedenis der Lampongs”..., hlm.
519.
62
meningkatkan gengsi demi harga diri dalam hal pembayaran
pajak kepada Belanda. Dalam memanfaatkan celah itu, Belanda
kerap menggunakan kalimat atau istilah-istilah untuk mengipasi
dan meninggikan hati rakyat Lampung demi kepentingannya
sendiri.
Dengan melontarkan kalimat “ada berapa laki-laki gagah
di kampung ini?” kepada pribumi, maka mereka terpancing untuk
gagah-gagahan. Karena yang disebut laki-laki gagah ialah yang
membayar pajak dalam jumlah besar. Istilah lainnya yang
berkembang di masyarakat ialah pembagian dua jenis pajak, yaitu
„pajak Palembang‟ dan „pajak Teluk Betung‟. Pajak Palembang
berarti wajib pajak membayar pajaknya ke Palembang, begitu
juga sebaliknya bagi pajak Teluk Betung. Pajak Palembang
dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi daripada pajak Teluk
Betung. Hal itu karena pajak Palembang selain jaraknya yang
lebih jauh dan membutuhkan dana besar untuk ongkos
perjalanan, tambahan pula nominal yang lebih besar jika
dibandingkan membayar pajaknya ke Teluk Betung.75
Maka melalui slogan-slogan provokatif Belanda itu,
mereka berlomba-lomba membayar pajak dengan jumlah besar ke
Palembang, dan kemudian berbanggalah menjadi lelaki gagah.
Bahkan F.G. Steck menyatakan, rasa bangga yang berlebihan
menjadikan mereka sangat rentan terhadap pujian,76
dan stimulasi
puji-puji itulah yang dimanfaatkan Belanda. Sekali lagi, dari
75 Wawancara dengan Ratu Keratuan Melinting, Bapak Rizal Ismail,
gelar Sultan Ratu Idil Muhammad Tihang Igama IV. 76
F. G. Steck, “Topographische en Geographische Beschrijving der
Lampongsche Districten”..., hlm. 103.
63
kedua contoh kasus, yang memperoleh surplus lebih besar adalah
pihak luar, yaitu Belanda.
Kedua, konsep nemui nyimah, merupakan sikap terbuka
dan menerima orang luar. Nilai ini pula yang mendorong ulun
Lampung dapat bergaul dan menerima siapa saja, termasuk
Belanda. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya benteng-benteng
Belanda di sejumlah tempat yang terkadang dikunjungi petinggi
pribumi untuk berkonsultasi masalah keamanan dan sengketa
dengan pihak lain, baik itu dari luar maupun sesama internal
Lampung.
Tambahan pula, jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni
pejabat Belanda yang melakukan kunjungan ke perkampungan,
maka masyarakat akan memberikan sambutan yang istimewa,
bahkan kehadiran seorang ambtenar dianggap sebagai sebuah
pesta. Menurut seorang kontrolir, G.J. Harrebomee, hal demikian
merupakan sebentuk sambutan yang tidak diperoleh di daerah
lain di Buitenbezittingen.77
Dalam hal kasus persengketaan, masyarakat Lampung
lebih memilih keterlibatan Banten atau kemudian Belanda
sebagai penengah yang keputusannya lebih dapat diterima
daripada keputusan perwatin. Sampai mereka yang tersangkut
hukum berpikir bahwa seharusnya keputusan dikeluarkan oleh
77 G.J. Harrebomee, “Eene Bijdrage over den Feitelijken Toestand der
Bevolking in de Lampongsche Districten: Rangen en Waardigheden,
Uitspanningen en Kleeding, Godsdienst, Huwelijk en de Positie der Vrouw”,
Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, 34ste
Deel [4e Volgreeks, 10e Deel] (1885), hlm. 08.
64
Belanda, bukan dari rekan sebangsa.78
Jika konflik dapat
diselesaikan dengan peran mereka, para petinggi itu akan
menunjukkan penghormatan dan berjanji memberi lada.79
Akhirnya, jika saja segenap masyarakat Lampung telah
memberikan kepercayaan terhadap masalah hukum dan keadilan
untuk diletakkan dalam genggaman Belanda, maka rasa-rasanya
tangan itu tak perlu lagi memegang senjata untuk mengekang
mereka. Tapi nyatanya masih banyak masyarakat dan kepala
marga yang menjaga kedaulatan sebagai piil-nya, kemerdekaan
bangsanya adalah harga dirinya, dan menjalin silaturahmi tanpa
lepas kendali ialah nemui nyimah-nya. Maka untuk itu, berkali-
kali moncong senjata Belanda diarahkan ke Serambi Sumatera.
D. Model Pemerintahan Lokal Lampung
Politik yang telah terstruktur dalam bentuk institusi yang
independen di Lampung sudah dimulai sejak bermulanya
pemerintahan suku bangsa Tumi di Skala Berak Lampung Barat
pada abad ke-3 M, dan Kerajaan Tulang Bawang di bagian timur
pada abad ke-7 M, yang keduanya merupakan kerajaan Hindu.80
Pemerintahan bangsa Tumi tersebut berakhir setelah dikalahkan
oleh para umpu dari Kesultanan Pagaruyung yang datang dari
78 H.D. Canne, “Bijdrage tot de Geschiedenis der Lampongs”..., hlm.
513. 79
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 72. 80
Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung, (Bandar Lampung: Kanwil
Depdikbud, 1997), hlm. 17.
65
Minangkabau yang sekaligus membawa misi ajaran Islam sekitar
abad ke-15.81
Setelah melewati masa peralihan, baik dalam tata politik
dan dakwah keislaman yang makin dinamis, proses perluasan
wilayah yang sekaligus persebaran para bangsawan dari Skala
Berak itu pada akhirnya membentuk komunitas-komunitas
genealogis lokal (kebuayan) baru yang dipimpin oleh paksi sang
pemegang otoritas, dan di kemudian waktu menjadi independen
dengan tetap saling menjaga hubungan kekerabatan.82
Dari model komunitas kebuayan tersebut terbentuklah
institusi pemerintahan adat marga yang membawahi beberapa
kampung/tiyuh, dan tiyuh membawahi beberapa suku (klan).
Marga merupakan institusi genealogis teritorial yang
menjalankan pemerintahan adat dengan asas kekerabatan. Marga
memiliki dan berkuasa atas tanah yang ada di sekeliling
wilayahnya. Tanah-tanah itu merupakan aset yang digunakan
untuk lahan pertanian bagi masyarakat adat dan sebagian
dicadangkan bagi keturunan di kemudian hari.83
Demi terciptanya keteraturan hak ulayat atas tanah, maka
para umpu yang memimpin kebuayan bermufakat untuk
mengakui hanya ada lima keratuan yang berhak atas tanah dan
pemerintah kebuayan di seluruh Lampung. Lima keratuan ini
81 Hilman Hadikusuma, Adat Istiadat Daerah Lampung, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hlm. 36. 82
Ter Haar, Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht, (Groningen-
Batavia: J. B. Wolters‟, 1939), hlm. 29 83
Sayuti Ibrahim, Buku Handak II..., hlm. 15-16
66
masing-masing dipimpin oleh ratu yang dipilih berdasarkan asas
primus inter pares. Keratuan yang dimaksud adalah:84
1. Keratuan di Puncak: berkuasa di Abung dan Tulang Bawang
2. Keratuan di Balaw: berkuasa Kedamaian, Tanjung Karang,
dan Teluk Betung
3. Keratuan Pemanggilan: berkuasa di Krui, Ranau, dan
Komering
4. Keratuan Pugung: berkuasa di Pugung dan Pubian
5. Keratuan Darah Putih: berkuasa di Kalianda dan Rajabasa
Dalam menjalankan peran kepemimpinan tersebut, para
petinggi melakukan pendekatan dengan kekuatan politik besar di
sekitarnya yang lebih maju dalam hal ketatanegaraan dan
perekonomian. Kesultanan Banten dan Palembang adalah dua
kutub yang menjadi pilihan logis untuk membangun legitimasi
dengan jalan memberi dukungan kesetian dan logistik berupa
hasil bumi yang kompensasinya adalah mendapatkan pengakuan
dan perlindungan. Walaupun kemudian dominasi Banten lebih
kuat di sepanjang abad 16-17.
Hal demikian tampak dalam kebiasaan Sultan Palembang
atau Sultan Banten yang masih melakukan pelantikan terhadap
para kepala marga dan pemberian gelar-gelar kehormatan yang
disandang para bangsawan lokal sebagai penghargaan dan
84 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 58. Hilman
Hadikusuma, Masyarakat dan Adat Budaya..., hlm. 32.
67
membangun ikatan atas pelaksanaan penanaman lada dan janji
pengiriman komoditas itu dalam jumlah tertentu.85
Untuk membangun hubungan politik bilateral yang
menempatkan Lampung dalam posisi sub-ordinat tersebut, maka
terbentuk tradisi kunjungan politik menghadap Sultan Banten
yang disebut dengan seba. Hasil dari tradisi itu ialah anugerah-
anugerah sultan yang meningkatkan kedudukan sosial
kebangsawanan di hadapan masyarakat dan sebagai instrumen
penting elit memperoleh dukungan dalam menghadapi konflik-
konflik lokal. Anugerah itu dapat berupa gelar-gelar seperti
punggawa, pangeran, ngabehi, dan radin yang merupakan
pegawai kesultanan, berikut dengan perkakas berbentuk atribut
penunjang seperti keris, tombak, pakaian, dan payung besar.86
Sebagai permulaan, telah dilakukan oleh kebuayan dalam
Keratuan di Puncak yang seba ke Banten sekitar abad ke-17,
maka bentuk pengaruh akan hal itu adalah peningkatan tata adat
pemerintahan dalam bentuk adat pepadun, yaitu suatu sistem
yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dan
pemerintahan dalam hal adat istiadat, sosial, dan ekonomi yang
berdasarkan musyawarah mufakat kepenyimbangan (prawatin),87
yang di masa kemudian konsep tersebut diadopsi oleh keratuan
lainnya.
85 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 67. 86
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 71. Iim Imadudin, “Perdagangan Lada di Lampung dalam Tiga Masa
(1653-1930)”, Jurnal Patanajala, Vol. 8, No. 3, (September 2016). 87
Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 58
68
Kepenyimbangan merupakan institusi yang berisi para
penyimbang. Istilah penyimbang itu sendiri berasal dari kata pe:
subyek; nyimbang/nyembang: mewarisi, jadi artinya orang yang
mewarisi. Sedangkan bagi kelompok adat Saibatin digunakan
istilah punyimbang yang terbentuk dari kata pun: yang terhormat;
simbang: mewarisi, maka artinya pewaris yang terhormat.88
Dalam tata pemerintahan adat Pepadun terdapat tiga
tingkatan, yaitu adat penyimbang marga, adat penyimbang tiyuh,
dan adat penyimbang suku.89
Pada masyarakat Pepadun setiap
orang yang memenuhi syarat secara materi berhak dinobatkan
menjadi penyimbang, sepanjang mendapat izin dari penyimbang
klannya. Kemudian para penyimbang marga meneruskan
pengajuan dan persetujuan dari klan bersangkutan dalam suatu
musyawarah/peppung. Setelah syarat terpenuhi baru para
penyimbang mengesahkan gawi-nya (acara adat naik pepadun)
dalam rangka pengakuan secara de facto dan de jure terhadap
berdirinya pepadun baru.90
Terkait hubungan Banten-Lampung dari seba tersebut,
sistem administrasi yang kemudian timbul adalah sub-ordinasi
antara Banten dengan Lampung dilakukan dengan dua jalan,
yakni pengiriman pegawai-pegawai Banten guna mengawasi
urusan-urusan lokal dan menunjuk kepala-kepala kampung
sebagai perwakilan sultan dengan gelar pangkat, sedangkan bagi
penduduk migran seperti Melayu, Jawa, dan Minangkabau yang
88 Sabaruddin, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir..., hlm. 64. 89
Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 58 90 Sabaruddin, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir..., hlm. 66.
69
terlibat perdagangan lada diangkatlah seorang kepala dengan
istilah bandar. Para elit lokal menyampaikan titah sultan kepada
bawahannya, dan para pegawai mengawasi pelaksanaan titah
tersebut. Jadi di tangan para kepala kampung inilah
sesungguhnya administrasi kekuasaan Banten terhadap
masyarakat lokal terjadi.91
Kondisi demikian terus berlangsung hingga kemelut
terjadi di Kesultanan Banten dalam edisi konflik perbutan tahta
yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjatuhkan Sultan
Ageng dan mengambil alih kontrol kesultanan melalui tangan
Sultan Haji.
Salah satu bentuk kontrol Belanda ialah pengambilalihan
hak untuk memonopoli lada Lampung melalui surat keputusan
Sultan Haji. Dampak bagi Lampung ialah kehadiran monopoli
Belanda yang tidak bisa dihindarkan. Walaupun di Lampung
sendiri terjadi perbedaan sikap dalam hal taat pada penguasa baru
yang pro Belanda tersebut maupun terhadap yang sudah
digulingkan.
Sejak sekitar abad ke-18 wilayah Lampung masih berada
di bawah Banten yang sudah tidak memiliki kekuasaan secara de
facto. Kini saatnya di bawah keratuan yang tersisa, Lampung
harus mempertahankan eksistensi kebebasannya sendiri, karena
berharap dukungan dari Banten maupun Palembang sudah tidak
91 Menurut Suzuki Tsuneyuki, bahwa pada abad ke-16 dan 17 muncul
dua jenis pemimpin dengan istilah pangkat dan bandar yang disematkan
kepada elit lokal di Lampung sebagai perwakilan sultan Banten. Ota Atsushi,
Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten..., hlm. 66-67.
70
dimungkinkan mengingat keduanya pun sudah dalam perjalanan
menuju terbenam.92
Lantas bagaimana jalan panjang perjuangan rakyat akan
ditanggapi oleh Belanda hingga cita-cita kolonial dapat terwujud
di tanoh Lampung melalui keputusan 22 November 1808 oleh
Daendels, sehingga akhirnya Lampung dapat ditarik ke dalam
kendali langsung pemerintah Belanda.93
92 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 101
93 Van Der Kemp, “Raffles' Bezetting van de Lampongs in 1818”,
Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië,
Deel 50, 1ste Afl. (1899), hlm. 01.
71
BAB IV
AKUISISI DAN HEGEMONI BELANDA ATAS LAMPUNG
A. Akuisisi Teritori
1. Penyerahan (Cessie) Lampung di Masa VOC
Daya tarik Lampung dalam bidang ekonomi memang
sanggup memaksa banyak pihak untuk ambil peran di dalamnya.
Sebut saja persaingan Banten dan Palembang, lalu ada aktor non-
negara seperti para bajak laut dan perampok, serta perusahaan
dagang negara antara Inggris dan Belanda juga memainkan
taktiknya. Ota Atsushi menyimpulkan bahwa produk paling
berharga seperti lada, rotan, damar, emas dan lainnya menjadi
alasan berbagai kelompok luar datang ke Lampung di sepanjang
abad ke-18.94
Di masa ini, Lampung yang merupakan sub-ordinat dari
Banten akan diambil alih oleh Belanda secara bertahap,
mengingat bukan hanya daerah ini yang akan direbut, namun juga
banyak wilayah lain di Nusantara yang ingin ditaklukan, maupun
perlawanan yang datang dari daerah yang tengah dipasifikasi.
Tambahan juga adanya persaingan dengan sesama bangsa Eropa
membuat niat itu tidak mudah dengan kekuatan yang terbatas.
Sebagai strategi Belanda, melalui perusahaan dagang
VOC untuk mengamankan kepentingan ekonominya atas wilayah
Lampung adalah dengan memanfaatkan Banten yang telah lebih
dahulu dikerdilkan kebebasan politiknya. Jalannya ialah
memanfaatkan konflik internal Banten dengan menyokong salah
94 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 45
72
satu pihak yang pro Belanda dan disodorkan sejumlah tuntutan
yang harus disepakati sebagai imbalannya. Jika telah terbentuk
pola hubungan model ketergantungan, maka selanjutnya tinggal
menciptakan penguasa-penguasa yang lemah.
Salah satu poin balas budi terpenting saat memberikan
dukungan pada Sultan Haji ialah penyerahan hak monopoli
perdagangan lada atas wilayah Lampung pada tahun 1682.
Melalui langkah ini VOC berhasil mendapatkan komoditi yang
sangat dicari dengan jalan menekan sultan untuk mengeluarkan
instruksi kepada para punggawa di Lampung untuk meningkatkan
produksi lada. Tambahan pula VOC melakukan kontak terbatas
dengan Lampung melalui pembangunan benteng untuk
pengamanan daerah penghasil lada di Tulang Bawang dan
Semangka pada tahun 1687 sebagai langkah kontrol dari tindakan
ilegal pengusaha lokal yang bermain dengan pesaing seperti
Palembang dan Inggris, serta gangguan para perampok.95
Penguasaan VOC makin kokoh lagi pada tahun 1752
dengan penandatanganan perjanjian oleh Sultan Abul Mohali
Mohammad Wasi Zainul Halimin (1752-1753) yang secara
eksplisit menandai sebuah era ketundukan, yaitu Banten menjadi
negeri jajahan yang dikontrol dan dilindungi Kompeni atas jasa
VOC yang membantu dan membiayai pemadaman
pemberontakan sejak masa Sharifah Fatima pada 1750.96
95 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral: Resistance
and Pacification in Lampung during the 18th and 19th Centuries”, Southeast
Asia-Culture and History, No. 19, 1990, hlm. 80 96
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 81
73
Karena pada dasarnya Belanda hanya menginginkan lada,
maka perjanjian itu membiarkan sultan tetap memiliki
kewenangan legal atas wilayahnya, menguasai sumber-sumber
pendapatan, dan menjadi perantara transaksi lada antara petani
dengan Kompeni.97
Dengan cara demikian, VOC memakai
tangan sultan untuk memperoleh lada dari Lampung, sekaligus
mampu menjaga stabilitas tatanan politik sehingga suplai lada
lebih terjamin. Hal itu dianggap sebagai langkah yang efisien
dibandingkan jika mengintervensi sendiri secara langsung di
wilayah-wilayah produksi.98
Namun mengingat fakta bahwa sejatinya wilayah
Lampung tidak sepenuhnya tunduk pada kekuatan eksternal
manapun melebihi kepentingan stabilitas harga lada dan
keamanannya, membuat VOC tidak juga konstan dan maksimal
dalam perolehan lada dengan jalan tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan terbatasnya kewenangan sultan
Banten hanya pada prosedur produksi dan transportasi dalam
transaksi lada dengan jalan mengangkat para petinggi Lampung
sebagai punggawa di daerahnya dan memberi gelar serta beragam
benda pusaka untuk memastikan kepatuhannya bukan dengan
tindakan militer. Maka sesungguhnya kekuasaan sultan tidak
benar-benar mencengkeram ke wilayah pedalaman.99
Apalagi
ditambah terjadinya kemunduran Kesultanan yang memudarkan
97 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 98 98
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 99 99
Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 58
74
pengaruhnya di Lampung, sedangkan VOC tidak berhasil
menggantikan peran itu,100
sehingga tidak heran jika pesaing
monopoli Banten dan VOC kerap dijadikan rekan bisnis “ilegal”
sepanjang mereka berani membayar dengan harga lebih mahal.101
Komplikasi yang diakibatkan oleh melemahnya
pemerintah pusat di Banten, merajalelanya perompakan dan
perampokan, banyaknya pesaing dalam perdagangan di daerah
yang makin tidak terkontrol baik oleh sultan dan VOC, dipadukan
dengan mewabahnya penyakit cacar dan bencana kemarau
panjang yang menimpa di beberapa wilayah di Lampung,
akhirnya berdampak pada penurunan produksi yang berarti juga
pengurangan volume pengiriman lada ke Banten bagi Kompeni
pada tahun 1770.
Dampak dari peristiwa tersebut ialah menurunnya
populasi di beberapa daerah bagian timur dan utara Lampung
yang terkena wabah cacar silih berganti sejak 1770 hingga 1786,
penyerangan dan perampokan oleh perompak hingga ke daerah
hulu sungai, bahkan menduduki pos-pos VOC pada 1793
menyebabkan Kompeni meninggalkan Tulang Bawang dan
migrasi penduduk lokal serta kekurangan bahan pangan. Terjadi
pula penyerangan pos VOC di Semangka oleh Inggris pada tahun
100 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral..., hlm. 83
101 Masyarakat Tulang Bawang kerap memilih menjual kepada
Palembang yang menawarkan harga tinggi, atau dengan Inggris yang
melakukan transaksi tunai di Semangka. Ota Atsushi, “Banten Rebellion,
1750-1752: Factors behind the Mass Participation”, dalam Jurnal Modern
Asian Studies, Vol. 37, No. 3, (July 2003), hlm. 630.
75
1782 yang membuat mereka akhirnya angkat kaki.102
Mengenai
keadaan yang demikian, Broersma mengatakan Lampung masuk
dalam “abad kegelapan dan kemunduran”.103
Upaya-upaya untuk menggiatkan kembali produksi dan
perdagangan lada di Lampung oleh VOC nyatanya tidak berhasil
sebagaimana diharapkan, hingga akhirnya VOC lepas tangan atas
keadaan itu. Untuk kemudian persekutuan dagang Belanda ini
dibubarkan pada 1799 dan Kesultanan Banten dihapuskan pada
1808.
2. Penaklukan (Conquest) Lampung oleh Belanda
Langkah selanjutnya bagi penguasaan wilayah yang efektif
perlu diambil. Setelah di rentang abad ke-18 upaya tersebut
mengalami hambatan, baik dari dalam maupun luar Lampung
serta kondisi tidak terprediksi sebelumnya seperti wabah dan
gejala alam, kini tindakan militeristik menjadi paradigma bagi
pemerintah Hindia Belanda. Hal itu nampak dalam wacana
Kielstra berikut ini,
“Jika seseorang ingin membudayakan orang-orang biadab itu,
tetapi dengan alam yang sangat diberkati, untuk mengembangkan
dan menjadikannya produktif, maka lebih dibutuhkan
demonstrasi militer.”104
Setelah VOC dibubarkan dengan meninggalkan hutang
dan permasalahan, maka hal itu diwariskan kepada pemerintah
102 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 125-129 103
Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral..., hlm. 83 104
E.B. Kielstra, “De Lampongs”, Onze Eeuw, Jaargang 15, hlm. 327
76
Belanda sekaligus bagian wilayah Nusantara yang telah berhasil
ditaklukan. Namun ekspansi Napoleon menjadikan Eropa sebagai
arena perang yang mengancam kedaulatan negara-negara kolonial
lainnya, sejenak berhasil menggeser fokus mereka dari pusaran
masalah perdagangan dan tanah jajahan di timur, termasuk
Belanda yang akhirnya pun dikuasai Prancis. Maka terjadi
keadaan yang tidak terkontrol di Hindia, termasuk Lampung yang
terabaikan.
Pada masa ini, peran keratuan dan marga-marga di
Lampung menikmati kebebasan menjalankan otoritas secara
terbatas di wilayahnya, dan juga merajalelanya kelompok-
kelompok bajak laut. Hal itu terjadi dalam kurun 1800 sampai
dengan kedatangan Daendels pada tahun 1808 yang ditugaskan
untuk mengelola koloni Belanda.105
Upaya menaklukan keseluruhan wilayah Lampung agar
benar-benar tunduk secara formal pada Belanda sekali lagi
dilakukan. Pada permulaan era pemerintah Hindia Belanda
dilancarkanlah pembersihan Lampung dari para perompak dan
“elemen yang merepotkan” dengan bantuan Kesultanan Banten di
tahun 1805.106
Namun ekspedisi ini juga menjadi kegagalan
pertama pemerintah dalam menghadapi perlawanan rakyat.
a. Daerah Munculnya Perlawanan
Daerah Lampung yang jumlah penduduknya tidak banyak
dengan pola mukim menyebar dan terbuka terhadap orang asing
105 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral..., hlm. 84
106 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral..., hlm. 84
77
memang membuat sebagian wilayah ini telah menerima
kehadiran Belanda tanpa perlawanan yang penting. Terutama
untuk kawasan utara, tengah, dan timur yang dapat dikatakan
telah tunduk sejak VOC bercokol dengan benteng-benteng
kokohnya pada abad ke-17 hingga 18. Walaupun ada
penyerangan dan kekacauan namun itu sifatnya insidental.
Pemimpin-pemimpin lokal justru kerap bertandang untuk
berkonsultasi dan meminta pertolongan atas kasus-kasus
berkaitan dengan ekonomi dan keamanan kepada VOC di
bentengnya.
Maka yang disebut sebagai “elemen yang merepotkan”
dalam hal ini ialah bentuk perlawanan rakyat yang lebih
terkoordinasi dan jelas tujuannya, yakni mempertahankan
independensi. Perlawanan seperti itu didapati Belanda di pesisir
selatan Lampung yang meliputi Rajabasa, Kalianda, hingga
Semangka. Bahkan kondisi permusuhan itu tetap berlanjut pasca
peralihan dari pendudukan Inggris yang dikembalikan kepada
Belanda.107
Menjadi menarik, mengapa perlawanan rakyat munculnya
di wilayah pesisir? Berdasarkan keterangan Van der Zwaal,108
berikut analisisnya: pertama, pengaruh Kesultanan Banten yang
sangat kuat di wilayah pesisir, selain karena pemberian gelar,
terdapat hubungan genealogis antara Keratuan Darah Putih
dengan Banten. Bahkan masalah suksesi kepala marga dalam
107 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht,
(Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1932), hlm. 169. 108
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 19.
78
kekuasaan Banten. Maka kelak ketika Kesultanan Banten
ditaklukkan Belanda, banyak pejuang Banten yang membantu
perlawanan di wilayah ini. Kedua, sejak mulanya memang
Belanda kurang membangun hubungan dengan marga-marga di
wilayah pesisir tersebut, tetapi lebih banyak kepada marga-marga
di pedalaman yang pengaruh Banten belum begitu kuat, bahkan
cenderung bipolar dengan Palembang.109
Ketika akhirnya Lampung dinyatakan dalam kekuasaan
Belanda, dan mendirikan pusat pemerintahan di peisir selatan,
yakni Teluk Betung,110
otorita mereka mulai berupaya mengenali
komunitas pesisir itu. Namun kembali membuat kesalahan fatal
yang memancing perseteruan. Langkah salah tersebut ialah
perampasan atas hak ulayat marga dan mengganti hukum adat
atas kasus internal marga dengan yurisdiksi Pemerintah Hindia.111
1) Embrio Perlawanan di Pesisir Selatan Bagian Timur
Inilah perlawanan rakyat yang berkobar dari Keratuan
Darah Putih yang berpusat di Negara Ratu. Sebuah perlawanan
yang telah dirintis sejak tahun 1751 oleh Raden Intan I dan
keturunannya yang sanggup merepotkan dan menolak tunduk
109 Tujuan Belanda membangun hubungan dengan marga-marga di
pedalaman pada abad ke-17 hingga 18, terutama Tulang Bawang dan Way
Sekampung, bahkan mendirikan benteng-benteng karena wilayah tersebut
merupakan sentra lada, dan keberadaan jalur niaga dengan kota pelabuhan
Menggala. 110
Dengan membangun pusat pemerintahan di Teluk Betung, maka
posisi Belanda berada di tengah-tengah daerah perlawanan antara Kalianda dan
Semangka. Yang itu semua merupakan wilayah pengaruh Keratuan Darah
Putih. Lihat peta pada lampiran. 111
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 20.
79
kepada Belanda untuk setidaknya sampai satu abad ke depan.
Bahkan dalam laporan Komite Perancang Sarana Sumberdaya
Lampung pada tahun 1841 menyatakan bahwa keluarga Raden
Intan bertanggung jawab atas “semua kejahatan” yang melanda di
Lampung abad ini dan penyebab utama yang mencegah istirahat
dan kedamaian agar tidak sepenuhnya pulih.112
Berawal dari seorang penerus generasi Ratu Darah Putih,
saudara lain ibu dari Sultan Maulana Hasanudin di Banten yang
memiliki otoritas di selatan Lampung dan diangkat oleh sultan
sebagai punggawa sekaligus kepala di keratuan Lampung
menjadi independen dan berkuasa atas beberapa wilayah, dan
akhirnya menjadi ancaman bagi Belanda.113
Generasi yang mengancam itu ialah Raden Intan I (1751-
1828), Raden Imba Kusuma II (1830-1834), dan Raden Intan II
(1850-1856). Perlawanan Raden Intan I berakhir dengan
kematiannya, dan dilanjutkan oleh putranya yang memiliki
kelayakan, Raden Imba Kusuma II yang berani melakukan
serangan terhadap Teluk Betung.114
Dua perlawanan pertama rupanya bersinggungan waktu
dengan pecahnya Perang Jawa, sehingga konsentrasi Belanda atas
penumpasan di Lampung tidak terlalu fokus walaupun berhasil
112 Kohler, “Raden Intan, Bijdrage tot de Kennis der Geschiedenis van
de Lampongs”, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Eerste Deel, (1875), hlm.
174-175 113
P. H. Van der Kemp, “Raffles' Bezetting van de Lampongs In
1818”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië,
Deel 50, 1ste Afl. (1899), hlm. 2 114
“Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten in het Jaar 1856”, Militaire Spectator, Vijfde Deel, (1860), hlm. 77.
80
menangkap dan mengasingkan Raden Imba Kusuma II ke Timor,
sehingga untuk jangka waktu yang lama terjadi kevakuman,
sampai putranya yang bernama Raden Intan II siap tampil ke
medan laga. Di masanya lah Perang Lampung dalam tensi yang
tinggi dan intensitas yang panjang terjadi.
Sepanjang tahun 1834-1850 Keratuan Darah Putih di
bawah kekuasaan Dewan Perwalian yang dijalankan oleh Dalom
Mangkubumi dalam kontrol Belanda. Di rentang masa itu Raden
Intan II tumbuh dan dibesarkan dalam lingkup semangat
keagamaan dan perlawanan yang diwarisi dari generasi
pendahulunya dan dikawal oleh ulama. Sebagaimana salah satu
percakapan penumbuh patriotisme antara Raden Intan II yang
baru berumur 15 tahun dengan ibunya berikut ini:115
Raden Intan II: “Api ubat malu, Induk?” (Apa obat malu, Ibu?)
Ratu Mas: “Mati, anakku!”
Maka ketika sampai masanya Raden Intan II dinobatkan
sebagai ratu pada tahun 1850 yang beritanya sampai ke telinga
Belanda, pemerintah koloni mulai memperhitungkan
kemungkinan bangkitnya kembali perlawanan di bawah
pemimpin baru dari rakyat setelah sepanjang 16 tahun berlalu
tanpa perlawanan berarti.116
Selanjutnya Raden Intan muda
semakin menegaskan diri, ditambah kedatangan pejuang-pejuang
dari Banten yang siap melanjutkan perlawanan mereka di Negara
115 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Radin
Inten II, (Bandar Lampung: Proyek Pembinaan Kebudayaan Daerah Lampung,
2003), hlm. 34. 116
Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 35-36.
81
Ratu dan Dantaran,117
sehingga mengoyak kembali kedamaian
permanen yang dicita-citakan Belanda.118
2) Embrio Perlawanan di Pesisir Selatan Bagian Barat
Kesewenang-wenangan para pejabat Belanda yang
ditempatkan di Semangka, -pesisir selatan bagian barat daya-
membuat masyarakat bergejolak. Kekuatan gejolak rakyat itu
dihimpun oleh Batin Mangunang, seorang tokoh terkemuka Buai
Nyatta dari Paksi Benawang untuk melakukan penyerangan
terhadap pusat pemerintahan Belanda di Teluk Betung pada
Januari 1928.119
Usaha Batin Mangunang tersebut berhasil digagalkan oleh
Belanda. Kini giliran Belanda melakukan upaya penaklukan
terhadap Paksi Benawang dengan jalan damai terlebih dahulu.
Namun karena usaha ini tidak berhasil secara mantap, maka
diperlukan tindakan militer untuk menduduki Semangka yang
diberangkatkan pada bulan Agustus 1831 dari Teluk Betung.
Ekspedisi terdiri dari 100 prajurit di bawah pimpinan Kapten
Hoffman dan Letda Kobold dengan menggunakan lima kapal
penjelajah.120
117 Hubungan Banten-Lampung yang telah terbangun membuat rakyat
dari kedua wilayah ini saling menopang. Kedatangan mereka setelah
sebelumnya rakyat Lampung membantu perlawanan rakyat Banten terhadap
Belanda pada tahun 1850. W.A. van Rees, Wachia, Taykong, en Amir of het
Nederlandsch Indisch Leger, (Rotterdam: H Nijgh, 1859), hlm. 26-29. 118
“Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten..., hlm. 79. 119
Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 91. 120
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung, Buku I, hlm. 58.
82
Sesampainya pasukan Belanda di Pelabuhan Tanjungan,
Hoffman memanggil para paksi dan syahbandar untuk hadir di
Bornai. Tetapi kepala Paksi Benawang, Dalem Sangun Ratu dan
Batin Mangunang dari Buai Nyatta tidak hadir. Ternyata di
tempat pertemuan sudah dikepung pasukan Belanda dan barulah
diberitahukan kepada yang hadir bahwa tujuan ekspedisi adalah
untuk menangkap Dalem Sangun Ratu, Menak Binawa Keling,
Raden Bangsa Ratu dari Limau, Dalem Purba Ngasesa dari Way
Nipah, dan membawa mereka ke Batavia atas perintah
Gubernemen Belanda. Melihat tindakan tersebut, maka para paksi
dan syahbandar serta kepala suku yang diundang merasa tertipu
dan terhina, sehingga mereka serentak berdiri dan memegang
hulu keris masing-masing. Tetapi karena posisi mereka sudah
terkepung, usaha perlawanan menjadi sia-sia.121
Belanda yang belum puas dengan hasil pertemuan itu,
karena tidak berhasil menangkap Batin Mangunang, lalu
melakukan serangan militer ke kampung Teratas Tombay,
wilayah pertahanan sang pelopor perlawanan sebanyak dua kali
pada tahun 1832. Setelah serangan pertama gagal bahkan
memakan banyak korban di pihak Belanda, maka pada agresi
kedua mereka membawa persenjataan lebih lengkap. Namun
rencana itu telah diketahui Batin Mangunang yang langsung
memerintahkan rakyat dan pasukan untuk menyingkir ke salah
satu Pegunungan Keizerspiek (Gunung Tanggamus). Sehingga
ketika pasukan Belanda di bawah Letnan Kobold menyerang,
121 Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung, Buku I, hlm. 58.
83
mereka menuai kemenangan karena hanya dihadapi oleh
perlawanan yang sekadarnya. Lantas pasukan Belanda pulang
setelah membakar kampung dan merasa pemberangusan
perlawanan telah usai walaupun tidak berhasil menangkap
target.122
Setelah peristiwa itu Batin Mangunang membangun
kembali kampung Teratas Tombay dan memimpin hingga
kematiannya pada tahun 1833.123
Perjuangannya diteruskan oleh
sang putra yang bernama Dalom Mangkunegara, yang kelak
berkoalisi dengan Raden Intan II bersama melawan Belanda
dalam Perang Lampung.
b. Upaya Resistensi Lampung
Sebagaimana perlawanan lainnya di Nusantara, perang
Lampung juga didorong banyak faktor yang saling berkait
kelindan. Faktor-faktor tersebut meliputi kedaulatan wilayah,
politik, ekonomi, dan agama.
Dalam hal kedaulatan wilayah, Belanda kerap melakukan
patroli laut di daerah Negara Ratu dan Dantaran yang membuat
aktivitas pelayaran dan perdagangan terhambat, baik dengan
penghalangan maupun penembakan. Dari sisi ekonomi, Belanda
mengambil alih tanah-tanah marga untuk lahan perkebunan, bagi
masyarakat yang ingin menggarap dikenakan pajak tinggi. Untuk
hasil akhirnya adalah monopoli.
122 Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung, Buku I, hlm. 59.
123 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 91.
84
Di ranah politik melalui upaya Belanda mengintervensi
dan mengikis eksistensi keratuan dengan membentuk lembaga
pemerintahan model baru, yakni pemerintahan tingkat tiyuh yang
menginduk kepada sistem pemerintahan Belanda. Melalui posisi
kuatnya Belanda, Kristenisasi juga diberi ruang yang lebar untuk
menggarap wilayah yang pernah dilingkupi dua kesultanan ini.
1) Persiapan Perlawanan
Mengamati tingkah Belanda yang demikian itu dan
mendasarkan pada riwayat kelam dalam berhubungan dengannya,
maka langkah persiapan perang secara fisik dan non-fisik
dilakukan oleh Raden Intan II. Secara non-fisik, Sang Ratu belia
ini membagi wilayahnya ke dalam empat bandar, yakni Bandar
Penengahan, Legon, Ketibung, dan Rajabasa. Masing-masing
bandar dikepalai oleh kepala bandar berpangkat pangeran yang
merangkap sebagai hulubalang.124
Tiap bandar dibagi dalam empat paksi/marga yang
dikepalai seorang berpangkat kria yang bertugas sebagai
penyelanggara pemerintahan sipil dan juga masalah kemiliteran.
Setiap paksi dibagi dalam empat pekon yang dikepalai seorang
tumenggung yang dalam kemiliteran menjabat pula sebagai
prajurit. Setiap pekon dibagi dalam satuan lebih kecil yang terdiri
dari 10 kepala keluarga yang masing-masing dikepalai oleh
seorang ngabehi.125
124 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 37.
125 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 37.
85
Akhirnya, Raden Intan II yang merupakan kepala
pemerintahan juga merangkap sebagai panglima perang. Dalam
kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, ia dibantu oleh dua
belas orang punggawa, dan pada posisi sebagai panglima perang,
Raden Intan disokong empat orang warga ratu. Untuk tertib
hukum didelegasikan kepada dua lembaga, yakni Badan Penuntut
Umum yang dikepalai oleh Tumenggung Jaksa, dan Badan
Kehakiman yang dipimpin oleh Tumenggung Pertanda.126
Bagian persiapan fisik dilakukan dengan memperkuat
benteng yang telah ada dan membangun sejumlah benteng yang
baru. Dengan menggunakan doktrin perang wilayah,127
–untuk
istilah hari ini- perlawanan dipusatkan di Gunung Rajabasa yang
memiliki posisi strategis secara militer. Sehingga penyerbuan dari
arah mana saja akan berhadapan dengan perbentengannya.
Benteng-benteng itu ialah Merambung, Galah Tanah, Pematang
Santok, Katimbang, dan Salai Tabuan yang semuanya terletak di
bagian lereng sebelah barat dan utara Gunung Rajabasa. Benteng
Bendahulu dan Hawi Berak di sebelah timur. Sedangkan di
bagian kaki gunung terdapat benteng Raja Gepeh, Cempaka, dan
Kahuripan Lama. Sistem pertahanan ditambah pula dengan parit-
parit atau anak sungai yang terhubung ke benteng dengan daerah
luarnya. Sehingga jika akhirnya benteng sudah tidak dapat
126 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 38.
127 Merupakan sistem pertahanan yang memanfaatkan potensi yang
dimiliki suatu wilayah sebagai unsur pertahanan alami seperti gunung, lembah,
sungai dan kenampakan alam lainnya untuk memenangkan peperangan.
Adapun wilayah Keratuan Darah Putih memiliki kontur pesisir dan
pegunungan dengan lereng yang curam dan berhutan lebat.
86
dipertahankan akan dapat segera dikosongkan dan menyingkir ke
benteng atau wilayah lain.128
Dari segi persenjataan dapat dikatakan cukup lengkap dan
menunjang. Terdapat dua kategori senjata, yakni senjata
tradisional buatan sendiri yang terdiri dari keris, badik, dan
pedang, serta senjata modern yang diperoleh dari pembelian masa
perdagangan bebas yang diterapkan Raden Intan II yakni meriam
berukuran besar dan kecil. Sedangkan dalam sistem logistik
terdapat dapur umum yang disebut pejunjongan yang dapat
menyuplai ke benteng-benteng di sekitarnya.129
2) Penggalangan Persekutuan
Sebagai daerah yang strategis dan terbuka, membuat
Lampung menjadi “panggung” lanjutan bagi para petualang dan
petempur dari luar yang basisnya sudah ditaklukkan, atau pihak-
pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan Belanda. Kondisi
demikian menjadikan upaya perlawanan rakyat tidak hanya
dilakukan sendiri, melainkan didukung oleh mereka yang
menjadikan Belanda sebagai musuh bersama. Sedangkan dari
dalam, perlakuan Belanda juga menciptakan daya rekat antar
marga untuk saling menopang di kancah perang.
Kekuatan-kekuatan dari luar yang ikut ambil bagian
penting ialah para pejuang dari Banten yang gagal dalam
perlawanan, yang orang Lampung juga turut membantu di
dalamnya. Mereka ialah Haji Wahya, Wak Maas, dan Luru Satu
128 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 90-93.
129 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 39.
87
yang datang pada tahun 1850 untuk merajut kembali hubungan
dan menyatukan perlawanan rakyat Lampung di bawah pimpinan
Keratuan Darah Putih.130
Dari sisi internal Lampung juga terjadi konsolidasi
dengan bergabungnya Marga Ratu dan Dataran serta diikuti oleh
banyak kampung dari Marga Way Urang yang sebelumnya
dikenal selalu membantu pemerintah Belanda.131
Sepanjang tahun
1852-1853 terbentuk persekutuan dengan Pangeran Singa Branta
dari marga Rajabasa dan Dalom Mangkunegara dari Semangka.
Profil Dalom Mangkunegara adalah seorang penerus penguasa di
Teluk Semangka yang memberontak kepada Belanda yang
memiliki keahlian dalam strategi pertahanan perairan dan
menjalin hubungan baik dengan para pelaut Bugis. Maka
pertahanan laut dan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda
di Kalianda, Rajabasa, hingga Teluk Semangka dari kekuatan
persekutuan itu makin intensif.132
3. Eskalasi Perang dan Perundingan Damai
Setelah persiapan dimatangkan, dan persatuan dibulatkan,
eksekusi dilakukan dengan melancarkan serangan ke daerah
pertahanan darat Belanda di Way Urang pada akhir tahun 1850.
Untuk menanggapi kerusuhan ini, mulanya pemerintah koloni
hanya memerintahkan asisten residen Lampung menangani,
namun akhirnya pada tanggal 30 September 1851 diputuskan
130 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 90.
131 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 89.
132 Binti Fadilah Arfi, “Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih
terhadap Kolonialisme..., hlm. 102.
88
untuk mengirim bala bantuan dari Semarang setelah kekuatan
yang ada tidak sanggup meredam keadaan. Pasukan berjumlah
400 orag dipimpin oleh Kapten Jucht segera bergabung dengan
pasukan yang ada di Lampung menyerang marga-marga yang
mendukung Raden Intan II dengan masa tugas sembilan hari. Jika
waktu terlalu pendek untuk memberikan hasil yang cukup, maka
tidak perlu alasan untuk penambahan waktu. Dan benar, ekspedisi
kali ini berakhir dengan kegagalan pasukan Belanda.133
Walaupun gagal, Jucht mengeluarkan peraturan bahwa
marga-marga yang terlibat tidak akan diakui lagi keberadaannya
sebelum menghadap pemerintah di Teluk Betung untuk mendapat
keputusan persetujuan pemulihan kembali atau tidak. Namun
terhadap Marga Negara Ratu dari Raden Intan II tetap
diperbolehkan. Sikap lunak tersebut karena mempertimbangkan
marga ini memiliki banyak dukungan dan keluarga yang
dihormati bahkan oleh marga lain,134
sehingga tetap menjadi
potensi ancaman bagi Belanda jika bertindak represif.
Perlawanan rakyat agaknya cukup diuntungkan dengan
mewabahnya cacar dan malaria di Lampung. Walaupun lebih
banyak memakan korban dari pribumi, tapi cukup mematikan
juga bagi para opsir Belanda yang tengah menghadapi serangan
bertubi-tubi. Akhirnya demi mengamankan posisi dan
133 “Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten..., hlm. 79. 134
Kohler, “Raden Intan, Bijdrage tot de Kennis der Geschiedenis van
de Lampongs”..., hlm. 177.
89
kekuasaannya dari situasi kritis itu, pemerintah Hindia Belanda
menawarkan perjanjian damai kepada Raden Intan II.135
Berdasarkan kesepakatan damai yang ditawarkan Asisten
Residen J.E. Kohler tahun 1853, dinyatakan bahwa pemerintah
Belanda memberi grasi kepada Raden Intan II dan sekutunya,
serta diakui kedudukannya sebagai penguasa di Kalianda dan
Rajabasa. Melonggarkan pengawasan terhadap kapal yang
berlabuh di Kalianda, Rajabasa, dan Teluk Semangka.
Pemerintah juga memberi tawaran kepada Raden Intan II untuk di
sekolahkan, diberi gaji, dan diberi kedudukan penting dalam
pemerintahan asalkan menghentikan permusuhan dengan
Belanda.136
Terhadap tawaran-tawaran tersebut Raden Intan II dengan
tegas menolak. Ia menolak diampuni karena yakin perjuangannya
dalam menentang kolonialisme bukanlah tindakan salah. Dia juga
menolak disekolahkan karena ia mengerti bangsa dan ajaran
agamanya sanggup memberi didikan dan gemblengan mental
menuju jalan kebenaran dan cita-cita keadilan.137
Perjanjian damai tidak berlangsung lama, karena Belanda
tidak memegang teguh janji. Belanda kembali mencampuri
urusan teritorial di perairan dengan melakukan pengawasan
terhadap kapal-kapal yang melintas di perairan Kalianda dan
135 Lampung memang termasuk daerah epidemi malaria dan cacar.
Tercatat sebanyak kurang lebih 8.815 jiwa meninggal sejak tahun 1843-1853.
Binti Fadilah Arfi, “Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih terhadap
Kolonialisme..., hlm. 103. 136
Binti Fadilah Arfi, “Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih
terhadap Kolonialisme..., hlm. 103. 137
Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 34.
90
Rajabasa dan melakukan serangkaian serangan baru. Bahkan
orang-orang Banten yang pergi ke Lampung ditahan oleh polisi
Belanda.138
Melihat gelagat demikian, Raden Intan II dan sekutunya
kembali melakukan perlawanan, penyerangan ke pos-pos dan
memukul mundur pasukan Belanda pada tahun 1855 hingga
pertengahan 1856.139
Dan sekali lagi Belanda yang kerepotan
lantas mengajukan perundingan damai, namun kali ini penolakan
adalah jawabannya. Penolakan disusul dengan tindakan
penyerangan dan pengambilalihan benteng-benteng Belanda di
Kalianda dan Rajabasa.
c. Ekspedisi Militer Belanda dan Sketsa Perang Lampung
Serangan kali ini membuat Belanda bertekad mengakhiri
perlawanan Raden Inten II. Kohler meminta kepada pemerintah
di Batvia untuk mengirimkan bantuan guna memulai ekspedisi
militer yang besar, sebuah ekspedisi yang tidak bisa
ditangguhkan lagi, ujar Broersma.140
Ekspedisi militer besar ditandai dengan dikerahkannya
pasukan dari Batavia menggunakan sembilan kapal perang, antara
138 Hal ini berkaitan pula dengan upaya Belanda melokalisir perang di
Banten yang ketika perlawanan tersebut gagal banyak terjadi pelarian politik
maupun laskar rakyat menuju Lampung untuk bergabung dengan Raden Intan
II melanjutkan perlawanan. Dapat disebut dua orang tokoh penting ialah Haji
Wahya dan Wak Mas yang bahkan menjadi penasihat Raden Intan II dan
berpengeruh besar dalam mendorong penolakan otoritas Belanda. A.W.P.
Weitzel, Schetsen uit het Oorlogsleven Nederlandsch Indie de Lampongs in
1856..., hlm. 102. 139
Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 41. 140
Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 41.
91
lain H. Lowrentius, Ms. Fregat Prins Frederick der Nederlanden,
Ms. Stoomschip Amsterdam, Stoomboot Bennet, dan Ms.
Stoomschip Admiraal van Kinsbergen, serta ditambah tiga buah
kapal pengangkut logistik. Di bawah komando Kolonel Waleson,
mereka berangkat pada tanggal 10 Agustus 1856. Komposisi
pasukan terdiri dari infanteri sebanyak 969 personil, dari jumlah
itu sebanyak 559 adalah prajurit pribumi. Artileri 65 personil dan
zeni 34 personil.141
Keesokan harinya iring-iringan kapal perang pasukan
Belanda selesai didaratkan di Pulau Sikepal. Lalu pada tanggal 12
Agustus 1856 Belanda menyampaikan ultimatum kepada Raden
Intan II dan para tokoh perlawanan agar paling lambat lima hari
ia dan pasukannya harus menyerahkan diri, jika tidak maka akan
dilacarkan serangan. Namun bagi kepala-kepala marga yang setia
dan penduduk yang “baik hati” tidak perlu khawatir akan
kekerasan.142
Sambil menunggu masa akhir ultimatum dengan
tidak memberi jawaban, pihak Raden Intan II justru terus
mempersiapkan diri di bentengnya masing-masing.
Setelah diperkirakan Raden Intan II tidak akan menyerah,
maka pada tanggal 13 Agustus 1856 Belanda mulai bergerak dari
141 “Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten..., hlm. 84. 142
“Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten..., hlm. 87-88. Kepada masyarakat yang tidak ikut mendukung
perlawanan ini, pemerintah kolonial mengirim dua orang tokoh agama yang
berpengaruh, yakni Haji Ismail dan Haji Muda untuk memberi penerangan di
hadapan rakyat yang dikumpulkan di Canti, Sumpu, Katimbang, dan Banding,
bahwa mereka dalam perlindungan pemerintah kolonial. Husin Sayuti dan
Restu Gunawan, “Perlawanan Rakyat Lampung”, dalam Taufik Abdullah dan
A.B. Lapian (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 462.
92
Sikepal ke Canti dan menerima laporan dari Kapten Kohler
mengenai situasi saat itu. Dengan bekal laporan itu diputuskan
untuk memulai operasi terhadap Benteng Bendulu yang
dipertahankan pasukan Raden Intan II di bawah pimpinan Singa
Branta. Namun sebelum itu Belanda menawarkan perundingan
dan ditolak oleh Singa Branta.143
Setelah ditolak berunding, dan akhir dari ultimatum telah
tiba, maka pada 16 Agustus 1856 Belanda melancarkan serangan
ke Benteng Bendulu yang berhasil dikuasai keesokan harinya dan
dijadikan sebagai pangkalan untuk menyerbu benteng-benteng
pertahanan lainnya. Dari sini Waleson mengatur strategi untuk
mengepung markas Raden Intan II dengan cara membagi
pasukannya dalam tiga kelompok yang bergerak ke Katimbang di
bagian puncak Gunung Rajabasa sebelah utara melalui tiga jalur
operasi sebagai berikut:144
1. Dari daerah pesisir selatan dan sebelah timur Gunung
Rajabasa untuk terus melingkar ke arah utara melalui
Bendulu yang dipimpin langsung oleh Waleson.
2. Dari daerah pesisir selatan, yakni daerah Palubu, Kalianda,
dan Way Urang ke arah barat Gunung Rajabasa melingkar ke
arah utara ke Kelau dan Kunyai untuk merebut Benteng
Merambung, untuk kemudian terus ke Katimbang. Lini ini di
bawah komando Mayor van Oostade.
143 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 95.
144 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 44-45.
93
3. Dari Penengahan melalui hutan belukar untuk merebut
Benteng Salai Tabuan dan terus ke Katimbang. Bagian ini
dipimpin oleh Mayor Nauta.
Dari berbagai operasinya, berturut-turut Belanda berhasil
menguasai benteng-benteng Raden Intan II. Kelompok Waleson
berhasil menguasai Benteng Hawi Berak pada tanggal 19 Agustus
1856 dan selanjutnya bergabung dengan pasukan pimpinan van
Oostade. Kelompok tersebut dalam sehari pada tanggal 27
Agustus 1856 berhasil menguasai Benteng Merambung pada jam
tujuh pagi. Dari situ melalui pertempuran yang sengit berhasil
merebut Benteng Galah Tanah dan dilanjutkan menaklukkan
Benteng Pematang Sentok pada jam sebelas siang. Sementara
kelompok pasukan Mayor Nauta berhasil menguasai Benteng
Salai Tabuan. Kini telah terbuka jalan menyerbu markas utama,
yakni Katimbang.145
Pada hari yang sama pukul dua belas siang Katimbang
mulai diserang. Setelah perlawanan sengit yang diberikan oleh
pasukan Raden Intan II, akhirnya Benteng ini dikuasai Belanda
pukul lima pagi pada tanggal 28 Agustus 1856, setelah
sebelumnya Raden Intan II, Haji Wahya, Wak Maas, dan Singa
Branta meloloskan diri. Kini saatnya Belanda melakukan
pengejaran terhadap pasukan tersisa yang masih bergerilya.146
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari
tawanan yang kebanyakan wanita dan anak-anak itu, Belanda
melakukan pengejaran terhadap pemimpin-pemimpin perlawanan
145 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 96-97.
146 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 97.
94
yang masih bergerilya. Terjadi pengejaran terhadap Haji Wahya
dan Wak Maas di sekitar Benteng Rogoh, namun misi ini
mengalami kegagalan. Begitu pun dengan operasi Kohler yang
dibantu Pangeran Sempurna Jaya Putih mengalami kekalahan
setelah terjadi kontak senjata dengan gerilyawan yang dipimpin
langsung oleh Raden Intan II pada tanggal 4 September 1856.147
Akhirnya setelah satu persatu benteng ditaklukkan dan
teman-teman seperjuangan berguguran. Sebagaimana Haji Wahya
tertangkap dan dihukum mati pada 7 September 1856, dan di hari
yang sama perjuangan Wak Maas terhenti untuk selamanya
karena mendapat luka yang berat saat memimpin pertempuran
menghadapi pasukan yang dikomandoi Letnan Steck.148
Sedangkan posisi pangeran Singa Branta terdeteksi setelah
Belanda memperoleh informasi dari istri sang pangeran yang
tertawan pada 17 September 1856. Dengan bantuan Haji Ismail,
Singa Beranta berhasil ditangkap di Kalianda.149
Begitu juga nasib perjuangan sekutunya di Semangka,
pasukan dipimpin Kohler bergerak untuk menumpas Dalom
Mangkunegara, namun ia meninggal sebelum pasukan Belanda
mencapainya, lalu mereka membakar kampung induk Bumi Ratu
dan menangkap para pengikutnya. Hingga akhirnya para kepala
147 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 47.
148 Oki Laksito, dkk., Sejarah Perjuangan Pahlawan..., hlm. 48.
149 Husin Sayuti dan Restu Gunawan, “Perlawanan Rakyat
Lampung”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed.), Indonesia dalam
Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2012), hlm. 463.
95
kampung menyatakan sumpah setia kepada pemerintah
Belanda.150
Sementara peperangan sudah berlangsung selama dua
bulan lebih, namun Raden Intan II belum juga berhasil
dikalahkan. Di tengah kegusaran menghadapi pemimpin 22 tahun
itu, sekali lagi taktik tak ksatria dimainkan Belanda.
Waleson memperalat seorang pribumi yang pernah sakit
hati kepada Raden Intan II, dialah Raden Ngerapat sang kepala
kampung Tataan Udik yang telah bersumpah setia kepada
Belanda.151
Ia mengundang Raden Intan II untuk mengadakan
pertemuan guna membahas bantuan yang akan diberikan kepada
pemimpin perlawanan itu.152
Dengan penuh kehati-hatian Raden
Intan II datang memenuhi undangan pertemuan yang terjadi pada
malam 5 Oktober 1856 di sebuah area terbuka di Kunyaya antara
Tataan dan Gayam.153
Pada pertemuan itu Raden Intan II ditemani oleh satu
orang pengikutnya,154
sedangkan Raden Ngerapat dikawal
beberapa orang yang tampak tanpa senjata. Setelah hadir mereka
dipersilakan menyantap hidangan yang telah disiapkan. Sesaat
150 Bukri, dkk., Sejarah Daerah Lampung..., hlm. 92.
151 Latar belakang permusuhan pribadi dan dendam Raden Ngerapat
karena pernah dikenai sanksi adat berupa denda sebesar 300 gulden oleh
Raden Intan II. Untuk tugas tersebut Belanda menjanjikan hadiah besar,
namun ia menolak. Lihat Weitzel hlm. 141-142. 152
“Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten..., hlm. 108. 153
A.W.P. Weitzel, Schetsen uit het Oorlogsleven Nederlandsch Indie
de Lampongs in 1856..., hlm. 144 154
Dalam gerilya Raden Intan II hanya ditemani oleh empat orang,
sedangkan tiga di antaranya adalah wanita yang sudah ditahan oleh Raden
Ngerapat.
96
setelah menikmati makanan dan berbasa-basi, Raden Ngerapat
dan anak buahnya menyerang Raden Intan II. Dalam perlawanan
semampunya yang jauh dari kata seimbang, Raden Intan II dan
seorang pengikutnya akhirnya gugur pada pukul 23.30 dan
jenazahnya dibawa ke hadapan Waleson untuk memastikan
bahwa Ratu muda itu benar-benar telah tiada.155
Atas nama balas dendam dan ambisi pribadi, kesetiaan
dapat diganti dengan sumpah sebagai garansi. Untuk menjadi
bukti, perjuangan panjang Raden Intan II pun terhenti di tangan
putra bangsa sendiri. Kini di pangkuan Bumi Lada, berkibar
dengan jumawa panji triwarna.156
B. Hegemoni Politik dan Ekonomi
1. Peran Lembaga Ilmiah dalam Penguatan Hegemoni
Dasar dari pembentukan sebuah kebijakan tidak semata-
mata menjadikan kepentingan pemerintah sebagai faktor tunggal,
namun sangat perlu untuk menggali guna mengenali dan
memahami banyak dimensi dari arena cikal bakal sebuah
kebijakan diimplementasikan. Demikian itu yang diterapkan
Belanda ketika berhasil menguasai Lampung khususnya, dan
Sumatera bagian selatan secara umum.
Penguasaan wilayah dengan jalan militeristik hanyalah
salah satu langkah sebelum ke tahap inti dari kolonialisme, yakni
155 A.W.P. Weitzel, Schetsen uit het Oorlogsleven Nederlandsch Indie
de Lampongs in 1856..., hlm. 145. 156
“Neerlands driekleur wapperde”, sebagai ungkapan bahagia
Weitzel dengan kematian Raden Intan II pada malam itu (5 Oktober 1856)
yang esoknya bendera Belanda (triwarna) berkibar tanda kemenangan dan
terpancangnya kekuasaan. Lihat Weitzel hlm. 138.
97
eksploitasi sumberdaya. Maka sebelum itu, perlu dilakukan
pengenalan karakteristik secara menyeluruh, baik aspek fisik
maupun non-fisik, sehingga diketahui berbagai potensi sekaligus
hambatan bagi hegemoni yang total. Untuk itu diterapkanlah
pedoman ilmiah sebagai langkah objektif dan terukur demi
rekonstruksi kebijkan yang lebih terstruktur.
Dalam langkah ini, dikerahkanlah “pasukan ilmiah” ke
berbagai bidang, mulai dari sosial budaya hingga flora dan fauna.
Untuk tugas besar itu, Belanda membentuk suatu badan khusus
yang bertanggung jawab menguasai “medan pengetahuan” yang
hasilnya dapat direkomendasi dan menjadi referensi bagi
pemerintah. Di Sumatera Selatan, lembaga itu bernama “Zuid
Sumatra Instituut”.
Zuid Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan)
didirikan pada 24 November 1916 yang dikukuhkan melalui
Koninklijk Besluit 19 Desember No. 31 dan berkedudukan di
Amsterdam. Institut ini bekerja dan berkolaborasi dengan Institut
Kolonial di bawah Departemen Etnologi dengan wilayah kerja
meliputi Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung.157
Tujuan dari pendirian Zuid Sumatra Instituut adalah untuk
mengumpulkan data selengkap mungkin mengenai penduduk
Sumatera Selatan dan menjadikan data tersebut bermanfaat
sebagai acuan bagi kepentingan membangun kesejahteraan,
157 Algemeen Handelsblad, 26 November 1916, hlm. 2. Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 26 November 1916, hlm. 1.
98
perkembangan material dan spiritual, serta membina hubungan
antara penduduknya dengan Belanda.158
Untuk mencapai tujuannya, Institut akan dilengkapi
dengan satu atau lebih pekerja permanen sebagai arsiparis,
dukungan untuk penyelidikan di lokasi, dan pengiriman peneliti
ke Sumatra Selatan yang lebih banyak dipekerjakan sebagai
sumberdaya legal lainnya pada hal yang dinilai bermanfaat bagi
tujuan tersebut. Institut juga dapat melakukan kerjasama dengan
berbagai asosiasi, termasuk badan hukum atau perusahaan yang
dapat bergabung sebagai anggota.159
Secara manajemen, lembaga ini dijalankan oleh direktorat
yang terdiri tidak lebih dari dua belas orang anggota meliputi
ketua, bendahara, sekretaris, dan arsiparis. Pejabat ketika awal
dibentuk ialah W.F. van Leeuwen (ketua), Dr. C.W. Janssen
(bendahara), J.C. van Eerde (sekretaris), O. L. Helfrich, H.J.A.
Raedt van Oldebarneveldt, dan Dr. F.W. van Rees (arsiparis).160
Sebagai gambaran mengenai hasil kajian ilmiah dari para
ilmuan Belanda dapat dilihat dalam buku “Zuid Sumatra
Economisch Overzicht” yang ditulis oleh J.W.J. Welan, seorang
arsiparis pada Zuid Sumatra Instituut pada tahun 1932. Karya
tersebut merupakan kompilasi singkat dari semua hal tentang
Sumatera Selatan yang telah diterbitkan, ditambah dengan
beberapa data dari berbagai pihak berwenang Hindia dan para
158 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. ix.
Indopedia, The Indian Encyclopedia, Institut Kolonial, diakses dari
https://www.indopedia.nl/articles.php?lng=nl&pg=5119 pada 20 Juni 2019. 159
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. ix. 160
Algemeen Handelsblad, 26 November 1916, hlm. 2. Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 26 November 1916, hlm. 1.
99
kontributor. Para kontributor beserta bidang kajiannya di
antaranya ialah Ir P. Hövig (geologi), Prof. E. C. Jul. Mohr
(agrogeologi), Prof. L. F. de Beaufort (fauna), Dr. T.G.E. Hoedt
(flora), Prof. L. van Vuuren (geografi), Dr. C. Braak (iklim), Prof.
L. Ph. Ie Cosquino de Bussy (ekonomi), Prof. Dr. J.P. Kleiweg de
Zwaan (antropologi), Prof. N. J. Krom (sejarah), dan Prof. C. van
Vollenhoven (hukum adat).161
Sebagai ilustrasi bagaimana hasil kajian ilmiah di Zuid
Sumatra Instituut mendukung kebijakan perekonomian, di bagian
ini penulis mengambil satu contoh praktek analisis pada faktor
alam. Hal itu karena berkaitan erat dengan kegiatan ekonomi
berbasis pada produksi komoditas perkebunan. Karya yang saya
nukil adalah buku berjudul “Indische Bergcultuurondernemingen
Voornamelijk in Zuid Sumatra” yang ditulis oleh Dr. T.G.E.
Hoedt.162
Secara umum Hoedt merumuskan bahwa perlunya
mengkaji faktor-faktor produksi. Beberapa fakor produksi yang
fundamental dalam setiap proses produksi bagi perusahaan
budidaya adalah faktor alam, tenaga kerja, dan sumberdaya
modal. Dalam hal mengamati kondisi alam, ia membagi Sumatera
Selatan ke dalam enam sentra yang berisi pertimbangan tentang
kegiatan budidaya perusahaan Barat. Keenamnya adalah centrum
Lampung, centrum Boven-Bengkulu, centrum Muara Beliti,
161 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. vi-vii.
162 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra: Gegeven en Beschouwingen, (Wageningen: H. Veenman &
Zonen, 1930), hlm. 55-76.
100
centrum Pagar Alam, centrum Palembang Ilir, dan centrum
Ranau.
Khusus centrum Lampung dalam hal kontur dan
karakteristik tanah, Hoedt menggambarkan bahwa kegiatan
perusahaan di wilayah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama, budidaya yang berada di lereng gunung, dan kedua yang
berada di area datar. Kawasan pertama terletak di sekitar Gunung
Betung dan Ratai, dengan kondisi tanah lixivium berumur tua
hingga sedang yang berwarna kuning dan coklat kemerahan.163
Tanah jenis ini sangat cocok untuk budidaya kopi dan karet.
Sedangkan di Gunung Tanggamus dengan tanah lixivium yang
lebih muda yang berwarna coklat agak terang, juga cocok untuk
tanaman tersebut. Tambahan pula di daerah-daerah yang
tanahnya memiliki lapisan cukup tebal dari bekas erupsi Krakatau
menjadi kaya dengan zat-zat yang menyuburkan tanaman.
Kedua, di kawasan relatif datar, kondisi tanah sangat
bervariasi. Selain tanah dari semburan pegunungan dengan
lixivium berwarna merah-coklat, ditemukan juga yang coklat
sampai kuning, kerikil, tanah berpasir, dan tanah lempung
berwarna abu-abu hinga abu-abu kecoklatan atau lixivium
berpasir. Tanah jenis pertama terbukti cocok untuk budidaya
karet, tetapi tanah yang terakhir adalah tanah yang paling buruk
163 Dalam klasifikasi tanah menurut E.C. Jul Mohr untuk pulau Jawa
dan Sumatera yang didasarkan pada sifat genese tanah berupa temperatur dan
kelembaban udara, tanah lixivium ialah bagi tanah-tanah di daerah
bertemperatur tinggi dan curah hujan melebihi evaporasi, terutama yang
berwarna kuning dan coklat. Sedangkan lixivium merah bagi tanah-tanah di
temperatur tinggi dengan musim hujan berselang dengan musim kemarau
(intermitterend).
101
untuk ditanami. Meskipun hevea akan dapat tumbuh di atasnya
jika terdapat drainase yang memadai. Umumnya tanah di area
datar juga menjadi subur lantaran adanya lapisan dari letusan
Krakatau.
Secara keseluruhan di Sumatera Selatan, hal tersebut
terpraktekkan dalam sebaran pendirian perusahaan Barat
berdasarkan fakktor alam yang menawarkan kondisi yang sesuai
bagi tanaman tertentu. Perusahaan-perusahaan tersebut berlokasi
di pusat-pusat yang berbeda. Misalnya dataran rendah di Jambi
yang mayoritas budidaya karet. Demikian juga Residensi
Palembang, di daerah Talang Betutu dan Muara Beliti banyak
tanaman karet dan kelapa sawit. Sedangkan wilayah pegunungan
-lereng Gunung Dempo di Pagaralam utamanya kopi, karet, kina,
dan teh, dan di sekitar Danau Ranau kopi dan teh-. Sedangkan di
Bengkulu hanya di daerah yang lebih tinggi di sekitar Kabah,
terutama kopi, pada tingkat lebih rendah juga kina dan karet.
2. Politik: Penataan Sistem Administrasi Pemerintahan
Setelah sekian lama upaya Belanda menjalankan roda
pemerintahan selalu menghadapi hambatan, dengan berakhirnya
perang fisik yang berhasil dimenangkan dan seluruh wilayah
Lampung ditaklukan, kini Belanda ingin mengokohkan posisi
politiknya. Pada tahun 1857 Belanda berencana menerapkan
sistem sentralisasi sebagaimana di Jawa, namun hal tersebut
ditentang karena masyarakat Lampung memiliki sistem
pemerintahan sendiri yang bersifat desentralisasi, maka untuk
meredam dari gangguan potensial selanjutnya, kini saatnya soft
102
power Belanda dikerahkan dengan memanfaatkan sistem
pemerintahan lokal yang telah ada, yaitu marga.164
Belanda melihat sebuah celah yang efektif dari kebiasaan
bangsawan lokal yang kerap saling bersaing sehingga sulit
tercapai kesepakatan mengangkat seorang untuk memimpin
seluruh marga, bahkan yang lebih rendah dari itu. Hal tersebut
menjadi jalan bagi Belanda untuk memecah belah dan
menanamkan pengaruh kekuasaannya. Marga yang semula
merupakan bagian dari keratuan yang terdiri atas sejumlah
kampung, kini Belanda mengintegrasikan kampung ke dalam
struktur terendah dalam pemerintahan Belanda dengan tidak
menganggap eksistensi marga. Bahkan ketika marga akhirnya
diakui pada tahun 1929, justru konsep marga juga diubah dari
genealogis-teritorial menjadi teritorial-genalogis.165
Demi kelangsungan kolonialisme, Belanda terus
merangsek lebih jauh dalam politik internal dengan melakukan
kebijakan pengakuan, mendukung, dan menguatkan lembaga
pemerintahan marga dengan jalan mengubah pola melalui
pengangkatan pejabat pasirah yang dipilih oleh para elit marga
semacam dewan perwakilan yang merepresentasi kelompok adat
yang disebut punyimbang adat, lalu diberi ketetapan pengabsahan
oleh pemerintah dengan dikeluarkannya surat keputusan. Syarat
untuk dapat dicalonkan sebagai pasirah ialah pribumi yang
164 Hilman Hadikusuma, Catatan tentang Sejarah dan Kebudayaan
Lampung..., hlm. 15 165
Konsep asal pemerintahan marga ialah satu keturunan yang
menguasai suatu wilayah, namun oleh Belanda diubah dengan mengutamakan
kesatuan wilayah walaupun terdiri atas campuran beberapa keturunan.
103
memiliki kedudukan dalam adat di marganya dan memiliki
kemampuan membaca dan menulis huruf Latin serta pandai
berbahasa Melayu.166
Setelah tercipta tertib administrasi pemerintahan Belanda
di Lampung, beberapa hak pemerintahan marga yang masih
diperkenankan ialah dalam hal menjalankan masalah peradatan,
kekuasaan atas tanah (hak ulayat), penarikan pajak, dan perkara
hukum yang masih mungkin diselesaikan melalui mekanisme
hukum adat.167
Di sepanjang waktu sejak tahun 1857 terjadi dinamika
dalam hal pemerintahan marga. Bentuk dinamika itu ialah
pembentukan, perubahan, dan penghapusan atau non-pengakuan
terhadap marga,168
beserta luas dan batas-batas wilayahnya.
Hingga akhirnya sistem tersebut ditetapkan sebagai Marga Stelsel
melalui Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten pada
tahun 1928, dengan jumlah pemerintahan marga mencapai 62
wilayah di seluruh Distrik Lampung.169
Tabel 4: Klasifikasi marga yang diakui Belanda (margastaat)170
No Marga Kelompok Adat
1 Dantaran Meninting Peminggir
166 Sayuti Ibrahim, Buku Handak II: Mengenal Adat Lampung
Pubian..., hlm. 43. 167
Hasil wawancara dengan Ratu Keratuan Melinting, Bapak Rizal
Ismail, gelar Sultan Ratu Idil Muhammad Tihang Igama IV. Lihat juga Sayuti
Ibrahim, Buku Handak II: Mengenal Adat Lampung Pubian..., hlm. 44. 168
J.W. van Royen, Nota over de Lampongsche Merga’s,
(Weltevreden: Landsdrukkerij, 1930), hlm. 48. 169
J.W. van Royen, Nota over de Lampongsche Merga’s..., hlm. 1-2. 170
Diadaptasi dari peta Klasifikasi Marga pada lampiran. J.W. van
Royen, Nota over de Lampongsche Merga’s...,
104
2 Ketimbang
3 Ratu
4 Legun
5 Ketibung
6 Teluk Betung Teluk Peminggir
7 Sabu Menanga
8 Ratai
9 Punduh
10 Pedada
11 Balau Pubian
12 Way Semah
13 Merak Batin
14 Tegineneng
15 Pugung
16 Pubian Nuat
17 Badak Pemanggilan Peminggir
18 Putih
19 Limau
20 Kelumbayan
21 Pertiwi
22 Putih Doh
23 Limau
24 Talang Padang Pasir
25 Buay Belunguh
26 Bunawang
27 Way Ngarip Semong
105
28 Pematang Sawah
29 Buay Bunga Mayang
30 Selagai Kunang Abung
31 Buay Nunyai
32 Subing Labuan
33 Gedong Wani
34 Batanghari (Nuban)
35 Sukadana
36 Unyi Way Seputih
37 Subing
38 Buay Beliuk
39 Buay Nyerupa
40 Anak Tuha
41 Buay Unyi
42 Buay Pemuka Pengiran Jelma Daya
43 Buay Pemuka Pengiran Udik
44 Buay Pemuka Pengiran Ilir
45 Buay Pemuka Bangsa Raja
46 Buay Bouwga
47 Buay Barasakti
48 Buay Baradatu
49 Buay Semenguk
50 Rebang Pugung Rebang Semendo
51 Buay Rebang Seputih
52 Kasui
53 Jabung Melinting
106
54 Melinting
55 Sekampung
56 Buay Bulan Udik Tulang Bawang
57 Buay Bulan Ilir
58 Tegamoan
59 Suay Umpu
60 Aji
61 Mesuji Lampung Palembang
62 Way Tuba Ogan
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 20
September 1929 No. 14, melalui Staatsblad 1929 No. 362, marga-
marga tersebut di atas ditambah dengan kolonis dari Jawa
dimasukkan ke dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda
menjadi lima onderafdeling, yaitu:171
1. Teluk Betung di bawah Kontrolir Tanjung Karang, terdiri
dari:
a. Wilayah ibukota Teluk Betung
b. Wilayah Kolonisasi Jawa di Gedong Tataan
c. Wilayah marga: Dantaran, Pesisir Rajabasa (Ketimbang),
Ratu, Legun, Ketibung, Teluk, Balaw, Way Semah, Sabu
Menanga, Ratai, Punduh, Pedada, Merak Batin,
Tegineneng, Badak, Putih, dan Limau.
2. Kota Agung di bawah Kontrolir Kota Agung, terdiri dari:
171 Nieuwe Administratieve Indeeling van Genoemd Gewest,
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 No. 362.
107
a. Wilayah ibukota Kota Agung
b. Wilayah Kolonisasi Jawa di Kota Agung
c. Wilayah marga: Kelumbayan, Pertiwi, Putih, Putih Doh,
Limau, Talang Padang Pasisir (Gunung Alip), Buay
Belungu, Benawang, Way Ngarip, Pematang Sawah,
Pugung, dan Rebang Pugung.
3. Kotabumi di bawah Kontrolir Kotabumi, meliputi marga:
Kasui, Way Tuba, Buay Selagai, Buay Rebang Seputih, Buay
Nunyai, Buay Bunga Mayang, Buay Baradatu, Buay
Semenguk, Buay Bouwga, Buay Barasakti, Buay Pemuka
Pengiran, Buay Pemuka Pengiran Udik, Buay Pemuka
Pengiran Hilir, dan Buay Pemuka Bangsa Raja.
4. Sukadana di bawah Kontrolir Sukadana, meliputi marga:
Jabung, Melinting, Sekampung, Labuan Subing, Gedong
Wani, Batanghari (Nuban), Sukadana, Unyi Way Seputih,
Subing, Buay Beliuk, Buay Nyerupa, Anak Tuha, Pubian
Nuat, dan Buay Unyi.
5. Menggala di bawah Gezaghebber Menggala, meliputi marga:
Mesuji, Suai Umpu, Tegamoan, Buay Bulan Udik, Buay
Bulan Ilir, dan Aji.
3. Ekonomi: Penataan Perekonomian Lampung
a. Sentralisasi Residensi Lampung (Lampongsche Districten)
Setelah puas mengeksploitasi Maluku bagai sapi perah,
Belanda mendapati Jawa yang gemah ripah. Kini, setelah
peperangan panjang dalam edisi ekspansi dan kompetisi dengan
Inggris di pulau strategis yang kaya lada dan komoditas berharga
108
lainnya,172
menjelang akhir abad ke-19 hampir seluruh Sumatera
takluk dalam kekuasaan Belanda yang dipersiapkan bagi
glorifikasi masa depannya.173
Pulau yang akan menjadi masa depan Belanda ini dibagi
ke dalam beberapa sistem administrasi kewilayahan meliputi
distrik, provinsi, atau tetap kerajaan. Beberapa di antaranya ada
yang berada di bawah kendali langsung pemerintah Belanda
(direct government), namun ada juga yang tetap mempertahankan
sistem lama dengan penguasa pribuminya yang diintervensi
melalui penasihat Belanda (indirect government). Salah satu
bagian darinya ialah Lampung yang dijadikan sebuah residensi di
bawah kuasa Belanda secara langsung dengan nama resmi
Residentie Lampongsche Districten, yang beribukota di Teluk
Betung.174
Pada masa awal kekuasaan Belanda yang dimaksud
Residensi Lampung ialah wilayah Provinsi Lampung saat ini
minus bagian barat yang sedang dikuasai Inggris, hingga
kemudian bagian tersebut dimasukkan ke dalam Karesidenan
172 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1991), hlm. 211. 173
Sebagaimana semboyan Belanda terhadap nilai penting Sumatera
Timur: Moluken is het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst.
(Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang, dan Sumatera adalah
masa depan). Darmiati, Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi/Emigrasi
hingga Transmigrasi, dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Sub Tema
Dinamika Sosial Ekonomi III, (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm. 21. 174
F. Kehding, “Sumatra in 1886”, Journal of the Straits Branch of
the Royal Asiatic Society, No. 18 (December,1886), hlm. 345-346
109
Bengkulu oleh Belanda ketika terjadi tukar guling dengan
Singapura. Residensi ini memiliki luas sekitar 28.268,40 km².175
Sebagaimana dikutip dari F.G. Steck, bahwa bagian
selatan pulau Sumatera disebut Lampongs, meskipun untuk
bagian yang terletak di sebelah barat Bukit Barisan, nama itu
tidak lagi digunakan oleh Pemerintah, karena berada di bawah
manajemen residensi Bengkulu.176
Dalam penataan administrasi wilayah sangat jamak terjadi
perubahan, baik pemecahan maupun penggabungan. Demikian
juga Residensi Lampung untuk beberapa waktu kerap terjadi
perubahan selama proses penguasaan. Distrik ini dibagi ke dalam
lima afdeling yaitu: Teluk Betung, Tulang Bawang, Sekampung,
Seputih, dan Semangka.177
Pada tahun 1864 dirombak kembali
menjadi tujuh afdeling dengan ibukotanya masing-masing
sebagai berikut:178
a. Teluk Betung: Teluk Betung,
b. Bumi Agung: Pakuan Ratu,
c. Tulang Bawang: Menggala,
d. Seputih: Terbanggi,
e. Sekampung: Sukadana,
f. Semangka: Tanjung,
g. Empat Marga: Katimbang.
175 Centraal Bureau voor de Statistiek, Statistisch Jaarover icht van
Nederlandsch Indi -Statistical Abstract for the Netherlands East-Indies 1928,
(Buitenzorg: Statistisch Kantoor, 1928), hlm. 01. 176
F. G. Steck, “Topographische en Geographische..., hlm. 69. 177
F. G. Steck, “Topographische en Geographische..., hlm. 100 178
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indië 1870, (Batavia:
Lands-Drukkerij, 1870), hlm. 167.
110
b. Teluk Betung sebagai Ibukota Administrasi dan Ekonomi
Ibukota Residensi Lampung berada di afdeling Teluk
Betung. Batas-batas administratif Teluk Betung ialah: sebelah
barat dengan Semangka, utara dengan Sekampung, bagian timur
dengan Laut Jawa, dan sebelah selatan dengan Selat Sunda.
Wilayahnya ditambah dengan semua pulau yang berada di Teluk
Lampung, yakni Legundi, Sebuku, Sebesi, dan Krakatau di Selat
Sunda.179
Untuk wilayah kota yang sudah dibentuk sejak tahun 1848
oleh Belanda terdiri dari delapan kampung, yaitu: Kangkung,
Maja, Bumi Waras, Lontar, Pasar, Pesisir, Parawata, dan Kota
Karang. Sebagaimana umumnya kota perdagangan di pesisir,
Teluk Betung juga memiliki komposisi demografis yang
majemuk dan saling berpacu yang menjadikan kota ini memiliki
daya hidup nan semarak. Selain penduduk pribumi, mereka
adalah Melayu, Lingga, Bugis, Jawa, Tiongkok, Arab, dan
akhirnya Eropa.180
Lansekap wajah kota terbentuk dari tata pemukiman yang
mencirikan komunitas etnis penghuninya. Orang Lampung
mayoritas menghuni tiga kampung, meliputi Parawata, Pesisir,
dan Kota Karang. Orang Jawa menghuni Kampung Kangkung,
sehingga dikenal sebagai Kampung Jawa. Kampung Bumi Waras
dan Maja di tepi pantai adalah kawasan hunian para pejabat
179 F. G. Steck, “Topographische en Geographische..., hlm. 100.
180 “Topographische Beschrijving van Telok Betong en Deszelfs
Naaste Omstreken”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indië, 8ste Deel, (Nieuwe Volgreeks, 4e Deel, 1862), hlm. 114-
116.
111
Belanda dan pengikutnya. Terakhir, orang asing lainnya mengisi
Kampung Pasar dan Lontar. Rumah-rumah di kawasan ini
dibangun dengan rapi dan saling berdampingan, sehingga
membentuk jalan yang lebar dan terhubung dengan banyak gang
serta terdapat jembatan di atas saluran air. Karena wajah indah
kampung ini, sampai membuat Letnan Kohler pun tertarik,
terutama untuk menjaga kebersihannya.181
Dengan didukung fasilitas pelabuhan yang memiliki
kedalaman hingga 8 depa sehingga kapal besar dapat bersandar,
dan ditopang kegiatan ekonomi masyarakat berbasis perkebunan,
maka perdagangan makin berkembang di sini. Sepanjang waktu
terjadi peningkatan dalam volume ekspor dan impor. Komoditas
ekspor andalan ialah lada, rotan, getah karet, dan damar.
Sedangkan beras, minyak, gambir, tembakau, linen, dan barang
logam merupakan komoditas yang diimpor.182
c. Potensi dan Hambatan bagi Pembangunan Ekonomi
Selain sebagai daerah penghasil lada yang telah
mendunia, kondisi alam Lampung yang kaya sumberdaya dengan
tanah subur dan tutupan hutan belantara menyimpan potensi
ekonomi yang luar biasa dan sangat beragam. Bahkan studi yang
dilakukan oleh pakar Belanda menyimpulkan bahwa tanah
181 “Topographische Beschrijving van Telok Betong..., hlm 120-121.
182 “Topographische Beschrijving van Telok Betong..., hlm 116 dan
121. Uraian lebih jauh tentang statistik perdagangan akan dibahas pada sub-
bab selanjutnya.
112
Lampung cocok untuk semua jenis tanaman tropis.183
Tambahan
pula kandungan mineral di dalam bumi yang belum tereksplorasi
makin menjadi daya tarik untuk dikuasai dan menjanjikan
terciptanya industrialisasi.184
Sebenarnya dengan masyarakat yang berpola ekonomi
subsisten, keadaan demikian dengan dimanfaatkan secara
seadanya sudah cukup mendukung bagi kehidupan masyarakat
Lampung yang populasinya tidak besar. Tapi bagi sang kolonialis
ini merupakan kesempatan untuk menghadiahkan “potongan dari
tanah emas” ke negeri induknya.
Sekilas diperkenalkan potensi sumberdaya alam hayati
yang memiliki nilai komersil meliputi hasil hutan, yaitu berbagai
jenis kayu, rotan, bambu, dan damar. Hasil budidaya, yakni
kapas, kapuk, pisang, tebu, lada, karet, dan kopi.185
Sumberdaya
alam mineral, antara lain deposit bijih besi, emas, perak, dan batu
bara.186
Namun nyatanya keadaan yang alami dari Lampung
menjadi hambatan untuk pengembangan ekonomi, yakni belum
ada pengalaman untuk mengoperasikan kegiatan ekonomi dalam
skala lebih besar, terbatasnya sumber energi, miskin koneksi dan
infrastruktur membuat Belanda harus melipatgandakan modal dan
183 Directeur der Burgerlijke Openbare Werken, Rijwegen of
Spoorbanen, (Batavia: Papyrus, 1913), hlm. 93. 184
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914, Afl. X, Deel 1, hlm. 74. 185
Departement van Kolonien, Spoorwegverkenning in Zuid Sumatra,
(Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1904), hlm. 2. 186
H. Philippi, De Beteekenis en de Toekomst van den Mijn in Zuid-
Sumatra, (De Zuid-Sumatra Land- En Nijverheids Vereeniging), hlm. 13.
113
resiko.187
Dari sisi populasi yang sedikit dan karakter
masyarakatnya yang sahaja dan tidak terbiasa bekerja ekstra
karena karunia alam, menjadikan terbatasnya suplai tenaga kerja.
Untuk masalah yang terakhir ini, mendatangkan masyarakat dari
daerah lain dalam format migrasi adalah solusinya, yang kelak
oleh pemerintah dinamai dengan kolonisasi.
d. Lampung dalam Regionalisasi Perekonomian Sumatera
Selatan
Posisi Lampung secara ekonomi sangat strategis, baik
dalam kaitannya dengan Sumatera bagian selatan, sekaligus
menghubungkan dengan Jawa, utamanya Batavia sebagai sentra
Hindia Belanda. Sebagaimana pernyataan Welan yang melihat
kecenderungan meningkatnya hubungan antar kota di kawasan
Sumbagsel dengan Jawa:
“Lokasi Sumatera Selatan yang menguntungkan terkait dengan
Jawa -sehingga menimbulkan hubungan timbal balik di sepanjang
zaman. Hari ini, koneksi yang paling dicari adalah: Batavia-
Palembang, Batavia-Djambi dan Batavia-Teloekbetoeng
(Lampoengs).”188
Tak pelak, membahas upaya Belanda membangun
ekonominya di Lampung tidak dapat dipisahkan dari mengenali
keunggulan komparatif kewilayahan dan konsep pengembangan
perekonomian berbasis integrasi kawasan serta interkoneksi
kepulauan.
187 P.J.S. Cramer, De Groote Land in Zuid Sumatra, (Zuid-Sumatra
Land- en Nijverheid Vereeniging, 1918), hlm. 17. 188
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht,
(Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1932), hlm. 3.
114
Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Zuid Sumatra
Instituut untuk mengidentifikasi berbagai bidang yang ada di
Sumatera Selatan, termasuk keunggulan ekonomi. Untuk
integrasi kawasan di bidang ekonomi perusahaan perkebunan
dibentuk Zuid Sumatra Landbouw en Nijverheids Vereeniging,
dan Lampung di bawah Lampongsche Landbouw en Nijverheids
Vereeniging yang dibentuk tahun 1900 bergabung di dalamnya
bersama Bengkulu dan Palembang pada tahun 1915. Sedangkan
interkoneksi kepulauan adalah salah satu tugas dari dibentuknya
KPM.189
Dengan alasan demikian, perlu dilihat apa itu kawasan
ekonomi Sumatera Selatan yang Lampung berada dalam satu
bentangan geografis bersamanya.
Bagi Belanda, pembentukan kawasan ekonomi Sumatera
Selatan merupakan konsep lama dengan nama baru. Mengapa
demikian? Itu karena sejatinya masalah penggabungan ataupun
pemekaran wilayah sudah kerap dilakukan. Namun kali ini
tekanan orientasinya adalah ekonomi, walaupun dilihat juga
banyaknya kesamaan etnografis.
Welan mencontohkan bahwa tahun 30-an pada abad ke-19
telah ada penggabungan Bengkulu-Palembang dan administrasi
Jambi yang berpusat di Palembang. Namun saat itu Distrik
189 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. ix.
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk in Zuid
Sumatra: Gegeven en Beschouwingen, (Wageningen: H. Veenman & Zonen,
1930), hlm. 31-32. Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda:
Langkah Komersil Pemerintah Kolonial. Diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/mozaik/article/view/5543, pada 12 Oktober
2018.
115
Lampung belum digabungkan karena masih ada “kekacauan”190
oleh sebab perlawanan Raden Intan. Maka setelah semua stabil di
bawah naungan Belanda, integrasi dari Residensi Palembang,
Jambi, Bengkulu, dan Lampung menjadi kesatuan entitas
ekonomi yang dikenal dengan nama Zuid Sumatra/Sumatera
Selatan. Salah satu wilayah paling makmur di
Buitenbezittingen.191
Hal tersebut menjadi penting karena akan berkaitan
dengan sektor produksi dan fasilitas distribusi, yakni apa yang
akan dikembangkan oleh Belanda dengan keunggulan potensi
wilayah beserta pertimbangan pembangunan fasilitas penunjang
seperti sistem transportasi yang meliputi jaringan jalan raya, rel
kereta api, dan pelabuhan beserta pelayarannya. Sebagaimana
ungkapan Philipi, bahwa alam memang menganugerahkan
pelabuhan alami yang indah untuk masing-masing tempat di
Sumatera Selatan. Tetapi kota-kota yang telah muncul makin
berevolusi ketika faktor-faktor lain bagi penentu perkembangan
dan kemakmuran diperhatikan.192
Setelah mematangkan hegemoni politik dan ekonominya,
kini Belanda akan memancangkan kekuasaan ekonomi dengan
memberi perhatian bagi faktor-faktor penentu untuk
mengembangkan dan membangkitkan kemakmuran seperti
ungkapan Phillipi di atas. Langkahnya ialah dengan melahirkan
190 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 1.
191 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914, Afl. X, Deel 1, hlm. 74. 192
H. Philippi, De Beteekenis en de Toekomst..., hlm. 40.
116
berbagai kebijakan bagi sektor ekonomi yang meliputi produksi,
distribusi, konsumsi, perpajakan, dan ketenagakerjaan.
117
BAB V
POLITIK EKONOMI BELANDA TERHADAP LAMPUNG
PADA TAHUN 1800-1942: SALURAN EKSPLOITASI
A. Penerapan Politik Ekonomi di Lampung
1. Cultuurstelsel (1830-1870)
Memasuki masa suram perekonomian negara, membuat
pemerintah Belanda memikirkan berbagai cara dan konsep
ekonomi untuk segera keluar darinya. Langkah utama yang
diambil ialah menjadikan tanah koloni yang lebih produktif
dengan segala kekuatan bagi negri induk di masa-masa
berikutnya. Konsep tersebut akhirnya melahirkan kebijakan yang
nama resminya ialah Cultuurstelsel pada tahun 1830. Namun bagi
kelompok liberal yang anti Cultuurstelsel, kebijakan ini disebut
dengan istilah tanam paksa.193
Cultuurstelsel mengusung perubahan tata cara produksi
dari yang bersifat tradisional menjadi rasional. Menurut Piccardt,
konsep ini tidak lagi melulu tentang karakteristik tanah yang
subur, pengolahan lahan, dan cara budidaya, melainkan tentang
pilihan produk yang diinginkan dalam jumlah besar; tentang
memperoleh tenaga kerja dan memberi penghargaan; dan
akhirnya ini adalah tentang budidaya di ranah rumah tangga
negara.194
193 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 (buku 1), (Yogyakarta:
Kanisius, 1988), hlm. 17. 194
Bahwa Cultuurstelsel merupakan bentuk kegiatan negara di bidang
ekonomi sesuai semangat merkantilisme, sehingga pemerintah Belanda dengan
perangkatnya ikut campur dalam urusan produksi. Dalam R.A.S. Piccardt, De
118
Sistem yang dikonsep dan dilaksanakan oleh Johannes
van den Bosch ini mewajibkan penduduk Jawa untuk menanam
kopi, tebu, nila, dan komoditas ekspor lainnya. Selanjutnya
produk dikirim ke gudang-gudang pemerintah yang tersebar di
seluruh Jawa. Sebagai imbalannya, petani memperoleh
pembayaran atas tanaman dan pejabat mendapat persentase
penanaman (cultuurprocenten) untuk menstimulasi produksi.
Namun kompensasi begitu sewenang-wenang bagi rakyat, karena
tidak sepadan dengan nilai pasar atas produk atau dengan upaya
yang diperlukan oleh petani untuk melakukan budidaya.195
Dengan cara ini, pemerintah Belanda mengambil alih
manajemen produksi ekspor Jawa setelah pengusaha swasta gagal
melakukannya sebelum 1830. Kebijakan ini membawa Jawa ke
dalam sistem perdagangan dunia, di mana perdagangan dan
pengiriman Belanda membentuk mata rantai yang sangat
diperlukan. Produk-produk diangkut ke negeri induk dengan
kapal-kapal Belanda melalui perusahaan semi-nasional, -
Nederlandsche Handel Maatschappij- dan diperdagangkan di
sana.196
Geschiedenis van het Cultuurstelsel..., hlm. 6., dan G. Moedjanto, Indonesia
Abad ke-20..., hlm. 18. 195
Vincent, J.H. Houben, “Java in the 19th Century: Consolidation of
a Territorial State”, dalam Howard Dick, (et al.), The Emergence of a National
Economy: an Economic History of Indonesia, 1800–2000, (New South Wales:
Allen & Unwin, 2002), hlm. 65. 196
C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch
Colonial Economy and the Indigenous Society in Nineteenth-Century Java”,
dalam C.A. Bayly dan D.H.A. Kolff (ed.), Two Colonial Empires, (Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, 1986), hlm. 137.
119
Awalnya kebijakan Cultuurstelsel terfokus di Jawa, dan
baru tahun 1847 mulai diperkenalkan di Sumatera Barat untuk
komoditas kopi. Sedangkan di Lampung, yang kekuasaan
Belanda baru terbangun stabil pasca 1856, pernah sejenak
mengalaminya untuk perintah tanam paksa pada komoditas lada.
Namun demikian, di masa ini lada sudah bukan merupakan
produk utama walaupun harganya tetap bertahan, sehingga
pemerintah melakukan pembatasan area produksinya.197
2. Ekonomi Liberal (1870-1900)
Kemenangan barisan politisi liberal di parlemen Belanda
membawa pengaruh bagi wilayah-wilayah jajahan. Pengaruhnya
ialah perubahan kebijakan yang bernuansa kebebasan dengan
cara mengurangi bila perlu menihilkan peran negara dalam
kegiatan ekonomi secara langsung,198
kecuali hanya sebagai
administrator. Untuk itu, pihak swasta dengan kekuatan modal
yang akan mengambil alih peran negara sebagi pelaksana
kegiatan ekonomi dalam kerangka liberalisme yang bersanding
dengan semangat kapitalisme. Di Hindia Belanda, kebijakan ini
mulai berlaku pada masa Gubernur Jenderal Pieter Mijer yang
menjabat pada tahun 1866-1872.
Jalan bagi liberalisasi ekonomi tersebut disusun di atas
lahirnya peraturan perundangan, yakni Agrarische Wet pada
tahun 1870. Inti aturan dalam Agrarische Wet yang membuka
peluang pengembangan usaha perkebunan di Hindia Belanda bagi
197 Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada..., hlm. 69.
198 Darmiati, Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi..., hlm. 17.
120
penanaman modal ialah pada sewa tanah, baik itu tanah
pemerintah dengan jangka waktu sewa maksimal 75 tahun,
maupun tanah garapan penduduk paling lama 25 tahun.199
Melalui peraturan itu, usaha bidang perkebunan yang
mulanya diterapkan di Jawa akhirnya menjalar juga ke Sumatera,
salah satunya Lampung dengan kopi dan karet yang merupakan
dua tanaman produk unggulan di masa penerapan politik ekonomi
liberal. Untuk itu dikenakan pula kebijakan mengenai sewa tanah
di Lampung, walaupun penduduknya menyatakan bahwa tanah
ialah hak milik pribumi baik secara pribadi maupun komunitas,
baik lahan digarap maupun areal bebas.200
a. Penerapan Kebijakan Sewa Tanah
Pasca menegaskan dominasinya pada tahun 1857, upaya
Belanda mengembangkan ekonomi daerah ini berjalan secara
bertahap tanpa kemajuan yang signifikan. Diperlukan waktu lebih
dari setengah abad untuk menjadikan wilayah Lampung dilirik
oleh pihak pengembang perkebunan besar. Meskipun setelah itu
sangat nampak mesin eksploitasi sumber-sumber alam bekerja
dengan semarak.201
Untuk membuka peluang bagi pengusaha perkebunan
besar digunakan juga landasan umum sewa tanah berdasarkan
199 A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem
Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 46. 200
A.M. Hens, Het Gronbezit in Zuid Sumatra, (Den Haag: Korthuis,
1909), hlm. 17. 201
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 169.
121
pada Agrarische Wet 1870 No. 55 pasal 62 yang isinya
menyatakan sebagai berikut:202
1. Gubernur jenderal dilarang menjual lahan apapun
2. Larangan tidak termasuk lahan kecil yang ditujukan untuk
perluasan kota dan desa dan pembentukan otoritas industri
3. Gubernur jenderal dapat mengeluarkan izin untuk sewa lahan
di luar yang dimiliki oleh penduduk atau komunitas (lahan
dibudidayakan, tanah milik desa/marga)
4. Tanah disewakan tidak lebih dari 75 tahun
5. Gubernur jenderal memastikan tidak ada jarak dari tanah
yang melanggar peraturan pribumi
6. Tanah yang dimiliki penduduk asli dalam pengguaan turun-
temurun atas permintaan pemilik yang sah dapat dikeluarkan
surat kepemilikan sehubungan dengan penjualan ke non-
pribumi
7. Tanah milik penduduk dapat disewakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan peraturan itu nyata bahwa pemerintah
mengakui hak milik tanah bagi pribumi, baik itu milik pribadi,
tanah yang digarap, tanah yang diwariskan, dan tanah marga.
Adapun yang di luar ketentuan tersebut adalah milik negara.
Namun pribumi mengklaim semua tanah bahkan hutan liar
sekalipun untuk mengeksploitasi hasilnya, yang bermakna
pribumi tidak mengakui hak milik negara/pemerintah. Maka
202 Agrarische Aangelegenheden, Staatsblad van Nederlandsch-Indie
1870 No. 118. L.A.J.W. Sloet, “Regeeringsreglement”, dalam F.C. Hekmeijer,
(ed.), Verordeningen Inlandsch Grondbezit, (Batavia: G. Kolff & Co., 1917),
hlm. 1-2.
122
pemerintah berpegang pada asas bahwa tanah liar adalah wilayah
negara, yang diperkuat dengan Agrarische Besluit 20 Juli 1870
No.15 dalam Staatsblad No. 118 Pasal 1, menyatakan bahwa
semua tanah dimana tidak ada hak kepemilikan yang dibuktikan
orang lain, menjadi milik Negara.203
Penerapan sewa tanah tersebut, khusus Lampung
dirumuskan ke dalam Staatsblad 17 Februari 1885 No. 45.204
Secara umum peraturannya dibagi dalam dua belas pasal, dan
yang ditampilkan hanya berkaitan dengan aturan sewa berikut
ini:205
1. Tanah di Residensi Distrik Lampung yang dimiliki oleh
pribumi dalam kepemilikan pribadi dapat disewakan kepada
non-pribumi sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh
peraturan ini.
2. Penyewa hanya mengakui orang atau asosiasi yang didirikan
di Belanda atau Hindia Belanda.
3. Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak akan
disewa lebih dari dua puluh tahun berturut-turut untuk jangka
waktu yang lebih lama dari itu.
4. Dalam hal perjanjian sewa, tidak ada pembayaran uang muka
dalam bentuk apapun yang dapat ditetapkan atau dibuat
untuk jangka waktu satu tahun di bawah ancaman
pembatalan pembayaran.
203 Agrarische Aangelegenheden, Staatsblad van Nederlandsch-Indie
1870 No. 118. 204
A.M. Hens, Het Gronbezit in Zuid Sumatra..., hlm. 03. 205
Gronden Lampongsche Districten, Staatsblad van Nederlandsch-
Indie 17 Februari 1885 No. 45.
123
5. Penetapan penyewaan kembali, setelah berakhirnya jangka
waktu yang disebutkan dalam Pasal 3, adalah dilarang.
6. Perjanjian sewa harus dibuat secara tertulis pada kertas
tersegel dalam rangkap dua, dalam bahasa Belanda dan
Lampung atau bahasa Melayu, atau dalam kedua bahasa asli
ini, untuk diperiksa oleh Kepala Daerah atau Pemerintah
Daerah, dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Tanda
tangan pemilik harus disahkan oleh kepala kampung dan
salah satu kepala sukunya.
7. Kontrak harus terdaftar secara hukum. Pendaftaran akan
dilakukan di Teluk Betung oleh hakim, dan di tempat lain
oleh inspektur yang relevan, yang akan mencatat pada setiap
salinan akta.
8. Pendaftaran berlangsung dalam dua bulan setelah penawaran.
Hal itu harus ditolak jika kontrak mengandung ketentuan
yang bertentangan dengan hukum, -jika tidak dibuat dalam
bentuk sesuai yang ditentukan oleh Pasal 6, atau jika tidak
ada kepastian yang cukup mengenai hak-hak pemberi sewa
atas tanah yang akan disewakan-. Jika pendaftaran ditolak,
keputusan ini dapat diajukan ke Residen dan keputusannya
kepada Pemeritah Daerah.
9. Penyewa harus, kecuali ditentukan lain secara eksplisit,
menanggung semua keadaan yang diperkirakan dan tidak
diperkirakan.
10. Peraturan ini tidak berlaku untuk tanah yang dimiliki oleh
pribumi, karena hanya tanah yang ada sertifikat sesuai
dengan ketentuan Staatsblad 1834 no 27.
124
Sekalipun Staatsblad tersebut telah dijadikan landasan
hukum bagi berlakunya sistem sewa tanah terhadap tanah milik
pribumi di Lampung, pada faktanya pengusaha perkebunan
swasta Eropa lebih banyak menyewa tanah milik negara, hal
demikian terjadi karena pada dasarnya lahan liar atau tak tergarap
dianggap milik negara, sehingga lahan yang luas hanya dapat
diperoleh dari pemerintah. Sedangkan tanah penduduk atau
marga lebih banyak digunakan untuk kebutuhannya sendiri.
Hal tersebut dibuktikan oleh data yang dikeluarkan
pemerintah, bahwa beberapa perusahaan perkebunan besar di
Lampung memperoleh lahan langsung dari menyewa tanah
kepada pemerintah Hindia Belanda. Sebagai sampel, perusahaan
tersebut antara lain: Lampung Caoutchouc Maatschappij, Para
Rubber Cultuur Maatschappij “Gadies”, Cultuur Maatschappij
“De Lampongs”, Langkapoera (Sumatra) Rubber Estate Limited,
The South Sumatra Rubber Estates Limited, Sumatra Rubber
Cultuur Maatschappij, dan lainnya.206
3. Politik Etis (1900-1942)
Politik Etis (Ethische Politiek) merupakan implementasi
atas ide-ide para kritikus penentang ekonomi liberalisme yang
dinilai eksploitatif dan hanya mementingkan negeri induk
sehingga abai terhadap rakyat koloni, padahal rakyat negeri
206 A.G.N. Swart, Rubber Companies in the Netherland East Indies,
(Amsterdam: J.H. De Bussy, 1911), hlm. 85. Departement van Binnenlandsch
Bestuur, Cultuuradresboek voor Indie, (Batavia: Landsdrukkerij, 1915), hlm.
124-130. Data perusahaan lebih lengkap lihat pada tabel 9: Perusahaan
perkebunan di Lampung pada tahun 1892-1914.
125
koloni telah bekerja dan diperah bagi kemakmuran Belanda,
namun di sepanjang abad ke-19 kesejahteraan mereka justru
semakin menurun. Maka muncul pemikiran untuk memberi
perhatian kepada pribumi sebagai bentuk balas budi atas suatu
yang disebut sebagai “hutang kehormatan” (ereschuld).
Di antara pengkritik yang berpengaruh dalam pemberi
model bagi terwujudnya kebijkan ini ialah C. Th. Van de Venter.
Kritik dan sarannya ia tuliskan dalam karangan berjudul Een
Eereschuld yang dimuat dalam Majalah de Gids pada 1899. Van
de Venter menyatakan bahwa Belanda sebagai bangsa yang maju
dan bermoral haruslah membayar utang tersebut sebagai
pengimbang atas eksploitasi yang berlebihan di periode
sebelumnya dengan jalan menyelenggarakan kebijakan yang akan
berpengaruh langsung bagi kemajuan pribumi berupa irigasi,
emigrasi, dan edukasi yang kemudian dikenal dengan istilah Trias
van de Venter.207
Dari ketiga kebijakan tersebut, hanya masalah irigasi dan
emigrasi yang akan difokuskan dalam kajian ini. Dua hal itu
diterapkan oleh Belanda di Lampung lantaran kondisinya, baik
secara demografi maupun geografi cukup mendukung bagi “era
pembangunan” bagi rakyat negeri koloni. Maka pemerintah
akhirnya menjadikan Lampung sebagai tujuan dari praktek
perdana emigrasi pada tahun 1905, yakni pemindahan penduduk
Jawa yang kelak dikenal dengan istilah kolonisasi. Kehadiran
para kolonis itu untuk mengemban tugas sebagai penyuplai
207 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20..., hlm. 21. Thee Kian Wie,
“Colonial Extraction in the Indonesian Archipelago..., hlm. 53.
126
tenaga kerja bagi perusahaan dan produksi beras dengan metode
sawah. Oleh karenanya dipraktekkan pula kebijakan pendukung
selanjutnya, yaitu irigasi.
B. Saluran Eksploitasi Kolonial
1. Politik Ekonomi di Sektor Produksi
Bubarnya VOC memberi pukulan telak bagi finansial
negeri induk. Bukan sekadar hilangnya sumber pemasukan, tetapi
juga menjadi alasan keluarnya biaya bagi sederet permasalahan
dan lilitan hutang yang ditinggalkan. Di sisi lain permasalahan
ini, Belanda memperoleh pelajaran bahwa cara kerja VOC yang
hanya melakukan pembelian komoditi untuk kemudian dikirim ke
pasar Eropa dinilai tidak efektif. Maka pemerintah Belanda
kemudian mengalihkan pada kegiatan produksi sekaligus
menguasai shipping-nya.208
Shipping yang merupakan aktivitas transportasi barang
maupun penumpang melalui laut menggunakan kapal dapat
terjadi berkat warisan VOC berupa rute perdagangan dengan
titik-titik pelabuhan sebagai jaringannya.209
Maka di bagian ini
akan kita lihat bagaimana Belanda melakukan kegiatan produksi
sekaligus mencipta sistem transportasi untuk mengantar komoditi
kepada konsumen. Dengan jalan ini Belanda memperoleh
208 Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah
Komersil Pemerintah Kolonial, diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/mozaik/article/view/5543, pada 12 Oktober
2018. 209
Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda...,
127
keuntungan ganda, yakni dari sisi produksi dan bidang jasa
transportasi.
a. Budidaya Lada pada Masa Cultuurstelsel hingga Liberal
Lada merupakan hasil alam utama yang panjang
sejarahnya mengikuti alur situasi politik Belanda sejak VOC dan
kekuatan lainnya hingga pemerintah Hindia. Kebijakan yang
Kompeni tetapkan berkaitan dengan tingginya permintaan pasar
dunia terhadap produk ini, yang akhirnya berdampak pada sektor
kekuasaan dan keamanan wilayah hingga memicu hasil budidaya
pada keadaan pasang surut. Adapun di masa pemerintah Belanda,
penanaman lada menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan
ekonomi yang diterapkan sejak sewa tanah hingga sistem Liberal.
Pada abad ke-19 lada sudah tidak lagi menjadi komoditas
utama walau tetap penting bagi Belanda. Tidak seperti komoditas
perkebunan yang baru diperkenalkan sebagaimana kopi dan karet,
lada di Lampung mulanya tidak diproduksi oleh perusahaan
perkebunan, melainkan dibudidaya secara personal oleh kalangan
petani pribumi untuk memenuhi kebutuhan ekspor Belanda bagi
pasar Eropa.210
Baru kemudian di tahun 1912 terdapat satu
perusahaan Eropa yang bergerak di bidang ini.211
Walaupun pada tataran produksi di lapangan dikerjakan
oleh warga, namun pemerintah membuat regulasi untuk
210 H. Fortuin, De Amsterdamsche Goederenmarkt, (Amsterdam: J.H.
De Bussy, 1923), hlm. 37. 211
H. Blink, Nederlandsch Oost-Indie als Productie en
Handelsgebied, („S-Gravenhage: Mouton & Co., Herderstraat 5, 1914), hlm.
87.
128
menangguk keuntungannya. Beberapa kebijakan ekonomi
Belanda yang pernah diterapkan ialah sistem sewa tanah
(landdelijk stelsel) pada tahun 1816-1830. Kebijakan tersebut
merupakan kelanjutan dari ide liberal Raffles dengan sistem
landrent. Ide besarnya yakni memberikan kebebasan dan
kepastian hukum dalam pertanian dan perdagangan. Bagi petani
dibebaskan menanam apa yang diinginkan di atas tanah yang
dianggap milik negara dan sebagai gantinya rakyat wajib
membayar pajak langsung kepada pemerintah.212
Namun sistem
ini gagal diterapkan di Lampung karena kuatnya ikatan
tradisional feodal antara petani dengan jenang. Dalam posisi ini
kedudukan jenang sebagai perantara sistem budidaya dan
perdagangan lada sejak masa Kesultanan Banten yang malah
diperkuat VOC masih sulit dihapuskan.213
Rupanya ide liberal belum tepat bagi kondisi sosio-
kultural rakyat Hindia dan situasi serta struktur ekonomi Belanda.
Maka demi memperoleh keuntungan dalam jumlah besar dan
cepat, Johannes van den Bosch (1830-1833) mulai menerapkan
sistem Cultuurstelsel pada yang kemudian berlaku pada tahun
1830-1870. Melalui sistem ini lada merupakan salah satu
tanaman yang wajib ditanam walau dalam skala kecil, yang
hasilnya harus diserahkan oleh petani kepada pemerintah sebagai
pajak.
212 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia
(1700-1900), (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hlm. 346. 213
Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada..., hlm. 69.
129
Pelaksanaan sistem ini kembali memanfaatkan struktur
yang berlaku dalam masyarakat. Kedudukan jenang dijadikan
perantara bagi pemerintah dengan petani dan diberi gaji.
Tugasnya ialah menyampaikan perintah penanaman lada dan
pengumpulan hasil produksi. Sesuai peraturan kontrak bahwa
para pengolah kebun diwajibkan menanam tanaman lada dalam
jumlah tertentu, yakni 1000 batang bagi pengolah yang
berkeluarga, dan 500 batang bagi pria yang lajang.214
Perubahan peta politik di pusat akhirnya mengubah pula
kebijakan di negeri koloni. Yakni munculnya Undang-Undang
Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-undang
tersebut merupakan pembuka gerbang bagi masuknya modal
asing ke Hindia untuk pengembangan perusahaan-perusahaan
perkebunan berorientasi ekspor yang akhirnya menjadi pesaing
dominasi lada di Lampung.
1) Lahan dan Metode Budidaya
Perkebunan lada yang lebih banyak dilakukan oleh
masyarakat cenderung tidak memiliki data pasti dalam keluasan
wilayah yang digarap. Umumnya informasi Belanda maupun
Inggris sampai abad ke-19 hanya menggambarkan wilayah yang
menjadi sentra penghasil lada di Lampung yang secara tradisional
memang telah banyak berkembang di kawasan timur hingga
selatan seperti Tulang Bawang, Seputih, Sekampung, Katimbang,
Teluk Betung, dan Semangka.
214 Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada..., hlm. 69.
130
Sebagai gambaran, dikutip dari artikel yang dibukukan
berjudul De Pepercultuur in de Buitenbezittingen, tentang
sebaran daerah dan luas lahan yang digunakan dalam budidaya
lada di Lampung pada tahun 1912 ialah sebagai berikut:215
Tabel 5: Luas area garapan
No Nama Daerah Luas Garapan
bouw hektar
1
2
3
4
5
6
Sekampung
Seputih
Semangka
Teluk Betung
Tulang Bawang
Katimbang
± 2400
± 2300
± 940
± 900
± 800
± 50
1680
1610
658
630
560
35
Total ± 7390 5173
Metode budidaya lada dalam prakteknya juga diserahkan
kepada pengolah perkebunan, yang umumnya tetap dilakukan
secara tradisional sebagaimana di masa-masa sebelumnya.
Perbedaan mungkin nampak hanya pada pengaturan perluasan
lahan karena adanya perusahaan budidaya tanaman lain.
Permulaan dalam melakukan budidaya lada yang amat
penting dan menentukan keberhasilan ialah pemilihan lokasi dan
kondisi tanah yang cocok. Lokasi yang tepat ialah di sepanjang
tepian sungai atau anak sungai yang tidak terlalu rendah supaya
215 De Pepercultuur in de Buitenbezittingen, (Batavia:
Landsdrukkerij, 1913), hlm. 39.
131
tidak dibanjiri air sungai dan hindari lahan yang miring karena
rawan longsor.216
Untuk kondisi tanah yang baik bagi penanaman
berupa tanah liat berwarna merah gelap yang terbentuk dari
batuan vulkanik muda.217
Walaupun tanah liat yang terang dan
kekuningan juga dapat digunakan namun umumnya akan
memengaruhi masa hidup dari tanaman ini hanya maksimal 15
tahun.218
Dan ini tidak efisien dari sisi produktivitas.
Karena tanah merupakan hak milik marga, maka bagi
masyarakat anggota marga yang ingin membuka lahan setelah
tanah yang diinginkan ditemukan, mereka harus mengajukan
perizinan kepada kepala kampung atau marganya.219
Setelah
terlebih dahulu diverifikasi bahwa lahan tersebut bebas dari klaim
pihak lain, atau bukan area terlarang, maka izin dikeluarkan.220
Jika tanah yang dimaksud berada di wilayah yurisdiksi marga
lain, maka pengajuan permintaan perizinan itu disertai dengan
penawaran hadiah kecil yang terdiri atas beberapa ekor ayam,
beras, dan kapas.221
Langkah selanjutnya ialah pembukaan lahan. Namun
lahan perawan ini tidak langsung ditanami lada, melainkan padi
216 William Marsden, Sejarah Sumatera, (Yogyakarta: Indoliterasi,
2016), hlm. 194. 217
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 252. 218
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 32. 219
Wawancara dengan Ratu Keratuan Melinting, Bapak Rizal
Ismail..., 220
Aturan tersebut berlaku setidaknya sampai terbitnya Agrarisch
Reglement berdasarkan Staatsblad 1925 No. 353, jo. 1927 No. 193. Sedangkan
selanjutnya harus mendapat persetujuan dari pihak berwenang, baik itu
gubernur jenderal atau otoritas yang ditugaskan. Lihat J.W.J. Wellan, Zuid
Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 220. 221
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 33.
132
terlebih dahulu. Setelah panen padi pertama barulah mulai
melakukan penancapan batang pohon penopang bagi tanaman
lada. Pohon penopang yang sering digunakan biasanya jenis
dadap duri, dadap minjak, dan randu.222
Penanaman pohon
penopang diberi jarak sekitar 2,5-3,5 m yang bertujuan untuk
memudahkan perawatan dan pemanenan lada. Kemudian bibit
lada dari hasil stek mulai ditanam. Dibutuhkan waktu satu sampai
dua tahun untuk sampai masa penen lada yang pertama.
Pasca penanaman dilanjutkan dengan masa perawatan.
Kegiatan ini meliputi pembersihan gulma sebanyak tiga kali
setahun, lalu gulma tersebut ditumpuk di antara pohon lada agar
terbentuk humus. Ada pemangkasan pohon penopang satu atau
dua tahun sekali, dan memastikan bahwa sulur lada terikat
dengan benar pada penopangnya. Tambahan pula area kebun
diberi pagar kawat atau besi sebagai pengaman dari gangguan
hewan liar.223
Proses penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan dalam
perkebunan kecil dilakukan sendiri oleh pemilik dan anggota
keluarganya, atau juga oleh budak jika mereka memilikinya.
Sedangkan perkebunan skala besar menggunakan tenaga bayaran
yang biasanya berasal dari Banten. Ketentuan besaran upah yang
harus diikuti ketika mempekerjakan tenaga bayaran ialah:224
Diupah sebesar f 0,60 sampai f 0,75 per hari jika tidak
ditanggung makan dan minum.
222 De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 33.
223 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 254.
224 De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 37.
133
Diupah sebesar f 0,33 sampai f 0,50 per hari jika mendapat
makan, minum, dan kadang juga rokok.
Mendapat akomodasi untuk lokasi kebun yang jauh.
Terdapat beberapa aturan jika pekerja hanya untuk memanen.
Di antaranya pekerja mendapat bagian dari hasil panen
berupa lima kantong malai lada. Jika ingin dikonversi dalam
bentuk uang maka per kantong senilai dengan f 0,30. Ada
pula pekerja mendapat seperlima hingga setengah hasil
panen dalam bentuk barang, atau upah harian dan makanan.
Pembayaran dilakukan setelah pemilik mengumpulkan hasil
panennya.225
Untuk pemanenan sendiri dilakukan ketika buah lada
mulai merah. Di kawasan pesisir biasanya terjadi pada bulan
April dan Mei, sedangkan di dataran tinggi beberapa bulan
setelahnya. Panen lada terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pra-
panen yang disebut lada penjelang sekitar Maret dan April dan
panen besar atau lada musim pada bulan September dan
Oktober.226
Tahapannya ialah setelah masa lada penjelang
dipanen, maka tanaman lada akan mekar kembali untuk panen
besar.227
Pasca panen berlanjut dengan proses pengolahan. Di
Lampung terdapat dua jenis lada yang diproduksi, yakni lada
hitam dan putih. Namun demikian yang diproduksi dalam jumlah
besar di semua wilayah ialah lada hitam, sedangkan lada putih
225 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 255.
226 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 254.
227 De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 35.
134
hanya di Seputih dan Tulang Bawang pun dalam jumlah kecil,
sehingga Residensi ini secara eksklusif dikenal sebagai penghasil
lada hitam terbesar di Hindia Belanda.
Sesungguhnya kedua jenis produk lada berasal dari
spesies yang sama, hanya saja berbeda dalam proses
pengolahannya. Proses produksi lada hitam lebih sederhana,
bermula dari pemetikan buah lada bersama malainya, khusus
daerah Seputih dan Tulang Bawang dilakukan fermentasi dengan
menyimpan lada tersebut di bawah rumah selama sekitar sepuluh
hari,228
kemudian lada dirontokkan dari malainya dan dikeringkan
di bawah sinar matahari selama empat hari. Akhirnya lada hitam
dikemas dan siap dijual. Sedangkan di sentra produksi selain
kedua daerah tadi, prosesnya dari lada yang dipetik langsung
disebar ditanah atau tikar untuk dijemur selama lima hari, lalu
lada dilonggarkan kembali dengan kaki untuk pengeringan lebih
lanjut. Setelah lada kering dan dibersihkan, lalu dikemas dalam
kantong seberat satu pikul.229
Prosesing untuk menghasilkan lada putih lebih panjang.
Perlakuannya dengan cara memasukkan lada bersama malainya
ke dalam kantong, lalu dikubur dalam tanah selama 10 sampai 12
hari. Berlanjut dengan meletakkan kantong itu ke dalam air
mengalir dan melepaskan lada dari malainya. Lanjut buah lada
diletakkan pada alat penyaring untuk melepas kulitnya dengan
gaya gesekan tangan. Setelah biji lada bersih langsung dijemur
228 Rumah tradisional masyarakat adat Lampung berbentuk panggung,
sehingga bagian kolong rumah dapat dimanfaatkan menyimpan hasil
hutan/perkebunan. 229
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 36.
135
selama empat hari hingga kering dan dikemas dalam kantong
seberat satu pikul.230
Berbicara mengenai catatan statistik lada sebelum tahun
1857, penulis menemukan dua data ekspor pada tahun 1843
sebesar 17.308 pikul, dan ekspor yang melalui pelabuhan Teluk
Betung sebesar 2.033 pikul di tahun 1855. Untuk hasil budidaya
setelah terbentuk otoritas penuh pada tahun 1857, data yang
ditemukan dan ditampilkan di sini tidak dalam runutan waktu
yang utuh dan juga terdiri dari campuran antara jumlah hasil dan
besaran transaksi, namun setidaknya dapat menggambarkan
produktivitas budidaya lada di Lampung. Berikut data hasil dan
transaksi lada yang diolah dari berbagai sumber:231
Tabel 6: Transaksi lada
Abad ke-19
Tahun Jumlah (kg)
1857 401.100
1858 864.120
1859 188.460
1860 242.700
1861 283.569
1862 536.820
1863 604.020
1864 865.380
230 De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 36.
231 Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada..., hlm. 72.
De Indische Courant, 27 Desember 1937, hlm. 02. J.W.J. Wellan, Zuid
Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 252.
136
1865 477.960
1866 320.280
Abad ke-20
Tahun Jumlah (kg)
1907 7.668.000
1910 12.588.000
1911 7.800.000
1912 14.550.000
1913 11.965.000
1929 14.685.000
1930 46.200.000
1936 50.000.000
Dari data tersebut nampak terjadinya fluktuasi hasil lada.
Selain karena faktor alam berupa cuaca dan gangguan hama yang
biasanya di luar kendali manusia, kebanyakan petani masih
mengandalkan kesuburan alami untuk meningkatkan hasil
dibanding melakukan pengolahan tanah agar dapat bertahan
kesuburannya. Sehingga mereka kerap memperluas dengan
membuat kebun baru dan meninggalkan lahan lama jika sudah
satu hingga dua musim, yang biasanya digunakan untuk tanaman
pangan atau komoditas lain yang memiliki prospek harga. Ini
berarti proses akan dimulai kembali dari awal.232
Alasan lain yang lebih pasti ialah kaitannya antara hasil
produksi dan umur tanaman yang menunjukkan siklus. Di
232 William Marsden, Sejarah Sumatera..., hlm. 194-195.
137
dalamnya terdapat rentang usia puncak produktivitas dan masa
terjadinya penurunan hasil. Karenanya pemerintah koloni
membuat perjanjian dengan kepala dusun yang mewajibkan
penduduk segera mempersiapkan pembaruan ketika tanaman
yang ada tengah mencapai puncak produktivitasnya. Harapannya
tanaman baru akan berbuah tepat ketika tanaman lama
digantikan.233
Namun aturan tersebut jarang dilaksanakan sampai
penurunan produktivitas benar-benar terjadi. Karena tanaman
baru rentan mengalami kerusakan saat penggantian tanaman
lama, maka proses pembaruan berjalan tidak sempurna. Sehingga
kuantitas tanaman yang siap berbuah menjadi tidak menentu
terhadap proporsi yang ditargetkan, alhasil berdampak pada
produksi tahunan yang menjadi fluktuatif.234
2) Manajemen Pemasaran
Dalam bidang perdagangan lada nyatanya tidak hanya
pihak perorangan yang terjun di dalamnya, tapi juga ada
perusahaan dagang yang terlibat dalam bisnis ini, terlebih untuk
transaksi lintas negara. Kekhasan lainnya ialah orientasi
mengalirnya produk lada dari pusat-pusat budidayanya di
Lampung ke pasar juga berbeda-beda.
Dalam hal pelaku dagang akhirnya terbentuk rantai
perdagangan, dimulai dari produsen yang umumnya
membutuhkan perantara untuk produknya sampai ke pedagang
233 William Marsden, Sejarah Sumatera..., hlm. 208.
234 William Marsden, Sejarah Sumatera..., hlm. 208.
138
besar atau pasar,235
-terkecuali petani dari Sekampung yang
membawa langsung ladanya ke Palembang atau Batavia-.236
Para
perantara ini umumnya ialah orang Lampung sendiri, Palembang,
Tiongkok, dan Banten yang dalam perjalanan waktu memperoleh
kepercayaan dari pemilik kebun, sehingga mereka memiliki
tempat pembelian permanen.
Perantara yang telah memperoleh pembayaran di muka
dari pedagang mendatangi petani lada di pedalaman. Dalam
penetapan harga, produsen memantau standar harga di pasar lokal
seperti Teluk Betung atau Menggala. Sedangkan pembeli akan
merujuk harga pasar harian dari Palembang dan Batavia. Dari
selisih harga itulah perantara mendapat untung. Profit mereka
masih ditambah lagi dari perbedaan berat isi. Jika di kebun lada
pedalaman, satu pikul bisa sampai 130 kati lebih, namun dalam
pembayaran tetap seharga satu pikul yang berisi 100 kati.237
Setelah produk sampai ke pedagang di pasar-pasar utama,
selanjutnya kemanakah arus keluar lada itu? Di sinilah yang saya
sebut sebagai kekhasan. Karena ternyata tidak semua arus lada
Lampung bermuara di pasar yang sama. Orientasi pasar lada
mempertimbangkan beberapa faktor, yakni: lokasi sentra lada dan
pemeran mata rantai dagang, keberadaan sarana transportasi,
serta kualitas bagi pemasaran mancanegara.
235 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Handelsbeweging der
Buitenbezittingen in 1914 Deel II, (Weltevreden: Albrecht & Co., 1915), hlm.
115. 236
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 38. 237
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen..., hlm. 38.
139
Berkaitan dengan faktor kedekatan lokasi sentra lada
dengan tujuan pemasaran, ini dapat dilihat dari posisinya
terhadap entrepot seperti Batavia dan Palembang. Lada dari
Semangka dan Katimbang yang berada di bagian tenggara dan
selatan Lampung sebagian besar dikirim ke Batavia. Dari timur
dan utara yang kebanyakan pembelinya orang Palembang dan
Tiongkok, yakni di Seputih dan Tulang Bawang dikirim ke
Palembang.
Atas dasar belum tersedianya sarana transportasi darat
yang menunjang mobilitas barang pada abad ke-19, yang
demikian menjadi faktor banyaknya lada Lampung -terutama
bagian timur dan utara- yang dikirim ke Palembang. Hal ini
karena produk dari pedalaman hanya akan efektif
pengangkutannya melalui jalur-jalur sungai untuk sampai ke
tempat utama seperti Menggala dan selanjutnya ke Palembang.
Maka ketika hadirnya layanan KPM dan dibuat jaringan jalan
raya dan rel kereta Sumatera Selatan di awal abad ke-20 yang
menghubungkan pusat-pusat produksi pedalaman ke Teluk
Betung dan Osthaven, arus pengiriman lada ke Palembang
menjadi surut. Hal tersebut terbukti dengan peningkatan rata-rata
ekspor Lampung sebanyak satu juta kilogram, dan penurunan
ekspor lada dari Palembang sekitar jumlah yang sama.238
Memasuki dasawarsa ketiga abad ke-20, ekspor langsung
lada dari Lampung mengalami peningkatan. Beberapa alasan
selain karena mulai terlibatnya perusahan dagang Eropa, yakni
238 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 251.
140
Internatio,239
alasan lainnya ialah harga di Batavia cenderung
fluktuatif,240
serta kualitas produk dari daerah asal lebih terjaga
ketimbang jika sudah masuk ke Batavia terlebih dahulu. Hal ini
disebabkan tidak adanya ketetapan standar kualitas dan jumlah
stok di Batavia, sehingga dikhawatirkan dalam penggudangan
lada bersih dari Lampung akan tercampur dengan lada dari
daerah lain.241
Sedangkan standardisasi yang ditetapkan pasar
Barat ialah bahwa lada yang diperbolehkan hanya mengandung
kadar air maksimal 15,5% dan kotoran tidak lebih dari 2%.242
Karena faktor itulah lada dari Teluk Betung dan Omelanden
langsung diekspor ke Singapura, Eropa, dan Amerika melalui
Batavia.
Begitu perkasanya kuantitas dan kualitas lada hitam
Lampung hingga mampu menyumbang 65% produksi dunia,243
dan lebih dari 70% ekspor lada Hindia Belanda. Dengan
kesanggupan memenuhi standar dunia itu, maka lada mampu
menembus kota-kota Pelabuhan internasional seperti:
Amsterdam, London, Hamburg, Havre, Bordeaux, Marseille, dan
Trieste untuk Eropa; sementara Amerika di New York dan San
Francisco. Untuk kawasan Asia Pasifik terdapat Kobe di Jepang,
Melbourne dan Sydney di Australia.244
239 Internatio merupakan perusahaan dagang Belanda yang bergerak
di bidang ekspor-impor yang telah berdiri di Teluk Betung sejak 1904. 240
“De Pepercultuur”, Economisch-Statistische Berichten, 5 April
1922, No. 327, hlm. 314. 241
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 255. 242
H. Fortuin, De Amsterdamsche Goederenmarkt..., hlm. 46. 243
De Lampongsche Pepercultuur, (De Indische Courant, 27
December 1937), hlm. 02. 244
“De Pepercultuur”, Economisch-Statistische Berichten..., hlm. 312
141
Tabel 7: ekspor dalam beberapa tahun:245
Tahun Produk
(ton)
1912
1913
1914
1915
1923246
1924
1925
1926
1927
1928
1929
1930
2.350
1.486
1.148
10.083
17.762
24.317
14.862
16.369
9.396
12.556
14.685
15.815
Produk lada pada tahun 1912-1914 lebih banyak dikirim
ke pulau Jawa daripada yang diekspor. Sebagai perbandingan
ialah pada tahun 1914 lada yang dikirim ke Jawa sebesar 10.918,
sedangkan diekspor hanya 1.148. dengan rincian negara tujuan
245 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Handelsbeweging der
Buitenbezittingen..., hlm. 112. F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in
de Inheemsche Maatschappij van Nederlandsch-Indië, (Wageningen-Holland:
H. Veenman & Zonen, 1933), hlm. 63. J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra
Economisch Overzicht..., hlm 250. 246
Terjadi perubahan signifikan dalam hal ekspor langsung dari
Lampung tanpa perantara penggudangan di Batavia.
142
ekspor sebagai berikut: Belanda; 782 ton, Amerika Utara; 347
ton, Singapura; 10 ton, Jerman; 5 ton, dan Penang; 4 ton.247
b. Budidaya Karet dan Kopi pada Masa Politik Liberal
1) Budidaya Karet
Dengan terbukanya Hindia Belanda bagi perusahaan-
perusahaan Eropa dalam sektor perkebunan berorientasi ekspor,
dan secara eksternal didukung makin pesatnya industri di Barat
yang membutuhkan bahan baku berupa karet, maka Sumatera
yang telah dikenal menjadi tempat tumbuh tanaman penghasil
getah karet itu dijadikan area komersil untuk menjawab
kebutuhan global. Adalah Lampung merupakan bagian darinya
yang coba mengembangkan komoditas tersebut.
Walaupun untuk sektor komoditas karet tidak seperkasa
Palembang atau Jambi yang begitu mengesankan,248
namun
kondisi iklim dan tanah Lampung mendukung untuk
menghasilkan karet yang cukup besar dalam skala produksi di
Sumatera dan diharapkan akan berkembang pesat.249
Tanaman
penghasil getah karet akan tumbuh baik dalam iklim dengan
curah hujan yang terdistribusi merata dan jumlah hujan tahunan
247 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Handelsbeweging der
Buitenbezittingen..., hlm. 114-115. 248
Dalam kawasan ekonomi Sumatera Selatan, Jambi disebut “paling
mengesankan” karena sanggup membukukan nilai ekspor karet hingga 60 juta
gulden dari total seluruh ekspor karet penduduk Hindia Belanda senilai 250
juta gulden pada tahun 1925. Lihat dalam A.A.L. Rutgers, De Toekomst van de
Bevolkingsrubber in Nederlandsch-Indië, (---: de Bussy, 1925), hlm. 03. 249
A.A.L. Rutgers, De Toekomst van de Bevolkingsrubber..., hlm. 16
143
dari yang sedang hingga tinggi. Untuk kondisi tanah yang baik
ialah tanah merah.250
Ada beberapa jenis tanaman penghasil karet yang dikenal
di Hindia Belanda, yaitu karet Kebo (Ficus elastica) dan Jelutung
(Dyera costulata) yang merupakan tumbuhan asli Sumatera, dan
yang didatangkan dari luar Hindia Belanda yaitu Castilloa
elastica dan Hevea brasiliensis.251
Namun yang dikembangkan
secara luas adalah jenis hevea di samping ficus dan jelutung yang
telah lebih dulu dikenal, yang awalnya diambil getahnya oleh
masyarakat sebagai hasil hutan non-budidaya.
1). a. Identifikasi Jenis Tanaman Penghasil Getah Karet
Karet Kebo
Tumbuhan karet Kebo sejak mulanya hanyalah hasil
hutan, namun ketika permintaan dunia akan karet melonjak dan
harganya kian terdongkrak, sedangkan jumlah tanaman mulai
tidak mencukupi karena eksploitasi yang berakhir dengan
penebangan, maka masyarakat berinisiatif untuk mulai
membudidayakannya, walaupun akhirnya tidak berhasil dengan
baik.252
Kegagalan itu disebabkan oleh penurunan harga dan
mulai dikenalkannya jenis karet hevea, sehingga produksi karet
250 P.J.S. Cramer, De Groote Land in Zuid Sumatra..., hlm. 18.
251 W. J. Van de Leemkolk, De Rubber-Cultuur en de Rubber-Handel
van Nederlandsch-Indiê, (Batavia: Ruygrok & Co., 1914), hlm. 08. 252
Bambang Purwanto, Migrasi dan Kesempatan Kerja: Persoalan
Tenaga Kerja dalam Perkebunan Karet Rakyat di Sumatera Bagian Selatan
pada Akhir Masa Kolonial, makalah dalam Kongres Nasional Sejarah Tahun
1966 sub-Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, (Jakarta: Depdikbud, 1997),
hlm. 03.
144
Kebo rakyat terus menyusut.253
Demikian itu terjadi juga pada
perusahaan yang cenderung mengalami penurunan luas area
tanam tersebut dibanding dengan hevea.
Sebagai contoh pada perusahaan karet N.V. Sumatra
Rubber Cultuur Mijnbouw di Lampung yang memiliki area usaha
di Kedaton. Pada Kedaton I dengan area 200 bouw hanya 65
bouw yang ditanami karet Kebo, sedangkan di Kedaton II dan III
yang masing-masing memiliki area seluas 100 dan 250 bouw
hanya ditanami campuran kopi dengan hevea.254
Dalam hal budidaya, pola tanam pohon karet jenis ini
sangat sederhana. Bagi rakyat, penanaman bibit dari stek
dilakukan setelah padi di ladang selesai dipanen. Adapun secara
umum untuk perawatan dan pembersihan dilakukan satu atau dua
kali dalam setahun. Sedangkan pohon mulai dapat diambil
getahnya setelah berumur sekitar lima sampai enam tahun dengan
cara melakukan sayatan dangkal pada batang dan dahan dalam
jumlah yang cukup banyak. Setelah getah memadat di bagian
sayatan, lalu getah kering dilepaskan dengan menggunakan pisau,
kulit pohon, atau ranting untuk kemudian dikumpulkan.255
Dari sisi hasilnya di Lampung, setelah terjadi ekspor yang
mencapai lima ton pada tahun 1914, maka selanjutnya terjadi
penurunan produksi. Welan mencatat dalam perbandingan ekspor
karet Kebo di Sumatera Selatan, dari tahun 1925-1929, Lampung
hanya pernah melakukan ekspor kembali pada tahun 1926 dan
253 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 262.
254 “Nieuwe Emissien”, De Indische Mercuur, Vol. 34, No. 49, 05
Desember 1911, hlm. 1077. 255
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 262.
145
1927 masing-masing sejumlah satu dan dua ton, itupun
merupakan angka terendah dibanding Bengkulu dan Palembang
di tahun yang sama.256
Grafik 1: Penurunan karet Kebo dari residensi di Sumatera
Selatan (dalam ton).
Nampaknya memang trend penurunan produksi karet
Kebo tidak hanya terjadi di Lampung dan Sumatera Selatan, tapi
juga di Jawa-Madura, sebagaimana ditunjukkan dalam grafik
berikut ini:257
Grafik 2: Penurunan luas lahan dan produksi karet Kebo di Jawa-
Madura.
256 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Handelsbeweging der
Buitenbezittingen..., hlm. 126. J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch
Overzicht..., hlm 262. 257
Data diolah dari Centraal Bureau voor de Statistiek, Statistisch
Jaarover icht van Nederlandsch Indi ..., hlm. 196.
0
100
200
300
400
500
600
700
1925 1926 1927 1928 1929
1 2
392 395 373
90
22
612
146
37 5 5
Lampung
Palembang
Bengkulu
146
Karet Hevea
Bibit karet hevea mulai diperkenalkan di Hindia Belanda
pada tahun 1876 yang coba ditanam di Buitenzorg. Lalu
percobaan dalam skala besar dilakukan pada tahun 1882 setelah
mendapat persediaan benih dari konsul Belanda di Penang.
Proses demikian berlanjut pada upaya budidaya setelah mendapat
benih dari Malaya dan Srilanka.258
Adapun di tingkat masyarakat,
perkenalan budidaya hevea bagi Sumatera Selatan juga masuk
melalui interaksinya dengan Malaya, dan pemerintah kolonial
berperan memperluas sosialisasi.259
Sehingga akhirnya budidaya
hevea berdasarkan pelaku usahanya dapat dibedakan menjadi
dua, yakni oleh masyarakat dan perusahaan.
258 W. J. Van de Leemkolk, De Rubber-Cultuur..., hlm. 07.
259 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 265.
0
500
1000
1500
1924 1925 1926 1927 1928
1172 1231
555 527 436 49 57 91
34 12
Area (ha)
Produksi (ton)
147
Pada tahun 1900-1910 budidaya hevea tengah mengalami
pertumbuhannya. Di masa ini masyarakat Sumatera Selatan juga
mulai ikut melakukan penanaman. Distimulasi oleh tren harga
yang tinggi, rakyat makin berselera menanam karet jenis ini,
sehingga pada tahun 1924 sampai 1926 terjadi ekspansi besar-
besaran zona perkebunan yang mengubah ladang mereka menjadi
tanaman karet hevea.260
Di luar itu, terdapat peraturan pemerintah terhadap
kapasitas produksi karet dari perusahaan rakyat. Berdasarkan
Staatsblad 1926 No. 221, hal demikian bertujuan mengurangi
persaingan yang berlebihan antara pabrik-pabrik sewilayah dan
agar tidak terjadi kehancuran harga dalam penjualan hasil
produksi. Demi memastikan regulasi itu terlaksana, maka setiap
pendirian perusahaan harus memperoleh izin dari pemerintah.
Izin hanya dapat dikeluarkan dengan memperhatikan syarat
bahwa kapasitas total produksi dari perusahaan pemohon tidak
melebihi angka ekspor tertinggi karet rakyat setiap tahun dari
wilayah tersebut.261
Sedangkan perkebunan karet yang dioperasikan oleh
perusahaan swasta Belanda sudah dimulai sejak akhir abad ke-19.
Di Lampung tercatat pertama kali pada tahun 1889 di daerah Way
Lima. Berturut kemudian di Way Ratay dan Sungai Langka,
masing-masing pada tahun 1893 dan 1899. Memasuki abad ke-
20, perusahaan kembali melakukan perluasan. Dengan dibukanya
260 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 265.
261 Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1926 No. 221. J.W.J. Wellan,
Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 273.
148
area perkebunan-perkebunan baru di Way Halim, Langkapura,
Kedaton, Natar, dan Bekri, yang kesemuanya tak jauh dari kota
Teluk Betung.262
Dengan perkembangan tersebut, karet hevea menjadi
lebih populer dibanding jenis lainnya, selain karena
produktivitasnya juga sebab diupayakan oleh perusahaan-
perusahaan Belanda, itu mengapa produksi karet kebo akhirnya
cenderung mengalami penurunan. Bahkan menurut Lemkolk,
pasar Batavia yang biasanya disuplai karet liar dari Priangan,
Lampung, dan Palembang, pada tahun 1913 persediaannya sudah
sedemikian kecil.263
1). b. Pengaruh Depresi Ekonomi terhadap Usaha Karet
Pada masa depresi ekonomi global tahun 1929-1930,
salah satu sektor produksi yang terimbas adalah usaha
perkebunan karet. Dampaknya terlihat pada penurunan harga
komoditas di tengah angka produksi yang terus meningkat.
Demi mengatasi permasalahan itu, pada awal tahun 1930
di Eropa tercapai kesepakatan kerja sama umum di antara
produsen karet dari Inggris dan Belanda dengan membentuk
“Komite Bersama” yang mengambil keputusan untuk
menghentikan produksi karet pada bulan Mei oleh perusahaan
yang berafiliasi untuk menaikkan kembali harga karet. Langkah
lainnya ialah membuka kemungkinan kerja sama secara sukarela
262 Supangat, dkk., Sejarah Perkembangan Pemerintah di
Lampung...,hlm. 95. 263
W. J. Van de Leemkolk, De Rubber-Cultuur..., hlm. 37.
149
antara pengusaha karet pribumi dengan produsen Eropa terkait
keputusan komite tersebut.264
Namun rupanya terdapat perbedaan respon pengusaha
pribumi atas penawaran langkah perbaikan harga tersebut.
Pandangan positif diberikan oleh pemilik kebun besar yang
bergantung pada pembayaran hasil produksi untuk mengelola
perkebunan mereka, meskipun mereka belum dapat sepenuhnya
mengeksploitasi kebun lantaran tidak dapat menyewa kuli ketika
harga karet rendah. Sehingga partisipasinya dalam langkah
pembatasan produksi akan meminimalisasi kerugian, atau
berimbang dan memperoleh laba. Akhirnya jika harga kembali
tinggi, mereka dapat memperluas eksploitasi kebunnya.265
Bagi pemilik kebun yang lebih kecil, -jumlah golongan ini
ialah mayoritas dalam usaha karet rakyat- yang operasionalnya
dilakukan oleh anggota keluarga, mereka bertentangan dengan
rencana pembatasan tersebut. Hal itu karena pada dasarnya usaha
kebun mereka bertumpu pada produksi tanaman pangan,
sedangkan karet hanya sebagai penghasilan tambahan yang
digunakan untuk kebutuhan sekunder dan membayar pajak. Maka
sumber pendapatan ini tidak akan segera dilepasakan demi
pembatasan produksi, kecuali penurunan harga yang signifikan
hingga praktis tidak ada uang yang dapat lagi digunakan untuk
melakukan produksi. Padahal secara keseluruhan perkebunan
264 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 269.
265 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 269.
150
karet rakyat di Jambi menghasilkan lebih dari 17 juta gulden
setahun, dan 12 juta gulden di Palembang.266
Menanggapi permintaan Komite Bersama agar
pemerintah mengadopsi langkah pembatasan dan adanya kerja
sama sukarela produsen untuk mencapai harga yang
menguntungkan, pemerintah tidak menganggap dirinya
bertanggung jawab untuk mengambil tindakan pembatasan secara
hukum. Namun, untuk mendapatkan informasi semaksimal
mungkin tentang kesulitan pasar karet, dan dengan maksud
menyoroti sebanyak yang diperlukan, Pemerintah bersedia
memberikan perhatian penuh pada rencana untuk memperbaiki
situasi.267
Direkomendasikan dari kalangan yang berkepentingan,
Menteri Koloni pada pertengahan tahun 1931 mengundang
sejumlah orang terkemuka dari kalangan terkait yang tinggal di
Belanda untuk memeriksa kembali pokok permasalahan dan
melaporkan temuan mereka. Menurut laporan tersebut, komisi
tidak mungkin mengajukan rencana yang jelas untuk memerangi
krisis karet yang disetujui oleh semua anggota, sehingga setelah
mempertimbangkan situasi, Pemerintah Inggris dan Belanda pada
tahun 1932 telah menyimpulkan bahwa, dalam keadaan saat ini,
tidak mungkin untuk merancang dan mengimplementasikan
rencana internasional yang akan menjamin kontrol yang efektif
terhadap produksi atau ekspor karet.268
266 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 269.
267 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 270.
268 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 270.
151
2) Budidaya Kopi
Budidaya kopi merupakan salah satu budidaya tertua di
Hindia Belanda yang diperkenalkan bangsa Eropa. Tumbuhan
yang berasal dari Abyssinia dan akhirnya menyebar ke Arab,
Persia, dan Hindia. Terkhusus masuk ke Amsterdam sejak
kerjasama antara Arab dan VOC oleh Pieter van den Broecke
pada tahun 1616. Pada akhirnya tanaman sampai ke Jawa melalui
pemindahan pabrik dari Arab atas permintaan Nicolaas Witsen
pada tahun 1696. Singkatnya pada paruh pertama abad ke-18 kopi
dari Jawa mampu memasok sebagian perdagangan kopi bagi
Belanda di Eropa.269
Setelah budidaya kopi Arabica dengan berbagai
modifikasi karakteristik lokalnya, menyusul kopi Liberica pada
tahun 1875. Dengan melihat kekurangan dari ketahanan dan
produktivitas keduanya, maka dikenalkan kembali jenis kopi
lainnya, yakni Robusta dari Afrika pada tahun 1901 yang menjadi
dominan di Hindia di samping varietas lainnya seperti Quillou,
Excelsa, dan Abeocuta.270
Untuk Lampung sendiri yang jamak
dibudidayakan ialah kopi jenis Arabica, Liberica, Robusta, dan
Excelsa.
Keragaman karakteristik varietas kopi yang berbeda itu
menjadi alasan pilihan untuk penanaman. Ada varietas yang
cocok di dataran rendah dan ada yang di dataran tinggi. Untuk
wilayah Lampung yang memiliki keragaman topografis dari
269 H. Blink, Nederlandsch Oost-Indie als Productie..., hlm. 251.
270 H. Blink, Nederlandsch Oost-Indie als Productie..., hlm. 253-254.
152
tinggi ke rendah, masyarakatnya dan pemerintah sudah mencoba
membudidaya beberapa jenis kopi.
Upaya memperkenalkan budidaya kopi di Lampung
dimulai pada tahun 1841 setelah dilakukan penyelidikan dan
penelitian yang bersifat umum tentang Lampung dan promosi
budidaya yang bermanfaat untuk dikembangkan di wilayah ini.
Realisasi dari penelitian itu ialah didatangkannya para mantri dari
Jawa untuk memberikan pendidikan dalam bidang pertanian,
terutama padi dan kopi bagi masyarakat Lampung.271
Sebagaimana di Jawa, di sini juga yang mula dibudidaya
ialah Arabica yang dikenal dengan sebutan kopi Jawa, lalu
Liberica. Namun pada tahun 1910, ketika kehancuran Arabica
dan Liberica yang membuat keduanya hampir lenyap di
Lampung,272
kehadiran Robusta segera menjadi primadona baru
bagi petani pribumi. Karena jenis kopi ini memiliki keunggulan
dalam pemeliharaan dan produktivitas. Dari segi perawatan,
Robusta lebih mudah dan cukup minim perlakuan. Memiliki
tingkat ketahanan terhadap penyakit daun, dapat tumbuh subur
baik di dataran rendah hingga menengah, dan yang utama ialah
Robusta telah dapat memberi hasil yang baik sejak tahun ketiga
dengan hasil dua kali lipat dari jenis kopi lainnya secara enam
tahun berturut-turut.273
271 Waling Karst Huitema, De Bevolkingskoffiecultuur op Sumatra,
(Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1935), hlm. 74. 272
Waling Karst Huitema, De Bevolkingskoffiecultuur..., hlm. 75.
273 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 258,
lihat juga pada H. Blink, Nederlandsch Oost-Indie als Productie..., hlm. 253.
153
Untuk wilayah sentra kopi, terutama Robusta di Lampung
meliputi tiga area utama:274
Daerah Kotabumi hingga perbatasan Bengkulu dan
Martapura (Palembang). Seluruh daerah ditanami Robusta
dengan variasi ketinggian 50-400 m. Area meliputi
Olokrengas, Banjarmasin, Kasui, Blambangan Umpu, dan
utara bukit Punggur.
Daerah utara Talang Padang dengan dataran Ulu-Ulu dan
Ulu Semuong hingga Way Tenong (perbatasan Bengkulu).
Kopi Robusta menjadi tanaman penting, dengan sedikit
pohon lada. Variasi ketinggian 500-800 m.
Daerah sepanjang Teluk Betung, Kalianda, Batu Serampuh,
hingga Rajabasa. Dengan ketinggian area hingga 300 m.
Meski demikian, proses permulaan budidaya ini tidak
berlangsung mulus sesuai harapan. Bahkan disebut populasi kopi
tidak pernah menjadi bagian budidaya yang besar sampai abad
ke-20. Tanaman yang murni kopi sedikit ditemui, kebun-kebun
yang dibuka dengan bantuan mantri Jawa gagal. Hal tersebut
lantaran konstelasi politik dan ekonomi yang tidak stabil,
demografi yang rendah, dan infrastruktur yang sangat primitif.275
Terhadap hal tersebut, dapat dilihat dari rendahnya tingkat ekspor
kopi Lampung jika dibandingkan dengan wilayah lain di
Sumatera Selatan walaupun memang tetap terjadi peningkatan.
274 Waling Karst Huitema, De Bevolkingskoffiecultuur..., hlm. 98.
275 Waling Karst Huitema, De Bevolkingskoffiecultuur..., hlm. 74.
154
Tabel 8: Perbandingan ekspor kopi dari residensi di Sumatera
Selatan (dalam ton)276
Tahun Lampung Bengkulu Palembang
R P R P R P
1923 172 1.310 2.863 2.294 12.026 1.149
1924 293 757 5.920 2.811 19.881 1.679
1925 683 1.459 4.894 2.157 20.981 1.354
1926 1.116 899 6.621 2.641 25.364 1.480
1927 2.142 1.136 11.328 1.783 23.407 1.594
1928 3.808 988 15.885 1.713 28.229 1.257
1929 5.080 1.446 11.679 2.208 17.818 1.676
Keterangan: (R): kopi rakyat (P): kopi perusahaan
Dari tabel di atas terlihat bahwa ekspor kopi rakyat di
Lampung merupakan yang terendah di Sumatera Selatan dengan
perbedaan yang cukup signifikan. Sedangkan kopi dari
perusahaan cenderung stabil dan tidak menunjukkan perbedaan
angka yang terlalu menganga. Di ketiga wilayah itu level ekspor
rerata berada di rentang 1000-2000 ton.
Grafik 3: Perbandingan total ekspor kopi rakyat dan perusahaan
dari residensi di Sumatera Selatan (dalam ton).
276 Di antara empat wilayah di Sumatera Selatan, Jambi merupakan
residensi yang tidak concern pada penanaman kopi, hal itu terbukti dari
besaran ekspor yang hanya rata-rata ±3 ton di rentang tahun sebagaimana
tabel. Tapi untuk produksi karet, Jambi menjadi yang terdepan. Untuk
perbandingan, pada tabel sengaja hanya ditampilkan residensi yang cukup
fokus membudidayakan kopi. Data diolah dari J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra
Economisch Overzicht..., hlm 257. Waling Karst Huitema, De
Bevolkingskoffiecultuur..., hlm. 73 dan 76.
155
3) Budidaya Karet dan Kopi oleh Perusahaan Swasta
Belanda
Salah satu usaha yang gencar didorong oleh pemerintah
Kolonial di beberapa wilyah Hindia Belanda ialah bidang
perkebunan karet dan kopi dengan jalan membuka peluang bagi
masuknya arus modal asing untuk mendirikan perusahaan-
perusahaan di daerah-daerah yang diproyeksi memiliki potensi
pada bidang ini.
Hal itu terbukti dari laporan Perdagangan, Industri, dan
Pertanian Hindia Belanda yang mencatat telah berdiri sejumlah
perusahaan karet di seluruh koloni yang mencapai 550 unit per 1
Januari 1913. Dengan rincian 332 di pulau Jawa dan 216 di
Buitenbezittingen yang mencakup area budidaya seluas 485.000
hektar.277
Pada tahun 1914 modal yang diinvestasikan untuk
277 W. J. Van de Leemkolk, De Rubber-Cultuur..., hlm. 10.
1,482 1,050 2,142 2,015 3,278 4,796
6,526 5,157
8,731 7,051
9,262
13,111
17,598
13,887 14,175
21,560 22,335
26,844 25,001
29,496
20,494
1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929
Lampung Bengkulu Palembang
156
usaha ini dari Belanda sebesar f 66.550.500, dan modal asing
mencapai f 212.229.000.278
Sama halnya dengan pola masyarakat yang menanam
produk kopi dan karet dalam satu area, bedanya perusahaan tidak
dicampur dengan tanaman pangan. Bagi perusahaan, penanaman
dua jenis produk komersial ini selain menggandakan sisi profit,
juga alasan pemanfaatan lahan dan efektifitas waktu produksi.
Mengingat dua hal dalam budidaya karet, yakni
membutuhkan waktu produksi yang relatif lama dan penggunaan
area yang luas. Lantaran perluasan dan jarak penanaman
menyisakan bagian tanah kosong yang tidak terlindungi di antara
pohon karet, maka ruang ini bisa diisi oleh tanaman kopi yang
secara fisiologis memang membutuhkan tanaman pelindung.
Adapun dari segi produksi, kopi lebih cepat menghasilkan
dibanding tanaman karet.
Berdasarkan laporan Inspektorat Tenaga Kerja, bahwa
sampai tahun 1919 di Lampung terdapat 26 perusahaan yang
beroperasi di bidang perkebunan dengan tanaman budidaya
berupa karet, kopi, dan kelapa. Perusahaan mampu melibatkan
tenaga kerja hingga 7.263 yang kebanyakan orang Jawa dan
Sunda. Sedangkan penduduk asli membuka kebun sendiri atau
menyewakan tanahnya.279
278 International Rubber Congress and Exhibition at Batavia 1914,
(Amsterdam: Bureau voor Handelsinlichtingen Commercial Intelligence
Office, 1914), hlm. 15. 279
H.G. Heijting, De Koelie Wetgeving voor de Buitengewesten van
Nederlandsch-Indië, („S-Gravenhage: W.P. van Stockum & Zoon, 1925), hlm.
31.
157
Tabel 9: Perusahaan perkebunan di Lampung pada tahun 1892-
1914280
Perusahaan perkebunan di Afdeling Teluk Betung
Nama Perusahaan Area kebun Luas
(bouw)
Sewa/
tahun
N. V. Lampong
Caoutchouc Maatschappij
Way Lima
Kedondong
Kota Dalam
5404 f 0,20
N.V. Telok Betong
Rubber, Tea en Coffee
Estates Ltd.
Way Ratay 11200 f 0,20
Te Soerabaja, F.
Vermaasen.
Way Buwah 3840 f 0,20
Cultuur Mij. Soengai
Langka
Sungai Langka 1700 f 1,-
R.N.G. Bingleij Padang
Brarang
Padang
Cermin I-II
9718 f 1,-
N.V. Rubber Mij.
Sumatra.
Kebagusan
Tj. Harapan
Negararatu
Rejosari
10099 f 1,-
Way Halim Rubber and Way Halim 3211 f 1,-
280 Departement van Binnenlandsch Bestuur, Cultuuradresboek voor
Indie, (Batavia: Landsdrukkerij, 1915), hlm. 124-130.
158
Coffee Estates Ltd. Way Kandis
Way Hui
Langkapoera Rubber
Estates
Langkapura
Egaharep
1440 f 1,-
N.V. Cultuur Maatschappij
de Lampong
Rotterdam I-
IV
13643 f 1,-
N.V. Para Rubber Cultuur
Mij.
Negerija
Gadies I-III
13770 f 1,-
N.V. Sumatra Rubber
Cultuur Mij.
Kedaton I-III 1970 f 1,-
N.V. de Zuid Sumatra
Rubber Mij.
Way
Sekampung I-
II
9390 f 1,-
N.V. Cultuur Mij.
Tandjoengan Zuid
Tanjungan I-
III
6415 f 1,-
N.V. Belgo Indisch Cult.
Mij.
Suakabanjar
Negararatu
Way Semah
2224 f 1,-
Cultuur Mij. Way Serdang Way Serdang 4950 f 1,-
J.G. Koopman Mennisia II 1700 f 1,-
F.C.A. van Blommeinsten Zuid Holland
Friesland
Noord Holland
Groningen
10901 f 1,-
159
Perusahaan perkebunan di Afdeling Sekampung
Nama Perusahaan Area kebun Luas
(bouw)
Sewa/
tahun
H. van Son Loevesteijn
Way Sulan
6685 f 1,-
N.V. Cult. Mij.
Soekadoewa
Suka Satu
Suka Dua
Suka Tiga
4777 f 1,-
Perusahaan perkebunan di Afdeling Seputih
Nama Perusahaan Area kebun Luas
(bouw)
Sewa/
tahun
Intern. Cr. en H.V.
Rotterdam
Bekkala
Bekri
Serapit
Brareng
Krapok
Bakung
Senna
Morawa
20036 f 1,-
D.H. van de Kamer Ponggei
Agul
Tambunan
9412 f 1,-
A.C. van der Wilde Tandem
Rimbun
Patumba
42268 f 1,-
160
Klambir, dan
enam wilayah
lainnya.
A. Tigler Wijbrandi Sukaranda 2826 f 1,-
A.P. Nieuwenkamp Bata
Bangkok
4445 f 1,-
Tj. P. Baart de la Faille Sumber 2000 f 1,-
E.A. Dinger Cibening
Cisarua
Cimangu
9769 f 1,-
E.A. Paulman Talang West
Talang Oost
10130 f 1,-
J.F.H. Wilson Gunung Piku
Way Bandar
Gunung Merah
Gunung
Rancong
14093 f 1,-
R.N.G. Bingleij Ulu Bakarang
I-III
8511 f 1,-
Oost Ind. Landbouw Mij. Glugur
Mandaris
Raja, dan 17
area lainnya.
85119 f 1,-
M.F. Heijneman Kotabumi I-VI 21517 f 1,-
Rubber Mij. Sumatra Cimahi
Cikembang
11876 f 1,-
161
Cilangkap
Pitu
Cultuur Mij. Insulinde Terjun
Bandar
Johore
Sukajadi
Cermin
Galia dan 18
area lainnya
85286 f 1,-
Landbouw Syndicaat
Sumatra Kidoel
Puncah
Langka I-II
Gedong II-V
19988 f 1,-
Firma D.M. en C.
Watering
Amsterdam I-
III
9139 f 1,-
J.C.R. Moorman Tulung Balak 1500 f 1,-
Zuid Sumatra Cult. Mij. Tanjung
Pinang I-IV
15147 f 1,-
W.A.P.F.L. Sijnja Way
Katimbang I-II
7535 f 1,-
M. Teffer
Esperanza I &
III-V
11034 f 1,-
Departement van Binnenlandsch Bestuur dalam
Cultuuradresboek voor Indie menyatakan bahwa dalam data
tersebut masih terdapat beberapa ketidakakuratan, sehingga akan
dilakukan pengukuran ulang untuk penerbitan selanjutnya.
Namun dari sedikit contoh perubahan data dari pengukuran ulang
162
yang diuraikan tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu
signifikan. Sehingga data yang ditampilkan dapat dijadikan
pegangan untuk mengetahui perkiraan jumlah luas lahan baik tiap
unit perusahaan maupun secara keseluruhan.
Dari tabel di atas, total sewa tanah seluruh perusahaan
perkebunan di Lampung seluas 514.668 bouw atau setara
360.267,6 hektar dan merupakan yang terluas kedua di
Buitenbezittingen setelah Sumatera Timur.281
Jika kita pukul rata
semua biaya sewa sebesar f 1 per tahun, maka dari sini dapat
diperkirakan uang yang diterima pemerintah Belanda hanya dari
sektor sewa tanah saja sudah sebesar f 514.668 per tahun.
Untuk simulasi jumlah produksi dan profit yang
diperoleh, saya tampilkan satu contoh perusahaan. Perusahaan
sampelnya adalah Lampong Sumatra Rubber Maatschappij,
sebuah perusahaan besar dengan kemampuan finansial yang kuat,
harga saham ±205% pada tahun 1935, dan memiliki area kebun di
Lampung bagian selatan meliputi Way Lima, Kedondong,
Padang Ratu, Kota Dalam, Way Awi, dan Bogorejo serta
Pesawaran pasca akuisisi. Perusahaan sejenis yang diakuisisi
tersebut ialah Bogorejo Cultuur Maatschappij dan Pesawaran
Cultuur Syndicaat,282
masing-masing pada tahun 1930283
dan
1937.284
281 Luas area yang disewa oleh perusahaan di Sumatera Timur
(Oostkust van Sumatra) mencapai 1.234.505 bouw. De Bestuurszaken der
Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen 1904 tot 1914, Afl. X, Deel 1, hlm.
39. 282
Economisch Archief van Nederland en Kolonien, (Amsterdam:
Economisch Archief van Nederland en Kolonien N.V), hlm. 57.
163
Berikut adalah bauran data dari semua area perkebunan
Lampong Sumatra Rubber Maatschappij yang memiliki luas
lahan 2646 bouw pada tahun 1934 dalam laporan yang dimuat
oleh beberapa koran:285
Tabel 10: Jumlah tanaman karet dan kopi perusahaan
Tahun Tanaman (batang)
Karet Kopi
1916 114.380 898.250
1918 193.700 859.200
1921 200.000 1.464.000
1923 320.093 1.285.000
Tabel 11: Jumlah hasil panen
Tahun Karet (kg) Kopi (kg)
1916 68.592,5 274.620
1917 - 357.360
1918 237.616,5 391.920
1920 340.400,5 285.600
1921 421.804,5 196.320
1922 505.500 193.860
1923 599.357,5 388.830
283 De Tijd: Godsdienstig-Staatkundig Dagblad, 24 Oktober 1930,
hlm. 04. 284
Bataviaasch Nieuwsblad, 07 Agustus 1937, hlm. 04 285
Algemeen Handelsblad, 06 Agustus 1917, hlm. 03. De Sumatra
Post, 23 Juni 1919, hlm. 03, 18 Agustus 1922, hlm. 03, 25 Juli 1924, hlm. 03,
31 Maret 1937, hlm. 02. De Telegraf, 05 April 1921, hlm. 03, 10 Desember
1926, 05 Januari 1929, hlm. 03. Bataviasch Niewsblad, 07 Agustus 1937, hlm.
04.
164
1924 717.900 215.340
1925 818.051 -
1928 990.000,5 390.000
1934 - 474.000
1935 - 330.000
1936 1.110.000,5 621.480
Tabel 12. Sumbangsih perusahaan perkebunan di Lampung
terhadap produksi Hindia Belanda286
Tahun Hevea (ton)
Lampung Hindia B. Persentase
1924 1.986,7 90.034 2,21%
1925 2.399,3 106.047 2,26%
1926 2.854,7 122.831 2,32%
1927 3.368 130.895 2,57%
1928 3.760,3 140.928 2,66%
Kopi (ton)
1924 576,7 42.900 1,34%
1925 892,2 61.153 1,45%
1926 652,5 38.979 1,67%
1927 1.133,6 64.397 1,76%
1928 987,2 55.315 1,78%
286 Statistisch Kantoor, Statistisch Jaar Over icht van Nederlandsch-
Indi ..., hlm. 228. T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen
Voornamelijk in Zuid Sumatra..., hlm. 211-217.
165
c. Peningkatan Produksi Beras pada Masa Politik Etis
Berbeda dengan bidang produksi pada ketiga komoditas
sebelumnya yang ditujukan bagi kegiatan komersil untuk
memenuhi permintaan pasar dunia, kali ini produksi beras lebih
berorientasi pada pencukupan sektor pangan lokal dan jika bisa
hingga kawasan Sumatera Selatan yang juga sama-sama
mengalami krisis beras.
Langkah untuk mengatasi krisis beras merupakan bagian
dari paket kebijakan Politik Etis melalui slogan Trias van de
Venter yang meliputi edukasi, irigasi, dan migrasi yang mulai
diterapkan pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Willem
Rooseboom (1899-1904). Dalam kaitannya dengan permasalahan
ini, migrasi dan irigasi merupakan dua sektor yang tepat untuk
diterapkan. Sebagaimana menurut Schalkwijk –pemimpin
kolonisasi di Gedong Tataan-, bahwa salah satu tujuan dari
kolonisasi adalah peningkatan pasokan beras melalui pengerahan
tenaga kerja dari penduduk padat di Jawa dengan metode sawah
dan pengairannya.287
Diketahui pula, upaya jangka panjang menangani masalah
krisis beras dengan mekanisasi pertanian rupanya belum menuai
hasil yang diharapkan dikarenakan besarnya biaya riset dan
pengadaan piranti mekanis tidak sebanding dengan hasil yang
diperoleh. Berbeda dengan metode sawah yang mula diterapkan
oleh para kolonis Jawa di Gedong Tataan pada tahun 1916 yang
akhirnya juga dipelajari dan diterapkan oleh penduduk asli
287 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsch Indie..., hlm.
05.
166
dengan sistem irigasi justru menunjukkan hasil yang
menggembirakan di masa kemudian.288
Keberhasilan itu dimulai dengan pembuatan saluran
irigasi Way Tebu di daerah Tanggamus dan Pringsewu. Sebuah
proyek yang sudah dicanangkan dan dilakukan kajian sejak 1917
di beberapa area sungai, seperti Way Sekampung. Way Nenep,
Way Tebu, dan sungai lain di sekitar wilayah kolonisasi yang
selesai dipetakan kondisi topografinya pada tahun 1922.289
Program tersebut akhirnya direalisasikan pada tahun 1926
dengan membangun irigasi Way Tebu I dan II di hulu Way Tebu
di daerah Tanggamus, serta Way Tebu III pada tahun 1927 di
Pringsewu yang selesai dibangun pada tahun 1936. Disusul
kemudian Way Tebu IV pada tahun 1838 untuk menyiasati
distribusi air di antara sarana irigasi sebelumnya.290
Dalam proses
pengerjaannya, pemerintah melibatkan penduduk untuk
membangun fasilitas publik sesuai dengan Staatsblad 1919 No.
407.291
Sesuai harapan, dengan berjalannya program kolonisasi
dan selesainya pembangunan sarana irigasi yang mampu
288 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsch Indie..., hlm.
09. 289
Karsiwan, Pembangunan Irigasi Way Tebu sebagai Kebijakan
Etis Pemerintah Kolonial Belanda di Pringsewu Tahun 1927, diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/1631, pada tanggal 8
November 2018. 290
Karsiwan, Pembangunan Irigasi Way Tebu 291
Beberapa aturan terkait ialah kewajiban laki-laki untuk bekerja
dalam pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik seperti jalan dan saluran
air, berikut jumlah tenaga kerja yang dibebankan setiap kampung secara
bergilir berdasarkan shift. Lihat lebih lanjut dalam Heerendiensten
Lampongsche Districten, Staatsblad van Nederlandsch Indie 1919 No. 407.
167
mengairi area seluas 3.740 bau tersebut menstimulasi perluasan
area persawahan dan perladangan, dan akhirnya terjadi
peningkatan produksi beras lokal Lampung hingga berhasil
melakukan surplus pengiriman ke Batavia sejak tahun 1936,
sebagaimana ditunjukkan dalam data berikut ini:292
Tabel 13: Arus keluar-masuk beras hasil program irigasi
Tahun Jumlah beras (kg) Selisih
masuk keluar masuk keluar
1936 615 3.116 - 2.501
1937 3.428 2.054 1.374 -
1938 3.243 848 2.395 -
1939 399 6.464 - 6.065
1940 3.100 20.305 - 17.205
2. Politik Ekonomi di Sektor Distribusi
Membangun ekonomi sebuah wilayah merupakan
program kerja berkelanjutan dalam sektor yang kompleks dan
terstruktur. Ketika Belanda mulai menguasai wilayah ini dan
bertekad akan menjadikannya “makmur” dari lahan tidur, salah
satu dari kompleksitas masalah itu ialah infrastruktur.
Keadaan demikian merupakan sebuah keniscayaan dari
daerah yang masyarakatnya bersahaja dengan pola ekonomi yang
sebagian besar berorientasi pada kecukupan kebutuhan rumah
tangga lokal. Tidak terdapatnya sarana luar biasa, itu karena
sepanjang alam terjaga kehidupan mereka setidaknya akan baik-
292 Karsiwan, Pembangunan Irigasi Way Tebu
168
baik saja. Maka jadilah alur-alur alami itu sebagai gerak jalan
kehidupan mereka.
Namun bagi Belanda dengan karakter eksploitatifnya,
kearifan lokal itu tidak lain hanyalah dalih bagi kemalasan dan
kepasrahan akibat kedermawanan alam, sehingga pembangunan
terhenti dan tidak ada perubahan nyata selama berabad-abad.293
Maka kini pemerintah koloni akan menjadikan alam dan
manusianya itu berdaya guna bagi ekonomi mereka. Untuk itu
digencarkanlah eksploitasi dan produksi dalam beragam
komoditi.
Sebagai langkah lanjutan, yakni menjadikan produk
berdaya guna dengan menyalurkannya pada pasar, namun
ternyata daerah basis produksi belum sepenuhnya memiliki
prasyarat untuk itu. Karena yang ada baru sekadar memanfaatkan
alur sungai bagi jalur transportasi dan distribusi, yang jelas akan
terbatas dalam volume dan terikat oleh faktor geografis
lainnya.294
Padahal transportasi adalah proses penyelesaian
produksi yang diperlukan; semakin cepat, semakin baik untuk
bisnis.295
293 Directeur der Burgerlijke Openbare Werken, “Spoorwegaanleg in
Zuid-Sumatra”, dalam Spoorwegverkenning in Zuid Sumatra, (Batavia:
Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1904), hlm. 64. 294
Sebagai gambaran bahwa cabang-cabang sungai Tulang Bawang
untuk akses ke pedalaman hanya dapat dilalui perahu berukuran 2-2 ½ kaki
dengan muatan 50-60 pikul. Lihat K.J.A. Ligtvoet, “Verslag van de
Spoorwegverkenning in Zuid-Sumatra”, dalam Spoorwegverkenning in Zuid
Sumatra..., hlm. 05. 295
Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th-18th Century:
The Wheels of Commerce, Vol. 2, (London: William Collins Sons & Co. Ltd,
1983), hlm. 349.
169
Maka, gerak ekonomi tidak boleh terus terhambat oleh
belenggu faktor alam, sehingga perlu diberikan sentuhan
teknologi di wilayah Lampung pada ranah transportasi agar dapat
memobilisasi manusia dan hasil produksinya, yang dengannya
kekayaan dapat mengalir ke negrinya. Untuk itu, dengan landasan
motif ekonomi, dibuatlah berbagai infrastruktur penunjang
distribusi di wilayah ini dalam bentuk jalan raya, kereta api, dan
pelabuhan.296
a. Jalan Raya
1) Pembangunan Infrastruktur Jalan
Warga perlu melakukan perjalanan panjang untuk
membawa produknya ke pasar atau di jalanan untuk dijajakan
kepada pelintas. Konon jenis pedagang penjaja keliling lebih
banyak ditemukan di Lampung dibanding kawasan lain di
Sumatera Selatan.297
Dengan interaksi produsen dan konsumen
itu, rantai distribusi membentuk pasar masyarakat yang biasanya
terkonsentrasi di sejumlah tempat di pedalaman dan akan
diangkut ke tempat-tempat utama seperti Teluk Betung, Tanjung
Karang, Menggala dan lainnya.
Faktanya keberadaan dan kondisi jalan yang serba
terbatas tidak hanya membatasi gerak distribusi, tapi jelas itu juga
296 Berdasarkan banyak penelitian di Asia dan Afrika menunjukkan
bahwa pengorbanan pemerintah koloni dalam bidang infrastruktur jalan raya,
kereta api, dan pelabuhan karena didorong oleh kebutuhan perusahaan asing
untuk mengekspor produk pertanian dan mineral. Dalam Anne Booth,
“Varieties of Exploitation in Colonial Settings..., hlm. 61. 297
K.J.A. Ligtvoet, “Verslag van de Spoorwegverkenning in Zuid-
Sumatra..., hlm. 02.
170
menyiratkan banyaknya wilayah yang terisolasi. Keadaan
demikian berdampak pada ekonomi biaya tinggi dan menghambat
perluasan pembangunan dan investasi industri bagi wilayah
pedalaman. Sebagaimana Du Bois menggambarkan mirisnya
sarana perhubungan terkait waktu tempuh yang dibutuhkan dari
Teluk Betung ke Menggala selama 41,5 jam. Artinya hampir dua
hari dengan kombinasi antara berjalan kaki, gerobak, dan
perahu.298
Memasuki abad ke-20 Sumatera makin mencuri perhatian.
Perhatian tertuju pada perkembangan pesat pulau itu dalam
bidang ekonomi karena ditunjang kehadiran perusahaan-
perusahaan Eropa. Kemajuan yang memantik peningkatan
kebutuhan transportasi namun belum diiringi kebijakan
penyediaan sarana jalan raya oleh pemerintah sebagaimana pulau
Jawa. Yang tersedia hanya jalan yang dibentuk oleh masyarakat
sepanjang perjalanan masa. Untuk itulah pemerintah berkehendak
membangun sistem jaringan jalan yang baik sebagai akses ke
semua wilayah, sehingga potensi ekonomi dapat dikembangkan
dan eksploitasi dijalankan.
Situasi itu mendapat jawaban dengan berdirinya badan
Inspektorat Lalu Lintas Buitenbezittingen pada tahun 1908.
Melalui itu kepala pemerintahan daerah menyampaikan aspirasi
mengenai peningkatan interkoneksi jaringan jalan lokal dan
298 Waling Karst Huitema, De Bevolkingskoffiecultuur..., hlm. 74.
171
regional, sehingga terwujud kesalinghubungan dan kesatuan antar
wilayah.299
Akhirnya disusunlah sebuah gagasan tentang Rencana
Jalan Umum untuk Sumatera oleh J. Homan van der Heide yang
disampaikan kepada pemerintah pada tahun 1914. Urgensi dari
tujuan pembentukan jaringan jalan dalam proposal itu ialah
sebagai berikut:300
1. Kepentingan pemerintah, administrasi dan polisi, serta lalu
lintas pos.
2. Kepentingan ekonomi penduduk sehubungan dengan
pengangkutan produk dan barang dagangan, perjalanan, dan
lalu lintas lokal.
3. Kepentingan sosial penduduk berkaitan dengan kenyamanan,
penghapusan isolasi, dan hubungan dengan dunia luar dan
peradaban.301
4. Kepentingan politik umum berkenaan dengan komunikasi
antar daerah.
2) Pembangunan Jalan dan Wilayah yang Dihubungkan
Pengerjaan jaringan jalan raya yang dicanangkan meliputi
dua kategori, yaitu: pertama, perbaikan dan perpanjangan dari
jalan utama yang telah ada. Kedua, pembangunan jalan sekunder
299 H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: De
Verbindingswegen, (Weltevreden: Zuid Sumatra Land en Nijverheids
Vereeniging, 1917), hlm. 03. 300
H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 04. 301
Walaupun untuk masalah pembukaan isolasi sebenarnya yang
lebih merasakan manfaatnya ialah pegawai Belanda untuk menjalankan
birokrasi dan orang asing. H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:...,
hlm. 08.
172
untuk menghubungkan antar ruas jalan dan wilayah sentra
budidaya. Jalan utama yang telah ada memiliki tiga ruas dengan
kondisi tidak beraspal dan beraspal ringan, dan tingkat kekerasan
rendah sehingga kurang tahan terhadap beban lalu lintas. Ketiga
jalan utama yang telah ada ialah:302
1. Ruas jalan Teluk Betung-Menggala-Panaragan. Penghubung
wilayah Lampung bagian selatan dengan utara.
2. Ruas jalan Teluk Betung-Panjang (pelabuhan Oosthaven).
Penghubung antar pelabuhan di ibukota distrik Lampung
dengan titik awal jalur kereta api Sumatera Selatan.
3. Ruas jalan Tanjung Karang-Sukamara. Penghubung wilayah
Lampung bagian selatan dengan barat.
Kategori yang masuk perbaikan dan pelanjutan dari jalan
utama ialah:303
1. Ruas jalan Menggala-Panaragan menuju Martapura-Baturaja
di Residensi Palembang. Ini bertujuan membentuk jaringan
lalu lintas penghubung Lampung-Palembang dan dua ibukota
yakni Teluk Betung-Palembang.
2. Ruas jalan Sukamara-Tanjung Kemala-Kota Agung. Pada
ruas ini Tanjung Kemala tidak dapat diakses sehingga harus
dibangun sepenuhnya untuk tersambung ke Kota Agung
sebagai daerah perbatasan menuju Bengkulu.
3. Peningkatan kualitas pengerasan di jalur Wates-Gunung
Sugih-Terbanggi yang merupakan ruas dari jalan utama
Teluk Betung-Menggala. Pengerasan diperlukan karena
302 H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 14.
303 H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 15-19.
173
beban berat lalu lintas truk pembawa material proyek kereta
api.
Yang termasuk dalam kategori pembangunan jalan
sekunder, meliputi:304
1. Ruas jalan Teluk Betung-Kalianda. Rutenya melintasi
Oosthaven-Tarahan di pesisir timur Teluk Lampung.
2. Ruas jalan Gunung Sugih-Sukadana-Jepara. Menghubungkan
Lampung bagian tengah dengan timur.
3. Ruas jalan Gunung Sugih-Haji Pemanggilan. Penghubung
jalan utama Teluk Betung-Menggala dengan stasiun kereta
api di Haji Pemanggilan.
4. Ruas jalan Terbanggi-Kotabumi-Blambangan. Sebagai
percabangan dari jalan utama Teluk Betung-Menggala,
mengakses lampung bagian tengah ke utara dan perbatasan
Residensi Palembang.
b. Moda Transportasi Kereta Api
1) Alasan Pentingnya Mengadakan Jaringan Kereta Api
Kondisi lalu lintas darat yang primitif merupakan
hambatan kuat bagi pembangunan yang intensif dan
kemakmuran.305
Maka selain membuat jaringan jalan raya,
rancangan besar lalu lintas darat lainnya untuk membuka akses
dan pengembangan ekonomi wilayah Sumatera Selatan ialah
pembangunan jaringan kereta api. Sebuah ide besar yang
304 H. Cramer, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 30-31.
305 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 78.
174
digulirkan sejak 1895 itu memicu perdebatan panjang mengenai
sudah waktunya diperlukan atau belum keberadaannya.
Perdebatan itu didasari beberapa faktor, pertama, masih
sedikitnya jumlah penduduk dengan persebaran yang tidak
merata –utamanya bagi Lampung-, kebanyakan terkonsentrasi di
tepian sungai besar atau di pesisir, sedangkan bagian pedalaman
lain masih hutan alami yang belum tertembus. Kedua, ekses dari
poin pertama ialah masih lekatnya sistem transportasi air,
terutama untuk menjangkau pedalaman dengan keberadaan
beberapa sungai besar dan cabang-cabangnya. Ketiga, berkaitan
dengan mulai gencarnya pembangunan jaringan jalan raya bagi
transportasi darat. Dari situ teranglah bahwa pembangunan ini
belum diperlukan dan tidak menguntungkan.
Namun ide yang mulanya diinisiasi oleh kalangan swasta
ini juga memiliki alasan-alasan kuat untuk diwujudkan.306
Dibangunnya jaringan kereta api di daerah yang tidak padat
penduduk memang tidak seharusnya berorientasi profit, tapi lebih
kepada kereta api sebagai pelopor pembangunan ekonomi yang
menerapkan peradaban lokomotif. Kereta api yang bukan hanya
sebagai pengumpul dan pengangkut yang menghasilkan uang,
306 Mereka sangat berkepentingan untuk ini lantaran keberadaan
perusahaan swasta yang makin dominan di Lampung. Minimnya jalur
transportasi menghambat produk-produk budidaya untuk sampai ke kota utama
dan pelabuhan. Adapun kereta api dianggap lebih ekonomis dan efektif
dibanding angkutan darat lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Mr Roelofsen menyatakan bahwa
kereta api adalah pilihan rasional untuk menekan biaya transportasi dalam
skala besar dengan jarak tempuh yang jauh. Lihat dalam P.A. Roelofsen,
Rijwegen op Spoorbanen, (Batavia: Papyrus, 1913), hlm. 78.
175
tetapi pencipta transportasi.307
Hingga kelak sistem ini akan
menarik populasi, dan populasi menjadi energi pendorong
gerbong-gerbong ekonomi.308
Maka jika tidak menghasilkan di
tahun-tahun pertama, ia akan akan menguntungkan bagi seluruh
negeri di masa berikutnya.309
Menindaklanjuti wacana itu, dikeluarkanlah Keputusan
Pemerintah No. 6 pada 16 Februari 1902 yang menugaskan
K.J.A. Ligtvoet untuk melakukan “kajian kereta api” terhadap
Sumatera Selatan yang dilakukan pada tahun 1902-1903. Dalam
kajiannya, Ligtvoet memaparkan beberapa alasan yang
mendorong perlunya jaringan kereta api dibangun. Berikut
motivasi normatifnya:310
1. Berdasarkan tingkat profitabilitas dari Perkeretaapian Negara
di Jawa dan Sumatera pada tahun 1901, menunjukkan bahwa
secara keseluruhan pendapatan dari penumpang hanya 1/3
berbanding angkutan barang yang mencapai 2/3. Dari total
itu, sumbangsih dari pribumi hanya 1/5. Jadi dengan populasi
yang rendah dan perusahaan mulai tumbuh di Sumatera
307 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 75. 308
Penarikan sejumlah besar transmigran dari Jawa dalam program
Kolonisasi salah satu alasannya ialah pembangunan jaringan jalan raya dan
kereta api yang berkaitan dengan pengambangan ekonomi. Prinsipnya “tidak
akan terjadi kolonisasi dalam jumlah signifikan tanpa jaringan jalan, dan tidak
ada jaringan jalan yang berlangsung tanpa kolonisasi”. Kolonis akan
ditempatkan di sepanjang jalur, setelah terbangun jaringan jalan, mereka akan
menetap di area itu dan memasarkan hasil budidayanya melalui itu pula. Lihat
dalam, K.J.A. Ligtvoet, “Verslag van de Spoorwegverkenning in Zuid-
Sumatra..., hlm. 11. 309
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 80. 310
K.J.A. Ligtvoet, “Verslag van de Spoorwegverkenning in Zuid-
Sumatra..., hlm. 08.
176
Selatan, jelas usaha ini tidak akan menguntungkan di tahun-
tahun permulaan.
2. Kewajiban moral setiap bangsa harus mengembangkan
koloninya.
3. Kesuburan tanah yang dapat menghidupkan budidaya dan
industri segera setelah tersedia jaringan kereta, dimana
bentangan tanah begitu luas sehingga pribumi tidak dapat
mengolah sepenuhnya dalam satu abad.
4. Overpopulasi Jawa yang harus dicegah dengan jalan
memindahkan ke daerah yang penduduknya lebih sedikit. Ini
sekaligus menjawab pertimbangan poin pertama.
Meskipun laporannya telah diterbitkan pada tahun 1904,
namun nyatanya perdebatan mengenai kebijakan tersebut
berlangsung sampai 1908.311
Hingga akhirnya berdasarkan G.B.
dd. 8 Mei 1908 No. 6,312
dinyatakan persetujuan dan
diperintahkan untuk melaksanakan pembangunan jaringan kereta
api dalam program Kereta Api Sumatera Selatan yang
menghubungkan Lampung-Palembang-Bengkulu di bawah Zuid
Soematra Spoorwegen.
Sebagai langkah persiapan, dilakukanlah survey oleh
J.F.P. Richter pada tahun 1908-1910. Hasil laporannya
diterbitkan pada tahun 1911, dan tahun itu juga pembangunan
dimulai dari pelabuhan Oosthaven di Panjang sebagai ruas sisi
311 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 473.
312 De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 75.
177
Lampung yang merupakan titik kilometer nolnya dan dari
Kertapati sebagai ruas di sisi Palembang.
Pilihan lokasi pelabuhan sebagai pusat ekonomi menjadi
titik tarik jalur dalam kaitannya terhadap daya jangkau sentra
budidaya dan lalu lintas utama niaga akan mempengaruhi pilihan
arah pembangunan rute.313
Pentingnya Palembang sebagai pusat
ekonomi dan keberadaan pelabuhan ekspor-impor besar di
Sumatera Selatan beserta dukungan bagian luas pedalamannya
(hinterland) menjadi alasan pilihan sebagai titik jalur utama di
utara, dan Teluk Betung menjadi titik di selatan sebagai
penghubung terdekat dengan Jawa.314
Dengan begitu akan
memangkas jarak dan waktu tempuh serta menekan biaya
transportasi dibanding jika semua harus melalui jalur laut.
Untuk pembangunan jaringan kereta api dibagi dalam dua
pola, yaitu jalur utama dan jalur sekunder. Jalur utama ialah
Teluk Betung-Palembang, sedangkan jalur sekunder merupakan
proyeksi jalur penghubung lokal yang ditarik dari jalur utama.
Berikut ruas-ruas jalur kereta api Lampung yang dibangun dan
dibuka secara bertahap sepanjang proses pembangunan
keseluruhan hingga tahun 1927:315
Tabel 14: Tahapan pembangunan dan pengoperasian jalur
Ruas Jalur Panjang Mulai Beroperasi
313 J.C.F. van Sandick, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: De
Spoorwegpolitiek, (Weltevreden: Zuid Sumatra Land en Nijverheids
Vereeniging, 1917), hlm. 04. 314
J.C.F. van Sandick, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra..., hlm.
25. 315
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 474.
178
(km)
Oosthaven (Pelabuhan Panjang)-
Tanjung Karang
12 3 Agustus 1914
Tanjung Karang-Labuhan Ratu 5 1 Maret 1915
Labuhan Ratu-Tegineneng 22 1 November 1915
Tegineneng-Haji Pemanggilan 24 1 Februari 1917
Haji Pemanggilan-Blambangan 15 1 Februari 1918
Blambangan-Kotabumi 20 2 Januari 1921
Kotabumi-Cempaka 8 1 Juni 1923
Cempaka-Negara Ratu 21 1 Mei 1926
Negara Ratu-Martapura 70 21 Maret 1927
2) Peraturan Penggunaan Jasa dan Tarif
Menimbang bahwa kereta api nantinya akan bersaing
dengan moda transportasi lain, baik darat atau perairan yang
dijalankan oleh masyarakat dan swasta, maka sejak mula telah
dipikirkan perihal aturan tarif bagi pengguna moda transportasi
ini secara bijaksana. Rencana peraturannya dibagi dalam dua
kategori, yakni penumpang dan barang berdasarkan kelas. Untuk
penumpang terdiri dari dua kelas, yaitu kelas dua dan tiga,
dengan tarif masing-masing sebesar f 0,06/km dan f 0,03/km dan
diizinkan membawa barang sampai 30 kg. Sedangkan aturan dan
besaran tarif angkutan barang sebagai berikut:316
316 Program kelas yang dirancang di awal sebagaimana kereta di
Jawa, namun Ligtvoet sudah memikirkan penambahan kelas 1 jika diperlukan.
K.J.A. Ligtvoet, “Verslag van de Spoorwegverkenning in Zuid-Sumatra...,
hlm. 11.
179
Tabel 15: Peraturan barang dan tarif moda kereta api
Kelas Barang yang diangkut Tarif/ton/km
A hasil budidaya dan kehutanan, gorden,
liner, gelas dan porselen, barang logam,
dan ternak.
f 0,24
B bahan bangunan, kulit, daging, ikan,
dan minyak.
f 0,17
C bahan mentah, bahan makanan, dan
buah-buahan.
f 0,10
Tabel 16: Ikhtisar Angkutan Barang dan Penumpang317
Tahun Penumpang Barang
(ton) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
1920 14.000 86.000 808.000 218.141
1921 14.000 81.000 776.000 289.866
1922 11.000 60.000 587.000 216.459
1923 7.000 55.000 580.000 283.219
1924 7.000 60.000 723.000 374.233
1925 7.000 63.000 1.014.000 410.687
1926 8.000 74.000 1.195.000 456.354
1927 9.000 68.000 1.243.000 461.540
1928 11.000 66.000 1.316.000 509.192
317 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 478.
180
c. Pelabuhan
Pelabuhan menjadi sarana vital untuk jalan keluar-masuk
arus barang dan jasa, terlebih bagi wilayah kepulauan dan
koneksi perdagangan global. Karenanya adalah penting memberi
perhatian dalam pengelolaan pelabuhan yang telah ada, dan jika
dipandang perlu membangun yang baru agar sesuai dengan
konsep dan dinamika pengembangan ekonomi, koneksi, dan tata
ruang. Beberapa pelabuhan di Lampung yang dibuka untuk
perdagangan umum dan lalu lintas ekspor-impor berdasarkan
Staatsblad 1906 No. 191 ialah Teluk Betung, Menggala,
Kalianda, dan Kota Agung.318
Pelabuhan-pelabuhan utama tersebut telah tumbuh pada
masa pra-kolonialisme, sedangkan yang baru dibangun oleh
Belanda ialah Oosthaven, yang sengaja dirancang sebagai
pelabuhan transit penghubung Jawa dan Sumatera bagian Selatan,
bahkan dapat langsung ke Eropa. Karena semua memiliki
pelayanan langsung ke Batavia, jarak masing-masing pelabuhan
dengan Batavia yakni: Kalianda 99 mil, Teluk Betung 120 mil,
Oosthaven 122 mil, Kota Agung 156 mil, Menggala 188 mil.
Khusus Oosthaven-Merak berjarak 57 mil.319
Pelabuhan Teluk Betung yang berada di ibukota Distrik
Lampung menjadi pelabuhan utama yang dibuka untuk lalu lintas
perdagangan dalam kategori ekspor-impor umum terbatas sampai
318 F.C. Hekmeijer, Scheepvaart Verordeningen I, (Weltevreden: G.
Kolff & Co., 1915), hlm. 03. J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch
Overzicht..., hlm. 441. 319
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 06.
181
kemunculan Oosthaven.320
Pelabuhan yang telah ada sebelum
kedatangan Belanda ini terletak di Teluk Lampung dan dijadikan
sebagai gerbang untuk kawasan selatan bersama pelabuhan
Kalianda dengan kapasitas yang lebih kecil. Bergeser ke tenggara
terdapat pelabuhan Kota Agung di mulut Teluk Semangka,
memfasilitasi akses keluar-masuk bagi wilayah barat dan
tenggara. Untuk mengakomodasi wilayah timur dan utara
terdapat pelabuhan Menggala di sungai Tulang Bawang, menjadi
penghubung antara Lampung dan Palembang.
Dapat dikatakan pelabuhan-pelabuhan lama itu akhirnya
hanya difungsikan sebagai pelabuhan dengan layanan lokal pada
abad ke-20 karena dinilai kurang menguntungkan. Terlebih ketika
kejayaan lalu lintas perairan sugai telah digeser oleh moda
transportasi darat yang lebih efisien, peran pelabuhan tersebut
kian meredup, utamanya Menggala. Sedangkan Kalianda dan
Kota Agung tertinggal oleh kehadiran pelabuhan Oosthaven yang
terintegrasi dengan jaringan kereta api Sumatera Selatan.321
Adapun terhadap Jawa, pelabuhan baru itu menjadi koneksi antar
pelabuhan seperti Batavia dan Merak sebagai penghujung
jaringan kereta api Jawa.
320 Berdasarkan Tariefwet 1872, ditetapkan peraturan baru tanggal 13
Desember 1873 yang berisi ketentuan bahwa dalam daerah tol (tolgebied)
Hindia Belanda yang dibuka untuk perdagangan umum dibedakan menjadi
dua; yaitu pelabuhan untuk ekspor-impor umum dan pelabuhan untuk ekspor-
impor umum terbatas. Yang termasuk pelabuhan ekspor-impor umum terbatas
di Sumatera ialah Teluk Betung, Bengkulu, Tanjung Pandan, Air Bangis,
Pariaman, dan Natal. Dalam Singgih Tri Sulistiyono, “Dinamika Kemaritiman
dan Integrasi Negara Kolonial”..., hlm. 99. 321
M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: Het Vervoer
over Water, (Weltevreden: Zuid Sumatra Land en Nijverheids Vereeniging,
1917), hlm. 03.
182
Keberadaan Oosthaven dirancang untuk menggantikan
peran pelabuhan Teluk Betung, dan berkaitan dengan pendirian
kota baru Tanjung Karang sebagai area komersil, serta menjadi
stasiun penutup bagi perjalanan kereta api Sumatera Selatan dari
Palembang. Maka jadilah Oosthaven dan Palembang sebagai
pelabuhan terpenting di Sumatera Selatan,322
sekalipun kapasitas
Oosthaven di masa ini masih kecil.323
Dipilihnya daerah Panjang bagi pembangunan pelabuhan
Oosthaven yang hanya berjarak 8,5 km dari pelabuhan Teluk
Betung dilatarbelakangi oleh faktor geografis dan politis-
ekonomis. Secara geografis daerah pesisir Panjang terletak pada
posisi yang strategis dan memiliki perairan yang dalam serta
terlindungi oleh karang dan pulau-pulau di selat Sunda, sehingga
menjadikan tempat berlabuh yang baik dan lebih aman dari angin
dan gelombang bagi aktivitas bongkar muat.324
Sedangkan
perairan di pelabuhan Teluk Betung memiliki cekungan alami
yang tidak terlalu dalam, sehingga membuat kapal dengan ukuran
besar tidak dapat menambat. Ditambah keberadaan aliran sungai
Teluk yang membawa material penyebab pendangkalan di area
pelabuhan.325
Untuk alasan politis-ekonomisnya ialah kawasan
Panjang di ibukota Teluk Betung dekat dengan Jawa. Hal tersebut
dianggap lebih dapat menjaga persatuan wilayah Hindia daripada
jika mengembangkan pelabuhan di bagian timur Lampung yang
322 M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 27.
323 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 443.
324 M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 03.
325 Netherlands-East-Indian Harbours, (Department of Public Works:
Batavia, 1920), hlm. 80.
183
merupakan kawasan lalu lintas dunia sebagai ajang persaingan
niaga internasional.326
1) Kebijakan Pelayanan Koneksi antar Wilayah
Antar pelabuhan tersebut saling terhubung dengan adanya
pelayanan transportasi perairan, baik oleh perahu masyarakat
lokal maupun yang diselenggarakan oleh perusahaan negara
seperti Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dan swasta
asing seperti Tiongkok dan negara Eropa lainnya. Penggunaan
perahu selain kapal uap perusahaan utamanya marak dilakukan di
pelabuhan Menggala yang memiliki rute pedalaman melalui
sungai yang tidak bisa dijangkau oleh kapal besar.
Adanya persaingan dengan swasta membuat KPM
mengeluarkan kebijakan tarif rendah dan pelayanan terbaik, yang
secara hukum ekonomi membuat konsumen akan menjatuhkan
pilihan pada yang mampu membuatnya meminimalisasi
pengorbanan. Sehingga hampir seluruh kapal yang berlayar di
Sumatera Selatan pada tahun 1929 berasal dari Hindia Belanda
yang 51%-nya milik KPM. Adapun khusus Lampung, kapal KPM
mencapai 100% di pelabuhan Menggala, Kalianda, dan Kota
Agung, sedangkan di Teluk Betung yang dibuka untuk pelayaran
internasional mencapai 96,1%.327
Dengan kebijakan ekonomi
maritim itu Belanda terus memperkuat dominasi perusahaan
326 J.C.F. van Sandick, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra..., hlm.
09. 327
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 438-
439.
184
pelayaran negara yang punya peran mengintegrasikan ekonomi
dan politik seluruh wilayah Hindia Belanda.328
Dalam kebijakan layanan, KPM tidak hanya membuka
pelayanan reguler lokal pada rute yang telah ada, tetapi juga
membuka jalur baru untuk menghubungkan basis-basis ekonomi
lainnya di seluruh pulau sehingga tercipta kemitraan antara
pedagang lokal dengan Belanda dan orang asing lainnya.
Akhirnya dengan dua pola kebijakan tersebut Belanda berhasil
mengubah paradigma perdagangan di Hindia dari “shipping
follow the trade” menjadi “trade follow the shipping”.329
Untuk rute pelayanan di Lampung yang tersedia di
sebelah timur ialah Menggala-Palembang, dan Menggala-
Batavia. Sedang di wilayah selatan hingga tenggara yang terdapat
pelabuhan berjajar menghadap selat Sunda memiliki rute Batavia-
Merak-Kalianda-Oosthaven-Teluk Betung-Kota Agung, dan
Merak-Oosthaven dengan menggunakan kapal feri berdasarkan
jadwal reguler setiap dua minggu.330
Walaupun demikian rute-
rute itu tidak stagnan, bergantung pada program pembukaan
jalur-jalur baru yang dipandang perlu.
Hingga tahun 1929 secara umum layanan pelayaran di
Sumatera terbagi dalam tiga belas jalur, dan Lampung masuk
dalam beberapa koridor sebagai berikut:331
328 Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah
Komersil Pemerintah Kolonial..., 329
Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah
Komersil Pemerintah Kolonial..., 330
M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 06. 331
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 438-
440.
185
a. Jalur 2, bergantian setiap tiga atau empat hari melayani dari
Batavia ke Oosthaven. Di antaranya terdapat jadwal harian
koneksi Merak dan Oosthaven yang menghubungkan kereta
api Sumatera Selatan dengan Jawa.
b. Jalur 2B, layanan pekanan dari Batavia ke Kalianda,
Oosthaven, Kota Agung, dan kembali.
c. Jalur 4A, layanan dua pekanan dari Batavia ke Menggala,
melintasi sungai Mesuji sampai Pagardewa, Palembang, dan
kembali.
2) Volume Arus Barang dan Penumpang332
Tabel 17: Volume angkutan barang per pelabuhan (last: 2000 kg)
Pelabuhan 1891 1896 1897
ex im ex im ex im
T. Betung 946 520 1.932 585 - -
Menggala - - - - 7 -
Pelabuhan 1898 1901 1903
ex im ex im ex im
T. Betung - - 2.216 1.017 - -
Menggala - 310 - - 149 63
Pelabuhan 1906 1908 1911
ex im ex im ex im
T. Betung 3.643 870 - - 3.814 6.371
Menggala 946 134 - - 2.793 2.127
332 M.C. Koning, Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra:..., hlm. 13-21.
186
Kalianda 956 177 - - 590 366
K. Agung - 229 37 - 186 349
Pelabuhan 1912 1913 1914
ex im ex im ex im
T. Betung 3.481 - 3.585 10.436 - -
Menggala - - 2.547 1.062 1.168 -
Kalianda - - 455 359 - -
K. Agung - - 769 503 - -
Pelabuhan 1915 1916
ex im ex im
T. Betung - - 3.400 7.560
Menggala 670 - 495 332
Kalianda - - 484 256
K. Agung - - 705 783
Tabel 18: Volume angkutan penumpang per pelabuhan
Pelabuhan 1891 1896 1898
out in out in out in
T. Betung 1.721 1.455 2.288 3.014 - -
Menggala - - - - 265 -
Kalianda - - 3 7 - -
Pelabuhan 1901 1903 1906
out in out in out in
187
T. Betung 3.575 4.114 - - 14.389 37.318
Menggala - - 72 - 280 393
Kalianda 21 2 - - 5.513 6.755
Pelabuhan 1908 1911 1913
out in out in out in
T. Betung - - 17.362 26.206 22.618 31.443
Menggala - - 1.606 1.502 1.375 427
Kalianda - - 3.071 3.468 4.212 3.861
K. Agung 219 - 964 37 455 468
Pelabuhan 1914 1916
out in out in
T. Betung - - 25.634 10.822
Menggala 305 - 77 25
Kalianda - - 1.300 480
K. Agung - - 4.137 1.243
3. Politik Ekonomi di Sektor Konsumsi
a. Konsumsi Beras
Beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat
Lampung diproduksi dengan sistem berladang yang sekadar
menyukupi kebutuhan sendiri. Pola berladang kerap bersama
variasi tanaman pangan atau kebutuhan lainnya yang bersifat
komersil, dalam hal ini ialah lada, dan menyusul belakangan
karet dan kopi. Namun ternyata berdasarkan keterangan Belanda
188
sejak abad ke-18 kebutuhan bahan pangan utama itu tidak
berhasil dicukupi oleh produksi lokal, sehingga harus diimpor
dari daerah lain terutama Jawa yang akhirnya menjadi
ketergantungan.333
Untuk abad ke-19 tercatat pada periode
Januari hingga Agustus 1855 terjadi impor beras melalui
pelabuhan Teluk Betung sebesar ±248 ton.334
Permasalahan kekurangan beras terus berlanjut ketika
masyarakat lebih mengutamakan penggunaan lahan bagi tanaman
komersil itu, terlebih di saat harga komoditas tersebut tengah
tinggi, padi dijadikan rencana kedua.335
Dan dari sisi pemerintah
bersama swasta juga gencar melakukan perluasan lahan bagi
budidaya non-pangan dan eksploitasi sumber daya alam lainnya,
maka yang terjadi ialah penyusutan atau minimal stagnasi lahan
bagi penanaman padi.
Dapat disimpulkan secara sederhana dengan mengabaikan
faktor lainnya, terbatasnya lahan bagi padi yang kalah dari
ekspansi komoditas ekspor, berarti produksi bahan pangan itu
sendiri makin terbatas, jika tidak dikatakan menurun.
Padahal peningkatan dan perluasan lahan budidaya
komoditas non-pangan di abad ke-20, baik oleh masyarakat
333 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten...,
hlm. 43. 334
P.J. Veth, Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van
Nederlandsch Indie, Deerde Deel: K-Q. (Amsterdam: P.N. van Kamp, 1869),
hlm. 921. 335
Beras akan diimpor dari tempat lain dan dibayar dengan hasil dari
tanaman komersil. Kelak jika situasi pasar komoditi tersebut sedang tidak
menguntungkan, masyarakat akan beralih menanam padi. Zeilinger melihat hal
itu sebagai keajaiban pribumi yang sanggup beradaptasi dalam perubahan
situasi. Lihat F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij..., hlm. 61.
189
maupun pemerintah dan swasta itu membutuhkan tenaga kerja
dalam jumlah besar, yang dapat mendorong terjadinya mobilitas
penduduk dan masuk ke Lampung. Maknanya ialah akan terjadi
peningkatan populasi yang berbanding terbalik dengan produksi
bahan pangan. Baik itu peningkatan populasi oleh migrasi
maupun fertilitas penduduk lokal karena peningkatan taraf
ekonomi.
Dinyatakan bahwa Lampung memang mengalami defisit
beras tahunan, namun lonjakan kebutuhan beras terjadi sekitar
tahun 1913. Di Lampung sendiri kebutuhan beras tahunan sekitar
3.400 ton. Maka masalah yang juga terjadi di seluruh Sumatera
Selatan ini diatasi melalui langkah impor sebagai solusi jangka
pendeknya, dengan nilai rata-rata impor per tahun mencapai f
550.000. Di samping pemerintah kolonial memanfaatkan
kolonisasi penduduk Jawa untuk budidaya padi dengan sistem
sawah, dipersiapakan juga metode mekanisasi pertanian kepada
petani tradisional untuk jangka panjangnya.336
Tabel 19: Konsumsi Beras berdasarkan volume impor
Lampung337
Tahun Impor (ton) Total
luar
Jawa
Jawa
1913 133 - 133
1917 - 7.710 7.710
336 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
05. J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 229. 337
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 228.
190
1923 25 2.084 2.109
1924 12 1.216 1.228
1925 - 4.219 4.219
1926 275 2.662 2.940
1927 38 2.619 2.657
1928 50 6.957 7.007
1929 550 5.309 5.859
b. Impor Garam berdasarkan Kebijakan Monopoli
Garam merupakan salah satu produk vital yang multi
manfaat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga jelas setiap
orang pasti membutuhkannya. Maka patutlah ia masuk dalam
kategori bahan pokok. Gabungan antara bahan pokok yang
dibutuhkan dan keberadaannya yang harus diupayakan
menjadikan barang ini memiliki nilai ekonomi. Sebagai barang
ekonomi ia membutuhkan regulasi.
Belanda melihat potensi ekonomi dari garam yang dapat
menjadi sumber pemasukan, sehingga negara perlu
menguasainya.338
Pengaturan masalah ini sebenarnya sudah
terjadi sejak masa VOC dalam bentuk perizinan produksi,
penyerahan wajib (contingenten) garam dari petani dengan
jumlah yang telah ditentukan, dan perdagangan hanya kepada
pemborong (pachter).339
Namun sebagai perusahaan dagang,
338 Parwoto dan Mudji Hartono, “Dampak Monopoli Garam di
Madura pada Abad XX”, Jurnal Mozaik, Vol. 7, Januari 2015, hlm. 36 339
Departement van Binnenlandsch Bestuur, Het Zoutmonopolie,
(Batavia: Ruygrok & Co., 1919), hlm. 09.
191
masalah bagaimana garam diproduksi belum jadi soal. Hal itu
yang menjadi perbedaan regulasi garam yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19.
Kebijakan menjadikan garam sebagai industri yang
dikuasai negara dirintis oleh Raffles pada 15 Oktober 1813340
dan
dilanjutkan oleh Belanda pada tahun 1818. Namun
pengelolaannya hampir tidak jelas selama kurun waktu yang
panjang, antara memberi kuasa pada residen dan sempat juga
berganti ke tangan Departemen van Onderwijs Eeredienst en
Nijverheid.341
Terjadinya pergantian dua sistem sentralisasi garam itu
bertujuan untuk menangani krisis garam walaupun akhirnya
justru memperpanjang krisis. Keadaan diperparah oleh faktor
iklim yang berpengaruh terhadap produksi, dan stimulasi
kenaikan harga oleh pemerintah yang justru memicu
overproduksi.342
Tetapi di luar sentra produksi kekurangan kerap
terjadi. Akhirnya berdasarkan penelitian Van der Kemp pada
tahun 1859 dinyatakan perlunya sinergi antara sektor produksi
dengan konsumsi garam.343
Demi menyudahi krisis garam dalam produksi dan
distribusinya yang berlarut, pemerintah mengeluarkan kebijakan
monopoli garam melalui Bepalingen tot Verzekering van het
340 Departement van Binnenlandsch Bestuur, Het Zoutmonopolie...,
hlm. 09. 341
Parwoto dan Mudji Hartono, “Dampak Monopoli..., hlm. 37. 342
Parwoto dan Mudji Hartono, “Dampak Monopoli..., hlm. 39. 343
Wisnu, et al., “Salt Briquette: The Form of Salt Monopoly in
Madura 1883-1911”, Journal of Physics, Conferentie Series, 953, 2018, hlm.
04.
192
Zoutmonopolie yang disahkan dengan Staatsblad 1882 No. 73.344
Salah satu aturan dasarnya ialah menetapkan daerah-daerah yang
boleh dan yang dilarang memproduksi garam dan regi
pengiriman serta penjualan garam. Berdasarkan klasifikasi
wilayah pada Pasal 1c, Lampung masuk dalam kategori daerah
dilarang membuat dan hanya memasok garam pemerintah,345
yang pada tahun 1913 mencapai 10.000 pikul.346
Berikut
digambarkan besaran nilai pasokan garam di Lampung:347
Tabel 20: Nilai pasokan garam pemerintah.
Tahun Jumlah (f)
1903 55.000
1904 55.000
1905 58.000
1906 63.000
1907 59.000
1908 62.000
1909 60.000
1910 66.000
1911 66.000
1912 67.000
1913 61.000
344 Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, Staatsblad
1882 No. 73. 345
Departement van Binnenlandsch Bestuur, Het Zoutmonopolie...,
hlm. 13. 346
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 147. 347
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De Buitenbezittingen
1904 tot 1914..., hlm. 146.
193
Tabel 21: Ragam konsumsi lainnya berdasarkan nilai impor348
Komoditas Jumlah (f)/tahun
1899 1900 1901
minuman 2.068 1.039 1.550
tembakau 6.095 7.858 8.325
bahan makanan 13.511 18.562 38.219
minyak kelapa 2.950 4.744 5.074
ternak 14.375 27.170 28.307
perabot anyaman 3.177 2.227 2.839
benang 10.911 14.526 2.901
pecah belah 1.292 1.873 4.015
pakaian 35.528 9.016 4.668
koper 1.588 2.695 1.025
korek api 2.737 5.225 2.924
mebel 1.847 1.852 3.171
barang kelontong 25.774 34.303 45.799
manufaktur 61.675 136.975 166.646
petroleum 21.631 22.248 20.252
tembikar 8.265 10.769 14.166
atap anyaman 1.315 1.500 1.979
genteng 2.293 4.788 11.142
kayu 3.798 4.548 6.372
besi 6.010 6.802 12.132
348 K.J.A. Ligtvoet, Spoorwegverkenning in Zuid Sumatra..., hlm. 47-
48.
194
dan lain-lain 1.361.936 1.235.215 1.439.669
c. Konsumsi Barang dan Jasa Mewah
Sejak digalakkan budidaya tanaman ekspor di akhir abad
ke-19 hingga sekitar tahun 1923-1929 yang menjadi masa
booming ekonomi bagi Sumatera Selatan, akhirnya berdampak
pada konsumsi penduduk lokal.349
Hal itu dibentuk oleh faktor
peningkatan pendapatan dari tingginya harga komoditas ekspor,
kehadiran perusahaan-perusahaan Eropa, dan penyediaan sarana
lalu lintas, terutama kereta api Sumatera Selatan bagi Lampung.
Sehingga terjadi peningkatan kepemilikan akan barang mewah.
Bentuk konsumsi mewah dari situasi tersebut bagi
beberapa kalangan ialah perbaikan rumah dan pendirian rumah-
rumah baru yang besar, pembelian mobil, perhiasan, dan
perjalanan ibadah haji. Namun tidak terjadi peningkatan saving
kekayaan itu ke bank atau lembaga yang tepat, kemungkinan
sejumlah besar uang tunai mereka simpan di rumah.350
Untuk menggambarkan peningkatan kepemilikan mobil
oleh penduduk dari yang semula menggunakan gerobak:351
Tabel 22: Jumlah kepemilikan kendaraan
Jenis kendaraan 1925 1927 1930
Truk
Mobil Penumpang
106
263
96
594
504
1.133
349 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm 223.
350 F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij..., hlm. 61. 351
F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij..., hlm. 74.
195
Tabel 23: Jumlah rumah sampai tahun 1920:352
kategori rumah jumlah
bermaterial primitif 23.369
berdinding papan dengan atap non-genteng/seng 3.381
berdinding papan/bilik bambu beratap genteng/seng 8.060
berbahan batu 26
rumah rakit/perahu 2
Tabel 24: Perbandingan jumlah penduduk Sumatera Selatan yang
melaksanakan ibadah haji:353
Tahun Lampung Bengkulu Jambi Palembang
1924 179 359 1.560 2.831
1925354
1 12 28 114
1926 28 73 782 713
1927 977 602 2.090 6.921
1928 824 621 1.394 3.770
1929 1.005 527 346 2.283
1930 916 485 317 2.180
352 F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij..., hlm. 68. 353
F.A. Zeilinger, Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij..., hlm. 75. 354
Sedang terjadi instabilitas di Makkah karena pertempuran antara
raja Abdul Azis Ibn Saud dengan raja Ali bin Hussein.
196
d. Penarikan Pajak
Akhirnya, di luar dari upaya kegiatan ekonomi yang
meliputi tiga sektor itu, pemerintah masih memiliki sumber
pendapatan yang besar dari kebijakan kontrak dan penarikan
pajak yang beragam jenisnya. Hal demikian juga menggambarkan
dinamika perekonomian dari sebab langsung maupun tidak
langsung yang berkaitan dengan ketiga kegiatan ekonomi di atas.
Beberapa contoh kebijakan pada bidang ini bagi wilayah
Lampung misalnya ialah produksi dan peredaran opium yang
memang memiliki pangsa pasar cukup luas secara nasional di
Hindia Belanda yang kala itu terdapat jenis yang dilegalkan
dalam aturan Pemerintah melalui “Kontrol Opium” berdasarkan
Staatsblad 1901 No. 441 dan kepemilikan serta pengangkutannya
dalam Staatsblad 1912 No. 301.355
Aturan untuk pungutan pajak lainnya misalnya berlaku
bagi ekspor hasil hutan. Di Lampung, hasil kehutanan ialah
damar, getah, getah karet, dan beberapa jenis kayu dengan
besaran pajak mencapai lima persen.356
Demikian pula kutipan
pajak ditujukan pada izin pemotongan hewan berupa sapi dan
kerbau yang mencapai tiga gulden per ekor.357
Di bawah ini
digambarkan perolehan dari nilai kontrak dan pajak pada
permulaan peningkatan ekonomi di awal abad ke-20.
355 Staatsblad van Nederlandsch Indie 1901 No. 407 dan 1912 No.
310. 356
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1901 No. 20. 357
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1898 No. 24.
197
Tabel 25: Pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan sewa.358
Jenis Pajak Tahun 1903-1908
(dalam 1000 gulden)
1903 1904 1905 1906 1907 1908
Opium 50 58 63 67 69 62
Bea cukai 5 5 5 3 4 1
Bea ekspor-impor 21 17 15 15 11 9
Sewa sumberdaya 9 9 12 12 7 5
Pj. Kepala 188 202 218 233 238 243
Pj. Rumah tangga 2 3 2 3 3 3
Pj. Bangsa Eropa 1 1 1 5 5 6
Pj. Penyembelihan - - - 6 7 6
Pj. Industri pribumi 3 4 4 4 5 4
Pj. Verponding 3 3 3 4 4 4
Total 282 302 323 352 353 343
Lanjutan
Jenis Pajak Tahun 1909-1913
(dalam 1000 gulden)
1909 1910 1911 1912 1913
Opium 45 67 100 136 139
Bea cukai - 6 4 1 10
Bea ekspor-impor 9 9 14 18 23
Sewa sumberdaya 8 8 8 13 14
358 Data diolah dari De Bestuurszaken der Buitenbezittingen, De
Buitenbezittingen 1904 tot 1914..., hlm. 165-176.
198
Pj. Kepala 243 238 249 256 263
Pj. Rumah tangga 3 3 3 4 6
Pj. Bangsa Eropa 5 6 7 8 15
Pj. Penyembelihan 6 7 7 7 7
Pj. Industri pribumi 4 4 6 8 6
Pj. Verponding 4 4 4 - -
Total 327 352 402 451 483
199
BAB VI
POLITIK EKONOMI BELANDA TERHADAP LAMPUNG
PADA TAHUN 1800-1942:
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN DAMPAKNYA
A. Klasifikasi Perusahaan di Lampung
Lampung yang mulai dibuka oleh pemerintah bagi arus
modal asing di penghujung abad ke-19 pada periode liberal,
membuat Residensi ini menjadi ramai akan kehadiran berbagai
perusahaan yang siap mengolah kekayaan alamnya dan peluang
besar menangguk keuntungan. Demi mendukung kegiatan itu,
pemerintah tidak hanya membentuk regulasi, tapi juga terlibat
aktif mengusahakan sarana yang memadai. Maka dari itu
timbullah dua jenis kegiatan ekonomi dalam bentuk badan usaha,
yaitu perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta. Perusahaan
swasta bergerak di sektor komersil untuk keuntungan langsung,
sedangkan perusahaan pemerintah bekerja pada aspek penyediaan
sarana publik bagi pendukung kegiatan ekonomi sebagai investasi
jangka panjang.
Sebagaimana di keseluruhan Hindia Belanda yang
dijadikan wilayah ekonomi kolonial berorientasi pada ekspor
produk pertanian dan pertambangan, Lampung juga serupa. Jika
secara umum investasi penting dari perusahaan swasta Belanda
adalah gula, kopi, teh, karet, minyak bumi, dan batubara,
sementara Lampung difokuskan pada karet, kopi, dan lada. Di sisi
lain, pembangunan dan perkembangan infrastruktur oleh
pemerintah -kereta api, komunikasi, jembatan dan jalan, serta
200
pekerjaan irigasi- bagi melayani investor dalam tiga dasawarsa
pertama abad ke-20 begitu masif, baik di lokal Lampung maupun
dalam kaitannya dengan wilayah lain di Sumatera Selatan.
Nyatalah dari semua aktivitas itu banyak tercipta lapangan kerja
yang disumbang oleh swasta dan negara.359
B. Hubungan Perkembangan Perusahaan dan Kebutuhan
Tenaga Kerja
Masifnya pertumbuhan dan perkembangan perusahaan
perkebunan dan pertambangan di Sumatera Selatan khususnya
Residensi Lampung, menjadi pendorong tingginya kebutuhan
akan tenaga kerja yang semakin melampaui pasokannya hingga
akhir tahun 1929.360
Peran penting mereka sebagai salah satu
pilar komunitas ekonomi yang memacu perputaran produksi
komoditi tidak dapat dikesampingkan dalam membahas
serangkaian dan ekses kebijakan. Namun lebih jauh, para pekerja
dihadirkan tidak hanya bagi produksi, tetapi juga penopang
program pemerintah sebagai pembangun infrastruktur jalur-jalur
distribusi. Maka tidak heran jika pasar tenaga kerja begitu
dinamis.
Dinamika itu berupa ketersediaan dan permintaan tenaga
kerja, serta penciptaan regulasi dan deregulasi ketenagakerjaan
yang ujungnya berpengaruh pada permasalahan pendapatan,
penempatan, dan interaksi lintas batas dan komunitas. Adapun
359 Henk Laloli, Grenzen van de Ethische Politiek: het Technisch
Onderwijs en de Arbeidsmarkt in Nederlands-Indie, 1900-1941, (Amsterdam: -
- , 2001), hlm. 5. 360
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 303.
201
yang disebut terakhir merupakan dampak sosiologis yang tidak
kalah penting untuk dianalisis.
Bagi daerah-daerah di Buitenbezittingen, ketenagakerjaan
merupakan masalah permanen sejak menjadi arena ekspansi
modal asing pada masa liberal,361
tidak terkecuali Lampung. Di
Lampung, hal itu terjadi karena dua faktor, yakni menyangkut
kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, pangsa tenaga kerja
yang besar berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang
potensial untuk menyuplai, terlebih mereka memiliki kesempatan
ekonomi alternatif. Sedangkan dalam hal kualitas, ini terkait pola
kehidupan penduduk lokal yang melahirkan karakteristik dan
mental dalam etos kerja yang kerap tidak sesuai dengan standar
perusahaan. Sampai dinyatakan bahwa perusahaan-perusahaan
Eropa di Sumatra Selatan tidak akan yakin dengan keberadaan
mereka jika mereka menggunakan tenaga kerja dari penduduk
lokal.362
Ketimpangan antara penawaran dan permintaan tenaga
kerja membawa pekerja pada posisi tawar yang seharusnya
tinggi, namun dalam kasus upah umum pada perusahaan di
Sumatera Selatan, termasuk Lampung pada tahun 1927 nyatanya
yang relatif rendah di antara daerah lain di Sumatera.363
Walaupun memang tetap harus dilihat mengenai jenis dan status
ketenagakerjaannya.
361 M. Vierhout, Het Arbeidsvraagstuk in Verband met de
Noodzakelijke Ontwikkeling der Buitengewesten, (Weltevreden: Albrecht &
Co., 1921), hlm. 16. 362
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 96. 363
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 306.
202
Beberapa opsi yang dimungkinkan menjadi solusi seperti
penggunaan kuli kontrak dengan poenale sanctie sebagaimana
marak di Sumatera Timur, namun model seperti itu sudah banyak
mendapat kritik di masyarakat dan parlemen, sehingga pada
akhirnya pemerintah mengumumkan penghapusan tahap awal
terhadap hukum tersebut pada tahun 1918, padahal sanksi itulah
yang membuat tenaga kerja terpaksa bertahan. Ada pula
pemanfaatan para imigran mandiri musiman, namun mereka lebih
cenderung nyaman bekerja kepada pengusaha pribumi daripada
di perusahaan pemerintah atau swasta Eropa lainnya.364
Karena strategisnya perkara ketenagakerjaan, maka
pemerintah juga fokus untuk menangani permasalahan dan
memperoleh kepastian terhadap hal tersebut yang timbul dari
kepentingan kolonial dan pemodal di Lampung. Hingga akhirnya
dimunculkan program kolonisasi sebagai langkah yang dinilai
efektif untuk merealisasikan tujuan pembangunan ekonomi
dengan dua keuntungan sekaligus, yaitu memobilisasi manusia
untuk membangun ekonomi di negeri yang sepi dan mengurai
kepadatan penduduk dari tanah yang telah lama diperah.
1. Jenis Tenaga Kerja
Sebelum membahas kolonisasi, dianggap perlu untuk
mengetahui status ketenagakerjaan para kolonis yang bekerja di
364 Orang Banten yang bermigrasi ke Lampung tiap tahun dalam
jumlah besar tidak banyak terlihat bekerja di perusahaan, mereka lebih suka
mendapatkan penghasilan dengan bekerja pada petani lada Lampung dan
merasa lebih betah daripada di perusahaan Barat. Hoedt, Hlm. 96. Pengusaha
Lampung bertindak bijaksana baik terhadap pekerja bebas maupun kontrak.
H.G. Heijting, De Koelie Wetgeving..., hlm. 72.
203
perusahaan. Dalam hal tenaga kerja di Hindia Belanda, Hoedt
mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis berdasarkan asal
mereka dan tingkat keterikatannya dengan penyedia lapangan
kerja. Ketiganya ialah sebagai berikut:
a. Tenaga Kerja Lepas (loose arbeiders)
Pekerja lepas atau buruh harian lepas ialah mereka yang
berasal dari maupun bukan wilayah tempat perusahaan berada.
Pekerja jenis ini berafiliasi dengan perusahaan untuk layanan
tertentu, tetapi tidak berkewajiban menyediakan kapasitas kerja
bagi pemberi kerja di luar layanan yang disepakati tersebut.
Pekerja semacam itu umumnya digunakan untuk
pekerjaan seperti pembangunan rumah, pemindahan tanah,
penebangan hutan, dan sejenisnya. Dalam hal ini, Lampung
paling baik karena kedekatan lokasi dan besarnya peluang
ekonomi yang menguntungkan dalam kaitannya dengan Jawa,
sehingga sejumlah besar pekerja beremigrasi atas inisiatif mereka
sendiri untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Hingga bulan April 1927, jumlah pekerja lepas yang
bekerja di perusahaan-perusahaan mencapai sekitar 1.250, yang
merupakan 8% dari total jumlah pekerja yang dipekerjakan di
berbagai perusahaan di Lampung.
b. Tenaga Kerja Bebas (vrije arbeiders)
Tenaga kerja bebas ialah pekerja dari luar wilayah tempat
perusahaan berada. Pekerja jenis ini terkait dengan perusahaan
melalui perjanjian untuk waktu yang "pasti", -biasanya selama
enam bulan- dan jika terjadi pemutusan kontrak oleh pekerja,
204
perusahaan secara praktis tidak memiliki jalan lain untuk
menentangnya, melainkan harus mematuhi kewajiban yang
dikenakan padanya di pengadilan nasional.
Pasar tenaga kerja bebas yang “menguntungkan” bagi
pekerja ini terdapat di Sumatera Selatan. Dengan keadaan
kurangnya tenaga kerja, mereka jadi memiliki pemahaman bahwa
sampai pada batas tertentu perusahaan cukup bergantung
padanya, karena jika ia keluar, penggantinya tidak akan segera
tersedia. Hal demikian menciptakan peluang besar bagi mereka
untuk memutus kontrak jika ada peluang kerja yang menawarkan
pendapatan lebih baik.
Dalam hal pekerja jenis ini, sepertinya Lampung memang
mendapat perhatian khusus dengan dibuatnya peraturan melalui
Staatsblad 1924 No. 433. Yang demikian itu karena besarnya
jumlah emigran Jawa yang datang ke Lampung atas inisiatif
mereka sendiri untuk mencari pekerjaan.365
Rekrutmen masih
ditambah dengan tenaga kerja yang diperoleh dari program
kolonisasi. Sehingga migran Jawa mandiri maupun kolonisasi
merupakan pekerja yang memassalkan kategori ini.
c. Tenaga kerja kontrak (contract arbeiders/contractanten)
Tenaga kerja kontrak adalah pekerja yang berasal dari luar
kawasan tempat perusahaan berada, dan telah menandatangani
perjanjian kontrak kerja berdasarkan kuli ordonansi yang berlaku.
365 Werving Lampongsche Districten, Staatsblad van Nederlandsch-
Indie 1924 No. 433. K.J. Boeijinga, Arbeidswetgeving in Nederlandsch Indie,
Leiden: Drukkerij Nieuwe Leidsche Courant, 1926), hlm. 74.
205
Perjanjian tersebut berisi hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja yang ditetapkan dan diatur oleh hukum. Dengan
peraturan kriminal diberlakukan atas ketidakpatuhan terkait
ketetapan perjanjian, baik terhadap majikan maupun pekerja.
Hukuman yang ditujukan kepada pekerja biasa disebut "poenale
sanctie".
Kuli Ordonansi dengan poenale sanctie pertama kali
diterapkan bagi perusahaan pertanian dan industri di Sumatera
Timur berdasarkan Staatsblad 1880 No. 133 dan di Sumatera
Selatan pada tahun 1887.366
Poenale sanctie dianggap sebagai
satu-satunya cara yang tidak hanya untuk meyakinkan pemberi
kerja yang telah membayar harga tinggi di muka dan dengan
menjamin upah tertentu selama tiga tahun, tetapi juga cara untuk
membuat pekerja mendapat untung dari keamanan keberadaan
yang diberikan kepadanya selama tiga tahun dan mungkin lebih
lama.
Secara umum perusahaan di Sumatera Selatan tidak
memiliki banyak tenaga kerja kontrak seperti yang diinginkan
oleh perusahaan, hal demikian merupakan konsekuensi dari fakta
bahwa hampir semua perusahaan dengan modal relatif kecil,
sehingga untuk masa-masa panen yang membutuhkan tenaga
lebih banyak kerap digunakan pekerja bebas untuk membantu. Di
daerah Lampung, sumber pekerja bebas yang demikian itu
kebanyakan orang Jawa dari program kolonisasi.367
366 H.G. Heijting, De Koelie Wetgeving..., hlm. 06. J.W.J. Wellan,
Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 292. 367
P.J.S. Cramer, De Groote Land in Zuid Sumatra..., hlm. 12-13.
206
2. Pemenuhan Pasokan Tenaga Kerja dengan Kolonisasi
Langkah pemerintah yang menetapkan Jawa sebagai
sentra politik dan ekonomi menjadi salah satu alasan akselerasi
perkembangan pulau tersebut mencapai kemajuan yang pesat
setidaknya dengan diberlakukannya tanam paksa. Namun
sebagaimana tujuan dari kebijakan eksploitatif itu, kemajuan
ekonomi yang disumbang dari berbagai sektor yang sanggup
menggeser neraca kas Belanda menuju trend positif tidak lantas
mengerek kemakmuran penduduknya, sebaliknya malah
menampilkan kemiskinan akut dan masalah sosial lainnya di
daerah dengan populasi terbanyak di Hindia Belanda itu.368
Manisnya keberhasilan menguasai ekonomi Jawa dan
Madura membuat mereka berpikir untuk menggandakan
keberhasilan itu dengan senjata Undang-Undang Agraria. Pada
dekade kedua abad ke-20 berbagai diskusi mengemuka mengenai
sumber daya di daerah luar Jawa untuk makin mengembangkan
bidang pertanian dan pertambangan. Hal itu karena kepadatan
populasi yang hampir tidak memungkinkan untuk meningkatkan
produksi di Jawa dengan cara memperluas budidaya pada skala
yang signifikan dan peningkatan jumlah perusahaan pertanian
Eropa yang beroperasi di sana.369
Daerah primadona luar Jawa yang potensial dari sisi
posisi dan sumber daya itu ialah Sumatera. Sebuah pulau yang
strategis dalam jalur niaga, menguntungkan dalam kaitan dengan
368 Wibo Peekema, “Colonization of Javanese in the Outer Provinces
of the Netherlands East-Indies”, The Geographical Journal, Vol. 101, No. 4,
(April 1943), hlm. 145-146. 369
M. Vierhout, Het Arbeidsvraagstuk in Verband..., hlm. 04.
207
pusat-pusat perkembangan ekonomi Asia Tenggara seperti
Singapura dan Semenanjung Malaya. Hal demikian masih
ditunjang dengan kekayaan alam berlimpah yang belum banyak
diolah. Dari wilayah seluas itu, Lampung adalah salah satunya
dan dengan penggunaan lahan bagi perusahaan perkebunan
terbesar ketiga di seluruh Buitenbezittingen setelah Sumatera
Timur dan Aceh,370
serta paling dekat dengan Jawa.
Untuk mendukung semangat perluasan dan pembangunan
ekonominya di Lampung dengan jalan pembukaan perusahaan
sekaligus mencipta prasarananya,371
pemerintah memanfaatkan
program emigrasi yang merupakan bagian dari kebijakan Politik
Etis, sebagai sumber penyedia tenaga kerja lantaran minimnya
jumlah penduduk lokal yang dapat dan mau bekerja di
perusahaan, juga karena antusiasme mereka masih sangat kecil
bagi konsep ekonomi yang lebih besar dan kompleks.372
Dan
dalam penerapannya, program pemindahan penduduk itu diberi
nama kolonisasi (kolonisatie).
Masalah ini mulanya telah diperjuangkan oleh kaum
kapitalis yang diwakili oleh angota melalui wakilnya (partai
liberal) di parlemen sejak tahun 1860-an. Menteri Koloni,
Idenburg, menyetujui program kolonisasi ini untuk menyuplai
370 Jan O. M. Broek, “The Economic Development of the Outer
Provinces of the Netherlands Indies”, Jurnal Geographical Review, Vol. 30,
No. 2, (April, 1940), hlm. 188. 371
Penggunaan istilah “perusahaan” termasuk merujuk pula pada
pekerjaan umum pemerintah seperti konstruksi moda kereta api dan trem.
Heijting, De Koeli Wetgeving..., hlm. 32. 372
P.J.S. Cramer, De Groote Land..., hlm. 13. M. Vierhout, Het
Arbeidsvraagstuk in Verband..., hlm. 04.
208
kebutuhan tenaga kerja di perkebunan swasta di luar Jawa.
Ditambah lagi, Gonggrijp mengatakan bahwa pada tahun 1909 di
Sumatra telah berkembang perusahaan swasta meminta dukungan
kepada pemerintah untuk menyediakan tenaga kerja yang cukup
di perkebunan-perkebunan mereka.373
Melalui itu, terjadi kolaborasi antara pemerintah dan
swasta dalam kolonisasi untuk pengembangan sektor pangan
dengan kepentingan perusahaan perkebunan. Dengan demikian,
maka para pengusaha dapat memanfaatkan kesempatan yang
terbuka untuk menggunakan pekerja dari daerah padat penduduk
di Jawa dengan dukungan pemerintah.374
Rancangan program pemindahan orang Jawa ke daerah
yang jarang penghuni melalui format kolonisasi oleh pemerintah
dimulai pada tahun 1902 setelah ditemukan fakta terjadi
kelebihan penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah. Untuk
tujuan itu ditunjuklah H.G. Heijting, seorang asisten residen
Sukabumi yang bertugas melakukan penelitian dan mempelajari
secara seksama perihal “Emigrasi Keluarga Jawa ke
Buitenbezittingen” dan menyelidiki masalah perburuhan
perkebunan swasta di luar Jawa.375
373 Sudarno, Kebijakan Percobaan Kolonisasi di Gedong Tataan
(Lampung) Tahun 1905-1917, diakses dari
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article, pada 20 Februari
2019. 374
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 96. 375
Sudarno, “The Colonization Trial Policy in Gedong Tataan,
Lampung in 1905-1917”, Paramita: Historical Studies Journal, 28 (1), 2018,
hlm. 05.
209
Dalam kegiatan tersebut, penelitian diarahkan ke sekitar
perkebunan swasta, yaitu daerah yang membutuhkan tenaga kerja
dan dekat dengan calon peserta kolonisasi.376
Berdasarkan
pengamatannya, terdapat beberapa daerah yang memenuhi syarat
untuk masuk dalam nominasi tujuan kolonisasi. Akhirnya
terpilihlah Gedong Tataan di Residensi Lampung sebagai tujuan
pemindahan penduduk untuk pertama kalinya di Hindia Belanda
yang dilakukan oleh pemerintah, dan menerima kolonis secara
perdana pada tahun 1905.377
Bagi daerah tujuan kolonisasi, program ini mengemban
tiga hal penting untuk pengembangan wilayah. Nilai penting itu
ialah:378
1. Menjalankan peran negara untuk mengeksplorasi dan tidak
membiarkan daerah yang tidak atau belum tersentuh dengan
cara meningkatkan populasi secara bertahap melalui upaya
mendatangkan suku bangsa yang pertambahan populasinya
relatif lebih cepat dibanding penduduk asli.
2. Untuk pengembangan industri besar di Buitenbezittingen dan
menstimulasi munculnya usaha berbagai skala, sehingga
memajukan penduduk pedalaman. Hal demikian berarti akan
tersedia tenaga kerja yang menjadikan keadaan lebih baik
antara pengusaha dan pekerja daripada sistem pekerja
kontrak di bawah poenale sanctie.
376 Sudarno, “The Colonization Trial Policy..., hlm. 05.
377 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
04. 378
W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
05.
210
3. Untuk peningkatan produksi beras di daerah budidaya yang
makin berkembang.
Dari hal tersebut di atas, nampak yang menjadi perhatian
penting pemerintah ialah eksplorasi wilayah dengan jalan
pengembangan industri yang ditopang oleh pengadaan tenaga
kerja, adapun produksi padi ialah dampak ikutan dari
kelangsungan dan kemajuan kegiatan tersebut.
Dalam hal persyaratan, yang utama harus dipenuhi bagi
daerah kolonisasi ialah dapat diirigasi, mudah bagi penjualan dan
distribusi hasil produksi, wilayah yang tidak terlalu tidak sehat,
dan tidak lupa, jika memungkinkan terletak di pusat perusahaan,
sehingga kolonis selalu memiliki kesempatan untuk mendapatkan
uang, setidaknya untuk tahun-tahun permulaan.379
Dengan
demikian perusahaan akan memperoleh tenaga kerja dari area di
sekitarnya.
3. Jenis Kolonisasi
Rancangan selanjutnya bagi masa depan program ini,
kolonisasi akan dipisahkan menjadi kolonisasi pemerintah dan
kolonisasi atas inisiatif swasta atau kolonisasi perusahaan.
Kolonisasi pemerintah bertujuan memajukan eksploitasi
Buitenbezittingen sebagai kepentingan negara, sedangkan
kolonisasi atas inisiatif swasta dilakukan untuk kepentingan
langsung perusahaan, tetapi tentunya akan tetap dalam dukungan
dan pengawasan pemerintah. Jadi jenis pertama akan sepenuhnya
379 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
07.
211
bertujuan mewujudkan tiga kepentingan negara tersebut di atas,
dan yang terakhir ke daerah tujuan murni untuk bekerja sesuai
dengan persyaratan.380
Walaupun terdapat perbedaan, namun keduanya berjumpa
pada satu kepentingan yang sama, yakni pemenuhan kebutuhan
tenaga kerja di luar Jawa. Dengan sedikit perbedaan tujuan dari
dua kolonisasi itu, memunculkan istilah kolonisasi pertanian
(landbouw kolonisatie) untuk kolonisasi pemerintah dan
kolonisasi pekerja (arbeid kolonisatie) atau kolonisasi perusahaan
bagi pihak swasta. Untuk itu saya akan mengulas kedua program
tersebut dalam perannya mengisi kebutuhan tenaga kerja dan
membangun perekonomian Belanda di Lampung.
a. Kolonisasi Pertanian
Percobaan kolonisasi (kolonisatie proeven) yang mulai
direalisasikan pada tahun 1905 bertujuan memindahkan
penduduk miskin Kedu ke Lampung untuk menjadi petani dengan
membangun sistem sawah. Walaupun kemasannya ialah
kolonisasi pertanian, namun karena lahan yang disediakan masih
berupa hutan, maka kolonis belum dapat menjadi penduduk
sebagai petani yang produktif, tetapi cenderung sebagai buruh di
berbagai sektor ekonomi.
Hal tersebut sesuai tujuan lain yang lebih penting untuk
pemerintah kolonial dan pemodal asing, yaitu untuk memenuhi
380 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
05.
212
tenaga kerja infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan di luar
Jawa yang telah berkembang sebelumnya di daerah Lampung.
Secara umum perjalanan panjang proyek kolonisasi ini
mengalami pasang surut sejak pemberlakuannya. Hal demikian
bergantung pada konstelasi politik dan ekonomi yang
melingkupinya. Dalam hal tahapan pelaksanaan dapat dibagi
menjadi fase skala kecil atau uji coba dan fase skala besar yang
lebih tertata.381
Sedangkan berdasarkan penyelenggaraan dan
sistem yang berlaku, dapat dibedakan dalam tiga model
kolonisasi.
Dari sisi tahapan, fase uji coba berlangsung dari tahun
1905-1931. Di masa ini, dapat dikatakan pemerintah melakukan
kolonisasi secara terburu-buru dengan persiapan seadanya.
Bahkan disinggung bahwa pemerintah Belanda tidak menaruh
perhatian yang sungguh-sungguh terhadap program kolonisasi
pertanian ini. Hal tersebut dibuktikan dengan proyek perdana di
Gedong Tataan yang dilaksanakan tanpa survey pendahuluan
yang sistematis atau pemetaan lahan secara teliti dan tanpa suatu
rencana tata ruang yang baik, seperti penempatan lokasi
pemukiman, area persawahan, dan sistem irigasi untuk masa yang
akan datang. Akibatnya sejumlah desa tersebar di lahan-lahan
yang rendah yang seharusnya diperuntukkan bagi sawah.382
381 Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di
Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 9-10. 382
Karl J. Pelzer, “Ikhtisar dan Penilaian tentang Usaha Kolonisasi
oleh Pemerintah Hindia Belanda”, dalam Joan Hardjono (ed.), Transmigrasi:
dari Kolonisasi sampai Swakarsa, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 04.
213
Hingga didapati di hari-hari permulaan justru air menggenangi
rumah, tetapi tidak dengan sawah.383
Walau demikian, dalam rentang waktu tersebut,
pemerintah telah berhasil membuka dua daerah untuk kolonisasi,
yakni pertama Gedong Tataan di Afdeling Teluk Betung pada
tahun 1905 dan Wonosobo di Afdeling Kota Agung pada tahun
1921.
Kolonisasi fase kedua, yakni pemindahan skala besar
yang berlangsung pada tahun 1932-1941. Ini adalah bentuk
kolonisasi yang merupakan reaksi dari pemerintah atas pukulan
krisis ekonomi yang melanda dunia. Jika di fase sebelumnya
pemerintah terkesan “mengalir” saja, namun kali ini gelombang
repatriasi korban pengurangan tenaga kerja ke Jawa dari berbagai
perusahaan yang terdampak mampu menekan pemerintah untuk
melirik kembali dan menggarap secara serius program
kolonisasi.384
Pada masa ini, kolonisasi dilakukan dengan persiapan
yang lebih matang. Berbekal dari pengalaman fase pertama yang
sudah diidentifikasi sebab-sebab kegagalannya, sehingga
diformulasikan prosedur yang lebih efektif. Selain ke wilayah
yang telah dibuka sebelumnya, kini daerah tujuan baru untuk
kolonisasi ialah Afdeling Sukadana yang sudah dipersiapkan
dengan membangun sejumlah infrastruktur yang lebih besar dan
383 Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm. 15.
384 Sepanjang tahun 1928-1931 pemerintah tengah
mempertimbangkan penghentian program kolonisasi, hal itu karena melihat
kenyataan pelaksanaan kolonisasi fase percobaan yang hasilnya
mengecewakan. Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm. 10. Karl J.
Pelzer, Ikhtisar dan Penilaian..., hlm. 05.
214
berkualitas, seperti tiga buah jaringan irigasi untuk area seluas
71.000 hektar dan pembangunan kota baru yang posisinya di
tengah Residensi Lampung bernama Metro.385
Sebagai gambaran perbandingan ambisiusnya program
kali ini ialah jumlah orang Jawa yang berhasil dipindahkan lebih
besar daripada kolonisasi Gedong Tataan yang telah berjalan
sekitar 35 tahun. Sampai 1941, kolonisasi di Sukadana telah
menampung sebanyak 47.000 jiwa, sedangkan Gedong Tataan
masih di kisaran 38.000 jiwa.386
Beranjak ke masalah penyelenggaraan dan sistem yang
diterapkan, Amral Sjamsu dan penulis kolonisasi lainnya
membaginya dalam tiga model berdasar periode berlakunya,
yakni sebagai berikut:387
1. Kolonisasi dengan Pembiayaan Pemerintah (1905-1911)
Pada masa ini pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
menanggung semua biaya penyelenggaraan, termasuk jaminan
biaya hidup selama dua tahun dan segala perangkat kebutuhan
kolonis untuk membangun penghidupannya. Sehingga biaya
untuk percobaan perdana ini menjadi sangat mahal dan tidak
efektif, terlebih pula tidak diikuti oleh perpindahan penduduk
385 Kesimpulan dari penanggung jawab program, bahwa sebab
kegagalan fase uji coba ialah masalah infrastruktur. Dalam asumsi Heijting
orang Jawa sudah otomatis sanggup membangun sawah irigasi, ternyata
kenyataan lebih sukar dari yang dibayangkan, mereka butuh bantuan insinyur
Belanda untuk tata kelola air. Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm.
15. Karl J. Pelzer, Ikhtisar dan Penilaian..., hlm. 04. 386
Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm. 11. 387
M. Amral Sjamsu, “Penyelenggaraan Kolonisasi dan
Transmigrasi”, dalam Joan Hardjono (ed.), Transmigrasi: dari Kolonisasi
sampai Swakarsa, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 10-13.
215
spontan sebagaimana diharapkan. Oleh karena itu, maka
pemerintah menghentikan cara penyelenggaraan seperti ini dan
menetapkan suatu sistem lain bagi kolonisasi selanjutnya.
2. Kolonisasi dengan Sistem Pinjaman (1912-1922)
Pada periode ini pemerintah tidak lagi menanggung semua
biaya kolonisasi, tetapi hanya memberikan bantuan biaya hidup
sebesar f 22,50 bagi kolonis yang baru datang, sedangkan untuk
keperluan membangun rumah dan peralatan kehidupan
dipersilakan untuk melakukan pinjaman ke bank. Untuk itu,
pemerintah mendirikan De Lampongsche Bank pada tahun 1912
yang bertempat di Teluk Betung. Para kolonis diizinkan
meminjam hingga maksimal f 200 dan dilunasi selama sepuluh
tahun angsuran.388
Buruknya manajemen perkreditan, dalam hal ini
pemberian pinjaman yang mudah dan sangat royal, kesulitan
mengembalikan pinjaman karena kesulitan hidup para kolonis,
dan penyelewengan, mengakibatkan tidak sedikit uang negara
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan membuat bank tersebut
bangkrut dan dilikuidasi pada tahun 1928. Sehingga akhirnya
tujuan kolonisasi yang sukses tapi murahpun tidak tercapai.389
Sejatinya setelah tahun 1922, perhatian pemerintah
terhadap kolonisasi pertanian sangat menurun, sebagian karena
program kolonisasi ini sangat mahal dan terjadi persaingan dalam
mencari calon kolonis dengan para pencari petani jawa untuk
388 Sudarno, “The Colonization Trial Policy..., hlm 13.
389 Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm. 10.
216
bekerja sebagai kuli kontrak di perusahaan perkebunan di
Sumatera.390
Hingga puncaknya sekitar tahun 1928-1931, karena
pesimistis dengan buruknya hasil program kolonisasi, pemerintah
Belanda mempertimbangkan untuk menghentikannya, padahal
arus migrasi mandiri sudah mulai mengalir. Setiap tahunnya,
kurang lebih seribu orang Jawa pindah ke Lampung dengan biaya
sendiri tanpa memperoleh bantuan sedikit pun dari pemerintah.391
3. Kolonisasi dengan Sistem Bawon (1932-1942)
Pada periode ini kolonis yang baru datang akan menjadi
pekerja di sawah milik kolonis pendahulu dengan format
mengadopsi sistem bawon, yakni pembagian seperempat atau
seperlima hasil panen untuk pemanen, sehingga kebutuhan hidup
para kolonis baru lebih terjamin. Ternyata model ini memberi
hasil yang memuaskan bagi terwujudnya pemindahan kolonis
dalam jumlah yang besar dengan biaya yang kecil.
Pola demikian nyatanya hanya membawa kemakmuran di
tahun-tahun permulaan, karena di masa selanjutnya kehidupan
kolonis kembali jatuh pada kesengsaraan sebagaimana di daerah
asalnya. Hal demikian disebabkan bukan saja karena tidak ada
bimbingan dalam pembangunan hidup, akan tetapi yang utama
ialah karena pembangunan masyarakat kolonisasi didasarkan
pada sistem adat, hukum, dan susunan masyarakat kuno
sebagaimana di Jawa secara terpisah (enclave) di antara
390 Joan Hardjono, “Sejarah Kolonisasi dan Transmigrasi”, dalam
Joan Hardjono (ed.), Transmigrasi: dari Kolonisasi sampai Swakarsa,
(Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 02. 391
Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang:..., hlm. 10.
217
komunitas lokal di Lampung dengan tujuan membuat mereka
betah dan senang.
Hal itu menjadi berdampak ganda, karena umumnya
kolonis ialah penduduk miskin, maka jika mereka harus hidup
sebagaimana pola yang kolot di daerah asalnya, itu sama halnya
dengan memindahkan kemelaratan mereka ke daerah baru dan
membuat kehidupan mereka terkucil dari penduduk asli.
Akhirnya, terlepas dari fluktuasi kebijakan ini, sepanjang
berlangsungnya program kolonisasi sejak tahun 1905 hingga
1941, pemerintah kolonial telah berhasil memindahkan sebanyak
180.813 jiwa penduduk Jawa ke Lampung.392
Hubungan Kolonisasi Pertanian dengan Perusahaan
Sepanjang pelaksanaan program kolonisasi di Lampung,
daerah ini menjadi tujuan pemindahan penduduk Jawa bagi
pengerahan tenaga kerja ketika perekonomian mengalami
kemajuan, dan menampung para buruh korban pemutusan
hubungan kerja di saat krisis ekonomi melanda. Yang pertama
terjadi pada fase percobaan dan yang terakhir pada tahap
kolonisasi skala besar.
Pertama, pada fase percobaan, ketika para kolonis harus
membangun fondasi kehidupannya, selain mengolah lahan
miliknya, mereka juga bekerja sebagai buruh berstatus bebas di
perusahaan-perusahaan yang ada di sekitarnya. Sehingga menurut
392 J. M. Hardjono, Transmigration in Indonesia, (Kuala Lumpur:...,
1977), hlm. 18.
218
Welan mereka tidak terkategori sebagai pekerja penuh waktu.393
Dan sebagai pekerja bebas, maka harus dilakukan pengawasan
secara teratur dan ketat, sehingga mereka dapat bekerja dengan
aman dan nyaman.394
Menurut Schalwijk yang pernah memimpin kolonisasi di
Gedong Tataan, bahwa perusahaan di sekitar melibatkan kolonis,
perkebunan Departemen Pertanian juga dikelola oleh kolonis,
begitu pula dengan Layanan Sipil yang beroperasi dengan ratusan
kuli setiap hari. Jika lokasi perusahaan agak jauh, maka mereka
akan diantar jemput dengan truk yang kembali pada malam
hari.395
Sehingga diprediksi bahwa perusahaan di sekitar akan
semakin mengharapkan pekerja dari kalangan ini. Dan
berdasarkan laporan Lulofs, kepala Komite Kolonisasi
menyatakan bahwa para kolonis di Gedong Tataan pada tahun
1917 memperoleh upah sebesar f 90.000 per tahun dari berbagai
perusahaan.396
Sedikit berbeda cerita dengan Gedong Tataan, kolonisasi
di Wonosobo yang banyak menampung mantan kuli kontrak
perusahaan yang sudah habis masanya untuk diarahkan menjadi
kolonis,397
sehingga di luar sebagai buruh, terdapat kendala
karena mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan pengolahan lahan
393 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 304.
394 W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
07. 395
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 95. 396
Heijting, De Koeli Wetgeving..., hlm. 185. W.C. Schalkwijk Mzn.,
Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm. 05. 397
W.C. Schalkwijk Mzn., Kolonisatie in Nederlandsc Indie..., hlm.
08.
219
yang berat tanpa perintah langsung dan upah bulanan
sebagaimana kebiasaannya di perusahaan.398
Kedua, pada tahap kolonisasi skala besar, Lampung
kembali menjadi tujuan pemindahan penduduk Jawa. Hal ini
terjadi karena terjadinya depresi ekonomi yang membuat
sejumlah perusahaan mengurangi tenaga kerja dan
mengembalikannya ke daerah asal. Sehingga desa-desa yang
semula sudah mengalami masalah kependudukan harus ditambah
runyam dengan kembalinya mantan pekerja migran tersebut.
Maka berdasar kedua fakta itu, dapat saya simpulkan
bahwa kolonisasi pertanian di Lampung merupakan bagian dan
akhirnya juga penerima dampak dari politik ekonomi Belanda di
Nusantara. Karena daerah ini menjadi tujuan kolonisasi tidak
hanya ketika perkembangan ekonomi tinggi, tetapi juga pada saat
depresi akibat krisis ekonomi, Lampung kembali menjadi ajang
kolonisasi, sebagai langkah dan tujuan penyelamatan atas
permasalahan ekonomi sekaligus demografi.
b. Kolonisasi Perusahaan
1) Sejarah dan Prosedur Rekrutmen
Embrio kolonisasi pekerja yang dibuat oleh perusahaan
sejatinya sudah berlangsung sejak makin semaraknya perusahaan
perkebunan di Sumatera Timur. Bermula dari penggunaan tenaga
kerja Tionghoa, India, dan Jawa pada tahun 1885. Namun karena
398 Paula Hendrikx, Het Beloofde Land aan de Overkant
Grootschalige Overheidsgestuurde Emigratie en Kolonisatie van Java naar
Lampong, 1932-1941, diakses dari
https://dspace.library.uu.nl/handle/1874/294511, pada 20 Februari 2019.
220
adanya kesulitan dalam mendapatkan buruh Tionghoa akibat
Revolusi Tiongkok pada tahun 1912 yang memperketat
pengiriman buruh meninggalkan negara,399
akhirnya orang Jawa
lebih mengemuka, hal itu lantaran mereka juga berpengalaman
bekerja di sektor perkebunan dan upah yang lebih murah
dibanding mendatangkan pekerja dari daerah lain. Adapun
hadirnya pekerja Jawa direkrut dengan metode laukeh,400
yang di
kemudian waktu cara itu menjadi tonggak bagi pendirian
kolonisasi perusahaan.401
Metode laukeh ialah cara perekrutan tenaga kerja dengan
menggunakan pekerja pribumi sebagai agen, yakni pekerja
kontrak lama yang dapat diandalkan dan dikirim kembali ke
Jawa, terutama di desanya sendiri dengan jalan mempropaganda
kerabat, tetangga, dan teman untuk bermigrasi ke wilayah-
wilayah perusahaan tembakau di Sumatera Timur. Untuk
tugasnya itu, perekrut akan memperoleh komisi sebesar f 10
untuk setiap tenaga kerja baru yang berhasil diperoleh, sedangkan
calon pekerja akan mendapat premi sebesar f 25.402
Sesampainya
di perusahaan, pekerja akan bekerja di bawah sistem kontrak
dengan poenale sanctie untuk mengikat keberadaannya.
Di Lampung, bentuk yang demikian masih dipertahankan,
yakni menggunakan tenaga kerja dari penduduk padat di Jawa,
399 Darmiati, Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi..., hlm. 21.
400 M. Vierhout, Het Arbeidsvraagstuk in Verband..., hlm. 21.
401 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 126. 402
M. Vierhout, Het Arbeidsvraagstuk in Verband..., hlm. 21.
Heijting, De Koeli Wetgeving..., hlm. 82.
221
namun dengan perbedaan pada pola rekrutmen dan perjanjian
terkait sanksi. Hal demikian karena adanya rancangan
penghapusan bertahap terhadap poenale sanctie, sehingga dalam
proses rekrutmen akan dilaksanakan oleh pihak yang mendapat
legalisasi pemerintah dengan perjanjian kontrak kerja yang
dikonsep untuk lebih adil sesuai Staatsblad 1911 No. 540 yang
berisi revisi hak dan kewajiban perusahaan dan buruh.
Berdasarkan Staatsblad 1915 No. 693, salah satu bentuk
kemajuan di tahap ini ialah dalam bidang rekrutmen hanya boleh
dilakukan oleh perseorangan, badan hukum, atau asosiasi
pengusaha yang memperoleh lisensi dari Direktur Kehakiman.
Sementara jika pihak-pihak terkait tersebut akan menunjuk agen
untuk merekrut, maka agen tersebut pun wajib memperoleh izin
tertulis dari lembaga pemberi lisensi itu.403
Salah satu syarat penting untuk memperoleh lisensi itu
ialah bahwa dalam hal pekerja yang tiba dan meminta pembatalan
perjanjiannya serta ingin kembali ke Jawa karena beberapa
faktor, setelah diinvestigasi oleh Inspektorat Tenaga Kerja dan
terbukti, maka perusahaan harus mengizinkannya.404
Dengan demikian, di atas kertas, pencarian tenaga kerja
tidak lagi dilakukan oleh perseorangan atau kelompok-kelompok
terpisah sebagaimana sistem laukeh yang terlalu bebas dan
kadang cenderung kurang bertanggung jawab hanya demi
403 Staatsblad van Nederlandsche-Indie 1915 No. 693.
404 Beberapa faktor yang dapat menjadi hak pembatalan bagi koloni
pekerja antara lain ialah wanita tanpa izin dari suami, wanita yang masih butuh
perawatan ibu, yang meninggalkan anak-anak, pekerja yang tertipu, dan lain-
lain. Heijting, De Koeli Wetgeving, hlm. 86
222
mengejar komisi, tapi dilaksanakan oleh perusahaan sendiri dan
atau badan khusus perekrut tenaga kerja dari asosiasi pengusaha,
yang di Sumatera Selatan bernama Asosiasi Pertanian dan
Industri Sumatra Selatan (Zuid Sumatra Landbouw en
Nijverheids Vereeniging) yang kerap disingkat menjadi
Zusuma.405
Menindaklanjuti peraturan pemerintah itu, Zusuma
melakukan pertemuan pada tanggal 3-4 Maret 1916 yang
menghasilkan keputusan bahwa organisasi mereka sendirilah
yang akan menjadi pemasok tenaga kerja bagi perusahaan-
perusahaan yang terafiliasi. Dan untuk menjangkau calon tenaga
kerja, mereka mendirikan kantor perwakilan resmi pertama pada
pertengahan Desember 1916 di Yogyakarta dan selanjutnya
menyusul beberapa wilayah lain di Jawa Tengah dan Batavia.406
2) Pembentukan Kolonisasi Rejosari
Adanya rancangan penghapusan sanksi tersebut, membuat
para pengusaha memanfaatkan format lain untuk tetap menjamin
ketersediaan dan keberadaan tenaga kerja secara ajeg dengan
jalan pendirian komunitas tenaga kerja dalam bentuk
kolonisasi.407
Demi mendukung hal itu, pemerintah melalui
Departemen Kehakiman mengeluarkan lisensi kepada enam
perusahaan untuk melakukan rekrutmen sendiri (eigen werving)
405 J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 306.
406 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 105. 407
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 123.
223
bagi pembentukan koloni pekerja bebas. Tiga perusahaan di
Pantai Timur Sumatera, satu di Pantai Barat Sumatera, satu di
Manado, dan satu lagi di Residensi Lampung.408
Adapun
perusahaan semata wayang di Lampung yang memperoleh lisensi
itu ialah perusahaan perkebunan karet Rejosari.
Para kolonis di Rejosari direkrut dari daerah padat
penduduk di sekitar Karanganyar dan Kebumen pada tahun
1916.409
Calon kolonis yang direkrut dapat yang berstatus
berkeluarga atau belum menikah. Setelah mereka
menandatangani perjanjian untuk masa kontrak kerja selama
enam bulan, selanjutnya diberangkatkan ke Lampung dengan
biaya ditanggung oleh perusahaan.
Setelah masa berlaku kontraknya habis, para kolonis yang
ingin pulang, atau kontrak tidak diperpanjang oleh perusahaan,
maka akan dikembalikan ke Jawa secara gratis. Namun bagi para
kolonis yang bertahan, masing-masing mendapatkan sebidang
lahan yang cocok bagi hortikultura dan sebuah rumah untuk
ditinggali di sekitar area perusahaan.410
Dengan cara demikian
diharapkan dapat mendirikan sebuah kampung besar, dan kelak
mampu menarik serta para kerabat, yang darinya pekerja bisa
diperoleh untuk bekerja di perusahaan secara teratur.411
Demi membuat kolonis merasa betah di tanah barunya,
perusahaan Rejosari telah berusaha sebanyak mungkin untuk
408 Heijting, De Koeli Wetgeving..., hlm. 86-87.
409 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 123. 410
Heijting, De Koeli Wetgeving, hlm. 86. 411
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 123.
224
menciptakan keadaan sosial yang sama bagi kolonis seperti di
daerah asalnya. Namun, niat dari upaya tersebut nyatanya belum
mampu menggantikan rasa keterikatan dengan kampung
halaman, sehingga perusahaan memberi mereka kesempatan
untuk sesekali pulang kampung.412
Kebijakan tersebut justru menjadi kontraproduktif, karena
para kolonis hanya merasa “senang” jika menjadi penguasa tanah
dan rumah mereka, diizinkan untuk menggunakan tenaga mereka
sesuka hati bagi pekerjaan kebunnya sendiri, dan dari waktu ke
waktu dapat saja pergi ke kampung halaman untuk memenuhi
keinginan mereka. Hal itu terbukti dari seringnya permintaan para
kolonis untuk kembali ke Jawa. Dengan sikap kolonis yang
demikian, kepentingan perusahaan tidak akan terlayani dengan
optimal dan kolonisasi tidak akan memiliki manfaat bagi
kepentingan perusahaan.413
Akhirnya usaha mendirikan koloni
dengan cita-cita tersedianya sejumlah pekerja di masa mendatang
dapat dikatakan mengalami kegagalan. Kolonisasi di Rejosari
telah memburuk selama bertahun-tahun, karena para kolonis
secara bertahap kembali ke Jawa atau menyebar di wilayah
sekitarnya dan menghuni kampung-kampung bebas. Dari pekerja
yang direkrut pada tahun 1916 sebanyak 135 orang, -119 kepala
keluarga, 13 pria dan 3 wanita belum menikah, sehingga total
412 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 125. 413
T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 125.
225
warga koloni sebanyak 366 orang- hanya beberapa orang saja
yang tersisa.414
Sejatinya kolonisasi dengan desain seperti ini hanya dapat
memiliki nilai bagi perusahaan jika sudah penuh dengan orang-
orang yang telah tumbuh dalam masyarakat sosial-ekonomi dari
kolonisasi perusahaan. Namun dalam praktiknya, hal demikian
memerlukan waktu hingga beberapa generasi,415
sedangkan pada
umumnya perusahaan perkebunan di Sumatera Selatan masih
dalam tahap pengembangan, sehingga tidak berhasil.416
Di
antaranya ialah kolonisasi Rejosari yang akhirnya tidak mampu
melewati proses itu, sehingga cita-citapun akhirnya berlalu.
C. Dampak Sosial-Ekonomi
Semakin meningkatnya jumlah populasi dan kesuksesan
yang dicapai kolonis sepanjang program tersebut digulirkan, baik
dari koloni pertanian maupun perusahaan, membuat mereka
menjadi entitas yang perlu diberi perhatian lebih serius terkait
dengan keberadaannya yang bersinggungan dengan penduduk
asli.
Sebagai pendatang dengan kultur yang berbeda dan
penggunaan lahan yang semakin meluas, maka memunculkan
perdebatan tentang hak dan status masing-masing mengenai
kekuasaan atas tanah dan kelompoknya secara administratif
dalam kendali pemerintah. Untuk itu perlu disediakan pengaturan
414 Heijting, De Koeli Wetgeving, hlm. 117. Hoedt, hlm. 126.
415 T.G.E. Hoedt, Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra..., hlm. 126. 416
J.W.J. Wellan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht..., hlm. 305.
226
dalam hal hak ulayat tanah dan tata pemerintahan bagi kedua
komunitas demi terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan
kolonisasi, sehingga Belanda leluasa melancarkan pembangunan
ekonomi.
1. Status Penggunaan Tanah bagi Kolonisasi
Masyarakat Lampung memiliki dasar genealogi yang
tegas, dan teritorial menjadi faktor yang penting.417
Maka dalam
aspek sosio-politiknya, mereka telah mempunyai sistem untuk
mengatur komunitas dan wilayahnya, yakni pemerintahan
marga/mego. Marga itu sendiri menurut Wilken berasal dari kata
Sansekerta "varga" yang berarti pembagian suku atau keluarga.
Di Lampung, marga dikenal sebagai unit silsilah dalam suatu
bagian populasi. Dengan demikian, kata marga pada awalnya
telah ditetapkan sebagai satuan silsilah dan teritorial.418
Dengan konsep itu, maka kekuasaan atas tanah berada di
tangan marga. Sehingga bagi orang non-marga yang akan
menggunakan tanah, ataupun memungut hasil kekayaan alam dari
padanya, harus mendapatkan persetujuan dan membayar ulasan
(uang pengakuan) kepada pihak marga. Demikian pula program
kolonisasi yang sudah tentu akan menggunakan sebagian tanah
milik marga. Tapi, apakah pemerintah juga harus meminta
persetujuan dari kepala marga?
417 Kampto Utomo, “Marga Lampung dan Kedudukan Kaum
Pendatang”, dalam dalam Joan Hardjono (ed.), Transmigrasi: dari Kolonisasi
sampai Swakarsa, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 16. 418
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 03.
227
Ternyata pemerintah tidak merasa harus memperoleh
persetujuan tersebut. Sikap yang demikian dilatarbelakangi oleh
dua hal. Pertama, sejak stabilnya kekuasaan kolonial atas
Lampung tahun 1856, pemerintah tidak mengakui secara de jure
keberadaan pemerintahan marga dalam sistem administrasi di
Hindia Belanda, yang mereka tarik ke dalam sistem pemerintah
terendah justru level tiyuh (kampung). Kedua, berdasarkan
Staatsblad 1870 No. 118 yang menyatakan tanah liar yang tidak
dapat dibuktikan kepemilikannya oleh warga atau komunitas,
maka dianggap sebagai domain negara. Oleh karena marga tidak
diakui, maka otomatis hak ulayat atas tanah juga tidak berlaku.419
Walaupun Belanda sepenuhnya menyadari bahwa
tindakannya itu dianggap pelanggaran hak ulayat oleh marga,420
tapi kondisi demikian tetap diberlakukan pada masa kolonisasi
fase percobaan. Hingga memasuki tahun 1928, ketika pemerintah
akhirnya mengakui dan memasukkan pemerintahan marga ke
dalam sistem administrasi, maka dalam program kolonisasi dan
perluasan area selanjutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan
pihak marga yang hak ulayatnya akan dipergunakan.
2. Posisi Kolonisasi di antara Sistem Marga
Setelah permasalahan penggunaan tanah memiliki dasar
hukum, lantas bagaimana posisi para kolonis dan desanya?
419 Walaupun tidak diakui oleh pemerintah, eksistensi pemerintahan
marga tetap berjalan, dan sepanjang hak ulayat yang diklaim tersebut terbukti
sebagai lahan yang dibudidayakan, maka tanah itu diakui negara sebagai hak
milik marga. Staatsblad 1870 No. 55 Pasal 62. 420
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 127.
228
Apakah desa-desa mereka akan dimasukkan menjadi bagian
marga atau di luar marga? Mengingat jumlah mereka di akhir fase
percobaan sudah mencapai kurang lebih 30.000 jiwa di Gedong
Tataan dan 3500 di Wonosobo.
Sebagai perbandingan, di Lampung terdapat 58 marga
dengan kekuasaan teritorial rata-rata sekitar 500 km², tiap marga
terdiri atas beberapa kampung sebagai unit administrasi terendah
marga dan tempat tinggal warga. Dengan jumlah populasi marga
mencapai 303.598 sampai tahun 1930, maka rerata warga
masing-masing marga sejumlah 5234 jiwa.421
Mengamati statistik kedua populasi itu, berarti jumlah
seluruh kolonis sudah mencapai 11% dari penduduk marga. Dan
terus bertambah di fase kolonisasi besar yang hingga tahun 1941
menembus angka 180.813 jiwa, itu baru dari kolonisasi pertanian
saja, belum termasuk kolonisasi perusahaan dan pekerja bebas
lainnya.
Jawaban dari pertanyaan di atas memiliki tiga opsi, yaitu:
memukimkan kolonis di kampung-kampung orang Lampung,
mendirikan desa kolonis di dalam lingkup marga, dan mendirikan
desa kolonis di luar lingkup marga.422
Alternatif pertama
sepertinya tidak menjadi pilihan ketika kolonisasi dicanangkan,
karena selain unsur genealogis kampung Lampung sangat kuat,
sehingga tidak memungkinkan orang di luar silsilah menjadi
warganya, dan memang faktanya kolonis dimukimkan dengan
421 Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 08.
422 Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 123.
229
membangun desa sendiri. Maka sekarang menyisakan dua pilihan
saja.
Pada percobaan kolonisasi, ternyata opsi mendirikan desa
di luar lingkup margalah yang digunakan, selain karena marga
belum diakui pemerintah, hal itu lebih karena pertimbangan
bahwa orang Jawa mau dipindahkan jika daerah barunya ditata
sebagaimana pola kehidupan di daerah asalnya, dan itu jelas
sangat berbeda dengan konsep orang Lampung. Maka dibuatlah
mereka sebagai komunitas dengan identitasnya sendiri. Sesuai
politik enclave yang diterapkan Belanda.423
Kebijakan berubah setelah pemerintah mengakui
pemerintahan marga pada tahun 1928 dan tidak lagi menghendaki
adanya eksklusifitas yang baru.424
Di masa ini kembali terjadi
perdebatan antara mengintegrasikan atau tidaknya desa-desa
koloni ke dalam lingkup marga. Untuk menentukan itu
dimunculkan sebuah syarat berupa ambang batas, yakni jika
jumlah penduduk desa-desa koloni lebih besar dari populasi
marga, maka komunitas koloni tersebut menjadi independen,
begitupun berlaku sebaliknya, pemerintah menginginkan
sejumlah desa koloni kecil yang tersebar dalam marga untuk tetap
berada di dalam marga.425
Dengan syarat tersebut, maka diputuskan bahwa
kolonisasi Gedong Tataan yang telah besar dan berkembang
423 Kampto Utomo, “Marga Lampung..., hlm. 24.
424 Pemerintah mulai berupaya meniadakan pembentukan masyarakat
kantong, dan menjadikan inklusi sebagai pedoman membentuk pemukiman,
baik itu marga baru atau kolonisasi yang baru setelah tahun 1930-an. 425
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 133.
230
menjadi 22 desa tetap berada di luar marga, bahkan disebutkan
bahwa kedua belah pihak, baik marga maupun kolonis sama-
sama enggan digabungkan.426
Sedangkan kolonisasi Wonosobo
dimasukkan dalam lingkup marga. Adapun kolonisasi di Afdeling
Sukadana yang dibuka tahun 1932, walaupun populasinya telah
melampaui anggota marga, yaitu 15.000 jiwa di dalam marga
Batanghari dan Unyi yang warganya hanya 7.187 jiwa, tetap
dimasukkan ke dalam marga.427
Dan untuk kolonisasi Metro yang
dibuka tahun 1935 dengan anggota yang juga lebih besar dari
warga marga, masih dalam pertimbangan untuk memasukkan
atau memisahkan dari marga dan belum diputuskan hingga invasi
Jepang.428
Untuk kolonisasi yang berada di luar marga seperti
Gedong Tataan, ketika penduduknya makin besar dan harus
melakukan perluasan wilayah pada tahun 1930, mereka diizinkan
menggunakan hak ulayat marga Way Lima, Way Semah, dan
Pugung yang berbatasan dengannya. Untuk itu, dalam diskusi
dengan pemerintah telah disepakati antara dewan marga dengan
kolonis, bahwa kolonis akan memberi kompensasi kepada marga
atas tanah yang digunakan sebesar f 600 dan ganti rugi juga
diberikan pemilik tanaman buah-buahan, kebun lada, dan
sejenisnya.429
426 Kampto Utomo, “Marga Lampung..., hlm. 24.
427 Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 129.
428 Kampto Utomo, “Marga Lampung..., hlm. 26.
429 Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 128.
231
3. Perbedaan Kebijakan Kolonisasi Dalam dan Luar Marga
Setelah mengetahui posisi kolonisasi dalam sistem marga,
selanjutnya adalah penting mengenali perbedaan yang diperoleh
bagi kolonisasi yang berada di dalam dan di luar lingkup marga.
Dengan itu, maka dampak sosiologis dari politik ekonomi
Belanda atas Lampung terhadap komunitas lokal dapat dilihat.
Mengenai kebijakan kedudukan desa, bagi desa-desa
kolonisasi yang berada di luar lingkup marga, ia berhak
membentuk sistem pemerintahan otonom dengan berbagai
perangkatnya sebagaimana di Jawa, dan dijadikan unit
administrasi terendah pemerintah. Gabungan desa-desa tersebut
akan menjadi asosiasi yang dikepalai oleh wedana atau asisten
wedana. Sedangkan desa-desa kolonisasi yang masuk dalam
marga, maka berlaku aturan marga, walaupun tidak ada halangan
untuk membentuk sistem pemerintahan desanya sebagaimana di
Jawa, yang penting kedudukannya di bawah marga. Dan
margalah yang menjadi unit administrasi terendah pemerintahan
Hindia Belanda.430
Untuk kebijakan bagi kolonis yang desanya di luar marga
intinya berjalan sesuai kehendaknya dan selayaknya desa di
tempat asalnya. Sedangkan yang menarik ialah fakta sosial bagi
kolonis yang menjadi bagian dari marga. Jika ini bisa dianggap
sebagai kelebihan, bagi desa-desa kolonisasi yang berada dalam
lingkup marga dibebaskan dari membayar retribusi atas
430 Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 130.
232
penggunaan hak ulayat meski mereka bukan anggota adat.431
Walaupun antara kolonis dan orang Lampung diberi layanan
marga yang sama, di sisi lain terdapat kebijakan yang sering
menjadi landasan keinginan kolonis menjadi otonom, seperti
kolonis jadi memiliki kerja wajib berganda, yakni di desa dan di
tingkat marga. Ditambah lagi kolonis harus berkontribusi untuk
biaya perjalanan kepala marga.432
Untuk kebijakan administratifnya ialah kepala desa-desa
koloni masuk dalam dewan marga dan pengadilan marga untuk
mewakili kepentingan kolonis, tetapi mereka tidak memiliki hak
pilih aktif maupun pasif untuk jabatan kepala marga sebagaimana
para kepala kampung Lampung. Dalam hal perekonomian,
pendapatan kepala desa dari janggolan sebesar satu pikul padi
pun harus dibagi sepertiga hingga dua pertiga untuk kepala
marga. Hal sama juga berlaku bagi persentase pengumpulan
pajak pemerintah, kepala marga akan mendapat jatah.433
Dengan kebijakan-kebijakan itu, nampak bahwa marga
diuntungkan oleh keberadaan kolonis, sehingga Belanda dapat
mengatakan bahwa marga kini memiliki keunggulan moneter
yang dibangun berfondasikan desa-desa kolonisasi, walaupun
akhirnya terjadi silang sengkarut antara kepentingan bisnis
pribadi dan institusi.434
431 Terdapat perbedaan antara menjadi warga marga dengan anggota
adat. Kasus untuk menjadi anggota adat cukup jarang, jikapun ada kembali lagi
pada unsur genealogis, yakni faktor perkawinan. 432
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 131. 433
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 131. 434
Jacobus van der Zwaal, Inlandsch Gemeentewezen..., hlm. 133.
233
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keberadaan kolonis
secara umum nyata menjadi salah satu elemen penggerak
perekonomian di Lampung, baik sebagai anggota masyarakat,
pengolah tanah, hingga pekerja perusahaan. Bagi kolonisasi di
luar marga dapat berbagi ilmu tentang pengolahan sawah dan
irigasinya. Lebih dari itu, kolonisasi di dalam lingkup marga
bahkan menyumbang tenaga, pikiran, juga dukungan finansial
sebagai buah kebaikan atas hak ulayat yang berhasil
dibudidayakan.
234
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ambisi harta yang menjadi energi bagi perjalanan panjang
bangsa-bangsa Eropa menyambangi dunia timur menjadikan
mereka mencipta segala cara dan daya untuk menguasai secara
langsung sumber-sumbernya. Tamu Barat yang datang diwakili
petualangan para pedagang, akhirnya membentuk kongsi dan
membawa pemerintahnya pada kolaborasi yang melahirkan mesin
penghisap kekayaan negeri-negeri. Sebagai model untuk
mewakili keseluruhan mereka, sebut saja VOC di Indonesia.
Ada banyak jalan yang mereka tempuh untuk itu, mulai
dari VOC hingga pemerintah Hindia Belanda melakukan hal
serupa, yakni kompromi, koalisi, koersi, intervensi, dominasi,
hingga akhirnya hegemoni. Hegemoni terhadap pemerintah dan
rakyatnya yang mereka sebut pribumi. Sebagaimana diurai dalam
tesis ini, muara dari kesemuanya itu ialah penguasaan ekonomi.
Lalu apa jawaban dari rumusan masalah tentang bagaimana
politik ekonomi Belanda terhadap Lampung pada tahun 1800-
1942? Berikut saya uraikan berdasarkan landasan teori.
Berpedoman pada landasan teori, maka saya simpulkan
bahwa strategi Belanda menguasai Lampung dalam bidang
ekonomi dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, kolonialisasi
dengan strategi politik dan militer. Kedua, hegemoni dalam
bidang politik dan ekonomi. Dengan ciri pembangunan ekonomi
hegemoni kolonial yang menciptakan ketergantungan pihak yang
didominasi terhadap pendominasi.
235
Tahap pertama menuju kolonialisasi Belanda di Lampung
ialah dengan strategi politik untuk mengakuisisi teritori. Langkah
ini digunakan di awal ketika masa VOC ingin mengambil alih
kekuasaan Banten atas Lampung dengan tujuan memonopoli
perdagangan lada. Caranya ialah menjalin kemitraan dengan
Banten di bidang perdagangan yang secara perlahan ikut ambil
posisi pada intrik internal kesultanan dengan berdiri bersama
Sultan Haji.
Sebuah drama koalisi yang kompromistis dari bentuk
pemihakan yang tidak gratis, karena bantuan Belanda harus
segera dibayar tunai dengan hak monopoli lada setelah
kemenangan tercapai. Akhirnya strategi ini berhasil dengan
memperoleh wilayah serta kegiatan ekonomi Lampung dalam
kerangka penyerahan (cessie) pada tahun 1682, walaupun masih
dengan adanya penerimaan dan penolakan dari penduduknya.
Meskipun sudah memperoleh hak monopoli dari Banten,
kenyataannya kehadiran Belanda di Lampung tidak berjalan
sesuai harapan, karena banyaknya kekuatan yang berkompetisi di
wilayah ini, baik itu penguasa-penguasa lokal, maupun pihak luar
yang berkepentingan seperti Palembang dan Inggris, serta para
perompak dan pihak pengacau lainnya hingga abad ke-19 di masa
pemerintah Hindia Belanda.
Mengalami situasi demikian, Belanda merasa tidak akan
mungkin dapat menguasai dan membangun ekonomi di wilayah
yang tidak terkendali. Maka strategi kedua pun dilancarkan, yaitu
strategi militer untuk berlangsungnya penaklukan (conquest)
demi mengendalikan keadaan. Ekspedisi militer sejatinya sudah
236
dimulai sejak pertengahan abad ke-18, namun baru tuntas satu
abad kemudian, tepatnya pada tahun 1856 setelah memenangkan
pertempuran pada Perang Lampung menghadapi Raden Intan II.
Jadi dua strategi di atas digunakan untuk mencipta kedaulatan
wilayah dan membangun hegemoni sebagai prasyarat penguasaan
di bidang ekonomi.
Tahap kedua ialah hegemoni. Dengan tuntasnya
penguasaan wilayah dan membangun otoritas yang stabil, maka
untuk mengokohkan kemenangan itu dilakukanlah hegemoni di
ranah politik dengan mendekonstruksi dan mengintegrasikan
kekuasaan lokal marga-marga yang mulanya otonom ke dalam
sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda melalui format
Margastaat. Dengan cara itu diharapkan akan mencegah
berhimpunnya kembali pribumi dan meredam potensi terjadinya
gejolak penentangan dan perlawanan. Sehingga segala kebijakan
dapat dirumuskan dan direalisasikan.
Setelah politik diamankan, maka hegemoni ekonomi
dapat dijalankan dengan lebih leluasa. Prosesnya ialah dengan
dikeluarkannya serangkaian kebijakan ekonomi yang disebut
dengan istilah politik ekonomi sebagai sarana ekstraksi di
berbagai sektor yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Ketiga bidang itu dilakukan dengan pemanfaatan dan pengerahan
modal dan teknologi sebagaimana prinsip kolonialisme modern.
Cara kerja strategi ini dilakukan dengan menerapkan instrumen
teknologi dan modal tinggi di semua kegiatan ekonomi, sehingga
tidak dapat disaingi oleh pribumi yang perlahan peran mereka
menepi. Dalam kondisi seperti itu rakyat hanya akan menjadi
237
objek dalam keseluruhan sistem ekonomi yang kendalinya berada
di tangan pemerintah koloni.
Kegiatan ekonomi pertama yaitu sektor produksi. Bidang
ini didorong oleh dan untuk kekuatan modal. Hal ini dibuktikan
dengan pembukaan tanah-tanah koloni baik milik rakyat maupun
pemerintah bagi investasi dan berdirinya perusahaan-perusahaan
asing yang produknya berorientasi ekspor melalui Politik
Ekonomi Liberal dengan kebijakan Agrarische Wet dan aturan
turunannya khusus Lampung berdasarkan Staatsblad 1885 No.
45. Sehingga perlahan tapi pasti usaha produksi rakyat terkikis
dan menipis. Sebagaimana data Departement van Binnenlandsch
Bestuur bahwa tanah yang telah disewa oleh perusahaan yang
bergerak di bidang perkebunan karet dan kopi sampai tahun 1914
seluas 360.267 hektar dengan nilai sewa sebesar f 514.668 per
tahun.
Sektor selanjutnya ialah distribusi. Sebuah kegiatan yang
mensyaratkan ketersediaan sarana. Dari situ lahir seperangkat
kebijakan yang merupakan hasil analisa terhadap potensi dan
hambatan terhadap pengembangan ekonomi dan perlunya
penyediaan sarana distribusi. Di Lampung, proses itu melahirkan
keputusan politik berupa Kajian Kereta Api pada tahun 1902,
pembukaan pelabuhan-pelabuhan bagi lalu lintas ekspor-impor
beradasarkan Staatsblad 1906 No. 191, dan pembangunan
pelabuhan baru bernama Oosthaven, serta Rencana Jalan Umum
Sumatera pada tahun 1914.
Dalam pembangunan sarana tersebut, jelas sangat
diperlukan kekuatan teknologi dan kapital untuk menciptakan
238
jaringan transportasi yang andal guna mendukung kelancaran
aktivitas ekonomi meliputi jalan raya, sistem moda kereta api,
dan pelabuhan dengan perangkat perkapalan dan pengapalannya.
Semua itu dibangun dan diopersikan oleh pemerintah secara
terintegrasi dan menghubungkan pusat-pusat ekonomi. Walaupun
masyarakat belum begitu memerlukan semua itu, karena memang
pemerintah menyediakan untuk menjamu tamu, akhirnya
masyarakat terserap mengikut alur pembangunan infrastruktur,
perlahan meninggalkan gerobak dan perahu yang selama ini
menjadi kultur.
Kegiatan ekonomi lainnya ialah sektor konsumsi, yang
merupakan upaya pemenuhan kebutuhan, baik bagi masyarakat
maupun pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan terkait kebutuhan
lokal dan nasional. Dalam hal permasalahan lokal yaitu
kekuarangan beras yang dituntaskan dengan kebijakan impor,
selain juga kolonisasi dan pembangunan sarana irigasi untuk
mengembangkan budidaya padi dengan sistem sawah. Sedangkan
permasalahan nasional yang berdampak pada kebijakan di
Lampung ialah pasokan garam yang produksi dan distribusinya
dimonopoli oleh negara berdasarkan Bepalingen tot Verzekering
van het Zoutmonopolie yang disahkan dengan Staatsblad 1882
No. 73. Di sisi lainnya, sambil ekonomi dijalankan dan
berkembang, “kesejahteraan” mulai naik, maka saatnya beragam
pajak ditarik.
Pengenaan pajak terhadap pribumi yang tidak untuk
kembali bagi kesejahteraan dan penyediaan layanan publik, tetapi
239
bagi infrastruktur berupa jalan raya, kereta api, dan pelabuhan
yang disediakan bagi perusahaan asing untuk mengekspor produk
yang mereka hasilkan di tanah ibu pertiwi. Dengan berbagai
alasan, hanya sedikit yang dilakukan untuk memberikan
pelayanan publik kepada penduduk pribumi; sekolah, klinik, dan
rumah sakit yang keberadaannya lebih sering disediakan oleh
organisasi non-pemerintah.435
Progres perekonomian dari serangkaian politik ekonomi
Belanda tersebut mendorong kenaikan kebutuhan akan tenaga
kerja di Buitenbezittingen, khususnya Lampung, namun di Jawa
justru memicu ketimpangan pendapatan, dan akhirnya
kemiskinan dari pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan.
Kondisi di kedua wilayah itu layaknya menggambarkan pasangan
antara masalah dengan solusi. Maka mengalirlah penduduk Jawa
ke Lampung, baik sebagai tenaga kerja maupun petani dalam
format kolonisasi. Bahkan ketika perekonomian dunia mengalami
kelesuan, kolonisasi ke Lampung kembali disemarakkan,
sehingga bagaimanapun keadaan ekonominya, Lampung tetap
dikenai “dampaknya”. Dampak itu tidak hanya masalah
ketenagakerjaan dan kependudukan, tetapi arus besar migran
tersebut merembet ke ranah sosial. Maka dibuatlah aturan sosio-
politik bagi kolonis dalam berdampingan dengan penduduk asli.
Bagian akhir, sebagaimana diuraikan dalam teori, bahwa
kolonialisme ialah upaya pembentukan supremasi atas politik dan
ekonomi, penjarahan dan eksploitasi, serta hegemoni. Sedangkan
435 Anne Booth, “Varieties of Exploitation in Colonial Settings...,
hlm. 61.
240
hegemoni sendiri merupakan upaya penciptaan dominasi dan
hubungan ketergantungan yang asimetrik dalam berbagai bidang
yang dihegemoni. Dari ketiga sektor kegiatan ekonomi di atas,
tampaklah bahwa yang menjadi karakter dari pengembangan
ekonomi kolonialisme ialah eksploitatif, menguasai dan
menjadikan segalanya sebagai properti, serta menciptakan
ketergantungan dan sub-ordinasi. Kondisi ketergantungan ialah
suatu keadaan ekonomi pihak yang dihegemoni dipengaruhi oleh
kekuatan hegemonik, sehingga pihak sub-ordinat yang tergantung
hanya sebagai penerima akibat saja.
Dalam kekuasaan Belanda sepanjang abad ke-19 sampai
20, Lampung menjadi sasaran bagi eksploitasi dan dominasi
modal dari pusat hegemonik untuk memproduksi bahan baku dan
produk pertanian yang berorientasi ekspor demi memenuhi
kebutuhan konsumsi Eropa yang menguntungkan bagi Belanda.
Produktifitas pun akhirnya tumbuh dan berkembang, terbukti
dengan ekspor beberapa produk dalam jumlah besar, utamanya
ialah lada, kemudian ditunjang oleh karet dan kopi yang
kesemuanya memiliki nilai komersil tinggi. Dengan demikian,
dalam fenomena kolonialisme modern ini, Belanda menjadi sang
penikmat, dan Lampung sebagai penerima akibat, baik itu positif
terlebih lagi yang negatif.
B. Saran
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memahami
sejarah dinamika perekonomian Lampung terkait faktor alamiah
dan manusianya, serta motor penggeraknya yang dipandu dengan
241
seperangkat kebijakan ekonomi untuk menghadirkan penataan
program terencana jangka panjang oleh Pemerintah Belanda.
Maka jika masa lalu hal demikian dilakukan oleh penjajah demi
kepentingan mereka, kiranya hari ini dapat lebih membara karena
dilandasi kepentingan bersama di era merdeka.
Mengingat basis perekonomian Lampung masa kini yang
masih berlandaskan sektor agraris, menemukenali potensi daerah
yang dapat dikembangkan kembali dari riwayat masa lalu juga
masih sangat relevan agar tidak sekadar disematkan sebagai jati
diri simbolik “Lampung tanoh lado” dan kopi pada lambang
daerah. Berkaca dari Belanda yang membangun rel kereta,
pelabuhan, dan jalan raya melalui kebijakan ekonominya, lahan-
lahan perkebunan kita juga masih banyak yang belum mendapat
kemudahan akses dan membutuhkan kemauan politik yang kuat
agar bersama meraih sukses.
Di bidang akademik, penelitian yang sedari awal saya
tujukan untuk menambal jarangnya penulisan tentang Lampung,
harapannya karya ini dapat dikembangkan lagi dan dielaborasi
lebih rinci, agar sejarah Lampung memiliki sumbangsih bagi
pengetahuan, baik secara umum untuk menginspirasi pada tataran
nasional maupun pribadi, karena pengetahuan bagi kita Ulun
Lampung adalah juga amunisi untuk piil yang dijunjung tinggi.
242
DAFTAR PUSTAKA
A. Staatsblad
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1870 No. 118.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1882 No. 73.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1885 No. 45.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1898 No. 24.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1901 No. 20.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1901 No. 407.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1911 No. 540.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1912 No. 310.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1915 No. 693.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1919 No. 407.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1924 No. 433.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1925 No. 353.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1926 No. 221.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1927 No. 193.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 No. 362.
B. Catatan/Laporan Diterbitkan
Centraal Bureau voor de Statistiek. Statistisch Jaaroverzicht van
Nederlandsch Indi -Statistical Abstract for the
Netherlands East-Indies 1928. Buitenzorg: Statistisch
Kantoor. 1928.
243
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen. De Buitenbezittingen
1904 tot 1914. Afl. X, Deel 1.
De Bestuurszaken der Buitenbezittingen. De Handelsbeweging
der Buitenbezittingen in 1914 Deel II. Weltevreden:
Albrecht & Co. 1915.
Departement van Binnenlandsch Bestuur. Cultuuradresboek voor
Indie. (Batavia: Landsdrukkerij. 1915.
Departement van Binnenlandsch Bestuur. Het Zoutmonopolie.
Batavia: Ruygrok & Co. 1919.
Directeur der Burgerlijke Openbare Werken. Rijwegen of
Spoorbanen. Batavia: Papyrus. 1913.
Economisch Archief van Nederland en Kolonie. (Amsterdam:
Economisch Archief van Nederland en Kolonien N.V.
International Rubber Congress and Exhibition at Batavia 1914.
Amsterdam: Bureau voor Handelsinlichtingen
Commercial Intelligence Office. 1914.
Netherlands-East-Indian Harbours. Department of Public Works:
Batavia. 1920.
Spoorwegverkenning in Zuid Sumatra. Batavia: Javasche
Boekhandel & Drukkerij. 1904.
Weitzel, A. W. P. Schetsen uit het Oorlogsleven Nederlandsch
Indie de Lampongs in 1856. Gorinchem: J. Noorduijn &
Zoon. 1862.
C. Surat Kabar
Algemeen Handelsblad, 26 November 1916.
Algemeen Handelsblad, 06 Agustus 1917.
Bataviaasch Nieuwsblad, 07 Agustus 1937.
De Indische Courant, 27 Desember 1937.
244
De Sumatra Post, 18 Agustus 1922.
De Sumatra Post, 23 Juni 1919.
De Sumatra Post, 25 Juli 1924.
De Sumatra Post, 31 Maret 1937.
De Telegraf, 05 April 1921.
De Telegraf, 05 Januari 1929.
De Telegraf, 10 Desember 1926.
De Tijd, 24 Oktober 1930.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 26 November 1916.
D. Majalah
“De Pepercultuur”. Economisch-Statistische Berichten, 5 April
1922, No. 327.
De Indische Mercuur, Vol. 34, No. 49, 05 Desember 1911.
“Historisch Overzicht van de Expeditie naar de Lampongsche
Districten in het Jaar 1856”, Militaire Spectator,
Tijdschrift voor het Nederlandsch Leger, Vijfde Deel,
(1860).
“Topographische Beschrijving van Telok Betong en Deszelfs
Naaste Omstreken”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 8ste Deel, (Nieuwe
Volgreeks, 4e Deel, 1862).
E.B. Kielstra, “De Lampongs”, Onze Eeuw, Jaargang 15, 1915.
F. G. Steck, “Topographische en Geographische Beschrijving der
Lampongsche Districten”, Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 8ste Deel,
Nieuwe Volgreeks, 4e Deel, 1862.
245
G.J. Harrebomee, “Eene Bijdrage over den Feitelijken Toestand
der Bevolking in de Lampongsche Districten: Rangen en
Waardigheden, Uitspanningen en Kleeding, Godsdienst,
Huwelijk en de Positie der Vrouw”, Bijdragen tot de Taal-
, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, 34ste
Deel [4e Volgreeks, 10e Deel] (1885).
H.D. Canne. “Bijdrage tot de Geschiedenis der Lampongs”,
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land, en Volkenkunde,
Deel XI, Vierde Serie, 1862.
Kohler, “Raden Intan, Bijdrage tot de Kennis der Geschiedenis
van de Lampongs”, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie,
Eerste Deel, (1875).
P.H. van der Kemp, “Raffles' Bezetting van de Lampongs in
1818”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indië, Deel 50, 1ste Afl. (1899).
E. Buku
Abdullah, dkk. Kamus Bahasa Lampung-Indonesia. Bandar
Lampung: CV. Setiadji. 2008.
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian (ed.). Indonesia dalam Arus
Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve. 2012.
Adamson, Walter. L. Hegemony and Revolution. Antonio
Gramsci’s Political and Cultural Theory. California:
University of California Press. 1980.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1993.
Atsushi, Ota. Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten:
Masyarakat, Negara, dan Dunia Luar Banten 1750-1830.
Serang: Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Press. 2009.
246
Bayly, C.A. dan D.H.A. Kolff (ed.). Two Colonial Empires.
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers. 1986.
Benassy-Quere, Agnes, et.al. Economic Policy: Theory and
Practice. New York: Oxford University Press. 2010.
Blink, H. Nederlandsch Oost-Indie als Productie en
Handelsgebied. „S-Gravenhage: Mouton & Co.,
Herderstraat 5. 1914.
Blink, H. Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra als
Economischgeographisch Gebied. Mouton: 'S
Gravenhage. 1926.
Boeijinga, K.J. Arbeidswetgeving in Nederlandsch Indie. Leiden:
Drukkerij Nieuwe Leidsche Courant. 1926.
Braudel, Fernand. Civilization and Capitalism 15th-18th Century:
The Wheels of Commerce, Vol. 2. London: William
Collins Sons & Co. Ltd. 1983.
Bukri, dkk. Sejarah Daerah Lampung. Bandar Lampung: Kanwil
Depdikbud. 1997.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires. London:
Hakluyt Society. 1944.
Craven, Matthew. “Colonialism and Domination”, dalam
Fassbender, Bardo, dan Peters, (ed.), Oxford Handbook of
the History of International Law. Oxford: Oxford
University Press. 2012.
Daliman, A. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
2012.
Daliman, A. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem
Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia
Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012.
De Pepercultuur in de Buitenbezittingen. Batavia:
Landsdrukkerij. 1913.
247
Dick, Howard (et al.). The Emergence of a National Economy: an
Economic History of Indonesia, 1800–2000. New South
Wales: Allen & Unwin. 2002.
Forgacs, David (ed.). The Antonio Gramsci Reader: Selected
Writings 1916-1935. New York: New York University
Press. 2000.
Fortuin, H. De Amsterdamsche Goederenmarkt. Amsterdam: J.H.
De Bussy. 1923.
Frankema, Ewout dan Frans Buelens (ed.). Colonial Exploitation
and Economic Development: The Belgian Congo and the
Netherlands Indies Compared. New York: Routledge.
2013.
Frijlink, H. Nieuw Handboek der Aardrijkskunde. Amsterdam:
Hendrik Frijlink. 1858.
Ghazali, Zulfikar (ed.). Sejarah Lokal–Kumpulan Makalah
Diskusi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional. 1995.
Gonggong, Anhar, Soenjata K. & Muchtaruddin Ibrahim. Sejarah
Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Daerah Lampung. Lampung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1983.
Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Perdaban Abad X – XVII.
Jakarta: KPG. 2008.
Haar, Ter. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Groningen-
Batavia: J. B. Wolters‟. 1939.
Hadikusuma, Hilman. Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978.
Hadikusuma, Hilman. Catatan tentang Sejarah dan Kebudayaan
Lampung. Lampung: BPAD Lampung. 1984.
248
Hadikusuma, Hilman. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung.
Bandung: Mandar Maju. 1989.
Harkatiningsih, Naniek Th. Perdagangan dan Pertukaran Masa
Prasejarah-Kolonial. Bandung: Badan Arkeologi
Bandung. 2010.
Heijting, H.G. De Koelie Wetgeving voor de Buitengewesten van
Nederlandsch-Indië. „S-Gravenhage: W.P. van Stockum
& Zoon. 1925.
Hekmeijer, F.C. (ed.). Verordeningen Inlandsch Grondbezit.
Batavia: G. Kolff & Co. 1917.
Hekmeijer, F.C. Scheepvaart Verordeningen I. Weltevreden: G.
Kolff & Co. 1915.
Hens, A.M. Het Gronbezit in Zuid Sumatra. Den Haag: Korthuis.
1909.
Hoare, Quintin dan Geoffrey Nowell Smith (ed.). Selections from
the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New York:
International Publishers. 1971.
Hoedt, T.G.E. Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk
in Zuid Sumatra: Gegeven en Beschouwingen.
Wageningen: H. Veenman & Zonen. 1930.
Huitema, Waling Karst. De Bevolkingskoffiecultuur op Sumatra.
Wageningen: H. Veenman & Zonen. 1935.
Ibrahim, Sayuti. Buku Handak II: Mengenal Adat Lampung
Pubian. Bandar Lampung: Gunung Pesagi. 1995.
Ilyin, Sergei and Alexander Motylev. What is Political Economy?
Moscow: Progress Publishers. 1986.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-
1900. Dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta:
Gramedia. 1988.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Gramedia. 1977.
249
Laksito, Oki., dkk. Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional
Radin Inten II. Bandar Lampung: Proyek Pembinaan
Kebudayaan Daerah Lampung. 2003.
Laloli, Henk. Grenzen van de Ethische Politiek: het Technisch
Onderwijs en de Arbeidsmarkt in Nederlands-Indie, 1900-
1941. Amsterdam: -- . 2001.
Lexy J., Moleong. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2010.
Lindley, M.F. The Acquisition and Government of Backward
Territory in International Law. London: Longmans, Green
and Co. Ltd. 1926.
Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism. New York:
Routledge. 2000.
Lull, James. Media, Communication, Culture: A Global
Approach. Cambridge: Polity Press, 2000.
M. Loeb, Edwin. Sumatra: Sejarah dan Masyarakatnya.
Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2013.
Marsden, William. Sejarah Sumatera. Yogyakarta: Indoliterasi.
2016.
Mas‟oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi. Jakarta: LP3ES. 1990.
Moedjanto, G. Indonesia Abad ke-20 (buku 1). Yogyakarta:
Kanisius. 1988.
Moore, Margaret. A Political Theory of Territory. New York:
Oxford University Press. 2015.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1996.
250
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. 1985.
Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer
(Suatu Pengalaman). Jakarta: Inti Dayu. 1984.
Paulus, J. Encyclopaedie van Nederlandsch Indi: Eerste Deel. H-
M. Leiden: N.V. V/H E.J. BRILL. 1918.
Piccardt, R.A.S. De Geschiedenis van het Cultuurstelsel in
Nederlandsch-Indie. Amsterdam: Stoomdrukkerij Loman,
Kirberger, & van Kesteren. 1873.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto.
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia (1700-1900). Jakarta: Balai
Pustaka. 2010.
Pranoto, Suhartono, W. Teori dan Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014.
Rachbini, Didik. J. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi
Ekonomi. Jakarta: Grasindo. 2001.
Rausser, Gordon C., Johan Swinnen, and Pinhas Zusman.
Political Power and Economic Policy: Theory, Analysis,
and Empirical Applications. New York: Cambridge
University Press. 2011.
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indië 1870. Batavia:
Lands-Drukkerij. 1870.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 1981.
Roelofsen, P.A. Rijwegen op Spoorbanen. Batavia: Papyrus.
1913.
Rutgers, A.A.L. De Toekomst van de Bevolkingsrubber in
Nederlandsch-Indië. ---: de Bussy. 1925.
251
Sabaruddin. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir Dailek
O/Nyow dan Dialek A/Api. Jakarta: Buletin Way Lima
Manjau. 2012.
Sayuti, Husin. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung.
1989.
Setiawan, B. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Delta
Pamungkas. 2004.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi suatu Pengantar, Edisi Baru.
Jakarta: Rajawali pers. 2009.
Supangat, dkk. Sejarah Perkembangan Pemerintahan di
Lampung Buku II. Bandar Lampung: Dewan Harian
Daerah Angkatan ‟45. 1994.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung:
Tarsito. 1982.
Swart, A.G.N. Rubber Companies in the Netherland East Indies.
Amsterdam: J.H. De Bussy. 1911.
Syair, Anwar, dkk. Sejarah Daerah Riau. Jakarta: Depdikbud.
1977.
Usman, Husnaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi
Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Van de Leemkolk, W.J. De Rubber-Cultuur en de Rubber-Handel
van Nederlandsch-Indiê. Batavia: Ruygrok & Co. 1914.
Van der Zwaal, Jacobus. Inlandsch Gemeentewezen in Zuid
Sumatra en Javanentransmigratie. Wageningen: H.
Veenman & Zonen. 1936.
Van Klaveren, J.J. The Dutch Colonial System in the East Indies.
Den Haag: M. Nijhoff. 1953.
252
Van Rees, W.A. Wachia, Taykong, en Amir of het Nederlandsch
Indisch Leger. Rotterdam: H Nijgh. 1859.
Van Royen, J.W. Nota over de Lampongsche Merga’s.
Weltevreden: Landsdrukkerij. 1930.
Van Zanden, Jan Luiten dan Daan Marks. An Economic History
of Indonesia, 1800-2010. New York: Routledge. 2012.
Veth, P.J. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van
Nederlandsch Indie. Deerde Deel: K-Q. Amsterdam: P.N.
van Kamp. 1869.
Vierhout, M. Het Arbeidsvraagstuk in Verband met de
Noodzakelijke Ontwikkeling der Buitengewesten.
Weltevreden: Albrecht & Co. 1921.
Welan, J.W.J. Zuid Sumatra Economisch Overzicht.
Wageningen-Holland: H Veenam & Zonen. 1932.
Wiryawan, Budi (ed.). Atlas Sumber Daya Pesisir Lampung.
Bandar Lampung: Proyek Pesisir. 1999.
Zeilinger, F.A. Kapitaal en Kapitaalvorming in de Inheemsche
Maatschappij van Nederlandsch-Indië. Wageningen-
Holland: H. Veenman & Zonen. 1933.
F. Makalah
Asnan, Gusti. Perspektif Geografis Jaringan
Pelayaran/Perdagangan Sumatera (Indonesia Bagian
Barat). Makalah disajikan pada Konferensi Nasional
Sejarah X di Jakarta pada 7-10 November 2016.
Cramer, H. Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: De
Verbindingswegen. Papier in de Eerste Zuid-Sumatra
Conferentie. Weltevreden: Zuid Sumatra Landbouw en
Nijverheids Vereeniging. 1917.
253
Cramer, P.J.S. De Groote Landbouw in Zuid Sumatra. Papier in
de Eerste Zuid-Sumatra Conferentie. Zuid-Sumatra
Landbouw en Nijverheid Vereeniging. 1918.
Darmiati. Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi/Emigrasi
hingga Transmigrasi. Makalah dalam Kongres Nasional
Sejarah 1996 Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III.
Jakarta: Depdikbud. 1997.
Koning, M.C. Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: Het Vervoer
over Water. Papier in de Eerste Zuid-Sumatra
Conferentie. Weltevreden: Zuid Sumatra Landbouw en
Nijverheids Vereeniging. 1917.
Philippi, H. De Beteekenis en de Toekomst van den Mijnbouw in
Zuid-Sumatra. Papier in de Eerste Zuid-Sumatra
Conferentie. De Zuid-Sumatra Landbouw en Nijverheids
Vereeniging. 1917.
Purwanto, Bambang. Migrasi dan Kesempatan Kerja: Persoalan
Tenaga Kerja dalam Perkebunan Karet Rakyat di
Sumatera Bagian Selatan pada Akhir Masa Kolonial.
Makalah dalam Kongres Nasional Sejarah Tahun 1966
sub-Tema Dinamika Sosial Ekonomi III. Jakarta:
Depdikbud. 1997.
Schalkwijk Mzn., W.C. Kolonisatie in Nederlandsch Indie.
Papier in de Eerste Zuid-Sumatra Conferentie. Gedong
Tataan: Zuid Sumatra Landbouw en Nijverheids
Vereeniging. 1917.
Van Sandick, J.C.F. Het Verkeerswezen in Zuid-Sumatra: De
Spoorwegpolitiek. Papier in de Eerste Zuid-Sumatra
Conferentie. Weltevreden: Zuid Sumatra Landbouw en
Nijverheids Vereeniging. 1917.
254
G. Jurnal
Adijaya Yusuf, “Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif dalam
Perolehan Wilayah: Perspektif Hukum Internasional”,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 1 Tahun XXXIII,
(Januari-Maret 2003).
Binti Fadilah Arfi, “Perlawanan Keratuan Islam Darah Putih
Terhadap Kolonialisme Belanda di Lampung Tahun 1850-
1856 M”, Jurnal Juspi, Vol. 1, No. 1, Tahun 2017.
Edwards McKinnon, “A Note on Finds of Early Chinese
Ceramics Associated with Megalithic Remains in
Northwest Lampung”, Journal of Southeast Asian Studies,
Vol. 24, No. 2, (September 1993).
F. Kehding, “Sumatra in 1886”, Journal of the Straits Branch of
the Royal Asiatic Society, No. 18 (December,1886).
Gregorius Andika Wibowo, “Aktivitas Ekonomi dan
Perdagangan di Keresidenan Lampung pada Periode 1856
hingga 1930”, dalam Jurnal Patanjala, Vol. 10, No. 2
Juni 2018.
Gregorius Andika Wibowo, “Sungai Tulang Bawang dalam
Perdagangan Lada di Lampung pada Periode 1648 hingga
1914”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 19, No. 2,
Tahun 2017.
I Gede Wahyu Wicaksana, “Kedaulatan Teritorial Negara:
Kepentingan Material dan Nilai Simbolik”, Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, Vol. 29, No. 2,
(2016).
Iim Imadudin, “Perdagangan Lada di Lampung dalam Tiga Masa
(1653-1930)”, Jurnal Patanajala, Vol. 8, No. 3,
September 2016.
255
Jan O. M. Broek, “The Economic Development of the Outer
Provinces of the Netherlands Indies”, Jurnal
Geographical Review, Vol. 30, No. 2, (April, 1940).
Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral: Resistance
and Pacification in Lampung during the 18th and 19th
Centuries”, Jurnal Southeast Asia-Culture and History,
No. 19, 1990.
Jeffrey B. Kingston, “Manipulating Tradition: The State, Adat,
Popular Protest, and Class Conflict in Colonial
Lampung”, Jurnal Indonesia, No. 51, April 1991.
Joseph A. Woolcock, “Politics, Ideology, and Hegemony in
Gramsci‟s Theory”, Jurnal Social and Economic Studies,
Vol. 34, No. 3, (September 1985).
Laelatul Masroh, “Perkebunan dan Perdagangan Lada di
Lampung Tahun 1816-1942”, Jurnal Sejarah dan Budaya,
Tahun ke-9, No. 1, Juni 2015.
Ota Atsushi, “Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the
Mass Participation”, Jurnal Modern Asian Studies, Vol.
37, No. 3, (July 2003).
Parwoto dan Mudji Hartono, “Dampak Monopoli Garam di
Madura pada Abad XX”, Jurnal Mozaik, Vol. 7, Januari
2015.
Ronald J. Horvath, “A Definition of Colonialism”, dalam Jurnal
Current Anthropology, Vol. 13, No. 1, (February 1972).
Wibo Peekema, “Colonization of Javanese in the Outer Provinces
of the Netherlands East-Indies”, The Geographical
Journal, Vol. 101, No. 4, (April 1943).
Wisnu, et al., “Salt Briquette: The Form of Salt Monopoly in
Madura 1883-1911”, Journal of Physics, Conferentie
Series, 953, 2018.
256
H. Internet
Abdul Syani, Falsafah Hidup Masyarakat Lampung sebuah
Wacana Terapan. Diakses dari
http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/02/falsafah-
hidup-masyarakat-lampung-sebuah-wacana-terapan/, pada
28 Juli 2018.
Chris Kortright, Colonization and Identity, diakses dari
theanarchhistlibrary.org pada 20 Oktober 2018.
Indopedia, The Indian Encyclopedia, Institut Kolonial, diakses
dari
https://www.indopedia.nl/articles.php?lng=nl&pg=5119
pada 20 Juni 2019.
Karsiwan, Pembangunan Irigasi Way Tebu sebagai Kebijakan
Etis Pemerintah Kolonial Belanda di Pringsewu Tahun
1927. Diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/1
631, pada tanggal 8 November 2018.
Lillyana Mulya, Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah
Komersil Pemerintah Kolonial. Diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/mozaik/article/view/55
43, pada 12 Oktober 2018.
Lukmanul Hakim Lubis, The Acquisition of a Territory: “Modes,
History and the International Practices. Diakses dari
fh.unpad.ac.id/file/2017/01/Tulisan-2.pdf, pada 12 April
2018.
Michael D. Callahan, Review of Osterhammel, Jurgen,
Colonialism: A Theoretical Overview. Dikases dari H-
Diplo, H-Net Reviews pada 20 Oktober 2018.
Paula Hendrikx, Het Beloofde Land aan de Overkant
Grootschalige Overheidsgestuurde Emigratie en
Kolonisatie van Java naar Lampong, 1932-1941, diakses
257
Sudarno, Kebijakan Percobaan Kolonisasi di Gedong Tataan
(Lampung) Tahun 1905-1917, diakses dari
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article,
pada tanggal 20 Februari 2019.
Zafran Febriadi, Tinjauan Historis Masuk dan Berkembangnya
Islam di Teluk Betung. Diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/2
655, pada tanggal 04 Juli 2017.
dari https://dspace.library.uu.nl/handle/1874/294511, pada
20 Februari 2019.
Lampiran 1.
Staatsblad 1870 No. 118
Sumber:
l n l n - n oo -01-1870,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001262001%3A00007&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1870&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 2
Staatsblad 1882 No. 73
Sumber:
Staatsblad van Nederlandsch-In oo -01-1882,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001276001%3A00005&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1882&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 3
Staatsblad 1885 No. 45
Sumber:
l n l n - n oo -01-1885,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001279001%3A00009&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1885&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 4
Staatsblad 1919 No. 407
Sumber:
l n l n - n oo -01-1919,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001315001%3A00007&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1919&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 5
Staatsblad 1925 No. 353
Sumber:
l n l n - n oo -01-1925,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001338001%3A00005&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1925&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 6
Staatsblad 1927 No. 193
Sumber:
l n l n - n oo -01-1927,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001326001%3A00005&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1927&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 7
Staatsblad 1929 No. 362
Sumber:
l n l n - n oo -01-1929,
diakses dari
https://www.delpher.nl/nl/tijdschriften/view?identifier=MMKB07
%3A001344001%3A00005&query=staatsblad+nederlandsch+ind
ie+1929&coll=dts, pada 19 November 2018.
Lampiran 8
Hasil wawancara dengan Ratu Keratuan Melinting
Lampung Timur, Bapak Rizal Ismail, gelar Sultan Ratu Idil
Muhammad Tihang Igama IV, pada tanggal 17 Juli 2018
Pertanyaan Penjelasan
Dapat dijelaskan
mengenai konsep
marga?
Dulunya marga itu berdasarkan
klan/keturunan/buay. Marga merupakan
pemerintahan suatu wilayah berdasarkan
keturunan. Marga membawahi beberapa
kampung/tiyuh.
Pada tahun 1928 Belanda mengubah
marga yang tadinya genealogis teritorial
menjadi teritorial genealogis. Jadi bisa
saja satu pemerintahan marga bercampur
beberapa keturunan.
Pemerintah Belanda membentuk pesirah,
pesirah itu kepala marga.
Pesirah adalah hasil pemilihan dari
masing-masing kampung oleh
penyimbang dan nanti akan diberi SK
oleh Belanda.
Bagaimana nasib
pemerintahan
marga dalam
kekuasaan
Belanda?
Pesirah tetap memiliki tugas dan
wewenang, yaitu memberikan hak
mengolah tanah kepada orang atau
kelompok orang yang dipergunakan
untuk berladang, dan menarik pajak
darinya.
Dapat dikatakan kedudukannya masih
kuat sampai tahun 1954. Setelah itu
diganti pemerintah negeri, maka
berkurang wewenangnya, ia hanya
tinggal mengatur adat dan kekerabatan,
sudah hilang fungsinya dalam bidang
pemerintahan/administratif/politiknya.
Bagaimana konsep
penguasaan tanah
oleh marga dan
penggunaannya
Tanah itu untuk kepentingan marga dan
dikuasai marga. Berarti warga menggarap
tanah atas izin kepala marga, tanpa izin
berarti mereka dianggap salah.
oleh masyarakat? Soal hasil dari penggarapan saya tidak
tahu, dia tidak minta hasil. kewajiban
warga dari penggarapan itu adalah
membayar pajak.
Jika nanti tidak digarap lagi maka
kembali ke marga. Jika diolah secara
terus-menerus maka bisa jadi hak
mereka.
Salah satu tugas
pesirah adalah
menarik pajak
untuk Belanda, lalu
bagaimana respon
masyarakat terkait
hal itu?
Orang lampung itu punya karakteristik
“agak berbeda”. Mereka senang dipuja-
puja segala macam, mereka punya harga
diri. Makanya belanda mengatakan “
berapa laki-laki yang gagah di kampung
n ?” y ng m ksud gagah itu yang
besar bayar pajaknya. Gagah bayar pajak.
Ada istilah pajak palembang, ada pajak
Teluk Betung.
K lo l ng “ y p j k Palembang”,
oo... orang kaya ini.
Orang kaya itu bayar pajaknya di
Palembang.
Ada yang bayar pajak Teluk. Berarti dia
bayar pajak di Teluk Betung.
Orang lampung itu memang ditipu oleh
Belanda. Dengan meninggikan hatinya
supaya dia semangat dan merasa keren.
Apa saja basis
perekonomian
utama masyarakat
Lampung?
Sektor ekonomi masa itu perkebunan,
utamanya lada hitam, sebagai penghasil
lada hitam terbesar di Nusantara, yang
utamanya di daerah Lampung Timur ini.
Selain itu kelapa dan cengkeh.
Kalau durian, petai dan lain-lain itu baru
sekarang-sekarang ini ya.
Lampiran 9
Peta Residensi Lampung
Sumber:
National Library of Australia, diakses dari
https://nla.gov.au:443/tarkine/nla.obj-593418202 pada 7 Februari
2019.
Lampiran 10
Peta wilayah marga (margastaat)
Sumber:
J.W. van Royen. Nota over de Lampongsche Merga’s.
(Weltevreden: Landsdrukkerij, 1930.
Lampiran 11
Peta persebaran wilayah sewa tanah perusahaan perkebunan
Sumber:
Sumber: buku De Buitenbezittingen 1904 tot 1914 (Aflevering X,
Deel 1), hlm 78.
Lampiran 12
Perkebunan Lada di Lampung
Sumber:
KITLV, diakses dari http://hdl.handle.net/1887.1/item:710432
Lampiran 13
Rumah dan kantor residen Lampongsche Districten
di Teluk Betung
Sumber:
https://www.skyscrapercity.com
lampiran 14
Keluarga Lampung dengan pakaian adat tahun 1894
Sumber:
Museum Volkenkunde
Lampiran 15
Keterangan sewa tanah perusahaan swasta Eropa kepada
pemerintah Hindia Belanda
Sumber:
Buku A.G.N. Swart, Rubber Companies in Netherland East
Indies, hlm. 85 dan 122.
Lampiran 16
Peta daerah kolonisasi Gedong Tataan dan Wonosobo Lampung
Sumber:
Buku J.W.J. Welan, Zuid Sumatra Economisch Overzicht, hlm.
104
Lampiran 17
Pekerjaan proyek kereta api sumatera selatan di Panjang tahun
1913
Sumber:
Magazine Het leven, Spaarnestad photo.
Lampiran 18
Pembangunan pelabuhan Oosthaven (Panjang)
Sumber:
KITLV, diakses dari