politik hukum agraria
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tugas Makalah
PERIMBANGAN PEMBAGIAN HASIL
SUMBER DAYA ALAM Antara PUSAT Dan DAERAH
(Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Politik Hukum Agraria)
Dosen Pengampu : Anne Permatasari S.IP, M.Si
Oleh :
Nama : Canang Bagus Prahara Umpu
No. Mhs : 98520164
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA
2003
Perimbangan Pembagian Hasil
Sumber Daya Alam antara Pusat dan Daerah
1. Pendahuluan
Peran pemerintah melalui kebijakan fiskal dalam melaksanakan fungsi
alokasi, distribusi, dan stabilisasi perekonomian pada masa krisis sangat dominan.
Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah menjadi motor utama dalam menggerakkan
perekonomian agar dapat kembali ke posisi sebelum krisis karena sektor swasta
belum dapat berperan secara optimal. Dalam masa krisis, alokasi pengeluaran
pemerintah meningkat cukup tajam guna mengakomodasikan berbagai program untuk
mengatasi krisis, seperti kebijakan subsidi, perlindungan terhadap masyarakat miskin
yang terkena dampak krisis, dan pemberian stimulus fiskal terutama untuk membantu
pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Namun, upaya pemulihan dan perlindungan
terhadap masyarakat tersebut belum dapat dilakukan secara maksimal berkaitan
dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi pada sisi penerimaan negara dan
pembiayaan anggaran.
Pemerintah tetap melakukan ekspansi fiskal untuk melanjutkan program
pemulihan ekonomi. Namun secara bersamaan tetap berupaya menyehatkan APBN
dengan mengurangi defisit anggaran, yaitu melalui peningkatan disiplin anggaran,
pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan
penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan dan penajaman
prioritas pengeluaran. Agar dapat memperoleh ruang gerak yang lebih besar dalam
melaksanakan program-program pemulihan, pemerintah juga melakukan negosiasi
ulang (rescheduling) dan percepatan restrukturisasi utang luar negeri sesuai dengan
kemampuan keuangan negara, yang pelaksanaannya dilakukan secara transparan.1
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun
Anggaran 2002 disusun di tengah-tengah munculnya rasa optimisme yang tinggi
terhadap prospek dan upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional,seiring dengan
mulai tumbuhnya kembali kepercayaan masyarakat dan para pelaku pasar, baik di
dalam maupun di luar negeri terhadap terbentuknya pemerintahan baru yang dipilih
melalui proses yang demokratisdan konstitusional. Momentum yang cukup kondusif
tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mempercepat proses
penyelamatandari krisis multi dimensional yang berkepanjangan.
Kondisi tersebut menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan RAPBN
2002. Di samping itu, penyusunan RAPBN 2002 juga mempertimbangkan
perkembangan realisasi pendapatan negara, belanja negara, defisit APBN, dan
pembiayaan anggaran dalam tahun anggaran berjalan (2001) dan pola kecenderungan
dalam beberapa tahun sebelumnya. Perkembangan tahun 2001 digunakan sebagai
landasan dalam membuat estimasi dasar (base-line-projections) berbagai besaran
RAPBN 2002. Pertimbangan lainnya yang juga menjadi dasar penyusunan RAPBN
2002 adalah berbagai kebijakan strategis di bidang fiskal, serta program-program dan
sasaran-sasaran pembangunan sebagaimana digariskan dalam GBHN 1999-2004 dan
Propenas 2000-2004.
Dalam tahun 2002, kebijakan keuangan negara diarahkan pada upaya untuk
mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap
mengupayakan pemberian stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan
1 Jimmi Mohammad Ibrahim, “ Prospek Otonomi Daerah”, Dahar Prize, Semarang, 1991, hal. 44
negara guna mendukung proses pemulihan ekonomi, serta memantapkan proses
desentralisasi dengan tetap mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah sesuai azas keadilan, sepadan dengan besarnya kewenangan yang
diserahkan oleh Pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Untuk menunjang terwujudnya fiscal sustainability, ada dua langkah strategis
yang harus dijabarkan dalam penyusunan RAPBN 2002, yaitu :
Pertama, mengupayakan penurunan secara significant volume dan rasio defisit
anggaran negara terhadap PDB minimal sama atau lebih rendah dari sasaran
tahun 2001 yang ditetapkan dalam perencanaan jangka menengah APBN
(medium-term-budget) seperti tertuang dalam Propenas.
Kedua, menurunkan rasio stock utang pemerintah, baik utang dalam negeri maupun
utang luar negeri terhadap PDB (debt-to-GDP-ratio). Pada akhir tahun 2002,
diharapkan rasio utang pemerintah mencapai 72 persen terhadap PDB, dengan
rasio utang luar negeri sekitar 36,9 persen terhadap PDB. Untuk itu
dipersiapkan langkah-langkah guna meningkatkan pendapatan negara,
mengendalikan belanja negara, dan mengoptimalkan pilihan pembiayaan
defisit anggaran negara.2
Penetapan besaran-besaran RAPBN 2002 juga berpedoman pada sasaran yang
tertuang dalam Propenas untuk tahun 2002, dan kesepakatan Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Pembicaraan Pendahuluan
RAPBN 2002, yang antara lain menyepakati target defisit anggaran 2-3 persen
2 Suara Merdeka, Sabtu, 13 Oktober 2001
terhadap PDB, dan kenaikan harga BBM dalam negeri rata-rata tertimbang 30 persen
mulai Januari 2002. Secara garis besar RAPBN 2002 direncanakan sebagai berikut.
Dengan berlakunya UU no. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang berasal dari pendayagunaan sumber daya alam (SDA), maka
SDA menjadi tumpuan daerah untuk memperoleh dana dalam mengelola rumah
tangganya. Dari segi perlindungan terhadap lingkungan tentunya hal ini sangat
mengkhawatirkan, karena ini berarti daerah dapat mengeksploitasi SDA sebanyak-
banyaknya demi meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah). Diketahui bahwa SDA
dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu :3
1. SDA yang tidak pernah habis, bersifat permanen dan tidak dapat
diproduksi oleh manusia, perpetual resources, seperti : sinar matahari,
angin, gelombang.
2. SDA yang tidak dapat diperbaharui, non-renewable resources, seperti :
minyak, gas alam, uranium, batu bara dll.
3. SDA yang dapat diperbaharui, renewable resources, seperti : hutan
Oleh karena SDA menjadi tumpuan utama daerah, maka langkah-langkah
antisipatif perlu dilakukan dengan mengetahui :4
1. Komitmen pengambil keputusan di daerah.
2. Kemampuan teknis untuk menentukan potensi dan masalah pendaya
gunaan SDA melalui :
a. Inventarisasi dan evaluasi berbagai jenis SDA yang tersedia.
3 Warsito Utomo,”Menyikapi Era Otonomi Daerah”, Insist Press, Yogyakarta, 2000, Hal 34-55.
4 Nur Fauzi dan R. Yanto Zakaria, “Mensiasati Otonomi Daerah”, KPA bekerjasama dengan Insist Press,
Jogjakarta, 2000, Bab I, hal 5-6.
b. Pelaksanaan berbagai kajian dalam menentukan pilihan yang
didasarkan pada pertimbangan pertumbuhan ekonomi, ketahanan
sosial dan kerentanan ekologi serta pertimbangan antar generasi secara
berkelanjutan.
Selain itu sumber daya manusia (SDM) di propinsi, kabupaten/kota yang pada
umumnya kurang memadai dari segi wawasan, pengetahuan dan ketrampilan dalam
pengelolaan, pengendalian, pencemaran dan rehabilitasi SDA juga merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Selanjutnya dengan pemberlakuan UU
No.22/1999 ini juga dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah yaitu
misalnya antara daerah hulu yang harus melakukan konservasi hutan dalam rangka
kesinambungan kuantitas sumber daya air dan daerah hilir sebagai pengguna dan
dapat mengeksploitasi SDAnya.
Menghadapi berbagai tantangan dan kendala diatas maka perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :5
1. Mempertegas komitmen untuk memberdayakan lembaga lingkungan di
kabupaten dan kota, dari sisi masalah lingkungan yang mendesak,
penetapan prioritas program, lembaga Bapedalda, SDM dan mitra
lingkungan. Pembentukan Bapedalda di Kabupaten dan Kota yang belum
memiliki lembaga tersebut.
2. Penguatan kelembagaan di tingkat propinsi, regional dan pusat dengan
peran sebagai mitra kerjasama dalam pengelolaan lingkungan.
5 Andi Malaranggeng,”Otonomi Daerah Persepektif Teoritis dan praktis”, BIGRAF Publishing, 2001, hal
132.
3. Penguatan fungsi Bapedal Regional sebagai penterjemah kebijaksanaan
nasional dan bertindak sebagai mentor teknis lingkungan dan kepanjangan
tangan dari Bapedal Daerah.
4. Bapedal Pusat berfungsi sebagai lembaga penyusun kebijaksanaan teknis
pengendalian dampak lingkungan makro dan penetapan berbagai baku
mutu dan standar lingkungan nasional.
5. Perlunya pendorongan Bapedal ke daerah dalam hal :
a. Penyusunan profil lingkungan.
b. Pemilihan program lingkungan.
c. Rancangan program peningkatan kelembagaan.
d. Pengembangan SDM.
e. Pelaksanaan program kemitraan.
f. Pengembangan informasi.
II. Pembahasan
TAP MPR Nomor Tahun 1998 tentang " Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia" khususnya pasal 5 menyebutkan bahwa "Pemerintah Daerah
berhak memanfaatkan sumber daya nasional dan bertanggung jawab atas kelestarian
hidup"6
Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 kini semakin sarat dengan muatan
ketatanegaraan, politik sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara
keseluruhan. Permasalahan ini sebenarnya hanyalah refleksi dari pembagian
kekuasaan antara instansi baik pusat maupun daerah, oleh karena itu beberapa hal
penting harus diperhatikan dalam kebijaksanaan perirnbangan keuangan pusat dan
daerah, ialah :7
1. Memberikan otonomi daerah yang lebih luas, dalam arti daerah otonom diberi
kebebasan dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas pengambilan keputusan
disektor publik.
2. Ketersediaan sumber-sumber penerimaan daerah otonom yang memadai untuk
menjalankan fungsinya.
3. Equiti, alokasi bantuan pusat meskipun bervariasi, tetapi mencerminkan
kebutuhan fiskal (fiscal-needs) antar daerah otonom, sehingga porsi alokasi
6 Mashuri Maschab dkk, “Identifikasi Masalah Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979”,
(Laporan Penelitian), FISIPOL, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bekerjasama dengan Balitbang,
Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 1992, hal 38. 7 Ibid, hal 58.
bantuan pusat merupakan kebalikan (inverse) dari kemampuan masing-masing
daerah dalam menggali PAD nya
4. Bantuan pusat harus menjamin kepastian ketersediaan dananya bagi daerah
otonom (predeternined).
5. Netralitas, alokasi bantuan pusat harus netral terhadap pilihan alokasi penggunaan
dana untuk berbagai sektor yang diinginkan oleh daerah otonom.
6. Kesadaran, formula pembagian bantuan pusat kepada daerah otonom (hindari
kriteria pembagian yang ambigous dan tidak operasional).
7. Insentif, disain bantuan pusat harus mampu memberikan insentif kepada daerah
otonom untuk melakukan efisiensi ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor
publik.
8. Memberikan kebebasan akuntabilitas di tingkat daerah otonom, antara lain,
dengan menempatkan DPRD sebagai lembaga yang mengawasi dan memberi
amanat kepada Gubernur, Bupati dan Wahkota dalam menjalankan tugas
pelayanan kepada masyarakat.
9. Kewenangan daerah otonom dalam jangka panjang secara bertahap diarahkan
akan mencakup semua kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal nasional dan kebijakan strategi nasional dalam
penyelenggaraan pemerintah (terutama mencakup perumusan kebijakan,
pengadilan pembangunan sektoral dan nasional, dan kebijakan standarisasi
nasional)
Disamping hal-hal tersebut bahwa pelaksanaan perimbangan keuangan pusat
dan daerah harus dengan pertimbangan-pertimbangan yang obyektif, yaitu :
1. Meningkatkan efisiensi pelayanan sektor publik (inter-jurisdictional spillovers).
2. Mengoreksi ketimpangan fiskal, baik vertikal fiscal imbalance horizontal fiscal
imbalance.
3. Pencapaian standar pelayanan yang minimum.
Implikasi langsung fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan UU
No. 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai
tanggung jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan,
baik melalui pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem
transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman. Sistem pembiayaan
tersebut merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan
yang sebelumnya berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah
menjadi sangat jelas.8
Dalam hal ini, kepada daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut
pajak/retribusi sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 dan telah
disempurnakan dengan UU No.34 Tahun 2000 yang lebih mencerminkan keleluasaan
kepada daerah. Dengan UU No.34 Tahun 1999 tersebut, daerah kabupaten/kota
diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain yang ditetapkan UU yang
tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan propinsi
juga diberikan kewenangan untuk memungut retribusi.9
8 Kaho, Josef Riwu,”Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”, Rajawali, Jakarta, 1991,
hal 45 9 Ibid, hal 75.
Sementara itu, implementasi kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah melalui dana perimbangan, ditujukan untuk mengurangi ketidakmampuan
daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran dari pajak dan retribusi tersebut dan
dengan melihat kenyataan bahwa kebutuhan daerah sangat bervariasi. Dana
perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penerimaan pajak yang dibagihasilkan yaitu pajak penghasilan perorangan, Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB), sedangkan penerimaan sumber daya alam (SDA) yang dibagi hasilkan
adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.10
Dana bagi hasil dimaksud diakui akan menyebabkan variasi antar daerah,
karena didasarkan atas daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah-
daerah tertentu. Namun demikian, variasi antar daerah tersebut dapat diantisipasi
melalui DAU yang diberikan dan didesain dengan mempertimbangkan sisi
kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah. Dengan kata lain, DAU ditujukan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, sehingga semua daerah mempunyai
kemampuan yang relatif sama untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya.
Aspek keadilan dan pemerataan dalam perimbangan keuangan pusat dan
daerah dapat ditinjau dari berbagai sudut. Fakta yang ada menunjukkan bahwa
sebagian besar daerah propinsi (12 daerah) hanya marnpu rnembiayai kebutuhan
pengeluaran dari penerimaan yang berasal PAD kurang dari 10%. Keadaan ini seolah-
olah kurang sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah yang memberikan tanggung
10
Fauzi, Gamawan,“Konsep Pemikiran tentang Pemerintahan Terendah Yang Otonom di Sumatera
Barat”, Makalah, Seminar Sehari tentang Pemberdayaan Pemerintah Terendah dalam Menyongsong
Otonomi Daerah, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya (P3SD), Padang 13 Maret 1999.
jawab yang sangat besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat, dan pembangunan daerah.
Sementara itu, kebijakan pemberian kewenangan kepada daerah yang terbatas
dalam perpajakan di satu sisi, dapat dibenarkan mengingat perbedaan yang sangat
besar antar daerah dalam kapasitas fiskal (basis pajak). Di sisi lain sistem perpajakan
pusat (PPN) tidak memberikan peluang kepada daerah untuk memungut pajak lain
karena selalu terbentur dengan adanya pajak ganda (tumpang tindih). Diakui bahwa
dengan kondisi saat ini dimana perkembangan ekonomi antar daerah sangat timpang,
pemberian kewenangan yang besar kepada daerah dalam perpajakan akan semakin
memperbesar ketimpangan antar daerah. Sementara itu, dengan pemberian
kewenangan tersebut kemampuan pusat dalam melakukan pemerataan antar daerah
menjadi sangat terbatas.
Implikasi langsung fungsi yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan UU
No. 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai
tanggung jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan,
baik melalui pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem
transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman.
Perlu kiranya diingat bahwa pemberian kewenangan kepada daerah dalam
perpajakan (tax assignment), tidak selalu dapat disesuaikan dengan pemberian
kewenangan dalam tanggung jawab pengeluaran (expenditure assignment). Artinya,
kebutuhan pengeluaran daerah tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari pajak daerah atau
dari PAD. Pemberian kewenangan untuk memungut pajak selain mempertimbangkan
kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umurn, juga mempertimbangkan
ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah, karena pajak daerah yang baik akan
mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam pembiayaan pengeluaran.
Selanjutnya, untuk mengakomodasikan isu keadilan dalam perimbangan
keuangan pusat dan daerah, pemerintah telah menetapkan kebijakan penyaluran dana
bagian daerah dari berbagai penerimaan pajak dan sumber daya alam yang
dibagihasilkan. Hal ini menjadi penting karena sebagian penerimaan tersebut akan
dikembalikan lagi ke daerah tempat dimana daerah tersebut merupakan potensi
penerimaan perpajakan dan potensi daerah penghasil dari penerimaan SDA.11
Namun demikian dana bagi hasil yang sebenarnya ditujukan untuk menunjang
proses keadilan dalam distribusi pendapatan sesuai dengan potensi daerah, justru
menyebabkan disparitas yang cukup tinggi antar daerah karena tidak semua daerah
mempunyai potensi penerimaan dari SDA yang demikian tinggi dibandingkan daerah
lainnya. Maka pemerintah melakukan kebijakan transfer dana kepada daerah melalui
APBN untuk mengatasi disparitas dimaksud dengan Dana Alokasi Umum (DAU).12
Pelaksanaan transfer dana dari pusat ke daerah yang ada di Indonesia
dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) didasarkan atas berbagai
pertimbangan sebagai berikut :13
1. Mengatasi ketimpangan fiskal vertikal
Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber
penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintah daerah
hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber, penerimaan negara, atau hanya
11
Syaukani, dkk, “Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal 65. 12
Kaho, Josef Riwu, “Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pungutan Retribusi Daerah”,
Jurnal Ilmu Politik, Volume II, Gramedia, Jakarta, 1987, hal 40. 13
Ibid, hal 77.
berwenang untuk memungut pajak-pajak yang besar penerimaannya relatif kurang
signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya
ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat.
2. Mengatasi ketimpangan fiskal horizontal
Kenyataan empirik diberbagai negara menunjukkan bahwa kapasitas atau
kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung
kepada kondisi kekayaan sumber daya alam daerah, atau tinggi rendahnya
intensitas kegiatan ekonomi daerah. Ini semua berimplikasi kepada besar tidaknya
basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, kebutuhan belanja daerah-
daerah juga sangat bervariasi dalam pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan
publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan
anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang
berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan infrastruktur
lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan
jumlah penduduk yang tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah
lengkap. Ini mencerminkan tinggi-rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari
daerah-daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan
kapasitas fiskal (fiscal capacity) tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan
(gap) dari masing-masing daerah, yang seyogianya ditutupi lewat transfer dari
pemerintah pusat.
3. Kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum disetiap
daerah.
Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan, bantuan (subsidi)
agar dapat mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan Postulat
Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif (pemerataan) dan
sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah pusat,
maka penetapan standar pelayanan minimum disetiap daerahpun akan lebih bisa
dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat14
.
4. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek
pelayanan publik (inter-jurisdictional spill-over effects).
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar” (atau
eksternalitas) ke wilayah-wilayah lainya. Sebagai misal : pendidikan tinggi
(universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar daerah, sistem
pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah. Namun tanpa adanya
manfaat (dalam bentuk pendapatan) yang berarti dari proyek-proyek serupa
diatas, biasanya pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi di sini. Oleh karena
itulah, pemerintah pusat perlu untuk memberikan semacam insentif ataupun
menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik
demikian dapat terpenuhi di daerah.
5. Usaha menjaga stabilitas
Alasan terakhir dan perlunya dana transfer yang jarang dikemukan adalah untuk
mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat. Transfer dana dapat
ditingkatkan oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Disaat
lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala perekonomian
booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capacity grants) merupakan
14
Postulat Musgrave, “Menata Otonomi yang Dewasa”,Graffiti Press, Jakarta, 1983, hal 54
instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi
amat berakibat merusak atau bertentangan dengan alasan-alasan sebelumnya
diatas.
Jadi, secara prinsip tujuan umum dari transfer dana pemerintah pusat adalah untuk :
1. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal.
2. Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal.
3. Menginternalisasikan sebagian atau seluruh timpahan manfaat (atau biaya) kepada
daerah yang menerima limpahan manfaat atau menimbulkan biaya tersebut.
Selain ketiga hal di atas, kerap pula dikemukan bahwa pertimbangan
pemberian transfer pusat adalah untuk menjamin tetap baiknya kinerja fiskal
pemerintah daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah untuk
secara insentif menggali sumber-sumber penerimaan (sesuai dengan kriteria yang
berlaku), sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya.
Dengan kata lain, transfer ini dimaksudkan sebagai “sarana edukasi” bagi
pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan mendapat transfer jika upayanya dalam
menggali sumber-sumber penerimaan yang menjadi kewenangannya sama atau
melebihi kapasitasnya. Sementara daerah tidak akan mendapat transfer apabila
upayanya menghasilkan penerimaan yang lebih rendah dari kapasitas fiskalnya.
UU No. 22/1999 tentang "Pemerintah Daerah" dan UU No. 25 /1999 tentang
"Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan Daerah". Pemerintah Pusat
menempatkan diri sebagai Pembina dan Pengawas atas penyelenggaraan otonomi
daerah. Sebagai pembina, Pemerintah Pusat harus memberdayakan daerah otonom
melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi.
1. Persepsi dan komitmen pada tingkat pimpinan di kalangan pemerintah
maupun swasta masih berbeda.
2. Koordinasi antar sektor di Pusat dan Daerah masih lemah.
3. Kurang melibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
penanganan program.
4. Kualitas sumber daya manusia masih terbatas.
5. Pendanaan dan prasarana serta sarana kerja untuk operasional masih
sangat terbatas.
6. Penegakkan hukum oleh Pemerintah Daerah masih lemah.
Berdasarkan UU No. 22/1999, Propinsi tidak membawahkan daerah
Kabupaten/ Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat
hubungan koordinasi, kerjasama dan atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten/ Kota
dalam kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Perlu direview kembali
mekanisme hubungan kerja dalam pengelolaan lingkungan hidup antara Pemerintah
dan Daerah yang ada selama ini. Termasuk review tata hubungan kerja dalam
pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri di bidang pengelolaan lingkungan hidup,
sehingga dapat disusun sutu konsep mekanisme hubungan kerja antara Pemerintah,
daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota dengan suatu paradigma baru.
III. Kesimpulan
Berdasarkan PP No. 25/2000, ada peluang untuk tidak terakomodasinya
kepentingan lingkungan suatu Kabupaten/ Kota dari adanya sebaran dampak suatu
kegiatan di kabupaten/ Kota lainnya, sehingga memicu konflik antar daerah bahkan
antar Propinsi. Untuk itu maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
mengantisipasi permasalahan tersebut diatas adalah :15
1. Pemerintah tetap membuat pedoman teknis sebagai acuan bagi daerah
untuk menyusun pedoman sejenis yang berlaku didaerahnya seperti
halnya pedoman baku mutu.
2. Keanggotaan Komisi AMDAL Daerah Kabupaten/ Kota melibatkan
wakil dari Kabupaten/kota lainnya yang daerahnya potensial terkena
dampak sebagai anggota.
3. Komisi penilai AMDAL Daerah Kabupaten/Kota yang berwenang
menilai AMDAL suatui kegiatan yang potensi dampaknya melintasi
Kabupaten/ Kota lainnya bersepakat dengan Komisi Penilai AMDAL
Daerah menyerahkan kewenangan penilaiannya kepada Komisi Penilai
AMDAL Propinsi, dengan kesepakatan bahwa hasil penilaian tersebut
bersifat mengikat pada pilihan-pilihan keputusan perizinan di
Kabupaten/Kota bersangkutan.
Dalam rangka peningkatan hasil guna dan daya guna pengelolaan lingkungan
hidup daerah pada era otonomi daerah, maka agar pelaksanaan nyata dan bertanggung
jawab sesuai UU No. 22/1999, maka beberapa kebijaksanaan Pembangunan
15
Gie, The Liang,”Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Suatu Analisa tentang
Masalah-Masalah Desentralisasi dan Cara-Cara Penyelesaiannya”, (Jilid II), Gunung Agung, Jakarta,
1967.
Lingkungan Hidup yang ditempuh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pengembangan Wilayah Pembangunan
Pengembangan didasarkan pada kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya, dengan kata lain, implementasi kebijakan penataan ruang wilayah
yang berwawasan lingkungan. Pengembangan wilayah diarahkan pada
pemanfaatan ruang secara efisien dengan tetap memenuhi kaidah pola tata ruang
nasional dan daerah, serta memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
2. Konservasi Keanekaragaman Hayati Dan Non Hayati
Peningkatan konservasi keanekaragaman hayati dan non hayati.
3. Rehabilitasi Lingkungan
Rehabilitasi lingkungan lebih ditekankan pada pendekatan secara terintegrasi
misalnya antara daerah aliran sungai dengan kawasan pesisir dibawahnya. Hal ini
dimaksudkan agar rehabilitasi dapat lebih efektif dalam meningkatkan
perlindungan ekosistem antara daratan, kawasan pesisir dan lautan sebagai suatu
kesatuan ekosistem.
4. Pengurangan, Pengelolaan dan Penanggulangan Limbah
Peningkatan pengelolaan dan penanggulangan berbagai limbah yang langsung
dibuang ke lingkungan melalui upaya pencegahan yang diterapkan di seluruh
sektor kegiatan. Sedangkan pengurangan limbah akan terus didorong untuk
menjadi salah satu prioritas dalam pencapaian efisiensi produksi di berbagai
bidang, misalnya industri, perumahan dsb.
5. Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan kelembagan mencakup peningkatan kemampuan manajemen,
penyediaan prasarana yang memadai dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
hidup. Selanjutnya sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pembentukan dan
penguatan kelembagaan BAPEDALDA perlu didukung agar masalah
pengendalian dampak lingkungan dapat ditangani dengan baik. Untuk itu maka
perlu diadakan penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah
sehingga permasalahan lingkungan hidup dapat ditangani secara lebih dini,
proporsional dan struktural.
Akan tetapi mengingat bahwa peraturan undang-undang masih lebih banyak
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Propinsi,
maka peraturan perlu direview untuk bentuk dan keberadaaan kelembagaan
pengelolaan lingkungan hidup di setiap tingkatan pemerintahan yang ada
sekarang ini, sehingga dapat diperoleh suatu konsep bentuk kelembagaan di
Tingkat Pusat, Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
kebutuhan dengan memperhatikan struktur piramida.
6. Peningkatan Sumber Daya Manusia Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
Salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan lingkungan hidup adalah
tergantung dari kualitas sumber daya manusia di kalangan pemerintahan, dunia
usaha, maupun masyarakat. Untuk itu maka peran pusat-pusat studi lingkungan
hidup, lembaga-lembaga kajian ilmu pengetahuan dan teknologi sangat perlu
untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusianya.
7. Pendayagunaan Sumber Pendanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
Beberapa peraturan yang memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
mendapatkan pajak dan retribusi di sektor lingkungan hidup adalah sebagai
berikut :
a. UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C (Pajak Dati II).
c. Pajak Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan (Pajak Dati II).
d. Peraturan Pemerintah No. 20/ 1997 tentang Retribusi Daerah.
e. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan (jasa Umum).
f. Retribusi Air Bersih (Jasa Umum).
g. Retribusi Penyedotan Kakus (Jasa Usaha).
h. Retribusi Pengolahan Limbah Cair (Jasa Usaha).
Walaupun sudah ada peraturan-peraturan mengenai sumber pendapatan dari
sektor lingkungan seperti tersebut diatas namun masih terdapat beberapa
ketentuan retribusi yang belum ditindak lanjuti dengan pengaturan pelaksanaan
yang lebih operasional. Tapi dengan telah diundangkannya UU no. 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka
diharapkan tidak akan terjadi lagi keterbatasan pendanaan pembangunan di
daerah, termasuk keterbatasan pendanaan untuk pengelolaan lingkungan hidup
daerah.
8. Penguatan Peralatan dan Perlengkapan
Perlu diadakan review terhadap keberadaan Laboratorium Rujukan yang ada di
beberapa instansi vertikal di daerah dan perumusan konsep pembangunan jaringan
laboratorium lingkungan daerah secara otonom.
9. Penataan dan Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan Hukum di Pemerintahan daerah baik di Propinsi maupun di
Kabupaten/Kota sudah harus mulai dilakukan mengingat penegakan hukum
merupakan salah satu sarana untuk mengendalikan pencemaran dan kerusakan
lingkungan disamping sebagai salah satu pembuat jera bagi pelanggar hukum
lingkungan.
10. Pemberdayaan Masyarakat, Dunia Usaha, Ormas dan LSM
Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan keterlibatan berbagai organisasi
kemasyarakatan baik formal maupun non formal yang berada di daerah mutlak
diperlukan karena "masyarakat" (masyarakat, dunia usaha, Ormas, LSM)
merupakan titik sentral dari keberhasilan upaya pembangunan lingkungan hidup.
Untuk itu, maka kepada Daerah kabupaten/Kota perlu dibekali kemampuan di
dalam meningkatkan keberdayaan "masyarakat" untuk menghasilkan komoditi
unggulan daerah yang ramah lingkungan melalui program-program cleaner
production, ecolabeling, ecoeficiency guna mengantisipasi perdagangan bebas.
Untuk itu maka diperlukan suatu konsep yang strategis dalam rangka pembekalan
ke Pemerintah Daerah.
11. Penataan Peraturan Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
Beberapa peraturan perlu untuk diadakan review dan penyesuaian peraturan
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan kewenangan dan tata laksana
pengelolaan lingkungan hidup daerah sebagai tindak lanjut diundangkannya UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain adalah :16
a. UU No. 23/1997 tentang, "Pengelolaan Lingkungan Hidup".
b. PP No. 19/1999 tentang, "Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan
Laut".
c. PP No. 18/1999 tentang, "Pengelolaan Limbah bahan berbahaya dan
Beracun".
d. PP No. 27/1999 tentang, "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan" sebagai
pengganti PP No.51/1993".
e. PP No.20/1990 tentang, "Pengendalian Pencemaran Air".
f. PP No.41/ 1999 tentang, "Pengendalian Pencemaran Udara".
g. PP No.54/2000 tentang, "Penyedia Jasa Pelayanan Sengketa Lingkungan
Hidup di Luar Pengadilan".
h. Keppres No. 77/1994 tentang, "Badan Pengendalian Dampak Lingkungan";.
i. Kep-Mendagri No. 98/1996 tentang, "Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah".
j. Instruksi Mendagri No. 11/1997 tentang, "Petunjuk Pelaksanaan
KEPMENDAGRI No. 98/1996".
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa departemen dalam Negeri
dan Otonomi daerah menempuh beberapa kebijakan dalam rangka mewujudkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan untuk meningkatkan hasil guna dan
16
Penelitian Studi Effektifitas Pelimpahan Wewenang Pemerintahan Kabupaten kepada Pemerintah Nagari.
daya guna pengelolaan lingkungan hidup daerah sekaligus mengantisipasi
permasalahan lingkungan di era otonomi daerah, meliputi:
1. Koordinasi dan keterpaduan dalam perencanaan pembangunan sektor lingkungan
hidup di daerah.
2. Pembenahan/penataan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan lingkungan
hidup.
3. Peningkatan SDM pengelolaan lingkungan hidup daerah.
4. Pendayagunaan sumber pendanaan pengelolaan lingkungan hidup daerah.
5. Penegakan dan penataan serta penaatan penegakan hukum lingkungan.
6. Review mekanisme hubungan kerja dalam pengelolaan lingkungan hidup antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
7. Pemberdayaan masyarakat, dunia usaha, Ormas dan LSM dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
8. Review peraturan perundangan-undangan yang ada kaitannya dengan
kewenangan dan tata laksana pengelolaan lingkungan hidup daerah.
Dari uraian diatas maka perlu untuk lebih diperhatikan persamaan persepsi
tentang kewenangan dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah sehingga tidak
terjadi saling tumpang tindih. Dengan demikian pengelolaan Sumber Daya Alam
yang ada dapat dilakukan baik secara bersama-sama maupun mandiri oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, serta dunia usaha dan
LSM.
Daftar Pustaka
• Fauzi, Nur dan R. Yanto Zakaria, “Mensiasati Otonomi Daerah”, KPA bekerjasama
dengan Insist Press, Jogjakarta, 2000.
• Fauzi, Gamawan,“Konsep Pemikiran tentang Pemerintahan Terendah Yang Otonom
di Sumatera Barat”, Makalah, Seminar Sehari tentang Pemberdayaan Pemerintah
Terendah dalam Menyongsong Otonomi Daerah, Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Sumber Daya (P3SD), Padang 13 Maret 1999.
• Gie, The Liang,”Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia,
Suatu Analisa tentang Masalah-Masalah Desentralisasi dan Cara-Cara
Penyelesaiannya”, (Jilid II), Gunung Agung, Jakarta, 1967.
• Kaho, Josef Riwu,”Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”,
Rajawali, Jakarta, 1991.
• Kaho, Josef Riwu, “Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pungutan
Retribusi Daerah”, Jurnal Ilmu Politik, Volume II, Gramedia, Jakarta, 1987.
• Malaranggeng, Andi”Otonomi Daerah Persepektif Teoritis dan praktis”, BIGRAF
Publishing, 2001.
• Maschab, Maschab dkk, “Identifikasi Masalah Pemerintahan Desa Berdasarkan UU
No. 5 Tahun 1979”, (Laporan Penelitian), FISIPOL, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta bekerjasama dengan Balitbang, Departemen Dalam Negeri, Jakarta,
1992.
• Musgrave, Postulat “Menata Otonomi yang lebih Dewasa”, Graffiti Press, Jakarta,
1983.
• Mohammad, Ibrahim, Jimmi, “ Prospek Otonomi Daerah”, Dahar Prize, Semarang,
1991.
• Syaukani, dkk, “Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan”, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
• Utomo, Warsito”Menyikapi Era Otonomi Daerah”, Insist Press, Yogyakarta, 2000
• Suara Merdeka, Sabtu, 13 Oktober 2002.
• Penelitian Studi Effektifitas Pelimpahan Wewenang Pemerintahan Kabupaten kepada
Pemerintahan Nagari.