post date paper

Upload: adi-tanjung-dexact

Post on 01-Mar-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gsgs

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Pendahuluan

Kehamilan lewat waktu (postterm) merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al. 2010)Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010)

Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi 30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6 11 minggu.(Cunningham, et al, 2010)Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim.

Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena pada sebagian besar pasien (70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu, didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur.

Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)2.2.Patogenesis dan Etiologi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)Perlu dipahami bahwa menjelang partus terjadi penurunan hormon progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling penting dalam menimbulkan kontraksi uterus.Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1.Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya. 2.Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm. 3.Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan. 4.Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)5.Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi keterlambatan sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al, 2010) Pada Kehamilan Lewat Waktu /Post date /Postterm, terjadi perubahan pada kehamilan yaitu:1. Perubahan cairan amnionTerjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42,43 dan 43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion. Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau kuning. Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada persalinan postterm. Oligohidramnion dengan cairan amnion yang kental akibat adanya mekonium menyebabkan terjadinya meconium aspiration syndrome. Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.2. Perubahan pada plasentaPlasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 34 36 minggu dan setelah itu terus mengalami penurunan. Pada kehamilan postterm dapat terjadi penurunan fungsi plasenta sedemikian hebat sehingga terjadi gawat janin. Bila keadaan diatas tidak terjadi atau dengan kata lain tidak terjadi peristiwa insufisiensi plasenta maka janin posterm dapat tumbuh terus dengan akibat tubuh anak menjadi besar (makrosomia) dan dapat selanjutnya dapat menyebabkan distosia bahu.Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau didahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi 60%-80%. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g/100g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2-3g/100g jaringan plasenta kering. Secara histologi plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, trombosis arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut; Piring korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon (ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik). Lapisan basal: daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini dikategorikan tingkat tiga.3. Perubahan pada janinSekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu sekitar 43%. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan traumatik. Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.2.3.Diagnosis Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.(Cunningham, et al., 2010) Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.1. Riwayat haidPada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir HPHT.(Cunningham, et al, 2010)Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya. jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya 30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (Mochtar & Krisnanto, 2008)a. ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya

b. siklus 28 hari dan teraturc. tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. Usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir.(Cunningham, et al, 2010) Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al, 2004)Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah 1,37 minggu. (Cohn, et al, 2010)2. Riwayat pemeriksaan antenatalKehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll & Roman, 2008)a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)4. Pemeriksaan cairan amniona. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih. (Mochtar & Krisnanto, 2008)b.Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya.(Mochtar & Krisnanto, 2008)c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan > 42 minggu, didapatkan ACTA < 45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.. (Mochtar & Krisnanto, 2008)d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan 32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)2.4.Komplikasi Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Disfungsi plasentaDisfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)2. OligohidramnionPada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar

800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al, 2010)Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar & Krisnanto, 2008)Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

3. Perubahan pada janinSelain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, tidak seluruh neonates kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20% neonates dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: (Mochtar & Krisnanto, 2008)

a. Stadium 1: Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.b. Stadium 2: Gejala diatas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3: Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.2.5.Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu (Postterm)Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada 70% penderita didapatkan serviks belum matang /unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.(Mochtar & Krisnanto, 2008)

1. Pemantaauan kesejahteraan janinPemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja.

Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah:

a. tes tanpa beban (non-stress test/NST)

b. gerak nafas janinc. gerakan janind. tonus janine. volume cairan amnionSetiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al, 2010)a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al, 2010)b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al, 2010)Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et al, 2010)c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al, 2010)Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat- aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al, 2010)Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)d. Pemeriksaan volume cairan amnionPemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al, 2002; Cunningham, et al, 2010)Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al, 2010)Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong 2 cm. (Cunningham, et al., 2010)Berdasarkan penilaian variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

e. Tonus janin

Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan.Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.2. Induksi persalinanKehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.

Tabel 1. Pelviks skor menurut Bishop untuk menilai derajat kematangan serviks (Cunningham, et al, 2010)SKORFAKTOR

Dilatasi (cm)Pendataran %Station -3 sampai +3Konsistensi serviksArah serviks

0Tertutup0-30-3KakuPosterior

11-240-50-2MediumPertengahan

23-460-70-1LunakAnterior

3 5>80+1, +2--

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al, 2010)Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 2. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)RegimenStarting Dose (mU/min)Incremental Increase (mU/min)Interval (min)

Low-Dose0.5-1.5115-40

24,8,12,16,20,25,3015

High-Dose4415

4.54.515-30

66a20-40b

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih. (Cunningham, et al, 2010)BAB 3KESIMPULAN1. Kehamilan lewat waktu/ postterm/ postdate adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus hadi rata-rata 28 hari.2. Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan, antara lain; peningkatan progesteron, penurunan oksitosin, penundaan pengeluaran hormon kortisol, belum adanya tekanan pada pleksus frankenhausen dan herediter/riwayat postterm pada kehamilan sebelumnya.3. Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping riwayat haid, sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.

4. Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan aterm, Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut: pengaruh pada plasenta dapat mengakibatkan penimbunan kalsium, selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, terjadi proses degenerasi jaringan plasenta, pengangkutan asam amino, lemak dan gama blobulin mengalami gangguan sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.5. Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin dapat mempengaruhi berat badan badan janin, sindroma posmaturitas dan gawat janin.6. Sedangkan perubahan pada ibu meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine action, partus lama meningkatkan tindakan obstertik dan persalinan traumatis/perdarahan post partum akibat bayi besar.

7. Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai saat ini pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik dan pada kehamilan dengan faktor resiko lain: Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil resiko terhadap janin. Pengelolaan pasif /menunggu /ekspektatif: didasarkan pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar postterm mempunyai resiko komplikasi cukup besar terutama resiko persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan terus menerus terhadap kesejahteraan janin baik secara biofisikan maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.DAFTAR PUSTAKA1. Bennett, KA, Crane, JMG dan OShea, P. 2004. First trimester ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction rates: A randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 1077-81.

2. Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated. American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal. 268.

3. Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs second-trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal outcomes. Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.

4. Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.

5. Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37.

6. Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine Norwegian University of Science and Technology, 2007.

7. Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 197, hal.207.e1-207.e8.

8. Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-2419. Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. R. Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391.STATUS ORANG SAKITSMF ILMUKEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

RS. HAJI MINA

MEDANIdentitas pasienNama

: Ny. NUmur

: 22 tahun

Agama

: Islam

Suku

: JawaPekerjaan

: IRTPendidikan : SMANama suami: Tn.IUmur

: 23 TahunAgama

: Islam

Suku

: JawaPekerjaan

: WiraswastaPendidikan

: SMKAlamat

: Lingkungan IX, Sicanang, Medan BelawanNo RM

: 22-09-09Tanggal masuk: 23-09-2014Pukul

: 23.05.00WIB

Ny. N, 22 tahun, G2P1A0, istri dari Tn I, 23 tahun datang ke RS Haji Medan pada tanggal 23-09-2014 pukul 23.05 wib dengan:

KU

: Keluar air dari kemaluanTelaah

:Hal ini dialami pasien sejak tanggal 23-09-2014 pukul 21.00 WIB. Air berbau amis, warna putih jernih, dan tidak dapat ditahan. Os mengatakan merasa ada yg keluar mengalir dari celana os dan membasahi semua celana os. Os mengatakan ganti celana > 3x dalam waktu tersebut.Riwayat keluar lendir darah dari kemaluan (-), riwayat mules-mules (-). BAK (+) normal, BAB (+)normal. Riwayat keputihan selama kehamilan (-), riwayat demam kehamilan (-), riwayat terjatuh terbentur di daerah perut (-), riwayat berhubungan dengan suami pada saat kehamilan (-), riwayat merokok (-).RPT/RPO

: -HPHT

: 07 - 01 - 2014TTP

: 14 - 10 2014Perkiraan usia kehamilan : 36-37 mingguANC: Ke dokter Sp.OG 4 kaliRiwayat persalinan :

1. Perempuan, 2,5 tahun, aterm, 4200gr, SC, dr.Sp.OG

2. Hamil ini

Status present

Sens: CM

Anemis : (-/-)

TD: 110/70 mmHg

Ikterik

: (-/-)

HR: 84 x/i

Dyspnoe : (-)

RR: 24 x/i

Sianosis : (-)

T: 36,50 C

Oedem : (-)

TB : 157 cm

BB : 75 kg

Status Generalisata

Mata

: anemis -/-, ikterus -/-

Leher

: KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

Thorax

: Cor : Bunyi jantung normal, reguler, bunyi tambahan (-)

Pulmo : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)Abdomen: distensi (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Ekstremitas

: akral hangat (+), edema (-/-)

Status Obstetri

Abdomen: membesar, asimetrisPalpasi

Leopold I: 4 jari dibawah proc. Xypoideus (30cm)

Leopold II: Kanan teraba bagian kecil, kiri teraba punggung, teregang ke kiriLeopold III: Teraba bulat keras, melenting, bagian bawah kepala

Leopold IV: Divergen, 3/5Gerakjanin

: (+)

HIS

: (-)DJJ

: 148 x/i, reguler

EBW

: 2790 grInspeculo: Inspeksi : Tampak air menggenang di fornix posterior vagina Dilakukan pemeriksaan nitrazin tes, dimana kertas lakmus merah berubah menjadi biru. Kesan : nitrazin tes (+) Air Ketuban (+)VT

: Cx sakral, 1cm, sel ket (-), Kepala H 1, UUK (SDN) ST

: Lendir darah (-), Air Ketuban (+)

Hasil laboratorium tanggal 24-09-2014

Hematologi

Darah rutin

Nilai

Nilai Rujukan satuan

Hemoglobin

*10,2

12 16

g/dl

Hitung eritrosit

4,3

3,9 - 5,6 10*5/l

Hitung leukosit

9,500

4,000- 11,000

/l

Hematokrit

*32,1

36-47

%

Hitung trombosit282.000150,000-450,000/l

Index eritrosit

MCV

*75,2

80 96

fL

MCH

*23,8

27 31

pg

MCHC

31,8

30 34 %

Hitung jenis leukosit

Eosinofil

1

1 3

%

Basofil

0

0 1

%

N.Stab

*0

2 6

%

N. Seg

*72

5375

%

Limfosit

*20

2045

%

Monosit

7

48

%

LED

*55

0-20

%

Kimia Klinik

Glukosa Darah Sewaktu

: 83

mg/dL

< 140Fungsi Ginjal

Ureum

*15

mg/dl

20-42Kreatinin

*0,46

mg/dl

0,6-1,1Diagnosa Sementara

Ketuban Pecah Dini + SG +Prev SC 1x + KDR 36-37 minggu) + PK + AH Rencana Operasi a/i Ketuban Pecah Dini ( 27-09-2014 pukul 10.00 )Laporan SC a/i Ketuban Pecah Dini tgl 27-09-2014 Pukul 10.00 WIB Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang dengan baik. Dilakukan tindakan aseptik dengan larutan betadin dan alkohol 70% pada dinding abdomen lalu ditutup dengan duck steril kecuali lapangan operasi.

Dibawah spinal anastesi dilakukan insisi pfannenstiel mulai dari kutis, subkutis, hingga tampak fascia.

Dengan menyisipkan pinset anatomis dibawahnya, fascia digunting kekanan dan kekiri, otot dikuakkan secara tumpul.

Peritonium dijepit dengan klem, diangkat lalu digunting keatas dan kebawah kemudian dipasang hack blast.

Tampak uterus gravidarum, identifikasi SBR dan lig. Rotundum. Lalu plica vesicouterina digunting kekiri dan kekanan dan disisihkan kebawah arah blast secukupnya.

Selanjutnya dinding uterus diinsisi secara konkaf sampai menembus subendometrium. Kemudian endometrium ditembus secara tumpul dan diperlebar sesuai arah sayatan. Selaput ketuban dipecahkan, air ketuban jernih, apgar score 9-10. Dengan meluksir kepala, lahir bayi laki-laki, 3400gr, PB 51 cm, anus (+)

Tali pusat diklem pada 2 tempat dan digunting diantaranya. Plasenta dilahirkan dengan traksi pada tali pusat dan penekanan pada fundus, kesan lengkap. Kedua sudut kiri dan kanan tepi luka insisi dijepit dengan oval klem

Kavum uteri dibersihkan dari sisa sisa selaput ketuban dengan kassa steril terbuka sampai tidak ada sisa selaput atau plasenta yang tertinggal. Kesan : bersih. Dilakukan penjahitan hemostasis figure of eight pada kedua ujung robekan uterus dengan chromic catgut no.2.0,dinding uterus dijahit lapis demi lapis jelujur terkunci overhecting. Evaluasi tidak ada perdarahan. Reperitonealisasi dengan plain catgut no.1.0 Klem peritonium dipasang, lalu kavum abdomen dibersihkan dari bekuan darah dan cairan ketuban. Kesan : bersih

Evaluasi tuba dan ovarium kanan kiri. kesan : normal. Lalu peritoneum dijahit dengan plain catgut no.00. kemudian dilakukan jahitan aproksimal otot dinding abdomen dengan plain cat gut no.00 secara simple / continous Kedua ujung fascia dijepit dengan kocher, lalu dijahit secara jelujur dengan vycril no.2/0.

Subkutis dijahit secara simple sutura dengan plain cat gut no.00 Kutis dijahit secara subkutikuler dengan vycril 2/0. Luka operasi ditutup dengan kasa steril + betadin solusio. Liang vagina dibersihkan dari sisa sisa darah dengan kapas sublimat hingga bersih. Keadaan umum ibu post operasi : stabilInstruksi : Awasi vital sign, kontraksi dan tanda tanda perdarahanTerapi : IVFD RL+oksitosin 10 IU 20gtt/menit

Inj. Cefotaxim

1gr/12jam

Inj. Gentamisin

80mg/8jam

Inj. Ketorolac

30mg/8jam

Inj. Ranitidin

50mg/12jam

Inj. Ditranex

500 mg/8jam

Follow Up tanggal 28 September 2014 pukul 06.00 WIBS : Nyeri luka operasi

O : Sensorium : Compos Mentis

Anemis: -/-

TD

: 110/70 mmHg

Ikterik

: -/-

HR

: 88x/menit

Dyspnoe: -

RR

: 20x/menit

Sianosis: -

T

: 36,6C

Oedem : -

SL : Abd : Soepel, peristaltik (+) Lemah P/V : Lochia rubra (+)

TFU : 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik

L/O : Tertutup perban, kesan kering

BAK : Via kateter 70cc/jam, warna kuning jernih BAB: (+)

Flatus: (-)

ASI :+ /+Diagnosa : Post SC a/i Prev SC 1x+ Ketuban Pecah Dini+ NH1

Terapi : IVFD RL

20gtt/menit

Inj. Cefotaxime

1gr/12jam

Inj. Gentamicin

80mg/8jam

Inj. Ketorolac

30 mg/8jam

Inj. Ranitidin 30mg/12jamFollow Up tanggal 29 September 2014 pukul 06.00 WIB

S : mual-mualO : Sensorium : Compos Mentis

Anemis: TD

: 110/60 mmHg

Ikterik

: -/-

HR

: 84x/menit

Dyspnoe: -

RR

: 20x/menit

Sianosis: -

T

: 36,8C

Oedem : -

SL : Abd : Soepel, peristaltik (+)

P/V : Lochia rubra (+)

TFU : 1 jari di bawah pusat, kontraksi baik L/O : Tertutup perban, kesan kering

BAK : Via kateter 80cc/jam BAB : (-)

Flatus: (+)

ASI : +/+Diagnosa : Post SC a/i Prev SC 1x+ Ketuban Pecah Dini+ NH2

Terapi : Three way

Inj. Cefotaxime1gr/12jam

Inj. Gentamicin80mg/8jam

Antasida syrup30x C1

Asam Mefenamat 3x500mg

Ranitidin Tablet2x1

R/ Aff KateterFollow Up tanggal 30 September 2014 pukul 06.00 WIB

S : -O : Sensorium : Compos Mentis

Anemis: TD

: 120/80 mmHg

Ikterik

: -/-

HR

: 88x/menit

Dyspnoe: -

RR

: 24x/menit

Sianosis: -

T

: 36,8C

Oedem : -

SL : Abd : Soepel, peristaltik (+)

P/V : Lochia rubra (+)

TFU : 1 jari di bawah pusat, kontraksi baik L/O : Tertutup perban, kesan kering

BAK : (+), Normal BAB : (-)

Flatus: (+)

ASI : +/+Diagnosa : Post SC a/i Prev SC 1x+ Ketuban Pecah Dini+ NH3 Terapi : Three way

Inj. Cefotaxime

1gr/12jam

Inj. Gentamicin

80mg/8jam

Antasida syrup

30x C1

Asam Mefenamat 3x500mg

Ranitidin Tablet

2x1

Follow Up tanggal 31 September 2014 pukul 06.00 WIB

S : -O : Sensorium : Compos Mentis

Anemis: TD

: 120/80 mmHg

Ikterik

: -/-

HR

: 80x/menit

Dyspnoe: -

RR

: 22x/menit

Sianosis: -

T

: 36,5C

Oedem : -

SL : Abd : Soepel, peristaltik (+)

P/V : Lochia sanguilenta (+)

TFU : 1 jari di bawah pusat, kontraksi baik L/O : Tertutup perban, kesan kering

BAK : (+), Normal BAB : (-)

Flatus: (+)

ASI : +/+Diagnosa : Post SC a/i Prev SC 1x+ Ketuban Pecah Dini+ NH4 Terapi : Three way

Inj. Cefotaxime

1gr/12jam

Inj. Gentamicin

80mg/8jam

Antasida syrup

30x C1

Asam Mefenamat 3x500mg

Ranitidin Tablet

2x1