post date.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena
terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan
postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang
dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)
Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan
diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami
gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010) Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan
hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008) Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat
ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan
6-11 minggu. (Cunningham, et al., 2010)
Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti
mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi
pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak
selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan
menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya
mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim.
Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena
pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,
didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah
sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan
1
yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih
menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung
dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil
dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Kehamilan Postterm
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
2.2 Patogenesis dan etiologi Kehamilan Postterm
Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya
kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron melewati waktu yang semestinya. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab
terjadinya kehamilan postterm. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi
estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan
janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar
hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan
baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm
terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,
seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian
terbawah janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
3
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)
Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah
dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan
penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah
membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan
secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B
pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya
dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi
“keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal
yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.
Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan
untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al., 2010)
2.3. Diagnosis Kehamilan Postterm
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%
dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh
karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010) Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang
tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan
karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula
risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.
4
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk
ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis
kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat
atau tidak bisa dipercaya. jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis
kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.
Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
(a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur,
(c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. (Mochtar & Krisnanto,
2008)
usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih
sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan
akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus
haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2010) Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan
tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus
menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung
mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat
5
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT
adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3
atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll & Roman, 2008)
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan
telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan
yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam
mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG
trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada
usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)
memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III
menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan
yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan
II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat
6
variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan
pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)
4. Pemeriksaan cairan amnion
a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat
sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung
lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36
minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia
kehamilan 39 minggu atau lebih. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang
sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. (Mochtar &
Krisnanto, 2008)
c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian
terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat
waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan
bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu,
ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan
>42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA
antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah
postterm. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar
L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1).
Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan
pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat
dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya
digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk
dilahirkan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
7
2.4. Komplikasi Kehamilan Postterm
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan
amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.
1. Disfungsi plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi
pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali
lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses
penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut
sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)
2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas
cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al., 2010)
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm
berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh sebab
itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
8
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi
tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar & Krisnanto, 2008)
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan
amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena
lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah
badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan
Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu,
adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion
menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi
mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.
Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran
uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan
sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI
telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
3. Perubahan pada janin
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada
kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai
dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain;
penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan
hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh
9
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung
fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda
postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3
stadium: (Mochtar & Krisnanto, 2008)
a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa
kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada
kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali
pusat.
2.5Penatalaksanaan Kehamilan Postterm
Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan
kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan
tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42
minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable
dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,
permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan
pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan
janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung
dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar &
Krisnanto, 2008)
1. Pemantaauan kesejahteraan janin
pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai
kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan
hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja.
10
Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang
digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-
stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan
(e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan
skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor
10 pada pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)
a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun
sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang
impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung
janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia
ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai
respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia
kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut
jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan
usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban
kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara
sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan
OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST
adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin
adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall
movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara
paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini
berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan
orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
11
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang
menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai
adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG
dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas
janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat
tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick
dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam
menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran
karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir
kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa
saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat
mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu
observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan
janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan
pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et al., 2010)
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai
ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta
terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia
kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih
dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan
pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu.
Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al., 2010)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum
menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-
aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut
sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada
12
80% janin. (Cunningham, et al., 2010)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada
umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200
gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar
minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu,
pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin
tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm
mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring
dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi
secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)
d. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari
pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian
janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan
perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin,
menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan
oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan
USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid
index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara
menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar
pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau
kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al.,
2010)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung
cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut
pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila
didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm. (Cunningham, et al., 2010)
13
Berdasarkan penilaian variabel yang telah dijelaskan di atas, maka
didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya.
Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan
maksimal 10.
Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat
berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil
melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran
keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan
terminasi kehamilan.
Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik
(Cunningham, et al., 2010)
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
14
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998. (Heimstad, 2007)
15
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang
belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi
persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai
penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah
untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan
terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap
ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh
beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan
lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan
untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang
diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)
konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian
terbawah janin.
Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)
Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi
persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya
menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga
membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan
secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter
transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2010)
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi
16
persalinan dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai
efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae.
Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi
persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi
ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan
dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang
dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan
menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat
berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin,
baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.
Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)
Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin
20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit
masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan
ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek
antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi
dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat,
yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg
atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)
3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion
Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm
tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal,
harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan
pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan
komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena
17
tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)
Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum
menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda.
Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010),
melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang
memiliki nilai AFI intrapartum
<5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm.
Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas
indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali
lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada
kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995)
yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa
hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang
mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al.,
(2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5
cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga
dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko
komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi
janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan
pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit
dengan pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada
kehamilan postterm mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan
janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat
bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama
persalinan. c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila 18
sewaktu-waktu
terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap
wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir
dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan
ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
19
BAB III
KESIMPULAN
1) Kehamilan postterm/postdate adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42
minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir
menurut rumus Naegele dengan siklus hadi rata-rata 28 hari
2) sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa
teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya
kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan,
antara lain; peningkatan progesteron, penurunan oksitosin, penundaan
pengeluaran hormon kortisol, belum adanya tekanan pada pleksus
frankenhausen dan herediter/riwayat postterm pada kehamilan sebelumnya.
3) Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping riwayat haid,
sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal
4) Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan
aterm, Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut; Pengaruh
pada plasenta dapat mengakibatkan penimbunan kalsium, Selaput
vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, Terjadi
proses degenerasi jaringan plasenta, pengangkutan asam amino, lemak dan
gama blobulin mengalami gangguan sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan janin intrauterin.
5) Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih
diperdebatkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin dapat
mempengaruhi berat badan badan janin, Sindroma posmaturitas dan Gawat
janin.
6) Sedangkan perubahan pada ibu meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu
sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih
keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine
action, partus lama meningkatkan tindakan obstertik dan persalinan
traumatis/perdarahan post partum akibat bayi besar
7) Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai
saat ini pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap
kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik dan pada kehamilan dengan
faktor resiko lain : Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan
anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil resiko
terhadap janin. Pengelolaan pasif / menunggu / ekspektatif: didasarkan
pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar
postterm mempunyai resiko komplikasi cukup besar terutama resiko
persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan
terus menerus terhadap kesejahteraan janin baik secara biofisikan maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul
indikasi untuk mengakhiri kehamilan
DAFTAR PUSTAKA
Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester ultrasound screening
is effective in reducing postterm labor induction rates: A randomized controlled
trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 1077-81.
Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated?
American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal. 268.
Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs second-trimester
ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal outcomes. Am J Obstet
Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.
Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third trimesters
by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid. Am J Obstet
Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.
Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition.
New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37.
Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine Norwegian
University of Science and Technology, 2007.
Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in identifying
peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 197, hal.
207.e1-207.e8.
Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm delivery.
Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-241.e6.
Magann, EF, et al. 2004. How well do the amniotic fluid index and single deepest
pocket indices predict oligohydramnios and hydramnios? Am J Obstet
Gynecol.
2004, Vol. 190, hal. 164-9.
Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. [penyunt.] R.
Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya : Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391.
Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of
Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. October
2002, Vol. 100, hal. 715-8.
Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication. [penyunt.] A
H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics &
Gynecology.
10th Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 15.
Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last menstrual period,
ultrasound scanning, and their combination. Am J Obstet Gynecol.
Desember
2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666.
23