post date.docx

38
BAB I PENDAHULUAN Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010) Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010) Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010) Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008) Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu. (Cunningham, et al., 2010) Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan 1

Upload: doody-fiina-roosa

Post on 22-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Post Date.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42

minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena

terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan

postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang

dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan

diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan

marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus

maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami

gangguan yang berat. (Cunningham, et al., 2010) Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan

hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar & Krisnanto, 2008) Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat

ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan

6-11 minggu. (Cunningham, et al., 2010)

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti

mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi

pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak

selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur

sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan

menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya

mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim.

Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena

pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,

didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah

sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan

1

Page 2: Post Date.docx

yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih

menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung

dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil

dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

2

Page 3: Post Date.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Kehamilan Postterm

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians

and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang

berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama

siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

2.2 Patogenesis dan etiologi Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum

diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan

penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya

kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh

progesteron melewati waktu yang semestinya. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita

hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab

terjadinya kehamilan postterm. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta

sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi

estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya

produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan

janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar

hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan

baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm

terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,

seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian

terbawah janin. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

3

Page 4: Post Date.docx

5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm

telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)

menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah

mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk

mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil

penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga

dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah

dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan

penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah

membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan

secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B

pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya

dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi

“keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal

yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui

mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.

Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan

untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al., 2010)

2.3. Diagnosis Kehamilan Postterm

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%

dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh

karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010) Oleh

sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang

tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan

karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula

risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.

Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga

bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

4

Page 5: Post Date.docx

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk

ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis

kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan

definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and

Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42

minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir

(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat

atau tidak bisa dipercaya. jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis

kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.

Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

(a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur,

(c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. (Mochtar & Krisnanto,

2008)

usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih

sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan

pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia

kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan

akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus

haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2010) Pendekatan ini berpotensi

menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan

tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus

menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus

karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama

7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada

kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi

kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung

mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat

5

Page 6: Post Date.docx

kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT

adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3

atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll & Roman, 2008)

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan

telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa

kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan

bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki

tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan

yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam

mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan

estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG

trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada

usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal

(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)

memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III

menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan

yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan

II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat

6

Page 7: Post Date.docx

variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan

pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal

perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III

bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia

kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan

melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)

4. Pemeriksaan cairan amnion

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat

sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung

lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36

minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia

kehamilan 39 minggu atau lebih. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang

sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. (Mochtar &

Krisnanto, 2008)

c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian

terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat

waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan

bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu,

ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan

>42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA

antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah

postterm. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar

L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1).

Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan

pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat

dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya

digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk

dilahirkan. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

7

Page 8: Post Date.docx

2.4. Komplikasi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan

amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan

tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi

pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi

plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian

mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini

berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali

lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses

penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan

mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut

sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas

cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia

kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar

800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion

berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia

kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al., 2010)

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm

berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa

berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm

terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri

renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin

dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh sebab

itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm

8

Page 9: Post Date.docx

menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal

meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi

tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan

keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar & Krisnanto, 2008)

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan

amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena

lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah

badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan

Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu,

adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion

menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi

mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.

Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter

vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran

uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan

sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI

telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya

oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

3. Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada

kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai

dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan

sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain;

penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan

hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin

berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;

rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau

kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh

9

Page 10: Post Date.docx

neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung

fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda

postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3

stadium: (Mochtar & Krisnanto, 2008)

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa

kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada

kulit.

c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali

pusat.

2.5Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan

kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan

tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur

sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42

minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable

dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi

rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,

permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan

pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan

pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan

janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung

dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar &

Krisnanto, 2008)

1. Pemantaauan kesejahteraan janin

pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai

kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan

hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja.

10

Page 11: Post Date.docx

Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang

digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-

stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan

(e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan

skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor

10 pada pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun

sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang

impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung

janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia

ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai

respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia

kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut

jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan

usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban

kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara

sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan

OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST

adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai

kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin

adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall

movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara

paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini

berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan

orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya

11

Page 12: Post Date.docx

gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang

menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai

adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG

dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas

janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat

tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick

dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam

menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran

karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir

kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa

saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit

lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat

mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu

observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan

janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan

pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et al., 2010)

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai

ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta

terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia

kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih

dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan

pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu.

Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat

dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al., 2010)

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum

menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-

aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut

sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada

12

Page 13: Post Date.docx

80% janin. (Cunningham, et al., 2010)

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada

umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200

gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar

minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu,

pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin

tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm

mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring

dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi

secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)

d. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari

pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian

janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan

perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin,

menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan

oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan

USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid

index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara

menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar

pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau

kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al.,

2010)

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung

cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut

pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila

didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm. (Cunningham, et al., 2010)

13

Page 14: Post Date.docx

Berdasarkan penilaian variabel yang telah dijelaskan di atas, maka

didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya.

Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan

maksimal 10.

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat

berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil

melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran

keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan

terminasi kehamilan.

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik

(Cunningham, et al., 2010)

2. Induksi persalinan

Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi

indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi

salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat

14

Page 15: Post Date.docx

dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di

tahun 1998. (Heimstad, 2007)

15

Page 16: Post Date.docx

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang

belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk

merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi

persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai

penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah

untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan

terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap

ibu dan janin tetap ada. (Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh

beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari

kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat

dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan

lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan

untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang

diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)

konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian

terbawah janin.

Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi

persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya

menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga

membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan

secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter

transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2010)

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi

16

Page 17: Post Date.docx

persalinan dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai

efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae.

Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi

persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi

ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan

dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang

dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan

menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat

berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin,

baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin

20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit

masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi

dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan

ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan

kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek

antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi

dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat,

yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg

atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion

Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm

tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal,

harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan

pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan

komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena

17

Page 18: Post Date.docx

tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum

menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda.

Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010),

melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang

memiliki nilai AFI intrapartum

<5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm.

Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas

indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali

lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada

kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995)

yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa

hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang

mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al.,

(2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5

cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga

dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko

komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi

janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan

pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit

dengan pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.

Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada

kehamilan postterm mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan

janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat

bermanfaat.

b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama

persalinan. c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila 18

Page 19: Post Date.docx

sewaktu-waktu

terjadi kegawatan janin

d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap

wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir

dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan

ketuban bercampur mekonium.

e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

19

Page 20: Post Date.docx

BAB III

KESIMPULAN

1) Kehamilan postterm/postdate adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42

minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir

menurut rumus Naegele dengan siklus hadi rata-rata 28 hari

2) sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa

teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya

kehamilan postterm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan,

antara lain; peningkatan progesteron, penurunan oksitosin, penundaan

pengeluaran hormon kortisol, belum adanya tekanan pada pleksus

frankenhausen dan herediter/riwayat postterm pada kehamilan sebelumnya.

3) Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping riwayat haid,

sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal

4) Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan

aterm, Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut; Pengaruh

pada plasenta dapat mengakibatkan penimbunan kalsium, Selaput

vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang, Terjadi

proses degenerasi jaringan plasenta, pengangkutan asam amino, lemak dan

gama blobulin mengalami gangguan sehingga mengakibatkan gangguan

pertumbuhan janin intrauterin.

5) Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih

diperdebatkan. Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin dapat

mempengaruhi berat badan badan janin, Sindroma posmaturitas dan Gawat

janin.

6) Sedangkan perubahan pada ibu meningkatkan morbiditas/mortalitas ibu

sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih

keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine

action, partus lama meningkatkan tindakan obstertik dan persalinan

traumatis/perdarahan post partum akibat bayi besar

Page 21: Post Date.docx

7) Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai

saat ini pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap

kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik dan pada kehamilan dengan

faktor resiko lain : Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan

anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil resiko

terhadap janin. Pengelolaan pasif / menunggu / ekspektatif: didasarkan

pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas dasar

postterm mempunyai resiko komplikasi cukup besar terutama resiko

persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan

terus menerus terhadap kesejahteraan janin baik secara biofisikan maupun

biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul

indikasi untuk mengakhiri kehamilan

Page 22: Post Date.docx

DAFTAR PUSTAKA

Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester ultrasound screening

is effective in reducing postterm labor induction rates: A randomized controlled

trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 1077-81.

Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated?

American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal. 268.

Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs second-trimester

ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal outcomes. Am J Obstet

Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.

Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third trimesters

by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid. Am J Obstet

Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.

Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition.

New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37.

Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine Norwegian

University of Science and Technology, 2007.

Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in identifying

peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 197, hal.

207.e1-207.e8.

Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm delivery.

Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-241.e6.

Page 23: Post Date.docx

Magann, EF, et al. 2004. How well do the amniotic fluid index and single deepest

pocket indices predict oligohydramnios and hydramnios? Am J Obstet

Gynecol.

2004, Vol. 190, hal. 164-9.

Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. [penyunt.] R.

Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya : Himpunan

Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391.

Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of

Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. October

2002, Vol. 100, hal. 715-8.

Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication. [penyunt.] A

H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics &

Gynecology.

10th Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 15.

Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last menstrual period,

ultrasound scanning, and their combination. Am J Obstet Gynecol.

Desember

2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666.

23