potensi antibakteri dan analisis emulsifikasi...
TRANSCRIPT
i
POTENSI ANTIBAKTERI DAN ANALISIS EMULSIFIKASI
BIOSURFAKTAN DARI ISOLAT BAKTERI LOKAL
AGUS PURNOMOHADI
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
ii
ABSTRAK
AGUS PURNOMOHADI. Potensi Antibakteri dan Analisis Emulsifikasi
Biosurfaktan dari Isolat Bakteri Lokal. Dibimbing oleh EMAN KUSTAMAN dan
DWI SUSILANINGSIH.
Penggunaan senyawa antibakteri yang tidak tepat dalam kehidupan sehari-
hari mendorong timbulnya resistensi terhadap antibakteri. Biosurfaktan berpotensi
sebagai antibakteri namun laporan mengenai aplikasinya di bidang biomedis
masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi biosurfaktan hasil
pemurnian melalui analisis emulsifikasi dan potensi antibakterinya terhadap
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis dan Staphylococcus
aureus. Potensi antibakteri ditentukan dengan metode cawan mikro yang
dimodifikasi menggunakan pewarna Tetrazolium Blue Chloride (TBC).
Biosurfaktan dipisahkan dari kultur isolat SR_DP.7, SR_DP.9, dan BT-38-CP
yang berumur 54 jam dengan sentrifugasi dan ekstraksi menggunakan etil asetat.
Rendemen biosurfaktan hasil pemurnian untuk isolat SR_DP.7, SR_DP.9 dan BT-
38-CP secara berturut-turut adalah 0.95, 0.36, dan 0.08 %. Biosurfaktan dari isolat
SR_DP.7 memiliki kemampuan emulsifikasi lebih lemah dibandingkan
biosurfaktan dari isolat SR_DP.9 dan BT-38-CP. Pengujian antibakteri
menunjukkan bahwa biosurfaktan dari SR_DP.7 dan SR_DP.9 tidak berpotensi
antibakteri hingga konsentrasi 10 000 ppm. Biosurfaktan dari BT-38-CP
berpotensi antibakteri terhadap B. subtilis dan S. aureus pada konsentrasi 5000
ppm. Panjang gelombang maksimum untuk pengujian antibakteri adalah 620 nm
untuk E. coli dan P. aeruginosa, 615 nm untuk B. subtilis, dan 595 nm untuk
S. aureus.
iii
ABSTRACT
AGUS PURNOMOHADI. Antibacterial Potency and Emulsification Analysis of
Biosurfactants from Local Bacterial Isolates. Under the direction of EMAN
KUSTAMAN and DWI SUSILANINGSIH.
Inappropriate consumption of antibacterial agents in daily life triggers the
resistance to these agents. Biosurfactants have potency for antimicrobial agent,
however several reports on the application in biomedical sciences are still limited.
This research aimed to perform characterization of purified biosurfactants through
emulsification analysis and antibacterial potential againts Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis and Staphylococcus aureus.
Antibacterial potency is determined using a modified microplate with Tetrazolium
Blue Chloride (TBC) dye. Biosurfactants were isolated from cultivation of
SR_DP.7, SR_DP.9 and BT-38-CP during 54 hours exposure time and recovered
by centrifugation and extraction with ethyl acetate. The purified biosurfactant
yields for each isolates were 0.95, 0.36, and 0.08 % respectively. Emulsification
capacity of biosurfactant from SR_DP.7 was weaker than biosurfactants from
SR_DP.9 and BT-38-CP. Antibacterial assay results showed that the biosurfactant
from SR_DP.7 and SR_DP.9 has no antibacterial activity up to 10 000 ppm.
Biosurfactant from BT-38-CP has antibacterial potency againts Bacillus subtilis
and Staphylococcus aureus at a concentration of 5000 ppm. The maximum
wavelength for antibacterial assay was different each species, i.e. E. coli and
P. aeruginosa was 620 nm, B. subtilis was 615 nm, and S. aureus was 595 nm.
iv
POTENSI ANTIBAKTERI DAN ANALISIS EMULSIFIKASI
BIOSURFAKTAN DARI ISOLAT BAKTERI LOKAL
AGUS PURNOMOHADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
v
Judul Skripsi : Potensi Antibakteri dan Analisis Emulsifikasi Biosurfaktan dari
Isolat Bakteri Lokal
Nama : Agus Purnomohadi
NIM : G84054299
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Eman Kustaman Dr. Dwi Susilaningsih, M. Pharm
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus:
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah dengan
judul Potensi Antibakteri dan Analisis Emulsifikasi Biosurfaktan dari Isolat
Bakteri Lokal. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2009 sampai April 2010 di
Laboratorium Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong,
Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek kerja sama National Institute
of Technology and Evaluation (NITE) Jepang dan Pusat Penelitian Bioteknologi
dengan peneliti utama Dr. Dwi Susilaningsih, M. Pharm.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Eman Kustaman dan Dr. Dwi
Susilaningsih, M. Pharm selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan,
saran, dan kritik selama penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Delicia Yunita R., M.Si, Swastika Praharyawan, S.Si, Apt, Dian Noverita
W., S.Si, Muhammad Sidiq H., S.Si, Hilda Farida, S.Si, Apridah Cameliawati
D., S.Si, dan Ade Andriani, S.Si atas bantuan teknis dan kerjasamanya. Ucapan
terima kasih penulis ucapkan kepada A. Zaenal Mustopa, M.Si beserta staf atas
bantuan teknis selama penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada kedua orang tua dan kakak atas segala bantuan, motivasi, dan doa.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
semua pihak yang membutuhkannya demi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bogor, Agustus 2010
Agus Purnomohadi
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 11 Agustus 1987 sebagai
anak kedua dari pasangan Jairi dan Sri Rejeki. Penulis lulus dari SMA N 1 Klaten
pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis
memilih mayor dari Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam serta Supporting Course.
Selama perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota Divisi Bioanalisis
Himpunan Profesi Community of Research and Education in Biochemistry
(CREBs) Biokimia IPB periode 2007/2008, anggota divisi Hubungan Masyarakat
Keluarga Mahasiswa Klaten (KMK) periode 2007/2008, dan beberapa kepanitiaan
lainnya. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biokimia Umum
pada tahun ajaran 2008/2009 dan 2009/2010. Selain itu, penulis juga pernah
melakukan praktik lapangan di Laboratorium Bioproses, Pusat Penelitian
Bioteknologi, LIPI Cibinong dengan judul Uji Hayati Senyawa Surfaktan dari
Bakteri Laut terhadap Fungi Patogen Candida albicans.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... x
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Biosurfaktan .......................................................................................... 1
Uji Emulsifikasi .................................................................................... 3
Metode Cawan Mikro ........................................................................... 3
Tetrazolium Blue Chloride .................................................................... 4
Antibakteri ............................................................................................ 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ..................................................................................... 5
Metode .................................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Isolat Bakteri Penghasil Biosurfaktan ............................ 7
Pemurnian Biosurfaktan ....................................................................... 8
Uji Emulsifikasi Biosurfaktan .............................................................. 9
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Formazan ........................ 9
Penentuan Potensi Antibakteri .............................................................. 10
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13
LAMPIRAN .................................................................................................... 15
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur molekul glikolipid ....................................................................... 2
2 Reaksi umum reduksi tetrazolium menjadi formazan ............................... 4
3 Struktur molekul TBC ............................................................................... 5
4 Struktur molekul kloramfenikol ................................................................ 5
5 Kurva pertumbuhan isolat penghasil biosurfaktan: SR_DP.7, SR_DP.9,
dan BT-38-CP ........................................................................................... 8
6 Hasil uji emulsifikasi biosurfaktan ............................................................ 9
7 Spektrum absorbsi bakteri uji .................................................................... 10
8 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Escherichia coli ........ 11
9 Cawan mikro hasil uji antibakteri terhadap Escherichia coli ................... 11
10 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Pseudomonas
aeruginosa ................................................................................................. 11
11 Cawan mikro hasil uji antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa .... 11
12 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus ........................................................................................................ 12
13 Cawan mikro hasil uji antibakteri terhadap Staphylococcus aureus .......... 12
14 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Bacillus subtilis ........ 12
15 Cawan mikro hasil uji antibakteri terhadap Bacillus subtilis .................... 12
16 Kurva pertumbuhan E. coli yang ditambahkan biosurfaktan
10 000 ppm ................................................................................................ 13
17 Kurva pertumbuhan S. aureus yang ditambahkan biosurfaktan
5000 ppm ................................................................................................... 13
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahapan penelitian .................................................................................... 16
2 Tahapan pengujian potensi antibakteri dengan metode cawan mikro ...... 17
3 Data pertumbuhan isolat penghasil biosurfaktan ....................................... 18
4 Hasil penentuan E24 ................................................................................... 18
5 Hasil pengukuran serapan larutan TBC pada berbagai panjang
gelombang ................................................................................................. 19
6 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Escherichia coli ........ 19
7 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Pseudomonas
aeruginosa ................................................................................................. 20
8 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Bacillus subtilis ........ 21
9 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus ........................................................................................................ 21
1
PENDAHULUAN
Senyawa antibakteri sangat diperlukan
dalam perawatan dan pencegahan infeksi
bakteri. Antibakteri tidak hanya dimanfaatkan
sebagai obat, namun juga digunakan dalam
berbagai produk rumah tangga. Sabun, pasta
gigi, dan pembersih muka merupakan
beberapa contoh produk yang terdapat
kandungan antibakteri di dalamnya.
Penggunaan antibakteri yang tidak tepat
selama bertahun-tahun mendorong munculnya
resistensi terhadap antibakteri tersebut (Levy
2001). Hal ini mengakibatkan semakin banyak
pencarian sumber-sumber antibakteri baru.
Antibakteri baru itu diharapkan dapat lebih
efektif melawan infeksi mikrob patogen.
Biosurfaktan merupakan senyawa yang
dihasilkan oleh mikrob, memiliki aktivitas
permukaan, dan emulsifikasi (Rodrigues et al.
2006). Senyawa ini memiliki struktur yang
sangat beragam, contohnya glikolipid,
lipopeptida, fosfolipid, dan lain-lain. Bio-
surfaktan telah diteliti memiliki potensi
antimikrob, yaitu sebagai antibakteri dan
antifungi (Desai & Banat 1997). Meskipun
demikian, laporan mengenai aplikasi biosur-
faktan dalam bidang biomedis masih terbatas
(Rodrigues et al. 2006). Toksisitas biosurfak-
tan yang lebih rendah, biodegradabilitas yang
lebih tinggi, dan ramah lingkungan menye-
babkan biosurfaktan berpotensi sebagai
sumber antimikrob baru yang memiliki akti-
vitas lebih baik dan aman dibandingkan
dengan antimikrob yang sudah ada di pasaran
(Desai & Banat 1997).
Biosurfaktan termasuk metabolit sekunder
yang disekresikan ke dalam media ataupun
terikat di bagian sel tertentu (Desai & Banat
1997). Isolasi biosurfaktan dari pengotor
seperti nutrien terlarut di dalam media
menjadi penting untuk dilakukan supaya
analisis berikutnya tidak terganggu oleh
adanya senyawa pengotor tersebut.
Keragaman struktur biosurfaktan meng-
akibatkan perlunya metode cepat untuk
menetapkan adanya kandungan biosurfaktan
di dalam hasil pemurnian dari kultur isolat
penghasil biosurfaktan. Analisis emulsifikasi
merupakan metode cepat untuk menetapkan
kandungan surfaktan di dalam sampel. Hasil
analisis dinyatakan sebagai indeks
emulsifikasi. Semakin besar nilai indeksnya,
kemampuan surfaktan tersebut untuk
mengemulsikan suatu senyawa juga akan
menjadi semakin besar (Walter et al. 2010).
Metode cawan mikro (microplate)
merupakan salah satu metode pengujian
antibakteri yang banyak dilakukan saat ini.
Prinsip metode ini adalah potensi antibakteri
ditentukan berdasarkan kemampuan senyawa
tersebut dalam menghambat pertumbuhan
bakteri di dalam media cair yang terdapat di
dalam cawan mikro 96 sumur (Kreander et al.
2005). Penghambatan pertumbuhan bakteri
dapat diukur dengan memanfaatkan spektro-
fotometer. Masalah yang dihadapi dalam
penggunaan metode cawan mikro adalah
senyawa antibakteri dapat mengganggu
serapan pertumbuhan bakteri karena memiliki
karakteristik spektrum yang berbeda dengan
media, terbentuknya agregat bakteri, dan
pigmen yang dihasilkan oleh bakteri uji (Ellof
1998).
Keterbatasan metode cawan mikro
mengakibatkan perlunya modifikasi agar
dapat meningkatkan ketepatan dan ketelitian
metode ini. Modifikasi metode cawan mikro
dilakukan dengan menambahkan pewarna
tetrazolium yang dapat direduksi menjadi
formazan berwarna biru jika direduksi oleh
bakteri uji. Hanya bakteri hidup yang dapat
mereduksi senyawa tetrazolium menjadi
formazan (Ellof 1998; Mosmann 1983).
Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi
biosurfaktan hasil pemurnian melalui analisis
emulsifikasi dan potensi antibakterinya
terhadap Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan
Bacillus subtilis. Hipotesis yang diajukan
adalah biosurfaktan yang telah dimurnikan
memiliki nilai indeks emulsifikasi yang besar
terhadap minyak mentah Arabian Light Crude
Oil (ALCO) dan memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri-bakteri uji yang digunakan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai
biosurfaktan dari isolat bakteri lokal yang
berpotensi sebagai antibakteri.
TINJAUAN PUSTAKA
Biosurfaktan
Surface active agent atau surfaktan
merupakan senyawa amfipatik yang dapat
mengubah tegangan permukaan. Molekul ini
memiliki dua gugus fungsional, yaitu gugus
hidrofilik dan gugus hidrofobik. Kedua gugus
fungsional ini memungkinkan surfaktan untuk
mengurangi tegangan permukaan dan
tegangan antarmuka cairan serta membentuk
mikroemulsi, sehingga hidrokarbon dapat
terlarut di dalam air, ataupun air menjadi
terlarut di dalam hidrokarbon. Surfaktan
merupakan salah satu senyawa kimia yang
banyak pemanfaatannya (Myers 2006).
2
Biosurfaktan atau surfaktan mikrobial
merupakan surfaktan yang disintesis oleh
mikrob. Senyawa ini disekresikan secara
ekstraseluler ataupun terikat pada bagian-
bagian sel. Peran fisiologis biosurfaktan bagi
mikrob penghasilnya antara lain berperan
dalam emulsifikasi substrat yang tidak larut
air, membantu pelekatan sel pada kondisi
lingkungan yang baru, terlibat dalam
patogenesis, dan memiliki aktivitas anti-
mikrob (Walter et al. 2010).
Biosurfaktan dibedakan menjadi beberapa
golongan berdasarkan komposisi kimianya.
Desai & Banat (1997) menggolongkan
biosurfaktan menjadi glikolipid, lipopeptida
dan lipoprotein, fosfolipid dan asam lemak,
dan surfaktan polimer. Gugus hidrofilik
biosurfaktan berupa karbohidrat, asam
karboksilat, fosfat, asam amino, peptida
siklik, ataupun alkohol. Gugus hidrofobik
dapat berupa asam lemak rantai panjang
ataupun α-alkil-β-hidroksi asam lemak.
Salah satu jenis biosurfaktan yang telah
banyak diteliti adalah glikolipid (Desai &
Banat 1997). Biosurfaktan ini merupakan
kombinasi karbohidrat dengan asam lemak
alifatik ataupun hidroksialifatik rantai
panjang. Ramnolipid dan soforolipid
merupakan contoh glikolipid yang banyak
terdapat di alam. Ramnolipid merupakan
gabungan ramnosa, suatu gula deoksi
berkarbon enam yang memiliki rumus
molekul C6H12O5, dengan satu atau dua
molekul asam β-hidroksidekanoat. Contoh
ramnolipid adalah L-ramnosil-L-ramnosil-β-
hidroksidekanoil-β-hidroksidekanoat, yang
disintesis oleh P. aeruginosa (Abdel-
Mawgoud et al. 2010). Soforolipid merupakan
gabungan dari soforosa, suatu dimer glukosa
dengan ikatan β(1→2), dengan asam lemak
rantai panjang. Soforolipid umumnya
disintesis oleh khamir, contohnya Candida
apicola, C. bogoriensis, dan C. bombicola
(Van Bogaert et al. 2007). Struktur molekul
ramnolipid dan soforolipid tersebut diper-
lihatkan pada Gambar 1.
Lintasan metabolisme hidrokarbon dan
karbohidrat terlibat dalam sintesis gugus
hidrofobik dan hidrofilik biosurfaktan.
Lintasan metabolik ini berbeda untuk setiap
mikrob dan melibatkan beberapa enzim
spesifik. Terdapat beberapa kemungkinan
sintesis gugus-gugus fungsi biosurfaktan:
gugus hidrofilik dan hidrofobik disintesis
secara de novo melalui dua lintasan yang
berbeda; gugus hidrofilik disintesis secara de
novo sedangkan sintesis gugus hidrofobik
diinduksi oleh substrat; gugus hidrofobik
disintesis secara de novo sedangkan sintesis
gugus hidrofilik bergantung pada substrat; dan
sintesis gugus hidrofobik dan hidrofilik sama-
sama bergantung pada substrat (Desai &
Banat 1997).
Biosurfaktan diperkirakan akan dapat
menggantikan penggunaan surfaktan dalam
dunia industri karena memiliki kelebihan
dibandingkan dengan surfaktan kimiawi.
Beberapa kelebihan tersebut antara lain
toksisitasnya yang lebih rendah, biode-
gradabilitas yang lebih tinggi, lebih ramah
lingkungan, kemampuan membentuk busa
yang lebih baik, selektifitas dan aktivitas
spesifik yang lebih tinggi pada suhu, pH, dan
kadar garam yang ekstrim (Desai & Banat
1997).
Biosurfaktan telah dimanfaatkan dalam
dunia industri, misalnya di industri
pertambangan minyak bumi dan logam,
industri makanan, kosmetika, dan kesehatan.
Lesitin dan turunannya dimanfaatkan sebagai
pengemulsi yang banyak digunakan dalam
industri makanan di seluruh dunia. Campuran
soforolipid dan propilena glikol digunakan
sebagai pelembab kulit dalam industri
kosmetik. Biosurfaktan juga telah digunakan
dalam remediasi tempat-tempat yang
terkontaminasi logam berat seperti uranium,
kadmium, dan timbal. Biosurfaktan juga
memiliki aktivitas sebagai antivirus terhadap
Tobacco Mosaic Virus (TMV), Herpes
Simplex Virus (HSV), dan influenza (Desai &
Banat 1997).
Beberapa jenis biosurfaktan golongan
lipopeptida, seperti senyawa surfaktin,
fengisin, dan iturin, merupakan biosurfaktan
yang memiliki aktivitas antimikrob yang kuat.
Surfaktin dan iturin merupakan lipohepta-
peptida yang memiliki gugus β-hidroksi asam
lemak dan β-amino asam lemak sebagai
komponen lipofiliknya (Vater et al. 2002).
Iturin adalah lipopeptida antifungi yang
mekanisme antimikrobnya telah dipahami.
Iturin dapat melewati dinding sel dan merusak
membran sel dan membran inti dengan cara
Gambar 1 Struktur molekul glikolipid
(a.soforolipid b.ramnolipid).
(a) (b)
3
membentuk vesikel-vesikel kecil dan partikel
intramembran dalam sel khamir. Iturin juga
dapat mengakibatkan pelepasan elektrolit dan
degradasi fosfolipid (Rodrigues et al. 2006)
Uji Emulsifikasi
Emulsi didefinisikan oleh Myers (2006)
sebagai sistem heterogen yang terdiri atas
sekurang-kurangnya satu jenis cairan yang
terdispersi di dalam cairan yang lain dalam
bentuk titik-titik kecil dengan diameter kurang
dari 0.1 mm. Emulsi dapat dibedakan menjadi
oil-in-water (O/W) dan water-in-oil (W/O).
Air dan minyak, contohnya ALCO,
merupakan dua zat cair yang berbeda
kepolarannya. Oleh karena itu, campuran
keduanya akan membentuk dua lapis cairan
yang terlihat secara visual. Lapisan atas
adalah ALCO dan lapisan bawah adalah air.
Senyawa aktif permukaan, baik kimiawi
maupun mikrobial, memiliki kemampuan
untuk mengubah tegangan permukaan kedua
jenis zat cair dan memungkinkan terjadinya
emulsi air-minyak yang stabil (Myers 2006).
Tujuan dasar penapisan biosurfaktan
adalah mendapatkan biosurfaktan yang
memiliki aktivitas antarmuka yang kuat,
konsentrasi misel kritis yang kecil,
kemampuan emulsifikasi yang tinggi, dan
kelarutan serta aktivitas yang baik pada
kisaran pH yang luas. Metode penapisan isolat
penghasil biosurfaktan sebagian besar
memanfaatkan perubahan tegangan permu-
kaan dan antarmuka cairan yang diberi
perlakuan dengan biosurfaktan. Tegangan
permukaan dan antarmuka cairan dapat diukur
secara langsung maupun tidak langsung. Uji
emulsifikasi merupakan salah satu metode
penapisan isolat penghasil biosurfaktan secara
tidak langsung (Walter et al. 2010).
Uji emulsifikasi digunakan untuk
mengetahui kemampuan biosurfaktan meng-
emulsikan zat cair yang berbeda kepolar-
annya. Hasil uji emulsifikasi dinyatakan
sebagai indeks emulsifikasi (E24). Indeks
emulsifikasi berhubungan dengan konsentrasi
surfaktan, karena semakin kecil konsentrasi
biosurfaktan, kemampuan senyawa tersebut
untuk mengemulsifikasi minyak mentah juga
semakin berkurang (Walter et al. 2010).
Aktivitas permukaan dan kemampuan
emulsifikasi biosurfaktan tidak selalu
berhubungan secara linier. Soforolipid
merupakan contoh biosurfaktan yang
memiliki kemampuan emulsifikasi yang
lemah, walaupun dapat menurukan tegangan
antarmuka dan tegangan permukaan. Oleh
karena itu, uji emulsifikasi hanya digunakan
sebagai indikasi awal adanya biosurfaktan
yang disintesis oleh mikrob tertentu (Desai &
Banat 1997; Walter et al. 2010).
Metode Cawan Mikro
Evaluasi terhadap aktivitas antibakteri
merupakan hal penting untuk menemukan
bahan-bahan alam baru yang berpotensi
sebagai antibakteri. Terdapat dua teknik dasar
penentuan aktivitas antibakteri yang dapat
digunakan untuk menemukan senyawa aktif
baru tersebut, yaitu difusi dan dilusi (Brooks
et al. 2007). Penggunaan teknik dilusi yang
digabungkan dengan cawan mikro 96 sumur
dalam pengukuran aktivitas antimikrob saat
ini semakin meningkat karena dalam satu kali
prosedur uji akan langsung dapat dilihat
bagaimana efek antimikrob senyawa contoh
terhadap semua bakteri uji yang diinkubasi di
cawan mikro (Kreander et al. 2005).
Penggunaan metode cawan mikro
96 sumur memiliki kelebihan dibandingkan
dengan metode uji antibakteri lain, seperti
difusi agar ataupun cakram. Dalam satu buah
cawan mikro, dapat diamati beberapa
perlakuan, misalnya senyawa antibakteri yang
berbeda dan dengan berbagai variasi
konsentrasi. Selain itu, dalam satu cawan
mikro juga akan langsung dapat diketahui
pengaruh penambahan antibakteri terhadap
pertumbuhan bakteri uji. Hal ini
memungkinkan analisis kuantitatif yang lebih
mudah dilakukan dibandingkan dengan
metode difusi agar ataupun cakram (Kreander
et al. 2005).
Pertumbuhan bakteri uji di dalam cawan
mikro dapat ditentukan baik secara visual
melalui pengamatan turbiditas ataupun secara
spektrofotometri dengan mengukur serapan
larutan di dalam cawan mikro. Meskipun
demikian, kelemahan utama pengamatan
secara visual adalah kurangnya objektivitas
diantara pengamat yang satu dengan pengamat
yang lain. Dengan demikian, pembacaan
secara spektrofotometri akan menjadi lebih
akurat dibandingkan dengan pengamatan
visual karena lebih objektif (Ellof 1998).
Akurasi pembacaan dengan spektrofoto-
metri akan berkurang apabila terdapat
senyawa aditif yang mempengaruhi
karakteristik spektral media tumbuh,
terbentuknya agregat bakteri, dan pigmen
yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri (Ellof
1998). Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
alternatif untuk dapat meningkatkan akurasi
metode spektrofotometri ini. Pendekatan yang
akan dipilih adalah metode kolorimetri karena
dapat membantu meningkatkan ketepatan dan
4
kedapatulangan (reprodusibilitas) teknik spek-
trofotometri.
Terdapat banyak indikator yang digunakan
dalam dalam metode kolorimetri. Salah satu
indikator yang digunakan dalam pengujian
aktivitas antibakteri adalah garam tetrazolium.
Senyawa ini apabila diubah oleh bakteri
ataupun fungi akan menjadi senyawa
formazan yang memiliki warna tertentu dan
dapat dikuantifikasi (Mosmann 1983).
Tetrazolium Blue Chloride
Senyawa tetrazolium digunakan sebagai
indikator aktivitas respirasi mikrob dan
viabilitas sel. Sel-sel yang aktif berespirasi
akan mereduksi tetrazolium membentuk
produk akhir yang disebut formazan.
Formazan merupakan senyawa berwarna,
sehingga akan memudahkan pengukuran
viabilitas sel secara kualitatif ataupun
kuantitatif. Cincin tetrazolium yang terbuka
karena reaksi reduksi menghasilkan senyawa
formazan yang memiliki warna tertentu,
bergantung pada jenis tetrazolium yang
digunakan (Daniel 1997). Mosmann (1983)
menjelaskan bahwa jumlah formazan yang
dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah sel
yang aktif.
Reaksi reduksi enzimatik terhadap
senyawa tetrazolium secara umum dilakukan
oleh enzim dehidrogenase. Salah satu dehi-
drogenase yang penting adalah suksinat
dehidrogenase. Enzim ini mengatalisis
perubahan suksinat menjadi fumarat dalam
siklus Krebs sekaligus merupakan komponen
kompleks kedua dalam rantai respirasi.
Suksinat dehidrogenase merupakan satu-
satunya enzim yang terintegrasi pada
membran internal mitokondria. Enzim-enzim
siklus Krebs lainnya tidak terdapat di
membran mitokondria, sehingga perubahan
pada mitokondria dapat diketahui berdasarkan
perubahan aktivitas suksinat dehidrogenase
(Kregiel et al. 2008).
Reaksi perubahan tetrazolium menjadi
formazan diperlihatkan pada Gambar 2.
Mekanisme reaksi reduksi tetrazolium
melibatkan elektron yang bersumber dari
donor elektron, contohnya NADH. Oksidasi
NADH menjadi NAD+ akan menghasilkan
elektron yang kemudian ditangkap oleh
elektron perantara, contohnya fenazin metil-
sulfat (PMS). Elektron dari PMS akan diambil
oleh tetrazolium sekaligus mereduksi
tetrazolium tersebut menjadi formazan
(Daniel 1997).
Mekanisme reaksi perubahan tetrazolium
menjadi formazan pada organisme prokariot
belum diketahui secara pasti. Enzim yang
berperan dalam reduksi senyawa tersebut pada
organisme prokariot diduga sama seperti
organisme eukariot, yaitu suksinat dehidro-
genase. Hal ini diketahui berdasarkan
pengamatan bahwa suksinat selain merupakan
sumber energi yang efisien, penambahan
suksinat juga dapat meningkatkan jumlah
formazan yang terbentuk dari reduksi
tetrazolium (Kregiel et al. 2008).
Senyawa tetrazolium yang digunakan
dalam penelitian adalah Tetrazolium Blue
Chloride. Senyawa ini memiliki rumus
molekul C40H32Cl2N8O2 dengan nama IUPAC
2-[4-[4-(3,5-difeniltetrazol-2-ium-2-il)-3-me-
toksifenil]-2-metoksifenil]-3,5-difeniltetrazol-
2-ium diklorida. Struktur molekul TBC
diperlihatkan pada Gambar 3. Kristal TBC
berwarna kuning, sedikit larut dalam air, stabil
dalam asam mineral, namun tidak stabil dalam
larutan basa. Sinar tampak dan ultraviolet
dapat menyebabkan larutan tetrazolium ini
mengalami reaksi reduksi. Oleh karena itu,
larutan tetrazolium harus disimpan di dalam
tempat yang tertutup dan terhindar dari sinar
matahari (Daniel 1997).
Antibakteri
Pengujian aktivitas antimikrob meng-
gunakan antibiotik standar untuk memban-
dingkan kemampuan senyawa aktif hasil
isolasi dengan antibiotik standar dalam
Gambar 2 Reaksi umum reduksi tetrazolium menjadi formazan.
5
menghambat ataupun membunuh mikrob
patogen yang diujikan. Pemilihan antibiotik
yang tepat dapat memberikan gambaran yang
sesungguhnya mengenai daya kerja senyawa
aktif hasil isolasi yang didapat apakah lebih
kuat, lebih lemah, ataupun sama kuat dengan
antibiotik yang sudah ada.
Antibakteri berdasarkan cara kerjanya
dibedakan menjadi bakteriostatik dan
bakteriosida. Antibakteri bakteriostatik
bekerja dengan cara menghambat perba-
nyakan populasi bakteri namun tidak
mematikan bakteri tersebut. Bakteriosida
bekerja dengan cara membunuh bakteri. Sifat
antibakteri dapat berbeda satu dengan yang
lainnya. Antibakteri termasuk ke dalam jenis
spektrum luas bila menghambat atau
membunuh bakteri Gram negatif dan Gram
positif. Antibakteri termasuk ke dalam jenis
spektrum sempit bila menghambat atau
membunuh bakteri Gram negatif atau Gram
positif saja. Antibakteri termasuk ke dalam
jenis spektrum terbatas bila efektif terhadap
organisme tunggal atau penyakit tertentu
(Dwijoseputro 1990).
Mekanisme kerja antibakteri secara umum
adalah menghambat sintesis dinding sel
bakteri, menghambat keutuhan permeabilitas
dinding sel bakteri, menghambat sintesis
protein sel bakteri, dan menghambat sintesis
asam nukleat. Antibakteri yang bekerja
dengan mekanisme menghambat sintesis
protein sel bakteri contohnya kloramfenikol,
eritromisin, sikloheksimida, dan tetrasiklin.
Antibiotik standar yang akan digunakan dalam
percobaan ini adalah kloramfenikol karena
termasuk ke dalam antibiotik berspektrum
luas (Moat et al. 2002).
Kloramfenikol atau 2,2-dikloro-N-
[(1R,2R)-1,3-dihidroksi-1-(4-nitrofenil)
propan-2-il] asetamida merupakan antibiotik
yang pada awalnya diisolasi dari Streptomyces
venezuelae. Senyawa ini bekerja dengan cara
menghambat aktivitas peptidil transferase
melalui pengikatan pada subunit ribosom 70S
bakteri. Kloramfenikol tidak mempengaruhi
sintesis protein pada sel-sel mamalia karena
subunit ribosom yang dimiliki oleh sel-sel
mamalia adalah subunit 80S. Meskipun
demikian, kloramfenikol dapat mempengaruhi
sintesis protein di organel sel mamalia,
misalnya mitokondria, karena adanya
kemiripan subunit ribosom yang terdapat di
organel tersebut dengan subunit ribosom pada
bakteri (Moat et al. 2002). Struktur kloram-
fenikol diperlihatkan pada Gambar 4.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan untuk
pembuatan media dan larutan TBC antara lain
pipet mikro 20, 200, dan 1000 μL; tips steril;
pipet tetes; labu takar 25 dan 100 mL; labu
Erlenmeyer 100, 250, dan 300 mL; neraca
analitik; kertas timbang; pH meter; autoklaf;
syringe 5 mL; membran filter 0.2 μm; dan
pengaduk bermagnet. Alat-alat yang
digunakan untuk pembuatan kultur dan
produksi biosurfaktan adalah ose steril, cawan
Petri, labu Erlenmeyer 300 mL, inkubator
bergoyang, sentrifus Sorvall RC-26 Plus
beserta rotor GSA (r = 14.57 cm) dan tabung
sentrifus. Alat-alat yang digunakan untuk
pengujian aktivitas antibakteri adalah tabung
reaksi, pipet mikro 20 dan 200 μL, tips steril,
inkubator, vorteks, kuvet, spektrofotometer
UV-1700 Pharmaspec, cawan mikro 96
sumur, dan pembaca cawan mikro Thermo
Multiskan EX.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan media dan produksi biosurfaktan
adalah konsorsium bakteri SR_DP.7,
SR_DP.9, dan isolat murni BT-38-CP, media
Nutrient Agar, media Marine Agar, media
Salt Mineral 1, dan ALCO. Bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan larutan TBC
adalah larutan dapar fosfat pH 7.2 dan TBC.
Bahan-bahan yang digunakan untuk purifikasi
biosurfaktan dan pengujian aktivitas anti-
bakterinya adalah larutan HCl 6 M, etil asetat
teknis, Na2SO4 anhidrat, media Nutrient
Broth, akuades, larutan baku McFarland 0.5,
dan kloramfenikol.
Metode
Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)
Komposisi media NA per liter adalah 10
gram pepton, 5 gram NaCl, 5 gram ekstrak
daging sapi, 15 gram agar, dan 1000 mL
Gambar 4 Struktur molekul kloramfenikol.
Gambar 3 Struktur molekul TBC.
6
akuades. Media dilarutkan hingga homogen
menggunakan pengaduk bermagnet dan
disesuaikan pHnya menjadi 7.0. Media ini
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121 °C selama 15 menit. Media ini digunakan
untuk menumbuhkan bakteri-bakteri uji, yaitu
E. coli, P. aeruginosa, S. aureus, dan
B. subtilis.
Pembuatan Media Nutrient Broth (NB)
Media NB digunakan untuk menumbuh-
kan bakteri uji. Komposisi media NB per liter
adalah 10 gram pepton, 5 gram NaCl, 5 gram
ekstrak daging sapi, dan 1000 mL akuades.
Media dilarutkan hingga homogen meng-
gunakan pengaduk bermagnet dan disesuaikan
pHnya menjadi 7.0. Media ini disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C
selama 15 menit.
Pembuatan Media Marine Agar (MA)
Media ini digunakan untuk menumbuhkan
isolat penghasil biosurfaktan. Komposisi
media MA per liter adalah 37.4 gram marine
broth, 15 gram agar, dan 1000 mL akuades.
Media dilarutkan hingga homogen dan
disesuaikan pHnya menjadi 7.6. Media ini
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121 °C selama 15 menit dan dituangkan ke
dalam cawan Petri steril.
Pembuatan Media Salt Mineral 1 (SM1)
(Utama 2010)
Media ini digunakan untuk produksi
biosurfaktan. Komposisi media SM1 per liter
adalah 1.90 gram KH2PO4, 1.30 gram
K2HPO4·3H2O, 1 gram MgSO4·7H2O,
10 gram glukosa, 10 gram pepton, dan 1 gram
ekstrak khamir. Media dilarutkan hingga
homogen menggunakan pengaduk bermagnet
dan disesuaikan pHnya menjadi 7.4. Media ini
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121 °C selama 15 menit.
Pembuatan Larutan TBC (Wang et al.
2007)
Pembuatan larutan TBC terdiri atas
2 tahap, yaitu pembuatan larutan dapar fosfat
pH 7.2 dan pembuatan larutan TBC. Larutan
dapar fosfat terdiri atas larutan NaH2PO4 dan
Na2HPO4 dengan konsentrasi masing-masing
0.2 M. Garam NaH2PO4, dan Na2HPO4
ditimbang dan dilarutkan dalam akuades
sehingga diperoleh larutannya dengan
konsentrasi 0.2 M. Kedua larutan tersebut
kemudian dicampurkan dengan perbandingan
28:72. Setelah itu, campuran ini ditambahkan
akuades hingga volumenya menjadi 200 mL
kemudian ditepatkan pHnya menjadi 7.2.
Kristal TBC ditimbang dan dilarutkan
dengan larutan dapar fosfat hingga diperoleh
larutan TBC dengan kadar 2.5 mg/mL dan
diaduk hingga homogen. Setelah itu, larutan
TBC difiltrasi dengan membran filter
0.22 μm kemudian disimpan di dalam ruang
pendingin hingga akan digunakan.
Pembuatan Larutan Baku McFarland 0.5
(Andrews 2008)
Larutan baku McFarland terdiri atas dua
komponen, yaitu larutan BaCl2 1 % dan
H2SO4 1 %. Sebanyak 0.5 mL larutan BaCl2
1 % dicampurkan dengan 99.5 mL larutan
H2SO4 1 % dan dikocok hingga homogen.
Kekeruhan larutan diukur pada panjang
gelombang 625 nm dengan menggunakan
akuades sebagai blangkonya. Nilai absorban
larutan baku harus berada di kisaran 0.08
sampai dengan 0.13. Larutan baku McFarland
0.5 ekuivalen dengan suspensi sel bakteri
dengan konsentrasi 1.5 × 108 CFU/mL.
Prekultur dan Inokulasi ke Media Kultur
(Utama 2010) Sebanyak satu ose isolat bakteri penghasil
biosurfaktan diinokulasikan ke dalam media
SM1 steril sebagai prekultur lalu diinkubasi
selama 24 jam pada inkubator bergoyang pada
suhu ruang. Sebanyak 10 mL prekultur
dimasukkan ke dalam 90 mL media SM1
steril untuk kultur. Setelah itu, kultur
diinkubasi di inkubator bergoyang selama 54
jam pada suhu ruang.
Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Sebanyak satu ose isolat bakteri
dipindahkan secara aseptik ke media SM1
steril dan diinkubasi di inkubator bergoyang
pada suhu ruang. Setelah itu, pengukuran
absorban dilakukan terhadap masing-masing
kultur setiap 2 jam hingga diperoleh nilai
absorban yang stasioner dengan blangko
berupa media SM1 steril. Setelah itu kurva
pertumbuhan dibuat dengan menghubungkan
nilai absorban kultur dengan waktu
inkubasinya.
Purifikasi Biosurfaktan (Modifikasi Yin et
al. 2009)
Kultur isolat disentrifus pada kecepatan
8000 rpm selama 20 menit pada suhu 4 °C
dan diambil supernatannya. Supernatan
kemudian disesuaikan pHnya hingga 2.0
menggunakan larutan HCl 6 M dan dieks-
traksi. Ekstraksi dilakukan dengan menam-
7
bahkan etil asetat ke dalam supernatan dengan
perbandingan volume 1:1. Fase etil asetat
yang berada di lapisan atas dipisahkan dari
supernatan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat
untuk memisahkan air dan dilanjutkan dengan
pemekatan menggunakan evaporator putar
pada suhu 40 °C. Purifikasi dengan cara
ekstraksi menggunakan etil asetat digunakan
untuk konsorsium SR_DP.7 dan SR_DP.9.
Purifikasi untuk isolat BT-38-CP dilakukan
dengan pengasaman hingga pH 2.0,
sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama
10 menit, dan diambil peletnya.
Uji Emulsifikasi Biosurfaktan (Cooper &
Goldenberg 1987)
Biosurfaktan terpurifikasi dan ALCO
dicampurkan ke dalam tabung reaksi kering
dengan perbandingan 1:1. Setelah itu
dilakukan pengocokan menggunakan vorteks
selama 2 menit dan dibiarkan hingga stabil
selama 24 jam. Sebagai kontrol positif adalah
tween 20 dan kontrol negatif adalah akuades
yang masing-masing juga ditambahkan
ALCO dengan perbandingan 1:1. Indeks
emulsifikasi ditetapkan dengan membagi
tinggi lapisan larutan minyak teremulsi
dengan tinggi kolom total larutan kemudian
dikalikan 100 %.
Penentuan Potensi Antibakteri (Modifikasi
Ellof 1998)
Peremajaan Bakteri Uji. Peremajaan
dilakukan dengan menginokulasikan bakteri
uji ke dalam media NA dan diinkubasi selama
24 jam pada suhu 37 °C. Koloni yang tumbuh
di media dipindahkan ke dalam 5 mL media
NB secara aseptik dan disesuaikan serapannya
dengan larutan baku McFarland 0.5 sehingga
diperoleh suspensi dengan jumlah sel 1.5 ×
108 CFU/mL.
Penentuan Panjang Gelombang
Maksimum. Larutan TBC diencerkan dengan
larutan dapar fosfat hingga 0.2 mg/mL.
Suspensi bakteri yang telah disesuaikan
serapannya dengan larutan baku McFarland
0.5 diencerkan kembali hingga jumlah selnya
1.5 × 106 CFU/mL. Sebanyak 5 mL suspensi
bakteri uji ditambahkan larutan TBC
0.2 mg/mL dan diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37 °C. Setelah 24 jam, kultur
bakteri diukur absorbannya pada panjang
gelombang antara 550 sampai 650 nm hingga
diperoleh serapan maksimum. Blangko yang
digunakan berupa media NB steril. Panjang
gelombang pada saat diperoleh absorban
maksimum ditetapkan sebagai panjang
gelombang maksimum. Penentuan panjang
gelombang diulangi sebanyak 3 kali.
Pengujian Aktivitas Antibakteri
Biosurfaktan hasil pemurnian dilarutkan
dengan akuades dan disesuaikan pHnya
hingga 7.0, diencerkan hingga diperoleh
konsentrasi 20 000 ppm, lalu disterilisasi
dengan membran filter 0.22 µm. Larutan stok
dimasukkan ke dalam sumur cawan mikro dan
diencerkan dengan media NB steril hingga
diperoleh konsentrasi 10 000, 5000, 1000,
500, 100, dan 50 ppm. Sebanyak 2 µL
suspensi bakteri uji yang telah distandardisasi
jumlah selnya dimasukkan ke dalam sumur
dan diinkubasi selama 24 jam pada inkubator
37 °C. Volume total campuran larutan
biosurfaktan, media NB, dan suspensi bakteri
adalah 160 µL. Setelah 24 jam, sebanyak 40
µL larutan TBC dimasukkan ke dalam sumur
lalu diinkubasi kembali di inkubator 37 °C
dan diukur serapannya. Pengukuran serapan
larutan di dalam cawan mikro dilakukan pada
menit ke-30, jam ke-3, jam ke-6 dengan
menggunakan pembaca cawan mikro Thermo
Multiskan EX.
Kontrol perlakuan dalam percobaan terdiri
atas kontrol positif, yaitu antibiotik
kloramfenikol 200 ppm, media, dan bakteri
uji, kontrol negatif berupa media dan bakteri
uji. Selain itu, dilakukan pengukuran serapan
terhadap sumur yang tidak berisi larutan
apapun, akuades steril, dan media NB steril
sebagai faktor koreksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Isolat Bakteri Penghasil
Biosurfaktan
Biosurfaktan merupakan metabolit
sekunder yang tidak disintesis sejak awal
pertumbuhannya. Analisis awal mengenai
pertumbuhan isolat penghasil biosurfaktan
perlu dilakukan untuk dapat mengetahui
waktu pemanenan yang tepat, sehingga akan
diperoleh biosurfaktan dalam jumlah yang
optimal. Pertumbuhan mikrob dapat diketahui
dengan cara mengukur absorban kultur cair
mikrob pada panjang gelombang 660 nm.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
pengukuran absorban setiap 2 jam mem-
perlihatkan bahwa kultur isolat dapat
mencapai fase eksponensial setelah diinkubasi
selama 24 jam. Setelah itu, isolat SR_DP.7
dan SR_DP.9 memasuki fase stasioner hingga
jam ke-54 sedangkan BT-38-CP mulai
mengalami fase kematian pada jam ke-52.
Pertumbuhan optimum bagi tiga isolat
8
tercapai setelah diinkubasi selama 24 jam
(Gambar 5).
Fase eksponensial merupakan fase
pertumbuhan mikrob melalui pembelahan
biner. Fase ini terjadi ketika mikrob telah
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan
dan mulai menyintesis enzim-enzim yang
diperlukan untuk memanfaatkan substrat yang
tersedia. Hasil penelitian memperlihatkan nilai
OD kultur bakteri yang meningkat sejak jam
inkubasi ke-0 hingga jam ke-24. Peningkatan
nilai OD kultur sesuai dengan Hogg (2005)
yang menyatakan bahwa populasi sel di dalam
media cair dapat meningkat secara konstan
apabila mikrob tersebut telah mencapai
kondisi yang optimal.
Mikrob memasuki fase stasioner setelah
fase eksponensial tercapai. Pada fase ini,
kecepatan pembelahan sel dan kematian sel
adalah konstan. Menurut Nitschke et al.
(2010), sintesis metabolit sekunder seperti
ramnolipid terjadi setelah sel mencapai fase
stasioner ini. Sintesis biosurfaktan dapat
berlangsung hingga waktu inkubasi mencapai
144 jam. Pemisahan biosurfaktan dari kultur
sel dalam penelitian ini dilakukan pada waktu
inkubasi isolat mencapai 54 jam, yang
memperlihatkan ketiga isolat telah memasuki
fase stasionernya.
Pemurnian Biosurfaktan
Hasil pemurnian biosurfaktan diper-
lihatkan pada Tabel 1. Masing-masing
ulangan dan isolat menghasilkan rendemen
yang berbeda, yaitu 0.95 % untuk SR_DP.7,
0.36 % untuk SR_DP.9, dan 0.08 % untuk
BT-38-CP. Perbedaan rendemen yang didapat
diduga disebabkan oleh perbedaan aktivitas
enzim yang mensintesis biosurfaktan dari
masing-masing isolat. Hal ini berakibat
adanya isolat yang menghasilkan biosurfaktan
dalam jumlah banyak, dan ada juga yang
menghasilkan dalam jumlah sedikit.
Pemurnian biosurfaktan dalam penelitian
ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu
sentrifugasi untuk mendapatkan supernatan
bebas sel dan ekstraksi dengan pelarut etil
asetat. Supernatan bebas sel didapat dengan
cara sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm
selama 20 menit dan diasamkan dengan
larutan HCl 6 N hingga pH 2.0. Pengasaman
bertujuan mengubah kelarutan biosurfaktan
sehingga lebih mudah dipisahkan dari
senyawa-senyawa pengotor lainnya.
Supernatan yang sudah diasamkan kemudian
didiamkan selama 1 malam di dalam
pendingin bersuhu 4 °C untuk mengop-
timalkan pengendapan biosurfaktan.
Terdapat perbedaan hasil pada peng-
asaman supernatan ini. Pengasaman pada
isolat SR_DP.7 dan SR_DP.9 mengakibatkan
supernatan kedua isolat menjadi keruh,
sedangkan pengasaman isolat BT-38-CP
mengakibatkan terbentuk endapan. Oleh
karena itu, endapan biosurfaktan pada BT-38-
CP dipisahkan dari larutannya dengan
sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama
10 menit.
Proses lanjutan dalam purifikasi
biosurfaktan adalah ekstraksi dengan etil
asetat yang merupakan pelarut semi polar.
Adanya pelarut semipolar akan mengaki-
batkan gugus hidrofobik dari molekul
biosurfaktan menjadi terlarut di dalam etil
asetat sesuai kaidah “like dissolve like”.
Menurut kaidah ini, senyawa polar akan dapat
terlarut di dalam pelarut polar dan senyawa
Gambar 5 Kurva pertumbuhan isolat peng-
hasil biosurfaktan: SR_DP.7
( ), SR_DP.9 ( ), dan BT-
38-CP ( ).
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
0 20 40 60
OD
λ =
66
0 n
m
Waktu (jam)
Tabel 1 Hasil purifikasi biosurfaktan
Isolat Ulangan Bobot (gram)
Rendemen (%) Rendemen
rata-rata (%) Kultur Ekstrak
SR_DP.7 1 99.52 1.1735 1.18
0.95 2 98.88 0.7207 0.73
SR_DP.9 1 96.47 0.4295 0.45
0.36 2 102.90 0.2913 0.28
BT-38-CP 1 95.99 0.0979 0.10
0.08 2 95.93 0.0603 0.06
9
non polar akan terlarut di dalam pelarut non
polar. Pengasaman supernatan sebelum
ekstraksi dapat meningkatkan rendemen
biosurfaktan yang terekstrak karena kondisi
asam mengakibatkan senyawa tersebut berada
dalam bentuk terprotonasi yang kurang larut
dalam air (Heyd et al. 2008).
Penggunaan etil asetat sebagai
pengekstrak biosurfaktan juga bertujuan
mendestabilisasi biosurfaktan yang terlarut di
dalam supernatan. Menurut Lin & Jiang
(1997), misel biosurfaktan dapat dipecah
dengan penambahan pelarut organik seperti
etil asetat, metanol, aseton, dan lain-lain.
Setelah misel dapat dipecah, biosurfaktan
akan menjadi lebih mudah dipisahkan dari
molekul-molekul lainnya.
Biosurfaktan dari masing-masing isolat
kemudian dilarutkan kembali dalam akuades
dan dinetralkan hingga pH 7.0. Netralisasi pH
bertujuan agar biosurfaktan tersebut dapat
larut sempurna di dalam air. Setelah itu,
biosurfaktan diencerkan hingga diperoleh
konsentrasi 20 000 ppm untuk isolat SR_DP.9
dan BT-38-CP, dan 50 000 ppm untuk
SR_DP.7. Ketiga sampel disterilkan secara
filtrasi menggunakan membran filter 0.22 µm.
Sterilisasi tidak dilakukan dengan menggu-
nakan cara sterilisasi panas seperti autoklaf
untuk mencegah kerusakan sampel akibat
panas yang terlalu tinggi.
Uji Emulsifikasi Biosurfaktan
Ekstraksi dengan etil asetat terhadap
supernatan akan menghasilkan tidak hanya
biosurfaktan terlarut tetapi juga senyawa-
senyawa lain yang dapat terlarut di dalamnya.
Ekstrak yang telah didapat akan diuji
kandungannya dengan uji emulsifikasi untuk
membuktikan adanya biosurfaktan di dalam
ekstrak tersebut. Prinsip uji emulsifikasi
adalah perbandingan tinggi minyak yang
teremulsi di dalam air dengan tinggi campuran
minyak dan air. Campuran minyak dan air
yang dikocok dengan kecepatan tinggi akan
mengakibatkan kedua zat cair menyatu.
Namun adanya perbedaan kepolaran akan
mengakibatkan campuran air dan minyak
memisah setelah dibiarkan hingga stabil
selama 24 jam. Biosurfaktan di dalam
campuran tersebut akan mencegah terjadinya
pemisahan tersebut dan akan menghasilkan
lapisan minyak teremulsi yang dapat diamati
24 jam kemudian.
Hasil uji emulsifikasi diperlihatkan pada
Gambar 6. Penentuan indeks emulsifikasi
dalam penelitian ini menggunakan tween 20
sebagai kontrol positif dan akuades sebagai
kontrol negatifnya. Berdasarkan hasil yang
telah didapat, tween 20 dapat mengemulsikan
ALCO secara keseluruhan sehingga memiliki
nilai E24 sebesar 100 %. Biosurfaktan
terpurifikasi dari masing-masing isolat
memiliki nilai E24 yang berbeda-beda. Nilai
E24 dari isolat SR_DP.7, SR_DP.9, dan BT-
38-CP masing-masing sebesar 35.71 %,
84.62 %, dan 84.62 %.
Nilai E24 yang diperoleh menunjukkan
bahwa biosurfaktan terpurifikasi dari isolat
SR_DP.9, dan BT-38-CP memiliki kemam-
puan emulsifikasi yang cukup besar.
Meskipun demikian, biosurfaktan dari isolat
SR_DP.7 ternyata memiliki kemampuan
emulsifikasi yang rendah, bahkan lebih kecil
dibandingkan dengan akuades. Oleh karena
aktivitas permukaan tidak selalu berhubungan
linier dengan kemampuan emulsifikasi,
biosurfaktan dari SR_DP.7 diduga memiliki
sifat tegangan permukaan yang berbeda
dibandingkan dengan kemampuan emulsi-
fikasinya.
Penentuan Panjang Gelombang
Maksimum Formazan
Penentuan panjang gelombang maksimum
dalam penelitian ini memanfaatkan reaksi
reduksi enzimatis yang dilakukan oleh
keempat bakteri uji. Spektrum absorbsi
formazan diperlihatkan pada Gambar 7.
Pengukuran dilakukan pada kisaran panjang
gelombang 550 hingga 650 nm. Masing-
masing bakteri uji mampu mereduksi
tetrazolium dengan kemampuan berbeda-
beda. E. coli dapat menghasilkan formazan
lebih banyak dibandingkan dengan bakteri uji
yang lain. Hal ini dapat diketahui berdasarkan
nilai absorbannya yang paling besar.
Sementara itu, S. aureus menghasilkan
formazan paling sedikit karena nilai
absorbannya yang paling kecil dibandingkan
bakteri uji lainnya.
Gambar 6 Hasil uji emulsifikasi biosurfaktan
(dari kiri ke kanan: SR_DP.9,
SR_DP.7, BT-38-CP, tween 20,
dan akuades).
10
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh,
panjang gelombang maksimum untuk E. coli
dan P. aeruginosa berada pada 620 nm,
B. subtilis pada 615 nm, dan S. aureus pada
595 nm. Hasil yang didapat berbeda jika
dibandingkan dengan hasil yang didapat oleh
Kregiel et al. (2008). Panjang gelombang
maksimum yang didapat dari reduksi TBC
oleh hidrazin hidrat adalah 540 nm.
Berdasarkan struktur molekulnya, TBC
digolongkan ke dalam senyawa ditetrazolium
karena memiliki dua cincin tetrazol. Oleh
karena itu, formazan yang terbentuk dapat
membentuk intermediet separuh tereduksi,
dengan satu bagian tetrazolium dan satu
bagian formazan. Intermediet yang separuh
tereduksi berwarna kemerahan, sedangkan
formazan yang sudah tereduksi sepenuhnya
berwarna kebiruan. Altman (1974)
menyatakan bahwa kedua formazan ini dapat
saling bercampur, meskipun pada akhirnya
formazan yang berwarna merah akan
tereduksi kembali hingga berwarna biru.
Perbedaan panjang gelombang yang
didapat diduga terjadi karena dua faktor.
Faktor pertama adalah adanya formazan yang
belum tereduksi sepenuhnya sehingga
mempengaruhi pengukuran serapan formazan
yang sudah tereduksi. Faktor kedua adalah
adanya pengaruh polaritas pelarut yang
digunakan untuk mereduksi tetrazolium.
Daniel (1997) menyatakan bahwa spektrum
absorbsi dapat bergeser ke panjang gelombang
yang lebih tinggi apabila polaritas pelarut
meningkat.
Penentuan Potensi Antibakteri
Penetapan jumlah sel adalah tahap awal
dalam penelitian ini. Salah satu metode yang
cepat dan cukup akurat untuk menetapkan
jumlah sel adalah menggunakan larutan baku
McFarland. Sebanyak 0.5 mL larutan BaCl2
1 % dicampurkan dengan 99.5 mL larutan
H2SO4 1 % untuk membuat larutan baku
McFarland 0.5. Serapan larutan ini ekuivalen
dengan suspensi sel dengan jumlah sel 1.5 ×
108 CFU/mL. Oleh karena jumlah sel yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sekitar
106 CFU/mL, suspensi sel yang telah
distandardisasi harus diencerkan 100 kali agar
mencapai jumlah sel yang dibutuhkan.
Penelitian ini menggunakan kontrol positif
berupa kloramfenikol 200 ppm dan kontrol
negatif berupa kultur bakteri tanpa
penambahan biosurfaktan. Selain itu, juga
terdapat blangko berupa media NB steril
dengan penambahan TBC. Blangko ini dipilih
karena pelarut yang digunakan dalam
penelitian ini adalah media NB.
Uji antibakteri dari biosurfaktan terhadap
E. coli diperlihatkan pada Gambar 8. Tidak
ada efek penghambatan pertumbuhan dari tiga
biosurfaktan terhadap bakteri uji. Ini diketahui
berdasarkan pengukuran absorban terhadap
suspensi bakteri yang telah diinkubasi selama
6 jam. Terdapat kecenderungan nilai absorban
yang berkurang seiring dengan meningkatnya
konsentrasi sampel. Sampel tersebut diduga
akan memiliki sifat penghambatan apabila
konsentrasi yang digunakan ditingkatkan lagi.
Pengamatan secara visual memperlihatkan
adanya sumur cawan mikro yang berwarna
biru setelah ditambahkan TBC dan tidak
berwarna setelah ditambahkan TBC. Sumur
yang berwarna biru menunjukkan tidak ada
efek menghambat pertumbuhan bakteri karena
dapat mereduksi TBC menjadi formazan.
Sumur yang tidak berwarna biru setelah
Gambar 7 Spektrum absorbsi bakteri uji.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
540 560 580 600 620 640 660
Ab
sorb
an
Panjang Gelombang (nm)
E. coli P. aeruginosa B. subtilis S. aureus
11
ditambahkan TBC menunjukkan ada efek
menghambat pertumbuhan
Pengamatan visual terhadap pertumbuhan
E. coli yang ditambahkan TBC diperlihatkan
pada Gambar 9. Terlihat bahwa tiga bio-
surfaktan yang telah diperoleh tidak memiliki
potensi antibakteri hingga konsentrasi 10 000
ppm. Hal ini dibuktikan dengan perubahan
suspensi bakteri menjadi berwarna biru yang
berasal dari reduksi TBC menjadi formazan.
Uji antibakteri terhadap P. aeruginosa
menggunakan biosurfaktan dari ketiga isolat
memperlihatkan hasil yang mirip. Dengan
membandingkan grafik yang diperoleh dan
pengamatan secara visual, diperoleh hasil
tidak ada efek penghambatan pertumbuhan
oleh biosurfaktan meskipun konsentrasi
sampel ditingkatkan hingga 10 000 ppm.
Grafik hasil pengukuran serapan uji
antibakteri diperlihatkan pada Gambar 10.
Penambahan ketiga sampel ke dalam suspensi
bakteri uji tidak menunjukkan perubahan
absorban seperti pada pengujian terhadap
E. coli. Hal ini diperkuat dengan data visual
seperti ditunjukkan Gambar 11. Bakteri
P. aeruginosa tetap dapat mereduksi TBC
membentuk formazan.
Uji terhadap S. aureus menunjukkan hasil
yang berbeda. Hasil pengukuran serapan
suspensi bakteri pada Gambar 12
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 5000
ppm, sampel dari BT-38-CP mulai dapat
menghambat pertumbuhan S. aureus. Hal ini
diperkuat dengan pengamatan visual seperti
ditunjukkan Gambar 13. Terlihat tidak ada
endapan yang berwarna biru pada suspensi
bakteri yang ditambahkan biosurfaktan BT-
38-CP. Sementara itu, biosurfaktan dari
SR_DP.7 dan SR_DP.9 tidak menghambat
pertumbuhan S. aureus. Uji antibakteri terhadap B. subtilis
menunjukkan hasil yang mirip dengan uji
pada S. aureus. Pengukuran serapan suspensi
bakteri pada jam ke-6 diperlihatkan pada
Gambar 14. Terlihat bahwa biosurfaktan BT-
38-CP pada konsentrasi 5000 ppm mulai
Gambar 8 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Escherichia
coli.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
K+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 9 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap Escherichia coli
(keterangan: AB: SR_DP.7; DE:
SR_DP.9; GH: BT-38-CP).
Gambar 10 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Pseudo-
monas aeruginosa.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
K+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 11 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap terhadap Pseudomonas
aeruginosa (keterangan: AB:
SR_DP.7; DE: SR_DP.9; GH:
BT-38-CP).
Gambar 8 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Esche-
richia coli.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
K+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 9 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap Escherichia coli
(keterangan: AB: SR_DP.7; DE:
SR_DP.9; GH: BT-38-CP).
Gambar 10 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Pseudo-
monas aeruginosa.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0K
+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 11 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap terhadap Pseudomonas
aeruginosa (keterangan: AB:
SR_DP.7; DE: SR_DP.9; GH:
BT-38-CP).
12
menghambat pertumbuhan B. subtilis.
Pengamatan secara visual menunjukkan ada-
nya efek penghambatan pada konsentrasi 5000
ppm (Gambar 15), sementara itu, pada
konsentrasi di bawah 5000 ppm, B. subtilis
masih dapat mereduksi TBC. Biosurfaktan
dari isolat SR_DP.7 dan SR_DP.9 tidak
menghambat pertumbuhan bakteri uji, bahkan
membuat serapan B. subtilis menjadi lebih
besar.
Bakteri Gram negatif seperti E. coli
cenderung lebih resisten terhadap biosurfaktan
dari isolat SR_DP.7, SR_DP.9, dan BT-38-
CP. Serapan kultur bakteri uji yang
ditambahkan biosurfaktan menunjukkan pola
yang cenderung stabil, meskipun pengamatan
secara visual menunjukkan bahwa sampel ini
belum dapat menghambat ataupun membunuh
bakteri uji yang digunakan. Pengukuran OD
bakteri uji yang ditambahkan biosurfaktan
pada konsentrasi 10 000 ppm pada setiap
waktu pencuplikan menunjukkan serapan
yang meningkat (Gambar 16).
Bakteri Gram positif seperti S. aureus
lebih sensitif terhadap biosurfaktan dari isolat
BT-38-CP. Pengamatan secara visual
menunjukkan bahwa sampel ini menghambat
pertumbuhan bakteri uji pada konsentrasi
5000 ppm. Pengukuran OD pertumbuhan
bakteri yang ditambahkan biosurfaktan ini
pada setiap waktu pencuplikan membuktikan
hal ini (Gambar 17). Oleh karena itu, diduga
biosurfaktan BT-38-CP memiliki konsentrasi
hambat tumbuh minimum (KHTM) pada
konsentrasi 5000 ppm. Biosurfaktan dari
isolat SR_DP.7 dan SR_DP.9 tidak
memperlihatkan efek penghambatan seperti
yang ditunjukkan oleh BT-38-CP.
Penggunaan metode cawan mikro dan
TBC dalam penentuan potensi antibakteri
biosurfaktan dapat mempermudah analisis.
Dalam satu kali prosedur analisis, telah
Gambar 12 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Staphy-
lococcus aureus.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
K+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 13 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus
(keterangan: AB: SR_DP.7; DE:
SR_DP.9; GH: BT-38-CP).
Gambar 14 Hasil pengukuran serapan uji
antibakteri terhadap Bacillus
subtilis.
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
K+
K-
50
pp
m
10
0 p
pm
50
0 p
pm
10
00
pp
m
50
00
pp
m
10
00
0 p
pm
Ab
sorb
an
ra
ta-r
ata
Perlakuan
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 15 Cawan mikro hasil uji antibakteri
terhadap Bacillus subtilis (kete-
rangan: AB: SR_DP.7; DE:
SR_DP.9; GH: BT-38-CP).
13
diperoleh hasil uji antibakteri dari tiga sampel
biosurfaktan. Meskipun demikian, resiko
kontaminasi dalam metode ini sangat tinggi.
Kontaminasi dapat terjadi pada saat
penambahan TBC dan pada saat pengukuran
serapan. Oleh karena itu, teknik aseptik
diperlukan dalam setiap tahapan pengujian,
mulai dari pembuatan suspensi bakteri hingga
pada saat pengukuran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Telah diperoleh biosurfaktan dari hasil
pemurnian isolat SR_DP.7, SR_DP.9 dan BT-
38-CP dengan rendemen masing-masing
sebesar 0.95, 0.36, dan 0.08 %. Analisis
emulsifikasi menunjukkan bahwa biosurfaktan
dari isolat SR_DP.7 memiliki kemampuan
emulsifikasi yang lemah dibandingkan dengan
biosurfaktan dari isolat SR_DP.9 dan BT-38-
CP. Hal ini diketahui berdasarkan nilai E24
untuk SR_DP.7, SR_DP.9 dan BT-38-CP
masing-masing sebesar 35.71, 84.62, dan
84.62 %. Berdasarkan hasil penelitian,
biosurfaktan dari hasil pemurnian isolat
SR_DP.7 dan SR_DP.9 tidak memiliki
potensi antibakteri hingga konsentrasi 10 000
ppm. Biosurfaktan dari BT-38-CP berpotensi
antibakteri terhadap bakteri B. subtilis dan
S.aureus pada konsentrasi 5000 ppm. Panjang
gelombang maksimum untuk pengujian
antibakteri adalah 620 nm untuk E. coli dan
P. aeruginosa, 615 nm untuk B. subtilis, dan
595 nm untuk S. aureus.
Saran
Optimasi produksi biosurfaktan untuk
mendapatkan hasil biosurfaktan yang
maksimum perlu dilakukan. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan KHTM
dari biosurfaktan isolat BT-38-CP, baik
dengan metode difusi ataupun dilusi dengan
cawan mikro 96 sumur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Mawgoud AM, Lépine F, Déziel E.
2010. Rhamnolipids: diversity of
structures, microbial origins, and roles
[ulasan]. App Microbiol Biotechnol
86:1323-1336. [terhubung berkala]
http://www.springerlink.com/content/d867
157740u54373/ [30 Jun 2010].
Andrews JM. 2008. BSAC standardized disc
susceptibility testing method (version 7).
J Antimicrob Chemother 56:60-76.
[terhubung berkala] http://jac.
oxfordjournals.org/cgi/reprint/62/2/256
[27 Jan 2010].
Altman FP. 1974. Studies on the reduction of
tetrazolium salts III. The products of
chemical and enzymic reduction.
Histochem 38:155-171.
Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA,
editor. 2007. Jawetz, Melnick, &
Adelberg’s Medical Microbiology. Ed ke-
24. San Fransisco: McGraw-Hill.
Cooper DG, Goldenberg BG. 1987. Surface-
active agents from two Bacillus species.
Appl Environ Microbiol 53:224-229.
Gambar 16 Kurva pertumbuhan E. coli yang
ditambahkan biosurfaktan 10 000
ppm.
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
30 menit 3 jam 6 jam
OD
Waktu inkubasi
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
Gambar 17 Kurva pertumbuhan S. aureus
yang ditambahkan biosurfaktan
5000 ppm.
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
30 menit 3 jam 6 jam
OD
Waktu inkubasi
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
14
Daniel DS. 1997. The Chemistry of
Tetrazolium Salts. Di dalam: Katrizky AR,
Sabongi GJ, Muthyala R, editor.
Chemistry and Applications of Leuco
Dyes. Ed ke-2. New York: Springer. hlm
207-296.
Desai JD, Banat IM. 1997. Microbial
production of surfactants and their
commercial potential [ulasan]. Microbiol
Mol Biol Rev 61:47-64. [terhubung
berkala] mbr.asm.org/cgi/reprint/61/1/
47.pdf [25 Agt 2008].
Dwijoseputro. 1990. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Ed ke-11. Jakarta:
Djambtan.
Ellof JN. 1998. A sensitive and quick
microplate method to determine the
minimal inhibitory concentration of plant
extracts for bacteria. Planta Med 64:711-
713.
Heyd M et al. 2008. Development and trends
of biosurfactant analysis and purification
using rhamnolipids as an example
[ulasan]. Anal Bioanal Chem 391:1579-
1590.
Hogg S. 2005. Essential Microbiology.
Chichester: John Wiley & Sons.
Kreander K, Vuorela P, Tammela P. 2005. A
rapid screening method for detecting
active compounds against erythromycin-
resistant bacterial strains of Finnish origin.
Folia Microbiol 50:487-493.
Kregiel D, Berlowska J, Ambroziak W. 2008.
Succinate dehydrogenase activity assay in
situ with blue tetrazolium salt in Crabtree-
positive Saccharomyces cerevisiae strain.
Food Technol Biotechnol 46:376-380.
[terhubung berkala] hrcak.srce.hr/
file/48117 [7 Mar 2009].
Levy SB. 2001. Antibacterial household
products: cause for concern. Emerg Infec
Diseas 7 Supl 3:512-515.
Lin S, Jiang H. 1997. Recovery and
purification of the lipopeptide
biosurfactant of Bacillus subtilis by
ultrafiltration. Biotech Tech 11:413-416.
Moat AG, Foster JW, Spectro MP. 2002.
Microbial Physiology. Ed ke-4. New
York: Wiley-Liss.
Mosmann T. 1983. Rapid colorimetric assay
for cellular growth and survival:
application to proliferation and
cytotoxicity assays. J Immunol Methods
65:55-63.
Myers D. 2006. Surfactant Science and
Technology. Ed ke-3. New Jersey: John
Wiley & Sons.
Nitschke M, Costa SGVAO, Contiero J. 2010.
Structure and application of a rhamnolipid
surfactant produced in soybean oil waste.
Appl Biochem Biotechnol 160:2066-2074.
Rodrigues L, Banat IM, Texeira J, Oliviera R.
2006. Biosurfactants: potential
applications in medicine. J Antimicrob
Chemother 57:609-618.
Utama EC. 2010. Production and
characterization of biosurfactant obtained
from indigenous bacteria Lysobacter sp.
strain Bt 104. Annales Bogoriensis, in
press.
Van Bogaert INA et al. 2007. Microbial
production and application of
sophorolipids [ulasan]. App Microbiol
Biotechnol 76:23-34.
Vater J et al. 2002. Matrix-associated laser
desorption ionization-time of flight mass
spectrometry of lipopeptide biosurfactants
in whole cells and culture filtrates of
Bacillus subtilis C-1 isolated from
petroleum sludge. Appl Environ Microbiol
68:6210-6219. [terhubung berkala]
http://aem.asm.org/cgi/reprint/ 68/12/6210
[20 Mar 2010].
Walter V, Syldatk C, Hausmann R. 2010.
Screening concepts for the isolation of
biosurfactant producing microorganisms.
Di dalam: Sen R, editor. Advances in
Experimental Medicine and Biology.
Volume ke-672. London: Springer
Science+Business Media. hlm 1-13.
Wang F, Cao L, Hu S. 2007. A rapid and
accurate 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenil tetrazolium bromide colorimetric
assay for quantification of bacteriocins
with nisin as an example. J Zhejiang Univ
Sci B 8:549-554.
Yin H et al. 2009. Characteristics of
biosurfactant produced by Pseudomonas
aeruginosa S6 isolated from oil-
contaminated wastewater. Proc Biochem
44:302-308.
15
LAMPIRAN
16
Lampiran 1 Tahapan penelitian
Peremajaan isolat
Preparasi media dan
larutan
Prekultur dan inokulasi
ke media kultur
Purifikasi biosurfaktan
Uji emulsifikasi
Penentuan potensi
antibakteri
Pembuatan
media MA, NA,
NB, dan SM1
Pembuatan larutan
TBC, dan baku
McFarland
17
Lampiran 2 Tahapan pengujian potensi antibakteri dengan metode cawan mikro
Peremajaan bakteri
uji dalam media NA
Standardisasi
jumlah sel
Inkubasi kultur pada
suhu 37 °C, 24 jam
Pengenceran sampel
secara berseri
Penentuan panjang
gelombang maksimum
Penambahan TBC
0.2 mg/mL
Inkubasi kultur
pada suhu 37 °C
Pengukuran
serapan kultur
18
Lampiran 3 Data pertumbuhan isolat penghasil biosurfaktan
Jam ke- OD Isolat
SR_DP.7 SR_DP.9 BT-38-CP
0 0.003 0.059 0.201
2 0.423 0.233 0.139
4 0.742 0.499 0.225
6 0.919 0.698 0.348
24 1.174 1.171 0.866
26 1.174 1.154 0.818
28 1.169 1.126 0.778
30 1.177 1.031 0.651
52 1.186 1.030 0.504
54 1.179 0.954 0.343
Lampiran 4 Hasil penentuan E24
Isolat
Tinggi minyak
teremulsifikasi
(cm)
Tinggi total cairan
(cm) E24 (%)
Akuades 0.6 1.4 42.57
Tween 20 1.4 1.4 100
SR_DP.7 0.5 1.4 35.71
SR_DP.9 1.1 1.3 84.62
BT-38-CP 1.1 1.3 84.62
Contoh perhitungan E24 SR_DP.7:
0.
1. 100 = 35.71 %
19
Lampiran 5 Hasil pengukuran serapan larutan TBC pada berbagai panjang
gelombang
Panjang
gelombang (nm)
OD Bakteri uji
E. coli P. aeruginosa B. subtilis S. aureus
550 1.742 1.482 0.805 0.752
560 1.785 1.535 0.834 0.764
570 1.827 1.589 0.864 0.775
580 1.863 1.637 0.890 0.785
585 1.881 1.661 0.903 0.788
590 1.895 1.683 0.915 0.790
595 1.910 1.704 0.925 0.790
600 1.926 1.721 0.934 0.787
610 1.944 1.747 0.943 0.774
615 1.944 1.751 0.943 0.764
620 1.945 1.755 0.941 0.753
625 1.944 1.751 0.937 0.729
630 1.940 1.750 0.931 0.703
640 1.925 1.731 0.912 0.677
650 1.898 1.699 0.888 0.752
(Keterangan: angka yang ditebalkan adalah serapan maksimum)
Lampiran 6 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Escherichia coli
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
Isolat SR_DP.7
Kloramfenikol
200 ppm 0.081 0.085 0.086
0 0.774 1.365 1.638
50 0.929 1.539 1.730
100 0.881 1.474 1.523
500 0.706 1.013 1.026
1000 0.937 1.521 1.510
5000 0.743 1.262 1.528
10 000 0.783 1.171 1.469
Isolat SR_DP.9
Kloramfenikol
200 ppm 0.065 0.065 0.064
0 0.716 1.413 1.536
50 0.824 1.623 1.721
100 0.728 0.970 0.911
500 0.572 0.830 0.718
1000 0.692 1.260 1.150
5000 0.434 0.837 0.952
10 000 0.456 0.767 0.771
Isolat BT-38-CP
Kloramfenikol
200 ppm 0.078 0.085 0.074
20
Lampiran 6 (lanjutan)
Lampiran 7 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Pseudomonas
aeruginosa
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
0 0.699 1.365 1.239
50 0.788 1.539 1.482
100 0.669 1.474 1.107
500 0.779 1.013 1.173
1000 0.762 1.521 1.238
5000 0.789 1.262 1.237
10 000 0.674 1.171 1.034
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
Isolat SR_DP.7
Kloramfenikol
200 ppm 0.097 0.086 0.079
0 0.566 1.795 1.921
50 0.987 2.288 2.233
100 1.287 2.392 2.349
500 1.341 2.216 2.299
1000 1.316 2.117 2.208
5000 1.577 2.183 2.275
10 000 1.527 2.073 2.057
Isolat SR_DP.9
Kloramfenikol
200 ppm 0.097 0.085 0.087
0 0.781 2.253 2.287
50 1.031 2.481 2.418
100 1.263 2.305 2.269
500 1.604 2.296 2.266
1000 1.796 2.364 2.320
5000 2.287 2.481 2.412
10 000 1.722 2.076 2.009
Isolat BT-38-CP
Kloramfenikol
200 ppm 0.068 0.069 0.069
0 0.831 2.277 2.378
50 0.976 2.460 2.517
100 1.230 2.372 2.417
500 1.032 2.182 2.295
1000 0.947 2.204 2.334
5000 1.053 1.966 2.084
10 000 1.005 1.907 2.069
21
Lampiran 8 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Bacillus subtilis
Lampiran 9 Hasil pengukuran serapan uji antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
Isolat SR_DP.7
Kloramfenikol
200 ppm 0.091 0.086 0.086
0 0.493 0.436 0.415
50 0.649 0.527 0.558
100 0.619 0.575 0.572
500 0.536 0.591 0.538
1000 0.646 0.569 0.557
5000 0.557 0.467 0.477
10 000 0.481 0.421 0.409
Isolat SR_DP.9
Kloramfenikol
200 ppm 0.091 0.083 0.080
0 0.589 0.405 0.403
50 0.715 0.702 0.557
100 1.220 1.287 1.328
500 0.833 0.785 0.855
1000 0.763 0.752 0.719
5000 0.807 0.790 0.759
10 000 0.722 0.701 0.673
Isolat BT-38-CP
Kloramfenikol
200 ppm 0.099 0.077 0.076
0 0.939 0.476 0.457
50 0.423 0.258 0.328
100 0.380 0.339 0.363
500 0.302 0.274 0.240
1000 0.315 0.291 0.256
5000 0.316 0.308 0.267
10 000 0.322 0.437 0.532
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
Isolat SR_DP.7
Kloramfenikol
200 ppm 0.090 0.086 0.087
0 0.308 0.184 0.160
50 1.205 1.201 1.228
100 1.251 1.319 1.371
500 1.182 1.258 1.335
1000 1.448 1.442 1.521
22
Lampiran 9 (lanjutan)
Konsentrasi
(ppm)
Waktu inkubasi
30 menit 3 jam 6 jam
5000 0.601 0.566 0.581
10000 0.991 1.117 1.263
Isolat SR_DP.9
Kloramfenikol
200 ppm 0.077 0.077 0.078
0 0.317 0.193 0.218
50 0.554 0.658 0.668
100 0.698 1.092 1.107
500 0.631 0.962 0.966
1000 0.693 0.817 0.823
5000 0.830 0.804 0.891
10 000 0.777 0.795 0.969
Isolat BT-38-CP
Kloramfenikol
200 ppm 0.074 0.072 0.072
0 0.267 0.174 0.172
50 0.432 0.491 0.499
100 0.546 0.814 0.817
500 0.539 0.501 0.477
1000 0.446 0.324 0.317
5000 0.247 0.171 0.171
10 000 0.224 0.218 0.256