potret kecil

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban. Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Hak dan kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan bijak agak keuangan daerah tersebut bisa menjadi efisien penggunaanya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 1

Upload: dimas-fathurrahman-sholeh

Post on 30-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POTRET KECIL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

pedoman pengelolaan keuangan daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan

kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat

dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban. Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan

kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya

mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.

Hak dan kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan

keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem

pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah juga harus dilakukan dengan cara

yang baik dan bijak agak keuangan daerah tersebut bisa menjadi efisien penggunaanya

yang sesuai dengan kebutuhan daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, saya menyusun bebrapa

rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini, rumusan terseut diantaranya :

1. Bagaimana pengelolaan keuangan daerah?

2. Bagaimana Analisis pengelolaan keuangan daerah?

3. Bagaimana pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap perekonomian

Indonesia?

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 1

Page 2: POTRET KECIL

1.3 Tujuan

Makalah ini saya susun dengan tujuan untuk :

1. Untuk Mengetahui bagaimana sebenarnya pengelolaan uang daerah secara garis

besar

2. Untuk mengetahui secara garis besar pengaruh pengelolaan keuangan daerah

terhadap perekonomian Indonesia

3. Untuk mengetahui analisis tentang pengelolaan keuangan daerah

1.4    Manfaat Penulisan

Saya berharap makalah ini bisa memeberikan manfaat baik bagi penyusun dan

juga pembaca pada umumnya, diantaranya :

1. Untuk menambah wawasan tentang manajemen keuangan dan pengelolaannya

2. Dapat mempelajari kasus-kasus yang terjadi di dunia keuangan daerah khususnya

mengenai keuangan di indonesia

3. Dapat mengetahui penyusunan anggaran keuangan daerah di indonesia

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 2

Page 3: POTRET KECIL

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Keuangan Daerah dan Gambaran Umum

Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 379)

keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di

dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kekayaan yang

berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah semua hak

dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat

dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Dengan demikian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang.

Keuangan daerah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

Paradigma baru manajemen pemerintahan daerah di Negara Indonesia saat ini

banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler (1992)1 yang

dituangkan dalam bukunya berjudul Reinventing Government. Dari pemikirannya

tersebut telah banyak membuka mata dan pikiran banyak pihak untuk memulai

membenahi sistem-sistem birokrasi pemerintahan di dunia.

Osborne dan Gaebler (1992)2 menguraikan karateristik pemerintahan wirausaha

tersebut melalui sepuluh prinsipnya, yang intinya mengurangi peran pemerintah dengan

cara memberdayakan masyarakat, serta menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih

efisien.

1 Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 19922 Idem

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 3

Page 4: POTRET KECIL

Apabila dilihat secara seksama, birokrasi pada sektor pemerintahan daerah

memiliki aspek penyelenggaraan tugas yang sangat luas dan kompleks serta memiliki

skala aktivitas dan jumlah personil penyelenggara yang sangat besar. Sebagai gambaran

adalah bahwa jumlah pemerintahan daerah di Indonesia sampai dengan tahun 2009 telah

berkembang menjadi sebanyak 510 pemerintahan daerah. Jumlah ini diperkirakan akan

terus berkembang di masa mendatang, apabila tidak terkendali secara baik.

Namun meningkatnya perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia masih

belum diiringi dengan perkembangan kinerja yang memadai. Fakta yang ditunjukkan

oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melalui pemeriksaan kinerja atas pengelolaan

administrasi pemekaran daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-

2008, di Indonesia telah terbentuk 203 daerah otonom baru (DOB), dengan rincian tujuh

propinsi dan 196 kabupaten/kota, namun pemekaran daerah atau pembentukan DOB

sejak tahun 1999 hingga 2008 tersebut masih belum didukung oleh suatu grand design

yang baik, yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta prediksi

mengenai jumlah daerah otonom yang ideal di Indonesia. Selama ini pemerintah dan

DPR masih belum memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi aspirasi masyarakat

mengenai pembentukan DOB.

Semakin meningkatnya jumlah pemerintah daerah di Indonesia tentunya akan

membutuhkan dukungan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin besar, apabila

arah pergerakan pemda-pemda tersebut belum mampu menghasilkan pendapatan asli

daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain pendapatan daerah yang sah, yang memadai untuk memenuhi kebutuhan

belanja daerah yang justru semakin terus meningkat dari waktu ke waktu.

Sementara pemenuhan kebutuhan minimal akan belanja daerah yang ada sendiri

masih belum memberikan hasil kinerja seperti yang diharapkan, disamping masih

banyaknya terjadi kebocoran-kebocoran anggaran.

Oleh karena itu, perolehan PAD, retribusi, maupun pendapatan-pendapatan

lainnya serta dana perimbangan yang dapat bervariasi antar daerah-daerah di Indonesia

tersebut, diperlukan manajemen pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal

mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang sebesar-besarnya melalui program-

program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah tersebut.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 4

Page 5: POTRET KECIL

Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh pemda di Indonesia pada tahun

2009 sekitar Rp. 62 triliun, dimana 3 peringkat peroleh PAD tertinggi diduduki oleh

pemda Propinsi DKI Jakarta, setelah itu diiukti Propinsi Jawa Barat dan terakhir

Propinsi Sumatera Utara.

Jumlah pendapatan-pendapatan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk

memenuhi kebutuhan belanja-belanja pemerintah daerah di Indonesia. Dimana

kebutuhan-kebutuhan belanja tersebut digunakan semaksimal mungkin untuk membiaya

program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat.

Belanja-belanja tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dalam penyusunan suatu laporan keuangan yang mengacu kepada Standar

Akuntansi Pemerintah dan Sistem Akuntansi Pemerintah yang berlaku. Dalam hal ini

telah dikeluarkan aturan pemerintah terkait dengan Standar Akuntansi Pemerintah yaitu

PP No.24 Tahun 2005 dan aturan terkait dengan Sistem Akuntansi Pemerintah, yaitu

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri

No.59 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005.

Pertanggungjawaban pemerintah daerah (pemda) atas pengelolaan anggaran di

41 kabupaten/kota dianggap masih kurang transparan bila dibandingkan dengan tahapan

perencanaan, pembahasan, dan pelaksanaan. Skor rata-rata transparansi pengelolaan

anggaran untuk tahapan pertanggungjawaban adalah 65,83.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Forum Indonesia untuk

Transparansi (Fitra) atas 41 kabupaten/kota di Indonesia, menunjukkan bahwa skor rata-

rata daerah untuk tahapan perencanaan anggaran adalah sebesar 73,6, pembahasan 73,5,

dan pelaksanaan 78,1. Indikator skor tersebut menunjukkan bahwa pemda cenderung

untuk menutupi informasi yang terkait dengan laporan pertanggungjawaban kepada

masyarakat. Ruang gerak masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi pelaksanaan

pembangunan menjadi lebih sempit dengan tidak dibukanya akses dan ketersediaan

dokumen anggaran. Dengan demikian pemda menghadapi tantangan yang cukup serius

dalam hal transparansi dokumen pada tahap pertanggungjawaban.4

3 Menurut Farhan, Yuna, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pada Bataviase.co.id , edisi 3 Feb 20104 Idem

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 5

Page 6: POTRET KECIL

Sementara berkaitan dengan ketaatan penyampaian laporan kinerja pemerintah

daerah, Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi

Birokrasi telah melaporkan bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan

laporan kinerja hingga tahun 2009 baru mencapai 60-70% dari sekitar 483 kab/kota

yang ada di seluruh tanah air5.

Padahal jelas sekali bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan

laporan kinerja pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban

atas alokasi sumber daya anggaran yang mayoritas berasal dari masyarakat yang

diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nick

Devas, et.al, (1989) mengenai tujuan pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah, yaitu

untuk:

1) Akuntabilitas (Accountability)

Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang

yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain,

adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok

kepentingan lainnya (LSM);

2) Memenuhi kewajiban Keuangan

Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua

ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;

3) Kejujuran

Urusan keuangan harus diserahkanpada pegawai professional dan jujur, sehingga

mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.

4) Hasil guna (effectiveness) dan gaya guna (efficiency) kegiatan daerah.

Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa memungkinkan setiap

program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya

serendah-rendahnya dengan hasil yang maksimal.

5) Pengendalian

5 Kabarbisnis.com, edisi 3 esember 2010, Kemen PAN: 70% pemda taat laporkan kinerja

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 6

Page 7: POTRET KECIL

Manajer Keuangan Daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus

melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau

melalui akses informasi

Sedangkan fungsi manajemen sendiri terbagi atas tiga tahapan utama yaitu :

adanya proses perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan

pengendalian/ pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen keuangan daerah

terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang terdiri dari tugas :

1)      Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;

2)      Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah;

3)      Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;

4)      Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;

5)      Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan Kepala Daerah; dan

6)      Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.

Poin 1 dan 2 merupakan indicator keberhasilan dari fungsi perencanaan anggaran

daerah dimana melekat pengertian adanya partisipasi publik; Poin 3 dan 4 merupakan

indikator keberhasilan dari fungsi pelaksanaan/pengelolaan anggaran pemerintah daerah

dan Poin 5 dan 6 merupakan indicator keberhasilan pemerintah daerah dalam

menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan anggaran pemerintah daerah.

Keseluruhan indicator keberhasilan tersebut akan bermuara pada suatu indicator

keberhasilan terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan

akuntabel.

2.2. Sistem Anggaran

Schick (1966) mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, penganggaran

memiliki kecenderungan untuk menekankan pada financial control, peningkatan

kemampuan manajerial atau perencanaan. Rubin (1996), yang menulis 30 tahun

kemudian setelah Schick, mengusulkan bahwa ada dua penekanan tambahan yang perlu

ditambahkan untuk mencerminkan tren yang dominan di era 1970-an, 1980-an, dan

1990-an, yaitu prioritas dan akuntabilitas.

Pada dekade terakhir abad kesembilan belas, penganggaran diartikan sebagai

“sebuah penilaian terhadap penerimaan dan belanja atau sebuah neraca publik, dan

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 7

Page 8: POTRET KECIL

sebagai sebuah hukum legislatif yang membangun dan mengotorisasi suatu jenis dan

jumlah dari belanja dan perpajakan” (Schiesl, 1977: 89).

Pemikiran sebuah anggaran sebagai mekanisme kendali, telah berkembang sejak

tahun 1830-an, namun baru mendapatkan momentumnya setelah perang sipil di

Amerika yang kemudian diikuti dengan adanya pertumbuhan kota-kota dan perluasan

layanan pemerintah. Di akhir tahun 1890-an terdapat tiga bentuk dasar dari

penganggaran pemerintah. Beberapa kota mula-mula mulai mempraktekan secara

sederhana dengan menggunakan pendekatan retribusi pajak, yang secara umum

merupakan pendekatan yang kurang disukai oleh para reformer, karena kurangnya

pengendalian dalam bentuk ketidakperhatian kepada pembelanjaan penganggaran,

ditambah lagi dengan dominasi belanja oleh dewan kota. (Schiesl, 1977: 89)

Selanjutnya berkembang kepada pendekatan lainnya, yaitu pendekatan retribusi

pajak yang ditambahkan dengan detail pembelanjaan. Pendekatan ini kurang merinci

mengenai estimasi pendapatan. Pendekatan terakhir yang digunakan adalah pendekatan

penggunaan retribusi pajak tetapi didahului dengan estimasi penerimaan dan

pengeluaran yang rinci, yang ternyata merupakan praktek yang disukai oleh para

reformer kelas menengah dan bisnis. (Schiesl, 1977: 89).

Banyak literatur teori menyebutkan bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi,

perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dimana fungsi-fungsi

tersebut bersatu padu dalam rangka mendukung program pemerintah untuk

menyejahterakan kehidupan masyarakat serta memberikan pelayanan yang baik bagi

aktivitas kehidupan masyarakat.

(1) Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk

melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

(2) Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman

bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

(3) Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman

untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.

(4) Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk

menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 8

Page 9: POTRET KECIL

daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

(5) Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

(6) Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat

untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

daerah.

Tolok ukur kinerja (Performance Measurement) anggaran merupakan bagian

dari proses analisis anggaran untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan masukan dan

keluaran (Input, and Output Process Analysis) atas standarisasi pelayanan umum yang

dikembangkan oleh Pemda. Instrumen analysis ini terdiri dari Standar Analisa Belanja

(SAB), tolok ukur kinerja kegiatan, dan Standar Biaya.

SAB adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja keuangan yang merupakan

analisa dari setiap masukan dari segala aspek barang, uang, sistim operasional dan

prosedur (SOP) dengan memperhatikan keluaran, yaitu masyarakat yang akan digarap

dalam bentuk (Segmentasi Market maupun Segmentasi Aktifitas) atas pelayanan standar

yang ingin dicapai oleh satuan unit kerja, program, maupun proyek dalam bentuk

kegiatan tertentu.

Tolok ukur kinerja adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja yang bertumpu

pada kinerja non keuangan. Analisa ini digunakan untuk melihat sejauh mana keluaran

yang akan dicapai melalui proses pengukuran segmentasi market maupun segmentasi

aktifitas.

Standar Biaya adalah suatu metode untuk mengukur kinerja keuangan agar selalu up to

date dan relevan dan mengikuti pertimbangan harga pasar yang berlaku pada masing-

masing wilayah. Pemantauan standar biaya ini dilaksanakan secara terus menerus, atas

dasar satuan harga belanja yang dapat berubah fleksibel dengan memperhatikan batas

pagu anggaran yang telah direncanakan. Di bawah pagu anggaran dari Standar Biaya

yang ditetapkan merupakan alokasi dana cadangan. Di atas pagu anggaran merupakn

beban anggaran yang dapat mengurangi kualitas atau mengurangi dana cadangan.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 9

Page 10: POTRET KECIL

2.2.1. Azas Umum Penyusunan Anggaran

Dalam penyusunan anggaran pemerintah perlu dipahami mengenai ketentuan-

ketentuan azas umum yang menyertai suatu aktivitas penyusunan APBD, yaitu:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai

dari dan atas beban APBD.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di

daerah didanai dari dan atas beban APBN.

(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan propinsi yang penugasannya dilimpahkan

kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD propinsi.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya

dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

(5) Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang,

barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam

APBD.

(6) Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum

penganggaran.

Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban

pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2.2.2. Rencana Kerja Pemda

Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan

menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang

mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.

RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan

dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang

dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan

mendorong partisipasi masyarakat.

Dalam menunaikan kewajiban daerah perlu mempertimbangkan prestasi capaian

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 10

Page 11: POTRET KECIL

standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

2.2.3. Kebijakan Umum APBD

Sebagai langkah awal dalam penyusunan anggaran pemerintah, maka Kepala

Daerah menyusun sebuah rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) berdasarkan pada

RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam

Negeri setiap tahun.

Pedoman penyusunan APBD memuat antara lain: (1) pokok-pokok kebijakan

yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip

dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan; (3) teknis penyusunan

APBD; dan (4) hal-hal khusus lainnya.

Rancangan KUA akan memuat hal-hal mengenai target pencapaian kinerja yang

terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk

setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah,

alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan

asumsi yang mendasarinya.

Penyusunan program-program yang selaras dengan prioritas pembangunan yang

ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya

mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok

kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dapat dibantu oleh TAPD yang

dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan oleh

sekretaris daerah kepada kepala daerah.

2.2.4. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)

Apabila KUA telah tersusun dan disepakati antara Pemda dan DPRD, maka

langkah selanjutnya adalah membuat rancangan PPAS. Rancangan PPAS ini disusun

dengan tahapan sebagai berikut: (1) menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan

urusan pilihan; (2) menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan (3)

menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 11

Page 12: POTRET KECIL

Rancangan PPAS yang telah disusun, diajukan oleh Kepala daerah kepada

DPRD untuk dibahas. Pembahasan dilakukan oleh Tim Asistensi Pemerintah Daerah

(TAPD) bersama panitia anggaran DPRD.

KUA serta PPA yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan

yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.

2.2.5. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)

Penyusunan RKA-SKPD didasarkan pada prestasi kerja, indikator kinerja,

capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar

pelayanan minimal. Dengan penjelasan sebagai berikut:

(1) Indikator kinerja merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program

dan kegiatan yang direncanakan.

(2) Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud

kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan

kegiatan.

(3) Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya

yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.

(4) Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku

disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

(5) Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan

capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.

RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing

program dan kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci

sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju

untuk tahun berikutnya.

RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah,

organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan.

RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas

lebih lanjut oleh TAPD.

Pembahasan yang dilakukan oleh TAPD berkaitan dengan kesesuaian antara

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 12

Page 13: POTRET KECIL

RKA-SKPD dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran

sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja,

kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar

pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD. Apabila hasil

pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, maka kepala SKPD dapat

melakukan penyempurnaan.

RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada

Pejabat Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan rancangan

peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang

penjabaran APBD.

Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD

disampaikan kepada kepala daerah, dan sebelum disampaikan kepada DPRD

disosialisasikan kepada masyarakat.

2.3. Beberapa hal penting terkait Penyusunan Anggaran Pemda

Beberapa kendala yang secara umum dialami pemerintah daerah dalam

pembuatan rancangan anggaran pemerintah daerah yang baik juga dapat dikemukakan

di bawah ini, seperti (USAID, 2007):

1. Belum dilembagakannya penganggaran partisipatif.

Peraturan dan perundangan baru tidak selalu menyediakan instrumen yang efektif

untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan

penganggaran. Pada kenyataannya, masih dijumpai misalnya keterbatasan

transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah daerah; terbatasnya

keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan DPRD dalam proses perencanaan dan

penganggaran; masih kurangnya analisis dampak kebijakan anggaran atas

pengurangan kemiskinan dan kepentingan kaum perempuan; serta keterlibatan

organisasi masyarakat sipil yang terbatas hanya pada pemantauan dan evaluasi

anggaran. Kelompok masyarakat umumnya memiliki pemahaman yang sangat

terbatas atas proses perencanaan dan penganggaran daerah yang cukup kompleks.

2. Komitmen pimpinan daerah yang tidak merata.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 13

Page 14: POTRET KECIL

Perencanaan partisipatif sukar untuk mencapai keberhasilan tanpa komitmen yang

kuat dari pimpinan daerah. Tingkat kemauan dan komitmen menerapkan

perencanaan dan penganggaran partisipatif sangat bervariasi antar daerah.

Lemahnya komitmen antara lain disebabkan oleh pemahaman yang terbatas atas

peranan dan manfaat jangka panjang partisipasi masyarakat untuk menghasilkan

pembangunan daerah berkelanjutan; sukar membedakan antara partisipasi

masyarakat dan partisipasi politik. Tindak korupsi dan pengaruh partai politik dalam

proses penganggaran juga merupakan hambatan yang signifikan.

3. Keterbatasan pengawasan legislatif dalam penyusunan anggaran. Ketidakterpaduan

masa reses DPRD dengan Musrenbang dan proses perencanaan dan penganggaran

serta keterbatasan dalam penyediaan informasi dan analisis untuk pembahasan

anggaran sedikit banyak menyebabkan keterbatasan dalam pengawasan penyusunan

anggaran.

4. Keterbatasan Musrenbang untuk mempengaruhi alokasi anggaran.

Faktor yang antara lain membatasi efektifitas Musrenbang untuk mempengaruhi

proses alokasi anggaran adalah kurang memadainya kualitas dan transparansi

informasi yang disiapkan pemerintah daerah bagi peserta Musrenbang; kurangnya

keterwakilan stakeholders dalam proses penganggaran, dimana proses ini lebih

didominasi oleh eksekutif dan DPRD dengan pengaruh partai politik yang kuat

dalam kebijakan anggaran; terbatasnya pemahaman organisasi masyarakat sipil

tentang proses penganggaran dan hak-haknya untuk menyuarakan perspektifnya atas

pembangunan daerah.

5. Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk memahami proses

perencanaan dan mendorong perubahan.

Terdapat keterbatasan pengetahuan organisasi masyarakat sipil dalam memahami

proses penganggaran yang cukup panjang dan kompleks serta hak-hak ekonomi

untuk menyuarakan perspektif dan kepentingannya dalam pembangunan daerah.

Kepentingan kaum perempuan dan kelompok masyarakat miskin seringkali kurang

terwakili dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran. Juga terdapat

kekurangpercayaan dari masyarakat bahwa proses Musrenbang akan mampu

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 14

Page 15: POTRET KECIL

membawa perbaikan dalam kesejahteraan hidup mereka; masyarakat seringkali

melihat Musrenbang hanya merupakan seremonial dengan dominasi pengambilan

keputusan lebih banyak dilakukan oleh elit daerah. Organisasi masyarakat sipil

kerap kurang memahami cara melakukan advokasi, penelitian, dan analisis

informasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses perencanaan dan

penganggaran. Selain itu, kendala dalam menjalin hubungan yang lebih erat dengan

eksekutif dan legislatif menyebabkan keterbatasan organisasi masyarakat sipil dalam

mempengaruhi proses alokasi anggaran.

6. Kompleksitas isu pembangunan daerah.

Permasalahan yang dihadapi daerah sangat kompleks seperti perbaikan kualitas dan

akses pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengurangan kemiskinan dan malnutrisi;

kesejahteraan anak; keamanan; penguatan peranan kaum perempuan dalam

pembangunan daerah; peningkatan keamanan, keteraturan; konflik daerah, sosial

dan etnik; revitalisasi sektor pertanian; pengembangan ekonomi lokal; dan degradasi

kualitas lingkungan hidup. Semua itu memerlukan tidak saja pengambilan keputusan

yang demokratis melainkan juga pemahaman teknis dan analisis permasalahan;

penerapan praktek-praktek yang telah terbukti baik dan efektif; serta keseimbangan

prioritas antardaerah, antara propinsi dan kabupaten/kota untuk menghasilkan solusi

yang efektif dan tuntas.

Dari seluruh penjelasan di atas, jelaslah bahwa reevaluasi efektifitas mekanisme

Musrenbang dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran

daerah amat sangat diperlukan.

2.4 Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah

Pengelolaan anggaran yang baik diperlukan untuk mendukung pengelolaan

sumber daya yang baik, mencapai kinerja yang diharapkan oleh masyarakat dan untuk

menciptakan akuntabilitas terhadap masyarakat.

Agar dapat menilai kinerja satuan unit kerja maka diperlukan indikator-

indikator penilaian kinerja, yang menurut Mardiasmo (2002) terbagi menjadi dua

macam, yaitu:

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 15

Page 16: POTRET KECIL

a. Informasi finansial.

Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah

dibuat. Penilaian diukur dengan menganalisi antara kinerja aktual dengan yang

dianggarkan (selisih antara pendapatan dengan pengeluaran).

b. Informasi non-finansial.

Pengukuran kinerja yang diukur bukan dari aspek finansialnya saja akan tetapi juga

aspek non-finansial, seperti:

Kepuasan pelanggan.

Efesiensi proses internal.

Efektifitas pengeluaran

Perlu diingat pula bahwa untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik

seyogyanya pengeluaran anggaran belanja tidak langsung perlu ditekan semaksimal

mungkin sehingga alokasi anggaran belanja publik dapat memperoleh alokasi yang

lebih besar. Literatur penelitian yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah

daerah belum sepenuhnya melakukan upaya efisiensi dalam pengelolaan keuangan

daerah terutama yang terkait belanja tidak langsung (Brata, 2009).

Masalah yang dirasakan saat ini sangat penting untuk mendapatkan fokus

perhatian pemerintah adalah masalah ketepatan sasaran program dan kegiatan.

Bermacam evaluasi penerapan manajemen kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang

belum memuaskan. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

(LAKIP) oleh BPKP tahun 2006 terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia

menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9%), 15 Pemda Baik (9,49%), 61

Pemda memperoleh nilai cukup (38.61%), selebihnya 79 Pemda memperoleh nilai

kurang (50 %). Kelemahan-kelemahan tersebut diperkirakan berasal dari semua

komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan, sejak di perencanaan kinerja,

pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian kinerja itu

sendiri.

Apabila dilihat secara lebih mendalam, beberapa masalah penyebab penerapan

manajemen kinerja di lingkungan pemerintahan daerah yang kurang berjalan secara

optimal di lapangan, antara lain: (a) masalah legal yuridis yang ada yang sering

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 16

Page 17: POTRET KECIL

tumpang tindih, disorientasi dan bersifat partial dalam pelaksanaan manajemen kinerja

di Indonesia; (b) manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan

dalam fungsi manajemen pemerintah daerah, seperti halnya dalam perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit; (c) tidak

terdapatnya manajemen kompensasi yang mengedepankan mekanisme reward dan

punishment yang merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen

publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur dalam proses

transisi paradigma sumber daya manusia yang dimulai dari paradigma lama yang

berorientasi pada input ke paradigma baru yang berorientasi pada kesuksesan kerja

melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; dan (e) peran publik masih sangat lemah

untuk “memaksa” pemerintah daerah mampu berlaku akuntabel dan transparan dalam

pengelolaan anggarannya. (USAID, www.lgsp.or.id)

2.5. Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang

Standar Akuntansi Pemerintah, maka pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah harus mengacu kepada Standar Akuntansi

Pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan

keuangan pemerintah (statuory) yang menyajikan informasi tentang realisasi dan

anggaran (pendapatan, belanja, transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan) entitas

pelaporan secara tersanding untuk suatu periode tertentu.

Penyandingan antara anggaran dan realisasi menunjukkan tingkat capaian target-

target yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam

mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas

dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Dalam pelaporannya, anggaran

disandingkan dengan realisasinya, sehingga dalam penyusunan APBN/D seharusnya

digunakan struktur, definisi, dan basis yang sama dengan yang digunakan dalam

pelaporannya.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 17

Page 18: POTRET KECIL

Laporan Kinerja Keuangan merupakan laporan hasil operasi pemerintah yang terdiri

dari pos-pos:

a) Pendapatan dari kegiatan operasional;

b) Beban berdasarkan klasifikasi fungsional dan klasifikasi ekonomi;

c) Surplus atau defisit.

Pada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan

ini adalah laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis

akrual. Dalam laporan tersebut disajikan informasi tentang pendapatan operasional,

belanja, dan pengungkapan surplus atau defisit. Pada PSAP Nomor 01 tentang

Penyajian Laporan Keuangan disebutkan bahwa analisis dalam laporan ini dapat

digolongkan menurut klasifikasi ekonomi (misalnya beban penyusutan, beban gaji dan

tunjangan pegawai, dan sebagainya) atau klasifikasi fungsi (berdasarkan program).

Ada tiga kebijakan yang diharapkan dari Laporan Kinerja Keuangan:

o Outcome 1: mengetahui keadaan Makroekonomi Nasional;

o Outcome 2: Efektifnya belanja Negara dan kebijakan perpajakn yang tepat

o Outcome 3: Penyerapan Pasar yang berfungsi baik.

Kinerja keuangan entitas pelaporan dalam Laporan Realisasi Anggaran

mengikhtisarkan indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang berdimensi

keuangan dalam suatu periode pelaporan.

Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus dihubungkan dengan tujuan dan

sasaran dari rencana strategis pemerintah dan indicator sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam

Catatan atas Laporan Keuangan harus:

a. menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.

b. Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam

satu entitas pelaporan; dan

c. Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk

dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan

yang dilaporkan adalah relevan dan andal.

Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus:

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 18

Page 19: POTRET KECIL

a. meliputi baik hasil yang positif maupun negative;

b. menyajikan data historis yang relevan;

c. membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan dan rencana yang telah

ditetapkan;

d. menyajikan informasi penjelasan lainnya yang diyakini oleh manajemen akan

dibutuhkan oleh pembaca laporan keuangan untuk dapat memahami indicator, hasil,

dan perbedaan yang ada dengan tujuan atau rencana.

Laporan Arus Kas merupakan laporan keuangan yang memberikan informasi

historis mengenai perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan

mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan,

pembiayaan, dan nonanggaran selama satu periode akuntansi.

Laporan Arus Kas merupakan salah satu komponen laporan keuangan

pemerintah. Laporan ini menggambarkan arus masuk dan arus keluar kas selama satu

periode, kemudian dihubungkan dengan saldo kas awal dan akhir periode. Arus kas

diklasifikasikan berdasarkan aktivitas-aktivitas. Laporan Arus Kas berhubungan dengan

Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.

Laporan Arus Kas mempunyai kekhususan. Laporan tersebut menggambarkan

saldo awal kas, perubahan selama periode tertentu, dan saldo akhir. Dalam Laporan

Arus Kas disajikan seluruh arus masuk dan keluar kas serta saldo baik yang berasal dari

transaski yang berhubungan dengan anggaran maupun yang tidak. Laporan ini juga

hanya disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang tersusun berdasarkan Standar

Akuntansi pemerintah tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui seberapa besar

komitmen pemerintah dalam upaya untuk memberikan maksimalisasi pelayanan kepada

masyarakat.

Tujuan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah yang baik (Hanafi dan

Halim, 2003) adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas,

saldo neraca dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek suatu unit

pemerintahan;

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 19

Page 20: POTRET KECIL

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan mempredikasikan kondisi

ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahaan yang terjadi di

dalamnya;

3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kerja, kesesuaiannya dengan

peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati dan ketentuan lain

yang disyaratkan;

4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk

memprediksikan pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi

terhadap pencapaian tujuan operasional;

5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional

antara lain:

a. untuk menentukan biaya program, fungsi dan aktivitas sehingga memudahkan

analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan,

membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya dan kinerja unit

pemerintahan lain;

b. untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi program aktivitas dan

fungsi tertentu di unit pemerintah;

c. untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas dan fungsi serta efektifitas

terhadap pencapaian tujuan target; dan

d. untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).

Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan masih dirasakan tidak seperti

yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa

Keuangan Semester II 2008 yang menyimpulkan bahwa perkembangan opini Laporan

Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 sampai dengan 2007 menunjukkan kualitas

yang semakin memburuk. Persentase LKPD yang informasi keuangannya tidak dapat

diandalkan oleh para pengguna laporan keuangan, semakin banyak dan sebaliknya

persentase LKPD yang informasi keuangannya dapat diandalkan semakin sedikit.

(Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)

Dalam Pemeriksaan Semester II tahun 2008, BPK juga menemukan 3.051 kasus

senilai Rp 9,93 triliun dari hasil pemeriksaan atas 191 LKPD terkait dengan

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 20

Page 21: POTRET KECIL

ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Dari jumlah tersebut,

sebanyak 556 kasus senilai Rp 310,86 miliar merupakan kategori kerugian daerah.

Pemeriksaan atas LKPD pada semester II 2008 merupakan pemeriksaan atas LKPD

pada 2007 yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada BPK. (Harian

Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)

BPK juga menemukan semakin buruknya kualitas Laporan Keuangan Daerah,

dari 191 LKPD yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini disclaimer,

delapan opini tidak wajar, 110 LKPD wajar dengan pengecualian, dan satu LKPD

mendapat opini wajar tanpa pengecualian. (Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009).

Apa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan

keuangan yang akuntabel tersebut dilihat dari aspek ketersediaan sumber daya manusia,

konsistensi kebijakan pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan

keuangan Pemda? Apabila melihat ke belakang pada reformasi pengelolaan keuangan

daerah yang berjalan sejak 1999, telah menyebabkan berubahnya praktik akuntansi

keuangan daerah yang sebelumnya berbasis single entry menjadi praktik akuntansi yang

berbasis double entry yang lebih rumit. Hal ini dilakukan agar dapat menghasilkan

neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran yang konsisten antara

pencatatan barang dan uang.

Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, walaupun relatif lebih rumit,

dipandang memiliki kelebihan memiliki kandungan informasi yang lebih baik kepada

publik karena tidak saja menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan,

melainkan juga menginformasikan nilai aset yang dibeli maupun yang dikuasai pemda.

Dengan demikian, potensi maupun kinerja keuangan pemda akan tergambar secara lebih

baik, jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis akrual tersebut.

Permasalahannya, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual

diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami ilmu akuntansi secara baik.

Aparatur pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai

penatausahaan anggaran, melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang

terjadi dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan keuangan pemda.

Kegagalan SDM pemda dalam memahami dan menerapkan ilmu akuntansi akan

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 21

Page 22: POTRET KECIL

berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan

dengan standar yang ditetapkan pemerintah.

Banyaknya SDM keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi

merupakan satu kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan

pemda maupun pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian,

upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi

teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan.

Oleh karena itu kiranya tidak terlalu berlebihan apabila pemda-pemda seluruh

Indonesia dapat bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi Negeri maupun swasta

setempat maupun di daerah terdekatnya, untuk segera dapat mengatasi kelangkaan

tenaga-tenaga SDM pengelola keuangan daerah yang berlatarbelakang ilmu akuntansi

agar akuntansi pengelolaan keuangan daerah dapat dilaksanakan secara benar dan

terpadu di seluruh komponen perangkat daerah.

Dengan demikian kualitas pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan

daerah dapat lebih ditingkatkan. Namun yang lebih penting lagi pemanfaatan keuangan

daerah bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat dapat lebih

ditingkatkan secara lebih baik.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 22

Page 23: POTRET KECIL

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengelolaan keuangan daerah di Indonesia secara kualitas masih perlu

ditingkatkan lagi. Hal ini dimaksudkan agar opini pelaporan keuangan yang

dihasilkannya memperoleh hasil yang lebih baik. Kondisi realitas yang ada akan dapat

terlihat sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK di waktu-waktu

mendatang terhadap pemda-pemda di seluruh Indonesia.

Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah yang dapat memberikan dampak

pada turunnya pengurangan tingkat kemiskinan ke depan akan sangat membantu

program pemerintah pusat dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan secara

nasional.

Opini pelaporan keuangan pemda yang semakin baik diharapkan menjadi

indikasi semakin baiknya pula pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh

pemda-pemda. Dengan demikian, harapan dapat ditingkatkannya pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Namun demikian perubahan basis pencatatan akuntansi pemerintah seperti yang

diamanatkan dalam UU Keuangan Negara perlu disikapi secara jeli dan responsif,

sehingga dampak-dampak yang tidak diharapkan yang mengakibatkan menurunnya

kuantitas maupun kualitas pelayanan serta kesejahteraan masyarakat dapat diantisipasi

secara baik.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 23

Page 24: POTRET KECIL

DAFTAR PUSTAKA

Bratha, Deni (2009), Hanya 51% APBD untuk Rakyat, Belanja untuk Keperluan "Abdi

Masyarakat" Lebih Besar, Majalah Komunitas.

Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim, 2003, Analisis Laporan Keuangan, Edisi

Revisi, Penerbit UPP AMP YKPN: Yogyakarta.

Harian Pikiran Rakyat (Selasa 19 Mei 2009), Opini Keuangan Pemda Buruk, Hanya

Satu Daerah Memperoleh “Wajar Tanpa Pengecualian”

Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Press

Nick Devas, et. Al., ”Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, UI Press, Jakarta

1989.

USAID, www.lgsp.or.id, Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja

Berbasis Hasil (Outcome-Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia

Rubin, I. (1996, Summer), "Budgeting for Accountability: Municipal Budgeting for the

1990s," Public Budgeting and Finance, 16: 112-132.

Schick. A. (1966, December), "The Road to PPB: The Stages of Budget Reform,"

Public Administration Review, 26: 243-258.

Schiesl, M. J. (1977), The Politics of Efficiency: Municipal Administration and

Reform in America 1800-1920, Berkeley, CA: University of California Press.

Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 24