poverty & health

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan kesehatan merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan baik perseorangan maupun masyarakat. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan suatu keadilan dan kemerataan (equity dan equality) dalam bidang kesehatan harus selalu mempertimbangkan determinan-determinan sosial dan ekonomi tersebut. Salah satu variabel di dalam determinan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan adalah kemiskinan. Secara umum masyarakat miskin menghadapi permasalahan kesehatan yang jauh lebih nyata terkait dengan adanya ketidakadilan dan ketidakmerataan (inequity dan inequality) akibat status sosial dan ekonomi mereka. Hubungan di antara ketiga hal ini (sosial dan ekonomi, kemiskinan, serta kesehatan) merupakan suatu hubungan yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Baik di skala global maupun nasional, persoalan yang timbul akibat hubungan ini amat beragam dan penyelesaiannya membutuhkan kerjasama dari banyak pihak.

Upload: nenny-puji-lestari

Post on 06-Aug-2015

140 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kemiskinan dan kesehatan memiliki kaitan yang sangat erat, terutama dalam hal hubungan kemiskinan dengan penyakit, faktor sosial ekonomi dan sikap terhadap kesehatan. Pada sistem penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat miskin, dalam rangka mewujudkan equity dan equality di dalam bidang kesehatan terdapat empat hal yang harus diperhatikan yakni kebijakan kesehatan, fasilitas dan tenaga kerja kesehatan, pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan.

TRANSCRIPT

Page 1: Poverty & Health

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Permasalahan kesehatan merupakan permasalahan yang

sangat kompleks karena banyaknya faktor-faktor yang

mempengaruhi kondisi kesehatan baik perseorangan maupun

masyarakat. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah sosial

dan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan suatu

keadilan dan kemerataan (equity dan equality) dalam bidang

kesehatan harus selalu mempertimbangkan determinan-

determinan sosial dan ekonomi tersebut.

Salah satu variabel di dalam determinan sosial dan ekonomi

yang mempengaruhi status kesehatan adalah kemiskinan.

Secara umum masyarakat miskin menghadapi permasalahan

kesehatan yang jauh lebih nyata terkait dengan adanya

ketidakadilan dan ketidakmerataan (inequity dan inequality)

akibat status sosial dan ekonomi mereka. Hubungan di antara

ketiga hal ini (sosial dan ekonomi, kemiskinan, serta kesehatan)

merupakan suatu hubungan yang terkait dan saling

mempengaruhi satu sama lain. Baik di skala global maupun

nasional, persoalan yang timbul akibat hubungan ini amat

beragam dan penyelesaiannya membutuhkan kerjasama dari

banyak pihak.

1.2. Tujuan

1.2.1.Mengetahui inequity dan inequality sosial ekonomi

khususnya kemiskinan yang berpengaruh dalam status

kesehatan

Page 2: Poverty & Health

1.2.2.Mengetahui masalah yang timbul akibat inequity dan

inequality tersebut dan solusi yang bisa diambil untuk

mengatasinya.

Page 3: Poverty & Health

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Equity dan Equality

Equity adalah keadilan berdasarkan kebutuhan, sedangkan

equality maknanya lebih kepada persamaan manfaat yang

diperoleh tanpa merujuk pada kebutuhan (Picket, 1990). Dalam

bidang kesehatan, Kawachi menyatakan bahwa equity berarti

pelayanan diberikan berdasarkan kebutuhan dan setiap orang

dengan kebutuhan yang sama harus diperlakukan secara sama.

Sedangkan equality lebih mengacu pada situasi dimana semua

orang mendapat perlakuan yang sama (Maharani, 2009).

Kebalikan dari equity dan equality adalah inequity dan

inequality. Konsep inequity dipahami sebagai adanya perbedaan-

perbedaan yang sesungguhnya tidak diperlukan dan dapat

dihindari, dan ditunjukkan dengan adanya perasaan mendapat

ketidakadilan (unfairness dan unjustness). Dengan kata lain

istilah inequity memiliki dimensi moral dan etika. Sedangkan

konsep inequality lebih mengacu pada kuantitas yang dapat

diukur dari perbedaan-perbedaan dan variasi tersebut tanpa

melibatkan penilaian moral.

Menurut Shin dan Kim (2010) inequity menyangkut

perbedaan dalam mendapatkan akses, jangkauan, dan kualitas

pelayanan kesehatan sehingga timbul ketimpangan status

kesehatan antara kelompok masyarakat yang berbeda.

Inequality dalam kesehatan sebagian mengacu pada

pemanfaatan pelayanan kesehatan yang timpang antara

kelompok-kelompok yang berbeda secara sosial demografi.

2.2.Determinan Sosial dan Ekonomi Kesehatan

Page 4: Poverty & Health

Determinan sosial dan ekonomi kesehatan adalah kondisi

sosial ekonomi dimana masyarakat hidup yang menentukan

status kesehatan mereka. Determinan ini lebih berupa kondisi-

kondisi yang berisiko sosial daripada faktor-faktor yang berisiko

perseorangan. Kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan maupun

menurunkan risiko serangan penyakit.

Raphael (2008) mengutarakan konsep mengenai determinan

sosial kesehatan sebagai kondisi sosial dan ekonomi yang

membentuk kesehatan individu, komunitas dan yuridiksinya

secara menyeluruh. Determinan sosial kesehatan adalah

determinan utama dalam menentukan apakah seseorang akan

tetap sehat atau menjadi sakit. Tidak hanya itu, determinan

sosial kesehatan juga meluas pada sumber daya fisik, sosial dan

personal yang dimiliki seseorang untuk mengenali dan mencapai

kepuasan akan kebutuhannya terkait dengan lingkungan.

Determinan sosial kesehatan adalah juga tentang jumlah dan

mutu dari berbagai sumber daya yang dimiliki masyarakat yang

tersedia bagi anggotanya.

Di dalam Social Determinants of Health: The Solid Facts

(World Health Organization) disebutkan bahwa pada awalnya

kebijakan kesehatan kebanyakan hanya menyinggung tentang

peraturan dan pendanaan pelayanan kesehatan, sedangkan

mengenai determinan sosial kesehatan hanya dibahas di dunia

akademik. Namun sekarang hal ini telah berubah. Beberapa

determinan sosial dan ekonomi kesehatan yang disebutkan di

dalam Solid Facts tersebut antara lain stress, masa kehidupan

awal, larangan sosial, pekerjaan, pengangguran, dukungan

sosial, ketergantungan (addiction), pangan, dan transportasi.

Sementara pelayanan kesehatan dapat memperpanjang

ketahanan hidup dan meningkatkan prognosis (ramalan)

beberapa penyakit serius, satu hal yang lebih penting di dalam

kesehatan masyarakat sebagai suatu kesatuan adalah kondisi-

Page 5: Poverty & Health

kondisi sosial ekonomi yang membuat orang menjadi sakit dan

membutuhkan pelayanan kesehatan. Dengan demikian jelaslah

bahwa akses universal (tidak membeda-bedakan kondisi sosial

ekonomi) ke berbagai pelayanan kesehatan merupakan salah

satu determinan sosial kesehatan.

2.4.Kemiskinan

Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan

kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan

hidup. Chambers di dalam Suryawati (2005) mengatakan bahwa

kemiskinan adalah suatu konsep terintergrasi yang memiliki lima

dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan

(powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5)

keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam

kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga

banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan

rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap

ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan

jalan hidupnya sendiri (Suryawati, 2005).

Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

1. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki

pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup

untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan,

kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan

untuk bisa hidup dan bekerja.

2. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat

sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.

Page 6: Poverty & Health

3. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap

seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor

budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat

kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada

bantuan dari pihak luar.

4. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh

rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam

suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak

mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali

menyebabkan suburnya kemiskinan.

Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati (2005),

beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan,

yaitu:

a. Policy induces processes, yaitu proses pemiskinan yang

dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu

kebijakan, di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan,

tetapi relitanya justru melestarikan. Contohnya, pada pola

produksi kolonial, petani menjadi marjinal karena tanah yang

paling subur dikuasai petani sekala besar dan berorientasi

ekspor.

b. Population growth, prespektif yang didasari oleh teori Malthus,

bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan

pertambahan pangan seperti deret hitung.

c. Resaurces management and the environment, adalah unsure

mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti

manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan

produktivitas.

d. Natural cycle and processes, kemiskinan terjadi karena siklus

alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan tersebuut

jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika musim

Page 7: Poverty & Health

kemarau kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan

produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.

e. The marginalization of woman, peminggiran kaum perempuan

karena masih dianggap sebagai golongan kelas kedua,

sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang lebih

rendah dari laki-laki.

f. Cultural and ethnic factors, bekerjanya faktor budaya dan

etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada pola

konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta

adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau

keagamaan.

g. Exploratif intermediation, keberadaan penolong yang menjadi

penodong, seperti rentenir.

h. Internal political fragmentation and civil stratfe, suatu

kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang

fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab

kemiskinan.

i. International processes, bekerjanya sistem internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara

menjadi miskin.

Indikator Kemiskinan

Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada

pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan

kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin

(Suryawati, 2005).

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan

didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu

2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang

dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di

lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis

komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak

Page 8: Poverty & Health

dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan

kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis

kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta

perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut

dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan

di bawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.

2.5.Indikator Sehat

Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah

membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat,

cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang

diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum

menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa

terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu

berada pada peringkat 112 dari174 negara, lebih rendah dari

negara-negara tetangga. Tiga komponen yang digunakan untuk

mengukur IPM yaitu faktor ekonomi (pendapatan per kapita),

pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan

kesehatan (usia harapan hidup, angka kematian ibu dan angka

kematian bayi).

Dari komponen kesehatan, dewasa ini Angka Kematian Ibu

(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi

dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di

Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per

1.000 Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia

(SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan

negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran

hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan

Jaminan Persalinan(Jampersal) ini adalah meningkatnya akses

terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau

Page 9: Poverty & Health

bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB melalui jaminan

pembiayaan untuk pelayanan persalinan.

Kemiskinan dan status kesehatan merupakan suatu

fenomena yang saling terkait, oleh karena itu untuk

meningkatkan status kesehatan suatu masyarakat erat

kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa

penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi

dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan

nasional suatu negara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi

sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari

dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan

kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan

produktivitas. Paling kurang manfaat ekonomi yang diperoleh

sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya

kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan

untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena

berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya

peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya

karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat

“intergenerasi” melalui peningkatan kualitas kesehatan.

2.6.Hubungan Kemiskinan dan Kesehatan

Keadaan sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi

kesehatan secara keseluruhan. Di antara bermacam-macam

faktor sosial ekonomi yang menentukan kesehatan masyarakat,

pendapatan adalah determinan yang paling menonjol.

Pendapatan yang lebih tinggi, terutama di negara-negara maju,

akan memacu lingkungan yang lebih sehat (Vafei et al, 2010).

Page 10: Poverty & Health

Masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi

permasalahan kesehatan yang lebih nyata, yakni tingginya

angka kelahiran, kematian dan dependency. Kemiskinan dan

rendahnya tingkat pendidikan mempengaruhi dimensi biologis

melalui malnutrisi dan residu dari penyakit-penyakit yang

terakumulasi selama masa kehidupan seseorang. Selain itu,

kemiskinan memiliki dampak yang kuat terhadap dimensi

lingkungan, antara lain terkait dengan (1) kualitas pemukiman,

(2) peningkatan risiko kecelakaan/luka-luka, dan (3) paparan

berlebihan dari bahaya-bahaya lingkungan, seperti polutan dan

hewan sebagai vektor penyakit. Kemiskinan juga dapat

mengubah dimensi perilaku, contohnya, kebanyakan perokok

adalah masyarakat miskin daripada masyarakat yang mampu.

Masyarakat miskin cenderung mengabaikan dan kurang

menghargai tindakan pencegahan (preventif) penyakit karena

bagi mereka yang lebih penting adalah mampu bertahan hidup

dari hari ke hari. Meskipun secara organisasi masyarakat miskin

telah memiliki sejumlah sistem pendukung kesehatan yang

disediakan pemerintah, secara umum akses terhadap sistem

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang

efektif (Picket and Handlon, 1990).

Sebuah teori sederhana mengenai rendahnya perilaku sehat

pada masyarakat sosial ekonomi rendah dapat disusun dengan

asumsi sebagai berikut:

1. Ada faktor primer yang mempengaruhi secara langsung

kesehatan masyarakat sosial ekonomi rendah yang tidak

dapat dihindari karena mereka sering terpapar dengan

lingkungan berbahaya sepanjang hidup mereka.

2. Karena faktor primer ini, pelaksanaan perilaku sehat berupa

tindakan pencegahan akan berkurang karena mereka mau

tidak mau terus terpapar. Ini akan menimbulkan efek

Page 11: Poverty & Health

sekunder dimana masyarakat sosial ekonomi rendah akan

jarang berperilaku sehat.

3. Karena efek primer dan sekunder ini saling bergabung, maka

perbedaan sosial ekonomi akan memiliki dampak pada

kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan perbedaan

kondisi lingkungan yang awal tadi. Ini merupakan lingkaran

yang semakin memperburuk kondisi kemiskinan.

Inequality pendapatan telah lama dihubungkan dengan

perbedaan dalam dampaknya terhadap kesehatan, mencakup

kematian, kesehatan fisik dan mental, serta efeknya pada

reproduksi. Penelitian meyakini ada dua jalur dimana inequality

pendapatan mempengaruhi kesehatan masyarakat:

1. Kurangnya investasi masyarakat pada infrastruktur yang

diperlukan untuk peningkatan kesehatan di lingkungannya

yang timpang secara ekonomi.

2. Dampak psikologis akibat inequality pendapatan pada mereka

yang tidak mampu, seperti kurangnya ikatan sosial dan

merasa mendapat perlakuan tidak adil.

Inequality tingkat pendapatan dan inequity pemanfaatan

pelayanan kesehatan berbeda antara masyarakat desa dan kota

karena perbedaan yang besar dari komposisi demografi, status

kesehatan penduduknya, distribusi pendapatan, serta pola

penggunaan pelayanan kesehatan. Dibandingkan dengan

nonpedesaan, penduduk desa lebih tua dan aktivitasnya

terbatas, serta dilaporkan memiliki kesehatan yang lebih buruk

(Shin & Kim, 2010).

Sementara penelitian terhadap inequity di Indonesia dengan

kesehatan gigi yang dilakukan oleh Maharani (2009)

menyimpulkan bahwa pada penduduk dengan sosial ekonomi

tinggi, tinggal di pulau jawa, serta mempunyai asuransi, memiliki

Page 12: Poverty & Health

hubungan positif dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi.

Jika kemampuan membayar menjadi determinan pemanfaatan

layanan kesehatan gigi, dapat disimpulkan bahwa individu

dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi memiliki kemampuan

membayar yang berbeda, tidak akan mendapatkan perawatan

gigi yang sama.

Di Kanada, tingkat status kesehatan akan tinggi pada daerah

dengan pendapatan tetap yang tinggi, banyaknya penduduk

berpendidikan tinggi, serta sedikitnya peminum berat di wilayah

tersebut. Kelas sosial, yang diukur dengan pekerjaan,

pendapatan, atau pendidikan, juga memiliki dampak yang

signifikan pada mortalitas dan morbiditas. Penggunaan ratio

mortalitas standar Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa

ketimpangan antara manfaat yang didapat kelas sosial ekonomi

tinggi dan kerugian yang diperoleh masyarakat sosial ekonomi

rendah, termasuk kesehatan, semakin melebar dari tahun 1930

ke 1980. Penjelasan dari adanya inequality dalam status

kesehatan karena status sosial ekonomi ini mengacu pada empat

faktor: peradaban, seleksi sosial, budaya/perilaku, dan kondisi

material/struktural. Kesimpulan dari beberapa referensi

menyatakan bahwa ketimpangan materi dan sosial merupakan

faktor penting utama yang berpengaruh pada inequality dalam

kesehatan (Cornell, 1995).

Dalam negara yang ekonominya sedang berkembang,

terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam efek

kesehatan jangka panjang antara masyarakat dengan perbedaan

status sosial ekonomi. Besarnya perbedaan tersebut tidak

berubah seiring waktu, menjadikannya prioritas utama untuk

kebijakan publik. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan

preventif merupakan faktor yang berpengaruh pada inequality

status kesehatan. Orang-orang dari status sosial ekonomi rendah

ditemukan lebih sering merokok, jarang berolahraga, memiliki

Page 13: Poverty & Health

diet yg buruk, kurang responsive terhadap terapi (pengobatan),

jarang memanfaatkan layanan kesehatan, sedikit mengadopsi

saran-saran keselamatan, sering mengabaikan saran-saran

medis, dan secara keseluruhan memiliki kesadaran akan

kesehatan yang kurang dibandingkan kelompok lainnya yang

lebih kaya. Beberapa perilaku tersebut pada intinya terkait

dengan keterbatasan finansial, seperti misalnya pada diet yang

sehat, akan mengeluarkan biaya lebih besar daripada makanan

yang tidak sehat. Namun faktor sosial ekonomi tetap ada

mengesampingkan perbedaan pendapatan sebagai

penjelasannya. Inequity sosial ekonomi dalam berperilaku sehat

tidak begitu saja diatasi dengan memberikan informasi.

Pemberian informasi kesehatan cenderung hanya mengubah

perilaku dari para sukarelawan dari kelas sosial ekonomi yang

lebih tinggi saja, tidak pada yang lebih rendah, yang kemudian

akan memperparah inequality sosial ekonomi dalam kesehatan.

Pada intinya, masyarakat dari sosial ekonomi rendah mengalami

lingkaran pemburukan kemiskinan: masyarakat menghadapi

hambatan sosial ekonomi yang besar, jauh dari kemungkinan

untuk mengurangi hambatan tersebut dengan perubahan pola

hidupnya melainkan mereka berperilaku yang akan membuat

kondisi semakin buruk, bahkan jika mereka diberikan

kesempatan untuk berbuat sebaliknya.

Perbedaan sosial ekonomi mempengaruhi sikap dan

psikologi seseorang terhadap kesehatan. Mereka yang berasal

dari sosial ekonomi rendah cenderung lebih pesimis, sangat

meyakini pemikiran bahwa sehat dipengaruhi oleh kesempatan,

dan lebih menekankan dampak yang terjadi saat ini daripada

untuk masa mendatang (Nettle, 2010).

Secara keseluruhan, hubungan antara rendahnya status sosial

ekonomi, kemiskinan, serta dampaknya pada inequity dan

inequality kesehatan tampak pada bagan berikut:

Page 14: Poverty & Health

Status Sosial Ekonomi Rendah

Pendapatan Rendah/Kemiskinan (Determinan utama status sehat)

Inequity & Inequality dalam Kesehatan (Dibandingkan status Sosek

yang lebih tinggi)

Pemerintah

- Jaminan kesehatan

belum merata

- Perbedaan perlakuan

pelayanan kesehatan

Masyarakat

- Sikap dan pemikiran

tak sehat

- Perilaku tidak sehat

Lingkungan

- Lebih sering terpapar

bahaya (lingkungan

kerja, tempat tinggal)

Perbedaan Status

Kesehatan

- IMR tinggi

- MMR tinggi

- Life Expectancy

rendah

Page 15: Poverty & Health

BAB III

PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

3.1.Kemiskinan dan Kesehatan

3.1.1. Kemiskinan dan Penyakit Tak Terpisahkan

Kemiskinan dan penyakit terjadi saling kait-mengkait,

dengan hubungan yang tidak akan pernah putus terkecuali

dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada

kemiskinannya atau penyakitnya. Hal itu dapat dijelaskan

dengan skema berikut.

Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang

miskin menjadi rentan terhadap pelbagai macam penyakit,

karena mereka mengalami gangguan sebagai berikut:

1. menderita gizi buruk

2. pengetahuan kesehatan kurang

3. perilaku kesehatan kurang

4. lingkungan pemukiman buruk

5. biaya kesehatan tidak tersedia

Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan.

Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang

sehat memiliki kondisi sebagai berikut:

1. produktivitas kerja tinggi

2. pengeluaran berobat rendah

Page 16: Poverty & Health

3. Investasi dan tabungan memadai

4. tingkat pendidikan maju

5. tingkat fertilitas dan kematian rendah

6. stabilitas ekonomi mantap

Beberapa data empiris global menemukan hubungan sebagai

berikut:

Kematian bayi keluarga miskin tiga kali lebih tinggi dari

keluarga tidak miskin

Kematian balita keluarga miskin lima kali lebih tinggi dari

keluarga tidak miskin

Pertumbuhan ekonomi negara dengan tingkat kesehatan lebih

baik (IMR antara 50-100/1000 kelahiran hidup) adalah 37 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan tingkat

kesehatan lebih buruk (IMR>150/1000 kelahiran hidup)

Keterkaitan yang erat antara penyakit dan kemiskinan

adalah permasalahan kompleks yang sudah berlangsung sejak

lama dan hingga saat ini belum ditemukan solusi yang paling

efektif untuk memecahkan masalah tersebut. Solusi yang ada

selama ini baru sebatas regulasi yang implementasinya belum

berjalan optimal. Padahal dua komponen ini sangat menentukan

terhadap status kesehatan masyarakat, karena salah satu cara

untuk meningkatkan status kesehatan tersebut adalah dengan

mengatasi kemiskinan sebagai akibat adanya ketidakadilan dan

ketidakmerataan di bidang sosial ekonomi.

Di sisi lain, saking erat keterkaitannya, kedua komponen ini

sudah sangat sulit dipisahkan. Tidak jarang timbul persepsi orang

miskin sudah sewajarnya sakit, dan orang miskin selayaknya

untuk sakit. Sehingga jikan ingin dilakukan intervensi, tidak bisa

hanya satu persatu, melainkan sekaligus keduanya.

3.1.2. Sikap

Page 17: Poverty & Health

Masyarakat miskin dan terutama yang tinggal di pedesaan

memiliki sikap pesimis dan meyakini bahwa sehat terjadi karena

adanya kesempatan, bukan atas usaha mereka sendiri. Inequity

dan inequality sosial ekonomi yang terjadi sudah mereka anggap

sebagai suatu kewajaran, tertanam dalam sikap mental,

sehingga berpengaruh pada rendahnya status kesehatan

masyarakat miskin itu sendiri. Pemerintah sendiri merasa

kesulitan merubah pola pikir masyarakat tersebut; namun di lain

sisi ini bisa menjadi keuntungan karena pemerintah belum

mampu menjadikan kesehatan sebagai prioritas akibat

kurangnya dana untuk mewujudkan equity tersebut.

3.1.3. Sosial dan Ekonomi

Walau diprioritaskan pada kemiskinan dalam mewujudkan

equity dan equality di bidang kesehatan, namun tidak semata-

mata hanya faktor ekonomi yang menjadi perhatian, faktor sosial

juga sangat berperan menentukan baik itu secara langsung

kepada inequity dan inequality kesehatan ataupun secara tidak

langsung kepada ekonomi individu atau masyarakat.

Determinan sosial ekonomi termasuk kemiskinan

merupakan faktor-faktor utama dalam pendistribusian

kesempatan masyarakat untuk memperoleh kesehatan. Di pihak

lain, ada yang berpendapat bahwa ekonomi berkaitan erat

dengan kemampuan seseorang membiayai dan mendapatkan

pelayanan kesehatan, sehingga solusi-solusi mengenai

permasalahan ekonomi termasuk kemiskinan masyarakat yg

diutamakan, karena pada akhirnya ketika kondisi ekonomi

membaik maka tingkat sosial orang tersebut akan meningkat

juga.

3.2.Sistem Kesehatan

Page 18: Poverty & Health

3.2.1. Kebijakan

Besaran perbedaan sosial ekonomi pada dampaknya

terhadap kesehatan bervariasi antar masyarakat yang berbeda,

dan juga berbeda dari satu waktu ke waktu. Hal ini yang menjadi

kendala dalam mengatasi permasalah inequity dan inequity

sosial ekonomi khususnya kemiskinan pada kesehatan karena

solusi yang dilakukan oleh masyarakat dan terutama pemerintah

hampir selalu sama dari tahun ke tahun, meneruskan program

yang sudah ada sebelumnya. Apakah program jamkesmas masih

sesuai di masa sekarang dengan semakin berubahnya pola pikir

masyarakat mengenai kelayakan pelayanan kesehatan yang

ingin masyarakat terima? Ataukah program tersebut tidak

mengalami kendala saat diterapkan di daerah yang berbeda?

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian memunculkan investigasi

mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap

status sosial ekonomi dan kesehatan, juga dengan cara apa

faktor tersebut mempengaruhinya. Jawaban atas hal ini akan

menjadi dasar dalam penurunan inequality kesehatan.

Bagi yang setuju dengan masalah ini, mereka akan

menyetujui bahwa kondisi masyarakat yang berpengaruh pada

status sosial ekonomi akan berbeda dari waktu ke waktu, dan

akan berbeda pula dari satu kelompok dengan kelompok lain,

sehingga program-program terkait peningkatan status kesehatan

baik oleh kelompok itu sendiri atau oleh pemerintah harus selalu

disesuaikan. Kelompok yang tidak setuju menyatakan bahwa

satu program tidak akan mempunyai dampak apabila hanya

diterapkan sesaat, melainkan harus dalam jangka waktu lama

supaya efek atau tujuannya terhadap kesehatan masyarakat

akan lebih terasa.

3.2.2. Pembiayaan Kesehatan

Page 19: Poverty & Health

Secara organisasi masyarakat miskin telah memiliki

sejumlah sistem pendukung kesehatan yang disediakan oleh

pemerintah, namun secara umum akses terhadap sistem

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang

efektif. Salah satu bagian terpenting di dalam sistem kesehatan

masyarakat adalah pembiayaan kesehatan.

Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan

Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan,

menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan

pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan

masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap

kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar

terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi

masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan

masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi

(AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup

tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI

sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan

Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007). Derajat kesehatan masyarakat

miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya

akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan

ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya

kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan

memang mahal. Untuk menjamin akses penduduk miskin

terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan

untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui

pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Masyarakat Miskin.

Meskipun Negara telah menetapkan program Jaminan

kesehatan bagi warga miskin, masih banyak penduduk yang

belum memiliki jaminan pembiayaan kesehatan tersebut

Page 20: Poverty & Health

dikarenakan belum tepatnya data sasaran sehingga tidak

mampu mengakses pelayanan kesehatan yang ada. Undang-

undang Sistem Jaminan Sosial Nasional pun baru sebatas

kebijakan yang implementasi belum optimal.

Jaminan kesehatan sangat dibutuhkan sehingga tidak akan

terjadi individu dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi

memiliki kemampuan membayar yang berbeda, tidak akan

mendapatkan perawatan yang sama pula. Sedangkan pendapat

lain menyatakan bahwa jaminan sosial menyeluruh belum

dibutuhkan karena masyarakat Indonesia yang besar dan

majemuk sulit untuk menerapkannya segera, namun begitu

pemerintah berargumen bahwa mereka sudah memberikan

jaminan kesehatan khusus bagi warga yang tidak mampu dalam

rangka mewujudkan equality pelayanan kesehatan.

3.2.3. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan

Semakin miskin daerahnya maka fasilitas dan tenaga

kesehatan di daerah itu akan lebih sedikit dibanding daerah

dengan penduduk kelas sosial ekonomi lebih tinggi, padahal di

daerah miskin itulah masalah-masalah kesehatan paling banyak

timbul, sehingga masuk akal apabila status kesehatan warga di

daerah miskin lebih rendah. Ketika sumber daya sosial

didistribusikan tidak sama rata berdasarkan kelas dan ras, maka

kesehatan populasi akan terdistribusi pula secara tidak merata

berdasar garis sebelumnya.

Permasalahan di sini adalah pemerintah belum mampu

memberikan pemerataan kesehatan ke semua daerah, padahal

peran pemerintah adalah yang paling utama dalam menentukan

kebijakan untuk membuat pemerataan pembangunan, akses,

cakupan, kualitas dan pemberian jaminan kesehatan bagi

Page 21: Poverty & Health

masyarakat. Namun beberapa berpendapat supaya masyarakat

sendiri yang harus proaktif mengusahakan sarana kesehatan

masing-masing apabila belum disediakan pemerintah seperti

yang dilakukan beberapa daerah atau orang yang menjadi

sukarelawan kesehatan, karena pemerintah sendiri belum

mampu untuk secara cepat mewujudkan pembangunan fisik dan

psikis yang merata dan menyeluruh.

3.2.4. Inequity dan Inequality Pelayanan Kesehatan

bagi Masyarakat Miskin

Uraian tentang alasan pentingnya pelayanan kesehatan bagi

masyarakat miskin, merupakan dorongan untuk mempercepat

penanggulangan kemiskinan dan keharusan mutlak untuk

melaksanakan upaya peningkatan status kesehatan penduduk

miskin. Apalagi, memasuki era globalisasi ini, untuk

pertumbuhan ekonomi suatu negara dituntut daya saing yang

memerlukan sumberdaya manusia dengan kuantitas dan kualitas

tinggi.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat

miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:

1. Menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat

miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat

miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian

balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada

keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan

pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin,

dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010.

2. Untuk kepentingan politis nasional yakni menjaga

keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya

pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin

dan kepentingan politis internasional untuk menggalang

Page 22: Poverty & Health

kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna

mnurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi

keluarga miskin.

3. Hasil studi menunjukan bahwa kesehatan penduduk yang

baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan

demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih

berhasil.

Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin,

memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi

serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli

terhadap penduduk miskin. Pelayanan kesehatan peduli

penduduk miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:

1. Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan

masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita

masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang gizi, PMS

dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan

lingkungan.

2. Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk

tidak mampu

3. Meningkatkan penyediaan serta efektifitas pelbagai

pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non

personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi

pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat,

keamanan dan fortifikasi makanan, pengawasan

kesehatan lingkungan serta kesehatan dan keselamatan

kerja.

4. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan

penduduk tidak mampu

5. Realokasi pelbagai sumber daya yang tersedia dengan

memprioritaskan pada daerah miskin

Page 23: Poverty & Health

6. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan

masyarakat miskin. Masalah kesehatan masyarakat

bukan masalah pemerintah saja melainkan masalah

masyarakat itu sendiri karena perlu dilakukan

peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin.

Sudah bukan issue baru lagi jika masyarakat miskin kurang

mendapatkan pelayanan dalam kesehatan sebagaimana

mestinya. Dari kesulitan mengakses pelayanan kesehatan itu

sendiri, pembedaan dalam perlakuan oleh petugas kesehatan,

hingga mutu pelayanan yang rendah. Padahal sesuai dengan

prinsip equity dan equality, semua orang dengan kebutuhan

kesehatan yang sama berhak mendapatkan perlakuan yang

sama dan sesuai. Namun belum semua menerima pemahaman

mengenai equity dan equality tersebut. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa pembedaan pelayanan kesehatan karena

status sosial ekonomi tampak begitu jelas, dan tidak ada usaha

untuk memperbaikinya, karena baik dari si penyedia dan

penerima layanan seolah-olah sudah menerima persepsi yang

menyatakan bahwa hak orang miskin dalam mendapat

pelayanan tidak sebesar orang yang status sosial ekonominya

lebih tinggi.

Page 24: Poverty & Health

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial

ekonomi yang sangat mempengaruhi status kesehatan

masyarakat. Oleh karena itu dalam upaya mewujudkan equity

dan equality di bidang kesehatan, faktor ini harus menjadi

pertimbangan yang penting. Kemiskinan dan kesehatan memiliki

kaitan yang sangat erat, terutama dalam hal hubungan

kemiskinan dengan penyakit, faktor sosial ekonomi dan sikap

terhadap kesehatan. Pada sistem penyelenggaraan kesehatan

bagi masyarakat miskin, dalam rangka mewujudkan equity dan

equality di dalam bidang kesehatan terdapat empat hal yang

harus diperhatikan yakni kebijakan kesehatan, fasilitas dan

tenaga kerja kesehatan, pembiayaan kesehatan dan pelayanan

kesehatan.

4.2. Saran

Komitmen dari pemerintah untuk segera menyiapkan

perangkat implementasi UU SJSN meliputi regulasi jaminan

kesehatan untuk semua, pengalokasian anggaran, BPJS, serta

mekanisme pengumpulan dana Premi.

Komitmen dari pemerintah untuk pengentasan kemiskinan

melalui program yang mempunyai daya ungkit dengan

masyarakat miskin dengan melibatkan berbagai pihak

(Akademisi, LSM), seperti : KUR, KUKM, PNPM, P2WKSS.

Page 25: Poverty & Health
Page 26: Poverty & Health

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A. Masalah Gizi dan Kesehatan serta Tantangan di

Masa Depan. Dirjen Binkesmas Kementerian Kesehatan:

Jakarta.

Fein, O. 1995. The influence of social class on health status:

American and British research on health inequalities. J Gen

Intern Med. 1995 Oct;10(10):577-86.

Maharani, D.A. 2009. Inequity in Dental Care Utilization in the

Indonesian Population with a Self-Assessed Need for Dental

Treatment. Tohoku J. Exp. Med., 2009, 218 (3), 229-239.

Marmot, M., Feeney, A. General Explanations for Social

Inequalities in Health. IARC Sci Publ. 1997;(138):207-28.

Mortality in the Whole Population of Scania, Sweden. BMC

Public Health 2006, 6:79.

Nettle, D. 2010. Why Are There Social Gradients in

Preventative Health Behavior? A Perspective from Behavioral

Ecology. PLoS ONE 5(10): e13371.

Pickett, G., Hanlon, J.J. 1990. Public Health: Administration and

Practice. Times Mirror/Mosby College Publishing: St. Louis.

Rosvall, M., et al. 2006. Contribution of main causes of death

to social inequalities in

Shin, H., Kim, J. 2010. Differences in income-related inequality

and horizontal inequity in ambulatory care use between rural

and non-rural areas: using the 1998-2001 U.S. National Health

Interview Survey data. International Journal for Equity in

Health 2010, 9:17.

Siregar, H., Wahyuniarti, D. 2008. Dampak Pertumbuhan

Ekonomi

Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin.

Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara

Multidimensional.

Page 27: Poverty & Health

Tobias, M.I., Cheung, J. 2003. Monitoring health inequalities:

life expectancy and small area deprivation in New Zealand.

Public Health Directorate, Ministry of Health, Wellington, New

Zealand. Population Health Metrics 2003, 1:2.

Yoon, C.K., Kim, J.K.1987. A study on health indicator and

health affecting factors]. Ingu Pogon Nonjip. 1987 Jul;7(1):89-

107.

http://www.who.int/social_determinants

World Bank. 2006. Era baru dalam Pengentasan Kemiskinan di

Indonesia. The World Bank Office: Jakarta.