ppc - teori
DESCRIPTION
menjelaskan tentang manajemen produksi pada industriTRANSCRIPT
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Perencanaan dan Pengendalian Produksi
Perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) adalah aktivitas
dimana mengelola proses produksi tersebut. PPC merupakan tindakan
manajemen yang sifatnya abstrak (tidak dapat dilihat secara nyata). (Baroto,
2002)
Maksud dan tujuan perencanaan dan pengendalian produksi adalah
untuk merencanakan dan mengendalikan aliran material ke dalam, di dalam
dan keluar pabrik sehingga posisi keuntungan optimal yang merupakan tujuan
perusahaan dapat dicapai. Pengendalian produksi dimaksudkan untuk
mendayagunakan sumber daya produksi yang terbatas secara efektif, terutama
dalam usaha memenuhi permintaan konsumen dan menciptakan keuntungan
bagi perusahaan. Kendala-kendala yang dihadapi mencakup ketersediaan
sumber daya, waktu pengiriman produk, kebijakan manajemen, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu perencanaan dan pengendalian produksi
mengevaluasi perkembangan permintaan konsumen, posisi modal, kapasitas
produksi, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
9
2.1.1 Fungsi dari Perencanaan dan Pengendalian Produksi dalam Aktivitas
Produksi.
Pada dasarnya fungsi dasar yang harus dipenuhi oleh aktivitas
perencanaan dan pengendalian produksi adalah :
a. Meramalkan permintaan produk yang dinyatakan dalam jumlah produk
sebagai fungsi dari waktu.
b. Menetapkan jumlah dan saat pemesanan bahan baku serta komponen
secara ekonomi dan terpadu.
c. Menetapkan keseimbangan antara tingkat kebutuhan produksi, teknik
pemenuhan pesanan, serta memonitor tingkat persediaan produk jadi
setiap saat, membandingkannya dengan rencana persediaan produk jadi
setiap saat, membandingkannya dengan rencana persediaan, dan
melakukan revisi atas rencana produksi pada saat yang ditentukan.
Membuat jadwal produksi, penugasan, pembebanan mesin dan tenaga
kerja yang terperinci sesuai dengan ketersediaan kapasitas dan fluktuasi
permintaan pada suatu periode.
2.2 Struktur Produk (Product Structure) dan Bill of Material (BOM)
Struktur produk atau bill of materials (BOM) didefinisikan oleh
(Gasperz, 2005) sebagai cara komponen-komponen itu bergabung ke dalam
suatu produk selama proses manufacturing.
10
- Standart : dalam struktur standar sedikit end items standar yang dibuat
dari komponen-komponen produk. Produk akhir ini disimpan dalam stok
untuk pengiriman.
- Modular : banyak end items yang dibuat dari subassemblies yang sama,
kemudian disimpan untuk assembly guna memenuhi pesanan pelanggan.
- Inverted : banyak end items yang dibuat sejumlah raw materials yang
terbatas, berdasarkan pada pesanan pelanggan.
Tabel 2.1 Tabel BOM
Sumber : (modul praktikum PPC, 2009)
Struktur produk terdiri dari langkah pengurutan pengerjaan komponen
pembentuk produk akhir yang ditempatkan pada tingkat (level) teratas dan
seterusnya, sehingga membentuk sebuah bagan sistem pengerjaan. Untuk
produk akhir (produk jadi) ditandai dengan tingkat (level) 0 dan semakin
kebawah maka nomor tingkat (level) akan bertambah.
Terdapat 2 cara penomoran tingkat (level) struktur produk, yaitu
(modul praktikum ppc, 2009) :
1. Single Level
Jenis ini menggambarkan hubungan sebuah induk dengan level
komponen–komponen pembentuknya.
No. Komponen Level Description Code Quantity BOM UOM
11
2. Multi Level
Jenis ini menggambarkan struktur produk yang lengkap dari tingkat (level)
0 sampai tingkat (level) yang paling bawah.
Kegunaan struktur produk secara garis besar adalah :
1. Mengetahui berapa jumlah item penyusunan suatu produk akhir.
2. Memberikan rincian mengenai komponen apa saja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu produk.
Kegunaan dari BOM adalah :
1. Untuk menghitung biaya produk dan harga jual sehingga dapat
diketahui laba dari hasil penjualan produk.
2. Menentukan komponen–komponen mana saja yang harus dibuat
sendiri atau dibeli.
3. Menentukan komponen–komponen dalam daftar pembelian dan order
produksi yang harus dilepas.
Terdapat beberapa macam jenis BOM adalah :
1. Eksplosion
Merupakan BOM dengan urutan dimulai dari induk sampai komponen
pada level paling bawah. BOM jenis ini menunjukkan komponen yang
membentuk suatu induk dari level teratas sampai level terendah.
12
2. Implosion
Merupakan BOM dimana urutan dimulai dari komponen sampai induk
atau level paling atas. Secara singkat BOM jenis ini adalah kebalikan dari
BOM eksplosion.
Hierarki perencanaan prioritas dan kapasitas dalam sistem MRP II
(Gasperz, 2005):
Sumber : (Gasperz, 2005)
Gambar 2.1 Hirarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam sistem MRP II
Keterangan :
< - - > = Hubungan dua arah termasuk umpan balik
RRP = Resource Requirement Planning
MPS = Master Production Scheduling
CRP = Capacity Requirement Planning
MRP = Material Requirement Planning
PAC = Production Activity Control
13
Pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam perencanaan prioritas dan
kapasitas yang terintegrasi, antara lain (Gasperz, 2005):
Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya
Penjadwalan Induk Produksi (JIP) dan Rough Cut Capacity Planning
(RCCP)
Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebetuhan
Kapasitas (CRP)
Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/
Output serta Operation Sequencing
2.3 Penjadwalan Induk Produksi (JIP)/ Master Production Scheduling (MPS)
Penjadwalan produksi induk (JIP) adalah suatu pernyataan mengenai
produk akhir dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan
memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. MPS
juga berarti jadwal induk produksi utama dalam pembuatan spesifikasi
mengenai apa yang akan dibuat dan kapan akan dibuat (Gasperz, 2005).
Penjadwalan produksi didasarnya pada empat fungsi utama (Gasperz,
2005), yaitu:
1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan
kebutuhan material dan kapasitas.
14
2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk item-item
MPS.
3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan
kapasitas.
4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk
kepada pelanggan.
Tabel 2.2 Contoh Tabel MPS
Sumber: (Modul Praktikum PPC, 2009)
Menurut Gasperz, kriteria dasar yang mengatur pemilihan item-item
dalam MPS, adalah :
1. Item-item yang di jadwalkan seharusnya merupakan produk akhir,
kecuali ada pertimbangan yang jelas mengguntungkan untuk
menjadwalkan item-item yang lebih kecil dari pada produk akhir,seperti :
modular or inverted planning bills, atau lebih kecil dari pada produk
akhir seperti : super family, super modular, atau super planning bills
lainnya. Penjadwalan produk-produk akhir dalam MPS menyebabkan itu
semua seperti final assembly schedule (fast)
PeriodPast Due 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ForecastCostumer Order Project Available BalanceAvailable to PromiseMaster Scheduled
Lot Size : Planning Time Fences :
Item No : Description :Lead Time : Safety Stock :On hand : Demand Time Fences :
15
2. Jumlah item-item MPS seharusnya sedikit, karena manajemen tidak dapat
keputusan yang efektif terhadap MPS apabila junlah item MPS terlalu
banyak.
3. Seharusnya memungkinkan untuk meramalkan permintaan dari item-item
MPS (kecuali item itu adalah made to order). Item-item yang di
jadwalkan harus berkaitan erat dengan item-item yang di jual.
4. Setiap item yang di buat harus memiliki BOM, sehingga MPS dapat
explode melalui BOM untuk menentukan kebutuhan komponen dan
material.
5. Item-item yang dipilih harus dimasukan dalam perhitungan dalam
kapasitas produksi yang dibutuhkan.
6. Item-item MPS harus memudahkan dalam penerjemahan pesanan-
pesanan pelanggan ke dalam pembuatan produk yang akan dikirim.
Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk
membutuhkan lima input data utama, sebagai berikut (Gasperz, 2005) :
1. Data permintaan total, merupakan salah satu data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan
ramalan penjualan dan pesanan-pesanan.
2. Status inventori, berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory,
stok yang di alokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock),
pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan, dan firm
16
planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa banyak
inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus
dipesan.
3. Rencana produksi, memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS
harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, dan
sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
4. Data perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang
harus digunakan, shrinkage factor, safety stock, dan lead time dari
masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item.
5. Informasi dari RCCP, berupa kebutuhan kapasitas untuk
mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS.
2.4 Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
Rough-cut capacity planning merupakan urutan kedua dari hierarki
perencanaan prioritas kapasitas yang berperan dalam mengembangkan MPS
(Gasperz, 2005). RCCP melakukan validasi terhadap MPS yang juga
menempati urutan kedua dalam hierarki perencanaan prioritas produksi. Guna
menetapkan sumber-sumber spesifik tertentu khususnya yang diperkirakan
akan menjadi hambatan potensial adalah cukup untuk melaksanakan MPS.
Pada dasarnya RCCP didefiniskan sebagai proses konversi dari
Rencana produksi dan / atau MPS ke dalam kebutuhan kapasitas yang
17
berkaitan dengan sumber-sumber daya kritis seperti: tenaga kerja, mesin dan
peralatan, kapasitas gudang, kapabilitas pemasok material dan parts, dan
sumber daya keuangan. RCCP adalah serupa dengan perencanaan kebutuhan
sumber daya, kecuali bahwa RCCP didisagresikan ke dalam level item atau
sku (stockkeeping unit); RCCP di disagresikan berdasarkan periode waktu
harian atau mingguan; dan RCCP mempertimbangkan lebih banyak sumber
daya produksi.
Pada dasarnya terdapat empat langkah untuk melaksanakan RCCP,
yaitu (Gasperz, 2005):
1. Memperoleh informasi tentang produksi dan MPS.
2. Memperoleh informasi tentang struktur produk dan waktu tunggu (lead
times).
3. Menentukan bill of resources.
4. Menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan RCCP.
2.5 Material Requirement Planning (MRP)
Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan
teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menterjemahkan
jadwal induk produksi menjadi kebutuhan bersih untuk semua item. Di samping
itu, sistem MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan
18
pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses
sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir (Baroto, 2002).
Tujuan sistem MRP (Baroto, 2002) adalah untuk menghasilkan
informasi yang tepat dalam melakukan tindakan yang tepat (pembatalan
pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan
dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang
merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
Menurut Baroto, 2002 tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai (material harus
tersedia) untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam jadwal induk produksi.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
Sistem MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (prioritas)
untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
Memberi indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
19
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang di
jadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat
memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika
mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis.
Menurut Baroto, 2002 Langkah-langlah Prosedur Sistem MRP, yaitu :
- Netting
Netting adalah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan
bersih, yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan
keadaan persediaan (yang ada dalam persediaan dan yang sedang dipesan).
Data yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih adalah :
• Kebutuhan kotor untuk setiap periode.
• Persediaan yang dimiliki pada awal perencanaan.
• Rencana penerimaan untuk setiap periode perencanaan.
- Lotting
Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan
optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil
perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan. Ada beberapa alternatif
metode untuk menetukan ukuran lot. Beberapa teknik diarahkan untuk
meminimalkan total ongkos set up, dan ongkos simpan. Teknik-teknik
tersebut adalah teknik lot for lot, economic order quantity, periodic order
quantity, part period balancing, dan sebagainya
20
- Offseting
Offseting bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan
rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. Rencana
pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya
ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya lead time. Lead time adalah
besarnya waktu saat barang mulai dipesan atau diproduksi sampai barang
tersebut selesai dan diterima siap untuk dipakai.
- Explosion
Proses Explosion adalah Proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat
item/ komponen yang lebih bawah. Perhitungan kebutuhan kotor didasarkan
pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Untuk
perhitungan kebutuhan kotor, diperlukan struktur produk dan informasi
mengenai berapa jumlah kebutuhan tiap item untuk item yang akan dihitung.
Keterangan yang digunakan untuk perhitungan MRP :
1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit.
2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan
dirakit.
3. Lead Time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau
memanufaktur suatu komponen.
4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan
sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.
21
5. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
6. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa
periode sebelumnya.
7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk
menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang.
8. Lot Size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang.
9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan diproduksi atau dipakai
pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas gross
requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS). Untuk
komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order
Release induknya.
10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima
pada periode tertentu.
11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material
yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Project
Available Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on
hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan
menguranginya dengan gross requirement pada periode yang sama. Atau
jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut :
PAB1 = (PAB2)t-1 - (Gross Requirement)t + (Scheduled Receipts)t
22
12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen
yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk
memenuhi Master Production Scheduled. Jumlah Net Requirement = 0
jika PAB1 ≥ Safety stock dan Jumlah Net Requirement = (-) PAB1 +
Safety stock jika PAB1 < Safety stock.
Net Requirement = -(PAB 1)t + Safety Stock
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang
dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat
yang sama dengan Net Requirements, akan tetapi ukuran pemesanannya
(lot sizing) bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus
mempertimbangkan Safety Stock juga.
14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus di-
release atau dimanufaktur sehingga komponen ini tersedia ketika
dibutuhkan oleh induk item-nya. Kapan suatu order harus di-release
ditetapkan dengan lead time period sebelum dibutuhkan.
15. Projected Available Balance 2 (PAB 2) menyatakan kuantitas material
yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Project
Available Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned
Order Receipt pada Net Requirements.
23
PAB 2 = (PAB2)t-1 + (Scheduled Receipt)t – (Gross Requirement)t +
(Planned Order Receipt)t
Atau dapat disingkat : PAB2 = (PAB1)t + (Planned Order Receipt)t
2.6 Capacity Requirement Planning (CRP)
Capacity Requirement Planning menurut Hutahean, 2007 adalah suatu
teknik untuk menentukan jumlah kapasitas yang dibutuhkan untuk memenuhi
rencana produksi jangka pendek. Metode ini digunakan untuk memeriksa
apakah kapasitas yang tersedia dapat memenuhi rencana penjadwalan yang
telah diusulkan dalam MPS sekaligus MRP.
Jika kemampuan kapasitas yang tersedia tidak memenuhi kapasitas
yang dibutuhkan maka diperhatikan work center yang bersangkutan untuk
menentukan jumlah penambahan kapasitas yang dibutuhkan dan pada periode
ke berapa sehingga order yang diterima dapat dikirim sesuai dengan tanggal
pengirimannya.
Proses CRP memberikan jawaban terhadap pertanyaan :
− Apakah kapasitas tersedia dapat memenuhi kapasitas yang dibutuhkan
sesuai dengan MPS?
− Jika kemampuan kapasitas yang tersedia tidak memenuhi, work center
mana yang tidak memenuhi kapasitas tersebut, dan berapa penambahan
kapasitasnya?
24
Menurut Hutahean, 2007 CRP didasarkan pada konsep input output
control. Model ini menetapkan planned lead time dari setiap work center
dengan mempertimbangkan delivery date dari suatu permintaan dan interaksi
antara work center yang terlibat. Jika planned lead time tidak melebihi
imposed lead time, maka delivery date dari suatu order dikatakan realistis.
Jika terjadi sebaliknya, salah satu strategi yang dilakukan yaitu menyesuaikan
kapasitas normal dengan menambah planned capacity atau menyesuaikan
aliran kerja untuk mendapatkan planned lead time yang lebih realistis.
Dalam analisa input output tersebut terdapat planned input, planned
output, planned queue, planned delay, planned work in process (WIP) dan
planned lead time.
Planned input merupakan beban kerja yang menjadi masukan pada
suatu work center yang didapat dari perkalian antara jumlah produksi MRP
(pada planned order release) dengan manufacture lead time dari item
tersebut, sedangkan planned output adalah kapasitas dari work center tersebut.
Planned queue adalah jumlah antrian yang direncanakan pada suatu
work center untuk periode tertentu, dimana nilainya merupakan jumlah
penjumlahan antara planned queue periode sebelumnya dan planned input
dikurangi dengan planned output.
Planned delay dinyatakan sebagai planned queue dibagi planned
output. Planned work in process adalah banyaknya beban kerja yang belum
25
diproses pada suatu work center dimana nilainya merupakan penjumlahan
antara planned queue pada periode sebelumnya dangan planned input.
Planned lead time dinyatakan sebagai planned work in process dibagi dengan
planned output.
2.7 Strategi Penjadwalan.
Perhitungan load dan pendistribusian ke work center selama periode
waktu tertentu dilakukan dengan menggunakan startegi penjadwalan. CRP
menggunakan dua pendekatan penjadwalan yaitu : Backward scheduling dan
forward scheduling, namun yang paling sering dipergunakan adalah
pendekatan backward scheduling (Hutahean, 2007).
1. Backward Scheduling.
Untuk memproduksi suatu produk ahkir maka harus ditentukan waktu
yang tepat untuk melakukan operasi pada setiap work center. Oleh karena itu,
manufacture item harus diuraikan atas manufacture stage agar dapat
ditentukan kebutuhan kapasitas untuk memproduksi item tersebut. Kebutuhan
kapasitas manufacturing stage adalah set up time yang dibutuhkan ditambah
dengan run time (jumlahnya disebut dengan production time). Setelah
dihitung production time untuk masing-masing manufacturing stage,
backward scheduling digunakan untuk menentukan kapan waktunya perlu di
load. Dalam backward scheduling process, tanggal penyerahan di asumsikan
26
menjadi tanggal kapan pesanan harus selesai. Perkiraan tanggal dimulainya
final manufacturing stage dapat diketahui dengan mengurangi production
time yang diperkirakan dari manufacturing stage yang paling ahkir dari
tanggal jatuh tempo. Dengan memeperhatikan urutan proses dari
manufacturing stage, maka perkiraan tanggal dimulainya semua
manufacturing stage dapat dihitung dengan cara yang sama.
Cara ini dimulai dari requested date (scheduled date atau planned
receipt date) kemudian bergerak mundur, menggunakan routing untuk
menentukan titik waktu mulai paling lambat (latest start date) dari setiap
operasi. Kemudian menggunakan latest start date sebagai scheduled date
untuk operasi terdahulu dan mengulang backward scheduling sampai selesai
menjadwalkan semua operasi untuk pesanan tertentu. Menggunakan
backward scheduling dapat diketahui waktu paling lambat suatu pesanan
harus dikeluarkan agar masih memenuhi scheduled due date.
2. Foreward Loading.
Dalam sistem produksi, loading merupakan salah satu langkah yang
sangat penting dari siklus perencanaan. Loading adalah pengalokasian beban
kerja yang dibutuhkan pada fasilitas produksi untuk diselesaikan. Loading
juga dianggap sebagai proses untuk menentukan waktu yang tepat kapan suatu
beban kerja atau operasi manufacturing dapat di alokasikan kepada fasilitas
manufacturing. Karena loading berhubungan dengan mencocokan waktu
27
antara beban kerja stasiun kerja, maka loading sangat membantu dalam
menentukan jadwal produksi.
Dari tentative production time table yang dihasilkan dari backward
scheduling, tanggal dimulainya suatu operasi belum fleksibel karena belum
memperhitungkan manufacturing resources seperti kapasitas dan bahan yang
dibutuhkan untuk setiap operasi manufacturing.
Prosedur foreward loading membantu tentative production time table
dengan mencari waktu yang tepat kapan manufacturing stage tersebut layak
untuk dikerjakan. Prosedur kerja foreward loading berlawanan dengan
backward scheduling. Foreward loading dimulai pada manufacturing stage
pertama dari level item yang paling bawah, prosedur ini memeriksa
keseimbangan kapasitas dari stasiun kerja yang bersesuaian dalam periode
minggu yang ditunjukkan dalam tentative production time table.
Suatu beban kerja hanya dapat dibebankan terhadap stasiun kerja yang
tepat jika kapasitas tersedia dan bahan untuk beban kerja telah diatur, atau
sebaliknya akan tersedia pada saat dibutuhkan. Foreward loading berfungsi
untuk memeriksa kelayakan dari loading operasi manufacturing ke dalam
periode-periode yang telah ditentukan (Hutahean, 2007).
MRP mengasumsikan bahwa apa yang di jadwalkan dapat diterapkan
tanpa memperhatikan keterbatasan kapasitas. Terkadang asumsi ini valid, tapi
kadang-kadang tidak dapat dipenuhi. Perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP)
28
menguji asumsi ini dan mengidentifikasi area yang melebihi kapasitas dan
yang berada dibawah kapasitas sehingga perencana dapat mengambil tindakan
yang tepat.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui beberapa definisi
yang banyak digunakan dalam pembahasan yang berkaitan tentang CRP ini :
1. Work center. Merupakan suatu fasilitas produksi spesifik yang terdiri dari
satu orang atau lebih orang dan atau mesin dengan kemampuan yang sama
atau identik, yang dapat dipertimbangkan sebagai satu unit untuk tujuan
perencanaan kapasitas dan penjadwalan terperinci. Dalam lingkungan job
shop manufacturing, pusat-pusat kerja sering memisahkan departemen-
departemen dan mungkin dipertimbangkan sebagai departemen sendiri.
2. Manufacturing Orders. Merupakan suatu dokumen atau identitas jadwal
yang memberikan kewenangan untuk membuat part tertentu atau produk
dalam jumlah tertentu. Manufacturing dapat berupa salah satu open
orders, already in process, atau planned orders, sebagaimana di
jadwalkan melalui proses MRP.
3. Routing. Merupakan sekumpulan informasi yang memperinci metode
pembuatan item tertentu termasuk operasi yang dilakukan, berbagai pusat
kerja yang terlibat, serta standar untuk waktu set up dan waktu
pelaksanaan kerja (run time).
29
4. Beban/ Load Adalah banyaknya kerja yang di jadwalkan untuk dilakukan
oleh fasilitas manufacturing dalam periode waktu yang ditetapkan. Load
biasanya dinyatakan dalam ukuran jam kerja atau unit produksi.
Sebagaimana yang biasa digunakan dalam CRP. Load menggambarkan
waktu set up dan waktu pelaksanaan yang dibutuhkan dari suatu pusat
kerja, tidak termasuk waktu menunggu, waktu anteri dan waktu bergerak.
5. Capacity. Merupakan tingkat dimana sistem manufaktur (tenaga kerja,
mesin, departemen, pabrik dan pusat kerja) berproduksi. Dengan kata lain
kapasitas merupakan output yang dapat dicapai dengan spesifikasi produk,
product mix, tenaga kerja dan peralatan yang ada sekarang. Dalam CRP
kapasitas berkaitan dengan tingkat output kerja dalam setiap pusat kerja.
Tujuan utama dari CRP adalah menunjukkan perbandingan antara
beban yang ditetapkan pusat-pusat kerja melalui pesanan kerja yang ada dan
kapasitas dari setiap pusat kerja selama periode waktu tertentu. Selain itu juga
berusaha mengatur secara bersama pesanan kerja yang datang dan atau
kapasitas dari pusat kerja untuk mencapai suatu aliran yang mantap atau
seimbang.
Berikut adalah istilah-istilah yang digunakan dalam perhitungan CRP :
• Waktu set up adalah waktu yang dibutuhkan mesin agar siap beroperasi.
• Waktu pelaksanaan (run time) merupakan waktu yang digunakan untuk
beroperasi.
30
• Utilisasi adalah pecahan yang menggambarkan presentasi clock time yang
tersedia dalam pusat kerja yang secara aktual digunakan untuk produksi
berdasarkan pengalaman lalu.
Utilisasi = jam aktual yang digunakan untuk produksi jam yang tersedia menurut jadwal.
• Efisiensi adalah faktor yang mengukur performansi aktual dari pusat kerja
relatif terhadap standar yang ditetapkan.
Efisiensi = jam standar yang diperoleh atau diproduksi jam aktual yang digunakan untuk produksi
• Operation time per unit adalah jumlah total waktu set up dan waktu
pelaksanaan untuk menghasilkan suatu item.
Tabel 2.3 Contoh Tabel Standard Setup Time dan Standard Run Time
Work Center Part Lot Size Setup Time / Lot (Menit) Run Time / Unit (Menit) WC-1
A B
400 800
60 80
1.2 1.5
WC-2 C 500 70 1.3 Sumber : (Modul Praktikum PPC, 2009)
Tabel 2.4 Contoh Tabel Operation Time per Unit.
Part
(1)
Lot Size
(2)
Work Center
(3)
Setup Time/Lot (Menit)
(4)
Setup Time/Unit
(Menit) (5) = (4)/(2)
Run Time/Unit
(Menit) (6)
Operation Time/Unit
(Time) (7) = (5)+(6)
Total Operation Time (Menit)
(8) = (2)x(7)
A 400 WC-1 60 0.15 1.20 1.35 540 B 800 WC-1 80 0.10 1.50 1.60 1280
Part
(1)
Lot Size
(2)
Work Center
(3)
Setup Time/Lot (Menit)
(4)
Setup Time/Unit
(Menit) (5) = (4)/(2)
Run Time/Unit
(Menit) (6)
Operation Time/Unit
(Time) (7) = (5)+(6)
Total Operation Time (Menit) (8) = (2)x(7)
C 500 WC-2 70 0.14 1.30 1.44 720 Sumber : (Modul Praktikum PPC, 2009)
31
Tabel 2.5 Contoh Tabel Laporan CRP tentang Kebutuhan Kapasitas Mesin.
Deskripsi Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Total WC-1 (1) Waktu Yang Tersedia (menit) (2) Tingkat Utilisasi (Kondisi Aktual) (3) Tingkat Efisiensi (Kondisi Aktual) (4) Kapasitas Tersedia (Rated Capacity) = (1) x (2) x (3) (5) Kebutuhan Aktual (6) Kelebihan/Kekurangan Kapasitas = (4) – (5) WC-2 (1) Waktu Yang Tersedia (menit) (2) Tingkat Utilisasi (Kondisi Aktual) (3) Tingkat Efisiensi (Kondisi Aktual) (4) Kapasitas Tersedia (Rated Capacity) = (1) x (2) x (3) (5) Kebutuhan Aktual (6) Kelebihan/Kekurangan Kapasitas = (4) – (5)
Sumber : (Modul Praktikum PPC, 2009)
2.8 Penjadwalan Produksi
Perusahaan selalu melakukan penjadwalan produksi dalam pemenuhan
kapasitas permintaan konsumen atau order dari konsumen untuk jangka
pendek dalam rentang periode beberapa minggu, bulan. Menurut Baroto, 2002
penjadwalan yang tidak efektif akan menghasilkan tingkat penggunaan yang
rendah dari kapasitas yang ada. Hal ini dapat menurunkan efektifitas dan daya
saing perusahaan, serta dari tingkat pelayanan dan hal-hal lainnya secara tidak
langsung.
32
2.8.1 Definisi Penjadwalan Produksi
Penjadwalan (scheduling) didefinisikan oleh (Baker, 1974) sebagai
proses pengalokasian sumber untuk memilih sekumpulan tugas dalam jangka
waktu tertentu. Definisi umum ini dapat di jabarkan dalam arti yang berbeda.
Yang pertama adalah bahwa penjadwalan merupakan sebuah fungsi
pengambilan keputusan, yaitu dalam menentukan jadwal yang paling tepat.
Arti yang kedua adalah bahwa penjadwalan merupakan sebuah teori yang
berisi kumpulan prinsip, model, teknik, dan konklusi logis dalam proses
pengambilan keputusan.
Vollman, 1980 penjadwalan produksi sebagai rencana pengaturan
urutan kerja serta pengalokasian sumber baik berupa waktu maupun fasilitas
untuk setiap operasi yang harus diselesaikan. Sedangkan menurut Morton,
1993 penjadwalan adalah pengambilan keputusan tentang penyesuaian
aktivitas dan sumber daya dalam rangka menyelesaikan sekumpulan
pekerjaan agar tepat pada waktunya dan mempunyai kualitas seperti yang
diinginkan. Keputusan yang dibuat dalam penjadwalan meliputi pengurutan
pekerjaan, waktu mulai dan selesai pekerjaan, urutan operasi untuk suatu
pekerjaan. Masalah penjadwalan selalu berkaitan dengan pengurutan
produksi, yang dengan demikian penjadwalan produksi digunakan untuk
menentukan urutan-urutan pekerjaan dari order yang akan di proses oleh
mesin serta merencanakan waktu mulai dan selesai pekerjaan tersebut.
33
2.8.2 Peran Penjadwalan dan Pengaruhnya
Penjadwalan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang
memainkan peranan sangat penting dalam dunia industri manufaktur maupun
jasa (Bedworth, 1987). Penjadwalan dapat digunakan dalam pengadaan
(procurement) dan produksi (production), dalam transportasi dan distribusi,
serta dalam pemprosesan informasi dan komunikasi.
Penjadwalan dalam perusahaan biasanya menggunakan teknik
matematika atau metode heuristic yang biasanya digunakan untuk
mengalokasikan sumber daya yang terbatas kepada tugas-tugas yang ada.
Alokasi sumber daya yang tepat memungkinkan perusahaan untuk
mengoptimalkan dan mencapai tujuannya. Sumber daya tersebut dapat berupa
mesin-mesin di lantai produksi, landasan di bandar udara, atau tahap-tahap
dalam proyek konstruksi. Setiap tugas memiliki level prioritas yang berbeda,
waktu memulai pekerjaan yang tercepat dan memungkinkan, serta batas
waktu (due date). Sedangkan, tujuan yang ingin dicapai bermacam-macam
seperti meminimumkan waktu penyelesaian semua pekerjaan atau
meminimumkan jumlah tugas yang terlambat, mengurangi waktu menganggur
dan lain sebagainya.
34
2.8.3 Fungsi Penjadwalan
Perkembangan dunia usaha yang semakin maju dan tingkat persaingan
yang semakin ketat, membangkitkan kesadaran para pengusaha untuk bekerja
lebih keras dalam mengelola perusahaannya. Perusahaan dalam menghasilkan
suatu produk tertentu tidak lepas dari kegiatan pengontrolan proses produksi
itu sendiri. Proses produksi merupakan faktor yang sangat penting dalam
usaha untuk mengelola bahan baku menjadi barang jadi (Sritomo, 1995).
Selain itu, proses produksi ini juga berhubungan erat dengan penjadwalan
produksi yang akan digunakan dalam proses produksi.
Fungsi penjadwalan di dalam sebuah produksi sangat penting, dimana
fungsi tersebut harus dapat berinteraksi dengan fungsi-fungsi lainnya
(Bedworth, 1987). Interaksi ini bergantung pada sistem yang ada dalam
perusahaan, biasanya dapat melalui jaringan komputer maupun dapat
diputuskan melalui rapat. Dalam hal ini, lantai produksi bukanlah satu-
satunya bagian dari organisasi yang turut menentukan proses penjadwalan.
Proses penjadwalan dipengaruhi oleh perencanaan produksi yang menangani
jangka waktu menengah dan jangka panjang keseluruhan perusahaan. Proses
ini bertujuan untuk mengoptimalkan komposisi produk yang akan dihasilkan
oleh perusahaan dan alokasi sumber daya dalam jangka panjang berdasarkan
inventory, peramalan permintaan dan kebutuahan akan sumber daya.
35
Keputusan-keputusan yang diambil pada level perencanaan yang lebih tinggi
dapat memberikan dampak secara langsung pada proses penjadwalan tersebut.
2.8.4 Tujuan Penjadwalan
Bedworth (1987) mengidentifikasi beberapa tujuan dari aktivitas
penjadwalan adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan penggunaan sumber daya atau mengurangi waktu
tunggunya, sehingga total waktu proses dapat berkurang, dan
produktivitas dapat meningkat.
2. Mengurangi persediaan barang setengah jadi atau mengurangi sejumlah
pekerjaan yang menunggu dalam antrian ketika sumber daya yang ada
masih mengerjakan tugas yang lain. Teori Baker, 1974 mengatakan, jika
aliran kerja suatu jadwal konstan, maka antrian akan mengurangi rata-rata
waktu alir akan mengurangi rata-rata persediaan barang setengah jadi.
3. Mengurangi beberapa keterlambatan pada pekerjaan yang mempunyai
batas waktu penyelesaian sehingga akan meminimasi penalti cost (biaya
keterlambatan).
4. Membantu pengambilan keputusan mengenai perencanaan kapsitas pabrik
dan jenis kapasitas yang dibutuhkan sehingga penambahan biaya yang
mahal dapat terhindarkan.
36
Dengan adanya penjadwalan berarti tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh suatu perusahaan yang pastinya akan lebih menguntungkan bagi
perusahaan. Tujuan dari adanya penjadwalan adalah mengurangi waktu
keterlambatan suatu pekerjaan dari batas waktu yang telah ditentukan agar
dapat memenuhi batas waktu (due date) yang telah disetujui dengan pihak
konsumen, mengurangi persediaan barang setengah jadi dengan cara
mengurangi jumlah rata-rata tugas yang menunggu dalam antrian dalam suatu
mesin. Dengan adanya penjadwalan maka perusahaan berusaha untuk dapat
meningkatkan sumber daya yang ada dalam perusahaan tersebut, sehingga
dapat meningkatkan produktifitas mesin dan mengurangi waktu menganggur
dari sumber daya seperti manusia, peralatan, dan fasilitas yang akan
digunakan untuk kegiatan produksi.
Dengan adanya penjadwalan yang baik, maka produktifitas mesin
semakin meningkat dan dapat mengurangi waktu menganggur, sehingga
secara tidak langsung perusahaan dapat mengurangi ongkos produksi dan
mengurangi waktu keterlambatan dalam penyelesaian atau pengiriman
pesanan. Jika perusahaan dalam memenuhi pesanan konsumen tepat waktu,
maka hal ini dapat menjadi nilai tambah bagi perusahaan dalam hal pelayanan
(service). Jika tujuan penjadwalan tersebut dapat dicapai, maka dapat juga
memberikan keuntungan dan strategi bagi perusahaan dalam menjaga
hubungan dengan pelanggan.
37
Menurut Baker, 1974 jika makespan suatu penjadwalan adalah konstan
maka urutan kerja yang tepat akan menurunkan flow time dan rataan work in
process.
2.8.5 Permasalahan Penjadwalan Produksi
Masalah penjadwalan sering kali muncul jika terdapat sekumpulan
tugas yang harus ditetapkan harus dikerjakan terlebih dahulu, bagaimana
urutan kerja dan tugas-tugas yang berikutnya, serta pengalokasian tugas pada
mesin sehingga diperoleh suatu proses yang terjadwal.
Pada umumnya persoalan penjadwalan ini dipecahkan dengan
sendirinya menurut kebiasaan tanpa memberikan perhatian yang lebih besar
sehingga pemecahan persoalan dengan suatu teknik baru akan lebih mudah
dan lebih menguntungkan. Berdasarkan teori antrian cara yang umum
dilakukan adalah dengan cara yang didasarkan pada FCFS (First Come First
Serve), sehingga tugas yang datang lebih dahulu akan dilayani lebih awal
daripada tugas yang datang kemudian.
Dengan dilakukannya pengurutan pekerjaan terlebih dahulu maka
diharapkan dapat memenuhi tujuan dari diadakannya penjadwalan, yaitu
mengurangi waktu keterlambatan dari batas waktu yang telah ditetapkan oleh
konsumen. Dengan demikian, perusahaan dapat lebih meningkatkan kegunaan
38
dari sumber daya yang ada dalam perusahaan secara optimal, sehingga
produktifitas mesin dapat meningkatkan dan mengurangi waktu menganggur.
2.8.6 Klasifikasi Penjadwalan
Klasifikasi penjadwalan produksi dapat berbeda-beda dilihat dari
kondisi yang mendasarinya. Beberapa model penjadwalan sering terjadi di
dalam proses produksi berdasarkan beberapa keadaan antara lain (Baker,
1974) :
1. Berdasarkan mesin yang dapat dipergunakan dalam proses :
a. Penjadwalan pada mesin tunggal (single machine shop)
b. Penjadwalan pada mesin jamak atau parallel (m machine)
Lingkungan model mesin tunggal sangatlah sederhana dan merupakan
kasus khusus dari model lingkungan yang lain. Pemecahannya dapat
diperoleh dari model mesin tunggal, tidak hanya memberikan wawasan
terhadap lingkungan model mesin tunggal, akan tetapi dapat menjadi dasar
bagi pemecahan masalah pada lingkungan model mesin yang lebih rumit
(mesin jamak atau paralel).
2. Berdasarkan pola aliran proses
a. Flow Shop
Proses produksi dengan aliran flow shop berarti proses produksi dengan
pola aliran identik dari satu mesin ke mesin lain. Walaupun pada flow
39
shop semua tugas akan mengalir pada jalur produksi yang sama, yang
sangat biasa dikenal sebagai pure flow shop, tetapi dapat pula berbeda
dalam dua hal. Pertama, jika tugas yang datang ke dalam flow shop tidak
harus dikerjakan pada semua jenis mesin. Jenis flow seperti ini disebut
general flow shop.
Sumber : Baker, Elements of Sequencing and Scheduling, 1974
Gambar 2.2 Workflow in A Pure Flow Shop
Sumber : Baker, Elements of Sequencing and Scheduling, 1974
Gambar 2.3 Workflow in A General Flow Shop
40
b. Job Shop
Proses produksi dengan aliran job shop berarti proses produksi dengan
pola aliran atau rute proses pada tiap mesin yang spesifik untuk setiap
pekerjaan, dan mungkin berbeda untuk tiap job. Akibat aliran proses yang
tidak searah ini, maka setiap job yang akan di proses pada satu mesin
dapat merupakan job yang baru atau job dalam proses, dan job yang
keluar dari suatu mesin dapat merupakan job tadi atau job dalam proses.
Sumber : Baker, Elements of Sequencing and Scheduling, 1974
Gambar 2.4 Workflow in Job Shop
3. Berdasarkan pola aliran kedatangan job
a. Penjadwalan Statis
Pengurutan pekerjaan terbatas pada pesanan yang ada atau datang secara
bersamaan dan siap untuk dikerjakan pada mesin yang tidak bekerja
(menganggur). Dengan demikian, pekerjaan yang baru tidak akan
mempengaruhi pengurutan pekerjaan yang telah dibuat.
41
b. Penjadwalan Dinamis
Pengurutan pekerjaan, dimana proses kedatangan pekerjaan tersebut tidak
menentu baik itu dari jumlah maupun kedatangannya.
4. Berdasarkan sifat informasi yang diterima
a. Penjadwalan Deterministik
Informasi yang diperoleh sudah diketahui dengan pasti, misalnya
informasi tentang pekerjaan dan mesin seperti waktu kedatangan dan
waktu prosesnya.
b. Penjadwalan Stokastik
Informasi yang diperoleh belum diketahui dengan pasti, oleh karena itu
perlu memperkirakannya dengan menggunakan distribusi probabilitas
5. Berdasarkan produk positioning
a. Make to Order
Jumlah dan jenis yang dibuat berdasarkan permintaan dari konsumen,
biasanya salah satu tujuanya adalah untuk mengurangi biaya simpan.
b. Make to Stock
Jumlah dan jenis produk terus-menerus dibuat untuk disimpan sebagai
persediaan (inventory)
42
2.8.7 Penjadwalan Tenaga Kerja
Tujuan dari adanya penjadwalan tenaga kerja adalah untuk
menetapkan sejumlah tenaga kerja pada suatu pekerjaan, sesuai permintaan
dan ongkos yang dikeluarkan serendah mungkin.
Langkah-langkah yang dilakukan:
1. Mengidentifikasi pelayanan yang disediakan.
2. Melakukan studi waktu, digunakan untuk menentukan waktu rata-rata
yang diperlukan bagi setiap pelayanan.
3. Meramalkan kebutuhan total tenaga kerja.
4. Menentukan jadwal tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan di atas.
Karakteristik pokok masalah:
a. Permintaan tenaga kerja cenderung berfluktuasi pada waktu yang relatif
pendek.
b. Pelayanan manusia tidak dapat disimpan untuk kemudian digunakan.
c. Pemakai jasa sangat kritis terhadap mutu pelayanan
Istilah-istilah dalam penjadwalan tenaga kerja adalah sebagi berikut :
o Permintaan (Demand) adalah: jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
dalam suatu periode untuk memberikan tingkat pelayanan tertentu yang
telah ditetapkan.
43
o Shift (schedule) adalah:
- Kumpulan hari dalam 1 minggu dimana seseorang diharapkan untuk
bekerja.
- Bagian dari hari yang menjelaskan kapan seseorang mulai bekerja,
istirahat dan makan siang.
o Jadwal (Schedule) adalah kumpulan shift yang memenuhi permintaan.
Ada 2 pengertian:
- Kumpulan hari kerja dan hari libur setiap pekerja dalam 1 minggu
operasi.
- Kumpulan periode waktu (jam) kapan pekerja mulai bekerja, istirahat
dan makan siang dari seluruh pekerja dimana kebutuhan terhadap
pekerja tersebut dapat terpenuhi.
Metode penjadwalan dalam penjadwalan tenaga kerja adalah sebagai
berikut:
1. Algoritma Tibrewala, Phillipe & Browne.
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Tibrewala, philippe
dan Browne pada tahun 1972, algoritma ini diawali dengan perkiraan
setiap kebutuhan tenaga kerja setiap hari selama satu minggu.
Algoritma ini digunakan untuk menjadwalkan hari kerja di hari
libur tenaga kerja. Penggiliran tenaga kerja dengan syarat tenaga kerja
libur 2 hari berturut-turut dalam satu minggu. Penggiliran ini dapat
44
diterapkan pada setiap individu. Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
Mulai dari hari dengan kebutuhan tenaga kerja terbesar, kemudian terbesar
kedua, dan seterusnya. Tempatkan kebutuhan hari yang memiliki
kebutuhan sama dalam jadwal hingga diperoleh 2 hari berturutan yang
unik, dan menunjukkan jadwal untuk 5 hari kerja 2 hari libur. Bila hal ini
tidak dapat, lakukan langkah ke-2.
Bila terdapat 2 pasangan hari libur yang berurutan, pilih hari yang
memiliki kebutuhan terkecil pada hari yang berdekatan. Bila hal ini tidak
dapat dilakukan, lakukan langkah ke-3.
Pilih pasangan hari yang paling beralasan, misal pilih pasangan hari sabtu
dan minggu sebagai libur.
2. Algoritma Monroe.
Penjadwalan tenaga kerja dengan algoritma Monroe bertujuan
mencari dua hari libur berurutan untuk setiap pekerja. Perbedaan
algoritma Tibrewala, Phillipe & Browne dengan algoritma Monroe adalah
algoritma Mondroe menjamin jumlah tekanan kerja minimum, meskipun
harus membentuk shift dimana hari liburnya tidak berurutan selain itu
dalam algoritma Tibrewala, Phillipe & Browne memilih hari libur
berurutan yang pasangan liburnya mengutamakan libur pada hari sabtu,
45
minggu atau awal minggu sedangkan dalam algoritma Monroe memilih
hari libur berurutan dengan libur 2 hari berturut-turut. Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Untuk setiap hari dalam seminggu, hitung hari-hari libur Regular Day Off
(RDO) dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja yang tersedia dengan
kebutuhan pada hari tersebut. Jika yang di jadwalkan adalah 5 hari kerja,
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam seminggu harus genap
kelipatan 5. Jika tidak genap, maka tambahkan satu atau lebih hari sampai
genap kelipatan 5.
b. Buat pasangan hari-hari libur (RDO) dimulai pada dua hari pertama dalam
seminggu sampai pasangan hari libur tersebut berulang.
c. Pada percobaan pertama menjadwalkan pasangan hari libur, tugaskan kira-
kira setengah dari jumlah orang pada RDO kedua ke pasangan hari libur
pertama. Untuk pasangan hari libur kedua kurangi jumlah tadi dari jumlah
hari libur kedua. Teruskan prosedur ini sampai semua pasangan hari libur
telah terisi. Jika jumlah orang pada pasangan hari libur pertama dan
jumlah orang pada pasangan hari libur terakhir telah sama, maka stop; jika
tidak maka lanjutkan ke langkah selanjutnya.
d. Hitung rata-rata jumlah orang pada pasangan hari libur pertama dan
terakhir. Gunakan hasilnya sebagai jumlah orang pada pasangan hari libur
46
pertama pada percobaan kedua. Gunakan prosedur pada langkah tiga
untuk penugasan pada pasangan hari libur berikutnya.
2.9 Undang-undang Tentang Ketenaga Kerjaan No. 13 Tahun 2003.
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Keputusan Menteri.
47
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
berlaku bagi sektor usaha atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja
lembur.
48
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah
bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan
pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-
49
menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua)
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya
berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.