ppom
TRANSCRIPT
BLOK RESPIRASI
PJBL
(PPOM)
“PENYAKIT PARU OBSTRUKSI MENAHUN”
KELOMPOK 5
Lisma Diana 115070200131006
Sandra Novita Yunianto 115070200131010
Krisna Widya Baskoro
Saifullah Alfaruqi
Anissa Maydinah 11500201131009
Hesthi Rahmadani
Dwi Setyo Purnomo
Laili Rahmawati
Ifmi Nurul Hidayah
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan
laporan PJBL : Fundamental Pathophysiology And Nursing Care Of Respiratory
System about “PPOM”
Dalam penyusunan laporan ini telah banyak pihak yang turut membantu sehingga
laporan ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu kami ingin menyampaikan
terimakasih kepada :
1. PJMK Respiratory : Ns. Septi Dewi R, Skep, MNg dan Ns. Suryanto,
Skep, MNurs
2. Anggota kelompok 5 yang dengan kompak membantu dan
berpartisipasi dalam penyelesaian laporan PJBL FP 3
Laporan ini berisi tentang Penyakit Paru Obstruksi Menahun. Seperti yang kita
ketahui kasus ini sering terjadi di masyarakat. Maka dari itu, kami harap laporan
ini dapat memberikan pengetahuan bagi pembacanya tentang Penyakit Paru
Obstruksi Menahun(PPOM)
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan laporan selanjutnya.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Kelompok 5
PEMNDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang ditandai
dengan sebutan PPOM adalah : Bronkhitis, Emifisema paru-paru dan
Asma bronkial.
Perjalanan PPOM yang khas adalah panjang dimulai pada usia 20-
30 tahun dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid. Mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap
kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya serangan brokhitis akut makin
sering timbul, terutama pada musim dingin dan kemampuan kerja
penderita berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-60 an
penderita mungkin harus mengurangi aktifitas.
Penderita dengan tipe emfisematosa yang mencolok, perjalanan
penyakit tampaknya tidak dalam jangka panjang, yaitu tanpa riwayat batuk
produktif dan dalam beberapa tahun timbul dispnea yang membuat
penderita menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkopnea, hipoksemia dan
kor pulmonale, maka prognosis adalah buruk dan kematian biasanya
terjadi beberapa tahun sesudah timbulnya penyakit. (Price & Wilson, 1994
: 695)
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
Tujuan Umum:
mampu memahami konsep dasar mengenai masalah penyakit pada
pernafasan yaitu Penyakit Par Obstruksi Menahun(PPOM)
Tujuan khusus:
1) Mahasiswa mengetahui Definisi dari PPOM
2) Mahasiswa mengetahui Etiologi dari PPOM
3) Mahasiswa mengetahui Faktor Resiko dari PPOM
4) Mahasiswa mengetahui Epidemio logi dari PPOM
5) Mahasiswa mengetahui Patofisiologi dari PPOM
6) Mahasiswa mengetahui Manifestasi Klinis dari PPOM
7) Mahasiswa mengetahui Pemeriksaan Diagnostik dari PPOM
8) Mahasiswa mengetahui Penatalaksnaan dari PPOM
9) Mahasiswa mengetahui cara pencegahan terhadap PPOM
10) Mahasiswa mengetahui mengetahui komplikasi yang ditimbulkan
oleh PPOM
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
PPOM adalah penyakit paru menahun yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. (PDPI, 2003)
Bronkitis kronik (Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut - turut, yang disertai dengan pembentukan dahak dan
bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui
(misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi
pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan
parsial oleh lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini
bersifat sementara)
Emfisema (Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli berhubungan ke
saluran napas (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga
saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli
mengalami kerusakan sehingga bronkioli kehilangan struktur
penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan,
bronkioli mengkerut).
PPOM adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas, termasuk
bronchitis kronis, bronkietaksis, emfisema, dan asma. Ini merupakan
kondisi yang tak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada
aktivitas fisik dan mengurangi aliran udara. Perokok kretek, polusi
udara, dan pemajanan tempat kerja (katun) merupakan faktor resiko
penting yang menunjang perkembangannya yang dapat terjadi dalam
rentang 20-30 tahun. (Diane, 2000)
PPOM adalah suatu penyumbatan menetap pda saluran pernafasan yang
disebabkan emfisema atau bronchitis kronik. Sebagaimana
dikemukakan American College of Chest Physicians/ American
Society, PPOM didefinisikan sebagai sekelompok penyakit paru-paru
dengan asal yang tidak jelas yang ditandai dengan perlambatan aliran
udara yang bersifat menetap. Penyebab paling sering memang
bronchitis dan emfisema paru.
B. ETIOLOGI
Etiologi PPOM berkaitan erat dengan emfisema dan bronkitis kronis
yang diperberat dengan inhalasi asap tembakau dan pencemaran lingkungan.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.Kadangkala pasien mempunyai
resiko tinggi untuk menderita PPOM sebagai akibat kelainan metabolic
bawaan.
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang
berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya. Adanya bahan-
bahan iritan dapat menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu
peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada
alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan
menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan
merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Merokok akan
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu
dengan cara merusak sel-sel seperti rambut (silia) yang secara normal
membawa lendir ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan
beracun.
C. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko COPD bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya (PDPI,
2003)
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami
gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih
tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD
bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok.
Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
“terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan
faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan,
bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara,
arang, kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil
energi untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga
lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan
dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP
diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding
wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita.
Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena
COPD dibandingkan perokok pria
7. Status sosio ekonomi dan status nutris
8. Asma
9. Usia
Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan
D. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi PPOM berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000
penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah
3:1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008), di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007, menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81
tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas
perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOM adalah laki-laki. Hal ini disebabkan
lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.
Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001,
menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan
perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika
bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo
Surabaya pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang
paling banyak adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun
sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29
penderita dengan proporsi 63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004)
dalam Rahmatika (2009) di RS. Haji Medan pada tahun 2000-2002
menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak adalah
proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121
penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh
Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK
tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki
43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah
batuk berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%),
mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11 pasien
(8%).
E. PATOFISIOLOGI
Alergen, emosi, latihan fisik
Asma
Hipersensitivitas trachea bronkial
Bronkospasme edema mukosa
Hipersekresi mukus
Suara nafas abnormal
Batuk menetap
Kelemahan
Pertanyaan ttg informasi
Defisit pengetahuan
gg. istirahat tidur
Hipoksia jaringan
Suplai O2 egastrointestinal menurun
Menurunnya mortalitas
Anoreksia
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
polusi,rokok
bronkitis kronis
hiprtropi kel. Mukus bronkus
bronkospasme
infiltrasi sel radang & edema mukosa bronkus
obstruksi jalan nafas
aktivitas silia dan fagosit menurun
pembentukan timbunan mukus
merangsang batuk produktif
ketidakefektifan bersihan jalan nafas
ketidakseimbangan O2 dan CO2
saluran nafas kolaps saat respirasi
jebakan udara
penggunaan otot bantu nafas
keletihan dan kelelahan
intoleran aktivitas
predisposisi genetik
emfisema
elastisitas brokhus
penebalan dan resistensi alveoli
peningkatan resistensi jalan nafas
kerusakan alveoli
gg pertukaran gas
tidak adekuatnya pertahanan utama
resiko infeksi
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Penyakit Paru Ostruktif Kronik (PPOK)
Manifestasi klinis yang biasanya muncul antara lain :
Batu kronik
Peningkatan volume sputum
Sesak nafas yang progresif
Dada terasa sesak (chest tightness)
Sputum yang purulen
Meningkatnya kebutuhan bronkodilator
Lemah, lesu
Demam
Mengi (wheezing) dan ronkhi
Pengunaan otot bantu pernapasan
Perubahan frekuensi pernapasan
Bernapas dengan bibir dirapatkan
Gelisah
Sianosis
Kondisi berikut dapat mengindikasikan PPOM :
Sesak nafas (dispnea). Pada awalnya sesak nafas hanya dialami setelah
beraktivitas fisik. Namun, ketika paru-paru semakin rusak, sesak nafas
terjadi ketika melakukan pekerjaan harian rutin seperti berjalan dan
menyiram tanaman atau bahkan saat beristirahat.
Mengi dan batuk kronis, seringkali disertai dahak, yang berlangsung
lama (berbulan-bulan).
Sering mendapat infeksi paru. Jaringan paru-paru yang rusak lebih
mudah terinfeksi, sehingga menyebabkan bronkitis akut dan pneumonia,
terutama di musim hujan saat influenza merebak. Saluran udara memiliki
mekanisme untuk mengusir bakteri dengan mengeluarkan dahak melalui
batuk. Paru-paru yang rusak tidak bisa melakukannya sehingga bakteri
cenderung berkumpul di dalam alveoli dan saluran udara dan menyebar di
seluruh lobus paru-paru. Penderita PPOK membutuhkan waktu lama untuk
pulih dari infeksi paru, yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau
berbulan-bulan.
Gagal jantung. Jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah
ke paru-paru karena begitu banyak jaringan paru-paru yang rusak. Beban
ekstra ini membuat jantung melemah dan membesar.
Hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah). Organ tidak mendapatkan
oksigen yang cukup dan menjadi rusak. Kurangnya aliran darah ke otak,
misalnya, dapat menyebabkan kebingungan, pelupa dan depresi. Pada
kulit, kekurangan oksigen ini ditandai oleh semburat biru lebam (sianosis).
Pneumotoraks (pengempisan paru-paru). Terdapat pengumpulan udara
di sekitar paru-paru yang bocor dari jaringan paru yang rusak.
Penumpukan udara ini menekan paru-paru, sehingga tidak dapat
mengembang sebesar biasanya saat mengambil nafas
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan
jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran Klinis
a) Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b) Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronkibasah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik
B. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b) Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
CT -Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOM bertujuan untuk menghilangkan/
mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya
agar oksigenasi dapat kembali normal, keadaan ini dipertahankan dan
diusahakan menghindari perburukan penyakit secara garis besar
penatalaksanaan PPOM dibagi 4 kelompok; penatalaksanaan umum,
penggunaan obatan, O2 dan rehabilitasi.
1. Penatalaksanaan Umum
Yang termasuk dalam penatalaksanaan umum adalah pendidikan
terhadap penderita dan keluarga, menghindari rokok dan zat-zat inhalasi
yang bersifat iritasi, menghindari infeksi, menciptakan lingkungan yang
sehat, mencukupi kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan
memberikan imunoterapi bagi penderita yang punya riwayat alergi.
2. Pemberian Obat-obatan
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi/mengurangi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi.
Bronkodilator yang digunakan adalah golongan simpatomimetik, xantin
dan antikolinergik. Golongan simpatomimetik mengaktifkan adenilsiklase
dengan akibat mengurangi? produksi siklik AMP dan menimbulkan
relaksasi otot polos saluran nafas. Pemberian ß2 agonis dapat
menimbulkan tremor, tetapi dengan meneruskan pemberian obat, maka
biasanya gejala tremor, tetapi dengan meneruskan pemberian obat, maka
biasanya gejala tremor akan berkurang. Bersaman dengan pemberian ß2
agonis ini dapat diberikan Na Kromolin. Pemberian obat simpatomimetik
secara inhalasi akan mengurangi efek samping, selain itu pemberian secara
inhalasi akan merangsang mobilisasi lendir. Golongan xantin yaitu teofilin
bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase yang
menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi xantin dan
simpatomimetik memberikan efek sinergis sehingga efek optimal dapat
dicapai dengan dosis masing-masing lebih rendah dan efek samping juga
berkurang. Kadar terapi tercapai bila kadar teofilin darah 10-20 meg/ml.
Pada penderita gagal jantung dan penyakit hati, dosis aminofilin
yang diberikan dikurangi. Golongan xantin ini tidak saja berguna sebagai
bronkodilator tetapi juga punya efek yang kuat dan berlangsung lama
dalam me? daya kontraktilitas diafragma dan daya tahan terdapat
kelelahan otot pada penderita PPOM. Gol. antikolinergik seperti
Ipatropium bromid punya efek bronkodilator yang lebih baik pada
penderita PPOM disbanding dengan gol. simpatomimetik. Penambahan
antikolinergik pada penderita yang telah mendpt simpatomimetik akan
memberikan efek bronkkodilatasi yang lebih besar.
Antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut.
Diperlukan pemeriksan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang ssuai.
Pemberian kortikosteroid jangka pendek dapat bermanfaat pada serangan
akut yaitu pemberian prednison 40-60 mg/hari.
3. Terapi Oksigen
Pada penderita dengan hiperaktivitas bronkus, pemberian
kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dan gejala
penyakit Pemberian kortikosteroid jangka panjang memperlambat
progrisivitas penyakit pada PPOM dengan dekompensasi kordis kiri
dianjurkan pemberian digitalis, namun dosis hendaknya dipantau secara
kuat. Dosis dipertahankan antara 0,125-0,25mg/hari biasanya cukup
adekuat. Pemberian duretika pada pasien yang sesak nafas yang bertambah
akibat edema paru da gagal jantung kanan dapat menolong. Diuretika juga
berguna untuk mengurangi retensi air akibat penggunan steroid. Pada
penderita dengan hipoksemi, yaitu PaO2 < 55 mmHg pemberian oksigen
konssentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus-menerus memberikan
perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.
Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita
PPOM terutama pada sat adanya infeksi saluran nafas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin
merupakan ptunjuk perlunya O2 tambahan. Terapi O2 mem-perbaiki
kandungan O2 arteri dan memperbanyak O2 ke jantung, otak dan organ
vital lain. O2 memperbaiki vasokonstriksi pulmonalis, menurunkan
tekanan vascularpulmonr yang memungkinkan ventrikel kanan me?ngisi
sekuncup.
4. Rehabilitasi Meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
pekerjaan.
Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan
kondisi fisik ketingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterpi dapat
dilakukan; latihn relaksasi, nafas, perkusi dinding dada, drainase postural
dan prog uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan
penderita yang cemas dan tertekan karena penyakitnya.
Sedangkan rehabilitasi pekerjan dilakukan untuk memotivasi
penderita melakukan pekerjan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya.
secara umum rehabilitasi ini btujuan agar dapat mengurus dirinya dan
beraktivitas yang bermanfaat ssuai dengan kemampuan.
I. PENCEGAHAN
1) Pencegahan Primer
a. Menghindari polusi udara.
b. Melakukan imunisasi terhadap Haemophilus influenzae dan
Streptococcus peneumoniae
c. Menghindari terpaparnya diri dengan alergen.
d. Menghindari kebiasaan merokok karena merokok dapat
menyebabkan infeksi respiratorik yang dapat memperburuk gejala
PPOM.
e. Menghindari penggunaan pil KB yang dapat menjadi faktor resiko
dari emboli paru.
f. Meningkatkan daya tahan tubuh sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan sejarang mungkin.
g. Makan makanan yang bergizi tinggi dengan gizi seimbang sesuai
dengan aktifitas yang dilakukan.
h. Istirahat yang cukup dan tidur yang teratur serta melakukan
olahraga ringan pada udara segar sehingga dapat menjaga
kebugaran tubuh.
2. Pencegahan Sekunder
– Memberikan pendidikan kepada para pendeita PPOM terutama
pada penderita dengan penyebab Penyakit Asma yaitu menghindari
terpapar dengan alergen. Selain itu juga menjelaskan mengenai
pengaruh stress, keresahan, olahraga (terutama berlari), dan udara
dingin, serta kemungkinan serangan mendadak pada malam hari.
– Mengajari pasien untuk mengenali tanda-tanda peringatan seperti
meningkatnya produksi sputum, adanya perubahan dan konsistensi,
dan warna sputum, nafas yang semakin pendek, perasaan mudah
lelah, dan terjadinya kenaikan suhu tubuh.
– Mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan tingggi protein.
– Mencegah hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi.
– Sterilisasi sputum dengan cara menjemur kasur,sprai dan pakaian
langsung dibawah sinar matahari.
– Menurunkan berat badan jika bertubuh gemuk, yaitu dengan
melakukan diet yang seimbang.
3. Pencegahan Tersier
– Memberikan pengajaran komprehensif pada pasien untuk
memastikan pasien mematuhi dan menjalani terapi sampai selesai.
– Jika pasien harus tetap menjalani oksigen dirumah ajari cara
penggunaan peralatan dengan benar.
– Memberi tahu pada pasien dan keluarga bahwa terapi oksigen
berlebihan dapat mengeliminasi kendali respiratorik hipoksik
sehingga dapat menyebabkan konfusi, mengantuk, yang
merupakan gejala narkosis karbondioksida.
– Menjalin kerjasama antara Perawat, klien, dan keluarga klien yaitu
– Mendorong pasien mengikuti program rehabilitasi pulmoner yang
tersedia.
– Mendorong psien untuk berhenti merokok dan melakukan gaya
hidup sehat.
– Minta pasien menghindari iritan respiratorik dan memasang
penyejuk udara yang dilengkapi penyaring udara dirumahnya (jika
mampu), apabila tidak usahakan pasien tinggal didaerah yang
terhindar dari polutan.
– Mengjari pasien cara menggunakan peralatan bronkodilator dan
antibiotik yang diresepkan dokter untuk pasien.
– Mengajari pasien teknik pernafasan dalam, batuk produktif yang
efektif, dan fisioterapi dada, suction, nebulizer serta perawatan
tracheostomy pada klien.
– Membantu pasien dan keluarganya untuk menyesuaikan gaya
hidup mereka untuk mencermati hal-hal yang dapat memicu
terjadinya PPOM ini.
J. KOMPLIKASI
1) Status asmatikus
2) Atelektasis
REFERENCES
Price, Syna, A and Wilson, Lorraine M. 1994. Patofisiologi, Konsep Klinis
proses-proses Penyakit, edisi ke-4. Jakarta : EGC.
PERHIMPUNAN DOKTER INDONESIA, 2003. Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Asma Di Indonesia
Anies. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan
dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta : Elex Media
Komputindo
Diane, Baughman. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Bruner
dan Suddarth. Jakarta :EGC.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Available at
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf.
accessed on February, 26 2013 on 9 p.m.
http://www.klikpdpi.com/ diakses tanggal 20 Februari 2013 pukul 15:37:01 WIB
http://usu.ac.id/ diakses tanggal 22 Februari 2013 pukul 15:37:27 WIB
http://www.depkes.go.id/ diakses tanggal 24 Februari 2013 pukul 15:37:53 WIB
http://www.uns.ac.id/ diakses tanggal 24 Februari 2013 pukul 15:38:08 WIB
http://www.undip.ac.id/ diakses tanggal 24 Februari 2013 pukul 15:39:21 WIB
http://www.lipi.go.id/ diakses tanggal 24 Februari 2013 pukul 15:44:34 WIB