prak_anggit mardiana p_13.70.0168_b_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum Teknologi Hasil Laut dengan judul "Surimi"TRANSCRIPT
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Dalam praktikum Teknologi Hasil Laut dengan judul Surimi, alat yang digunakan
adalah pisau, kain saring, penggiling daging, dan freezer.
1.1.2. Bahan
Dalam praktikum Surimi ini, bahan yang digunakan antara lain daging ikan bawal,
garam, gula pasir, polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
1
2
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil analisa surimi meliputi hardness, water holding capacity dan sensoris (kekenyalan,
aroma) dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Analisa Sensori, Hardness dan WHC Surimi Ikan Bawal
Kel. Perlakuan HardnessWHC
(mgH20)
Sensori
Kekenyalan Aroma
B1
Daging ikan giling + sukrosa 2,5% +garam 5% +
polifosfat 0,1%.
129,74 280917,72 ++ ++
B2
Daging ikan giling + sukrosa 2,5% +garam 5% +
polifosfat 0,3%.
292,02 218185,65 +++ +++
B3
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,3%.
112,7 318565,40 ++ +
B4
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,5%.
151,29 303858,12 +++ +
B5
Daging ikan giling + sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,5%.
134,31 301219,49 + +
Keterangan:
Kekenyalan Aroma
+ = tidak kenyal + = tidak amis
++ = kenyal ++ = amis
+++ = sangat kenyal +++ = sangat amis
Berdasarkan hasil analisa tersebut, produk surimi yang memiliki hardness paling besar
(292,02 gf) yaitu sampel kelompok B2 yang menggunakan sukrosa 2,5%, garam 2,5%
dan polifosfat 0,3% dan paling rendah (112,70 gf) adalah sampel kelompok B3 yang
menggunakan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,3%. Dengan penambahan
3
4
konsentrasi bahan tersebut pula, maka akan menghasilkan produk surimi dengan water
holding capacity (WHC) yang berbanding terbalik, semakin tinggi hardness maka
semakin rendah WHC-nya. Secara sensori, produk surimi yang diberi polifosfat kurang
dari 0,5% (yaitu 0,1% dan 0,3%) cenderung lebih kenyal kecuali produk surimi
kelompok B4 dan aromanya lebih amis bila dibandingkan dengan surimi yang
ditambahkan 0,5% polifosfat.
3. PEMBAHASAN
Surimi merupakan salah satu produk pengolahan ikan yang dianggap sebagai produk
setengah jadi. Produk ini memiliki potensi yang tinggi dalam pengembangan sumber daya
perikanan. Pengembangan surimi di Indonesia cukup baik meskipun beberapa masih berada
di bawah pengawasan. Ikan adalah bahan yang paling penting dan gelasi surimi yang
merupakan faktor penentu sifat tekstural untuk produk ini (Shimazamaninejad et al., 2013).
Surimi dapat dibuat dari jenis ikan dan dianjurkan untuk memanfaatkan ikan yang memiliki
nilai ekonomi rendah. Kemudian surimi dapat diolah menjadi beberapa produk seperti
bakso ikan, sosis ikan, nugget ikan dan lain-lain (Agustini, et al., 2008) Surimi diolah dari
hasil laut seperti kaki kepiting imitasi, kerang, udang, dll (Lee, 1984). Ada dua tipe surimi
yang biasa diproduksi, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi., (Agustiani et al., 2006).
Produksi surimi menggunakan air dalam jumlah besar yang menghasilkan air limbah kaya
akan senyawa organic (lipid, protein dan darah), (Fabiola et al.,2013).
Faktor yang mempengaruhi kualitas produk surimi yakni kemampuan fungsional surimi
dalam membentuk gel dan mengikat air (Zamri & Etty, 2012). Selain itu, untuk
menghasilkan surimi yang berkualitas juga diperlukan modifikasi proses pembuatan surimi
yakni pembuatan secara tradisional dan juga pengembangan teknik pengolohan surimi yang
telah ada (Jafapour et al., 2012). Pengaturan aplikasi dalam industry surimi digunakan
untuk meningkatkan gel. Karakteristik gel sangat dipengaruhi oleh suhu dan juga waktu.
Hal ini diyakini bahwa jenis ikan sesuai habitat suhunya membutuhkan respon pengaturan
yang berbeda dalam pengolahannya (Shekarabi et al., 2015). Menurut Lan et al. (1995)
bahan baku, kekuatan ion, pH, suhu dan laju pemanasan, serta jenis ikan juga
mempengaruhi pembentukan gel. Selain itu, menurut Nasution et al., (2011), proses
pencucian dapat meningkatkan karakteristik surimi yang dihasilkan karena frekuensi
pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel yaitu untuk mencegah protein miofibril
terdenaturasi selama penyimpanan beku. Lanier & Lee (1992) juga mengatakan bahwa
prosedur pencucian sangat penting untuk kualitas surimi tidak hanya untuk menghilangkan
lemak dan bahan yang tidak diinginkan, seperti darah, pigmen dan zat yg berbau tapi, lebih
5
6
penting lagi, untuk meningkatkan konsentrasi protein myofibrillar, dengan demikian
meningkatkan kemampuan pembentuk gel Sehingga, proses pencucian menjadi salah satu
faktor penentu produk surimi. Menurut Jafapour et al (2012), mampu menambah kualitas
gel yang dihasilkan oleh surimi. Setiap faktor memiliki efek penting pada kelembaban dan
tekstur surimi (Fabiola et al.,2013).
Surimi diproduksi melalui beberapa tahapan yang dilakukan secara kontinu yaitu pencucian
(leaching) pemisahan daging dari tulangnya, penggilingan, pengepresan, penambahan
senyawa cryoprotectan dan polifosfat yang kemudian dapat dilanjutkan dengan proses
pembekuan (Mallett, 1993) atau tanpa pembekuan sehingga diharapkan mempunyai
kemampuan fungsional, yaitu dalam membentuk gel dan mengikat air (Okada, 1992).
Mengoptimalkan jumlah siklus mencuci akan memberikan kontribusi bagi produksi yang
lebih berkelanjutan (Fabiola et al.,2013).
Tingkat kesegaran ikan juga menjadi faktor yang mempengaruhi mutu surimi. Semakin
segar ikan yang diguanakan untuk menghasilkan surimi, maka elastisitas tekstur akan
semakin tinggi. Ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi sebaiknya mengandung
lemak yang rendah karena lemak akan mempengaruhi daya gelatinasi serta dapat
menyebabkan produk menjadi mudah tengik (Koswara, 2008). Ikan yang memiliki
kandungan lemak tinggi juga dapat digunakan, namun harus mengalami proses
pengekstrakan lemak terlebih dahulu. pH ikan yang paling baik untuk pembuatan surimi
adalah 6,5 hingga 7 (Koswara et al., 2001).
Dalam pembuatan surimi diperlukan higienitas yang tinggi dan dilakukan pada suhu
rendah. Untuk itu dalam proses produksi surimi sebaiknya menggunakan mesin dan
peralatan yang terbuat dari stainless steel atau bahan yang bukan logam untuk menghindari
karat (Anggawati, 2002). Pada saat penggilingan, supaya protein tidak rusak akibat panas
yang dihasilkan oleh gesekan pada mesin penggiling, maka sebaiknya ditambahkan es batu
supaya menjaga suhu tetap rendah.
7
Proses pembuatan surimi diawali dengan mencuci ikan hingga bersih dan ditimbang
beratnya. Pencucian dengan air mengalir ini bertujuan untuk menghilangkan bau, lemak,
darah, dan kotoran lainnya (Anonim, 1987). Kemudian, daging ikan difillet dengan
membuat bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut dan kulit sementara bagian daging
putihnya saja yang diambil. Daging ikan kemudian digiling hingga halus dengan
menambahkan es batu. Selanjutnya, daging halus dicuci sebanyak 3 kali dan disaring
dengan kain saring. Proses pencucian dapat dilakukan dengan menggunakan air dengan
suhu yang rendah atau air es dengan tujuan untuk mempertahankan suhu daging agar tetap
segar serta mencegah terjadinya denaturasi protein akibat pembekuan dan timbulnya
bakteri. Efektifitas proses pencucian ditentukan oleh kandungan ion garam inorganik,
protein larut air serta komponen non protein yang hilang dari jaringan otot atau dari surimi
itu sendiri (Matsumoto, 1992).
Tahap selanjutnya, daging ditambahkan dengan larutan sukrosa 2,5% untuk kelompok 1
dan 2, serta 5% untuk kelompok 3,4, dan 5. Gula atau sukrosa akan berpengaruh pada
citarasa dari produk yang akan meningkatkan rasa manis, mempengaruhi tekstur pada
daging, menetralisir garam yang berlebihan, mempengaruhi pelepasan gas CO2, dan
berfungsi sebagai pengawet (Buckle et al., 1987). Sukrosa termasuk golongan
cryoprotectan, penambahan senyawa cryoprotectan yang berfungsi untuk melindungi
produk surimi dari dehidrasi/ kehilangan air yang terdapat pada struktur protein, sehingga
dapat mencegah denaturasi protein (Mallett, 1993).
Kemudian ditambahkan lagi dengan garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok.
Penambahan garam berfungsi sebagai penghambat selektif terhadap mikroorganisme
pencemar tertentu atau berperan sebagai pengawet karena garam akan mempengaruhi
aktifitas air (aw) dari bahan sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme
(Buckle et al., 1987). Endang et.al., (2010) juga menambahkan bahwa garam dapat
berpengaruh terhadap elastisitas surimi karena dengan adanya garam, protein myofibrilar
8
yakni aktin dan aktomiosin akan terlarut dan terdispersi secara homogen sehingga,
membentuk pasta yang lekat, yang bila kemudian mengalami perlakuan panas akan
membentuk gel yang elastic. Namun demikian, kadar garam yang terlalu tinggi akan
berpengaruh buruk terhadap elastisitas karena garam yang berlebihan akan mengakibatkan
terjadinya pengendapan (salting out) protein.
Kemudian, dilakukan penambahan polifosfat sebanyak 0,1% untuk kelompok 1, 0,3%
untuk kelompok 2 dan 3 serta sebanyak 0,5% untuk kelompok 4 dan 5. Lalu di freezer
selama semalam, setelah itu diukur hardness, nilai WHC menggunakan millimeter blok,
dan uji sensoris yang meliputi aroma dan tekstur. Untuk mengetahui kandungan WHC
(Water Holding Capacity) di dalam produk surimi maka, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
mg H2O =
Luas area basah = LA – LB
LA (luas atas) = 1/3a (h0 + 4h1 + 2h2 + ..... + hn)
LB (luas bawah) = 1/3a (h0 + 4h1 + 2h2 + ..... + hn)
Penambahan senyawa polifosfat yang digunakan dalam proses pengolahan surimi ini
berfungsi meningkatkan daya ikat air (water holding capacity), meningkatkan pH dan juga
membantu fungsi senyawa cryoprotectan (Lanier and Lee, 1992). Sehingga, dengan adanya
polifosfat maka kinerja sukrosa dalam mencegah denaturasi protein menjadi lebih optimal.
Berdasarkan hasil pengamatan, produk surimi dengan water holding capacity (WHC)
tertinggi berada pada kelompok B3 yaitu sebesar 318.565,40 mg dengan menggunakan
sukrosa 5% dan garam 2,5% serta 0,3% polifosfat. Sementara WHC terendah terdapat pada
kelompok B2 dengan nilai 218.185,65 mg yang menggunakan 2,5% sukrosa dan garam
2,5% serta 0,3% polifosfat. Hasil percobaan ini kurang sesuai dengan teori Lee (1984) dan
9
Pszczola (2003), yaitu semakin besar jumlah sukrosa yang ditambahkan maka makin besar
kadar air yang masih tertahan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin besar pula water
holding capacity yang dimiliki surimi tersebut.
Nilai WHC merupakan fungsi dari komposisi asam amino dan bentuk proteinnya, seperti
banyaknya gugus polar, anion, dan kation yang ada di dalamnya. Secara umum semakin
besar jumlah protein larut garam (PLG) maka kemampuan surimi dalam mengikat air juga
semakin besar, meskipun ada faktor lain yang lebih berperan yaitu komposisi asam amino
yang bersifat hidrofilik (Hudson, 1992). Sedangkan menurut kamus Oxford, WHC untuk
protein adalah kemampuan protein untuk mengikat sejumlah air dengan ikatan hydrogen
pada residu asam amino polar melalui u=interaksi elektrostatis dengan muatan asam amino
sehingga, sifat water holding capacity ini sangat penting untuk pembentukan gel dan emulsi
(Fisher 2009 dalam Santana, 2012).
Pada kelompok B3 dan B4 yang juga menggunakan sukrosa 5% dan garam 2,5%, nilai
WHC nya lebih besar dari kelompok B5. Adanya perbedaan hasil, disebabkan oleh
penggunaan polifosfat yang berbeda. Pada kelompok B3, jumlah polifosfat yang digunakan
lebih sedikit yaitu 0,3% sehingga kinerja dalam mempertahankan kadar air maupun kualitas
daging tidak sebaik kelompok 5 yang menggunakan polifosfat sebanyak 0,5%. Hal ini
didukung oleh Lee (1984) yang mengemukakan bahwa salah satu mutu surimi ditentukan
oleh kadar airnya oleh sebab itu untuk mempertahankannya diupayakan dengan
penggunaan polifosfat yang merupakan bahan tambahan pengawet untuk mencegah
kerusakan bahan pangan serta dapat meningkatkan daya mengikat air surimi.
Trout dan Schmindt (1984) mengemukakan bahwa makin tinggi persentase penambahan
polifosfat maka kadar air semakin dapat dipertahankan. Dengan demikian, mutu surimi
juga semakin baik. Banyak sedikitnya air yang hilang dipengaruhi oleh pengikatan air
dengan protein, penambahan polifosfat sampai 0,5% akan meningkatkan kekuatan ion,
10
dengan peningkatan kekuatan ion akan meningkatkan daya mengikat air sehingga kadar air
pada surimi dapat dipertahankan.
Menurut Pearson dan Tauber (1984), alkali fosfat dapat meningkatkan emulsi lemak pada
protein myofibril sehingga polifosfat cepat larut dan memecah aktomiosin menjadi aktin
dan miosin. Dengan adanya pemecahan aktomiosin menjadi aktin myosin, maka struktur
daging menjadi lebih lunak. Penggunaan polifosfat aman untuk ditambahkan pada produk
pangan sebagai pengenyal dalam batas penggunaan tertentu. Polifosfat merupakan bahan
tambahan makanan, penambahan polifosfat untuk memperbaiki daya ikat air, meningkatkan
pH, memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan, mencegah
denaturasi protein dan sebagai pengawet (Wilson, 1981)
Penggunaan kadar garam sebanyak 2,5% sesuai dengan pendapat Okada (1985), yaitu
kadar garam minimum untuk membentuk elastisitas/kekenyalan yang baik adalah 2%. Tan
et al., 1988; Shimizu et al. (1994) menambahkan bahwa penggunaan garam pada proses
pembentukan gel adalah sebagai bahan pelarut miofibril. Jika konsentrasi garam yang
ditambahkan kurang dari 2% maka miofibril tidak dapat terlarut, sedangkan jika
konsentrasinya lebih dari 12% maka miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out.
Konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-
3%, karena jika lebih tinggi akan memberikan rasa yang terlalu asin.
Surimi dapat dikatakan bermutu baik apabila memiliki ciri-ciri seperti warna yang putih,
flavor yang baik, dan elastisitasnya tinggi (Koswara et al., 2001). Kriteria yang paling
penting dalam menentukan mutu surimi adalah kekenyalan atau elastisitas, oleh karena itu
pada pembuatan surimi dilakukan pencuician daging secara berulang-ulang dengan tujuan
meningkatkan kadar protein miofibrilar yang akan mengakibatkan peningkatan kekenyalan
produk (Lee, 1984). Flavor adalah suatu atribut dari makanan atau minuman yang
11
dihasilkan dari rangsangan terhadap indra pada saat makanan masuk ke dalam saluran
makanan dan pernafasan, terutama untuk atribut rasa dan bau (Winarno, 2002).
Hasil olahan ikan seperti surimi cenderung memiliki aroma yang amis. Oleh sebab itu
diupayakan untuk menghilangkan fishy odor dengan proses leaching. Leaching adalah
proses pencucian daging ikan yang sudah dipisahkan dari tulang-tulangnya, digiling secara
mekanis dan dicuci beberapa kali dengan air sehingga bau dan warna hilang. Reaksi
pembentukan flavor pada daging tersebut disebabkan oleh beberapa reaksi yaitu:
1. Reaksi maillard dan degradasi strecker
2. Degradasi lemak
3. Degradasi tiamin
(shahidi, 1998)
Dalam pembuatan surimi, ditambahkan senyawa antidenaturasi yaitu polifosfat supaya
mencegah rusaknya protein selama pembekuan atau kerusakan struktur protein selama
penyimpanan. Protein pada ikan yaitu protein myofibrilnya dapat terdenaturasi dan dapat
kehilangan 80% water holding capacity dalam wkatu 5 hari pada keadaan temperature
refrigerator yang normal (Calder, 2003). Sehingga, untuk mencegah denaturasi protein
digunakan pula polifosfat. Dalam praktikum ini, konsentrasi polifosfat yang digunakan
adalah 0,1% untuk kelompok 1, 0,3% untuk kelompok 2 dan 3 serta 0,5% untuk kelompok
4 dan 5. Banyaknya jumlah polifosfat yang ditambahkan pada surimi sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan FDA (Food and Drug Administration) dimana penggunaan alkali
fosfat (termasuk polifosfat) adalah 0,5 % pada produk. Penggunaan melebihi dosis 0,5%
akan menurunkan penampilan produk, yaitu terlalu kenyal seperti karet dan terasa pahit.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hardness, surimi yang memiliki kekerasan paling
tinggi adalah kelompok B2 yaitu sebesar 292,02 gf yang menggunakan polifosfat sebanyak
12
0,3% sementara, surimi yang memiliki kekerasan paling rendah (112,70 gf) adalah
kelompok B3 yang juga menggunakan polifosfat sebanyak 0,3%. Menurut Toyoda et al.
(1992), polyphosphate akan menyebakan surimi memiliki tekstur lembut dan tidak keras.
Selain itu, dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee,
1984), menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, khususnya sifat
elastisitas dan kelembutannya (Peranginangin et al., 1999).
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan jika jumlah polyphosphate yang ditambahkan
semakin banyak maka hardness yang dihasilkan akan semakin rendah. Namun, hasil yang
didapat pada praktikum ini kurang sesuai dengan teori tersebut karena seharusnya,
kekerasan paling tinggi dimiliki oleh surimi yang ditambahkan polifosfat 0,1%. Adanya
ketidaksesuaian hasil dapat disebabkan oleh ketidaktepatan dalam menimbang bahan dan
perhitungan serta proses pencucian yang kurang sempurna sehingga, peningkatan
konsentrasi protein myofibril tidak optimal dan menyebabkan produk menjadi lebih keras.
Hal ini dikemukakan oleh Ensoy et.al. (2004), bahwa pencucian dapat menurunkan
kandungan protein, lemak, kolesterol dan kandungan abu sementara kandungan kolagen
dan protein myofibril meningkat.
Sedangkan dari segi sensori, surimi yang ditambah polifosfat sebanyak 0,1% dan 0,3%
memiliki kekenyalan yang lebih rendah daripada surimi yang diberi polifosfat sebanyak
0,5%. Namun, hal ini tidak terjadi pada surimi kelompok B5 yang tidak kenyal. Hal ini
kurang sesuai dengan teori dimana semakin tinggi penggunaan polifosfat pada suatu produk
dalam batas tertentu maka akan semakin kenyal produk tersebut. Wilson (1981)
mengemukakan bahwa polifosfat merupakan bahan tambahan makanan, penambahan
polifosfat untuk memperbaiki daya ikat air, meningkatkan pH, memberikan sifat pasta yang
lebih lembut pada produk-produk olahan, mencegah denaturasi protein, sebagai pengawet
serta mempertahankan sifat gel.
13
Dari segi aroma, surimi yang ditambah dengan polifosfat 0,5% tidak amis sementara surimi
yang ditambah dengan polifosfat 0,1% maupun 0,3% masih amis kecuali kelompok B3. Hal
ini kurang sesuai dengan pendapat Shand, et al. (1993) yang mengatakan polifosfat mampu
menambah citarasa, memperbaiki tekstur, mencegah terjadinya rancidity (ketengikan), dan
meningkatkan kualitas produk akhir dengan mengikat zat nutrisi yang terlarut dalam larutan
garam seperti protein, vitamin dan mineral. Nasution et al. (2011) menyatakan bahwa
produk menghasilkan aroma yang dapat diterima karena proses pencucian sudah dapat
menghilangkan bau atau aroma yang tidak diinginkan dari produk berbasis surimi.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa proses pembuatan surimi pada praktikum ini telah sesuai
sehingga bau amis dapat dihilangkan selama pencucian.
4. KESIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi produk surimi adalah proses pencucian, tingkat
kesegaran ikan, jenis ikan, kandungan lemak pada ikan, pH, konsentrasi senyawa
cryoprotectan serta konsentrasi senyawa fosfat yang digunakan
Pencucian dengan air es bertujuan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein
akibat pembekuan dan timbulnya bakteri.
Pencucian dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan bau, lemak, darah,
dan kotoran lainnya serta meningkatkan konsentrasi protein myofibrillar.
Semakin besar jumlah sukrosa yang ditambahkan maka makin besar kadar air yang
masih tertahan.
Semakin tinggi nilai WHC maka akan semakin tinggi kemampuan surimi dalam
mengikat air.
Semakin tinggi persentase penambahan polifosfat maka kadar air semakin dapat
dipertahankan.
Semarang, 28 September 2015
Asisten Praktikum,
Yusdhika Bayu S.
Anggit Mardiana Permatasari
13.70.0168
Kelompok B2
14
5. DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.
Agustini, et al,.2008. Evaluation on Utilization of Small Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the Quality of Surimi. Diponegoro University. Semarang.
Anggawati. A. M. (2002). Kumpulan Hasil-Hasil Penilitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. (1987). Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta.
Buckle K.A., Edward R.A., Fleet G.H., Wootton N. (1987). Ilmu Pangan. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Calder, Beth Louise. 2003. The Use of Polyphosphates to Maintain Yield and Quality of Whole Cooked, Cryogenically Frozen Lobster (Homarus americanus) and the Use of Sorbitol and Tocopherol to Maintain Quality of Whole Cooked, Cryogenically Frozen Crab (Cancer irroratus). J Food Process Technol 4:5
Endang, Heruwati; Jovita Murtini; Siti Rahayu; Memen Suherman.2010. Pengaruh jenis Ikan dan Zat Penambah Terhadap elastisitas Surimi Ikan air Tawar. Website : www.pustaka.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 26 September 2015.
Ensoy, Umran; Nuray Kolsarıcı; Kezban Candog˘an. 2004. Quality characteristics of spent layer surimi during frozen storage. Eur Food res Technol 219:14-19
Fabiola, et al,. 2013. Optimization of the Surimi Production from Mechanically Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface Methodology. Food Quality. Sao Paulo.
Hudson, B.J.F. (1992). Biochemistry of Food Proteins. Elsevier Applied Sci., London. 419 pp.
Jafapour, et al,. 2012. A Comparatif Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus corpio) Surimi Gel. J Food Process Technology 3:11.Iran.
15
16
Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.
Koswara, S. (2008). Surimi Suatu Alternatif Pengolahan Ikan.http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/SUMIRI,%20SUATU%20ALTE RNATIF %20PENGOLAHAN%20IKAN.pdf . Diakses pada tanggal 26 September 2015.
Lan,H. Y., Mu W., Nikolic-Paterson D.J., and Atkins R.C. (1995). A Novel, Simple, Reliable, and Sensitive Method for Multiple Immunoenzyme Staining: Use of Microwave Oven Heating to Block Antibody Cross-Reactivity and Retrieve Antigens. Journal Histochem Cytochem 43:97–10.
Lanier, T.C. and C.M. Lee. (1992). Surimi Technology. Marcell Decker, Inc. New York.
Lee, Chong M., 1984. Surimi Process technology Food Techn. Nov
Mallet, C.P. (1993). Frozen Food Technology, Birds Eye Wall’s Ltd. Surrey.Matsumoto J.J., Noguchi S.F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. Di dalam:
Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker.
Nasution, Z., Nur Atiqah A., Fisal A., and Wan Hafiz W.Z.S. (2011). Potential Utilization of African Catfish (Clarias gariepinus) in Production of Surimi-Based Products. Department of Food Science, Faculty of Agrotechnology and Food Science, Universtity Malaysia Terengganu
Okada, M. (1992). History of Surimi Technology in Japan. Di dalam Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker Inc., New York. p 3-21.
Okada, Minoro. 1985. Ingredients on gel Texture. National Fisheries Institute, Washington.Pearson, A.M. dan E.W. Tauber. (1984). Processed Meat. The Avi Publishing Company
Inc., Westport, Connecticut.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut.
Pszczola DE. 2003. Sweetener and Sweetener Enhances the Equation. J Food Technol 57:11
Santana, P.; Huda, N. dan Yang, T. A. 2012. Technology for production of surimi powder and potential of applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323
Sarker, Md. Zaidul Islam; M. Abd Elgadir; Sahena Ferdosh; Md. Jahurul Haque Akanda; Mohd Yazid Abdul Manap and Takahiro Noda. 2012. Effect of Some Biopolymers on the Rheological Behavior of Surimi Gel. Journal of Molecules , 17, 5733-5744
17
Shand, P.J., J.N. Sofos dan G.R. Schmidt. 1993. Properties of Algin/Calsium and Salt/Phosphate Strutured Beef Rolls with Added Gums. J. Food Sci. 58 (6) : 1224-1230.
Shekarabi, et al,. 2015. Effect of Heat Treatment on the Properties of Surimi Gel from Black Mouth Croaker (Atrobucca nibe). International Food Research Jurnal 22(1):363-371. Iran.
Shimazamaninejad, et al,. 2013. Effect of Medium Temperature Setting Gelling Characteristics of Surimi from Farmed Common Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus,1758).Golestan.Iran
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.Marine Fisheries.Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.
Trout G, Schmidt. 1984. Effect phosphates tipe and concentration, salt level and method of preparation on binding inf restructured beef rolls. J Food sci 49:687-694.
Wilson GD. 1981. Meat and Meat Products : Factors Affectin Quality Control Applied Science Publisher. London and New Jersey
Winarno FG.2002. Flavor bagi Industri Pangan. M-brio Press. Bogor
Zamri, Amir Izzwan and S.I. Etty. (2012). Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes stellatus) Surimi. UMT 11th International
Annual Symposium on Sustainability Science and Management. Terengganu, Malaysia.
6. LAMPIRAN
a. Perhitungan
Rumus perhitungan WHC (mg H2O):
Perhitungan WHC Kelompok B1
18
19
Perhitungan WHC Kelompok B2
Perhitungan WHC Kelompok B3
20
Perhitungan WHC Kelompok B4
21
Perhitungan WHC Kelompok B5
b. Laporan Sementara
c. Diagram Alir
d. Abstrak Jurnal