praktisi transcendental meditation masuk kristen - heinrich mueller
TRANSCRIPT
JANUARY 13, 2008
Praktisi Transcendental meditation Masuk Kristen (Heinrich Mueller)
Kisah pengalamanku mengenal Yesus Kristus
Kesaksian Heinrich Mueller dari Jerman
Kepada Tuhan kita Yesus Kristus saya sangat berterima kasih karena saya telah
menerima KASIH anugerahNya yang amat besar dimana saya bisa datang kepadaNya
dan hingga saat ini lewat Pengajaran Mempelai boleh mengikuti jejakNya. Saya
berbahagia menyaksikan kisah pengalaman sebenarnya "bagaimana saya mengenal
Tuhan"
Juni 1952 saya dilahirkan sebagai putera sulung (juga putera tunggal) dari keluarga
yang tidak percaya Tuhan. Opa dan ayah saya selain pejabat-pejabat politikus, juga
atheis, sedangkan ibu saya hanya kristen (Protestan) KTP saja. Orang tua saya
mengunjungi gereja hanya pada hari waktu pernikahan mereka diteguhkan di gereja.
November 1956 lahir adik saya (perempuan). Berhubung premature birth, ia sakit berat,
sehingga mulai sejak bayi sampai meninggal (usia 23 tahun) ia cacat (tubuh dan otak
lumpuh dan tidak bisa bicara). Keadaan itu sangat membebankan orang tua saya,
dengan jerih payah mereka membesarkan dan melayani adik saya. Beban tersebut.
Membuat kepahitan hati mereka kepada Tuhan semakin besar dan selain itu juga
menekan batin saya, sebab teman2 (semasa kanak-kanak) mengejek saya dan
mentertawakan adik saya, sehingga sewaktu kecil saya kehilangan rasa harga diri dan
merasa minder.
Pengalaman yang pahit itu adalah jamahan pertama dari Tuhan mengajarku untuk
rendah hati. Waktu usia kira-kira 11 tahun saya sering bertanya pada diriku, untuk apa
manusia ini diciptakan? Pertanyaan ini terus menyibukkan pikiranku, saya ingin tahu
makna dari kehidupan. Semasa remaja saya mencari the truth (KEBENARAN) secara
intensif dan mencoba menemukan jawabannya di Ideology of Socialism, sehingga
dengan demikian saya (usia 16–20 tahun) terjun dibidang politik, bahkan aktif, ayah
saya berkenan dan bangga dengan aktivitasi itu.
Tapi kemudian ketika melihat betapa kotornya politik itu (korupsi dan ambisi), maka
saya tinggalkan aktivitasi politik dan usaha mencari Kebenaran di Psychology dan
Psychoanalysis (usia 20–22 tahun). Saya membaca bermacam-macam buku serta
mencoba self-analysis karena self-knowledge itu terus mengajukan pertanyaan pada
diriku, siapa sebenarnya diriku ini dan apa arti kehidupan ? Saya tidak menemukan
jawabannya, bahkan sebaliknya, para ilmu pengetahuan tersebut semakin mengacaukan
jiwa dan rohku sehingga saya memperoleh depresi.
Berhubung semakin hari semakin depresif, maka saya mencoba mempelajari Mythology
of Hinduism dan beberapa waktu kemudian mempratekkan transcendental meditation.
Kemudian (mulai usia 23 tahun) juga mempelajari Zen-Buddhism, saya tertarik akan
filosof i tersebut dan membaca para Canon dari Zen-Buddhism. Bagavagitha mendidik
saya yoga dan banyak meditasi. Lewat ilmu f ilsafat tersebut (yang berasal dari Asia),
maka minat saya kemudian menjurus untuk mengenal cara hidup dan akhlak istiadat -
nya berbagai bangsa di negara-negara berkembang. Disamping saya mempelajari
sejarah dan kebudayaan China (sebab terkesan akan filosofi-nya Konghucu), saya ikut
international pen pal club dan berkoresponden dengan banyak org diseluruh dunia
(khususnya Asia) dan salah satu pen friend saya adalah isteri saya sekarang ini.
Juli 1976 saya berminat mengunjungi Borobudur (maksudnya untuk meditasi bersama-
sama dengan penganut2 Zen-Buddhism lainnya). Ke Indonesia itu bagiku adalah
pertama kalinya berlibur overseas (padahal sebetulnya saya amat takut naik pesawat).
Ketika saya mengunjungi Surabaya dan berkenalan dengan Lanny, hilanglah minat saya
pergi ke Borobudur. Dia mengundang saya untuk mengunjungi kebaktian di gerejanya,
saya ikuti ajakannya, sebab terus terang saya ingin berada didekat sisinya, tetapi
sebetulnya dalam hati saya berkata, apa yang saya bisa terima dari gereja di negara
berkembang, apalagi negara Islam, sedangkan saya kan berasal dari negara asli Kristen
(member of the Reformed Church). Yah waktu itu pemikiranku sombong....
Tapi waktu pertama kali masuk gereja Lemah Putro (setelah bertahun-tahun tidak
mengunjungi gereja berhubung kecewa dengan gereja-gereja di Jerman), saya merasa
bahwa kebaktian tersebut amat berbeda dengan kebaktian-kebaktian yang saya
alami/ikuti di gereja-gereja di Jerman. Terutama saya menjadi amat terkesan akan
FIRMAN yang dikhotbahkan oleh Pastor In Juwono, alm. (diterjemahkan oleh Lanny).
Pada hari minggu itu, selesainya Firman disampaikan, ada kesempatan untuk ber-damai
satu dengan yang lain. Memandang "adegan perdamaian" itu (banyak yang menangis
tersedu-sedu), saya merasa heran tetapi sekaligus terkesan dan kagum, karena damai
itulah yang sebenarnya saya cari ber-tahun-tahun.
Selama 6 minggu di Surabaya saya mengikuti kebaktian-kebaktian dan membuat
appointments dengan Pastor In Juwono dan dalam percakapan-percakapan itu (Pastor
Harry Lumare sebagai penterjemah), saya berusaha mengemukakan pengetahuan-
pengetahuan philosophy, tetapi herannya saya tidak menemukan argumen untuk bisa
mengalahkan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Pastor In Ju-wono.
Kemudian saya juga utarakan ingin menikahi Lanny dan beliau menasehatkan agar kami
berdoa apa itu kehendak Tuhan atau tidak. Agustus 1976 saya pulang Jerman dan
rencana kembali ke Surabaya Oktober 1977 untuk menikah. Selama perpisahan itu calon
isteri saya bergumul berdoa (Om Yo kemudian cerita bahwa beliau juga berdoa 3x
spesial/ khusus untuk rencana pernikahan kami itu), sedangkan saya di Jerman tetap
melanjutkan transcendental meditation tanpa setahu Lanny.
Oktober 1977 ketika tiba saatnya untuk ke Surabaya, saya tiba-tiba sakit keras, kulit
saya menjadi biru semua, sesak napas dan jantung rasa sakit. Saya tidak bisa makan
dan menjadi kurus dan depresif, sehingga rencana ke Surabaya untuk pernikahan
terpaksa ditunda. Semua dokter dan internist bingung sebab mereka tidak bisa
menemukan penyebab penyakitnya, saya menjadi putus asa. Dalam keadaan menderita
itu saya menjerit dan berkata "Tuhan, kalau memang Engkau benar-benar ada, tolong
saya, bila saya sehat kembali, saya akan mengiring Engkau".
Kemudian saya mencari Alkitab saya (hadiah dari gereja Protestan untuk hari
confirmation saya waktu usia 14 tahun) dan waktu spontan membukanya, saya
menemu- kan Yesaya 41: 10–14. Yang Tuhan sabdakan pada Yakub ini menghibur dan
menusuk hatiku, ayat-ayat itu suara Tuhan yang langsung ditujukan pada saya dan
selanjutnya waktu saya membaca Yesaya 43: 1–7 saya merasa benar-benar Tuhan
yang bersabda pada saya dan saat itu rasa sakit saya itu langsung berkurang banyak.
Tetapi waktu itu saya belum rela melepaskan transcendental meditation. Anehnya kalau
saya melakukan meditasi, rasa sakit dan depresif kambuh, tapi bila saya membaca
Alkitab dan berdoa, semuanya itu hilang. Kemudian saya sadar bahwa meditasi itu tidak
bisa menghibur dan menyembuhkan saya. Tapi karena masih kepala batu, maka saya
mencoba membuat compromise dengan Tuhan dan berdoa "Tuhan, kalau Pastor yang di
Surabaya itu (Om Juwono) bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya akan
ajukan padanya, maka saya berjanji akan melepaskan meditasi ini dan mengiring
Engkau!"
April 1978 saya ke Surabaya. Waktu bertemu dengan Pastor Juwono, saya mengajukan
banyak pertanyaan tentang problema/situasi kehidupan yang rumit dan juga tentang
beberapa ayat di Alkitab. Semua pertanyaan saya terjawab (Pastor H.Lumare sebagai
penterjemah) dan saya merasa jawaban-jawaban yang diberikan beliau bijaksana, tetapi
sangat berbeda dengan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pastor-Pastor
lainnya di Jerman. Itu sebabnya saya kemudian bertanya "Kalau saya menanyakan
tentang suatu ayat di Alkitab, mengapa pendapat dan keterangan dari para Pastor
(gembala-gembala sidang) kok berbeda satu dengan yang lain ? Pastor A menjelaskan
begini, Pastor B menerangkan begitu dan Pastor C berpendapat lain. Lalu siapa yang
saya bisa percaya ? Dan bagaimana saya bisa tahu bahwa penjelasan (misalnya) Pastor
B itulah yang benar ?"
Kemudian Pastor In Juwono menunjukkan II Petrus 1 : 20-21 pada saya serta berkata
"oleh sebab seluruh Alkitab dari Roh Suci, maka hanyalah hamba-hamba Tuhan yang
memiliki Roh Suci dan dipenuhkan olehNya yang mampu menjelaskan ayat -ayat di
Akitab yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sebab pembukaan Firman datang dari Roh
Suci". Waktu saya membaca ayat itu serta mendengar keterangan tersebut, maka hati
saya merasa puas. Oleh sebab semua pertanyaan saya dijawab oleh Tuhan lewat
hambaNya Rev. Juwono, maka saya mengambil keputusan menepati janjiku pada
Tuhan, yaitu mengiring Dia dan meninggalkan/melepaskan semua ilmu filsafat dan
meditasi.
Selain itu Pastor Juwono menjelaskan arti Baptisan Air, yang membuat saya sadar
bahwa baptisan air yang saya terima ketika saya masih bayi itu tidak sesuai dengan
Firman Tuhan. Tuhan memberikan saya pengertian bahwa "bersedia mengiring Dia"
berarti bersedia dibaptis seperti Yesus dibaptis. Pastor Juwono tetapi menganjurkan agar
saya jangan tergesa-gesa minta dibaptis melainkan terlebih dulu merenungkan arti
baptisan air tersebut.
Dua minggu kemudian saya menerima baptisan air. Firman Tuhan pada hari
pemberkatan nikah kami di Surabaya (di Gereja Johor 47) adalah Efesus 5 : 22 –30.
Pada saat-saat sebelum kami saling menukar cincin, pastor Juwono berkata "Cincin ini
tidak punya (tidak ada) permulaan dan akhir-nya, seperti halnya Kasih Tuhan. Kasih
Tuhan harus merupakan kasih kalian di kehidupan nikah, sebab di kehidupan nikah nanti
pasti kalian mengalami kesukaran dan problem. Dan bila pertengkaran terjadi, masing-
masing baca Efesus 5 yang tadi disampaikan, sembahyang dan masing-masing
menyadari dimana dan bagaimana posisi (peranan) suami dan isteri dihadapan Tuhan
supaya terjadi perdamaian. Perhatikan, Kasih Yesus Kristus harus menjadi pengemudi
kehidupan nikah".
Kata-kata itu sangat menusuk hatiku dan tertanam di hati saya dan benar-benar
menjadi pertolongan untuk kehidupan nikah kami, sebab pada tahun-tahun pertama
kehidupan nikah kami sering terjadi kesalahpahaman bahkan pertengkaran yang
disebabkan karena perbedaan kebudayaan dan mental. Tetapi nasehat-nasehat Tuhan
lewat Pastor Juwono selalu terngiang di telinga-hati kami, sehingga bila kesalahpahaman
dan pertengkaran terjadi, Firman Tuhan di Efesus 5 menyadarkan posisi kami masing-
masing dihadapan Tuhan.
Mei 1981 kami mengunjungi Bride Tidings International yang diselenggarakan di Jakarta,
Malang dan Surabaya. Kami menyaksikan mujizat-mujizat Tuhan lewat Pengajaran
Mempelai, yaitu kehidupan-kehidupan nikah yang sudah ber-tahun-tahun hancur
disatukan kembali. Mujizat-mujizat itu sangat menggugah hati kami berdua sehingga
nikah kami juga memperoleh koreksi-koreksi dan berkat-berkat.
Tujuh tahun kemudian, Oktober 1988 kami diundang oleh Pastor Juwono untuk
menghadiri BTFI di Surabaya (adalah pertemuan kami terakhir kalinya dengan Pastor In
Juwono). Saya masih ingat betul tema yang disampaikan adalah Wahyu 3 : 14 – 22.
Firman Tuhan amat menusuk hatiku, sebab keadaan sidang Laodikia itu tepat mengena
“situasi ke rohanian kami” di Jerman, yaitu suam. Tuhan menganjurkan pada saya untuk
membeli emas yang telah dimurnikan dalam api.
Nasehat ini terus terngiang di telinga-hatiku. Tujuh tahun kemudian, Juni 1995 ketika
kami sekeluarga mengunjungi Surabaya lagi (adalah pertama kalinya kami bertemu dan
berkenalan dengan Pastor Pong Dongalemba secara pribadi) saya menerima kepenuhan
Roh Kudus, saya memperoleh emas yang Tuhan anjurkan! Sejak itu terjadi revolusi
rohani besar dalam hidupku, saya menjadi ciptaan baru, Kasih Kristus mengubahkan
sifat tabiatku, perasaanku, yah seluruh kepribadianku... Bila saya membaca Akitab atau
mendengar khotbah, maka Tuhan lewat FirmanNya berbic ara padaku sehingga saya
mampu mengerti KehendakNya.
Dengan rasa syukur saya bisa menyaksikan betapa agung kasih Kristus lewat
Pengajaran Mempelai. Setiapkali kami mendengar/menerima Firman, nikah kami
semakin disucikan dan lebih disatukan. Kasih saya terhadap isteri saya semakin besar,
sebab saya alami dan rasakan Kasih Kristus sebagai Mempelai pria begitu besar
terhadap sidang mempelai-Nya. Dan kami sangat berterima kasih pada Tuhan bila kami
sampai hari ini tetap di bawah penggembalaan Firman Mempelai. Kami berdoa suatu waktu menjadi satu tubuh dengan Tuhan kita Yesus Kristus. Haleluyah!