presentasi kasus gagal jantung

75
RESPONSI SEORANG PEREMPUAN 70 TAHUN DENGAN RECENT INFARK ANTEROSEPTAL, MITRAL REGURGITASI, TRICUSPID REGURGITASI, DECOMPENSATED CORDIS NYHA IV, DAN PENYAKIT JANTUNG KORONER Disusun Oleh : Andriaz Kurniawan G0005051 Diah Wihdatul K. G0005082 Muhammad Yusuf Arrozhi G0006206 Tito Pradipta G0007231 Pembimbing : dr. Nugroho H.S, Sp.PD, Sp.JP

Upload: amirah-umar-abdat

Post on 09-Aug-2015

268 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

presentasi kasus gagal jantung

TRANSCRIPT

Page 1: presentasi kasus gagal jantung

RESPONSI

SEORANG PEREMPUAN 70 TAHUN DENGAN RECENT INFARK

ANTEROSEPTAL, MITRAL REGURGITASI, TRICUSPID

REGURGITASI, DECOMPENSATED CORDIS NYHA IV, DAN

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun Oleh :

Andriaz Kurniawan G0005051

Diah Wihdatul K. G0005082

Muhammad Yusuf Arrozhi G0006206

Tito Pradipta G0007231

Pembimbing :

dr. Nugroho H.S, Sp.PD, Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

Page 2: presentasi kasus gagal jantung

S U R A K A R T A

2013

BAB I

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS

Nama : Ny. K

Umur : 70 th

Jeniskelamin : perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Krapyak tengger 03/01 wonogiri

No. RM : 01172737

Agama : Islam

Masuk RS : 16 januari 2013

Pemeriksaan : 18 januari 2013

B. DATA DASAR

ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis, tanggal 18 januari2013)

1. Keluhan Utama

Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien

sejak 2 hari SMRS, sesak nafas tidak berkurang walaupun pasien sudah

beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah duduk.

Pasien juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak

nafas. Menurut keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivita.

6 bulan sebelumnya pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas

yang hilang timbul, pasien juga sudah merasakan sesak bila berjalan

kurang dari 10 meter. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada uluh hati

yang menjalar ke punggung, nyeri uluhati tersebut hilang timbul dan

1

Page 3: presentasi kasus gagal jantung

timbul terutama saat sesak nafas, berdebar-debar (-), mual (+), muntah

(-), BAB (-), BAK lebih sedikit dibanding biasanya.

Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat

diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan

diri ke dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke

RSDM.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

RiwayatHipertensi : (+) tidak rutin kontrol dan tidak minum obat rutin.

Riwayat Asma : (-) disangkal

Riwayat Alergi : (-) disangkal

Riwayat DM : (-) disangkal

RiwayatMondok : (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

RiwayatHipertensi : (-) Disangkal

Riwayat Asma : (-) Disangkal

RiwayatAlergi : (-) Disangkal

Riwayat DM : (-) Disangkal

5. Riwayat Kebiasaan

Riwayat Merokok : disangkal

Riwayat Minumalkohol : disangkal

Riwayat Minum obat-obatan jamu : disangkal

6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasiena dalah seorang perempuan berusia 70 tahun sebagai ibu rumah

tangga, tinggal di rumah dan tidak bekerja.Pasien dirawat di RSDM

dengan fasilitas Jamkesmas.

7. Riwayat Gizi

Sebelum sakit, pasien makan teratur 3 kali sehari, sebanyak masing-

masing 1 piring nasi sayur dengan lauk tempe, tahu, kadang-kadang

daging atau ikan. Tetapi sejak pasien sakit nafsu makan berkurang,

porsinya menjadi ¼ - ½ dari sebelum sakit.

2

Page 4: presentasi kasus gagal jantung

C. ANAMNESA SISTEMIK

Keluhan utama : sesak nafas

Kulit : Sawomatang, kering (-), pucat (-), menebal

(-), gatal (-), luka (-), kuning (-).

Kepala :Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah

dicabut (-), rambut mudah rontok (-)

Mata : Pandangan kabur (-/-),pandangan dobel

(-/-), pandanganberputar-putar (-/-),

berkunang-kunang (-/-).

Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidungtersumbat (-),

gatal (-).

Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).

Mulut : Terasakering (-), bibirbiru (-), pucat (-),

sariawan (-), gusiberdarah (-), gigiberlubang

(-), bibirpecah-pecah (-), luka pada sudut

bibir (-).

Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).

Sistem Respirasi :Sesak nafas (+), batuk (-),dahak (-), mengi

(-).

Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (+), terasa tertekan (-), rasa

berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas

(+)

Sistem Gastrointestinal : Mual (+),muntah (-),nafsumakanmenurun

(-), penurunan BB (-), BAB (+) normal,

perutsebah (-), nyeri ulu hati (+), mbeseseg

(+), kembung (-), tinja warna kuning.

3

Page 5: presentasi kasus gagal jantung

Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-),

nanah (-), anyang-anyangan(-), sering

menahan kencing (-), BAK warna seperti

teh(-).

Sistem Muskuloskeletal :Lemas (-),nyeriotot (-) kedua kaki,nyeri

sendi (-), bengkaksendi (-).

Ekstremitas :Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor

(-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari

dingin (-).

Bawah Kanan/Kiri:Luka (-), nyeri (-/-),

tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-/-),

ujung jari dingin (-).

Neuropsikiatri :Kejang (-), emosi tidak stabil (-),

kesemutan(-), lumpuh (-), gelisah (-),

menggigau(-).

D. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaanfisikdilakukantanggal18 Januari 2013

Keadaanumun : sakit sedang, compos mentis, gizi kesan kurang

Status gizi : TB= 148cm

BB= 38 kg

BMI=17,35

Kesan: gizikurang

Vital Sign :Tensi : 130/90 mmHg

Nadi : 88x/menit

Heart rate : 88x/menit

Respiratory rate : 28x/menit

Temperature : 36,7oC

Kulit : Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi

(-), spider nevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi

(-),turgor baik

4

Page 6: presentasi kasus gagal jantung

Kepala : Bentuk mesocephal, luka (-), rambut uban (+), tidak mudah

rontok, sukar dicabut, turgor kulit dahi baik, atrofi otot (-).

Mata : Conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga : Bentuk normal, sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-).

Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-),

epistaksis (-/-).

Mulut : Bibir kering (-), fisura pada bibir (-), sianosis (-), stomatitis (-),

mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-), papil lidah

atrofi (-), lidah tremor (-), gigi karies (-), deviasi mulut dan lidah (-).

Tenggorokan : Tonsil hipertrofi (-), faring hiperemis (-).

Leher : JVP ≠ meningkat, pembesaranlimfonodi cervical(-), leherkaku(-).

Thorax : Bentuknormochest, simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi

(-), pernafasanthorakoabdominal, selaigamelebar(-), pembesaran

KGB axilla (-/-).

Cor : I: ictus cordis tidak tampak

P: ictus cordis kuat angkat di SIC VIlinea axilaris anterior

P: batas jantung kesar melebar ke caudolateral

A: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising pansistolik di left

lateral sternal border menjalar ke apex.

Paru : Depan

Inspeksi

Statis: normochest, simetris, sela iga tidak melebar,

retraksi (-)

Dinamis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-),

pergerakan paru simetris

Palpasi

Statis: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak

ada yang tertinggal

Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yng

tertinggal, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

5

Page 7: presentasi kasus gagal jantung

Kanan : sonor, redup relatif pada batas paru hepar setinggi

SIC IV linea midclavicularis dextra, redup absolut pada batas

paru hepar setinggi SIC V linea midclavicularis dextra

Kiri : sonor di seluruh lapang paru kiri

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah halus

(+/+)

Abdomen

Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi : peristaltik usus (+) normal

Perkusi : timpani, pekak beralih (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, konsistensi

kenyal, permukaan licin, tepi tumpul, hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas :

Atas : pitting edem (-/-), akral dingin, (-/-) luka (-/-), clubbing

finger (-/-), spoon nail (-/-)

Bawah : pitting edem (-/-), akral dingin (-/-) , luka (-/-),

clubbing finger (-/-), spoon nail (-/-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

HEMATOLOG

I

RUTIN

16/1/201

3

SATUA

N

RUJUKA

N

Hb 13,3 g/dl 12.3 - 15.3

HCT 40 35-47

AL 10,3 103/l 4.0 – 11.3

AT 209 103/l 150 – 450

AE 4,56 106/l 4.1 -5.1

6

Page 8: presentasi kasus gagal jantung

KIMIA KLINIK

PT 15,3 Detik 10-15

APTT 27,0 Detik 20-40

GDP 72 mg/dl 70-110

G2PP 104 Mg/dl 80-140

Kolest. Total 224 mg/dl 50 – 200

HDL-Kolesterol 34 mg/dl 37 – 92

LDL-Kolesterol 168 mg/dl 88 – 201

7

Page 9: presentasi kasus gagal jantung

Elektrokardiografi

16 Januari 2013

8

Page 10: presentasi kasus gagal jantung

9

Page 11: presentasi kasus gagal jantung

Intepretasi EKG (16 januari 2013)

Sinus ritme, heart rate 74 x/menit, normoaxis, infark anteroseptal

3. Radiologis 16 Januari 2013

Foto Thorax PA :

Cor : tampak CTR tak dapat dievaluasi karena tertutup perselubungan.

Pulmo : tampak infiltrat pada infra hiller dextra, corakan

bronkovaskuler meningkat pada paru sebelah kanan.

Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tumpul

Kesan : efusi pleura bilateral

10

Page 12: presentasi kasus gagal jantung

D. RESUME

Perempuan 70 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang

dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS, sesak nafas tidak berkurang walaupun

pasien sudah beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah

duduk. Pasien juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak

nafas. Menurut keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivitas. 6

bulan sebelumnya pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas yang

hilang timbul, pasien juga sudah merasakan sesak bila berjalan kurang dari 10

meter. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada uluh hati yang menjalar ke

punggung, nyeri uluhati tersebut hilang timbul dan timbul terutama saat sesak

nafas, berdebar-debar (-), mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK lebih sedikit

dibanding biasanya.

Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat

diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan diri ke

dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke RSDM.

Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien menderita hipertensi

namun tidak rutin control maupun minum obat.

Pada anamnesa sitemik didaptkan pasien sesak, sesak memberat jika

beraktivitas. Pada system gastrointestinal, pasien mengeluh nyeri ulu hati dan

mbeseseg.

Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak,

ictus cordis kuat angkat di SIC VI linea axillaris anterior, dengan batas

jantung kesan melebar ke caudolateral, bunyi jantung I-II intensitas normal,

regular, didapatkan bising pansistolik di left lateral sterna border menjalar ke

apex. Pada abdomen didapatkan nyeri abdomen epigastrium.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 13,3 g/dl,

AL 10,3.103/ul, AT 209. 103/ul, AE 4,56.106/ul, kolesterol total 224mg/dl,

HDL-kolesterol 34 mg/dl, LDL-kolesterol 168 mg/dl.

Berdasarkan EKG tanggal 16 Januari 2013 Sinus ritme, heart rate 74

x/menit, normoaxis, infark anteroseptal. Foto rontgen thorax PA, didapatkan

kesan efusi pleura bilateral

11

Page 13: presentasi kasus gagal jantung

E. DIAGNOSIS

Diagnosis anatomi : recent infark anteroseptal, mitral regurgitasi, tricuspid

regurgitasi

Diagnosis fungsional : decompensated NYHA IV

Diagnosis etiologi : Penyakit Jantung koroner

F. TERAPI

1. Non Medikamentosa

a. Bed resttotal

b. Oksigen 4lt/ menit

2. Medikamentosa

a. Infus RL 30 cc/jam

b. Inj Furosemid 20 mg/8 jam

c. Inj Ranitidine 50 mg/12 jam

d. Inj ketorolac 30 mg/8 jam

e. ISDN 3x80 mg

f. Aspilet 1x80 mg

g. Spironolactone 1x25 mg

h. Alprazolam 0,5 mg 0-0-1

G. PLANNING

1. Cek lab melengkapi

2. Monitoring KU/VS

3. Monitoring EKG serial

4. Echokardiografi

H. PROGNOSA

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

12

Page 14: presentasi kasus gagal jantung

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Decompensatio Cordis

DEFINISI

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh

sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh

kelainan struktur atau fungsi jantung (Price, 2006).

EPIDEMIOLOGI

Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada

usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal

jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki, 50% dari

pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan

dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun

pertama (Price, 2006).

ETIOLOGI

Penyebab dari gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan

fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati,

penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung congenital) dan keadaan yang

membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati atau penyakit

pericardial). Factor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam,

ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut

(mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau

demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif

(Sudoyo, 2007).

13

Page 15: presentasi kasus gagal jantung

MANIFESTASI KLINIS

Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal

jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal jantung

kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian

tersebut.

Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal

paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi

derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes, takikardia, pulsus alternans, ronkhi

dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver

engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan

hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan,

murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat,

bunyi P2 mengeras, ascite, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali

dan edema putting. Gagal jantung kongestif terjadi manifetasi gabungan gagal

jantung kanan dan kiri (Price, 2006).

New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungional dalam 4

kelas:

Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas

sehari-hari tanpa keluhan

Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan

harus tirah baring. (Sudoyo, 2007).

Diagnosis gagal jantung kongestif (Criteria Framingham)

Criteria Mayor:

1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea

2. Peningkatan tekanan vena jugularis

3. Ronkhi basah tidak nyaring

4. Kardiomegali

14

Page 16: presentasi kasus gagal jantung

5. Edema paru akut

6. Irama derap S3

7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O

8. Refluks hepatojugular

Criteria minor

1. Edema pergelangan kaki

2. Betuk malam hari

3. Dyspneu d’eefort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum

7. Takikardi (>120x menit)

Criteria mayor atau minor

Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari setelah terapi

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria

minor harus ada saat bersamaan (Sudoyo, 2007).

Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang

berlebihan dalam ruang interstitial paru dan alveolus paru. Jika edema timbul akut

dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. Edema paru dapat

terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatika dalam kapiler paru, penurunan

tekanan osmotic koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler.

Dinding kapiler yang rusak dapat disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang

berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia atau karena gangguan local proses

oksigenai. Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat

penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi katup mitral).

Jika terjadi gagal jantung kiri dan jantung kanan terus memompakan darah maka

tekanan kapiler paru akan meningkat sampai terjadi edema paru (Price, 2006)

Pembentukan edema paru dapat terjadi dalam dua stadium:

1. Edema interstitial yang ditandai pelebaran ruang perivaskuler dan ruang

peribronkial serta peningkatan aliran getah bening

15

Page 17: presentasi kasus gagal jantung

2. Edema alveolar terjadi sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam alveoli.

Plasma darah mengalir lebih cepat ke dalam alveoli daripada kemampuan

pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma ini akan mengganggu

difusi O2, sehingga hipokssia jaringan yang diakibatkannya menambah

kecenderungan terjadinya edema. Asfiksia dapat terjadi bila tidak segera diambil

tindakan untuk menhilangkan edema paru. Pengobatan darurat pada edema paru

akut berupa tindakan-tindakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik paru, antara

lain dengan menempatkan pasien dalam posisi Fowler dengan kaki menggantung;

torniket yang berpindah-pindah; atau flebotomi (pembuangan darah sebanyak

kira-kira 0,5 L). tindakan lain adalah dengan pemberian diuretic, O2 dan digitalis

untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium (Price, 2006).

Jika terjadi kongesti paru paif kronik, mungkin akan timbul perubahan structural

paru (misalnya, fibrosis paru). Perubahan-perubahan ini memungkinkan paru

berfungsi dalam keadaan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik untuk sementara

namun tanpa edema paru. Akan tetapi, keseimbangan ini tidak pasti dan pasien

mungkin mengalami serangan dispneu pada waktu malam hari akibat peningkatan

tekanan hidrostatik paru yang timbul karena posisi tubuh horizontal (Price, 2006)

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis gagal jantung antara lain:

1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat

misalnya ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)

2. Penyakit Ginjal: gagal ginjal akut atau kronik, sindrom nefrotik, diabetic

nefropati

3. Penyakit Hati: sirosis hepatic

4. Sindroma hiperventilasi: psikogenik atau penyakit ansietas berat (Sudoyo,

2007)

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan

pemeriksaan berikut ini:

16

Page 18: presentasi kasus gagal jantung

1. EKG

Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal

dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting

dalam menentukan irama jantung

2. Foto Toraks

Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi

ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.

Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi

vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran

jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR

(cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung.

CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter

transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan

Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai

60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar

(horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka,

2008).

CTR = (a+b)

(c1+c2)

Keterangan:

Garis a: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh atrium kordis dekstra sampai ke

Linea mediana

Garis b: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh ventrikel kordis sinstra sampai

ke linea mediana

Garis c: jarak dinding kanan-dinding kiri melalui sinus kardiofrenik.

Normal = 48 – 50% (Malueka, 2008).

17

Page 19: presentasi kasus gagal jantung

GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KIRI

Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru

1. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang

lurus mendatar ke lateral

2. Batas hilus pulmo terlihat kabur

3. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal

4. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan

alveolar.

Edema interstitial: edema ini menunjukkan septal line yang dikenal sebagai

Kerley’s line, ada 4 jenis yaitu:

a. Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju

ke atas dan perifer

b. Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding

pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat

diatas sinus costophrenicus

Garis ini adalah yang paling mudah ditemukan di gagal jantung

c. Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobu inferior. Perlu pengalaman

untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah.

d. Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak

pada foto lateral (Malueka, 2008).

Edema alveolar: terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus

sampai ke perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly

appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern. Batas kedua hilus menjadi

kabur (Malueka, 2008).

GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KANAN

Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:

18

Page 20: presentasi kasus gagal jantung

• Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan

sampai ke atas

• Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm

• Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral

• Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor,

bentuknya oval atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut

menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip

tumor paru.

• Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial (Malueka, 2008).

3. Hematolosi dan biokimia (pemeriksaan laboratorium)

Peningkatan hematokrit memnunjukkan bahwa sesak nafas mungkin disebabkan

oleh penyakit paru, penyakit jantung congenital atau malformasi arteri vena.

Kadar ureum dan kreatinin penting untuk diagnosis differential penyakit ginjal.

Kadar kalium dan natrium merupakan predictor mortalitas

4. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai

fungsi sistolik dan diastolic ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi

dan abnormalitas gerakan

5. Tes fungsi paru

6. Uji latih beban jantung

7. Kardiologi nuklir

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan gagal jantung pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal berikut

ini:

1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan pemakaian

oksigen dengan pembatasan aktivitas

2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung

3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator

(Sudoyo, 2007).

19

Page 21: presentasi kasus gagal jantung

B. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit

jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan

tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis,

emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab

terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas

penyebab tersebut (Majid, 2007).

Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas

pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan

yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam

tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling

sering adalah pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri

renalis dan bifurcatio carotis.

PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS (Coughlin, 2006)

1. Pembentukan Aterosklerosis

Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya

aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response

to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai

empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A: Endothelial injure

b. Stage B: Fatty Streak Formation

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

d. Stage D: Unstable Plaque Formation

MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen

arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena

itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut

koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).

20

Page 22: presentasi kasus gagal jantung

1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar,

mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang

dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom

a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus

1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner

b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial

1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung

2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit)

angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung

FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER (Setyani, 2009;

Bahri,2005)

1. Lipid

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk

perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol

ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein

densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein

densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang

rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara

kadar HDL dan insiden PJK.

Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol

yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160 mg/dL) risiko

terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan pravastatin dapat

menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %, pasien yang

mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian PJK sebesar

24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.

Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam lemak

omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid dan

meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek

21

Page 23: presentasi kasus gagal jantung

protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai

anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.

2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit jantung,

termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat untuk

terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko

terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung

sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24

% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan

kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada

populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-

laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian

adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja, terutama pada

remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok

(perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan

dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PJK akibat

merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok

atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi

daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya :

a. Timbulnya aterosklerosis.

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme

arteri koroner)

c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung.

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.

f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.

g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun

berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga

merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran

22

Page 24: presentasi kasus gagal jantung

pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan kesegaran

jasmani.

Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya

dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang

kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan

membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada

golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan

dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok

merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.

3. Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK,

hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan

jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila

setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden

PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,

memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan

dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan

menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,

pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih

kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang

sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada

system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan

gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya

meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini

dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan

ketidaknormalan metabolisme otot jantung.

Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga empat kali

lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat

23

Page 25: presentasi kasus gagal jantung

keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat

mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun sebelumnya. Sumber lain

mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%)

untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak diabet.

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK, juga

berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi

sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan

peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG)

jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic

memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca

angioplasty koroner.

5. Riwayat Keluarga

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis

PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,

penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner kadang-

kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang

berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik. Riwayat keluarga PJK

pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70

tahun merupakan faktor

risiko independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali

lebih besar dari pada populasi control. Agregasi PJK keluarga

menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa

bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK

pada keluarga dekat. The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan

riwayat keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk

menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga

menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK

(RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang tidakmempunyai

riwayat PJK.

6. Hipertensi Sistemik

24

Page 26: presentasi kasus gagal jantung

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti dengan judul

“Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner di

RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan 15 bahwa 4 (empat)

faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p <

0,05) adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan

olah raga.

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk setiap

penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang sekitar

16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel

untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium

akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban

kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah

mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi

vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian

Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan

7. Hiperhomosistein

Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah ditegakkan

sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya thrombosis dan penyakit

vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan

lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko

yang lain seperti kebiasaan merokok dan hipertensi. Lebih dari 31 penelitian kasus

kontrol dan potong lintang yang melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan

hiperhomosisteinemia pada 30 % sampai 90 % penderita aterosklerosis dan

berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk, tentang

“Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK” yang dilakukan di RS Sardjito

–Yogyakarta dengan desain penelitian kasus kontrol, pada n case 50 orang dan n

control 50 orang, didapatkan 74% penderita PJK dari kelompok kasus dan 36%

penderita PJK dari kelompok kontrol. Hiperhomosisteinemia merupakan faktor

25

Page 27: presentasi kasus gagal jantung

risiko yang signifikan terhadap terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91;

p<0,01)

DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.

Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di

dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan

akan dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah

selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada

orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya

mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat

pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua,

maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang

kali di rawat di rumah sakit atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin

untuk jangka waktu lama (Gray, dkk., 2005).

No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau

faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:

a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,

punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan

sesudah makan

f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.

g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh

nyeri dada akibat neuropati diabetik.

26

Page 28: presentasi kasus gagal jantung

Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil Decrescendo

Angina pada wanita dan pria:

a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak

padahal maksudnya nyeri dada)

b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden

death

2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi factor pencetus dan

kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol, takikardi,

anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan kondisi lain,

seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati hipertensi/diabetik.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi, murmur

dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau

penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga

penderita penyakit jantung koroner (PJK).

3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,

dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat

Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium

PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

1. Akut Koroner Sindrom

Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)

Gambar 13. Algoritma, Triase dan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang

27

Page 29: presentasi kasus gagal jantung

diambil pada prinsipnya sebagai berikut :

a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual

2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan

3) Jika mungkin periksa petanda biokimia

25

b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke

fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan

c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA

1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan

2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat

KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan

komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum

sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal

jantung

dan hipotensi/syok kardiogenik.

I. PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:

1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:

1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%

4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

28

Page 30: presentasi kasus gagal jantung

C. Efusi Pleura

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat

transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura

bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.

Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan

sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan

viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua

pleura pada waktu pernafasan. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi

pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati,

trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung

kongestif. Di Negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal

jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di

Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan

oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu

komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama

disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan

manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan

pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan

pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker

payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura. (Ali, 2006).

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara

cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura

dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini

terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan

interstisialsubmesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga

pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh

peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah

29

Page 31: presentasi kasus gagal jantung

besar sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya

pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara akan

masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada

atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien

emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain

bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,

dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis

konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan pneumotoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel

mesotelialberubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke

dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah

karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa

tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis,

ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella),

keganasan paru,

proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis,

radang sebab lain seperti, pakreatitis, asbestosis, pleuritis uremia, dan akibat

radiasi (Kurniasafi, 2010).

Manifestasi Klinik

Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan

gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain.

Nyeri dada dapat menjalar ke daerah permukaan karena inervasi syaraf

interkostalis dan segmen torakalis atau dapat menyebar ke lengan. Nyerinya

terutama pada waktu bernafas dalam, sehingga pernafasan penderita menjadi

dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi

tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis disebabkan karena

nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau

30

Page 32: presentasi kasus gagal jantung

cairannya penuh. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama

apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya (Halim, 2007).

Diagnosis

Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemitoraks yang sakit

dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, cembung, ruang antar iga yang

melebar dan mendatar, getaran nafas pada perabaan menurun, trakea yang

terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada

pemeriksaan auskultasi. Gambaran radiologik posterior anterior (PA) terdapat

kesuraman pada hemitoraks yang terkena efusi, dari foto toraks lateral dapat

diketahui efusi pleura di depan atau di belakang, sedang dengan pemeriksaan

lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan terutama untuk

efusi pleura dengan cairan yang minimal (Suyono, 2005).

Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi

pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan

cairan pleura) agar keluhan sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk

efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa penelit tidak melakukan torakosentesis

bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti tuberkulosis diberikan secara

adekuat (Ali, 2006).

Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi

pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah

cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang

melalui dinding toraks. Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan

pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam

bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari

tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar.

Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura

(dekortikasi) (Suyono, 2005).

31

Page 33: presentasi kasus gagal jantung

Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,

Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara

pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini

menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan

eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan

diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid

secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis

diturunkan) (Halim, 2007).

Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang

melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam.

Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus,

yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal

saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga

dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling

bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan

dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal,

diafragama, mediastinal, dan servikal (Witmer, 2012).

Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak

antarmembran maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang

mendukung kontak antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding

dada dan (2) tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia

luar melalui saluran napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi

pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas

paru (O’Rahilly, 2012). Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga iritasi

terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding

torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n.

frenikus).

32

Page 34: presentasi kasus gagal jantung

Gambar - Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang

Kolaps (Kiri)

Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang

terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan

kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah

(sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke

dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke

arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu mendrainase cairan

sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga pleura memiliki faktor

keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20 kali baru akan

menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan cairan

pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.

33

Page 35: presentasi kasus gagal jantung

Gambar – Desain Morfofungsional Rongga Pleura

(s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)

Gambar diatas adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang

tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik

parietal, ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan

mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler endotelium,

serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang selain

menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari rongga

pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura

yang disebut sebagai stomata limfatik. Kepdatan stomata limfatik tergantung dari

regio anatomis pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata

cm-2 di pleura parietal interkostal, sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di

daerah diafragma. Ukuran stomata juga bervariasi dengan rerata 1 m (variasi

antara 1 – 40 m) (O’Rahilly, 2012).

Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula

hukum Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua

kompartmen. Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut

(Miserocchi, 1991) :

34

Page 36: presentasi kasus gagal jantung

Jv = Kf [(PH1 – PH2) - (1 - 2)]

Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori

membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah

tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1

menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut

tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat

terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran zat terlarut

dapat berlangsung secara bebas).

Gambar – Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang

menggambarkan hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura.

Hipotesis ini terlalu sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan

limfatik pleura; sedangkan (b) merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan

percobaan terhadap kelinci.

Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler

sistemik) ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil

35

Page 37: presentasi kasus gagal jantung

mendorong cairan ini ke rongga pleura (Witmer, 2012). Nilai antara

intersitisium parietal dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3), sehingga

pergerakan protein terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura

relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1)

(Miserocchi, 1991).

Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui

pleura visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada

sebagian besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua

rongga yang secara fungsional terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada

manusia pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal, sehingga

permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya relatif rendah. Saluran limfatik

pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik -10 cmH2O.

1. Efusi Pleura

Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai

absoprsi (drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada

mekanisme yang telah dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk

dari pleura visceral atau rongga peritoneum (melalui lubang kecil di

diafragma). Dengan demikian efusi dapat terjadi apabila terjadi kelebihan

produksi (berasal dari interstisial paru atau pleura visceral, pleura parietal,

dan rongga peritoneal) serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi limfatik).

Pendekatan diagnostik pada efusi pleura melibatkan pengukuran parameter

cairan pleura serta keadaan sistemik. Efusi perlu dibedakan antara transudat

(yang umumnya terjadi akibat faktor sistemik) dan eksudat (akibat faktor

lokal). Transudat dan eksudat dapat dibedakan dengan mengukur LDH dan

protein, sehingga dapat disimpulkan bahwa eksudat dicirikan dengan (Light,

2012) :

a. Rasio protein cairan pleura/serum > 0,5

b. Rasio LDH cairan pleura/serum >0,6

c. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 batas atas LDH serum

36

Page 38: presentasi kasus gagal jantung

Perlu pula dilakukan pengukuran gradien protein antara serum dengan

pleura, yang mana gradien yang lebih dari 3,1 g/dL menggambarkan jenis

transudat. Temuan karakteristik eksudat membutuhkan pemeriksaan lebih

lanjut, seperti kadar glukos, hitung jenis, studi mikrobiologis, dan sitologi

(Light, 2012).

Gambar di atas menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan

algoritma pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan

transudat memerlukan kecurigaan ke arah:

a. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat

kegagalan pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular

paru. NT-proBNP >1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal

jantung kongestif.

b. Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.

c. Emboli paru

d. Sindroma nefrotik

e. Dialisis peritonela

f. Obsgtruksi sindroma kava superior

g. Miksedema

Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis

tuberkulosis dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90%

sel darah putih), serta marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura

(yakni adenosin deaminase/ADA> 40 IU/L atau interferon gamma lebih dari

140 pg/mL). Cairan pleura dapat pula dikultur, biopsi jarum pleura, atau

torakoskopi. Efusi yang banyak mengandung sel darah merah

menggambarkan keganasan, trauma, atau emboli paru.

Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau

bronkiektasis. Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi

purulen yang masif.

37

Page 39: presentasi kasus gagal jantung

Gambar – Algoritma Diagnosis Efusi Pleura (Porcel, 2006).

Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah

penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos

toraks tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain

38

Page 40: presentasi kasus gagal jantung

seperti ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks

menjadi opak dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang

sedemikian masif umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik,

empiema, dan tuberkulosis. Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di

mana efusi pleura masif berada, perlu dipikirkan kejadian obstruksi

endobronkial ataupun penekanan akibat tumor (Porcel, 2006).

Gambar - Kiri: Foto PA yang Menggambarkan Penumpullan Sudut

Kostrofrenikus Kiri; Kanan: Foto LLD Pasien yang Sama (Porcel, 2006).

39

Page 41: presentasi kasus gagal jantung

BAB III

PEMBAHASAN

Ny. K, 70 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari sebelum

masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak berkurang walaupun pasien sudah

beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah duduk. Pasien

juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak nafas. Menurut

keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivitas. 6 bulan sebelumnya

pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas yang hilang timbul, pasien

juga sudah merasakan sesak bila berjalan kurang dari 10 meter. Pasien juga

mengeluhkan nyeri pada uluh hati yang menjalar ke punggung, nyeri uluhati

tersebut hilang timbul dan timbul terutama saat sesak nafas, berdebar-debar (-),

mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK lebih sedikit dibanding biasanya.

Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat

diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan diri ke

dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke RSDM. Pasien

mempunyai riwayat hipertensi.

Tanda vitalpasin didapatkan tensi 130/90 mmHg, nadi 88x/menit, heart

rate 88x/menit, respiratory rate 28x/menit, dan temperature 36,7oC. Pada

pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak, ictus cordis kuat

angkat di SIC VI linea axillaris anterior, dengan batas jantung kesan melebar ke

caudolateral, bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, didapatkan bising

pansistolik di left lateral sterna border menjalar ke apex. Pada abdomen

didapatkan nyri ulu hati. Pada paru didapatkan bunyi ronki basah halus pada

kedua basal paru.

Dalam hal ini pasien dirawat inapkan atas indikasi terdapat komplikasi

dari decompensatio cordis NYHA IV berupa efusi pleura bilateral dan penyakit

jantung koroner.

Sesak napas selama 2 hari, namun sebelumnya sudah dirasakan seak

hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu, dimana sesak memberat walau pasien

40

Page 42: presentasi kasus gagal jantung

beraktivitas ringan. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati yang menjalar hingga

ke punggung. Diagnosis gagal jantung kongestif (Critria Framingham) didapatkan

3 kriteria mayor berupa ortopnea, ronkhi basah tidak nyaring, cardiomegali. Dan

3 criteria minor berupa Dyspneu d’eefort dan Efusi pleura. Diagnosis ditegakkan

dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada saat

bersamaan (Sudoyo, 2007).

Pada pasien ini didapatkan juga factor resiko terjadinya decompensatio

cordis dan penyakit jantung koroner yaitu hipertensi. (Christian Werner, 2008)

Suara ronki basah halus pada basal kdua paru dapat disebabkan karena

adanya efusi bilateral pada kedua basal paru pasien.

Penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut

ini:

1. EKG

Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal

dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting

dalam menentukan irama jantung

2. Foto Toraks

Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi

ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.

Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi

vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran

jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR

(cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung.

CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter

transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan

Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai

60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar

(horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka,

2008).

41

Page 43: presentasi kasus gagal jantung

Penegakan diagnosis efusi pleura juga dapat diperkuat dengan hasil

radiologi. Dari foto toraks, didapatkan gambaran penumpulan sudut kostofrenikus

kanan pada foto posteroanterior. Penyebab efusi pleura perlu dianalisis lebih

lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan untuk menentukan penyebab dari efusi pleura adalah analisis

cairan pleura. Perbedaan mendasar antara efusi pleura akibat keganasan atau

tuberkulosis adalah sebagai berikut (Sabatine, 2011) :

Penyebab Tampila

n

Hitung

jenis

leukosi

t

Eritrosi

t

pH Glukos

a

Keterangan

Keganasan Turbid

hingga

berdarah

1-

10.000

limfosit

<100.00

0

Norma

l

hingga

Normal

hingga

Pemeriksaa

n sitologi

Tuberkulosi

s

Serosang

(campura

n darah

dan

cairan

serosa)

5-

10.000

limfosit

<10.000 Norma

l

sampai

Normal

sampai

Pemeriksaa

n marker

TB ADA:

>70 IU/L

TB, jika<40

IU/L bukan

TB.

Pewarnaan

BTA: 0-

10% dengan

pewarnaan

TB

kultur dan

resistensi

Sumber : (Sabatine, 2011)

42

Page 44: presentasi kasus gagal jantung

Selanjutnya, dari hasil laboratorium, permasalahan yang dijumpai pada

pasien berupa peningkatan kolesterol total sebesar 224 mg/dl (50-200).

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk

perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol

ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein

densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein

densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang

rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara

kadar HDL dan insiden PJK. Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun)

dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL

kolesterol : > 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi

dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32

%, pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari

kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.Selain itu

juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam lemak omega-3

dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid dan

meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek

protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai

anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.

43

Page 45: presentasi kasus gagal jantung

Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

Selanjutnya, direncanakan pemeriksaan monitoring EKG serial dan

echokardiografi.

Pasien ini diberikan terapi yang pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal

berikut ini:

1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan

pemakaian oksigen dengan pembatasan aktivitas

2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung

3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan

vasodilator (Sudoyo, 2007).

44

Page 46: presentasi kasus gagal jantung

DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable

Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J

Am CollCardiol, 2007; 50:652-726

Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association,

Aditama, T. Y. 1995. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru,

dalam Cermin Dunia Kedokteran No.99. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan PT.Kalbe Farma.

Ali. 2006. Efusi Pleura Tuberkulosis. Diakses dari:

Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR.

H.Budi Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan

Cendikia

Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku

Ajar

Amin Z, Bahar A. Pengobatan tuberculosis mutakhir. Dalam buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010,

hal.2245.

Amin Z., Asril Bahar. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 989-990.bab1.pdf. Diakses tanggal

11 Desember 2012.

45

Page 47: presentasi kasus gagal jantung

Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU

Repository.

Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to

stimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician

Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler.

Patofisiologi Konsep

Christian Werner, MD, Michael Böhm . 2008. Is Dual Blockade Most Effective

for CHF? When to Use ARB and ACE Inhibitors Together, Disclosures

Geriatrics and Aging.;11(4):223-230.

Dahlan Zul. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis. Cermin dunia

kedokteran no. 115. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma.

Dalam, Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal:

1056 dan 1058.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis. Jakarta, pp: 16-18.

Diagnosis of tuberculosis disease: radiology. Diunduh dari:

www.heartlandntbc.org/training/archives/tbin_20080923_1510.pdf.

Diakses pada 12 Nov 2012, pk. 09.22 WIB.

Fishman J. A. 2002. Mycobacterial infections. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman

JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds. Fishman’s Manual of

Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia: MC Graw Hill, pp: 763-

799.

46

Page 48: presentasi kasus gagal jantung

Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung

Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.).

Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.

Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah

Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1. Informatorium Obat Nasional

Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_EfusiPleuraTuberkulosis.pdf/06_Efusi

Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Irshad A. Imagin in Small Cell Lung Carcinoma. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/358274-overview. Diakses pada 12

Nov 2012, pk. 09.32 WIB.

Isbaniyah, Fattiyah, dkk. 2011.Tuberkulosis. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Jakarta.

Iseman M. D. 2000. Tuberculosis chemotherapy, including directly observed

therapy. In : Iseman MD, Girard, Beno M. A eds. Clinician’s Guide to

Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott.

47

Page 49: presentasi kasus gagal jantung

Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner:

Sindroma Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran

Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Koroner. Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kurniasafi. 2010. Efusi Pleura. Diakses dari:

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-kurniasafi-5149-

1-

Light RW. 2012. Disorders of the pleura and mediastinum.

Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan

Pengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. Diakses 13

Desember 2010 dari

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124

.pdf

Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.

Mansjoer, et al. 2005. Pulmonologi: Tuberkulosis paru. Kapita selekta

kedokteran. Jakarta: FKUI.

Miserocchi G. Physiology and pathophysiology of pleural fulid turnover. Eur

Respir J, 1991; 10:219-25

O’Rahilly R, Muller F, Carpenter S, Swenson R. Basic human anatomy: A

regional study of human strucutre. [Internet]. Cited: 2012 Nov 10.

Available from: http://www.dartmouth.edu/~humananatomy/index.html

PleuraTuberkulosis.html. Diakses tanggal 11 Desember 2012.

Porcel JM, Light RW. Diagnostic approach to pleural effusion. Am Fam

Physician. 2006; 73(7):1211-20

48

Page 50: presentasi kasus gagal jantung

Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Volume I Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Volume II Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sabatine MS. Pocket medicine. 4th ed. USA: Williams & Wilkins; 2011, part.2-11,

7-12.

Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, FK UI, Jakarta.

Suyono. 2005. Efusi Pleura. Diakses dari:

http://www.indonesiaindonesia.com/f/9917-efusipleura/. Diakses tanggal

11 Desember 2012.Vol. 303, No.1

Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum. [Internet].

Cited: 2012 Nov 10. Available from: http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-

witmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf

World Health Organization. 2010. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Geneva:

world Health Organization.

49