presentasi kasus gagal jantung
DESCRIPTION
presentasi kasus gagal jantungTRANSCRIPT
RESPONSI
SEORANG PEREMPUAN 70 TAHUN DENGAN RECENT INFARK
ANTEROSEPTAL, MITRAL REGURGITASI, TRICUSPID
REGURGITASI, DECOMPENSATED CORDIS NYHA IV, DAN
PENYAKIT JANTUNG KORONER
Disusun Oleh :
Andriaz Kurniawan G0005051
Diah Wihdatul K. G0005082
Muhammad Yusuf Arrozhi G0006206
Tito Pradipta G0007231
Pembimbing :
dr. Nugroho H.S, Sp.PD, Sp.JP
KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2013
BAB I
STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Umur : 70 th
Jeniskelamin : perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Krapyak tengger 03/01 wonogiri
No. RM : 01172737
Agama : Islam
Masuk RS : 16 januari 2013
Pemeriksaan : 18 januari 2013
B. DATA DASAR
ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis, tanggal 18 januari2013)
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien
sejak 2 hari SMRS, sesak nafas tidak berkurang walaupun pasien sudah
beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah duduk.
Pasien juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak
nafas. Menurut keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivita.
6 bulan sebelumnya pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas
yang hilang timbul, pasien juga sudah merasakan sesak bila berjalan
kurang dari 10 meter. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada uluh hati
yang menjalar ke punggung, nyeri uluhati tersebut hilang timbul dan
1
timbul terutama saat sesak nafas, berdebar-debar (-), mual (+), muntah
(-), BAB (-), BAK lebih sedikit dibanding biasanya.
Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat
diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan
diri ke dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke
RSDM.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
RiwayatHipertensi : (+) tidak rutin kontrol dan tidak minum obat rutin.
Riwayat Asma : (-) disangkal
Riwayat Alergi : (-) disangkal
Riwayat DM : (-) disangkal
RiwayatMondok : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
RiwayatHipertensi : (-) Disangkal
Riwayat Asma : (-) Disangkal
RiwayatAlergi : (-) Disangkal
Riwayat DM : (-) Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok : disangkal
Riwayat Minumalkohol : disangkal
Riwayat Minum obat-obatan jamu : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasiena dalah seorang perempuan berusia 70 tahun sebagai ibu rumah
tangga, tinggal di rumah dan tidak bekerja.Pasien dirawat di RSDM
dengan fasilitas Jamkesmas.
7. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan teratur 3 kali sehari, sebanyak masing-
masing 1 piring nasi sayur dengan lauk tempe, tahu, kadang-kadang
daging atau ikan. Tetapi sejak pasien sakit nafsu makan berkurang,
porsinya menjadi ¼ - ½ dari sebelum sakit.
2
C. ANAMNESA SISTEMIK
Keluhan utama : sesak nafas
Kulit : Sawomatang, kering (-), pucat (-), menebal
(-), gatal (-), luka (-), kuning (-).
Kepala :Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah
dicabut (-), rambut mudah rontok (-)
Mata : Pandangan kabur (-/-),pandangan dobel
(-/-), pandanganberputar-putar (-/-),
berkunang-kunang (-/-).
Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidungtersumbat (-),
gatal (-).
Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
Mulut : Terasakering (-), bibirbiru (-), pucat (-),
sariawan (-), gusiberdarah (-), gigiberlubang
(-), bibirpecah-pecah (-), luka pada sudut
bibir (-).
Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).
Sistem Respirasi :Sesak nafas (+), batuk (-),dahak (-), mengi
(-).
Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (+), terasa tertekan (-), rasa
berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas
(+)
Sistem Gastrointestinal : Mual (+),muntah (-),nafsumakanmenurun
(-), penurunan BB (-), BAB (+) normal,
perutsebah (-), nyeri ulu hati (+), mbeseseg
(+), kembung (-), tinja warna kuning.
3
Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan(-), sering
menahan kencing (-), BAK warna seperti
teh(-).
Sistem Muskuloskeletal :Lemas (-),nyeriotot (-) kedua kaki,nyeri
sendi (-), bengkaksendi (-).
Ekstremitas :Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor
(-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari
dingin (-).
Bawah Kanan/Kiri:Luka (-), nyeri (-/-),
tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-/-),
ujung jari dingin (-).
Neuropsikiatri :Kejang (-), emosi tidak stabil (-),
kesemutan(-), lumpuh (-), gelisah (-),
menggigau(-).
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaanfisikdilakukantanggal18 Januari 2013
Keadaanumun : sakit sedang, compos mentis, gizi kesan kurang
Status gizi : TB= 148cm
BB= 38 kg
BMI=17,35
Kesan: gizikurang
Vital Sign :Tensi : 130/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Heart rate : 88x/menit
Respiratory rate : 28x/menit
Temperature : 36,7oC
Kulit : Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi
(-), spider nevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi
(-),turgor baik
4
Kepala : Bentuk mesocephal, luka (-), rambut uban (+), tidak mudah
rontok, sukar dicabut, turgor kulit dahi baik, atrofi otot (-).
Mata : Conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Bentuk normal, sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-).
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-),
epistaksis (-/-).
Mulut : Bibir kering (-), fisura pada bibir (-), sianosis (-), stomatitis (-),
mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-), papil lidah
atrofi (-), lidah tremor (-), gigi karies (-), deviasi mulut dan lidah (-).
Tenggorokan : Tonsil hipertrofi (-), faring hiperemis (-).
Leher : JVP ≠ meningkat, pembesaranlimfonodi cervical(-), leherkaku(-).
Thorax : Bentuknormochest, simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi
(-), pernafasanthorakoabdominal, selaigamelebar(-), pembesaran
KGB axilla (-/-).
Cor : I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis kuat angkat di SIC VIlinea axilaris anterior
P: batas jantung kesar melebar ke caudolateral
A: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising pansistolik di left
lateral sternal border menjalar ke apex.
Paru : Depan
Inspeksi
Statis: normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
retraksi (-)
Dinamis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-),
pergerakan paru simetris
Palpasi
Statis: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak
ada yang tertinggal
Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yng
tertinggal, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
5
Kanan : sonor, redup relatif pada batas paru hepar setinggi
SIC IV linea midclavicularis dextra, redup absolut pada batas
paru hepar setinggi SIC V linea midclavicularis dextra
Kiri : sonor di seluruh lapang paru kiri
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah halus
(+/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, konsistensi
kenyal, permukaan licin, tepi tumpul, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas :
Atas : pitting edem (-/-), akral dingin, (-/-) luka (-/-), clubbing
finger (-/-), spoon nail (-/-)
Bawah : pitting edem (-/-), akral dingin (-/-) , luka (-/-),
clubbing finger (-/-), spoon nail (-/-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOG
I
RUTIN
16/1/201
3
SATUA
N
RUJUKA
N
Hb 13,3 g/dl 12.3 - 15.3
HCT 40 35-47
AL 10,3 103/l 4.0 – 11.3
AT 209 103/l 150 – 450
AE 4,56 106/l 4.1 -5.1
6
KIMIA KLINIK
PT 15,3 Detik 10-15
APTT 27,0 Detik 20-40
GDP 72 mg/dl 70-110
G2PP 104 Mg/dl 80-140
Kolest. Total 224 mg/dl 50 – 200
HDL-Kolesterol 34 mg/dl 37 – 92
LDL-Kolesterol 168 mg/dl 88 – 201
7
Elektrokardiografi
16 Januari 2013
8
9
Intepretasi EKG (16 januari 2013)
Sinus ritme, heart rate 74 x/menit, normoaxis, infark anteroseptal
3. Radiologis 16 Januari 2013
Foto Thorax PA :
Cor : tampak CTR tak dapat dievaluasi karena tertutup perselubungan.
Pulmo : tampak infiltrat pada infra hiller dextra, corakan
bronkovaskuler meningkat pada paru sebelah kanan.
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tumpul
Kesan : efusi pleura bilateral
10
D. RESUME
Perempuan 70 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang
dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS, sesak nafas tidak berkurang walaupun
pasien sudah beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah
duduk. Pasien juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak
nafas. Menurut keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivitas. 6
bulan sebelumnya pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas yang
hilang timbul, pasien juga sudah merasakan sesak bila berjalan kurang dari 10
meter. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada uluh hati yang menjalar ke
punggung, nyeri uluhati tersebut hilang timbul dan timbul terutama saat sesak
nafas, berdebar-debar (-), mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK lebih sedikit
dibanding biasanya.
Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat
diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan diri ke
dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke RSDM.
Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien menderita hipertensi
namun tidak rutin control maupun minum obat.
Pada anamnesa sitemik didaptkan pasien sesak, sesak memberat jika
beraktivitas. Pada system gastrointestinal, pasien mengeluh nyeri ulu hati dan
mbeseseg.
Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak,
ictus cordis kuat angkat di SIC VI linea axillaris anterior, dengan batas
jantung kesan melebar ke caudolateral, bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, didapatkan bising pansistolik di left lateral sterna border menjalar ke
apex. Pada abdomen didapatkan nyeri abdomen epigastrium.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 13,3 g/dl,
AL 10,3.103/ul, AT 209. 103/ul, AE 4,56.106/ul, kolesterol total 224mg/dl,
HDL-kolesterol 34 mg/dl, LDL-kolesterol 168 mg/dl.
Berdasarkan EKG tanggal 16 Januari 2013 Sinus ritme, heart rate 74
x/menit, normoaxis, infark anteroseptal. Foto rontgen thorax PA, didapatkan
kesan efusi pleura bilateral
11
E. DIAGNOSIS
Diagnosis anatomi : recent infark anteroseptal, mitral regurgitasi, tricuspid
regurgitasi
Diagnosis fungsional : decompensated NYHA IV
Diagnosis etiologi : Penyakit Jantung koroner
F. TERAPI
1. Non Medikamentosa
a. Bed resttotal
b. Oksigen 4lt/ menit
2. Medikamentosa
a. Infus RL 30 cc/jam
b. Inj Furosemid 20 mg/8 jam
c. Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
d. Inj ketorolac 30 mg/8 jam
e. ISDN 3x80 mg
f. Aspilet 1x80 mg
g. Spironolactone 1x25 mg
h. Alprazolam 0,5 mg 0-0-1
G. PLANNING
1. Cek lab melengkapi
2. Monitoring KU/VS
3. Monitoring EKG serial
4. Echokardiografi
H. PROGNOSA
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Decompensatio Cordis
DEFINISI
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh
sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung (Price, 2006).
EPIDEMIOLOGI
Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada
usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal
jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki, 50% dari
pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan
dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun
pertama (Price, 2006).
ETIOLOGI
Penyebab dari gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan
fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati,
penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung congenital) dan keadaan yang
membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati atau penyakit
pericardial). Factor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam,
ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut
(mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau
demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif
(Sudoyo, 2007).
13
MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal
jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal jantung
kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian
tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal
paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi
derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes, takikardia, pulsus alternans, ronkhi
dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver
engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan
hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan,
murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat,
bunyi P2 mengeras, ascite, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali
dan edema putting. Gagal jantung kongestif terjadi manifetasi gabungan gagal
jantung kanan dan kiri (Price, 2006).
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungional dalam 4
kelas:
Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari-hari tanpa keluhan
Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan
harus tirah baring. (Sudoyo, 2007).
Diagnosis gagal jantung kongestif (Criteria Framingham)
Criteria Mayor:
1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
14
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
8. Refluks hepatojugular
Criteria minor
1. Edema pergelangan kaki
2. Betuk malam hari
3. Dyspneu d’eefort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (>120x menit)
Criteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor harus ada saat bersamaan (Sudoyo, 2007).
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang
berlebihan dalam ruang interstitial paru dan alveolus paru. Jika edema timbul akut
dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. Edema paru dapat
terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatika dalam kapiler paru, penurunan
tekanan osmotic koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler.
Dinding kapiler yang rusak dapat disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang
berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia atau karena gangguan local proses
oksigenai. Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat
penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi katup mitral).
Jika terjadi gagal jantung kiri dan jantung kanan terus memompakan darah maka
tekanan kapiler paru akan meningkat sampai terjadi edema paru (Price, 2006)
Pembentukan edema paru dapat terjadi dalam dua stadium:
1. Edema interstitial yang ditandai pelebaran ruang perivaskuler dan ruang
peribronkial serta peningkatan aliran getah bening
15
2. Edema alveolar terjadi sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam alveoli.
Plasma darah mengalir lebih cepat ke dalam alveoli daripada kemampuan
pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma ini akan mengganggu
difusi O2, sehingga hipokssia jaringan yang diakibatkannya menambah
kecenderungan terjadinya edema. Asfiksia dapat terjadi bila tidak segera diambil
tindakan untuk menhilangkan edema paru. Pengobatan darurat pada edema paru
akut berupa tindakan-tindakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik paru, antara
lain dengan menempatkan pasien dalam posisi Fowler dengan kaki menggantung;
torniket yang berpindah-pindah; atau flebotomi (pembuangan darah sebanyak
kira-kira 0,5 L). tindakan lain adalah dengan pemberian diuretic, O2 dan digitalis
untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium (Price, 2006).
Jika terjadi kongesti paru paif kronik, mungkin akan timbul perubahan structural
paru (misalnya, fibrosis paru). Perubahan-perubahan ini memungkinkan paru
berfungsi dalam keadaan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik untuk sementara
namun tanpa edema paru. Akan tetapi, keseimbangan ini tidak pasti dan pasien
mungkin mengalami serangan dispneu pada waktu malam hari akibat peningkatan
tekanan hidrostatik paru yang timbul karena posisi tubuh horizontal (Price, 2006)
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis gagal jantung antara lain:
1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat
misalnya ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
2. Penyakit Ginjal: gagal ginjal akut atau kronik, sindrom nefrotik, diabetic
nefropati
3. Penyakit Hati: sirosis hepatic
4. Sindroma hiperventilasi: psikogenik atau penyakit ansietas berat (Sudoyo,
2007)
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan
pemeriksaan berikut ini:
16
1. EKG
Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal
dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting
dalam menentukan irama jantung
2. Foto Toraks
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi
ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.
Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi
vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran
jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR
(cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung.
CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter
transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan
Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai
60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar
(horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka,
2008).
CTR = (a+b)
(c1+c2)
Keterangan:
Garis a: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh atrium kordis dekstra sampai ke
Linea mediana
Garis b: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh ventrikel kordis sinstra sampai
ke linea mediana
Garis c: jarak dinding kanan-dinding kiri melalui sinus kardiofrenik.
Normal = 48 – 50% (Malueka, 2008).
17
GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KIRI
Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
1. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang
lurus mendatar ke lateral
2. Batas hilus pulmo terlihat kabur
3. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal
4. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan
alveolar.
Edema interstitial: edema ini menunjukkan septal line yang dikenal sebagai
Kerley’s line, ada 4 jenis yaitu:
a. Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju
ke atas dan perifer
b. Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding
pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat
diatas sinus costophrenicus
Garis ini adalah yang paling mudah ditemukan di gagal jantung
c. Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobu inferior. Perlu pengalaman
untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah.
d. Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak
pada foto lateral (Malueka, 2008).
Edema alveolar: terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus
sampai ke perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly
appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern. Batas kedua hilus menjadi
kabur (Malueka, 2008).
GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KANAN
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
18
• Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan
sampai ke atas
• Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm
• Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral
• Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor,
bentuknya oval atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut
menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip
tumor paru.
• Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial (Malueka, 2008).
3. Hematolosi dan biokimia (pemeriksaan laboratorium)
Peningkatan hematokrit memnunjukkan bahwa sesak nafas mungkin disebabkan
oleh penyakit paru, penyakit jantung congenital atau malformasi arteri vena.
Kadar ureum dan kreatinin penting untuk diagnosis differential penyakit ginjal.
Kadar kalium dan natrium merupakan predictor mortalitas
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai
fungsi sistolik dan diastolic ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi
dan abnormalitas gerakan
5. Tes fungsi paru
6. Uji latih beban jantung
7. Kardiologi nuklir
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal jantung pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal berikut
ini:
1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan pemakaian
oksigen dengan pembatasan aktivitas
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator
(Sudoyo, 2007).
19
B. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit
jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan
tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis,
emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab
terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas
penyebab tersebut (Majid, 2007).
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan
yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam
tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling
sering adalah pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri
renalis dan bifurcatio carotis.
PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS (Coughlin, 2006)
1. Pembentukan Aterosklerosis
Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response
to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai
empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:
a. Stage A: Endothelial injure
b. Stage B: Fatty Streak Formation
c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
d. Stage D: Unstable Plaque Formation
MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen
arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena
itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut
koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).
20
1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar,
mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang
dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom
a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus
1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner
b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial
1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung
2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit)
angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung
FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER (Setyani, 2009;
Bahri,2005)
1. Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk
perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol
ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein
densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein
densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang
rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara
kadar HDL dan insiden PJK.
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol
yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160 mg/dL) risiko
terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan pravastatin dapat
menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %, pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian PJK sebesar
24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam lemak
omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid dan
meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek
21
protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai
anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.
2. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit jantung,
termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat untuk
terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko
terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung
sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24
% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan
kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada
populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-
laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian
adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja, terutama pada
remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok
(perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PJK akibat
merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok
atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi
daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.
Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya :
a. Timbulnya aterosklerosis.
b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme
arteri koroner)
c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
d. Provokasi aritmia jantung.
e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.
g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun
berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga
merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran
22
pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan kesegaran
jasmani.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya
dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang
kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan
membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada
golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan
dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok
merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.
3. Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK,
hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan
jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila
setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden
PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,
pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.
4. Diabetes Mellitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih
kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang
sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada
system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan
gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini
dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan
ketidaknormalan metabolisme otot jantung.
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga empat kali
lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat
23
keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat
mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun sebelumnya. Sumber lain
mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%)
untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak diabet.
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK, juga
berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi
sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan
peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG)
jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic
memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca
angioplasty koroner.
5. Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis
PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner kadang-
kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang
berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik. Riwayat keluarga PJK
pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70
tahun merupakan faktor
risiko independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali
lebih besar dari pada populasi control. Agregasi PJK keluarga
menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa
bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK
pada keluarga dekat. The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan
riwayat keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk
menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga
menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK
(RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang tidakmempunyai
riwayat PJK.
6. Hipertensi Sistemik
24
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti dengan judul
“Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner di
RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan 15 bahwa 4 (empat)
faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p <
0,05) adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan
olah raga.
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk setiap
penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang sekitar
16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel
untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium
akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban
kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah
mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi
vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian
Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan
7. Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah ditegakkan
sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya thrombosis dan penyakit
vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan
lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko
yang lain seperti kebiasaan merokok dan hipertensi. Lebih dari 31 penelitian kasus
kontrol dan potong lintang yang melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan
hiperhomosisteinemia pada 30 % sampai 90 % penderita aterosklerosis dan
berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk, tentang
“Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK” yang dilakukan di RS Sardjito
–Yogyakarta dengan desain penelitian kasus kontrol, pada n case 50 orang dan n
control 50 orang, didapatkan 74% penderita PJK dari kelompok kasus dan 36%
penderita PJK dari kelompok kontrol. Hiperhomosisteinemia merupakan faktor
25
risiko yang signifikan terhadap terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91;
p<0,01)
DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di
dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan
akan dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah
selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada
orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya
mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat
pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua,
maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang
kali di rawat di rumah sakit atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin
untuk jangka waktu lama (Gray, dkk., 2005).
No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau
faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh
nyeri dada akibat neuropati diabetik.
26
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung
Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil Decrescendo
Angina pada wanita dan pria:
a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak
padahal maksudnya nyeri dada)
b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden
death
2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi factor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol, takikardi,
anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan kondisi lain,
seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati hipertensi/diabetik.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi, murmur
dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau
penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga
penderita penyakit jantung koroner (PJK).
3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,
dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat
Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium
PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
1. Akut Koroner Sindrom
Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini
a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)
b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)
c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)
Gambar 13. Algoritma, Triase dan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang
27
diambil pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual
2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
3) Jika mungkin periksa petanda biokimia
25
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke
fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan
komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum
sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal
jantung
dan hipotensi/syok kardiogenik.
I. PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1. Wilayah yang terkena oklusi
2. Sirkulasi kolateral
3. Durasi atau waktu oklusi
4. Oklusi total atau parsial
5. Kebutuhan oksigen miokard
Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:
1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit
2. Total mortalitas 15-30%
3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%
4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%
28
C. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan
sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan
viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua
pleura pada waktu pernafasan. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi
pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati,
trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung
kongestif. Di Negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di
Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan
oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu
komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama
disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan
manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan
pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan
pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker
payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura. (Ali, 2006).
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan
interstisialsubmesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga
pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
29
besar sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya
pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara akan
masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada
atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada pasien
emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan pneumotoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelialberubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke
dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah
karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis,
ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella),
keganasan paru,
proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis,
radang sebab lain seperti, pakreatitis, asbestosis, pleuritis uremia, dan akibat
radiasi (Kurniasafi, 2010).
Manifestasi Klinik
Pada kebanyakan penderita umumnya asimptomatis atau memberikan
gejala demam, ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain.
Nyeri dada dapat menjalar ke daerah permukaan karena inervasi syaraf
interkostalis dan segmen torakalis atau dapat menyebar ke lengan. Nyerinya
terutama pada waktu bernafas dalam, sehingga pernafasan penderita menjadi
dangkal dan cepat dan pergerakan pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi
tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis disebabkan karena
nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama kalau
30
cairannya penuh. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama
apabila disertai dengan proses tuberkulosis di parunya (Halim, 2007).
Diagnosis
Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemitoraks yang sakit
dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, cembung, ruang antar iga yang
melebar dan mendatar, getaran nafas pada perabaan menurun, trakea yang
terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada
pemeriksaan auskultasi. Gambaran radiologik posterior anterior (PA) terdapat
kesuraman pada hemitoraks yang terkena efusi, dari foto toraks lateral dapat
diketahui efusi pleura di depan atau di belakang, sedang dengan pemeriksaan
lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan terutama untuk
efusi pleura dengan cairan yang minimal (Suyono, 2005).
Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi
pleura pada umumnya, yaitu dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan
cairan pleura) agar keluhan sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk
efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa penelit tidak melakukan torakosentesis
bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti tuberkulosis diberikan secara
adekuat (Ali, 2006).
Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi
pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah
cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang
melalui dinding toraks. Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan
pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam
bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari
tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar.
Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura
(dekortikasi) (Suyono, 2005).
31
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,
Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara
pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan
eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan
diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan kortikosteroid
secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis
diturunkan) (Halim, 2007).
Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam.
Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus,
yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal
saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan, sehingga
dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk saling
bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan yang bersinggungan
dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni bagian kostal,
diafragama, mediastinal, dan servikal (Witmer, 2012).
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak
antarmembran maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang
mendukung kontak antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding
dada dan (2) tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia
luar melalui saluran napas). Sementara itu faktor yang mendukung terjadi
pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas dinding toraks serta (2) elastisitas
paru (O’Rahilly, 2012). Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga iritasi
terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding
torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n.
frenikus).
32
Gambar - Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang
Kolaps (Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang
terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan
kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah
(sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke
dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke
arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu mendrainase cairan
sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga pleura memiliki faktor
keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20 kali baru akan
menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan cairan
pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.
33
Gambar – Desain Morfofungsional Rongga Pleura
(s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)
Gambar diatas adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang
tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik
parietal, ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan
mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler endotelium,
serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang selain
menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari rongga
pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura
yang disebut sebagai stomata limfatik. Kepdatan stomata limfatik tergantung dari
regio anatomis pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata
cm-2 di pleura parietal interkostal, sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di
daerah diafragma. Ukuran stomata juga bervariasi dengan rerata 1 m (variasi
antara 1 – 40 m) (O’Rahilly, 2012).
Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula
hukum Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua
kompartmen. Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut
(Miserocchi, 1991) :
34
Jv = Kf [(PH1 – PH2) - (1 - 2)]
Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori
membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah
tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1
menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut
tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat
terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran zat terlarut
dapat berlangsung secara bebas).
Gambar – Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang
menggambarkan hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura.
Hipotesis ini terlalu sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan
limfatik pleura; sedangkan (b) merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan
percobaan terhadap kelinci.
Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler
sistemik) ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil
35
mendorong cairan ini ke rongga pleura (Witmer, 2012). Nilai antara
intersitisium parietal dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3), sehingga
pergerakan protein terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura
relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1)
(Miserocchi, 1991).
Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui
pleura visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada
sebagian besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua
rongga yang secara fungsional terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada
manusia pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal, sehingga
permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya relatif rendah. Saluran limfatik
pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik -10 cmH2O.
1. Efusi Pleura
Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai
absoprsi (drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada
mekanisme yang telah dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk
dari pleura visceral atau rongga peritoneum (melalui lubang kecil di
diafragma). Dengan demikian efusi dapat terjadi apabila terjadi kelebihan
produksi (berasal dari interstisial paru atau pleura visceral, pleura parietal,
dan rongga peritoneal) serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi limfatik).
Pendekatan diagnostik pada efusi pleura melibatkan pengukuran parameter
cairan pleura serta keadaan sistemik. Efusi perlu dibedakan antara transudat
(yang umumnya terjadi akibat faktor sistemik) dan eksudat (akibat faktor
lokal). Transudat dan eksudat dapat dibedakan dengan mengukur LDH dan
protein, sehingga dapat disimpulkan bahwa eksudat dicirikan dengan (Light,
2012) :
a. Rasio protein cairan pleura/serum > 0,5
b. Rasio LDH cairan pleura/serum >0,6
c. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 batas atas LDH serum
36
Perlu pula dilakukan pengukuran gradien protein antara serum dengan
pleura, yang mana gradien yang lebih dari 3,1 g/dL menggambarkan jenis
transudat. Temuan karakteristik eksudat membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut, seperti kadar glukos, hitung jenis, studi mikrobiologis, dan sitologi
(Light, 2012).
Gambar di atas menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan
algoritma pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan
transudat memerlukan kecurigaan ke arah:
a. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat
kegagalan pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular
paru. NT-proBNP >1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal
jantung kongestif.
b. Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.
c. Emboli paru
d. Sindroma nefrotik
e. Dialisis peritonela
f. Obsgtruksi sindroma kava superior
g. Miksedema
Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis
tuberkulosis dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90%
sel darah putih), serta marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura
(yakni adenosin deaminase/ADA> 40 IU/L atau interferon gamma lebih dari
140 pg/mL). Cairan pleura dapat pula dikultur, biopsi jarum pleura, atau
torakoskopi. Efusi yang banyak mengandung sel darah merah
menggambarkan keganasan, trauma, atau emboli paru.
Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau
bronkiektasis. Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi
purulen yang masif.
37
Gambar – Algoritma Diagnosis Efusi Pleura (Porcel, 2006).
Gambaran radiologi yang penting ditemukan pada efusi pleura adalah
penumpulan sudut kostofrenikus pada foto posteroanterior. Jika foto polos
toraks tidak dapat menggambarkan efusi, diperlukan apencitraan radiologi lain
38
seperti ultrasound dan CT. Efusi yang sangat besar dapat membuat hemitoraks
menjadi opak dan menggeser mediastiunum ke sisi kontralateral. Efusi yang
sedemikian masif umumnya disebabkan oleh keganasan, parapneumonik,
empiema, dan tuberkulosis. Namun apabila mediastinum bergeser ke sisi di
mana efusi pleura masif berada, perlu dipikirkan kejadian obstruksi
endobronkial ataupun penekanan akibat tumor (Porcel, 2006).
Gambar - Kiri: Foto PA yang Menggambarkan Penumpullan Sudut
Kostrofrenikus Kiri; Kanan: Foto LLD Pasien yang Sama (Porcel, 2006).
39
BAB III
PEMBAHASAN
Ny. K, 70 tahun, datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak berkurang walaupun pasien sudah
beristirahat. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi setengah duduk. Pasien
juga mengeluhkan 4 hari tidak bisa tidur karena mengeluh sesak nafas. Menurut
keluarganya pasien mulai tampak payah saat beraktivitas. 6 bulan sebelumnya
pasien mengaku sudah mulai merasakan sesak nafas yang hilang timbul, pasien
juga sudah merasakan sesak bila berjalan kurang dari 10 meter. Pasien juga
mengeluhkan nyeri pada uluh hati yang menjalar ke punggung, nyeri uluhati
tersebut hilang timbul dan timbul terutama saat sesak nafas, berdebar-debar (-),
mual (+), muntah (-), BAB (-), BAK lebih sedikit dibanding biasanya.
Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke mantri, diberi obat
diminum selama tiga hari, karena tidak membaik pasien memeriksakan diri ke
dokter kemudian direkam jantung, dan langsung di rujuk ke RSDM. Pasien
mempunyai riwayat hipertensi.
Tanda vitalpasin didapatkan tensi 130/90 mmHg, nadi 88x/menit, heart
rate 88x/menit, respiratory rate 28x/menit, dan temperature 36,7oC. Pada
pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak, ictus cordis kuat
angkat di SIC VI linea axillaris anterior, dengan batas jantung kesan melebar ke
caudolateral, bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, didapatkan bising
pansistolik di left lateral sterna border menjalar ke apex. Pada abdomen
didapatkan nyri ulu hati. Pada paru didapatkan bunyi ronki basah halus pada
kedua basal paru.
Dalam hal ini pasien dirawat inapkan atas indikasi terdapat komplikasi
dari decompensatio cordis NYHA IV berupa efusi pleura bilateral dan penyakit
jantung koroner.
Sesak napas selama 2 hari, namun sebelumnya sudah dirasakan seak
hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu, dimana sesak memberat walau pasien
40
beraktivitas ringan. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati yang menjalar hingga
ke punggung. Diagnosis gagal jantung kongestif (Critria Framingham) didapatkan
3 kriteria mayor berupa ortopnea, ronkhi basah tidak nyaring, cardiomegali. Dan
3 criteria minor berupa Dyspneu d’eefort dan Efusi pleura. Diagnosis ditegakkan
dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada saat
bersamaan (Sudoyo, 2007).
Pada pasien ini didapatkan juga factor resiko terjadinya decompensatio
cordis dan penyakit jantung koroner yaitu hipertensi. (Christian Werner, 2008)
Suara ronki basah halus pada basal kdua paru dapat disebabkan karena
adanya efusi bilateral pada kedua basal paru pasien.
Penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut
ini:
1. EKG
Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal
dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting
dalam menentukan irama jantung
2. Foto Toraks
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi
ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali.
Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi
vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran
jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR
(cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung.
CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter
transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan
Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai
60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar
(horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka,
2008).
41
Penegakan diagnosis efusi pleura juga dapat diperkuat dengan hasil
radiologi. Dari foto toraks, didapatkan gambaran penumpulan sudut kostofrenikus
kanan pada foto posteroanterior. Penyebab efusi pleura perlu dianalisis lebih
lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk menentukan penyebab dari efusi pleura adalah analisis
cairan pleura. Perbedaan mendasar antara efusi pleura akibat keganasan atau
tuberkulosis adalah sebagai berikut (Sabatine, 2011) :
Penyebab Tampila
n
Hitung
jenis
leukosi
t
Eritrosi
t
pH Glukos
a
Keterangan
Keganasan Turbid
hingga
berdarah
1-
10.000
limfosit
<100.00
0
Norma
l
hingga
↓
Normal
hingga
↓
Pemeriksaa
n sitologi
Tuberkulosi
s
Serosang
(campura
n darah
dan
cairan
serosa)
5-
10.000
limfosit
<10.000 Norma
l
sampai
↓
Normal
sampai
↓
Pemeriksaa
n marker
TB ADA:
>70 IU/L
TB, jika<40
IU/L bukan
TB.
Pewarnaan
BTA: 0-
10% dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi
Sumber : (Sabatine, 2011)
42
Selanjutnya, dari hasil laboratorium, permasalahan yang dijumpai pada
pasien berupa peningkatan kolesterol total sebesar 224 mg/dl (50-200).
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk
perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol
ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein
densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein
densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang
rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara
kadar HDL dan insiden PJK. Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun)
dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL
kolesterol : > 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi
dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32
%, pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari
kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.Selain itu
juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam lemak omega-3
dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid dan
meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek
protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai
anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.
43
Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol
Selanjutnya, direncanakan pemeriksaan monitoring EKG serial dan
echokardiografi.
Pasien ini diberikan terapi yang pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal
berikut ini:
1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan
pemakaian oksigen dengan pembatasan aktivitas
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan
vasodilator (Sudoyo, 2007).
44
DAFTAR PUSTAKA
ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J
Am CollCardiol, 2007; 50:652-726
Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association,
Aditama, T. Y. 1995. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru,
dalam Cermin Dunia Kedokteran No.99. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan PT.Kalbe Farma.
Ali. 2006. Efusi Pleura Tuberkulosis. Diakses dari:
Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR.
H.Budi Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan
Cendikia
Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku
Ajar
Amin Z, Bahar A. Pengobatan tuberculosis mutakhir. Dalam buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010,
hal.2245.
Amin Z., Asril Bahar. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 989-990.bab1.pdf. Diakses tanggal
11 Desember 2012.
45
Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU
Repository.
Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to
stimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician
Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Patofisiologi Konsep
Christian Werner, MD, Michael Böhm . 2008. Is Dual Blockade Most Effective
for CHF? When to Use ARB and ACE Inhibitors Together, Disclosures
Geriatrics and Aging.;11(4):223-230.
Dahlan Zul. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis. Cermin dunia
kedokteran no. 115. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma.
Dalam, Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal:
1056 dan 1058.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta, pp: 16-18.
Diagnosis of tuberculosis disease: radiology. Diunduh dari:
www.heartlandntbc.org/training/archives/tbin_20080923_1510.pdf.
Diakses pada 12 Nov 2012, pk. 09.22 WIB.
Fishman J. A. 2002. Mycobacterial infections. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman
JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds. Fishman’s Manual of
Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia: MC Graw Hill, pp: 763-
799.
46
Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung
Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.).
Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.
Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah
Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1. Informatorium Obat Nasional
Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06_EfusiPleuraTuberkulosis.pdf/06_Efusi
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Irshad A. Imagin in Small Cell Lung Carcinoma. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/358274-overview. Diakses pada 12
Nov 2012, pk. 09.32 WIB.
Isbaniyah, Fattiyah, dkk. 2011.Tuberkulosis. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Jakarta.
Iseman M. D. 2000. Tuberculosis chemotherapy, including directly observed
therapy. In : Iseman MD, Girard, Beno M. A eds. Clinician’s Guide to
Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott.
47
Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner:
Sindroma Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Koroner. Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kurniasafi. 2010. Efusi Pleura. Diakses dari:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-kurniasafi-5149-
1-
Light RW. 2012. Disorders of the pleura and mediastinum.
Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan
Pengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. Diakses 13
Desember 2010 dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124
Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.
Mansjoer, et al. 2005. Pulmonologi: Tuberkulosis paru. Kapita selekta
kedokteran. Jakarta: FKUI.
Miserocchi G. Physiology and pathophysiology of pleural fulid turnover. Eur
Respir J, 1991; 10:219-25
O’Rahilly R, Muller F, Carpenter S, Swenson R. Basic human anatomy: A
regional study of human strucutre. [Internet]. Cited: 2012 Nov 10.
Available from: http://www.dartmouth.edu/~humananatomy/index.html
PleuraTuberkulosis.html. Diakses tanggal 11 Desember 2012.
Porcel JM, Light RW. Diagnostic approach to pleural effusion. Am Fam
Physician. 2006; 73(7):1211-20
48
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume I Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume II Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sabatine MS. Pocket medicine. 4th ed. USA: Williams & Wilkins; 2011, part.2-11,
7-12.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, FK UI, Jakarta.
Suyono. 2005. Efusi Pleura. Diakses dari:
http://www.indonesiaindonesia.com/f/9917-efusipleura/. Diakses tanggal
11 Desember 2012.Vol. 303, No.1
Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum. [Internet].
Cited: 2012 Nov 10. Available from: http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-
witmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf
World Health Organization. 2010. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Geneva:
world Health Organization.
49