presentasi kasus sle
DESCRIPTION
SLETRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Systemic Lupus Eritematosus (SLE)
Disusun oleh :
Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062
Pembimbing :
dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD
SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :
Systemic Lupus Eritematosus (SLE)
Pada tanggal,
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062
Mengetahui, Pembimbing
dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Imunitas dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa
penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain
lupus eritematosus sistemik. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit
sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multi organ, seperti
pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.
Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori
yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang
sama.1
Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang
sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan
tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti
disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting
ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui
penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada
satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.2
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat
ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat
contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang
bermanifestasi pada kulit.1
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di
negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini
membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. W
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Purbadana RT02 RW1, Purwokerto
Tanggal masuk : 27 Desember 2014
Tanggal periksa : 28 Desember 2014
No. CM : 922496
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama : Sesak napas
2. Keluhan Tambahan : Nyeri menelan, rasa panas di perut dan dada,
muncul ruam kemerahan di wajah, nyeri sendi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 27 Desember 2014 dengan
keluhan sesak napas. Keluhan tersebut pasien rasakan 1 hari sebelum
masuk RSMS. Sesak dirasakan memberat disertai dada dan perut terasa
panas. Keluhan tersebut dirasa memburuk jika pasien beraktivitas, saat
malam hari, dan saat berbaring terlentang. Keluhan dirasa membaik jika
pasien istirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk. Pasien juga
merasakan nyeri menelan karena bibir pecah-pecah. Pasien juga
mengeluhkan muncul ruam kemerahan di wajah sudah satu tahun tetapi
hilang timbul dan menetap kurang lebih satu minggu sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan lain juga dirasakan oleh pasien yakni nyeri sendi.
Pasien mengaku belum pernah dirawat di RSMS dengan keluhan yang
sama.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui sejak satu tahun belakangan ini
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat obat-obatan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan kedua orangtuanya. Rumah
pasien terletak jauh dari pusat kota sehingga diakui sulit mendapat
akses kesehatan. Hubungan pasien dan keluarga cukup baik.
b. Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan belum memiliki anak.
Rumah pasien tidak terlalu luas. Terdapat beberapa jendela dan
ventilasi yang baik. Lantai rumahnya sudah terbuat dari keramik.
Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur. 1 kamar mandi dan 1 WC.
Sumber air berasal dari sumur. Pasien mengatakan rumahnya sering
dibersihkan.
c. Personal habit
Pasien mengaku jarang melakukan olahraga terutama setelah muncul
keluhan nyeri sendi. Pasien senang mengkonsumsi makanan yang
pedas. Pasien tidak mengkonsumsi tidak merokok. Konsumsi air
minum pasien memasak sendiri dengan menggunakan kompor minyak
tanah. Kebiasaan BAB rutin dan BAK normal, tetapi sudah semenjak
satu minggu sulit BAB dan BAK.
d. Drugs
Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk
meredakan keluhan yang dirasakan pasien.
III. OBJEKTIF
1. Keadaan Umum : lemas
2. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 110/70mmHg
b. Nadi : 84x/menit
c. RR : 24x/menit
d. Suhu : 34,5 oC
4. Status Generalis
a. Kepala
1) Bentuk : normochepal, simetris
2) Wajah : ruam (+), lesi diskoid (+)
3) Rambut : warna hitam kemerahan, mudah
dicabut dan rontok, distribusi merata
b. Mata
1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva : anemis (+/+)
3) Sclera : ikterik (-/-)
4) Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
5) Eksofthalmus : (-/-)
6) Lapang pandang : tidak dilakukan pemeriksaan
7) Lensa : keruh (-/-)
8) Gerak mata : normal
9) Tekanan bola mata : tidak dilakukan pemeriksaan
10) Nistagmus : (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (+)
3) lidah kotor (-)
4) ulserasi (+)
f. Leher
1) Trakhea : deviasi trakhea (-)
2) KGB : tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid : tidak membesar
4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cmH2O)
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak (-)
c) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)
Wheezing(-/-), ronkhi basah halus(-/-), ronkhi basah
kasar (-/-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
kuat angkat
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : cembung
2) Auskultasi : bising usus (+) normal,
3) Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
4) Palpasi : supel, undulasi (+), hepar tidak teraba besar, dan lien
tidak teraba
besar, nyeri tekan (+) epigastrium dan hipokondrium
dextra
i. Extremitas
Pemeriksaan Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema + + + +
Sianosis - - - -
Ikterik - - - -
Purpura + + + +
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep
Patela
+
+
+
+
+
+
+
+
Reflek patologis - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
(dilakukan di RSMS Purwokerto) 27 Desember 2014
Darah lengkap
Hemoglobin : 8 g/dl
Leukosit : 4190 uL
Hematokrit : 23%
Eritrosit : 3,0 x 10^6/uL
Trombosit : 34.000/uL
MCV : 65,6 fL
MCH : 23,2 pg
MCHC : 35,5 %
RDW : 15 %
MPV : 8 %
Hitung Jenis
Basofil : 0 %
Eosinofil : 2 %
Batang : 5 %
Segmen : 77 %
Limfosit : 13 %
Monosit : 2 %
Kimia Klinik
SGOT : 125
SGPT : 39
Ureum : 151,7
Kreatinin : 2,51
GDS : 99
Natrium : 129
Kalium : 3
Klorida : 95
V. RESUME
1. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 27 Desember 2014 dengan
keluhan sesak napas. Keluhan tersebut pasien rasakan 1 hari sebelum
masuk RSMS. Sesak dirasakan memberat disertai dada dan perut terasa
panas. Keluhan tersebut dirasa memburuk jika pasien beraktivitas, saat
malam hari, dan saat berbaring terlentang. Keluhan dirasa membaik jika
pasien istirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk.
Pasien juga merasakan nyeri menelan karena bibir pecah-pecah. Pasien
juga mengeluhkan muncul ruam kemerahan di wajah sudah satu tahun
tetapi hilang timbul dan menetap kurang lebih satu minggu sebelum masuk
rumah sakit.
Keluhan lain juga dirasakan oleh pasien yakni nyeri sendi. Nyeri sendi
terutama dirasakan pada sendi lutut kanan dan kiri. Nyeri berkurang saat
pasien istirahat. Pasien mengaku belum pernah dirawat di RSMS dengan
keluhan yang sama.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa : diakui sejak 1 tahun belakangan ini
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Personal habit
Pasien tidak pernah merokok, tidak mengkonsumsi obat-obatan, namun
tinggal bersama anaknya yang seorang perokok berat. Kebiasaan BAB
rutin dan BAK normal, tetapi sudah semenjak satu minggu sulit BAB
dan BAK.
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala: ruam (+), lesi diskoid (+), konjungtiva anemis (+/+), bibir kering
(+), ulserasi mulut (+)
Abdomen: cembung, undulasi (+), pekak sisi (+), pekak alih (+)
Extremitas: Edema + + ; purpura + +
+ + + +
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Darah
Hemoglobin : 8 g/dl
Leukosit : 4190 uL
Hematokrit : 23%
Eritrosit : 3,0 x 10^6/uL
Trombosit : 34.000/uL
Kimia Klinik
SGOT : 125
SGPT : 39
Ureum : 151,7
Kreatinin : 2,51
GDS : 99
Natrium : 129
Kalium : 3
Klorida : 95
VI. ASSESSMENT
Diagnosis Klinis : SLE
VII. PLANNING
a. Rawat inap
b. Farmakologi
1. O2 3 lpm nasal kanul (bila perlu)
2. IVFD RL 20 tetes/menit
3. Inj. Ondansetron 2x1 ampul IV
4. Inj. Ranitidin 2x1 ampul IV
5. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg IV
6. Drip Ketorolac 3x1 ampul IV
7. Drip Nistatin 3x1 ampul IV
8. PO. Inpepsa syr 3x1 cth.
c. Non Farmakologi
1. Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi
penyakit.
2. Keseimbangan nutrisi antara protein, lemak, karbohidrat.
d. Monitoring
1. Keadaan umum dan kesadaran
2. Tanda Vital
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri.
Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus.
Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa
yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah
sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.
2.2 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik
Etiologi penyakit SLE masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga
merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor
lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte
Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus
eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T
yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian
kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya,
menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi
respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem
imun.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's
Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;
Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;
Interferon-a.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai
dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi
autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies
(ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen
yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan
limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA)
dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun,
yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 2
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan
lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.
2.3 Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis
SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi
lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik
yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun
oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel
apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan
memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat
memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius
terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B
menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa
autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-
stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang
kemudian merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear
mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi
sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat
membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi,
diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk
kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis
ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi
antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam
darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula
bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan
serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia
selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa
kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan
afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada
dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan
penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan
menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh
Cooper menyatakan bahwa menarche yang terlambat dan menopause dini
juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang
lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan
LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol.
Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum.
Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan
penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan
mempertinggi angka kematian penderita jantan.
2.4 Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen.
Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibodi maupun yang berupa sel
memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di
dalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
SLE adalah penyakit multigenik. Pada kebanyakan individu yang genetiknya
rentan, alel normal dari multipel gen normal masing-masing menyumbangkan
sejumlah kecil respon imun abnormal, jika variasi terkumpul cukup banyak, penyakit
muncul. Kekurangan homozigot komponen awal komplemen (C1q, r, s, C2, C4)
menganugerahkan kecenderungan kuat untuk terjadi SLE, namun kekurangan
tersebut jarang terjadi. Setiap gen lain yang tercantum risiko meningkatkan SLE
hanya 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberapa alel gen mungkin berkontribusi terhadap
kerentanan penyakit dengan izin mempengaruhi sel apoptosis (C1q, MBL) atau
kompleks imun (FCR 2A dan 3A), presentasi antigen (HLA-DR2, 3,8), pematangan
sel B (IL-10), T aktivasi sel (PTPN22), atau kemotaksis (MCP-1). Tak satu pun dari
hipotesis tersebut terbukti. Selain mempengaruhi kerentanan penyakit dalam berbagai
kelompok etnis, beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis penyakit (misalnya,
FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nefritis, MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis).
Sebuah daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang mempengaruhi untuk SLE,
psoriasis arthritis, arthritis, dan penyakit Crohn, menunjukkan adanya "gen
autoimunitas" itu, saat berinteraksi dengan gen lain, predisposisi penyakit autoimun
yang berbeda. Semua kombinasi gen mempengaruhi respon imun terhadap
lingkungan eksternal dan internal, ketika respon tersebut terlalu tinggi dan / atau
terlalu lama, timbullah penyakit autoimun.
Jenis kelamin wanita lebih banyak terkena SLE karena lebih banyak membuat
respon antibodi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan yang memakai
hormon estrogen yang terdapat pada kandungan kontrasepsi oral atau penggantian
hormon memiliki peningkatan risiko mengembangkan SLE (1,2 hingga 2 kali lipat).
Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, meningkatkan aktivasi dan
kelangsungan hidup sel-sel, sehingga mendukung respon imun berkepanjangan.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi SLE. Paparan sinar
ultraviolet menyebabkan kekambuhan dari SLE pada sekitar 70% pasien, mungkin
dengan meningkatkan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan
protein intraseluler untuk membuat mereka antigenik.
Ada kemungkinan bahwa beberapa infeksi menginduksi respon imun normal
yang matang mengandung beberapa sel T dan sel B yang menganggapnya antigen, sel
tersebut tidak diatur dengan baik, dan produksi autoantibody terjadi. Kebanyakan
pasien SLE memiliki autoantibodi selama 3 tahun atau lebih sebelum gejala pertama
penyakit, menunjukkan regulasi yang mengontrol derajat autoimun selama bertahun-
tahun sebelum kuantitas dan kualitas autoantibodi dan B patogen dan sel T benar-
benar menyebabkan gejala klinis. Epstein-Barr virus (EBV) mungkin menjadi salah
satu agen infeksi yang dapat memicu SLE pada individu yang rentan. Anak-anak dan
orang dewasa dengan SLE lebih mungkin terinfeksi oleh EBV dari usia, jenis
kelamin, dan kontrol etnik-pengamatan dikonfirmasi di Afrika-Amerika dewasa
dalam populasi yang lain. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan
bertahan dalam sel-sel selama beberapa dekade, tetapi juga mengandung sekuens
asam amino yang meniru susunan pada spliceosomes manusia (RNA / antigen protein
sering diakui oleh autoantibodies pada orang dengan SLE). Dengan demikian,
interaksi antara kerentanan genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan abnormal
tanggapan kekebalan menghasilkan autoimunitas.
Pada SLE, biopsi menunjukkan kulit deposisi terkena Ig di persimpangan
dermal-epidermal (DEJ), cedera pada keratinosit basal, dan peradangan didominasi
oleh limfosit T dalam DEJ dan sekitar pembuluh darah dan pelengkap dermal. Kulit
klinis terpengaruh juga dapat menunjukkan deposisi Ig pada DEJ tersebut.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleo protein (RNA). Ciri khas auto antigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara
bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang
spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada
limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun
di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ
tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan
timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam
patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal
mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
2.5 Klasifikasi SLE
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh
American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi
pada tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar
penderita LES mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat
mempunyai spesifisitas yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai
antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun
diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5
tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak
dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-
menerus.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,
terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif
terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES.
Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan
sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan
setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri
ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan
radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang
sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat
menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua
daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat
sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak
beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas.
2). Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3). Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15
tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas
tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka
terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai
diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di
masa kanak-kanak.
4). Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis
adalah:
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada
ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus
difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom
nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering
tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat.
H.Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau
kembali normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis
membesar pada 60% kasus SLE.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara.
K.Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis
vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa
lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan
organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan
lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer
dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak
selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis,
deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
darah dan aktivasi komplemen lokal.
2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE
Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis
darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA),
Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid,
antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA,
krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs,
Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein
dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada.
Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat
berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat
dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung
jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA.
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4
dari 11 kriteria ACR tersebut.
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi1 Bercak malar
(butterfly rash)Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.ataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan.ataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi treponema11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%
spesifisitas
Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif.
Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan
tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat
anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat
aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3,
dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua
aktivitas penyakit.
2.8 Komplikasi
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%)
2.9 Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan
parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang
tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi
penyakit menahun, atau kematian yang cepat.
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada
awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.
Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke
masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan
berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari
makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium untuk
menghindari kenaikan berat badan berlebih.
2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada
anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi
meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis
dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa
patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi
bakterial
2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit
>10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,
3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai
infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi
dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif
terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk
keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor
antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison
dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat
mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun
sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk
mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian
prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250
mg), metrotreksat atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal
necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk
DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah
terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.
Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila
kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off
secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan
setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar
lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau
diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-
4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada
Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis
dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol
dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang
dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan
splenektomi.
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat
(maksimal 400 mg/hari)
2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison
dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama
methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg)
per minggu.
3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3
minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan
dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit
dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali
sehari.
4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
5. Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang
tiap 4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan
bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan
bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
2.10 Prognosis
SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal. Dengan kemajuan
dalam diagnosis dan perawatan, survival rate dalam 5 tahun lebih besar dari
90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk
infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang
terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam
pengaturan kekebalan penyakit kompleks.
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal
ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data
dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates
sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar
83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat
hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat
dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.
BAB III
KESIMPULAN
Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem
tubuh menyerang jaringannya sendiri.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah sesuai dengan
kelainan organ yang sudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus.
http://www.aafp.org
2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
http://www.childrenclinic.wordpress.com.
3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
http://www.pediatrik.com.
4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. htttp://www.emedicine.com.
6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
7. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Available at htttp://www.emedicine.com.
8. Isbagio H., Albar Z., Kasjmir Y.I, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta ; FKUI; 2007. H 1214-21.
9. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H
2724-35.