presentasi2.doc

Upload: atiun-nisak

Post on 16-Oct-2015

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah fiqih

TRANSCRIPT

MAQASHID AL-SYARIAHPengertian Terminologis Maqashid Al-Syariah: suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan pemberlakuan suatu hukum .Maqashidul Al-Syariah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari penetapan suatu hukum yang diturunkan Allah SWT kepada makhluk mukallaf. Dalam konteks tujuan yang dimaksud di atas adalah kemaslahatan umat manusia. Hal ini merujuk kepada ungkapan Imam Syathibi: hukum-hukum disyariatkan demi kemaslahatan para hamba .Setiap penetapan hukum Allah SWT pasti mengandung suatu misi bagi kemaslahatan manusia. Penetapan ini dibagi menjadi dua katagori; Pertama, Perintah Allah SWT yang bersifat jelas (qathi). Kedua, perintah Allah SWT di dalam Al-Quran yang masih samar (zhanni)dan bersifat umum (mujmal), maka ranah ini merupakan wilayah Ulama guna menafsirkannya dengan kompetensi dan kualifikasi yang memadai .

Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah

Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas.

Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.

1. Fase Pra KodifikasiMaqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Quran diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lilalamin, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.

Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Quran maupun hadits.

Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Quran maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.

Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi saw. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan.

Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.

Diantara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya.

Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.

Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya.

Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.

Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Quran, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.Begitu pula ketika masa tabiin, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.

Misalnya tentang masalah tasir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tasir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.

Namun, Said bin al Musayyab, Rabiah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tasir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tasir adalah tidak adanya tuntutan yang medesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabiin, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan.

Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabiin dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.

2. Fase KodifikasiMenurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha.Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syariah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwatthanya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.

Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafii (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai talil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid.

Setelah Imam Syafii, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang talilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al Ilam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.

Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).

Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan Izzuddin bin Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi.Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya.Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiriMaqashid Syariah Menurut Imam Syatibi

Dalam kitabnya, al Muwafaqat, imam Syatibi membagi maqashid menjadi dua. Yang pertama maqashid yang kembali pada tujuan pembuat syariah (Allah SWT), yang kedua maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf).

Kemudian maqashid yang kembali pada tujuan Allah SWT dibagi lagi menjadi empat bagian;

1. Maksud Allah SWT dalam Memberlakukan Syariah (qasdu al syari fi wadi al syariah)Dalam pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT memberlakukan syariah adalah untuk kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi tiga bagian; yang pertama dlaruriyah (primer), yang kedua hajiyah (sekunder), yang ketiga tahsiniyah (tertier).

Dlaruriyah adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhirat. Jika tidak ada, maka bisa menyebabkan kehancuran dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dlaruriyah ini, menurut penelitian, mencakup pada pemeliharaan terhadap lima hal; hifzhud din (agama), hifzhun nafs (jiwa), hifzhun nasl (keturunan), hifzhul maal (harta), dan hifzhul aqal (akal).

Untuk menjaga hal-hal tersebut, imam Syatibi menawarkan dua cara pendekatan. Pertama dari sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya atau positif) dan al adam (menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya atau bersifat preventif).

Sebagai contoh, pemeliharaan agama dari sisi positif dengan menetapkan kewajiban ibadah misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji, serta dari sisi preventif dengan disyariatkannya jihad.Kemudian hajiyah adalah sesuatu yang diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai pada tahap kehancuran seperti yang pertama tadi. Misalnya boleh menqashar shalat dalam perjalanan.

Sementara tahsiniyah adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang najis.

Ketiga tingkatan di atas berderet secara urut. Artinya, ketika ada sebuah kasus terjadi pertentangan antara dlaruriyah dan hajiyah atau tahsiniyah, maka yang diutamakan adalah yang dlaruriyah. Misalnya shalat, ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka shalatnya tetap harus dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara tidak bisa menutup aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini saling melengkapi, yang tahsiniyah melengkapi hajiyah, kemudian melengkapi dlaruriyah.

Oleh karena itu, imam Syatibi kemudian menyimpulkan sebuah kaidah; dlaruriyah adalah asas bagi hajiyah dan tahsiniyah. Ketika dlaruriyah gugur maka yang lainpun ikut gugur, tapi tidak sebaliknya, namun kadang-kadang gugurnya hajiyah dan tahsiniyah secara mutlak bisa mempengaruhi kualitas dlaruriyah, karena itu hajiyah dan tahsiniyah perlu dipelihara untuk dlaruriyah.

2. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Bisa dipahami (qasdu al syari fi wadi al syariah lil ifham)

Ada dua hal penting yang disinggung oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan ini. Yaitu syariah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan syariah ini bersifat ummiyyah. Oleh karena itu imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin memahami syariah ini, maka ia harus memahaminya dari sudut pandang lisan Arab, dan bukan yang lain.

Sementara yang dimaksud dengan ummiyyah, imam Syatibi menjelaskan bahwa syariah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. wal ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi ala ashli wiladati al umm lam yataallam kitaban wa la ghairahu.

Atau secara sederhana, barangkali kita bisa mengatakan mereka disebut ummi karena pengetahuan mereka tidak pernah melampaui lingkungannya.

Hal ini tidak lain untuk menegaskan bahwa al Quran adalah mujizat yang turun dari Allah SWT dan bukan jiplakan atau kumpulan dari ilmu-ilmu dan agama yang ada di luar Arab, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengakui Nabi saw. waktu itu.

3. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk dijalankan (qasdu al syari fi wadi al syariah li al taklif bi muqtadlaha)

Dalam pembahasan ini, imam Syatibi menyoroti dua hal; pertama taklif (pembebanan) di luar kemampuan, yang kedua taklif dengan yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan).

Yang pertama tidak terlalu ia jelaskan secara panjang lebar, sebab persoalan ini memang sudah jelas, setiap taklif di luar kemampuan manusia maka ia tidak sah karena tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kemudian ia mengurai persoalan yang timbul pada nash-nash yang nampak diluar kemampuan manusia (seperti perintah untuk mencintai atau larangan marah) dengan melihat pengantarnya maupun dampaknya. Ketika misalnya syariat melarang marah pada hakekatnya bukan melarang marahnya, sebab marah adalah tabiat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, tetapi yang dilarang adalah melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan atau hal-hal yang diakibatkan oleh marah seperti dendam pertengkaran dan sebagainya.

Sementara yang kedua yaitu taklif dengan ada unsur masyaqqahnya lebih ia terangkan secara agak panjang. Ia menjelaskan bahwa Allah memberlakukan taklif yang ada unsur masyaqqahnya bukan bermaksud untuk memberikan masyaqqah pada manusia, tapi meraih maslahah yang ada dibalik taklif tersebut. Oleh karena itu ia kemudian menandaskan seseorang tidak boleh melakukan aktifitas dengan masksud mencapai masyaqqahnya, karena hal ini bertentangan dengan tujuan kemudahan bagi manusia yang ada dalam syariat.

Lebih jauh ia memaparkan, pada dasarnya setiap aktifitas mengandung unsur masyaqqah di dalamnya, seperti shalat, haji, bekerja dan lain sebagainya. Namun masyaqqah itu pada umumnya masih bisa diterima dan dipikul oleh manusia, bahkan orang-orang yang menghindari aktifitas-aktifitas tersebut dengan dalih masyaqqah di dalamnya bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang malas.

Ia juga memperhatikan bahwa kadang-kadang perasaan adanya masyaqqah ini secara tidak sadar muncul karena didorong oleh nafsu yang menentang melakukan perintah-perintah syariat, maka di sini ia mengingatkan bahwa termasuk tujuan Allah SWT memberlakukan syariat adalah supaya manusia tidak tertawan dan dikendalikan oleh nafsunya sehingga ia bisa menjadi hamba Allah SWT dengan baik.

Apabila masyaqqah yang ada ini sudah diluar kemampuan manusia umumnya atau memberatkan, maka syariat mentolelirnya dengan adanya rukhshah (keringanan) seperti yang terjadi pada orang yang sakit ketika ia tidak mampu untuk shalat berdiri, ia diperkenankan untuk duduk dan seterusnya.

Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini seimbang antara terlalu berat dan terlalu ringan.

4. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Semua Hambanya (qasdu al syari fi dukhuli al mukallaf tahta ahkam al syariah)

Dalam point pembahasan ini, imam Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini berlaku untuk semua hambanya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat.

Kemudian ia memaparkan lebih lanjut bahwa tujuan peletakan syariah adalah untuk membebaskan seorang hamba dari belenggu hawa nafsunya, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana halnya ia tidak bisa melepaskan diri dari predikat hambanya.

Dalam bahasanya imam Syatibi mengatakan: al maqshad al syariy min wadi al syariah ihraju al mukallaf an daiyati hawahu, hatta yakuna abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu abdan lillahi idltiraran. Oleh karena itu ia kemudian menyimpulkan setiap amal yang didasari dorongan nafsu secara mutlak tanpa melihat perintahnya atau larangan maka ia mutlak tidak sah, karena amal yang seperti itu pasti dilandasi kepentingan-kepentingan terselubung yang tidak ada kaitannya dengan syariat.

Kemudian ia juga mencoba membahas tentang sebuah amal yang mengandung dua unsur di dalamnya; tunduk pada perintah Allah SWT dan nafsu, maka amal tersebut dihukumi sesuai dengan unsur yang paling dominan antara keduanya. Namun ia tidak lupa untuk buru-buru mengingatkan bahayanya mentolelir nafsu dalam diri manusia meskipun dalam aktifitas-aktifitas yang positif, karena ia bisa menjalar tanpa disadari sehingga pada akhirnya menguasai dirinya.

Sementara itu pada maqashid yang kedua, yaitu maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf), imam Syatibi berbicara mengenai peran sentral motif dan niat yang menjadi dasar dari sebuah amal. Niatlah yang menjadikan amal seorang hamba sah dan diterima atau tidak, niatlah yang bisa menjadikan amal sebagai ibadah atau sekedar amal biasa, menjadikan ia wajib atau sunnah dan seterusnya.

Ia lalu menyontohkan sebuah amal jika didasari motif yang berbeda konsekwensinya pun akan berbeda. Misalnya sujud, ia bisa membuat orang menjadi mumin yang takwa atau bahkan kafir, kembali pada niatnya. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian membuat beberapa kesimpulan menyangkut hal ini;

1. Niat dan motif yang digerakkan oleh seorang hamba tidak boleh melenceng dari garis syariat.

2. Siapapun yang dalam menjalankan perintah Allah SWT punya maksud lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariat, maka amalnya batal.

Tingkatan atau tujuan Maqashid As Syariah1. Dlaruriyyat (tujuan primer)

Dlaruriyyat, (secara bahasa berarti kebutuhan mendesak),yaitu dimaksudakan untuk memelihara lima unsure pokok yang esensial, merupakan tujuan mutlak yang harus ada, sehingga kalau tujuan ini nihil (tidak ada), maka akan berakibat fatal karena terjadinya kehancuran dan kekacauan secara menyeluruh. Bagi Wael B. Hallaq, Dlaruriyyat diwujudkan dalam dua pengertian: pada satu sisi, kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan. Sementara di sisi lain, segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan kebutuhan tersebut haus disingkirkan.

Menurut Imam Abu Ishaq asy-Syartibi (w. 790H), ada lima perkara yang harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), harta (mal) dan keturunan (nasl).

a. Memelihra Agama (Hifzh al-Din)

Memelihara agama (islam) dengan meyakini aqidah yang benar dan lurus secara tulus, sekaligus melarang secara tegas hal-hal yang dapat merusak eksistensinya. Menjaga kesucian dan kemurnian agama termasuk sikap yang terpuji dan mulia di sisi Allah. Agama di atas segala-galanya dan kedudukannya lebih tinggi dari pada jiwa. Ada rukun islam yang paling pokok untuk dilaksanakan setiap umat Islam, karena dengan melaksanakan kelima rukun islam yang telah digariskan Rasulullah lewat sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a. berbunyi:

Artinya: Rasulullah telah bersabda: Islam itu dibangun di atas lima fondasi,yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhamad menjadi utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarikan zakat, menunaikan haji dan melaksanakan puasa ramadhan (HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap muslm berkewajiban menjalakan agama demi untuk menjaga kelestarian agama, karena agama bagi manusia sangat mutlak diperlukan, karenanya harus mendapatkan prioritas utama untuk dijaga keselamatan dan kelestariannya. Misalnya kewajiban mendirikan shalat yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Ankabut, 29:45 yang berbunyi: ....Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itumencegah dari hal-hal yang keji dan munkar

b. Memelihara Jiwa (Hiftz al-Nafs)

Sementara, untuk menyelamatkan jiwa islam mewajibka umatnya untuk makan dan minum dengan makan dan minuman yang halal dan baik, termasuk kepada anak keturunannya sehingga kehidupan bisa berlangsung. Karena jika kebutuhan pokok diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

c. Memelihara Akal (Hifzh al-Aql)

memelihara akal dalam tingkatan ini, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal. Untuk menyelamatkan akal, islam mewajibkan menuntut ilmu agar manusia memperoleh pengetahuan dengan cara memberdayakan potensi akal yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Karena dengan akal, manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan antara yang bermanfaaat dan yang tidak bermanfaat. Di samping itu, dengan akal manusia dapat meneliti dan mencermati alam semesta sebagai bukti kebesaran dan kekuasaan Allah. Oleh karenanya, pendidikan mutlak diperlukan manusia,guna menjaga akalnya agar tidak rusak akibat perbuatan-perbuatan yag dapat membawa kehancuran.

d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)

Untuk menjaga keturunan agar tidak rusak, maka Islam mengaturnya dengan cara pernikahan dan melarang perzinahan. Secara tegas dinyatakan dalam al-Quran:

Artinya: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra,17:32)

Karema Islam sangat perhatian, mask hukuman bagi pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan tidak dibeda-bedakan agar berdampak pada efek jera.

e. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)

Untuk menyelamatkan harta benda, Islam mengatur lewat hukum muamalat dan melarang tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian, seperti : pencurian, perampokan, korupsi, manpulasi, penyelundupan, eksplorasi sumber daya alam secara habis-habisan,penebangan hutan, termasuk juga sikap boros dan konsumeris medan sebagainya. Karena Islam sangat menghargai hak kepemilikan terhadap harta, termasuk surat-surat berharga, baik kepemilikan secar pribadi maupun kepemilikan bersama, sejauh tetap mengikuti tuntunan syariat, maka keberaan dan keselamatannya harus dilindungi secara serius agar tidak terjadi kerugian dikemudian hari, oleh individual maupun kolektif. Dengan harta benda,hamba Allah dapat melaksanakan jihad di jalan Allah, menyantuni fakir-miskin, membayar zakat dan beramal jariah serta infak untuk kepentingan agama Allah (sabilillah).2. Hajiyyat (tujuan sekunder)

Hajiyyat secara bahasa berarti kebutuhan, adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Karena itu ia berfunsi sebagai pemdukung dan pelengkap tujuan primer, maka tujuan yang sekunder kehadirannya dibutuhkan. Dalam arti, kalau factor Hajiyyat itu tidak ada, maka yang terjadi adalah ketidaksempurnaan atau mungkin kesulitan dan tidak sampai menimbulkan kehancuran dalam kehidupan manusia.

a. Memelihra Agama (Hifzh al-Din)

Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. Klau ketentuan in tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.

b. Memelihara Jiwa (Hiftz al-Nafs)

Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yng lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c. Memelihara Akal (Hifzh al-Aql)

Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranaya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)

Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti diteapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pad waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaqnya, padahal situasi rumah tangganya tida harmonis.

e. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)

Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tiak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainakan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.3. TAHSINIYYAT (tujuan tertier)

Tahsiniyyat, secara bahasa berarti hal-hal penyempurna, dimaksudkan agar manusia dapat mengerjakan yang terbaik dalam rangka menyempurnakan kelima perkara tersebut. Sifat dari tujuan tahsiniyyat yakni menuju peningkatan martabat dan penyempurna dalam masyarakat dan Tuhan, bisa juga sebagai faktor estetika. Oleh karena itu, kehadirannya tidak akan menghancurkan atau mempersulit kehidupan, tetapi hanya mengurangi keindahan dan etika. Disini pilihan pribadi sangat dihormati, jadi bersifat relatif dan lokal sejauh tidak bertentangan dengan syariat.

Pada prinsipnya, syariat islam tidak memberatkan hamba dalam melaksanakannya sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia, yang penting seorang hamba dalam mewujudkan amal-amalan kesehariannya didasari atas ketulusan dan keikhlasan semata-mata ditujukan kepada Alloh SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran surat Al-Bayyinah : 5

....(: )Artinya:padahal mereka tidak diuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan tulus ikhlas kepada-Nya dalm (menjalakan) agama dengan lurus(Q.S Al-Bayinah:5).Dan dalm firman-Nya yang lain ditegaskan :

Artinya: Sesungguhnya Alloh tidak membebani seseorang kecuali apa yang ia usahakan

Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori Maqashid al-syriat, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yang berkaitan langsung dengan tahsiniyyat, yaitu:

1. Memelihara Agama (Hifzh al-Din)

Yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat dengan akhlaq terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.

2. Memelihara Jiwa (Hifzh an-Nafs)

Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseoran. Contohnya ditetapkannya tata cara makan dan minum.

3. Memelihara Akal (Hifzh al-Aql)

seperti menghindari diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akn mengancam eksistensi akal secara langsung.

4. Memelihara Keturunan (Hifzh an-Nasl)

Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti di syariatkan khitbah atau walimat dalm pernikahan. Hal ini dilakukan dalm rangka melengkapi kegiatan pernikahan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan pernikahan.

5. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)

Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli tiu, sebab peringkat tahsiniyyat ini juga merupakan syarat adanya peringkat daruriyyat dan hajiyyat.

4