presus ards fix
DESCRIPTION
ardsTRANSCRIPT
TUGAS PRESENTASI KASUS
“ ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)”
Tutor:
dr. Ariadne Sp.A
Disusun Oleh:
Kelompok E2
Nurvita Pranasari G1A010054
Febrilia Mutiara Sari G1A010056
Indra Jati Laksana G1A010057
Rahmat Vanadi N. G1A010058
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)
merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan
tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.
Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien
masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan
pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan keadaan
klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam
mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen (Wratney,
2006).
Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat,
insidensi gagal napas di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun
insidensinya lebih tinggi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, sepertiga
kasus terjadi pada bayi dengan berat badan normal. Insidensi tertinggi terdapat
pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan dengan kemiskinan (Angus et al.,
2001).
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama
setelah kelahiran, dan 80% di antaranya terjadi pada minggu pertama dengan
penyebab utama kematian di antaranya adalah infeksi pernafasan akut dan
komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun
2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan
pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir 38%, respiratory distress 4%, dan
aspirasi 8% (Bappenas, 2010; Depkes, 2006). Meskipun angka-angka tersebut
masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG,
yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan pencegahan dan
penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik, kematian neonatus
khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat terus berkurang
(Bappenas, 2010).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)
merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan
tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.
Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien
masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan
pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan
keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam
mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen (Wratney,
2006).
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi
kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah,
sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida,
keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas
dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus,
sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan
oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan
sistem saraf pusat (Levy, 2005 ; Kumar 2005).
B. Etiologi dan Faktor risiko
Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1)
ukuran jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara,
(2) compliance paru yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma
cenderung yang lebih mudah lelah , serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang
lebih besar (Wratney, 2006).
Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh hipoplasia paru
(disertai hernia diafragma kongenital), infeksi, aspirasi mekoneum, dan
persistent pulmonary hypertension (Allen, 2009). Secara umum, etiologi
gagal nafas pada neonatus ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus
Paru-paru Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the newborn,
persistent pulmonary hypertension, pneumotoraks, perdarahan
paru, edema paru, displasia bronkopulmonal, hernia
diafragma, tumor, efusi pleura, emfisema lobaris kongenital
Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana, Pierre
Robin Syndrome, tumor dan kista
Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis, miasthenia
gravis
Sistem saraf pusat (SSP) Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik, magnesium;
kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP
Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung
kongestif, anemia/polisitemia, tetanus neonatorum,
immaturitas, syok, sepsis
Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi
berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih
banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi yang rendah (Qian et al., 2008).
C. Epidemiologi
Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius,
yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya
perawatan. Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas,
bayi berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih
banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah (Angus et al., 2001; Qian
et al., 2008).
Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat,
insidensi gagal napas di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup.
Meskipun insidensinya lebih tinggi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
sepertiga kasus terjadi pada bayi dengan berat badan normal. Insidensi tertinggi
terdapat pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan dengan kemiskinan
(Angus et al., 2001).
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama
setelah kelahiran, dan 80% di antaranya terjadi pada minggu pertama dengan
penyebab utama kematian di antaranya adalah infeksi pernafasan akut dan
komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon
tahun 2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh
gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir 38%, respiratory
distress 4%, dan aspirasi 8% (Bappenas, 2010; Depkes, 2006). Meskipun
angka-angka tersebut masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai
tujuan keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan
pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik,
kematian neonatus khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat
terus berkurang (Bappenas, 2010).
D. Patomekanisme
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel
alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran
gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan
penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional,
hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner, 2002).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif
Fase permulaan, dengancedera pada endotheliumdan epitelium, inflamasi,
daneksudasicairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding
alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/membran hialin. Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu
cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung
rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis. Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan
sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami
trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat
sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut.
Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru
sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari
beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih
dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary
akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat.
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan
volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan
bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru.
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis:
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh
perkembangan dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa
hati, seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut,
atau aspirasi. Dalam banyak kasus, hal menghasut jelas, tetapi, pada orang
lain (misalnya, obat overdosis), mungkin lebih sulit untuk mengidentifikasi.
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam
setelah kelainan dasarnya. Di awali penderita akan merasakan sesak nafas,
dan bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya
kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain
seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya
oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain
segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila
keadaan penderita tidak membaik. Kehilangan oksigen yang berlangsung
lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti gagal ginjal. Tanpa
pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena
penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya
menderitapneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala
lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Cemas, merasa ajalnya hampir tiba
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh
kegagalan organ lain)
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak
sangat sakit.
Pasien dalam perjalanan penyakitnya menjadi ARDS, sering disertai
dengan kegagalan multisistem organ, dan mereka mungkin tidak mampu
memberikan informasi historis. Biasanya, penyakit berkembang dalam 12-
48 jam setelah kejadian menghasut, meskipun, dalam kasus yang jarang,
mungkin diperlukan waktu hingga beberapa hari.
Dengan terjadinya cedera paru-paru, pasien awalnya dicatat dyspnea
dengan pengerahan tenaga. Hal ini dengan cepat berkembang menjadi
dispnea berat saat istirahat, takipnea, gelisah, agitasi, dan kebutuhan untuk
konsentrasi semakin tinggi oksigen terinspirasi (Djojodibroto, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia,
dan kebutuhan untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk
mempertahankan saturasi oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia.
Karena ARDS sering terjadi dalam konteks sepsis, hipotensi terkait dan
vasokonstriksi perifer dengan ekstremitas dingin mungkin ada. Sianosis
pada bibir dan kuku tempat tidur dapat terjadi. Pemeriksaan paru-paru dapat
mengungkapkan rales bilateral. Rales mungkin tidak hadir meskipun
keterlibatan luas. Karena pasien sering diintubasi dan ventilasi mekanik,
bunyi nafas menurun lebih dari 1 paru-paru dapat menunjukkan
pneumotoraks atau tabung endotrakeal turun bronkus utama kanan.
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut
akut dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik
tanpa sumber yang jelas, perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk
mengidentifikasi penyebab potensial dari sepsis, termasuk tanda-tanda
konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan abdomen akut. Hati-
hati memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan, dan ulkus
dekubitus untuk bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi
atau barotrauma. Karena edema paru kardiogenik harus dibedakan dari
ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan
beban volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis, murmur
jantung dan gallop, hepatomegali, dan edema. (Djojodibroto, 2009)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien
(PaO2) dibagi oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya
adalah 200 atau kurang. Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti
bahwa PaO2 kurang dari 200. Pada cedera paru akut (ALI), rasio
PaO2/FIO2 kurang dari 300.Selain hipoksemia, gas darah arteri sering
awalnya menunjukkan alkalosis pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi
dalam konteks sepsis, asidosis metabolik dengan atau tanpa kompensasi
pernapasan mungkin ada.
Saat kondisi berlangsung dan pekerjaan peningkatan pernapasan,
tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat dan alkalosis
pernapasan memberikan cara untuk asidosis pernafasan. Pasien pada
ventilasi mekanik untuk ARDS mungkin diperbolehkan untuk tetap
hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan dari volume tidal
rendah dan terbatas dataran tinggi strategi ventilator tekanan yang bertujuan
untuk membatasi ventilator terkait cedera paru-paru.
Untuk mengecualikan edema paru kardiogenik, mungkin akan
membantu untuk mendapatkan plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
nilai dan ekokardiogram. Tingkat BNP kurang dari 100 pg / mL pada pasien
dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia nikmat diagnosis ARDS / cedera
paru akut (ALI) daripada edema paru kardiogenik. Echocardiogram yang
menyediakan informasi tentang fraksi ejeksi ventrikel kiri, gerakan dinding,
dan kelainan katup.
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab
atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut:(Behrman
et al., 1999)
a. Hematologi
b. Pada pasien septik, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya
koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Von Willebrand Factor (vWF)
dapat meningkat pada pasien berisiko untuk ARDS dan dapat menjadi
penanda cedera endotel.
c. Ginjal – nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam
perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus
dimonitor secara seksama.
d. Hati - hati kelainan fungsi dapat dicatat baik dalam pola cedera
hepatoseluler atau kolestasis.
e. Sitokin – sitokin Beberapa, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8,
yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiografi
ARDS didefinisikan oleh adanya infiltrat paru bilateral. Para
infiltrat mungkin menyebar dan simetris atau asimetris, terutama jika
dilapiskan di atas sudah ada sebelumnya penyakit paru-paru atau jika
penghinaan menyebabkan ARDS adalah proses paru, seperti aspirasi atau
memar paru-paru.
Para infiltrat paru biasanya berkembang dengan cepat, dengan
tingkat keparahan maksimal dalam 3 hari pertama. Infiltrat dapat terlihat
pada radiografi dada segera setelah timbulnya kelainan pertukaran gas.
Mereka mungkin interstisial, ditandai dengan pengisian alveolar, atau
keduanya.
Awalnya, infiltrat mungkin memiliki distribusi perifer merata, tapi
segera mereka maju untuk meredakan keterlibatan bilateral dengan
perubahan kaca tanah atau alveolar jujur infiltrat (lihat gambar di bawah).
Anteroposterior rontgen dada portabel pada pasien yang telah di
kegagalan pernafasan selama 1 minggu dengan diagnosis sindrom
gangguan pernapasan akut. Gambar menunjukkan tabung endotrakeal,
meninggalkan subklavia pusat vena kateter pada vena kava superior, dan
kekeruhan merata bilateral di zona paru-paru sebagian besar menengah
ke bawah. Korelasi antara temuan radiografi dan beratnya hipoksemia
sangat bervariasi. Selain itu, diuresis cenderung meningkatkan infiltrat
dan volume overload cenderung memburuk mereka, terlepas dari
perbaikan atau memburuk di ARDS mendasarinya.
Untuk pasien yang mulai membaik dan menunjukkan tanda-tanda
resolusi, perbaikan dalam kelainan radiografi umumnya terjadi selama
10-14 hari (Djojodibroto, 2009).
b. Computed Tomography
Secara umum, evaluasi klinis dan radiografi dada yang cukup rutin
pada pasien dengan ARDS. Namun, computed tomography (CT)
scanning dapat diindikasikan dalam beberapa situasi. CT scan lebih
sensitif dibandingkan radiografi dada polos dalam mendeteksi emfisema
interstisial paru, pneumotoraks dan pneumomediastinum, efusi pleura,
kavitasi, dan limfadenopati mediastinum. Heterogenitas keterlibatan
alveolar sering terlihat pada CT scan bahkan di hadapan infiltrat difus
homogen pada radiograf dada rutin.
Dalam beberapa kasus, penemuan patologi paru tak terduga, seperti
pneumotoraks, mungkin menyelamatkan nyawa. Namun, ini potensi
manfaat harus dipertimbangkan terhadap risiko yang terkait dengan
mengangkut pasien sakit kritis pada intensitas tinggi ventilasi mekanis
keluar dari unit perawatan intensif (ICU) dengan peralatan CT scan
(Djojodibroto, 2009).
c. Echocardiography
Sebagai bagian dari pemeriksaan, pasien dengan ARDS harus
menjalani ekokardiografi 2-dimensi untuk tujuan skrining. Jika temuan
ini sugestif shunting paten foramen ovale, 2-dimensi ekokardiografi
harus ditindaklanjuti dengan transesophageal echocardiography.
Karena pasien dengan ARDS parah sering membutuhkan posisi
rentan berkepanjangan karena hipoksemia refraktori, sebuah studi dinilai
penggunaan transesophageal echocardiography (TEE) pada pasien dalam
posisi rawan. Penelitian menetapkan bahwa TEE dapat dengan aman dan
efisien dilakukan pada pasien dengan ARDS parah dalam posisi rawan
(Mekontso, 2011).
d. Pemantauan hemodinamik invasif
Karena diagnosis diferensial dari ARDS meliputi edema paru
kardiogenik, pemantauan hemodinamik dengan arteri pulmonalis (Swan-
Ganz) kateter mungkin dapat membantu dalam kasus-kasus yang dipilih
untuk membedakan dari edema paru kardiogenik noncardiogenic.
Kateter arteri paru melayang melalui introducer yang dipasang di
pembuluh darah sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan
internal. Dengan balon digelembungkan, kateter maju dengan
pemantauan tekanan berkelanjutan. Hal ini memungkinkan pengukuran
tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan, tekanan arteri
pulmonalis, dan arteri tekanan oklusi paru (PAOP).
Dengan kateter dalam posisi benar, PAOP mencerminkan tekanan
mengisi di sisi kiri jantung dan secara tidak langsung, status volume
intravaskular. PAOP A lebih rendah dari 18 mm Hg biasanya konsisten
dengan edema paru noncardiogenic, meskipun faktor-faktor lain, seperti
tekanan onkotik plasma rendah, memungkinkan edema paru kardiogenik
terjadi pada tekanan lebih rendah.
Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lainnya yang
dapat membantu baik dalam diagnosis diferensial dan pengobatan pasien
tersebut. Sebagai contoh, perhitungan resistensi pembuluh darah sistemik
berdasarkan keluaran thermodilution jantung, tekanan atrium kanan, dan
rata-rata tekanan arteri dapat memberikan dukungan untuk kecurigaan
klinis dari sepsis.
Saturasi oksigen vena campuran untuk memungkinkan perhitungan
shunt dan pengiriman oksigen digunakan oleh beberapa untuk
menyesuaikan parameter ventilator dan dukungan vasoaktif. Saturasi
oksigen vena campuran juga digunakan dalam tujuan-diarahkan terapi
untuk sepsis.
Karena menghindari cairan yang berlebihan mungkin bermanfaat
dalam pengelolaan ARDS, penggunaan kateter vena sentral atau kateter
arteri paru dapat memfasilitasi manajemen cairan yang tepat dalam
pasien yang menilai status volume intravaskular berdasarkan gejala klinis
mungkin sulit atau tidak mungkin. Hal ini mungkin sangat berguna pada
pasien yang hipotensi atau mereka dengan gagal ginjal terkait.
Meskipun kateter arteri paru-paru memberikan informasi yang
cukup, penggunaannya bukan tanpa kontroversi. Para ARDS Clinical
Trials Jaringan mempelajari apakah perbedaan angka kematian dapat
ditemukan pada pasien ARDS yang cairan manajemen dipandu oleh
kateter arteri paru-paru dibandingkan dengan kateter vena sentral setelah
resusitasi awal. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan dalam
kematian, hari ventilator, ICU hari , atau perlu untuk pressors atau
dialisis. Kelompok kateter arteri paru-paru memiliki dua kali lebih
banyak kateter terkait komplikasi, terutama aritmia.
Studi lain retrospektif besar pasien kritis dipantau dengan kateter
arteri paru-paru dalam 24 jam pertama masuk ICU menunjukkan bahwa
pasien dengan kateter arteri paru-paru memiliki tingkat kematian
meningkat, biaya rumah sakit, dan lama tinggal dibandingkan dengan
kelompok pasien secara retrospektif. Penggunaan kateter arteri
pulmonalis masa lalu saat resusitasi awal tidak bermanfaat kelangsungan
hidup dan mungkin memiliki efek buruk pada kelangsungan hidup.
Pengukuran akurat dari parameter hemodinamik dengan kateter
arteri paru-paru membutuhkan keterampilan dan perawatan. Hal ini
terutama sulit pada pasien baik pada ventilasi mekanik atau dengan
inspirasi spontan dipaksakan karena tekanan menelusuri dipengaruhi oleh
tekanan intrathoracic. PCWP harus diukur pada akhir ekspirasi dan dari
pelacakan bukan dari display digital pada monitor di samping tempat
tidur (Mekontso, 2011).
e. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi, perdarahan alveolar, atau akut pneumonia
eosinofilik pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. Materi budaya
dapat diperoleh dengan wedging bronkoskop dalam bronkus
subsegmental dan mengumpulkan cairan disedot setelah menanamkan
volume besar garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA).
Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram
noda dan kuantitatif berbudaya.
Sepuluh ribu organisme per mililiter umumnya dianggap signifikan
pada pasien yang sebelumnya tidak diobati dengan antibiotik.
Sebagaimana dicatat (lihat di atas), ARDS awal ditandai oleh adanya
neutrofil dalam cairan BAL, sehingga kehadiran organisme intraseluler
dan penggunaan kultur kuantitatif penting dalam membangun infeksi.
Cara alternatif untuk memperoleh suatu budaya adalah dengan cara
sikat spesimen yang dilindungi, yang dilewatkan melalui bronkoskop
menjadi bronkus segmental. Selanjutnya, sikat dipotong menjadi 1 mL
saline nonbacteriostatic steril. Budaya 1000 organisme dianggap
signifikan.
Analisis jenis sel hadir dalam cairan BAL dapat membantu dalam
diagnosis banding pasien dengan ARDS. 20%) in the BAL fluid is
consistent with the diagnosis of acute eosinophilic pneumonia.”>Sebagai
contoh, ditemukannya persentase yang tinggi dari eosinofil (> 20%) pada
cairan BAL konsisten dengan diagnosis pneumonia eosinofilik akut.
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada pasien ini mungkin
menyelamatkan nyawa.
Sebagian besar dari limfosit dapat diamati pada pneumonitis
hipersensitivitas akut, sarkoidosis, atau bronchiolitis obliterans
mengorganisir pneumonia (Boop). Sel darah merah dan hemosiderin-
sarat makrofag dapat diamati pada perdarahan paru. Makrofag sarat lipid
sugestif dari aspirasi atau pneumonia lipoid.
Evaluasi sitologi dari cairan BAL juga dapat membantu dalam
diagnosis diferensial ARDS. Hal ini dapat mengungkapkan perubahan
sitopatik virus, misalnya. Perak noda dapat membantu dalam
mendiagnosis infeksi, seperti pneumonia.
Penggunaan bronkoskopi sebagai tambahan untuk terapi surfaktan
telah dilaporkan. Dalam 10 orang dewasa dengan ARDS, lavage
segmental sekuensial bronkopulmonalis dengan sintetik encer itu aman,
ditoleransi dengan baik, dan terkait dengan penurunan kebutuhan oksigen
(Walmrath, 1996).
f. Temuan histologis
Perubahan histologis dalam ARDS adalah dari kerusakan alveolar
difus. Sebuah fase eksudatif terjadi pada beberapa hari pertama dan
ditandai oleh edema interstitial, perdarahan alveolar dan edema, kolaps
alveolar, kemacetan kapiler paru, dan pembentukan membran hialin.
Perubahan-perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan
informasi yang akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan
penyebab ARDS. Fotomikrograf dari pasien dengan sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS). Gambar menunjukkan dalam tahap ARDS
eksudatif. Perhatikan membran hialin dan hilangnya epitel alveolar dalam
tahap awal ARDS. Biopsi dilakukan setelah beberapa hari menunjukkan
awal organisasi eksudat intra-alveolar dan perbaikan, fase proliferasi
ARDS, yang ditandai oleh pertumbuhan tipe 2 pneumocytes di dinding
alveolar dan penampilan fibroblas, myofibroblasts, dan kolagen
pengendapan di interstitium. Tahap akhir dari ARDS adalah fibrosis.
Dinding alveolar yang menebal oleh jaringan ikat bukan edema atau
selular menyusup (Walmrath, 1996).
g. Pementasan
Pada 1980-an, Murray dan rekan kerja mengembangkan cedera
paru-paru sistem penilaian, yang telah terbukti membantu dalam
penelitian klinis pada ARDS. Sistem ini didasarkan pada 4 parameter
berikut.:
1) Keparahan konsolidasi berdasarkan temuan radiograf dada
2) Beratnya hipoksemia berdasarkan rasio PaO2/FIO2
3) Paru
4) Tingkat kebutuhan PEEP (Walmrath, 1996)
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada
penyakit yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus
ditujukan untuk mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi
akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia,
sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir yang
mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk
neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit
yang memiliki fasilitas NICU (Hagedorn et al., 2002). Sebelum dirujuk atau
dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat
diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.
1. Penatalaksanaan Non Respiratorik
a. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,5−37,5oC (Sweet et al.,
2010).
b. Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress
nafas yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk
mencegah keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan
glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan
jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose
10% atau ¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan
dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang
diberikan (Mathai et al., 2007). Pemberian nutrisi parenteral dapat
dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5
g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari (Sweet et al., 2010).
c. Pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang
dianjurkan adalah ampicillin dan gentamicin (Hermansen et al., 2007;
Jing et al., 2010).
2. Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, serta
memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Semua bayi yang
mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan
tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan
telah dihangatkan (Mathai et al., 2007). Tujuan utama dalam
penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas
dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini
dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas.
Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami
gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadan
klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu (Frankel,
2007).
(Hermansen et al., 2007; Mathai et al., 2007).
3. Penatalaksanaan di ruang NICU
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan
intensif neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan.
Penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide
(iNO), telah banyak dilakukan dan berakibat pada berkurangnya
penggunaan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak
efek samping (Hagedorn, 2002).
4. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif
dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi
mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi
pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal
(Sweet et al., 2010).
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1)
prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang
bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2
lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang
menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk
penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea,
(2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada
pemberian surfaktan (Eichenwald, 2008).
5. Surfaktan
Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan
kedalam rongga udara pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen
utama surfaktan adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari
dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Fungsinya adalah untuk
mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran nafas kecil
selama ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan volume
Neonatus dengan distress nafas
Berat(PCH, grunting, apneu, sianosis
Resusitasi:• Bersihkan jalan nafas, hisap lendir
(suction)• Pemberian oksigen , pasang OGT• Pasang akses intra vena :• D10% 60 ml/kgBB• Ca-Gukonas 10% 6-8 ml/kgBB• Monitor temperatur• Monitor saturasi• Rontgen toraks (Bila memungkinkan)
Algoritma diagnosis dan Tatalaksana Gagal nafas pada Neonatus
Ringan(Takipneu ringan)
Disesuaikan menurut usia
Evaluasi menggunakan skor Downes
Perbaikan klinis
Evaluasi menggunakan skor Downes
Perawatan di NICU
Pemberian O2 dilanjutkan Monitoring saturasi Rontgen toraks
Intubasi Pemberian antibiotik spektrum luas:Ampicillin &
Gentamicin (inisial) Pemeriksaan penunjang: Darah rutin & hitung jenis, AGD, GDS,
elektrolit, rontgen toraks Konsul NICU/rujuk ke RS yang memiliki NICU
Hasil AGD:Asidosis metabolik/respiratorikBila pH ≤ 7,25 Na-Bikarbonat 1-2 mEq/kgBB dlm 30 menit
TIDAK ( Ancaman gagal nafas/DS≥6)
Hipoglikemi bolus D10% 2cc/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu kec 6-8 mg/kgBB/mntHiperglikemi kuranngi konsentrasi infus glukosa (D5%)
paru. Surfaktan juga berperan dalam mekanisme pertahanan paru dengan
meningkatkan mucociliar clearance (Kosim, 2005).
Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan
permukaan alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan
transpulmonal yang rendah. Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan
nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan yang lebih rendah untuk
mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan dari
paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang
akibat surfaktan mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk
membuka jalan nafas dan kerja pernafasan (Sweet, 2010).
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir
apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat.
Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah
dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen
30% atau lebih (Kosim, 2005).
Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.
Nama Produk Dosis Awal Dosis Tambahan
Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali
pemberian dengan interval tiap
12 jam
Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam,
sampai total 4 dosis dalam 48
jam
Colfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4
menit
Dapat diulang setelah 12 dan 24
jam
Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat
diberikan tiap 12 jam
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan
menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian
perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat
ditimbulkan lebih sedikit (Sweet, 2010).
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara
lain, bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi,
hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi
pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat
terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak
dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping
tersebut dapat diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan
meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi (Kosim, 2005).
6. High Frequency Ventilation
High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik
yang menggunakan volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat.
Keuntungan HFV adalah dapat memberikan gas yang adekuat dengan
tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga mengurangi kejadian
barotrauma. Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan
ventilator biasa. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS
yang menggunakan ventilator HFV memperlihatkan penurunan kejadian
lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan ventilasi yang
adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah,
sehingga penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks,
hipoplasia paru, sindroma aspirasi mekonium, pneumonia dengan
atelektasis (Field, 2002)
7. Inhaled Nitric Oxid
Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan
aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan
menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi
tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan
intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas
(Konduri et al., 2007).
8. Extracorporeal Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat
yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan
(membrane oxygenator), di mana oksigen ditambahkan dan CO2
dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien
(Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat
paru-paru dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator.
Selama ECMO berlangsung paru-paru bayi dapat terus bekerja namun
dalam volume yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya atelektasis.
Prosedur ECMO sangat invasif dan resiko tinggi. Penggunaan ECMO
pada bayi preterm dengan usia gestasi 34 minggu ternyata memperlihatkan
angka kematian yang tinggi disebabkan perdarahan intrakranial. Sehingga
kriteria inklusi untuk ECMO adalah usia gestasional ≥ 34 minggu atau
berat lahir ≥ 2000 gram, tidak ada gangguan perdarahan, telah diberikan
ventilasi mekanik selama 10-14 hari, penyakit paru bersifat reversibel
(Brown et al., 2010).
III. KESIMPULAN
1. Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi
kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan
darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi
karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan
PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan
jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.
2. Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi
berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih
banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah.
3. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh perkembangan
dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa hati, seperti
trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut, atau
aspirasi.
4. Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan
kebutuhan untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk
mempertahankan saturasi oksigen.
5. Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada
penyakit yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus
ditujukan untuk mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan yang
terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan
asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Allen M. 2009. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham
M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures,
on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA
Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. 2001.
Epidemiology of neonatal respiratory failure in the united states. Am J
Respir Crit Care Med. Vol. 164: 1154-60.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2006. Akselerasi pelayanan
kesehatan: Peran penelitian kesehatan. Tersedia dari:
http://www.depkes.go.id.
Behrman, Richard E, Kligman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisis 15.
Jakarta: EGC.
Brown K, Sriram S, Ridout D, Cassidy J, Pandya H, Liddell M, et al. 2010.
Extracorporeal membrane oxygenation and term neonatal respiratory
failure deaths in the United Kingdom compared with the United States:
1999 to 2005. Pediatr Crit Care Med. Vol. 11(1).
Brunner, L, et al. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 1.
Jakarta : EGC
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Eichenwald E. 2008. Mechanical ventilation. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E,
Stark A, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi 6. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. Hal 331-42.
Field D. 2002. Alternative strategies for the management of respiratory failure in
the newborn – clinical realities. Semin Neonatol 2002. Vol. 7: 429-36
Frankel L. 2007. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman
R, Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
18. Philadelphia: Sunders Elsevier. Hal. 421-4.
Hagedorn M, Gardner S, Abman S. 2002. Common systemic diseases of the
neonate: Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S,
penyunting. Handbook of neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis:
Mosby. Hal. 485-575.
Hermansen C, Lorah K. 2007. Respiratory distress in the newborn. Am Fam
Physician. Vol. 76: 987-94.
Hudak, ML. 1997. A multicenter Randomized Masked Comparison Ttrial of
Synthetic Surfactant versus Calf Lung Surfactant Extract in the
Prevention of Neonatal Respiratory Distress Syndrome. USA :
Department of Pediatrics, Children's Hospital of Buffalo, State
University of New York at Buffalo, Buffalo, NY, USA.
Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, et al. 2010. Clinical
characteristics, diagnosis and management of respiratory distress
syndrome in full-term neonates. Chin Med J. Vol. 123(19) :2640-44.
Konduri G, Vohr B, Robertson C, Sokol G, Solimano A, Singer J, et al. 2007.
Early inhaled nitric oxide therapy for term and near-term newborn infants
with hypoxic respiratory failure: neurodevelopmental follow-up. J Pediatr.
Vol. 150: 235-40.
Kosim M. 2005. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Pediatrica
ndonesiana. Vol. 45: 233-40.
Kumar A, Bhatnagar V. 2005. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr
2005. 72(5):425-38
Levy M. 2005 Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest.128:547-53.
Mathai S, Raju C, Kanitkar C. 2007. Management of respiratory distress in the
newborn. MJAFI. Vol. 63: 269-72.
Mekontso Dessap A, Boissier F, Leon R, Carreira S, Campo FR, Lemaire F, et al.
2010. Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale
during acute respiratory distress syndrome. Crit Care Med.
Mekontso Dessap A, Proost O, Boissier F, Louis B, Roche Campo F, Brochard L.
2011. Transesophageal echocardiography in prone position during severe
acute respiratory distress syndrome. Intensive Care Med.
Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, et al. 2008. Neonatal respiratory
failure: a 12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in
China. Pediatrics. Vol. 121: 1115-24.
Suwondo, Aryanto. 2006. Acute Respiratory Distress Syndrome. Jakarta : FKUI
Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. 2010.
European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory
distress syndrome in preterm infants: 2010 Update. Neonatology. Vol. 97:
402-17.
UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November
2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
Walmrath D, Günther A, Ghofrani HA, Schermuly R, Schneider T, Grimminger
F, et al. 1996. Bronchoscopic surfactant administration in patients with
severe adult respiratory distress syndrome and sepsis. Am J Respir Crit
Care Med
Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. 2006. Disorders of the lung
parenchyma. Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical
care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
Lampiran 1. Resep
dr. Indra Mutiara Prana Vanadi
SIP : BMS/010/54/56/57/58/2013
Jalan Kebenaran No.1 Rt 6 Rw 9 Kelurahan Baru
083 86233 4750
Purwokerto, 13 Desember 2013
R/ Oksigen 3 lt/menit
S imm
β
R/ Dekstrose 10% flab no. I
S imm
β
R/ Ampicillin 100 mg / 1 g vial no. I
S 3 dd inj 1
β
Pro : Nn. Fiola
Usia : 2 hari
Alamat : Desa Konoha
Lampiran 2. Surat Rujukan
Purwokerto, 13 Desember 2013
Kepada
Yth. TS. dr. Ariadne Tiara H, M.Si.Med, Sp.A
Spesialis Anak
Jalan dr. Gumberg No.1
Purwokerto
Dengan hormat,
Dimohon konsul dan pengobatan selanjutnya penderita Nn.Fiola 2 hari L/P,
diagnosis : Acute Respiratory Distress Syndrom, hasil pemeriksaan laboratorium
terlampir.
Penderita telah kami beri terapi sementara oksigen, infus dextrose, dan antibiotik.
Atas kesediaan dokter, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam,
Dr. Indra Mutiara Prana Vanadi
Jalan Kebenaran No. 1
Purwokerto