presus keratitis
TRANSCRIPT
KERATITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Mata
di BRSD KRT. Setjonegoro
Diajukan Kepada :
dr. Rochmad Haryanto, Sp. M
Disusun Oleh :
Muhammad Faris. N
2007.031.0150
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
BRSD WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang ditandai dengan timbulnya
infiltrat pada lapisan kornea, biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea
yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau
bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis
parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Vaughan, 2002). Keratitis
superfisial adalah radang kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran
bowman, keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Kornea
merupakan salah satu media refraksi penglihatan dan berperan besar dalam
pembiasan cahaya diretina. Oleh karena itu setiap kelainan pada kornea termasuk
infeksi dapat menyebabkan terganggunya penglihatan, terganggunya penglihatan
biasanya karena terjadi kekeruhan pada kornea akibat keberadaan infiltrat pada
lapisan kornea. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat,
namun beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya,
luka atau trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang
sangat kering juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea.
Beberapa etiologi yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya keratitis
antara lain: perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang
berlebihan, trauma, keracunan obat, infeksi jamur, bakteri, virus, alergi, defisiensi
vitamin A, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain. Keratitis dapat
menimbulkan gejala pada mata berupa tajam penglihatan menurun, tanda radang
pada kelopak mata, rasa nyeri, mata merah, fotofobia, mata berair, sensasi benda
asing didalam mata (Ilyas, 2009).
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat di diagnosis atau diterapi secara tidak
tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut
yang luas.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. O
Alamat : Ciledok, Kaliwiro
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Buruh
Nomor CM : 55 22 60
Datang ke poli : 05 Februari 2013
B. Anamnesis
Keluhan utama : Mata nrocos, nyeri, penglihatan kabur
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang diantar keluarganya ke poli
mata BRSD KRT Setjonegoro dengan keluhan mata kiri nrocos dan disertai
penglihatan tidak jelas/kabur. Pasien juga mengeluhkan mata terasa nyeri dan
terasa ada yang mengganjal. Keluhan dirasakan sejak ± 7 hari yang lalu.
Sebelumnya mata pasien terkena serpihan kayu yang halus di tempat kerjanya
kemudian terasa gatal. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas Kaliwiro dan
diberi obat tetes mata, namun keluhan kumat lahi setelah 3 hari pengobatan.
Keluhan muncul kembali ketika pasien kembali ke tempat kerja sebagai
buruh bangunan.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat mondok : Belum pernah
Riwayat alergi obat : Disangkal
Riwayat penyakit dalam : Disangkal
Riwayat operasi : Pasien blm pernah dioperasi sebelumnya
Riwayat BAB hitam : Disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit serupa di keluarga : Tidak ada
Anamnesis Sistem :
Neuromuskular : pusing (-), nyeri otot (-)
Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
Kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Gastrointestinal : kembung (-), mual(-), muntah (-), perut sakit (-)
Urologi : BAK tidak ada keluhan
C. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos mentis
Pemeriksaan Subyektif :
Pemeriksaan OD OS
Visus jauh
Refraksi
Koreksi
Visus Dekat
Proyeksi sinar
Persepsi warna (merah, hijau)
5/5
-
-
-
-
5/10
-
-
-
-
Pemeriksaan Obyektif :
Pemeriksaan OD OS
1. Sekitar mata
Supercilia
2. Kelopak Mata
Pasangan
Gerakan
Lebar rima
Kulit
Lebar kelopak
Margo intermarginalis
3. Apparatus Lakrimalis
Simetris dan
distribusi merata
Simetris
Normal
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Lakrimasi (-)
Simetris dan
distribusi merata
Simetris
Normal
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Lakrimasi (+)
Sekitar gl lakrimalis
Sekitar saccus lakrimalis
Uji fluresin
Uji regurgitasi
4. Bola mata
Pasangan
Gerakan
Ukuran
5. Tekanan bola mata
6. Konjungtiva
K.Palpebra superior
K.Palpebra inferior
K.forniks
K.bulbi
7. Sklera
Episklera
8. Kornea
Ukuran
Kecembungan
Limbus
Permukaan
Medium
Dinding belakang
Uji Fluresin
Placido
9. Camera occuli anterior
Ukuran kedalaman
Isi
Lakrimasi (-)
-
-
Simetris
Simetris
Dbn
Normal
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Putih
Putih
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Licin
Dbn
Dbn
-
-
Dalam
Jernih
Lakrimasi (+)
-
-
Simetris
Simetris
Dbn
Normal
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Hiperemis (+)
Tampak bercak
putih (+)
Dbn
Dbn
Dbn
Tidak rata
Dbn
Dbn
-
-
Dalam
Jernih
10. Iris
Warna
Pasangan
Gambaran
Bentuk
11. Pupil
Ukuran
Bentuk
Tempat
Tepi
Reflek direk
Reflek indirek
12. Lensa
Ada/Tidak ada
Kejernihan
Letak
Warna Kekeruhan
13. Korpus vitreum
14. Refleks fundus
15. Skiaskopi
Coklat
Simetris
-
Regular
2-3 mm
Regular
Tengah
Regular
+
+
Ada
putih
Simetris sentral
putih
-
-
-
Coklat
Simetris
-
Regular
2-3 mm
Regular
Tengah
Regular
+
+
Ada
Putih
Simetris sentral
Putih
-
-
-
D. Diagnosa Kerja
OS : Keratitis
E. Planning
Cefadroxyl 500mg tab 3x1
Na Diclofenac 3x1
C. Xytrol tiap 2 jam
Metampiron tab 2/3 3x1
Dexametasone tab 2/3 3x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila
mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau
interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma (Ilyas, 2006).
B. Etiologi dan Faktor Pencetus
Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur
dapat menyebabkan keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes
simplex tipe 1. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata,
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke
mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata,
debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001).
C. Tanda dan Gejala Umum
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di
kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan
diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam,
penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik),
yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum
adalah :
Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Penurunan tajam penglihatan
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
Mata merah
Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).
D. Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea
yang terkena : yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel
dan bowman dan keratitis profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat
disebabkan oleh sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus,
keracunan obat topical, sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan
pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi
kelenjar lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik
saraf, disebut juga keratitis neuroparalitik.
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya
multiple dan banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.
E. Patofisiologi
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan
tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang
terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus
dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi
dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN),
yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak
licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea
(Vaughan, 2009).
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi
pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa
sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan
palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai
sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan
penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi
pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit
kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen
(Vaughan, 2009).
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan mem-
biaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan
penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat (Vaughan, 2009).
F. Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat
diungkapkan adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan
abrasi merupakan dua lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat
penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes simpleks
sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis
herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis
herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-
penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh
terapi imunosupresi khusus (Vaughan, 2009).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan
sering lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan
fluorescein dapat memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin
tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting
untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai
kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan
pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar
yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini (Vaughan,
2009).
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan
dengan terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan
kultur sering membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak
jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya
steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada
kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan
satu-satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur
sangat membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan
respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan
mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara
empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat
membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat
terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal
dan menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek
sampel dari daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat
digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan
perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal
terhadap pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali
dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal
ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau
dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan
bantuan Slit Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal,
gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong kecil jaringan stroma,
yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi
dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen
biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keratitis bergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Bentuk sediaan yang diberikan dapat berupa tetes mata, pil,
atau intravena. Semua benda asing yang ada pada kornea dan konjungtiva
harus dihilangkan. Keratitits pungtata superficial penyembuhannya dapat
berakhir dengan sempurna. Infeksi keratitis biasanya membutuhkan
antibakteri, antifungal, atau terapi antiviral, apabila virus yang menjadi
penyebabnya, keratitis tidak perlu mendapatkan pengobatan yang khusus
karena biasanya dapat sembuh lebih kurang dalam 3 minggu. Pemberian
cendo citrol tetes mata (6 x 1 tetes) yang diindikasikan kortikosteroid
dapat menekan infeksi sekunder. Tetes mata steroid sering diberikan untuk
mengurangi inflamasi dan scar yang mungkin timbul. Tindakan ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena beberapa infeksi dapat lebih buruk
setelah penggunaan. Jika penyebab keratitis adalah mata kering, dapat
diberikan salep dan air mata buatan. Jika penyebabnya adalah
sinar ultraviolet atau lensa kontak, diberikan salep antibiotik dan obat
untuk melebarkan pupil. Jika penyebabnya adalah reaksi terhadap obat-
obatan, maka sebaiknya pemakaian obat dihentikan. Pada umumnya,
pengguna kontak lensa akan diberi nasihat untuk tidak meneruskan
kembali, walaupun tidak berakaitan dengan sebab timbulnya keratitis.
H. Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor,
termasuk luas dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau
tidaknya perluasan ke jaringan orbita lain, status kesehatan pasien
(contohnya immunocompromised), virulensi patogen,ada atau tidaknya
vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu
penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien dengan infeksi
ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis
yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan
terapi tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan.
Imunitas tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena
diketahui reaksi imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon
terhadap virus ataupun bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata
penyembuhan biasanya berlangsung baik meskipun tanpa pengobatan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, keluhan yang dirasakan adalah mata kiri nrocos dan
disertai penglihatan menjadi tidak jelas/kabur. Pasien juga mengeluhkan mata
terasa nyeri dan terasa ada yang mengganjal. Keluhan dirasakan sejak ± 7 hari
yang lalu. Sebelumnya mata pasien terkena serpihan kayu yang halus di tempat
kerjanya kemudian terasa gatal. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas Kaliwiro
dan diberi obat tetes mata, namun keluhan kumat lahi setelah 3 hari pengobatan.
Keluhan muncul kembali ketika pasien kembali ke tempat kerja sebagai buruh
bangunan.
Dari gejala yang muncul, pasien diperkirakan menderita keratitis. Tanda-
tanda seperti mata nrocos, kemerahan, dan nyeri yang disertai dengan pandangan
kabur menjadi awal penegakan diagnosis keratitis pada pasien ini. Selain itu,
penegakan diagnosis juga dibantu dengan pemeriksaan fisik. Visus 5/5 pada OD
dan visus 5/10 pada OS menjadi bukti bahwa terjadi penurunan tajam penglihatan
yang dialami pasien. Kemudian dari pemeriksaan fisik area sekitar mata yang
ditemukannya mata merah, reflek cahaya (+/+) baik direk maupun indirek. Pada
pemeriksaan bilik mata depan dengan menggunakan senter dari lateral mata,
cahaya dapat menyinari hampir seluruh bagian iris pada mata kanan dan kiri.
Dari anamnesis yang didapatkan berupa mata nrocos dan nyeri disertai
dengan penurunan tajam penglihatan, serta adanya riwayat trauma fisik pada mata
dimungkinkan pasien menderita keratitis pada mata kiri. Adanya riwayat trauma
pada mata juga bisa digunakan sebagai patokan dalam penegakan diagnosis
keratitis karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas. Pada pasien
juga didapatkan keluhan berupa penurunan tajam penglihatan, hal ini dikarenakan
kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi
kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di
pusat. Pada pasien juga mengeluhkan mata yang nyeri, hal ini disebabkan karena
kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra
superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Penatalaksanaan keratitis bergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah adanya
kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada pasien ini. Pasien juga
mendapatkan pengobatan berupa tetes mata cendo xitrol yang diindikasikan
kortikosteroid dapat menekan infeksi sekunder. Tetes mata steroid sering
diberikan untuk mengurangi inflamasi dan scar yang mungkin timbul. Untuk
mengatasi nyerinya pasien juga diberikan analgetik.
Prognosis pada pasien ini sebenarnya masih cukup baik karena pasien
datang lebih awal untuk memeriksakan diri sehingga visus yang menurun pada
pasien masih bisa terkoreksi lebih dini. Virulensi dari kuman patogen juga dapat
menjadi patokan terhadap prognosis pada pasien ini. Pasien dengan infeksi ringan
dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis yang baik.
BAB V
KESIMPULAN
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena
seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu
keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat,
keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis
menahun.
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan.
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan
dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah
satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan
gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI Jakarta.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56
Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2009