prevalensi demam tifoid berdasarkan jenis...
TRANSCRIPT
1
PREVALENSI DEMAM TIFOID BERDASARKAN JENIS KELAMIN
PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UIN
SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA DARI BULAN JULI 2008 SAMPAI
JULI 2009
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Yulinda Novita
NIM: 106103003478
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
2
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 3 November 2009
Yulinda Novita
3
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PREVALENSI DEMAM TIFOID BERDASARKAN JENIS KELAMIN
PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UIN
SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA
DARI BULAN JULI 2008 SAMPAI JULI 2009
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh :
Yulinda Novita
NIM: 106103003444
Pembimbing
Dr. Syarief Hasan Luthfie, SpRM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
4
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PREVALENSI DEMAM TIFOID
BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA PASIEN RAWAT JALAN DI
RUMAH SAKIT UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA DARI
BULAN JULI 2008 SAMPAI JULI 2009 yang diajukan oleh Yulinda Novita
(NIM: 106103003478), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan pada 20 November 2009. Laporan penelitian ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Jakarta, 3 November 2009
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang Pembimbing Penguji
Prof. DR. dr. MK. Tadjudin Sp.And Dr. dr. Syarief Luthfie, Sp.RM DR.Arif Sumantri,
SKM.MKes
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK Kaprodi PSPD FKIK UIN
Prof. Dr.MK. Tadjudin, SpAnd DR. Syarief Hasan Lutfie, Sp. RM
5
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh;
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan limpahan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penulisan laporan penelitian ini saya susun dalam rangka memenuhi sebagian
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
laporan penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan
penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1) Prof. DR. dr. MK. Tadjuddin, SpAnd. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan.
2) DR.dr. Syarief Hasan Lutfie, SpRM selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter sekaligus pembimbing penelitian. Terima kasih atas
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
laporan penelitian ini di tengah kesibukan yang ada.
3) Bapak DR. Arif Sumantri, SKM.MKes sebagai dosen penguji, yang telah
banyak memberikan masukan, arahan, kritikan kepada saya, hingga
selesainya laporan penelitian ini.
4) Ibu Sylvia Nasution, MBiomed selaku penanggung jawab riset dan untuk
semua dosen-dosen saya, yang telah begitu banyak membimbing dan
memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu selama saya menjalani
masa pendidikan di Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
6
Hidayatullah Jakarta, rasa hormat saya atas segala yang telah bapak dan
ibu berikan.
5) Bapak Drs. M. Farid Hamzen, SKM, MSi dan Ibu Yuli Amran SKM,
MKes. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya.
6) Pihak Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah memberikan izin
tempat penelitian ini sekaligus banyak membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini.
7) Ayah dan Ibu yang tercinta H. Yusuf dan Hj. Yanah, serta adik-adikku,
yopi,yogi dan yusron zaki.
8) Untuk semua saudara-saudariku 52 orang angkatan 2006 terutama
kelompok riset saya,Diana Lutfillah, Nur Huda, Siti, Nurul dan
Nurmasyitah.
9) Terakhir, kepada semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan satu per
satu, yang telah banyak membantu secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penyusunan laporan penelitian ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan penelitian ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu. Wabillahittaufiq wal hidayah,
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 3 November 2009
Penulis
7
ABSTRAK
Nama : Yulinda Novita
Program Studi : Pendidikan Dokter
Judul :
“PREVALENSI DEMAM TIFOID PADA PASIEN RAWAT JALAN DI
RUMAH SAKIT SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PADA BULAN
JULI TAHUN 2008 SAMPAI JULI 2009”
Penelitian ini bertujuan membahas tentang informasi mengenai demam tifoid
sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat pelayanan Rumah Sakit
dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif demam tifoid di kalangan
masyarakat umum. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan dengan desain
Penelitian merupakan penelitian epidemiologis secara observasi analitik dengan
desain potong lintang. Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi demam tifoid
tidak dipengaruhi langsung oleh jenis kelamin. Namun hal itu dipengaruhi oleh
lingkungan dan perilaku manusia yang tidak sehat. Perlu dilakukan penelitian
lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.
Kata kunci:
Prevalensi, demam tifoid, Rumah Sakit Syarif Hidayatullah
ABSTRACT
Name : Yulinda Novita
Study Program : Medical Education
Title :
“PREVALENCE OF TYPHOID FEVER PURSUANT DENSITY
OUTPATIENT AT HOME SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA OF
YEAR JULY 2008 UNTIL JULY 2009’’
This research report study about information concerning of typhoid fever so that
can be applicable to improving the Hospital service in the case of promotion,
preventive, curative and rehabilitative of typhoid fever among society. This
research is antecedent research use the design of analytic observation by design
cut transversal and also represent the research of epidemiology. Result of
research got, that prevalence of typhoid fever can’t be influenced by sex. And that
Matter also influenced by environment and indisposed human being behavior.
Require to a continuation research with the larger size of sample.
Key words:
Prevalence, typhoid fever, Syarif Hidayatullah Hospital.
8
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL …………………………………………………….. -
HALAMAN JUDUL…………………………………………….........….... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.………………………….. ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii
LEMBAR PENGESAHAN..………………………………………............ Iv
KATA PENGANTAR…..…………………………………………............. v
ABSTRAK ……………………………………………………………........ vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………..…. viii
DAFTAR GAMBAR ,DAFTAR TABEL.............................. …..………… ix
1. PENDAHULUAN …………………………………………….......…… 1
1.1. Latar Belakang
……………..…..………………………………………………….
1
1.2. Rumusan
Masalah..………….………………………………………..…........
2
1.3. Tujuan
penelitian…………………………………………………….……
2
1.4. Manfaat
penelitian……………………………………………….………….
3
2. TINJAUAN PUSTAKA………..…………………………………..….. 5
2.1. Demam Tifoid…………………………………………………….…. 5
2.2. Faktor Resiko Demam Tifoid……………...………………………... 12
2.3. Kerangka Konsep……………………………….…..…………….…. 13
3.METODOLOGI PENELITIAN………………………………………..…. 17
3.1. Desain penelitian….…………………………………………………. 17
3.2. Waktu dan tempat penelitian………………………………………… 17
3.3. Populasi dan Sampel……………………………………………...…. 17
3.4. Managemen Data.....................……………….……………………... 19
3.5 Cara Kerja Penelitian........................................................................... 20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN........................………………………….. 21
4.1. Karakteristik Sampel........................................................................... 21
4.2. Prevalensi Demam Tifoid….………………………….…………….. 21
4.3. Pembahasan…………………………………………………………..
4.4. Keterbatasan Penelitian........................................................................
24
34
5. PENUTUP..................................................................................................
5.1. Simpulan...............................................................................................
5.2. Saran.....................................................................................................
35
35
36
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 37
9
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1. Data Pasien Demam Tifoid Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Cipto
Mangunkusumo Tahun 2005 sampai dengan 2008...................
3
Tabel 2.1. Definisi operasional ................................................................... 14
Tabel 4.1. Prevalensi tifoid, hepatitis, diare dan pemakaian obat program
diare menurut kabupaten atau kota di provensi banten .............
22
Tabel 4.2. Prevalensi Demam Tifoid Tiap Bulan dari Bulan Juli 2008
hingga Juli 2009………………………….................................
22
Tabel 4.3. Distribusi Pasien Berdasarkan jenis kelamin pada Rumah
Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 sampai
2009…………………………..................................................
23
Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Bahan-bahan yang Terkandung Dalam Air…......... 33
10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid....................................................... 7
Gambar 2.2. Kerangka Konsep .......................... .......................................... 13
Gambar 3.1. Alur Penelitian............................................................................ 20
Gambar 4.1. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin di RS UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 Sampai
2009......................................................................................
23
Gambar 4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan..................................... 31
11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi. Pada beberapa dekade terakhir
demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi
masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia. Kejadian demam tifoid
didunia sekitar 21,6 juta kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin
dengan angka kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di
Asia Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit
demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis
termasuk Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810 kasus
pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai 10,4%.(WHO, 2004)
Angka kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2%
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4% per 10.000
penduduk. Prevalensi demam tifoid di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007
adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi Banten sebesar 2,2 %. Insiden
demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760 sampai 810 kasus per 100.000
penduduk.(Riskesdas, 2007)
12
Diruang perawatan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusuma Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering
dijumpai. Kebanyakan penderitanya adalah anak-anak, remaja dan dewasa muda.
Tabel 1.1. Data Pasien Demam Tifoid Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Cipto Mangunkusumo Tahun 2005
sampai dengan 2008
Tahun Rawat Inap Rawat Jalan Total (orang)
Dewasa Anak Dewasa Anak
2005 98 6 74 14 192
2006 109 9 59 8 185
2007 79 12 92 16 199
2008 59 8 51 26 144
Berdasarkan data tersebut, penulis ingin mencari lebih lanjut tentang
prevalensi demam tifoid di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah. Dalam proposal
penelitian ini, kami ingin mengetahui prevalensi demam tifoid yang terjadi pada
lingkungan sekitar Rumah Sakit Syarif Hidayatullah. Dari data yang diperoleh
dari Rumah Sakit Syarif Hidayatullah, adanya upaya untuk memperbaiki tingkat
pelayanan rumah sakit dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
demam tifoid dikalangan masyarakat umum.
13
1.2.Rumusan Masalah
Berapa prevalensi demam tifoid pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit
Syarif Hidayatullah ditinjau dari jumlah pasien tiap bulan pada bulan Juli 2008
sampai bulan Juli 2009?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Memperoleh informasi mengenai demam tifoid sehingga dapat
digunakan untuk memperbaiki tingkat pelayanan Rumah Sakit dalam hal
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif demam tifoid di kalangan
masyarakat umum.
Tujuan Khusus:
Diketahuinya prevalensi terjadinya demam tifoid berdasarkan jumlah
pasien tiap bulan di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah.
Diketahuinya jumlah pasien demam tifoid tiap bulan dan prevalensinya.
Diketahuinya hubungan perubahan iklim dan bulan kunjungan pasien
terhadap demam tifoid.
Diketahuinya faktor resiko penyakit demam tifoid berdasarkan bulan
kunjungan dan keterkaitan dengan lingkungan.
14
1.4.Manfaat Penelitian
Bagi subyek:
Memberikan informasi seberapa tingginya prevalensi di Rumah Sakit
Syarif Hidayatullah sehingga subyek dapat melakukan pencegahan.
Bagi peneliti:
Sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam menyelesaikan program
sarjana kedokteran.
Peneliti dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang
berperan pada demam tifoid.
Bagi institusi:
Menjadi dasar bukti medis secara ilmiah tentang prevalensi demam
tifoid terhadap terjadinya demam tifoid.
Bagi masyarakat:
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai demam tifoid
sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan cara penyuluhan, pembagian
poster maupun terhadap terjadinya demam tifoid.
15
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Tifoid
Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi (S. typhi), ditandai dengan demam yang berkepanjangan
(lebih dari satu minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran.(Lubis
B, 1990)
S.typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif,
tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam
sel kariotik. Bakteri ini mudah tumbuh dalam perbenihan biasa, tetapi hampir
tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan
kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S.
Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama.
S.typhi mempunyai beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer
Membrane Protein terutama porin (OMP). (Gladwin M, Trattler B,1999)
Beberapa antigen S.typhi:
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh
bakteri. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan
terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
(Gladwin M, Trattler B,1999)
2. Antigen H
16
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae S.
typhi dan berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang
melindungi bakteri dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan
rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian
asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di
luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein
porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP,
terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya
resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein A dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan
jelas.(Baron EJ, dkk, 1994)
17
Patofisiologi
S.typhi masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan dan minuman
yang terkontaminasi. S.typhi yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke
saluran getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah
menuju berbagai organ, termasuk usus. Saat bakteri masuk ke saluran pencernaan
manusia, sebagian bakteri mati oleh asam lambung dan sebagian bakteri masuk ke
usus halus. Setelah berhasil melewati usus halus, bakteri masuk ke kelenjar getah
bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati,
empedu, dan lain-lain).Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid
dan diekskresi dalam feses. Faktor host yang ikut berperan dalam resistensi
terhadap infeksi S.typhi adalah keasaman lambung, flora normal usus dan daya
tahan usus.(Juwono R, 1996)
Gambar 2.1 Patofisiologi Demam Tifoid
Sumber: Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya:
Airlangga University Press, p. 121-24.
Asam lambung (HCL) dalam lambung berperan sebagai penghambat
masuknya bakteri S.typhi dan bakteri usus lainnya. Jika S.typhi masuk bersama-
sama cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat
terhadap mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat
18
hidroklorida (HCL) ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung,
sehingga S.typhi dapat masuk ke dalam usus penderita . S.typhi seterusnya
memasuki folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau
submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih banyak
S.typhi. Setelah itu, S.typhi memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran
darah. Dengan demikian terjadilah bakterimia pada penderita. Dengan melewati
kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding kandung empedu atau secara tidak
langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat
mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu yang infektif terjadilah
invasi kedalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat dari pada invasi tahap
pertama. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe
usus kecil sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. (Braunwald, 2005)
Demam tifoid merupakan salah satu bakteremia yang disertai oleh infeksi
menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ mengalami
kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk darah, terutama
jaringan limfoid usus halus, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang.
(Juwono R, 1996)
Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis
superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri oleh hiperplasia sel limfoid . Pada
minggu ketiga timbul ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan
sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus akibat mukosa yang nekrotik.
Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena,
dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai
membran serosa.akibat terjadinya ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi
19
atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat
dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian
pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam
tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan
menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan
perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan
perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang
berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan
maupun perforasi. (Ranjan L, dkk, 2001)
Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap
mengandung bakteri S.typhi sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita
merupakan urinary karier penyakit tersebut. (Ranjan L, dkk, 2001)
Gambaran Klinik
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas,
berupa : anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, lidah kotor, gangguan saluran
pencernaan. (Ranjan L, dkk, 2001)
Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
20
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut
kembung . Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. (Ranjan L, dkk,
2001)
Tanda khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita
sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada
periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa
saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi
pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan
sempurna. (Ranjan L, dkk, 2001)
Minggu kedua.
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau
malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus
dalam keadaan tinggi . Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada
pagi hari. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang
berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut
kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. (Ranjan L, dkk, 2001)
Minggu ketiga
21
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik,
gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian
justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi,
akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk,
dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium
atau stupor, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. (Ranjan L, dkk, 2001)
Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar.
Relaps
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps. (Ranjan L, dkk, 2001).
22
2.2 Faktor Resiko Demam Tifoid
Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan
rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Demam tifoid
merupakan salah satu penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum
dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap
belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti. Di
Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering
bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah. (Soewondo,2002 dan
Simanjuntak, dkk, 1987)
Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air ataupun makanan yang
tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang
paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi dalam feses dan urin selama
lebih dari satu tahun. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)
Demam tifoid ditularkan melalui oral-fekal (makanan dan kotoran), maka
pencegahan utama dengan cara memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan
kebersihan perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan,
penyediaan air bersih. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)
Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan feses dari penderita yang
kemudian secara pasif terbawa oleh lalat . Lalat itu mengkontaminasi makanan,
minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Jika demikian keadaannya, feses
dan urin penderita bisa mengandung bakteri S.typhi yang siap menginfeksi
23
manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang tercemar.
(Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)
2.3 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
24
2.4 Definisi Operasional
Tabel 2.1. Definisi operasional
No
.
Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur
Skala Hasil Ukur
1. Data
Rekam
Medik
Data pasien
yang
terdiagnosis
pasti demam
tifoid dan
tinggal di
wilayah
Tangerang
Selatan
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Ordinal 1. Pasien
yang
menderita
demam tifoid
di wilayah
Tangerang
Selatan
2. Pasien
yang
menderita
demam tifoid
di luar wilayah
Tangerang
Selatan
2. Rekam
Medik
Berkas yang
berisi catatan
di dokumen
mengenai
identitas
pasien, hasil
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Ordinal 1. Pasien
yang
menderita
demam tifoid
2. Pasien
yang tidak
25
pemeriksaan,
pengobatan,
tindakan dan
pelayanan
lainnya yang
diterima
pasien pada
sarana
kesehatan,
baik rawat
jalan maupun
rawat inap
menderita
demam tifoid
3. Prevalensi Angka
kejadian
kasus lama
dan kasus
baru
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Rasio 1. Sebelum
Bulan Juli
2008
2. Bulan
juli 2008-2009
3. Sesudah
Bulan Juli
2009
4. Demam
Tifoid
Penyakit
sistemik akut
yang
disebabkan
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Ordinal 3. Pasien
yang
menderita
demam tifoid
26
oleh infeksi
kuman
Salmonella
typhi
4. Pasien
yang tidak
menderita
demam tifoid
5. Umur Semua pasien
penderita
demam tifoid
dan tidak
dibatasi oleh
umur
Data
rekam
medik
Data
rekam
medik
Nomina
l
1. Anak
2. Dewasa
3. Orang
tua
27
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis secara observasi
deskriptif dengan desain potong lintang.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik Rumah Sakit Syarif
Hidayatullah. Waktu penelitian adalah pada bulan April - Oktober 2009.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi dan sampel yang diteliti
Populasi penelitian ini adalah data yang diperoleh dari rekam medik
pasien demam tifoid di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah pada Bulan Juli
2008 hingga Juli 2009.
3.3.2. Jumlah sampel
Rumus perhitungan besar sampel pada penelitian ini adalah:
z21-α/2 (P(1-P))N
d2(N-1) + z
21-α/2 (P(1-P))
(1,96)2 (0,5(1-0,5))652
0,052(652-1) + (1,96)
2 (0,5(1-0,5))
n =
n =
= 242 orang n
28
Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
α = kesalahan tipe 1
P = besar kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang diperoleh
z1-α/2 = jarak sekian standar error dari rata-rata (nilai z1-α/2 1,96 untuk
derajat kepercayaan 95%)
d = simpangan dari proporsi pada populasi
3.3.3 Kriteria sampel
3.3.3.1.Kriteria inklusi :
Mendapat persetujuan rumah sakit
Data pasien terdiagnosa pasti demam tifoid yang diperoleh dari
rekam medik
Data pasien demam tifoid yang menjalani rawat jalan
Data pasien demam tifoid yang berasal dari Tangerang Selatan.
Data pasien yang memenuhi data umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, alamat dan bulan kunjungan.
3.3.3.2.Kriteria eksklusi :
Tidak mendapat persetujuan dari rumah sakit
Data pasien yang tidak menderita demam tifoid
Data pasien tercantum tidak lengkap pada rekam medik
Data pasien yang tidak terdiagnosa pasti demam tifoid.
Data pasien demam tifoid yang bukan berasal dari Tangerang
Selatan.
29
Data pasien tidak memenuhi data umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, alamat dan bulan kunjungan.
3.3.4. Kriteria Pengeluaran
Petugas bagian rekam medik tidak memberi izin untuk melakukan
penelitian.
Direktur rumah sakit tidak member izin untuk melakukan
penelitian.
Penelitian dihentikan tiba-tiba ketika sedang berlangsung.
3.4 Managemen Data
3. 4. 1. Pengumpulan Data
Data diperoleh dari bagian rekam medik Rumah Sakit Syarif
Hidayatullah.
3. 4. 2. Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS
for Windows versi 16,0. Data disajikan dalam bentuk tekstular,
grafikal, dan tabular.
3. 4. 3. Interpretasi Data
Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.
3. 4. 4. Pelaporan Hasil Penelitian
Pelaporan hasil penelitian disusun dalam bentuk makalah
ilmiah.
30
3.5 Cara Kerja Penelitian
3.5.1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian
Data sekunder penelitian berupa rekam medik pasien yang
terdiagnosa pasti demam tifoid dan berasal dari Tangerang Selatan
dan mendapat izin dari Rumah Sakit Syarif Hidayatullah setelah
diajukan permohonan.
3.5.2. Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
31
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Sampel
Penelitian ini dengan pengambilan data di Bagian Rekam Medik RS Syarif
Hidayatullah. Data yang diambil merupakan data pasien demam tifoid pada bulan
juli 2008 hingga bulan juli 2009. Jumlah populasi yang ada sebanyak 652 subyek.
Laki – laki sebanyak 330 dan perempuan sebanyak 322. Pada penelitian ini besar
sampel pada rekam medik yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu tersebut
sebanyak 244 pasien, yang terdiri dari jenis kelamin perempuan dan laki – laki.
Pada penelitian ini didapatkan 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan
110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang
menderita tifoid.
4.2. Prevalensi Demam Tifoid
Dari hasil pengumpulan data di Bagian Rekam Medik RS Syarif
Hidayatullah, didapatkan jumlah keseluruhan pasien pada bulan juli 2008 hingga
juli 2009 sejumlah 104.273 orang, kemudian didapatkan jumlah seluruh pasien
rawat jalan demam tifoid sejumlah 652 orang. Dengan menggunakan rumus
prevalensi yaitu:
Periode prevalence rate = Σ penderita lama + Σ penderita baru X Konstanta
Σ penderita keseluruhan selama satu periode
Keterangan:
Σ = jumlah
32
Konstanta = 100 %
Maka, prevalensi demam tifoid pada pasien rawat jalan di RS Syarif
Hidayatullah Jakarta pada bulan juli 2008 hingga juli 2009 sebesar 0,6 %. Angka
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi demam tifoid di
Kabupaten Tangerang pada Tahun 2007 yaitu sebesar 1,5 % untuk didiagnosis
oleh tenaga kesehatan dan 2,8 % yang didiangnosis oleh tenaga kesehatan atau
dengan gejala. (Riskesdas, 2007)
Tabel.4.1
Sumber: Data Riskesdas 2007 Provinsi Banten
Tabel. 4.2
Prevalensi Demam Tifoid Tiap Bulan dari Bulan Juli 2008 hingga Juli 2009
Bulan Kunjunngan Jumlah pasien
(orang )
Perempuan Laki – laki
Juli 2008 18 8 10
Agustus 2008 25 12 13
September2008 27 14 13
33
Oktober 2008 16 9 7
November 2008 32 20 12
Desember 2008 50 25 25
Januari 2009 28 10 18
Februari 2009 33 16 17
Maret 2009 34 17 17
April 2009 31 16 15
Mei 2009 84 44 40
Juni 2009 136 61 75
Juli 2009 138 70 68
Total 652 322 330
Tabel 4.3. Data Statistik
Tabel 4.3. Distribusi Pasien Berdasarkan jenis kelamin pada Rumah Sakit Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 sampai 2009
jenis kelamin
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid laki – laki 134 54.9 54.9 54.9
Perempuan 110 45.1 45.1 100.0
Total 244 100.0 100.0
34
Dari hasil tabel didapatkan bahwa jenis kelamin laki – laki sekitar 134 orang
yang pernah menderita demam tifoid, dan sekitar 110 orang perempuan yang
menderita demam tifoid. Dari data diatas maka akan dibahas mengenai faktor
yang mempengaruhinya.
4.3 Pembahasan
Prevalensi demam tifoid dengan mencari data dari rekam medik lebih
mudah dilakukan. Dari hasil analisa statistik didapatkan bahwa 134(54,9%) jenis
kelamin laki – laki dan 110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total
keseluruhan sampel yang menderita tifoid . Hal ini berarti bahwa demam tifoid
tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin, namun diduga ada faktor lain yang
mempengaruhinya
Telah diketahui bahwa demam tifoid termasuk salah satu dari penyakit
menular. Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari
orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui
35
perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agen atau penyebab
penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Suatu penyakit dapat menular dari
orang yang satu kepada yang lain, ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: (Susanna, 2000)
1. Agen (penyebab penyakit)
2. Host (induk semang)
3. Route of transmission (jalannya penularan)
Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan salah satu penyakit infeksi
tersering di wilayah tropik dan di Negara berkembang Seperti di Indonesia.
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi.
.(Soewondo ES, 2002).
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat
endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa
perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian.
Telah diketahui bahwa sebenarnya demam tifoid tidak mengenal jenis kelamin
penderita yang diserangnya. Dari banyak penelitian berpendapat pria lebih
banyak menderita demam tifoid karena dipengaruhi oleh pekerjaan , kesehatan
lingkungan, dan kebiasaan cara makan dan minum. (Chandra B, 2006)
Pada jenis kelamin laki - laki kejadiannya lebih tinggi disebabkan karena meraka
terlalu sibuk bekerja sehingga dapat menimbulkan stress, stress berperan terhadap
kualitas seseorang. Apabila seseorangang mengalami stress, maka sel yang ada
ditubuhnaya juga mengalami stres. Pada sel yang stress maka penampilan
kelelehan dapat berupa nekrosis dan apoptosis.adanya nekrosis dan apoptosis
36
dialami oleh sel maka kekebalan tubuh akan menurun dan kerentanan individu
terahadap infeksi meningkat. (
Jawetz E dkk 2006)
4.3.1. Pengaruh Makanan dan Minuman terhadap Penyakit Tifoid
Masalah makanan mempunyai khas tersendiri, sering ditemukan penjaja makanan,
baik yang menetap (warung) ataupun yang berkeliling kampong (gerobak
makanan), disamping kebanyakan dari masyarakat Indonesia memang senang
jajan. (Susanna D, 2000)
Penyakit tifoid titularkan secara fecal oral, dimana sangat berhubungan dengan
tingkat kebersihan, kemungkinan laki – laki lebih banyak mendrita tifoid
dikarenakan kebersihan laki - laki kurang dibandingkan dengan perempuan.
Makanan dapat terkontaminasi mikroba karena beberapa hal :
Mengelola makanan atau makan dengan tangan kotor
Memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan
Menggunakan lap kotor untuk membersihkan meja, perabotan bersih dan
lain – lainnya
Dapur, alat masak dan makan kotor
Maka n yang jatuh ketanah masih dimakan
Makanan disimpan tanpa tutup sehingga serangga dan tikus dapat
menjangkaunya
Makanan matang dan mentah disimpan bersama – sama
Makanan dicuci denngan air kotor
Makanan terkontaminasi kotoran akibat hewan yang berkeliaran
disekitarnya
37
Sayuran dan buah ditanam ditanah yang terkontaminasi
Memakan sayuran dan buah – buahan yang terkontaminasi
Pengolah makanan yang sakit atau carier penyakit
Pencegahan penyakit bawaan makanan :
Pemilihan bahan baku yang sehat, tidak busuk dan warna yang segar
Penyimpanan bahan baku jangan sampai terkena serangga, tikus atau
jangan sampai membusuk
Pengolahan makanan yang higienis serta prosesnya dapat mematikan
penyebab penyakit, peraltan masak harus bersih
Pengelola makanan bukan carier penyakit dan tidak sakit
Penyajian makanan tidak terkena lalat , debu, dan udara kotor, peralatan
makan yang higienis
Penyaji makanan harus mendapat keterangan sehat
Penyimpanan makanan matang jangan sampai terkontaminasi dan
membusuk
4.3.2 Pengaruh penyedian air minum yang bersih terhadap penyakit
tifoid
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak
berbau. Air minum seharusnya tidak mengandung kuman patogen dan segala
mahluk yang membahayakan kesehatan , tidak mengandung zat kimia yang dapat
mengubah fungsi tubuh dan merugikan secara ekonomi. (Susanna D,2000)
peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat bermacam – macam
diantarantya :
38
Air sebagai penyebar mikroba patogen
Air sebagai sarang infeksi penyebar penyakit
Jumlah air bersih yang tersdia tidak mencukupi
Air sebagai sarang hospes sementara penyakit
Penyakit yang disebarkan oleh air secara langsung dinyatakan sebagai penyakit
bawaan air atau water born disease. Penyakit ini hanya dapat menyebar, apabila
mikroba penyebabnya dapat masuk kedalam sumber air yang dipakai masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Mikroba yang dapat menyebar lewat air
sangat banyak macamnya diantaranya adalah bakteri salmonella thypi.
Untuk mencegah terjadinya penyakit bawaan air dilakukan pengelolaan air minum
dan air buangan terpadu.
Air dapat berperan sebagai sarang insekta yang menyebarkan penyakit bagi
masyrakat. Insekta disebut juga vektor penyakit.
Pengaruh vektor terhadap kesehatan dapat bermacam – macam, selain sebagai
vektor secara langsung dapat menyebabkan entomophobia, gangguan ketenangan,
dan dapat menjadi penyebab penyakit. Secara tidak langsung dapat menjadi
reservoir agent penyakit , memusnahkan panen dan menjadi parasit pada tubuh
manusia. (Susanna D,2000)
Tindakan untuk mencegah penyebaran vektor antara lain :
Intensifikasi pemberantasan sarang seperti perbaikan saluran drainase,
kebersihan saluran dan reservoir air , menghilangkan genangan, mencegah
pembusukan sampah
Mobilisasi masyrakat untuk berperan serta dalam pemberantasan dengan
memelihara kebersihan lingkungan masing - masing
39
Melakukan penyemprotan insektisida terhadap vector dewasa didahului
dengan uji
4.3.3 Pengaruh Persampahan terhadap penyakit tifoid
Sampah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat
Jenis sampah antara lain :
Sampah yang dapat membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah
kebun, pertanian dan lain – lainnya
Sampah yang tidak dapat membusuk seperti kertas, plastic, karet, gelas,
logam dan lainnya
Sampah yang berupa debu atau abu
Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan seperti sampah yang berasal
dari industry yang mengandung zat kimia maupun zat fisis yang berbahaya
Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi efek langsung
dan tidak langsung . yang dimaksud efek langsung adalah efek yang disebabkan
karena kontak langsung dengan sampah tersebut. Misalnya sampah yang beracun,
sampah yang korosif terhadap tubuh, dll.
Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan,
pembakaran, dan pembuangan sampah. (Susanna D,2000)
Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vector yang berkembang
biak di sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai sarang lalat dan
tikus. Seperti yang kita ketahui bahwa lalat adalah vektor beberapa penyakit perut
diantaranya adalah thifus abdominalis yang disebabkan oleh salmonella typhi .
Teknik pembuangan sampah
40
Meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang sehingga tidak cepat
menjadi sampah
Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku
Meningkatkan bahan yang dapat terurai secara alamiah, misalnya
pembungkus plastic diganti dengan pembungkus kertas.
4.3.4 Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap penyakit tifoid
seorang tokoh dunia kedokteran hipocrates (460 -377) adalah tokoh yang
pertama berpendapat bahwa penyakit ada hubungannya dengan fenomena alam
dan lingkungan. Dari segi ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena
adanya interaksi anatara manusia dan lingkungan hidupnya. (Susanna D,2000)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang
optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan
yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain
mencakup: perumahan, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, sanitasi dan
sebagainya.
Masalah kesehatan lingkungan muncul sebagai akibat adanya dua keadaan,
yakni:
1. Faktor keditaktahuan penduduk
2. Terdapatnya faktor lingkungan yang jika ditinjau dari sudut
kesehatan kurang menguntungkan.
Hendrik L.Blum menggambarkan secara ringkas sebagai berikut:
41
Gambar 4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Sumber: Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.
Keempat faktor tersebut selain berpengaruh langsung terhadap kesehatan,
juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara
optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai
kondisi yang optimal pula (Susanna, 2000).
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 1979): Kematian dini
(premature death) pada populasi AS dipengaruhi oleh:
1. Gaya hidup dan perilaku individu (50%)
2. Genetik (20%)
3. Faktor lingkungan dan sosial (20%)
4. Akses ke pelayanan kesehatan inadekuat (10%)
Syarat-syarat lingkungan yang sehat dilihat dari berbagai factor
A. Perumahan
Faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu rumah
Keturunan
Pelayanan kesehatankesehatan
Prilaku
Lingkungan :
fisik
Social
ekonomi
Budaya
Status kesehatan
42
1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan
social.
2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
3. Tekhnologi yang dimiliki masyarakat
4. Kebijaksanaan pemerintah yang menyangkut tata guna tanah
B. Penyediaan air bersih
Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Didalam tubuh
manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Kebutuhan manusia akan air
sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan
sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum (termasuk untuk masak). Oleh karena itu, untuk
keperluan minum air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak
menimbulkan penyakit bagi manusia.
Syarat-syarat air minum yang sehat:
a. Syarat fisik
Bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah suhu udara di
luarnya.
b. Syarat bekteriologis
Harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri pathogen. Cara untuk
mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri pathogen, adalh dengan
memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Dan bila dalam pemeriksaan 100cc air
tersdapat kurang dari 4 bakteri E.Coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat
kesehatan.
43
c. Syarat kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah
yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam air,
akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat
kimia yang terdapat dalam air yang ideal antara lain sebagai berikut:
Tabel 4.4. Bahan-bahan yang Terkandung Dalam Air
Jenis bahan Kadar yang dibenarkan
(mg/liter)
Fluor (F) 1-1,5
Chlor (Cl) 250
Arsen (As) 0,05
Tembaga
(Cu)
1,0
Besi (Fe) 0,3
Zat organik 10
Ph
(keasaman)
6,5-9,0
CO2 0
Sumber: Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.
44
C. Pembuangan Kotoran Manusia
Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak
dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-
zat yang harus dikeluarkan ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin) dan
CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan.
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sesuai dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat.
Sedangkan kotoran manusia merupakan sumber penyebaran penyakit.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Selama melakukan penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dihadapi
peneliti. Dan keterbatasan tersebut diantaranya adalah :
1. Penghitungan sampel dilakukan dengan cara, mengencek dan menghitung
buku kunjungan pasien di Poli Anak, Poli Umum, Poli Mahasiswa, dan
Poli Interna. Selain cara tersebut, pencarian dapat dilakukan melakukan
melalui pencarian di komputer yang datanya berasal dari data tiap status
pasien yang berobat ke rumah sakit. Peneliti hanya melakukan cara
pertama, sehingga data kemungkinan masih kurang.
2. Beberapa faktor yang berpengaruh pada penelitian ini, tidak diteliti secara
benar. Faktor-faktor tersebut berupa pola makan mahasiswa dan
masryarakat di daerah wilayah rumah sakit dan aktifitas yang dilakukan
pada bulan juli, serta status kebersihan warung makan di sekitar kampus.
45
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan
110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang
menderita tifoid.
Berdasarkan data yang diambil di Bagian Rekam Medik Syarif
Hidayatullah, pada bulan Juli 2008 hingga bulan Juli 2009. Pasien rawat
jalan demam tifoid paling banyak pada bulan Juli 2009, sebanyak 138
pasien.
Pada penelitian ini diperoleh kesan, bahwa perbedaan jenis kelamin
bukanlah factor seseorang terjangkitnya demam typoid, factor yang
mempengaruhi terjadinya demam tifoid antara lain adalah kesehatan
lingkungan, penyedian air minum yang bersih dan pembuangan sampah
yang teratur dan juga kebiasaan dan cara makan .
5.2 Saran
1. Karena faktor kebersihan makanan dan minuman, pembuangan sampah,
kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid, maka
disarankan perlu adanya penyuluhan terhadap masyrakat tentang demam
tifoid dan faktor yang mempengaruhinya.
46
2. Menjelaskan pada masyrakat agar memperhatikan kebersihan makanan
dan minuman, pembuangan sampah dan lingkungan tempat tinggalnya.
3. Mengantisipasi kontaminasi makanan dan minuman dari air yang tercemar
Salmonella typhi dengan pencucian alat-alat masak, alat makan dan
minum dengan baik kemudian memasak makanan dan minuman pada suhu
diatas 60ºC.
4. Perlu adanya komitmen petugas kesehatan , untuk menjadikan masalah
demam tifoid sebagai salah satu masalah prioritas yang harus di
tanggulangi.
5. Menhindari kontaminasi sumber air bersih melalui pencemaran dari tinja
dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembuangan tinja yang
memenuhi persyaratan sanitasi.
6. Mengingat bahwa demam tifoid merupakan penyakit endemik sehingga
dalam menentukan upaya penanggulangan masalah demam tifoid yang
lebih efektif sesuai dengan faktor penyebabnya
47
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1986. The Widal slide agglutination tes, a valuable rapid diagnostic tes
in typhoid fever patients at the infectious disease hospital of Jakarta. Am J of
Epidemiology, 123; 869-79
Baron EJ, Peterson R, FinegoId SM, 1994.
Enterobactericeae.In:BaileyandScott’sDiagnostic Microbiology.
Ditjen Yanmedik, Depkes RI.
Fuad Amsyari.1986. Masalah pencemaran lingkungan.cet 3. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Gasem MH, Dolmans WMV, Keuter M, Djokomoeljanto R. Poor food hygiene
and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia. vol 6.
Tropical Medicine and International Health, p. 484-490.
Gladwin M, Trattler B. 1999. The enteric. In: Clinical Microbiology Made
Ridiculously Simple. Miami: Med Master Inc, p.54-61.
Handojo I. 1982. Kuliah serologi klinik FK Unair. Surabaya: Laboratorium
Patologi Kiinik RSUD Dr. Soetomo, p. 29-37
48
http://www.tangerangselatankota.go.id/compilation_geografis.php. 2008.
Jawetz E, Melnick J, Adelverg E.1996. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20.
Jakarta:EGC, p. 244-245
Juwono R. Demam tifoid. 1996. Dalam: Penyakit DaIam I. Ed ke 3. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, p. 435-42.
Koneman EW, Allen SD, Janda WM. 1992. Color Atlas and Text book of
Diagnostic Microbiology. 5th
ed. Philladelphia: Lippincott Company, p. 128.
Loho T, Sutanto, Silman E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis
dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, p. 22-42
Lubis B. 1990. Demam tifoid makna pemeriksaan laboratorium dan pencegahan.
Medika, p.366.
Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga
University Press, p. 121-24.
National Center for Infectious Diseases. 2004. Typhoid fever-Health Information
for International Travel.
49
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu kesehatan masyarkat prinsip-prinsip dasar.cet
2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pang T, Levine MM, Ivanoff B. 1997. In The Third Asia Pacific Symposium on
typhoid fever and other Salmonellosis. Bali: Indonesia, p. 119-21.
Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.
Senewiratne B, Chir B, Senewiratno K.. 1977. Reassesment of the Widal test in
the diagnosis of typhoid. Gastroenterology, p. 23-36.
Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH dkk. 1987. Epidemiologi demam
tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran,
45: 16-18.
Soewondo ES. 2002. Demam tifoid deteksi dini dan tatalaksana. Makalah
lengkap: Seminar Kewaspadaan terhadap demam pada penyakit typhus
Abdominalis, DBD dan Malaria Serta Penggunaan Tes Diagnostik Laboratorium
untuk Deteksi Dini. Surabaya:Tropical Diseases Centre UNAIR.
Sudigdo S. 2002. dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto,
p. 311-21.
50
Theodore Curtis, MD. 2006. Typhoid Fever.eMedicine Clinical Reference.
Widodo D, Hasan I. 1999. Perkembangan diagnosis laboratorium demam tifoid.
Majalah Kedokteran Indonesia. 49:25-62.
51