prinsip dasar radioterapi - never ending study · perkembangan radioterapi juga ditentukan dengan...

25
1 PRINSIP DASAR RADIOTERAPI A. Pendahuluan Terapi radiasi (Radioterapi) adalah pengobatan yang terutama ditujukan untuk keganasan dengan menggunakan sinar pengion. Terapi radiasi ini telah dilakukan tidak lama setelah Rontgen menemukan sinar-X pada November 1895 lebih dari 1 abad yang lalu. Tidak lama kemudian Curie menemukan suatu zat radioaktif yaitu Radium yang kemudian dipergunakan sebagai bentuk terapi radiasi dan menjadi pelopor brachytherapy. Sejalan dengan penemuan-penemuan ini berkembang pula pengetahuan di bidang Radiofisika dan Radiobiologi, yang menjadi dasar pengetahuan dan penerapan dalam bidang ilmu Radioterapi. Perkembangan selanjutnya adalah berkembang pula cabang ilmu yang mempelajari keganasan yang disebut Onkologi pada berbagai cabang ilmu lain diantaranya Onkologi Dasar, Histopatologi Onkologi, Onkologi Medik, Onkologi Bedah, Onkologi Ginekologi, dan Onkologi Radiasi yang mempelajari secara mendalam mengenai keganasan. Terapi radiasi berperanan penting dalam pengobatan pasien keganasan ginekologik. Bagi wanita dengan kanker serviks, terapi radiasi merupakan terapi primer pada stadium lanjut, dan terapi radiasi ini menurunkan risiko rekurensi lokal setelah operasi pada pasien dengan risiko tinggi. Pada penderita kanker endometrium risiko tinggi, terapi radiasi menurunkan risiko rekurensi lokal setelah histerektomi dan merupakan terapi kuratif primer pada pasien kanker yang inoperabel. Terapi radiasi juga merupakan terapi kuratif primer pada pasien dengan kanker vagina invasif dan berperanan dalam penatalaksanaan karsinoma vulva. Perkembangan radioterapi juga ditentukan dengan diciptakannya alat-alat canggih berupa pesawat radiasi eksternal, brakhiterapi, Treatment Planning System, Simulator, CT scan simulator, yang keseluruhannya telah terkomputerisasi. Sejalan dengan itu, juga dikembangkan teknik-teknik radiasi sehingga radiasi dapat diberikan dengan akurat dan aman. Oleh karena itu, pendekatan penanganan keganasan saat ini, baik untuk diagnostik maupun terapi adalah pendekatan multidisiplin sehingga pasien tidak ditangani secara sendiri-sendiri di tiap disiplin ilmu. B. Radiobiologik sel kanker Energi radiasi yang diakibatkan sinar ultraviolet dan partikel radiasi dapat menyebabkan transformasi sel, hal ini telah dibuktikan pada penelitian invivo dan invitro.

Upload: others

Post on 25-Sep-2019

108 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1

PRINSIP DASAR RADIOTERAPI

A. Pendahuluan

Terapi radiasi (Radioterapi) adalah pengobatan yang terutama ditujukan untuk

keganasan dengan menggunakan sinar pengion. Terapi radiasi ini telah dilakukan tidak lama

setelah Rontgen menemukan sinar-X pada November 1895 lebih dari 1 abad yang lalu. Tidak

lama kemudian Curie menemukan suatu zat radioaktif yaitu Radium yang kemudian

dipergunakan sebagai bentuk terapi radiasi dan menjadi pelopor brachytherapy. Sejalan

dengan penemuan-penemuan ini berkembang pula pengetahuan di bidang Radiofisika dan

Radiobiologi, yang menjadi dasar pengetahuan dan penerapan dalam bidang ilmu

Radioterapi. Perkembangan selanjutnya adalah berkembang pula cabang ilmu yang

mempelajari keganasan yang disebut Onkologi pada berbagai cabang ilmu lain diantaranya

Onkologi Dasar, Histopatologi Onkologi, Onkologi Medik, Onkologi Bedah, Onkologi

Ginekologi, dan Onkologi Radiasi yang mempelajari secara mendalam mengenai keganasan.

Terapi radiasi berperanan penting dalam pengobatan pasien keganasan ginekologik.

Bagi wanita dengan kanker serviks, terapi radiasi merupakan terapi primer pada stadium

lanjut, dan terapi radiasi ini menurunkan risiko rekurensi lokal setelah operasi pada pasien

dengan risiko tinggi. Pada penderita kanker endometrium risiko tinggi, terapi radiasi

menurunkan risiko rekurensi lokal setelah histerektomi dan merupakan terapi kuratif primer

pada pasien kanker yang inoperabel. Terapi radiasi juga merupakan terapi kuratif primer pada

pasien dengan kanker vagina invasif dan berperanan dalam penatalaksanaan karsinoma vulva.

Perkembangan radioterapi juga ditentukan dengan diciptakannya alat-alat canggih berupa

pesawat radiasi eksternal, brakhiterapi, Treatment Planning System, Simulator, CT scan

simulator, yang keseluruhannya telah terkomputerisasi. Sejalan dengan itu, juga

dikembangkan teknik-teknik radiasi sehingga radiasi dapat diberikan dengan akurat dan

aman.

Oleh karena itu, pendekatan penanganan keganasan saat ini, baik untuk diagnostik

maupun terapi adalah pendekatan multidisiplin sehingga pasien tidak ditangani secara

sendiri-sendiri di tiap disiplin ilmu.

B. Radiobiologik sel kanker

Energi radiasi yang diakibatkan sinar ultraviolet dan partikel radiasi dapat

menyebabkan transformasi sel, hal ini telah dibuktikan pada penelitian invivo dan invitro.

2

Sinar ultraviolet menyebabkan mutasi pembentukan dimer DNA, mutasi ini dapat diperbaiki

dengan mekanisme excision repair. Radiasi dapat menyebabkan kerusakan rangkaian DNA

melalui pembentukan radikal bebas yang selanjutnya merusak DNA.

Kematian sel dapat didefinisikan sebagai hilangnya kapasitas klonogenik

(kemampuan sel untuk bereproduksi). Hampir pasti, target utama dari radiasi yang

menyebabkan kematian sel adalah DNA. Photon atau partikel yang mengandung elektrik

berinteraksi dengan air intrasel untuk menghasilkan radikal bebas yang reaktifitasnya tinggi.

Radikal bebas ini kemudian berinteraksi dengan DNA dan menyebabkan putusnya rantai

DNA sehingga sel tidak dapat bereproduksi. Meskipun interaksi ini menimbulkan “kematian

reproduktif”, metabolisme sel masih terus berlanjut untuk beberapa waktu. Kerusakan akbiat

radiasi ini mungkin tidak terlihat secara morfologik sampai beberapa hari atau bulan

kemudian sampai saatnya sel membelah (kematian mitosis). Pada beberapa keadaan, sel yang

rusak dapat membelah dalam jumlah terbatas sebelum mati, dan benar-benar kehilangan

kemampuannya bereproduksi.

Sudah banyak terbukti bahwa sinar UV yang berasal dari sinar matahari dapat

menyebabkan squamous cell carcinoma, basal cell carcinoma pada kulit. Berat ringannya

tergantung dari tipe sinar UV, intesitas paparan, dan kuantitas absorbsi dari kulit. Sinar

ultraviolet mempunyai 3 spektrum yang dibagi berdasarkan panjang gelombangnya, yaitu:

UVA (320 – 400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (200-280 nm). Diantara ketiga sinar UV

ini, UVB terbukti dapat menginduksi kanker kulit sedangkan UVC meskipun merupakan

suatu mutagen yang poten namun tidak terlalu bahaya oleh karena difiltrasi oleh lapisan ozon.

Sinar UV mempunyai beberapa efek pada sel, diantaranya adalah inhibisi pembelahan

sel, inaktivasi enzim, induksi mutasi dan maupun menimbulkan kematian sel.

Karsinogenesitas sinar UV melalui mekanisme pembentukan dimer DNA.

3

Gambar 1. Pembentukan Dimer Timin akibat sinar Ultraviolet

Kerusakan akibat dimerisasi ini diperbaiki melalui mekanisme excision repair.

Terdapat 5 langkah repair eksisi :

1. Pengenalan bagian DNA yang rusak

2. Insisi rantai yang rusak di kedua sisinya

3. Removal nukleotida yang rusak

4. Sintesis nukleotida yang baru

5. Ligasi

Dengan adanya paparan sinar matahari yang berlebihan maka akan terjadi kerusakan

DNA yang luas, bila kerusakan ini luas maka mekanisme perbaikan DNA ini tidak mampu

mengatasi kerusakan DNA yang terjadi sehingga terjadi kanker.

C. Radiasi Ionisasi

Radiasi dapat menimbulkan reaksi biologik sel, efek radiasi ditimbulkan karena

gelombang elektromagnetik ataupun partikel ion. Gelombang elektromagnetik ataupun

partikel ion dapat menyebabkan ionisasi dan eksitasi yang akan menyebabkan perubahan

kimiawi dan selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan DNA karena perubahan biologik sel.

Reaksi yang timbul pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel, mutasi sel dan kanker.

Terapi lokal pada kanker yang banyak diberikan adalah terapi radiasi. Target terapi radiasi

adalah DNA. Kerusakan sel meliputi membran sel, membran inti dan organel sel lainnya.

Efek langsung radiasi akan mengakibatkan interstrand cross link (terjadi perpindahan basa

antara rantai DNA), single strand break (putusnya satu rantai DNA), double strand break

4

(putusnya kedua rantai DNA) dari sugar-phosphate backbone DNA. Sel yang mengalami

radiasi akan mengalami kerusakan satu atau kedua rantai DNA. Sel tersebut masih mampu

memperbaiki kerusakan tersebut. Bila sel tidak mampu memperbaiki kerusakan tersebut, sel

akan mati dengan mekanisme apoptosis. Sedangkan efek tidak langsung radiasi, terjadi

melalui pembentukan radikal bebas akibat H20 terkena radiasi, ionisasi H20 sel. Radikal

bebas yang bermuatan negatif (gugus hidroksil) akan mudah berikatan dengan gugus positif

dari DNA, dan merusak DNA. Dengan demikian radiasi elektromagnetik menyebabkan

ionisasi secara tidak langsung (indirectly ionizing), ionisasi H20 akan menghasilkan radikal

bebas hidroksil. Sedangkan proton serta partikel (heavy particles) menyebabkan ionisasi

langsung (direct ionizing) dan menyebabkan kerusakan DNA secara langsung.

Kerusakan yang diakibatkan radiasi menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk

membelah dan berkembang. Sehingga pada pemberian radiasi seringkali tidak

memperlihatkan perubahan morfologik, dan kematian sel umumnya terjadi melalui

mekanisme apoptosis. Pada tumor yang tumbuh lambat akibat proliferasi yang lambat, maka

respon terapi radiasi akan bermanifestasi dalam waktu yang panjang. Efek radiasi tidak

semata memberi memberi pengaruh langsung ataupun tidak langsung pada sel. Efek radiasi

juga dipengaruhi kemampuan sel mempertahankan dirinya terhadap radiasi termasuk

kemampuan sel mengenal kerusakan DNA atau partikel sel lainnya (lipid intrasel, transduksi

sinyal) serta kemampuan sel melakukan reparasi. Sel mempunyai kemampuan untuk

melakukan reparasi, kemampuan reparasi sel terhadap kerusakan tersebut mungkin

mempengaruhi resistensi sel kanker terhadap radiasi. Selain itu terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi respon terhadap radiasi antara lain faktor oksigenasi kanker, pada jaringan

tumor yang kaya oksigen maka respon terapi radiasi lebih baik karena mekanisme kerusakan

DNA melalui pembentukan radikal bebas lebih besar dibandingkan sel yang mengalami

hipoksik.

Sel pada fase M dan G2 lebih sensitif dibandingkan dengan sel pada fase S ataupun

G1. Pada proses radiasi terdapat sensor-sensor dalam sel yang mempengaruhi respon sel

terhadap radiasi.

Gelombang elektromagnetik seperti sinar x-ray, sinar gamma dan beberapa partikel

alpha, beta, proton dan neutron semuanya bersifat karsinogenik. Pada sinar ionisasi. Mutasi

dapat terjadi sebagai akibat efek langsung penyinaran pada DNA dengan radikal oksigen

yang terjadi di bawah pengaruh penyinaran. Sinar X-ray dapat menyebabkan kanker melalui

delesi pada rantai DNA sehingga protein yang terbentuk juga akan berbeda begitu pula

fungsinya. Bila kerusakan ini dapat diperbaiki maka DNA tersebut kembali normal, bila tidak

5

dapat diperbaiki dan kemudian mengalami siklus proliferasi maka kerusakan tersebut bersifat

menetap.

Basa change Dimer formation

Gambar 2. Contoh lesi DNA yang disebabkan oleh radiasi

Pada keadaan tertentu radiasi juga akan mengakibatkan disjunction, random fusion

dan selanjutnya akan menimbulkan mutasi.

Gambar 3. Disjuntion, random fusi dan mutasi akibat radiasi

Mutations

Neoplasia

u

6

D. Tujuan terapi radiasi

Tujuan radiasi secara umum terbagi dua, yaitu:

1. Radioterapi definitif adalah bentuk pengobatan yang ditujukan untuk kemungkinan

pulih setelah pengobatan yang adekuat. Bahkan, juga bila kemungkinan pulih itu

rendah, contoh pada tumor-tumor dengan T4 pada tumor kepala dan leher, pada

pasien kanker paru dan kanker serviks stadium FIGO IIIb atau bahkan IVa.

Pasien harus dalam kondisi fisik yang baik dan harus didukung dengan higiene,

nutrisi dan gambaran darah yang baik juga. Radiasi radikal sama efektifnya dengan

bedah radikal untuk banyak kanker. Kedua modalitas juga dapat melemahkan dan

dapat menimbulkan morbiditas tertentu. Secara umum, pasien akan mentoleransi

pemberian terapi radiasi, dan sebagian besar reaksi akut akan sembuh dalam beberapa

minggu setelah terapi dihentikan. Beberapa reaksi lambat seperti fibrosis dan deplesi

seluler akan terjadi bertahun-tahun setelah pengobatan, tetapi morbiditas berat atau

komplikasi letal biasanya minimal.

2. Radioterapi Paliatif adalah bentuk pengobatan pada pasien yang tidak ada lagi

harapan hidup untuk jangka panjang. Keluhan dan gejala yang dirasakan oleh pasien

yang harus dihilangkan merupakan bentuk pengobatan yang diberikan. Dengan

demikian tujuan pengobatan paliatif adalah untuk menjaga kualitas hidup pasien di

sisa hidupnya dengan menghilangkan keluhan dan gejala sehingga pasien hidup

dengan lebih nyaman.

Paliatif sering memerlukan level kuratif dari terapi radiasi, walaupun dosis yang lebih

rendah juga digunakan. Dosis paliatif harus diberikan secara bijaksana dan bisa

menimbulkan beberapa reaksi yang tidak menguntungkan. Tujuan terapi paliatif ialah:

memberikan kesempatan periode bebas gejala lebih lama daripada kelemahan yang

disebabkan oleh periode terapi radiasi, memperpanjang survival yang ada gunanya

atau komfortabel, meningkatkan kualitas dan kuantitas kehidupan, mengurangi gejala-

gejala gawat (seperti perdarahan, nyeri dan obstruksi) walaupun survival tidak

diperpanjang, mengalihkan atau menghindari gejala yang mengancam seperti

perdarahan.

Kombinasi pemberian radioterapi juga dapat berbentuk:

Radioterapi saja

Radioterapi saja adalah bentuk pengobatan dengan radiasi saja dari awal sampai

akhir. Pada pelaksanaannya teknik radiasi menggabungkan berbagai teknik radiasi

dengan tujuan untuk menjaga jaringan sehat dari efek buruk radiasi.

7

Radiasi praoperasi

Radiasi praoperasi adalah bentuk pengobatan radiasi yang mendahului tindakan

operasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan resektabilitas tumor karena

dengan radiasi tumor akan mengecil, batas-batas menjadi jelas dan tegas sehingga

operasi lebih mudah dilakukan. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi

kemungkinan metastase jauh akibat tindakan operasi karena sel-sel yang terkena

radiasi sudah tidak mempunyai kemampuan untuk hidup di tempat lain, bila sel ini

terlepas dan masuk pembuluh darah pada saat tindakan operasi.

Radiasi pascaoperasi

Radiasi pascaoperasi adalah pengobatan ajuvan yang dilakukan setelah tindakan

operasi. Radiasi dilakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kekambuhan

lokal yang disebabkan oleh adanya risiko terjadinya kambuh lokal berupa:

- Adanya residu tumor setelah operasi, baik gross residu maupun mikroskopik

residu, tepi sayatan tidak bebas tumor, kelenjer getah bening regional yang positif

mengandung anak sebar tumor, secara histologi berdiferensiasi buruk, atau

bentuk histologi yang angka kekambuhannya tinggi, contoh adenokarsinoma atau

adenoskuamosa

- Tumor-tumor yang kemungkinan kambuh sangat tinggi.

Kombinasi Kemoradiasi

Kemoradiasi adalah bentuk pengobatan kombinasi antara radiasi dan kemoterapi

dengan tujuan untuk meninggikan respons radiasi. Kemoterapi di sini bersifat sebagai

radiosensitiser.

Kemoradiasi dapat berbentuk neoajuvan sebelum tindakan operasi, ataupun dapat

berdiri sendiri tanpa operasi.

Radiasi intra/perioperatif

Dilakukan pada saat operasi sebelum luka operasi ditutup. Tekniknya dapat berupa:

- Kontak radioterapi dengan menggunakan sinar elektron.

- Brakhiterapi.

Kegagalan radioterapi untuk mengeliminasi tumor dapat disebabkan oleh beberapa hal:

Bila ukuran tumor terlalu besar

Bila volume radiasi tidak adekuat

Bila tumor ada dalam keadaan hipoksik

Bila tumor dalam siklus sel yang tidak berespons terhadap radiasi

8

Dosis total yang harus diberikan tidak sesuai karena dibatasi oleh jaringan sehat

sekitar tumor.

E. Jenis radiasi pada pengobatan kanker

Secara garis besar teknik penyampaian radiasi digolongkan dalam 2 golongan:

1. Radiasi eksternal

2. Brakhiterapi.

1. Radiasi Eksternal

Radiasi eksternal adalah cara penyampaian radiasi dimana terdapat jarak antara

sumber radiasi dan target radiasi. Beberapa istilah biasa dipakai untuk menjelaskan dosis

distribusi yang dihasilkan oleh iradiasi jaringan dengan pancaran eksternal.

Percentage depth dose adalah perubahan dosis sesuai kedalaman sepanjang aksis

sentral dari radiation beam. Dmax adalah dosis maksimum yang diberikan untuk terapi.

Dengan satu kali pancaran (beam) foton, Dmax terletak pada jarak di bawah permukaan

jaringan, dan meningkat sesuai energi pada pancaran foton. Jarak sumber ke kulit adalah

jarak antara sumber X-ray (misalnya sumber Cobalt atau target pada akselerator linear)

dengan permukaan kulit.

Isocentre adalah titik pada pasien yang merupakan jarak tetap (fixed) dari sumber

radiasi, sebagai sumber terapi (gantry) yang diputar disekeliling pasien (gambar 4). Jarak

sumber ke aksis, adalah jarak dari sumber X-ray ke isosenter. Kurva isodose adalah garis atau

permukaan yang menghubungkan titik dosis equal radiation.

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dosis pada jaringan akibat pancaran

foton eksternal tunggal adalah:

1. Energi pancaran (ditentukan oleh voltage). Pancaran foton dengan energi tinggi lebih

menimbulkan penetrasi daripada pancaran dengan energi rendah. Dengan kata lain,

dosis radiasi yang diberikan pada jaringan yang lokasinya dalam harus lebih besar

daripada jaringan superfisial. Pancaran energi yang lebih tinggi juga mempunyai

build-up region daripada pancaran energi rendah; hal ini menyebabkan kurangnya

permukaan kulit yang terpapar, dan menyebabkan radiasi pada jaringan profunda.

2. Jarak dari sumber ke pasien. Apabila jarak sumber radiasi ke pasien meningkat, maka

percentage depth dose meningkat

9

3. Ukuran luasnya radiasi. Percentage depth dose meningkat sesuai peningkatan luasnya

radiasi karena meningkatnya kontribusi dari internal scatter pada dosis radiasi. Efek

ini paling besar pada pancaran radiasi berenergi rendah

4. Kontur pasien dan sudut pancaran

5. Densitas jaringan pada target (khususnya udara versus jaringan lunak)

6. Jenis bentuk beam (beam-shaping devices) yang diletakkan antara sumber radiasi dan

pasien, yang mempengaruhi bentuk atau distribusi dosis radiasi

Akselerasi linear yang modern memungkinkan banyak variasi dari faktor-faktor ini

(gambar 4). Gantri yang dapat berotasi memungkinkan pembentukan beam yang isosentrik

yang dapat mempertahankan jarak yang tetap antara sumber pancaran sinar (beam) dan titik

pada pasien. Hal ini menyebabkan set-up pasien dan perencanaan terapi lebih akurat.

Pada umumnya, terapi radiasi mengkombinasikan dua atau lebih beam untuk

membuat dosis distribusi memenuhi 3 tujuan yaitu: (i) memaksimalkan dosis radiasi yang

diberikan pada target, (ii) menghasilkan dosis yang relatif homogen pada volume yang

diinginkan, sehingga meminimalkan spot panas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi,

atau spot dingin yang dapat meningkatkan risiko rekurensi, (iii) meminimalkan dosis yang

diberikan pada jaringan bukan target, dengan cara menghitung perbedaan toleransi pada

berbagai jaringan normal.

Gambar 4. Diagram dari akselerator linear

10

Rencana terapi harus meliputi volume target primer (besar tumor atau tumor bed),

semua daerah yang beresiko mengandung penyebaran penyakit secara mikroskopik, dan tepi

jaringan untuk memastikan lokasi target, reproducibility of set-up, dan pergerakan organ.

Rencana secara keseluruhan sering didesain untuk pemberian dosis yang berbeda-beda pada

daerah yang resikonya lebih besar atau lebih kecil, dengan melakukan boosting pada daerah

yang resikonya lebih besar dengan lapangan terapi lebih kecil setelah terapi awal pada

volume yang besar. Dua beam dengan arah berlawanan (misalnya anterior-posterior dan

posterior-anterior) biasanya menghasilkan dosis distribusi yang homogen pada jaringan

dengan paparan permukaan kulit yang kecil. Pada banyak kasus, beberapa lapangan dapat

dipakai untuk ”memfokus” regio yang dosis tinggi agar dapat mencapai volume target yang

lebih dalam.

Dengan kemajuan tehnik, sekarang ini dapat dipakai komputer untuk mengoptimasi

beam (pancaran) yang diperlukan dalam rencana terapi, yang mengkombinasikan banyak

lapangan radiasi dengan beam-shaping devices. Terapi dengan cara ini dapat menghasilkan

distribusi dosis yang sangat terbatas pada target volume saja. Bentuk yang paling sederhana

yaitu memakai terapi dengan dasar CT untuk lebih akurat mengetahui target volume dan

mendesain blok yang hanya membatasi radiasi pada target volume tersebut. Rekonstruksi

oleh CT menghasilkan bentuk lapangan radiasi yang lebih akurat, dimana radiasi masuk

kedalam pasien dengan sudut oblik.

Saat ini telah banyak dipakai terapi intensity-modulated radiation (IMRT). Cara ini

memakai algoritme komputer kompleks untuk mengoptimasi pemberian radiasi dari banyak

sudut pancaran. Klinisi harus dengan cermat menentukan target volume dan struktur jaringan

normal pada tiap irisan CT scan. Dosis radiasi minimum dan maksimum yang akan diberikan

pada tiap area harus dispesifikasi.

Target Volume Radiasi

GTV = Gross target volume : volume tumor yang dapat dideteksi secara pemeriksaan fisik

dan imaging.

CTV = Clinical Target Volume : volume tumor yang dibatasi oleh penyebaran mikroskopik

tumor (penyebaran infiltratif tumor)

PTV = Planning Target Volume : CTV dengan ditambah 1-2 cm diluarnya untuk

mikroskopik/subklinik mengurangi kemungkinan kesalahan menetapkan CTV dan

pergerakan organ.

11

Target volume radiasi sangat penting ditetapkan pada perencanaan radiasi karena akan

sangat menentukan apakah lapangan radiasi akan mencakup seluruh sasaran radiasi atau

sebaliknya akan berlebihan sehingga akan memasukkan banyak jaringan sehat di dalam

lapangan radiasi.

Gambar 5. Target volume radiasi

2. Brakhiterapi

Brakiterapi adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan sumber radiasi ke tumor

primer. Semua terapi yang melibatkan penempatan sumber radio aktif pada rongga tubuh

yang ada , disebut terapi intrakaviter. Pemakaian terapi intrakaviter yang paling umum di

bidang ginekologi melibatkan penempatan aplikator intrauterine atau intravaginal yang secara

subsequently diisi dengan sumber radio aktif encapsulated.

Sistem aplikatornya berbagai-bagai tampilan dan konfigurasi, tetapi alat yang

dipergunakan untuk terapi radikal kanker serviks atau uterus cenderung mempunyai beberapa

feature umum. Aplikator ini biasanya terdiri dari :

- Tabung berongga atau tandem

- Beberapa bentuk intravaginal receptacle untuk tambahan sumber

Variasi terbesar diantara sistem-sistem ini ialah di bagian aplikator vaginanya yang berbeda

dalam ukuran, orientasi sumber dan ada / tidaknya shielding. Salah satu aplikator yang

umumnya dipakai untuk kanker serviks ialah Fletcher – Suit – Delclos System. Sistim

aplikator lain, seperti Delclos dome cylinder telah di-disain secara khusus untuk terapi

puncak vagina setelah histerektomi.

Untuk meminimalkan ekspos radiasi terhadap tenaga kesehatan, sebagian besar sistim

aplikator moderen merupakan aplikator “afterloading” yang diisi sumber radioaktif setelah

12

posisinya adekuat yang di konfirmasikan dengan foto pelvis anter-posterior dan lateral.

Bahkan saat ini telah digunakan alat remote afterloading yang secara otomatis bisa mengisi

dan menarik sumber radioaktif dari aplikator.

Tiap terapi yang memasukkan sumber radioaktif ke dalam rongga tubuh disebut terapi

intrakavitas. Aplikasi ginekologik yang terbanyak dengan cara ini adalah memasukkan

aplikator intrauteri atau intravaginal kemudian diisi dengan sumber radioaktif yang terbuka

(misalnya 137Cs, 226Ra, 192Ir). Aplikator dapat berbentuk bermacam-macam, namun yang

dipakai untuk terapi radikal pada kanker serviks dan uterus biasanya bentuknya umum.

Aplikator ini terdiri dari sebuah tabung sempit atau tandem, dan berbagai bentuk receptacle

intravaginal. Aplikator yang biasa dipakai untuk terapi karsinoma serviks yang intak adalah

sistem Fletcher-Suit-Delclos (gambar 6).

Gambar 6. Aplikator Fletcher-Suit-Delclos

Gambar 8 menunjukkan distribusi isodose yang berbentuk buah pear yang dihasilkan

oleh sumber radiasi intrauterin dan kolpostat Fletcher-Suit-Delclos yang diisi dengan 137Cs.

Cara ini terbukti sangat baik untuk terapi kanker serviks karena memungkinkan radiasi dosis

tinggi diberikan dalam volume kecil dengan aplikator (misalnya serviks dan paraserviks)

tanpa melibatkan jaringan normal yang letaknya agak jauh dari sumber. Karena cepatnya

perubahan dosis pada jarak dekat, maka penempatan aplikator dan sumber radiasi intrakavitas

yang akurat sangat penting. Packing dan retraksi kandung kemih dan rektum dapat

mengurangi radiasi pada organ ini, dengan cara menjauhkannya dari sumber radiasi di

vagina.

13

Gambar 7. Tandem intrauteri dan vaginal kolpostat

Untuk meminimalkan paparan pada operator, terdapat sistem aplikator yang lebih

modern, dimana sumber radiasi diberikan setelah posisi pasien yang adekuat telah

dikonfirmasi sebelumnya dengan pemeriksaan X-ray pelvis anterior-posterior dan lateral

yaitu dengan fasilitas “afterloading” .

Secara konvensional, brakiterapi diberikan dalam kecepatan dosis rendah, biasanya

40-60cGy per jam. Kecepatan seperti ini menguntungkan bagi efek radiasi, dan menimbulkan

respon lambat pada jaringan normal. Dosis terapi intrakavitas untuk terapi kanker serviks

radikal biasanya diberikan dalam 72 – 96 jam selama satu atau dua kali rawat inap. Meskipun

beberapa peneliti mencoba mengurangi lamanya terapi ini dengan meningkatkan dosis (40-80

cGy per jam), namun data klinik yang didapatkan masih terbatas.

Dengan memakai komputer untuk mengontrol terapi, maka brakiterapi dapat

diberikan pada kecepatan dosis tinggi (dalam hitungan menit bukan jam). High-dose-rate

(HDR) memberikan keuntungan bagi pasien karena dilakukan tanpa opname, meskipun lebih

banyak aplikasi yang diperlukan. Terapi HDR menjadi populer dalam 10 tahun terakhir

khususnya untuk aplikasi intrakavitas ginekologik. Namun, banyak dokter yang menolak

terapi HDR ini karena terdapat kerugian akibat radiasi dalam fraksi besar.

14

Gambar 8.Pandangan posterior-anterior dan lateral dari sistem aplikator Fletcher-

Suit-Delclos yang diisi dengan 137Cs

Dosis radiasi total untuk tumor sentral dan nodus regional tergantung dari besarnya

penyakit pada tempat tersebut. Ahli onkologi memberi dosis radiasi berdasarkan sistem

Manchester yaitu memakai 2 titik referensi

1. Titik A- yaitu titik 2 cm lateral dan 2 cm superior dari ostium uteri eksterna pada

bidang implan.

2. Titik B- yaitu titik 3 cm lateral dari titik A.

Dosis total pada titik A (dari external beam dan LDR intrakavitas) yang adekuat untuk

mencapai penyakit sentral biasanya antara 75 Gy (untuk stadium IB) dan 90 Gy (untuk

penyakit lokal advance). Dosis untuk titik B adalah 45 – 65 Gy tergantung dari perluasan

penyakit ke parametrium atau dinding perut.

Terapi radiasi sangat efektif untuk karsinoma serviks stadium IB1 dimana angka

kesembuhan lebih besar dari 98% dan disease spesific survival rate 90%. Penelitian terbaru

menunjukkan adanya perbaikan angka survival pada penyakit pelvis apabila kemoterapi yang

mengandung cisplatin diberikan bersama radiasi pada pasien dengan penyakit lokoregional

advance.

15

Pada pasien karsinoma serviks satdium IB dan IIA yang diterapi dengan histerektomi

radikal dan limfadenektomi pelvis, metastasis ke limfonodus merupakan prediktor utama

rekurensi dan kematian. Pasien dengan metastasis limfonodus hanya mempunyai angka

survival 50 – 60 % dibandingkan dengan pasien yang limfonodusnya negatif. Metastasis

parametrium dan masih adanya sel ganas pada tepi operasi juga memprediksikan tingginya

rekurensi pelvis dan hal ini merupakan indikasi radiasi pasca operasi.

3. Implan interstitial

Merupakan penempatan sumber radio aktif dalam jaringan. Berbagai sumber radiasi,

seperti 192 Ir dan 125 I bisa menjadi sumber radio aktif berbentuk kawat atau yang ditanam.

Sumber radio aktif bisa diletakkan dalam tumor atau tumor bed dengan berbagai cara:

1. Permanent Implants of Seeds

Biasanya 125 I atau 198 Au yang diinsersikan menggunakan inserten khusus yang

kadang-kadang digunakan untuk implan Kgb pelvik atau aorta khususnya rekurensi

setelah radiasi.

2. Temporary Implants of Teflon Catheters dapat ditempatkan selama pembedahan dan

kemudian diisi dengan sumber radio aktif ( biasanya 192Ir) . Cara ini kadang-kadang

dipakai untuk terapi tumor bed.

3. Transperineal Needle Implants.

Dapat ditempatkan dengan guidance memakai lucitetemplate dengan lubang-lubang

berjarak teratur dan suatu central obdurator yang dapat memegang jarum-jarum

tandem atau tambahan. Jarum-jarum di afterload biasanya dengan 192 Ir. Ini adalah

implan temporer yang digunakan untuk pengobatan tumor vagina dan beberapa tumor

serviks.

Kebanyakan implan interstitial ginekologik adalah implan LDR temporer. Seperti

terapi intrakaviter, terapi interstitial memberikan dosis radiasi yang relatif tinggi untuk

volume yang kecil, sparing jaringan normal disekelilingnya. Namun resiko pada jaringan

normal di dekat tumor atau di tumor bed masih signifikan, khususnya bila jarumnya

ditempatkan pada tempat yang tidak tepat.

Beberapa peneliti telah mendukung penggunaan interstitial template brachytherapy

untuk pengobatan kasus-kasus sulit locally advanced cervical cancer. Kemampuan

menempatkan sumber pada parametrium lateral dengan teknik ini memberikan keuntungan

teoritik lebih dari terapi intrakaviter untuk pasien dengan keterlibatan dinding pelvik.

16

F. Efek Biologik Radioterapi

1. Fraksinasi

Terapi radiasi konvensional biasanya diberikan dalam dosis terbagi dengan dosis tiap

hari adalah 180-200 cGy per fraksi. Kurva survival sel secara hipotesis pada jaringan normal

dan sel tumor menggambarkan keuntungan dari pemberian secara fraksi ini (Gambar 9). Bila

dosis radiasi dibagi menjadi dosis multipel kecil yang dipisahkan oleh interval yang cukup

menyebabkan perbaikan maksimum terhadap trauma subletal, maka didapat kurva dosis-

respons yang dangkal, yang menunjukkan pengulangan dari shoulder dari kurva survival sel

setiap dosis. Slope dari kurva survival sel yang terbagi-bagi (fractionated) tergantung dari

karakter dari shoulder (N dan Dq).

Gambar 9 . Hubungan antara dosis radiasi dan fraksi survival dari sel yang diradiasi

dengan dosis tunggal atau dalam fraksi.

Pada tumor dan jaringan normal yang berespon akut, respon sel terhadap dosis

tunggal radiasi digambarkan dengan kurva yang mempunyai shoulder awal yang dangkal (A).

Untuk jaringan normal yang berespon lambat, kurva survival mempunyai shoulder yang lebih

dalam, yang menunjukkan sel mampu memperbaiki trauma letal akibat radiasi (B)

17

Efek pemisahan dari fraksinasi adalah efek yang terbesar bagi sel yang mempunyai

respon terhadap radiasi, yang ditandai dengan shoulder yang relatif lebih besar, yang

menunjukkan bahwa sel mempunyai lebih banyak kemampuan untuk mengakumulasi dan

memperbaiki kerusakan subletal selama interval interfraksi. Banyak jaringan normal dan

beberapa tumor yang poorly responsive memperlihatkan jenis respons fraksinasi in vivo dan

in vitro. Sebaliknya, kebanyakan tumor dan beberapa jaringan normal yang mempunyai

respon akut (misalnya sumsum tulang dan sel kripte usus) mempunyai kurve dosis-respons

dengan shoulder yang sempit, yang menunjukkan bahwa efek fraksinasinya relatif kecil.

Perbedaan antara sensitivitas fraksinasi tumor dan jaringan normal merupakan hal

penting dalam menentukan rasio terapi (perbedaan antara tumor kontrol dan komplikasi pada

jaringan normal) pada radiasi cara fraksinasi.

Efek biologik jika jaringan terkena radiasi tergantung dari dosis, ukuran fraksi,

interval interfraksi dan waktu yang terjadi. Empat faktor klasik yang biasa disebut sebagai

"the Four R is of radiobiology" berhubungan dengan waktu dosis dan fraksinasi yaitu :

a. Repair

Kemampuan sel untuk memperbaiki diri beberapa jam setelah ekspose radiasi.

Penyebabnya karena pemberian radiasi secara fraksional memberikan penyembuhan

kerusakan yang subletal. Pada percobaan 2 dosis yang diberikan interval lesi beda

sedikitnya 4 jam dan yang lainnya lebih dari 6 jam menunjukkan reparasi komplit dari

kerusakan subletal. Hal ini merubah interval minimum terapi sedikitnya 4 sampai 6

jam.

Seperti telah dikatakan, karena radiasi fraksinasi menimbulkan recovery yang lebih

besar dari trauma subletal selama terapi, maka diperlukan dosis total yang lebih besar

untuk mencapai efek biologik yang diberikan apabila dosis total dibagi menjadi

fraksi-fraksi kecil.

b. Repopulation

Sel-sel yang bertahan hidup selama radiasi akan melakukan proliferasi dan akan

meningkatkan jumlah sel yang harus dimatikan. Berhubungan dengan proliferasi sel

yang muncul selama radisi. Efek "repopulation" pada dosis yang dipersiapkan untuk

menghasilkan kematian sel tergantung dari "doubling time" yang terlihat. Pada sel

yang memiliki "doubling time" yang relatif pendek terdapat peningkatan yang

bermakna dosis untuk mengkompensasi hambatan pada "delivery time' fenomena ini

mempunyai kepentingan praktis. "Repopulation" dari jaringan normal (seperti kulit,

permukaan mukosa) adalah salah satu fakfor yang membatasi kontraksi setiap

18

fraksinasi. Walaupun hambatan mengurangi efektivitas dosis radiasi selama terapi.

Sebagai tambahan terapi sitotoksik termasuk kemoterapi, radiasi diseksi bedah,

merupakan pencetus peningkatan proliferasi clonogen.

c. Redistribution

Sel yang pada saat radiasi merupakan sel yang radioresisten, berikutnya akan masuk

dalam fase sensitif. Penelitian menunjukkan terdapat perubahan radiosensitivitas yang

bermakna darl sel yang melalui fase siklus sel. Sel biasanya paling sensitif pada fase

akhir G2 dan selama mitosis dan resisten pada pertengahan sampai akhir fase S dan

awal fase G1. Ketika pembelahan sel menerima dosis fraksinasi, dosis pertama

membunuh sel sensitif dari siklus sel, sel yang tersisa pada fase S selanjutnya mulai

memasuki fase yang lebih sensitif selama interval sebelum memberikan fraksi

berikutnya. Redistribusi sel pada fase yang lebih sensifif meningkat jumlah kematian

selnya jika penyinaran diberikan secara fraksinasi.

d. Reoxygenation

Sel tumor yang survive pada saat radioterapi cenderung berada dalam keadaan

hipoksia, tetapi setelah itu suplai oksigen akan meningkat sehingga sel tumor akan

meningkat sensitivitasnya. Sensitivitas sel yang mengandung banyak oksigen

memiliki reaksi radiasi ionisasi hampir tiga kali dibandingkan sel yang saat radiasi

dalam kondisi kurang oksigen. Hal ini membuat oksigen dikenal sebagai "radiation

sensitizer'. Interaksi molekular yang bertanggung jawab tentang efek oksigen ini

belum diketahui secara jelas tetapi diduga oksigen menghasilkan reaksi yang stabil

dari radikal bebas hasil dari ionisasi. Rasio antara dosis yang dibutuhkan untuk,

mematikan sel pada keadaan banyak oksigen dengan keadaan hipoksis disebut sebagai

"oxygen enhancement ratio" (OER).

Pada umumnya jaringan normal dalam kondisi teroksigenasi penuh, dan hipoksia

signifikan terdapat pada beberapa tumor solid, dan sel hipoksia relatif resisten

terhadap efek radiasi. Namun, kepentingan klinik dari hipoksia tumor kurang

diperhatikan karena sel hipoksia cenderung teroksigenasi lebih baik selama pemberian

fractionated radiasi. Fenomena ini disebut reoksigenasi, dan meningkatkan respons

tumor terhadap dosis radiasi jika diberikan dalam fractionated karena hipoksi tumor

akan menurun

19

Gambar 9. Kurve survival pada sel dalam keadaan aerasi (oksigenasi) dan hipoksia.

Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan kerusakan tertentu sekitar 3 kali lebih besar pada kondisi

hipoksia/anoksia daripada oksigenasi penuh

2. Rasio terapeutik

Rasio terapeutik adalah suatu rasio antara persentase kemungkinan kematian sel

tumor jika dibandingkan dengan persentase kemungkinan kematian sel-sel normal. Dengan

kata lain, rasio antara kemampuan untuk mengeradikasi sel tumor sebanyak-banyaknya

dengan menghindari kerusakan sel normal seminimal mungkin.

Efek radiasi terhadap jaringan normal

Kerusakan radiasi pada jaringan normal tergantung beberapa faktor termasuk dosis

radiasi, organ, volume jaringan yang diradiasi dan pembelahan sel yang diradiasi. Jaringan

yang mempunyai laju "turnover" yang tinggi segera tampak kerusakan jaringan setelah

paparan. Sebagai contoh reaksi jaringan akut termasuk epitel rambut, mukosa

gastrointestinal, sumsum tulang dan jaringan reproduktif). Kerusakan jaringan yang memiliki

laju "turnover" yang rendah mempunyai manifestasi beberapa bulan atau beberapa tahun

kemudian. Sebagai contoh jaringan ikat, otot dan jaringan syaraf

20

Gambar 10. Rasio terapeutik.

Theoretical sigmoid dose-response curves for tumor control and severe complications. The therapeutic ratio is

related to the distance between the two curves. Dose A controls tumor in 80% of cases with a 5% incidence of

complications. Dose B yields a 10% to 15% increase in the tumor control probability but a much greater risk of

complications, narrowing the therapeutic ratio. A leftward shift of the tumor control probability curve (e.g., by

the addition of sensitizing drugs) broadens the window for complication-free cure.

a. Reaksi akut

Reaksi akut pada radiasi pelvik seperti diare hal ini berhubungan dengan

"denuclation"/penipisan mukosa yang menstimulasi proliferasi sel. Respon regeneratif ini

biasanya muncul pada dosis 900 sampai 1000 cGy yang diberikan dalam 5 fraksi. Jika terapi

diakselerasi dengan pemberian dosis dalam periode yang lebih pendek maka kapasitas

regenerasi epitel menjadi berlebihan sehingga reaksi akut sangat berat dan terapi harus

dihentikan untuk regenerasi epitel. Beratnya reaksi akut juga tergantung dari volume jaringan

normal yang diradiasi dan sifat jaringan.

b. Reaksi lambat

Patogenesis dari komplikasi radiasi yang lambat (muncul beberapa bulan atau tahun)

berbeda dengan reaksi akut yang jelas penyebabnya namun diduga karena: Kerusakan

vaskular yang berada pada stroma menyebabkan proliferasi epitel dengan penurunan suplai

darah dan fibrosis. Karena reaksi yang lambat dari jaringan tidak mengalami proliferasi yang

cepat maka selama radiasi tidak muncul.

21

Kemungkinan terjadinya efek lambat yang serius akibat radiasi tergantung dari

berbagai faktor antara lain dosis radiasi, dosis radiasi per fraksi, volume jaringan yang

diradiasi, kecepatan dosis radiasi, karakteristik pasien, terapi lain (operasi atau kemoterapi),

dan titik akhir yang diukur. Beberapa jaringan seperti hepar, ginjal, paru-paru, terdiri dari sub

unit fungsional yang tersususn secara paralel; jaringan ini dapat mentoleransi radiasi dosis

tinggi yang diberikan pada sebagian kecil dari suatu organ tanpa efek lambat yang serius,

namun cenderung lebih sensitif apabila seluruh organ diberi radiasi. Organ lain seperti usus

atau ureter tersusun dalam bentuk serial, sehingga pemberian dosis dalam porsi kecilpun

terhadap organ ini dapat menyebabkan kegagalan organ seluruhnya.

Banyak faktor mempengaruhi distribusi dosis dalam jaringan dari a single external

beam of photons. Diantaranya alah:

1. Energi sinar ( ditentukan oleh voltagenya )

2. Jarak antara sumber dan pasien

3. Ukuran dari lapangan radiasi

4. Kontur dari pasien dan sudut dari sinar

5. Densitas jaringan dalam volume target ( khususnya udara vs jaringan lunak )

6. Variasi alat pembentuk sinar yang ditempatkan diantara sumber radiasi dan pasien

yang dapat merubah bentuk atau distribusi dosis radiasi.

Linear accelerator yang modern memberikan banyak variasi pada elemen ini. Suatu

rotational gantry memberikan pengaturan sinar isocentric yang mempertahankan jarak yang

tetap antara sumber sinar dengan satu titik tertentu di dalam tubuh pasien. Dengan demikian

bisa dilakukan set up pasien dan treatment planning yang akurat.

Sebagian besar perencanaan pengobatan terapi radiasi menggabungkan dua atau lebih

sinar radiasi guna menciptakan distribusi dosis untuk: Memaksimalkan dosis radiasi yang

diberikan pada target, menghasilkan dosis yang relatif homogen dalam volume target untuk

meminimalkan hot spots (resiko komplikasi) atau cold spots (resiko rekurensi), dan

Meminimalkan dosis yang diberikan terhadap jaringan yang tidak terlibat yang

diperhitungkan mempunyai toleransi berbeda dari berbagai jaringan normal.

Perencanaan pengobatan yang dihasilkan harus mencakup:

1. Volume target primer ( gross tumor atau tumor bed )

2. Daerah at risk untuk penyebaran penyakit secara mikroskopik

3. Batas jaringan yang diperhitungkan karena ketidakpastiannya dalam lokasi target,

hasil dari set up-nya dan gerak organ

22

G. Aplikasi Klinis Radiasi

Kanker serviks

Merupakan terapi kuratif pada kanker serviks umumnya memakai kombinasi antara

radiasi eksternal dengan brachytherapi. Tujuannya adalah mengeliminasi kanker pada

serviks, para serviks dan kelenjar getah bening pelvik. Seluruh regio ini harus masuk dalam

lapangan penyinaran, namun harus terbatas terhadap jaringan normal pada rektosigmoid,

kandung kemih dan usus halus. Pada lesi besar regio ini harus mendapatkan radiasi yang

lebih tinggi melalui intrakaviler. Batas anteroposterior dan posteroanterior adalah :

- Inferior pada "mid pubis" atau 3-4 di bawah distal serviks atau vagina

- Superior pada L4-L5 pada kelenjar getah bening iliaka, pada risiko yang kecil dengan

penyebaran kelenjar getah bening, batas superior L5-S1

- Lateral, 1-2 cm lateral dari kelenjar getah bening atau 1 cm batas lateral tulang pelvik.

Pada penderita kanker serviks dengan perdarahan pervaginam pemberikan penyinaran

eksterna menghasilkan hemostastis, pada beberapa hari dapat berhenti memakai radiasi

pelvik ekselerasi (18 cGy dua kali sehari).

Dosis radiasi total pada tumor sentral dan kelenjar getah bening menggunakan sistem

Manchester yang melakukan indentifikasi 2 titik primer :

1. Titik A 2 cm lateral dan 2 cm superior dari ostium uteri eksternal

2. Titik B 3 cm lateral dari titik A (eksternal dan LDR) antara 75 Gy (untuk stadium

IA) dan 90 Gy (untuk stadium lanjut lokal) sedangkan dosis di titik B 45-65 Gy tergantung

dan penyebaran ke parametrium dan dinding samping.

Sebagai radiasi "adjuvant" setelah histerektomi radikal stadium IB dan IIA dan

limfadenektomi dengan keterlibatan kelenjar getah bening yang merupakan prediktor yang

kuat akan adanya rekurensi lokal dan kematian dengan "survival rates" nya 50-60% dengan

metastasis kelenjar getah bening, selain itu diberikan pada keterlibatan parametrium dan batas

surgical yang sensitif. Pada lesi besar, invasi stroma dalam (> 2/3) dan keterlibatan limfo

vaskular diberikan pula radiasi.

Penderita rekurensi setelah histerektomi radikal dapat diberikan radiasi dengna

survival rate yang tinggi 60-70%. Komplikasi lambat yang terjadi muncul pada 5-15%

penderita dan berhubungan dengan dosis per fraksi, total dosis yang diberikan dan volume

yang diradiasi.

Pada terapi paliatif dapat diberikan 2.000 cGy di dalam 5 fraksi atau 3.000 cby di

dalam 10 fraksi berhubungan dengan metastasis tulang dan kelenjar getah bening paraaorta.

23

Kanker endometrium

Sebagian besar pasien kanker endometrium stadium I dengan grade 1 sampai 2,

noninvasif atau invasif minimal, jarang rekurens setelah histerektomi saja dan biasanya tidak

memerlukan tambahan terapi. Penggunaan terapi ajuvan radiasi pelvik biasanya terbatas

pada pasien dengan deeply invasive lesions atau adanya temuan high risk lain dari spesimen

operasi (misalnya: kgb positif, keterlibatan stroma serviks).

Kanker Ovarium

Pasien yang diindikasikan untuk mendapatkan radiasi abdominopelvik ditentukan

oleh luasnya penyakit, jumlah dan lokasi tumor residu, derajat tumor, adanya komplikasi

medis, dan faktor risiko komplikasi radiasi. Radiasi abdominopelvik sebagai terapi primer

hanya diberikan pada pasien kanker ovarium stadium I – III yang tidak ditemukan lagi lesi

makroskopik pada abdomen bagian atas dan tumor residu < 2 cm pada pelvik.

Kanker Vulva

Peranan radiasi dalam terapi kanker vulva meningkat secara dramatis dalam 20 tahun

terakhir. Perkembangan peralatan dan teknik yang baik mengurangi toksisitas. Keuntungan

penggunaan radiasi untuk terapi kanker vulva adalah :

1. Mengurangi rekurensi regional dan meningkatkan survival pada pasien dengan

metastasis KGB.

2. Mengurangi risiko rekurensi pada pasien dengan batas operasi positif, rekurensu

lokal multipel atau risiko tinggi lainnya.

3. Menghindari eksentrasi operasi pada pasien kanker vulva yang telah melibatkan

anus dan uretra.

4. Terapi radiasi juga dapat menjadi alternatif untuk limfadenektomi inguinal pada

pasien tertentu dengan KGB klinis negatif.

Pada umumnya dosis radiasi harus disesuaikan dengan jumlah residu tumor. Dosis 45

– 50 Gy untuk lesi mikroskopik dan 60 Gy atau lebih untuk batas yang positif, ekstensi nodus

ekstrakapsuler, atau lesi residu makrsokopik. Bila perlu dosis dapat di booster dengan ef face

electron field pada kanker vulva yang mempunyai risiko rekurens. Pendekatan ini

meminimalkan jaringan yang terkena radiasi sehingga mengurangi reaksi kulit. Bolus

diperlukan untuk meningkatkan dosis pada jaringan superfisial.

24

Kanker Vagina

Walaupun lesi kecil pada apeks vagina kadang-kadang dapat direseksi, tetapi

hubungannya dengan vagina, kandung kening dan rektum biasanya menjadi susah untuk

dilakukan reseksi tanpa mengganggu organ tersebut. Oleh kaena itu kebanyakan pasien

dengan kanker vaginal invasif diterapi dengan radiasi, dengan dosis yang tergantung dari

stadiumnya seperti pada kanker serviks. Terapi radiasi pada kanker vagina biasanya berupa

kombinasi radiasi eksternal dan brakiterapi. Teknik interstitial atau intrakavitas dapat dipakai

tergantung dari ukuran dan lokasi lesi primer dan responsnya terhadap terapi eksternal beam

(gbr 5.12). Teknik interstitial biasanya dipakai untuk tumor dengan ketebalam 3 – 5 mm.

Tumor yang sangat lanjut, difus, atau terfiksir dapat di booster dengan dosis yang tinggi

dengan memakai conformal external beam therapy.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Supriana N. Terapi Radiasi. In : Aziz MF,Andrijono, Saefuddin AB. Onkologi

Ginekologi : buku acuan nasional, 1st ed. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo,2006. pp. 323 – 41.

2. Andrijono. Biologi sel. Dalam : Sinopsis Kanker Ginekologi. Edisi ketiga. Pustaka

Spirit. Jakarta, 2009, hal: 19-40.

3. Aziz MF. Karsinogenesis. Dalam : Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB (Eds). Buku

Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. Jakarta, 2006, hal : 20-32

4. Eifel PJ. Radiation Therapy. In: Berek JS, Hacker NF, eds. Practical Gynecologic

Oncology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010.p.83 – 111.

5. Erickson-Wittmann B, Rownd J, Kevin Khater K. Biologic and physical aspects of

radiation oncology. Principles and Practice of Gynecologic Oncology, Editors:

Barakat, Richard R.; Perelman, Ronald O.; Markman, Maurie; Randall, Marcus, 5th

Edition, 2009, p 327-370.