prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta …tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak...
TRANSCRIPT
i
ABSTRAK
PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM
MEMBUAT AKTA AUTENTIK
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sangat penting untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik,
mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum terhadap akta autentik yang
dibuat notaris karena terdapat pihak-pihak yang melakukan kejahatan seperti
memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat notaris.
Sehingga untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat
menjerumuskan notaris terlibat dalam permasalahan hukum, perlu diatur kembali
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tentang pedoman dan tuntunan notaris
untuk bertindak lebih cermat, teliti dan hati-hati dalam proses pembuatan akta
autentik.
Ada dua isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, yakni (1) bentuk-
bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik dan (2)
akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan
keterangan palsu. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah
penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya kekaburan norma dalam
pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris yang belum jelas
mengatur tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama. Pendekatan
penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan
pendekatan kasus.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk prinsip kehati-
hatian (prudential principle) yang seharusnya dilakukan notaris dalam proses
pembuatan akta yaitu, melakukan pengenalan terhadap identitas penghadap,
memverifikasi secara cermat data subyek dan obyek penghadap, memberi
tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak hati-hati, cermat dan teliti
dalam proses pengerjaan akta, memenuhi segala teknik syarat pembuatan akta dan
melaporkan apabila terjadi indikasi pencucian uang (money laundering) dalam
transaksi di notaris, bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian seperti ini sudah
seharusnya wajib dilaksanakan notaris agar nantinya notaris dapat mencegah
timbulnya permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya
dikemudian hari.
Akibat hukum perjanjian dalam isi akta notaris yang dibuat berdasarkan
surat palsu dan keterangan palsu sesuai Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1335
KUHPerdata yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu
adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid) dan akta yang dibuat kekuatan
pembuktiannya terdegradasi dari akta autentik menjadi akta dibawah tangan, akan
tetapi tentang kebenaran formal yang terdapat dalam kepala dan penutup akta
tersebut tetap mengikat para pihak yang membuatnya.
Kata kunci : Prinsip Kehati-hatian Notaris, Akibat Hukum, Surat Palsu.
ABSTRACT
PRUDENT PRINCIPLES OF NOTARY IN MAKING AUTHENTIC DEED
In carrying out duties and positions, notaries are very important to
implement the principle of prudence in the process of making authentic deed. It is
due to the frequent legal problems to the authentic deed made by notary; some
parties commit crimes through giving a letter and false information into the deed
made by notarial. Thus, to prevent the occurrence of crimes which can bring the
notary into legal matters, it is necessary to be re-regulated in the Notary Law of
guidance about guidance of a notary to act more scrutinize and careful in the
process of making authentic deeds.
There are two legal issues studied in this research, namely (1) notary
precautionary forms in the process of authentic deed making and (2) legal
consequences of notarial deeds made on the basis of false letters and false
statements. The type of research used in this thesis is normative legal research
existed based on the vague of the norm in article 16 paragraph 1 letter a of
Notary Office Law which is not clear to set about notary obligations to act
thoroughly. In addition, the approach used in this research consists of approaches
to legislation, conceptual approaches, and case approaches.
Based on the results of this research, it is concluded that the forms of
prudential principles that should be done by notary in the process of making the
deed is recognizing the identity of the tap, verifying the data subject and object
confront scrutinizely, giving grace period for making the deed, acting careffully
and scrutinizely the process of creating deed, fulfilling all technical requirements
of the deed making and reporting if there is any indication of money laundering in
a notary transaction. These prudential principles should be obliged to be executed
by a notary in order to prevent the occurrence of legal notary upon the authentic
deed made in the future.
Consequences in the contents of notarial deeds made on the basis of
false letters and false statements in accordance with Article 1320 paragraph (4)
and Article 1335 Civil Code are agreements made on the basis of the false cause
is null and void (nitiegbaarheid) and the power of proof is degraded from the
authentic deed Becomes a deed under the hands, but the formal truth contained in
the head and cover of the deed remains binding on the parties that make it.
Keywords : Prudent Principle of Notary, Legal Consequences, Counterfeit
Letter.
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai prinsip kehati-hatian notaris dalam
membat akta autentik. Adapun dalam tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang
diuraikan sebagai berikut :
Bab I memaparkan latar belakang masalah yang memuat isu hukum
kekaburan norma dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris
terkait masih belum jelasnya kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam
proses pembuatan akta autentik. Dari latar belakang tersebut dapat diuraikaan
mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, landasan
teoritis, dan metode penelitian.
Bab II merupakan penjabaran dari tinjauan umum, sub bab pertama
membahas mengenai keberadaan, pengertian notaris, kewajiban, larangan dan
kode etik notaris serta prinsip kehati-hatian. Sub bab kedua membahas pengertian
akta notaris, macam akta notaris dan syarat sahnya akta notaris sebagai akta
autentik.
Bab III memaparkan hasil penelitian dan pembahasan dari rumusan
masalah yang pertama, sub bab pertama menguraikan bentuk-bentuk prinsip
kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik dan sub bab kedua membahasa
tentang Tugas dan Peran Notaris dalam Proses pembuatan akta agar mencegah
notaris dari permasalahan hukum.
Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan dari rumusan masalah
kedua. Dalam sub bab pertama diuraikan tentang Pembuktian akta autentik yang
dibuat oleh notaris berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu, sub bab kedua
membahas Akibat hukum akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan
keterangan palsu.
BAB V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran
terhadap hasil dari penelitian tesis. Adapun simpulan pembahasan ini bahwa
dalam prakteknya notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik sering
dihadapkan oleh permasalahan hukum sehingga prinsip kehati-hatian sudah
seharusnya dilaksanakan notaris. Bahwa Akibat hukum perjanjian dalam isi akta
notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu berdasarkan
Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata yaitu batal demi hukum atau batal sejak peranjian
tersebut dibuat (nitiegbaarheid) dan aktanya terdegradasi menjadi akta dibawah
tangan. Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan tesis ini adalah
Pemerintah mengajukan kepada lembaga legislatif untuk memperjelas kembali
Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P agar notaris memiliki pedoman dan tuntunan
untuk bertindak hati-hati dalam membuat akta autentik dan diharapkan notaris
dalam proses dan menerima pembuatan akta agar lebih berhati-hati, cermat dan
teliti dalam menerapkan aturan hukum terhadap akta yang dibuatnya.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ......................................................................................... i
PERSYARATAN GELAR ............................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS .............................. iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
RINGKASAN ................................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 15
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 16
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................... 16
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 16
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 16
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................ 17
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................. 17
1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 17
1.5.1 Prinsip Kehati-hatian ..................................................... 18
1.5.2 Teori Perlindungan Hukum ........................................... 20
1.5.3 Asas Kepastian Hukum ................................................. 22
1.5.4 Teori Kekuatan Pembuktian Akta Autentik .................. 26
1.6. Metode Penelitian ..................................................................... 28
1.6.1 Jenis Penelitian .............................................................. 29
1.6.2 Jenis Pendekatan ........................................................... 29
1.6.3 Sumber Bahan Hukum .................................................. 31
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 32
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................... 33
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, PRINSIP
KEHATI-HATIAN DAN AKTA NOTARIS .............................. 34
2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris dan Prinsip Kehati-hatian ... 34
2.1.1 Keberadaan dan Pengertian Notaris ............................. 34
2.1.2 Kewajiban, Larangan dan Kode Etik Notaris .............. 44
2.1.3 Prinsip Kehati-hatian ..................................................... 55
2.2 Tinjauan Umum Tentang Akta Notaris .................................... 58
2.2.1 Pengertian Akta Notaris ................................................ 58
2.2.2 Macam Akta Notaris ..................................................... 61
2.2.3 Syarat Sahnya Akta Notaris Sebagai Akta Autentik ..... 68
BAB III BENTUK-BENTUK PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS
DALAM PROSES PEMBUATAN AKTA AUTENTIK ............ 75
3.1 Bentuk-Bentuk Prinsip Kehati-hatian Notaris Dalam Proses
Pembuatan Akta Autentik ........................................................ 75
3.2 Tugas dan Peran Notaris Dalam Proses Pembuatan Akta
Agar Mencegah Notaris Dari Permasalahan Hukum ............. 100
BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA NOTARIS YANG DIBUAT
BERDASARKAN SURAT PALSU DAN KETERANGAN
PALSU ............................................................................................ 107
4.1. Pembuktian Akta Autentik Yang Dibuat Oleh Notaris
Berdasarkan Surat Palsu dan Keterangan Palsu ...................... 107
4.2. Akibat Hukum Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Surat
Palsu dan Keterangan Palsu ..................................................... 131
BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 151
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 151
5.2 Saran ......................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 153
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di era modern pada saat ini perkembangan kejahatan didalam dunia hukum
semakin berkembang karena adanya suatu tujuan dan niat yang tidak baik diinginkan
oleh pihak-pihak tertentu. Kejahatan yang sering terjadi dalam profesi hukum adalah
salah satunya profesi notaris. Notaris akhir-akhir ini sering dipermasalahkan karena
akta autentik yang dibuatnya terindikasi mengandung unsur-unsur tindak pidana, hal
ini disebabkan karena kurang kehati-hatian notaris terhadap para pihak yang
menghadap membuat akta autentik yang sering mengambil kesempatan demi
keuntungannya sendiri dengan cara melakukan kejahatan seperti memberikan surat
palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat oleh notaris.
Keberadaan notaris di Indonesia sangatlah penting bagi kehidupan
masyarakat, karena notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah
untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik. 1 Akta autentik yang dibuat
oleh notaris mempunyai peranan penting dalam menciptakan kepastian hukum
didalam setiap perbuatan dan peristiwa hukum, sebab akta notaris bersifat autentik
1 Habib Adjie, 2007, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Surabaya, (Selanjutnya disebut
Habib Adjie I), hal. 13.
dan merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait
dengan akta notaris tersebut. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta
autentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian
hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,
regional, maupun global. Sehingga melalui akta autentik dapat menentukan secara
jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula
dapat dihindari terjadinya sengketa.
Disamping itu, pentingnya peran notaris juga dapat dilihat dari kapasitasnya
memberikan legal adivice dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian,
apakah sebuah perjanjian, telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian
yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak atau perjanjian tersebut dibuat
dengan memenuhi syarat. Sebaliknya apabila tugas dan wewenang yang diberikan
oleh Negara kepada notaris tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan setepat-
tepatnya, maka kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat
menimbulkan terganggunya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.2
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN-P) menyebutkan pengertian notaris yaitu:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
2 Sjaifurrahchman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Cetakan ke-I, CV. Mandar Maju, Surabaya, hal.7.
berdasarkan undang-undang lainnya”. Bahwa berdasarkan bunyi pasal tersebut
notaris berperan melaksanakan sebagian tugas Negara dalam bidang hukum
keperdataan dan notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang
untuk membuat perjanjian dalam akta autentik yang merupakan formulasi keinginan
atau kehendak (wilsvorming) dari para pihak yang dituangkan dalam akta notaris dan
dibuat dihadapan notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum. Namun pada saat ini akta autentik yang dibuat notaris sering terindikasi
tindak pidana karena dalam proses pembuatannya notaris tidak melakukan prinsip
kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik yang dibuatnya apakah
mengandung unsur-unsur kejahatan atau tidak. Hal ini menyebabkan notaris sering
terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan oleh kliennya karena notaris tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memeriksa lebih jauh dokumen-dokumen
subyek maupun obyek yang dibawa oleh para pihak dalam proses pembuatan akta.
Terdapatnya permasalahan yang terjadi dalam proses pembuatan akta autentik
disebabkan karena dalam UUJN-P tidak mengatur secara jelas prinsip-prinsip atau
langkah-langkah notaris untuk bekerja lebih berhati-hati dalam proses pembuatan
akta, sehingga notaris tidak memiliki pedoman dan tuntunan yang berguna untuk
mencegah terjadinya kejahatan dalam akta autentik yang dibuat oleh notaris.
Kekaburan norma dalam UUJN-P tersebut dapat dilihat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf
a disebutkan mengenai kewajiban notaris yaitu dalam menjalankan jabatannya,
Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.3
Penjelasan kewajiban notaris diatas menyebutkan bahwa, notaris dalam
menjalankan kewajibannya membuat akta autentik berkewajiban untuk bertindak
secara saksama, namun dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tidak
dijelaskan pengertian dan contoh kewajiban notaris harus bertindak saksama dari
pasal tersebut. Kondisi norma yang demikian disebut sebagai kekaburan norma atau
“vague van normen”.4 Aarnio mengatakan bahwa “interpretation in turn has been
understood as a linguistic matter” atau penafsiran disebabkan karena faktor bahasa.
Oleh karena itu, penting pula dicatat bahwa dalam ilmu hukum dikenal adagium yang
berbunyi “in claris non fit interpretation” yang artinya kalau undang-undang sudah
jelas tidak perlu dilakukan interpretasi. Jika berpikir secara acontrario, maka justru
adagium inilah yang sesungguhnya merupakan landasan pokok bagi relevansi
interpretasi bila undang-undang tidak jelas.5
Sebagaimana dikemukakan bahwa apabila dalam bahasa atau kata-kata dalam
suatu peraturan perundang-undangan tersebut tidak jelas maka digunakan metode
3 Habib Adjie, 2015, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT.
Refika Aditama, Surabaya, ( Selanjutnya disebut Habib Adjie II ), hal. 1. 4 I Made Pasek Diantha, 2015, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori
Hukum), Cetakan ke-1, Prenada Media Group, Denpasar, hal. 118. 5 Ibid, hal. 119-120.
interpretasi gramatikal. Menurut Pitlo, interpretasi gramatikal berarti menangkap arti
atau teks bahasa dalam undang-undang tersebut.6 Oleh karena itu apabila melihat
bunyi Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJNP-P yang menyebutkan notaris harus bertindak
“saksama” dalam membuat akta autentik tersebut masih belum jelas dan perlu
dipertegas kembali dengan menggunakan metode interpretasi gramatikal yaitu
menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum
tata bahasa. Sehingga dalam penjelasan kewajiban notaris untuk bertindak saksama
tersebut, perlu diatur kembali secara tegas dan eksplisit penjelasan kewajiban notaris
harus bertindak saksama, agar tidak menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat
kabur dan multitafsir dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tentang
kewajiban notaris harus bertindak saksama tersebut.
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam membuat akta tidak
luput dari kesalahan atau kekeliruan baik yang disebabkan karena perilaku yang tidak
profesional atau memihak salah satu pihak sehingga terjadi permasalahan dalam akta
yang dibuatnya. Sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
Notaris seringkali bertindak tidak hati-hati yang berakibat menimbulkan
permasalahan hukum, baik dalam ranah hukum pidana maupun ranah hukum perdata,
ini disebabkan karena para pihak yang membuat akta autentik memberikan dokumen
palsu ataupun memberikan keterangan palsu kepada notaris sehingga menimbulkan
permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya.
6 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif,
Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Malang, hal. 64.
Contohnya terjadi kasus pemalsuan surat kuasa menjual palsu yang dilakukan
oleh satu pihak dalam transaksi jual beli tanah yang melibatkan Notaris/PPAT di
Kota Bandung yang aktanya dinyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1137/Pdt/2005.
Kasus seperti ini terjadi dikarenakan kurangnya kehati-hatian Notaris dalam proses
pembuatan akta autentik sehingga dalam prakteknya sering terjadi kejahatan oleh
para pihak seperti pemalsuan identitas, tanda tangan palsu, kwitansi palsu atau
sertipikat palsu yang mengakibatkan cacat hukum pada akta yang dibuat oleh notaris.
Pemalsuan Surat dan Keterangan Palsu oleh para pihak tersebut dapat merugikan
notaris yang sudah menjalankan tugasnya dengan etikad baik malah dianggap turut
serta karena para pihak memberikan keterangan palsu kedalam akta autentik yang
dibuatnya. Bahkan dalam prakteknya sering terjadi notaris ikut dipanggil baik
sebagai saksi bahkan sebagai tersangka karena aktanya yang bermasalah.
Permasalahan hukum yang timbul disebabkan karena didalam Pasal 16 ayat
(1) huruf a UUJN-P yang menyebutkan Notaris dalam menjalankan Jabatannya
berkewajiban bertindak saksama dalam proses pembuatan akta autentik masih belum
jelas dan menimbulkan multitafsir dalam pasal tersebut. Penulis dapat memberikan
masukan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk
melakukan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik terkait
identitas para pihak yang membuat akta autentik merupakan pihak yang memiliki
tujuan baik atau memiliki niat jahat, sehingga notaris sebagai pejabat umum pembuat
akta autentik dapat mencegah timbulnya kejahatan yang terjadi terhadap pihak-pihak
yang menghadap notaris agar nantinya akta autentik yang dibuat tidak berimplikasi
terhadap tindak pidana.
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa bank
dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya wajib
melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan Prinsip
kehati-hatian.7
Apabila dilihat dari UUJN-P yang berlaku sekarang belum mengatur adanya
kewajiban Notaris untuk melakukan prinsip kehati-hatian seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Perbankan sehingga sering terjadi dalam proses pembuatan akta
autentik, notaris mendapatkan permasalahan hukum dikarenakan notaris kurang
berhati-hati dan teliti dalam memeriksa setiap dokumen subyek dan obyek yang akan
dimasukan dalam akta autentik sehingga dalam melakukan tugasnya notaris sering
terlibat tindak pidana keterangan palsu dan surat palsu yang dilakukan kliennya.
Notaris yang terlibat dalam permasalahan hukum yang dilakukan oleh kliennya
mengakibatkan kerugian baik materil maupun inmateril karena sudah banyak waktu
yang terbuang dalam permasalahan hukum yang melibatkan akta yang dibuatnya
7 Hermansyah, 2013, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prena Media Group,
Cetakan ke-7, Jakarta, (Selanjutnya disebut Hermansyah I), hal. 7.
karena salah satu pihak melakukan tindak pidana surat palsu dan mencantumkan
keterangan palsu kedalam akta yang dibuatnya.
Adapun prinsip kehati-hatian yang seharusnya diterapkan dalam UUJN-P
sehingga mencegah notaris berimplikasi menjadi korban kejahatan, seperti :
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitas yang
diperlihatkan ke notaris.
2. Memeriksa secara cermat dan teliti dokumen-dokumen baik subyek
maupun obyek yang nantinya akan dimasukan dalam akta autentik yang
dibuat oleh notaris.
3. Notaris berhak melaporkan apabila terjadi transaksi mencurigakan dari
para pihak apabila dana yang akan ditransaksikan dari kejahatan korupsi.
4. Bertindak berhati-hati, cermat dan teliti dalam proses pengerjaan akta
autentik yang dibuat notaris sehingga tidak menimbulkan penafsiran
terhadap kata-kata yang dituangkan dalam akta autentik
5. Memberikan tenggang waktu dalam pembuatan akta sehingga dalam
proses pembuatan akta tidak terburu-buru agar dapat bekerja secara teliti
dalam proses pembuatan akta autentik.
6. Memenuhi segala teknik administrasi pembuatan akta notaris, seperti
pembacaan akta, penandatanganan, cap jempol dan memberikan salinan
minuta akta.
Bentuk prinsip kehati-hatian yang dimaksud diatas merupakan suatu prinsip
yang tidak diatur dan diperkuat dalam UUJN-P, yang menyebabkan notaris dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum pembuat akta autentik sering
mendapatkan permasalahan hukum, seperti pemalsuan surat identitas penghadap,
sertipikat dan keterangan palsu dari para pihak. Oleh karena itu perlu diatur kembali
dalam UUJN-P tentang pedoman dan tuntunan notaris untuk bertindak hati-hati agar
melindungi dan mencegah notaris turut serta dalam kejahatan yang dilakukan pihak-
pihak dalam akta yang dibuat oleh notaris.
Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara untuk
menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat.
Mengingat dalam bidang hukum perdata, Negara menempatkan notaris sebagai
pejabat umum yang berwenang dalam hal pembuktian akta autentik, untuk
kepentingan pembuktian alat bukti. Akta autentik yang dibuat oleh notaris memiliki
kekuatan hukum yang sangat kuat mengingat akta autentik merupakan alat bukti yang
sempurna. Maka tidak jarang berbagai peraturan perundang-undangan mewajibkan
perbuatan hukum tertentu dibuat dalam akta autentik, seperti pendirian perseroan
terbatas, koperasi, akta jaminan fidusia dan sebagainya disamping akta tersebut
dibuat atas permintaan para pihak.8
Dalam hal-hal pembuktian suatu peristiwa menurut system Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-
alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti
8 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2003, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia
Cerdas, Cetakan ke-I, Jakarta, hal. 3.
dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (pasal 164 HIR, 284 Rbg,
1866 BW) yaitu alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan dalam KUHAP alat-alat bukti yang
sah, sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) adalah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.
Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai
alat bukti tertulis. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang
merupakan akta dan surat yang bukan akta. Akta sendiri adalah surat sebagai alat
bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta
dibagi lebih lanjut menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan. Membuat akta
autentik inilah pekerjaan pokok sekaligus wewenang notaris.
Adapun pengertian dari akta autentik, adalah :
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,
baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat
apa yang dimintakan untuk dimuatnya didalam oleh yang berkepentingan.
Akta autentik memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa
yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.9
Dalam HIR akta autentik diatur dalam Pasal 165 yang bunyinya :
Akta autentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak
dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang
yang tercantum didalam dan bahkan yang tercantum didalamnya sebagai
9 Sudikno Mertokusomo, 1977, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 119.
pemberitahuan belaka akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa akta
autentik adalah suatu akta yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh atau
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
Sedangkan dalam UUJN-P dalam Pasal 1 angka 7 menyebutkan Akta Notaris yang
selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Akta autentik yang dibuat notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang
bersifat sempurna, karena akta autentik mempunyai tiga kekuatan pembuktian yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahirlah (uwitwendidge bewijskracht) yang
merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya
sebagai akta autentik. Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa,
yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya sebagai akta autentik serta
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat
dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, hal ini berarti
bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada
pembuktian sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan
kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-
betul diketahui, didengar dan dilakukan oleh Notaris dan diterangkan oleh
para pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan dalam akta notaris.
3. Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) yang merupakan
kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa
bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang
dimuat dalam akta.10
Notaris sering mendapatkan permasalahan hukum pidana karena dalam akta
autentik yang dibuatnya terdapat unsur-unsur surat palsu dan keterangan palsu yang
10
Salim HS., 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu ( Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris
Bentuk dan Minuta Akta, Cetakan ke-1, PT. Raja Grafindo Perasada, Mataram, hal. 30.
diberikan oleh para pihak, sehingga akta autentik yang dibuat notaris tersebut menjadi
cacat hukum. Adapun pasal yang sering menjerat notaris dalam permasalahan hukum
tersebut diatur dalam Pasal 263, 264 dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), yaitu :
Pasal 263 KUHP Tentang Pemalsuan Surat :
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak palsu, diancam dengan pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling
lama enam tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 264 KUHP :
1. Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,
jika dilakukan terhadap :
a. Akta-akta autentik.
b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum.
c. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.
d. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
surat-surat itu.
e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Pasal 266 KUHP tentang Keterangan palsu :
1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta
itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dipidana, jika
pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling
lama 7 tahun.
2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Dari penjelasan diatas notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik
dalam menjalankan tugasnya sering mendapatkan permasalahan hukum baik dalam
hukum perdata maupun hukum pidana, Permasalahan ini disebabkan Undang-Undang
Jabatan Notaris masih belum jelas mengatur notaris untuk melakukan prinsip kehati-
hatian terkait kebenaran data atau dokumen yang diberikan oleh penghadap dalam
pembuatan suatu akta, sehingga didalam prakteknya sering timbul persoalan terhadap
proses pembuatan akta autentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para
pihak, akibat adanya surat palsu tersebut akta autentik menjadi cacat hukum yang
menghilangkan kekuatan pembuktian akta autentik tersebut.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang masih belum jelas
mengatur penjelasan kewajiban notaris bertindak saksma dalam pembuatan akta
autentik dan untuk menjaga serta melindungi jabatan notaris agar nantinya notaris
dapat bertindak lebih berhati-hati dalam membuat akta autentik, penulis dapat
memberikan masukan bahwa perlu diperjelas kembali tentang kewajiban notaris
untuk melakukan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik
agar nantinya akta yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan hukum. Oleh karena
itu maka penulis tertarik untuk menyusun Tesis dengan judul “Prinsip Kehati-hatian
Notaris Dalam Membuat Akta Autentik”.
Dalam penelitian ini, penulis telah membandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang Prinsip Kehati-Hatian Notaris
Dalam Membuat Akta Autentik. Adapun penelitian yang pernah dilakukan, antara
lain :
a. Indri Srimenganti, Tesis Universitas Indonesia Tahun 2011, dengan judul “Peran
Notaris Dalam Menerapkan Asas Keseimbangan Serta Prinsip Kehati-Hatian
Pada Pembuatan Akta Perjanjian Kredit”. Dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana peran notaris dalam menerapkan asas keseimbangan pada
pembuatan akta perjanjian kredit?
2. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian yang perlu dilakukan terhadap
permasalahan hukum dalam praktek berkenaan dengan perjanjian kredit
perbankan?
b. Selamet Sumardi, Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2011,
dengan judul “Prinsip Kehati-Hatian Notaris/PPAT Dalam Praktek Penerbitan
Covernote Pada Saat Realisasi Kredit”. Dengan Rumusan Masalah yaitu :
1. Bagaimana Notaris/PPAT menjalankan prinsip kehati-hatian dalam
menerbitkan covernote pada realisasi kredit?
2. Faktor-Faktor apasaja yang menghambat Notaris/PPAT dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan covernote pada realisasi kredit?
c. Ardiansyah Hendra, Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2010,
dengan Judul “Peranan Notaris Dalam Mewujudkan Prinsip Kehati-Hatian Pada
Perjanjian Kredit Perbankan di Kota Makassar”, dengan rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) dalam
penyaluran kredit perbankan di Kota Makassar?
2. Bagaimana peranan notaris dalam penerapan prinsip kehati-hatian bank
(prudential banking) penyaluran kredit perbankan di Kota Makassar?
Berdasarkan tesis diatas, sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis, karena dalam tesis ini penulis lebih spesifik kepada akibat dari tidak
diterapkannya prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik, yang
berdampak pada timbulnya surat palsu dan keterangan palsu dalam proses pembuatan
akta yang dibuat notaris, sehingga penelusuran orisinalitas penelitian yang telah
dilakukan, tidak ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya
tulis yang telah dimuat sebelumnya. Oleh karena itu, tingkat orisinalitas penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik
dua permasalahan yang perlu dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses
pembuatan akta autentik?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan
surat palsu dan keterangan palsu?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum
dan tujuan yang bersifat khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian terhadap permasalahan diatas dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process
(ilmu sebagai suatu proses), khususnya dibidang kenotariatan adalah untuk
menyumbangkan dan mengembangkan pemikiran tentang prinsip kehati-hatian
notaris dalam membuat akta autentik mengingat bahwa sering terlibatnya notaris
dalam permasalahan hukum, baik dalam ranah hukum pidana maupun ranah hukum
perdata terkait dengan akta yang dibuatnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengkaji dan menganalisis secara jelas bentuk-bentuk prinsip
kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik.
b) Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap akta notaris yang
dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan agar dapat memberikan manfaat
baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan agar memberi manfaat positif
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang kenotariatan yang berkaitan
dengan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik. Disamping itu
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi notaris dalam menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam proses pembuatan akta autentik sehingga nantinya akta autentik yang
dibuat tidak menimbulkan permasalahan hukum.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
berupa masukan bagi notaris agar lebih berhati-hati dalam membuat akta autentik
terkait dalam proses pembuatan akta autentik yang dibuat agar notaris lebih teliti
memeriksa setiap dokumen-dokumen dari para pihak dan akta yang dibuatnya
sehingga kedepannya tidak menimbulkan permasalahan hukum.
1.5 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis merupakan pisau analisa dan landasan berfikir yang
bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk
memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan
teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian.
Setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh
karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan
pengumpulan dan pengolahan dan analisa bahan hukum di dalam penulisan karya
ilmiah dalam hal ini tesis. Untuk memperjelas dalam memberikan suatu gambaran
mengenai pembahasan permasalahan diatas, maka dalam penulisan tesis ini
digunakan Prinsip, Teori dan Asas yaitu : Prinsip Kehati-hatian, Teori Perlindungan
Hukum, Asas Kepastian Hukum dan Teori Kekuatan Pembuktian Akta Pembuktian.
1.5.1 Prinsip Kehati-hatian.
Seringnya terjadi permasalahan hukum pidana dalam praktik kenotariatan
disebabkan karena kurangnya kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik
terhadap data para pihak terkait subyek ataupun obyek yang dibawa oleh para pihak
untuk membuat akta autentik sehingga menyebabkan sering terjadinya tindak
kejahatan seperti dokumen palsu atau keterangan palsu yang dilakukan oleh para
pihak dalam akta autentik yang dibuat oleh notaris.
Kehati-hatian berasal dari kata hati-hati (prudent) yang erat kaitannya dengan
fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diartikan
bijaksana. Apabila dilihat dari prinsip kehati-hatian perbankan (prudent banking
principle) sendiri merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam
menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam
rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Bank dalam
melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya
kepada masyarakat diwajibkan untuk bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan
bijaksana atau tidak ceroboh dengan meminimalisir kemungkinan resiko yang akan
terjadi sebagai akibat dari kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kepada masyarakat.11
Penerapan Prinsip kehati-hatian ini wajib dilaksanakan dalam pembuatan akta
Notaris yaitu dengan :
a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada notaris.
b. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut .
d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
e. Memenuhi segala teknik adminisratif pembuatan akta notaris , seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk minuta.
f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
jabatan notaris.12
11
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
27 12
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Notaris
dan PPAT), P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie III ), hal. 86.
Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat
dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti
ini, notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan
kepada notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan
keterangan atau pernyataan para pihak. Keputusan tersebut harus didasarkan pada
alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak. Pertimbangan tersebut harus
memperhatikan semua aspek hukum termasuk masalah hukum yang akan timbul
dikemudian hari. Selain itu setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris harus
mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada
pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap.13
Prinsip kehati-hatian digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama
karena dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P bunyi pasal tersebut belum
menjelaskan kewajiban dan contoh tindakan saksama notaris dalam membuat akta
autentik, sehingga kewajiban notaris untuk bertindak saksma yang dimaksud belum
jelas dan menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya
notaris harus bertindak hati-hati lebih cermat serta teliti dalam memeriksa dokumen
maupun keterangan para pihak yang ingin membuat akta autentik agar tidak
menimbulkan permasalahan hukum terhadap akta yang dibuatnya dikemudian hari.
13
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, op.cit, hal. 87.
1.5.2 Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal
dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”.14
Pendapat ini menunjukkan
kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yakni
rechtbescherming. Pengertiannya dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu
usaha untuk memberikan hak-hak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang
harus dilakukan.
Menurut Satjipto Raharjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur,
dalam arti ditentukan kekuasaan dan kedalamnya. Kekuasaan yang demikianlah yang
disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai
hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu
pada seseorang. 15
Perlindungan Hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :16
14
Philipus M hadjon,1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
hal. 1. 15
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, Bandung, hal 53. 16
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis,
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 14.
a) Perlindungan Hukum Preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan
oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan
rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan kewajiban.
b) Perlindungan hukum Represif adalah perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan pelanggaran.
Sedangkan menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.17
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, oleh karena itu
hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu
diatur dan dilindungi”.18
Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan hukum bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan
terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
berbagai kepentingan di lain pihak.19
17
Setiono, 2004, Rule of law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3. 18
Satjipto Raharjo, Op.cit, hal 69. 19
Ibid.
Langkah perlindungan hukum preventif perlu dilakukan oleh notaris dalam
membuat akta, mengingat seringnya notaris dihadapkan oleh permasalahan hukum
oleh pihak penghadap yang mempunyai niat tidak baik dalam proses pembuatan akta,
seperti membuat surat palsu dan mencantumkan keterangan palsu kedalam akta
autentik yang dibuat notaris, oleh karena itu perlu diatur kembali dalam UUJN-P
tentang prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta, agar kedepannya
notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, dapat mencegah timbulnya
permasalahan hukum terhadap akta yang dibuatnya dikemudian hari.
1.5.3 Asas Kepastian Hukum
Negara Indonesia sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3),
ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak atas dasar kekuasaan belaka
(machtstaat), sehingga segala tindakan dan perbuatan harus didasarkan atas hukum.20
Negara hukum yang dianut Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, melainkan
dalam artian materiil yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Welfare
State) atau “Negara Kemakmuran”.21
Tujuan yang hendak dicapai oleh Negara
Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun
20
I Dewa Gede Atmadja, dkk, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara Press,
Malang, hal. 126. 21
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Denpasar, hal. 14.
materiil berdasarkan Pancasila, sehingga “disebut juga sebagai negara hukum yang
memiliki karakteristik mandiri”.22
Di Indonesia kemandirian penerapan konsep dan pola negara hukum pada
umumnya, disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia, yakni menggunakan tolak
ukur berupa Pancasila. Dengan demikian, Negara Indonesia ialah Negara Hukum
(rechtstaat) berdasarkan Pancasila.23
Indonesia sebagai negara hukum (rechtsaat)
diimplementasikan berdasarkan asas legalitas bahwa setiap perbuatan harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai manifestasi
dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum.
Kepastian kata dasarnya adalah pasti, yang memiliki arti : Suatu hal yang
sudah tentu, sudah tetap dan tidak boleh tidak.24
Gustaf Radbruch seperti yang dikutip
oleh Theo Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan :
Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang
ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang
memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan
isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu
menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus
ditaati.25
22
Ibid. 23
Ibid. 24
W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka,
Jakarta, hal. 847. 25
Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas,
Yogyakarta, hal. 163.
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan terkait dengan kepastian hukum
mengandung dua pengertian sebagai berikut :
Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua berupa keamanan
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga
adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan
putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.26
Keberadaan hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai pedoman di
dalam melakukan kontak sosial atau hubungan satu dengan yang lain. Kepastian
hukum itu sendiri oleh Soerjono Soekanto dikemukakan : “Wujud kepastian hukum
adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh
wilayah negara”.27
Menurut J.M. Otto yang dikutip oleh Sri Djatmiati, Kepastian Hukum
(rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan
negara.
b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten
dan berpegang pada aturan hukum tersebut.
c) Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.
d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan
aturan hukum tersebut.
e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.28
26
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158. 27
Ismaya Dwi agustina, 2012, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
http://ismayadwiagustina.wordpress.com, diakses tanggal 12 Oktober 2016. 28
Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pasca
Sarjana, Unair, Surabaya, hal.18.
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang
telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku
pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh
subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan
secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang
menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.
Dengan adanya kepastian hukum maka seseorang tahu tentang apa yang harus
diperbuat serta memperoleh kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum.
Kepastian hukum dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam
suatu undang-undang sehingga kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban
Kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum
secara benar-benar. Kepastian hukum secara normatif merupakan ketika peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir),
kekosongan norma dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma
lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Asas kepastian Hukum digunakan untuk menjawab kepastian hukum dari
Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama
yang masih belum jelas dan menimbulkan multitafsir, sehingga perlu diatur lebih
lanjut agar nantinya notaris dapat bertindak berhati-hati dan mencegah permasalahan
hukum terhadap akta yang dibuatnya.
1.5.4 Teori Kekuatan Pembuktian Akta Autentik
Dalam hal ini ada tiga teori yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, teori-
teori ini berkaitan dengan teori kekuatan pembuktian akta autentik, yaitu :29
1. Pembuktian Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Menurut Efendi Bachtiar daya bukti lahirnya suatu akta autentik yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat
dianggap sebagai akta autentik sampai terbukti sebaliknya sesuai dengan asas “acta
publica probat sese ipsa”. Daya bukti ini berlaku terhadap siapapun. Kekuatan
pembuktian keluar, maksudnya membuktikan tidak saja antara para pihak yang
bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, pada tanggal tersebut dalam akta
kedua belah pihak tersebut sudah menghadap dimuka notaris dan menerangkan apa
yang dibuat dalam akta itu.
2. Pembuktian Formal (formale bewijskracht).
Berdasarkan pendapat Notodisoerjo “kepastian bahwa suatu kejadian dan
fakta yang tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan
oleh penghadap. Hal yang pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta tersebut dibuat
serta keaslian tanda tangan. Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (ambelijk
acte) tidak terdapat pernyataan atau keterangan dan para pejabatlah yang
menerangkan. Akta para pihak (partij akta), bagi siapapun yang telah pasti bahwa
pihak-pihak dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum diatas tanda tangan
mereka. Sebagai contoh jika didalam akta tertulis A menerangkan menjual sebidang
29
R Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Nasional di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali,
Jakarta, (Selanjutnya disebut R Soegondo Notodisoerjo II), hal. 55.
tanah kepada B seharga Rp. 100.000.000,- dan sebaliknya B menerangkan telah
membeli tanah dari A dengan harga yang sedemikian itu. Daya bukti formal ini
artinya, telah terbukti dengan sempurna bahwa si A dan si B, benar-benar telah
membebankan keterangan tersebut dimuka pejabat yang bersangkutan. Namun yang
terbukti terbatas hingga itu saja. Jadi tidak perlu terbukti perlu benar tidaknya telah
terjadi persetujuan jual beli antara mereka. Notaris atau pejabat yang berwenang tidak
wajib untuk menyelidiki kebenaran dari pada keterangan A dan B tersebut. Bukti
formal ini berlaku terhadap siapapun. Daya bukti formal dari akta dibawah tangan
sama dengan daya bukti formal dari akta autentik.
3. Pembuktian Materil (materiele bewijskracht).
Daya bukti materil ini membuktikan bahwa antara para pihak yang
bersangkutan telah menerangkan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Daya bukti
materil ini yang dibuktikan bukan saja peristiwa antara para pihak. Melainkan
dibuktikan kebenaran dari peristiwa tersebut. Contoh : pada suatu hari si A dan si B
menghadap dimuka notaris dan menerangkan bahwa mereka telah mengadakan jual
beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu. Harus dianggap benar tidak saja
bahwa mereka telah menerangkan terjadinya jual beli mengenai sebuah rumah
dengan harga tertentu, dianggap benar tidak saja bahwa mereka telah menerangkan
bahwa mereka itu benar-benar sudah dijual kepada B.
Dalam penulisan ini, teori pembuktian digunakan untuk menjawab tentang
kekuatan pembuktian akta autentik, ketiga aspek pembuktian tersebut diatas
merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta autentik dan siapapun terikat pada
akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa salah
satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan
kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan. Oleh karena itu teori pembuktian penting digunakan untuk
mengetahui bagaimana akibat hukum akta autentik yang mengandung unsur-unsur
surat palsu dan keterangan palsu karena untuk mengetahui akta yang mengandung
cacat hukum penegak hukum perlu melakukan pembuktian terlebih dahulu dalam
proses peradilan apakah akta yang dibuat notaris tersebut terdapat unsur-unsur surat
palsu atau keterangan palsu.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
suatu metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu
gejala tertentu dengan jalan menganalisinya, karena penelitian dibidang ilmu-ilmu
sosial merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk
memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang tidak
meragukan.30
Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran
sistematis, metodelogis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut
30
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
13.
diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan.31
Adapun
metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
1.6.1 Jenis Penelitian.
Untuk menghimpun bahan yang diperoleh guna penyusunan dan pembahasan
permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif yakni beranjak dari adanya kekaburan norma hukum atau asas hukum.32
Dalam penelitian hukum ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap
pantas. Karakteristik utama penelitian hukum normatif sumber utamanya adalah
bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Jenis penelitian
hukum normatif digunakan karena beranjak dari adanya kekaburan norma hukum
dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang belum jelas mengatur
tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam proses pembuatan akta
autentik.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam menjawab persoalan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini yaitu :
1. Pendekatan Undang-undang (statue approach) .
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk
31
Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, hal.1. 32
Jhony Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, hal. 284.
kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mengetahui karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan
norma dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang tidak jelas mengatur tentang
kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam proses pembuatan akta autentik.
Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan suatu isu
yang dihadapi.33
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas
hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam
membangun suatu argumentasi hukum dan memecahkan isu yang dihadapi.34
3. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi
di Indonesia. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio
33
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Pertama, cet. Ke-2, Kencana, Jakarta,
(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93. 34
Ibid, hal. 95.
decendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu
putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis, ratio
decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi
dalam pemecahan isu hukum. Perlu dikemukan disini bahwa pendekatan kasus tidak
sama dengan studi kasus (case study). Studi kasus merupakan suatu studi terhadap
kasus tertentu dari berbagai aspek hukum. Didalam pendekatan kasus (case
approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum.
Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (sebagai penunjang
bahan hukum primer dan sekunder).35
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu:
- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5491).
35
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Hal.38.
- Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembar Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122).
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
- Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang berasal dari literatur-literatur
yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta
autentik serta sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya dari kalangan
hukum, hasil penelitian dan seminar.
c) Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum tersier ini diperoleh dari ensiklopedia, kamus hukum, serta
dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun
memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini
diperoleh melalui teknik kepustakaan (study document) dengan sistem kartu (card
system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi
yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum.
Pada teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
Teknik deskripsi dan Teknik Interpretasi (Penafsiran) yaitu :
a. Teknik Deskripsi
Teknik Deskripsi yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi hukum atau non hukum.36
Dengan teknik deskripsi ini
diharapkan dapat diperoleh jawaban atas permasalahan penelitian.
b. Teknik Interpretasi (Penafsiran)
Teknik interpretasi atau penafsiran menurut Sudikno Mertokusumo yang
dikutip oleh Ahmad Rifai merupakan “salah satu metode penemuan hukum
yang memberikan penjelasan gambling tentang teks undang-undang, agar
ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada
36
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. 1, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 43.
peristiwa hukum tertentu.37
Bentuk interpretasi (penafsiran) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah interpretasi gramatikal. Interpretasi Gramatikal
adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan
kaidah hukum tata bahasa. Interpretasi ini merupakan upaya yang tepat untuk
mencoba memahami suatu teks suatu aturan perundang-undangan.
37
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Peneletian Hukum, Cetakan ke-6,
PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 163.