prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan

10
SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012 ”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara 486 PERANCANGAN SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PRIORITAS PENGEMBANGAN BIOENERGI PERDESAAN BERBASIS BIOGAS KOTORAN HEWAN Sawarni Hasibuan 1) , Risnarto 2) dan Amar Ma’ruf 3) 1,3) Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan Universitas Djuanda Bogor, Jl. Tol Ciawi No. 1, PO Box Ciawi 35, Bogor 16720 1) e-mail: [email protected] Abstrak Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan berkelanjutan, Pemerintah telah menerbitkan stimulasi kebijakan tentang Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang ditindaklanjuti dengan upaya untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Jalur cepat untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran antara lain melalui pengembangan Desa Mandiri Energi (DME). Dari hasil pelaksanaan DME khususnya DME Bioenergi yang telah dimulai sejak tahun 2007hingga 2011, ternyata DME berbasis bioenergi dari biogas kotoran hewan memiliki tingkat keberhasilan dan keberlanjutan terbesar. Penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem pengambilan keputusan prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis kotoran hewan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan wilayah pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan yang berkelanjutan. Seleksi indikator kriteria teknis keputusan dilakukan dengan metode Delphi dan untuk penentuan bobot dari indikator kriteria teknis digunakan teknik analytical hierarchy process (AHP),sementara penentuan prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan dilakukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). Kriteria teknis yang memperoleh konsensus pakar menggunakan metode Delphi dapat dikelompokkan sebagai kriteria komponen dasar, faktor pendukung, dan faktor kendala. Berdasarkan AHP awal, bobot terbesar berturut-turut diberikan terhadap kriteria kondisi keenergian (0,324), aksesibilitas wilayah (0,210), potensi kotoran hewan (0,156), pengguna bioenergi RT (0,089), partisipasi masyarakat (0,088), komitmen Pemda (0,06), dan kondisi sosek masyarakat (0,064). Verifikasi model prioritas daerah pengembangan bioenergi berbasis bigas kotoran hewan dilakukan terhadap data Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau setelah melalui beberapa penyesuaian. Kata kunci: bioenergi, biogas, metode Delphi, teknik AHP, metode MPE. 1. PENDAHULUAN Hingga saat ini pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi masyarakat, termasuk infrastruktur energi, masih belum mampu menjangkau seluruh wilayah perdesaan Indonesia. Kondisi geografis yang cukup beragam menyebabkan pembangunan infrastruktur energi di Indonesia masih belum mencapai target dan sasaran. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator rasio elektrifikasi nasional, rasio elektrifikasi desa, dan kondisi bauran energi yang masih belum optimal (MP3EI 2011). Pada sisi lain pemanfaatan energi juga masih bergantung pada energi fosil yang mengakibatkan tingginya beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah (Harun 2011). Kebutuhan bahan bakar bagi penduduk berpendapatan rendah maupun miskin, terutama di perdesaan, sebagian besar dipenuhi oleh minyak tanah yang dirasakan terjangkau karena disubsidi oleh pemerintah (Oktaviani & Sahara 2005). Namun karena digunakan untuk industri atau usaha lainnya, kadang-kadang terjadi kelangkaan persediaan minyak tanah di pasar. Selain itu masyarakat yang tinggal di dekat kawasan hutan berusaha mencari kayu bakar, baik dari ranting-ranting kering dan tidak jarang menebangi pohon-pohon di hutan yang terlarang untuk ditebangi, sehingga lambat laun mengancam kelestarian alam di sekitar kawasan hutan. Sejak tahun 2006 Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres Nomor 1

Upload: sawarni-h

Post on 30-Nov-2014

1.511 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

486

PERANCANGAN SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PRIORITAS PENGEMBANGAN BIOENERGI PERDESAAN

BERBASIS BIOGAS KOTORAN HEWAN

Sawarni Hasibuan1), Risnarto2) dan Amar Ma’ruf3)

1,3)Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan Universitas Djuanda Bogor, Jl. Tol Ciawi No. 1, PO Box Ciawi 35, Bogor 16720

1)e-mail: [email protected]

Abstrak Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan berkelanjutan, Pemerintah telah menerbitkan stimulasi kebijakan tentang Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang ditindaklanjuti dengan upaya untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Jalur cepat untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran antara lain melalui pengembangan Desa Mandiri Energi (DME). Dari hasil pelaksanaan DME khususnya DME Bioenergi yang telah dimulai sejak tahun 2007hingga 2011, ternyata DME berbasis bioenergi dari biogas kotoran hewan memiliki tingkat keberhasilan dan keberlanjutan terbesar. Penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem pengambilan keputusan prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis kotoran hewan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan wilayah pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan yang berkelanjutan. Seleksi indikator kriteria teknis keputusan dilakukan dengan metode Delphi dan untuk penentuan bobot dari indikator kriteria teknis digunakan teknik analytical hierarchy process (AHP),sementara penentuan prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan dilakukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). Kriteria teknis yang memperoleh konsensus pakar menggunakan metode Delphi dapat dikelompokkan sebagai kriteria komponen dasar, faktor pendukung, dan faktor kendala. Berdasarkan AHP awal, bobot terbesar berturut-turut diberikan terhadap kriteria kondisi keenergian (0,324), aksesibilitas wilayah (0,210), potensi kotoran hewan (0,156), pengguna bioenergi RT (0,089), partisipasi masyarakat (0,088), komitmen Pemda (0,06), dan kondisi sosek masyarakat (0,064). Verifikasi model prioritas daerah pengembangan bioenergi berbasis bigas kotoran hewan dilakukan terhadap data Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau setelah melalui beberapa penyesuaian. Kata kunci: bioenergi, biogas, metode Delphi, teknik AHP, metode MPE.

1. PENDAHULUAN

Hingga saat ini pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi masyarakat, termasuk infrastruktur energi, masih belum mampu menjangkau seluruh wilayah perdesaan Indonesia. Kondisi geografis yang cukup beragam menyebabkan pembangunan infrastruktur energi di Indonesia masih belum mencapai target dan sasaran. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator rasio elektrifikasi nasional, rasio elektrifikasi desa, dan kondisi bauran energi yang masih belum optimal (MP3EI 2011). Pada sisi lain pemanfaatan energi juga masih bergantung pada energi fosil yang mengakibatkan tingginya beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah (Harun 2011).

Kebutuhan bahan bakar bagi penduduk berpendapatan rendah maupun miskin, terutama di perdesaan, sebagian besar dipenuhi oleh minyak tanah yang dirasakan terjangkau karena disubsidi oleh pemerintah (Oktaviani & Sahara 2005). Namun karena digunakan untuk industri atau usaha lainnya, kadang-kadang terjadi kelangkaan persediaan minyak tanah di pasar. Selain itu masyarakat yang tinggal di dekat kawasan hutan berusaha mencari kayu bakar, baik dari ranting-ranting kering dan tidak jarang menebangi pohon-pohon di hutan yang terlarang untuk ditebangi, sehingga lambat laun mengancam kelestarian alam di sekitar kawasan hutan.

Sejak tahun 2006 Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres Nomor 1

Page 2: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

487

Tahun 2006 tentang Percepatan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang ditindaklanjuti dengan upaya percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran melalui Kepres Nomor 10 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional Bahan Bakar Nabati (BBN) yang melahirkan program Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran antara lain melalui Pengembangan Desa Mandiri Energi (DME). DME adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60 persen kebutuhan listrik dan bahan bakar dari energi terbarukan yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumberdaya setempat (Deptan 2009 & BPPT 2012).

Program DME secara resmi diluncurkan oleh Presiden pada tanggal 14 Februari 2007 dengan konsep kemandirian energi berbasis pemanfaatan energi terbarukan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Berdasarkan bahan baku sumber energi yang digunakan, ada dua jalur DME yaitu 1) DME berbasis sumber energi non pertanian dan 2) DME berbasis sumber energi pertanian/bahan bakar nabati/bioenergi (DME Bioenergi). Pembangunan energi perdesaan melalui program DME diantaranya adalah energi berbasis mikrohidro, energi berbasis tenaga surya, energi berbasis biomassa, dan energi berbasis biogas. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik, termasuk kotoran hewan, oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob (Soerawidjaja 2010; Wahyuni 2011)

Hasil pelaksanaan DME khususnya DME Bioenergi sejak tahun 2007 hingga tahun 2011, ternyata DME berbasis bioenergi dari biogas kotoran hewan memiliki tingkat keberhasilan dan keberlanjutan terbesar. Hal tersebut didukung oleh tingginya potensi jumlah hewan, teknologi biogas relatif sederhana, dan manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Sayangnya pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan tersebut belum didukung oleh kesiapan pendanaan di tingkat pusat dan kemampuan sumberdaya manusia baik di pusat maupun daerah dalam hal monitoring dan evaluasi (Bappenas 2009). Sehingga diperlukan upaya-upaya yang tepat untuk mempercepat dan memperluas pola pembangunan dan pemanfaatan biogas dari kotoran hewan di seluruh wilayah yang memiliki potensi hewan ternak untuk mendukung kemandirian energi khususnya di daerah perdesaan.

Peluang pengembangan biogas di Indonesia sesungguhnya sangat prospektif. Pada tahun 2011, Indonesia memiliki 16,7 juta ekor hewan besar (sapi potong, sapi perah, dan kerbau) dan 36,6 juta kambing/domba/babi (Ditjennak 2012). Jika diasumsikan setiap ekor hewan besar menghasilkan 29 kg feses per hari dengan kandungan padatan 14,34 persen maka potensi kotoran hewan yang berasal dari hewan besar diproyeksikan mencapai 69,45 juta kg total padatan, jika ekivalensi biogas yang dihasilkan sebesar 0,31 m3/kg padatan maka akan dapat dihasilkan biogas sebesar 21,5 juta m3 biogas yang setara dengan penghematan 13,33 juta liter minyak atau 9,89 juta kg gas LPG atau 75.250 ton kayu bakar.

Tujuan kajian ini adalah merancang sistem pengambilan keputusan prioritas pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan di daerah perdesaan untuk mendukung efektifitas sistem pembiayaan oleh pemerintah pusat melalui dana alokasi khusus (DAK) Bioenergi Perdesaan. DAK sebagai salah satu sumber pendanaan dianggap mampu mensukseskan program DME di daerah perdesaan (Ditjenbun 2009). Rancangan prioritas daerah penerima DAK Bioenergi yang berkelanjutan perlu didasarkan pada sejumlah kriteria teknis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam hal energi dalam penetapan wilayah pengembangan bioenergi perdesaan yang berorientasi pada kemandirian energi berbasis energi terbarukan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

2. METODE PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi disebutkan tentang kewajiban daerah untuk mengembangkan potensi energi di daerahnya guna memenuhi kebutuhan energi daerahnya masing-masing. Jika sebelumnya pemenuhan kebutuhan energi

Page 3: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

488

listrik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, maka ke depannya akan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pusat.

Dalam rangka pemenuhan energi perdesaan, mulai tahun 2011 pemerintah akan melaksanakan dua program energi perdesaan yaitu (1) desa energi baru terbarukan dan (2) desa jaringan. Dalam hal ini, apabila sebuah desa telah memiliki atau masuk dalam jaringan listrik PLN maka desa tersebut tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat melalui PT PLN. Sementara untuk daerah tertinggal dan yang belum memiliki jaringan listrik akan dimasukkan ke dalam program pemanfaatan energi setempat dengan sebutan mandiri energi melalui kebijakan anggaran pembiayaan adalah transfer dari pemerintah pusat ke daerah melalui DAK (dana alokasi khusus).

Tingginya potensi kotoran hewan yang dimiliki berbagai daerah di Indonesia menjadi salah satu sumber energi perdesaan yang potensial. Biogas yang dihasilkan melalui proses fermentasi anaerobik tidak hanya bermanfaat untuk memandirikan warga desa dalam pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga, namun juga berkontribusi terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat serta lingkungan.

Agar penetapan daerah penerima pembiayaan pengembangan biogas tepat sasaran dan berkelanjutan maka seleksi dan model kriteria teknis yang menjadi kewenangan Departemen ESDM Pusat mengacu pada visi dan misi Departemen ESDM dalam hal energi terbarukan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Prioritas Daerah Pengembangan Bioenergi

Berbasis Biogas Kotoran Hewan Melalui Pembiayaan DAK.

2.2. Jenis Data Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

dikumpulkan melalui survey lapangan ke Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau pada bulan Agustus 2012 serta brainstorming dengan pakar. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait

Visi dan Misi ESDM Di Bidang Energi Perdesaan

Identifikasi Faktor-faktor Pendukung dan Kendala Pengembangan

Model Penentuan Prioritas Desa Pengembangan Bioenergi Berbasis Biogas Melalui Pembiayaan DAK

Verifikasi Model

Mekanisme Pembiayaan DAK untuk Desa Mandiri

Energi Berbasis Biogas

Seleksi Kriteria Teknis PenetapanDaerah Pengembangan Biogas Melalui

Pola Pembiayaan DAK (Delphi)

Pembobotan Kriteria Teknis (AHP)

Memuaskan ?

T

Y

Implementasi

Page 4: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

489

seperti Biro Pusat Statistik, Ditjen Peternakan, Dinas Pertambangan dan Energi, PT. PLN dan instansi lainnya yang terkait.

2.3. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengkaji mekanisme prioritas pembiayaan daerah pengembangan biogas kotoran hewan yang berkelanjutan, sementara pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan metode Delphi, teknik Analytical Hierarchy Process/AHP (Saaty 1993; Marimin 2004), dan metode perbandingan eksponensial/MPE (Marimin 2004). Hasil pengolahan data tersebut didiskusikan dan dikoordinasikan dengan pakar yang memenuhi kualifikasi dan mewakili bidang keahlian konservasi energi dan energi terbarukan serta biogas kotoran hewan.

Penilaian kesesuaian kriteria teknis penentuan prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan dilakukan dengan metode Delphi melibatkan 3 (tiga) orang pakar. Setiap pakar memberian skor evaluasi kesesuaian kriteria secara numerik menggunakan skala 1-7. Pendapat pakar dinilai konvergen (konsensus) apabila pada sebuah ronde selisih pendapat pakar dengan nilai rata-rata (Δ) < 1, jika belum konvergen maka penilaian dilanjutkan hingga diperoleh konsensus. Kriteria yang telah memperoleh konsensus dari pakar akan dipilih sebagai kriteria teknis prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan.

Teknik AHP merupakan suatu hierarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi manusia. Dengan hierarki, suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok lalu diatur menjadi suatu bentuk hierarki. Pengolahan data persepsi mengenai tingkat kepentingan kriteria teknis penentuan daerah pengembangan biogas kotoran hewan melalui pola pembiayaan DAK dilakukan dengan bantuan software expert choice 2000.

MPE merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan dengan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Pada prinsipnya MPE merupakan metode skoring terhadap pilihan yang ada. Dengan perhitungan secara eksponensial, perbedaan nilai antar kriteria dapat dibedakan tergantung kepada kemampuan orang yang menilai.

Tabel 1. Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Pilihan Keputusan Kriteria Keputusan Total

Nilai Ranking Prioritas 1 2 3 - - m

1 2 - - n

RK11 RK12

- -

RK1n

RK21 RK22

- -

RK2n

RK31 RK32

- -

RK3n

RKm1 RKm2

- -

RKmn

TN1 TN2

TNn

Derajat kepentingan TKK1 TKK2 TKK3 TKKm

Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif pilihan keputusan dalam metoda perbandingan eksponensial adalah:

Total Nilai (TNi) = ∑

dimana: TNi = Total nilai alternatif ke-i RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i TKKj = Derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot n = Jumlah pilihan keputusan m = Jumlah kriteria keputusan

Page 5: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

490

Untuk normalisasi data, maka seluruh data kriteria teknis yang akan digunakan dalam model MPE terlebih dahulu dikonversi ke dalam skor indeks. Daerah dinilai layak sebagai daerah pengembangan biogas kotoran hewan jika memenuhi persyaratan total nilai > 1. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Seleksi dan Penentuan Bobot Kriteria Teknis Bioenergi Berbasis Biogas

Tujuan utama kajian adalah penentuan prioritas daerah pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan dengan mempertimbangkan manfaatnya pada aspek energi, ekonomi, lingkungan, dan sosial. Kriteria teknis yang dikembangkan mengacu pada tugas pokok ESDM yaitu pemenuhan energi di daerah perdesaan dengan memanfaatkan potensi kotoran hewan sebagai sumber energi biogas. Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar, kajian pustaka, kondisi eksisting dan kebutuhan implementasi sistem pembiayaan dengan pola DAK telah diidentifikasi sembilan faktor strategis dalam pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan di daerah perdesaan, yaitu: (1) potensi kotoran hewan, (2) potensi pengguna biogas RT, (3) potensi pengguna biogas UKM, (4) pemanfaatan energi dari listrik dan non-listrik, (5) kondisi sosial ekonomi masyarakat, (6) aksesibilitas wilayah, (7) partisipasi masyarakat, (8) keberlanjutan kegiatan, dan (9) komitmen anggaran Pemda untuk alokasi bioenergi. 

Hasil seleksi merekomendasikan tujuh kriteria teknis yang relevan diaplikasikan pada penentuan prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan pola pembiayaan DAK seperti disajikan pada Tabel 2. Ketujuh kriteria teknis tersebut adalah (1) potensi kotoran hewan, (2) potensi pengguna biogas RT, (3) pemanfaatan energi dari listrik dan non-listrik, (4) kondisi sosial ekonomi masyarakat, (5) aksesibilitas wilayah, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) komitmen anggaran Pemda untuk alokasi bioenergi. Berdasarkan hasil seleksi kriteria teknis tersebut dilakukan pemeringkatan tingkat kepentingan kriteria teknis daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan pola pembiayaan DAK menggunakan teknik AHP.

Tabel 2. Pemilihan kriteria teknis untuk penentuan daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan pola pembiayaan DAK

No Kriteria Penilaian Ahli Rata-rata 1 2 3

1 Potensi kotoran hewan 5 6 6 5,67a 2 Pengguna biogas kotoran hewan RT 5 4 5 4,67 a 3 Pengguna biogas UKM 3 4 4 3,67 b 4 Kondisi energi listrik dan non listrik 6 6 7 6,33 a 5 Kondisi sosial ekonomi masyarakat 4 4 5 4,33 a 6 Aksesibilitas wilayah 5 6 5 5,33 a 7 Partisipasi masyarakat 4 5 5 4,67 a 8 Keberlanjutan kegiatan 6 4 4 4,67 c 9 Komitmen anggaran dari PEMDA 4 5 4 4,33 a

Keterangan: a kriteria sesuai untuk kriteria teknis prioritas DAK biogas (rataan > 4 dan Δ < 1) b rataan < 4; c tidak konvergen

Struktur hirarki penentuan bobot kriteria teknis daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan pola pembiayaan DAK menggunakan tiga tingkatan. Tingkatan pertama yang merupakan sasaran (tujuan) adalah prioritas daerah pengembangan bioenergi berbasis biogas kotoran hewan. Tingkatan kedua adalah pertimbangan manfaat pengembangan bioenergi perdesaan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 yang meliputi manfaat energi, manfaat ekonomi, manfaat lingkungan, dan manfaat sosial. Hasil pengolahan data bobot kriteria teknis prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan bantuan software expert choice 2000 dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 6: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

491

Tujuan

Manfaat

Kriteria Teknis

Gambar 2. Struktur AHP analisis bobot kriteria teknis penentuan prioritas daerah pengembangan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan

Hasil analisis menempatkan kondisi keenergian daerah dan aksesibilitas wilayah sebagai

kriteria teknis dengan bobot terbesar berturut-turut sebesar 0,324 dan 0,210. Hal ini selaras dengan tujuan program yaitu meningkatkan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara: (1) menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu dan (2) membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah.

Kondisi saat ini masih banyak daerah yang belum memiliki akses energi baik untuk listrik maupun non listrik, sehingga perlu upaya pemerintah dan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah perdesaan atau pulau terluar di perbatasan, karena sampai saat ini swasta kurang berminat untuk melakukan usaha penyediaan energi karena harga jual energi belum sesuai dengan keekonomiannya, disamping daya beli masyarakat perdesaan yang rendah.

Isu yang berkembang bahwa masih banyak ditemui kegagalan dalam implementasi energi baru terbarukan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, karena sulitnya koordinasi dalam perencanaan serta monitoring dan pengawasan pembangunan serta pengelolaan instalasi energi baru terbarukan pada lokasi yang sangat jauh dan sulit aksesibilitasnya.

Untuk mengurangi kendala tersebut Kementerian ESDM cq DJEBTKE telah mengim-plementasikan mekanisme pemberian bantuan fisik energi terbarukan melalui kegiatan yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Listrik Perdesaan yang telah dimulai pada tahun 2011. Namun implementasi DAK tersebut hanya merupakan kegiatan pemanfaatan energi terbarukan seperti mikrohidro, matahari dan angin yang menghasilkan energi listrik. Sementara masih ada beberapa sumber energi lainnya seperti bioenergi yang berupa kotoran hewan yang dapat diolah menjadi energi biogas baik untuk listrik maupun non listrik.

Keberhasilan program pengembangan energi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan tidak dapat mengabaikan ketersediaan potensi bahan baku kotoran hewan, adanya pengguna biogas dari kelompok rumah tangga, dan partisipasi masyarakat dalam program biogas kotoran hewan. Kontribusi kriteria kondisi sosial masyarakat dan komitmen Pemda dalam pendaaan program biogas tidak terlalu signifikan dalam pengembangan energi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan.

Selanjutnya dilakukan koordinasi untuk model prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan dengan pola DAK. Pertimbangan utama adalah ketersediaan data, data bersifat objektif, dan kemudahan pengolahan data secara kuantitatif. Untuk itu dilakukan penapisan kriteria utama, kriteria pendukung, atau kriteria prasyarat. Para pakar sepakat menetapkan kriteria kondisi keenergian, potensi kotoran hewan dan potensi pengguna rumahtangga sebagai kriteria teknis utama penentuan daerah prioritas pengembangan biogas kotoran hewan

Prioritas Daerah Pengembangan Bioenergi Berbasis Biogas Kotoran Hewan

Manfaat Sosial

Manfaat Lingkungan

Manfaat Ekonomi

Manfaat Energi

Potensi Kotoran Hewan 0,156

Kondisi Keenergian

Daerah 0,324

Potensi Pengguna

RT 0,089

Kondisi Sosek

Masyarakat 0,064

Partisipasi Masyarakat

0,088

Komitmen PEMDA

0,069

Aksesi-bilitas

Wilayah 0,210

Page 7: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

492

dengan pola DAK oleh pemerintah Pusat. Hasil penilaian pakar bobot ketiga kriteria teknis utama tersebut dapat dilihat pada Gambar 3, sementara model prioritas daerah penerima DAK biogas kotoran hewan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Hasil pembobotan ulang kriteria teknis utama prioritas daerah pengembangan

biogas kotoran hewan dengan pola pembiayaan DAK

Gambar 4. Model keputusan penentuan prioritas daerah pengembangan biogas kotoran hewan

dengan pola pembiayaan DAK.

Data ratio elektrifikasi Data potensi ternak Data pengguna RT

DAK Biogas Kotoran Hewan Provinsi

Kabupaten/Kota ke -i

Indeks ratio elektrifikasi = RE Indeks ratio ternak = RT Indeks ratio pengguna RT = RP

Total Nilai Bobot Teknis

Kriteria Teknis Utama

Bobot Kriteria Teknis

Peringkat Total Nilai

Komitmen Anggaran Pemda?

Prioritas Kabupaten/Kota Penerima DAK Biogas oleh Provinsi

Usulan Masyarakat ?

Prioritas Kelompok Penerima DAK Biogas oleh Kabupaten

Tidak layak

T

Y

Y

T

Page 8: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

493

Hasil simulasi prioritas 10 daerah pengembangan biogas kotoran hewan untuk Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Kabupaten Nias, Nias Selatan, dan Toba Samosir adalah tiga daerah prioritas tertinggi untuk pengembangan biogas kotoran hewan di Provinsi Sumatera Utara. Bobot kriteria teknis kondisi keenergian yang tinggi (0,687) masih memungkinkan Kabupaten Toba Samosir lolos sebagai daerah prioritas pengembangan biogas padahal memiliki ratio elektrifikasi sebesar 81,29 persen melampaui rataan ratio elektrifikasi Provinsi Sumatera Utara yaitu 70,27 persen. Oleh karena itu pada perbaikan model perlu ditambahkan kriteria teknis prasyarat nilai RE. Sementara tiga daerah prioritas pengembangan biogas kotoran hewan di Provinsi Riau adalah Kabupaten Indragiri Hilir, Meranti, dan Pelalawan. Ketiga daerah tersebut memang memiliki ratio elektrifikasi yang sangat rendah sekitar 30 persen jauh di bawah nilai rataan ratio elektrifikasi Provinsi Riau sebesar 57,17 persen.

Jika mengacu pada visi dan misi program adalah pengembangan bioenergi perdesaan, maka disamping kriteria teknis utama tersebut perlu juga ditambahkan kriteria prasyarat seperti aksesibilitas wilayah, nilai ratio elektrifikasi minimal, partisipasi masyarakat, serta komitmen dari Pemerintah Daerah. Potensi biogas yang dapat dihasilkan atau potensi bahan bakar kayu yang dapat dihemat melalui digester dapat diprediksi dari jumlah kotoran ternak yang diolah seperti dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 3. Prioritas 10 daerah pengembangan biogas kotoran hewan di Provinsi Sumatera

Tabel 4. Prioritas 10 daerah pengembangan biogas kotoran hewan di Provinsi Riau

Ratio Elek- Hewan RTtrifikasi Besar Pemelihara

(%) (Ekor) Ternak1 Kab Nias 14,01 267 1 27981,85496 12 Kab Nias Barat 34,51 75 31 50,86352961 23 Kab Toba Samosir 81,29 39594 383 33,92144427 34 Kab Samosir 72,43 35452 377 27,39793291 45 Kab Humbang Hasundutan 86,02 24042 298 12,59103216 56 Kota Gunung Sitoli 42,67 17 8 11,51258024 67 Kab Langkat 75,89 8766 32418 11,25554907 78 Kab Nias Selatan 42,85 148 14 11,18056209 89 Kab Tapanuli Utara 71,88 20748 129 9,585899276 910 Kab Simalungun 81,42 7789 19043 6,950275026 10

No Kabupaten/Kota Total Indeks Ranking

Ratio Elek- Hewan RTtrifikasi Besar Pemelihara

(%) (Ekor) Ternak1 Kab Indragiri Hilir 30 2.263 1.237 37,257 12 Kep Meranti 33 21.691 1.213 21,156 23 Kab Pelalawan 33 6.340 1.291 19,463 34 Kab Kampar 89 41.348 5.616 7,823 45 Kab Rokan Hulu 52 16.120 7.872 4,075 56 Kab Bengkalis 66 28.555 3.699 3,978 67 Kab Indragiri Hulu 52 7.167 7.238 3,108 78 Kab Kuantan Singingi 53 8.697 6.980 2,988 89 Kab Rokan Hilir 46 11.582 2.188 2,985 910 Kota Pekanbaru 79 46.585 430 2,967 10

No Kabupaten/Kota Total Indeks Ranking

Page 9: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

494

Tabel 5. Produksi biogas dengan jumlah pemeliharaan hewan besar yang beragam

4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan Kotoran hewan merupakan salah satu bahan baku alternatif energi terbarukan yang berbentuk gas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bahan bakar dan listrik di daerah perdesaan. Model prioritas daerah pengembangan biogas dari kotoran hewan menggunakan tujuh kriteria teknis, yang diklasifikasikan sebagai kriteria teknis utama, kriteria teknis pendukung, dan kriteria teknis prasyarat. Kriteria teknis utama tersebut adalah kondisi keenergian, potensi bahan baku biogas berupa kotoran ternak, dan potensi pengguna biogas rumah tangga. Sistem Pengambilan Keputusan bioenergi perdesaan berbasis biogas kotoran hewan memberikan dukungan bagi eksekutif berupa informasi yang terkait dengan rekomendasi keputusan sebelum diimplentasikan.

Berdasarkan hasil verifikasi menggunakan kriteria teknis utama, daerah yang menjadi prioritas pengembangan bioenergi perdesaan berbasis kotoran hewan di Provinsi Sumatera Utara adalah Kabupaten Nias dan Nias Barat, sementara untuk Provinsi Riau adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Meranti. 4.2. Saran

Dalam implementasinya, keputusan prioritas daerah pengembangan bioenergi perdesaan berbasis kotoran hewan yang berkelanjutan perlu memperhatikan kondisi dan kesiapan daerah. Oleh karena itu itu model keputusan tidak hanya didasarkan pada kriteria teknis utama semata, namun perlu juga memasukkan kriteria teknis prasyarat dan kriteria teknis pendukung. DAFTAR PUSTAKA 1. Bappenas. 2009. Program Desa Mandiri Energi Hadapi Kendala Pendanaan. Kompas, 11

September 2009. 2. BPPT. 2012. Iptek Voice: Desa Mandiri Energi Dengan Pengolahan Biogas dari Kotoran.

http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11443. 28 Juni 2012. 3. Deptan. 2009. Program DME, tiap Tahun Hasilkan Nilai Tambah Hampir 350 M.

http://ditenbun.deptan.go.id/budtanan/index.php?option 4. Dijennak. 2012. Data Statistik Peternakan 2011. Ditjen Peternakan Departemen Pertanian:

Jakarta. www.deptan.go.id 5. Harun M. 2011. Peran Pertamina dalam Pemenuhan Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri.

Presentasi pada Media Workshop Antara tanggal 4 Oktober 2011. International Institute for Sustainable Development-Global Susidies Initiative.

6. Marimin. 2004. Penyelesaian Persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

7. Octaviani R, Sahara. 2011. Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Kinerja Ekonomi Makro, Keragaan Ekonomi Sektoral dan Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Manajemen Agribisnis Vol I_Nri 3 April 2005: 35-52.

Jumlah Ternak

Volume reaktor digester

(m3)

Potensi kotoran hewan per hari

(kg)*

Produksi biogas per hari (m3)

Bahan bakar kayu yang

dihemat (kg)

3 - 4 4 20 - 40 0,8 - 1,6 20 - 40 5 - 6 6 40 - 60 1,6 - 2,4 40 - 60 7 - 8 8 60 - 80 2,4 - 3,2 60 - 80

9 - 10 10 80 - 100 3,2 - 4,2 80 - 100 *Rata-rata penyimpanan 50 hari

Page 10: Prioritas Pengembangan Bioenergi Perdesaan Berbasis Biogas Kotoran Hewan

SEMINAR NASIONAL MESIN DAN INDUSTRI (SNMI7) 2012

”Riset Multidisiplin Untuk Menunjang Pengembangan Industri Nasional” Program Studi Teknik Mesin dan Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

495

8. Republik Indonesia. 2011. MP3EI: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.

9. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Kompleks. Terjemahan. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo

10. Soerawidjaja TH. 2010. Peran Bioenergi dan Arah-arah Utama LitbangRap-nya di Indonesia. Dipresentasikan pada LokakaryaGasifikasi Biomassa. Kampus ITB Bandung. 16-17 Desember 2010.

11. Wahyuni S. 2011. Menghasilkan Biogas dari AneKA Limbah. Jakarta: Agromedia.